BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangInfectious Bovine
Rhinotracheitis (IBR) adalah penyakit menular pada sapi dan kerbau
yang disebabkan oleh Bovine herpesvirus-1(BHV-1) dengan gangguan
pernafasan, gejala syaraf dan gangguan reproduksi merupakan gejala
klinis yang utama dengan sindroma berupa demam, rhinotrakheitis,
konjungtivitis, dan vulvovaginitis atau sindroma lain berupa
enteritis dan ensefalitis. Penularan dapat terjadi melalui
perkawinan alam atau inseminasi buatan (IB). Manifestasi penyakit
IBR dapat bersifat fatal, ringan maupun subklinis, tergantung dari
galur (strain) virus, kepekaan hewan dan faktor lingkungan. Galur
BHV-1 dapat dibagi atas beberapa genotipe yang masing-masing dapat
mempengaruhi respon klinis dan patologis IBR. Galur virus yang
paling patogen biasanya dipakai untuk uji tantang dalam studi
patogenitas isolat, sedangkan untuk biang vaksin dipilih isolat
yang paling rendah virulensinya tetapi mempunyai respon imunogenik
yang tinggi. Virus BHV-1 dapat bersifat laten dan usaha isolasi
virusnya dapat dilakukan dengan pemberian kortikosteroid dosis
tinggi, misalnya deksametason untuk reaktivas. Sebagaimana umumnya
Alphaherpesvirinae maka BHV-1 menyebabkan infeksi laten. Setelah
infeksi, BHV-1 akan menyebar dari infeksi lokal ke sistem syaraf
melalui sel syaraf tepi mencapai ganglia trigeminal dan lumbosakral
dan menetap dalam keadaan laten. Sciatic, ganglia trigeminal dan
tonsil adalah tempat terjadinya latensia setelah penyakit genital
dan pernapasan. Sifat laten ini membuat virus akan terus menetap
dan akan terus dibawa dan dapat diinfeksikan terhadap sapi lain
sehingga virus akan menyebar. Virus BHV-1 yang menetap ini dapat
diaktifkan atau dipicu dengan beberapa rangsangan seperti
transportasi, proses kelahiran dan pengobatan dengan
glucocorticoid.Diagnosis terhadap IBR biasanya dilakukan dengan
isolasi virus karena sensitivitasnya yang tinggi, tetapi uji
serologis seperti uji serum neutralisasi (SN), fiksasi komplemen
(CF), imunoperoksidase dan imuno fluoresen tidak langsung (IIF)
sering dilakukan. Keberadaan penyakit IBR di Indonesia telah
dilaporkan melalui uji serologis. Usaha untuk mendeteksi BHV-1 pada
semen sapi yang digunakan untuk IB dan swab (sediaan ulas) dari
mukosa organ hewan yang terserang hanya dilakukan dengan cara
isolasi virus. Hal ini menimbulkan banyak hambatan dan membutuhkan
waktu cukup lama. Selain itu, teknik pewarnaan imunohistokimia
(IHK) juga dilakukan untuk mendeteksi antigen pada organ hewan yang
terinfeksi BHV-1. Isolasi virus IBR di Indonesia diperoleh dari
kasus hewan yang mengalami stres buatan dan dari semen hewan asal
Balai Inseminasi Buatan (BIB) telah berhasil, akan tetapi uji
patogenitas untuk dipelajari sifat-sifatnya belum diuji. Keganasan
isolat dapat dilihat dari respon klinis, patologi anatomis,
histopatologis dan sebaran antigen BHV-1 pada organ yang
terinfeksi.Genom virus IBR memiliki double stranded DNA yang
menyandi sebanyak 70 protein, yang terdiri dari 33 protein
struktural dan lebih 15 protein non struktural. Glikoprotein adalah
protein struktural yang mempunyai peranan penting dalam patogenesis
dan sistem kebal. Glikoprotein berfungsi sebagai proteksi
imunologis, replikasi, penyebaran dari sel ke sel yang lain serta
pelekatan virus pada sel inang (8). Polymerase Chain Reaction (PCR)
merupakan teknik biologi molekuler yang memiliki tingkat
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Dengan penggunaan teknik
PCR maka keberadaan penyakit IBR dapat diketahui sedini mungkin,
sehingga dapat dilakukan langkah pengendalian penyakit atau
tindakan oleh para pengambil kebijakan. Gold standar pengujian
untuk mengisolasi virus IBR adalah dengan menumbuhkannya pada
biakan jaringan lestari Madin Darby Bovine Kidney (MDBK) , tetapi
untuk mendeteksi DNA pada kejadian laten menggunakan teknik PCR
(8). Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi keberadaan materi
genetik virus IBR dengan menggunakan metode konvensional PCR,
menggunakan gen gD dengan cara nested PCR. Diharapkan studi ini
dapat dipakai juga sebagai dasar pertimbangan dalam pemilihan jenis
isolat untuk pembuatan bahan baku KIT DIAGNOSTIK IBR dengan
menggunakan isolat lokal Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah1. Bagaimana tahapan pembuatan Kit diagnostik
untuk mendeteksi IBR?2. Apa keunggulan penggunaan Kit diagnostik
IBR dengan PCR dibanding uji yang lain?
1.3 Tujuan1. Mahasiswa mengetahui prosedur pembuatan kit
diagnostik untuk mendeteksi penyakit IBR 2. Mahasiswa mengetahui
apa keunggulan dari kit diagnostik IBR dibandingkan uji yang
lain
1.4 Manfaat Bagi Pemerintah Menurunkan angka kejadian kasus IBR
yang selama ini menjadi salah satu penyakit strategis di Indonesia
Bagi Masyarakat atau Peternak Menjadi solusi atau jawaban atas
masalah yang dikeluhkan oleh peternak terhadap penyakit IBR yang
kemudian diharapkan dengan alat ini dapat mendeteksi sedini mungkin
penyakit IBR. Mengurangi kerugian produksi dan nilai jual karena
penyakit IBR Bagi Mahasiswa Dapat memperkaya wawasan dalam bidang
ilmu penelitian dan melakukan research sebagai perwujudan terhadap
prinsip tridarma perguruan tinggi yaitu penelitian untuk
mengembangkan atau menciptakan inovasi yang sudah ada Alat dapat
dipatenkan dan mahasiswa dapat memperoleh keuntungan dari hal
tersebut baik secara materiil maupun moril.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA2.1 ETIOLOGI2.1.1 Agen Penyebab
PenyakitInfectiousBovineRhinotracheitis (IBR) merupakan
penyakitmenular yang disebabkan oleh Bovine Herpes Virus tipe 1
(BHV-1) yang dapatmenyerang alat respirasi bagian atas dan alat
reproduksi pada sapi. Biasanyapenyakit ini menyerang ternak sapi
yang ditandai dengan gejala demam tinggi dengan suhu 40,5 42 C,
nafsu makan menurun dan dijumpai leleran hidung,hipersalivasi,
produksi air susu menurun disertai dengan kekurusan
(Kurniadhi,2003). Pada dasarnya serangan IBR itu sendiri tidak
menyebakan kematian pada hewan, akan tetapi infeksi BHV-1 ini
merupakan predisposisi terjadinya pnemonia sekunder pada hewan yang
dapat menyebabkan kematian pada hewan. Penyakit
InfectiousBovineRhinotracheitis (IBR) menyerang pada sapi dan
kerbau yang disebabkan oleh virus dari golongan herpes. Penyakit
inipada hewan yang peka dapat bersifat laten, seperti kebanyakan
penyakit yang kausanya adalahherpes virus. Oleh sebab itu,
pendekatan pada penanggulangan penyakit perludiselaraskan dengan
sifat agen penyakit dan perlu penanganan khusus untukpenanggulangan
tersebut(Sudarisman 2007). 2.1.2 TAKSONOMI
Adapun klasifikasi Virus penyebab Infectious Bovine
Rhinotracheitis (IBR), sebagai berikut :Group:Group1(dsDNA)Family
:HerpesviridaeSub family:AlphaherpesviridaeGenus :
VaricellovirusSpesies : Bovine Herpes Virus1 ( BHV-1)
2.1.3 MorfologiSemua Herpesvirus pada umumnya memiliki untai
dasar double stranded (DNA virus), yang dikode 100-200 gen dan
terbungkus oleh capsid, dimanacapsid ini merupakan susunan rantai
ikosahedral protein, capsid ini diselubungilagi dengan suatu
lapisan protein yang disebut tegument, yang mengandung protein
virus,mRNA virus, dan lapisan lipidbilayer yang disebut amplop
virus.Virion dari BHV-1 terdiri dari tidak kurang 2533 polipeptida.
Sel yangdiinfeksi oleh virus akan berisi tidakkurang dari 15
polipeptida yang bukan dari virion. Gen dari beberapa nukleotida
ini termasuk didalamnya BHV-1 glikoprotein B atau gI, BHV-1 gC atau
gIII, BHV-1 gD atau gIV dan Thymidine Kinase (TK). Virion BHV-1
terdiri dari proteiNyang dikenal dengan VP8, VP7 ataupun 107 K
(Kurniadhi 2003).
Gambar 1. Gambara virus BHV-1 pada biakan sel selapis (cell
line) MDBK dan terlihat awal terbentuknya CPE pada tanda panah
putih2.1.4 Siklus Hidup dan Proses InfeksiPada media biakan sel
selapis yang sesuai, virus dapat tumbuh dan berkembang dengan
ditandai oleh adanya kerusakan sel terinfeksi. Menurut beberapa
penelitian, pada penyakit IBR, media yang tepat untuk
menumbuhkannya adalah di sel selapis dari organ sapi antara lain
ginjal, adrenal, testis, thymus, thyroid, pankreas dan ginjal babi.
Hal ini sebabkan karena pupukan sel selapis dari jaringan ginjal
sapi yang difiksasi dengan cairan Bouin dan diwarnai dengan
hematoksilin-eosin (HE) memperlihatkan intranuclear inclusion
bodies yang menyerap warna eosin. Virus IBR-IPV juga dapat tumbuh
baik pada media pupukan sel yang dibuat dari paru-paru dan kulit
sapi serta memperlihatkan gejala CPE yang baik dalam waktu 1-2 hari
ditandai dengan intranuclear inclusion bodies pada sel-sel selapis
yang terinfeksi. Pada pupukan sel embrio sapi, sel yang membulat
dan mengkerut akan terlihat pada 24-48 jam setelah terinfeksi oleh
virus dan plaque-plaque akan terlihat pada pupukan agar overlay.
Pertumbuhan virus juga terjadi pada media sel selapis jaringan
ginjal babi, domba, kambing, kuda dan monyet juga limpa kelinci,
amnion manusia dan sel Hela. Tetapi umumnya hal tersebut terjadi
setelah virus mengalami adaptasi. Pada TET virus tidak dapat tumbuh
(Sutrisno 1985).Penyebaran BHV1 dapat dengan cara horisontal maupun
vertikal. Penyebaran secara horisontal melalui kontak seksual,
Inseminasi Buatan (IB), dan melaui udara. Sedangkan penyebaran BHV1
secara vertikal, yaitu melalui plasenta. Penularan BHV1 secara
langsung dapat melalui membran mukus saluran pernapasan dan
pencernaan hewan, penularan melalui membran mukus ini dapat terjadi
secara nose to nose antara hewan terinfeksi dan hewan yang rentan,
hal ini disebabkan virus meluruh bersamaan dengan menbran mukus,
selain itu penularan BHV1 juga melalui udara yang dihembuskan,
bersin atau batuk hewan terinfeksi. Dan diketahui bahwa masa
inkubasi Bovine Herpes Virus tipe 1 berkisar 2-3 hari, baik yang
menyerang saluran pernapasan maupun yang menyerang saluran
reproduksi.2.1.5 Polymerase Chain ReactionPolymerase Chain Reaction
adalah teknik biologi molekuler untuk mengamplifikasi sekuen DNA
spesifik menjadi ribuan sampai jutaan kopi sekuen DNA. Teknik ini
menggunakan metode enzimatis yang diperantarai primer. Prinsip
dasar PCR adalah sekuen DNA spesifik diamplifikasi menjadi dua kopi
selanjutnya menjadi empat kopi dan seterusnya. Pelipat gandaan ini
membutuhkan enzim spesifik yang dikenal dengan polimerase.
Polimerase adalah enzim yang mampu menggabungkan DNA cetakan
tunggal, membentuk untaian molekul DNA yang panjang. Enzim ini
membutuhkan primer serta DNA cetakan seperti nukleotida yang
terdiri dari empat basa yaitu Adenine (A), Thymine (T), Cytosine
(C) dan Guanine (G). Reaksi amplifikasi ini dimulai dengan
melakukan denaturasi DNA cetakan yang berantai ganda menjadi rantai
tunggal, kemudian suhu diturunkan sehingga primer akan menempel
(annealing) pada DNA cetakan yang berantai tunggal. Setelah proses
annealing, suhu dinaikkan kembali sehingga enzim polimerase
melakukan proses polimerase rantai DNA yang baru. Rantai DNA yang
baru tersebut selanjutnya sebagai cetakan bagi reaksi polimerase
berikutnya.Nested PCR adalah suatu teknik perbanyakan (replikasi)
sampelDNA menggunakan bantuanenzimDNA polymeraseyang menggunakan
dua pasang primeruntuk mengamplifikasifragmen. Dengan menggunakan
nested PCR, jika ada fragmen yang salah diamplifikasi maka
kemungkinan bagian tersebut diamplifikasi untuk kedua kalinya oleh
primer yang kedua. Dengan demikian, nested PCR adalah PCR yang
sangatspesifikdalam melakukanamplifikasi. Nested PCR dan PCR biasa
berguna untuk memperbanyak fragmenDNAtertentu dalam jumlah banyak.
Dimana pada nested PCR digunakan 2 pasang primer sedangkan pada PCR
biasa hanya menggunakan 1 pasang primer.Oleh karena itu hasil
fragmen DNA dari nested PCR lebihspesifik(lebih pendek)
dibandingkan dengan PCR biasa. Waktuyang diperlukan dalam reaksi
nested PCR lebih lama daripada PCR biasa karena pada nested PCR
dilakukan 2 kali reaksi PCR sedangkan pada PCR biasa hanya 1 kali
reaksi PCR. Selain itu, keuntungan nested PCR adalah meminimalkan
kesalahan amplifikasigendengan menggunakan 2 pasang primer.
Mekanisme kerja dari nested PCR sendiri yakni pada Fase Denaturasi,
Pertama-tama DNA mengalami denaturasi lalu memasuki fase
penempelan. Fase Penempelan, sepasang primer pertama melekat di
kedua utas tunggal DNA dan mengamplifikasi DNA di antara kedua
primer tersebut dan terbentuklah produk PCR pertama.Fase
pemanjangan, produk PCR pertama tersebut dijalankan pada proses PCR
kedua di mana pasangan primer kedua (nested primer) akan
mengenalisekuenDNA spesifik yang berada di dalam fragmen produk PCR
pertama dan memulaiamplifikasibagian di antara kedua primer
tersebut. Hasilnya adalah sekuens DNA yang lebih pendek daripada
sekuens DNA hasil PCR pertama.
BAB IIIPEMBAHASAN3.1 Prosedur pembuatan kit diagnostik untuk
mendeteksi penyakit IBR Menyiapkan materi yang dibutuhkan dan
metode yang digunakan1. VirusVirus IBR strain Los angeles yang
ditumbuhkan pada sel MDBK dan sel BT (Bovine Testicle), virus IBR
strain Colorado yang ditumbuhkan pada sel MDBK dan BHV-1 strain
V-155. Strain V-155 berasal dari usap mukosa vagina sapi Australia
yang ditumbuhkan pada sel MDCK.2. Isolasi/Ekstraksi DNAMetode
isolasi/ekstraksi DNA menggunakan Qiamp DNA Mini Kit (Qiagen, Cat:
51304) untuk memperoleh DNA. Preparasi sebelum melakukan ekstraksi
adalah dengan menambahkan 60 ml Ethanol absolut ke dalam 19 ml
Buffer AW1 dan 44 ml Ethanol absolut ke dalam 13 ml Buffer AW2.3.
Ekstraksi DNAEkstraksi ini dilakukan dengan memasukkan sampel
sebanyak 180 l ke dalam life touch microsentrifuge tube 1.7 ml yang
bersih dan steril yang ditambah dengan 560 l Buffer AVL. Kemudian
campuran ini divortex selama 15 detik dan diinkubasikan pada suhu
ruang selama 10 menit. Setelah itu disentrifus selama 1 menit
dengan kecepatan 8000 rpm. Tambahkan 560 l Ethanol absolut dan
divortex selama 15 detik serta di sentrifus selama 1 menit dengan
kecepatan 8000 rpm. Larutan sebanyak 700 l dipindahkan ke dalam
Qiamp Spin Column dan disentrifus selama 1 menit dengan kecepatan
8000 rpm. Cairan yan tertampung dalam Collection Tube dibuang dan
sisa larutan sebanyak 520 l dipindahkan kedalam Collection Tube
yang baru kemudian ditambahkan Buffer AW1 sebanyak 500 l dan
disentrifus selama 1 menit dengan kecepatan 8000 rpm. Cairan yang
tertampung didalam Collection Tube dibuang dan ditambahkan Buffer
AW2 sebanyak 500 l untuk mencuci membran spin column. Setelah itu
disentrifus selama 3 menit dengan kecepatan 14000 rpm. Cairan yang
tertampung pada Collection Tube dibuang dan disentrifus lagi selama
1 menit dengan kecepatan 14000 rpm. Selanjutnya cairan beserta
Collection Tube diibuang. Qiamp Spin Column dipindahkan ke dalam
Collection Tube yang baru dan ditambahkan Buffer AVE sebanyak 100
l, diinkubasi selama 1 menit dalam suhu ruang kemudian
disentrifusselama 1 menit dengan kecepatan 8000 rpm. Tahap akhir
adalah Qiamp Spin Column 4dibuang dan filtrat yang didalam tabung
adalah DNA. Simpan DNA pada suhu -20oC sampai akan digunakan untuk
identifikasi selanjutnya.4. Penambahan PrimerPrimer yang digunakan
adalah dua pasang primer glikoprotein D (gD) (10,11) yaitu primer
gD BHV-1 Eksternal: gD-P1F (Lokasi 351-368) 5- GCT GTG GGA AGC GGT
ACG-3) dan gD-P2R (Lokasi 817-796) 5-GTC GAC TAT GGC CTT GTG TGC-3
; dan primer BHV-1 Internal: gD-P3F (Lokasi 394-422) 5-ACG GTC ATA
TGG TAC AAG ATC GAG AGC G-3 dan gD-P4R (Lokasi 716-696) 5-CCA AAG
GTG TAC CCG CGA GCC-3. Primer eksternal menghasilkan fragmen 468 bp
dan primer internal menghasilkan fragmen 325 bp. 5. Amplifikasi
PCRa. First PCR Mix menggunakan Top TagMaster Mix Kit (Qiagen, Cat
: 200203)Kedalam tabung 200 ul dicampurkan reagen PCR mix yang
terdiri dari 12.5 l 2x Top Tag Master Mix, 0.25 l Primer gD-P1F (20
uM), 0.25 l Primer gD-P2 (20 uM) dan 9.5 l RNAse Free Water
sehingga total volume mencapai 22.5 l. Setelah itu campuran di
vorteks dan sentrifus beberapa detik dan ditambahkan template DNA
sebanyak 2.5 ul. Tabung diasukkan ke dalam mesin thermal cycler
(Eppendorf) dengan program yang di awali dengan Hot start 940C
selama 3 menit, kemudian 35 siklus dimana masing-masing siklus
terdiri dari denaturasi 940C selama 30 detik, pelekatan (annealing)
600C selama 30 detik, dan elongasi (elongation) 720C selama 1
menit. Amplifikasi diakhiri dengan elongasi terakhir pada suhu 720C
selama 10 menit. b. Second PCR Mix menggunakan Top Tag Master Mix
Kit (Qiagen, Cat : 200203)Kedalam tabung 200 ul dicampurkan reagen
PCR mix yang terdiri dari 12.5 l2x Top Tag Master Mix, 0.25 l
Primer gD-P3F (20 uM), 0.25 l Primer gD-P4R (20 uM) dan 11 l RNAse
Free Water sehingga total volume mencapai 24 l. Setelah itu
campuran di vorteks dan sentrifus beberapa detik dan ditambahkan
produk PCR pertama sebanyak 1 ul Tabung disasukkan ke dalam mesin
thermal cycler (Eppendorf) dengan program yang di awali dengan Hot
start 940C selama 3 menit, kemudian 35 siklus dimana masing-masing
siklus terdiri dari denaturasi 940C selama 30 detik, pelekatan
(annealing) 600C selama 30 detik, dan 5 elongasi (elongation) 720C
selama 1 menit. Amplifikasi diakhiri dengan elongasi terakhir pada
suhu 720C selama 10 menit. 6. Analisa Produk PCRProduk PCR
dianalisa dengan Elektrophoresis menggunakan gel
agarose(Invitrogen) 2 % dalam buffer TAE (Invitogen) dan syber safe
(Invitrogen). Hasil PCR masing masing sebanyak 10 l kemudian
dicampur dengan loading dye 1 l. Campuran dimasukkan ke dalam
lubang gel agarosa di dalam elektroforesis chamber. Salah satu
lubang diisi dengan marker 100 bp (Invitrogen) sebanyak 10 l.
Elektrophoresis dilakukan pada 100 volt dan 400 mA dalam buffer TAE
selama 45 menit.Hasil elektroforesis dilihat dengan menggunakan
sinar biru, pada 468 bp untuk first PCR sedangkan 325 bp untuk
second PCR atau nested.
Hasil uji PCR menggunakan konvensional PCR untuk mendeteksi
virus IBR ditampilkan pada Gambar 1. Pada metode ini menggunakan
dua pasang primer, yaitu sepasang primer eksternal (gD-P1F /
gD-P2R) dan sepasang primer internal (gD-P3F/gD-P4R). Primer
eksternal menghasilkan produk PCR 468 bp sedangkan primer internal
menghasilkan produk PCR 325bp.Polymerase Chain Reaction (PCR)
adalah salah satu teknik biologi molekuler untuk memperbanyak
jumlah DNA secara in-vitro dengan mempergunakan enzim polymerase
dan perubahan temperatur. Dalam teknik PCR ini sangat diperlukan
preparasi sampel DNA, dimana untuk mendapatkan asam nuklat
merupakan langkah awal untuk menentukan keberhasilan dalam proses
identifikasi DNA dari sampel yang kita akan lihat. Isolasi DNA
merupakan proses yang sangat menentukan kemampuan kita untuk
mengidentifikasi DNA dari sel tersebut dan tentunya dalam proses
isolasi DNA ini membutuhkan perangkat terutama laboratorium yang
memenuhi syarat tertentu.3.1 Keunggulan pengembangan Kit diagnostik
berbasis PCR dibandingkan dengan uji lain Teknik ini tidak
memerlukan proses pembiakan, mempunyai sensitifitas dan
spesifisitas yang tinggi. Menurut Van Engelenburg et al. 1993 dan
Smith et al. 2000, pengujian dengan teknik PCR untuk mendeteksi DNA
virus IBR merupakan cara yang sensitif, akurat dan pelaksanaan
lebih cepat dibanding isolasi pada biakan jaringan. Dengan PCR,
deteksi DNA virus IBR dapat dilakukan lebih sering karena prosesnya
lebih cepat.Glikoprotein D merupakan glikoprotein utama dan penting
bagi BHV-1 yang berperan dalam interaksi antara virus dengan sel
inang yaitu membantu proses masuknya virus ke sel inang, penyebaran
virus dari sel ke sel dan fusi virion envelope dengan membran
plasma. Menurut Saepulloh et al. (2008), nested PCR memiliki
tingkat sensitivitas yang tinggi, cepat dan mudah pengerjaannya
dibandingkan dengan isolasi virus yang merupakan metode standar,
sehingga sangat ideal untuk diagnosa rutin. Pemakaian nPCR untuk
mendeteksi herpesvirus telah banyak dilakukan di dunia. Di
Indonesia sendiri telah dilakukan untuk mendeteksi agen penyebab
MCF (Malignan Catarrhal Fever) pada sampel usapan mukosa hidung dan
untuk mendeteksi agen penyebab penyakit IBR dari isolat yang
berasal dari mukosa hidung dan semen sapi Jawa Timur dan Jawa
Barat.
BAB IVPENUTUP4.1 KesimpulanMetode nPCR dengan menggunakan
sepasang primer eksternal dan sepasang primer internal dari gen
Glikoprotein mampu mendeteksi DNA virus IBR lebih cepat dan mudah
yang bisa diaplikasikan dalam pengembangan suatu kit diagnostik.
Metode ini akan mampu mendeteksi keberadaan virus IBR yang bersifat
laten secara dini serta dapat mengurangi kerugian peternak karena
terjangkit virus IBR dengan teknik PCR untuk mendeteksi DNA virus
IBR merupakan cara yang sensitif, akurat dan pelaksanaan lebih
cepat dibanding isolasi pada biakan jaringan. Dengan PCR, deteksi
DNA virus IBR dapat dilakukan lebih sering karena prosesnya lebih
cepat.
DAFTAR PUSTAKA
Ackerman M, Wyler R. 1984. The DNA of an IPV strain of Bovine
Herpesvirus 1 in sacral ganglia during latency after intravaginal
infection. Veterinary Micobiology.9:53-63.Anonim. 2011. Standard
Operating Procedure (SOP) Deteksi Biologi Molekuler IBR.
Disampaikan pada Pelatihan Bioteknologi 2011 Teknik diagnosa virus
rabies dan infectious Bovine Rhinotracheitis secara molekuler di
Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan 11-15 Juli
2011. PT. Gene Craft labs. Jakarta.Badiei K, Ghane M, Mostaghni K.
2010. Seroprevalence of Bovine Herpes Virus Type 1 in the
Industrial Dairy Cattle Herds in Suburb of Shiraz-iran. Australian
Journal of Basic and Applied Sciences 4(10): 4650-4654.De Gee ALW,
Wagter LHA, Hage JJ. 1996. The use of a polymerase chain reaction
assay for the detection of bovine herpesvirus 1 in semen during a
natural outbreak of infectious bovine rhinotracheitis. Veterinary
Microbiology. 63: 163-168. Hatta M. 2007. Prinsip dasar PCR dan
aplikasinya. Di dalam Kursus Singkat Pertemuan Virologi dan
Bioteknologi se Indonesia 2007 di BPPV Reginal II Lampung pada
tanggal 2 - 7 Juli 2007[ICTV] International Commitee on Toxonomy of
Viruses. 2002. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ICTVdb/Ictv/index.htm.
Diunduh pada tanggal 8 Juni 2010.Muylkens BJ, Thiry J, Kisten P,
Schynts S, Thiry E. 2007. Bovine Herpesvirus 1 infectious bovine
rhinotracheitis. Vet. Res. 38: 181-209.[OIE] Office International
Epizooties. 2010. Infectious Bovine Rhinotracheitis/Infectious
Pustular Vulvovaginitis. OIE Terrestrial Manual Chapter 2.4.13.
Paris.Radostitis OM, Gay CC, Blood DC, Hinchliff KW. 2000.
Veterinary Medicine: A textbook of the diseae of cattle, sheep,
pig, goats and horses, 9th. WB Saunders Company Ltd. Hlm.
1173-1184.Rola J, Larska M, Polak MP. 2005. Detection of Bovine
Herpesvirus 1 from an outbreak of Infectious Bovine
Rhinotracheitis. Bull. Vet. Inst. Pulawy. 49: 267-271.Saepulloh M,
Adjid RMA, Wibawan IWT, Darminto. 2008. Pengembangan Nested PCR
untuk deteksi Bovine Herpesvirus-1 (BHV-1) pada sediaan usap
mukosahidung dan semen asal sapi. JITV. 13(2): 155-163.Saepulloh M,
Wibawan IWT, Sajuthi D, Setiyaningsih S. 2009. Karakterisasi
molekuler Bovine Herpesvirus Type 1 isolat Indonesia. JITV. 14(1):
66-74.Smith CB, C Van Maanen, Glas RD, De Gee ALW, Dijkstrab T, Van
Oirschot JT, Rijsewijk FAM. 2000. Comparison of three polymerase
chain reaction methods for routinedetection of bovine herpesvirus 1
DNA in fresh bull semen. Journal of Virological Methods.
85:65-73.Thiry YE, Saliki J, Bublot M, P.P. Pastoret PP. 1987.
Reactivation of infectious bovine rhinotracheitis virus by
transport. Comp. Immunol. Microbiol. Infect. Dis.10: 59-63.Van
Engelenburg FAC, Maes RK, Van Oirschot JT, Rijsewijk FAM. 1993.
Development of a rapid and sensitive Polymerase Chain Reaction
assay for detection of Bovine Herpesvirus Type 1 in bovine semen.
Journal of Clinical Microbiology. 31(12): 3129-3135.Van Engelenburg
FAC, Van Schie FW, Rijsewijk FAM, Van Oirschot JT. 1995.Excretion
of Bovine Herpesvirus 1 in semen is detected much longer by PCR
than by virus isolation. Journal of Clinical Microbiology 33(2):
308-312.Van Oirschot JT, Straver PJ, Van Lieshout, Quak J,
Westenbrik F, Van Exsel AC. 1993. A subclinical infection of bulls
with bovine herpesvirus type 1 at an artificial insemination
centre. Vet. Rec. 132: 32-35.Wiyono A, Saepulloh M, Damayanti R,
Sudarisman. 1995. Teknik polymerase Chain Reaction untuk virus
malignant catarrhal fever pada sediaan usap mukosa. Prosiding.
Seminar Nasional Teknologi Veteriner, Cisarua Bogor, 7-8 Nopember
1995: 963-969.
12