SEORANG PRIA 52 TAHUN DENGAN UNDIFERENTIATED NASOPHARYNGEAL
CARCINOMA (WHO TYPE III)
Diajukan untuk melengkapi syarat kepaniteraan senior Bagian
RadiologiFakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Disusun oleh :Tirta Kusuma 22010114210031 Hendy Luthfanto
22010114210032 Heny Armiati 22010114210019 Wahyu Wijayanti
22010114210020 Agustina Wulandari 22010114210021 Dosen Pembimbing
:dr. SR. Subandini, Sp. Rad(K) Onk,Rad.Residen Pembimbing :dr.
Esis
BAGIAN RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS
DIPONEGOROSEMARANG2015LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Kasus Besar dengan :Judul: Seorang Pria 52 Tahun dengan
Undifferentiated Nasopharyngeal Carcinoma (WHO Type III)Bagian:
RadiologiPembimbing: dr. SR Subandini, Sp. Rad(K) Onk,Rad. dr.
EsisTelah diajukan dan disahkan pada tanggal 23 Maret 2015.
Semarang, 23 Maret 2015
Residen pembimbing, Dosen pembimbing,
dr. Esis dr. SR Subandini, Sp. Rad(K) Onk,Rad
DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan iiDaftar isi iiiI. Pendahuluan 1II. Tinjauan
Pustaka 3A. Anatomi 3B. Histopatologi 4C. Epidemiologi 4D.
Patogenesis5E. Manifestasi klinis, diagnosis, dan stadium7F.
Prinsip Pengobatan Karsinoma Nasofaring10G. Efek samping
radioterapi14H. Prognosis26III. Laporan kasus27IV. Pembahasan32V.
Kesimpulan33Daftar Pustaka34Lampiran
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangKarsinoma nasofaring adalah keganasan dari
lapisan epitel mukosa nasofaring. Predileksi utamanya adalah pada
fossa rosenmulleri. Selain itu keganasan nasofaring dapat juga
terjadi di dinding atas nasofaring (basis cranii), dinding depan
nasofaring (di pinggir/tepi koanae), dan di sekitar tuba.Kejadian
karsinoma nasofaring termasuk jarang di populasi dunia, sekitar
kurang dari satu per 100.000 penduduk per tahun, Pada tahun 2002,
tercatat 80.000 insiden karsinoma nasofaring di seluruh dunia
dengan sekitar 50.000 kematian, yang menjadikan kanker paling
sering nomor 3 di dunia, namun relatif tinggi di Cina Selatan, Asia
Tenggara dan Afrika Utara. Karsinoma nasofaring merupakan tumor
ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas telinga
hidung tenggorok di Indonesia, termasuk dalam lima besar tumor
ganas dengan frekuensi tertinggi, sedangkan di daerah kepala dan
leher menduduki tempat pertama. Data registrasi kanker di Indonesia
berdasarkan histopatologi tahun 2003 menunjukkan bahwa karsinoma
nasofaring menempati urutan pertama dari semua tumor ganas primer
pada lakilaki dan urutan ke 8 pada perempuan. Faktor-faktor
penyulit menegakkan diagnosis kanker nasofaring antara lain karena
letak predileksinya yang tersembunyi, pada stadium dini sering
tidak menimbulkan keluhan yang mengganggu, hasil biopsi yang sering
negatif meskipun telah dilakukan berulang kali pada daerah yang
dicurigai, kurangnya kewaspadaan dokter terhadap gejala dini dan
sarana alat untuk menegakkan diagnosis dini penyakit, serta
kurangnya informasi kepada masyarakat terhadap penyakit
ini.Tindakan operasi kurang dapat berperan pada penanganan
karsinoma nasofaring. Tindakan pembedahan hanya terbatas pada
tindakan biopsi tumor primer atau kelenjar getah bening regional
pada kasus baru, residu atau kekambuhan lokal.Radioterapi dalam
pengobatan kanker nasofaring diberikan dengan tujuan untuk
radioterapi kuratif atau paliatif. Radioterapi kuratif diberikan
kepada pasien kanker nasofaring WHO 1, 2 dan 3 yang menunjukkan
respon radiasi yang baik pada evaluasi awal, sedangkan radioterapi
paliatif diberikan kepada pasien dengan metastasis. Pemantauan
terhadap pemberian radioterapi harus dilakukan baik selama
pelaksanaan radiasi maupun setelah radiasi.
1.2 TujuanPada laporan kasus ini disajikan suatu kasus berupa
seorang pria 52 tahun dengan karsinoma nasofaring. Penyajian kasus
ini bertujuan untuk mempelajari lebih dalam tentang pengertian,
faktor risiko, gejala klinis, pengobatan, dan radioterapi yang
digunakan pada pasien dengan karsinoma nasofaring.
1.3 ManfaatPenulisan laporan kasus ini diharapkan dapat membantu
mahasiswa kedokteran untuk belajar menegakkan diagnosis, melakukan
pengelolaan, dan mengetahui prognosis penderita karsinoma
nasofaring.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Dan Histologi AnatomiNasofaring merupakan suatu
rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral yang
secara anatomi termasuk bagian faring. Ke anterior berhubungan
dengan rongga hidung melalui koana dan tepi belakang septum nasi,
sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul. Ke
arah posterior dinding nasofaring melengkung ke supero-anterior dan
terletak di bawah os sfenoid, sedangkan bagian belakang nasofaring
berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia pre vertebralis dan
otot-otot dinding faring. Pada dinding lateral nasofaring terdapat
orifisium tuba eustakius dimana orifisium ini dibatasi superior dan
posterior oleh torus tubarius, sehingga penyebaran tumor ke lateral
akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustakius dan akan
mengganggu pendengaran. Ke arah posterosuperior dari torus tubarius
terdapat fossa Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering
karsinoma nasofaring. Pada atap nasofaring sering terlihat
lipatan-lipatan mukosa yang dibentuk oleh jaringan lunak sub
mukosa, dimana pada usia muda dinding postero-superior nasofaring
umumnya tidak rata. Hal ini disebabkan karena adanya jaringan
adenoid. Di nasofaring terdapat banyak saluran getah bening yang
terutama mengalir ke lateral bermuara di kelenjar retrofaring
Krause (kelenjar Rouviere).
Gambar 3. MSCT Scan Nasofaring Normal
Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu
respirasi karena dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang
dibentuk oleh palatum molle. Nasofaring akan tertutup bila paltum
molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah,
mengucapkan kata-kata tertentu.Struktur penting yang ada di
nasopharing:41. Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba
auditiva2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba
auditiva yang disebabkan karena cartilago tuba auditiva3. Torus
levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yang
disebabkan karena musculus levator veli palatini.4. Plica
salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius5. Plica
salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan
penonjolan dari musculus salphingopharingeus yang berfungsi untuk
membuka ostium faringeum tuba auditiva terutama ketika menguap atau
menelan.6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller.
Merupakan tempat predileksi Karsinoma Nasofaring.7. Tonsila
pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut adenoid
jika ada pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut
adenoiditis.8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.9.
Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara
nasopharing dan oropharing karena musculus
sphincterpalatopharing10. Musculus constrictor pharingeus dengan
origo yang bernama raffae pharingeiFungsi nasofaring: Sebagai jalan
udara pada respirasi Jalan udara ke tuba eustachii Resonator
Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung
HistologiKlasifikasi gambaran histopatologi yang
direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelum
tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :1. Karsinoma sel skuamosa
berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma). Tipe ini
dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk.2.
Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe
ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel
skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup
jelas.3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated
Carcinoma).Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan
inti yang vesikuler, Berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang
jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas. Tipe
tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang
sama, yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan
keratinisasi tidak begitu radiosensitif.
2.2 EpidemiologiKejadian karsinoma nasofaring termasuk jarang di
populasi dunia, sekitar kurang dari satu per 100.000 penduduk per
tahun, namun relatif tinggi di Cina Selatan, Asia Tenggara dan
Afrika Utara. Perbandingan laki-laki dan perempuan Karsinoma
nasofaring lebih sering timbul pada ras Mongoloid. Insiden di Cina
Selatan dan Asia Tenggara sekitar 20 sampai 40 per 100.000 jiwa per
tahun, tertinggi di provinsi Guangdong dan wilayah Guangxi, Cina
sebesar lebih dari 50 orang per 100.000 jiwa per tahun. Pada tahun
2002, tercatat 80.000 insiden karsinoma nasofaring di seluruh dunia
dengan sekitar 50.000 kematian, yang menjadikan kanker paling
sering nomor 3 di dunia dan kanker no 4 paling sering di Hong
Kong.Di Cina karsinoma nasofaring meningkat setelah umur 20 tahun
dan menurun setelah umur 40 tahun, rata-rata berumur 40 dan 50
tahun. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling
banyak dijumpai di antara tumor ganas telinga hidung tenggorok di
Indonesia, termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekuensi
tertinggi, sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki tempat
pertama. Survei Departemen Kesehatan pada tahun 1980 mendapatkan
angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau
diperkirakan 7.000 sampai 8.000 kasus per tahun di seluruh
Indonesia. Data registrasi kanker di Indonesia berdasarkan
histopatologi tahun 2003 menunjukkan bahwa karsinoma nasofaring
menempati urutan pertama dari semua tumor ganas primer pada
lakilaki dan urutan ke 8 pada perempuan. Karsinoma nasofaring
paling sering di fossa Rosenmuller yang merupakan daerah
transisional epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.
Karsinoma nasofaring dibagi menjadi 3 tipe histopatologi
berdasarkan klasifikasi WHO 1991, tipe-1 (karsinoma sel skuamosa
berkeratin) sekitar 10%, tipe-2 (karsinoma tidak berkeratin
berdiferensiasi) sekitar 15% dan tipe-3 (karsinoma tidak berkeratin
tidak berdiferensiasi), tipe yang ke-3 yang paling sering muncul
(75%).
2.3 PatogenesisKarsinoma Nasofaring (KNF) keganasan yang terjadi
pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah cekungan
Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak faktor
genetik yang berperan dalam peningkatan resiko KNF. Secara umum
patogenesis KNF pada awalnya ditandai oleh lesi displastik akibat
dari karsinogen lingkungan dan pada ras Cina lebih mudah terkena
karena ada faktor genetik tertentu. Kemudian karena adanya infeksi
laten EBV, lesi tersebut berkembang ke arah keganasan. Keganasan
ini akhirnya menyebabkan KNF yang bersifat invasif dan ditandai
dengan adanya metastasis atau penyebaran sel kanker ke organ yang
jauh.
Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu :1)
Virus Epstein-BarrVirus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang
memiliki kapsid icosahedral dan termasuk dalam famili
Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa
penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan
karsinoma nasofaring (KNF). Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam
sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi virus
epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel
kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit
B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen
komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul
EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3.
Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari
masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan
limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini
mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat
dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang
diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring
yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel yang
terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa
kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus
epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein-
barr yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus
sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi
sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan
terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel
menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.Gen EBV yang
diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs,
EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam
mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A
dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat
menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang
paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur
protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20
asam amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam
amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein
transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor
necrosis factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang
memproliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal.2)
GenetikWalaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik,
tetapi kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok
masyarakat tertentu relative menonjol dan memiliki agregasi
familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte
antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1)
kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring.
Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang
terkait nitrosamine dan karsinogen.3) Faktor lingkunganSejumlah
besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di
berbagai daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan
bahwa ikan asin dan makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah
besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene (NPYR) dan
nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik
karsinoma nasofaring. Ikan yang diasinkan kemungkinan sebagai salah
satu faktor etiologi terjadinya kanker nasofaring. Teori ini
didasarkan atas insiden kanker nasofaring yang tinggi pada nelayan
tradisionil di Hongkong yang mengkonsumsi ikan kanton yang
diasinkan dalam jumlah yang besar dan kurang mengkonsumsi vitamin,
sayur, dan buah segar. Faktor lain yang diduga berperan dalam
terjadinya kanker nasofaring adalah debu, asap rokok, uap zat
kimia, asap kayu bakar, asap dupa, serbuk kayu industri, dan
obat-obatan tradisional, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat
tersebut dengan kanker nasofaring belum dapat dijelaskan. Selain
itu merokok dan perokok pasif yg terkena paparan asap rokok yang
mengandung formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui faktor
risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali
infeksi dari EBV.Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap
pengobatan alami (chinese herbal medicine atau CHB) menunjukkan
bahwa terdapat hubungan yang erat antara terjadinya kanker
nasofaring, infeksi Virus Epstein Barr (EBV), dan penggunaan CHB.2
Kebiasaan merokok dalam jangka waktu yang lama juga mempunyai
resiko yang tinggi menderita kanker nasofaring.
2.4 Manifestasi Klinis, Diagnosis, Stadium Karsinoma Nasofaring
Manifestasi KlinisGejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4
kelompok, yaitu gejala nasofaring, gejala telinga, gejala mata dan
saraf, serta gejala metastasis atau gejala di leher.1) Gejala
NasofaringDapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung,
untuk itu nasofaring harus diperiksa dengan cermat, jika perlu
dengan nasofaringoskop, karena sering gejala belum muncul sedangkan
tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat di
bawah mukosa (creeping tumor).2) Gejala TelingaGejala ini merupakan
gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat muara tuba
Eustachius (fossa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa
tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia).
Tidak jarang pasien dengan gangguan pendengaran ini baru kemudian
disadari bahwa penyebabnya adalah karsinoma nasofaring.3) Gejala
Mata dan SarafKarena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga
tengkorak melalui beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf
otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran
melalui foramen laserum akan mengenai N.III, N.IV, N.VI, dan dapat
pula ke N.V (Sindrom Petrosfenoidal), sehingga tidak jarang gejala
diplopialah yang membawa pasien lebih dahulu ke dokter mata.
Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh
ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti.Proses
karsinoma yang lanjut akan mengenai N.IX, N.X, N.XI, dan N.XII jika
penjalaran melalui foramen jugulare. Gangguan ini sering disebut
dengan Sindrom Retroparotidean atau Sindrom Jugular Jackson. Bila
telah mengenai seluruh saraf otak disebut Sindrom Unilateral.
Infiltrasi pada saraf simpatis servikal menimbulkan Sindrom Horner
yang terdiri dari miosis, enoftalmus, dan ptosis. Dapat pula
disertai dengan destruksi tulang tengkorak, dan bila sudah terjadi
demikian, biasanya prognosisnya buruk.4) Gejala
MetastasisMetastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di
leher yang mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak
terdapat keluhan lain.
DiagnosisAnamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari
keluhan yang dirasakan pasien, yaitu mencari tanda dan gejala dari
kanker nasofaring. Pemeriksaan fisik lokal nasofaring dapat
menggunakan rinoskopi anterior, rinoskopi posterior, dan
nasofaringoskopi. Pemeriksaan fisik leher juga penting dilakukan
untuk mencari metastasis tumor ke KGB leher.Pemeriksaan radiologi
bertujuan untuk menentukan lokasi tumor, besar/luas tumor primer,
invasi tumor ke organ sekitar, adanya destruksi tulang dasar
tengkorak, metastasis ke KGB leher, metastasis jauh, dan stadium
tumor. Pemeriksaan radiologi dapat menggunakan foto tengkorak,
CT-scan atau MRI, foto thorax PA untuk mencari metastasis ke paru,
USG abdomen untuk mencari metastasis ke hepar, dan Bone
scintigraphy untuk mencari metastasis ke tulang.Pemeriksaan
serologi IgA anti-EA (early antigen) dan IgA anti-VCA (Viral Capsid
Antigen) untuk infeksi EBV telah menunjukkan kemajuan dalam
mendeteksi karsinoma nasofaring. Pemeriksaan IgA anti-EA hanya
digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan.Diagnosis pasti
ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi dapat
dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut.Biopsi
melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind
biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menyelusuri
konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan
dilakukan biopsi.Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan
kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter
yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama
ujung kateter yang di hidung. Demikian juga dengan kateter dari
hidung di sebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas.
Kemudian dengan kaca laring dapat dilihat daerah nasofaring. Biopsi
dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai
nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan
terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya dilakukan
dengan analgesia topikal dengan xylocain 10%.
Stadium Karsinoma NasofaringUntuk menentukan stadium, dipakai
sistem TNM menurut UICC tahun 2002TTumor primer
T0Tidak tampak tumor
T1Tumor terbatas di nasofaring
T2Tumor meluas ke jaringan lunak
T2A Perluasan tumor ke orofaring dan/atau rongga hidung tanpa
perluasan ke parafaring
T2B disertai perluasan ke parafaring
T3Tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal
T4Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terdapat
keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita
atau ruang mastikator
NPembesaran kelenjar getah bening regional
NXPembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai
N0Tidak ada pembesaran
N1Metastasi kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran
terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa
supraklavikula
N2Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran
terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa
supraklavikula
N3Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran
lebih besar dari 6 cm atau terletak di dalam fossa
supraklavikula
N3A ukuran lebih dari 6 cm
N3B di dalam fossa supraklavikula
MMetastasis jauh
MXMetastasis jauh tidak dapat dinilai
M0Tidak ada metastasis jauh
M1Terdapat metastasis jauh
Stadium IT1N0M0
Stadium IIaT2aN0M0
Stadium IIbT1N1M0
T2aN1M0
T2bN0, N1M0
Stadium IIIT1N2M0
T2a, T2bN2M0
T3N2M0
Stadium IVaT4N0, N1, N2M0
Stadium IVbSemua TN3M0
Stadium IVcSemua TSemua NM1
2.5 Prinsip Pengobatan Karsinoma NasofaringPrinsipnya pengobatan
untuk karsinoma nasofaring meliputi :1. Radioterapi 1. Kemoterapi
1. Kombinasi 1. Operasi 1. Imunoterapi 1. Terapi paliatif
Pemilihan Terapi KankerMemilih obat kanker tidaklah mudah,
banyak faktor yang perlu diperhatikan misalnya :1. Jenis kanker1.
Kemosensitivitas dan radiosensitivitas kanker1. Imunitas Tubuh dan
kemampuan pasien untuk menerima terapi 1. Efek samping terapi
Jenis KankerUntuk keperluan pemberian kemoterapi , kanker dibagi
menjadi 2 jenis yaitu :1. Kanker Hemopoitik dan limfopoitik. Kanker
hemopoitik dan limfopoitik umumnya merupakan kanker sistemik.
Termasuk dalam jenis kanker ini adalah kanker darah (leukemia),
limfoma maligna dan sumsum tulang (myeloma). Terapi utama kenker
hematologi adalah kemoterapi, sedangkan operasi dan radioterapi
sebagai adjuvan.1. Kanker padat (solid). Kanker padat bisa lokal,
bisa menyebar ke regional dan atau sistemik ke organ-organ lain.
Dalam kanker jenis ini termasuk kanker diluar hematologi. Terapi
utama kanker ini adalah operasi dan atau radioterapi, sedangkan
kemoterapi baru diberikan pada stadium lanjut sebagai adjuvan.
Sensitivitas KankerSensitivitas tumor terhadap obat anti-kanker
terbagi menjadi 3 macam : 1. Sensitif Kemosensitif :0. leukemia0.
limfoma maligna0. myeloma0. choriocharsinoma0. kanker
testisRadiosensitif :Tumor yang dapat dihancurkan dengan dosis
3500-6000 rads dalam 3-4 minggu0. Lymphoma maligna0. Myeloma0.
Retinoblastoma0. Seminoma0. Basalioma0. Kanker laring T1
1. Responsif Kemoresponsif :1. Tumor yang kecil1. Tumor yang
pertumbuhannya cepat1. Tumor yang deferensiasi selnya
jelekRadioresponsif1. Kanker yang ukurannya sedang, T2-T3 dan dapat
dihancurkan dengan dosis 6000-8000 rads dalam 3-4 minggu1. Resisten
Kemoresisten :2. Tumor besar2. Kanker yang pertumbuhannya pelan2.
Kanker yang diferensiasi selnya baikContoh : kanker otak,
fibrosarkoma, melanoma malignaRadioresistenTumor yang baru bisa
dihancurkan dengan dosis lebih dari 8000 rads. Contoh : Melanoma
maligna, adenokarsinoma, kanker otak, sarkoma jaringan lunak.
Radiosensitivitas tumor tergantung dari banyak faktor, antara lain
:0. Tipe histologi tumor0. Derajat diferensiasi sel0. Besar tumor0.
Vaskularisasi Tumor0. Lokasi topografi tumorBeberapa jenis obat dan
keadaan yang dapat menambah sensitifitas radioterapi : Oksigenasi,
Hipertermi, Levamisol, beberapa sitostatika.Sensitifitas kanker
terhadap kemoterapi biasanya ada sejak awal mulanya dan dapat pula
timbul dalam perjalanan pengobatan kanker.
Resistensi Terhadap KemoterapiResistensi terhadap kemoterapi
dapat terjadi karena farmakokinetika obat itu seperti : 1.
Perubahan absorbsi2. Variabilitas absorbsi obat di
gastrointestinal2. Adanya penyakit gastointestinal2. Tidak makan
obat seperti seharusnya (non compliance)2. Formulasi obat yang
tidak cocok1. Perubahan distribusi2. Perubahan ikatan obat dengan
protein serum2. Perubahan distribusi karena obat lain yang mengikat
protein serum1. Perubahan metabolisme2. Perubahan enzim yang
mengadakan detoksifikasi2. Penyakit hati2. Ada obat lain yang ikut
serta2. Pengurangan konjugasi obat karena usia1. Pengurangan
ekskresi2. Penyakit hati2. Penyakit ginjal
2.6 Terapi radiasi pada Karsinoma NasofaringTerapi radiasi
adalah terapi sinar menggunakan energi tinggi yang dapat menembus
jaringan dalam rangka membunuh sel neoplasma.
Persyaratan Terapi RadiasiPenyembuhan total terhadap karsinoma
nasofaring apabila hanya menggunakan terapi radiasi harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :1. Belum didapatkannya sel tumor di
luar area radiasi1. Tipe tumor yang radiosensitif1. Besar tumor
yang kira-kira radiasi mampu mengatasinya1. Dosis yang optimal.1.
Jangka waktu radiasi tepat 1. Sebisa-bisanya menyelamatkan sel dan
jaringan yang normal dari efek samping radiasi. Dosis radiasi pada
limfonodi leher tergantung pada ukurannya sebelum kemoterapi
diberikan. Pada limfonodi yang tak teraba diberikan radiasi sebesar
5000 cGy, < 2 cm diberikan 6600 cGy, antara 2-4 cm diberikan
7000 cGy dan bila lebih dari 4 cm diberikan dosis 7380 cGy,
diberikan dalam 41 fraksi selama 5,5 minggu.8
Sifat Terapi RadiasiTerapi radiasi sendiri sifatnya adalah :1.
Merupakan terapi yang sifatnya lokal dan regional1. Mematikan sel
dengan cara merusak DNA yang akibatnya bisa mendestrukasi sel
tumor1. Memiliki kemampuan untuk mempercepat proses apoptosis dari
sel tumor.1. Ionisasi yang ditimbulkan oleh radiasi dapat mematikan
sel tumor.1. Memiliki kemampuan mengurangi rasa sakit dengan
mengecilkan ukuran tumor sehingga mengurangi pendesakan di area
sekitarnya..1. Berguna sebagai terapi paliatif untuk pasien dengan
perdarahan dari tumornya.1. Walaupun pemberian radiasi bersifat
lokal dan regional namun dapat mengakibatkan defek imun secara
general.
Efek Samping Terapi Radiasi : 1. Radiomukositis, stomatitis,
hilangnya indra pengecapan, rasa nyeri dan ngilu pada gigi. 1.
Xerostomia, trismus, otitis media 1. Pendengaran menurun 1.
Pigmentasi kulit seperti fibrosis subkutan atau osteoradionekrosis.
1. Pada terapi kombinasi dengan sitostatika dapat timbul depresi
sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal. 1. Lhermitte syndrome
karena radiasi myelitis. 1. Hypothyroidism
Pengaruh Terapi Radiasi Terhadap Sistem Imun Secara luas
dilaporkan bahwa segera setelah pemberian radiasi terjadi gangguan
terhadap sel limfosit T, yang akibatnya memudahkan timbulnya
berbagai macam infeksi.11 Pasien dengan tumor primer di leher
dimana drainase limfatiknya juga di leher , setelah diberikan
radiasi mengakibatkan berkurangnya limfosit darah tepi secara
signifikan. Jumlah limfosit T CD4+ menurun lebih bermakna
dibandingkan penurunan jumlah sel limfosit T CD8+. Gangguan akibat
radiasi tidak hanya mempengaruhi jumlah sel limfosit T namun juga
mengakibatkan defek pada fungsi sel T. Adanya gangguan fungsi
dibuktikan dengan sulitnya sel T ini distimulasi pada percobaan
invitro. Apakah defek jumlah dan fungsi limfosit T pada penderita
yang diterapi radiasi dapat reversibel? Penelitian menunjukkan
bahwa ada kecenderungan normalisasi sel limfosit T CD4+ setelah 3-4
minggu pasca radiasi.
Jenis Pemberian Terapi RadiasiTerapi radiasi pada karsinoma
nasofaring bisa diberikan sebagai :- Radiasi eksterna dengan
berbagai macam teknik fraksinasi.1. Radiasi interna (brachytherapy)
yang bisa berupa permanen implan atau intracavitary
barchytherapy.Radiasi eksterna dapat digunakan sebagai :1.
pengobatan efektif pada tumor primer tanpa pembesaran kelenjar
getah bening1. pembesaran tumor primer dengan pembesaran kelenjar
getah bening1. Terapi yang dikombinasi dengan kemoterapi1. Terapi
adjuvan diberikan pre operatif atau post operatif pada neck
dissection
Radiasi Interna/ brachyterapi bisa digunakan untuk :1. Menambah
kekurangan dosis pada tumor primer dan untuk menghindari terlalu
banyak jaringan sehat yang terkena radiasi.1. Sebagai booster bila
masih ditemukan residu tumor 1. Pengobatan kasus kambuh.
2.7 Kemoterapi pada Karsinoma NasofaringKemoterapi adalah
segolongan obat-obatan yang dapat menghambat pertumbuhan kanker
atau bahkan membunuh sel kanker. Obat-obat anti kanker ini dapat
digunakan sebagai terapi tunggal (active single agents), tetapi
kebanyakan berupa kombinasi karena dapat lebih meningkatkan potensi
sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel-sel yang resisten
terhadap salah satu obat mungkin sensitif terhadap obat lainnya.
Dosis obat sitostatika dapat dikurangi sehingga efek samping
menurun.
Tujuan KemoterapiTujuan kemoterapi adalah untuk menyembuhkan
pasien dari penyakit tumor ganasnya. Kemoterapi bisa digunakan
untuk mengatasi tumor secara lokal dan juga untuk mengatasi sel
tumor apabila ada metastasis jauh. Secara lokal dimana
vaskularisasi jaringan tumor yang masih baik, akan lebih sensitif
menerima kemoterapi sebagai antineoplastik agen. Dan karsinoma sel
skuamosa biasanya sangat sensitif terhadap kemoterapi ini.
Obat-Obat Sitostatika rekomendasi FDA untuk Kanker Kepala
LeherBeberapa sitostatika yang mendapat rekomendasi dari FDA
(Amerika) untuk digunakan sebagai terapi keganasan didaerah kepala
dan leher yaitu Cisplatin, Carboplatin, Methotrexate,
5-fluorouracil, Bleomycin, Hydroxyurea, Doxorubicin,
Cyclophosphamide, Doxetaxel, Mitomycin-C, Vincristine dan
Paclitaxel. Akhir-akhir ini dilaporkan penggunaan Gemcitabine untuk
keganasan didaerah kepala dan leher.
Sensitivitas Kemoterapi terhadap Karsinoma NasofaringKemoterapi
memang lebih sensitif untuk karsinoma nasofaring WHO I dan sebagian
WHO II yang dianggap radioresisten. Secara umum karsinoma
nasofaring WHO-3 memiliki prognosis paling baik sebaliknya
karsinoma nasofaring WHO-1 yang memiliki prognosis paling
buruk.Adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan (growth) dan
pembelahan (division) antara sel kanker dan sel normal yang disebut
siklus sel (cell cycle) merupakan titik tolak dari cara kerja
sitostatika. Hampir semua sitostatika mempengaruhi proses yang
berhubungan dengan sel aktif seperti mitosis dan duplikasi DNA. Sel
yang sedang dalam keadaan membelah pada umumnya lebih sensitif
daripada sel dalam keadaan istirahat. Berdasar siklus sel
kemoterapi ada yang bekerja pada semua siklus (Cell Cycle non
Spesific) artinya bisa pada sel yang dalam siklus pertumbuhan sel
bahkan dalam keadaan istirahat. Ada juga kemoterapi yang hanya bisa
bekerja pada siklus pertumbuhan tertentu ( Cell Cycle phase
spesific ).Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada fase
tertentu pada siklus sel disebut cell cycle specific. Sedangkan
obat yang dapat menghambat pembelahan sel pada semua fase termasuk
fase G0 disebut cell cycle nonspecific. Obat-obat yang tergolong
cell cycle specific antara lain Metotrexate dan 5-FU, obat-obat ini
merupakan anti metabolit yang bekerja dengan cara menghambat
sintesa DNA pada fase S. Obat antikanker yang tergolong cell cycle
nonspecific antara lain Cisplatin (obat ini memiliki mekanisme
cross-linking terhadap DNA sehingga mencegah replikasi, bekerja
pada fase G1 dan G2), Doxorubicin (fase S1, G2, M), Bleomycin (fase
G2, M), Vincristine (fase S, M).Dapat dimengerti bahwa zat dengan
aksi multipel bisa mencegah timbulnya klonus tumor yang resisten,
karena obat-obat ini cara kerjanya tidak sama. Apabila resiten
terhadap agen tertentu kemungkinan sensitif terhadap agen lain yang
diberikan, dikarenakan sasaran kerja pada siklus sel berbeda.
Mekanisme Kerja KemoterapiKebanyakan obat anti neoplasma yang
secara klinis bermanfaat, agaknya bekerja dengan menghambat
sintesis enzim maupun bahan esensial untuk sintesis dan atau fungsi
asam nukleat. Berdasarkan mekanisme cara kerja obat , zat yang
berguna pada tumor kepala leher dibagi sebagai berikut :1.
Antimetabolit, Obat ini menghambat biosintesis purin atau
pirimidin. Sebagai contoh MTX, menghambat pembentukan folat
tereduksi, yang dibutuhkan untuk sintesis timidin.2. Obat yang
mengganggu struktur atau fungsi molekul DNA. Zat pengalkil seperti
CTX ( Cyclophosphamide) mengubah struktur DNA, dengan demikian
menahan replikasi sel. Di lain pihak, antibiotika seperti
dactinomycin dan doxorubicin mengikat dan menyelip diantara
rangkaian nukleotid molekul DNA dan dengan demikian menghambat
produksi mRNA.3. Inhibitor mitosis seperti alkaloid vinka contohnya
vincristine dan vinblastine, menahan pembelahan sel dengan
mengganggu filamen mikro pada kumparan mitosis.
Cara Pemberian KemoterapiSecara umum kemoterapi bisa digunakan
dengan 4 cara kerja yaitu :1. Sebagai neoadjuvan yaitu pemberian
kemoterapi mendahului pembedahan dan radiasi. 1. Sebagai terapi
kombinasi yaitu kemoterapi diberikan bersamaan dengan radiasi pada
kasus karsinoma stadium lanjut. 1. Sebagai terapi adjuvan yaitu
sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau radiasi 1.
Sebagai terapi utama yaitu digunakan tanpa radiasi dan pembedahan
terutama pada kasus kasus stadium lanjut dan pada kasus kanker
jenis hematologi (leukemia dan limfoma). Menurut prioritas
indikasinya terapi terapi kanker dapat dibagi menjadi dua yaitu
terapi utama dan terapi adjuvan (tambahan/ komplementer/
profilaksis). Terapi utama dapat diberikan secara mandiri, namun
terapi adjuvan tidak dapat mandiri, artinya terapi adjuvan tersebut
harus meyertai terapi utamanya. Tujuannya adalah membantu terapi
utama agar hasilnya lebih sempurna. Terapi adjuvan tidak dapat
diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila setelah
mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :1. kankernya masih
ada, dimana biopsi masih positif1. kemungkinan besar kankernya
masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis.1. pada
tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya
resiko kekambuhan dan metastasis jauh). Berdasarkan saat
pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher
dibagi menjadi :1. neoadjuvant atau induction chemotherapy2.
concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy3. post
definitive chemotherapy.
Efek Samping KemoterapiAgen kemoterapi tidak hanya menyerang sel
tumor tapi juga sel normal yang membelah secara cepat seperti sel
rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus gastro intestinal.
Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sum-sum tulang
yang memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal
bisa terjadi mual, muntah anoreksia dan ulserasi saluran cerna.
Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan kerontokan rambut. Jaringan
tubuh normal yang cepat proliferasi misalnya sum-sum tulang,
folikel rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat
sitostatika. Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari
sel normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika
dan sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker.Efek samping
yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap jantung,
yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa
kronik fibrosis pada paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih
sering terjadi dan sebaiknya dievalusi fungsi faal hepar dan faal
ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan salah satu efek
samping pemberian kemoterapi..Untuk menghindari efek samping
intolerable, dimana penderita menjadi tambah sakit sebaiknya dosis
obat dihitung secara cermat berdasarkan luas permukaan tubuh (m2)
atau kadang-kadang menggunakan ukuran berat badan (kg). Selain itu
faktor yang perlu diperhatikan adalah keadaan biologik penderita.
Untuk menentukan keadaan biologik yang perlu diperhatikan adalah
keadaan umum (kurus sekali, tampak kesakitan, lemah sadar baik,
koma, asites, sesak, dll), status penampilan (skala karnofsky,
skala ECOG), status gizi, status hematologis, faal ginjal, faal
hati, kondisi jantung, paru dan lain sebagainya. Penderita yang
tergolong good risk dapat diberikan dosis yang relatif tinggi, pada
poor risk (apabila didapatkan gangguan berat pada faal organ
penting) maka dosis obat harus dikurangi, atau diberikan obat lain
yang efek samping terhadap organ tersebut lebih minimal. Efek
Samping secara spesifik untuk masing-masing obat dapat dilihat pada
lampiran 2. Efek samping kemoterapi dipengaruhi oleh : 1.
Masing-masing agen memiliki toksisitas yang spesifik terhadap organ
tubuh tertentu. (lampiran 2) 1. Dosis. 1. Jadwal pemberian. 1. Cara
pemberian (iv, im, peroral, per drip infus). 1. Faktor individual
pasien yang memiliki kecenderungan efek toksisitas pada organ
tertentu.
Persyaratan Pasien yang Layak diberi KemoterapiPasien dengan
keganasan memiki kondisi dan kelemahan kelemahan, yang apabila
diberikan kemoterapi dapat terjadi untolerable side effect. Sebelum
memberikan kemoterapi perlu pertimbangan sbb :91. Menggunakan
kriteria Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) yaitu status
penampilan =3000/ml1. Jumlah trombosit>=120.0000/ul1. Cadangan
sumsum tulang masih adekuat misal Hb > 101. Creatinin Clearence
diatas 60 ml/menit (dalam 24 jam) ( Tes Faal Ginjal )1.
Bilirubin