Top Banner
1 KIPRAH • Volume 37
84

KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Dec 17, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

1KIPRAH • Volume 37

Page 2: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH2

Page 3: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

3KIPRAH • Volume 37

NUANSA

• Setya Budhy Algamar

• Ruchyat Deni Jakapermana

• Waskito Pandu • Supardi • Mohammad Irian

• Antonius Budiono • Sjukrul Amien

• Dadan Krisnandar

Amwazi Idrus

Dedy Permadi

Etty Winarni

Yunaldi • Djuwanto

Lisniari Munthe • Warjono • Srijanto

• Ade Syaiful • Krisno Yuwono

• Endah P.

• Agus Iwan Setiawan • Dian Irawati

Tim Dok. Puskom

Widowati • Litha

Anas S • Yusron • Nadi Tarmadi

• Sutikno • Budi

Kementerian Pekerjaan Umum

Puskom PU, Gedung Bina Marga Lt.1

Jl Patimura 20, Kebayoran Baru, Jakarta 12110

Telp./ Fax: 021-725 1538, 021-722 1679

e-mail:[email protected]

KIPRAHHUNIAN, INFRASTRUKTUR, KOTA DAN LINGKUNGAN

menerima kiriman artikel, atau tulisan lainyang (1) bersifat populer dan (2) sesuai dengan isi Majalah KIPRAH. (3)Panjang tulisan minimal 400 kata, maksimal 1600 kata. (4) Pengirimannaskah dapat dilakukan melalui email ke [email protected], disertaidengan data diri berupa biografi singkat dan alamat, nomor telepon,fax atau E-mail (bila ada). (5) Naskah yang tidak dimuat biasanya tidakakan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis. (6) Redaksi berhakmelakukan perubahan naskah tanpa mengubah isi dari tulisan.

Tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia untuk dapat

berlindung dari derasnya hujan serta teriknya matahari. Akan tetapi, tempat

tinggal juga melambangkan tingkat kesejahteraan penghuninya. Bagi orang-

orang yang berpenghasilan besar, mereka dapat membangun rumah bertingkat

yang besar dan nyaman, memiliki halaman luas nan asri dilengkapi dengan sarana

dan prasarana yang lengkap serta memadai. Sayangnya, tak sedikit orang yang

harus puas tinggal di rumah petak mungil atau gubuk reyot yang saling

berhimpitan, dikelilingi saluran air mampet dan sampah di sepanjang jalan setapak

dan lorong-lorong sempit, dengan ruangan kecil berperabot seadanya, serta tanpa

adanya akses air bersih maupun listrik yang memadai. Di permukiman kumuh

inilah warga perkotaan yang hidup di bawah garis kemiskinan terpaksa tinggal

sembari mencoba mengubah nasibnya. Meskipun mereka sebenarnya tidak senang

harus tinggal di permukiman kumuh, tetapi keadaan ekonomi dan desakan

kebutuhan membuat mereka “nekat” bertahan. Lahan pekerjaan yang lebih

baik menjadi magnet yang tak pupus menarik penduduk desa untuk pindah dan

tinggal di perkotaan, meskipun nasibnya di kota belum jelas.

Tidak siapnya kota-kota menghadapi ledakan penduduk dan urbanisasi yang tidak

terkendali menimbulkan berbagai permasalahan, salah satunya semakin suburnya

permukiman kumuh di kota-kota besar di dunia, tak terkecuali Indonesia. Semakin

pesatnya keberadaan permukiman kumuh menjadi salah satu indikator gagalnya

pemerintah dalam melaksanakan program pembangunan perumahan dan tata

kota yang berkelanjutan. Tidak hanya meruwetkan tata ruang kota, padatnya

permukiman kumuh di sepanjang tepian sungai, tepi rel kereta api, areal

pemakaman umum, di bawah jembatan, maupun jalan layang ini juga berdampak

bagi lingkungan hidup, kesehatan, dan standar hidup warga perkotaan, serta

tindak kejahatan. Konflik pun tak terhindarkan ketika pemerintah daerah

berkepentingan untuk mengatur tata ruang dan tata kota yang amburadul,

sementara keberadaan permukiman kumuh justru dianggap sebagai solusi bagi

warga miskin yang hidup di perkotaan. Minimnya sosialisasi pemerintah, terutama

pada proses penggusuran, relokasi, dan pembebasan lahan, sering kali

menimbulkan penolakan warga. Bahkan, tak jarang mereka sampai bertindak

anarkis demi membela tempat tinggal “miliknya”. Meskipun demikian, beberapa

pemerintah dan kepala daerah berhasil menemukan solusi tepat dalam pengaturan

dan penyediaan permukiman yang lebih layak bagi warganya. Kota Solo misalnya,

berhasil menangani permasalahan permukiman kumuh di wilayahnya melalui

pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan budaya lokal.

Permasalahan permukiman dan perkotaan, khususnya permukiman kumuh, pun

kian menjadi sorotan dunia. Sejak awal tahun 2010 ini, telah diadakan beberapa

pertemuan internasional membahas pembangunan permukiman dan perkotaan

yang berkelanjutan. Diawali dengan diadakannya World Urban Forum 5 (WUF) di

Brazil, kemudian acara World Shanghai Expo 2010 di Cina, hingga rencana

penyelenggaraan 3rd Asia Pacific Ministers’ Conference on Housing and Urban

Development (APMCHUD) yang akan dilaksanakan pada tanggal 22-24 Juni 2010 di

Solo, Indonesia. Semoga saja kegiatan-kegiatan yang telah dan akan dilakukan

pemerintah, baik di tingkat regional, nasional, maupun daerah, benar-benar

mampu menghasilkan pembangunan permukiman dan perkotaan yang

berkelanjutan, terutama bagi kesejahteraan masyarakat miskin dan marjinal.

(Redaksi)

Page 4: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH4

DAFTARISI

10

44

14

42

20

52

NUANSANUANSANUANSANUANSANUANSA...........................................................................................................33333

LINTAS INFOLINTAS INFOLINTAS INFOLINTAS INFOLINTAS INFOTiga Jembatan Bentang Panjang Dibangundi Kalimantan.....................................................................................66666Rawa Menjadi Prioritas Andalan..............................................77777Hulu Brantas Kategori Kritis......................................................77777Operasi & Pemeliharaan BKT Penting.....................................88888Ketua Komisi V DPR-RI Dilantik.................................................88888Anggaran Tambahan PU Rp 1,25 T............................................99999Terbit, Permen PU tentang Jalan Tol......................................99999 Segera Terbit, Perpres Tata Ruang Kawasan BBK...............99999

LAPORAN UTAMALAPORAN UTAMALAPORAN UTAMALAPORAN UTAMALAPORAN UTAMAPermukiman Kumuh, PR yang Belum Selesai.......................1010101010Realita Permukiman Kumuh: “Siapa Sih yang MauHidup Kaya Gini??”......................................................................1414141414Suara Hati Pemukim Kumuh.....................................…..…..........1717171717Okupasi Bantaran Kali Kian Marak................………................1818181818Menjamurnya Permukiman Pinggiran Rel KA...................2020202020Urbanisasi, Arus yang Belum (Tak Pernah) BisaBerhenti........................................................................................2323232323Upaya Pemerintah Menangani Permukiman Kumuh......2525252525Bebas Kumuh 2020, Mungkinkah?........................................2626262626Perlunya Pendampingan di Kawasan Kumuh......................2828282828Pemerintah Harus Ubah Paradigma.....................................2929292929

Page 5: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

5KIPRAH • Volume 37

DAFTARISI

3829 36

766854

Perbaikan Kampung, Hemat Biaya dan MinimGejolak .........................................................................................3030303030Perlu Pengakuan Pemerintah.................................................3131313131Perlu Kebijakan Optimal dalam MengakomodasikanWarga............................................................................................3232323232Masalah Sosial Harus Diperhatikan.......................................3232323232Penanganan Permukiman Kumuh Kota Cimahi....................3333333333Revitalisasi Boezem Morokrembangan.................................3636363636Jalan Panjang menuju Bebas Kumuh...................................3838383838

GALERI FOTOGALERI FOTOGALERI FOTOGALERI FOTOGALERI FOTOWorld Expo Shanghai 2010.................................................4242424242

SELINGANSELINGANSELINGANSELINGANSELINGANMelongok Lombok...................................................................4444444444

TAHUKAH ANDATAHUKAH ANDATAHUKAH ANDATAHUKAH ANDATAHUKAH ANDATahukah Anda.........................................................................4646464646Yang Unik................................................................................….4747474747

JELAJAHJELAJAHJELAJAHJELAJAHJELAJAHFlood Way Dikeruk, Banjir pun Berkurang......................4848484848Menyelamatkan Waduk, Menolong Kehidupan................5050505050Manado Benahi Akses Jalan.................................................5252525252Percepatan Pembangunan Jalan di Papua PerluDana Rp 9,78 Trilyun..............................................................5454545454

Perlunya Air Minum di Papua..............................................5858585858Dari Papua ke Irian Terus ke Papua Lagi.........................5959595959Pusat Perhatikan Infrastruktur PU di Maluku.................6060606060EINRIP untuk Kawasan Timur Indonesia .........................6262626262

LAPORAN KHUSUSLAPORAN KHUSUSLAPORAN KHUSUSLAPORAN KHUSUSLAPORAN KHUSUSWUF 5, World Expo Shanghai, dan APMCHUD 2010:Event Internasional Peduli Perkotaan...............................6464646464Menjalin Kerja Sama Global..............................………….........6868686868

WACANAWACANAWACANAWACANAWACANAKompensasi Eksternalitas Pembangunan Kota...............7070707070Pembaharuan Pengaturan Usaha & PeranMasyarakat Jasa Konstruksi......................................................7474747474Pelestarian Bangunan dan Pengingkaran Sejarah.…..7676767676Menuju Permukiman Ramah Lingkungan.......................7878787878

JENDELAJENDELAJENDELAJENDELAJENDELARahma Sarita: Untuk Banjir......................................................8080808080

INFO BUKUINFO BUKUINFO BUKUINFO BUKUINFO BUKUBanjir Kanal Timur, Tidak Perlu Menunggu LebaranKucing...........................................................................................8181818181

KARIKATUR.....KARIKATUR.....KARIKATUR.....KARIKATUR.....KARIKATUR...............................................................................8282828282

Page 6: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH6

LINTASINFO

Dalam waktu dekat, Balai Besar

Pelaksanaan Jalan Nasional

(BBJN) VII Kalimantan beren-

cana membangun tiga buah jembatan

bentang panjang di Kalbar, Kalsel, dan

Kaltim. Ketiga jembatan tersebut ma-

sing-masing Jembatan Tayan sepanjang

1.420 meter di Kalbar, Jembatan Kota

Baru (3 km) di Kalsel, dan Jembatan Pulau

Balang ( 1.708) di Kaltim.

Studi kelayakan dan amdal ketiga jemba-

tan tersebut telah selesai dikerjakan,

tinggal menunggu kesiapan dana yang

rencananya akan dipikul bersama antara

pemda, pemerintah pusat, dan bantuan

pinjaman dari luar negeri. Demikian

dijelaskan Kepala BBJN VII, Subagiyo,

sewaktu ditemui Kiprah di Banjarmasin.

Jembatan Tayan misalnya, rencananya

mulai dibangun 2011 dan selesai 2014

diperkirakan membutuhkan dana sekitar

Rp 800 milyar. Saat ini, pemerintah pusat

tengah berupaya mencarikan dana pin-

jaman dari Cina. Jembatan yang memben-

tang di atas Sungai Kapuas ini merupakan

bagian dari mata rantai Lintas Selatan

Kalimantan (3.500 Km) yang juga masuk

sistem jaringan jalan ASEAN Highway se-

hingga perannya sangat penting dan

strategis dari sistem jaringan jalan

nasional yang menghubungkan antar

wilayah 4 provinsi di Kalimantan.

Sementara untuk pembangunan Jem-

batan Pulau Balang di Kaltim, bentang

pendeknya sepanjang 408 meter mulai

dikerjakan pihak pemerintah daerah

dengan membangun pilar tiang pancang

jembatan. Sedang sisanya, bentang

panjang 1.300 meter yang rencananya

akan dibiayai melalui dana APBN dan

pinjaman luar negeri, kini sedang di-

upayakan oleh pemerintah pusat.

Jembatan lain yang nilainya cukup stra-

tegis adalah Jembatan Kota Baru di Kalsel

Tiga Jembatan Bentang Panjang

sepanjang 3 kilometer, yang memben-

tang di atas laut menghubungkan daratan

Kalimantan (Batu Licin) dengan Pulau

Kota Baru. Saat ini, jembatan tersebut

dalam tahap evaluasi menyangkut pene-

tapan tinggi dan panjang jembatan dari

muka air laut yang perencanaan desainnya

dikerjakan oleh LAPI-ITB Bandung

Rencana ini diharapkan menarik pihak in-

vestor untuk membiayai terwujudnya

jembatan tersebut yang diperkirakan

membutuhkan dana sekitar Rp 1 trilliun.

Apalagi daerah ini memiliki potensi

sumber daya alam melimpah, berupa hasil

pertambangan, perkebunan, dan per-

ikanan, selain hasil hutan.

Dibalik rencana besar itu, menurut Suba-

giyo, terkendalanya masalah dana jangan

sampai dijadikan penghambat atau alasan

untuk tidak berbuat sebaik-baiknya bagi

pelayanan kepada masyarakat, meski

masalah mutu masih menjadi ganjalan.

Mutu

Subagiyo mengakui, luasnya wilayah dan

panjang jalan yang harus ditangani di

Kalimantan kurang didukung sistem

kelembagaan yang memadai, khususnya

menyangkut penerapan Sistem Manaje-

men Mutu (SMM). Selama ini masalah

tersebut masih dititipkan di Bidang Tata

Usaha, padahal masalah mutu pekerjaan

kini sudah menjadi tuntutan mendesak.

Oleh karena itu, Subagiyo mengusulkan

ke pusat agar BBJN VII Kalimantan sege-

ra membentuk Bidang Mutu agar mutu

penanganan jalan di Kalimantan semakin

meningkat dan tidak tertinggal jauh

dibanding dengan daerah-daerah lain.

Sebagai ilustrasi, Subagiyo menyebutkan

bahwa untuk wilayah Pulau Jawa, yang

luasnya separuh dari luas Kalimantan, dita-

ngani oleh dua balai besar tipe A, sedang-

kan di Kalimantan hanya ditangani oleh

satu balai besar tipe B. Kenyataan ini yang

membuat penanganan jalan di Kaliman-

tan kurang maksimal dan terkesan ter-

tinggal jika dibanding penanganan jalan

di daerah lain. Namun dibalik itu, Suba-

giyo bertekad supaya lebar jalan nasional

seluruh Kalimantan, yang sekarang rata-

rata baru 4 hingga 4,5 meter, pada tahun

2014 sudah memiliki lebar 6-7 meter.

Di samping itu, Subagiyo juga menge-

luhkan kerusakan jalan Trans Kalimantan

akibat over load kendaraan pengangkut

batu bara, sawit, dan angkutan barang

lain yang melintasi jalan itu. Seperti yang

terjadi di ruas jalan Trans Kalimantan, di

wilayah utara Kalimantan Timur sebagian

besar berlubang, amblas, dan longsor.

Ruas Bontang-Tanjung Redep misalnya,

kondisi jalannya masih termasuk katagori

kelas IIIB dengan lebar rata-rata 4 hingga

4,5 meter. Jalan ini hanya mampu mena-

han kendaraan dengan beban maksimal

8 ton. “Truk yang melintas membawa

muatan jauh lebih berat daripada kapa-

sitas jalan,” tandasnya.

Selain itu, tidak semua titik longsor dapat

segera diperbaiki karena biaya dari

pemerintah pusat minim. Misalnya,

kebutuhan untuk mengatasi satu titik

longsor membutuhkan dana Rp 1 milyar

hingga 3 milyar. Padahal di ruas Sangatta-

Simpang Perdau ada 34 titik longsor. (Joe)

Dibangun di Kalimantan

Longsor, Km 75 ruas penajam Tanah Grogot,Kaltim. (Foto:Yunus)

Page 7: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

7KIPRAH • Volume 37

LINTASINFO

Rawa Menjadi Prioritas Andalan

Sebagai sumber daya lahan alternatif

rawa sangat potensial dijadikan

lahan produktif ketahanan pangan.

Tak kurang dari 33,4 juta hektar potensi

lahan rawa di Indonesia yang lokasinya

tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan

Papua siap dikembangkan. Berdasarkan

survei, lahan dataran rendah pantai dan

dekat pantai sekitar 5,6 juta hektar dari

24 juta hektar, diantaranya cocok dikem-

bangkan untuk lahan pertanian pro-

duktif.

Menurut Dir. Rawa dan Pantai, Ditjen

SDA, Djajamurni Wargadalam, sampai

saat ini reklamasi lahan rawa yang telah

dikembangkan seluas 1,8 juta hektar,

terdiri dari rawa pasang surut 1,46 juta

hektar dan 0,34 juta hektar lahan rawa

lebak. Namun dalam perkembangannya,

kondisinya banyak yang menurun akibat

kurang pemeliharaan (terbatasnya dana

O&P). Dampak yang lebih jauh, banyak

lahan rawa terlantar kurang terawat dan

produksinya anjlok. Padahal, kata Djaja-

murni, rawa memiliki potensi besar, bila

direvitalisasi, yakni bisa meningkatkan

produksi pangan (padi ), dari rata-rata 3 ton/

ha/thn, meningkat menjadi 5 hingga 6

ton/hektar/tahun. “Sangat strategis

untuk mendukung ketahanan pangan,”

ujarnya.

Ia mencontohkan keberhasilan pening-

katan produksi padi lahan rawa di Telang

Saleh, Kab.Banyuasin, Sumsel, dan lahan

rawa di Kab. Sambas, Kalbar, yang

berhasil memetik hasil padi 8 ton/hektar

sekali panen. Belum lagi tambahan dari

hasil tanaman sisipan.

Kegiatan revitalisasi ini menurut Djaja-

murni meliputi rehabilitasi sistem tata

kelola air pada jaringan makro, pemasang-

an bangunan pintu klep pengatur pada

saluran pemasok, dan perbaikan saluran

Diakuinya, akibat krisis ekonomi pada 1997

persoalan rawa menjadi kurang diperha-

tikan. Anggaran terbatas telah menye-

babkan semakin besarnya kerusakan

lahan rawa, terutama pada jaringan

pematus makro dan mikro serta

bangunan pintu-pintu klep pengatur

yang memerlukan rehabilitasi dan rekon-

struksi. Kondisi ini menyebabkan penu-

runan kualitas pelayanan yang mengaki-

batkan pertumbuhan tanaman kurang

bagus. Kondisi yang demikian, antara lain

berlangsung di Dandai Jaya, Tabunganen,

Kabupaten Barito Kuala.

Untuk mengembalikan fungsi semula,

setidaknya dibutuhkan dana sekitar

Rp 1,78 triliun, yaitu untuk pening-

katan dan merehabilitasi jaringan

makro seluas 230.000 hektar dan biaya

O&P bangunan seluas 800.000 hektar,

yang diprediksi membutuhkan sekitar

Rp 500.000/hektar/tahun. Sela in

penetapan prioritas dan pengem-

bangan daerah baru, tentunya. (Gus)

yang diselingi penanaman buah alpukat,

petai, nangka, dan sengon untuk men-

jawab kebutuhan ekonomi warga.

Tiga model kebijakan yang diterapkan

untuk melindungi sumber sungai Bran-

tas, yakni melalui perlindungan hard ware,

software, dan edukasi kepada masyarakat,

terutama generasi muda setempat,

termasuk mendorong desa untuk mem-

buat peraturan desa dalam upaya mence-

gah eksploitasi sumber-sumber air.

Di sisi lain, Tjoek mengkhawatirkan

ekspansi perusahaan besar, seperti hotel

serta investasi bisnis air minum dalam

kemasan, yang jika tidak diatur dan

dibatasi bisa mengancam kelangsungan

sumber air. (Trie)Kondisi air di hulu Sungai Barantas

saat ini sudah dalam kategori kri-

tis sehingga memerlukan strategi

penanganan yang lebih taktis. Hal

Hulu Brantas Kategori Kritistersebut karena 70 persen dari sekitar

57 sumber air penting di Kota Batu

berada di dekat permukiman dan telah

dieksploitasi oleh warga setempat untuk

kegiatan domestik, seperti mandi, cuci,

dan air minum. Selain itu, cara bertani

yang salah juga ikut memperparah

kerusakan lingkungan, yaitu terjadinya

erosi dan sedimentasi.

Direktur Utama PJT I, Tjoek Waluyo

Subijanto, yang hadir pada saat peng-

hijauan di Desa Giripurno, Kecamatan

Bumiaji, Kota Batu, menyatakan, PJT I

bekerja sama dengan Pemkot Batu dan

LSM berusaha mempertahankan keles-

tarian sumber air, antara lain dengan

penghijauan. Dalam kegiatan tersebut

telah ditanam 500 dari rencananya 10.000

batang pohon di daerah tangkapan air

Bantaran Sungai Brantas. (Foto:Istimewa)

drainase, yang merupakan pengatur

sistem tata air mikro di tingkat usaha tani.

Upaya lain yang tak kalah penting adalah

kegiatan O&P pada seluruh jaringan.

Page 8: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH8

LINTASINFO

Proyek Banjir Kanal Timur (BKT)

terbukti telah berhasil mengu-

rangi luas dan lama genangan

akibat banjir Jakarta tahun ini, setelah

akhir Desember lalu tembus ke laut. Kalau

sebelumnya tinggi genangan rata-rata 0,5

hingga 1 meter dan lama genangan 72

jam, kini setelah ada BKT tinggi genangan

hanya semata kaki orang dewasa dan 14

jam kemudian airnya sudah surut.

Dengan kata lain, sekali pun pembangunan

BKT belum 100 persen tuntas, tetapi

keberadaannya telah memberi manfaat

bagi sebagian warga ibu kota, yaitu rasa

aman dari banjir, karena berkurangnya luas

dan lama genangan.

Sekalipun demikian, mantan Dirjen Sum-

ber daya Air (SDA), Kementerian Peker-

jaan Umum, Siswoko, mewanti-wanti

kepada jajaran SDA agar masalah Operasai

dan Pemeliharaan (O&P) diperhatikan.

Oleh karena itu, pengelolaan paska proyek

Operasi & Pemeliharaan BKT Pentingnanti harus tetap ditangani oleh Peme-

rintah Pusat, dalam hal ini BBWS Cili-

wung-Cisadane, meski pihak Pemprov.

DKI ikut andil, khususnya dalam pem-

bebasan lahan. “Toh manfaatnya untuk

warga DKI juga,” ujar Siswoko, saat hadir

dalam acara Peluncuran Bedah Buku BKT

di Pendopo Sapta Taruna PU 30 Maret

lalu.

Fungsi BKT sendiri, selain mengurangi

ancaman banjir di daerah Jakarta Timur,

juga melindungi permukiman, kawasan

industri dan pergudangan, serta akan

dimanfaatkan sebagai prasarana konsevasi

air, yaitu pengisian kembali air tanah,

sumber air baku, dan prasarana trans-

portasi air.

Menurut Siswoko, paska konstruksi

masalah O&P menjadi penting agar

bangunan tetap berfungsi sesuai rencana.

BKT ini merupakan salah satu bagian dari

sistem penanganan banjir yang menye-

luruh, yang

akan diikuti

dengan pe-

kerjaan terus-

menerus, ter-

utama bagian

hilirnya, se-

perti pem-

buatan folder

atau waduk

tampungan

banjir dll. Bahkan, di beberapa bagian atau

lokasi yang kondisi lebar salurannya masih

sekitar 15 meter harus dibuat sesuai

rencana, yaitu lebar 70 meter dan

panjang 23,5 Km. Selain itu, upaya struk-

tural ini harus diikuti dengan upaya-upaya

nonstruktural, agar kanal tetap bersih

dapat digunakan untuk lalu lintas air.

Bukan menjadi tempat buangan sampah

dan limbah bagi industri dan rumah

tangga, khususnya yang datang dari aliran

Sungai Cipinang dan Kali Sunter. (Joe)

Siswoko, mantan Dirjen SDA.(Foto:Dok.)

Ketua Komisi V DPR-RI Dilantik

Wakil Ketua DPR-RI, Pramono

Anung, menetapkan Dra.Yasti

Soepredjo Mokoagow dari

Fraksi Partai Amanat Nasional sebagai

Ketua Komisi V DPR-RI yang baru.

Sebelumnya, jabatan ketua Komisi V

dijabat oleh Taufik Kurniawan yang

sekarang menjadi wakil Ketua DPR-RI

menggantikan almarhum Marwoto.

Pelantikan yang berlangsung Kamis (15/

4) yang lalu di gedung Nusantara DPR-RI,

dihadiri 36 anggota Komisi V DPR-RI dan

Wakil Ketua Komisi V Muhidin M Said ( F-

PG), H.Mulyadi ( F-PD), dan Yoseph

Umarhadi ( F-PDIP).

Dalam kesempatan tersebut, Pramono

Anung berpesan agar Ketua Komisi V

yang baru dapat berhati-hati dan beker-

ja sama secara kolektif kolegial dengan

pimpinan-pimpinan Komisi V yang lain.

“Saya mungkin tidak perlu berpesan apa-

apa lagi, karena Ibu Yesti ini juga dari

anggota Komisi V DPR-RI,” kata Pramono.

Sementara Yasti yang baru saja dilantik

mengatakan, sebagai pimpinan yang baru

dia berharap dapat bekerja sama dengan

sejumlah jajaran Komisi V. Yasti juga

berharap dapat menerapkan mekanisme

kerja hubungan antar anggota dan

pimpinan Komisi V DPR dijalankan dengan

prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan,

kebersamaan, dan saling menghormati.

Ketua Komisi V yang baru menyampaikan

keinginannya untuk selalu terbuka ter-

hadap saran, masukan, bahkan kritik. Dia

menyadari sebagai politisi yang baru

pertama kali duduk sebagai anggota

dewan, masih belum memiliki penga-

laman seperti anggota-anggota Komisi V

yang sebelumnya telah menjadi anggota

Dewan. Untuk itu, kata Yasti, agar dapat

Ketua Komisi DPR-RI, Dra. Yasti SoepredjoMokoagow.(Foto:Dok.)

Page 9: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

9KIPRAH • Volume 37

LINTASINFO

menjadi pimpinan yang baik dan benar

dia mengharapkan kesediaan anggota

Komisi V untuk menegur atau meng-

ingatkan jika ada kekeliruan atau hal-hal

yang berpotensi menjadi kelemahan dan

kekeliruan. “Saya akan senang, lapang

dada, dan bahagia menerimanya sebagai

bagian dari hubungan yang saling meng-

hormati satu sama lain,” kata Yasti. Pada

akhir sambutannya, Yasti mengajak selu-

ruh anggota Komisi V DPR-RI untuk

menyukseskan tugas-tugas yang harus

diemban dan dipertanggungjawabkan,

bukan hanya kepada partai semata dan

konstituen masing-masing, namun ter-

lebih lagi kepada seluruh rakyat Indo-

nesia.(Jons)

Segera Terbit, Perpres Tata Ruang Kawasan BBK

Anggaran Tambahan PU Rp1,25 T

Kementerian Pekerjaan Umum

(PU) kembali mendapat alokasi

anggaran tambahan dalam AP-

BNP 2010 sebesar Rp 450 miliar. Sebe-

lumnya, Kementerian PU juga telah

mendapat alokasi anggaran tambahan

sebesar Rp 805,2 miliar, sehingga total

menjadi Rp 1,25 triliun.

Wakil Ketua komisi V DPR Muhidin M. Said

mengatakan, penambahan anggaran

dalam APBNP 2010 sebesar Rp 450 miliar

sudah mendapatkan persetujuan dari

komisi V DPR. “Ada tambahan anggaran

lagi Rp 450 miliar, jadi total menjadi Rp

1,25 triliun, “ ujarnya di Jakarta, Senin (3/5).

Menurut Muhidin , tambahan anggaran

sebesar itu tetap belum mampu menu-

tupi kekurangan anggaran tahun ini untuk

Kementerian PU yang diproyeksikan

mencapai Rp 6 triliun.(Lmm)

Terbit, Permen PU tentang Jalan Tol

Kelambatan atau terbengkalainya

20 proyek ruas tol diharapkan

segera teratasi dengan terbitnya

peraturan Menteri PU terkait proyek-

proyek tersebut. Menurut Kepala BPJT

Nurdin Manurung, dengan Permen PU

itu pemerintah dapat menerapkan keten-

tuan Peraturan Presiden No. 67/2005

tentang Kerja Sama Pemerintah dengan

Badan Usaha dalam Penyediaan Infra-

struktur. Permen Pekerjaan Umum

tersebut akan mengatur kriteria investasi

tol sementara BPJT akan menginvestasi

kelayakan proyek serta kemampuan

badan usaha jalan tol dalam menyele-

saikan proyek tersebut. (Ist)

Naskah Rancangan Peraturan

Presiden (Raperpres) tentang

Rencana Tata Ruang Kawasan

Batam, Bintan, dan Karimun (RTR Ka-

wasan BBK) telah sesuai dengan aspirasi

yang disampaikan oleh masyarakat.

Diharapkan proses selanjutnya dapat

disahkan menjadi Peraturan Presiden

(Perpres), demikian disampaikan Direk-

tur Jenderal Penataan Ruang, Imam S.

Ernawi pada Kegiatan Koordinasi Tim

Pelaksana Badan Koordinasi Penataan

Ruang Nasional (BKPRN) di Jakarta.

Raperpres tentang kawasan ini telah

melalui proses yang panjang, termasuk

pembicaraan dengan pihak Pemerintah

Daerah terkait. “Raperpres ini diharap-

kan segera dapat diselesaikan dan

diproses lebih lanjut sesuai mekanisme

BKPRN, agar dapat segera diusulkan

kepada Presiden sekaligus disahkan

sebagai Perpres,” imbuh Imam.

Direktur Penataan Ruang Wilayah I,

Bahal Edison Naiborhu, menambahkan,

telah sesuainya RTR Kawasan BBK

dengan aspirasi masyarakat tersebut juga

ditunjukkan dengan adanya persetujuan

serta dukungan dari masing-masing

Bupati dan Walikota terkait. Khususnya,

terhadap materi Raperpres RTR Ka-

wasan BBK yang dituangkan dalam

naskah kesepakatan substansi dan du-

kungan proses legalisasi Raperpres

tentang RTR Kawasan BBK.

Menurut Edison, sebaiknya perma-

salahan substansi sudah tidak diper0-

masalahkan lagi karena pada dasarnya

Raperpres ini telah disetujui dan men-

dapatkan dukungan dari Pemerintah

Daerah terkait.

“Segala masukan yang didapatkan pada

hari ini akan diadopsi jika memang sesuai

dengan aturan Perundang-undangan

yang berlaku,” tandas Edison. (Oc/Sha)

Salah satu infrastruktur yang dibangunKementerian PU. (Foto:Dok.)

Jalan tol di Jakarta.(Foto:Dok.)

Page 10: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH10

Melihat kondisi kota-kota besar

di Indonesia, banyak terdapat

penduduk yang “terpaksa”

hidup di dalam rumah yang kondisinya

sangat jauh dari standar rumah layak.

Rumah-rumah yang tak layak tersebut

berada pada suatu daerah yang memiliki

kepadatan bangunan yang tinggi, ke-

kurangan pelayanan air bersih dan

sanitasi, serta penghuninya sangat miskin.

Akhirnya dengan kondisi yang serba di

bawah standar tersebut, daerah tersebut

dicap atau dinamakan sebagai per-

mukiman kumuh. Hal ini berbeda dengan

Permukiman Kumuh,

permukiman yang formal, yang dirancang

berdasarkan pembakuan resmi.

Membicarakan masalah permukiman

kumuh di perkotaan, sulit untuk tidak

memulainya dengan masalah kependu-

dukan, khususnya urbanisasi. Salah satu

penyebab urbanisasi karena tidak seim-

bangnya pembangunan antara kawasan

perkotaan dengan perdesaan.

Kota yang merupakan pusat ekonomi

menjadi faktor penarik para urban.

Berdasarkan data dari PBB, diperkirakan

tingkat urbanisasi di Asia pada tahun 2005

hingga 2010 akan meningkat dengan

tingkat pertambahan 2,5 % per tahun.

Penduduk yang mayoritas berasal dari

perdesaan tersebut rata-rata berpen-

didikan rendah dan miskin tersebut,

membanjiri kota hanya bermodalkan pas-

pasan atau istilahnya bonek (bondo nekat)

untuk mengadu nasib. Kota semakin

padat, dan diperparah pula dengan

pertumbuhan alami kota tersebut (pen-

duduk asli).

Urbanisasi akhirnya berdampak tidak

seimbangnya permintaan dan penyediaan

LAPORANUTAMA

Rumah, barangkali menjadi dambaan setiap insan yang hidup di dunia ini. Bagaimanapun kondisinya,kehidupan seseorang sebagian besar diawali, dilakoni, dan diakhiri di rumah. Akan tetapi, tidak setiap

insan dapat memenuhi harapan untuk memiliki rumah idamannya.

PR yang Belum SelesaiPermukiman tak sehat daerah Roxy, Jakarta Barat .(Foto:Wy)

Page 11: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

11KIPRAH • Volume 37

dalam segenap aspek kehidupan, ter-

utama perumahan dan permukiman.

Urbanisasi merupakan fenomena global,

membawa dampak berupa masalah-

masalah perkotaan, terutama di negara-

negara berkembang, baik menyangkut

transportasi, perumahan, kesehatan

lingkungan, penyediaan sarana dan

prasarana umum, sektor tenaga kerja,

perekonomian kota, tata ruang, dan lain

sebagainya.

Masalah-masalah ini makin majemuk dan

makin pelik, terutama dalam penyediaan

perumahan dan permukiman. Kebijakan

melalui produk jadi, seperti proyek-

proyek Perum Perumnas dan Real Estate,

lebih banyak menyediakan perumahan

bagi yang berpenghasilan menengah ke

atas. Mereka yang berpenghasilan ren-

dah nyaris tidak tersentuh karena ketidak

mampuan mereka membeli atau me-

nyewa perumahan seperti apapun ben-

tuknya.

Para pendatang dari desa yang tidak

memiliki pendidikan dan kemampuan

tersebut, membangun rumah-rumah

mereka di atas lahan-lahan yang dapat

mereka “temukan”, seperti bantaran

sungai, kiri-kanan jalur rel kereta api,

kolong jembatan, tempat pembuangan

sampah, bahkan kuburan sekalipun.

Biasanya, mereka membawa juga ke-

luarga dan kerabatnya. Lambat laun

mereka beranak-pinak yang membuat

semakin padatnya permukiman ter-

sebut.

Faktor lain yang secara tidak langsung

meningkatkan permukiman kumuh

perkotaan adalah menurunnya pen-

dapatan masyarakat akibat krisis politik

dan ekonomi di Indonesia di tahun 1998,

yang telah meningkatkan secara drastis

proporsi masyarakat yang berada di

bawah garis kemiskinan.

Di tengah kondisi seperti ini, tidaklah

mengherankan kalau sektor informal

dalam perekonomian kota maupun

perumahan tumbuh semakin subur

semenjak krisis yang melanda Indonesia.

Dengan kesempatan kerja yang se-

makin langka, angka pemutusan hu-

bungan kerja yang tinggi, pendapatan

yang terus menurun, maka kondisi

serta standar kualitas kehidupan

masyarakat cenderung menurun pula.

Kemampuan daya beli masyarakat

menurun secara signifikan termasuk

akses mereka terhadap rumah yang

layak. Oleh karena itu, tidak meng-

herankan jika permasalahan rumah

kumuh ataupun rumah liar semakin

akut. Hal ini tentu membutuhkan

perhatian serius dari seluruh stake-

holders di bidang permukiman dan

pemerintah kota itu sendiri.

Bila kondisi permukiman kumuh tidak

ditangani dengan serius dan kompre-

hensif, akan timbul dampak negatif yang

mengancam kota tersebut.

Oleh karena umumnya penghuni adalah

masyarakat berpenghasilan rendah yang

cenderung miskin serta kepadatan

penduduk yang tinggi sehingga sanitasi

di lingkungan tersebut sangat buruk,

maka berbagai penyakit akan timbul di

permukiman tersebut, terutama pe-

nyakit yang mengancam anak-anak balita.

Selain itu, timbul berbagai permasalahan

sosial, seperti maraknya tindak krimi-

nalitas dan perilaku-perilaku asusila di kota

tersebut, dengan alasan untuk mem-

pertahankan hidup.

Berdasarkan data dari UN Habitat tahun

2001, populasi kumuh di perkotaan sekitar

28,0 % dari total populasi kota. Persentase

tersebut masih cukup besar, padahal

berdasarkan kasat mata, telah banyak

program pemerintah yang dikeluarkan

dengan alokasi dana yang besar untuk

menangani masalah perkotaan yang satu

ini.

Namun, sampai sekarang masalah ini

tetap saja belum terselesaikan. Bagi

sebagian orang atapun pemerintah,

permukiman kumuh tetap dianggap

sebagai masalah yang harus diselesaikan

kapan pun jua. Akan tetapi, dari sudut

yang berbeda, mungkin ada pihak yang

menganggap itu sebagai sebuah solusi,

terutama bagi kaum marjinal di per-

kotaan. Bagaimanakah pandangan kita?

Adakah solusi yang tepat untuk meng-

atasinya?

Munculnya kawasan permukiman kumuh

merupakan satu indikasi kegagalan pro-

gram perumahan yang terlalu berpihak

pada produksi rumah jadi, terutama bagi

masyarakat golongan ekonomi mene-

ngah ke atas, dan prioritas program

perumahan pada rumah milik. Program

pemberdayaan masyarakat dalam me-

nyediakan rumah yang layak bagi dirinya

sendiri belumlah dilaksanakan dengan

optimal.

LAPORANUTAMA

Page 12: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH12

Bagi sebagian besar orang, terutama para

pengambil kebijakan, permukiman ku-

muh dipandang sebagai suatu masalah,

terutama dilihat dari sisi penampilan

fisiknya. Permukiman kumuh selalu

menjadi kambing hitam bagi kumalnya

wajah kota dan terkadang menyiratkan

bahwa kegagalan pembangunan adalah

sesuatu yang haram bagi kebanyakan

pemimpin.

Lingkungan yang kotor, becek, sani-

tasi yang buruk, bangunan yang sem-

rawut, penampilan yang jorok, sumur

yang tercemar, kepadatan bangunan

dan hunian yang tinggi, penggunaan

bahan bangunan bekas dan murah,

dan sebagainya, merupakan gambar-

an umum yang dikaitkan dengan

eksistensi permukiman kumuh. Di

samping itu, pada permukiman kumuh

juga melekat stereotip kriminalitas

tinggi dan penyumbang kekacauan

kota dan komunitasnya. Jalan peme-

cahan yang diambil biasanya adalah

menggusur permukiman tersebut.

Memang, untuk kasus-kasus tertentu,

penggusuran dapat dilakukan apabila

permukiman kumuh tersebut dapat

membahayakan kepentingan publik dan

negara, namun tetap harus memberikan

lokasi pengganti bagi mereka.

Tetapi, kalau saja kita mau menengok

lebih dalam, ternyata ada beberapa

permukiman kumuh yang dapat mem-

berikan jawaban hidup bagi orang yang

tinggal di dalamnya, khususnya bagi

orang yang memiliki kemauan keras.

Tanpa bantuan sedikit pun dari peme-

rintah, orang-orang (yang berkemauan

keras) yang tinggal di permukiman

seperti ini mampu membangun pere-

konomian keluarga mereka. Mereka tidak

memerlukan kredit perbankan (apalagi

menyedot devisa negara), di samping

tidak memiliki akses, juga mungkin karena

mereka membutuhkan sistem finansial

yang lebih sederhana.

Secara swadaya, mereka juga mampu me-

menuhi kebutuhan akan rumah mereka.

Secara ekonomi, permukiman ini juga

memasok barang dan tenaga kerja yang

murah untuk ikut memutar roda pere-

konomian kota, terutama dalam sektor

informal.

Pertemuan Johannesburg Summit yang

diselenggarakan oleh UN Habitat pada

tanggal 25 September 2002 di kota

Johannesburg telah menghasilkan the

Johannesburg Declaration dan the Jo-

hannesburg Plan of Implementation

(JPOI). Pada pertemuan itu, seluruh

negara peserta kembali menegaskan

komitmen mereka terhadap pencapaian

Millennium Development Goals (MDGs),

termasuk mengenai pembangunan ber-

kelanjutan yang merupakan unsur dasar

dari agenda internasional serta memberi

dorongan baru untuk aksi global dalam

memerangi kemiskinan dan menjaga

lingkungan. Pemahaman pembangunan

berkelan-jutan diperluas dan diperkuat

khususnya yang berkenaan dengan

pentingnya keterkaitan antara kemis-

kinan serta lingkungan dan penggunaan

sumber-sumber daya yang dimiliki, baik

sumber daya alam maupun manusia.

Negara-negara peserta juga bertekad

membangun suatu solidaritas pendanaan

dunia untuk memberantas kemiskinan

dan meningkatkan pengembangan sosial

dan kemanusiaan di negara-negara ber-

kembang.

Para delegasi setuju dan menegaskan

kembali komitmen nyata yang luas dan

target-target aksi untuk mencapai imple-

mentasi yang lebih efektif dari sasaran-

sasaran pembangunan berkelanjutan.

Konsep kemitraan antara pemerintah,

kalangan pebisnis dan masyarakat sipil

diberikan suatu penekanan yang kuat oleh

pertemuan ini, baik dalam proses peren-

canaan maupun implementasinya.

Dalam hal pemberantasan kemiskinan

untuk tahun 2015, para peserta menye-

pakati suatu aksi bersama untuk mengu-

rangi setengah proporsi dari penduduk

LAPORANUTAMA

Permukiman tak layak huni .(Foto:Wy)

Mereka mampu memanfaatkan sumber

daya yang amat terbatas agar dapat

bertahan di tengah himpitan kerasnya

kehidupan kota modern. Kebanyakan dari

mereka mampu mendaur ulang bahan-

bahan tak terpakai menjadi sesuatu yang

berguna bagi diri mereka sendiri.

Page 13: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

13KIPRAH • Volume 37

dunia yang berpendapatan kurang dari $

US 1 per hari dan setengah proporsi

penduduk yang menderita kelaparan.

Supaya di tahun 2020 dapat tercapai

suatu perbaikan yang berarti bagi ke-

hidupan, paling tidak 100 juta penghuni

rumah kumuh harus dihapuskan, se-

bagaimana yang diusulkan dalam inisiatif

“Kota tanpa permukiman kumuh”. Hal

ini tentu memiliki dampak luas terhadap

penentuan progam-progam pemerintah

kota untuk ikut berpartisipasi mengimple-

mentasikan kesepakatan-kesepakatan

tersebut.

Penanganan permukiman kumuh juga

ditegaskan kembali dalam World Urban

Forum (WUF) 5 di Rio Janeiro, Brazil pada

tanggal 22 – 26 Maret 2010, yang meng-

ambil tema “The Right to the City-Bridg-

ing the Urban Divide”. Agenda acara WUF

antara lain upaya-upaya mengurangi

kemiskinan dan upaya pembangunan kota

yang berkelanjutan, meliputi akses

tempat tinggal, kesehatan, air, sanitasi

dan pelayanan infrastruktur.

Juga dalam waktu dekat ini akan diseleng-

garakan acara konferensi tingkat menteri

tentang Perumahan dan Pengembangan

Perkotaan seAsia-Pasifik (Asia Pacific Mi-

nisters’ Conference on Housing and Urban

Development, APMCHUD) pada tanggal

22–24 Juni 2010 di Solo, Jawa Tengah. Pada

acara tersebut, perbaikan permukiman

kumuh menjadi salah satu agenda acaranya.

Dengan terangkatnya masalah permu-

kiman kumuh sebagai permasalahan

dunia, maka program aksi secara menyelu-

ruh haruslah disusun untuk mengurangi

angka kemiskinan, meningkatkan penda-

patan masyarakat, memperbaiki kondisi

lingkungan, membuka lapangan kerja,

meningkatkan partisipasi masyarakat

dalam pembangunan, dan sebagainya.

Semuanya itu ditujukan untuk meman-

tapkan proses pembangunan berke-

lanjutan.

Dalam kaitannya dengan perbaikan kon-

disi permukiman di perkotaan, maka

diperlukan adanya perubahan paradigma.

Di samping memiliki masalah terutama

dalam hal kualitas lingkungan yang buruk,

permukiman kumuh sesungguhnya me-

miliki potensi untuk dikembangkan dan

mempunyai kontribusi yang memadai

terhadap pemecahan masalah permu-

kiman dan perekonomian kota.

Pemerintah, khususnya pemerintah kota,

perlu memikirkan cara-cara baru dalam

menangani masalah permukiman. Dam-

pak-dampak dari permukiman kumuh

tersebut masih menjadi pekerjaan rumah

(PR) yang belum selesai. Kaum marginal

di perkotaan umumnya tetap membutuh-

kan perhatian kita bersama, terutama

untuk meningkatkan kapasitas dan ak-

sesibilitas mereka terhadap perbaikan

kualitas kehidupannya. Negeri dengan

kota-kotanya ini dibangun bukan hanya

untuk mereka yang mujur, namun juga

bagi mereka yang belum beruntung.(Nld)

LAPORANUTAMA

Tepian Waduk Pluit, Jakarta Barat .(Foto:Wy)

Page 14: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH14

LAPORANUTAMA

Siang itu terik matahari me-

manggang kawasan Kampung

Bayam, Kelurahan Papanggo,

Jakarta Utara. Di tengah terik matahari

tersebut tim Kiprah terjun ke kawasan

ini untuk melihat langsung kondisi

permukiman kumuh yang ada. Saat

sedang sibuk-sibuknya memotret ka-

wasan kumuh dari atas rel kereta, bebe-

rapa pasang mata menatap penuh curiga.

Kami meneruskan perjalanan memasuki

perkampungan, namun perasaan was-was

mulai melanda saat beberapa warga mulai

berkumpul. Seorang bapak kemudian

menegur dengan nada tak bersahabat,

“Ini potret-potret, maksudnya apa?”

Sejenak kami terdiam, kemudian dengan

hati-hati mencoba menanyakan kenapa

warga terkesan tidak ramah. Beberapa

saat kemudian, setelah menjelaskan

maksud kedatangan kami, kesalahpaham-

Realita Permukiman Kumuh:

“Siapa Sih yang Mau Hidup Kayak Gini??”

an yang nyaris timbul itu bisa diatasi. Agar

lebih mengakrabkan diri, kami mem-

belikan rokok dan makanan ringan. Sontak

ketegangan yang tersisa melumer de-

ngan sendirinya. Siang itu, dari tenda

darurat sebuah warung mie ayam, me-

luncurlah berbagai macam cerita milik

warga permukiman kumuh.

Dari mulut Pak Asep (40), tercetus

bagaimana perasaan tidak tenang karena

menempati lahan secara ilegal dirasakan

warga disini. Terlebih sebagian meru-

pakan korban gusuran dari taman BMW

yang ditertibkan sekitar tahun 2007 lalu

oleh Pemda DKI Jakarta. Itulah sebabnya

warga masih curiga jika ada orang luar

memotret atau mencari tahu kondisi

lingkungannya. Takutnya hal tersebut

berujung pada penggusuran kembali.

Dari pembicaraan tersebut, kami me-

nangkap kesan bahwa mereka pun sadar

bahwa mereka salah menempati lahan

yang kini mereka diami tersebut. “Tapi

mau kemana lagi? Sekarang apa-apa

mahal. Kalau mampu, kita juga bakalan

pindah. Memangnya siapa sih yang mau

hidup kayak gini,” Kata Ngadimin (43),

seorang warga yang berprofesi sebagai

buruh serabutan.

Hidup di tempat ini memang nyaris tak

tertahankan bagi kebanyakan orang. Coba

saja bayangkan, rumah dengan tinggi

langit-langit kurang dari 180 cm, dengan

dinding dan atap dari bahan seadanya

(seng, triplek, dan lain-lain). Sebagian

besar juga masih berlantaikan tanah.

Belum lagi bau dari saluran air mampet

dengan banyak sampah dan kotoran.

Bagaimana tidak, di sepanjang saluran

mampet itu warga membuang sam-

Pemanfaatan tanah kosong untuk permukiman warga menimbulkan kekumuhan.(Foto:Joe)

Page 15: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

15KIPRAH • Volume 37

LAPORANUTAMA

pahnya dan juga berjejer jamban di sisinya.

Bahkan, pada saat kami mengobrol pun

ada warga yang sedang buang air besar

di jamban darurat tersebut, hanya ber-

jarak kurang dari 5 meter dari tempat kami

duduk. Hal yang biasa di lingkungan ini.

Namun, jangan dikira warga di sini tidak

acuh terhadap lingkungannya. Mereka

memiliki struktur organisasi tersendiri,

semacam pengurus lingkungan. Ada

ketua, sekretaris, hingga keamanan.

Ujang (47) mengaku, pengajian warga

juga rutin digelar. Sebagai bukti, kami juga

melihat sebuah mushola kecil yang cukup

bersih dan rapi, juga semacam gardu,

tempat berkumpul warga.

Untuk listrik dan air, Asep menjelaskan

bahwa hal itu bisa dipenuhi. “Tapi bukan

sambungan resmi, Bapak tahulah dari-

mana,” jawabnya sambil terkekeh saat

kami menanyakan tentang fasilitas listrik

dan air. Hal yang bisa di maklumi, selain

karena dianggap mahal, juga karena

mereka dianggap penghuni liar sehingga

tidak memungkinkan mendapat layanan

secara resmi.

Masalah legalitas juga menjadi pertanyaan

warga. Jika mereka dianggap liar, pada

kenyataannya banyak warga yang me-

miliki KTP. Soal dianggap sebagai

penghuni liar, warga tampak menyimpan

kekesalan yang amat sangat. “Selama ini,

hak-hak kami diabaikan terus,” kata Asep

lagi. “Padahal kalau pas pemilu, dikasih

TPS juga, terus pas kampanye, pada

datang janji ini-itu. Sekarang mana?!”

tandasnya dengan nada panas. “Kita

semua sudah bosan akan janji-janji,”

tambahnya lagi.

Sebetulnya keinginan warga mudah saja.

“Kami mengerti bahwa tempat kami ini

tidak boleh ditinggali. Tapi kalau meng-

gusur harus manusiawi dong, kami kan

bukan hewan,” demikian kata Ngadimin.

Bagaimana dengan tawaran relokasi ke

rusun? Pada dasarnya warga tidak ber-

keberatan, asalkan lokasi tidak terlalu jauh

dan persyaratan untuk mendapatkannya

tidak dipersulit.

Bagaimana kegiatan warga di sini? Di salah

satu sudut, beberapa pria bermain kartu

dan catur. Di depan sebuah rumah tampak

seorang wanita muda yang sedang asyik

mendengarkan radio. Tak jauh darinya,

beberapa wanita lain berkumpul. Apa

yang mereka lakukan? Rupanya mereka

sedang ramai berceloteh tentang gosip

terbaru sambil membersihkan beras dan

mencari kutu di rambut temannya.

Sebagian lagi kami saksikan hanya sedang

termenung diam.

Ada satu kesan yang mirip dari sebagian

besar wajah mereka. Itu adalah wajah-

wajah yang letih oleh hidup dan risau akan

masa depan. Wajah yang sudah acuh dan

nyaris tanpa gairah hidup. Kata yang pa-

ling tepat adalah “orang-orang kalah”.

Tentunya tidak semua seperti itu. Bebe-

rapa orang masih tampak bersemangat.

Tengoklah Wagimin (38), asal Cilacap,

yang bekerja sebagai buruh bangunan.

Atau Darmono (42), yang kesehariannya

berdagang asongan. “Alhamdulillah,

masih bisa ngumpulin buat dikirim ke

kampung,” demikian tuturnya sambil

tersenyum. Pastinya, hanya anak-anak

yang tidak merasakan tekanan. Mereka

dengan bebas berlarian dan bermain di

antara jalan dan lorong perkampungan.

Namun perlu diakui, ada semacam stigma

negatif dari masyarakat sekitar terhadap

penghuni permukiman kumuh ini. Seperti

dinyatakan Mamat (44), seorang sopir

angkot yang trayeknya melintasi jalan

dekat perkampungan ini. “ Wah, kalau

malam sih, di sini baru ramai pada keluar,”

katanya. Siapa yang keluar? “Ya perem-

puan, biasalah,” jawabnya tertawa geli.

Silahkan Anda tarik kesimpulan sendiri.

Secara demografi, warga di sini memiliki

beragam profesi. Ada yang jadi satpam,

tukang parkir, buruh, tukang cuci,

pemulung dan lain-lain. Sebagian besar

justru menganggur. Satu hal yang me-

nyatukan mereka semua adalah sebagai

masyarakat kelas bawah dengan ekonomi

yang lemah.

Memang, kota menjadi magnet bagi

kaum urban untuk mengadu nasib.

Dampak negatifnya, perkembangan tata

kota menjadi semrawut dan timbullah

permukiman kumuh di mana-mana.

Namanya saja mengadu nasib..... yah

untung-untungan. Harus diakui bahwaSarana MCK di kawasan kumuh.(Foto:Joe)

Page 16: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH16

sebagian pendatang yang kurang dibekali

keterampilan dan bermodal cekak, ter-

paksa menempati daerah-daerah perko-

taan yang sebenarnya tidak diperun-

tukkan sebagai tempat tinggal.

Impian dan harapan untuk memiliki rumah

sederhana, sehat, memenuhi standar

minimum kebutuhan f isiologis dan

psikologis, aman, dan nyaman, masih jauh

panggang dari pada api. Permukiman

kumuh jelas rentan terhadap bahaya

kebakaran, tindak kejahatan, gangguan

alam, dan penyakit. Tentu tak layak

sebagai tempat berteduh dan berlin-

dung.

secara tidak wajar, seperti suka merokok

dan berkata kotor serta tindakan negatif

lainnya.

Terciptanya permukiman kumuh perko-

taan pasti tidak dikehendaki semua pihak,

terutama pemerintah daerah dan kota

yang menghendaki pemanfaatan ruang

kota sesuai RTRW karena keberadaan

kawasan kumuh tidak dapat sepenuhnya

mendukung terwujudnya kota yang

berkelanjutan. Faktanya, permukiman

kumuh kian lama kian menjamur. Keha-

diran mereka telah menimbulkan konflik

kepentingan antara warga dan peme-

rintah. Antara yang mengatur dan yang

diatur, sehingga pemecahannya menjadi

semakin rumit.

Kosasih (45), salah seorang warga Kam-

pung Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta,

sejak puluhan tahun tinggal di bantaran

sungai Ciliwung merasa gelisah atas

tragedi banjir yang tak pernah absen. Ia

pun dapat menerima dan memahami

pentingnya program relokasi yang di-

tawarkan pemerintah. Asal harganya

murah, terjangkau, dan pemerintah

benar-benar merealisasikannya.

Pasalnya, banyak tanah kosong tidak jadi

dibangun, akhirnya ditempati lagi oleh

pendatang liar lainnya. “Yang penting

lokasinya tidak jauh dari tempat kami

bekerja,” paparnya. Mereka pilih me-

netap karena takut direlokasi oleh peme-

rintah karena tidak ada kepastian. Kondisi

ini akibat ketidakmampuan pemerintah

menyediakan hunian yang memadai bagi

mereka. Herman (50) dan warga lain yang

bermukim di kampung Pulo Bukit Duri

sadar kalau mereka tinggal di atas lahan

terlarang, namun untuk mewujudkan

keinginan pindah ke tempat lain, bukan

perkara gampang. Mereka umumnya

hanya pedagang kecil atau buruh pabrik

yang tinggal menetap atau sementara.

Mereka memilih membangun rumah

tingkat di bantaran sungai. Mereka harus

menerima dan mencoba untuk mengatasi

segala konsekuensi dari pilihan tersebut.

Bagi warga, tinggal di sejengkal tanah di

kawasan kumuh adalah suatu perjuangan

besar. Asalkan tetap punya uang, mereka

sudah dapat hidup, meski serba minimal

dan selalu siap menghadapi segala resiko.

Bedanya, kalau dulu manusia memilih

sungai Ciliwung untuk bertempat tinggal,

mengembangkan budaya, dan menjaga

kelestariannya. Namun sekarang, sungai

itu dianggap daratan yang mudah dicapai

dan relatif murah, sehingga okupasi lahan

sampai ke badan sungai terus berlang-

sung. Mereka memperlakukan Ciliwung

sebagai tempat pembuangan sampah dan

MCK.

Akibatnya, sungai Ciliwung tercemar dan

beralih peran dari sumber kehidupan

menjadi sumber bencana. Okupasi DAS

marak terjadi sejak tahun 2000. Lebar Cili-

wung yang semula 14 meter, kini hanya

tersisa 8 meter. Padahal, menurut Pitoyo

Subandrio, Kepala Balai Besar Wilayah

Sungai (BBWS) Ciliwung-Cisadane, se-

harusnya lebar sungai 30–40 meter

ditambah bantaran 10 hingga 15 meter.

(Wy&Joe)

LAPORANUTAMA

Bahkan menurut beberapa pakar krimi-

nologi, kejahatan dapat dijumpai dalam

struktur sosial dan fisik dari suatu ling-

kungan, sehingga keadaan suatu ling-

kungan dapat memunculkan kejahatan.

Hal inilah yang menyebabkan kenapa di

suatu lingkungan kumuh misalnya dapat

terjadi lebih banyak kejahatan dibanding

dengan lingkungan lain.

Lingkungan kumuh juga berpengaruh

terhadap pertumbuhan dan perilaku anak

Kawasan kumuh Papanggo, Jakarta Utara.(Foto:Joe)

Page 17: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

17KIPRAH • Volume 37

Subur Suhadi. (Foto:Joe)

Asep. (Foto:Joe)

Suara Hati Pemukim Kumuh

LAPORANUTAMA

Subur Suhadi (40), asal Purwokerto,

Jawa Tengah, yang juga pengurus

RW 02 Kompleks Rusunawa Budha

Suchi, Cengkareng, merasa berterima

kasih atas bantuan semua pihak karena

berhasil hidup lebih aman, nyaman, dan

tenteram dibanding 7 tahun silam. Saat

itu, ia bersama warga lainnya masih

bermukim di daerah Kampung Jati di

bantaran Kali Anyar. Meski demikian,

setiap bulan ia dan warga lain harus

merogoh kocek untuk uang sewa rumah, listrik, air bersih, dan

lingkungan sebesar Rp 150.000,-.

Apalagi, daerah ini sekarang semakin ramai dan berkembang maju

setelah banyak dibangun apartemen dan ruko di sekitarnya. Lokasinya

pun cukup strategis, gampang dijangkau, fasos dan fasumnya terbilang

lengkap, mulai dari sanitasi, pelayanan pendidikan, kesehatan, hingga

fasilitas olah raga cukup tersedia. Menurutnya, penanganan

masyarakat kumuh di bantaran kali harus dilakukan secara manusiawi

karena sebagian dari mereka sudah menetap di sana secara turun

temurun. Untuk itu, harus ada kompromi antara pemerintah dengan

warga setempat.

Asep (40) Anggota Satpam warga Kali

Bayem, Papanggo, Ancol. Bapak dua

orang anak ini menjadi korban gusuran

eks Kawasan BMW Pademangan,

sejak 2 tahun silam, namun nasibnya

mengenaskan. Kini, ia dan ratusan

warga lainnya terpaksa tinggal di

bedeng di sepanjang pinggiran rel KA

antara Stasiun Priok dan Kota. “Kami

dibutuhkan hanya pada saat Pemilu

ataupun Pilkada. Di luar itu, kami

dianggap tidak ada, padahal kami

punya KTP resmi. Janji-janji pemda sebelumnya hingga kini

belum ada realisasinya,” ujarnya. Hal tersebut dibenarkan

Tukimin, pengurus RT setempat. Bagi Asep dan kawan-kawan,

yang dibutuhkan hanya kepastian tempat tinggal yang menetap,

layak huni, dan terjangkau, sehingga tercipta rasa aman dan

nyaman.

Menurut Asep, hampir setiap tahun warga mendengar isu

bahwa hunian mereka akan dibebaskan oleh pemerintah untuk

penataan kota. Namun, kasak-kusuk yang berembus itu dengan

cepat menguap. Minimnya sosialisasi pemerintah menyebabkan

sebagian warga berspekulasi maupun menolak untuk pindah.

Yusuf (25), salah seorang warga Pluit,

Muara Angke, yang beruntung bisa

menjadi mahasiswa semester akhir

Universitas Atmajaya, Jakarta, me-

ngatakan, upaya struktural dan non

struktural harus dilaksanakan. Hal

yang terpenting adalah memper-

baiki kerja sama atau kolaborasi di

antara instansi-instansi pemerintah

untuk menemukan solusi bersama

dan mengintegrasikan action plan

mereka.

Menurutnya, semua pemangku kepentingan perlu memainkan

peranannya untuk memberikan kontribusi pada solusi secara

menyeluruh, seperti menyamakan pemahaman atau persepsi

antara masyarakat, pemerintah, dan swasta tentang per-

mukiman kumuh, relokasi, mentaati tata ruang dan tata guna

lahan, pengelolaan sampah yang baik, reboisasi, pembangunan

sumur resapan, dan seterusnya.

“Lebih baik kami kebanjiran di sini

daripada harus pindah ke rusunawa,

tetapi hidup menjadi tidak nyaman

dan tidak ada kepastian menetap,”

kata Hasan (35) warga Rawa Jati, Jakar-

ta Selatan. Selain itu, muncul kekhawa-

tiran sempitnya ruangan yang harus

dihuni lebih dari satu keluarga.

Kalaupun terpaksa pindah, Hasan dan

rekan-rekannya minta ganti rugi pembebasan lahan sebesar

Rp1,5 juta per meter persegi atau lebih tinggi dari harga Nilai

Jual Obyek Pajak (NJOP) tanah di wilayah itu, yaitu sekitar Rp

700.000,- per meter persegi. Harga patokan tanah itu dipandang

cukup untuk membangun rumah baru yang layak huni. “Karena

sebetulnya kami sendiri sudah bosan kebanjiran terus setiap

tahun. Kami tidak keberatan dipindah, asalkan pemerintah

bersedia membebaskan tempat tinggal kami dengan harga

yang pantas,” tutur bapak tiga orang anak ini.

Dari semua masalah penanganan kawasan kumuh perkotaan di

atas, kiranya masalah permukiman kumuh akan terus menjadi

ganjalan apabila tidak segera ditangani secara bijak karena

masalah permukiman kumuh adalah masalah kita semua.(Joe)

Yusuf.(Foto:Joe)

Hasan.(Foto:Joe)

Page 18: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH18

Banyak orang memilih tinggal di

daerah bantaran kali karena lebih

murah dan ekonomis. Alasannya,

bukan lagi karena membutuhkan air dan

alirannya, mereka menganggap daerah

bantaran kali sebagai daerah yang mudah

dicapai, dekat dengan tempat mencari

nafkah, dan murah. Itulah sebabnya

okupasi dan alih fungsi lahan semakin

marak dari tepian hingga ke badan sungai.

Sayang, pemanfaatannya tidak dibarengi

dengan upaya pelestarian lingkungan

yang sangat penting bagi keberlang-

sungan sungai itu. Banyak sungai men-

derita karena penyempitan, pendang-

kalan, dan pencemaran akibat ulah ma-

nusia. Dari 13 sungai yang mengalir di

wilayah DKI Jakarta, hampir seluruhnya

tak luput dari tindakan okupasi. Sebut

saja Sungai Ciliwung, Cipinang, Kali Adem,

Kali Anyar, Sunter, Grogol, dan masih

banyak contoh lagi.

Selain karena kemiskinan, rusaknya

sejumlah kali di Jakarta juga disebabkan

oleh pertambahan penduduk yang terus

menerus tak terkendali. Seiring dengan

itu, semakin beragam dan kompleks pula

aktivitas manusia yang merugikan ke-

lestariannya.

Sungai yang seharusnya menjadi sumber

bermacam berkah dalam perjalanan

waktu kemudian justru menjadi sumber

Kawasan kumuh Kali Bayem, Papanggo, Ancol.(Foto:Joe)

Okupasi Bantaran Kali Kian MarakSeiring dengan perjalanan waktu, penduduk di kota metropolitan Jakarta semakinbertambah. Dampak langsung dari kejadian itu okupasi terhadap lahan bantaran

sungai di Jakarta semakin marak.

LAPORANUTAMA

Page 19: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

19KIPRAH • Volume 37

aneka musibah. Sampah di sungai misal-

nya, menebarkan bau busuk dan menjadi

sumber berbagai penyakit.

Tumpukan sampah juga dapat menye-

babkan pendangkalan dan penyempitan

sungai serta menghambat aliran, akhir-

nya menimbulkan banjir. Dan, sampah

bukan hanya persoalan di daerah hilir.

Sejak di daerah hulu dan tengah masya-

rakat dan industri telah membuang

limbahnya ke kali, sehingga kali semakin

tercemar. Hal ini diperparah lagi dengan

tingkah laku masyarakat yang meng-

anggap sungai adalah TPA sampah dan

WC terpanjang. Buktinya, hampir sebagi-

an besar daerah permukiman di bantaran

sungai memang tidak memiliki tempat

pembuangan sampah, apalagi yang

memisahkan antara sampah basah dan

kering. Mereka tak peduli, langsung

membuangnya ke kali karena dirasakan

lebih praktis dan ekonomis.

Dan persoalan sungai, menurut para ahli

SDA, dapat dibaca sebagai persoalan

konflik cara pandang manusia dalam

menilai sungai, apakah sebagai barang

publik (public goods) atau sebagai

sumber daya milik bersama (common

properety resources). Cara pandang

sungai sebagai barang milik adalah

pandangan tradisional, sedangkan cara

pandang sungai merupakan sumber daya

bersama adalah cara pandang yang lebih

maju yang telah disertai dengan kearifan.

Janji relokasi

Kendati demikian upaya untuk mener-

tibkan dan merelokasi warga bantaran

bukannya tak dilakukan, namun pro-

sesnya tak semudah membalikkan telapak

tangan. Program penataan kawasan

kumuh di bantaran sungai sudah lama

menjadi wacana pemerintah.

Masyarakat yang puluhan tahun menetap

di tepi sungai dijanjikan untuk dipindah-

kan ke rumah susun sederhana yang di-

bangun oleh Kementerian Pekerjaan

Umum di tanah Pemprov DKI Jakarta.

Tahun 2002, pemerintah menyatakan siap

membangun rusunami di tepi sungai,

yakni di Kelurahan Bidara Cina. Namun

janji itu hingga kini belum terealisasi.

Pada tahun 2009, ada target pembangu-

nan 14 menara kembar (twin block/TB)

rusunawa berkapasitas 80-100 unit rumah

tipe 30-36 meter persegi. Rusunawa itu

tersebar di Kelurahan Cipinang Besar

Selatan (2 TB), Cakung Barat (6 TB), dan

Penggilingan (6TB) di Jakarta Timur.

Hingga akhir 2008 sudah terbangun 10 TB,

namun belum dilengkapi dengan fasilitas

listrik dan air bersih.

Akibatnya, rusunawa yang dibangun

dengan menghabiskan anggaran negara

yang cukup besar itu tidak siap huni.

Padahal, bangunan yang dibiarkan ter-

lantar berpotensi mengalami kerusakan

lebih cepat. Sementara itu, sosialisasi

terhadap masyarakat juga masih minim,

sehingga menghambat penataan warga

di bantaran sungai.

Melalui program resettlement, Pemprov

DKI Jakarta akan memindahkan ribuan

warga bantaran Ciliwung di sepanjang

Pengadegan (Rawajati)-Jembatan Kali

bata-Manggarai ke rusunawa. Prioritas

penggunaannya diutamakan bagi warga

yang berstatus penduduk legal yang

memiliki sertifikat atau tanda kepe-

milikan lahan.

Penanganan kawasan kumuh selama ini

memang banyak menuai kegagalan atau

sekedar memindahkan kekumuhan,

tetapi ada pula yang berhasil. Contoh

sukses penanganan warga penggusuran

justru diperlihatkan Rusunawa Yayasan

Budha Suchi di Cengkareng dan Muara

Karang yang menampung tak kurang

dari 1500 KK “korban” penertiban Kali

Anyar, Kampung Jati, dan Kali Adem.

Keberhasilan juga diwujudkan di se-

jumlah rusunawa yang dibangun Perum

Perumnas, baik di dalam maupun di ping-

giran kota, dan ternyata tingkat keber-

hasilannya cukup tinggi.

Harus diakui, kawasan kumuh tidak saja

terdapat di daerah bantaran sungai,

tetapi banyak juga yang berada di

pinggiran rel kereta api, areal pema-

kaman umum, di bawah jembatan, jalan

layang, dan bahkan di tengah-tengah

kawasan yang tidak kumuh sekalipun.

(Joe)

LAPORANUTAMA

Bantaran sungai untuk permukiman.(Foto:Dok.)

Page 20: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH20

LAPORANUTAMA

Menjamurnya

Setidaknya sudah 200 KK kita pu-

langkan ke daerah asal Jateng dan

Jatim, terutama mereka yang tidak

memiliki kartu identitas. Namun, siapa

menjamin mereka tidak kembali lagi, bah-

kan dengan rombongan lebih besar, kata

Sugeng Priyono, Manajer Humasda PT

Kereta Api sewaktu ditemui Kiprah di kan-

tornya, Jakarta. Ia katakan, usaha mere-

lokasi warga pinggiran rel ke rumah susun

sewa tak mampu menarik minat mereka,

karena tarif listrik dan air di sana dianggap

terlalu mahal dan memberatkan. Selain

itu, kedekatan lokasi dengan tempat

mencari nafkah juga menjadi alasan.

Seiring dengan perjalanan waktu, pen-

duduk yang bermukim dan berusaha di

sepanjang pinggiran rel terus bertam-

bah hingga melampui ambang batas. Dan

alasan orang tinggal di pinggiran rel,

bukan karena gampang naik kereta api,

tetapi mereka menganggap pinggiran rel

sebagai daerah yang mudah dicapai, dekat

dengan tempat mencari nafkah, dan se-

kaligus murah.

Itulah sebabnya, kita kini melihat ter-

jadinya okupasi lahan bantaran rel kereta

api mulai dari tepian ruang milik jalan,

hingga daerah manfaat jalan. Padahal, itu

merupakan daerah terlarang karena

sangat berbahaya, mengganggu kese-

lamatan operasional kereta, dan peng-

huninya itu sendiri.

Di banyak lokasi bahkan telah tumbuh

pasar darurat dan pasar tumpah. “Seha-

rusnya daerah manfaat jalan itu clean,

bebas dari segala bentuk gangguan.

Permukiman Pinggiran Rel KA

Pinggiran rel kereta api(KA) menjadi alternatifpermukiman bagi pen-

duduk yang tidak mem-punyai lahan formal,

selain bantaran sungai.Lahan kosong yang tidak

terjaga dengan baikdimanfaatkan sebagian

orang untuk tempattinggal. Permukiman

pinggiran rel kereta apiitu semakin lama se-

makin menjamur. WalauPT Kereta Api sebenar-nya tak henti-hentinyamelakukan penertibanterhadap warga yangtinggal di sepanjang

pinggir jalur kereta api,karena selain dilarang

juga mengganggu opera-sional kereta api.

Ruwetnya penataan warga di pinggiran rel KA di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat.(Foto:Dok.)

Page 21: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

21KIPRAH • Volume 37

LAPORANUTAMA

Aturannya, pada jarak 20 meter kanan-kiri

rel harus bersih dari gangguan, termasuk

hunian liar tadi,” tandas Sugeng.

Sugeng bercerita tentang kekhawatiran

para masinis untuk mengeluarkan anggota

badannya ketika harus melewati jalur

Stasiun Beos Kota hingga Tanjung Priok,

yang saat ini dipenuhi hunian liar. Mereka

takut lehernya putus, akibat tersambar

seng bangunan liar milik warga.

Kondisi seperti itu bila dibiarkan terus dan

tidak ditertibkan, kata Sugeng, persoal-

annya akan semakin ruwet dan kompleks,

karena menyangkut faktor sosio-ekonomi

masyarakat, khususnya masyarakat ber-

penghasilan rendah (MBR).

Keseriusan PT Kereta Api dalam me-

nangani kawasan kumuh di pinggiran rel

tak hanya dilakukan melalui program

penertiban atau sekedar menggusur,

tetapi selalu mempertimbangkan faktor

sosiologis dan psikologis warga.

Pendekatan manusiawi dalam sosia-

lisasinya, terbukti membuahkan hasil yang

diinginkan. “Kami kompromikan, kami

beri mereka batas waktu, peringatan, juga

bantuan tenaga dan alat, serta prosesnya

kita tunggui hingga rampung.”

Prinsipnya, kami selalu mengajak warga

berdialog sebelum memberikan surat

peringatan pembongkaran. Semua warga

yang memiliki bangunan di atas tanah ter-

larang, dipersilahkan membongkar sendiri

bangunan mereka, agar bahan bangunan

dapat digunakan lagi untuk kepentingan

lain,” kata Sugeng meyakinkan.

Melalui model pendekatan seperti itu,

ternyata beberapa kawasan kumuh yang

selama ini dianggap rawan, dapat dise-

lesaikan tanpa gejolak, tidak mendapat

perlawanan warga. Bahkan, be-

berapa pemilik warung mau

membongkar sendiri bangunan

mereka.

Ia mencontohkan, saat pena-

nganan kawasan kumuh di se-

panjang rel kereta api antara

Jakarta Kota dan Tanjung Priok,

Tanah Abang batas Tanggerang

atau Jatinegara batas Bekasi, kini

kondisinya semakin membaik.

Sedang untuk mempertahankan

kawasan itu agar tetap bersih dan

rapi, pihak PT Kereta Api bekerja

sama dengan melibatkan warga

eks penghuni untuk ikut menjaga

sekaligus merawatnya.

Fatah (30), warga Klender,

mengatakan, pihaknya setuju

dengan penertiban ini, supaya

lingkungan kumuh kawasan ban-

taran rel menjadi bersih dan rapih.

Fatah dan beberapa warga lainnya

juga turut membongkar bangun-

an warung makan, kios dan WC umum

yang selama ini menggangu.

Tuntutan Perut

Syair lagu “Sapa Suruh Datang Jakarta”

kiranya tepat untuk menggambarkan

betapa getir dan beratnya resiko per-

juangan hidup kaum urban di Jakarta dan

kota besar lain. Khususnya, dalam meng-

adu nasib meningkatkan ekonominya,

meski mereka terpaksa bertempat

tinggal dan berusaha di daerah terlarang

yang selalu diuber-uber oleh petugas

Kamtib. Mereka tidak kapok karena telah

terkondisi dengan keadaan seperti itu.

Mereka mengaku dan sadar bahwa

selama ini mereka tinggal dan berusaha

di atas lahan terlarang bukan haknya.

Namun, untuk pindah ke tempat lain

bukan perkara gampang. Mereka memi-

lih membangun rumah kumuh di ping-

giran rel karena lokasinya berdekatan

dengan tempat mereka mencari nafkah.

Penertiban warga bantaran rel KA terus dilakukanmelalui pendekatan persuasif dan dialogis untuk

menghindari konflik. (Foto:Joe)

Page 22: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH22

Umumnya mereka bermata pencarian

sebagai pedagang kecil atau pengasong,

buruh kasar, dan pengepul barang-barang

bekas. Sebagian dari mereka merupakan

warga pendatang ilegal, baik yang tinggal

sementara maupun yang terus menetap.

Seperti pengakuan Widodo (24), pemuda

yang biasa jualan asongan asal Pur-

wokerto, Jateng. “Bagi saya dan warga

lain, meski tinggal tak layak, hal itu harus

diterima dengan suka cita karena dicapai

melalui perjuangan yang tidak mudah.

Asalkan bisa tetap punya uang, kami siap

hidup dengan serba minim. Resiko itu

tidak besar karena kami siap hidup

dengan apa adanya, ketimbang sulit hidup

di desa,” ujarnya.

Melihat persoalan tersebut sudah saatnya

pemerintah menyiapkan alternatif tem-

pat tinggal yang layak bagi masyarakat.

Pemerintah juga harus bertindak tegas

dalam penataan kotanya, termasuk

membebaskan permukiman liar di ka-

wasan pinggiran rel, bantaran sungai,

kolong jalan tol/jembatan, dan tanah

kosong, serta pemakaman umum, agar

tata ruang kota tidak semakin hancur.

Mengingat, persoalan permukiman ku-

muh perkotaan sudah semakin meng-

gurita, sehingga pemecahannya pun

seharusnya jangan parsial. Tetapi, harus

secara menyeluruh, melibatkan seluruh

pemangku kepentingan. Sugeng pun

mengakui bahwa PT Kereta Api tidak akan

mampu mengatasi masalah kawasan

kumuh sendirian. Ini karena menyangkut

soal kemiskinan kota.

Sebagian besar ditentukan oleh sektor

lain. Oleh karena itu, Sugeng mengharap-

kan munculnya kesadaran bersama dari

semua sektor untuk bersama-sama ber-

kontribusi dalam mengatasi permukiman

kumuh ini secara bijak.

Bagaimana pun, PT Kereta Api telah me-

lakukan sejumlah pekerjaan yang diper-

lukan guna mengatasi pertumbuhan per-

mukiman kumuh yang terus membayang-

bayangi dinamika kota. Penertiban

bangunan kumuh di lahan milik PT Kereta

Api akan terus dilaksanakan dengan meng-

gunakan pendekatan persuasif, edukatif,

dan dialogis untuk meminimalkan konflik

saat penertiban.(Joe)

LAPORANUTAMA

Permukiman kumuh kelurahan Papanggo Ancol, Jakarta Utara yang masih menyisakan masalah.(Foto:Joe)

Pendekatan manusiawidalam sosialisasinya,

terbukti membuahkan hasilyang diinginkan. “Kami

kompromikan, kami berimereka batas waktu

peringatan, juga bantuantenaga dan alat, sertaprosesnya kita tunggui

hingga rampung.

Page 23: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

23KIPRAH • Volume 37

LAPORANUTAMA

Perpindahan penduduk dari desa ke

kota, atau yang biasa dikenal

dengan istilah urbanisasi, seolah-

olah menjadi salah satu kambing hitam

semakin padat dan kumuhnya permu-

kiman di perkotaan. Benarkah urbanisasi

yang menjadi faktor utama penyebab

permukiman kumuh di perkotaan? Apa

sebenarnya yang menjadi kelebihan kota

maupun kekurangan desa sehingga

perpindahan penduduk desa ke kota kian

meningkat? Lalu, dampak apa saja yang

timbul dari peningkatan urbanisasi

tersebut?

Pembangunan perkotaan kian lama kian

bertambah maju. Kemajuan tersebut

dapat dilihat secara kasat mata melalui

semakin banyaknya gedung-gedung

bertingkat dan pencakar langit, serta

suburnya pusat-pusat perbelanjaan dan

perkantoran. Bagi sebagian besar pen-

duduk desa, kemajuan pembangunan

di perkotaan memberikan kesem-

patan lebih untuk meningkatkan

perekonomian keluarga mereka. Oleh

karena itulah, apabila ditanya alasan

penduduk desa yang mencari pe-

kerjaan di kota, maka sebagian besar

akan menjawab untuk memenuhi ke-

butuhan rumah tangga mereka yang

tinggal di desa. Sementara anggota

keluarga mereka yang termasuk ka-

tegori angkatan kerja bekerja di kota,

anak-anak dan orang tua dapat tetap

tinggal di desa. Tak jarang, demi me-

mastikan keragaman sumber peng-

hasilan, anggota keluarga seringkali

bekerja terpencar di berbagai tem-

pat, di kota-kota kecil maupun di kota-

Urbanisasi, Arus yang Belum

Apa sih yang menjadi penyebab permukiman kumuh di kota? Kenapa sekarang kota tampak kumuh,padahal dahulu tidak? Sebenarnya, apa penyebabnya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sering

dilontarkan oleh penduduk asli kota yang sudah lama tinggal. “Banyak pendatang dari desa nih yangcari kerja di kota, modalnya pas-pasan atau cuma nekat. Jadinya, mereka tinggal sembarangan deh.”

Begitulah jawaban yang paling sering kita dengar.

kota besar. Hal ini dimaksudkan agar

keamanan f inansial mereka tidak

rentan terhadap pengaruh kondisi

ekonomi di satu tempat.

Meskipun bagi sebagian orang mening-

galkan kampungnya dan bekerja di perko-

taan karena tidak ada pilihan lain, namun

kebanyakan dari mereka bermigrasi

merupakan suatu pilihan. Peningkatan

jaringan transportasi serta ketersediaan

telepon selular yang mempermudah

komunikasi dan berjejaring dengan

kenalan mereka di kota telah membuat

penduduk desa paham mengenai keun-

tungan (ataupun kerugian) untuk pindah

ke kota, terutama mengenai informasi

kesempatan kerja serta kondisi hunian di

perkotaan.

Selain luasnya kesempatan kerja, alasan

seseorang merasa ditarik ke kota adalah

ketersediaan beragam fasilitas, khusus-

nya fasilitas pendidikan dan kesehatan di

perkotaan yang lebih baik. Adapun alasan

lainnya ialah struktur sosial dan budaya di

kota lebih bebas, sementara di perdesaan

dirasa lebih mengekang.

(Tak Pernah) Bisa Berhenti

Mobilitas perpindahan penduduk dari desa ke kota semakin tinggi, seiring denganmeningkatnya tingkat kehidupan masyarakat.(Foto:Lies)

Page 24: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH24

LAPORANUTAMA

Kondisi Desa

Di samping kemajuan pembangunan di

perkotaan yang menjadi faktor mening-

katnya urbanisasi, kondisi perdesaan yang

dianggap tidak mampu menyediakan

kesempatan kerja bagi penduduknya

serta minimnya penghasilan yang layak

dari kegiatan pertanian juga menjadi

faktor penyebab utama terjadinya urba-

nisasi.

Mengapa penduduk desa banyak yang

pindah ke kota? Hal ini disebabkan oleh

banyak faktor. Pertama, kebanyakan

penduduk desa bekerja di sektor perta-

nian. Sektor ini sangat tergantung

dengan kondisi cuaca, ketersediaan lahan,

dan tingkat kesuburan tanah. Kerawanan

bencana di daerah tersebut, seperti

banjir, kemarau, ataupun gempa bumi,

maupun perubahan ekologis yang berke-

lanjutan, seperti penggurunan atau erosi

tanah, juga menjadi pemicu orang untuk

bermigrasi.

Kedua, kemiskinan petani. Jumlah petani

kita banyak, tetapi hasil produknya tidak

signifikan, sehingga akhirnya petani tidak

bisa sejahtera, dan tetap dipeluk kemis-

kinan. Permasalahannya, petani-petani di

Indonesia ternyata sebagian besar adalah

buruh tani yang tidak punya lahan, petani

penggarap yang tidak punya sawah, atau

petani gurem yang lahannya di bawah 0,5

hektar.

Selain tanah miliknya tergolong kecil,

para petani seringkali terpaksa berhutang

atau menjual tanahnya untuk memenuhi

kebutuhan hidup dan melunasi hutang.

Akibatnya, penghasilan di desa cenderung

kecil dan petani tetap miskin. Sedangkan

untuk meningkatkan produksi, mereka

harus membayar teknologi yang

dibutuhkan, bibit tanaman unggul,

ataupun obat anti hama yang relatif

mahal.

Kemiskinan petani memang menjadi awal

permasalahan yang membuat banyak

petani beralih profesi serta memilih

mencari kerja di perkotaan. Mereka

terpaksa keluar dari daerah asalnya

akibat rendahnya kualitas hidup atau

adanya daerah yang menjanjikan

kesempatan untuk hidup lebih layak.

Seringkali seseorang memutuskan

bermigrasi karena kombinasi dari

kedua faktor di atas. Pilihan yang ter-

sedia adalah menambah penghasilan

mereka dengan pekerjaan tambahan

yang tidak terkait dengan sektor

pertanian, baik pekerjaan di desa

maupun di kota untuk sementara,

sebagai buruh bangunan, pembantu

rumah tangga, pedagang kaki lima,

dan pekerjaan informal lainnya, yang

umum ditemukan di perkotaan.

Faktor ketiga, kurangnya angkatan

kerja produktif di perdesaan. Banyak-

nya penduduk desa usia produktif

yang bekerja di kota membuat pen-

duduk yang tinggal di desa lebih banyak

anak-anak dan orang tua. Para pemuda

desa juga makin enggan mengolah

sawah dan lebih tertarik pergi ke kota

untuk memperbaiki taraf hidupnya. Di

sisi lain, okupasi lahan pertanian

semakin marak untuk berbagai ke-

perluan non-pertanian.

Umumnya kaum urban di kota besar bermatapencaharian sebagai pedagang informal.(Foto:Lies)

Dampak

Laju urbanisasi yang tinggi pada akhirnya

memang mengancam keberadaan daya

dukung sebuah kota. Potret glamor dan

indah perkotaan nyatanya tidak seratus

persen benar. Keberadaan permukiman

kumuh memang menjadi alternatif bagi

para migran yang kurang beruntung

mendapatkan tempat tinggal yang layak.

Selain itu, sebagian besar para migran

hanya dapat bekerja di sektor informal,

seperti sebagai kuli bangunan, pembantu,

pedagang kaki lima, dan lainnya sebagai-

nya. Bahkan, banyak pula dari mereka

yang mengambil jalan pintas di kota

dengan bekerja sebagai bandar narkoba,

pekerja seks, ataupun preman.

Dengan demikian, tujuan para migran

untuk meningkatkan kesejahteraan dan

perekonomian dengan datang ke kota be-

lum tentu dapat terwujud. Peningkatan

urbanisasi justru lebih banyak menimbul-

kan permasalahan, terutama menjamur-

nya permukiman-permukiman kumuh di

perkotaan. Nyatanya, kota tidak selalu

“manis”, tetapi juga memberikan

“kepahitan”. (Endah)

Page 25: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

25KIPRAH • Volume 37

LAPORANUTAMA

Pemerintah tidak tinggal diam dalam menangani

permukiman kumuh yang terjadi di perkotaan. Beberapa

program penanganan permukiman kumuh telah

digulirkan, antara lain:

a. Program M.H. Thamrin di Jakarta dan W.R. Supratman di

Surabaya

Program ini muncul pada tahun 1966 (saat Ali Sadikin menjabat

Gubernur DKI Jakarta) karena permintaan sumbangan terus

menerus warga kampung untuk memperbaiki fasilitas di

kampungnya. Program tersebut melibatkan 60 % partisipasi

masyarakat berupa uang, tenaga kerja, bahan bangunan, atau

tanah. Sisanya (40 %) menjadi tanggungan Pemda DKI Jakarta.

Pada waktu bersamaan, berlangsung juga program perbaikan

kampung di Surabaya yang dikenal dengan nama “Proyek W.R.

Supratman” yang memiliki banyak kemiripan dengan proyek

serupa di Jakarta.

b. Program Perbaikan Kampung (Kampong Improvement Pro-

gram/KIP)

Program ini meliputi perbaikan jalan kendaraan, jalan orang dan

saluran air, rehabilitasi dan pembuatan selokan kampung,

pengadaan tempat pembuangan dan gerobak sampah,

penyediaan air bersih melalui kran-kran umum, pembuatan

fasilitas MCK, serta pembangunan puskesmas dan sekolah dasar.

Beberapa contoh pelaksanaannya adalah Sombo (Surabaya),

Bandarharjo (Semarang), dan Kawasan 12 Ulu (Palembang).

c. Program Perbaikan Lingkungan Permukiman Kota (P2LPK)

Program ini didanai APBN untuk kota-kota kecil dan perdesaan,

seperti P3KT, P2LDT, P3LDT, dan KTP2D. Secara umum,

komponen programnya tidak berbeda jauh dengan program

KIP.

d. KIP Komprehensif

Merupakan penyempurnaan dari program KIP; yang mem-

bedakannya adalah dimunculkannya kembali komponen

pelibatan dan pemberdayaan masyarakat secara individu dan

kelembagaan, khususnya pemberdayaan ekonomi melalui

kegiatan pengelolaan stimulan dalam bentuk dana bergulir dari

pemerintah untuk merangsang dana swadaya masyarakat.

e. Program Peningkatan Kualitas Lingkungan (PKL)

Pada tahun 2001, bersamaan dengan kebijakan global

mewujudkan “Cities Without Slum”, dicanangkan Genta Kumuh

oleh Wapres RI pada puncak peringatan hari Habitat Dunia di

Surabaya. PKL merupakan pengembangan dari program KIP

Upaya Pemerintah Menangani

yang komponennya adalah pendampingan masyarakat (untuk

menghasilkan output kelembagaan dan community action plan),

bantuan prasarana lingkungan (memperbaiki kondisi prasarana

dan sarana lingkungan permukiman), maupun stimulasi

peningkatan ekonomi melalui dana bergulir (merangsang

masyarakat meningkatkan pendapatannya, menabung, serta

mengalokasikan dana untuk perbaikan dan pemeliharaan

prasarana dan sarana).

f. Program terkait Penanganan Lingkungan Permukiman Kumuh

Program-programnya adalah :

� Perumahan Swadaya / P2BPK

Program ini diarahkan untuk memberdayakan masyarakat

agar mampu mengadakan, memiliki, dan menghuni sendiri

rumah yang layak secara berkelompok.

� Program Penanggulangan Kemiskinan di perkotaan (P2KP)

P2KP adalah sebuah program yang dirancang pemerintah

dengan dukungan Bank Dunia untuk menanggulangi

kemiskinan di perkotaan sebagai akibat krisis ekonomi dan

moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1997.

Program ini menggunakan skema bantuan langsung kepada

masyarakat yang menjadi target group (kelompok sasaran).

Konsepnya adalah pelaksanaan dan pengelolaan program di

lapangan diserahkan kepada masyarakat, sedangkan pe-

merintah hanya fasilitator agar situasi kondusif.

� Community Based Housing and Initiative Local Development

(CoBILD)

Program ini ditujukan untuk membiayai perbaikan/peremajaan

rumah, pembangunan rumah baru, serta pengadaan dan

perbaikan/pemeliharaan prasarana dan sarana permukiman

dengan kelompok sasaran adalah masyarakat berpenghasilan

menengah ke bawah yang memiliki kesanggupan mengem-

balikan pinjaman yang diberikan.

� Kasiba (Kawasan Siap Bangun) / Lisiba (Lingkungan Siap

Bangun).

Kebijakan ini diambil untuk menyelesaikan masalah pe-

menuhan kebutuhan perumahan dan permukiman bagi

masyarakat berpenghasilan rendah, sekaligus untuk meng-

hambat maraknya aktivitas usaha spekulasi tanah dan

penguasaan tanah dalam jumlah besar oleh pengembang yang

tidak diimbangi dengan kesediaan menyediakan tanah dan

perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah misalnya

kebijakan lingkungan hunian berimbang 1:3:6.

�Kebijakan dan Program Bantuan Bagi Mayarakat Ber-

penghasilan rendah.

Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan dan program ban-

tuan langsung bagi masyarakat berpenghasilan rendah.(Nld)

Permukiman Kumuh

Page 26: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH26

Dalam Millenium Development

Goals (MDGs), masalah kemis-

kinan menjadi salah satu tujuan

yang hendak dicapai. Mengacu pada

MDGs, Kementerian Pekerjaan Umum

menargetkan Indonesia terbebas dari

kawasan permukiman kumuh di perkota-

an pada 2020. Bebagai program dengan

dukungan pemerintah daerah dan instan-

si terkait, Kementerian PUmelaksanakan

program-program, antara lain P2KP,

Pasimas dan Sanimas. Program-program

tersebut berjalan dengan melibatkan

masyarakat.

Erna Witoelar, mantan Menteri Kimbang-

wil dan mantan duta besar MDGs, berbagi

cerita dan masukan dalam upaya mena-

ngani permukiman kumuh di perkotaan

Bebas Kumuh 2020,

di Indonesia. Langkah apa yang dapat

ditempuh untuk mengurangi dan menata

kawasan kumuh? Berikut adalah petikan

wawancara Kiprah dengan Erna Witoelar.

Apa yang menyebabkan Ibu begitu peduli

dengan lingkungan dan masya-rakat?

Kepedulian saya terhadap kawasan

kumuh, air besih dan sanitasi karena

kepedulian terhadap lingkungan yang

terbawa sejak dulu, baik secara profe-

sional dari background pendidikan,

kegiatan-kegiatan yang diikuti, maupun

sebagai duta besar MDGs. Saya menjadi

duta besar MDGs pelaksana di negara

berkembang untuk memperbaiki kawa-

san kumuh, akses air bersih, dan sanitasi.

Apa pendapat Ibu mengenai tujuan dan

pencapaian MDGs tahun 2015?

Menurut saya, MDGs sangat serius untuk

memperbaiki kawasan kumuh, akses air

bersih, sanitasi, dan kemiskinan di negara

berkembang. Kesemua permasalahan

tersebut tercantum secara khusus dalam

butir-butir MDGs.

Apa pandangan Ibu mengenai kaitan

kemiskinan dan berkumuhan di perkotaan

dan perdesaan?

Sebetulnya, orang salah kaprah mengenai

kemiskinan di perkotaan dan perdesaan.

Orang menilai bahwa kemiskinan di

perkotaan lebih baik daripada di pede-

saan. Padahal, kemiskinan di perkotaan

lebih buruk. Miskin di pedesaan, orang

masih bisa makan, bercocok tanam. Tapi

miskin di perkotaan, tanpa uang orang

tidak bisa makan. Sehingga, jika orang

tidak punya uang dan kelaparan akan

timbul pikiran negatif yang berdampak

pada kriminal.

Selain itu, dari waktu ke waktu urbanisasi

semakin tinggi. 50% Masyarakat di negara

berkembang tinggal di kawasan kumuh

perkotaan sehingga kawasan kumuh

menjadi perlu ditangani lebih serius. Jika

tidak dikendalikan, permasalahan akan

terus bertambah dan rawan.

Bagaimana dengan luasan wilayah per-

mukiman kumuh, apakah semakin meluas?

Wilayah kantong kemiskinan semakin

meluas karena jumlah penduduk miskin

Mungkinkah? Erna Witoelar mantanMenteri Kimbangwil dan

mantan Duta Besar MDGs.(Foto:Dok.)

Sepanjang bantaran kali Ciliwung antara Kalibata hingga Manggarai tumbuh permukimankumuh mengakibatkan lebar kali menyempit dan dangkal akibat sedimentasi. (Foto:Dok.)

LAPORANUTAMA

Page 27: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

27KIPRAH • Volume 37

yang datang ke perkotaan tidak berku-

rang. Miskin disini maksudnya adalah -

orang yang coba-coba hidup di perkotaan

dengan bekal seadanya. Sebagian dari

mereka tinggal di kawasan kumuh hanya

sementara. Jika mereka sudah memiliki

penghasilan yang lebih tetap, mereka

pindah ke rumah kontrakan atau membeli

rumah sederhana. Ada turn over yang cu-

kup tinggi. Jadi bukan daerahnya yang

semakin meluas, tapi penghuninya yang

meningkat. Dan tidak menutup kemung-

kinan, jika sudah sesak, akan timbul

permukinan kumuh di tempat lain atau

permukiman kumuh meluas.

Apa benar kumuh identik dengan kri-

minalitas?

Sebenarnya, kumuh identik dengan

keterpaksaan. Mereka terpaksa tinggal di

permukiman kumuh karena miskin.

Seperti yang tadi saya bilang, miskin di

perkotaan bisa menimbulkan kriminalitas.

Mereka datang ke kota untuk mening-

katkan kesejahteraan. Ada yang berhasil,

ada yang tidak. Orang miskin di perkotaan

cenderung tidak memiliki uang sama

sekali dan tidak bisa memenuhi kebu-

tuhan hidupnya.

Apa yang membuat Ibu mau menerima

tugas mulia sebagai Duta besar MDGs?

Dari dulu saya melihat bahwa pemba-

ngunan masyarakat hanya dilihat dari

sektor ke sektor. Padahal, pembangunan

harus dilakukan secara menyeluruh, tidak

sektor per sektor. Saya lihat, konsep MDGs

mencakup itu semua secara keseluruhan

dalam bentuk paket pembangunan yang

saling terkait. Saya melihat upaya terse-

but sebagai pendekatan yang cocok,

benar, atau holistik.

Pendidikan saya, yakni Ilmu Lingkungan,

mengajarkan pendekatan holistik. Ilmu

Lingkungan juga mengajarkan mengenai

pembangunan berkelanjutan dengan

unsur ekonomi, sosial, lingkungan dan

budaya menjadi satu. Pendekatan terse-

but yang menurut saya tepat untuk

mencapai tujuan.

Menurut Ibu, bagaimana memecahkan

masalah kawasan kumuh?

Permukiman di kawasan kumuh perlu

ditangani secara holistik. Bukan hanya

dengan pembangunan fisik dan perbaikan

saja. Harus terpadu. Tetapi tidak bisa

malah juga tidak bisa ditangani dengan

melakukan hal yang sama di tiap daerah.

Suatu kawasan kumuh perlu penanganan

berbeda sesuai dengan kondisi daerah.

Penanganan kawasan kumuh di Jakarta

tentunya berbeda dengan penanganan

kawasan kumuh di Yogyakarta, dan

daerah lain, walaupun ada kesamaan

penyebab, yakni urbanisasi. Penanganan

melakukan pembangunan dan perbaikan

kawasan, tetapi kurang mengajak par-

tisipasi masyarakat.

Pemerintah memprogramkan pem-

bersihan kawasan kumuh dan merelokasi

warga tanpa melakukan pendekatan ke

masyarakat, sehingga yang terjadi adalah

mereka pindah ke lokasi baru, lalu

kembali ke tempat lama. Hal tersebut

disebabkan oleh lokasi baru yang jauh dari

tempat bekerja, tempat baru masih

belum siap huni, atau fasilitasnya kurang

memebuhi kebutuhan.

Kota Solo berhasil memperbaiki kawasan

kumuhnya. Permukiman kumuh diper-

semakin baik jika pemerintah dan instansi

terkait mengenal kelompok sasaran. Jika

lahan yang mereka pakai adalah lahan

pemerintah, baiknya lahan tersebut

diputihkan menjadi kawasan permukinan.

Kemudian, masyarakat urunan untuk

memperbaiki lingkungan dengan didam-

pingi pemerintah.

Sistem pendampingan tersebut efektif.

Dengan pendampingan, pemerintah dan

instansi terkait mengetahui secara

langsung/tepat kebutuhan masyarakat di

kawasan kumuh. Suatu hal yang belum

dilakukan pemerintah dari dulu adalah

pendampingan. Dari dulu pemerintah

baiki dengan alternatif kawasan dan

digarap. Tempat disiapkan agar masya-

rakat siap pindah.

Menurut Ibu, apa yang perlu dilakukan

kedepan dan apa harapan Ibu?

Ke depan, perlu didorong hal-hal kecil

yang telah berhasil diterapkan bersama.

Pemerintah telah melakukan beberapa

program, seperti Sanimas, Pamsimas,

Rusunawa dan P2KP. Dorong dan beri

kepercayaan kepada Pemda untuk beker-

ja sama. Pemda yang baik diberi insentif

dan yang kurang baik ditegur.(Ind)

Kawasan kumuh di Cimahi, Jabar, merupakan problem sosial yang harus diatasi. (Foto:Lies)

LAPORANUTAMA

Page 28: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH28

LAPORANUTAMA

Permukiman di kawasan kumuh saat ini

dinilai meng khawatirkan. Tingkat urba-

nisasi yang tinggi dan terus akan

bertambah, mengakibatkan mun-culnya

kawasan-kawasan permukiman kumuh baru di

perkotaan. Erna Witoelar selaku duta besar

MDGs (pada waktu itu) melihat bahwa bagi

masyarakat yang tinggal di kawasan kumuh

perlu pendampingan dari pemerintah sebagai

fasilitator kawasan.

Menurut Erna, dengan melakukan pendam-

pingan kepada masyarakat, maka pemerintah

akan mengetahui kebutuhan masyarakat dan

dapat membenahi kawasan kumuh.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kawasan kumuh

mendorong timbulnya beberapa perma-

salahan, seperti kemiskinan, lingkungan hidup

yang buruk, anak-anak yang tidak memiliki akses

pendidikan, dan pelayanan kesehatan sebagai

kebutuhan dasar manusia yang kenyataannya

masih rendah. Permukiman kumuh dalam wilayah kantong-

kantong kemiskinan semakin meluas, salah satunya disebabkan

jumlah penduduk miskin yang datang ke perkotaan tidak

berkurang.

Erna menilai bahwa sebagian masyarakat yang tinggal di

kawasan kumuh merupakan orang yang baru pertama kali

menginjakkan kaki ke kota. Mereka datang dengan bermodalkan

semangat semata tanpa memikirkan resiko dan tantangan yang

akan dihadapi olehnya. Sementara itu, sebagian lagi merupakan

penduduk yang mau tidak mau terpaksa tinggal menetap di

kawasan kumuh karena kurang beruntung di perkotaan.

Terkait dengan kemiskinan, masyarakat sering salah kaprah

mengasumsikannya. Mereka beranggapan kemiskinan di

perkotaan lebih baik daripada kemiskinan yang mereka hadapi

di perdesaan.

“Miskin di pedesaan, masyarakat masih bisa makan dan hidup

dari hasil kebun. Tetapi di perkotaan, jika tidak memiliki uang,

masyarakat tidak bisa makan dan tidak bisa hidup, sehingga untuk

dapat bertahan hidup orang akan melakukan apa saja untuk

dapat makan dan hidup,” jelas Erna.

Permukiman di kawasan kumuh merupakan suatu persoalan

yang perlu ditangani secara holistik dan terpadu. Tidak hanya

melakukan pembangunan dan perbaikan fisik, air bersih,

lapangan pekerjaan, atau pendidikan saja. Karena kondisi

kawasan kumuh di tiap-tiap daerah berbeda, sehingga

diperlukan penanganan yang berbeda pula.

Dicontohkannya, kondisi kawasan kumuh di Jakarta berbeda

dengan kawasan kumuh di Yogyakarta. Penanganannya akan

semakin baik jika pemerintah mengenal kelompok sasaran

sehingga dapat diketahui kebutuhan masyarakat tersebut

seperti apa. Pemerintah hendaknya juga mengeluarkan aturan

yang tepat.

Untuk permukiman kumuh di bantaran sungai, jika memang

bantaran tersebut membahayakan untuk dihuni, hendaknya

pemerintah mengeluarkan aturan yang tegas dan merelokasi

masyarakat ke tempat yang layak serta segera menggarap lokasi

tersebut. Namun, jika masih memungkinkan untuk dihuni,

pemerintah dapat mengajak masyarakat untuk memperbaiki

lingkungan tersebut. (Ind)

Dengan melakukan pendampingan kepada masyarakat, maka pemerintah akanmengetahui kebutuhan masyarakat dan dapat membenahi kawasan kumuh (Foto:Lies)

Perlunya Pendampingan di Kawasan KumuhErna Witoelar, mantan Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah

Page 29: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

29KIPRAH • Volume 37

LAPORANUTAMA

Imam Prasojo, Sosiolog(Foto:Dok.)

Pemerintah harus mengubah paradigma dalam

penanganan kawasan permukiman kumuh. Paradigma

proyek yang selama ini digunakan harus digeser menjadi

paradigma sosial yang partisipatif dengan melibatkan masya-

rakat. Selain itu, pemerintah juga perlu melaksanakan

pemerataan pembangunan yang sejatinya merupakan pangkal

pemicu munculnya permukiman kumuh.

Sosiolog Imam Prasodjo menjelaskan, pembangunan yang tidak

merata dan hanya terpusat di kota-kota besar menyebabkan

perpindahan penduduk ke daerah tersebut. Secara teoritis, pada

saat pembangunan itu timpang dan terkonsentrasi hanya pada

wilayah tertentu, orang otomatis akan berdatangan. Sebagian

dari penduduk yang melakukan perpindahan tersebut adalah

penduduk miskin.

Mereka membutuhkan tempat tinggal yang murah sehingga

pada akhirnya dipilihlah tempat-tempat seperti pinggir kali,

bawah jembatan, serta lahan-lahan kosong sebagai tempat

tinggal. Dan, mereka tidak berhenti sampai di situ, mereka terus

beranak-pinak sementara orang dari daerah lain terus

berdatangan. Artinya, pemerintah harus berpacu dengan tingkat

kekumuhan yang semakin meningkat.

Ada beberapa alternatif solusi yang dapat dikedepankan untuk

mengatasi masalah tersebut. Pertama, urbanisasi harus ditekan.

Caranya, dengan melakukan pemerataan pembangunan,

mendistribusikan pusat-pusat pembangunan di berbagai

wilayah. Hal tersebut membutuhkan kerja sama dan koordinasi

antara kota-kota pusat pembangunan dengan kota-kota yang

berada di sekitarnya.

Pemerintah Harus

Kedua, masyarakat harus dilibatkan

dalam penanganan permukiman

kumuh, sehingga kekumuhan tidak

semakin berkembang. Dengan meli-

batkan masyarakat, maka mereka

akan proaktif sekalipun tidak ada

pemerintah. Bahkan, jika perlu, penduduk kawasan kumuh diberi

kewenangan untuk membatasi orang yang datang ke kawasan

mereka.

Ketiga, perlu dilakukan upaya preventif dan penjagaan di kawasan

yang potensial akan menjadi kawasan kumuh. Selama ini,

perhatian terhadap upaya preventif terkesan kurang.

Pemerintah hanya bertindak setelah suatu kawasan sudah

telanjur menjadi permukiman kumuh.

Keempat, revitalisasi kawasan kumuh harus dilakukan dengan

pendekatan partisipatif dan dilakukan oleh orang-orang yang

ahli di bidangnya, misalnya negosiator. Upaya represif sudah

terbukti berulang kali gagal memberikan solusi terbaik.

Kelima, pendekatan untuk mengatasi masalah permukiman

kumuh adalah pendekatan integratif yang memerlukan

keterlibatan berbagai kementerian di pemerintahan. Itu

memerlukan sebuah dirigen yang canggih sehingga visinya benar

dan memiliki kemampuan sebagai integrator yang bagus.

Kebijakan yang sifatnya top down memiliki kecenderungan

untuk gagal. Sebab, pemerintah sebagai pengambil kebijakan

tidak dapat mengakomodasi keinginan dan kebutuhan

masyarakat. Dalam pembangunan rumah susun bagi penduduk

kawasan kumuh misalnya, pemerintah terkesan memaksa

masyarakat untuk pindah ke rumah susun. Padahal, fungsi rumah

bagi sebagian masyarakat adalah juga untuk tempat usaha,

bukan hanya tempat tinggal. Keengganan mereka pindah dari

kawasan kumuh ke rumah susun bukan tanpa alasan, mereka

takut kehilangan mata pencaharian jika pindah ke rumah susun.

Dengan demikian, ke depan, pemerintah harus lebih melibatkan

masyarakat dalam penanganan kawasan kumuh. Pendekatan

partisipatif dengan menempatkan masyarakat sebagai subjek –

dan bukan hanya sekedar objek akan lebih efektif dan memiliki

efek kontinuitas lebih besar dalam penanganan permukiman

kumuh. (Ivan)

Ubah Paradigma

Program padat karya dengan melibatkan masyarakat lokal.(Foto: Lies)

Page 30: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH30

LAPORANUTAMA

Darundono, AkademisiUniversitas Tarumanegara

(Foto:Dok.)

Perbaikan kampung adalah

suatu upaya memperbaiki

prasarana perkotaan secara

minimum, dengan meningkatkan

kualitas hidup penduduk miskin

perkotaan dengan biaya rendah.

Perbaikan kampung menjadi pili-

han kebijakan, dengan pertim-

bangan rumah-rumah dan penghu-

ninya sudah ada, dengan kete-

raturan dan modal sosial. Kebijakan perbaikan kampung telah

dilakukan selama tiga dasawarsa, dari tahun 1969-1999. Sampai

tahun 2004, Mantan Presiden Bank Dunia dalam suratnya

kepada mantan Gubernur DKI Ali Sadikin , menyatakan Proyek

MHT sebagai The Global Best Practice. Tetapi saat ini kebijakan

perumahan di Provinsi DKI Jakarta

berubah menjadi pembangunan ru-

mah susun, yang memakan biaya

lebih dari 1 Triliun rupiah selama 5

tahun ini. Beberapa penelitian menye-

butkan rumah susun banyak dimiliki

oleh masyarakat menengah ke atas,

yang awalnya adalah diperuntukan

bagi masyarakat berpenghasilan

rendah.

Penelitian yang dilakukan oleh Dinas

Perumahan Pemprov DKI pada tahun

2002 menyimpulkan bahwa kelompok sasaran (masyarakat

berpenghasilan rendah) yang mendiami rumah susun yang

dibangun hanya 20 persen.

Ini berarti bahwa 80 persen penghuni rumah susun adalah

golongan berpenghasilan menengah yang tidak perlu dan tidak

pantas menerima subsidi pemerintah. Pemerintah Provinsi DKI

juga merencanakan membangun 125.000 unit rumah susun

tahun ini yang terletak di pinggiran kota, seperti Cilincing,

Marunda dan Rorotan. Sekalipun fasilitas kesehatan dan

pendidikan disediakan, namun lapangan kerja penghuni masih

di tengah kota, sedangkan angkutan umum belum mendukung.

Tidak seperti pada perbaikan kampung yang partisipatif, rusun

pendekatannya adalah lebih bersifat teknokratik. Calon

penghuni tidak dilibatkan dalam proses pembangunan dan

keterikatan sosial yang ada di permukiman semula menjadi

retak. Dari sudut pandang tadi, tata ruang (membangun) di

pinggiran kota menciptakan Urban Sprawl. Peran serta

komunitas sejak diambilnya kebijakan perbaikan kampung

sampai dengan paska pembangunan sangat menentukan

keberhasilan pembangunan.

Bahkan, badan internasional seperti Bank Dunia terus berusaha

untuk mengembangkan pendekatan dalam mengatasi kemis-

kinan melalui berbagai kajian yang menggali sumber kekuatan

dari komunitas miskin itu sendiri yang dikenal dengan istilah

modal sosial (social capital). Adanya arisan, koperasi simpan-

pinjam, maupun majelis taklim dan lain-lain merupakan bibit

modal sosial yang terdapat hampir di setiap kampung.

Menggusur kampung pada hakikatnya sama dengan menggusur

jaringan sosial yang membantu para warga kampung meme-

cahkan persoalan dalam keadaan sulit dan membangkitkan rasa

identitas dan saling memiliki. Dari segi ekonomi, peremajaan

perkotaan lebih mahal 10-15 kali lipat.

Tanah makin sulit. Mengapa harus mem-

bongkar rumah-rumah yang sudah ada dan

telah menjadi perumahan bagi orang

dalam jumlah besar. Hal itu akan mem-

buat masalah lebih rumit. Maka, perbaiki

saja yang telah dimiliki. Tentang relokasi,

tak ada tanah yang terjangkau harganya

bagi orang-orang yang dipindahkan serta

akan jauh dari tempat kerja. Penghuni

rumah susun yang akhirnya memutuskan

keluar dari permukiman baru itupun

memilih kembali ke permukiman kam-

pung. Kembali dari mula, dengan modal kosong, menempati

lahan-lahan marjinal, miskin, dan kumuh.

Laporan UN Habitat dengan judul The Challengge of The Slums,

Oktober 2003 dalam membahas masalah permukiman kumuh

selalu menekankan bahwa permukiman kumuh bukan hasil

globalisasi dan ketidakadilan, tetapi lebih sebagai hasil

pemerintahan yang buruk. Menerima permukiman informal

sebagai permukiman formal merupakan konsekuensi terhadap

arus urbanisasi yang harus diterima sebagai kenyatan dan bagian

dari rajutan dan lansekap kota. Pilihan kebijakan perbaikan

kampung sebagai habitat warga kota yang berpenghasilan

rendah merupakan keputusan yang arif, mengingat besarnya

kelompok sasaran dan keterbatasan dana. Adalah keputusan

yang menentukan kebijakan yang dapat membawa pem-

bangunan berkelanjutan. Pembangunan yang melibatkan modal

sosial yang ada dan memperkuatnya merupakan kunci

pembangunan yang berkelanjutan. (Nld)

Perbaikan Kampung, Hemat Biaya danMinim Gejolak

Perbaikan lingkungan permukiman melalui proyekMHT, gagasan Gubernur Ali Sadikin.(Foto:Lis)

Page 31: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

31KIPRAH • Volume 37

LAPORANUTAMA

Dodo Yuliman, PraktisiUN Habitat.(Foto:Dok.)

Penghuni permukiman ku-

muh itu silih berganti. Me-

nurut perhitungan dari UN

Habitat, tahun ini itu sudah ter-

lampaui target pengentasan pe-

mukim yang tinggal di permu-

kiman kumuh, yakni 100 juta orang

di Asia. Tetapi kenyataannya,

jumlah pemukim kumuh yang baru

bertambah banyak. Mereka hidup

di daerah-daerah ilegal, seperti bantaran sungai, pinggiran rel

KA dan lain-lain, yang sangat rentan terhadap bencana banjir,

penyakit menular, kriminalitas dan juga penggusuran.

Kerentanan itu yang menjadi program MDGs karena mereka

tetap memiliki hak yang sama dengan yang lain, walaupun hidup

mereka kurang beruntung.

Langkah yang dapat dilakukan adalah

pengakuan terhadap mereka. Ini

pernah dilakukan Walikota Solo untuk

permukiman di sebelah utara kota Solo.

Kurang lebih ada sekitar 200 KK dan

diperparah dengan krisis ekonomi yang

menjadikan permukiman menjadi

padat, tidak teratur, dan tidak terpola.

Saat itu, walikota akan memberikan

status yang legal dengan syarat mau

ditata. Masyarakat daerah tersebut

menerima karena di “manusiakan”.

Pendekatan ini sangat humanistik yang jarang ditemui di kota-

kota besar lainnya.

Setelah adanya pengakuan, perlu adanya dukungan dalam

bentuk teknis, seperti infrastruktur dan sanitasi. Hal ini sangat

diperlukan untuk mencegah segala macam penyakit yang dapat

mengakibatkan lost generations .

Berikutnya, pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi.

Dengan adanya pengakuan, mereka dapat meminjam uang

kepada bank untuk menjalankan usaha untuk mempertahankan

hidupnya. Program-program selain pemerintah, seperti NGO,

swasta, dan lain-lain juga sangat mudah mengalir ke daerah

tersebut.

Akhirnya, diharapkan dengan program-program yang masuk

secara sistemik dapat mengentaskan kemiskinan dan dapat

meningkatkan kualitas dari permukiman kumuh.

Perlu Pengakuan Pemerintah

Studi kasus di Brazil menunjukkan hampir 20 % penduduk kota

Rio de Janeiro tinggal di permukiman kumuh. Program

perbaikan permukiman kumuh dilakukan secara sistemik dan

transparan dengan melibatkan semua pihak. Mulai dari

menyelipkan rumah yang layak di permukiman kumuh sampai

merelokasi permukiman yang rawan longsor ke lokasi yang lebih

aman, tetapi tetap dekat dengan lokasi yang lama.

Di Srilangka, pemerintahnya mencanangkan program 1 juta

rumah dengan menumbuhsuburkan koperasi-koperasi dan bank

perempuan. Program tersebut berjalan efektif karena

mendukung kepentingan dan kebutuhan masyarakat di bidang

sosial, ekonomi, dan kesehatan.

Di Filipina, pernah punya program perumahan yang cukup baik

pada tahun 90-an, yakni program

pinjaman perumahan untuk komu-

nitas.

Sementara di Thailand, pemerintah

dan swasta terlibat dalam pengem-

bangan permukiman kumuh yang

menghabiskan dana cukup besar.

Akan tetapi, hasilnya cukup kelihatan,

dengan permukiman yang sangat

rapi, air bersih, dan sanitasinya bagus.

Di Indonesia, masih belum terlihat

secara jelas keberhasilan program-

program pemerintah dalam per-

baikan kampung karena penduduk yang relatif besar di-

bandingkan dengan Thailand.

Jadi, yang perlu dilakukan untuk penanganan permukiman

adalah recognition (pengakuan), dukungan, dan memberikan

program-program yang siap untuk berjalan secara sistemik dan

sesuai spesifikasi masyarakatnya. Program pemerintah seribu

tower rumah susun belum optimal. Dengan jumlah lantai yang

tinggi, perawatannya menjadi mahal untuk masyarakat

berpenghasilan rendah. Akhirnya, ditinggalkan penghuni asli-

nya, disewakan ke sembarang orang. Rusun baru juga banyak

yang dihuni oleh masyarakat yang mampu, padahal sebenarnya

diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Relokasi

diperlukan bagi daerah yang berbahaya, akan tetapi perlu

memperhatikan lokasi yang tepat bagi mereka untuk per-

ekonomiannya. Semua tinggal berpulang dari political will

pemerintah untuk melindungi segenap masyarakatnya.(Nld)

Proyek Rusunawa sebagai upaya mengurangidaerah kumuh perkotaan (Foto:Lis)

Page 32: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH32

LAPORANUTAMA

Anita Firmanti, KepalaPuslitbang Permukiman.

(Foto:Dok.)

Sejatinya pemerintah pusat

dan daerah telah, sedang,

dan terus berbuat banyak

untuk mengatasi problem kawasan

kumuh, baik secara struktural mau-

pun non struktural. Berbagai pola

dan metode penanganan telah pula

dilakukan, antara lain dengan revi-

talisasi, menata ulang kawasan, dan

membangun rusunawa. Namun, karena persoalannya bukan

teknis semata, melainkan juga menyangkut perilaku manusia

yang terkait erat dengan kemiskinan, keterbatasan, dan kepa-

datan, maka perlu kebijakan yang optimal dalam mengakomoda-

sikan aspirasi warga, seperti diungkapkan Anita Firmanti, Kepala

Puslitbang Permukiman Kementerian PU. “Prinsipnya adalah

dari dan untuk mereka. Dan, merelokasi tempat tinggal tanpa

mempertimbangkan latar belakang ekonomi dan tempat kerja

dapat dipastikan akan mengalami kegagalan,” tegas Anita.

Ia mencontohkan upaya yang dilakukan saat merelokasi warga

bantaran Kali Ciliwung dan Cipinang ke rusunawa yang dibangun

1995 ternyata tak mampu menarik minat penduduk karena tarif

listrik dan air di sana dianggap mahal, juga luas kamar yang dirasa

sangat sempit. Lantaran tak diminati, pemanfaatan rusunawa

itu akhirnya tak lagi sesuai peruntukannya.

Selain itu, tindakan tegas kurang diperlihatkan pemerintah

dalam usaha menertibkan permukiman. Pemerintah di satu sisi

menghimbau penduduk untuk pindah, tetapi di sisi lain

melegalisir status kependudukan warga. Kenyataannya, 90

persen warga bantaran Ciliwung memiliki KTP resmi dan legalitas

listrik sebagai sumber penerangan.

Perlu Kebijakan Optimal dalam Mengakomodasikan Warga

Masalah penataan kawasan kumuh terkait erat de-

ngan dua persoalan sosial. Pertama, masalah

pembebasan lahan yang merupakan persoalan

kompleks yang menjadi kendala dalam pembangunan infra-

struktur permukiman. Kedua, masalah status tanah, terkait

dengan bagaimana cara untuk pembebasannya. Padahal jelas-

jelas tanah negara, seperti contoh tragedi Makam Mbah Priok

di Jakarta Utara yang menelan korban jiwa dan puluhan luka-

luka.

Kalau persoalan teknis mungkin tidak begitu masalah, akan tetapi

persoalan lainnya itu yang agak rumit. Hal terpenting adalah

mekanisme pendekatan secara sosiologis.

Saat ini, di DPR telah masuk Program Legislasi Nasional

(PROLEGNAS) 2010 terkait dengan Rancangan Undang-Undang

Pengalihan Hak atas Tanah untuk Kepentingan Pembangunan.

Apabila RUU itu sudah selesai, hal itu merupakan salah satu

instrumen untuk mempercepat pembangunan, termasuk untuk

Masalah Sosial Harus Diperhatikan

penataan kawasan-kawasan

kumuh di Indonesia. Upaya

pemerintah untuk mengatasi

permukiman kumuh sebenar-

nya telah dilakukan. Misalnya,

pembangunan Rumah Susun

(Rusun) sebagai salah satu

upaya agar orang yang tinggal

di lingkungan kumuh bisa hidup

layak di suatu tempat yang

telah disediakan melalui pro-

gram pemerintah, terutama

bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Akan tetapi, persoalan lainnya adalah kita harus betul-betul

menyinkronkan antara tempat tinggal warga dengan tempat

beraktivitasnya sehari-hari. “Walaupun sudah kita sediakan

rusun yang bagus, tapi jauh dari pekerjaan mereka, maka mereka

enggan untuk menempatinya,” imbuhnya. (Jons)

Mulyadi, Wakil Ketua Komisi VDPR-RI (Foto:Dok.)

Melihat permasalahan itu, konsep Anita Firmanti sewaktu

menangani kawasan kumuh Cigugur, Cimahi, dan Jabar, yang

konon terpadat di dunia (500 orang/ha), agak berbeda karena

melalui jalur konsolidasi lahan dan membangun rusunawa

sebagai tempat penampungan sementara.

Tipologi bangunan dan prasarana infrastrukturnya sangat

memperhatikan kondisi lokal dengan pelibatan dan pember-

dayaan masyarakat, sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga

evaluasi dan pengawasannya.

Proyek yang akan selesai tahun 2012 tersebut nantinya

diharapkan dapat menjadi model bagi daerah lain dalam

mengatasi permukiman kumuh. Seperti kota-kota besar lain,

Bandung pun menghadapi problem kawasan kumuh yang tak

ringan dan perlu penanganan, seperti kawasan kumuh Kampung

Cicadas, Dewi Sartika, Babakan Surabaya, di pinggiran rel KA,

bantaran kali, atau kolong jembatan.(Joe)

Page 33: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

33KIPRAH • Volume 37

Penanganan Permukiman KumuhKota Cimahi

Oleh: ** Pardino

tinggi di Kota Cimahi yang mengalami

degradasi lingkungan. Secara khusus, hal

ini berakumulasi di RW 5 yang memiliki

tingkat kepadatan tertinggi, yakni 226

jiwa/ha akibat berdekatan dengan kawa-

san industri di sekitarnya.

Kawasan ini kepadatan bangunannya

cukup tinggi. Pola tata massa bangunan

tumbuh secara organis tidak teratur.

Jarak antar bangunan sangat dekat

sehingga kurang baik bagi kesehatan

penghuni dan rawan bahaya kebakaran.

Kaum buruh tinggal di suatu rumah

kontrakan berukuran rata-rata 9-18 m2,

dihuni oleh perorangan atau keluarga

dengan kamar mandi komunal, rata-rata

LAPORANUTAMA

Rumah susun sebagai tampungan sementara bagi warga yang terkena perbaikan kampung di Cimahi, Jawa Barat. (Foto:Lis)

Posisi Kota Cimahi yang secara

geografis berbatasan langsung

dengan Kota dan Kabupaten Ban-

dung mendorong urbanisasi dan laju

pertumbuhan penduduk yang tinggi,

sekitar 2% per tahun dan rerata densitas

penduduk = 1.331 jiwa/km (Dinas Pena-

naman Modal Kota Cimahi, 2006). Kom-

binasi hal tersebut dengan kebutuhan

hunian, keterbatasan penghasilan, serta

lahan perkotaan yang mahal menye-

babkan permukiman kota tumbuh tanpa

mempertimbangkan visi sustainabilitas;

dampak derivatifnya berupa degradasi

kualitas lingkungan.

Kelurahan Cigugur Tengah merupakan

salah satu kawasan dengan kepadatan

2

jumlah lantai bangunan rumah sewa

tersebut adalah dua-tiga lantai, dengan

lebar koridor rata-rata kurang dari 1 m

yang umumnya dimanfaatkan untuk

melakukan aktivitas masak karena rumah

sewa rata-rata tidak dilengkapi dengan

dapur.

Dari hasil survei, mayoritas pemukim

berpendapatan antara Rp600 - Rp1 juta

per bulan (36,9%). Adapun pemukim yang

berpendapatan di atas Rp1 juta per bulan

sebesar 25,3%. Sisanya, berpendapatan di

bawah Rp300 ribu per bulan (12,5%) dan

Rp300 - 600 ribu per bulan (18,1%). Hal ini

memperlihatkan bahwa sebagian besar

penduduk di kawasan tersebut berpen-

dapatan rendah.

2

Page 34: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH34

LAPORANUTAMA

Pada sisi lain, pengeluaran rata-rata-

Rp956.378 per bulan. Hal ini berarti tidak

ada saving di golongan masyarakat ter-

sebut. Kondisi ini mengimplikasikan

prioritas kehidupan warga

akan cenderung membutuh-

kan upaya keras guna menca-

pai penyadaran tentang ku-

alitas bermukim. Selain itu

tingkat kemampuan warga

untuk berpatisipasi dalam pe-

nanganan kawasan secara fi-

nansial juga rendah.

Padahal upaya peningkatan

kualitas lingkungan permu-

kiman yang berwawasan sus-

tainabilitas hanya dapat dicapai

melalui penataan ulang kawa-

san menuju sinergi efisiensi

tata guna lahan, konservasi

lingkungan, serta aktivitas eko-

nomi. Proses ini membutuhkan ke-

mampuan finansial, minimal 30% dari

pendapatan harus dialokasikan untuk

pembiayaan infrastruktur.

Karenanya, pada konteks pengembangan

internal perkotaan, pengentasan per-

mukiman kumuh dapat diupayaan melalui

sinergi penyelesaian masalah kemiskinan,

kualitas lingkungan hidup, dan kapasitas

dalam penanganan kawasan kumuh kota.

Responsiveness memerlukan kelem-

bagaan pemkot yang tanggap terhadap

stakeholders. Hal ini dapat direalisasikan

melalui Kelompok Kerja Operasional

(Pokjanal) yang diarahkan sebagai pe-

rencana integrasi program berbagai

dinas, seperti pengentasan kemiskinan,

perbaikan lingkungan hidup, serta pem-

berdayaan ekonomi. Selain task-force

proses pembelajaran pengetahuan ke-

lembagaan.

Visi jangka panjang ke depan diharapkan

Pokjanal berhasil menghimpun segenap

program pembangunan serta keter-

paduan Dinas Pemkot Cimahi guna

menangani pembangunan kawasan ku-

muh di daerahnya.

Untuk itu komunikasi dan koordinasi yang

efektif antara pemkot dan masyarakat

dalam rangka pembentukan visi kolektif

perlu informasi yang handal dan terfokus

pada problem solving. Dan ini merupakan

dasar kerja sama yang vital dalam pe-

nataan kawasan kumuh.

Focus Group Discussion(FGD) berbasis ac-

tive learning merupakan sarana untuk

mencapai kondisi tersebut

karena strategi ini menempat-

kan pemkot - masyarakat sebagai

mitra (identitas baru) yang harus

memberi solusi atas persoalan

bersama, misal-nya aplikasi pro-

posal bisnis ke pihak swasta.

Good Public Expenditure (GPE)

Menurut World Bank dalam

“Mengoptimalkan Kontribusi

Desentralisasi Bagi Pembangun-

an: Metodologi Kerangka Kerja

Pengukuran Kinerja Pemerintah

Daerah” (2008), Otonomi Dae-

rah menggiring penganggaran

pembangunan untuk menuju pencapaian

GPE yang dapat ditengarai melalui

pengelolaan keuangan publik, kinerja

fiskal, penyediaan publik (fokus pada

pendidikan, kesehatan, prasarana), dan

iklim investasi. Iklim investasi ini diin-

Gambar. Posisi Spasial Kota Cimahi terkait Perkembangan Regional

daerah, termasuk pengelolaan kotanya.

Karenanya, pemerintah kota yang

mampu menerapkan prinsip Good Gover-

nance, khususnya prinsip responsiveness

dan strategic vision, amat diperlukan

Diskusi kelompok menentukan tipe dan jenis bangunan yang akan dibangun. (Foto:Pardino)

Page 35: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

35KIPRAH • Volume 37

LAPORANUTAMA

dikasikan melalui pelatihan manajemen

usaha, pelatihan angkatan kerja, promosi

perdagangan, menghubungkan badan

usaha kecil dan besar, pelatihan aplikasi

kredit untuk UKM, dan program penye-

suaian usaha.

Model penanganan kawasan permukiman

kumuh seperti ini sanagat didukung

Walikota Cimahi yang peduli terhadap

daya saing daerahnya melalui eksplorasi

sumber-sumber pembiayaan yang ber-

basis competitive advantage, yakni industri

kreatif.

Kemampuan daerah untuk menggali

keuangan sendiri serta keterbatasan

sumber daya alam daerah sebaiknya

mengadopsi strategi pilot project (inspi-

ratif dan replikatif) sebagai

solusi pembangunan per-

mukiman. Operasionalisasi-

nya melalui Pokjanal (Ke-

lompok Kerja Instansional)

yang mengintegrasikan ber-

bagai program/kegiatan

dinas berbasis kluster.

Koordinasi dan integrasi pro-

gram/kegiatan antar dinas

akan mengefisienkan pem-

biayaan pembangunan.

Kemitraan dengan swasta

Pada tahun 2008 diperoleh

data bahwa 35,1% komunitas

warga di daerah kumuh Kota

Cimahi memiliki usaha/wira-

swasta, dimana 85,2% usaha tersebut

mengakses bank sebagai salah satu

sumber pembiayaan. Kondisi ini meru-

pakan potensi untuk dikembangkan

sebagai income source dalam penyerapan

tenaga kerja, pembiayaan infrastruktur,

modal kerja sama dengan berbagai pelaku

bisnis, serta dasar pelibatan CSR.

Pada tahun 2009 sebanyak delapan UMKM

kinerja bisnisnya dapat ditingkatkan

dengan melibatkan peran swasta dalam

pembinaan ekonomi lokal. Hal itu me-

rupakan kemajuan, yang perlu diting-

katkan secara menerus.

Strategi Peningkatan Kapasitas

Masyarakat

Ketidakmerataan akses terhadap infor-

masi menyebabkan ketidakseimbangan

partisipasi yang dapat berujung pada

ketidak-puasan terhadap program pem-

bangunan maupun ketidaktepatan sasar-

an implementasi.

Oleh karena itu, akses terbuka terhadap

informasi mengenai program pena-

nganan kawasan kumuh merupakan tahap

penting untuk meningkatkan partisipasi,

demokratisasi, serta menjadikannya

prioritas komunitas. Peningkatan dan

pemerataan akses ini dilakukan berdasar

prinsip gender equality, yakni melibatkan

pria dan wanita sesuai kapasitasnya.

serta mampu berkoordinasi dengan

pemkot sesuai kebutuhan prioritasnya.

Pembahasan atas penanganan kawasan

kumuh perkotaan merupakan diskursus

yang kian mengarah pada peran penting

aspek-aspek kelembagaan, pembiayaan,

serta pemberdayaan masyarakat.

Tentu dukungan aspek teknis tetap

menjadi komponen integral seiring

dengan kebutuhan untuk mengatasi

keterbatasan lahan, persyaratan bangun-

an gedung, ataupun rekayasa perilaku.

Sejumlah kesimpulan yang dapat dipe-

roleh atas uraian di atas, meliputi:

Pertama, penataan kawasan kumuh

perkotaan memerlukan upaya

penanganan sinergis atas isu

kemiskinan, lingkungan hidup,

serta kapasitas daerah, ter-

masuk pengelolaan perkotaan.

Faktor kelembagaan dan pem-

biayaan pembangunan meru-

pakan isu krusial yang mem-

butuhkan peningkatan kapa-

sitas para pelaku pembangun-

an, khususnya pemkot dan ma-

syarakat.

Kedua, pemerintah kota yang

mampu mengimplementasi-

kan Good Governance meru-

pakan prasyarat pengelolaan

proses pembangunan, ter-

masuk penataan kawasan

kumuh.Profil ekonomi komunitas RW 5 ini pun

bervariasi, mulai dari kaum miskin (pen-

dapatan < USD1 per hari) hingga kelom-

pok yang memiliki usaha dalam cakupan

yang signifikan. Hal ini memunculkan

variasi penanganan yang beragam pula.

Mulai dari yang membutuhkan imple-

mentasi kluster 1 (bantuan dan per-

lindungan sosial), kluster 2 (pemberda-

yaan masyarakat), maupun kluster 3

(pemberdayaan UKM).

Penanganan sesuai profil target-group ini

akan mengefektifkan upaya pember-

dayaan karena cenderung tepat sasaran

Gambar. Posisi Kelurahan Cigugur Tengah dalam KonteksTata Ruang Kota Cimahi

** Kapuslitbang SEB dan Peran Masyarakat,

Kementerian PU.

Ketiga, masyarakat yang sadar terhadap

permukiman berkualitas, setara dalam

mengakses informasi, serta berke-

mampuan untuk mengalokasikan ke-

mampuan finansialnya untuk mendu-

kung penataan kawasan kumuh menjadi

unsur penting dalam penataan kawasan

kumuh. Model penangan permukiman

kumuh di kota Cimahi ini kiranya dapat

menjadi contoh bagi daerah lain dalam

menangani problem yang sama.

Page 36: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH36

Boezem Morokrembangan di Su-

rabaya merupakan waduk kecil

yang dibangun pada zaman ko-

lonial Belanda. Boezem ini diperuntukan

sebagai penampung saluran drainase dari

daerah tangkapan air serta sebagai

pengendali banjir di kota Surabaya

dengan catchment area yang melingkupi

sebagian besar kawasan di sebelah

selatannya.

Sejalan dengan perkembangan kota dan

kurangnya pengendalian pemanfaatan

lahan mengakibatkan kawasan sekitar

boezem tumbuh menjadi lokasi hunian

yang tidak terkendali baik berupa kawasan

kumuh (slums) maupun pemukim ilegal

(informal shelter), bahkan kawasan yang

semula menjadi catchment area saat ini

sudah dipenuhi hunian baik yang legal

maupun penghuni ilegal, seperti di

perkampungan Tambak Sari dan Kalianak

Timur.

Perkembangan kawasan Boezem yang

sudah berlangsung puluhan tahun ini

memberikan kesan kurangnya concern

pemerintah dalam pengendalian dan

pemanfaatan ruang di kawasan sekitar

Boezem maupun penanganan Boezem

sebagai sebuah infrastruktur strategis

Kota Surabaya. Hal ini disadari ketika

kegiatan penanganan fisik boezem akan

dimulai tiga tahun yang lalu, ternyata

tumpukan sampah di areal Boezem sudah

berusia lebih dari 30 tahun, begitu juga

dengan proses pemanfaatan lahan sudah

berlangsung semenjak 50 tahun yang

silam. Pemanfaatan lahan oleh masya-

rakat diawali dengan adanya izin semen-

tara pemakaian tanah negara dari Kepala

Kantor Pengawas Agraria Karesidenan

Surabaya 15-6-1959, No. 2744/7B/1959.

Perkembangan hunian di sekitar kawasan

Boezem yang kurang terkendali ini telah

mempengaruhi kualitas lingkungan di

sekitar Boezem maupun fungsi Boezem

itu sendiri. Sejalan dengan perkem-

bangan pemanfaatan lahan, maka ber-

dasarkan hasil penelitian terhadap warga

yang bermukim di sekitar Boezem ter-

Oleh: **Edward Abdurrahman

Boezem Morokrembangan

LAPORANUTAMA

Kawasan Boezem Morokrembangan yang semula kumuh, kotor, dan bau kini menjadi bersih dan rapi setelah dilakukan revitalisasi. (Foto:Dok.)

Revitalisasi

Page 37: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

37KIPRAH • Volume 37

dapat warga yang memiliki KTP maupun

warga yang tidak memiliki KTP, dan ada

pula sebagian yang termasuk kategori

keluarga musiman, yang keberadaannya

bersifat temporer (Sumber: Sugiarto,

Pemberdayaan Masyarakat).

Memperhatikan kondisi pemanfaatan

lahan di sekitar kawasan Boezem dan

dinamika sosial ekonomi masyarakat yang

terjadi saat ini maka untuk mewujudkan

sustainabilitas penanganan kawasan

boezem ke depan diperlukan langkah

pemecahan yang mampu mensinergikan

penanganan fisik dan non fisik. Pende-

katan non fisik menjadi penting dalam

penanganan kawasan Boezem karena

terkait dengan sejarah kawasan dan pre-

ference masyarakat yang ingin tetap

bermukim di areal tersebut.

Dalam penanganan kawasan kumuh

maupun squatter seperti yang terjadi di

kawasan Boezem ini maka pendekatan

dengan mendudukkan community se-

bagai subyek pembangunan akan lebih

memberikan secure kepada masyarakat

karena terkait langsung dengan kehi-

dupan dan penghidupan masyarakat

sebagai penghuni lingkungan (human in

habitant). Melalui pendekatan ini pula,

secara psikologis kita akan menumbuhkan

rasa tanggung jawab dan kepedulian

lingkungan hunian kepada masyarakat.

Meskipun penanganan fisik Boezem

sudah dimulai semenjak tiga tahun yang

lalu seperti pengerukan dan penanganan

drainase, namun keberlanjutan fungsi

Boezem akan sangat ditentukan pula oleh

perilaku masyarakat terhadap lingkungan.

Hal ini telah terbukti dengan kebiasaan

masyarakat yang selama ini membuang

sampah ke sungai maupun ke boezem

yang akhirnya mempengaruhi fungsi

Boezem dan kualitas lingkungannya.

Tentunya, hal ini menjadi tantangan kita

bersama untuk menemukan pola pena-

nganan yang mampu memberikan impli-

kasi keberlanjutan pada boezem dan

lingkungan hunian di sekitar boezem.

Untuk menemukan pola penanganan

aspek non fisik, diperlukan penggalian

informasi primer di lapangan serta data-

data yang up to date. Penanganan non

f isik ini akan sangat membutuhkan

ketelatenan dan keinginan untuk lebih

dekat dengan masyarakat sehingga need

masyarakat dapat digali lebih jauh. Untuk

bisa menghasilkan solusi yang mudah

diterima berbagai pihak maka penelitian

(research) kawasan menjadi sebuah

kebutuhan sehingga menghasilkan upa-

ya-upaya yang lebih mudah untuk diim-

plementasikan.

Selama ini penanganan kawasan dengan

pendekatan non fisik seperti perencanaan

partisipatif (participatory planning) dan

pemberdayaan masyarakat (community

empowering) sudah dilakukan, namun

belum banyak yang diperkuat dengan

penelitian yang lebih mendalam terkait

peraturan kawasan dan spatial planning,

potensi kawasan, rencana pengem-

bangan kawasan (area development), pre-

ference masyarakat, dan history kawasan,

yang kemudian mampu menghasilkan

sebuah sustainable design. Dua pende-

katan tersebut (participatory planning

dan community empowering) akan se-

makin efektif dilakukan jika dilandasi re-

search kawasan yang dilakukan oleh

perguruan tinggi/lembaga penelitian

setempat. Dengan demikian, link and

match antara perguruan tinggi/lembaga

studi sebagai pihak yang memahami

situasi kawasan dan pemerintah sebagai

pembuat kebijakan akan memberikan

efektivitas penanganan.

Pendekatan penanganan kawasan ber-

basis research ini telah dilakukan oleh

beberapa perguruan tinggi seperti Lund

University Swedia, Birmingham Univer-

sity bekerja sama dengan pemerintah kota

dalam menghasilkan sebuah penanganan

kawasan berkotaan dimana perguruan

tinggi berhasil memberikan gagasan

desain kawasan yang mampu meng- acce-

lerate pertumbuhan ekonomi kawasan

perkotaan.

Kawasan kumuh (slums) dan squatter

secara umum memberikan kesan sebagai

beban pembangunan perkotaan dan hal

ini tidak bisa dipungkiri. Meskipun demi-

kian, ada dua hal penting dalam pe-

nanganan kawasan kumuh. Pertama,

kawasan kumuh memiliki dinamika eko-

nomi, artinya masyarakat di kawasan

tersebut juga memiliki potensi tentunya

dengan skala terbatas. Kedua, masyarakat

di kawasan kumuh memiliki kohesi yang

baik di antara mereka, yang ditandai

dengan mudahnya kita mendapat in-

fomasi antara satu kelompok dengan

kelompok lainnya, maupun aktivitas yang

berkembang di antara masyarakat.

Kohesi dan budaya masyarakat ini me-

rupakan modal sosial dalam mendorong

upaya penanganan lingkungan yang lebih

baik. Pendekatan penanganan kawasan

dengan memperhatikan situasi lokal ini

mendapat dukungan dari UAI (Union of

Architect International) “Sustainable by

Design as a universal architectural concept,

by improving knowledge, strategies and

methods across different climatic, politi-

cal, social, and cultural contexts.

Ada dua langkah penguatan yang mung-

kin dilakukan, yaitu: Pertama, peme-

rintah memberikan dukungan kepada

perguruan tinggi/lembaga studi untuk

melakukan penelitian di kawasan Boe-

zem Morokrembangan agar diperoleh

informasi aktual dan preferensi masya-

rakat terhadap penanganan kawasan.

Kedua, diperlukan wadah untuk menam-

pung aspirasi masyarakat yang sekaligus

sebagai kontrol internal masyarakat.

Kontrol internal masyarakat ini menjadi

sangat penting karena melalui meka-

nisme ini efektivitas penanganan akan

jauh lebih mudah dilakukan dimana

kesadaran masyarakat terhadap ling-

kungan bisa dibangun secara terus

menerus oleh dan dari masyarakat sendiri

dengan pembekalan yang dilakukan

melalui pendampingan masyarakat oleh

tokoh-tokoh penggerak masyarakat atau

LSM lingkungan.

** Kasi di Direktorat Pengembangan Per-

mukiman, Ditjen Cipta Karya.

LAPORANUTAMA

Page 38: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH38

LAPORANUTAMA

Ketimpangan pembangunan ini

membawa banyak dampak, salah

satunya peningkatan perpindahan

penduduk dari desa ke kota, atau yang

lebih kita kenal dengan istilah urbanisasi.

Akibat semakin banyaknya orang desa

yang pindah ke kota demi mencari

perbaikan hidup, semakin banyak pula

permukiman yang harus disediakan

pemerintah kota. Oleh karena daya

dukung dan daya tampung kota tidak

sesuai dengan jumlah penduduk urban

yang datang, sedangkan tingkat per-

saingan kerja sangat tinggi, maka semakin

banyak pula penduduk urban miskin di

Jalan Panjang menuju

perkotaan. Selain itu, kota yang tidak siap

dalam menyediakan infrastruktur permu-

kiman dasar yang memadai, seperti

kualitas perumahan yang layak, air mi-

num, dan sanitasi, serta lahan bagi

pembangunan kawasan hunian baru,

mengakibatkan menjamurnya permu-

kiman-permukiman kumuh di perkotaan.

Pada dasarnya, permukiman yang masuk

kategori kumuh atau tidak layak huni

terbagi menjadi dua, yaitu permukiman

slums dan squatters. Permukiman slums

di sini adalah kawasan atau lingkungan

permukiman yang tidak dilayani infra-

struktur secara memadai, tetapi status

kepenghuniannya “biasanya” legal.

Sementara itu, permukiman squatters

adalah kawasan atau lingkungan permu-

kiman yang dihuni oleh masyarakat secara

ilegal, biasanya di tanah kosong bukan

miliknya dan atau tidak pada tempat yang

diperuntukkan bagi permukiman, misal-

nya di bantaran kali, bantaran rel kereta

api, kolong tol, kolong jembatan, dan lain

sebagainya.

Data Bappenas menyebutkan, lahan yang

digunakan untuk permukiman kumuh

antara tahun 1999 sampai tahun 2004

Dalam beberapa dekade terakhir, pembangunan di Indonesia semakin berkembang. Kemajuantersebut ditunjukkan dari semakin berkembangnya kota-kota kecil di Indonesia menjadi kota sedang

dan besar, dengan Jakarta sebagai pusat. Sayangnya, tak sedikit pula desa-desa maupun kota-kotakecil lainnya yang tidak berkembang, sehingga terjadi ketimpangan.

Bebas Kumuh

Kota sebagai magnet kaum urban untuk memperbaiki nasibnya.(Foto:Dok.)

Page 39: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

39KIPRAH • Volume 37

LAPORANUTAMA

meningkat dari 47,000 hektar menjadi

54.000 hektar dengan tingkat laju keku-

muhan mencapai 2,9 persen per tahun.

Sementara itu, sekitar 15 juta rumah yang

dihuni oleh penduduk masuk kategori di

bawah standar. Bahkan, hasil penelitian

United Nations Development Programme

(UNDP) mengindikasikan peningkatan

luas permukiman kumuh mencapai 1,37

persen atau 57.800 hektar setiap tahun

antara tahun 2004 sampai 2009. Meskipun

demikian, memang belum ada jumlah

persis penduduk yang tinggal di per-

mukiman kumuh.

Menurut Budi Yuwono, Direktur Jenderal

Cipta Karya Kementerian Pekerjaan

Umum, yang pasti adalah angka permu-

kiman kumuh tidak bergerak turun,

melainkan berpindah-pindah saja. “Diba-

bat di sini, muncul di sana. Jadi bisa

dibayangkan, betapa kompleksnya per-

masalahan (permukiman) kumuh ini,”

demikian tukas Budi.

Munculnya permukiman-permukiman

kumuh di perkotaan, menurut Budi, salah

satunya adalah akibat sistem perencanaan

perkotaan yang tidak sanggup menangani

berbagai tantangan abad 21 dan telah

gagalnya kita menampung kebutuhan

untuk melibatkan masyarakat dan pe-

mangku kepentingan lainnya dalam

perencanaan kawasan perkotaan.

Urbanisasi memang belum atau nyaris tak

bisa dihentikan karena migrasi merupakan

bentuk penyelamatan diri.

Pemerintah juga tidak mudah untuk

mengontrol ke mana, bagaimana, dan

kapan penduduk akan melakukan migrasi.

Seringkali program peningkatan kualitas

permukiman kumuh, seperti penataan

kawasan permukiman kumuh, memiliki

rancangan yang kurang baik dan akhirnya

menimbulkan masalah lain di kemudian

hari. Dalam menghadapi situasi ini, para

pembuat kebijakan akhirnya cenderung

memilih untuk terus berusaha agar

masyarakat miskin tetap berada di desa

dan melihat mereka sebagai sumber

ketidakteraturan dan kriminalitas.

Berbicara tentang cara penekanan laju

urbanisasi dan penanganan permukiman

kumuh di perkotaan, salah satu program

pengurangan kawasan kumuh yang dila-

kukan Kementerian PU adalah revitalisasi,

membangun, atau bisa juga intervensi

kebijakan penyediaan perumahan layak

huni untuk pendatang kota berupa

rusunawa (rumah susun sewa). Kemen-

terian PU merencanakan pembangunan

rusunawa sebanyak 270 rusunawa ber-

lantai 4 dari tahun 2010 sampai tahun 2014

dengan alokasi anggaran sekitar Rp 10

milyar/unit rusunawa. Alokasi anggaran

tersebut fleksibel dan disesuaikan dengan

kebutuhan pembangunannya. Rencana-

nya, 70% rusunawa akan dibangun Ke-

menterian PU di pulau Jawa karena lebih

banyak kota metropolitan dan kota

besarnya. Sisanya, 20% untuk pem-

bangunan rusunawa di pulau Sumatera

dan 10% akan dibangun di Kalimantan,

Sulawesi, Bali, NTB, NTT dan Papua. Dae-

rah-daerah yang berhasil dalam mengen-

dalikan kawasan kumuh di daerahnya

melalui adanya rusun, antara lain adalah

Gresik, Sidoarjo, Cingeset-Bandung, dan

Cimahi.

Dalam kesempatan yang sama, Budi

membantah bahwa harga rusun yang

dipatok pemerintah dikategorikan mahal.

Budi mengatakan bahwa harga sewa

rusunawa di tiap-tiap daerah bervariasi,

tetapi cukup terjangkau. Harga sewa

rusunawa yang dibangun PU paling mahal

adalah rusunawa di Batam yang harga

sewanya sebesar Rp200.000,-/bulan untuk

ukuran 24m2. Meskipun demikian, banyak

juga rusunawa yang harga sewanya di

bawah itu, terutama jika kepala daerahnya

berinisiatif memberikan subsidi, seperti

harga sewa rusunawa di Gresik yang hanya

Rp100.000,-/bulan.

Selain melalui pembangunan rusunawa,

juga ada beberapa kemungkinan yang bisa

Budi Yuwono, Direktur Jenderal CiptaKarya Kementerian Pekerjaan Umum.

(Foto:Dok.)

Hunian Rusunawa Budha Suchi Cengkareng, Banten. (Foto:Wy)

Page 40: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH40

LAPORANUTAMA

dilakukan pemerintah dalam menekan

laju urbanisasi di perkotaan. Pertama, ber-

henti untuk berusaha menghentikan mi-

grasi dan mulai menghadirkan kebijakan

dan program yang realistis yang dapat

membantu proses urbanisasi menjadi

lebih baik, baik bagi masyarakat miskin

kota maupun bagi kota itu sendiri secara

keseluruhan. Kedua, pemerintah juga

harus terus melakukan pengentasan

kemiskinan dan pembangunan manusia

melalui proses bertahap. Ketiga, menja-

dikan kaum miskin sebagai pemeran

utama dalam upaya pengentasan kemis-

kinan dan pembangunan kota. Jika pe-

merintah kreatif mencari cara untuk

mendukung hal tersebut dan tidak lagi

mengecilkan peran kaum miskin, maka

mereka dapat melakukan perbaikan

permukiman dan perumahan, serta

menjadi mitra dalam upaya penyediaan

perumahan dan pelayanan.

Memang, tidak semua kebijakan dan pro-

gram yang dilakukan pemerintah, khusus-

nya Kementerian PU, berhasil. Budi

Yuwono memberi contoh ada rusun yang

telah selesai dibangun, tetapi sampai

sekarang belum dihuni atau penghuninya

belum tentu (warga) rumah kumuh yang

dimaksudkan semula. Penanganan per-

mukiman kumuh di DKI Jakarta misalnya,

rumah susunnya terbangun, tetapi

kawasan kumuhnya tetap ada. Menurut

Budi, kendala-kendala utama dalam

penataan permukiman kumuh ada 3

(tiga), yaitu:

1. Padatnya penduduk di kawasan ku-

muh, terutama di squatters (ba-

ngunan ilegal dan liar)

2. Terikatnya penduduk dengan mata

pencaharian sehingga dibutuhkan

komunikasi terus-menerus antara

pemerintah yang ingin mengurangi

kawasan kumuh dengan mereka yang

tinggal di situ.

3. Bervariasinya komitmen pemerintah

daerah. Kendala tersulit adalah peme-

rintah daerah yang kurang ber-

komitmen. Akibatnya, pembangunan

rusun terhambat atau tidak tepat

sasaran.

ke dalam kota. Misalnya, pemberlakuan

kartu identitas bagi para penghuninya.

Dengan demikian, mereka yang tidak

mempunyai kartu tersebut tidak menda-

pat akses pelayanan umum yang gratis

atau bersubsidi, seperti pendidikan dan

kesehatan. Akan tetapi, kebijakan ter-

sebut cenderung mengurangi jumlah

tenaga kerja di kota dan meningkatkan

harga barang dan jasa. Selain itu, tindakan

ini juga meningkatkan tingkat kemiskinan

para migran yang harus membayar

pelayanan yang seharusnya dapat dipe-

roleh secara gratis.

Kebijakan lainnya adalah penggusuran

paksa bagi para migran untuk kembali ke

desa atau trasmigrasi. Sayangnya, sering-

kali program penggusuran paksa ini salah

sasaran yang menyasar pada penduduk

kelahiran kota yang tidak mempunyai

latar belakang untuk bertani sama sekali

dan tidak memiliki keinginan untuk mena-

ta hidup baru di desa. Program relokasi

yang dilakukan pemerintah seringkali juga

tidak mampu memberikan kesempatan

kerja dan kondisi hidup yang layak, tak ja-

rang hanya memindahkan satu lokasi

permukiman kumuh ke lokasi lainnya.

Contoh kebijakan yang dilakukan peme-

rintah untuk membatasi migrasi desa ke

kota adalah dengan mempersulit akses

Lingkungan kumuh yang tak layak huni. (Foto:Dok.)

Page 41: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

41KIPRAH • Volume 37

LAPORANUTAMA

Dengan demikian, program-program ter-

sebut tidak dapat berjalan secara optimal.

Pemerintah, khususnya Kementerian PU,

merasa bahwa semua permasalahan ini

merupakan tanggung jawab seluruh

stakeholders, bukan hanya tanggung

jawab pusat semata. Budi Yuwono

menjelaskan bahwa pemerintah daerah

kabupaten/kota juga harus punya komit-

men untuk pengentasan kawasan kumuh

di daerahnya. “Harus ada strategi dari

pemerintah daerah, baik kabupaten

maupun kota, untuk mengatasi masalah

itu. Baru kita (pusat) masuk ke sana.

Kalau pemdanya tidak ikut memiliki pro-

gram itu, ya repot.”

Budi Yowono sendiri dengan tegas

menyatakan, perencanaan kota yang

berhasil itu bila dilakukan secara parti-

sipatif. Artinya, melibatkan seluruh

pemangku kepentingan dalam perenca-

naan dan pelaksanaan program. “Peran

masyarakat dalam perencanaan kota

telah dikuatkan melalui UU No 26 Tahun

2007 tentang Penataan Ruang.” Peren-

canaan kota yang partisipatif menjadi

tanggung jawab pemerintah, khususnya

pemerintah kota. Hal ini yang diwujudkan

dalam Rencana Stategis Pembangunan

Permukiman Perkotaan dengan mengacu

kepada Rencana Tata Ruang Wilayah,

yaitu terselenggaranya perencanaan kota

yang berkeadilan, berkelanjutan, dan

manusiawi sehingga dapat mewujudkan

kota sebagai permukiman layak huni

serta berkelanjutan bagi seluruh lapisan

masyarakat.

Tetapi Budi Yuwono mengakui, imple-

mentasi program masih lemah, terutama

menyangkut koordinasi, komitmen, dan

keterbukaan dari masing-masing pe-

mangku kepentingan, termasuk peme-

rintah daerah. Faktanya, banyak pemda

masih mengabaikan kewajibannya untuk

membuat rencana tata ruang dan melak-

sanakannya secara konsisten. Padahal,

perencanaan kota yang tidak partisipatif

akan menimbulkan ketidakadilan bagi

masyarakat, sehingga jumlah masyarakat

miskin kota bukannya berkurang, tetapi

justru semakin bertambah. Budi men-

contohkan, para pedagang pasar tradi-

sional yang tergusur akibat maraknya

pembangunan kawasan perdagangan

skala besar. Pendirian mini market yang

menyingkirkan sedikitnya 20 pedagang

pasar tradisional. Bahkan, Asosiasi Peda-

gang Seluruh Indonesia (APSI) mencatat

ada 8 pasar tradisional tutup di Jakarta

pada awal 2008 gara-gara tidak mampu

bersaing dengan pasar modern.

Contoh keberhasilan pemerintah daerah

dalam menerapkan perencanaan pem-

bangunan kota yang partisipatif dengan

keterlibatan penuh masyarakat adalah

kota Solo. Walikota Solo mengandalkan

komunikasi yang intensif dengan masya-

rakatnya, terutama masyarakat (dari

kawasan) kumuh. “Buktinya, dia berhasil

memindahkan masyarakat yang tinggal di

bantaran kali ke tempat baru. Rumah-

rumah yang semula membelakangi kali,

sekarang memutar menghadap kali, dan

(bagian) depannya diikhlaskan untuk

jalan. Belum lagi pembinaan-pembinaan

kawasan home industry, seperti di La-

wean, yang ditata rapi,” tutur Budi. Tidak

saja berhasil menangani permukiman

kumuh, pemerintah kota Solo juga

berhasil merevitalisasi pasar-pasar tradi-

sional, pedagang kaki lima, sehingga

ekonomi informal dan lokal tradisional

terselamatkan.

Pemerintah Indonesia juga berupaya

mencapai target-target Millennium Devel-

opment Goals (MDGs), yang salah satu

targetnya adalah untuk membebaskan

semua kota dari permukiman kumuh di

tahun 2020. Sebagai permulaan, peme-

rintah menargetkan 270 kota di Indone-

sia bebas permukiman kumuh di tahun

2010, kemudian meningkat menjadi 350

kota pada tahun 2015. Pada dasarnya,

MDGs merupakan kesepakatan inter-

nasional yang sasarannya telah diterapkan

di berbagai bidang, salah satunya mengu-

rangi daerah kumuh, penyediaan sanitasi

dan air bersih. Budi menyatakan bahwa

target MDGs di tahun 2015 nanti bisa

tercapai, meskipun masih harus bekerja

keras untuk pencapaian semua program

MDGs. “Akan tetapi, jika ditanyakan

bagaimana hasilnya,” sekali lagi Budi

menegaskan, “tidak mungkin hanya pusat

sendiri yang melakukan. Jadi, diperlukan

sinergi dan komitmen juga dari peme-

rintah daerah kabupaten/kota.” Agaknya,

pembangunan permukiman dan per-

kotaan, khususnya permukiman ku-muh,

masih harus melalui perjalanan yang

cukup panjang, seiring dengan dinamika

perkembangan kotanya. (Joe&Endah)

Upaya revitalisasi City Walk kawasan Jalan Slamet Riadi kota Solo. (Foto:Istimewa)

Page 42: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH42

GALERIFOTO

Volume 37 • KIPRAH42

Paviliun Indonesia tampak depan.(Foto:Lis)

Warna warni payung menghiasiPaviliun Indonesia. (Foto:Lis)

Pembukaan Paviliun oleh Menko PerekonomianHatta Rajasa. (Foto:Lis)

Tari Pendet Bali. (Foto:Lis)

Antrian pengunjung Paviliun Indonesia. (Foto:Lis)

Anyaman bambu sebagaipelengkap bangunan. (Foto:Lis)

Keanekaragaman biota lautIndonesia. (Foto:Lis)

World Expo Shanghai merupakan ajang

berkumpulnya masyarakat dunia untuk

berbagi pengalaman dan keberhasilan di bidang

ekonomi, sosial, budaya dan teknologi. Expo yang dibuka

selama 6 bulan dimulai sejak 1 Mei 2010 dan akan berakhir

31 Oktober 2010 ini resmi dibuka oleh Presiden RRC Hu

Jintao pada jumat (30/4). Luas area expo seluruhnya 5,28

km2, terletak di tengah kota dan di tepi sungai Huang Pu,

di antara jembatan Nan Pu dan jembatan Lu Pu. Kurang

lebih 200 negara dan 47 organisasi International akan

mengikuti World Expo ini. Tema expo kali ini adalah Better

City, Better Life yang mempunyai arti kota membuat

kehidupan yang semakin membaik. Tema pavilion dalam

World Expo ini terbagi 5 (lima), yakni Urban Footprints,

Urban Planet, Urban Dwellers, Urban Beings, and Urban

Dreams

Paviliun Indonesia seluas 4.000 m2 dengan bangunan 2400

m2, mempunyai tema BioDiverCity. Tema itu diambil dari

rangkaian kata Bio (kehidupan) – Diverse (keanekaraga-

man) dan City (kota) yang menghadirkan keanekaraga-

man budaya Indonesia dengan menampilkan keharmo-

nisan antar manusia dan lingkungannya. Paviliun Indone-

sia menampilkan desain tropis kontemporer yang

melambangkan keterbukaan melalui material bambu.(Lis)

Page 43: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

43KIPRAH • Volume 37

GALERIFOTO

43KIPRAH • Volume 37

Meriahnya acarapembukaan

World Shanghai Expo2010

Paviliun Belanda. (Foto:Lis)Paviliun Latvia. (Foto:Lis)

Paviliun Ukraina. (Foto:Lis)Paviliun Afrika. (Foto:Lis)

Paviliun Estonia. (Foto:Lis) Paviliun UK. (Foto:Lis)

Urban Planet. (Foto:Lis)

Page 44: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH44

Apa yang orang jumpai di Lombok,

belum tentu ada di Bali.

Sebaliknya, apa yang orang jumpai

di Bali, pasti ada di Lombok. Ini berarti

Lombok lebih lengkap daripada Bali,

demikian promo seorang teman yang

memang asli orang Lombok. Sebagai

contoh, di Lombok orang bisa menjumpai

Pura, tetapi di Bali orang tidak akan

menemukan rumah-rumah adat Suku

Sasak.

Dari segi itu, bisa jadi benar. Lombok,

dengan daerah wisata andalan Pantai

Senggigi dan Gunung Rinjani, juga mem-

punyai Pantai Kuta yang bahkan lebih

menarik dari Kuta Bali karena selain

pantainya masih bersih, pasirnya juga

putih. Di beberapa lokasi, bahkan butiran-

butiran pasirnya sebesar merica. Oleh

warga setempat, butiran-butiran pasir itu

dijual kepada wisatawan dalam wadah

Melongok Lombok

“I love the blue of Indonesia......” Masih ingat jingle salah satu iklan produk rokok barusan? Jingle ituyang spontan meluncur dari mulut ketika mata disuguhi pemandangan birunya Pantai Senggigi.

botol yang bisa digunakan sebagai hiasan

di dalam rumah.

Selain itu, Lombok juga memiliki bebe-

rapa obyek wisata lain yang sangat

menarik, di antaranya Gili Terawangan, Gili

Meno, Gili Air, Gili Nangu, Gili Sundak, Gili

Tangkong, Cakranegara, Sentanu, Tete-

batu, Air Terjun Sendang Gile, Hutang

Monyet Pusuk, Taman Narmada, dan

Taman Mayura.

Soal makanan khas, kalau di Yogya terkenal

dengan gudegnya, di Lombok terkenal

dengan Plecing Kangkung dan Ayam

Taliwangnya. Kedua jenis makanan itu

berbumbu sambal dengan bahan dasar

cabe atau lombok. Tetapi jangan terus

menyamakan sifat orang Lombok dengan

cabe yang biasanya pedas dan panas. Ini

karena menurut bahasa setempat, ber-

dasarkan keterangan H. Lalu Suhaemie

dari Dinas Pariwisata Lombok Barat,

lombok berarti lurus. “Jadi bukan karena

masakannya pedas-pedas, maka wilayah

bagian NTB itu dinamai Lombok. Kesa-

lahpahaman itu yang harus dibetulkan,

juga pendapat bahwa orang Lombok itu

keras (panas) sesuai dengan nama dae-

rahnya,” tegasnya.

Pulau Seribu Masjid

Pulau Lombok memiliki luas 5.435 km2,

berdasarkan sensus tahun 2001, memiliki

jumlah penduduk sebanyak 2.722.123 jiwa.

Hampir 90% penduduknya beragama Is-

lam. Berbeda dengan Bali yang karena

mayoritas penduduknya beragama Hindu,

maka amat banyak dijumpai Pura sebagai

tempat beribadah sehingga dikenal

dengan Pulau Seribu Pura, maka Lombok

dengan mayoritas penduduknya yang

beragama Islam dikenal dengan Pulau

SELINGAN

Pantai Kuta, Lombok. (Foto: Remo)

Page 45: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

45KIPRAH • Volume 37

Seribu Masjid karena banyaknya masjid

yang tersebar di daerah itu. Suatu lang-

kah yang berani, mengingat wisatawan,

utamanya asing, dan masih sering meng-

kaitkan antara masjid, Islam dengan

terorisme. Apalagi bom Bali yang menelan

ratusan korban beberapa tahun lalu

sempat membuat Bali sepi dari turis.

Namun, Suhaemie optimistis sebutan

Pulau Seribu Masjid bagi Lombok tidak

akan menghalangi kedatangan turis lokal

maupun asing. Hal Ini karena peran ulama

dengan tokoh adat dan pemerintah saling

bersinergi. “Islam itu rahmatan

lil alamin. Jadi, siapapun yang

kemari, monggo. Gak diganggu,”

ujar Suhaemie, yang mengaku

pernah sukses mendatangkan

satu kapal berisi dua ribu turis

yang berangkat dari Benoa, Bali,

dan sebuah kapal turis yang

datang langsung dari Darwin

Australia.

Lebih dari itu, sasaran turis lain

yang berpotensi bagi Lombok,

selain Australia dan negara-

negara dari benua lain, juga turis-

turis dari negara-negara di Timur

Tengah, seperti Dubai. Negara

ini konon bahkan be-rencana

menanamkan modalnya untuk mem-

bangun sebuah resor di Lombok.

Festival Senggigi

Berkunjung ke Lombok bisa kapan saja.

Setiap hari ada penerbangan langsung,

baik dari Bali, Jakarta, maupun dari

Surabaya. Dari Bali bahkan bisa dicapai

dengan kapal feri yang melayani penum-

pang setiap 30 menit sekali dengan waktu

tempuh kurang lebih empat setengah

jam. Dengan pesawat, perjalanan dari

Jakarta bisa ditempuh dalam waktu

kurang lebih dua jam, dari Surabaya

sekitar 40 menit, sedangkan dari Bali hanya

selama 20 menit.

Dari Bandara Selaparang umumnya wisa-

tawan langsung menuju ke Senggigi yang

bisa ditempuh dengan taksi atau mobil

pribadi dalam waktu kurang lebih 30

menit. Di sepanjang Pantai Senggigi

banyak dijumpai hotel dari mulai kelas

melati hingga bintang lima. Untuk urusan

makan, wisatawan juga tidak perlu bi-

ngung, karena banyak restoran yang

berderet di sepanjang jalan, dari ukuran

kecil hingga besar.

Setiap bulan Juli, bertepatan dengan

musim liburan, Pemerintah Daerah

Lombok menggelar Festival Senggigi

yang menampilkan kesenian dan kebu-

dayaan setempat. Dipilih Senggigi sebagai

turis itu merupakan suatu permainan adu

fisik dengan menggunakan perisai se-

bagai tameng dan pemukul dari rotan.

Dua pemain yang diadu diambil dari

penonton.

Menurut Suhaemie, Perisaian sebe-

narnya merupakan permainan rakyat

yang dilakukan sebagai ritual untuk

mendatangkan hujan. Setiap musim

kemarau yang panjang, dimana daerah-

daerah sudah mulai mengalami keke-

ringan, masyarakat Lombok melakukan

atraksi Perisaian. Dengan saling me-

nyerang dan memukul hingga

berdarah-darah, diharapkan

Tuhan menyirami mereka de-

ngan menurunkan hujan. Na-

mun, sekarang ini Perisaian

selain dilakukan untuk tujuan

ritual juga ditampilkan sebagai

hiburan.

Pemain Perisaian terdiri dari

dua orang yang dipimpin oleh

satu wasit. Pertarungannya

sendiri dilakukan dalam empat

babak atau ronde. Layaknya

tinju, setiap ronde mereka

diberi kesempatan untuk be-

ristirahat selama beberapa

menit. Pada ronde ke empat,

wasit akan memutuskan siapa yang

menang dan siapa yang kalah. Kadang-

kadang tidak sampai empat ronde wasit

sudah bisa memutuskan pemenangnya

apabila salah satu pemain menyerah.

Saling pukul dan sabet di antara pemain

terjadi begitu cepat karena goresan

merah di pinggang ataupun di perut tahu-

tahu terlihat pada saat pemain be-

ristirahat di setiap ronde. Seperti tinju,

sekali-sekali wasit harus memisahkan

kedua pemain saat adu pukulnya

terlalu rapat dan dirasa membaha-

yakan. Yang menarik, setiap kali dipi-

sahkan satu sama lain, masing-masing

pemain akan menari-nari dengan gaya

yang khas. Selanjutnya, pertandingan

diakhiri dengan saling berpelukan

setelah salah satu pemain dinyatakan

sebagai pemenang. (Patitis SR)

SELINGAN

Perisaian. (Foto: Remo)

tema festival karena daerah tersebut

masih merupakan pendongkrak utama

pendapatan asli daerah (PAD) NTB.

Festival yang dimulai sejak tahun 2003 itu

terus menggeliat dan berkembang sam-

pai sekarang. Yang tadinya hanya bersifat

lokal, dengan diikuti oleh 15 kecamatan

di Lombok Barat, sekarang sudah diikuti

oleh beberapa kabupaten kota di NTB.

Festival tersebut dimaksudkan untuk

meningkatkan dan menge-nalkan nilai-

nilai budaya masyarakat Lombok.

Perisaian

Salah satu atraksi yang dipertontonkan

setiap hari, dari mulai jam 16.00 waktu

setempat hingga maghrib, adalah Peri-

saian. Pertunjukan yang banyak menye-

dot perhatian masyarakat, termasuk para

Page 46: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH46

TAHUKAHANDA

Tridaya

Pendekatan pembangunan permukiman

dengan tiga sasaran pemberdayaan

sebagai satu kesatuan upaya, yaitu pem-

berdayan masyarakat, pemberdayaan

lingkungan, dan pemberdayaan kegiatan

usaha.

Ventilasi udara

Lubang yang berfungsi mengeluarkan

gas yang terakumulasi dalam pipa untuk

menyesuaikan tekanan udara dalam

saluran atau manhole menjadi sama

dengan tekanan udara luar.

NUSSP (Neighborhood Upgrading and

Shelter Sector Project)

Kegiatan penanganan perumahan dan

permukiman kumuh dengan meng-

gunakan dana pinjaman dari Asian Deve-

lopment Bank.

Permukiman Kumuh

Lingkungan permukiman yang telah

mengalami penurunan kualitas atau

memburuk, baik secara f isik, sosial

ekonomi, maupun sosial budaya.

Sarut ( Saringan air rumah tangga)

Prasarana untuk pengolah air tanah atau

air permukaan yang mempunyai kulitas

sesuai dengan kriteria tertentu atau

menjadi air bersih.

Lingkungan Permukiman

Bagian dari lingkungan hidup di luar

kawasan lindung, baik yang berupa

kawasan perkotaan maupun perdesaan

yang berfungsi sebagai lingkungan

tempat tinggal atau lingkungan hunian

dan tempat yang mendukung perike-

hidupan dan penghidupan.

KLB (Koefisien Lantai Bangunan)

Koefisien perbandingan antara luas

seluruhan lantai bangunan gedung dan

luas persil/ kaveling/blok peruntukan.

Rusunami (rumah susun sederhana milik)

Bangunan bertingkat yang dibangun

dalam satu lingkungan tempat hunian

yang memiliki WC dan dapur, baik me-

nyatu dengan unit maupun bersifat publik,

dan diperoleh melalui kredit kepemilikan

rumah dengan subsidi maupun tanpa

subsidi.

Kasiba (Kawasan Siap Bangun)

Sebidang tanah yang f isiknya telah

dipersiapkan untuk pembangunan peru-

mahan dan permukiman skala besar yang

terbagi dalam satu lingkungan siap

bangun atau lebih dan pelaksanaanya

dilakukan secara bertahap yang lebih

dahulu dilengkapi dengan jaringan primer

dan sekunder.

Prasarana lingkungan sesuai dengan

rencana tata ruang lingkungan yang

ditetapkan oleh Kepala Daerah dan

memenuhi persyaratan pembakuan

pelayanan prasarana dan sarana ling-

kungan.

Gentrifikasi

Perubahan stratifikasi sosial; stratifikasi

penduduk kota tingkat bawah dari ka-

Permukiman liar di sepanjang bantaran rel kereta api, di daerah Papanggo Jakarta Utara. (Foto:Joe)

Page 47: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

47KIPRAH • Volume 37

TAHUKAHANDA

Untuk dapat menarik pengunjung

untuk makan ke restoran,

biasanya pihak restauran meng-

ubah gaya restorannya menjadi lebih unik

dan aneh. Banyak cara yang dilakukan

untuk mengubah

restoran menjadi

sesuatu yang unik,

seperti menam-

bah suasana pede-

saan pada resto-

ran, menambah-

kan karaoke, me-

nyediakan maka-

nan ekstrim, dan

masih banyak lagi.

Dan percaya ga

percaya, ternyata

ada seorang pemi-

lik restoran yang membangun restoranya

di atas pohon. Lho? kok bisa? Ya, tentu

saja bisa. Restoran ini ada di Okinawa,

Jepang. Restoran ini berdiri di atas pohon

Gajamaru dengan ketinggian 20 kaki.

Yang unik...Restoran ini sangat ramai karena selain

konsepnya yang unik dan kreatif, res-

toran ini hanya berjarak beberapa kilo-

meter dari bandara Okinawa, sehingga

banyak turis yang menyempatkan diri

untuk makan di restoran ini.

Di restoran ini, kalian bisa memesan

beraneka jenis makanan Asia seperti

makananJepang, Korea, China, India, dan

Asia Tenggara. Dan perlu diketahui,

ternyata pohon yang dijadikan penumpu

retoran ini adalah pohon asli lho. Pohon

ini memang sangat besar dan kuat

sehingga sanggup untuk menahan beban

bangunan restoran ini.

Berminat untuk makan di restoran ini?

Silahkan datang ke Okinawa, Jepang.(Iip)

wasan kumuh di daerah tengah kota yang

kemudian menjadi permukiman mewah

lengkap dengan segala fasilitas kehidupan

bagi golongan yang mapan, kaum ekse-

kutif profesional, ekonomi kuat, dsb

Kawasan Kumuh

Bagian yang terabaikan dalam pemba-

ngunan perkotaan yang ditujukan dengan

kepadatan penduduk yang tinggi, kondisi

lingkungan yang tidak layak huni dan tidak

memenuhi syarat, serta minimnya fasi-

litas pendidikan, kesehatan, dan sarana

pra-sarana sosial budaya.

UDGL ( Urban Design Guidelines)

Suatu perangkat pengaturan berupa

panduan/arahan desain tata bangunan

berikut lingkungannya untuk suatu ka-

wasan/bagian kota tertentu.

Materi panduan rancang kota yang

bersifat spesifik sesuai keragaman yang

ada antara suatu kawasan dengan kawa-

san yang lain. Umumnya, rumusan yang

tertulis di dalam suatu panduan rancang

kota dibuat sedemikian rupa tanpa

mengurangi kreativitas arsitek.

Squatter (Penghuni Liar)

Orang-orang atau kelompok orang yang

menghuni atau menempati suatu kawa-

san, lahan, atau bangunan tanpa ijin resmi

Slums ( Kawasan Kumuh legal)

Suatu kawasan permukiman yang dilihat

dari keabsahan keberadaanya yang tidak

melanggar hukum.

Beberapa fakta tentang permukiman

kumuh:

1. Kondisi hunian rumah dan permu-

kiman serta penggunaan ruang tidak

memenuhi persyaratan yang layak

untuk tempat tinggal, baik secara

fisik, kesehatan, maupun sosial.

2. Fasilitas umum yang kondisinya

kurang dan tidak memadai.

3. Adanya tingkat frekuensi dan kepa-

datan volume yang tinggi dalam

penggunaan ruang yang ada di per-

mukiman kumuh sehingga men-

cerminkan adanya kesemrawutan

tata ruang dan ketidakberdayaan

ekonomi penghuninya.

4. Permukiman kumuh merupakan

suatu satuan-satuan komunitas yang

hidup secara tersendiri dengan

batas-batas kebudayaan dan sosial.

5. Penghunian permukiman kumuh

secara sosial dan ekonomi tidak

homogen.

6. Sebagian besar penghuni permu-

kiman kumuh adalah mereka yang

bekerja di sektor informal atau

mempunyai mata pencarian tamba-

han di sektor informal. (Iip)

Page 48: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH48

JELAJAH

Menteri Pekerjaan Umum, Djoko

Kirmanto, menyambut baik

upaya pengerukan flood way

Sedayu Lawas di Lamongan, Jawa Timur,

yang hasilnya dapat mengurangi dampak

banjir akibat luapan sungai Bengawan

Solo. “Banjir Sungai Bengawan Solo yang

kerap melanda wilayah Cepu, Bojone-

goro, Babat, Lamongan, hingga Gresik

untuk tahun ini dapat diminimalisir berkat

selesainya pengerukan bangunan sode-

tan (flood way) Sedayu Lawas sepanjang

12.500 meter oleh Balai Besar Wilayah

Sungai (BBWS) Bengawan Solo,” ujar

menteri saat meninjau prasarana pengen-

dali banjir di Lamongan, Jawa Timur awal

April lalu.

Graita Sutadi, Kepala BBWS Bengawan

Solo, dalam laporannya mengatakan, tak

Flood Way Dikeruk,Banjir pun Berkurang

kurang dari 1,4 juta M3 sedimen yang

harus diangkat dari badan saluran yang

selama ini menjadi salah satu penghambat

atau penyebab terjadinya banjir dan

genangan di daerah Bojonegoro dan

Lamongan. Untuk itu, dibutuhkan dana

sekitar Rp 23 milyar berasal dari dana

stimulus APBN 2010.

“Bangunan sodetan ini, sejak selesai

dikerjakan tahun 2001 oleh Proyek Induk

Pengembangan Wilayah Sungai Benga-

wan Solo waktu itu, belum pernah

dilakukan pengerukan, sehingga sedi-

mennya sangat tinggi dan menghambat

aliran air Bengawan Solo menuju pantai

utara laut Jawa,” ujarnya.

Padahal flood way ini dirancang untuk bisa

mengalirkan air Bengawan Solo dengan

debit sebesar 640 M3 per detik, namun

karena tiadanya dana operasi dan peme-

liharaan (O&P), fungsinya menjadi me-

nurun dan hanya mampu mengalirkan air

dengan debit 230 hingga 416 M3 per detik.

Akibatnya, banjir dan genangan selalu

datang saban tahun setiap musim hujan

tiba, terutama di wilayah Bojonegoro dan

Lamongan.

“Fakta menunjukan bahwa masalah O&P

sangatlah penting. Tak kalah pentingnya

dengan pembangunan,” tegas Graita.

Bahkan, terhadap bangunan yang telah

selesai dibangun seharusnya langsung

diikuti dengan kegiatan pengelolaan,

termasuk pemeliharaan O&P-nya. Apalagi

di banyak tempat, bangunan prasarana

SDA sudah berusia tua, sementara O&P

terbatas, maka fungsinya menurun,

Kegiatan pengerukan flood way Sedayu Lawas untuk mengangkat volume sedimen sebesar 1,4 juta m3. (Foto:Dok.)

Page 49: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

49KIPRAH • Volume 37

JELAJAH

seperti terjadinya pendangkalan, rusak-

nya bangunan, atau kebocoran.

Padahal kata Graita, untuk menjaga

kelangsungan bangunan agar tetap stabil

dan dapat berfungsi secara efektif,

pemeliharaan dan pengawasan harus

dilakukan secara periodik dan berkesi-

nambungan. Kegiatan ini harus diutama-

kan dan menjadi perhatian khusus.

Sebelum terlambat.

Melihat permasalah itu, BBWS Benga-

wan Solo melakukan normalisasi sungai

dengan mengeruk sodetan sepanjang

12.500 meter, lebar dasar 100 meter,

kemiringan lereng 1 : 1,5 dan volume

galian 1,4 juta M3. Lokasinya mulai dari

Kecamatan Laren, Kabupaten Lamo-

ngan, hingga Kecamatan Brondong,

Kabupaten Tuban, dan rampung diker-

jakan selama 20 minggu kalender oleh

PT Adhi Karya.

Waduk Pacal

Pengerukan juga dilakukan terhadap

bangunan 4 pintu intake Waduk Pacal di

Bojonegoro akibat tertimbun sedimen,

sehingga air dari waduk tak bisa mengalir

ke saluran pembawa. Petani menjadi

resah karenanya, khawatir gagal tanam

pada MT berikutnya. Waduk ini dibangun

sejak jaman Belanda (1927-1933), ber-

fungsi untuk mengairi sawah seluas

16.600 hektar, selain untuk perikanan

darat dan kegiatan pariwisata.

Namun, karena keterbatasan dana peme-

liharaan, maka banyak bangunan yang

rusak atau fungsinya menurun. Misalnya

timbunan sedimen di 4 pintu intake ( 2

pintu pengambilan dan 2 pintu penguras)

telah mengganggu pasokan air karena

pintunya tertutup dan tertimbun sedi-

men setebal 10 meter.

Agar pintu bisa beroperasi kembali, pihak

BBWS Bengawan Solo mengambil

langkah strategis dengan melakukan

pengerukan sedimen di depan pintu

pengambilan. Tak kurang dari 30.000 M3

sedimen harus diangkat dari dasar waduk

dengan mengerahkan berbagai macam

alat berat mulai dari dreager, eksavator,

hingga kapal keruk yang dibantu tenaga

penyelam marinir dari Surabaya. Ke-

giatan tersebut dikerjakan selama 2 bulan

(Februari-Maret 2010) dengan dana

stimulus APBN sebesar Rp 4 milyar.

Kini, masyarakat petani di Lamongan dan

Bojonegoro merasa bersyukur dan gem-

bira atas beroperasinya kembali Waduk

Pacal yang menjadi dambaan mereka

selama ini, terutama pada saat mem-

butuhkan air. (Joe)

Graita Sutadi, Kepala Balai BesarWilayah Sungai Bengawan Solo.

(Foto: Joe)

(Sumber: BBWS Bengawan Solo)

Page 50: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH50

JELAJAH

Meski telah dibangun prasarana

sumber daya air, berupa

waduk, bendung, dan jaringan

irigasi berserta bangunan pelengkapnya,

tetapi pelayanannya tak dapat menjamin

daerah hilir bebas dari banjir atau air

irigasinya mencukupi di saat dibutuhkan.

Kepala Balai Besar W ilayah Sungai

(BBWS) Bengawan Solo, Graito Sutadi,

menginformasikan waduk didesain untuk

100 tahun, termasuk kemampuan me-

nampung sedimen. “Namun, baru 25

tahun dead storage telah terisi sedimen

lebih dari 60 persen,” katanya.

Waduk Gajah Mungkur di Kabupaten

Wonogiri mulai dibangun tahun 1977

Menyelamatkan Waduk,

Bengawan Solo adalah sebuah ironi. Tatkala musim hujan tiba, sungai terpanjang di pulau Jawa (527kilometer) itu pun mendatangkan penderitaan. Sawah, ladang, rumah, bangunan, terendam. Jalan danrel kereta api tidak dapat dilalui. Sebaliknya ketika kemarau, Bengawan Solo tidak banyak membantumasyarakat. Ketinggian air permukaan tidak cukup tinggi untuk menjangkau saluran irigasi. Petani

terpaksa mengangkat air dengan mesin pompa, sehingga biaya produksi menjadi tinggi, padahal petaniharus bercocok tanam karena hidup harus berlanjut.

Menolong Kehidupan

hingga selesai tahun 1982 yang meneng-

gelamkan puluhan desa pada wilayah

seluas 8.800 hektar. Dalam perjalannya

selama 28 tahun beroperasi, kemampuan

Gajah Mungkur kian menurun, terutama

karena sedimentasi akibat rusaknya DAS

di daerah hulu di kawasan Pegunungan

Seribu.

Setidaknya, terdapat delapan sungai

yang dibendung oleh Waduk Gajah Mung-

kur, yaitu Keduang, Tirtomoyo, Temon,

Solo Hulu, Alang, Unggulan, Wuryantoro,

dan Remnam yang berpengaruh ter-

hadap ketersediaan air waduk. Dari

delapan sungai tersebut, Sub DAS Kahi

Keduang merupakan kontributor ter-

besar penyumbang sedimen. Alirannya

langsung masuk ke arah mulut pintu in-

take sehingga mengganggu operasional

kerja waduk secara keseluruhan.

Secara kasat mata di hulu sepanjang alir-

an Kali Keduang di sana-sini memang

telah terjadi longsoran akibat budi daya

tanaman rakyat. Erosi berupa material

tanah, pasir, kerikil, batu, dan pohon yang

longsor itu langsung masuk ke sungai dan

akhirnya mengendap di waduk.

Hal ini membuktikan bahwa kebutuhan

ekonomi jangka pendek masyarakat

setempat dalam bentuk penanaman

lereng bukit berhadapan dengan

kebutuhan ekonomi jangka panjang

warga di sepanjang aliran Bengawan Solo

Bendung Colo, Nguter Kab. Wonogiri mampu mengairi areal sawah irigasi teknis seluas 27.000 ha, masing-masing di Daerah Irigasi Kab. Klaten,Sukoharjo, Sragen, dan Karanganyar, Jawa Tengah. (Foto:Dok.)

Page 51: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

51KIPRAH • Volume 37

JELAJAH

yang melewati 23 kabupaten. Warga di

hilir Bengawan Solo jelas berkeinginan

waduk optimal, sehingga sawah terairi

sekaligus banjir dapat dikendalikan.

Dengan demikian, mereka dapat panen

dan harta bendanya utuh. Itulah yang

menjadi akar permasalahan pendang-

kalan waduk. Di sisi lain, masyarakat di hulu

kemudian justru menghendaki adanya

kompensasi atas pengorbanannya selama

ini. “Perlu penanganan secara arief dan

bijak dalam memecahkan masalah ini,

yaitu dengan memperhatikan dan mem-

bantu prasarana infrastruktur, seperti

perbaikan lingkungan permukiman,

pelayanan air bersih, dan bantuan lain-

nya,” ujar Graito.

Di bidang fisik langkah kongkrit yang

dilakukan, pihak BBWS Bengawan Solo

berencana membangun dam penangkap

sedimen (debris dam) di hilir Kali Ke-

duang, yang berfungsi sebagai kantong

lumpur, sebelum masuk ke Waduk.

Melalui upaya ini, diharapkan dapat

menangkal sedimen yang selama ini

mengancam kelestarian waduk. Upaya

lainnya, pihak Perum Jasa Tirta (PJT) I

selaku pengelola waduk melakukan

pengerukan secara rutin dan berkala agar

waduk tetap berfungsi meski biayanya

cukup mahal, seperti diungkap Suwar-

tono, Direktur Pengelolaan PJT I, Wilayah

Bengawan Solo.

Sedangkan di hilir Bengawan Solo, untuk

mengurangi banjir, pihak BBWS melaku-

kan peninggian sejumlah tanggul dan

pengerukan saluran flood way sebanyak

1,4 juta meter kubik di Sedayu Lawas,

Lamongan. Selain itu, juga dilakukan

normalisasi sungai (Grompol dan Mang

kang) di wilayah Kabupaten Sragen dan

sejumlah sungai di Madiun. Langkah lain

adalah pengerukan sedimen di depan

pintu outlet Waduk Pacal untuk menjamin

pasokan air irigasi agar masa tanam petani

tidak terganggu.

Rusaknya DAS Hulu

Akibat rusaknya lingkungan DAS hulu

Bengawan Solo, telah menyebabkan

sumber air di daerah hulu terus ber-

kurang, sungai-sungai banyak yang

kering, terutama di musim kemarau.

Semakin berkurangnya sumber air di

kawasan hulu itu, menurut Ruhban

Rozziyanto, Kabid Operasi dan Peme-

liharaan BBWS Bengawan Solo, diaki-

batkan oleh penutupan vegetasi yang

sangat rendah sehingga air hujan tidak

dapat ditampung di dalam tanah karena

kadar bahan organiknya rendah.

Berkurangnya persediaan air juga akibat

kemampuan infiltrasi air ke dalam tanah

rendah, lanjutnya sehingga aliran air

langsung masuk ke sungai dan waduk

dengan membawa material sedimen.

Sedimen memang kaya unsur hara

sehingga menyuburkan sawah. Tetapi,

yang sangat berpengaruh terhadap

produksi pangan nasional.

Melihat kompleksnya masalah yang diha-

dapi, PU jelas tidak mampu sendirian

melestarikan waduk. “Kami dibantu

instansi lain, pemda, dan masyarakat serta

dunia usaha mengerahkan aksi tanggung

jawab sosial melestarikan DAS,” ujar

Graito.

Konservasi

Menurut Graito Sutadi, untuk memper-

panjang usia waduk agar tetap berfungsi,

hal utama yang harus dijaga adalah

kelestarian lingkungan atau konservasi

hutan di DAS. Penanaman pohon me-

rupakan hal paling utama untuk mem-

pertahankan usia waduk tetap berfungsi.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41

tahun l999 tentang Kehutanan, luas

hutan untuk mendukung keseim-bangan

ekosistem minimal 30 persen dari luas

wilayah. Luasan hutan itulah yang men-

jamin ketersediaan sumber daya air.

Bekerja sama dengan Departemen Ke-

hutanan, Departemen Pertanian, pemda

dan BUMN, pihak BBWS Bengawan Solo

melakukan penghutanan kembali pada

daerah-daerah kritis dengan melibatkan

masyarakat secara langsung mulai dari

perencanaan, pelaksanaan, hingga pe-

manfaatan.

Pembangunan check dam pengendali

sedimen, ground sill, perkuatan tebing,

pembuatan teras bangku, dan sosialisasi,

merupakan sedikit contoh kongkrit

penanganan daerah hulu, secara struk-

tural dan non struktural. GNKPA pun

terus digiatkan dengan melibatkan

seluruh pemangku kepentingan, ter-

masuk masyarakat.

Melalui cara seperti ini, diharapkan

longsoran tebing-tebing sungai di daerah

tangkapan air menjadi berkurang, se-

hingga sedimen tidak masuk ke tam-

pungan waduk. Dengan demikian, se-

lamatnya waduk berarti pula menolong

banyak orang dalam kehidupan. (Joe)

sedimen juga mengganggu operasional

kerja waduk dan pembangkit listrik

tenaga air (PLTA). Buruknya perawatan

waduk, yang ditandai sedimentasi tinggi,

juga mengurangi peran fungsi waduk

untuk mengairi sawah. Sebaliknya, ketika

musim hujan ketinggian air di luar per-

kiraan sehingga dapat menjebol tanggul

dan mengakibatkan banjir.

Padahal di DAS utama Bengawan Solo,

terganggunya peran Waduk Gajah Mung-

kur juga mengancam ketahanan pangan

nasional. Setidaknya bagi 27.000 hektar

sawah irigasi teknis yang terdapat di

Jateng, apalagi di DAS Bengawan Solo

(Jatim) dimana terdapat 70.000 hektar

Untuk memperpanjang usiawaduk agar tetap berfungsi,hal utama yang harus dijaga

adalah kelestarianlingkungan atau konservasi

hutan di DAS.

Penanaman pohonmerupakan hal yang palingpenting agar waduk tetapberfungsi sesuai rencana.

(Graito Sutadi)

Page 52: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH52

Manado, kota pantai yang

terkenal dengan Bunakennya,

terus berkembang pesat, ter-

lebih setelah sukses menggelar konferensi

tingkat dunia World Ocean Conference

(WOC). Berdasarkan pengamatan singkat,

terjadi kepadatan lalu lintas di beberapa

titik di pusat kota akibat lalu lintas angkot

yang tidak tertib dan juga pengaruh jumlah

kendaraan serta kapasitas jalan. Terkait

dengan upaya kemacetan itu, di Manado

sendiri sebenarnya telah banyak upaya

pemerintah untuk mengatasinya.

Salah satunya, dengan pembangunan

Jalan Lingkar atau yang biasa disebut seba-

gai Ring Road. Jalan lingkar itu ditujukan

Manado Benahi Akses Jalan

untuk membuat jalur alternatif akibat

makin padatnya arus di pusat kota serta

melancarkan arus lalu lintas regional dari

luar kota Manado menuju Bandara Sam

Ratulangi dan Pelabuhan Peti Kemas

Bitung. Jalan mulus ber-hotmix di Manado

Ring Road Tahap I kini telah dapat

dinikmati oleh pengendara.

Ring Road tahap I itu dimulai dari titik nol

Kelurahan Molas hingga Bengkol sepan-

jang 25 km. Sementara itu, untuk Manado

Ring Road Tahap II sepanjang 8 Km masih

dalam proses. Di sisi lain, Manado Ring

Road Tahap III dan IV sepanjang masing-

masing 10 Km kini tinggal menunggu

penyelesaian.

Tak hanya jalan lingkar, sebagai peleng-

kap sistem jaringan Manado Ring Road sisi

Barat sedang dilakukan proyek besar,

yakni pembangunan jembatan Soekarno

serta jalan Boulevard (tahap II). Pemba-

ngunan Jembatan Soekarno sendiri

memiliki panjang sekitar 625 Meter,- lebar

7 meter serta tinggi 18 meter dan

menelan biaya sekitar Rp225 miliar dari

dana APBN murni.

Jembatan Soekarno melewati Sungai

Tondano dan merupakan bagian dari

Manado Ring Road yang menghubungi

Manado Utara – Manado Selatan. Diha-

rapkan nantinya jembatan mendorong

percepatan pembangunan di Sulut.

JELAJAH

Jembatan Soekarno dalam pengerjaan. (Foto:Lis)

Page 53: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

53KIPRAH • Volume 37

Nantinya, jembatan itu akan menjadi

Landmark Kota Manado sekaligus meru-

pakan sebagai jembatan terpanjang di

Kawasan Timur Indonesia (KTI).

Jembatan yang mulai dibangun sejak

jaman Presiden Megawati itu sampai saat

ini ternyata belum juga rampung. Kenda-

lanya, bagian tengah jembatan yang akan

menggunakan konstruksi cable stay harus

direview. Desainnya diharapkan selesai

akhir tahun 2010 ini, sehingga pemba-

ngunan jembatan itu akan selesai tahun

ini.

Selain itu, untuk memperlancar arus lalu

lintas arah pusat Kota Manado, kini

dilakukan juga pelebaran akses jalan dari

Bandara Sam Ratulangi. Pelebaran jalan

Manado-Mapanget sepanjang 11,8 km dari

dua lajur menjadi empat lajur dimak-

sudkan untuk meningkatkan kapasitas

ruas jalan Manado-Mapanget sebagai jalan

utama menuju Bandara Sam Ratulangi.

Tak hanya jalan dalam kota, pembangu-

nan jalan lintas dan jalan tol juga menjadi

prioritas. Pembangunan jalan tol Manado

– Bitung sangat diutamakan bagi kon-

sentrasi lalu lintas dari dan ke Pela-buhan

Laut Bitung menuju Manado.

Walau pembangunan jalan tol yang dinilai

sangat strategis itu pernah dilakukan

hingga dua kali, tetapi sampai sekarang

belum ada investor yang benar-benar

tertarik.

Kini, pemerintah pusat segera akan

membangun melalui tender ke pihak

swasta, apabila pembebasan tanah oleh

pemerintah daerah sudah dilakukan. Jika

tahun 2010 ini semua lahan sudah dibe-

baskan, maka tahun 2011 diharapkan jalan

tol itu sudah rampung.

Pembangunan jalan lintas trans Sulawesi

juga menjadi prioritas penting di Sulut.

Lintas barat Sulawesi diprioritaskan

mengingat pertumbuhan lalu lintasnya

sudah cukup tinggi dan merupakan simpul

pusat-pusat kegiatan ekonomi daerah

menuju outlet pelabuhan Makassar,

Parepare, dan pelabuhan Baru. Jalan

lintas ini menghubungkan wilayah Sula-

wesi Selatan – Sulawesi Barat - Sulawesi

Tengah – Gorontalo. Pada lintas barat yang

masih 4,5 meter dilakukan pelebaran jalan

dan jembatan menjadi lebar 6 dan 7

meter, sepanjang 1.260 Km. Pada tahun

2010 dilakukan kelanjutan penanganan

Lintas Barat yang masih tersisa 100 km.

Upaya pemerintah untuk membuat

infrastruktur agar kota Manado semakin

maju itu patut diacungi jempol. Kebe-

radaan Sulawesi Utara, yang secara

geografis berada di bibir Pasif ik dan

Manado sebagai pintu gerbangnya, harus

mendapat perhatian lebih terutama

dalam penataan infrastrukturnya.

Terlebih jika Manado hendak menjadi kota

pariwisata dunia dan akan berkembang

menjadi pusat pelayanan untuk wilayah

Kawasan Timur Indonesia (KTI), maka

pembenahan infrastruktur menjadi hal

penting yang harus dilakukan. Tak dapat

dipungkiri, kompetisi kota secara global

menuntut hal tersebut. (Lis)

JELAJAH

Usulan Program Infrastruktur PU

(Sumber : Sambutan Gubernur Sulut dalam pembukaan Konreg Wilayah Timur, Manado, 6 April 2010)

• Pembangunan Jalan bebas hambatan (tol) Manado-Bitung sepanjang 31 km khususnya pembebasan lahan

• Penyusunan FS Jalan bebas hambatan (tol) Manado-Tomohon

• Pembangunan tahap II Ring Road Kota Manado sepanjang 12 km

• Pembangunan jalan Boulevard Manado tahap II dari Jembatan Soekarno – TPI Tumumpa sepanjang 2,5 km

• Pembangunan dan peningkatan ruas Lintas Timur Pulau Sulawesi Girian – Taludaa/Batas Gorontalo sepanjang

390 km

• Pembangunan dan peningkatan ruas Lintas Barat Pulau Sulawesi Bitung – Atinggola/Batas Gorontalo sepanjang

345 km

• Peningkatan dan preservasi jalan-jalan di wilayah Kapet Manado-Bitung

• Pembangunan, peningkatan dan preservasi jalan nasional di pulau-pulau perbatasan antar negara

• Penyusunan FS Jembatan Bitung-Pulau Lembeh

• Penyelesaian Jembatan Soekarno

• Pelebaran ruas arteri dalam kota Manado

• Pembangunan Simpang Susun (Fly over) dalam kota Manado, Winangun, Kayuwatu dan Maumbi, Minahasa

Utara

• Pembangunan Simpang Susun (Fly over) dalam kota Manado menunjang terminal regional dan barang di

Liwas Ring Road Manado.

Provinsi Sulut

Page 54: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH54

Sebanyak 17 anggota Komisi V DPR-

RI yang dipimpin Muhidin

Muhammad Said selaku Ketua Tim

dalam rangka reses Masa Persidangan II

tahun sidang 2009–2010 melakukan

kunjungan kerja singkat ke Provinsi

Papua.

Karena kunjungan kerjanya hanya ber-

langsung tiga hari, tentu saja para wakil

rakyat tersebut tidak dapat melihat

kegiatan pembangunan infrastruktur

yang sedang berjalan secara lebih luas dan

Percepatan Pembangunan Jalan

Dalam masa reses Maret lalu, tim Komisi V DPR-RI melihat dari dekat pembangunan infrastruktur diprovinsi Papua sekaligus menyerap aspirasi dari daerah yang dikunjunginya itu. Reporter KIPRAH yang

mengikuti kunjungan tersebut, Etty Winarni, menuliskan laporannya seperti di bawah ini.

merata. Mereka turun ke lapangan hanya

di sekitar Jayapura. Proyek- proyek

pembangunan infrastruktur yang sempat

dilihat, antara lain Kawasan Perbatasan

dan Pos Lintas Batas Negara RI dengan

Papua New Guinea di SKOW, jalan

nasional Hamadi – Holtecam – Skow ,

Bendung Tami ( Irigasi ) dan Kantor Balai

Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah X

Propinsi Papua. Namun demikian, infor-

masi dan permasalahan Papua mereka

gali habis dalam kesempatan pertemuan

dengan jajaran pemda.

Dalam pertemuan yang berlangsung

cukup lama itu, Gubernur Papua, Barna-

bas Suebu, yang berhalangan hadir di

wakili oleh Ketua BAPPEDA. Hadir pula

dalam kesempatan tersebut, antara lain

Direktur Jalan dan Jembatan Wilayah

Timur Ditjen Bina Marga, Chaerul Taher,

para Kepala Dinas terkait, jajaran Pemda

Yahukimo, Pemda Puncak Jaya, Balai

Jalan Nasional Wilayah X, dan pejabat

lainnya.

Seperti biasanya, setelah pimpinan Tim

JELAJAH

di Papua Perlu Dana Rp 9,78 Trilyun

Peningkatan kapasitas pelabuhan Samudra Jayapura terus dilakukan. (Foto:Ind)

Page 55: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

55KIPRAH • Volume 37

menyampaikan maksud dan tujuan

kunjungan kerja, disusul jajaran Pemda

menyampaikan penjelasan hal-hal yang

berkaitan dengan daerahnya, aspirasinya,

problem yang dihadapidan lain seba-

gainya, para anggota mengajukan per-

tanyaan, melakukan dialog, dan meyakin-

kan bahwa aspirasi daerah bakal dibawa

ke Jakarta dan diperjuangkan ke kemen-

terian yang bersangkutan dalam kesem-

patan rapat kerja dengan para menteri

atau dalam kesempatan rapat dengar

pendapat umum dengan para pejabat

eselon satu. Dialog panjang yang cukup

intens dalam kunjungan kerja singkat ke

Papua ini tentu saja sebagai upaya para

wakil rakyat menampung aspirasi daerah

sebagai bahan masukan dalam penajaman

program dan upaya peningkatan pela-

yanan kepada masyarakat luas

Isolasi Pegunungan Tengah

Dalam kesempatan pertemuan itu, Pe-

merintah Kabupaten Yahukimo minta

perhatian serius baik dari provinsi,

kementerian PU maupun Komisi V DPR-

RI dalam rangka membuka isolasi wilayah

Pegunungan Tengah pada umumnya, dan

kabupaten Yahukimo khususnya, terha-

dap beberapa kabupaten yang berbatasan

langsung dengan Yahukimo, sebagai

upaya pembukaan akses antar wilayah,

dimana Yahukimo memiliki posisi yang

sangat strategis karena dikelilingi oleh 5

( lima ) kabupaten, yaitu Jayawijaya,

Pegunungan Bintang, Boven Digul, Asmat,

dan Mappi.

Dengan kondisi geografi yang sangat

strategis tersebut, Yahukimo dapat

berperan sebagai jalur distribusi barang

dan jasa di wilayah Pegunungan Tengah

dan sekitarnya, yang tentunya harus

ditunjang dengan penyediaan infra-

struktur wilayah yang baik, khususnya

infrastruktur jalan dan jembatan.

Dengan demikian, perhatian dan bantu-

an, baik dari Pemerintah Pusat maupun

Pemerintah Provinsi Papua, sangat diha-

rapkan guna mendukung Yahukimo dalam

rangka mewujudkan pembukaan isolasi

wilayah Pegunungan Tengah dan seki-

tarnya sehingga dengan sendirinya taraf

perekonomian masyarakat akan me-

ningkat.

Yang tidak kalah pentingnya adalah

pembukaan isolasi wilayah di kabupaten

Yahukimo dapat menunjang penang-

gulangan rawan pangan dan kelaparan

yang sering melanda Yahukimo dari tahun

ke tahun akibat tidak adanya akses jalan

darat dari Ibukota Kabupaten ke 51 distrik

di Yahukimo.

Untuk itu, Pemerintah Kabupaten Yahu-

kimo mengusulkan rencana kegiatan

pembangunan infrastruktur jalan dan

jembatan dengan total kebutuhan dana

sekitar Rp 1.219.788.563.000,- untuk

pembangunan jalan Logpon – Suator

sepanjang 60 km, pembangunan jalan

Dekai- Seredala , 56 km, pembangunan

jalan Dekai- Sumo – Wamena, 128 km,

pengaspalan jalan dalam kota 164 km

serta pengaspalan jalan Dekai – Logpon

sepanjang 18,50 km.

Demikian pula halnya Pemerintah Kabu-

paten Puncak Jaya, yang juga perlu

mendapatkan perhatian yang sama

seperti kabupaten Yahukimo.

Penanganan Jalan

Sejak dulu, provinsi Papua mengandalkan

modal transportasinya berupa trans-

portasi udara. Kondisi geografis dan

sebaran penduduknya membuat trans-

portasi udara tersebut sampai saat ini

dipandang sebagai transportasi paling

efektif untuk menjelajah wilayah ini.

Resikonya, biaya memang tinggi dan

harga serba mahal karena semua kebu-

tuhan diangkut melalui udara. Lihat saja,

harga semen di Jayapura satu sak Rp 75

ribu, di Wamena harganya Rp 585.000 dan

di Puncak Jaya, satu sak semen mencapai

Rp1,2 juta.

Biaya subsidi penerbangan Jayapura –

Wamena per tahunnya mencapai Rp 350

milyar atau sekitar 47 prosen APBD

Kabupaten Jaya Wijaya. Transportasi

udara menjadi pilihan utama karena pada

kenyataannya infrastruktur jalan yang ada

saat ini sangat tidak sebanding dengan

luas wilayah Papua tersebut. Oleh

karenanya, menurut Chaerul Taher,

direktur Jalan dan Jem-batan wilayah

Timur Ditjen Bina Marga Kementerian

Pekerjaan Umum, pihaknya mulai tahun

2010 ini melakukan percepatan pem-

bangunan jalan dan jembatan di propinsi

Papua sepanjang 2.417 Km dengan titik

berat tujuh ruas jalan strategis sepanjang

JELAJAH

Ruas jalan nasional Hamadi – Holtecam – Skow berbatasan dengan New Guinea.(Foto:Ind)

Page 56: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH56

2.056.6 Km dan empat ruas jalan strategis

lainnya sepanjang 361 Km.

Percepatan pembangunan infrastruktur

jalan tersebut bertujuan untuk me-

nunjang pusat-pusat pertumbuhan eko-

nomi di Papua dan menekan tingkat harga

yang terlalu mahal.

Kepada tim Komisi V DPR-RI yang

meninjau dari dekat pelaksanaan pemba-

ngunan jalan di propinsi Papua itu,

Chaerul Taher menambahkan, biaya

pembangunannya sampai selesai tahun

2014 nanti memerlukan dana sekitar Rp

9,78 trilyun. Tahun 2010 ini, dialokasikan

dana sebesar Rp 1,14 trilyun. Dengan

demikian, masih diperlukan tambahan

dana sebesar Rp 827 milyar agar seluruh

ruas jalan tersebut dalam 5 ( lima ) tahun

dapat fungsional.

Selain itu, diperlukan juga tambahan

anggaran untuk pengadaan 9 Fleet alat

pemeliharaan rutin jalan sebesar Rp

51,206 milyar. Diperlukan Multi Years

Contract untuk mempercepat pemba-

ngunan/penanganan jalan serta menjaga

ruas jalan agar tetap berfungsi ( fung-

sional ).

Pembangunan 11 ruas jalan strategis

tersebut sudah berdasarkan Rencana

Tata Ruang Wilayah serta memperhatikan

PP No.26/2008 tentang RTRWN dimana

di Provinsi Papua telah ditetapkan

memiliki 6 ( enam ) kawasan andalan

(sebagai pusat pertumbuhan ekonomi

nantinya ), dan adanya pusat–pusat

kegiatan nasional maupun wilayah, yaitu

PKN ( Kota Jayapura dan Timika ) serta

PKW ( al. Merauke, Arso, Wamena ) dan

PKSN /Pusat Kegiatan Strategis Nasional

untuk menunjang kepentingan kawasan

perba-tasan negara, antara lain Jayapura,

Tanah Merah, dan Merauke.

Menurut dia, di Provinsi Papua terdapat

65 ruas jalan nasional dengan total

panjang 2.111 km. Dari 65 ruas tersebut

terdapat 7 ruas jalan strategis yakni

Nabire – Wagete – Erotali , Timika –

Mapurujaya – Pomako, Serui – Menawi –

Saubeba, Jayapura – Wamena – Mulia,

Jayapura – Sarmi, Jayapura – Hamadi –

Holtekamp – Batas PNG dan Merauke –

Waropko dengan panjang total 2.060 km.

Khusus untuk jalur Jayapura – Holtekamp

– Skouw – Batas PNG sepanjang 53 km,

telah terdapat penanganan hingga 2009

sepanjang 31,9 km dan total panjang

jembatan 19,8 meter. Pembangunan jalan

dengan target effektif 7,64 km dengan

rincian lebar badan jalan 4,5 m ( aspal HRS-

WC ) dan lebar bahu jalan 1,5 meter telah

dibiayai oleh APBN secara multiyears

2008- 2009 dengan total dana sebesar Rp

19,65 milyar. Sedangkan untuk tahun

2010, untuk ruas ini telah dianggarkan

sebesar Rp 10,51 milyar yang bersumber

dari dana APBN.

Untuk kawasan perbatasan, pemerintah

juga tengah melakukan peningkatan jalan

di daerah Skouw dan Merauke, ruas jalan

yang membatasi Indonesia dengan Papua

New Guine sepanjang 500 km dari Merau-

ke hingga Waropko. Kondisi jalan di

perbatasan saat ini sepanjang 120 km

sudah beraspal, sisanya masih jalan tanah.

Untuk mendukung keberlanjutan pe-

nanganan jalan perbatasan tersebut, perlu

dilaksanakan program multi years selama

3 ( tiga ) tahun. Pembangunan jalan

nasional di perbatasan ini juga dalam

rangka untuk mendukung kepentingan

pertahanan Negara. Pembukaan pos

perbatasan untuk angkutan kendaraan

antara kedua negara saat ini belum

berlangsung, baru untuk keperluan lalu

lintas orang saja.

Secara bertahap, penanganan jalan

diharapkan dapat diarahkan juga pada

penanganan jalan di wilayah tengah,

hingga ke Pegunungan Bintang dan

Wamena.

Sumber Daya Air

Berdasarkan hasil peninjauan lapangan ke

Bendung Tami dan Daerah Irigasi Koya,

Tim Komisi V DPR RI menilai telah terjadi

erosi dan kerusakan lingkungan yang

cukup parah di daerah hulu. Ini terlihat

dari sedimentasi lumpur dan limbah kayu

di Sungai Tami. Di lokasi bendung terda-

pat tumpukan ranting dan kayu tertimbun

di tubuh bendung, kurang adanya peme-

liharaan yang rutin sehingga ranting dan

JELAJAH

Gedung Asrama Mahasiswa di kota Sorong, Papua. (Foto:Ind)

Page 57: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

57KIPRAH • Volume 37

JELAJAH

kayu gelondongan menumpuk berse-

rakan, serta terdapat sedimentasi yang

sudah meninggi di badan bendung dan

sekitarnya. Di samping itu, belum maksi-

malnya pemanfaatan air irigasi oleh

masyarakat petani untuk tanaman padi,

yaitu baru sekitar 25 % petani yang

meman-faatkan air irigasi. Masyarakat

petani tambak lebih dominan meman-

faatkan lahan di D.I. Koya untuk me-

melihara ikan karena hasil pemeliharaan

ikan lebih menguntungkan dari pada padi

serta kondisi saluran primer dan sekunder

fungsi layanannya sudah semakin me-

nurun.

Oleh karenanya, Komisi V DPR RI menya-

rankan agar Balai Wilayah Sungai Papua

menganggarkan dana 0 & P Bendung Ta-

mi yang cukup sehingga tumpukan rant-

ing , kayu, dan sedimen dapat diatasi

segera. Selain itu, rehabilitasi saluran

primer dan sekunder agar dianggarkan

supaya distribusi air untuk pertanian

dapat terpenuhi, utamanya untuk tana-

man padi.

Cipta Karya

Untuk memenuhi kebutuhan air minum

di Provinsi Papua, pemerintah pusat dan

pemerintah daerah bertekad untuk

mengembangkan dan meningkatkan

pelayanan air minum kepada masyarakat

Provinsi Papua melalui Pengembangan

Daerah Air Minum ( PDAM ).

Mengenai air minum dalam pertemuan

Komisi V DPR-RI dengan jajaran Pemda

Papua terungkap bahwa PDAM kabu-

paten Jayapura sekarang berubah men-

jadi PDAM Jayapura dengan wilayah

pelayanan di Kabupaten Jayapura dan

Kota Jayapura. Bupati Jayapura dan

Walikota Jayapura telah menandata-

ngani MOU yang berisi, antara lain bahwa

PDAM Jayapura melayani Wilayah Kota

Jayapura dan Wilayah Kabupaten Jaya-

pura Walikota Jayapura dan Bupati

Jayapura akan memberikan Penyertaan

Modal Pemerintah kepada PDAM Jaya-

pura. Namun demikian, sebelum tingkat

pelayanan mencapai 80 %, PDAM Jaya-

pura tidak diminta untuk menyetor

keuntungan ke kas daerah.

Saat ini, PDAM Jayapura dalam kondisi

kurang sehat (Skor dari BPPSPAM 1,80).

Total kapasitas terpasang 895 liter/detik

dan kapasitas produksi minimal (musim

kemarau) sekitar 426 liter/detik. Jumlah

pelanggan sekitar 26.918 SR dengan tarip

air minum minimum (musim kemarau)

Rp 850,-/m3 , rata –rata = Rp 3.500,-/m3 ,

tingkat kebocoran 52 %, efisiensi pena-

gihan 70 %.

Untuk PDAM di provinsi Papua, tingkat

kebocoran masih tinggi ( 52 % ). Pada

musim kemarau, kapasitas sumber air

menurun, pelayanan masih digilir, belum

bisa melayani 24 jam/hari, dan kondisinya

kurang sehat. Usulan untuk mengatasi

masalah tersebut adalah perlu dilakukan

program penyehatan PDAM, dibuat Re-

view Master Plan, FS, DED SPAM Jayapura

serta dilakukan pengembangan SPAM

Jayapura. (Ew)

Tim Komisi V DPR RI meninjau bangunan Bendung Tami di Jayapura yang mengalami pendangkalan akibat sedimentasi sehingga fungsinyasemakin menurun dari waktu ke waktu.(Foto:Ind)

Page 58: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH58

Dalam upaya memenuhi kebu-

tuhan air minum di Provinsi

Papua, pemerintah pusat dan

pemerintah daerah berkomitmen untuk

mengembangkan dan meningkatkan

pelayanan air minum kepada masyarakat

Provinsi Papua melalui Pengembangan

Daerah Air Minum (PDAM).

Seiring adanya pemekaran kawasan di

provinsi ini, pemerintah pusat terus

memfasilitasi pengembangan air minum

pada ibukota-ibukota kabupaten agar

kawasan-kawasan tersebut mendapatkan

pelayanan air minum melalui pening-

katan bertahap. Untuk itu, Pemprov

Papua telah mengalokasikan dananya

pada 2007 hingga mencapai Rp 40 miliar.

Demikian dikatakan Sardjiono, Kasubdit

Pengembangan Air Minum Wilayah II,

Perlunya

Ditjen Cipta Karya yang mewakili Direktur

Pengembangan Air Minum, saat men-

dampingi Komisi V DPR RI berkunjung ke

Provinsi Papua (12/3).

Provinsi Papua memiliki enam PDAM,

yakni PDAM Kabupaten Jayapura, PDAM

Biak Numfor, PDAM Kabupaten Merauke,

PDAM Kabupeten Nabire, PDAM Kabu-

paten Jayawijaya, dan PDAM Kabupaten

Yapen Waropen. Namun, dari 6 perusa-

haan itu hanya satu yang dinyatakan

kondisinya sehat (PDAM Kabupaten

Yapen Waropen).

Sementara itu, beberapa PDAM, seperti

PDAM Biak Numfor, PDAM Kabupaten

Merauke, dan PDAM Kabupeten Nabire,

ketiganya telah melakukan kerjasama

dengan Belanda sehingga statusnya

menjadi PDAM Swasta.

Data menyebutkan, jumlah penduduk di

kabupaten pemekaran d” 10 ribu jiwa (d”

2.000 KK). Sardjiono menilai, jika pengem-

bangan air minum di kabupaten peme-

karan mesti menggunakan PDAM, maka

target keuntungan tidak tercapai dan

menyebabkan PDAM menjadi sakit.

“Jika penduduk (Kab.Pemekaran) kurang

dari 2.000 KK, lalu dipaksakan dengan

PDAM, akan menjadi sakit, karena pen-

dapatan PDAM sangat ditentukan oleh

jumlah pelanggan. Semakin sedikit,

semakin sulit PDAM dikelola,” ujar

Sardjiono. Dijelaskan, Pemerintah Daerah

Kabupaten dan Kota Jayapura saat ini

tengah menggalang dana untuk PDAM

agar dapat menjangkau meningkatkan

pelayanan kepada masyarakat. Melalui

kerjasama ini, diharapkan akan terjadi

peningkatan pelayanan yang hasil keun-

tungannya dibagi rata antara PDAM

Kabupaten dan PDAM Pemerintah Kota.

Dengan catatan, jika tingkat layanan

belum mencapai 80%, PDAM belum terikat

menyetorkan penghasilan ke kas daerah.

Menurut Sardjiono, kendala yang dira-

sakan saat ini adalah belum memadainya

dukungan dari pemda dalam hal pengem-

bangan jaringan di daerah distribusi yang

menyebabkan terbatasnya jumlah pe-

langgan yang bisa dilayani. Ditambah lagi,

masih minimnya tenaga kompetensi

sumber daya manusia (SDM). Untuk itu,

di masa depan kompetensi kemampuan

SDM yang bekerja di sektor air minum

mulai dari perencanaan, pembangunan

pengelolaan, dan bidang pengusahaan

PDAM perlu terus ditingkatkan.

Ditegaskan, jika PDAM difasilitasi dan

dioperasikan dengan baik serta memiliki

manajemen pengelolaan yang juga baik,

sangat dimungkinkan pelayanan kepada

masyarakat akan meningkat. Dengan

demikian, PDAM memiliki keuntungan

yang mampu menopang biaya operasio-

nal. Dengan begitu, masalah finansial akan

dapat diatasi, harap Kasubdit Pengem-

bangan Air Minum Wilayah II, Ditjen Cipta

Karya. (Ind)

Air Minum di Papua

JELAJAH

Hidran Yahukimo Papua. (Foto:dok.)

Page 59: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

59KIPRAH • Volume 37

Dari Papua Ke Irian Terus Ke Papua Lagi

Papua, Irian, Irian Barat, Irian Jaya,

hanyalah nama. Jaman kolonial

dulu, penjajah Belanda menye-

butnya Netherland New Guinea, West

Papua, untuk membedakan dengan Papua

di sebelah timurnya yang berada dibawah

koloni Inggris. Yang dulu dibawah koloni

Inggris itu, sekarang kita kenal dengan

Papua Nugini. Setelah Indonesia mer-

deka, pulau terbesar nomor dua di dunia

setelah Green Land itu masih berada di

bawah kekuasaan Belanda.

Kita menyebut pulau itu dengan Irian.

Konon, nama itu akronim dari Ikut

Republik Indonesia Anti Netherland.

Tentu ini perlu di uji kebenarannya karena

nama Irian berasal dari nama pohon di

sekitar danau Sentani.

Setelah 17 tahun merdeka tahun 1962,

barulah Irian kembali ke pangkuan ibu

pertiwi, setelah Bung Karno 19 Desem-

ber 1961 di Yogyakarta memberikan

komando yang dikenal dengan nama

TRIKORA. Setelah Persatuan Pendapat

Rakyat (Pepera), jadilah provinsi Irian

Barat, kemudian di masa Orde Baru

menjadi Irian Jaya.

Di jaman reformasi, saat Gus Dur alm.

menjadi presiden, beliau menyetujui

penggunaan nama Papua sebagai ganti

Irian Jaya dan itu dikukuhkan melalui UU

no. 21/2003 tentang Otonomi Khusus

Papua. Begitulah, dari Papua ke Irian, terus

sekarang ke Papua lagi.

Sesuai UU No. 21 tentang Otonomi

Khusus Papua, wilayah ini di bagi menjadi

dua provinsi. Bagian timur disebut

provinsi Papua, sedangkan bagian barat-

nya menjadi provinsi Irian Jaya Barat,

kemudian setahun kemudian diubah

menjadi Papua Barat. Provinsi Papua saat

ini dipimpin oleh Gubernur Barnabas

Suebu, SH, dengan wakilnya Alex Ha-

segem, SE.Sudah menjadi pengetahuan

umum bahwa sebagian besar daratan

Papua masih berupa hutan belantara.

Sekitar 47% wilayah pulau Papua me-

rupakan bagian dari Indonesia, yang dulu

kita kenal sebagai Irian Barat. Potensi

Papua, seperti yang disampaikan ketua

Bappedanya, di depan rombongan Komisi

V DPR-RI, adalah tambang tembaga dan

emas yang merupakan primadona sum-

ber daya alam tambang provinsi Papua

saat ini.

Namun, masih banyak potensi lainnya

yang belum digarap secara serius, seperti

minyak dan gas bumi, emas, temba-

ga,batubara, nikel, pasir besi, dan lain-lain.

Selain potensi pertambangan, Papua me-

nyimpan kekayaan hutan berupa kayu, te-

rutama kayu besi dengan kualitas terbaik.

Sesuai data Dinas Kehutanan Provinsi Pa-

pua, sekitar enam juta hektar hutan di Pa-

pua kaya dengan kayu Merbau, jenis kayu

kelas satu, sementara potensi hutan sagu

di Papua mencapai 2,2 juta Ha dan pe-

ngembangan rawa mencapai 2,4 juta Ha.

Mengingat dan mempertimbangkan

besarnya potensi sumber daya alam yang

dimiliki oleh Provinsi Papua, maka diper-

lukan infrastruktur pendukung yang

memadai untuk mendukung ekplorasi dan

ekploitasi sumber daya alam di kawasan

tersebut.

Infrastruktur pendukung yang sangat

dibutuhkan, antara lain jalan raya, pela-

buhan laut, pelabuhan udara, peru-

mahan, layanan air minum, dan seba-

gainya. Pembangunan infrastruktur di

provinsi Papua, antara lain bertujuan

untuk menunjang pusat-pusat pertum-

buhan ekonomi dan menekan tingkat

kemahalan harga barang kebutuhan

pokok dan yang lainnya.

Potensi daerah rawa terutama berada di

dataran rendah merauke. Di kabupaten

ini, terutama di daerah pengembangan

rawa Kurik, ribuan transmigran telah lama

mengolah lahan ini menjadi daerah

pertanian yang subur, dan bisa disebut

sebagai lumbung padinya Papua. Pe-

ngembangannya terus dilakukan tahap

demi tahap sesuai dengan ketersediaan

dana yang ada.

Wilayah yang luas dengan jumlah pen-

duduk yang sedikit serta penyebaran yang

tak merata itu memang cukup berat. Kita

tak perlu heran apabila setelah puluhan

kilometer, jalan yang kita lalui belum juga

ketemu kampung. Soalnya, sebagian be-

sar penduduk bertempat tinggal di balik

bukit agak jauh dari jalan yang kita lalui.

(Ew)

JELAJAH

Page 60: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH60

Provinsi Maluku merupakan daerah

yang terkenal dengan sebutan

wilayah seribu pulau, tepatnya

sekitar 1.340 buah pulau dan mempunyai

luas daratan sekitar 712.480 km2, terdiri

dari 92.4 % lautan, 7.6 % daratan, dan

dengan jumlah penduduk 1.384.585 jiwa.

Untuk menghubungkan antar wilayah di

11 Kabupaten dan Kota, Provinsi Maluku

masih mengandalkan sebagian besar pada

transportasi penyeberangan feri. Sebab,

untuk transportasi udara masih terbatas

dan biayanya cukup mahal. Sebagai

gambaran, untuk sekali penerbangan dari

Ambon - Kab Tual saja biayanya hampir

sama ongkos dari Jakarta – Ambon. Untuk

itulah, infrastruktur di Maluku harus terus

dipacu, baik transportasi darat maupun

udara, serta sarana dan prasarana, jalan

lebih-lebih Trans Maluku, untuk segera

tersambung, yakni Ambon - Pulau Seram,

Pulau Buru, dan Saumlaki.

Pusat Perhatikan

Infratruktur PU di propinsi Maluku masih

tertinggal dibandingkan dengan provinsi

lainnya. Hal itu disebabkan kemampuan

APBD di Maluku tidak cukup untuk

membiayai pembangunan infratruktur di

Maluku sehingga masih memerlukan

sentuhan dan perhatian serius dari

pemerintah pusat, baik melalui Dana

Alokasi Khusus (DAK) maupun pening-

katan alokasi dana APBN yang belum

signifikan.

Permasalahan yang terjadi di propinsi

Maluku, utamanya bidang ke-PU-an,

masih sangat kompleks, misalnya sistem

transportasi yang belum terintegrasi

serta tingkat kemiskinan masih tinggi

sebesar 28.23 % . Alokasi anggaran dari

tahun ketahun memang semakin me-

ningkat namun kenaikannya belum sesuai

dengan yang diharapkan, sehingga ba-

nyak program-program yang belum bisa

terlaksana sesuai yang diharapkan.

Kepala Dinas PU Propinsi Maluku, Anto-

nius Sihalolo, mengatakan, guna menga-

tasi ketertinggalan maupun keterisola-

sian di Propinsi Maluku sebagai wilayah

kepulauan dan memiliki pulau-pulau

terluar dan berbatasan langsung dengan

Negara tetangga, diperlukan langkah-

langkah kongkrit untuk percepatan

prioritas pembangunan insfrastruktur,

khususnya bidang ke-PU-an, meliputi

Bidang Sumber Daya Air, Bidang Bina

Marga, dan Bidang Cipta Karya. Dana yang

diperlukan untuk percepatan pem-

bangunan infrastruktur sebesar Rp.

4.760.523.600 selama 5 tahun Anggaran,

yakni 2010-2014.

Kondisi insfrastruktur Bidang Sumber

Daya Air saat masih kurang memadai.

Contohnya, potensi Irigasi di Maluku

seluas 44.700 ha yang tersebar di Pulau

Seram seluas 29.188 Ha, pulau Buru 15.512

Ha. Dari jumlah tersebut, di wilayah yang

Instalasi penjernihan air PDAM Tual Maluku Tenggara kapasitasnya masih perlu ditingkatkan untuk pelayanan warga kota Tual. (Foto:Suprapto)

JELAJAH

Infrastruktur PU di Maluku

Page 61: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

61KIPRAH • Volume 37

potensial, irigasinya hanya sekitar 19.120

Ha. Padahal, kondisi tersebut tidak sesuai

dengan yang diinginkan bidang Sumber

Daya Air. Dalam rangka swasembada

pangan, maka diperlukan luasan areal

irigasi sebesar 34.910 Ha. sehingga luas

irigasi yang harus dibangun adalah se-

besar 15.790 Ha, yang tersebar di Pulau

Buru dan Pulau Seram.

Di Bidang Bina Marga terdata panjang

jalan nasional 1.066,650 km, dan jalan

provinsi sepanjang 818,750 km. Adapun

panjang Jalan Trans Maluku sepanjang

1.016,380 km, kemudian Jalan Trans Aru

288,480 Km, Jalan Lintas P. Seram sepan-

jang 450, 144 km, lalu Jalan Lintas P.Buru

memiliki panjang 2651,607 Km, dan

panjang Jalan strategis adalah 920,210 Km.

Gambaran kondisi perkerasan jalan di

wilayah Maluku tersebut menunjukkan

masih terdapat ruas-ruas jalan yang

kondisinya rusak, baik rusak ringan

maupun rusak berat. Untuk itu, perlu

ditingkatkan sehingga transportasi peng-

hubung antar pulau di Maluku dapat

berjalan dengan lancar sehingga memacu

pertumbuhan ekonomi serta mengatasi

isolasi daerah.

Padahal yang diharapkan, kondisi Jalan

paling tidak untuk jalan Nasional 90 %

mantap, dan jalan provinsi 65 kondisinya

mantap.Sedangkan capaian pelayanan Air

bersih menurut Antonius Sihaloho sam-

pai saat ini sudah terlayani dengan SPAM

sebesar 39.5 %. Pengembangan Penye-

hatan Lingkungan Permukiman melalui

Sistem Air Limbah sebesar 80 % dari

pelayanan minimal dengan sistem pengo-

lahan limbah terpadu dan komunal bar

pada kota Ambon. Total pelayanan mini-

mal secara keseluruhan propinsi Maluku

di 11 Kab/kota baru mencapai 8,8 %.

DPR-RI dukung Trans Maluku

Wakil Ketua Komisi V DPR-RI dari Fraksi

PDIP, Yoseph Umarhadi, berjanji akan

mendukung secara politis melalui pem-

biayaan APBN setiap tahun guna terea-

lisasinya pembangunan jalan Trans Malu-

ku. Anggaran tahun 2010 ini akan dikucur-

kan bulan Juli mendatang. Sebagai upaya

membuka daerah terisolir, beberapa ruas

jalan yang telah dipatenkan menjadi Trans

Maluku atau masih dalam proses perin-

tisan saat ini tengah diperbaiki.

“Seingat saya, alokasi anggaran yang

diusulkan untuk jalan Trans Maluku oleh

pemerintah pusat berkisar antara Rp 5 –

10 miliar,” ujar Yoseph. Dikatakannya,

pemerintah pusat dan komisi V DPR-RI

telah sepakat dalam membuka akses jalan

di daerah-daerah terisolir di setiap pro-

vinsi di tanah air. Semua ini ditujukan

demi terwujudnya pembangunan selu-

ruh jalan trans di Indonesia.

“ Untuk Trans Maluku sudah dijadwalkan,

Kepala Dinas PU Provinsi MalukuAntonius Sihalolo. (Foto:Jons)

Kondisi salah satu ruas jalan trans Maluku di Tual, Maluku Tenggara, sebagian masih berupajalan perkerasan yang perlu ditingkatkan. (Foto:Jons)

dalam arti sudah masuk program pe-

merintah pusat dan kini pekerjaan secara

bertahap sedang dilaksanakan ,” tandas-

nya.

Adapun Jalan Trans Maluku yang diren-

canakan untuk diselesaikan, diantaranya

Pulau Seram, Pulau Buru, dan Saumlaki.

Khusus ruas di jalan-jalan tersebut

pemerintah pusat bersama Komisi V DPR

RI terus memantau pelaksanaan perbai-

kan jalannya. Ruas jalan ini diharapkan

dapat segera tersambung sehingga akses

jalan penghubung antar kabupaten lain

antara satu dengan lainnya dapat terin-

tegrasi. Ini merupakan permintaan

masyarakat sendiri, tutur Yoseph Umar-

hadi.

Terlebih lagi, kata Yoseph, akses jalan yang

belum terhubung tersebut memiliki keka-

yaan alam yang menyimpan berbagai

potensi obyek wisata yang hingga kini

belum tersentuh para investor. Dirinya

menilai, semestinya jalan-jalan tersebut,

sudah dipersiapkan sebelum pagelaran

event Sail Banda.

Persoalannya, proses alokasi anggaran

tidak mudah. Namun demikian, tambah

Yoseph, dipastikan cepat atau lambat

jalan Trans Maluku akan rampung pada

waktunya nanti. Untuk itu, dia berharap

rekan-rekan Komisi V DPR-RI terus men-

dukung pemerintah pusat supaya alokasi

anggarannya dapat meningkat setiap

tahun.( jons)

JELAJAH

Page 62: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH62

Saya sekarang senang karena jalan

ini akan menolong saya. Tidak

hanya hemat waktu, tapi juga

hemat solar,” demikian pengakuan

Markus, pengemudi truk yang setiap hari

mengggunakan jalan Pontianak – Tayan

yang saat ini sedang dibangun. “ Karena

dengan hemat waktu, saya bisa menam-

bah rit untuk mengangkut barang-barang

dari dan ke Pontianak. Ya, paling tidak

uang belanja yang bisa dibawa pulang bisa

bertambah,” ujar Markus di belakang

kemudi.

Pengakuan Markus hanyalah salah satu

dari banyak orang yang merasakan

manfaat jalan Pontianak - Tayan. “Apabila

jalan ini selesai dibangun akan sangat

membantu perekonomian masyarakat

Kalimantan Barat dan Kalimantan pada

umumnya” tutur Gubernur Kalimantan

Barat Cornelis.

Pergerakan barang dan jasa antar wilayah

akan semakin cepat karena transportasi

semakin lancar.

Apalagi kalau pembangunan Jembatan

Tayan segera terwujud. Hal itu jelas

sangat berpengaruh terhadap hubungan

antar Provinsi di Kalimantan. Rencana

pembangunan Jembatan di atas sungai

Kapuas yang mempunyai panjang 1.420

meter, ini membutuhkan dana Rp 500

milyar. Pemerintah pusat saat ini tengah

berupaya mencari dana pinjaman dari

luar negeri.

Ruas jalan Pontianak – Tayan (104 km)

merupakan salah satu ruas jalan yang

mendapat bantuan dari program EINRIP

(Eastern Indonensia National Road Im-

provement Project) dari Australia. Jalan

ini mempunyai peran strategis dalam

sistem jaringan jalan nasional. Selain itu,

EINRIP

juga bagian dari mata rantai Lintas

Selatan Kalimantan dan sistem jaringan

jalan ASEAN Highway.

Saat ini, sedang dibangun jalan sepan-

jang 31,5 km dengan standar lebar 6 -7

meter, dengan bahu jalan 1,5 meter,

dikerjakan oleh PT Waskita Karya dengan

dana sebesar Rp 137,34 milyar.

Program

EINRIP merupakan kemitraan antara

pemerintah Australia dengan Indonesia

dalam program pelaksanaan jalan nasional

dengan konstruksi standar tinggi, khu-

susnya untuk wilayah kawasan timur Indo-

nesia. Pelaksanaan pekerjaan program

EINRIP dikelola oleh Ditjen Bina Marga

Kementerian PU.

Pemerintah Australia telah memberikan

pinjaman sangat lunak sebesar Aus$ 300

juta, dan sebagai sharing, pemerintah In-

donesia dialokasikan Aus$30 juta. Pro-

gram EINRIP mencakup wilayah 9 pro-

vinsi, yaitu Bali, NTB, NTT, Kalimantan Se-

latan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan,

Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara,

dengan target penanganan jalan sepan-

jang total 500 km, termasuk penggantian

jembatan.

Pemerintah Australia sendiri terus

berperan aktif dalam meningkatkan

kualitas jalan di Indonesia sejak 40 tahun

lalu, kata Duta Besar Australia untuk In-

donesia, Bill Farmer, dalam suatu kesem-

patan. Pemerintahnya sangat berbahagia

bisa turut berpartisipasi dalam proyek

besar di Indonesia. Menurutnya, dari 20

untuk Kawasan Timur Indonesia

JELAJAH

Duta Besar Australia untuk Indonesia Bill Farmer memberikan ucapan selamat kepada MenteriPU Djoko Kirmanto, saat berkunjung ke lokasi proyek. (Foto:Srijanto)

Page 63: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

63KIPRAH • Volume 37

paket pekerjaan tersebut mencakup

pekerjaan pemeliharaan, peningkatan,

dan pem-bangunan jalan dan jembatan.

Tujuan utama dari program ini adalah

untuk penanganan jaringan jalan nasional

agar memenuhi standar pelayanan dan

aksesibilitas yang layak. Dari 20 paket

pekerjaan sipil tersebut, saat ini 12 paket

telah terkontrak, 4 paket masih dalam

proses tender, dan empat paket lainnya

dalam proses persiapan lelang, tutur

Hermanto Dadak.

Sedang berjalan

Selain ruas Pontianak – Tayan, paket

pekerjaan yang saat ini sedang dalam

pembangunan adalah ruas Tohpati –

Kusamba di Provinsi Bali. Jalan sepanjang

10,9 km ini dikerjakan oleh kontraktor PT

Jaya Konstruksi dan PT Duta Graha Indah

dengan alokasi dana sebesar Rp 180,82

milyar.

Ruas ini merupakan peningkatan terha-

dap ruas yang telah ada dengan membuat

duplikasi terhadap jalan lama. Teknologi

daur ulang diterapkan dalam pekerjaan

ini agar lebih efisien. Peningkatan juga

dilakukan terhadap persimpangan jalan ,

drainase, fasilitas pengairan, dan aspek

lainnya. Sampai saat ini, progresnya

mencapai lebih dari 38 %

Sumbawa Besar By Pass di Provinsi NTB

yang memiliki panjang jalan 11,20 km, di-

kerjakan PT Jaya Konstruksi Manggala

Pratama Tbk. Lebar jalan ini existingnya

bervariasi antara 5 – 6 meter ditingkatkan

menjadi 7 meter dengan bahu jalan

selebar 2 meter. Nilai kontrak untuk

mengerjakan paket ini sebesar Rp 71,51

milyar.

Paket pekerjaan peningkatan jalan Ti-

nanggea-Kasipute di Provinsi Sulawesi

Tenggara merupakan jalan yang melewati

taman nasonal, terletak di Km 119 – Km

141. Panjang jalan yang ditingkatkan

dengan program EINRIP adalah 33,77 km,

tepatnya dari Km 118,85 – Km 152,62 ruas

Tinanggea – Kasipute.

Ruas ini juga akan dilakukan peningkatan

terhadap 21 jembatan bentang pendek

dengan konstruksi jenis box culvert dan 5

buah jembatan existing akan dilakukan

rehabilitasi. Nilai kontrak pekerjaan ini

mencapai Rp 115,73 milyar, dikerjakan

oleh PTMulti Structure bersama PT Trifa

Abadi

Sementara itu program EINRIP untuk di

Provinsi Sulawesi Selatan melakukan

penanganan jalan sepanjang 26,88 km

antara Bantaeng - Bulukumba. Pada ruas

ini terdapat 5 buah jembatan baru akan

dibangun dengan total bentang 89 meter

dan 2 buah jembatan lama yang dilakukan

rehabilitasi. Nilai paket pekerjaan ini

mencapai Rp 124,60 milyar, dikerjakan

oleh PT Waskita Karya bersama PT

Brantas Abipraya.

Terkontrak

Sementara itu, saat ini ada 7 paket

pekerjaan baru terkontrak masing-

masing di Provinsi Bali adalah lanjutan

ruas Tohpati – Kusamba sepanjang 8,20

Km. Dalam paket ini terdapat 6 jembatan

yang dibangun terkait dengan duplikasi

jalan yang telah ada. Total panjang

jembatan yang dibangun adalah 211

meter, dengan nilai kontrak sebesar

Rp175,61 milyar.

Di Provinsi Sulawesi Selatan paket

pekerjaan yang mendapatkan bantuan

dari program EINRIP adalah ruas Seng-

kang – Impaimpa sepanjang 24,18 Km.

Jalan yang ada akan dilebarkan dari 44,5

meter menjadi 6 meter dengan bahu

jalan 1,5 meter. Di ruas ini terdapat 1 buah

bangunan atas jembatan yang akan

dibangun dan 5 buah jembatan yang ada

akan direhabilitasi. Total nilai kontrak

pekerjaan ini adalah Rp 100,65 milyar.

EINRIP juga melakukan peningkatan jalan

di Provinsi Sulawesi Utara, menyusul

banjir yang terjadi pada Juli 2006, karena

curah hujan yang tinggi, yang menye-

babkan kerusakan infrastruktur jalan dan

jembatan.

Dikoridor Molibagu – Taludaa terdapat 5

jembatan yang rusak cukup serius.

Bangunan bawah dan pemasangan

bangunan atas merupakan program

pekerjaan sipil, sedangkan untuk penga-

daan material rangka baja dibiayai dari

program EINRIP. Dana Rp 42,66 milyar

diperuntukan bagi penanganan peker-

jaan 5 jembatan dengan total panjang 480

meter dan jalan sepanjang 2 Km.

Provinsi lain di Sulawesi yang menda-

patkan program EINRIP adalah Sulawesi

Tenggara. Ruas jalan yang ditangani

adalah Bambae – Sp. Kasipute, sepanjang

23,93 Km. Dengan dana Rp 95,60 milyar

ruas ini dikerjakan oleh PT Bumi Karsa

bersama PT Nindya Karya.

Selain Pulau Sulawesi, program ini juga

menangani jalan dan jembatan di Pro-

vinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), tepat-

nya di beberapa ruas di Pulau Sumbawa.

Ruas tersebut adalah Pal IV Km 70

sepanjang 31,79 Km, dengan nilai kontrak

Rp 145,6 milyar, km 70 – Bts Cabdin

Dompu sepanjang 14,10 Km dengan

kontrak Rp 68,26 milyar. Bts Cabdin

Dompu – Banggo sepanjang 23,61 Km

dengan nilai kontrak Rp 101,93 milyar.

Sedang dan dalam persiapan tender

Masih ada 8 paket pekerjaan di 4 provinsi

yang saat ini sedang dalam pelaksanaan

tender dan persiapan tender. Masing-

masing paket tersebut adalah Lakuan –

Buol di Sulawesi Tengah(16,24 Km)

dengan 2 buah jembatan. Setelah itu,

ruas Martapura – Ds. Tungkep (18,89 Km)

dan Banjarmasin – Bts Kalteng (12,90

Km) yang keduanya di Provinsi Kali-

mantan Selatan. Jeneponto – Bantaeng

(25,83 Km) di Provinsi Sulawesi Selatan.

Adapum 4 paket pekerjaan yang masih

dalam persiapan tender adalah Ende –

Aegela (15,60 Km Provinsi, ruas Buku-

kumba – Tundong di Provinsi Sulawesi

Selatan sepanjang 65,24 Km yang dibagi

kedalam 3 paket pekerjaan.(Sr)

JELAJAH

Page 64: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH64

LAPORANKHUSUS

Istilah urbanisasi ternyata tidak hanya

merujuk pada perpindahan penduduk

dari desa ke kota, melainkan juga

pertambahan penduduk suatu kota

sebagai akibat migrasi penduduk dari

daerah pedesaan sekitarnya atau km

perpindahan penduduk dari kota lain

(Kamus Tata Ruang, Ditjen CK dan IAP,

1998). Bahkan, menurut Dirjen Cipta

Karya Kementerian PU, Budi Yuwono,

pada saat diwawancarai di salah satu

televisi swasta, Kamis (6/5/2010), istilah

urbanisasi kini juga memiliki arti yang

lebih luas, yaitu perubahan suatu desa

menjadi kota.

Saat ini, pesatnya urbanisasi akibat

ledakan pendudukan dan penyebaran

pendudukan yang tidak merata menjadi

isu krusial yang menarik perhatian dunia.

Menurut prediksi PBB, 50 tahun ke depan

ada sekitar 2/3 masyarakat dunia yang

akan tinggal di perkotaan masing-masing

WUF 5, World Expo Shanghai, dan APMCHUD 2010:

negara, termasuk Indonesia. Peningkatan

urbanisasi menimbulkan efek domino

yang pada akhirnya menimbulkan keru-

gian besar bagi umat manusia dan

lingkungan. Ledakan penduduk dan tidak

meratanya penyebaran penduduk juga

merupakan faktor adanya ketidakseim-

bangan antara wilayah perkotaan dengan

perdesaan sehingga semakin mening-

katkan urbanisasi. Cepatnya peningkatan

urbanisasi di perkotaan menimbulkan

banyak permasalahan, salah satunya

adalah maraknya permukiman kumuh di

perkotaan.

Oleh karena itulah, dunia semakin peduli

terhadap pengelolaan pembangunan

permukiman dan perkotaan. Hal itu ditan-

dai dengan diselenggarakannya tiga rang-

kaian kegiatan penting yang menyangkut

tema permukiman, yaitu World Urban Fo-

rum 5 (WUF) dengan tema Right to the

City: Bridging the Urban Devide, World

Shanghai Expo 2010 melalui Better City

Better Life, dan 3rd Asia Pasific Ministers’

Conference on Housing and Urban Devel-

opment (APMCHUD) dengan tema “Em-

powering Communities for Sustainable

Urbanization”.

World Urban Forum 5 (WUF)

Tantangan yang harus dihadapi oleh

perkotaan di dunia di masa depan akibat

pesatnya peningkatan urbanisasi, teru-

tama pada beberapa dekade terakhir,

ialah pengurangan ancaman kemiskinan,

peningkatan akses fasilitas dasar masya-

rakat (air bersih, tempat tinggal, sanitasi,

lingkungan yang bersahabat), dan per-

tumbuhan kota yang berkelanjutan.

Oleh karena itulah, pada tanggal 22-26

Maret 2010 telah dilaksanakan World Ur-

ban Forum 5 di kota Rio de Janeiro, Bra-

zil. Forum internasional terbesar di dunia

(Foto:Dok.)

Event Internasional Peduli Perkotaan

Page 65: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

65KIPRAH • Volume 37

LAPORANKHUSUS

ini merupakan pertemuan internasional

kelima yang membahas tentang pemba-

ngunan perkotaan dan permasalahannya.

Kegiatan yang mengusung tema Right to

the City: Bridging the Urban Divide atau

Hak untuk Bertempat Tinggal di Kota:

Menjembatani Kesenjangan Perkotaan ini

diprakarsai oleh UN Habitat bekerja sama

dengan pemerintah Brazil dan dihadiri

oleh 21.000 peserta lebih dari 100 negara,

termasuk Indonesia. UN Habitat adalah

lembaga PBB yang fokus pada isu peru-

mahan dan permukiman bangunan per-

kotaan.

Delegasi Indonesia dipimpin oleh Bali

Moniaga, Duta Besar RI untuk Brazil,

bersama Dirjen Cipta Karya PU, Budi

Yuwono. Adapun partisipan lainnya dari

Indonesia terdiri dari perwakilan

kementerian/lembaga pemerintahan dan

instansi terkait, seperti Kementerian

Perumahan Rakyat, Badan Perencanaan

dan Pembangunan Nasional (Bappenas),

Kementerian Luar Negeri, Walikota

Palembang dan wakil pemerintah kota

Jakarta Barat, serta URDI (Urban and Re-

gional Development Institute).

Dalam forum WUF ini, delegasi Indonesia

secara aktif berpartisipasi dalam menyam-

paikan berbagai permasalahan yang

dihadapi, kebijakan yang diambil, serta

program-program yang sudah dijalankan

maupun terus dilakukan untuk mencapai

sasaran yang telah ditetapkan, termasuk

sasaran-sasaran Millennium Development

Goals atau MDGs 2015.

Kegiatan yang diikuti oleh delegasi Indo-

nesia mencakup mengikuti konferensi,

forum dialog dan diskusi, serta pameran

pembangunan perkotaan ini tidak hanya

sebagai ajang berbagi pengalaman,

namun sekaligus promosi awal dari

penyelenggaraan 3rd Asia Pacific Ministers’

Conference on Housing and Urban Devel-

opment atau biasa disebut APMCHUD

yang akan diselenggarakan di Solo pada

Juni 2010.

Secara khusus, ketua Delegasi RI meng-

undang negara-negara Asia-Pasifik untuk

menghadiri APMCHUD. Selain itu, dele-

gasi RI sempat berpartisipasi dalam per-

temuan South-South Cooperation yang

menekankan kepada negara-negara

Selatan akan pentingnya melihat kembali

potensi kerja sama mereka, khususnya

terkait dengan urbanisasi berkelanjutan

dan permukiman bagi semua. Delegasi

Indonesia pun menjajaki kemungkinan

kerja sama di bidang perumahan dan per-

mukiman dengan negara-negara peserta,

termasuk negara tuan rumah. Delegasi

RI juga menghadiri diskusi “Rental Hous-

ing” yang menekankan perlunya ke-

bijakan khusus tentang rumah sewa yang

dapat menciptakan keseimbangan antara

pemilik dengan penyewa rumah.

Berbagai permasalahan penting dibahas

oleh para menteri dari negara peserta

dalam pertemuan pleno yang dipimpin

oleh Menteri Perkotaan Brazil dan

Menteri Perumahan dan Perkotaan USA.

4 (Empat) permasalahan utama yang

dibahas adalah:

1) akses masyarakat miskin akan haknya

terhadap penghidupan di kota;

2) pemerintah daerah harus mencegah

pembangunan kota yang lebih me-

nguntungkan para pemilik modal;

3) pembangunan wilayah perkotaan ha-

rus mempertimbangkan aspek ling-

kungan, kepastian tinggal bagi masya-

rakat miskin, dan ancaman perubahan

iklim; serta

4) pembangunan infrastruktur perkotaan

bagi pemenuhan hak dasar masyarakat

perkotaan.

Pada WUF ini, delegasi Indonesia turut

berbagi pengalaman pelaksanaan pro-

gram dalam mengatasi permasalahan

pembangunaan permukiman dan per-

kotaan. Diantaranya, implementasi

NUSSP (Neighbourhood Upgrading Shel-

ter Sector Project) dari tahun 2005-2009

yang telah mengentaskan lebih dari 7 ribu

hektar kawasan kumuh di 32 kabupaten,

program P2KP (Program Penanggu-

langan Kemiskinan Perkotaan) yang

mencakup lebih dari 10.000 kelurahan

dengan dana Rp2,04 trilyun sejak di-

lakukan pada tahun 1999, program

PAMSIMAS (Penyediaan Air Minum dan

Sanitasi Berbasis Masyarakat) yang

didukung oleh Bank Dunia dengan target

15 provinsi, program SANIMAS (Sanitasi

Berbasis Masyarakat) yang telah dilak-

sanakan sejak tahun 2003 di lebih 400

lokasi, program RUSUNAWA (Rumah

Susun Sederhana Sewa) yang telah

dilaksanakan sejak tahun 2005 dan men-

capai 31.150 unit di 24 propinsi, program

KIP (Kampung Improvement Program/

Program Perbaikan Kampung), dan jugaKawasan Kota Favela, Brazil (Foto:Dok.)

Page 66: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH66

LAPORANKHUSUS

program gerakan pembangunan 1 juta

rumah murah.

Dalam sambutan penutupnya, Anna

Tibaijuka, Direktur Eksekutif UN Habitat,

menyampaikan bahwa dalam 10 tahun

terakhir ini jumlah penduduk dunia yang

tinggal di kawasan kumuh telah

meningkat dari 780 juta menjadi 820 juta

jiwa. Oleh karena itu, ada dua kerja sama

yang dilakukan oleh UN Habitat. Pertama,

pencanangan Program World Urban Cam-

paign, yaitu program kerja sama antara

UN Habitat dengan sektor publik dan

swasta, serta masyarakat sipil untuk

mengangkat isu urbanisasi berkelanjutan

menjadi agenda pemerintahan di seluruh

dunia. Kedua, kerja sama dengan

perusahaan Coca Cola untuk penyediaan

1 juta US$ bagi pe-ngembangan air murni

di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin.

Program ini bertujuan membantu keles-

tarian sumber daya air dan efisiensi

penggunaan air serta membantu proses

daur ulang air kotor menjadi air bersih

ini diharapkan dapat terlaksana dalam 2

tahun mendatang.

World Shanghai Expo 2010

Rangkaian kegiatan internasional yang

membahas mengenai pembangunan

permukiman dan perkotaan selanjutnya

adalah World Shanghai Expo 2010.

Kegiatan ini diadakan sejak 1 Mei sampai

31 Oktober 2010 di Shanghai, Cina. World

Expo yang merupakan acara 5 tahunan

sejak tahun 1851 ini melibatkan partisipasi

negara-negara seluruh dunia untuk ber-

bagi pengalaman dan ajang promosi di

bidang ekonomi, sosial, budaya, dan

teknologi, sekaligus mempererat hubu-

ngan kerja sama antar bangsa.

Di momen inilah negara-negara peserta

expo mempromosikan keberhasilan

sekaligus saling berbagi permasalahan

melalui pameran. Adapun tema besar

World Expo 2010 adalah Better City, Bet-

ter Life (Kota yang lebih baik akan

memberikan kehidupan yang lebih baik

juga). Negara-negara yang menjadi

peserta mendekorasi paviliun negaranya

sesuai dengan 5 tema, yaitu Urban Foot-

print (Jejak Urban), Urban Planet (Planet

Urban), Urban Dwellers (Penduduk Ur-

ban), Urban Beings (Manusia Urban), dan

Urban Dreams (Mimpi Urban). World

Shanghai Expo 2010 diikuti kurang lebih

200 negara peserta dan 47 organisasi

internasional.

Indonesia tentu tidak menyia-nyiakan

kesempatan ini. Delegasi dari Indonesia

yang dipimpin oleh Hatta Rajasa (Menko

Perekonomian) didampingi Mari Elka

Pangestu (Menteri Perdagangan) me-

ngadakan pemutaran video berisi tentang

investasi dan promosi infrastruktur di In-

donesia yang ditampilkan di teater dalam

paviliun Indonesia.

Selain itu, para delegasi dari berbagai

kementerian/lembaga pemerintahan,

seperti Kementerian PU, Kementerian

Perdagangan, Kementerian Keuangan,

Kementerian Dalam Negeri, Kemen-

terian Luar Negeri, Kementerian ESDM,

Kementerian Kehutanan, Kementerian

Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kemen-

terian Komunikasi dan Informatika,

Kementerian Koperasi dan UKM, Kemen-

terian BUMN, serta BKPM (Badan Koor-

dinasi Penanaman Modal) menunjukkan

kerja sama apiknya dalam pameran ini.

Paviliun Indonesia memamerkan ber-

bagai potensi sumber daya alam (kehi-

dupan laut dan hutan), industri kreatif dan

kebudayaan (hasil bumi, kain, alat musik,

makanan), investasi, perdagangan, dan

pariwisata Indonesia. Paviliun seluas 4.000

m2 dengan bangunan 2.400 m2 yang

mengusung tema BioDiverCity ini patut

menjadi kebanggaan bangsa karena

menampilkan keharmonisan antara ma-

nusia dan lingkungan dalam keane-

karagaman budaya Indonesia.

Mari Elka Pangestu mengungkapkan

keberadaan Paviliun Indonesia memiliki

peran penting bagi program pencitraan

Indonesia sebagai satu bangsa yang

sering tidak dikenal dunia. Melalui Paviliun

Indonesia, diharapkan dunia Internasional

dapat melihat kemajuan Indonesia se-

bagai bagian dari dunia yang sedang

membangun peradaban.

APMCHUD

Setelah penyelenggaraan World Urban

Forum di Brazil dan World Shanghai Expo

di Cina, kegiatan terakhir dan sangat

penting, khususnya bagi pemerintah In-

Denyut nadi kota Shanghai, Cina. (Foto:Lis)

Page 67: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

67KIPRAH • Volume 37

LAPORANKHUSUS

donesia, adalah penyelenggaraan 3rd Asia

Pacific Ministers’ Conference on Housing

and Urban Development (APMCHUD)

yang akan dilaksanakan pada tanggal 22-

24 Juni 2010 di Solo, Indonesia.

Dirjen Cipta Karya Kementerian PU Budi

Yuwono yang sekaligus juga merupakan

Wakil Ketua I APMCHUD menjelaskan

bahwa APMCHUD merupakan perte-

muan internasional dari 68 negara

anggota yang diwakili para menteri di

bidang pembangunan perumahan dan

pengembangan perkotaan seAsia-Pasifik

yang didirikan pada bulan Desember 2006.

Tujuan penyelenggaraan APMCHUD ke-3

nanti adalah membicarakan perlunya

penggelolaan perkotaan yang lebih

seimbang antara unsur sosial, ekonomi,

dan lingkungan melalui pembangunan

berkelanjutan.

Sebagai tuan rumah dan negara yang

memiliki populasi serta jumlah kota yang

besar, Indonesia akan memperlihatkan

praktik terbaik dalam bidang perumahan

dan pembangunan perkotaan yang telah

dilakukan.

Peserta APMCHUD nantinya diperkirakan

sekitar 650 orang, terdiri atas menteri

dan penjabat senior dari 68 negara

anggota, perwakilan dari lembaga inter-

nasional dan regional, serta pemerintah

lokal, akademisi, peneliti, serta organisasi

kemasyarakatan yang peduli pada isu

perumahan dan pembangunan kota.

Kegiatan yang akan diadakan adalah

Konferensi T ingkat Menteri dari 68

negara anggota dan pertemuan pejabat

senior, working group meeting, kunju-

ngan lapangan, dan pameran.

Tantangan dari semakin tingginya angka

urbanisasi di berbagai kota dunia, khu-

susnya kawasan Asia-Pasifik, ditunjukkan

dari adanya pertumbuhan perkotaan yang

diproyeksikan akan meningkat dua kali

lipat pada tahun 2050 dimana sebagian

besar dari pertumbuhan ini akan terjadi

di negara berkembang, 50% penduduk

dunia tinggal di perkotaan, 2/3 penduduk

dunia tinggal di perkotaan pada tahun

2030 dan separuhnya berada di kawasan

Asia-Pasifik, dan 50% penduduk perkotaan

di Asia tinggal di permukiman kumuh,

serta 650 juta penduduk Asia-Pasif ik

adalah masyarakat miskin.

Di Indonesia sendiri, menurut Menteri

Perumahan Rakyat (Menpera) Suharso

Monoarfa yang juga Ketua APMCHUD,

mengingat bahwa sejak tahun 2007 ada

Pemanfaatan bantaran sungai dengan penghijauan untuk mendukung keindahan kota. (Foto:Dok.)

sekitar 50% penduduk Indonesia tinggal

di perkotaan. Selain itu, 58,6% penduduk

tinggal di pulau Jawa yang luasnya kurang

dari 7% luas daratan Indonesia, adanya 17%

permukiman di lokasi rawan bencana,

serta tingkat kemiskinan mencapai 14,15%

atau sekitar 32,53 juta jiwa menjadikan

APMCHUD sebagai forum penting untuk

dapat berbagi pengalaman dan informasi

dengan negara-negara anggota APM-

CHUD sekaligus mencari solusi terbaik.

Solo dipilih sebagai tempat penye-

lenggaraan APMCHUD karena keber-

hasilan Walikota Solo dalam implemen-

tasi pembangunan permukiman dan

perkotaan yang mampu melibatkan

masyarakat dengan menghargai budaya

lokal. Pada APMCHUD nanti, kota Solo

akan menjadi salah satu kota percontohan

dan akan membagi pengalaman serta

keberhasilannya kepada negara-negara

anggota.

Semoga saja kegiatan APMCHUD di Solo

nanti dapat menghasilkan Deklarasi Solo

yang menjadi kerangka regional pem-

berdayaan masyarakat untuk urbanisasi

yang berkelanjutan, khususnya dalam

konteks perubahan iklim dan penguatan

ekonomi lokal di Indonesia. (Endah)

Page 68: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH68

APMCHUD merupakan Forum

Menteri seAsia-Pasifik di Bidang

Pembangunan Perumahan, Per-

mukiman dan Perkotaan (Asia Pacific Mi-

nisters’ Conference 0n Housing and Urban

Development) yang dibentuk dengan

tujuan mendorong kerjasama global,

berbagi pengalaman, informasi dan

pengetahuan dalam mengatasi perma-

salahan dan tantangan permukiman dan

pembangunan perkotaan seperti : urba-

nisasi, perumahan dan pengelolaan

permukiman, kemiskinan, lingkungan

kumuh (slum area), Millenium Develop-

ment Goals (MDGs), serta mengem-

bangkan kebijakan dan strategi bagi

Menjalin Kerja Sama Global(AMPCHUD, Surakarta 22-24 Juni 2010)

Oleh : **Taufan Madiasworo

pengembangan permukiman dan perko-

taan yang berkelanjutan.

Konferensi pertama APMCHUD diadakan

di New Delhi, India pada tahun 2006 dan

telah menghasilkan suatu kesepakatan

berupa Deklarasi New Delhi dan kerangka

kerja tentang implementasi urbanisasi

berkelanjutan di Asia Pasifik. Selanjutnya,

APMCHUD kedua pada tahun 2008 di Te-

heran telah menghasilkan Deklarasi Te-

heran dan rencana aksi untuk kerjasama

regional tentang promosi pembangunan

perkotaan berkelanjutan di Asia Pasifik

dengan beberapa fokus pada bidang-

bidang sebagai berikut: 1) perencanaan

dan pengelolaan perkotaan dan perde-

saan; 2) peningkatan kualitas kawasan

kumuh; 3) pelaksanaan MDGs tentang air

dan sanitasi; 4) pembiayaan perumahan

yang berkelanjutan dengan mening-

katkan keterjangkauan dan kualitas

perumahan sederhana; serta 5) pengem-

bangan urbanisasi berkelanjutan dengan

fokus pada bencana alam. APMCHUD

memiliki visi mempromosikan pem-

bangunan permukiman berkelanjutan di

kawasan Asia Pasifik dan misi menjadi

focal point/hub pengetahuan global dan

fasilitator pembangunan permukiman

berkelanjutan (KAK Penyusunan Materi

APMCHUD, 2010).

Kegiatan seni budaya di kota Surakarta (Kirab). (Foto: Pemkot Surakarta, 2008)

LAPORANKHUSUS

Page 69: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

69KIPRAH • Volume 37

APMCHUD ke-3, dengan tuan rumah In-

donesia, akan diselenggarakan di kota

Surakarta pada tanggal 22-24 Juni 2010.

Kegiatan ini merupakan merupakan fo-

rum internasional bagi 68 negara yang

diwakili oleh para menteri seAsia-Pasifik

di bidang permukiman dan perkotaan.

Adapun tema APMCHUD ke-3 ini adalah

Empowering Communities for Sustainable

Urbanization. Ditetapkannya tema ter-

sebut dilatarbelakangi oleh beberapa

kondisi seperti tingginya tingkat urbani-

sasi, populasi dan kemiskinan, tingginya

konsumsi energi, eksploitasi lingkungan

yang berlebihan, dan Millenium Develop-

ment Goals (MDGs). Di sisi lain, isu ling-

kungan global juga tidak dapat dihindari

seperti pemanasan global dan perubahan

iklim.

Terdapat 5 (lima) sub tema yang akan

menjadi pokok bahasan dalam APMCHUD

ke-3 ini, yaitu: 1) perencanaan dan mana-

jemen perkotaan dan perdesaan; 2)

peningkatan kualitas kawasan kumuh

perkotaan; 3) pelaksanaan MDGs untuk

air minum dan limbah; 4) pembiayaan

perumahan berkelanjutan; dan 5) pe-

nanganan urbanisasi berkelanjutan. Dalam

APMCHUD ke-3 ini juga diharapkan dapat

ditetapkan sebuah kesepakatan dalam

bentuk Deklarasi Solo (Solo Declaration),

yang diantaranya akan memuat kerangka

regional peningkatan pemberdayaan

masyarakat untuk urbanisasi yang ber-

kelanjutan dalam konteks perubahan

iklim dan penguatan ekonomi lokal.

Surakarta, tuan rumah APMCHUD ke-3

Kota Surakarta adalah sebuah kota di

Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Kota ini

juga dikenal dengan nama Solo. Kota yang

merupakan pusat kebudayaan Jawa ini,

kaya dengan beragam aset warisan bu-

daya. Dulunya, kota ini juga merupakan

tempat kedudukan dari residen yang

membawahi karesidenan Surakarta di

masa awal kemerdekaan. Sektor pariwi-

sata berbasis budaya lokal merupakan

sektor unggulan kota Surakarta.

Kota Surakarta terpilih sebagai tempat

pelaksanaan APMCHUD ke-3 dengan be-

berapa pertimbangan, antara lain: 1) Kota

Surakarta menunjukkan langkah nyata

dan progress yang cukup signifikan dalam

sektor pembangunan perumahan, per-

mukiman, dan perkotaan berbasis pem-

berdayaan komunitas masyarakat; 2) Ko-

ta Surakarta menunjukkan tekad dan

keseriusan untuk menjalin kerja sama

sama dengan seluruh pemangku kepen-

tingan tidak hanya di tingkat nasional,

namun juga tingkat global; dan 3) Kota

Surakarta menunjukkan inovasi untuk

mendukung kapasitas lokal, menjaga

keberlanjutan lingkungan, serta secara

konsisten melakukan pembangunan

secara terpadu dan terencana.

Dampak strategis APMCHUD

Melalui pelaksanaan forum APMCHUD

yang ke-3 ini, diharapkan dapat mem-

berikan dampak strategis yang berke-

lanjutan dalam menjawab tantangan

perumahan dan pembangunan perko-

taan secara lebih efektif di masa menda-

tang, memberikan dukungan bagi pem-

berdayaan masyarakat, peningkatan

kesejahteraan masyarakat, penguatan

ekonomi lokal, mereduksi permasalahan

urbanisasi, lingkungan kumuh dan krisis

lingkungan, serta masalah global (global

warming dan perubahan iklim). Selan-

jutnya, melalui sharing pengalaman,

informasi dan pengetahuan, mem-

bangun kesepahaman, pemantapan

kemitraan dan kerjasama strategis

secara global umumnya serta regional,

khususnya antar negara-negara Asia

Pasifik diharapkan permasalahan dan

tantangan tersebut di atas dapat di-

tangani secara optimal.

**Kasi Pembinaan Perencanaan Tata Ruang

Perkotaan Wilayah II, Ditjen Penataan Ruang,

Kementerian Pekerjaan Umum.

Kampung Batik Laweyan.(Foto : Pemkot Surakarta, 2008)

Pengelolaan sektor informal yang cukup berhasil di kota Surakarta, dapat dijadikan bestpractices. (Foto: Pemkot Surakarta, 2009)

LAPORANKHUSUS

Page 70: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH70

Eksternalitas merupakan fenomena

dimana aktifitas pembangunan

kota menciptakan dampak terten-

tu terhadap pihak-pihak yang pada ha-

kekatnya tidak ikut terlibat dalam akifitas

tersebut, dapat bersifat menguntungkan

namun juga bisa merugikan. Eksternalitas

yang menguntungkan tentu merupakan

berkah multiplier effect pembangunan.

Yang menjadi persoalan adalah fenomena

eksternalitas negatif juga banyak terjadi

namun terabaikan, sehingga memicu

ketidakadilan dalam perikehidupan warga

kota. Kerugian umumnya dialami oleh

kelompok-kelompok yang lemah aksesnya

terhadap mekanisme pengambilan kepu-

Kompensasi Eksternalitas

Oleh: **Miming Miharja

Pembangunan kota-kota diIndonesia sering dikritik sebagai

proses yang tidak atau kurangmenuju ke arah pengembanganliveable cities, suatu lingkungan

binaan yang mampu memberikankenyamanan yang memadai bagiwarganya dari semua segmen. Di

samping sejumlah kemajuanyang dicapai dari proses

pembangunan, dengan mudahkita dapat mengamati berbagai

persoalan justru dipicu olehaktivitas pembangunan itu

sendiri. Sebut saja kemacetanlalu-lintas semakin akut akibat

pembangunan berbagai gedungyang membangkitkan dan

menarik pergerakan baru tanpaantisipasi pengembangan

jaringan jalan yang memadai;pencemaran udara, suara, dan

air akibat pembangunanberbagai pusat aktivitas industridan transportasi; serta hilangnya

mata pencaharian sekelompokpedagang tradisional akibat

pengembangan pusatperdagangan modern, dll. Dalam

ilmu perencanaan wilayah dankota, fenomena ini lazim disebut

eksternalitas.

WACANA

Pembangunan Kota

tusan formal pembangunan kota. Aki-

batnya, peningkatan kualitas kehidupan

sekelompok warga kota tertentu acapkali

diiringi dengan terjadinya penurunan

kualitas hidup kelompok warga yang lain

sehingga menciptakan atau memper-

dalam ketidakadilan.

Ada tiga syarat utama yang harus ditegak-

kan agar sisi buruk dari fenomena ekster-

nalitas pembangunan kota ini bisa diatasi.

Pertama, pemahaman seluruh pihak yang

terlibat dan berkepentingan dengan

aktifitas pembangunan kota: eksekutif,

legislatif, para pakar, lembaga swadaya

masyarakat, sektor swasta, serta masya-

rakat luas pada umumnya, akan fenomena

eksternalitas. Kedua, suasana demokratis

dimana setiap gejala eksternalitas (teru-

tama yang negatif) dapat disuarakan

untuk mendapat perhatian dan diper-

soalkan secara transparan, akuntabel, dan

berkeadilan. Ketiga, tegaknya kelemba-

gaan yang mampu menjalankan mekanis-

me kompensasi eksternalitas ini secara

efektif. Ketiga syarat ini telah sejak lama

terpenuhi dalam tatanan proses pemba-

ngunan kota-kota di negara maju, sehing-

ga tidak aneh bila kita mengamati kondisi

kota-kota mereka yang sangat nyaman

dan berkeadilan.

Page 71: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

71KIPRAH • Volume 37

Pemahaman eksternalitas dapat bersifat

kompleks. Pada saat suatu investasi

menghasilkan kedua jenis eksternalitas

positif dan negatif, tidak selalu dapat

dikatakan bahwa eksternalitas positifnya

bisa mengompensasi yang negatif secara

langsung. Mengapa? Sebab, mungkin

pihak yang dirugikan dan diuntungkannya

berbeda (misalnya penduduk kawasan di

sekitar pusat perdagangan yang menga-

lami kemacetannya, sementara penduduk

dari wilayah lain yang memanfaatkan

kesempatan kerjanya). Mungkin juga

karena memang sifat dari eksternalitas

negatifnya secara hakiki tidak bisa

dikompensasi oleh eksternalitas positif-

nya. Contohnya kemacetan lalu lintas

yang hanya bisa diatasi oleh perbaikan

sistem jaringan jalan dan atau pengem-

bangan angkutan umum, bukannya oleh

penyediaan lapangan kerja.

Dengan demikian, analisis eksternalitas

dari suatu kegiatan pembangunan (baca:

investasi) kota tidak dapat dilakukan

dalam bentuk selisih besaran ekster-

nalitas negatif dan positif secara se-

derhana. Akan tetapi, memerlukan kajian

yang mendalam dengan mengacu pada

asas optimasi rasa keadilan publik. Per-

tanyaan kuncinya adalah adakah suatu

mekanisme yang efektif dalam me-

ngenali, menganalisa, mengitung, dan

secara patuh menjadikan pemahaman

atas eksternalitas ini menjadi acuan pada

proses pembangunan kota yang ber-

asaskan optimasi kepentingan publik oleh

karena jawabannya di negara kita adalah

belum ada, maka agenda pengembangan

mekanisme kompensasi ini sangat me-

narik dan strategis dalam upaya mem-

perbaiki arah pembangunan kota menuju

liveable cities.

Pertanyaan berikutnya adalah siapakah

sebenarnya pemicu eksternalitas? Meski-

pun pembangunan fasilitas umum oleh

dana publik adalah salah satu sumber

eksternalitas, kekuatan kapital yang

dimiliki sektor swasta merupakan pemicu

utama lainnya. Dalam pemahaman ilmu

ekonomi, sektor swasta dikenal sebagai

entitas dengan motif utama memaksi-

malkan profit. Adanya beberapa pelaku

usaha dengan kepedulian sosial yang

tinggi tidak cukup mengompensasi

karakter agregat kapitalis yang memiliki

kecenderungan memaksimalkan profit.

Ini suatu karakter yang berpotensi mem-

bentuk perilaku yang mengabaikan eks-

ternalitas negatif. Jika tidak ada pihak yang

mempersoalkannya, perilaku kapital akan

cenderung pada upaya mencapai keun-

tungan maksimal serta cenderung menga-

baikan biaya sosial akibat eksternalitas

negatif yang ditimbulkannya. Mengapa?

Karena dalam struktur pembiayaan

perusahaan, biaya untuk mengompensasi

eksternalitas negatif termasuk dalam

kelompok biaya produksi yang sifatnya

mereduksi profit. Meskipun secara fair

harus dikatakan bahwa pada saat yang

bersamaan investasi juga berpotensi

menciptakan eksternalitas positif, namun

tetap harus ada suatu analisa dan perhi-

tungan yang jelas terhadap resultan dari

eksternalitas suatu investasi.

II. Stadium demokrasi

Meskipun masih banyak kelemahan akibat

euphoria kebebasan, namun secara agre-

gat kita dapat merasakan banyak hikmah

positif perkembangan demokrasi ter-

sebut dalam mempromosikan pemba-

ngunan yang lebih berkeadilan. Kebe-

basan media pemberitaan yang cukup luas

dalam menyajikan proses pengungkapan

penyimpangan-penyimpangan di berbagai

sektor telah mampu membangun ke-

yakinan publik untuk berani menyuarakan

setiap persoalan. Mengapa kontrol publik

yang datang dari pihak masyarakat men-

jadi ujung tombak dalam pengendalian

eksternalitas? Karena mereka adalah

pihak yang paling banyak mengalami

kerugian oleh akibat dari eksternalitas

(negatif) yang tidak terkontrol, sehingga

paling paham akan realitas persoalan yang

dihadapi.

Mestinya masyarakat kota adalah pihak

yang paling termotivasi untuk memper-

tanyakan, misalnya, mengapa pem-

bangunan mal (pusat perdagangan) baru

diizinkan oleh pemerintah kota? Apakah

WACANA

Kawasan Bundaran H.I . Jakarta. (Foto:Lies)

Sementara itu, belum terpenuhinya

ketiga syarat tersebut dalam proses

pembangunan kota-kota di negeri kita,

telah menyebabkan sulitnya kita ter-

hindar dari resiko pembangunan kota yang

mengandung berbagai bentuk eks-

ternalitas negatif yang mungkin saja

disadari dan dikeluhkan, namun tidak

mampu dikompensasi.

I. Pemahaman eksternalitas

Respon aktif terhadap fenomena ekster-

nalitas diharapkan berkembang sebagai

bagian dari proses kontrol publik untuk

menekan dampak dari pembangunan kota

yang merugikan. Tentu saja respon

tersebut akan muncul bila ada pemaha-

man yang baik terhadap fenomenanya itu

sendiri. Dengan kata lain, pemahaman dari

semua elemen warga kota secara luas

tentang eksternalitas adalah syarat bagi

terbangunnya awareness untuk menekan

ekses negatif perilaku kapitalistik pemba-

ngunan kota.

Page 72: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH72

sudah sesuai dengan rencana tata ruang

kota yang pernah disusun? Siapa pihak

yang mendapat manfaat terbesar dari

pembangunan itu? Apa kerugian yang

diderita masyarakat (tambah macet,

tambah bising, pedagang kecil kehila-

ngan pangsa, dst.)? Adakah kompensasi

yang terukur dan memadai untuk menga-

tasinya?

Untuk itu, penting dilakukan kontrol

publik. Kekuatan kontrol publik ini hanya

dimungkinkan bila ada kecerdasan ma-

syarakat yang memadai yang disertai

pembentukan kelompok-kelompok kepe-

dulian.

Namun demikian, terpenuhinya syarat

kedua ini memerlukan upaya pembena-

han guna meminimalkan resiko negatif

akibat euphoria kebebasan. Perlu dikem-

bangkan kesadaran publik bahwa penyua-

raan fenomena eksternalitas pemba-

ngunan kota sejatinya bertujuan untuk

melakukan koreksi terhadap ekses nega-

tif dari aktifitas pembangunan secara

proporsional. Sikap berlebihan dalam

mengembangkan koreksi tersebut bisa

berakibat melemahkan akselerasi pemba-

ngunan kota bahkan bisa bersifat kontra

produktif. Bagaimanapun, proses pem-

bangunan kota perlu didorong untuk

selalu berakselerasi.

Di tengah semangat pembangunan kota

melalui skema partisipasi sektor swasta

yang merupakan alternatif solusi bagi

persoalan keterbatasan dana pemerin-

tah, upaya koreksi yang tidak proporsional

bisa menjadi bumerang.

III. Kelembagaan kompensasi

Syarat ketiga yang tidak kalah pentingnya

bagi keberhasilan pengembangan meka-

nisme kompensasi eksternalitas pemba-

ngunan kota adalah dukungan kelem-

bagaan. Kelembagaan tidak semata

merujuk pada pengertian konvensional

kelembagaan sebagai body of institution

(badan organisasi), melainkan pada

pengertian yang komprehensif, yakni

suatu set rule of the game yang mengatur

tata cara dan prosedur bagaimana seha-

rusnya mekanisme kompensasi tersebut

dijalankan. Tentu saja didalamnya terkan-

dung kebutuhan mendefinisikan badan-

badan organisasi sebagai unit pelaksana

fungsi regulasi, deteksi, analisa, pengam-

bilan keputusan, dan eksekusi keputusan.

Fungsi regulasi merupakan elemen pokok

yang merumuskan tata aturan main

bagaimana prosedur pengenalan (detek-

si) terhadap fenomena eksternalitas,

analisis terhadap masalah eksternalitas

yang muncul, aturan penambilan keputu-

san, serta eksekusi dan kontrol terhadap

keputusan yang telah diambil akan diatur.

Regulasi ini menempati peranan menda-

sar dalam memberikan landasan hukum

bagi setiap tindakan yang akan diambil

oleh perangkat terkait dalam proses

kompensasi eksternalitas. Bentuk regu-

lasi ini dapat berupa undang-undang,

peraturan pemerintah pusat, peraturan

daerah, serta bentuk-bentuk produk le-

gal lainnya sesuai dengan situasi dan

kondisinya. Jelas bahwa fungsi regulasi

ini terdiri dari unsur peraturan yang

dirumuskan oleh lembaga legislatif

dengan memperhatikan input dari ekse-

kutif, yudikatif, masyarakat luas, dan pihak

lain yang berkepentingan, termasuk

sektor swasta. Adapun pengembangan

konten dari regulasi untuk mengatur

setiap langkah dalam proses kompensasi

WACANA

IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) Setiabudi, Jakarta Selatan. (Foto:Ahmad Fauzi)

Page 73: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

73KIPRAH • Volume 37

eksternalitas ini selayaknya disusun

berdasarkan pelajaran dari berbagai kasus

dan fenomena kerugian dan keuntungan

dari semua bentuk kegiatan investasi dan

pembangunan kota.

Fungsi deteksi berperan dalam mengama-

ti, mengenali, serta memformulasikan

fenomena eksternalitas dari suatu gejala

yang dirasakan menjadi rumusan state-

ment of problem yang jelas dan objektif.

Fungsi deteksi ini pada dasarnya dapat

dilakukan oleh setiap elemen masyarakat

(terutama yang terkena dampak dari

suatu kegiatan investasi dan atau pemba-

ngunan kota) baik individual maupun

kolektif/institusional.

Deteksi pada dasar-nya bisa bersifat ex-

ante, yaitu meprediksi kondisi-kondisi

yang akan terjadi sebagai dampak dari

suatu kegiatan pembangunan/investasi,

serta ex-post, yaitu menyatakan kondisi-

kondisi yang secara nyata sudah terjadi

sebagai dampak dari kegiatan pem-

bangunan/investasi.

Fungsi analisa berfungsi menindaklanjuti

perumusan masalah yang telah dihasilkan

pada tahap deteksi untuk dianalisa secara

komprehensif. Analisa bertujuan mema-

hami lebih lanjut aspek negatif serta positif

untuk menentukan gejala-gejala yang

dapat dipertimbangkan aspek cross-com-

pensation-nya atau tidak. Nampak bahwa

proses analisa ini memerlukan kecer-

matan khusus untuk dapat mempertim-

bangkan setiap fenomena secara jelas dan

berimbang.

Dengan demikian, diperlukan suatu

lembaga yang memiliki indepen-densi

serta profesionalisme yang tinggi. Lem-

baga ini bisa merupakan lembaga pe-

merintah yang independen dan ditugasi

khusus untuk tujuan ini. Sebetulnya,

lembaga badan perencanaan pemba-

ngunan daerah (bappeda) serta badan

pengendali dampak lingkungan daerah

(bapedalda) dapat diberdayakan untuk

mengemban fungsi ini. Untuk menjamin

akuntabilitas dan transparansi yang harus

dijaga oleh lembaga ini dalam mema-

WACANA

inkan fungsinya, diperlukan personil-

personil yang memiliki kapabilitas dan

pemahaman yang baik tentang substansi

persoalannya, serta pengawasan oleh

pihak independen.

Fungsi pengambilan keputusan idealnya

diperankan oleh lembaga khusus yang

bisa merupakan kelengkapan dari peme-

rintah baik di tingkat pusat maupun

daerah. Bila persoalan dapat diputuskan

dalam tataran non-juridis, maka lembaga

semacam bappeda dan bapedalda dapat

diberdayakan. Namun, bila terjadi ketidak

sepahaman yang cukup tajam antara

pihak-pihak yang berbeda pandangan

dalam penyelesaian persoalan kompen-

sasi eksternalitas ini, maka diperlukan

lembaga peradilan yang lebih formal.

Pembentukan suatu lembaga pengadilan

yang bertugas khusus dalam pengen-

dalian eksternalitas pembangunan/inves-

tasi kota semacam pengadilan tipikor dan

sejenisnya merupakan suatu strategi

yang baik untuk mewujudkan mekanisme

kompensasi eksternalitas pembangunan

kota yang efektif.

Fungsi eksekusi keputusan yang telah

diambil berada pada kelembagaan peme-

Kemacetan di Jl. Gatot Subroto Jakarta Selatan. (Foto:Lis)

rintah yang tugas pokoknya menjalankan

hasil kesepakatan atau bahkan keputusan

pengadilan. Dalam hal ini, kepolisian dan

polisi pamong praja merupakan organ-

organ yang dapat difungsikan untuk

tujuan ini. Fungsi eksekusi ini jelas

merupakan ujung tombak dari pelaksa-

naan keputusan dalam rangkaian meka-

nisme kompensasi eksternalitas yang

kerjanya dilandasi oleh keputusan yang

memiliki dasar hukum yang sudah tetap.

Namun demikian, yang lebih penting

adalah penetapan suatu strategi agar

keseluruhan sistem aturan main tersebut

dapat dijalankan secara akuntabel, trans-

paran, dan konsisten. Hal terakhir ini harus

didukung oleh mekanisme reward and

punishment yang jelas dan konsisten.

Dalam hal ini, perkembangan keterbu-

kaan dalam penyelenggaraan setiap

aktifitas yang berkaitan dengan kepenti-

ngan publik di negeri kita dewasa ini

cukup memberi harapan bagi keber-

hasilan mekanisme kompensasi ekster-

nalitas ini untuk dijalankan.

** Dosen pada Kelompok Keahlian Sistem

Infrastruktur Wilayah dan Kota, Sekolah

Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan

Kebijakan, Institut Teknologi Bandung

Page 74: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH74

Anda, saya, dan pembaca lainnya,

khususnya masyarakat jasa kon-

struksi, tentunya sudah menge-

tahui terbitnya PP 04 Tahun 2010 tentang

Perubahan Atas PP Nomor 28 Tahun 2000

Tentang Usaha Dan Peran Masyarakat Jasa

Konstruksi. Anda dan saya sedikit banyak

memahami bahwa dinamika perkem-

bangan usaha jasa konstruksi semakin hari

semakin cepat dan dinamis sehingga me-

merlukan pengaturan yang kompatibel

sesuai dengan dinamika/tuntutan per-

kembangan usaha jasa konstruksi ter-

sebut.

Ruang ini mungkin tidak cukup untuk

membedah PP 04 tahun 2010 secara de-

tail dan lengkap. Tetapi, semoga tulisan

ini dapat memberikan sedikit gambaran

tentang kisi-kisi pokok perubahan men-

dasar atas produk hukum tersebut, yang

konon merupakan karya panjang yang

telah melalui proses konsultasi publik

dalam usaha membenahi pengaturan

tentang usaha dan peran masyarakat jasa

konstruksi.

Hanya saja, di sayangkan sejak PP 4 ini

disahkan sebagai Peraturan Pemerintah

tanggal 6 Januari 2010, yang kedudukanya

sebagai pengganti PP 28 Tahun 2000,

yang ramai muncul dipermukaan justru

hanya menyangkut masalah sertifikasi

dan registrasi. Padahal, sertifikasi dan

registrasi hanya merupakan salah satu

konsekuensi atas perubahan tersebut.

Sementara, esensi dari perubahan ter-

sebut menyangkut nafas pengaturan

usaha dan peran masyarakata jasa kon-

struksi yang nantinya akan di-break down

dengan peraturan menteri justru belum

nampak tersentuh.

Pembaharuan Pengaturan Usaha &

Oleh: **Tri Djoko Waluyo dan H. Putut Marhayudi

Kalau kita menengok kebelakang, sesung-

guhnya terdapat berbagai permasalahan

yang ditemui ketika “PP 28 tahun 2000”

mulai diimplementasikan, antara lain

seperti:

(a) Lembaga yang diamanatkan oleh UU

Jasa Konstruksi (UUJK) tidak dideskripsi-

kan secara jelas sehingga dapat me-

nimbulkan kerancuan lembaga mana

yang ditunjuk oleh UU Jasa Konstruksi;

(b) Sumber pendanaan pelaksanaan

operasional kebijakan Lembaga bersifat

tidak tetap sehingga menyebabkan pelak-

sanaan tugas Lembaga menjadi tidak op-

timal dan akuntabilitas pelaksanaan

operasional kebijakan Lembaga menjadi

rendah;

(c) Badan Pelaksana (Bapel) kurang op-

timal dalam mendukung LPJK dari sisi

sumberdaya dan akuntabilitas;

(d) Pembidangan usaha belum dijabar-

kan sebagaimana amanat UUJK sehingga

menghambat daya saing penyedia jasa

karena tidak selaras dengan kebutuhan

pasar dan norma klasifikasi internasional;

(e) Pemerintah dan Lembaga Pengem-

bangan Jasa Konstruksi mengalami kesu-

litan dalam mengontrol proses sertifikasi

dan menjamin keberlanjutan pelayanan

publik dan;

(f) Mekanisme sertifikasi sangat beragam

dan tidak mengacu pada satu standar se-

hingga belum dapat memberikan gam-

Peran Masyarakat Jasa Konstruksi

WACANA

Kegiatan sektor jasa konstruksi memerlukan dukungan kelembagaan dan payung hukum yangkuat. (Foto:Dok.)

Page 75: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

75KIPRAH • Volume 37

baran kompetensi penyedia jasa yang

sesungguhnya.

Tidak dapat dipungkiri, adanya berbagai

permasalahan yang ditemui tersebut

menunjukan bahwa dalam pengaturan

usaha & peran masyarakat dalam me-

ngembangkan jasa konstruksi kita ibarat

masuk ke ruang gelap yang belum di

ketahui saklar lampunya. Dampaknya

dapat dilihat dimana usaha dan peran

masyarakat jasa konstruksi yang diatur

dalam PP 28 Tahun 2000 belum signifikan

mengantarkan pencapaian tujuan Un-

dang-Undang Nomor 18 Tahun 1999

tentang Jasa Konstruksi. Dalam hal ini

terutama untuk mewujudkan struktur

usaha jasa konstruksi yang kokoh, andal,

berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan

konstruksi yang berkualitas. Hasilnya,

pengembangan jasa konstruksi ternyata

hanya “enak” didengarkan ketimbang

hasil penerapannya.

Lalu apa esensi perubahan dari PP 28

Tahun 2000 menjadi PP 04 Tahun 2010

tersebut?

Kalau kita bolak-balik PP 04 Tahun 2010,

sesungguhnya ada 4 substansi peru-bahan

prinsip dalam pengaturan usaha dan peran

masyarakat jasa konstruksi, yaitu:

(a)Perubahan substansi kelembagaan

dengan tujuan untuk memperkuat

keberadaan dan fungsi LPJK dalam

melaksanakan 5 tugas yang diamanatkan

UUJK; (b)Keberadaan sekretariat lem-

baga dengan tujuan untuk mendukung

kegiatan LPJK agar dapat lebih optimal

dalam melaksanakan tugas-tugas yang

diamanatkan UUJK; (c)Perubahan sub-

stansi pembidangan usaha dengan tujuan

agar pembidangan usaha lebih serasi dan

selaras dengan kebutuhan pasar dan

standar internasional; dan (d) perubahan

substansi sistem sertifikasi dengan tujuan

meningkatkan akuntabilitas proses peni-

laian kemampuan kompetensi penyedia

jasa.

Sesungguhnya, esensi dari nafas PP 4

tersebut pada hakekatnya tidak akan

menghilangkan usaha & peran masya-

rakat jasa konstruksi, tetapi justru

mendudukkan usaha & peran masyarakat

jasa konstruksi secara proporsional. Di sisi

lain, dalam PP 04 tahun 2010 juga menem-

patkan kembali peran pemerintah se-

bagai regulator karena jasa konstruksi

merupakan pelayanan publik, sedangkan

masyarakat jasa konstruksi tetap sebagai

eksekutor.

Pemerintah, dalam perannya sebagai

regulator, tetap dan harus memper-

timbangkan aspirasi dari masyarakat jasa

konstruksi. Sedangkan masyarakat jasa

konstruksi, sebagai eksekutor, senantiasa

berpedoman terhadap regulasi yang

dikeluarkan oleh pemerintah sehingga

terjadi checked and balance dalam pe-

ngembangan jasa konstruksi.

melalui peraturan menteri, diarahkan

untuk memberikan keleluasaan bagi

mengembangkan inisiatif dan kreativitas

pengembangan secara inovatif dalam

rangka pengembangan jasa konstruksi

Indonesia, dengan muaranya untuk

peningkatan pelayanan kepada masya-

rakat di sektor konstruksi.

Jadi, bagaimana nantinya menilai keber-

hasilan implementasi dari Peraturan ini?

Ukuran keberhasilan melaksanakan PP

nomor 04 Tahun 2010 ini tidak sekedar

kesiapan menterjemahkan pembagian

urusan, kelembagaan, pembidangan

usaha, sistem sertifikasi, personil, aset,

dan keuangan yang tidak lebih hanya

merupakan input bagi proses pelak-

sanaan itu sendiri karena yang diperlukan

masyarakat jasa konstruksi justru output,

result, dan outcome dari implementasi

pelaksanaannya.

Bahasa verbalnya, jangan lagi pengaturan

usaha & peran masyarakat jasa konstruksi

diartikan sebagai sebuah pembagian

kekuasaan atau pembagian kewenangan,

dan lain sebagainya. Akan lebih bijaksana

jika PP 4 Tahun 2010 kita artikan sebagai

gabungan antara alat dan filsafat menuju

proses pengaturan usaha dan peran

masyarakat jasa konstruksi yang lebih

ideal. Oleh karena itu, diperlukan keber-

samaan dalam mensosialisasikan pera-

turan ini antara pemerintah dengan

lembaga pengembangan jasa konstruksi,

baik tingkat pusat maupun tingkat

daerah.

Mudah-mudahan tulisan singkat ini mem-

berikan wacana pemahaman/persepsi

yang sama atas terbitnya PP 04 Tahun

2020 tentang Usaha dan Peran Masya-

rakat Jasa Konstruksi, sehingga kita tidak

akan terperangkap lagi dalam ruangan

gelap dalam melaksanakan pengem-

bangan jasa konstruksi di Indonesia.

** Tri Djoko Waluyo, M.Eng.Sc (Kapus PPUK-

BPKSDM-PU)

DR.H. Putut Marhayudi (Staf PPUK-BPKS

DM-PU)

WACANA

Kegiatan pembangunan gedung bertingkat,Jakarta semakin marak. (Foto:Dok.)

Yang jelas, dengan terbitnya PP 04 Tahun

2010 kita tidak ingin masuk lagi dalam

kamar gelap yang tidak tahu dimana

saklarnya. Kita tidak bisa lagi menggu-

nakan kunci inggris yang bisa kita stel

semau kita untuk menuju suatu tujuan,

karena kalau itu terjadi lagi, bisa menga-

kibatkan stagnasi pengembangan jasa

konstruksi.

Yang kita butuhkan adalah pisau yang

tajam yang sesuai dengan penggu-

naannya. Nafas pengaturan usaha dan

peran masyarakat jasa konstruksi yang

tertuang dalam PP 04 Tahun 2010, yang

detail pelaksanaannya nantinya diatur

Page 76: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH76

Di Indonesia, persoalan pelestarian

bangunan tua/bersejarah sudah

sejak 1970an diwacanakan, na-

mun masih saja terdapat sejumlah

pendapat yang pro dan kontra. Mereka

yang pro pelestarian menyakini bahwa

bangunan/karya arsitektur sebagai

bagian dari produk sejarah merupakan

petunjuk untuk memahami kondisi

budaya rancang bangun zaman kiwari.

Paling tidak, melalui penelusuran sejarah

sejumlah peristiwa penting dapat diru-

nut hingga relevansinya kepada masa kini

dan mendatang. Nuansa kesejarahan

sarat dengan makna rekreatif/edukatif

dan pemahaman terhadap lingkungan

bersejarah, berkaitan langsung dengan

upaya penghormatan peradaban ma-

nusia. Di pihak lain mereka yang memiliki

pandangan berbeda akan pelestarian

(konservasi) berdalih bahwa pelestarian

tidak lain merupakan upaya mengabaikan

kebutuhan/aktifitas baru. Selanjutnya,

penolakan terhadap perubahan (melalui

upaya konservasi) dianggap sebagai

sebuah tindakan menghalangi upaya

perbaikan/pembangunan kawasan kota.

Tidak jarang, muncul pula pendapat

bahwa kegiatan konservasi dianggap

sebagai sebuah upaya kelompok mino-

ritas (elit) yang dipaksakan kepada

kelompok mayoritas (marjinal).

Selain perdebatan di atas, terdapat

perbedaan apresiasi masyarakat ter-

hadap bangunan dan lingkungan ber-

sejarah antara pandangan masyarakat

Pelestarian Bangunan

Belum hilang ingatan masyarakat akan kejadian yang menimpa situs arkeologis Majapahit di desaTrowulan, Jawa Timur, kini kembali muncul kasus penghancuran bangunan tua di kota Pangkal Pinang,

Bangka-Belitung. Masyarakat pemerhati pelestarian tentu sangat menyesalkan kejadian tersebut,sementara pemerintah setempat berdalih bahwa bangunan tersebut tidak termasuk ke dalam kategoribangunan pelestarian dan bangunan sudah berada dalam kondisi terbengkalai. Tidak mustahil kejadian

sejenis akan kembali terulang, sehingga apa “lesson learned” dari peristiwa tersebut?

Barat (negara industri) dan masyarakat

dunia berkembang. Persoalan pelestarian

di negara berkembang, menurut Tyman

(1992) dalam jurnal TRIALOG Zur Situa-

tion der Denkmalpflege in Südostasien vol.

35, ditandai oleh sejumlah ciri, misalnya

usia artefak yang relatif muda. Selain itu

umumnya karakter benda/bangunan

yang layak dilindungi pun dibentuk oleh

unsur-unsur budaya yang sangat bera-

gam. Berangkat dari realitas yang ada,

diskrepansi dalam struktur masyarakat di

dunia ketiga secara tidak langsung juga

turut menyebabkan sulitnya pengung-

kapkan apresiasi terhadap warisan budaya

pada umumnya dan terhadap karya seni

bangunan (arsitektur) pada khususnya.

Hal ini terjadi karena realitas sosial yang

mendukung nilai seni bangunan menjadi

fragmen-fragmen yang tidak mudah

dikaitkan satu sama lain secara arsitek-

tural.

Konsekuensinya, untuk menilai signi-

fikansi artefak tersebut agar layak dija-

dikan warisan bersejarah, diperlukan

Oleh: **Widjaja Martokusumo

WACANA

dan Pengingkaran Sejarah

Keberadaan bangunan bersejarah perlu dilestarikan. (Foto:Dok.)

Page 77: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

77KIPRAH • Volume 37

sebuah political will yang dibarengi

pemahaman substansi yang mendalam,

misalnya tentang kriteria pelestarian per

se. Jadi, memang masih tersisa sebuah

pekerjaan rumah yang berat bagi pemer-

hati dan para pemangku yang terlibat

dalam perkara pelestarian. Lebih lanjut,

hal ini mengisyaratkan bahwa kiranya

perlu dilakukan upaya untuk mengkritisi

kembali proses penilaian sejarah (hitorical

assesment) dan kriteria benda-benda

yang perlu dilindungi. Berkaitan dengan

hal penilaian, UU Benda Cagar Budaya

(BCB) no. 5/1992 secara eksplisit me-

nyatakan kriteria signifikansi, yaitu

kesejarahan, ilmu pengetahuan, langgam

arsitektur, dan nilai kebudayaan, selain

juga kriteria batas usia minimal (50

tahun).

Artinya, dalam kasus penghancuran

bangunan eks bioskop Surya (1924) dan

Garuda (1919) sesungguhnya kedua

bangunan tersebut sudah memenuhi

persyaratan sebagai sebuah artefak yang

harus dilindungi, sebagaimana dia-

manatkan dalam UU no 5/1992 dan UU

Bangunan Gedung (BG) no. 28/2002. UU

no. 28/2002 yang menyatakan bahwa

pengelolaan bangunan-bangunan yang

memiliki signifikansi khusus (dilindungi)

menjadi tanggung jawab Pemerintah

Daerah. Dengan demikian, apa yang telah

terjadi di Pangkal Pinang dapat dilihat

sebagai sebuah pengingkaran fakta

sejarah!

Dalam konteks kegiatan rancang kota

(seni bina kota), konservasi/pelestarian

dapat dilihat sebagai salah satu upaya

pengendalian proses-proses produksi

spasial secara politis maupun fisikal

(perencanaan spasial). Tentunya, upaya

pelestarian kini tidak hanya sebatas ranah

bangunan, namun juga sudah mencakup

ranah lingkungan/kawasan. Perhatian

terhadap aspek non fisik/bangunan dalam

kegiatan pelestarian merupakan sebuah

perubahan signifikan dalam diskusi

pelestarian global sejak tahun 1980-an.

Artinya, konsep pelestarian tidak saja

dibatasi oleh hal-hal yang bersifat kese-

jarahan belaka, namun juga mencakup isu

lingkungan yang lebih luas. Perubahan ini

sekaligus memperlihatkan bahwa sub-

stansi pelestarian bersifat dinamis dan

memiliki kaitan erat dengan pengelolaan

lingkungan hidup, seperti yang diung-

kapkan Pendlebury (2008) dalam Conser-

vation in the Age of Concensus.

Kegiatan pembangunan yang tidak ter-

kendali pada kawasan/tempat bersejarah

dapat menjadi ancaman serius terhadap

kelestarian nilai kesejarahan tempat

tersebut. Vandalisme terhadap bangunan

tua/bersejarah bukan sekedar karena

persoalan ideologis belaka, namun lebih

banyak dikarenakan motif ekonomi (glo-

bal). Berkenaan dengan hal tersebut,

pengendalian lingkungan melalui pe-

lestarian merupakan upaya untuk memi-

nimalkan kerugian/kerusakan yang mung-

kin terjadi.

Konservasi bangunan tua dan lingkungan

bersejarah diyakini tidak hanya sekedar

penghormatan kepada masa lalu (se-

jarah), tetapi juga terkait dengan aspek

pemanfaatan artefak secara cerdas. Oleh

karena itu, dalam era globalisasi dan era

perubahan cepat ini pelestarian dapat

berperan signifikan bagi pembentukan

jati diri. Selain itu, hal lain yang perlu

diketengahkan di sini adalah kegiatan

pelestarian bangunan dapat memberikan

kontribusi dalam penciptaan ruang kota

yang berkualitas.

Pelajaran yang dapat dipetik dari pe-

ristiwa di Pangkal Pinang adalah kegiatan

pelestarian bukan saja semata-mata pe-

kerjaan rumah bagi pemerintah daerah,

namun menjadi tanggung jawab seluruh

stakeholders pembangunan. Kerja sama

warga dan pemerintah lokal menjadi

sangat relevan ketika dikaitkan dengan

tantangan global dalam pembangunan

kota yang berjati diri dan berkelanjutan.

Apresiasi dan kesadaran masyarakat

terhadap kekayaan artefak kota berupa

bangunan tua hanya dapat terjadi bila

proses pelestarian memiliki manfaat bagi

masyarakat. Oleh karena itu, harus selalu

disepakati bahwa kegiatan pelestarian

dilakukan di dalam konteks peningkatan

kualitas lingkungan binaan dengan mem-

pertimbangkan aspek sosial, budaya,

ekonomi dan ekologi. Kiranya, kini sudah

saatnya institusi pemerintah dalam

melakukan pembe-nahan fisik kotanya

harus lebih peduli dengan peninggalan

sejarah berupa bangunanbangunan tua/

bersejarah, atau kota-kota kita akan

kehilangan penggalan sejarahnya….

**Kelompok Keahlian Perancangan

Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan

dan Pengembangan Kebijakan ITB.

WACANA

Contoh kampanye pelestarian bangunan di Jerman. (Foto: Dok.)

Page 78: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH78

Bukan tanpa alasan kampanye

permukiman ramah lingkungan

digalakkan. Hal itu untuk mengi-

ngatkan masyarakat tentang pentingnya

arti permukiman yang sehat, aman,

nyaman, dan lestari bagi penghuninya.

Pasalnya, tidak semua orang menyadari

bahwa maraknya isu ini ditandai dengan

fenomena degradasi lingkungan yang

semakin parah sehingga menimbulkan

bencana. Berikut petikan wawancara

Kiprah dengan Rana Yusuf Nasir, Direktur

Rating dan Teknologi PT Green Building,

yang fokus pada masalah bangunan

permukiman.

Bagaimana pandangan bapak tentang

perencanaan permukiman yang ramah

lingkungan yang lebih menjamin keaman-

an dan kenyamanan bagi penghuninya?

Bila ditinjau dari upaya membangun suatu

lingkungan masyarakat yang tertib,

tenteram, dan sejahtera, pada dasarnya

berhadapan dengan faktor internal, yaitu

lingkungannya itu sendiri. Kenapa de-

mikian? Sebab ciri perkembangan kota-

kota di Indonesia umumnya terjadi secara

alami, bukan melalui suatu perencanaan

sebelumnya.

Bukankah setiap kota telah memiliki

rencana tata ruang wilayah dan perun-

tukannya?

Memang benar, meski ada perencanaan

misalnya, tetapi tumbuh kembangnya

banyak yang tanpa kendali. Hal tersebut

dapat dilihat dari pemanfaatan ruang

yang terbangun cenderung ekspansif dan

menyebar serta mengkonversi ruang-

Menuju Permukiman

Ramah Lingkungan

ruang alami yang memiliki fungsi eko-

logis, seperti okupasi daerah resapan air,

hutan situ, daerah aliran sungai, eko-

sistem pantai, dan lahan-lahan ekonomi

lainnya. Misalnya, Dampaknya sangat

merugikan. Bencana banjir, tanah longsor,

abrasi pantai, atau rusaknya biota laut,

sungai, dan sebagainya karena ling-

kungannya terganggu.

Terkait dengan pemanfaatan sumber daya

air pak, belum lama ini kita telah mem-

peringati Hari Air Sedunia (HAD) pada

tanggal 22 Maret lalu. Bagaimana Bapak

memandang persoalan sumber daya air ke

depan?

Masalah sumber daya air ke depan

semakin rumit dan kompleks. Oleh karena

itu, bukan tanpa alasan Hari Air Sedunia

dicanangkan. Hal itu mengingatkan

masyarakat dunia akan arti pentingnya

pengelolaan sumber daya air yang sus-

tainable. Pasalnya, tidak semua orang

menyadari bahwa air yang terlihat tak

terbatas itu pun bisa menjadi harta karun

yang sulit dicari. Air bersih menjadi langka

dan mahal setiap tahun, air tanah pun

menjadi sulit. Oleh sebab itu, perlu

pengelolaan sumber daya air yang me-

nyeluruh dan berkelanjutan.

Persoalan-persoalan apa saja yang akan

manjadi tantangan sehingga masalah air

ke depan semakin rumit dan kompleks?

Ya, itu tadi. Persediaan air bersih setiap

tahun cenderung semakin merosot, air

menjadi semakin mahal, akibatnya air

menjadi sumber konflik kepentingan,

sementara tarif air tanah pun kian me-

roket. Di sisi lain, budaya dan tingkat

kesadaran masyarakat tentang air dan

sumbernya masih kurang menunjang

kelestarian air. Oleh karena itu, perlu

terobosan-terobosan teknologi dalam

rangka upaya penghematan air.

Negara kita kan memiliki ketersediaan

banyak air, apa yang perlu dikhawatirkan?

Betul. Kasarnya, kita tak harus membeli

air dari negara tetangga. Tetapi, tak serta

merta bisa membuat masyarakatnya

berboros-boros menggunakan air. Seba-

gian besar dari kita mungkin sulit untuk

membayangkannya, mengingat di Indo-

nesia air bersih masih tergolong mudah

diperoleh. Coba saja bertandang ke

negara-negara tetangga yang sumber

airnya tergantung dari negara lain karena

tak mampu menghasilkan atau menge-

lola air sendiri, harganya disana bisa bekali-

kali lipat.

Dalam posisi tersebut, kita harus men-

syukuri bahwa di negara sendiri kita bisa

membeli sebotol air minum dengan harga

Rp 2000. Meski demikian, bukan berarti

kita bisa tenang-tenang. Dengan jumlah

penduduk semakin meningkat dan seiring

dengan tingginya kebutuhan dunia usaha,

kebutuhan air juga meningkat.

Bagaimana menumbuhkembangkan kesa-

daran masyarakat tentang arti pentingnya

air bagi kehidupan. Menyangkut peru-

bahan tata nilai dan perilaku budaya

masyarakat?

Pendekatan budaya hemat air harus

digalakkan. Belajar mengantisipasi kelang-

Rana Yusuf Nasir, DirekturRating dan Teknologi

PT Green Building

WACANA

Page 79: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

79KIPRAH • Volume 37

kaan air harus mulai dilakukan secara terus

menerus. Dan itu, bisa dimulai dari diri

kita sendiri, misalnya melalui kegiatan

rumah tangga sehari hari. Selain mem-

buka kran hanya saat diperlukan dan tidak

membiarkannya mengucur tanpa man-

faat, perbaiki semua kran air yang bocor

karena tetesannya bisa menghabiskan 25

liter air setiap harinya, dan akan men-

capai 10.000 liter per tahun.

Biasakan pula anggota keluarga untuk

mandi dengan pancuran karena jauh

lebih hemat ketimbang berendam di bath-

tub atau mandi dengan gayung. Matikan

pancuran selagi memakai sabun atau

sampo. Untuk sikat gigi, biasakanlah

menggunakan gelas untuk berkumur-

kumur agar air tidak terbuang percuma

saat keran mengucur.

Saat mencuci pakaian, biasakan untuk

memisahkan pakaian yang sangat kotor

dengan pakaian yang tidak terlalu kotor

karena pembilasan pakaian yang sangat

kotor cenderung menggunakan air yang

lebih banyak. Tampung juga air dalam

wadah saat mencuci buah atau sayuran

agar sisa airnya masih bisa dimanfaatkan

untuk menyiram tanaman atau kloset

jongkok. Dan, siram air hanya pada waktu

pagi atau malam hari untuk mengurangi

evaporasi dari air tersebut. Demikian pula

untuk kepentingan-kepentingan lainnya.

Sebetulnya berapa persen sih kebutuhan

riil air rumah tangga setiap harinya? kalau

selama ini kita dianggap boros? Tentu lain

kan penggunaannya antara masyarakat

perkotaan dan perdesaan?

Sebagai gambaran, kamar mandi di

rumah umumnya menggunakan 60-70 %,

kebutuhan dapur 15%, dan sisanya untuk

keperluan lain, seperti mencuci baju dan

menyiram kebun. Dari seluruh air yang

ada di bumi , 97 % merupakan air laut, dan

dari 3 % air tawar yang tersisa, hanya 1 %

saja yang tersedia untuik digunakan

seluruh manusia. Anda bisa bayangkan,

dengan hanya 1 % air bersih yang tersedia,

seberapa lama kita bisa memanfaat-

kannya. Terlebih lagi populasi manusia di

dunia cenderung meningkat setiap

tahunnya dan manusia takkan pernah bisa

lepas dari air karena 70% tubuhnya

mengandung air.

Berdasar penelitian, setiap hari satu o-

rang perdesaan menggunakan 50 liter air

dan satu orang perkotaan menggunakan

140 liter air. Suatu jumlah yang cukup

besar. Itu sebabnya penghematan harus

dilakukan dari lingkup yang paling kecil

sekali pun. Budaya hemat air juga harus

dilakukan oleh beragam jenis dunia usaha

(hotel, restoran, rumah sakit) dalam

operasional sehari-hari, yaitu dengan

menilik konsumsi air di tiap lini.

pemanfaatan tata ruang, termasuk arsi-

tektur bangunannya. Bagaimana Bapak

melihat hal ini?

Ooh tentu. Idealnya, pembangunan harus

berdasar pada master plan yang telah

dirancang pemerintah melalui konsep

penataan ruang. Dan, penataan ruang

yang baik itu harus mengacu pada pera-

turan zonasi (UU No 26 tahun 2007

tentang Penataan Ruang). Bahkan, pada

Bab XI dengan tegas disebutkan setiap

pelanggaran terhadap peraturan ini dapat

dikenai sanksi hukuman pidana, baik bagi

masyarakat yang melakukan pelanggaran

maupun pejabat yang memberi ijin.

Kalau ini bisa dijalankan, bagus. Namun

praktiknya? Pola pemanfaatan ruang kota

kurang mendukung terwujudnya kota

yang berkelanjutan, tumbuh tak terken-

dali, dan mengkonversi ruang-ruang

alami yang memiliki fungsi ekologis.

Padahal, lahan-lahan alami tersebut

sangat penting artinya untuk menjaga

kelangsungan ekosistem. Kerusakan dan

pengrusakan yang terjadi di atasnya

menimbulkan berbagai macam bencana

alam yang sangat merugikan.

Terkait dengan penghematan energi,

harus mulai dihemat pemakaiannya, baik

itu energi listrik, minyak, dan gas bumi,

maupun energi lain dengan sentuhan

desian dan teknologi yang ramah

lingkungan, hemat, efektif, dan efisien.

Karenanya, desain perencanaan bangu-

nan menjadi sangat penting.

Di sini peran Kementerian Pekerjaan

Umum sangat vital dalam upaya pem-

binaan teknis, evaluasi, dan pengawasan

bangunannya. Selain itu juga, pemda

menyangkut perizinan dan perguruan

tinggi serta produsen properti me-

nyangkut inovasi dan solusi.

Harapan ke depan tentang permukiman?

Terwujudnya permukiman yang ramah

lingkungan aman, nyaman, sehat, dan

lestari bagi penghuni dan lingkungannya.

(Joe)

Bagaimana dukungan rekayasa teknologi

terhadap penggunaan air?

Teknologi memang bisa kita manfaatkan

untuk penghematan penggunaan air. Di

sini, produsen sanitasi dituntut untuk

selalu menciptakan inovasi yang ujungnya

menghemat air, seperti penggunaan

kloset dengan sistem dual flush atau Eco-

flush dengan tombol pembilas. Ternyata

kloset jenis ini mampu mengurangi

pemakaian air hingga 70 %. Demikian pula

penggunaan lavatory faucet, hand shower

dan shower spray yang mampu meng-

hemat air tanpa harus mengorbankan

kenyamanan.

Untuk menuju permukiman yang ramah

lingkungan, tentu penghematan juga

diberlakukan bagi penggunaan energi dan

Bukan tanpa alasan Hari Air

Sedunia dicanangkan. Hal itu

mengingatkan masyarakat

dunia akan pentingnya arti

pengelolaan sumber daya air

yang sustainable. Pasalnya,

tidak semua orang menyadari

bahwa air yang terlihat tak

terbatas itu pun bisa menjadi

harta karun yang sulit dicari.

WACANA

Page 80: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH80

JENDELAJENDELA

Rahma Sarita :

Cantik dan cerdas. Itulah kesan pertama yang didapat ketika

bertemu dengannya. Tak sedikit pun ekspresi lelah di

wajahnya. Padahal, ia baru saja kembali dari luar kota

malam sebelumnya. Sosoknya memang sudah lama malang

melintang di dunia pertelevisian. Belakangan, ia menyapa

pemirsa TV One sebagai News Anchor.

Selama 10 tahun, Rahma Sarita menjajaki dunia jurnalisme

pertelevisian. Awalnya, ia tak terpikir untuk menjadi seorang

presenter. “Dulu saya ingin masuk sekolah seni, tetapi tak

diizinkan orang tua,” katanya. Ya, kecintaannya pada seni lukis

memang nyaris mengantarkannya ke sekolah seni, tetapi malah

sekolah hukum yang ia jalani.

Lulus Fakultas Hukum Universitas Airlangga, wanita kelahiran

Surabaya, 7 April l975 ini mencari pekerjaan yang sesuai dengan

bidangnya. Namun, Rahma malah masuk ke TVRI Surabaya.

“Saya banyak bersyukur, justru latar belakang sekolah hukum

sangat membantu pekerjaan. Saya terlatih untuk berfikir tajam,

kritis, dan menganalisis masalah dengan cepat,” aku bungsu

dari delapan bersaudara ini.

Kariernya pun terus melonjak cepat setelah hijrah dari TVRI

Surabaya ke Jakarta. Ia kemudian bergabung dengan Metro TV,

sebelum akhirnya hinggap di TV One. Di sini, ia bertugas sebagai

News Anchor untuk Kabar Petang sekaligus sebagai produser

program. Rahma juga turun tangan dalam pengembangan Devisi

News. Karena itu, ia dituntut jeli menangkap isu-isu ekonomi

dan politik dengan cekatan.

“Dunia TV menjadi bagian yang tak terpisahkan dari saya. Saya

sangat menikmati setiap momen di sini. Semua bergerak cepat

dan selalu ada hal yang baru. Ritmenya sangat dinamis dan

menantang. Kreativitas kita juga dituntut untuk bergulir,” cerita

Rahma bersemangat.

Bekerja di lingkungan TV memang memungkinkan dirinya

bertemu dengan berbagai kalangan, termasuk travelling, yang

sangat ia sukai. “Itu yang paling saya suka dari pekerjaan ini,”

ungkap penggemar program Witness di Aljazeera TV dan The

Larry King Show di CNN. Kini Rahma juga meng-handle program

Kerah Putih dan program lainnya

Ketika ditemui Kiprah seusai memandu Acara Peluncuran Buku

BKT di Pendopo Sapta Taruna PU (30/3), ia mengatakan,

penanganan banjir Jakarta oleh Balai Besar Wilayah Sungai

Ciliwung-Cisadane sangat positif. Langkah ini merupakan

terobosan teknologi untuk mengurangi ancaman banjir,

khususnya bagi warga wilayah Jakarta Timur.

Meski gawe besar ini belum tuntas 100 persen, tetapi hasilnya

telah dirasakan oleh masyarakat. Sejauh ini keberadaan BKT

mampu memperlihatkan manfaat di kala ancaman banjir datang,

seperti pada saat datangnya musim hujan lalu. Bahkan,

tambahnya, upaya mengatasi bajir sebetulnya secara sistimatis

dan konsepsional dilakukan pemerintak kolonial Belanda sejak

tahun l918 silam.

Menurutnya, penanganan banjir memerlukan komitmen politik

yang kuat dan konsisten dari pihak pemerintah, tetapi perlu

keterlibatan semua pihak, termasuk masyarakat agar banjir dapat

dikendalikan dan dikelola secara bijak.

Ia menghimbau, selain berhasil membangun infrastruktur,

sebaiknya masalah sosial, ekonomi masyarakat yang merupakan

garapan non-struktural juga perlu diperhatikan, khususnya, bagi

mereka yang selama ini bermukim di daerah bantaran kali,

demikian juga menyangkut pembebasan lahan untuk proyek.

Terhadap masyarakat yang selama ini tinggal di kawasan

bantaran kali, perlu ditata dan diminta kesadarannya untuk

direlokasi demi terwujudnya bantaran kali yang aman, nyaman,

dan lestari.

Melihat keberhasilan BKT, kiranya menata ulang tanpa mencari

kambing hitam adalah solusi terbaik. Untuk itu, perlu kebijakan

optimal dalam mengakomodasikan kepentingan dan aspirasi

warga agar mendapat dukungan riil dari masyarakat. Selamat

untuk BKT! (Joe)

Rahma Sarita. (Foto:Dok)

Untuk Banjir

Page 81: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

81KIPRAH • Volume 37

INFOBUKUINFOBUKU

Bagi anda warga Jakarta, ada

sebuah kabar gembira di awal

tahun 2010 ini. Ada apakah ge-

rangan? Proyek Banjir Kanal Timur (BKT)

sudah tembus ke laut dan berfungsi.

Walaupun belumlah rampung seratus

persen, garapan dari Kementerian PU ini

berfungsi untuk mengurangi potensi

genangan dan banjir yang selalu meng-

hantui Jakarta setiap musim penghujan

tiba.

Mau tahu bagaimana sejarah dan per-

juangan panjang mewujudkan proyek

yang menjadi tumpuan harapan warga

Jakarta ini? Anda bisa mengetahui hal

tersebut dari buku “Banjir Kanal Timur,

Karya Anak Bangsa”. Buku ini di tulis oleh

Robert Adhi Ksp, seorang wartawan se-

nior dari Harian Kompas berdasarkan

wawancara dengan beberapa pihak

terkait ditambah data dari sumber-

sumber literatur lainnya.

Buku ini enak untuk dibaca dan desainnya

cukup menarik. Ia juga dilengkapi dengan

ilustrasi dan foto berwarna, indeks dan

“glossary”. Walaupun berbicara me-

ngenai proyek teknik, pembahasan

didalamnya jauh dari kesan teknik yang

rumit, bahkan lebih cenderung ke gaya

penulisan feature yang lebih mengungkap

sisi humanisme.

Bagian pertama dari buku ini membi-

carakan tentang problema banjir Jakarta

Banjir Kanal Timur, Tidak PerluMenunggu Lebaran Kucing

dari penyebab hingga beberapa alternatif

solusinya. Bagian kedua berbicara ten-

tang sejarah Banjir Kanal Timur sejak

master plan Jakarta 1973 hingga banjir

besar Jakarta di awal tahun 2007 yang

membuat pemerintah mengambil kepu-

tusan untuk mempercepat pembangu-

nannya.

Beragam kesulitan yang menghadang

pembangunan proyek ini, dari masalah

pembebasan tanah, penentangan warga,

relokasi fasilitas dan utilitas umum, juga

segudang hambatan lainnya terekam jelas

di bagian ketiga, termasuk cara pe-

nyelesaiannya serta suka-duka dalam

pengerjaan proyek.

Profil Pitoyo Subandrio dan Parno, selaku

orang-orang dibalik sukses pembangunan

Banjir Kanal Timur, ditulis dalam bagian

keempat. pada bagian kelima, ditam-

pilkan pandangan dan komentar seputar

Banjir Kanal Timur dan pengendalian

banjir dari berbagai kalangan, seperti

swasta, pemerintah, LSM, dan warga

masyarakat.

Satu hal yang membanggakan tentang

proyek Banjir Kanal Timur sepanjang 23,5

km ini adalah dibangun dengan otak, otot,

dan kantong bangsa Indonesia. Selain itu

perencana dan kontraktor Indonesia ser-

ta sumber dana dari APBN/APBD sendiri!

Proyek ini bisa menjadi acuan dan model

bagi pembangunan proyek infrastruktur

strategis lainnya. Pembelajaran yang bisa

diambil dari buku ini adalah bagaimana

anggaran dikucurkan sekaligus agar pro-

yek berjalan cepat, tender yang transpa-

ran, dan bagaimana cara penyelesaian

kasus-kasus pembebasan lahan.

Menteri PU, Djoko Kirmanto, sendiri

dalam pengantar buku ini menegaskan

bahwa keberhasilan proyek BKT ini perlu

dibarengi dengan pembenahan sistem

drainase dan pemanfatan ruang agar

mampu mengatasi perso-alan banjir

secara efektif.

Di sisi lain, Jusuf Kalla dalam kata pengan-

tarnya menyoroti hitung-hitungan biaya

BKT yang sebesar 2,5 trilyun rupiah itu

ternyata terbilang murah bila dibanding-

kan dengan dampak kerugian akibat banjir

Jakarta yang menghabiskan dana 8 trilyun

per tahunnya. Ini yang membuat ia berani

mengusulkan untuk menggelontorkan

dana sekian trilyun tersebut dalam waktu

singkat untuk mempercepat pembangun-

an BKT.

Terbukti, hasilnya kini sudah kita lihat

bersama. Ini senada dengan penda-pat

Kepala Balai Besar Wilayah Ciliwung

Cisadane, Pitoyo Subandrio. Dengan dana

proyek BKT sebelumnya yang cuma

dianggarkan 60 milyar pertahun, kalau ini

terus dilan-jutkan, “Sampai lebaran

kucing, BKT baru selesai” candanya,

sebagaimana dikutip dalam buku ini. (Wy)

Deskripsi Buku

Judul : Banjir Kanal Timur, Karya Anak Bangsa

Pengarang : Robert Adhi Ksp

Impresum : Jakarta : Grasindo, 2010

Kolasi : xviii, 300 hlm : Ilus. ; 23 cm

Page 82: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH82

KARIKATURKARIKATUR

Goes Ise’09

Page 83: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

83KIPRAH • Volume 37

Page 84: KIPRAH • Volume 37KIPRAH • Volume 37 3NUANSA • Setya Budhy Algamar † Ruchyat Deni Jakapermana † Waskito Pandu † Supardi † Mohammad Irian † Antonius Budiono † Sjukrul

Volume 37 • KIPRAH84