Perjanjian No:III/LPPM/2018-01/23-P KOLABORASI ANTARA INDONESIA DAN NEGARA-NEGARA KEPULAUAN PASIFIK DALAM MENGHADAPI TANTANGAN LINGKUNGAN Disusun Oleh: Elisabeth A.S. Dewi, Ph.D Stanislaus R. Apresian, M.A. Vrameswari Omega W., M.Si (Han) Feby Elvani Pangestika Agnes Gianni Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan 2018
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Perjanjian No:III/LPPM/2018-01/23-P
KOLABORASI ANTARA INDONESIA DAN NEGARA-NEGARA
KEPULAUAN PASIFIK DALAM MENGHADAPI TANTANGAN
LINGKUNGAN
Disusun Oleh:
Elisabeth A.S. Dewi, Ph.D
Stanislaus R. Apresian, M.A.
Vrameswari Omega W., M.Si (Han)
Feby Elvani Pangestika
Agnes Gianni
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................. 7
BAB III. METODE PENELITIAN ......................................................................................... 13
BAB IV. JADWAL PELAKSANAAN ................................................................................... 17
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................. 18
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................ 26
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 27
2
ABSTRAK
Kajian ini merupakan tahap awal dari serangkaian penelitian mengenai kerja sama antara
Indonesia dengan negara-negara kepulauan Pasifik dalam mengatasi permasalahan lingkungan
akibat dari perubahan iklim. Tujuan dari penelitian ini mengidentifikasi tantangan-tantangan
keamanan lingkungan yang dihadapi oleh negara-negara kepulauan Pasifik dan memetakan
kerja sama yang sudah dilakukan antara Indonesia dengan kawasan Pasifik dalam mengatasi
permasalah lingkungan. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menggali dan
mengelaborasi kerja sama yang dapat dilakukan lebih jauh dan intens antara Indonesia dengan
negara-negara kepulauan Pasifik dan melihat pentingnya kolaborasi ini. Penelitian ini telah
diterbitkan dalam Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, dijadikan rujukan bahan ajar mata
kuliah Hubungan Internasional Asia Pasifik, serta digunakan sebagai sebuah rekomendasi
kebijakan khususnya kepada Direktorat Kerja Sama Teknis dan Direktorat Kerja Sama
Intrakawasan dan Antarkawasan Asia Pasifik dan Afrika, Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia. Penelitian ini mengandalkan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data
melalui studi literatur dan wawancara mendalam. Rencana penelitian ini berlangsung dari
bulan Januari hingga November 2018 yang dibagi ke dalam 5 tahap, antara lain, pre-eliminary
research, pengolahan data awal, wawancara, analisis data, dan penyusunan laporan penelitian.
Kata kunci: keamanan lingkungan, perubahan iklim, Indonesia, Kepulauan Pasifik
3
BAB I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Penelitian
Permasalahan lingkungan masih menjadi isu utama bagi negara-negara di dunia, tidak
terkecuali bagi negara-negara di Kepulauan Pasifik dan juga Indonesia. Menurut data yang
dikeluarkan oleh Bank Dunia pada tahun 2016, kawasan Pasifik dikenal sebagai salah satu
yang paling rentan terkena bahaya alam (natural hazard) dan perubahan iklim di dunia.1
Negara-negara di Pasifik bukanlah negara yang menjadi penyumbang besar emisi gas karbon
akan tetapi menjadi kawasan yang paling terkena dampak dari perubahan iklim dan terancam
eksistensinya. Pemanasan global telah memberikan efek yang nyata terhadap naiknya
permukaan air laut yang mengakibatkan kurangnya persediaan air bersih dan menghancurkan
daratan yang ada.2 Negara-negara di kepulauan Pasifik memang merupakan kawasan yang
rentan terhadap sejumlah bencana alam seperti siklon, kekeringan, banjir, longsor, erupsi dan
gunung merapi tetapi kondisi ini diperparah oleh adanya perubahan iklim. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa setidaknya 8 pulau di Samudera Pasifik telah tenggelam akibat naiknya
permukaan air laut.3 Walaupun memiliki risiko yang tinggi terhadap permasalahan lingkungan,
negara-negara kecil di kepulauan Pasifik masih sangat memiliki keterbatasan dalam sumber
daya manusia dan juga kapasitas dalam memitigasi bencana.
Kondisi serupa pun terjadi di Indonesia. Sebagai negara yang terletak di kawasan
Pacific Ring of Fire dan dikelilingi tiga lempeng tektonik menyebabkan Indonesia menjadi
wilayah yang rawan bencana. Lebih jauh lagi, perubahan iklim juga turut menjadi sumber
permasalahan lingkungan di Indonesia. Seorang ahli bencana dari Universitas Gadjah Mada
mengatakan bahwa dampak perubahan iklim telah mengancam sekitar 2000 pulau dan 42 juta
rumah di Indonesia akan tenggelam sebelum tahun 2050.4 Hampir 85 persen bencana yang
terjadi di Indonesia berhubungan erat dengan fenomena terkait perubahan iklim.5 Untuk itu,
1 World Bank. (2016).Climate change and Disaster Management. Washington: The World Bank, hlm. 16 2 Jim Rolfe. 2014. “The Pacific Islands: Security Problems Out of Mind and Out of Focus”. Centre for Strategic
Studies New Zealand. Diakses dari https://www.victoria.ac.nz/hppi/centres/strategic-studies/documents/20_The-
Pacific-Islands_Security-Problems-Out-of-Mind-and-Out-of-Focus.pdf pada 30 Oktober 2017 pukul 20.00 WIB 3 Trevor Nace. ( September 2017). “New Study Finds 8 Islands Swallowed By Rising Sea Level”. Diakses dari
level/#54c494575283 pada 5 Desember 2017 pukul 15.00 WIB 4 The Jakarta Post. (Desember 2015). “Rising Sea Levels Threaten 2000 Islands in Indonesia”. Diakses dari
http://www.thejakartapost.com/news/2015/12/17/rising-sea-levels-threaten-2000-islands-indonesia.html pada 5
Bab ini mencoba menjelaskan konsep keamanan lingkungan untuk mengkaji kerja sama
antara Indonesia dengan negara-negara di Kepulauan Pasifik dalam mengatasi keamanan
lingkungan. Dalam hal ini, dimulai dengan paparan state of art kajian mengenai keamanan
lingkungan yang telah dilakukan para peneliti sebelumnya. Selain itu, dideskripsikan juga
mengenai pentingnya keamanan lingkungan bagi negara-negara di wilayah Pasifik, faktor-
faktor yang mempengaruhi tantangan lingkungan, dan pendekatan yang diperlukan untuk
mengatasi tantangan-tantangan lingkungan.
Studi mengenai keamanan lingkungan (environmental security) dalam hubungan
internasional pada dasarnya masuk pada ranah kajian keamanan. Secara khusus, kajian ini juga
masuk dalam wilayah pembahasan keamanan manusia. Memasuki tahun 1990-an, tepatnya
setelah Perang Dingin berakhir, ada kebutuhan untuk meredefinisi dan memperluas konsep
keamanan. Salah satu karya yang berpengaruh terhadap perkembangan konsep keamanan ialah
artikel yang ditulis oleh Richard Ullman. Menurut Ullman, konsep keamanan tradisional masih
terlalu sempit dan beriorientasi hanya pada aspek militer saja.11 Dalam tulisannya ia
menyatakan bahwa konsep keamanan tidak harus memiliki nilai yang absolut sehingga nilai-
nilai lainnya terutama yang berkaitan dengan kebebasan dapat dipertimbangkan. Menurut
analisisnya, agenda keamanan setelah Perang Dingin juga membahas mengenai ancaman-
ancaman non-militer, termasuk kelangkaan sumber daya dan pemenuhan kebutuhan dasar
manusia.12 Untuk itu, redefinisi konsep keamanan menjadi penting.
Saat ini, keamanan tidak lagi berbicara mengenai negara saja tetapi juga manusia.
Dalam tulisan Barry Buzan, Ole Waever, dan Jaap de Wilde yang berjudul “Security: A New
Framework for Analysis”, mereka membagi ranah keamanan tidak hanya menyangkut sektor
militer saja tetapi merambah 4 sektor lainnya termasuk lingkungan. Hal ini pun diperkuat oleh
pernyataan UNDP13 bahwa ancaman yang muncul tidak lagi berasal dari agresi militer
eksternal melainkan bersifat internal yang menyentuh kehidupan manusia sehari-hari seperti
tantangan lingkungan. Ketika isu lingkungan mengancam kondisi eksistensi manusia dalam
skala besar seperti dalam kasus dimana negara-negara rentan terhadap kenaikan air muka laut
tetapi memilki keterbatasan kapabilitas untuk menanganinya maka hal ini sudah termasuk ke
11 Richard Ullman. 2011. “Redefining Security”. Dalam Christopher W. Hughes dan Lai Yew Meng, Security
Studies: A Reader. London: Routledge, hlm. 11 12 Ibid. 13 United Nations Development Program adalah badan PBB yang memberikan bantuan teknis dan pembangunan
di dunia
8
dalam isu keamanan.14 Seperti apa yang dikatakan Barry Buzan dalam artikelnya yang berjudul
“New Patterns of Global Security in the Twenty-First Century”, batas bawah keamanan adalah
adanya ancaman terhadap kelangsungan hidup.15 Pada dasarnya menurut Buzan, dkk.
keamanan lingkungan berfokus pada bagaimana memelihara lapisan kehidupan sebagai sistem
pendukung paling esensial tempat seluruh sumber daya manusia menggantungkan hidupnya.16
Penelitian lain diungkapkan oleh Nicole Detraz bahwa lingkungan dan keamanan memiliki
keterkaitan. Detraz menyatakan terdapat tiga hubungan antara lingkungan dan keamanan.
Pertama, degradasi lingkungan secara langsung dapat mendorong terjadinya konflik. Kedua,
kerusakan lingkungan memberikan dampak negatif terhadap keamanan manusia. Terakhir,
aktivitas manusia mengakibatkan kerusakan lingkungan atau disebut dengan istilah keamanan
ekologis.17 Silmon Dalby juga berpendapat bahwa perubahan iklim telah menjadi bagian dari
ancaman lingkungan yang muncul. Menurut Dalby, perubahan iklim menambahkan urgensi
baru terhadap diskusi panjang mengenai keamanan lingkungan.18 Dalam tulisannya, Dalby
memfokuskan pada tiga hal, yaitu kerentanan perkotaan terhadap kejadian ekstrem;
konsekuensi sosial dan politik dari upaya adaptasi dan mitigasi; dan upaya geo-engineering
untuk mengatasi perubahan iklim. Ia berpendapat bahwa dalam beberapa hal, permasalahan
lingkungan mungkin menjadi bagian dari keamanan nasional. Namun, isu lingkungan utama
memerlukan kerja sama internasional untuk ditangani secara efektif.19
Adapun artikel yang ditulis oleh J. Scott Hauger yang secara spesifik membahas tentang
tantangan-tantangan perubahan iklim terhadap keamanan di wilayah kepulauan Pasifik dan
peluang kerja sama untuk mengelola ancaman tersebut. Hauger menyatakan bahwa,
berdasarkan konsensus ilmiah, pemanasan global menyebabkan perubahan pada sistem iklim
bumi yang berdampak pada keamanan lingkungan.20 Berdasarkan karakteristik geografis,
negara-negara-negara di Kepulauan Pasifik memiliki tantangan-tantangan lingkungan
tersendiri yang kemudian diperparah oleh fenomena perubahan iklim seperti naiknya
14 Barry Buzan, “New Patterns of Global Security in the Twenty-First Century”, International Affairs (Royal
Institute of International Affairs 1944-), Vol. 67, No. 3 (Jul., 1991), hlm. 450 15 Ibid., hlm. 432 16 Barry Buzan, Ole Waever, dan Jaap Wilde. 1998. “Security: A New Framework for Analysis”. London: Lynne
Rienner Publishers, hlm. 8 17 Nicole Detraz. 2015. Environmental Security and Gender. London: Routledge., hlm. 174. 18 Simon Dalby. 2013. “Climate Change: New Dimensions of Environmental Security”, The RUSI Journal, Vol.
158, No. 3, (Juni-Juli, 2013), hlm. 34. 19 Ibid. 20 Stocker, T. F., et al., eds.,.2013. Intergovernmental Panel on Climate Change’s (IPCC) “Summary for
Policymakers” in Climate Change 2013: The Physical Science Basis. Cambridge, Cambridge University Press.
9
permukaan air laut dan badai tropis.21 Selain itu, negara-negara kepulauan ini pun bergantung
pada sektor perikanaan dan pariwisata untuk menjalankan roda perekonomian. Namun, kedua
sektor ini terancam oleh pengasaman air laut dan kenaikan suhu. Pasokan air tawar menjadi
sedikit karena lahan untuk menyerap curah hujan terbatas dan juga disebabkan oleh kenaikan
permukaan air laut.22
Menurut Hauger, negara-negara di Kepulauan Pasifik sangat rentan terhadap dampak
yang ditimbulkan dari perubahan iklim. Dampak keamanan yang langsung dirasakan oleh
negara-negara ini, antara lain, berkurangnya akses terhadap air bersih, pasokan makanan, dan
kerusakan infrastruktur pesisisr.23 Bagi negara-negara pulau karang, seperti Kiribati, Tuvalu,
dan Kepulauan Marshall, kenaikan air muka laut merupakan ancaman eksistensial. Hal ini juga
berkaitan dengan kerugian ekonomi yang disebabkan oleh penurunan pendapatan dari sektor
pariwisata hingga keharusan untuk melakukan migrasi ke dataran yang lebih tinggi. Laporan
dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memproyeksikan risiko menengah
hilangnya mata pencaharian, permukiman pesisir, infrastruktur, ekosistem, dan stabilitas
ekonomi bagi negara-negara pulau kecil dalam jangka waktu 2030-2040 dan sangat berisiko
tinggi dalam jangka panjang 2080-2100.24 Melihat pada situasi yang dihadapi oleh negara-
negara di Kepulauan Pasifik ini, maka dibutuhkan kerja sama untuk mengelola ancaman yang
terjadi dalam hal mitigasi, adaptasi, respons, serta penciptaan dan diseminasi pengetahuan bagi
masyarakat.25 Dengan populasi yang sedikit dan terbatasnya sumber daya, negara-negara di
wilayah Pasifik harus mencapai strategi kolaboratif untuk mengelola ancaman perubahan
iklim.26 Hauger menegaskan kerja sama antarsektor, lintas sektor, regional, dan internasional
merupakan pendekatan yang dibutuhkan untuk mengatasi tantangan-tantangan lingkungan
yang dihadapi oleh negara-negara di wilayah Pasifik. Mereka harus menggalakkan dan
memanfaatkan kesempatan untuk melakukan berbagai kolaborasi yang bertujuan untuk
mengelola mitigasi, adaptasi, dan respons terhadap perubahan iklim dan juga mengembangkan
dan menyebarkan pengetahuan terkait perubahan iklim dan cara mengatasinya untuk
mendukung kegiatan-kegiatan yang dilakukan.
21 J. Scott Hauger. 2015. “Climate Change Challenges to Security in the Pacific Islands Region and Opportunities
for Cooperation to Manage the Threat”. Dalam Rouben Azizian dan Carleton Cramer, Regionalism, Security &
Cooperation in Oceania. Honolulu: Asia Pacific Center for Security Studies, hlm. 148 22 Ibid. 23 Ibid., hlm. 148 24 Field, C.B., et al., eds., IPCC “Summary for policymakers” in Climate Change 2014: Impacts, Adaptation,
and Vulnerability. Part A: Global and Sectoral Aspects. Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 23.
and Vulnerability. Part A: Global and Sectoral Aspects. Cambridge: Cambridge University Press., hlm. 23. 25 J. Scott Hauger , Op.Cit., hlm. 148. 26 Ibid., hlm. 156
10
Pemikiran mengenai keamanan lingkungan terus mengalami perkembangan seiring
meningkatnya pengetahuan dan perhatian lokal dan global terhadap perubahan-perubahan
lingkungan yang terjadi.27 Upaya-upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang
mendorong untuk mencapai kebijakan yang menekankan pada pembangunan berkelanjutan
dan ketahanan iklim (climate resilience) kini masuk ke dalam hal keamanan.28 Dampak dari
perubahan iklim ini pun tentunya dirasakan oleh semua aktor, mulai dari individu hingga
negara. Menciptakan respons yang kooperatif antar semua pihak baik itu ditingkat nasional,
regional, hingga global untuk mengatasi tantangan-tantangan lingkungan menjadi sebuah hal
yang penting.29 Untuk itu, membangun kerja sama yang koheren antarnegara menjadi sebuah
kebutuhan tersendiri dalam mengatasi isu keamanan lingkungan.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kajian yang telah ada lebih
memfokuskan bagaimana permasalahan lingkungan seperti perubahan iklim menjadi bagian
dalam studi tentang keamanan dan bagaimana kerja sama internasional diperlukan untuk
mengelola tantangan lingkungan. Penelitian ini akan bertitik tolak untuk mengidentifikasi
tantangan-tantangan keamanan lingkungan. Selanjutnya memetakan kerja sama apa saja yang
sudah dilakukan dan tantangan dalam mengimplementasikan kerja sama tersebut. Setelah itu,
penelitian ini akan mengkaji lebih dalam potensi kerja sama apa yang dapat diciptakan untuk
mengatasi permasalahan lingkungan di masa depan yang sifatnya lebih berkelanjutan.
Sementara itu, kajian yang secara khusus membahas mengenai kerja sama Indonesia
dengan negara-negara kepulauan Pasifik dalam mengatasi isu lingkungan masih sangat minim
bahkan belum ada sama sekali. Adapun penelitian sebelumnya yang berjudul “Disaster Relief
Sebagai Bentuk Soft Power Diplomacy Indonesia, Studi Kasus: Siklon Pam di Vanuatu, Maret
2015”. Penelitian ini lebih membahas proses bantuan kemanusiaan yang diberikan Indonesia
ke Vanuatu dalam mengatasi dampak siklon Pam yang terjadi pada 2015 dan dilihat sebagai
upaya diplomasi Indonesia untuk menjalin hubungan bilateral yang lebih kuat. Penelitian lain
yang sudah pernah dilakukan dengan judul Foreign Direct Investment (FDI) and
Environmental Degradation: Does Pollution Haven Exist in Indonesia membahas mengenai
tantangan keamanan lingkungan yang dihadapi oleh Indonesia. Hadirnya FDI ternyata dapat
membawa dampak buruk bagi kerusakan lingkungan. Ada dugaan bahwa FDI yang masuk ke
negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia ini mencari negara yang memiliki regulasi
27 J. Jackson Ewing. 2016. “Environmental Security”, dalam An Introduction to Non-Traditional Security Studies:
menunjukkan bahwa, negara kecil mengalami bencana dengan frekuensi yang lebih besar
dibandingkan dengan negara-negara besar atau maju.37 Berdasarkan data dari Centre for
Research on the Epidemiology of Disasters, ada 11 bencana alam yang melanda Negara-negara
Kepulauan Pasifik dari bulan Mei 2015 hingga Januari 2018. Tipe bencana alam yang dialami
antara lain wabah demam berdarah, wabah campak, tanah longsor, angin topan, dan banjir. 38
Dengan melihat Negara-negara Kepulauan Pasifik yang hanya memiliki jumlah populasi yang
kecil, dana terbatas, dan sumber daya yang terbatas untuk mengatasi dampak perubahan iklim,
Negara-negara Kepulauan Pasifik seharusnya tidak hanya bergantung pada anggaran nasional
dan sumber daya mereka saja. Mereka seharusnya mencari mitra kolaborasi yang memiliki
kepentingan yang sama, dan memiliki pengalaman dalam mengelola dampak perubahan iklim.
Kolaborasi bisa dalam bentuk antar-lembaga, cross-sectoral, regional, dan internasional. 39
Indonesia yang juga menghadapi kerentanan terhadap dampak perubahan iklim dapat
menjadi mitra kolaborasi yang potensial untuk Negara-negara Kepulauan Pasifik. Indonesia
memiliki ancaman lingkungan yang mirip dengan Negara-negara Kepulauan Pasifik dan
memiliki pengalaman dalam mengelola dampak perubahan iklim. Secara geografis, Indonesia
berlokasi di Kawasan pasifik juga. Oleh karena itu, kolaborasi antara Indonesia dan Negara-
negara Kepulauan Pasifik akan menguntungkan kedua belah pihak.
Bantuan Indonesia untuk Negara-Negara Kepulauan Pasifik dalam Menangani
Permasalahan Lingkungan
Indonesia telah memberikan sejumlah bantuan teknis kepada negara-negara di kawasan
Pasifik melalui Kerangka Kerjasama Selatan-Selatan (KSS). Dalam kerangka KSS, ada
beberapa program yang telah dilakukan di Negara-Negara Kepulauan Pasifik sebagai upaya
untuk membantu mereka dalam menangani dan mengantisipasi risiko yang ditimbulkan oleh
cuaca ekstrim dan ancaman iklim. Salah satu kerja sama difokuskan pada pengembangan
kapasitas sumber daya manusia melalui sejumlah pelatihan. Seperti pada tahun 2014-2017, 41
37 International Monetary Fund, “IMF Policy Paper Small States’ Resilience to Natural Disasters and Climate
Change – The Role of IMF,” Policy Papers, accessed 20 January 2018,
https://www.imf.org/external/np/pp/eng/2016/110416.pdf. 38 Centre for Research on the Epidemiology of Disasters, “EM-DAT: Disasters of the Week,” The International
Disaster Database, accessed January 20, 2018, www.emdat.be. 39 J. Scott Hauger, Climate Change Challenges to Security in the Pacific Islands Region and Opportunities for
Cooperation to Manage the Threat, in Regionalism, Security and Cooperation in Oceania, ed. Rouben Azizian,
and Carleton Cramer (Honolulu: Asia-Pacific Center for Security Studies Honolulu United States, 2015), 156.
21
pelatihan telah diberikan oleh Pemerintah Indonesia kepada Fiji dalam kerangka kerja sama
teknis.40 Pada Juli hingga Agustus 2017, Indonesia telah mengadakan pelatihan terkait sistem
peringatan dini dengan menggunakan aplikasi geospasial dan pembangunan berkelanjutan.
Pelatihan ini dihadiri oleh 12 peserta dari perwakilan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB) dari enam negara
di kawasan Pasifik, diantaranya, Fiji, Papua Nugini, Samoa, Kepulauan Solomon, Tonga, dan
Vanuatu. Selain itu, UN ESCAP (United Nations Economic and Social Commission for Asia
and the Pacific) dan BMKG telah mengadakan kegiatan pelatihan yang berhubungan dengan
kajian pengurangan risiko bencana dan sistem peringatan dini dengan menggunakan Sistem
Informasi Geospasial di negara-negara Pasifik.41
Direktorat Kerja sama Teknis, Kementerian Luar Negeri juga telah melaksanakan
sejumlah program terkait pengurangan risiko bencana. Sebagai contoh, workshop internasional
dalam meningkatkan KSS dalam manajemen risiko bencana di kawasan Asia Pasifik dengan
memfokuskan pada upaya adaptasi perubahan iklim yang dihadiri oleh perwakilan negara Fiji
dan Paoua Nugini. Kegiatan ini memiliki tujuan untuk meningkatkan kapasitas dan
membagikan pengalaman dari berbagai institusi di Indonesia yang memiliki keterkaitan dalam
bidang manajemen risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim kepada negara-negara peserta.
Selain itu, kegiatan ini merupakan wadah untuk bertukar pengalaman dan ide antarnegara yang
hadir dalam workshop ini.42 Lokakarya terkait dengan manajemen risiko bencana yang
berfokus pada penyususnan perencanaan strategis KSS juga pernah dilaksanakan, yang
merupakan kolaborasi antara Kementerian Luar Negeri, UN ESCAP, Unit Khusus UNDP
(United Nations Development Programme) untuk KSS (Asia-Pasifik), dan Pusat Gerakan Non-
Blok untuk Kerjasama Teknik Selatan-Selatan (NAM CSSTC). Lokakarya ini dihadiri oleh
praktisi manajemen risiko bencana dari Fiji dan Papua Nugini. Hasil dari lokakarya adalah
pembentukan Rencana Strategis Kerjasama Selatan-Selatan untuk Pengurangan Risiko
Bencana tahun 2009-2011.43
40 Direkorat Kerja Sama Teknis, Kementerian Luar Negeri RI, , “Kerja sama Teknik RI-Fiji 2017”.
Dipresentasikan pada rapat terbatas terkait rencana kerja sama dengan Kawasan Pasifik pada 30 Oktober 2017 di
Hotel Sensa Bandung 41 The Jakarta Post, “RI and the Pacific: A History of Cooperation” (2 Desember 2016). Diakses pada 31 Januari
2018, http://www.thejakartapost.com/adv/2016/12/02/ri-and-the-pacific-a-history-of-cooperation.html 42 Kementerian Luar Negeri RI, “International Workshop on Enhancing South-South Cooperation Roles on
Disaster Risk Management in Asia Pacific: Focusing on Climate Change Adaptation”, Kemlu.go.id, (14 Oktober
2008). Diakses pada 28 Januari 2918, https://www.kemlu.go.id/id/berita/siaran-pers/Pages/International-
Workshop-on-Enhancing-South-South-Cooperation-Roles-on-Disaster-Risk-Management-in-Asi.aspx 43 Kementerian Luar Negeri RI, “Kerjasama Teknik Memperkuat Kemitraan”, Tabloiddiplomasi.org (19 Agustus
2009). Diakses 23 Januari 2018, http://www.tabloiddiplomasi.org/index.php/2009/08/19/kerjasama-teknik-
memperkuat-kemitraan/
22
Pelatihan tentang ekowisata juga telah difasilitasi oleh Indonesia untuk beberapa
Negara Kepulauan Pasifik. Pelatihan ini dimaksudkan untuk berbagi pengalaman Indonesia
dalam mengelola potensi ekowisata ke negara-negara di kawasan Pasifik. Pelatihan ini
termasuk membahas pengembangan ekowisata di wilayah Pasifik; pembelajaran dan praktik
terbaik Indonesia; prinsip dan praktik ekowisata di pulau-pulau; perubahan iklim dan
dampaknya terhadap pariwisata; serta mitigasi bencana alam di kawasan ekowisata.44 Bantuan
kemanusiaan juga telah disampaikan oleh Indonesia ke Vanuatu dan Fiji sebagai tanggapan
untuk mengatasi dampak siklon Pam dan Winston. Pada tahun 2015, Indonesia menyediakan
bantuan kemanusiaan senilai 2 juta dollar AS yang terdiri dari bahan makanan, obat-obatan,
tenda, selimut, pembangkit listrik, tempat tidur lipat, dan perlengkapan kebersihan pribadi.
Selain itu, Indonesia mengirim tim terpadu untuk melakukan asesmen kebutuhan pascabencana
di beberapa wilayah Vanuatu sebagai dampak dari Siklon Pam.45 Kemudian pada tahun 2016,
Pemerintah Indonesia memberikan bantuan sebesar 5 juta dollar AS untuk membantu Fiji
dalam mengatasi dampak Siklon Winston.46 Dalam sebuah pernyataan pers tahunan, Retno
Marsudi mengatakan bahwa Indonesia terus memperkuat keterlibatannya di Pasifik melalui
pelatihan berbasis kapasitas dan bantuan kemanusiaan, terutama ketika negara-negara di
kawasan ini dilanda bencana alam, sebagai bentuk solidaritas sebagai warga dunia dan bagian
dari negara Pasifik.47 Kehadiran Indonesia di kawasan Pasifik dapat dilihat sebagai upaya untuk
membangun empati dan solidaritas yang didasarkan pada ikatan budaya dan berbagi beban.
Terlepas dari pertimbangan politik, bantuan yang diberikan oleh Indonesia menunjukkan
pentingnya Indonesia bagi Negara-Negara di Kepulauan Pasifik dan juga bentuk solidaritas
kepada orang-orang Melanesia untuk memenangkan hati dan pikiran mereka. Namun,
Indonesia harus lebih memperhatikan kawasan ini terutama dalam kaitannya dengan masalah
kedaulatan Indonesia di Papua.
44Kementerian Luar Negeri RI, “International Training Program on Ecotourism for Pacific Countries,
Kemlu.go.id. (2011, April 26). Diakses pada 31 Januari 2018, https://www.kemlu.go.id/id/berita/siaran-
tas.Antarnegara 46Humas Polkam, “Mennkopolhukam: Indonesia Akan Konsisten Hadir di Pasifik Selatan”, Polkam.go.id (1 April
2016). Diakses pada 3 January 2018 at https://polkam.go.id/menkopolhukam indonesia-akan-konsisten-hadir-di-
pasifik-selatan/ 47 Pernyataan resmi tahunan Menteri Luar Negeri RI 2018
23
Pentingnya Kerjasama Selatan-Selatan dan Triangular (KSST) Antara Indonesia dan
Nrgara-Negara Kepulauan Pasifik
Menjalin hubungan dengan Negara-Negara Kepulauan Pasifik adalah bagian dari
implementasi look east policy Indonesia. Implementasi kebijakan luar negeri Indonesia
memiliki dua aspek utama, untuk mencapai kepentingan nasional dan berkontribusi untuk
memecahkan masalah global.48 Kebijakan luar negeri Indonesia tidak dapat dipisahkan dari
kepentingan nasionalnya. Namun, tidak berarti bahwa untuk mencapai kepentingan nasional
ini, Indonesia tidak dapat berkontribusi terhadap masalah global. Prinsip bebas aktif tetap
menjadi dasar kebijakan luar negeri Indonesia. Dalam pelaksanaan kebijakan luar negerinya,
Indonesia memiliki fokus untuk menjadi pembangun jembatan antara berbagai kepentingan
dan posisi di tingkat internasional. Selain itu, peran Indonesia juga diarahkan untuk menjadi
bagian dari solusi untuk menyelesaikan masalah global.49 Kebijakan luar negeri Indonesia juga
memprioritaskan isu-isu yang terkait dengan kepentingan publik seperti masalah lingkungan
dan KSS. Kedua prioritas ini pada dasarnya dapat berjalan seiring. Prinsip ini terus diterapkan
oleh pemerintah Indonesia dalam membangun hubungan dengan semua negara termasuk
dengan negara-negara di Kepulauan Pasifik. Untuk mendukung pencapaian tujuan
pembangunan berkelanjutan dan menyelesaikan tantangan global, Indonesia berkontribusi
untuk memberikan bantuan bagi negara berkembang lainnya melalui kerangka KSST.
Kerjasama Selatan-Selatan telah dilaksanakan sejak awal kemerdekaan Indonesia.
Selanjutnya, kerja sama Indonesia dengan negara-negara berkembang lainnya diperkuat oleh
pembentukan Gerakan Non-Blok yang diprakarsai oleh Konferensi Asia Afrika pada tahun
1955.50 Kemudian, KSS dikembangkan dengan dukungan mitra pembangunan atau disebut
Kerja sama Triangular. Kerja sama ini merupakan kerjasama tiga pihak antara negara atau
berbagai mitra pembangunan, Indonesia, dan negara penerima manfaat.51 Istilah "Kerjasama
Selatan-Selatan dan Triangular" digunakan di Indonesia untuk merujuk pada semua kegiatan
pembangunan bilateral (Selatan-Selatan) dan yang melibatkan mitra pembangunan
(Triangular) .52
48 Kementerian Luar Negeri RI , “Rencana Strategis Kemlu 2015-2019” (pp. 1) Jakarta: Kementerian Luar Negeri
RI. 2015. 49 Ibid. 50 UNDP Indonesia, “South-South and Triangular Cooperation in Indonesia” (December 16, 2015). Diakses pada
28 January 28 2018, http://www.id.undp.org/content/dam/indonesia/2015/brief/SSC-briefUNDPformat.pdf 51 Adirini Pujayanti, “Kerja Sama Selatan-Selatan dan Manfaatnya Bagi Indonesia” dalam Jurnal Politica Volume
6 Issue 1, 7, March 2015, hlm. 1 52 Ibid.
24
Negara-negara di Kepulauan Pasifik, yang tergabung dalam Melanesian Spearhead
Group (MSG) termasuk ke dalam kategori negara-negara yang menjadi prioritas bantuan
KSST.53 Negara Kepulauan Pasifik adalah salah satu wilayah yang paling bergantung pada
bantuan asing terutama di sektor pembangunan. Lima negara donor terbesar di kawasan Pasifik
adalah Australia, Amerika Serikat, Cina, Selandia Baru, dan Jepang.54 Melihat konstelasi di
kawasan Pasifik serta dalam menerapkan perimbangan kekuatan (Balance of Power),
Indonesia memiliki peluang besar untuk meningkatkan perannya dalam hal pemberian bantuan
teknis, terutama dalam upaya untuk mengurangi risiko bencana yang diakibatkan oleh masalah
lingkungan di kawasan Pasifik.
Manajemen risiko bencana adalah salah satu program unggulan Indonesia di sektor
pembangunan dalam mengimplementasikan KSST. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
Indonesia telah memberikan pelatihan-pelatihan, bantuan teknis, serta bantuan kemanusiaan
dalam menangani isu-isu lingkungan untuk beberapa negara di Kepulauan Pasifik. Pada tahun
2016, pemerintah Indonesia mengalokasikan 75 juta dollar AS untuk merealisasikan KSS.55
Pentingnya KSST antara Indonesia dan Negara Kepulauan Pasifik dapat dijelaskan dalam
beberapa alasan. Pertama, Indonesia, dan negara-negara Kepulauan Pasifik memiliki tantangan
yang serupa. Sebagai negara kepulauan, mereka memiliki beberapa tantangan dalam
menangani masalah lingkungan. Negara-negara ini rentan terhadap bencana. Oleh karena itu,
mereka memiliki kesempatan dalam melakukan kerjasama dalam menghadapi masalah
lingkungan melalui KSST. Kedua, negara-negara di Kepulauan Pasifik rentan terhadap
sejumlah bencana alam seperti siklon, kekeringan, banjir, tanah longsor dan letusan gunung
berapi tetapi kondisi ini diperburuk oleh perubahan iklim. Selain berisiko tinggi terhadap
masalah lingkungan, negara-negara kecil di Kepulauan Pasifik masih juga memiliki sumber
daya manusia dan kapasitas yang sangat terbatas dalam mengurangi risiko bencana. Ini
merupakan tantangan lain bagi negara-negara di Kepulauan Pasifik karena mereka
membutuhkan anggaran untuk manajemen risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim.
Meningkatknya status Indonesia dari negara berkembang menjadi negara berpenghasilan
menengah (Middle Income Countries) dan juga sebagai anggota G20, Indonesia memiliki peran
dan kewajiban untuk mendukung dan mencapai tujuan pembangunan di dalam negeri termasuk
di kawasan Kepulauan Pasifik. Ketiga, Indonesia membantu dan memperkuat perannya di
53 UNDP Indonesia, Loc.Cit. 54 Matthew Dornan & Jonathan Pryke, Foreign Aid to the Pacific: Trends and Developments in the Twenty-First
Century in Asia & the Pacific Policy Studies Australia National University, Volume 4, Issue 3, September 2017,
hlm. 386 55 UNDP Indonesia, Loc.Cit.
25
negara-negara Kepulauan Pasifik melalui KSST. Kerja sama ini juga dapat bermanfaat untuk
mengurangi ketergantungan negara-negara Pasifik terhadap negara-negara maju. Indonesia
telah memberikan sejumlah bantuan teknis kepada negara-negara di kawasan Pasifik di sektor
lingkungan untuk mengurangi risiko bencana serta perubahan iklim. Sebagai negara dengan
yang memiliki ancaman lingkungan serupa dan bagian dari Pasifik, Indonesia berupaya untuk
terus menjadi mitra pembangunan bagi negara-negara Kepulauan Pasifik. Berbagai bantuan,
baik bantuan teknis dan kemanusiaan yang diberikan oleh Indonesia melalui kerangka SSTC
untuk negara-negara Kepulauan Pasifik dapat dilihat dari dua sisi. Kolaborasi antara Indonesia
dan Negara-Negara Kepulauan Pasifik tidak hanya dilihat sebagai mitra pembangunan tetapi
juga sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas dan pengalaman berbagai lembaga baik di
Indonesia dan Kepulauan Pasifik dalam mengelola risiko bencana dan perubahan iklim.
Kolaborasi ini merupakan upaya bersama untuk mengatasi berbagai tantangan lingkungan.
Kerja sama ini dapat dilihat sebagai forum untuk berbagi pengalaman, ide, dan teknologi.
Selain itu, KSST dapat menjadi alat yang kuat untuk memenangkan hati dan pikiran orang-
orang di kawasan Kepulauan Pasifik, khususnya dalam kaitannya dengan masalah kedaulatan
Indonesia di Papua. Hal ini juga didukung oleh penguatan hubungan yang lebih erat melalui
kunjungan dan pertemuan tingkat kerja yang lebih intens oleh Pemerintah.
26
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Masalah keamanan lingkungan seperti bencana alam yang disebabkan oleh perubahan
iklim masih merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh Negara-negara Kepulauan Pasifik.
Tantangan-tantangan tersebut semakin meningkat apabila melihat bahwa negara-negara di
Kawasan ini hanya memiliki anggaran yang terbatas, sumber daya manusia yang terbatas, dan
kapasitas untuk melakukan mitigasi dan adaptasi juga masih kurang.
Indonesia sebagai negara tetangga yang secara geografis dekat dengan Negara-negara
Kepulauan Pasifik ini juga memiliki tantangan yang sama. Sebagai negara yang sedang
berkembang namun sudah dikategorikan sebagai middle income country dan memiliki cukup
banyak pengalaman dalam menanggulangi bencana alam, mengirimkan bantuan kemanusian
ke beberapa negara terdampak, dan memilki kemampuan teknologi yang mencukupi terkait
early warning and monitoring system, melalui kerangka kerjasama selatan-selatan dan
triangular, Indonesia telah memasukkan Negara-negara Kepulauan Pasifik sebagai prioritas
penerima bantuan luar negeri dari Indonesia khususnya untuk manajemen bencana dan sektor
adaptasi perubahan iklim.
Beberapa bantuan telah diberikan oleh Indonesia kepada Negara-negara Kepulauan
Pasifik. Kolaborasi antara Indonesia dengan Negara-negara Kepulauan Pasifik sangat penting
untuk meningkatkan kapasitas dan pengalaman, berbagi ide dan teknologi untuk mengatasi
tantangan keamanan lingkungan, memberikan dukungan pembangunan berkelanjutan di
Negara-negara Kepulauan Pasifik dengan mengurangi resiko bencana melalui bantuan teknis,
memperkuat hubungan kedekatan antara Indonesia dan Negara-negara Kepulauan Pasifik, dan
mendemonstrasikan bahwa Indonesia adalah bagian dari Kawasan Pasifik.
27
DAFTAR PUSTAKA
Addam Connors, “Cyclone Pam: Vanuatu One Year Later,” www.abc.net.au, 15 Maret 2016,
accessed 28 January 2018, http://www.abc.net.au/news/2016-03-13/cyclone-pam-
vanuatu-one-year-on/7242620.
Asian Development Bank. “Pacific Risks, Vulnerabilitles, and Key Impacts of Climate Change
and Natural Disasters.” ADB Support to Small Pacific Countries. Accessed February 1,