Top Banner
47 ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002 ‘Komik Indonesia itu Maju’: Tantangan Komikus Underground Indonesia 1 Tito Imanda (Universitas Indonesia) Abstract This paper illustrates the significance of underground comics in Indonesia in the absence of a national comics industry. Underground comics means that its selling is independent of common marketing channels, and the comics usually have non-conventional graphics and narrative style. The author focuses on the life and works of Athonk, an Indonesian indepen- dent comics artist, bypasses conventional modes of marketing and strengthens the global network of independent comics artists and fans through internet. Fed up with the absurdity of Indonesian cultural and political life, Athonk is consistently creating stories of contestation between the powerful and powerless with cynicism through his amusing characters and language. The author places Athonk in the context of Indonesia art history, and debate between ‘high art’ and ‘low art’ that dominates discussion of art in Indo- nesia. The situation discredits comics as a ‘low art’ form which makes it still very far from establishing its position. Ironically, public welcome his art and this motivates him to keep working. This article hopefully will give broader picture about Indonesian comics as a poten- tial art form and expression in the future. Ketika suatu hari saya mencari informasi mengenai komik Indonesia di internet, muncul beberapa kali nama Athonk. Untuk nama ini saja, terdapat banyak sekali alamat website dari dalam dan luar negeri yang berhubungan dengannya. Athonk adalah pembuat komik kelas dunia. Dalam konteks Indonesia, hal itu 1 Tulisan ini merupakan revisi dari makalah yang dipresentasikan dalam panel: ‘Identitas dan Represen- tasi dalam Karya Seni’ pada Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-2: ‘Globa- lisasi dan Kebudayaan Lokal: Suatu Dialektika Menuju Indonesia Baru’, Universitas Andalas, Padang, 18–21 Juli 2001. Penulis berterima kasih kepada Iwan Meulia Pirous dan Yunita T. Winarto atas bantuan dalam proses penulisan ulang artikel ini. merupakan fenomena menarik saat tidak ada komik lokal yang dianggap berhasil dan populer di Indonesia. Komik memiliki sejarah yang panjang sebagaimana dinyatakan Mirzoeff (1999): kebudayaan visual tidak bisa dipisahkan dari kajian sejarahnya. Tema cerita, gaya bertutur, grafis, bahkan cara penjualan komik yang dibuat seorang komikus, seperti artis lainnya, selalu dibentuk oleh lingkungannya. Edward Bruner (1986) meyakini bahwa setiap orang aktif menafsirkan pengalamannya untuk berekspresi. Karena itu, riwayat hidup, latar belakang kelu- arga, serta orang-orang terdekat diyakini aktif memberi bentuk bagi ekspresi artis yang
16

‘Komik Indonesia itu Maju’: Tantangan Komikus Underground Indonesia

Jan 17, 2023

Download

Documents

Bill Burns
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: ‘Komik Indonesia itu Maju’: Tantangan Komikus Underground Indonesia

47ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

‘Komik Indonesia itu Maju’:

Tantangan Komikus Underground Indonesia1

Tito Imanda

(Universitas Indonesia)

Abstract

This paper illustrates the significance of underground comics in Indonesia in the absenceof a national comics industry. Underground comics means that its selling is independent ofcommon marketing channels, and the comics usually have non-conventional graphics andnarrative style. The author focuses on the life and works of Athonk, an Indonesian indepen-dent comics artist, bypasses conventional modes of marketing and strengthens the globalnetwork of independent comics artists and fans through internet.

Fed up with the absurdity of Indonesian cultural and political life, Athonk is consistentlycreating stories of contestation between the powerful and powerless with cynicism through hisamusing characters and language. The author places Athonk in the context of Indonesia arthistory, and debate between ‘high art’ and ‘low art’ that dominates discussion of art in Indo-nesia. The situation discredits comics as a ‘low art’ form which makes it still very far fromestablishing its position. Ironically, public welcome his art and this motivates him to keepworking. This article hopefully will give broader picture about Indonesian comics as a poten-tial art form and expression in the future.

Ketika suatu hari saya mencari informasimengenai komik Indonesia di internet, munculbeberapa kali nama Athonk. Untuk nama inisaja, terdapat banyak sekali alamat website daridalam dan luar negeri yang berhubungandengannya. Athonk adalah pembuat komikkelas dunia. Dalam konteks Indonesia, hal itu

1 Tulisan ini merupakan revisi dari makalah yangdipresentasikan dalam panel: ‘Identitas dan Represen-tasi dalam Karya Seni’ pada Simposium InternasionalJurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-2: ‘Globa-lisasi dan Kebudayaan Lokal: Suatu Dialektika MenujuIndonesia Baru’, Universitas Andalas, Padang, 18–21Juli 2001. Penulis berterima kasih kepada Iwan MeuliaPirous dan Yunita T. Winarto atas bantuan dalamproses penulisan ulang artikel ini.

merupakan fenomena menarik saat tidak adakomik lokal yang dianggap berhasil dan populerdi Indonesia.

Komik memiliki sejarah yang panjangsebagaimana dinyatakan Mirzoeff (1999):kebudayaan visual tidak bisa dipisahkan darikajian sejarahnya. Tema cerita, gaya bertutur,grafis, bahkan cara penjualan komik yangdibuat seorang komikus, seperti artis lainnya,selalu dibentuk oleh lingkungannya. EdwardBruner (1986) meyakini bahwa setiap orang aktifmenafsirkan pengalamannya untuk berekspresi.Karena itu, riwayat hidup, latar belakang kelu-arga, serta orang-orang terdekat diyakini aktifmemberi bentuk bagi ekspresi artis yang

Page 2: ‘Komik Indonesia itu Maju’: Tantangan Komikus Underground Indonesia

48 ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

bersangkutan. Tradisi seni rupa daerah, komik-komik asing, situasi sosial dan politik padamasa-masa yang bersangkutan menambahkekayaan komik Indonesia. Komik sangat dekatdengan kondisi-kondisi sekitar pembuatnya,suatu hal yang disadari Ben Anderson (1990)ketika membuat kajian mengenai komik stripsebagai representasi kondisi sosial politik diIndonesia.

Sapto Raharjo alias Athonk membuatkomik, menentukan pangsa pasarnya, dan ber-usaha menyebarluaskannya. Karyanya ter-masuk komik bawah tanah, yaitu komik yangdigandakan dan disebarluaskan langsung olehkomikus yang membuatnya. Biasanya, komiktersebut memuat isi yang memberontak ter-hadap kemapanan norma-norma sosial danpolitik dalam masyarakat.

Hegemoni pemerintahan Orde Baru denganpertumbuhan ekonominya melahirkan komodi-fikasi seni rupa yang terpusat pada galeri. Isikomik dan pilihan Athonk terhadap media komikyang digolongkan sebagai kesenian ‘kelasrendahan’ merupakan perlawanan terhadapkondisi tersebut. Uniknya, cara Athonk menam-pilkan kritik tersebut bisa diterima banyakkalangan, dan komiknya masih terus dicaripembaca hingga saat ini. Tulisan ini jugamengkaji strategi-strategi yang ada dalambentuk dan isi komik karangan Athonk,dihubungkan dengan latar belakang kehidupan-nya, konteks sejarah seni rupa Indonesiamaupun dunia, serta kondisi sosial–politikIndonesia pada saat diproduksinya komiktersebut.

Komik, sejarah, dan kondisinya diIndonesia

Komik, menurut Scott McCloud (1993:9),ialah gambar-gambar dan bentukan-bentukanlain yang berderetan dalam urutan yangdisengaja, dimaksudkan untuk memberi in-

formasi dan/atau menghasilkan respon estetisbagi pembacanya2. Secara umum, pengertiankomik adalah gambar-gambar yang berceritadengan narasi tulisan. Karenanya, pengkajiankomik sebagai karya seni bukan semata-matamemperhatikan aspek seni rupa: gaya gambar,grafis, atau komposisi; melainkan juga aspeksastra, seperti genre cerita, gaya penulisan, dantema. Perpaduan rupa dan cerita itu menjadi‘isi’, tempat penyampaian ide-ide pembuatnya.

Seni komik dunia di setiap negara memilikigaya yang khas. Keragaman itu muncul daritradisi komik dan seni rupa dalam kontekskebudayaan masing-masing. Sebagai contoh,komik Amerika dan Eropa sama-sama memberi-kan penekanan pada logika pembaca dan gayatutur yang stabil. Komik Jepang bertuturdengan lebih banyak memunculkan efek emosidari gambar-gambar suasana. Komik Amerikalebih banyak membuat cerita-cerita pendek,sedangkan komik Eropa hampir selalu berisipetualangan panjang. Pembuatan komik mo-dern di Amerika lebih banyak merupakan kerjatim yang melibatkan banyak pihak denganspesialisasi mereka masing-masing: penggagascerita, penulis, pembuat teks, editor, penataletak, penggambar sketsa, penebal garis,pemberi warna, dan lain-lain. Di Eropa danJepang, orang yang terlibat dalam pembuatankomik jumlahnya lebih sedikit. Produksi hanyadikerjakan oleh satu seniman yang mengerjakansemua proses.

Secara historis, komik Indonesia diyakinitelah muncul sejak adanya relief pada candi-candi di Pulau Jawa. Relief-relief itu memangsesuai dengan definisi komik seperti yang telahdikemukakan di atas. Namun, komik Indonesiamodern belum benar-benar muncul hingga saatsetelah masa kemerdekaan. Sebelum masa itu,

2 ‘Juxtaposed pictorial and other images in deliberatesequence, intended to convey information and/or toproduce an aesthetic response in the viewer’ (1993:9).

Page 3: ‘Komik Indonesia itu Maju’: Tantangan Komikus Underground Indonesia

49ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

orang Indonesia dibiasakan menyaksikan komikstrip, karikatur koran, dan poster propagandadi masa penjajahan Belanda dan Jepang. Harian-harian di masa kemerdekaan memuat macam-macam komik strip impor terjemahan dari Eropadan Amerika. Buku komik Barat terjemahan jugamembanjiri pasaran. Pengaruh komik strip itubegitu kuat dan mempengaruhi karya komiklokal. Tidak mengherankan jika cara bertuturdan gaya grafis dalam tradisi komik Indonesialebih banyak dipengaruhi komik Barat (Berman1998:19).

Ben Anderson dalam Imagined Commu-nities (1990:156–173) menggambarkanbagaimana komik menjadi sarana mengungkapalam pikiran dan perasaan rakyat mengenaipenguasa mereka. 3 Namun, rezim yangberkuasa juga memiliki pikiran dan perasaansendiri tentang komik. Presiden Soekarno, yangsaat itu sangat anti Barat, menuduh senimankomik melakukan subversi, dan menyatakankarya mereka sebagai sampah dan ‘racun Barat’.Akibatnya, sekolah-sekolah dirazia, kios-kioskomik diserbu, dan komik-komik pun dibakar.Di awal dekade 1980-an, ketika komik Indone-sia mulai ‘bernafas’ kembali, pemerintah OrdeBaru menyatakan bahwa komik tidak mendidik,dan membuat anak-anak malas (Berman 1990).Meskipun demikian, sejarah perkembangankomik 70–80-an mencatat sederetan tokoh.Pada periode itu, dikenal beberapa nama sepertiR.A. Kosasih, Jan Mintaraga, dan Ganes Th,yang masing-masing membawa cerita dengantema ‘lokal’ Indonesia mulai dari perwayangan,persilatan sampai dengan super hero lokal.Reputasi mereka pun ditunjang oleh jaringanpemasaran yang baik, termasuk agen-agenkomik di beberapa kota besar.

Situasi industri komik lokal Indonesiatahun ‘90-an sangat menyedihkan. Pimpinangrup Gramedia sebagai penerbit terbesarmenyatakan bahwa komik impor Jepangmenempati angka penjualan terbesar, yaitu90%. Biaya produksi yang tinggi untukmengerjakan semua proses pembuatan komikdari awal hingga akhir membuat penerbitmemilih cara mudah dan ekonomis dengan caramembeli hak untuk menerbitkan komik impor(Berman 1990). Kemandekan ini merangsangmunculnya produksi komik independen.Komik independen memiliki dua sumber utama:siswa sekolah seni, dan aktivis lembagaswadaya masyarakat. Komik independen versisekolah seni memiliki jaringan distribusi terbatassehingga tidak mudah diakses masyarakatumum. Komik-komik ini ‘aneh’, ceritanyasedikit, vulgar, punya kecenderungan kepornografi (pornografi dilarang di Indonesia).Di sisi lain, komik macam ini berusahamengembangkan imajinasi, ungkapan ekspresibebas yang terlihat dari grafis dan gayabertuturnya. Para komikus ini berkarya selamamasih menjadi mahasiswa, dan berhenti setelahmereka lulus dan bekerja. Komik para aktivissangat berbeda, walau mungkin mereka jugamerupakan mahasiswa sekolah seni. Komiksemacam ini biasanya dibiayai lembaga tertentuuntuk menyiarkan isu-isu sosial ke masyarakat.4

Komik independen yang memilih jalur distribusiinformal dikenal dengan nama komik ‘bawahtanah’ (underground comics).

Cerita mengenai industri komik Indonesiasecara umum mirip cerita mengenai industrikebudayaan populer lainnya. Seperti pada film,novel, atau industri televisi, pelaku komik selalugagal mendapatkan pangsa pasar yang spesifik.

4 Komik semacam ini jumlahnya cukup banyak di era1990-an. Lihat Berman (2000). Saat ini, ada gejalatumbuhnya komunitas komik seperti Komikaze, ApotikKomik, Komunitas Daging Tumbuh, dan sebagainya.

3 Anderson (1990) menggambarkan bahwa komikadalah cara rakyat mengungkapkan komunikasi politikmereka dalam simbol-simbol, sebagaimana yang dilaku-kan penguasa dengan monumen-monumen.

Page 4: ‘Komik Indonesia itu Maju’: Tantangan Komikus Underground Indonesia

50 ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

Dalam hal ini, tulisan-tulisan, diskusi atau semi-nar sibuk menyalahkan struktur dan jaringanproduksi, serta penjualan yang dikuasaiimportir. Masalah itu memang ada. Namun, dipihak lain banyak pertanyaan tentang kemam-puan para seniman untuk menyediakan materiyang bisa diterima oleh pangsa pasar terbesaryang telah terbiasa dengan produk impor. Parakomikus gagal untuk berbicara dengan ‘bahasayang sama’ dengan ‘bahasa pembaca’ ataupenonton mereka. Lebih parah lagi, merekadianggap tidak mampu menentukan pangsapasarnya sama sekali.

Sejarah seni rupa di Indonesia

Kurikulum teori seni dan sejarah seni Baratmengenal perdebatan seni sebagai ‘seni tinggi’dan ‘seni rendah’ (high art and low art). Senitinggi adalah kesenian eksklusif, dinikmatikalangan terbatas, biasanya kaum intelektualdan kelas sosial atas; sedangkan seni rendahadalah karya seni yang dibuat massal, populerdi masyarakat luas dan murah. Perdebatan iniberlaku juga dalam dunia seni rupa. ‘Seni tinggi’dalam seni rupa adalah karya-karya lukisan danpatung avant-garde dari para seniman intelek-tual yang tidak diproduksi massal. ‘Seni rendah’dalam perspektif ini adalah barang kerajinan(kriya, craft) yang dianggap tidak diproduksidengan pemikiran serta usaha yang keras,sehingga dapat diproduksi dalam jumlah besar,serta mudah dicerna dan diperoleh. Karena itu,karya seni ini dapat dinikmati oleh masyarakatluas. Pandangan itu dianggap etnosentriskarena memandang rendah karya seni masya-rakat non-Barat dengan konteks berbedadengan kesenian Barat (Pirous 1997).5 Per-debatan ini pun masuk ke bingkai seni rupaIndonesia. Generasi pertama dan kedua pelukis

modern Indonesia dididik dengan gaya danteknis lukis Barat. Karena itu, mereka mengikutikriteria Barat mengenai seni ‘tinggi danrendah’. Baru dua puluh tahun kemudianmuncul kesadaran dan kebanggaan nasionaltentang unsur kesenian tradisional (Spanjaard1998a:44).6

Selain persoalan seni tinggi-rendah,etnosentrisme dan tradisi, seni rupa di Indone-sia selalu diwarnai oleh pertentangan ideologisantara pemikiran sosialis versus humanis. Senihumanis berorientasi pada ekspresi individualseniman (beserta kompensasi finansial yangselalu menyertainya), sedangkan seni sosialisberorientasi pada semangat kemasyarakatan.Seni humanis berkonsentrasi pada pencapaianestetika dengan keyakinan bahwa kualitaskesenian dalam bentuk pencapaian mutumerupakan wujud kebebasan individu tanpaharus menjadikan problem sosial sebagaiinspirasi berkesenian. Sementara, ideologisosialis dalam seni berkembang sesuai zamannya,mengangkat realitas sosial masyarakat, penyam-paian pesan-pesan kemasyarakatan, ataumenjadikan masyarakat sebagai bagian dariproses produksi dan distribusi seni rupa yangbersangkutan. Pertentangan ideologis inidimulai dengan polemik antara aliran MooiIndië versus Persatuan Ahli Gambar Indone-sia (Persagi) (Purnomo 1998:13).7 Terdapat pulaperbedaan antara institusi-institusi pendidikanseni rupa di masa awal pendiriannya (ITB ver-

5 Selain itu, Mirzoeff (1999:23) mengatakan bahwapandangan ini juga akan sulit mengkaji karya senimodern yang bersifat multimedia.

6 Mengenai keterkaitan seniman modern Indonesiadengan tradisinya, lihat juga Esmeralda dan M.Bollansee (1987). Pirous (1997) menunjukkan bahwarefleksi modernisme seniman seni rupa Indonesia lebihmenghargai nilai-nilai tradisi.

7 Pelukis-pelukis Mooi Indie yang terpengaruh olehpelukis Eropa yang terkagum-kagum pada pemandang-an alam dan budaya Indonesia dianggap oleh pelukisPersagi tidak melihat realitas penderitaan rakyat dimasa penjajahan (lihat juga Kusnadi 1998a;Wisetrotomo 1998:58–59, dan Sudjojono 2000:1–8).

Page 5: ‘Komik Indonesia itu Maju’: Tantangan Komikus Underground Indonesia

51ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

sus ASRI-sekarang ISI) (Spanjaard 1998b,1998c:62–65, 64–65). Begitu juga pertentanganantara seniman-seniman Lembaga KebudayaanRakyat (Lekra) dengan kelompok ManifesKebudayaan pada masa Orde Lama (Dermawan1998:58–59).8 Di masa Orde Baru, pertentanganini muncul dalam pertentangan antara ‘senimangaleri’ melawan seniman-seniman jalanan yanganti status quo Orde Baru. Pertentangan-pertentangan ini secara signifikan membentuksejarah seni rupa Indonesia yang khas.

Pada masa Orde Baru di bawah JenderalSoeharto, stabilitas pertumbuhan ekonomimenjadi prioritas utama. Pada masa itu, minyakmentah Indonesia menjadi komoditi eksporutama yang menciptakan golongan ‘orang kayabaru’. Galeri seni dan ruang pameran semakinbanyak di mana-mana, dan taraf ekonomiseniman ‘konformis’ semakin meningkat.Institut Kesenian Jakarta dan sebuah pusatkesenian didirikan pada tahun 1968 di Jakartauntuk menambah akses ruang seni publik. Dibalik semua itu, kehidupan sosial masyarakatsehari-hari berada di bawah represi rezim militer.Kesenian untuk rakyat, atau seni yangmelakukan kritik terhadap kebijakan pemerintahtidak dibiarkan hidup. Segala gaya seni Barat‘gaya Bandung’ yang dilarang pada tahun1960-an memang dibebaskan karena dianggapsteril politik. Pada tahun 1970-an, ‘gayaBandung’ bahkan menyebar ke komunitasseniman Yogya. Tentunya, ini bukan dikarena-kan semangat kebebasan. Gaya abstrak dansurealisme yang mereka usung relatif ‘bersih’dari urusan politik.

Seiring globalisasi ekonomi dan informasimenjelang akhir dekade 1980-an, muncullah aksipergerakan mahasiswa dan seniman muda yangmembuka forum mereka sendiri di tempat-tempat yang tidak terduga. Para senimanmenolak label formal seni rupa, elitisme, danmaterialisasi seni yang kelewat batas. Merekamenggunakan media populer sehari-hari untukberkarya. Muncullah seni poster, komik,instalasi, grafiti, pementasan jalanan, gambartempel, dan gambar kaos. Kaum seniman yangbetul-betul peduli pada orang miskin meng-gunakan ruang publik dalam melakukan protesmereka (Berman 1999:7).9 Athonk belajar dibawah bayangan tradisi pertentangan ideologisyang terjadi dalam seni rupa Indonesia, danakhirnya menjadi bagian dari pertentangan itu.

Riwayat hidup Athonk

Athonk adalah anak bungsu dari limabersaudara, lahir di tahun 1971. Mereka tinggaldi Semarang, di kawasan Kaliungu. Ayahnyaseorang tentara yang mendidik anak-anaknyadengan keras. Seringkali Athonk dan saudara-saudaranya dipukul dengan kopel, ujung ikatpinggang tentara milik ayahnya. Sepertihubungan tradisional ayah dan anak di Jawa,hubungan antara Athonk dengan ayahnyahingga kini sangat formal. Keluarga Athonkmenganut agama Kristen Advent dengan polapendidikan religius yang keras. Kakak sulungAthonk kuliah di ISI, Institut Seni IndonesiaYogyakarta, dan memilih patung sebagai me-dia ekspresinya. Kakak-kakak Athonk yang lainmemilih pilihan hidup yang lebih ‘normal’,seperti akuntan atau agamawan.

8 Meskipun beberapa seniman senior Yogyakarta sepertiHendra Gunawan dan Henk Ngantung ikut LEKRA,tidak semua seniman yang karyanya berorientasi padarakyat menjadi anggota LEKRA. Polemik Bandung-Yogya, di satu sisi memunculkan dialog intensif dansaling mengisi bagi perkembangan kreativitas merekamasing-masing, terutama di era 1970-an (lihatSpanjaard 1998c:65).

9 Jalanan di sini bisa mencakup semua ruang terbukamilik publik: lingkungan tempat tinggal, kebun,halaman pabrik, papan pengumuman, atau rumahibadah (lihat juga Moelyono 1997). Gerakan inimemiliki banyak kemiripan dengan karakteristik danstrategi pemberontakan aliran Pop Art di Eropa danAmerika pada tahun 1960-1970-an.

Page 6: ‘Komik Indonesia itu Maju’: Tantangan Komikus Underground Indonesia

52 ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

Selain mengandalkan gaji sang ayah,keluarga ini juga berusaha memperolehpenghasilan tambahan. Athonk kecil, waktu ituberusia sekitar 6 tahun, sering diberi tugasmengantarkan dan menjajakan es lilin yangdibuat dengan freezer dari kulkas milikkeluarga. Selain es lilin, keluarga itu jugamembuka usaha penyewaan buku cerita dankomik. Tempat penyewaan ini sudah ada sejakAthonk berusia dini dan mulai dapat meng-ingat. Ia tumbuh bersama buku dan komik-komik itu. Ia pun menggambar komiknya sendiri,lalu meminjamkan dan mengedarkannya keteman-temannya (Berman 1995). Athonk keciltumbuh dengan bakat menggambar yangmengagumkan. Karena itu, ayah dan ibunyatidak pernah melarangnya menghabiskan waktumembaca komik.

Di lingkungan sekitar rumahnya terdapatkomunitas pembuat karikatur bernama‘Kokkang’ (Komunitas karikaturis Kaliungu),yang didirikan oleh Budi Santoso alias Itos, te-tangga Athonk. Itos membina pemuda-pemudasekitar untuk mampu membuat karikatur-karikatur yang memenuhi syarat untuk dimuatdi majalah dan harian yang terbit di kota-kotabesar. Athonk mengaku tidak pernah belajarmenggambar pada Itos. Walau begitu, iatumbuh besar bersama komunitas Kokkang,dan memperoleh banyak masukan, terutamamengenai implikasi pilihan media terhadap hakcipta.

Sejak kuliah di ISI, Yogyakarta tahun 1990,gaya dan penampilan Athonk mirip punkers,lengkap dengan atribut rantai dan sepatu bot.Atribut budaya punk dipakai sebagai protesterhadap situasi politik dan masyarakat yangtidak toleran pada perbedaan. Athonk mulaimengenal teori dan sejarah seni rupa dunia,meskipun banyak teori dan diskusi yang iaperoleh di sana mengecewakannya. Saat itu, iamenyewa kamar sebelum akhirnya menyewa

rumah di kawasan Sosrowijayan, dekat denganpusat turis di Yogya. Sehubungan denganlokasi tinggalnya, Athonk banyak ber-hubungan dengan turis maupun pekerjapariwisata. Dia juga berkenalan dengan senirajah atau tato, dan memperoleh tato per-tamanya yaitu gambar wajah Donal Bebek ditangan kanan. Pada saat yang sama, iaberkenalan dengan dunia aktivis mahasiswa.Sesuai dengan jamannya di era 90-an, pergerak-an mahasiswa melawan Orde Baru muncul lebihmilitan, lebih terorganisasi, dan lebih dekatdengan kepentingan rakyat. Athonk semakinsering terlibat dengan kesibukan rapat-rapatkemahasiswaan, aksi demo, aksi advokasi,lembaga swadaya masyarakat, dan tentu saja,konflik dengan aparat keamanan. Posternyapernah disita aparat, walau kemudiandikembalikan. Beberapa kali ia ditangkap olehaparat keamanan, dan pada suatu kali di tahun1996, ia ditangkap di Jakarta dan disetrumselama 4 hari di Bakorstanas. Sekitar saat yangsama, ia dipecat dari ISI, Yogya.

Masterpiece dari karya-karya Athonkmuncul pada saat-saat itu. Ia banyak membuatposter art, dipenuhi gambar-gambar kecil-kecildan tulisan mirip panel-panel dalam komik.Posternya, yang semua jelas-jelas menyuarakankeberpihakan pada rakyat, dibuatnya berbulan-bulan, bahkan ada yang hingga setahun. Isiposter yang keras ini tentu saja banyakmenimbulkan kesulitan baginya. Kesempatanuntuk ikut pameran bersama seniman-senimanyang lebih senior menjadi percuma karenaposternya selalu disensor aparat keamanan,panitia, bahkan oleh seniman lain yangberpameran dengannya. Karya Athonkdianggap dapat membawa sial jalannya pamer-an. Sebagai muslihat, beberapa kali Athonkmemasang karya yang telah disensor di papanpengumuman pameran. Dalam banyak kesem-patan ia juga memasang poster-poster itu di

Page 7: ‘Komik Indonesia itu Maju’: Tantangan Komikus Underground Indonesia

53ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

pinggir jalan, sehingga bisa dilihat semuaorang. Poster-poster itu tidak hanya mem-berinya kesulitan, tetapi juga cinta. LaineBerman, antropolog linguistik yang saat itusedang mempelajari bahasa Jawa dan partici-pant observation sebagai abdi dalem di keratonYogya, jatuh cinta padanya karena sebuahposter di pinggir jalan itu.Mereka menikah.10

Buku komiknya yang pertama, Bad TimesStories, terbit tahun 1994. Komik ini diedarkandari tangan ke tangan, dan digandakan dengancara fotokopi sebanyak 50 eksemplar. Hinggakini Athonk lupa berapa kali ia menggandakankomik pertamanya. Belum lagi penggandaanyang dilakukan oleh orang-orang lain untukkoleksi sendiri atau untuk dijual. MeskipunAthonk tidak menolak jika ada yang inginmembeli komiknya, ia lebih banyak memberikankomiknya secara cuma-cuma.

Dari Yogya, Athonk pindah ke Jakartaselama 2 tahun dan mencari uang denganmenjadi seniman tato. Karena ketidakberesanmanajemen, tempatnya itu bubar. Laine men-dapat tawaran mengajar di Melbourne, Aus-tralia. Athonk menyusul istrinya 6 bulankemudian. Melbourne ternyata tempat yangsangat cocok bagi Athonk karena di sanaterdapat komunitas komik independen. Komik-komiknya—saat itu ‘Bad Times Stories 2’sudah selesai dibuat dalam 3 bulan—mendapatsambutan hangat. Athonk pun mulai mendapatpenggemar. Athonk biasa menitipkan komiknyauntuk dijual di toko buku untuk dikirim kepenyalur-penyalur komik independen diAmerika Serikat dan Eropa. Athonk menjadibagian dari komunitas pembuat komik itu, danmereka membuat pertemuan rutin secara berkala.

Dari Melbourne, Laine kemudian mendapattawaran untuk mengajar di University ofHawaii. Seperti biasa, Athonk pun menyusul 6bulan kemudian. Di tempat itu, tidak adakomunitas komik independen. Bahkan, komikbawah tanah atau independen juga tidakterdapat di kampus-kampus seni yang biasanyamenjadi tempat peredarannya. Jika Athonkingin menitipkan buku-buku komiknya di tokobuku setempat, ia harus menjalani proseduryang lebih ketat. Akhirnya di tempat ini Athonkberkonsentrasi untuk membuat serial komikbaru yang berisi pengalaman-pengalamannyaselama ini. Ia membuat tokoh ‘old skull’, priapenuh tato dengan wajah tengkorak yangmenggambarkan dirinya sendiri.

Karya komik dan isinya

Poster dan komik Athonk dibuat detaildengan bolpen boxy dan penuh tulisan.Namun, ada perbedaan presentasi visual yangjelas antara karya-karya poster dan komikAthonk. Ukuran poster Athonk besar-besar,tingginya rata-rata satu meter dan lebarnya 65cm. Mereka berwarna, dibuat di atas kertasseluruhnya dengan bolpen gambar warna-warni.Jika poster Athonk sangat sarat dengan temasosial, maka seni tato Athonk sangat pedulipada ragam hias tradisional. Jika seni posterAthonk diarahkan sedekat mungkin denganrakyat Indonesia jelata, maka seni tatonyaselain ditujukan kepada pecinta tato lokal, jugadijual kepada para turis.11

Komik Athonk dibuat satu halaman dengankertas HVS biasa, dalam waktu 1–2 bulan,langsung dengan bolpen boxy atau dibuatsketsa terlebih dulu dengan pensil. Pada saatpenggandaan dengan mesin fotokopi, Athonk

11 Pada saat ia tinggal di Melbourne dan Hawaii, iabekerja membuka toko tato. Di Hawaii ia memperolehlisensi dari Palang Merah Amerika (PMA), syarat untukbekerja di bidang itu.

10 Laine melihat sebuah poster, lalu bertanya siapapembuatnya. Athonk sedang tidak berada di sana, danLaine lalu ‘menelusurinya’. Mereka bertemu dan jatuhcinta.

Page 8: ‘Komik Indonesia itu Maju’: Tantangan Komikus Underground Indonesia

54 ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

mengecilkan ukurannya menjadi separuhaslinya. Athonk menghindari desain-desaintradisional dalam komik. Sebaliknya, Ia ber-usaha memberikan gambar dan simbol univer-sal, agar komiknya mudah dinikmati pembacadi seluruh dunia. Untuk alasan yang sama, iamenggunakan bahasa Inggris, apalagi baginyalebih banyak kesulitan memilih konteks bahasaIndonesia yang cocok bagi cerita dan seluruhpembaca komik Indonesia.12

Karya ini dibuat dengan bahasa Inggris‘Sosro (wijayan)’, tentu saja dengan kesalahanstruktur berdasarkan bahasa Inggris baku. Saatitu Laine, yang sudah tinggal bersamanya,beberapa kali membetulkan tulisan di komik itusaat Athonk sudah tidur, tetapi ketika bangunAthonk akan marah dan mengembalikan apayang telah ditulisnya ke bentuk semula. Iabersikeras bahwa bahasa Inggris Sosro adalahkonteks komiknya yang tidak dapat diubahlagi.13 Selain masalah penerjemahan, Athonkmenggunakan frase-frase populer dari lagu-lagu rock.14 Buat Athonk, musik rock’n rolladalah salah satu sumber inspirasinya yangterbesar.

Penggunaan bahasa Inggris yang naifseperti ini menjadi daya tarik tersendiri bagipenggemar komik Athonk di luar negeri.Ironisnya, bahasa yang sederhana itu justrumembuat komiknya tidak dapat dipahami samasekali (bahkan di beberapa bagian Athonkmenggunakan kata dalam Bahasa Indonesia).

Sejak edisi ketiga, Laine membuat pengantaryang menerangkan konteks bahasa komikAthonk. Banyaknya penggunaan istilah rock’nroll mempermudah orang-orang yang tumbuhdalam budaya populer untuk memahami humordan pesan-pesan Athonk. Bahkan, beberapaparodi dari karya Athonk telah dibuat olehseniman-seniman komik Barat dengan fokuspada penggunaan bahasanya.

Garis-garis Athonk tebal dan kuat. Kecualikarakter malaikat, hampir tidak ada obyek yangdibiarkan putih polos. Arsiran mempunyai efekmemperkuat garis-garis yang telah yang ada.Selain untuk memberikan kesan klasik, warnahitam putih dipilih untuk menekankan pesanyang ingin disampaikan.15 Banyak sekali arsirankasar atau blok hitam pada karyanya. Blok inimenurut Athonk adalah strateginya untukmengisi kekosongan, karena gambar yangdibiarkan putih kurang bagus dilihat.

Pemberontakan Athonk dalam komiktidaklah se-’verbal’ posternya. Poster Athonkmemfokus pada serangkaian kasus yangspesifik, seperti kasus Kedungombo, ataurencana pendirian PLTN Muria. Sementara,Komik Athonk (Bad Times Stories 1 and 2)tidak mengacu pada kasus-kasus tertentu.Namun, isi ceritanya jelas memperlihatkanmasalah kebebasan melawan kesewenang-wenangan. Ia mengawali komik keduanyadengan kutipan Perjanjian Lama, kitab Daudayat 69:

Biarlah nama-nama mereka dihapuskan daribuku orang-orang yang hidup, dan biarlahmereka tidak termasuk daftar dari orang-orangmu.16

12 Bahasa Indonesia baku akan terlalu kaku, dan bahasainformal sehari-hari akan mengacu pada etnis tertentu.

13 Athonk tidak keberatan dengan penerjemahan.Menurutnya, karyanya bisa saja diterjemahkan menjadibahasa Indonesia atau Inggris yang baku, tetapi iamenyadari bahwa perubahan konteks ini akan banyakmengurangi isi pesan atau humornya.14 Misalnya ‘Seek and Destroy’ adalah lagu kelompok‘Metallica’, ‘Appetite for Destruction’ adalah albumGuns’n Roses, dan ‘Fade to Black’ adalah lagu theRolling Stones.

15 Pilihan untuk menggunakan warna hitam putih iniditekankan dalam sub judul untuk kedua bukukomiknya: Bad Times Stories 1 bersubjudul: ‘The End-less Warfare of Black and White’, dan bagian 2bersubjudul: ‘Pure Black Looking Clear’.16 Terjemahan dari ‘May their names be erased fromthe book of the living, may they not be included in thelist of your people.’

Page 9: ‘Komik Indonesia itu Maju’: Tantangan Komikus Underground Indonesia

55ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

Karakter tiga setan dibuat mirip satu samalain, namun jelas-jelas dibedakan dari karakter-karakter malaikat yang memburunya. Dalamcerita itu, ketiga setan berjuang mati-matianmenyelamatkan diri dari kejaran para malaikat.Misi para malaikat—seperti ditegaskan olehkutipan ayat di atas—jelas: menghancurkanpara setan.

Di buku pertama, tiga setan dikejar daritengah laut hingga sebuah pulau oleh satumalaikat. Di akhir buku pertama, si malaikat initerjebak lalu dicat hitam oleh si tiga setan. Mautidak mau dia menjadi salah satu setan, walaumasih bersayap dan karenanya tetap bisaterbang. Di bagian kedua, mereka berempatmempertahankan diri dari pasukan malaikatyang menyerang mereka dengan membabi buta.Ketika akhirnya mereka punya kesempatanberlindung di surga, malaikat penjaga surgamenolak menerima mereka (termasuk si malaikatnahas) karena mereka ‘hitam’ dan ‘berbeda’.

Hanya terdapat satu adegan yang berlang-sung linear, di buku pertama. Pada buku kedua,adegan empat setan di pulau dibuat paraleldengan persiapan para malaikat di surga untukmenghancurkan mereka. Seperti umumnya carabercerita dengan semangat posmodernisme,terdapat banyak digresi pada cerita besardengan ucapan atau lelucon yang tak ber-hubungan langsung, walau kadang masih adakaitannya dengan tema cerita.

Keberbedaan dan represi terhadap setan-setan adalah pesan utama cerita ini. Setan-setanyang harus dihancurkan diblok dengan tintahitam, sedangkan para malaikat pemburu yangjumlahnya banyak, dibiarkan berwarna putih.Selain perintah yang jelas bagi para malaikatuntuk membasmi setan, terdapat adegan ketikapara setan tiba di depan gerbang surga. Malaikatpenjaga surga menolak mereka karena merekasetan dan berwarna hitam. Ketika pasukanmalaikat ditugaskan membasmi setan-setanhingga musnah, ‘jenderal’ malaikat memerintah-

kan penghancuran total dengan menggunakansemua peluru kendali yang tersedia. Ini semuamerupakan simbol militerisme khas Orde Baru(lihat gambar 1).

Simbol represi juga dimunculkan dalamfigur-figur patung kepala dari batu seperti diPulau Paskah dan Poso, Sulawesi Tengah.Patung-patung itu muncul dengan wajah pelukisSalvador Dali, pengusung aliran surealisme.Patung-patung itu digambarkan dengan figurmiliteristis, lengkap dengan lambang bintangdi dahi mereka (lihat gambar 2). Secarabercanda, Athonk menyatakan bahwa pilihanpada figur Dali yang represif merupakan simboldari ayahnya yang bernama Dalijo. Namun,kemudian Athonk menyatakan bahwa pilihanfigur Dali lebih menggambarkan komunitasseniman Yogya yang banyak menganut aliransurealisme. Pada masanya, komunitas senimanYogya seringkali menolak karya-karya Athonkuntuk disertakan dalam pameran bersama.

Sikap Athonk tentang Dali terlihat ambigu.Seperti yang dikatakannya melalui wawancara:

Aku suka Dali, juga suka sama patung-patungitu. …Sebenernya (aku) nggak begitu sukaDali. Bosen juga. Kalau ditanya lebih dalem,ya memang bosen, karena udah terlalu banyak.Masih banyak seniman lain yang lebih bagusdaripada dia. Jadi, (aku) pilih Dali itu karenapada waktu itu (Dali) terlalu mendominasidunia seni rupa di Indonesia. Tahun ‘80-’90itu ‘kan semuanya surealisme-surealisme…jadi banyak yang njiplak-njiplak Dali. …Lukisanku nggak Dali. Hanya di komik. Tapi,itu salah satu bukti bahwa aku seneng Dalijuga… ha ha ha....

Pada bagian kedua, muncul patung Daliyang agak berbeda dari yang lain. Rambutnyaberpotongan mohawk seperti Athonk, danpada tubuhnya terdapat tiga laci masing-masingbergambar simbol organisasi peserta pemilu1997, yaitu bintang, pohon beringin, dan kepalabanteng. Setiap laci digunakan oleh seorangsetan untuk berlindung dari serangan pasukanmalaikat. Tubuh berlaci, lagi-lagi, diambilnya

Page 10: ‘Komik Indonesia itu Maju’: Tantangan Komikus Underground Indonesia

56 ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

dari lukisan-lukisan Dali antara tahun 1936–1938(lihat gambar 2 dan 3). Laci-laci menggambarkananalogi tubuh manusia. Bagi Dali, laci-lacimerupakan tempat manusia menyimpan danmengunci kepribadiannya (Néret 2000:42–45).17

Untuk makna simbol-simbol ini, Athonk mem-biarkan pembacanya menafsirkan sendiri.Walau demikian, jelas ada usahanya untukmengaitkan tiga peserta pemilu selama masaOrde Baru itu dengan simbol represivitas.Rambut mohawk dan gaya Elvis Presley yangada di salah satu patung adalah simbol dariAthonk sendiri (lihat gambar 2). Selain masalah

represivitas, Orde Baru mempunyai ciri absur-ditas dan standar ambigu tentang kategoribenar-salah dan baik-buruk. Hal ini secara vi-sual disimbolkan Athonk lewat tokoh jahat danbaik yang semuanya memiliki gambar halo,lingkaran di atas kepala. Halo lazim divisualkanuntuk menandakan kesucian seseorang padalukisan-lukisan bertema Yunani kuno danKristiani.

Distribusi yang dipilih dan peluangnya

Athonk mengaku tidak menyukai konsephak cipta. Baginya, penerapan hak cipta di In-donesia tidak berlangsung seperti seharusnya.Ia memilih bekerja secara independen untukmenjamin kebebasannya berkarya. Ia jugamemilih menerbitkan komiknya secara ‘bawah

Gambar 1. Jendral malaikat memerintahkan penghancuran total menggunakan rudal.

17 Dali yang banyak mendapat pengaruh dari SigmundFreud berpendapat bahwa hanya psikonalisis Freudianyang memiliki kunci untuk membuka laci-laci itu.

Page 11: ‘Komik Indonesia itu Maju’: Tantangan Komikus Underground Indonesia

57ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

Gambar 2. Laci-laci partai politik, simbol mohawk dan militerisme Orde Baru

tanah’ untuk mencapai pangsa pasar yangdiburunya: penggemar komik underground diluar negeri. Sebetulnya, penggemar komik un-derground di Indonesia cukup banyak.Sayangnya, lingkup peredarannya terbatas diantara mahasiswa sekolah seni saja. Pemilihanbahasa Inggris Sosrowijayan, dan banyaknyaungkapan-ungkapan yang diambil dari musik-musik rock kegemaran Athonk menunjukkanbahwa pilihan bahasa ini selain menjawab

tantangan pasar internasional, juga masihmerupakan ekspresi personalnya.

Ketika Athonk berada di Melbourne, iamenjumpai bahwa jaringan komik bawah tanahdi sana ternyata lebih luas daripada yangdiduganya. Jaringan tersebut memiliki hubung-an dengan jaringan serupa di Eropa danAmerika Serikat. Dalam waktu singkat, komik-komik Athonk dijual di toko-toko komik diberbagai negara Eropa dan Amerika. Orang-

Page 12: ‘Komik Indonesia itu Maju’: Tantangan Komikus Underground Indonesia

58 ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

Gambar 3. Tiga setan berlindung dari serangan pasukan malaikat! Si malaikat nahas tertinggal di luar.Baik tokoh setan maupun malaikat sama-sama memiliki halo, menyimbolkan ambiguitas norma ‘baik

buruk’ dan ‘benar-salah’.

orang menemukan komik Athonk di London,Berlin, Los Angeles, San Francisco, Seattle,Brooklyn, dan New York.

Komik Athonk juga masuk ke dalamjaringan internet. Tulisan para kritikus yangmembahas komik ini di majalah-majalah senidimuat—lengkap dengan cuplikan gambar-nya—di Internet. Selain itu, pasangan suamiisteri itu sendiri pun aktif menggunakan internet

untuk mencari bahan atau pun surat menyurat.Akhirnya, mereka pun membuat situs sendiridi Internet. Athonk membuat situs besar yangmenerangkan kegiatan keseniannya, termasukkomik. Athonk juga aktif membantu sebuah si-tus komik Indonesia, dan rajin menulis suratterbuka pada para pencinta komik Indonesiayang mau bertanya apa saja. Di Internet, Athonkdiposisikan menjadi komikus senior yang

Page 13: ‘Komik Indonesia itu Maju’: Tantangan Komikus Underground Indonesia

59ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

mampu menjawab pertanyaan-pertanyaanpenggemar dan pembuat komik yang berusialebih muda. Dalam waktu singkat, komik dannama Athonk menjadi populer dalam situs-si-tus pencari (search engine) di internet. Ia punsemakin banyak memperoleh permintaankiriman komik, terutama dari luar negeri.

Menyinggung persoalan pemasaran ko-miknya di Indonesia, Laine berpendapat bahwaAthonk tetap perlu membuat komiknya dalambahasa Indonesia. Athonk tidak membantahpentingnya hal itu. Namun, Athonk jugamenegaskan bahwa membuat komik denganbahasa Indonesia sangatlah sukar. Terlalubanyak konteks sosial yang muncul akibatalternatif gaya bahasa yang ada. Jika ia membuatdengan bahasa Indonesia baku, maka karyanyaakan terasa formal. Jika ia membuat denganbahasa sehari-hari, ia bingung harus memilihbahasa sehari-hari dari daerah mana. Pemilihanbahasa berdasarkan golongan etnis akanmengikat karyanya dengan kelompok etnis dankonteks sosial tertentu. Selain itu, bahasasehari-hari berkembang dengan sangat cepat,sehingga ia khawatir pada satu masa karyanyaakan dianggap ketinggalan zaman.

Ekspresi dan representasi komikAthonk

Walaupun komik digolongkan dalam ben-tuk seni massal, Athonk tidak terganggu ataspenggolongan karyanya ke dalam kerajinan atau‘seni rendah’. Baginya, kualitas kesenian tetapterletak pada ide dan sumbangan karya seni ituuntuk masyarakat—sebuah wacana khas salahsatu kubu realiseme sosial dalam seni rupa In-donesia. Bagaimanapun, karya-karya komikAthonk tidak bisa begitu saja digolongkan kedalam seni rendah yang mementingkanselera masyarakat, karena karyanya tetapmerupakan ekspresi personal. Bentuk-bentukgambar, bahasa Inggris Sosro dan ungkapan-

ungkapan yang diambil dari lagu-lagu rocksangat personal menggambarkan pribadinya.

Bagi Athonk, komik adalah media yangpaling ideal. Seperti yang telah dikemukakan diatas, pilihan medianya yang lain, yaitu poster,juga dibuat dalam panel kecil-kecil dan memuatbanyak tulisan. Media komik memberinyakesempatan untuk menyampaikan pesan secaralebih verbal. Athonk menekankan bahwagambar-gambar tanpa tulisan belumlah lengkap.Kebutuhan memverbalkan pesan dilakukannyasebagai usaha mendekatkan jarak antara karyaseni dengan pembaca atau penontonnya.Penyebaran komiknya secara cuma-cuma sertapemasangan posternya di papan pengumumandi luar gedung pameran dan di pinggir jalan,juga merupakan bagian dari usahanya untukmendekatkan karyanya ke masyarakat.

Berbeda dengan Athonk, karya-karyaseniman seniornya di ISI menyuarakanpersoalan-persoalan ketimpangan sosial ataukritik terhadap pembangunan dengan pesan-pesan yang lebih terbungkus simbol(Moelyono 1997:1–6).18 Lebih jauh, masa-masaawal kemunculan seniman-seniman pendidikantinggi seni rupa ditandai dengan prioritaspilihan para lulusannya atas bentuk ‘seni rupaatas’ (high art), seperti seni lukis, seni patungmodern dan seni desain, yaitu seni desain inte-rior, desain grafis, dan desain produk yang lebihjelas prospek penghasilannya . Merekaumumnya berasal dari keluarga kelas menengahke atas, keluarga profesional, dan pengusahaberduit. Golongan kelas menengah ke bawahtidak termasuk ke dalam penyaringan masuksekolah tinggi semacam itu. Hal itulah yangmelatarbelakangi keengganan mereka untukmenggeluti kategori karya-karya seni yangmembutuhkan tenaga. Mereka juga enggan

18 Dalam bagian ini Moelyono (1997) mengritik DedeEri Supria yang menurutnya kurang memahami denganbaik rakyat kecil yang dibelanya.

Page 14: ‘Komik Indonesia itu Maju’: Tantangan Komikus Underground Indonesia

60 ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

hidup di bawah standar kelas menengah(Moelyono 1997:17–18).

Semangat pemberontakan, kebebasanberbicara, dan berekspresi membuat komikAthonk menjadi sangat politis. Wacana politisjuga membuat komiknya menjadi artefak yangmemiliki daya tarik tinggi bagi pengamat asing.Apalagi kemunculannya berkisar di puncakkrisis politik Indonesia. Inspirasi Athonkmuncul karena kegiatannya dalam aksi-aksipolitis. Untuk mematangkan ide cerita, biasanyaia membutuhkan waktu satu bulan. Ia tidakmembuat struktur cerita terlebih dulu. Ialangsung menggambar ide bagian cerita yangpaling matang di kepalanya.

Secara estetika, Athonk lebih puas padaBad Times Stories 2. Waktu yang lebih panjangdalam proses kreatif menghasilkan cerita yanglebih panjang (bagian ke-1 kira-kira 16 halaman,dan bagian ke-2 mencapai 32 halaman). Grafis-nya pun lebih menarik. Namun, garis kasar yangbagi banyak kritikus merupakan sesuatu yangkhas Athonk dalam memunculkan kesan liar danmenegaskan dirinya sebagai bentuk seni‘pinggiran’, semakin berkurang. Arsir padabagian ke-2 lebih halus. Athonk mengaku masa-masa panjang di Melbourne membantunyaberkembang ke arah yang lebih baik.

Independensi dan distribusi bawah tanahdipilih Athonk karena kebutuhan berkarya, tidakadanya harapan pada industri komik Indone-sia, dan bagian dari protesnya kepada masya-rakat yang kurang dapat menerima perbedaan.Kepercayaan diri untuk membuka tempurungindustri komik lokal dan mengenalkan karyanyake luar negeri tumbuh karena pengalamannyatinggal dalam lingkungan internasional. Selaincukup lama tinggal di salah satu perkampunganturis Yogyakarta, keberadaan istrinya ikutmem-bangun semangat itu.

Keberhasilan Athonk terletak padaorisinalitas dan personalitas yang diterima oleh‘pasar’ spesifik di seluruh dunia. Ekspresi

komiknya muncul sebagai representasi peng-alamannya sejak kecil yang membentukidentitas yang khas (Indonesia?): ant imiliterisme, kapitalisme, dan komunisme.Seperti yang tertulis di bagian dalam sampulbelakang komik terbarunya. Menyoal identitasdiri, Athonk menggambarkan dirinya sebagaianak Jawa tertindas yang tinggal di kampungglobal. Persoalan tarik-menarik identitasnasional-lokal-global muncul sebagai temautama cerita komiknya. Hal itu membuatkaryanya berkarakter kuat, dan disukai olehpembaca komik dari konteks kebudayaan lainyang membantah asumsi bahwa tingkatdistribusi sebuah karya seni berbanding terbalikdengan kualitas wacananya. Sebaliknya, hal itumenunjukkan bahwa apa pun bentuk sebuahkarya, ia selalu tergantung dengan taktikdistribusi yang jitu, yang mampu menjual karyake pangsa pasar yang diinginkan.

Penutup

Sebuah karya yang ekspresif dan personaltidak berarti harus gagal di pasaran. Walauindustri komik Indonesia tidak berkembang,komik Indonesia tetap hidup dan mencapaikemajuan dengan caranya sendiri. PilihanAthonk kepada gaya produksi independenadalah perlawanannya untuk mampu ber-ekspresi dengan bebas. Strategi memilihdistribusi ‘bawah tanah’ merupakan wujudsemangatnya untuk tetap menyebarluaskankaryanya tanpa harus tergantung padaindustri komik lokal yang kini praktis mati. Ke-berhasilan—dalam konteks komik Indonesia—adalah kemampuannya untuk tetap produktifdengan karya yang orisinal dan independen,dengan tetap merepresentasikan kondisi sosialpolitik masyarakat di sekitarnya.

Pilihan komik adalah pilihan ‘seni rendah’menurut sudut pandang teori seni rupa Barattradisional. Namun baginya, bentuk ini tidak

Page 15: ‘Komik Indonesia itu Maju’: Tantangan Komikus Underground Indonesia

61ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

berjarak dengan rakyat, dan efektif untukmenyampaikan pikiran-pikirannya. Pemikirankomik sebagai bentuk seni rendah atau massalsama sekali tidak relevan. Saat ini, ukuran keber-hasilan sebuah karya seni terletak padakemampuan karya itu untuk berkomunikasidengan konsumennya. Kebutuhan untukmembuat karya seni yang dekat denganmasyarakat; dan bentuk serta pesan karyakomik Athonk muncul sebagai representasi daripengalaman hidupnya, kondisi sosial-politik

Kepustakaan

Anderson, B.1990 Languge and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. Ithaca: Cornell University

Press.

Athonk 1995a Bad Times Stories. Komik independen/bawah tanah. 1995b Bad Times Stories 2. Komik independen/bawah tanah.

Berman, L.1995 ‘Paint in Black in Daliland: Introduction to the Bad Times Stories’, dalam Bad Times Stories.

Komik independen/bawah tanah.1998 ‘Ayam Majapahit Meets Kung Fu Boy: The Death of Indonesian Comics’, dalam Comic

Edge (issue June no.21).1999 ‘The Art of Street Politic in Indonesia’, dalam T. Lindsey dan H. O’Neill (peny.) Awas!

Recent Art from Indonesia. Melbourne: Indonesian Arts Society.2000 ‘Indonesia is Definitely OK!: Independence and Idealism through Comics’, dalam Inside

Indonesia. July-September. 62.

Bruner, E.M.1986 ‘Experience and its Expressions’, dalam E.M. Bruner dan V. Turner (peny.) The Anthropology

of Experience. Urbana: University of Illinois Press.

Dermawan, A.T.1998 ‘The Role of Art Associations: 1950’s to 1960’s’, dalam Indonesian Heritage: Visual Arts.

Singapore: Archipelago Press.

Esmeralda dan M. Bollansee1987 Masterpieces of Contemporary Indonesian Painters. Times Edition: Singapore.

Kusnadi1998a ‘Naturalism of Mooi Indië’, dalam Indonesian Heritage: Visual Arts. Singapore: Archipelago

Press.1998b ‘An Early Modern Art Movement: Persagi’, dalam Indonesian Heritage: Visual Arts’.

Singapore: Archipelago Press.

masyarakat pada saat yang bersangkutan, dansejarah seni rupa Indonesia yang panjang.Walau seni rupa tradisional banyak mem-pengaruhi bentuk seninya yang lain (misalnyatato), komik Athonk cenderung memunculkangagasan-gagasannya yang universal. Semuahal di atas menjadi kombinasi pembentukansebuah karya yang unik dan kuat. Terbukti,dengan konsep distribusi yang kuat, karya inimampu diterima dengan baik oleh pangsanya.

Page 16: ‘Komik Indonesia itu Maju’: Tantangan Komikus Underground Indonesia

62 ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

McCloud, S.1993 Understanding Comics: The Invisible Arts. New York: Harper Perennial/Kitchen Sink Press.

Mirzoeff, N. 1999 An Introduction to Visual Culture. New York: Routledge.

Moelyono 1997 Seni Rupa Penyadaran. Yogyakarta: Bentang.

Néret, G. 2000 Dali. Koln: Taschen.

Pirous, I.M.1997 Makna Modernitas bagi Para Seniman Seni Rupa Modern Indonesia: Studi Kasus terhadap

Tiga Orang Seniman di Surabaya, Jogyakarta dan Bandung. Skripsi Sarjana tidak diterbitkan.Depok: Universitas Indonesia.

Purnomo, S.1998 ‘Kelahiran Seni Rupa Indonesia Baru’, dalam Dari Mooi Indie hingga Persagi. Jakarta:

Museum Universitas Pelita Harapan.

Spanjaard, H.1998a ‘Colonialism and Nationalism’, dalam Dari Mooi Indie hingga Persagi’. Jakarta: Museum

Universitas Pelita Harapan.1998b ‘The Art Academies: ITB, Bandung’, dalam Indonesian Heritage: Visual Arts’. Singapore:

Archipelago Press.1998c ‘The Art Academies: ASRI, Yogyakarta’, dalam Indonesian Heritage: Visual Arts. Singapore:

Archipelago Press.

Sudjojono, S2000 Seni Lukis, Kesenian dan Seniman. Yogyakarta: Aksara Indonesia.

Wisetrotomo, S.1998 ‘Persagi: Perlawanan Terhadap Eksotisme Beku,’ dalam Dari Mooi Indie hingga Persagi.

Jakarta: Museum Universitas Pelita Harapan.