i KOMPARASI ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) Penulisan Hukum ( Skripsi ) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh Aditya Widyatmoko NIM. E0005061 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
68
Embed
KOMPARASI ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA …...iii pengesahan penguji penulisan hukum ( skripsi) komparasi asas legalitas dalam hukum pidana islam dan kitab undang-undang hukum
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
KOMPARASI ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)
Penulisan Hukum
( Skripsi )
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
Aditya Widyatmoko
NIM. E0005061
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum ( Skripsi)
KOMPARASI ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)
Oleh
Aditya Widyatmoko
NIM. E0005061
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari :
Tangggal :
DEWAN PENGUJI
1. : Ketua 2. : Sekretaris
3. :
Anggota Mengetahui
Dekan,
Mohammad Jamin., S.H.,M.Hum.
NIP. 196109301986011001
iv
PERNYATAAN
Nama : Aditya Widyatmoko
NIM : E0005061
Menyatakan dengtan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
KOMPARASI ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA ISLAM DAN
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) adalah betul-betul
karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini
diberi citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari
terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi
akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya
peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta,.. Maret 2010
Yang membuat pernyataan
Aditya Widyatmoko
NIM. E0005061
v
ABSTRAK Aditya Widyatmoko, E. 0005061. 2010. KOMPARASI ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengertian asas legalitas dalam hukum pidana Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan persamaan maupun perbedaannya.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui studi kepustakaan baik berupa buku-buku, dokumen, dan jurnal yang tersedia di lokasi penelitian serta pengumpulan data melalui cyber media. Dalam penelitian ini menggunakan analisis data dengan mempergunakan analisis kualitatif, dengan metode penalaran deduksi.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan beberapa simpulan, yaitu asas legalitas hukum pidana Islam dalam surat Al-Israa’ (17) ayat 15 dan surat Al-An’aam (6) ayat 19 mempunyai pengartian nash-nash pidana Islam baru berlaku setelah dibuat dan diketahui orang banyak yang sudah dapat dibebani kewajiban dan hak dalam hukum yang disebut subjek hukum (mukallaf), dan tidak berlaku terhadap peristiwa-peristiwa sebelum nash-nash itu diketahui, dan dibuat, sedangkan asas legalitas dalam KUHP Pasal 1 Ayat (1) dari isinya terdapat dua isi utama yaitu tindak pidana harus dirumuskan dalam undang-undang hal ini menimbulkan konsekuensi hukum adat tidak berlaku tetapi pengecualian dengan diakuinya hukum pidana adat dalam Undang-Undang Nomor 1/Drt/ Tahun 1951 Pasal 5 Ayat (3) sub b, dan penggunaan penafsiran undang-undang secara analogi tidak boleh dan isi kedua yaitu undang-undang harus ada sebelum tindak pidana dilakukan hal ini menimbulkan konsekuensi undang-undang tidak boleh berlaku surut tetapi di Indonesia ada penyimpangan dalam Pasal 1 Ayat (2) KUHP atas dasar-dasar tersebut di Indonesia menganut asas legalitas tidak absolut, persamaan asas legalitas dalam hukum pidana Islam dengan KUHP adalah keduanya sama-sama memberikan keadilan dimana seseorang dihukum harus berdasarkan aturan hukum, juga memiliki konsekuensi prinsip non retroaktif/tidak berlaku surut, dalam prinsip non retroaktif ada pengecualian untuk asas legalitas dalam hukum pidana Islam dalam riwayat jarimah qadzaf dan jarimah hirabah sedangkan asas legalitas dalam KUHP terdapat dalam Pasal 1 Ayat (2) KUHP, perbedaan asas legalitas dalam hukum pidana Islam dengan KUHP yaitu dalam hukum pidana Islam mengakui sumber hukum tertulis maupun tidak tertulis, sedangkan dalam KUHP hanya mengakui sumber hukum tertulis, dalam hukum pidana Islam ada subyek hukum (mukallaf) sedang dalam KUHP tidak.
Kata Kunci : Asas Legalitas, Hukum Pidana Islam, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
vi
ABSTRACT
Aditya Widyatmoko, E.0005061. 2010. COMPARING LEGALITY PRINCIPLE IN ISLAMIC CRIMINAL LAW AND CRIMINAL LAW CODE (KUHP). Faculty of Law Sebelas Maret University. The purposes of this research are to find the meaning of legality principle in Islamic Criminal Law and criminal law code (KUHP) and it similarity or differences. This research is normative law research in prescriptive approach. The data is used in the form of secondary data. The source of secondary data includes primary law data, secondary law data, and tertiary law data. The techniques of collecting the data are using literary study in the form of books, documents, and journal which available in the location of the research and also using cyber media. The data analysis of this research is using qualitative analysis, deduction reasoning method. Based on the result of the research and discussion, the researcher gets the conclusions such as the legality principle of Islamic criminal law in Al-Israa’ (17) bible 15 and Al-An’am (6) bible 19 has the meaning nash-nash Islamic criminal newly occur after it is used and is known by peoples who can be burdened with obligation and right in law which is called law subject (mukallaf), and it doesn’t obtain to events before the nash-nash is known, and made one, whereas legality principle in criminal law code (KUHP) in section 1 in the first verse from the content we get two main contents such as doing an injustice has been formulated in statute so the customary law consequently is doesn’t obtain but exception for the customary criminal law which has been obtained in statue number 1/ Drt/ 1951 section 5 in the third verse sub b, and the unused of statue interpretation in analogical way and the second content is the statue has emerge before as doing an injustice is done and from this situation we hope that law consequently isn’t moving down but in Indonesia itself there is a deviation of section 1 in the second verse KUHP from that reasons Indonesia follow an absolutely legality principle, the similarity of legality principle in Islamic criminal law with criminal law code (KUHP) are both same to give justice, it’s mean that if people must deserving of punishment, it will according to law rule, and also have the consequently non retroaktif principle or isn’t moving down, in the non retroaktif principle there is exceptional for legality principle in Islamic Criminal Law in the story of jarimah qadzaf and jarimah hirabah but legality principle in Criminal Law Code (KUHP) in section 1 in the second verse KUHP, the differences of legality principle between Islamic Criminal Law and KUHP are in Islamic Criminal Law admitted the source of written law or unwritten law, but in KUHP only admitted the source of written law, in Islamic Criminal Law there is law subject (mukallaf) but don’t mention it in KUHP. Key word : Legality Principle, The Islamic Criminal Law, Criminal Law Code
(KUHP)
v
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih
dan Maha Penyayang atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) dengan judul : “Komparasi Asas
Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP)”. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi tugas akhir sebagai
syarat memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum
(skrpsi) ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan, baik materiil maupun moril
yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
dengan rendah hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya
kepada :
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan
kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan ilmu hukum melalui
penulisan skripsi.
2. Bapak Mohammad Adnan, S.H., M.Hum. selaku Ketua Bagian Humas yang
telah membantu dalam penunjukan dosen pembimbing skripsi dan juga selaku
Pembimbing Bagian Humas. Skripsi yang telah memberikan bimbingan,
arahan, dorongan, dan ilmu-ilmu kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini.
3. Bapak Ismunarno, S.H, M.Hum. selaku Ketua Bagian Pidana yang telah
membantu dalam penunjukan dosen pembimbing skripsi.
4. Ibu Subekti, S.H, M.H. selaku Pembimbing Bagian Pidana yang telah
memberikan bimbingan, arahan, dorongan, dan ilmu-ilmu kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini.
vi
viii
viii
5. Bapak Winarno Budiatmojo, S.H., M.S. selaku Pembimbing Akademik yang telah
banyak membantu penulis dalam menuntut ilmu dan menyelesaiakan kuliah di
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
6. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga
dapat dijadikan bekal dalam penulisan hukum (skripsi) ini dan semoga dapat
penulis amalkan untuk kedepannya.
7. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) yang telah membantu dalam mengurus
prosedur-prosedur skripsi mulai dari pengajuan judul skripsi, pelaksanaan seminar
proposal sampai dengan pendaftaran ujian skripsi.
8. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
atas bantuannya kepada penulis dalam mencari bahan-bahan referensi untuk
penulisan hukum ini.
9. Ibu, Bapak di rumah dan Adik perempuanku, terima kasih atas segalanya.
10. Kawan-kawan angkatan 2005 FH, dimana kita saling memberi dukungan,
motivasi, seperti energi tambahan sehingga membuat terasa lebih ringan dalam
menyusun skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini terdapat banyak kekurangan,
untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun,
sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga karya tulis ini mampu
memberikan manfaat bagi penulis maupun para pembaca.
Surakarta, ... Maret 2010
Penulis
vii
ix
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN..................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................... vi
DAFTAR ISI .............................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................... .. 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................. .. 1
B. Perumusan Masalah ......................................................... . 4
C. Tujuan Penelitian............................................................. .. 4
D. Manfaat Penelitian .......................................................... . 4
E. Metode Penelitian ............................................................ . 5
F. Sistematika Penulisan Hukum .......................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................11
A. Kerangka Teori...................................................................11
1 Tinjauan Tentang Hukum Pidana Islam..........................11
a. Pengertian Hukum Islam ....................................... 11
b. Aspek-aspek Hukum Islam .................................... 12
c. Ciri-ciri Hukum Islam ........................................... 14
d. Pengertian Hukum Pidana Islam ............................ 15
e. Asas-asas Hukum Pidana Islam ............................. 16
f. Sumber Hukum Pidana Islam ................................ 20
g. Jenis Hukuman Pidana Islam ................................. 24
viii
x
x
2. Tinjauan Terhadap Hukum Pidana Indonesia ............... 25
a. Pengertian Hukum Pidana .................................... 25
b. Sumber-sumber Hukum Pidana di Indonesia ........ 26
3. Tinjauan Terhadap Asas Legalitas ................................ 27
a. Pengertian asas legalitas .......................................... 27
b. Sejarah asas legalitas ............................................... 29
c. Pembagian asas legalitas ......................................... 31
B. Kerangka Pemikiran ...................................................... .. 33
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................... 35
A. Pengertian asas legalitas dalam hukum pidana Islam
dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ...... 35
1. Pengertian asas legalitas dalam hukum pidana
Islam ..................................................................... 35
2. Pengertian asas legalitas dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP). ........................... 42
B. Persamaan dan perbedaan asas legalitas dalam hukum
BAB IV PENUTUP .......................................................................... 53
A. Simpulan ...................................................................... 53
B. Saran.. .......................................................................... 55
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 56
LAMPIRAN
ix
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam hukum Romawi kuno yang menggunakan bahasa Latin, tidak
dikenal apa yang disebut asas legalitas. Pada saat itu dikenal kejahatan yang
disebut criminal extra ordinaria, yang berarti ‘kejahatan-kejahatan yang tidak
disebut dalam undang-undang’. Di antara criminal extra ordinaria ini yang
terkenal adalah crimina stellionatus (perbuatan durjana/jahat). Dalam sejarahnya,
criminal extra ordinaria ini diadopsi raja-raja yang berkuasa. Sehingga terbuka
peluang yang sangat lebar untuk menerapkannya secara sewenang-wenang dalam
menjatuhkan hukuman. Oleh karena itu, timbul pemikiran tentang harus
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan terlebih dahulu perbuatan-
perbuatan apa saja yang dapat dipidana. Dari sini timbul batasan-batasan kepada
negara untuk menerapkan hukum pidana.
Asas legalitas diciptakan oleh Paul Johan Anslem von Feuerbach (1775-
1833), seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehbruch des penlichen
rehct pada tahu 1801 (Andi Hamzah, 2008 : 40). Dimana sejarah asas legalitas
pertama dikenal pada abad 18, yaitu sesudah revolusi perancis tahun (1789),
sebelumnya hakim-hakim mempunyai kekuasaan besar dalam kewenangan
memutuskan hukuman (Moelyatno, 2002 : 7). Asas legalitas dalam bahasa latin :
Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, yang artinya “Tidak ada
delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya” (Andi Hamzah,
2008 : 39). jadi dapat diketahui asas legalitas tersebut untuk melindugi individu dari
kesewenang-wenangan dalam hukuman yang dijatuhkan oleh hakim maupun dari
penguasa, hal ini dapat dilihat juga dalam situasi dan kondisinya lahirnya asas
legalitas tersebut karena aliran klasik.
2
2
Aliran klasik dalam hukum pidana berpijak pada tiga tiang, Pertama, asas legalitas yang menyatakan bahwa tidak ada pidana tanpa undang-undang, dan tidak ada penuntutan tanpa undang-undang. Kedua, asas kesalahan orang dipidana untuk tindak pidana karena kesalahan semata. Ketiga adalah alasan pembalasan dimana suatu perbuatan akan dibalas sama dengan perbuatannya (Eddy, 2009 : 11). Asas legalitas lebih awal sudah dikenal karena adanya sama dengan
diwahyukan agama Islam kepada Rasulullah SAW, pada hukum pidana Islam/Jinayat
sejak Al Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang di dalamnya tersurat
dalam beberapa surat dalam Al Quran salah satunya surat al-Isra’ ayat 15 artinya :
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami (Allah) tidak akan meng’azab sebelum kami mengutus seorang Rasul” (Departemen Agama RI, 2002 : 386).
Menurut ayat tersebut di atas, sebelum Allah mengutus seorang Rasul yang
menjelaskan tentang perintah dan larangan yaitu hukum dari Allah SWT, maka Allah
tidak akan menghukum hamba-Nya yang melakukan suatu perbuatan. Dengan kata
lain, sebelum ada ketentuan yang melarang suatu perbuatan, maka perbuatan tersebut
tidak dipandang sebagai perbuatan pidana, dan dengan demikian pelakunya tidak
mendapat hukuman. Hal tersebut sesuai dengan asas legalitas yang dianut hukum
positif di Indonesia, tetapi dalam asas legalitas yang ditunjukkan, ayat tersebut
berpegang dengan jelas pada Rasul dalam menentukan hukum dari Allah SWT untuk
keselamatan dunia dan akhirat dan memiliki pengertian tertentu oleh para Fuqoha
(ahli hukum Islam). Rasul sendiri yang menjelaskan dan memberi tahu Al Quran
yang meliputi segala aspek yaitu agama Islam, Hukum Islam yang di dalamnya
mencakup hukum pidana Islam, pada akhirnya Rasul meninggalkan Al Quran dan Al
hadis.
Asas legalitas secara tertulis juga terdapat dapat KUHP Pasal 1 Ayat (1)
yang berbunyi : “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan
3
3
ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya” (Pasal 1 Ayat (1)
KUHP). Dimana asas legalitas sebagai prinsip mengenai ketentuan hukum pidana
yang ada di Indonesia, asas legalitas tersebut berasal dari peninggalan penjajah
Belanda yang merupakan bagian negara Eropa yang menggunakan sistem hukum
Eropa Kontinental (civil law), menghendaki suatu hukum pidana harus diatur dalam
perundang-undangan tetapi di Indonesia yang masih terdiri bermacam-macam suku
sehingga hukum adat pasti ada sehingga dibentuk UU Nomor 1/Drt/ Tahun 1951
Pasal 5 Ayat (3) sub b, yang mengakui hukum adat yang biasanya tidak tertulis, hal
mengenai pengakuan hukum tidak tertulis dicerminkan juga oleh Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 Ayat (1) yang
berbunyi : “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali dan mengikuti dan
memehami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat” .
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa asas legalitas dalam hukum pidana
Islam lebih merujuk ke Rasul sebagai utusan Allah SWT yang memberikan
keterangan mana perbuatan yang dilarang dan diperbolehkan, dimana perbuatan
dilarang bila dilakukan yang melakukan akan memperoleh azab/hukuman, sedangkan
asas legalitas di Pasal 1 Ayat (1) KUHP lebih menekankan undang-undang dalam
mengatur perbuatan yang dapat dipidana jadi bila tidak dilarang oleh undang-undang
perbuatan tesebut tidak bisa dipidana dan undang-undang sendiri dibuat oleh
penguasa.
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang diuraikan diatas, maka penulis
ingin membandingkan antara asas legalitas dalam hukum pidana Islam dengan hukum
pidana Indonesia. Oleh karena itu penulis merumuskan judul dalam pembahasan
skripsi ini yakni : “KOMPARASI ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM
PIDANA ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
(KUHP).
4
4
B. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini rumusan masalah yang menjadi dasar dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengertian asas legalitas menurut hukum pidana Islam dan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)?
2. Bagaimanakah komparasi asas legalitas dalam hukum pidana Islam dan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)?
C. Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan penelitian pastilah mempunyai tujuan, dimana tujuan-tujuan
yang hendak dipakai penulis dalam penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui tentang pengertian asas legalitas yang terdapat dalam hukum
pidana Islam dan hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
b. Untuk mengetahui tentang persamaan dan perbedaan asas legalitas yang terdapat
dalam hukum pidana Islam dan Kitab undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
D. Manfaat Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan diharapkan akan memberikan manfaat
sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis
a. Memberikan dasar pedoman dan dasar bagi penelitian lebih lanjut.
b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan hukum
terutama hukum pidana Islam.
c. Memberikan sumbangan pemikiran dalam bidang hukum Islam.
5
5
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan masukan dan sumbangan pemikiran bagi masyarakat
mengenai asas legalitas dalam hukum pidana yang terdapat di
Indonesia sebagai negara hukum, dimana kebanyakan masyarakat
tidak atau kurang mengenai hal tersebut.
b. Memberikan masukan dan sumbangan pemikiran bagi masyarakat
umum terutama umat muslim mengenai asas legalitas dalam hukum
pidana Islam.
c. Untuk mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir yang
dinamis, sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam
menerapkan ilmu yang diperoleh.
E. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan
konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten (Soerjono
Soekanto, 1986: 42). Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk
mencapai tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang dihadapi.
Metode suatu cara atau jalan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan dengan
menggunakan alat-alat tertentu (Sutrisno Hadi, 1989: 4).
Dengan demikian metode penelitian adalah cara yang digunakan untuk
menganalisis secara sistematis suatu kebenaran maupun ketidakbenaran dari
pengetahuan, gejala, atau hipotesis.
6
6
Penulis menggunakan metode penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Jenis Penelitian
Penelitan ini dimana mengacu pada judul dan rumusan masalah,
maka penelitian ini termasuk ke dalam penelitian normatif atau penelitian
doktrinal. Penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang perhubungan dengan judul
yaitu Komparasi Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Islam dan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bahan-bahan hukum tersebut
kemudian disusun secara sistematis.
2. Sifat Penelitian
Penelitian normatif/doktrinal ini bersifat preskriptif yang
pengertiannya sebagai berikut :
Sifat preskriptif adalah suatu ilmu yang mempelajari tujuan hukum, nila–nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep – konsep hukum dan norma–norma hukum. Langkah awal dari penelitian ini adalah perbincangan mengenai makna hukum dalam hidup bermasyarakat, dimana ilmu hukum bukan hanya menempatkan hukum sebagai suatu gejala sosial yang dipandang dari luar tetapi masuk ke dalam suatu yang essensial yaitu sisi intrinsik dari hukum (Peter Mahmud, 2006: 22).
3. Pendekatan Penelitian
Nilai ilmiah suatu pembahasan dan suatu pemecahan masalah
terhadap legal issue yang diteliti sangat tergantung kepada cara
7
7
pendekatan (approach) yang digunakan (Johnny Ibrahim, 2006: 299).
Pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah :
a. pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa
yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang
dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2007 : 94)
b. pendekatan perundang-undangan yaitu menelaah materi undang-
undang untuk menjawab masalah yang diangkat dalam penelitian ini.
4. Jenis Data
Jenis data yang dipergunakan penelitian ini adalah data sekunder.
Data sekunder mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-
hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan seterusnya yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti. Ciri-ciri umum dari data
sekunder, adalah (Soerjono Soekanto, 1986 : 12) :
a. Pada umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan
dapat dipergunakan dengan segera,
b. Baik bentuk maupun isi data sekunder, telah dibentuk dan diisi
oleh peneliti-peneliti terdahulu, sehingga peneliti kemudian,
tidak mempunyai pengawasan terhadap pengumpulan,
pengolahan, analisa maupun konstruksi data,
c. Tidak terbatas waktu maupun tempat.
5. Sumber data
Dalam penelitian ini sumber data sekunder yang digunakan adalah
sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer dalam penelitian ini antara lain :
1) Al Quran
2) Al Hadist
8
8
3) KUHP
4) Undang-Undang Nomor 1/Drt/ Tahun 1951
5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
b. Bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku teks karena buku
teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-
pandangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi
(Peter Mahmud Marzuki, 2007; 142). Selain buku teks yang meliputi
buku-buku hukum dalam penelitian ini masih meliputi data dari
internet.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus
bahasa Indonesia, kamus bahasa Arab, ensiklopedia.
6. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini yang jenisnya adalah penelitian normatif, maka
untuk memperoleh data yang mendukung kegiatan pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah dengan cara mengumpulkan data sekunder. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan.
Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan jalan
membaca, mencatat, mengkaji, serta mempelajari sumber-sumber tertulis.
Penulis mengumpulkan data dengan cara mempelajari perundang-undangan,
buku-buku, jurnal, data dari internet yang erat dengan permasalahan yang
diteliti.
9
9
7. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan langkah lanjutan untuk mengolah hasil
penelitian menjadi suatu laporan. Dalam penelitian ini penulis akan
menggunakan analisis data kualitatif, yaitu data yang berisikan sejumlah
penjelasan dan pemahaman mengenai isi dan kualitas isi dari gejala-gejala
social yang menjadi sasaran atau obyek penelitian (Burhan Ashshofa, 2001:
69).
Dalam analisis kualitatif ini, penulis mempergunakan penalaran
deduksi dimana penyajian data dari bersifat umum kemudian ditarik
kesimpulan bersifat khusus.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika
penulisan hukum yang sesuai dengan aturan yang baru dalam penulisan hukum, maka
penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Sistematika penulisan hukum ini
terdiri dari empat bab yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian dimaksudkan
untuk mempermudah terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan
hukum ini terdiri dari :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian, dan sistematika dalam penulisan hukum.
10
10
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini berisi tentang, tinjauan terhadap hukum pidana Islam, tinjauan
terhadap hukum pidana Indonesia dan tinjauan terhadap asas legalitas.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang
telah tertuang dalam rumusan masalah dalam penelitian ini : pertama pengertian asas
legalitas menurut hukum pidana Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), kedua persamaan dan perbedaan asas legalitas dalam hukum pidana Islam
dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini berisi simpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi
obyek penelitian dan saran-saran dari penulis.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
11
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Hukum Pidana Islam
a. Pengertian Hukum Islam Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi
bagian dari agama Islam (Mohammad Daud Ali, 1990: 45), dari
pendapat Mohammad Daud Ali tersebut pengertian hukum Islam
masih sangat luas. Dalam kontek hukum Islam yang bermakna luas
tersebut juga terwakili dalam istilah hukum syariat islam, oleh DR.
Rifyal Ka’bah disebutkan bahwa syariat Islam mempunyai tiga
pengertian. Pertama, sebagai keseluruhan agama yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW. Kedua, keseluruhan nushush (teks-teks)
Quran dan Sunnah yang merupakan nilai-nilai hukum yang berasal
dari wahyu Allah. Ketiga, pemahaman para ahli terhadap hukum
yang berasal dari wahyu Allah dan hasil ijtihad yang berpedoman
kepada wahyu Allah (Ka’bah, 2004: 4).
Secara umum, maka pengertian hukum Islam adalah segala
hukum yang berasal dan bersumber dari sang pembuat hukum atau
syari (pembuat aturan) yaitu Allah SWT dan Nabi Muhammad
SAW. Sedangkan dalam pengertian syariat islam yang ketiga, dapat
disimpulkan bahwa pengertian tersebut adalah pengertian syariat
Islam secara sempit yang berarti pemahaman fiqh oleh para ulama
fiqh (Ka’bah, 2004: 4). Syariat Islam merupakan aturan yang
berasal dari Al Quran Al hadis atau As Sunnah, sedangkan fiqh
adalah pemahaman ulama terhadap syariat Islam. Sehingga dalam
11
12
12
pengertian fiqh, maka telah lazim muncul istilah mazhab atau
kelompok seperti mazhab Syafi’I, mazhab Hambali dan seterusnya
(Ka’bah, 2004 : 43). Dalam pengertian hukum Islam dapat ditarik
suatu tujuan yaitu untuk melindungi akal, agama, jiwa, keturunan
dan harta benda karena pembuat hukum dari Allah SWT sebagai
Tuhan yang menciptakan manusia dengan kesempurnaan
(Muhammad Daud Ali, 54 : 1999).
b. Aspek-aspek Hukum Islam
Konsep hukum antara hukum dalam Islam berbeda dengan
hukum lainnya. Hukum dalam Islam tidak hanya mengatur
hubungan antara manusia dengan manusia lain dan benda dalam
masyarakat (Hukum Muamalat), seperti yang diatur dalam Hukum
Barat. Namun, hukum dalam Islam juga mengatur hubungan antara
manusia dengan Allah SWT (Hukum Ibadat) yang tidak diatur
dalam hukum lainnya.
Mushthafa Ahmad Az-Zarqa, membagi aspek-aspek hukum
Islam dalam tujuh kelompok, yaitu:
1) Hukum Ibadat. Hukum-hukum yang berhubungan
dengan peribadatan kepada Allah, seperti: shalat, puasa,
haji, bersuci dari hadas, dan sebagainya.
2) Hukum Keluarga (Al-Ahwal Asy-Syakhshiyah). Hukum-
hukum yang berhubungan dengan tata kehidupan
keluarga, seperti: perkawinan, perceraian, hubungan
keturunan, nafkah keluarga, kewajiban anak terhadap
orang tua, dan sebagainya.
3) Hukum Muamalat (dalam arti sempit, pen.). Hukum-
hukum yang berhubungan dengan pergaulan hidup
13
13
dalam masyarakat mengenai kebendaan dan hak-hak
serta penyelesaian persengketaan-persengketaan, seperti:
4) Hukum Tata Negara dan Tata Pemerintahan (Al-Ahkam
As-Sulthaniyah atau As-Siyasah Asy-Syar’iyah). Hukum-
hukum yang berhubungan dengan tata kehidupan
bernegara, seperti: hubungan penguasa dengan rakyat,
pengangkatan kepala negara, hak dan kewajiban
penguasa dan rakyat timbal balik, dan sebagainya.
5) Hukum Pidana (Al-Jinayat). Hukum-hukum yang
berhubungan dengan kepidanaan, seperti: macam-macam
perbuatan pidana dan ancaman pidana.
6) Hukum Antarnegara (As-Siyar). Hukum-hukum yang
mengatur hubungan antara negara Islam dengan negara-
negara lain, yang terdiri dari aturan-aturan hubungan
pada waktu damai dan pada waktu perang.
7) Hukum Sopan Santun (Al-Adab). Hukum-hukum yang
berhubungan dengan budi pekerti, kepatutan, nilai baik,
dan buruk, seperti: mengeratkan hubungan persaudaraan,
makan minum dengan tangan kanan, mendamaikan
orang yang berselisih, dan sebagainya (Gemala Dewi
dkk, 2006 : 27).
14
14
c. Ciri-ciri Hukum Islam
Ciri-ciri hukum Islam menurut Zainuddin dalam bukunya
Hukum Pidana Islam meliputi :
1) Hukum Islam adalah bagian dan bersumber dari ajaran
agama Islam.
2) Hukum Islam mempunyai hubungan yang erat dan tidak
dapat dicerai-pisahkan dengan iman dan kesusilaan atau
akhlak Islam.
3) Hukum Islam mempunyai istilah kunci, yaitu (a) syariah,
dan (b) fikih. Syariah bersumber dari wahyu Allah dan
sunnah Nabi Muhammad saw. Dan fikih adalah hasil
pemahaman manusia bersumber nash-nash yang bersifat
umum.
4) Hukum Islam terdiri atas dua bidang utama, yaitu (1)
hukum ibadah, dan (2) hukum muamalah dalam arti yang
luas. Hukum ibadah bersifat tertutup karena telah
sempurna dan hukum muamalah dalam arti luas telah
terbuka untuk dikembangkan oleh manusia yang
memenuhi syarat untuk itu dari masa ke masa.
5) Hukum Islam mempunyai struktur yang berlapis-lapis
seperti dalam bentuk bagan tangga bertingkat. Dalil
Alquran yang menjadi hukum dasar dan mendasari
sunnah Nabi Muhammad SAW, dan lapisan-lapisan
seterusnya ke bawah.
6) Hukum Islam mendahulukan kewajiban dari hak, amal
dari pahala.
7) Hukum Islam dapat dibagi menjadi: (1) hukum taklifi
atau hukum taklif, yaitu Al-Ahkam Al-Khamsah yang
15
15
terdiri atas lima kaidah jenis hukum, lima penggolongan
hukum, yaitu jaiz, sunnah, makhruh, wajib dan haram,
dan (2) hukum wadh’I, yaitu hukum yang mengandung
sebab, syarat, halangan terjadi atau terwujudnya
hubungan hukum (Zainuddin Ali, 2007 : 22-23).
Dari ciri-ciri hukum Islam diatas dapat ditarik satu
pengertian bahwa hukum Islam tidak lepas hubungan antara Allah
SWT dengan manusia dalam kehidupan sehari-hari.
d. Pengertian Hukum Pidana Islam
Dalam Islam, hukum pidana disebut “jinayat” sedangkan
dalam perbuatan-perbuatan pidana disebut “jarimah”. Jinayat
menurut bahasa Arab adalah bentuk kata jamak jinayah, yang
artinya kesalahan, dosa, kriminil atau perbuatan dosa, dan yang
memperbuat disebut Jani (Mahmud Yunus, 1973: 92).
Sedangkan kata jarimah adalah bentuk kata jamak, yang
mufrad-nya adalah Jurmun dari kalimat isim, jarama dari kalimat
fi’il, yang artinya, berbuat dosa, durhaka (Mahmud Yunus, 1973:
87). Untuk lebih jelas Zainudin Ali mendefinisikan hukum pidana
Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah. Fiqh Jinayah
adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau
perbuatan criminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf
(orang yang dapat dibebani kewajiban dalam hukum), sebagai hasil
dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al-
Qur’an dan hadis. Tindakan kriminal dimaksud, adalah tindakan-
tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta
16
16
tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang bersumber
dari Al-Qur’an dan hadis (Zainuddin Ali, 2007 : 1).
Jadi hukum pidana Islam adalah peraturan hukum mengenai
perbuatan pidana yang melawan peraturan yang terdapat dalam
nash-nash Al Quran dan hadis. Dalam hukum pidana Islam
hukuman ada dua yaitu dunia dan akhirat salah satunya di dalam Al
Quran dan al hadis hukuman zina adalah cambuk atau rajam hal
tersebut dapat dijatuhkan di dunia sedangkan di akhirat melalui
perhitungan dosa karena zina dapat menyebabkan dosa.
Dalam penerapan hukum pidana Islam harus memenuhi
unsur-unsurnya agar dapat diterapkan meliputi :
1) Unsur formil adalah setiap perbuatan tidak dianggap
melawan hukum dan pelakunya tidak dapat dipidana
kecuali ada undang-undang mengaturnya.
2) Unsur materiel adalah adanya tingkah laku seseorang
yang membentuk jarimah, baik dengan sikap perbuatan
maupun sikap tidak berbuat.
3) Unsur moril adalah pelaku jarimah adalah orang yang
dimintai pertanggung jawaban pidana terhadap yang
dilakukannya. Dimana orang yang dapat dimintai
pertanggungjawaban harus memenuhi syarat sebagai
mukallaf (Amad Wardi Muslich, 2006 : 28).
e. Asas-asas Hukum Pidana Islam
Dalam hukum pidana Islam terdapat asas-asasnya yang
merupakan prinsip untuk menguatkan suatu keterangan. Asas
hukum pidana, misalnya, adalah tolok ukur dalam pelaksanaan
17
17
hukum pidana (Mohammad Daud Ali, 1990 : 113).Asas-asas dalam
hukum pidana Islam meliputi :
1) Asas Legalitas
Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa
tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada
undang-undang yang mengaturnya. Asas ini berdasarkan Al-
Qur’an Surah Al-Israa’ (17) ayat 15 dan Surah Al-An’aam (6)
ayat 19. hal itu diungkapkan sebagai berikut, yang artinya:
Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barang siapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul” (Departemen Agama RI, 2002 : 386). Katakanlah: (Muhammad) “Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?” katakanlah: “Allah. Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan yang lain disamping Allah?” Katakanlah: “Aku tidak mengakui”. Katakanlah: “Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)” (Departemen Agama RI, 2002 : 174). Kedua ayat yang diungkapkan dia atas, mengandung
makna bahwa Al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada Nabi
Muhammad supaya menjadi peringatan (dalam bentuk aturan
dan ancaman hukuman) kepadamu. Asas legalitas ini telah ada
18
18
dalam hukum Islam sejak Al-Qur’an diturunkan oleh Allah
SWT kepada Nabi Muhammad SAW (Zainuddin Ali, 2007 : 5-
6).
Dalam Hukum Pidana Islam terdapat dua ayat yang
menunjukkan asas legalitas, dalam surat Al Israa’. ayat 15 yang
menunjukkan asas legalitas dapat diambil intinya yaitu : “Kami
tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”
Dari ayat-ayat Al Quran yang menunjukkan asas
legalitas di atas para Fuqoha yaitu para ahli hukum Islam,
menjabarkan beberapa kaidah-kaidah fiqhiyyah yang
diantaranya :
a) Hukum asal dari segala perbuatan adalah
diperbolehkan hingga ada suatu dalil yang
membedakannya. Maksud kaidah diatas ialah,
bahwa pada dasarnya setiap perbuatan itu boleh atau
bebas untuk dilakukan dan pelakunya tidak dimintai
pertanggungjawaban, sehingga ada atau lahir suatu
aturan hukum yang menentukan lain
(larangan/mengharuskan).
b) Perbuatan orang berakal tidak ada hukum apapun
terhadapnya sebelum ada nash (aturan) yang
menentukan terhadapnya ini mengandung arti,
bahwa setiap perbuatan mukallaf (yaitu orang yang
dapat dibebani suatu tanggung jawab hukum), tidak
dapat dituntut sebagai perbuatan pidana kecuali
sebelumnya sudah ada nash (aturan hukum) yang
19
19
menentukan perbuatan tersebut sehingga menjadi
perbuatan pidana.
c) Tidak ada suatu perbuatan boleh dianggap sebagai
jarimah (tindak pidana), dan tidak pula suatu
hukuman (pidana) yang boleh dijatuhkan kepada
pelakunya kecuali sebelum ada nash (aturan hukum)
yang menentukan demikian (Tongat, 2009 : 61).
Hukun pidana Islam, ketentuan hukum biasa disebut
dengan nash, yang mencakup hukum tertulis yaitu Al Quran,
Al Hadis, Al Qonun/perundang-undangan yang dibuat oleh
penguasa, dan termasuk hukum tidak tertulisyaitu prinsip
pokok yang disyariatkan yang bertujuan mencegah kerusakan
(Tongat, 2009 : 62).
2) Asas Larangan Memindahkan Kesalahan Kepada Orang Lain
Asas ini adalah asas yang menyatakan bahwa setiap perbuatan manusia, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang jahat akan mendapatkan imbalan yang setimpal. Asas ini terdapat di dalam berbagai surah dan ayat di dalam Al-Qur’an: Aurat Al-An’aam ayat 165. Surah Al Faathir ayat 18 Surah Az-Zumar ayat 7, Surat An-Najm ayat 38, Surah Al-Muddatstsir ayat 38. sebagai contoh pada ayat 38 Surah Al-Muddatstsir Allah menyatakan bahwa setiap orang terikat kepada apa yang dia kerjakan, dan setiap orang tidak akan memikul dosa atau kesalahan yang dibuat oleh orang lain (Zainuddin Ali, 2007 : 6).
3) Asas Praduga Tak Bersalah
Asas praduga tak bersalah adalah asas yang mendasari bahwa seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim
20
20
dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahannya itu. Asas ini diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi sumber asas legalitas dan asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain yang telah disebutkan (Zainuddin Ali, 2007: 7).
f. Sumber Hukum Pidana Islam
Sumber hukum ialah segala apa saja yang menimbulkan
aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa,
yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi
yang tegas dan nyata (C.S.T. Kansil, 1989: 46). Zainuddin Ali
menyebutkan membicarakan sumber hukum pidana Islam bertujuan
untuk memahami ajaran agama Islam yang dijadikan petunjuk
kehidupan manusia yang harus ditaatinya (Zainuddin Ali, 2007: 15).
Jadi sumber hukum pidana Islam sama dengan sumber hukum Islam
yang meliputi :
1) Al Quran
Al Quran adalah wahyu dari Allah SW'I', yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantaraan
malaikat Jibril AS. Secara garis besar hukum dalam Al Quran
dibagi menjadi dua macam, yaitu pertama mengenai hukum-
hukum yang berhubungan dengan kepercayaan dan peribadatan
kepada Allah SWT (Ibadah). Kedua mengenai hukum yang
berhubungan, masyarakat dan hubungan antar sesama
masyarakat/perdata (muamalah) (70 ayat), seperti pidana
(jinayat) (30 ayat), tata negara (10 ayat), hubungan
kekeluargaan (Muhammad Daud Ali, 1999 : 80) .
21
21
Segala sesuatu baik yang telah terjadi maupun yang
belum terjadi sudah ada hukumnya dalam Al Quran, sesuai
dengan firman Allah dalam Al Quran surat Al-An ‘am ayat 38
yang artinya : “Tidak ada sesuatu pun yang kami luputkan di
dalam Kitab…” (Departemen Agama RI, 2002 : 177)
Dalam surat An Nahl ayat 89 juga dijelaskan, yang
artinya: “(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan
pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka
sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi
atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al
Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri (muslim)” (Departemen Agama RI, 2002 :
377)
2) Hadist
Sunnah atau hadist ialah ucapan (sunnah qauliyah),
perbuatan (sunnah fi’liyah) atau penetapan (sunnah taqririyah)
dari Nabi Muhammad SAW (Ahmad Hanafi, 1970: 58). Hadist
merupakan sumber hukum Islam kedua setelah A1 Quran.
Adapun fungsinya adalah sebagai berikut :
a) Menguatkan hukum yang telah disebutkan dalam Al
Quran.
b) Menafsirkan ketentuan-ketentuan Al Quran yang
belum jelas.
c) Menetapkan hukum yang belum ada dalam Al
Quran.
22
22
Kedudukan Sunnah atau Hadist sebagai sumber ajaran
Islam selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat Al Quran
dan Hadist juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para
sahabat, yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan
tentang wajib mengikuti Hadist, baik pada masa Rasulullah
masih hidup maupun setelah beliau meninggal (Abuddin Nata,
2001 : 72).
Allah SWT telah mewajibkan kaum muslimin untuk
mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, seperti yang
dijelaskan dalam Al Quran, yang artinya “Hai orang-orang
yang beriman taatilah Allah, taatilah Rasul, dan taatilah
penguasa dari kamu. Jika kamu berselisih mengenai sesuatu
maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul” (Departemen
Agama RI, 2002 : 114)
3) Ar-Ra’yu
Ar-Ra’yu atau penalaran adalah sumber ajaran Islam
yang ketiga. Penggunaan akal (penalaran) manusia dalam
menginterpretasi ayat-ayat Al Quran dan sunnah/hadis yang
bersifat umum (Zainuddin Ali, 2007 : 16), dimana akal pikir
tersebut harus memenuhi syarat untuk berijtihad, dimana
metode ijtihad meliputi ijmak, qiyas, istidal, al-masalih al
mursalah, istihsan, istihab, dan urf (Mohammad Daud Ali,
1999 : 72), keterangannya sebagai berikut :
23
23
a) Ijma
Ijma’ adalah kebulatan pendapat fuqaha mujtahidin pada
suatu masa atas sesuatu hukum sesudah masa Nabi
Muhammad saw.
b) Qiyas
Qiyas adalah mempersamakan hukum suatu perkara yang
belum ada ketetapan hukumnya dengan suatu perkara yang
sudah ada ketentuan hukumnya. Persamaan ketentuan
hukum dimaksud didasari oleh adanya unsur-unsur
kesamaan yang sudah ada ketetapan hukumnya dengan
yang belum ada ketetapan hukumnya yang disebut illat.
c) Istihsan
Istihsan adalah mengecualikan hukum suatu peristiwa dari
hukum peristiwa-peristiwa lain yang sejenisnya dan
memberikan kepadanya hukum yang lain yang sejenisnya.
Pengecualian dimaksud dilakukan karena ada dasar yang
kuat. Sebagai contoh, wanita itu sejak dari kepalanya
sampai kakinya aurat. Kemudian diberikan oleh Allah dan
Rasul keizinan kepada manusia melihat beberapa bagian
badannya bila dianggap perlu.
d) Mashlahat Mursalah
Mashlahat Mursalah ialah penetapan hukum berdasarkan
kemaslahatan (kebaikan, kepentingan) yang tidak ada
ketentuannya dari syara’ baik ketentuan umum maupun
ketentuan khusus. Sebagai contoh mendahulukan
kepentingan umum dari kepentingan pribadi dan golongan.
24
24
e) Urf
Urf adalah kebiasaan yang sudah turun-temurun tetapi
tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebagai contoh
jual beli dengan jalan serah terima, tanpa mengucapkan
ijab-qabul (Zainuddin Ali, 2007 : 16-17).
f) Istishab
Istishab adalah menetapkan hukum sesuatu hal menurut
keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang
mengubahnya. Atau dengan perkataan lain dapat dikatakan
istisab adalah melangsungkan berlakunya hukum yang
telah ada karena belum ada ketentuan lain yang
membatalkannya
g) Istidal (baca:istidal)
Istidal adalah menarik kesimpulan dari dua hal yang
berlainan. Misalnya menarik kesimpulan dari adat istiadat
dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam
(Muhammad Daud Ali, 1999 : 110)
g. Jenis Hukuman Pidana Islam
Jenis hukuman yang menyangkut tindak pidana kriminal dalam hukum pidana Islam terbagi atas dua bagian, yaitu (a) ketentuan hukum yang pasti mengenai berat ringannya hukuman termasuk qishash dan diat yang tercantum di dalam Al-Qur’an dan hadis. Hal dimaksud disebut hudud, (b) ketentuan hukuman yang dibuat oleh hakim melalui putusannya yang disebut hukuman ta’zir. Hukum public dalam ajaran Islam adalah jinayah yang memuat aturan mengenai perbuatan yang diancam dengan hukumannya ditentukan oleh penguasa (hakim) sebagai pelajaran kepada pelakunya (Zainuddin Ali, 2007: 11).
25
25
2. Tinjauan Terhadap Hukum Pidana Indonesia
a. Pengertian Hukum Pidana
Dalam hukum pidana di Indonesia tidak terlepas dari
pemikiran barat sesuai sejarahnya yang pernah dijajah oleh bangsa
barat seperti Belanda. Hukum pidana (pidana = hukuman), yaitu
hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan
memberikan pidana kepada siapa yang melanggarnya serta
mengatur bagaimana cara-cara mengajukan perkara-perkara ke
muka pengadilan (C.S.T. Kansil, 1989 : 76).
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang
pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan
umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan
suatu penderitaan atau siksaan (www.studihukum.com).
Selanjutnya pengertian hukum pidana dari para sarjana
dimana berbeda-beda. Berikut ini beberapa pendapat para sarjana
mengenai hukum pidana :
1) Lemaire
Hukum Pidana adalah bahwa hukum pidana terdiri dari
norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan
larangan-larangan yang dikaitkan dengan suatu sanksi
berupa hukuman yakni penderitaan yang bersifat khusus
(Lamintang, 1997 : 2).
26
26
2) Moljatno
Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :
a) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.
b) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
c) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar tersebut (Moeljatno, 2000 : 1).
Jadi pengertian hukum pidana adalah keseluruhan hukum yang
mengatur tindak pidana yang diancam sanksi pidana bagi yang
melakukannya dan mengatur tata cara seseorang dapat dijatuhi
pidana.
b. Sumber-sumber Hukum Pidana di Indonesia
Sumber hukum pidana di Indonesia terdiri dua macam
bentuknya, dimana dalam sumber hukum tersebut ditemukan aturan
hukum pidana yaitu :
1) Hukum pidana tertulis, hukum pidana tertulis ini adalah :
a) KUHP yang merupakan induk peraturan hukum pidana
positif yang dikodifikasi,
b) Undang-undang diluar KUHP yang memuat sanksi
pidana, antara lain Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana
27
27
Korupsi, UU No. 15 Tahun 2002 jo. UU No. 25 Tahun
2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
2) hukum pidana tidak tertulis, yang dimaksud hukum pidana
tidak tertulis ini adalah hukum pidana adat yang merupakan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Bahwa dalam
masyarakat tidak dapat dipungkiri adanya suatu aturan yang
ditaati oleh masyarakat tertentu dalam bentuk aturan yang
tidak tertulis. Hukum tidak tertulis itu juga harus dijadikan
dasar patut tidaknya suatu perbuatan patut dipidana atau
tidak, hal ini dikuatkan dengan adanya Undang-Undang
Nomor 1/Drt/ Tahun 1951 Pasal 5 Ayat (3) sub b, yang pada
pokoknya hukum yang hidup dalam masyarakat dapat
dijadikan hakim untuk mengambil putusan, selanjutnya
dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 5 Ayat
(1) juga menyatakan : hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
3. Tinjauan Terhadap Asas Legalitas
a. Pengertian asas legalitas
Dalam asas legalitas terdapat hal-hal penting yang tidak
lepas dari pengertian asas legalitas yang dapat diuraikan secara garis
besar sebagai berikut :
In countries that adopt the principle of individualistic schools oflegality ismaintained, whereas in the socialist principle of stateThis lot is no longer the Soviet adopted a clearsince 1926.This is in accordance with the tradition of civil law systems, thatThere are four aspects of the legality principle is strictly applied, namelylegislation (law), retroaktivitas (retroactivity),lex chert, and analogies. Regarding this fourth aspect, Roelof HHaveman said that
28
28
though it might be said that not everyaspect is that strong on its own, the combination of the four aspects gives amore true meaning to principle of legality (Hogo Cecares, 2008 : 5). Secara garis besar artinya adalah di negara-negara yang
menganut faham individualistis asas legalitas ini dipertahankan,
sedangkan di negara yang sosialis asas ini banyak yang tidak dianut
lagi seperti Soviet yang menghapus sejak tahun 1926. Hal demikian
sesuai dengan tradisi sistem civil law, bahwa ada empat aspek
asas legalitas yang diterapkan secara ketat, yaitu peraturan
dan analogi. Mengenai keempat aspek ini, Roelof HHaveman
menyatakan bahwa meskipun bisa dikatakan bahwa tidak setiap
Aspek ini yang kuat dengan sendirinya, kombinasi dari empat aspek
memberikan makna lebih benar prinsip legalitas.
Asas legalitas secara jelas dapat diketahui di dalam Pasal 1
Ayat (1) KUHP yang berbunyi : “Suatu perbuatan tidak dapat
dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-
undangan pidana yang telah ada sebelumnya”.
Dari bunyi di atas dapat diketahui isi utama dalam asas
legalitas yaitu tindak pidana harus dirumuskan dalam undang-
undang, dan undang-undang tersebut harus ada sebelum tindak
pidana dilakukan.
Dari isi di atas dapat diuraikan lagi bahwa makna asas
legalitas adalah perbuatan yang dapat dipidana hanya jika diatur
dalam perundang-undangan pidana dan undang-undang yang
dirumuskan secara terperinci dan cermat atau lex certa (Eddy, 2009
: 24-25).
29
29
b. Sejarah asas legalitas
Kemunculan asas legalitas dilatarbelakangi sejarah yang
sangat panjang di mulai dari zaman Romawi kuno yang dapat
dijelaskan sebagai berikut :
In ancient Roman law that uses the Latin, is not known what thecalled the principle of legality. At the time the crime known criminal called extra ordinaria, which means 'the crimes that are not mentioned in the law'. In between criminal extra ordinaria this is the famous crimina stellionatus(deed wicked / evil).Historically, this criminal extra ordinaria kings adopted the ruling. Soopen a very wide opportunity to apply it arbitrarily. Bytherefore, the thought of must be specified in regulationsfirst invitation deeds what could be nvicted. From hereconstraints arise for states to apply criminal law (Elsam, 2005 : 2). Secara garis besar artinya adalah dalam hukum Romawi
kuno yang menggunakan bahasa Latin, tidak dikenal apa yang
disebut asas legalitas. Pada saat itu dikenal kejahatan yang
disebut criminal extra ordinaria, yang berarti ‘kejahatan-kejahatan
yang tidak disebut dalam undang-undang’. Di antara criminal extra
ordinaria ini yang terkenal adalah crimina stellionatusn
(perbuatan durjana/jahat). Dalam sejarahnya, criminal extra
ordinaria ini diadopsi raja-raja yang berkuasa. Sehingga terbuka
peluang yang sangat lebar untuk menerapkannya secara
sewenang-wenang. Oleh karena itu, timbul pemikiran tentang
harus ditentukan dalam peraturan perundang-undangan terlebih
dahulu perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana. Dari
sini timbul batasan-batasan kepada negara untuk menerapkan
hukum pidana.
30
30
Sehingga pada Tahun 1791 yaitu setelah adanya revolusi
Perancis dibentuklah suatu Code Penal yang dalam Code Penal
inilah yang menurut para ahli hukum pidana dianggap sebagai
embrio dari asas legalitas dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP, kemudian
pada tahun 1810 seorang penulis berkebangsaan Inggris yang
bernama Bentham dengan pemikirannya yang dituangkan dalam
suatu tulisan sangat mempengaruhi pembentuk Code Penal
sehingga terbentuk suatu Code Penal baru, dan karena sejarahnya
bangsa Perancis pernah menjajah bangsa Belanda maka pada tahun
1881 Wetboek van Strafrecht Belanda terbentuk tanpa sesuatu
komentar apapun Pasal 4 Code Penal telah dijadikan suatu
ketentuan dalam Wetboek van Strafrecht dikarenakan Belanda
pernah menjajah Indonesia secara otomatis ketentuan dari Belanda
diberlakukan di Indonesia, maka Pasal 4 Code Penal dikenal di
Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP.
Ditinjau dari sejarah kelahirannya ketentuan dalam Pasal 1
Ayat (1) KUHP mempunyai hubungan yang erat dengan usaha
manusia untuk mendapatkan suatu kepastian hukum dengan kata
lain pencantuman asas legalitas dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP
bertujuan mencegah kesewenang-wenangan penguasa yang dapat
merugikan individu maupun masyarakat.
Menurut Lamintang asas legalitas ini yang dalam rumusan
bahasa latin yaitu nullum delictum noela poena sine praevia lege
poenali yang diciptakan oleh Paul Johan Anselm von Feuerbach
(Lamintang, 1997 : 132). Rumusan asas legalitas yang dibuat oleh
von Feuerbach dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dalam
31
31
ajarannya pemaksaan secara psikologis beliau memuat tiga
ketentuan yaitu :
a. Nulla puna sine lege, yang bermakna bahwa penjatuhan
hukuman harus didasarkan pada undang-undang.
b. Nulla Poena Sine Crimine, yang artinya bahwa suatu
penjatuhan hukuman hanyalah dapat dilakukan, apabila
perbuatan yang bersangkutan telah diancam dengan suatu
hukuman oleh undang-undang.
c. Nullum Crimen Sine Poena Legali, yang artinya bahwa
perbutan yang telah diancam dengan hukuman oleh undang-
undang itu apabila dilanggar dapat berakibat dijatuhkannya
hukuman seperti yang diancamkan undang-undang terhadap
pelanggarnya (Lamintang, 1997 : 133-134).
Dengan demikian pendapat von Feuerbach mengenai asas legalitas
dapat disimpulkan yaitu seseorang tidak dapat dihukum karena suatu
perbuatan kecuali atas suatu undang-undang yang telah berlaku sebelum
perbuatan itu dilakukan.
c. Pembagian asas legalitas
Ada dua macam prinsip/asas untuk patut tidaknya seseorang
dipidana hal ini terkait dengan adanya hukum tertulis dan hukum tidak
tertulis, prinsip/asas tersebut adalah :
1) Asas legalitas formal yang sudah dirumuskan secara
eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP. Asas ini
menggariskan, bahwa dasar untuk menentukan patut
tidaknya suatu perbuatan dianggap melawan hukum atau
perbuatan pidana, sehingga karenanya pelakunya dapat
32
32
dipidana adalah ketentuan dalam UU yang sudah ada
sebelum perbuatan itu dilakukan.
2) Asas legalitas material, prinsip ini tidak dirumuskan secara
formal dalam KUHP, tetapi prinsip ini dipegang teguh oleh
masyarakat. Asas legalitas ini menggariskan bahwa untuk
menentukan patut tidaknya suatu perbuatan bersifat
melawan hukum atau perbuatan pidana adalah nilai-nilai
dalam bermasyarakat (Tongat, 2009 : 51).
33
33
B. Kerangka Pemikiran
Komparasi Asas Legalitas
Hukum Pidana Islam KUHP Pasal 1 Ayat (1)
Tersurat dalam Al Quran : Al Isra’ ayat 15, Al An’aam ayat 19
Al Quran
Al hadits
Ar ra’yu
t.p harus dirumuskan dalam
UU
Undang-undang harus ada sebelum
t.p dilakukan
UU tidak boleh berlaku surut
Hukum adat tidak berlaku
Tidak boleh menggunakan analogi
Ps. 5 Ayat (3) sub b UU No. 1/Drt/1951
34
34
Keterangan :
Dalam mengkomparasikan asas legalitas antara hukum pidana Islam dan
KUHP, diuraikan dulu mengenai pengertiannya sehingga dapat diketahui kesamaan,
perbedaan, yang di mana keduanya ada didalamnya, dalam asas legalitas dalam
hukum pidana Islam tersurat dari beberapa ayat dalam Al Quran, di mana dalam
pembahasannya tidak lepas dengan pengertian para ahli hukum Islam, yang mana
asas legalitas tersebut mendasari berbagai hukum pidana Islam seperti Al Quran, Al
hadist, Ar ra’yu karena dalam salah satu surat Al Isra ayat 15 dapat disebutkan intinya
yaitu Kami tidak menghazab seseorang tanpa diutus seorang Rasul, dimana Rasul
menjelaskan mengenai sumber hukum Islam khususnya hukum pidana Islam, dimana
dalam Ar ra’yu sendiri ada hukum tidak tertulis yaitu adat istiadat/urf’, sedangkan
asas legalitas dalam KUHP terdapat dalam Pasal 1 Ayat (1) yang isinya terdapat dua
hal pokok yaitu tindak pidana harus dirumuskan dalam undang-undang, dimana
undang-undang merupakan sumber hukum tertulis, dan undang-undang harus ada
sebelum tindak pidana dilakukan. Dalam hal tindak pidana harus dirumuskan dalam
undang-undang memiliki konsekuensi yaitu hukum adat tidak berlaku tetapi
penyimpangan terjadi dengan pengakuan hukum adat oleh UU No. 1/Drt/ Tahun 1951
Pasal 5 Ayat (3) sub b, konsekuensi selanjutnya adalah penafsiran secara analogi
tidak boleh digunakan dalam menentukan suatu tindak pidana yang tidak dirumuskan
undang-undang dapat dipidana atau tidak, dan mengenai undang-undang harus ada
sebelum tindak pidana dilakukan konsekuensinya undang-undang tidak boleh berlaku
surut.
35
35
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengertian asas legalitas dalam hukum pidana Islam dan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP)
1. Pengertian asas legalitas dalam hukum pidana Islam
Hukum pidana Islam mempunyai istilah yaitu jinayah, yang mempunyai
pengertian adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh syara’ , baik perbuatan tersebut
mengenai agama, jiwa, harta, pikiran, dan keturunan. Dalam hukum pidana Islam
tersebut memiliki asas yang sangat penting, karena menunjukkan suatu keadilan dan
ketidak sewenang-wenangan dalam menghukum seseorang yang melakukan jarimah
yaitu asas legalitas, dimana dalam hukum pidana Islam asas legalitas tersebut sudah
dikenal walaupun secara tersirat dibanding dengan hukum pidana positif yang baru
mengenalnya pada akhir abad delapan belas Masehi, ketika pertama kali dimuat
dalam hukum Perancis sebagai hasil revolusi Perancis.
Asas legalitas dalam hukum pidana Islam tersurat dalam ayat dan surat dalam
Al Quran, yaitu berdasarkan Al Quran surat Al-Isra’ (17) ayat 15 dan surat Al-
An’aam (6) ayat 19. hal itu diungkapkan sebagai berikut, yang artinya:
Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barang siapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (Departemen Agama RI, 2002 : 386).
Katakanlah (Muhammad) “Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?” katakanlah: “Allah. Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan yang lain
35
36
36
disamping Allah?” Katakanlah: “Aku tidak mengakui”. Katakanlah: “Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)” (Departemen Agama RI, 2002 : 174). Asas legalitas yang tersurat dalam surat Al-Isra’ ayat 15 dan surat Al-An’aam
ayat 19 di atas masih memuat beberapa pengertian seperti (Ahmad Wardi Muslich,
2006 : 29-31) :
a. Sebelum ada nash (ketentuan) dimana ketentuan setelah wahyu yaitu Al
Quran, harus berasal dan berpijak pada Al Quran sebagai dasar, tidak ada
hukum bagi perbuatan orang-orang yang berakal sehat.
b. Pada dasarnya semua perkara dibolehkan, sehingga ada dalil yang
menunjukkan keharamannya.
c. Suatu perbuatan atau sikap tidak berbuat tidak boleh dianggap sebagai
jarimah, kecuali karena adanya nash (ketentuan) yang jelas yang melarang
perbuatan dan sikap tidak berbuat tersebut. Apabila tidak ada nash yang
demikian sifatnya, maka tidak ada tuntutan atau hukuman atas pelakunya.
d. Menurut syara’ seseorang tidak dapat diberi pembebanan (taklif) kecuali
apabila ia mampu memahami dalil-dalil taklif dan cakap untuk
mengerjakannya.
Dari pengertian di atas mengenai asas legalitas dalam hukum pidana Islam
dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai pengertiannya, yaitu nash-nash pidana
Islam baru berlaku setelah dibuat dan diketahui orang banyak yang sudah dapat
dibebani kewajiban dan hak dalam hukum yang disebut subjek hukum (mukallaf),
dan tidak berlaku terhadap peristiwa-peristiwa sebelum nash-nash itu diketahui, dan
dibuat. Kelanjutan yang logis ialah nash-nash itu tidak mempunyai prinsip berlaku
surut/non retro-aktif, prinsip tidak berlaku surut salah satunya terdapat dalam surat
Al-Anfal ayat 38 yang arinya “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu (Abu
Sufyan dan kawan-kawannya), “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya
37
37
Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yan telah lalu…” (Departemen Agama RI,
2002 : 38), dan perbuatan jarimah hanya diterapkan hukuman menurut aturan yang
berlaku pada peristiwa itu terjadi. Contoh dari syariat Islam masalah beristrikan bekas
istri ayah. Sebelum turun surat An Nisa ayat 22 yang artinya “Dan janganlah kamu
menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian
pada masa) yang telah lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh
Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)” (Departemen Agama RI, 2002 :
105). banyak terjadi perkawinan semacam itu sebagai warisan masyarakat jahiliah,
setelah ketentuan itu turun yang mempunyai dua segi (Ahmad Hanafi, 1967 : 24) :
a. Segi kepidanaan, di mana perkawinan semacam itu menjadi jarimah akan
tetapi ayat tersebut tidak berlaku surut, karena oleh Allah kecuali apa telah
lewat. Ayat tersebut hanya diterapkan terhadap perkawinan yang terjadi
sesudah turunnya dan sesudah diketahui orang banyak.
b. Segi keperdataan, di mana perkawinan itu merupakan salah satu macam
perjanjian (perikatan). Akan tetapi sebagai akibat turunnya ayat tersebut
maka perkawinan haram itu harus diputuskan (diceraikan). Dengan
demikian maka untuk segi keperdataan, ayat itu mempunyai kekuatan
belaku surut sampai waktu terjadinya akad perkawinan.
Contoh kedua yaitu masalah riba sebelum turun ayat 278 surat Al Baqarah
riba yang diambil boleh tidak dikembalikan tetapi setelah turun ayat tersebut dilarang,
dimana surat Al Baqarah ayat 278 yang artinya : ”Wahai orang-orang beriman!
Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika orang
beriman” (Departemen Agama RI, 2002 : 278).
Asas non retro-aktif/tidak boleh berlaku surut suatu nash hukum pidana Islam
dapat dikesampingkan untuk jarimah qadzaf dasarnya pada surat An Nuur ayat 4
yang artinya : ”Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik
(berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka
38
38
delapan puluh kali, dan jangan kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya.
Mereka itu orang-orang fasik” (Departemen Agama RI, 2002 : 488). Di mana ayat
tersebut turun setelah terjadi fitnah terhadap Aisyah istri Nabi di mana beliau dituduh
berzina dengan Shafwan, kemudian diketahui ternyata fitnah, terhadap penuduhnya
Nabi SAW menjatuhkan hukuman had sebagaimana ayat tersebut (Ahmad Wardi
Muslich, 2006 : 50), walaupun penuduhan sudah terjadi sebelum turunnya nash
tersebut jadi menunjukkan suatu ketentuan yang berlaku surut.
Setelah dalam jarimah qadzaf yang menunjukkan suatu ketentuan yang
berlaku surut adalah jarimah hirabah yang hukumannya tercantum surat Al Maidah
ayat 33 yang artinya : ”Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-
Nya dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka secara bersilang, atau diasingkan dari tempat kediamannya.
Yang demikian itu kehinaan mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab
yang besar” (Departemen Agama RI, 2002 : 150). Nash mengenai jarmah hirabah
riwayatnya sebelum turun, para pelaku melakukan pembunuhan terhadap
penggembala dan membawa lari onta-onta yang dipinjamkan oleh Rasulullah setelah
berita itu terdengar oleh Rasulullah maka beliau menyuruh menangkap pelaku
kemudian turun ayat tersebut dan Rasulullah menerapkan hukuman tersebut
walaupun hirabah dilakukan sebelum turun ayat tersebut tetapi pelaku dihukum
menurut ketentuan yang diturunkan kemudian (Ahmad Wardi Muslich, 2006 : 51-52).
Dari riwayat tersebut dapat diketahui bahwa nash mengenai jarimah hirabah berlaku
surut.
Dari riwayat mengenai jarimah qadzaf dan jarimah hirabah dapat diketahui
bahwa ada pengecualian terhadap prinsip tidak berlaku surut yang merupakan salah
satu pengertian asas legalitas. Jadi asas legalitas dalam hukum pidana Islam juga ada
pengenyampingan dalam riwayat jarimah qadzaf dan jarimah hirabah.
39
39
Dalam pengertian asas legalitas yang tersurat dalam Al Quran surat Al-Isra’
ayat 15 dan surat Al-An’aam ayat 19, oleh para Fuqoha ada hal yang sangat penting
disitu yaitu nash dan Mukallaf, karena suatu perbuatan tidak disebut jarimah bila
belum ada nash dan suatu hukuman tidak bisa dijatuhkan kecuali orang tersebut telah
memenuhi syarat sebagai mukallaf yang melakukan jarimah. Dalam hal ini penulis
akan menguraikan mengenai nash dan mukallaf, pertama-tama nash dimana nash
adalah ketentuan hukum yang mencakup aturan hukum yang bersifat tertulis meliputi
Al Quran, yang didalamnya terdapat tiga puluh ayat yang mengatur tentang hukum
pidana Islam dan ini berhubungan langsung dengan Al Hadis karena keduanya
langsung dari Nabi Muhammad SAW dimana diancam dengan hukuman hudud atau
had, sebagai contoh dalam jinayat mengenai zina dimana dalam Al Quran surat An-
Nur ayat 2 yang artinya :
Pezina perempuan dan pezina laki-laki deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman (Departemen Agama RI, 2002 : 488). Dari surat di atas masih belum jelas karena ada lebih dari satu istilah untuk
perempuan dan laki-laki belum nikah atau sudah nikah, jadi dijelaskan dalam Al
Hadis yang diriwayatkan Ubadah ibn Ash-Syamith.
Dari Ubadah ibn Ash-Shamit ia berkata : telah bersabda rasulullah saw. Ambillah dari padaku, ambillah dari padaku, sesungguhnya Allah telah memberikan jalan keluar (hukuman) untuk mereka (para pezina). Perjaka dan gadis hukumannya hukuman dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun, dan janda dengan duda hukumannya dera seratus kali dan rajam (Ahmad Wadi Muslich, 2006 : 33).
Setelah Al Quran dan Al Hadis yang bersifat tertulis adalah Al Qonun atau
perundang-undangan yang ditetapkan penguasa, dimana dalam bahasa arab penguasa
adalah Ulil Amri hal ini ditegaskan dalam Al Quran surat An-Nisa ayat 59 yang
artinya : “Wahai orang-orang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
40
40
(Muhammad) dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan)…”(Departemen Agama RI, 2002
: 114). Dimana dalam Al Qonun atau perundang-undangan dibuat untuk agar dapat
taat terhadap penguasa/Ulil Amri hal ini untuk menciptakan tatanan pemerintah yang
baik dimana pelanggarnya diancam dengan hukuman ta’zir.
Nash juga mencakup hukum tidak tertulis karena salah satu sumber hukum
islam adalah ar-Ra’yu salah satu bagiannya adalah urf’ yang mempunyai pengertian
adat istiadat di mana adat tersebut terbentuk dari kebiasaan, di mana urf’ terbagi dua
urf’ shohih yang sesuai syara’ dikenal oleh masyarakat dan urf’ fasid yang dikenal
oleh masyarakat tetapi bertentangan dengan syara’ di mana yang digunakan Qodhi
(hakim) adalah urf’ shohih (Abdul Wahhab Khallaf, 1989 : 134-135), selain urf’
masih ada yang lain metode untuk menemukan hukum/berijtihad dengan qiyas yaitu
menyamakan perbuatan yang belum ada ketentuan dengan perbuatan yang sudah ada
ketentuan, untuk mencapai keadilan dalam hukum hal ini tidak bertentangan karena
telah ditentukan oleh Nabi Muhammad sendiri dengan riwayat pada waktu bertanya
kepada sahabat Mu’az “Dengan apa engkau memutus suatu perkara?”jawabanya
“dengan Al Quran; kalau tidak saya dapati dengan Al Hadis, dan kalau tiak saya
dapati dengan maka saya berijtihan dengan akal fikiran saya, dan Rasul
membenarkannya (Ahmad Hanafi, 1967 : 34).
Setelah menerangkan mengenai nash, selanjutnya akan diterangkan mukallaf,
karena keduanya bagian penting dari pengertian asas legalitas hukum pidana Islam.
Mukallaf pada dasarnya adalah seorang yang mampu bertanggung jawab, hal ini
harus memenuhi syarat terentu karena dalam hal ini tidak terlepas firman Allah SWT
dalam surat Al Baqarah ayat 286 yang artinya ”Allah tidak membebani seseorang
melainkan dengan kesanggupannya...” (Departemen Agama, 2002 : 61), di mana
syarat mukallaf meliputi (Ahmad Wahdi Muslich, 2006 : 31) :
a. pelaku sanggup memahami nash-nash syara’ yang berisi hukum taklif ;
41
41
b. pelaku orang yang pantas dimintai pertanggung jawaban dan dijatuhi hukuman
c. sedangkan syarat untuk perbuatan yang diperintahkan ada tiga macam : d. perbuatan itu mungkin dikerjakan e. perbuatan itu disanggupi oleh mukallaf, yakni ada dalam jangkauan
kemampuan mukallaf, baik untuk mengerjakannya maupun meninggalkannya;
f. perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf dengan sempurna. Hal ini berarti :
1) pelaku mengetahui hukum-hukum taklifati dengan sempurna. Hal ini berarti tersebut harus sudah ditetapkan dan disiarkan kepada orang banyak. dengan demikian maka hal ini berarti tidak ada jarimah kecuali dengan adanya nash (ketentuan);
2) pada ketentuan hukum itu sendiri ada faktor yang mendorong seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat. Hal ini berarti ia mengetahui bahwa ia akan dikenakan hukuman apabila tidak menaati peraturan atau ketentuan hukum tersebut. Dengan demikian maka pengertiannya adalah bahwa suatu ketentuan tentang jarimah harus berisi ketentuan tentang hukumannya.
Jadi dapat diketahui bahwa mukallaf adalah seseorang yang dapat
membedakan antara haram, sunah, mubah dan makruh di dalam tindakannya yang
telah diatur dalam ketentuan hukum Islam, dan mengetahui maksud serta akibat
perbuatannya, diamana perbuatannya atas kehendaknya.
Setelah penjelasan mengenai nash dan mukallaf dapat diketahui asas legalitas
yang terdapat dalam hukum pidana Islam yang secara tersirat dalam surat Al-Isra’
(17) ayat 15 dan surat Al-An’aam (6) ayat 19 adalah asas legalitas materiil karena
mengakui hukum secara tertulis meliputi Al Quran, Al Hadis, Al Qonun maupun
secara tidak tertulis seperti adat istiadat yang disebut urf’, penggunaan qiyas. Asas
legalitas dalam hukum pidana Islam seseorang yang dapat dihukum adalah orang
yang memenuhi syarat sebagai mukallaf yang melakukan jarimah.
Dalam asas legalitas hukum pidana Islam yang memiliki pengertian yang
intinya ketentuan hukum pidana Islam di mana di dalamnya memuat suatu hukuman
yang dapat dijatuhkan kepada mukallaf yang melanggar hukum pidana Islam, hal ini
42
42
dapat dikesampingkan/dihapuskan hukumannya walaupun mukallaf telah melakukan
suatu jarimah, dengan suatu hadis yang artinya : “Dihapuskan umatku kekeliruan,
lupa, dan perbuatan yang dipaksakan atasnya” (Ahmad Wardi Muslich, 2006 : 80).
Selain lupa, dan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya pengenyampingan
asas legalitas yang lain adalah dengan taubat, karena dengan taubat seseorang yang
melakukan jarimah dapat dihapuskan hukumannya. Menurut para fuqoha taubat
harus memenuhi syarat yaitu (Ahmad Wardi Muslich, 2006 : 66) :
a. Jarimah yang dilakukan adalah jarimah yang menyinggung hak Allah,
seperti zina, minum khamar, dan hirabah.
b. Taubatnya itu harus dibarengi dengan tingkah laku yang baik. Hal ini
menghendaki berlakunya suatu masa tertentu yang cukup mengetahui
ketulusan taubatnya itu.
Dalil Al Quran di mana taubat dapat menghapuskan hukuman adalah sebagai
beikut, dalam surat An-Nisa ayat 16 yang arinya “Dan terhadap dua orang yang
melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya.
Jika keduanya tobat memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sungguh Allah
Maha Penerima tobat, Maha Penyayang” (Departemen Agama RI, 2002 : 104).
Kemudian surat Al-Maidah ayat 39 yang artinya “Tetapi barang siapa bertobat setelah
melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri maka Allah menerima taubatnya.
Sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (Departemen Agama RI, 2002 :
151).
2. Pengertian asas legalitas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP dimana bunyi asas legalitas adalah : “Suatu
perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-
undangan pidana yang telah ada sebelumnya”. Dari bunyi tersebut ada dua isi yang
43
43
utama yaitu tindak pidana harus dirumuskan dalam undang-undang dan undang-
undang harus ada sebelum tindak pidana dilakukan.
Isi asas legalitas yaitu tindak pidana harus dirumuskan dalam undang-undang,
maksud disini adalah bahwa mengenai perbuatan yang dapat dijatuhi pidana harus
tercantum dalam undang-undang maupun sanksi pidananya, hal ini menimbulkan
konsekuensi yaitu hukum adat tidak berlaku karena hukum adat sendiri merupakan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat jadi bentuknya tidak tertulis, menjadikan
seseorang yang melakukan tindak pidana adat tidak dapat dituntut maupun dipidana,
namun di Indonesia ada pengecualian dengan diakuinya hukum adat khususnya
hukum pidana adat karena di Indonesia masih terdiri berbagai suku yang memiliki
hukum adat yang berbeda-beda, dimana pengakuan hukum pidana adat terdapat
dalam UU No. 1/Drt/ Tahun 1951 Pasal 5 Ayat (3) sub b yang bunyinya :
“hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh pengadilan adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula orang itu, dengan pengertian :
- bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukum adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan dasar besar kesalahan yang terhukum.
- Bahwa bilamana hukum adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud diatas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukum adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut diatas, dan
- Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Sipil, maka dianggap
44
44
diancam dengan hukuman yang sama dengan hukum bandingnya yang paling mirip kepada perbutan pidana itu“.
Dalam Undang-Undang Nomor 1/Drt/ Tahun 1951 Pasal 5 Ayat (3) sub b
terdapat 3 (tiga) hal pokok yaitu :
a. Suatu tindak pidana adat namun tidak ada padanannya dengan tindak
pidana yang diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana), maka hakim dapat menjatuhkan hukuman maksimal 3 (tiga)
bulan penjara dan/atau denda Rp. 500,00,
b. Suatu tindak pidana adat yang tidak ada padanannya dengan tindak
pidana yang diatur dalam KUHP menpunyai sanksi adat yang lebih
tinggi daripada yang ditentukan 3 bulan penjara dan/atau denda Rp.
500,00, maka hakim dapat menjatuhkan pelaku tindak pidana adat
dengan hukuman maksimal 10 (sepuluh) tahun penjara.
c. Suatu tindak pidana adat yang ada padanannya dengan tindak pidana
yang diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana),
maka pelaku tindak pidana adat dapat dikenakan hukuman yang mirip
pengaturannya dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Pengakuan hukum pidana adat dalam Undang-Undang Nomor 1/Drt/ Tahun
1951 Pasal 5 Ayat (3) sub b yang telah diuraikan di atas dapat diketahui dalam hukum
pidana adat sanksinya sudah ditentukan secara limitatif. Jadi dapat diketahui
mengenai konsekuensi hukum adat tidak berlaku ada pengecualian yaitu dengan
adanya UU No. 1/Drt/ Tahun 1951 Pasal 5 Ayat (3) sub b.
Dengan adanya isi dalam asas legalitas yaitu tindak pidana harus dirumuskan
dalam undang-undang maka tidak dimungkinkan adanya suatu penafsiran undang-
undang secara analogi dalam menentukan tindak pidana. Moeljatno memberikan
batasan tentang analogi sebagai berikut : bahwa perbuatan yang menjadi soal itu tidak
bisa dimasukkan dalam aturan yang ada. Tetapi perbuatan itu, menurut pandangan
45
45
hakim seharusnya dijadikan perbuatan pidana pula karena termasuk yang mirip
dengan perbutan itu” (Moeljatno 2000 : 29). Jadi sesungguhnya bila menggunakan
penafsiran analogi, yang dibuat untuk menjadikan tindak pidana yang tercantum
dalam undang-undang pada suatu tindak pidana yang tidak tercantum dalam undang-
undang adalah bukan lagi aturan yang ada, tetapi juga rasio, inti, maksud dari aturan
yang ada.
Larangan penafsiran secara analogi dikuatkan pendapat dari Remmelink
dengan alasan sebagai berikut :
a. Lebih mendukung kepastian hukum. b. Pengembangan hukum tidak hanya dibebankan kepada hakim. c. Tidak membuka kesempatan bagi hakim untuk mengambil keputusan
secara emosional karena pengaruh opini publik, media dan golongan lainnya.
d. Sejarah perundang-undangan tahun1886 tidak dimaksudkan sebagai pengakuan terhadap penggunaan metode penafsiran analogi (eddy, 2009 : 75).
Dari pendapat Remmelink dapat disimpulkan bahwa penggunaan analogi
bertentangan dengan pengertian asas legalitas karena bila diperbolehkan analogi
maka akan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan hakim atau penguasa, dan
membuat suatu perbuatan yang semula tidak dinyatakan secara tegas sebagai tindak
pidana kemudian menjadi tindak pidana hal ini bertentangan isi asas legalitas yaitu
tindak pidana harus dirumuskan dalam undang-undang.
Isi kedua asas legalitas adalah undang-undang harus ada sebelum tindak
pidana dilakukan. Hal ini memiliki konsekuensi yaitu prinsip non retroaktif. Dalam
hal non retroaktif adalah larangan berlaku surutnya suatu ketentuan pidana
hakikatnya sangat logis, berhubung dengan ketentuan, tiada seorang jua pun dapat
dijatuhi pidana kecuali atas kekuatan aturan pidana yang sudah ada sebelum tindak
pidana dilakukan jadi dengan kata lain undang-undang itu digunakan untuk tindak
pidana yang terjadi kemudian. Hal ini untuk menghindari kesewenang-wenangan
46
46
hakim untuk menggunakan ketentuan pidana, maka setiap orang harus mengetahui
batasan-batasan perbuatan yang boleh dilakukan dengan perbuatan yang tidak boleh
dilakukan.
Di Indonesia pengecualian prinsip non retroaktif yang merupakan prinsip
yang terkandung dalam asas legalitas yang terdapat dalam Pasal 1 Ayat (2) KUHP
yang berbunyi : “Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan
dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan
baginya”. Pasal 1 Ayat (2) KUHP yang mempunyai pengertian bila ada perubahan
undang-undang sesudah melakukan tindak pidana maka dipilih peraturan yang
meringankan terdakwa. Jadi dapat diketahui Pasal 1 Ayat (2) KUHP
mengenyampingkan prinsip non retroaktif jika ada perubahan undang-undang
sesudah tindak pidana dilakukan dan perkara tersebut belum diadili yang digunakan
ketentuan paling ringan bagi terdakwa. Dalam hal pengecualian prinsip non
retroaktif karena sesudah terdakwa melakukan tindak pidana ada perubahan undang-
undang dimana undang-undang yang baru sifatnya menguntungkan bagi terdakwa
maka dipilihlah yang menguntungkan hal ini menyebabkan terdakwa diberlakukan
undang-undang berlaku surut yang bertentangan prinsip non retroaktif.
B. Persamaan dan perbedaan asas legalitas dalam hukum pidana Islam dengan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
1. Persamaan asas legalitas dalam hukum pidana Islam dengan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP)
Persamaan asas legalitas dalam hukum pidana Islam dengan KUHP dapat
diketahui dari segi makna, prisnsip non retroaktif dan pengecuailan perinsip non
retroaktif yang dijelaskan sebagai berikut :
47
47
a. Asas legalitas dalam hukum pidana Islam yang tersurat dalam Al Quran surat
Al-Isra’ ayat 15 dan Al-An’aam ayat 19 dengan Pasal 1 Ayat (1) KUHP dapat
diketahui bahwa kedua-duanya mempunyai makna sama yaitu suatu perbuatan
dapat dihukum bila sudah ada ketentuan hukum yang mengatur perbuatan tersebut,
sehingga keduanya menunjukkan suatu keadilan bahwa dalam menghukum
seseorang harus berdasarkan suatu ketentuan hukum, yang menjadikan hakim atau
penguasa tidak sewenang-wenang menjatuhkan hukuman.
b. Asas legalitas dalam hukum pidana Islam dan KUHP kedua-duanya
mempunyai konsekuensi yaitu prinsip non retroaktif/tidak berlaku surut mengenai
ketentuan hukumnya, di mana asas legalitas dalam hukum pidana Islam yang
tersurat dalam Al Quran yaitu surat Al-Isra’ (17) ayat 15 dan surat Al-An’aam (6)
ayat 19, prinsip non retroaktif/tidak berlaku surut dapat diketahui dari pendapat
ahli hukum Islam mengenai ayat-ayat yang menunjukkan asas legalitas yaitu :
Perbuatan orang berakal tidak ada hukum apapun terhadapnya sebelum ada nash (aturan) yang menentukan terhadapnya ini mengandung arti, bahwa setiap perbuatan mukallaf (yaitu orang yang dapat dibebani suatu tanggung jawab hukum), tidak dapat dituntut sebagai perbuatan pidana kecuali sebelumnya sudah ada nash (aturan hukum) yang menentukan perbuatan tersebut sehingga menjadi perbuatan pidana (Tongat, 2009 : 61).
Dalam pendapat ahli hukum Islam tersebut dapat diketahui bahwa mukallaf
dapat dituntut bila sebelum melakukan perbuatan sudah ada aturan hukum yang
menentukan perbuatan tersebut merupakan perbuatan pidana, hal ini menunjukkan
aturan hukum/nash tidak boleh berlaku surut, contoh dari syariat Islam yang
menunjukkan tidak berlaku surut adalah masalah beristrikan bekas istri ayah.
Sebelum turun surat An Nisa ayat 22 yang artinya “Dan janganlah kamu menikahi
perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada
masa) yang telah lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh
Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)” (Departemen Agama RI, 2002 :
105). Banyak terjadi perkawinan semacam itu sebagai warisan masyarakat jahiliah,
48
48
setelah ketentuan itu turun yang mempunyai segi kepidanaan yaitu : ”segi
kepidaan, di mana perkawinan semacam itu menjadi jarimah akan tetapi ayat
tersebut tidak berlaku surut, karena oleh Allah kecuali apa telah lewat. Ayat
tersebut hanya diterapkan terhadap perkawinan yang terjadi sesudah turunnya dan
sesudah diketahui orang banyak” (Ahmad Hanafi, 1967 : 24).
Sedangkan prinsip non retroaktif dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP
ditunjukkan dengan salah satu isi asas legalitas yaitu undang-undang harus ada
sebelum tindak pidana sehingga memiliki konsekuensi undang-undang tidak boleh
berlaku surut/ non retroaktif.
c. Pengecualian prinsip non retroaktif terdapat dalam asas legalitas hukum
pidana Islam maupun KUHP, di mana pengecualian tidak berlaku surut/non
retroaktif merupakan makna yang terkandung dalam asas legalitas dalam hukum
pidana Islam terdapat jarimah qadzaf dasarnya pada surat An Nuur ayat 4 yang
artinya : ”Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik
(berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka
delapan puluh kali, dan jangan kamu terima kesaksian mereka untuk selama-
lamanya. Mereka itu orang-orang fasik” (Departemen Agama RI, 2002 : 488). Di
mana ayat tersebut turun setelah terjadi fitnah terhadap Aisyah istri Nabi di mana
beliau dituduh berzina dengan Shafwan, kemudian diketahui ternyata fitnah,
terhadap penuduhnya Nabi SAW menjatuhkan hukuman had sebagaimana ayat
tersebut (Ahmad Wardi Muslich, 2006 : 50), walaupun penuduhan sudah terjadi
sebelum turunnya nash tersebut jadi menunjukkan suatu ketentuan yang berlaku
surut.
Sedangkan asas legalitas dalam KUHP pengecualian prinsip non retroaktif
terdapat dalam Pasal 1 Ayat (2) KUHP, yang berbunyi : “Jika ada perubahan dalam
perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa
diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan baginya”. Dalam hal
49
49
pengecualian prinsip non retroaktif karena sesudah terdakwa melakukan tindak
pidana ada perubahan undang-undang dimana undang-undang yang baru sifatnya
menguntungkan bagi terdakwa maka dipilihlah yang menguntungkan hal ini
menyebabkan terdakwa diberlakukan undang-undang berlaku surut yang
bertentangan prinsip non retroaktif.
2. Perbedaan asas legalitas dalam hukum pidana Islam dengan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP)
Perbedaan asas legalitas dalam hukum pidana Islam dengan KUHP dapat
dilihat dari sumber hukum, penggunaan penafsiran secara analogi, adanya subyek
hukum, tujuannya yang diuraikan sebagai berikut :
a. Asas legalitas dalam hukum pidana Islam yang tersurat dalam Al Quran surat
Al-Isra’ ayat 15 dan Al-An’aam ayat 19 dengan Pasal 1 Ayat (1) KUHP dapat
diketahui bahwa asas legalitas dalam hukum pidana Islam mengakui seluruh sumber
hukum yaitu sumber hukum tertulis meliputi Al Quran yang merupakan fiman Allah
SWT, Al Hadis yang merupakan perbuatan, perkataan, ketetapan Rasulullah SAW,
Al Qonun/peraturan perundang-undangan yang dibuat penguasa/pemimpin ketiga
sumber tertulis tersebut dikuatkan oleh firman Allah SWT dalam surat An-Nisa
ayat 59 yang artinya : “Wahai orang-orang beriman! Taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Muhammad) dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan)…”(Departemen Agama
RI, 2002 : 114). Dan sumber hukum tidak tertulis yaitu urf/ adat-istiadat,
analogi/qiyas, di mana dengan diakuinya sumber hukum tidak tertulis dapat
memberikan kepastian hukum secara formal maupun materiil karena nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat dapat dimasukkan sebagai hukum.
Sedangkan asas legalitas dalam KUHP hanya mengakui sumber hukum
tertulis yaitu undang-undang, di mana undang-undang untuk menentukan suatu
50
50
perbuatan dapat dipidana atau tidak dapat dipidana. Jadi perbuatan harus diatur
dalam undang-undang.
b. Penafsiran secara analogi oleh asas legalitas dalam hukum pidana Islam
diperbolehkan hal ini dikuatkan oleh riwayat dari Nabi Muhammad sendiri dengan
riwayat pada waktu bertanya kepada sahabat Mu’az “Dengan apa engkau memutus
suatu perkara?”jawabanya “dengan Al Quran; kalau tidak saya dapati dengan Al
Hadis, dan kalau tiak saya dapati dengan maka saya berijtihan dengan akal fikiran
saya, dan Rasul membenarkannya (Ahmad Hanafi, 1967 : 34). Dimana dalam
penggunaan akal pikiran untuk menemukan hukum salah satunya dengan
menggunakan penafsiran secara analogi, sehingga penyelesaian suatu kasus mudah.
Sedangkan asas legalitas dalam KUHP penafsiran secara analogi tidak
diperbolehkan yang merupakan konsekuensi asas legalitas dalam KUHP yang
menyatakan undang-undang harus dirumuskan dalam undang-undang sehingga bila
meggunakan penafsiran secara analogi akan menimbulkan suatu tindak pidana baru
tanpa adanya undang-undang dan hakim akan sewenang-wenang dalam mejatuhkan
hukuman kepada seseorang. Penafsiran secara analogi merupakan scara untuk
menemukan hukum dengan tidak diperbolehkan maka menyulitkan dalam
menyelesaikan suatu kasus karena undang-undang memiliki keterbatasan hal ini
sesuai pendapat Scholten yaitu “suatu yang khayal apabila orang beanggapan bahwa
undang-undang itu telah mengatur segalanya secara tuntas” (Eddy, 2009 : 55).
c. Asas legalitas dalam hukum pidana Islam ada istilah subyek hukum yang
disebut mukallaf dimana salah satu syarat mukallaf sendiri harus memahami aturan
hukum sehingga dapat diketahui bahwa mukallaf harus tahu mengenai aturan
hukum/nash tersebut, salah satu cara agar mukallaf tahu melalui penyampaian
hukum maka mukallaf maka bila mukallaf belum tahu hukumnya belum bisa
dimintai pertanggung jawaban.
51
51
Sedangkan dengan asas legalitas dalam KUHP tidak ada istilah subyek hukum
hanya menyangkut perbuatan saja dimana bila perbuatan sudah diatur dalam
undang-undang semua orang dianggap tahu dan dalam penjatuhan hukuman tidak
memperdulikan seseorang tahu atau tidak hukumnya bila sudah tercantum dalam
undang-undang dianggap tahu.
d. Dalam tujuan asas legalitas dalam hukum pidana Islam dimana mengacu
kepada Rasul sebagai rahmat seluruh alam dimana hukum yang dijelaskan oleh
Rasulullah memiliki tujuan sebagai mana seperti tujuan hukum Islam lebih
khususnya hukum pidana Islam yang menurut Abu Ishaq Al Shabiti yaitu
memelihara :
1) keturunan dengan dilarangnya zina yang tertuang dalam surat
Al-Isra’ ayat 32 yang artinya “Dan janganlah kamu mendekati
zina;(zina) itu sungguh suatu perbuatan yang keji, dan suatu
jalan yang buruk (Departemen Agama RI, 2002 : 388),
2) harta dengan dilarangnya mencuri hal ini ditegaskan
pelarangan dan hukumnya dalam surat Al-Maidah ayat 151
yang artinya “Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas
perbuatan yang mereka lakukan sebagai siksaan dari Allah.
Dan Allah Mahaperkasa, Maha bijaksana” (Departemen
Agama RI, 2002 : 151),
3) akal dengan dilarangnya mabuk/minum-minuman keras hal ini
ditegaskan dalam Al Hadis dari Ibnu Umar. Bahwa Rasulullah
bersabda setiap yang memabukkan adalah arak dan setiap yang
memabukkan adalah haram (HR. Muslim),
4) jiwa dengan dilarangnya membunuh dan menganiaya hal ini
ditegaskan dalam surat Al-Maidah ayat 45 yang artinya :
52
52
“Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat)
bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata,
hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan
gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya (balasan yang sama)
(Departemen Agama RI, 2002 : 153),
5) agama untuk menjaganya maka denagan adanya surat An-Nahl
ayat 106 yang artinya “Barang siapa yang kafir kepada Allah
setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah)…”
(Departemen Agama RI, 2002 : 380).
Sedangkan tujuan asas legalitas dalam KUHP hanya untuk membatasi
kekuasaan kehakiman dalam menerapkan hukum agar tidak timbul kesewenang-
wenangan, dan menjamin hak asasi manusia yaitu tidak diberlakukan undang-
undang yang berlaku surut.
53
53
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
1. Pengertian asas legalitas dalam hukum pidana Islam dan KUHP :
a. Asas legalitas hukum pidana Islam yang tersurat dalam Al
Quran berdasarkan Al Quran surat Al-Isra’ (17) ayat 15 dan
surat Al-An’aam (6) ayat 19 mempunyai pengartian nash-
nash pidana Islam baru berlaku setelah dibuat dan
diketahui orang banyak yang sudah dapat dibebani
kewajiban dan hak dalam hukum yang disebut subjek
hukum (mukallaf), dan tidak berlaku terhadap peristiwa-
peristiwa sebelum nash-nash itu diketahui, dan dibuat.
Asas legalitas dalam hukum pidana Islam terkandung
prinsip tidak berlaku surut/non retroaktif hal ini dibuktikan
dengan contoh surat An Nisa ayat 22 yang artinya “Dan
janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang
telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa)
yang telah lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan
dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang
ditempuh)” (Departemen Agama RI, 2002 : 105).
Perkawinan tersebut mempnyai segi pidana karena ayat
tersebut tidak berlaku surut. Pengenyampingan asas
legalitas juga terdapat dalam hal perbuatan jarimah
dilakukan dengan umatku kekeliruan, lupa, dan perbuatan
yang dipaksakan atasnya, dan dengan taubat karena hal
53
54
54
tersebut menghapuskan hukuman walaupun nash hukum
pidana Islam menentukan perbuatan tersebut dihukum.
b. Asas Legalitas di Indonesia terdapat di dalam KUHP Pasal
1 Ayat (1) yang tertulis secara tegas mengenai asas
legalitas yaitu “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana,
kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-
undangan pidana yang telah ada sebelumnya”. Dalam
bunyi asas legalitas tersebut terdapat dua isi utama yaitu
tindak pidana harus dirumuskan dalam undang-undang hal
ini menimbulkan konsekuensi hukum adat tidak berlaku
tetapi pengecualian dengan diakuinya hukum pidana adat
dalam Undang-Undang Nomor 1/drt/ Tahun 1951 Pasal 5
Ayat (3) sub b, dan penggunaan penafsiran undang-undang
secara analogi tidak boleh dan isi kedua yaitu undang-
undang harus ada sebelum tindak pidana dilakukan hal ini
menimbulkan konsekuensi undang-undang tidak boleh
berlaku surut tetapi di Indonesia ada penyimpangan dalam
Pasal 1 Ayat (2) KUHP atas dasar-dasar tersebut di
Indonesia menganut asas legalitas tidak absolut atau
mutlak.
2. Persamaan dan perbedaan asas legalitas dalam hukum pidana Islam dan
KUHP :
a. Persamaan asas legalitas dalam hukum pidana Islam dengan
KUHP adalah keduanya sama-sama memberikan keadilan
dimana seseorang dihukum harus berdasarkan aturan hukum,
juga memiliki konsekuensi prinsip non retroaktif/tidak
berlaku surut, dalam prinsip non retroaktif ada pengecualian
55
55
untuk asas legalitas dalam hukum pidana Islam terdapat
dalam riwayat jarimah qadzaf dan jarimah hirabah
sedangkan asas legalitas dalam KUHP terdapat dalam Pasal
1 Ayat (2) KUHP.
b. Perbedaan asas legalitas dalam hukum pidana Islam dengan
KUHP yaitu dalam hukum pidana Islam mengakui sumber
hukum tertulis dan tidak tertulis di mana memberikan
kepastian hukum formal maupun material sedangkan dalam
KUHP hanya mengakui sumber hukum tertulis hanya
memberikan kepastian hukum formal, dan dalam hukum
pidana Islam terdapat istilah subyek hukum yaitu mukallaf
sedangkan dalam KUHP tidak, tujuan asas legalitas dalam
hukum pidana Islam memelihara akal, jiwa, harta, agama,
keturunan sedangkan dalam KUHP memberikan
perlindungan individu dari kebebasan penjatuhan hukuman
dan hanya menjamin hak asasi manusia terkait hak untuk
tidak diberlakukan aturan berlaku surut.
B. Saran
1. Dalam pembentukan asas legalitas di Indonesia sebaiknya memandang
asas legalitas hukum pidana Islam mengingat sebagian besar penduduk
Indonesia beragama Islam.
56
56
DAFTAR PUSTAKA Dari Buku :
Abdul Wahhab Khallaf. 1989. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Jakarta : CV. Rajawali
Abuddin Nata. 2001. Sejarah Perkembangan dan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta : Gramedia
Ahmad Hanafi. 1967. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta : Bulan Bintang
____________. 1970. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta : Bulan Bintang
Ahmad Wardi Muslich. 2006. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika
Andi Hamzah. 2008. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka Cipta
Burhan Ashofa. 2001. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rineka Cipta
C.S.T. Kansil. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Departemen Agama Republik Indonesia. 2002. Al-Quran dan Terjemahannya. Surabaya : Mekar Surabaya
Eddy O.S. Hiariej. 2009. Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana. Jakarta : Erlangga
Gemala Dewi, dkk. 2006. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana
Johnny Ibrahim. 2006. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang : Banyu Media Publishing
Ka’bah Rifyal. 2004. Penegakan Syariat Islam di Indonesia. Jakarta : Khairul Bayan
Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Bandung : P.T. Citra Aditya Bakti
56
57
57
Mahmud Yunus. 1973. Kamus Bahasa Arab Indonesia. Jakarta : Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah/Penafsiran Al-Qur’an
Moeljatno. 2000.Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka Cipta
Mohammad Daud Ali. 1990. Asas-asas Hukum Islam (Hukum Islam I) : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers
. 2000. Hukum Islam – Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Rajawali Press
Mohd. Idris. Ramulyo. 1997. Asas-asas Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika
Peter Mahmud Marzuki. 2007. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : University Indonesia Press
Sutrisno Hadi. 1989. Metodologi Penelitian Hukum. Surakarta : UNS Press
Tongat. 2009. Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan. Malang. UMM Press
Zainuddin Ali. 2007. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika
Dari Jurnal
Elsam. 2005. “The Principle Legality on WvSNI”. Journal International. Vol. 3, No 2.
Hogo Cecares. 2008. “History of Principle Legality”. Journal International. Vol.
4, No 1.
Peraturan Perundang-undangan :
Al Quran Al Hadist KUHP Undang-Undang No. 1/Drt/ Tahun 1951
58
58
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Dari Internet
Mujiburrahman.Hukum pidana http://www.studihukum.com/studihukum.hmtl>[30 Agustus 2009pukul 13.52]