BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Basis keamanan disuatu negara seringkali dirujuk kepada pertahanan dan kekuatan militer negara tersebut. Periode 1945-1969 yang juga ditandai dengan berakhirnya Perang Dunia II telah mengubah perkembangan politik dunia. Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai negara pemenang perang muncul menjadi kekuatan raksasa. Dua negara tersebut memiliki perbedaan ideologi, Amerika Serikat memiliki ideologi liberal-kapitalis, sedangkan Uni Soviet berideologi sosialis-komunis. Dalam waktu singkat memang pernah terjadi persahabatan diantara keduanya, namun kemudian muncul antagonisme diantara mereka. Ada dua karakter pada periode ini, Pertama, adanya keprihatinan akan ambisi rivalnya yang menimbulkan pesimisme. Kedua, Amerika Serikat dan Uni Soviet memiliki kekuatan militer yang sangat kuat. Bubarnya Uni Soviet ini menandai berakhirnya Perang Dingin dengan kemenangan di pihak Amerika Serikat. Russia sebagai salah satu negara pecahan Uni Soviet merupakan negara yang berhasil menjadi 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Basis keamanan disuatu negara seringkali
dirujuk kepada pertahanan dan kekuatan militer
negara tersebut. Periode 1945-1969 yang juga
ditandai dengan berakhirnya Perang Dunia II telah
mengubah perkembangan politik dunia. Amerika
Serikat dan Uni Soviet sebagai negara pemenang
perang muncul menjadi kekuatan raksasa. Dua negara
tersebut memiliki perbedaan ideologi, Amerika
Serikat memiliki ideologi liberal-kapitalis,
sedangkan Uni Soviet berideologi sosialis-komunis.
Dalam waktu singkat memang pernah terjadi
persahabatan diantara keduanya, namun kemudian
muncul antagonisme diantara mereka. Ada dua
karakter pada periode ini, Pertama, adanya
keprihatinan akan ambisi rivalnya yang menimbulkan
pesimisme. Kedua, Amerika Serikat dan Uni Soviet
memiliki kekuatan militer yang sangat kuat.
Bubarnya Uni Soviet ini menandai berakhirnya
Perang Dingin dengan kemenangan di pihak Amerika
Serikat. Russia sebagai salah satu negara pecahan
Uni Soviet merupakan negara yang berhasil menjadi
1
raksasa militer dunia menyusul Amerika Serikat.
Walaupun anggaran militer Amerika Serikat jauh
lebih banyak dari Russia, yakni rata-rata 524 juta
dollars untuk AS dan 42,5 juta dollars untuk Russia
setiap tahunnya antara 2000-20081 yang menjadikan
Amerika Serikat berada diperingkat pertama negara
yang mengeluarkan militer terbesar di dunia, namun
Russia yang berada diperingkat ketiga mampu
mewarnai dinamika keamanan global dengan kebijakan
pertahanan yang diberlakukan sebelumnya. Kedua
negara terebut memiliki perlengkapan militer dan
senjata seperti satelit nuklir, kapal selam
nuklir, pengebom jarak jauh, pesawat tempur,
angakatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara
dengan jumlah yang mendominasi dan dengan
teknologi yang mutakhir.2 Russia sebagai Negara
yang pernah mendapatkan predikat super power masih
memiliki kekuatan militer besar dan menjadi
ancaman nyata bagi Amerika. Oleh karena itu
perilaku keduanya menjadi sorotan dunia
internasional dan dinamika hubungan mereka masih
signifikan pengaruhnya terhadap keamanan global.
1 ‘ The SIPRI Military Expenditure Database’. StockholmInternational Peace Research Institute (Online)<http://milexdata.sipri.org/2 ‘Military Balance report: facts and figures.’Telagraph (Online),09 Maret 2011<http://www.telegraph.co.uk/news/uknews/defence/8368954/Military-Balance-report-facts-and-figures.html
2
Militer merupakan suatu organisasi yang
berada di bawah kendali pemerintah. Semua
pengaturan tentang militer berada di bawah kendali
pemerintah, termasuk anggaran, pengadaan sistem
senjata dan lain sebagainya. Namun demikian,
militer sampai pada tingkatan tertentu masih
diberikan otonomi. Misalnya dalam mengatur
personel sampai pada tingkatan pangkat dan jabatan
tertentu. Di negara-negara maju, Panglima atau
Kepala Angkatan Bersenjata dan para Kepala Staf
Angkatan diberikan kewenangan oleh undang-undang
untuk memberikan nasihat profesional kepada
Presiden selaku Panglima Tertinggi. Nasihat
profesional yang dimaksud adalah nasihat
profesional militer, yaitu suatu pandangan
terhadap suatu hal dari sudut pandang profesional
militer, bukan sudut pandang politik. Sebagaimana
diketahui, sudut pandang profesional militer tidak
jarang berbeda dengan sudut pandang politik.
Studi komparasi militer antara Rusia-Amerika
Serikat ini dititikberatkan pada pembahasan
mengenai karakter profesionalitas sektor militer
dimasing-masing Negara. Masalah utama yang
ditekankan adalah bagaimana suatu Negara mampu
menciptakan pertahanan militer yang cukup kuat
untuk menjamin keamanan dari ancaman eksternal dan
3
sekaligus mencegah kemungkinan adanya dominasi
militer di ranah domestik Negara lainnya. Dilema
ini muncul dari rasa kekhawatiran yang ditimbulkan
oleh satuan bersenjata yang berkekuatan besar
tersebut, yang sengaja dibentuk untuk menjaga
pertahanan dan keamanan Negara namun memiliki
ancaman yang cukup inheren bagi masyarakat. Lebih
jauh, studi ini dikaji untuk mengetahui bagaimana
hubungan sipil dengan militer ditempatkan dalam
kerangka kenegaraan tanpa mengurangi aspek
fungsional tentang ketahanan dan keamanan.
Data dari sebuah survey yang dilakukan
menunjukkan bahwa sektor militer di Rusia memiliki
tendensi profesionalitas yang cukup tinggi.3 Survey
ini dilakukan kepada 600 prajurit militer yang
menyatakan bahwa tugas mereka adalah sebagai
satuan yang melindungi dan menjaga pertahanan dan
keamanan Negara. Para prajurit tersebut enggan
untuk terlibat dalam ranah sipil yang mereka nilai
dapat mengurangi kemampuan bertempur dalam perang.
Sebagian besar prajurit militer di Rusia
menyatakan keberatan mereka untuk menggunakan
kekuatan militer sebagai alat bantu dalam
3 Ball, Deborah Yarsike. “The Pending Crisis in Russian Civil-Military Relations”.PONARS-Policy Memo 4. October 1997: Lawrence Livermore NationalLaboratories.http://www.gwu.edu/~ieresgwu/assets/docs/ponars/pm_0004.pdf
prinsip dasar bahwa nilai-nilai militer8 Lihat Edmonds (1988) halaman 70-92; Welch (1987) halaman 9-14;Danopoulos (1992) hal. 39 Samuel E. Finer. The Man on Horseback: The Role of the Militaryin Politics. New York: Frederick A. Praeger. 1962. Hal. 28
8
memiliki kedudukan yang lebih rendah
dari otoritas sipil. Dengan adanya
prinsip tersebut, maka militer akan
netral dan menerima otoritas sipil
sebagai pemegang kekuasaan politik.
Meskipun begitu, Nordlinger menambahkan
bahwa kelompok sipil tetap harus
menghormati urusan militer yang
merupakan bidang profesional militer,
serta tetap melibatkan militer terhadap
keputusan-keputusan politik yang
membutuhkan keahlian atau pertimbangan
militer.10
1.3.2 Kontrol Sipil (Civilian Control)
Salah satu sudut pandang dalam
menilai hubungan sipil-militer adalah
dengan cara melihat kontrol sipil
terhadap militer. Pembahasan utama dalam
konsep kontrol sipil adalah bagaimana
meminimalkan power atau kekuasaan yang
dimiliki oleh kelompok militer. Dengan
adanya kekuasaan sipil yang lebih tinggi
dibanding militer, maka konsep kontrol
sipil ini berlaku. Dalam hal ini,
Huntington memberikan 2 cara melakukan10 E. A. Nordlinger. Soldiers in Politics : Military Coups andGovernments. New Jersey: Prentice-Hall. 1977. Hal. 15
9
kontrol sipil. Jenis yang pertama adalah
Subjective Civilian Control (Kontrol Sipil
secara Subyektif). Menurut Huntington,
cara ini merupakan cara yang paling
mudah dilakukan. Kontrol sipil jenis ini
dilakukan dengan memperkuat kekuasaan
kelompok sipil melalui penguatan
institusi sipil tertentu (misalnya
parlemen atau presiden), konstitusi
negara, dan atau penguatan kelompok-
kelompok sipil tertentu (misalnya
pengusaha atau birokrat).11 Jenis yang
kedua adalah Objective Civilian Control (Kontrol
Sipil secara Obyektif). Cara ini
ditempuh melalui penguatan
profesionalisme militer, yakni dengan
adanya pembagian kekuasaan antara
kelompok militer dan kelompok sipil.
Tujuan akhir dari kontrol sipil obyektif
adalah memiliterkan kelompok militer
sehingga mereka dapat focus menjadi alat
negara untuk menjaga pertahanan dan
keamanan.12
11 Samuel P. Huntington. The Soldier and the State; the Theory and
Politics of Civil-Military Relations. Cambridge: Belknap Press of
Harvard University Press. 1957. Hal 8012 Ibid. Hal 83
10
BAB II
11
PEMBAHASAN
Institusi militer di lingkungan masyarakat
dibentuk oleh dua kepentingan. Pertama, kepentingan
fungsional yang lahir dari adanya ancaman terhadap
keamanan nasional. Kedua, lahir dari kepentingan sosial
akibat adanya kekuatan sosial, ideologi dan berbagai
institusi dominan di masyarakat. Begitupun yang terjadi
di Rusia dan Amerika Serikat. Posisi militer di tengah
kehidupan masyarakat yang sangat ditentukan oleh sifat
hubungan fungsional bersifat cukup melekat. Sebuah
hubungan fungsional mengartikan jaminan ketahanan dan
keamanan. Negara sebagai bentuk organisasi tertinggi
memiliki mandat untuk mewujudkan jaminan keamanan bagi
tiap warga negara yang tertuang dalam konsitusi. Untuk
mencapai sebuah hubungan fungsional dibutuhkan
mekanisme kontrol sipil berupa kebijakan politik
pemerintah, dan militer yang berwenang menetapkan
strategi untuk mencapai tujuan-tujuan keamanan.13
Huntington sedari awal sampai akhir tulisannya
terus menerus menekankan pentingnya memaknai konteks
hubungan militer-sipil beserta kebijakan politik yang
diambil untuk menjawab situasi perang. Pola politik
sipil dan strategi militer sedari masa pra perang sipil13 Samuel P. Huntington. The Soldier and the State; the Theory andPolitics of Civil-Military Relations. 2003
12
sampai Perang Dunia II telah melahirkan pemikiran
profesionalisme sebagai kualifikasi kontrol sipil.
Menurut Huntington, militer adalah sebuah profesi, sama
seperti pekerjaan seorang dokter dan pengacara yang
militer yang profesional. Demi memudahkan analisisnya,
penulis membuat semacam alat ukur berupa indeks
sederhana tentang hubungan militer sipil berupa
indikator politik dan profesionalisme, untuk mengukur
kecenderungan militer menyikapi persoalan kenegaraan
dan kemiliteran.
2.1 Transisi Rusia pada Era Putin-Sekarang
Kebangkitan kekuatan militer Rusia, di
mulai ketika Presiden Vladimir Putin menjabat
pada tahun 2000. Putin memprioritaskan pada
sektor militer Dalam kurun waktu satu dekade
terakhir, hingga dewasa ini, Rusia mulai
menempuh kebijakan strategis, guna memulihkan
kondisi dalam negeri. Rusia masih tetap
berusaha untuk mengembalikan pengaruhnya
pasca Perang Dunia II, terutama dalam
peningkatan kekuatan militernya, yang
merupakan sektor vital negara. Rusia juga
14 Ibid.
13
masih memiliki persenjataan Nuklir, warisan
Uni Soviet, dan sekarang tengah dikembangkan.
Rusia memiliki keinginan untuk menjadi
kekuatan baru di negara-negara pecahan Uni
Soviet.
Pada masa kepemimpinan Vladimir Putin,
Rusia mengalami perbaikan di berbagai sendi
kehidupan termasuk hubungan sipil militer.15
Tujuan Putin untuk mengembalikan kejayaan
Rusia sebagai Great Power menempatkan militer
sebagai perwujudan kekuatan negara.
Kepemimpinan Putin yang kuat mampu
menumbuhkan kepercayaan yang tinggi dari
golongan militer pada kepemimpinan sipil.
Oleh karena itu, hubungan sipil dengan
militer Rusia kian harmonis. Namun, militer
Rusia tetap memiliki pengaruh dalam politik
meski dengan corak yang berbeda dari era
Yeltsin. Sejak menjadi Perdana Menteri di era
Yeltsin, terlihat upaya Putin untuk membangun
hubungan yang harmonis dengan militer. Dalam
menyelesaikan masalah strategis, sebagai
15 Nodari simonia, “Economic interests and Political Power in
Post-soviet Russia,” in archie Brown (ed.) Contemporary Russian Politics
(oxford: oxford university Press, 1999), 276.
14
Commander in Chief Putin16 merangkul kalangan
militer untuk berperan aktif dalam
menyelesaikan masalah tersebut. Contohnya
adalah pemberian kebebasan pada militer untuk
melakukan cara apapun demi tercapainya tujuan
Rusia dalam perang di Chechnya17. Kalangan
militerpun menyambut baik terobosan dari
Putin tersebut. Hingga kemudian mereka
menganggap Putin sebagai seseorang yang
membuat keputusan yang jantan dan kukuh pada
keputusan itu.
Loyalitas militer terhadap Putin juga
kian tinggi. Hal ini disebabkan oleh
perhatian Putin yang tinggi terhadap golongan
militer. Taraf hidup militer meningkat
sebagai implikasi dari naiknya gaji. Pertama
kalinya sejak 1991, gaji tentara Rusia setara
atau lebih tinggi daripada kalangan sipil di
sektor swasta. Ditopang oleh naiknya
pendapatan negara karena sektor minyak dan
gas, modernisasi peralatan militer
16 Anne C. aldis and Roger n. McDermott (eds), Russian Military Reform,1992-
2002, Frank Cass,2003), 72. Henry Plater-Zyberk, The Russian DecisionMakers in the Chechen.
17 Ibid.
15
mendapatkan momentumnya. Militer Rusia pun
kembali ke jajaran elit militer di dunia.
Berbeda dengan era Yeltsin, peran militer
dalam parlemen Rusia di era Putin menurun
drastis.18 Memang ada beberapa penyebab
seperti nihilnya dukungan dari Kementrian
Pertahanan dan dekrit presiden yang melarang
pemberian gaji bagi personil militer yang
sedang dalam masa pencalonan. Namun, yang
perlu kita sadari adalah tidak lagi ada
kritisisme sebagian perwira di parlemen
terhadap kepemimpinan sipil sebagaimana
terjadi di era Yeltsin. Di luar parlemen,
kritisisme itu juga sulit ditemukan. Putin
sadar betul bahwa jika ingin membuat Rusia
sebagai strong state, dia harus menerapkan
sistem hirarki-kemiliteran dalam
pemerintahan. Dalam hal ini, Putin membentuk
efektivitas birokrasi melalui rekrutmen
orang-orang yang pernah bekerja dengan Putin
–Personil KGB, birokrat di Kementrian
Pertahanan dan Kementrian Dalam Negeri, dan
teman Putin selama berkarir di St. Petersburg.19
18 Barani, Z., ‘Democratic Breakdown and the Decline of theRussian Military’, Princeton University Press, New Jersey, 2007.19 Goltz, A., ‘The Social and Political Condition of The RussianMilitary dalam The Russian Military; Power and Policy, S.E.,Miller & D.V. Trenin, MIT Press, Cambridge, 2004
16
Tidak mengherankan, banyak jendral ditunjuk
Putin untuk menempati berbagai posisi
strategis di dalam birokrasi seperti Popov,
Kvashnin, dan Troshev. Selain itu, Putin juga
mendukung banyak perwira tinggi yang maju
dalam pemilihan Gubernur. Perwira-perwira
tersebut di antaranya adalah Laksamana
Vladimir Yegorov yang maju di region
Kaliningrad, Mayjen Vladimir Shamanov yang
maju di region Ulyanovsk, dan Kolonel Jendral
Georgii Shpak yang maju di region Ryazan. Di
dalam sebuah buku yang mengemukakan analisa
pemerintahan Putin, Richard Sakwa mengatakan
“intervensi dalam ranah militer dapat dilakukan dalam
bentuk yang berbeda”. Untuk segelintir pihak,
hal tersebut berarti suatu tindakan tegas
yang tanggap terhadap kontrol sipil.20 Namun,
dilain sisi hal ini dapat dimaknai sebagai
sebuah transisi kontrol sipil terhadap respon
militer yang baik.
Keterlibatan militer dalam ranah politik
memiliki karakteristik dependensi terhadap
otoritas sipil, khususnya presiden. Di era
20 3 Richard sakwa, Russian Politics and Society (london and new york:Routledge, 2002), 409.
17
Putin ini ditandai pengaruh militer dalam
politik yang cenderung berkutat pada posisi
mereka di berbagai jabatan dalam birokrasi.21
Dalam hal ini, Putin secara tunggal yang
melakukan penunjukkan terhadap mereka yang
dinilai eligible untuk duduk dalam jabatan
tersebut. Di samping itu, Putin juga
memberikan dukungan pada perwira tinggi yang
maju dalam pemilihan gubernur di beberapa
region. Partisipasi aktif dan independen dari
personil militer seperti keikutsertaan mereka
dalam pemilu legislatif sebagaimana di era
Yeltsin menurun jauh. Pada masa Putin, level
intervensi militer pada otoritas sipil
terbatas hanya pada influence22, yaitu berupa
usulan. Dengan posisinya di di jajaran
birokrasi, mereka tentu bisa memberi pengaruh
secara konstitusional yakni dengan memberikan
masukan-masukan pada presiden. Kritisisme
mereka di parlemen serta di khalayak umum
menjadi hilang karena perhatian mereka
tersedot untuk jabatannya. Finer menjelaskan
bahwa level intervensi influence bisa kita temui
dalam masyarakat dengan tingkat budaya
21 Remington, T.F., dalam ‘Politics in Russia dalam ComparativePolitics Today; A world View’, Pearson Longman, New York, 2008.22 Ibid.
18
politik yang tinggi.23 Dengan kata lain,
telah terjadi transformasi tingkat budaya
politik Rusia dari era Yeltsin ke Putin di
mana Putin mampu menciptakan taraf budaya
politik yang tinggi di Rusia. Akhirnya,
loyalitas dari kalangan militer terhadap
otoritas sipil bisa terbentuk.
2.2 Amerika di Masa Damai-Sekarang
Definisi hubungan sipil dengan militer
sangat beragam namun secara garis besar
hubungan ini dapat dijelaskan sebagai
interaksi antara lembaga militer di satu sisi
dengan pengambil keputusan kepemerintahan,
Lembaga Swadaya Masyarakat, pemimpin opini
publik dan juga melibatkan masyarakat disisi
lain.24 Di dalam bukunya, Huntington
berasumsi bahwa jika sebuah Negara memiliki
23 Finer, S.E., ‘The Man on Horseback; The Role of Military inPolitics’, Frederick A. Praeger, New York, 1962.24 Taylor,Edward R,Cpt USMC, Thesis NPS, MS in SystemTechnology,June 1998, ”Command In The 21’st Century:An Introduction To Civil-Military Relations“, khususnya dihalaman 2….Civil-Military relationscan be understood as an aspect of national security policy.National Security Policy is establish by Head of State to protect…dst ( Huntington,1957,halaman1 ), halaman 3……civil-militaryrelations provide the principal institutional level of themilitary form
19
kontrol sipil yang cenderung seimbang, maka
hal tersebut dapat memaksimalkan kokoh
pertahanan dan keamanan.25 Praktek di apangan
yang terjadi di Amerika adalah peran pejabat
eksekutif yang menonjol dan kuat, sedangankan
korps perwira militer akan secara
professional menjalankan tugasnya dengan
senantiasa menunjukkan kualitas skill, tanggung
jawab dan dengan corporateness.26 Hal ini dilihat
sebagai tantangan bagi Amerika namun juga
mampu meningkatkan efektivitas kontrol sipil,
karena peran militer yang berusaha untuk
menjauhkan diri dari ranah politik.27
Gagasan profesionalisme militer muncul
pada masa damai sebagai perwujudan kontrol
sipil dan kualifikasinya. Pola politik sipil
dan strategi militer sedari masa pra perang
sipil sampai Perang Dunia II telah membuat
Amerika Serikat sebagai model negara yang
menerapkan sistem demokrasi liberal mencoba
untuk menyesuaikan proporsi penerapan politik
pemerintah sipil yang berdaulat dengan arah
25 Samuel P. Huntington. The Soldier and the State; the Theory andPolitics of Civil-Military Relations. 200326 Ibid.27 http://www.foreignaffairs.com/articles/23574/colonel-robert-n-ginsburgh/the-challenge-to-military-professionalism
tidak berarti.29 Militer kembali ke barak28 Bracken, Paul. 1995. ‘‘Reconsidering Civil-Military Relations.”In U.S. Civil-Military Relations: In Crisis or Transition? Eds.Don M. Snider and Miranda A. Carlton-Carew. Washington DC: TheCenter for Strategic and International Studies, pp. 144-165.
29 The Civil-Military Problematique: Huntington, Janowitz and theQuestion of Civilian Control.’’ Armed Forces and Society. 23(2):
21
merupakan eufemisme yang sebenarnya upaya
mengerdilkan tentara hingga titik nol.
Nampaknya produk unggulan Huntington
untuk meneorikan hubungan militer-sipil dalam
kerangka demokrasi liberal di Amerika
tercetus dalam bukunya yang mengemukakan
bahwa hubungan sipil dengan militer berhenti
pada tiga pilar tradisi militer Amerika; (1)
Pilar teknisme yang berorientasi pada
penguasaan teknologi, skill teknis, keahlian
permesinan dan peralatan tempur, (2) Pilar
popularisme yang mengacu pada keberpihakan
militer pada dunia sipil, pewujudan watak
negarawan daripada watak Jendral perang dan
(3) Pilar profesionalisme yang benar-benar
memurnikan gagasan tentang strategi perang
dengan menggunakan sumber-sumber daya yang
tersedia untuk mendukung tujuan-tujuan
fungsional, bukan semata-mata hanya
berlandaskan tujuan politik.30
Meski demikian, kaum konservatif masih
berpandangan bahwa institusi militer adalahpp. 149-178.
30 Samuel P. Huntington. The Soldier and the State; the Theory andPolitics of Civil-Military Relations. 2003
22
warisan peradaban kuno yang barbar dan
pemikiran tentang perang harus selalu
ternegasi. Hingga Huntington menjelaskan
dalam bukunya mengenai babak baru prajurit
militer di Amerika pada masa damai.
Menurutnya, “profesionalisme pada dasarnya
merupakan reaksi dari kelompok konservatif melawan
masyarakat liberal, bukan hasil sebuah gerakan reformasi
konservatif umum di dalam masyarakat”.31 Dengan
demikian, anggapan kontrol sipil yang melekat
pada profesionalisme militer sama sekali
gugur di hadapan kaum konservatif. Namun,
bukan berarti para pemikir militer semakin
terasing dari dunia sipil, karena pengalaman
Perang Dunia II menunjukkan bahwa Amerika
berperang semata-mata bukan demi tujuan
militer. “tujuan jangka panjang Amerika Serikat
bukanlah untuk mengalahkan Jerman dan Jepang,
melainkan pembentukan suatu kekuasaan yang seimbang
di Eropa, dimata dunia”.32 Hal ini penting, salah
satunya untuk memberikan klaim sejarah, bahwa
Amerika dulu dan sekarang merupakan
sekumpulan tentara profesional bergagasan
sipil.33 Tentara yang menjunjung tinggi31 Ibid. hal 25732 Ibid. hal 36733 Desch, Michael C. 1999. Civilian Control of the Military: TheChanging Security Environment. Baltimore: The Johns Hopkins
23
profesionalisme sekaligus seorang negarawan.
Tentara negarawan yang tak berhenti pada
tujuan-tujuan militer, tapi memelihara
hubungan politik sipil dengan militer secara
institusional.34 Untuk itu institusi militer
yang profesional tetap dibutuhkan untuk
memberi supply secara kontinyu sumber daya
militer, demi kepentingan masyarakat sipil.35
Keterangan final tentang sumber daya
masyarakat sipil ada dalam dalam konstitusi,
dan politik militer, yang pada dasarnya hanya
memberikan penegasan hak pada wilayah
kewenangan strategis di peta politik
internasional.
BAB III
KESIMPULAN
University Press.
34 Ibid.
35 ‘‘The Erosion of Civilian Control of the Military in the UnitedStates Today.’’ Naval War College Review 4: pp. 8-59
24
Setelah membaca ulasan mengenai komparasi
profesionalitas militer antara Rusia dan Amerika
Serikat, penulis merasa perlu membuat kesimpulan yang
dapat dijadikan sebagai proyeksi awal pemahaman dalam
penelitian ini secara keseluruhan.
Dalam isu hubungan sipil dan militer di Rusia,
nampak jelas bahwa salah satu aspek yang sangat
berpengaruh terhadap pola hubungan sipil dengan militer
yang ada dipengaruhi oleh budaya politik pada periode
kepemimpinan yang berbeda. Budaya politik bisa dipahami
sebagai sebuah pola dari perilaku serta orientasi
individual terhadap politik diantara anggota sebuah
sistem politik.36 Setiap negara memiliki kecenderungan
kultur politik yang berbeda, hal ini disebabkan oleh
perbedaan norma politik yang berpengaruh besar terhadap
cara berpikir dan cara bertindak masyarakat terhadap
sistem politik yang ada. Dalam kaitannya dengan militer
dan politik, besar kecilnya intensitas dan longgarnya
peranan yang mungkin dimainkan oleh militer dalam arena
politik bergantung pada tingkat kebudayaan politik
masyarakat yang bersangkutan. Tingkat kebudayaan
politik bisa dinilai dari kemauan seluruh anggota
masyarakat, baik sipil maupun militer, untuk
mengikatkan diri dan patuh terhadap lembaga sipil dan36 Molchanov, M.A., ‘Political Culture and National Identity inRussian-Ukrainan Relations’, Texas A&M University Press, Texas,2002.
25
pemerintahan serta konstitusi yang secara prosuderal
telah dibentuk. Semakin tinggi masyarakat dapat
berkolaborasi bersama untuk mematuhi segala peraturan,
maka akan semakin tinggi tingkat budaya politiknya dan
sebaliknya. Tingginya tingkat budaya politik suatu
masyarakat membuat faktor-faktor yang mencegah dan
membatasi masuknya militer untuk memainkan peranan
politik semakin dapat ditekan. Jika tingkat budaya
politiknya rendah, maka peluang dan kesempatan militer
memainkan peranan politik makin tinggi. Budaya politik
Rusia kontemporer memang menunjukkan kecenderungan
gabungan dari beberapa cara hidup. Menurut Thomas F.
Remington, budaya politik Rusia era kontemporer adalah
kepercayaan yang kuat pada nilai demokratis yang
mengutamakan akan pentingnya negara yang kuat dan
kekecewaan yang cukup tajam terhadap demokratisasi dan
reformasi perekonomian yang dijalankan di Rusia.37
Budaya ini terbentuk melaui proses jangka panjang
(seperti sosialisasi politik melalui pendidikan di era
Soviet) serta proses jangka pendek (keinginan yang
membuat masyarakat Rusia menginginkan standard hidup
seperti Barat). Sehingga kita dapat melihat pada era
kepemimpinan Putin, dimana tingginya tingkat budaya
politik Rusia di era ini bisa dilihat dari tingginya
37 Remington, T.F., dalam ‘Politics in Russia dalam Comparative
Politics Today; A world View’, Pearson Longman, New York, 2008.
26
kepercayaan masyarakat dan golongan militer pada Putin.
Putin dinilai mampu untuk membentuk Rusia menjadi
negara kuat sebagaimana diinginkan oleh sebagian besar
rakyatnya. Di samping itu, penciptaan hubungan yang
harmonis antara otoritas sipil dengan militer pada
akhirnya mampu menumbuhkan kepercayaan dan loyalitas
dari golongan militer terhadap otoritas sipil.38 Putin
tidak hanya mampu menaikkan gaji bagi personil militer,
namun juga memodernisasi alat perang dari militer
Rusia. Partisipasi militer dalam Rusia juga terbatas
pada level influence, berbeda pada masa kepemimpinan
Yeltsin yang menyebabkan pressures dan displacement. Dalam
hal ini, pengaruh militer dalam politik Rusia era Putin
memiliki karakteristik dependensi golongan militer
terhadap otoritas sipil. Putin banyak merekrut personil
militer untuk duduk di jajaran birokrat. Selain itu,
Putin juga mendukung beberapa perwira yang maju di
pemilihan gubernur.
Selanjutnya mengenai hubungan sipil dengan militer
di Amerika yang terjalin secara seimbang dan mapan
dalam bingkai liberalisme. Gejala militerisasi dalam
tubuh pemerintahan nampaknya terjadi di berbagai
negara, tanpa terkecuali di Amerika Serikat. Hal ini
seolah menjadi benang merah yang sekaligus dapat
38 Barani, Z., ‘Democratic Breakdown and the Decline of theRussian Military’, Princeton University Press, New Jersey, 2007.
27
menggambarkan kondisi yang ada, yang dimulai pada masa
damai. Hubungan sipil dengan militer serta perenungan
sejarah perang dan peran militer dalam kehidupan
masyarakat Amerika setelah perang usai dapat dilihat
dari ketegasan pemerintah untuk membagi setiap sektor
dalam tubuh pemerintahannya secara jelas dan
mengutamakan fungsionalitas sebagai takaran
penyeimbang.39 Kecenderungan kontrol sipil subyektif
dan kontrol sipil obyektif yang ada semakin meyakinkan
bahwa elit militer semakin efektif dengan meminimumkan
pengaruhnya dalam pengambilan keputusan nasional.
Selain itu, tingkat kepercayaan masyarakat Amerika
kepada Negaranya memiliki dampak yang cukup besar dalam
kekuatan antara instrumen militer dengan non-militer39 BBC News US and Canada, Military balance: The US and other keycountries40 Wiranatakusumah, Kisenda,Maj TNI-AU,Thesis US NPS,June 2000, MAin National Security Affairs,”Civil-Military Relations In The Late Soeharto-Era”
28
perlu digaris bawahi agar tidak ada kekuatan dominan
dalam proses pengambilan keputusan strategik atau
nasional. Bruneau mulai mengamati dan fokus terhadap
hubungan sipil dengan militer dari tiga (3) serangkai
parameter yakni kontrol demokratik, efektif dan efisiensi.41
Kontrol demokratik artinya keputusan nasional terbaik
dibuat bersama tanpa dominasi kekuatan tertentu,
terukur dan disiplin kepada obyektif yang ditetapkan
(efektif) serta efisien karena berorientasi kepada kegiatan
yang berbobot dan terpilih dipasangkan dengan
konsekuensi biaya yang minimum. Dengan demikian,
hubungan sipil dengan militer di Amerika dapat
dikategorikan sebagai suatu hubungan professional yang
mapan dan sinkron, seperti beberapa kriteria yang telah
dikemukakan sebelumnya. Sipil dan militer yang berjalan
bersama menunjukkan konsistensi pemerintah Amerika yang
ingin membangun jajaran birokrat ditubuh
pemerintahannya secara professional dan kontinyu.
Hal ini kemudian menjadi menarik untuk penulis
paparkan tentang komparasi profesionalitas militer
dalam hubungan sipil dengan militer diantara Rusia dan
Amerika. Melalui penelitian ini, dapat ditarik lurus
mengenai perbedaan yang paling fundamental dipenelitian
41 Bruneau,Proff Thomas.C, Dept Of National Security Affairs,August 2001,”Ministries Of Defense And Democratic Civil-MilitaryRelations”, Naval Postgraduate School (US NPS)
29
ini. Di Rusia, tingkat profesionalitas militernya
cenderung tinggi, hampir dapat dikatakan seimbang
antara sipil dengan militernya. Namun, para birokrat
dengan latar belakang militan sebelumnya masih mampu
untuk berdiri dijajaran pemerintahan Rusia. Hal ini
berada dalam legitimasi konstitusi Rusia dengan
pertimbangan bahwa mereka memiliki pengetahuan khusus
dalam basis militer, yang kemudian dapat membantu
Presiden dalam mengambil sebuah kebijakan demi
terwujudnya keamanan nasional. Berbeda dengan Amerika
Serikat, yang secara tegas memisahkan kekuasaan sipil
dengan militer serta dibuat dalam suatu alur
pemerintahan yang serasi dan seimbang. Keputusan
Presiden untuk sama sekali tidak memberi peluang bagi
militer untuk turut serta dalam proses pengambilan
kebijakan ditopang dengan tanggung jawab dan keinginan
yang besar untuk menjadikan Amerika Serikat secara
professional mampu menjadi role model dipemerintahan
global, yang tidak hanya dalam basis ekonomi, sosial
ataupun politik, tapi secara kolektif mencakup seluruh
persendian pemerintahan termasuk militer. Dengan
demikian, penulis berpendapat bahwa profesionalitas
militer di Rusia masuk ke dalam kategori new
professionalism, sedangkan Amerika dengan kategori