1 KIPRAH • Volume 37
1KIPRAH • Volume 37
Volume 37 • KIPRAH2
3KIPRAH • Volume 37
NUANSA
• Setya Budhy Algamar
• Ruchyat Deni Jakapermana
• Waskito Pandu • Supardi • Mohammad Irian
• Antonius Budiono • Sjukrul Amien
• Dadan Krisnandar
Amwazi Idrus
Dedy Permadi
Etty Winarni
Yunaldi • Djuwanto
Lisniari Munthe • Warjono • Srijanto
• Ade Syaiful • Krisno Yuwono
• Endah P.
• Agus Iwan Setiawan • Dian Irawati
Tim Dok. Puskom
Widowati • Litha
Anas S • Yusron • Nadi Tarmadi
• Sutikno • Budi
Kementerian Pekerjaan Umum
Puskom PU, Gedung Bina Marga Lt.1
Jl Patimura 20, Kebayoran Baru, Jakarta 12110
Telp./ Fax: 021-725 1538, 021-722 1679
e-mail:[email protected]
KIPRAHHUNIAN, INFRASTRUKTUR, KOTA DAN LINGKUNGAN
menerima kiriman artikel, atau tulisan lainyang (1) bersifat populer dan (2) sesuai dengan isi Majalah KIPRAH. (3)Panjang tulisan minimal 400 kata, maksimal 1600 kata. (4) Pengirimannaskah dapat dilakukan melalui email ke [email protected], disertaidengan data diri berupa biografi singkat dan alamat, nomor telepon,fax atau E-mail (bila ada). (5) Naskah yang tidak dimuat biasanya tidakakan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis. (6) Redaksi berhakmelakukan perubahan naskah tanpa mengubah isi dari tulisan.
Tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia untuk dapat
berlindung dari derasnya hujan serta teriknya matahari. Akan tetapi, tempat
tinggal juga melambangkan tingkat kesejahteraan penghuninya. Bagi orang-
orang yang berpenghasilan besar, mereka dapat membangun rumah bertingkat
yang besar dan nyaman, memiliki halaman luas nan asri dilengkapi dengan sarana
dan prasarana yang lengkap serta memadai. Sayangnya, tak sedikit orang yang
harus puas tinggal di rumah petak mungil atau gubuk reyot yang saling
berhimpitan, dikelilingi saluran air mampet dan sampah di sepanjang jalan setapak
dan lorong-lorong sempit, dengan ruangan kecil berperabot seadanya, serta tanpa
adanya akses air bersih maupun listrik yang memadai. Di permukiman kumuh
inilah warga perkotaan yang hidup di bawah garis kemiskinan terpaksa tinggal
sembari mencoba mengubah nasibnya. Meskipun mereka sebenarnya tidak senang
harus tinggal di permukiman kumuh, tetapi keadaan ekonomi dan desakan
kebutuhan membuat mereka “nekat” bertahan. Lahan pekerjaan yang lebih
baik menjadi magnet yang tak pupus menarik penduduk desa untuk pindah dan
tinggal di perkotaan, meskipun nasibnya di kota belum jelas.
Tidak siapnya kota-kota menghadapi ledakan penduduk dan urbanisasi yang tidak
terkendali menimbulkan berbagai permasalahan, salah satunya semakin suburnya
permukiman kumuh di kota-kota besar di dunia, tak terkecuali Indonesia. Semakin
pesatnya keberadaan permukiman kumuh menjadi salah satu indikator gagalnya
pemerintah dalam melaksanakan program pembangunan perumahan dan tata
kota yang berkelanjutan. Tidak hanya meruwetkan tata ruang kota, padatnya
permukiman kumuh di sepanjang tepian sungai, tepi rel kereta api, areal
pemakaman umum, di bawah jembatan, maupun jalan layang ini juga berdampak
bagi lingkungan hidup, kesehatan, dan standar hidup warga perkotaan, serta
tindak kejahatan. Konflik pun tak terhindarkan ketika pemerintah daerah
berkepentingan untuk mengatur tata ruang dan tata kota yang amburadul,
sementara keberadaan permukiman kumuh justru dianggap sebagai solusi bagi
warga miskin yang hidup di perkotaan. Minimnya sosialisasi pemerintah, terutama
pada proses penggusuran, relokasi, dan pembebasan lahan, sering kali
menimbulkan penolakan warga. Bahkan, tak jarang mereka sampai bertindak
anarkis demi membela tempat tinggal “miliknya”. Meskipun demikian, beberapa
pemerintah dan kepala daerah berhasil menemukan solusi tepat dalam pengaturan
dan penyediaan permukiman yang lebih layak bagi warganya. Kota Solo misalnya,
berhasil menangani permasalahan permukiman kumuh di wilayahnya melalui
pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan budaya lokal.
Permasalahan permukiman dan perkotaan, khususnya permukiman kumuh, pun
kian menjadi sorotan dunia. Sejak awal tahun 2010 ini, telah diadakan beberapa
pertemuan internasional membahas pembangunan permukiman dan perkotaan
yang berkelanjutan. Diawali dengan diadakannya World Urban Forum 5 (WUF) di
Brazil, kemudian acara World Shanghai Expo 2010 di Cina, hingga rencana
penyelenggaraan 3rd Asia Pacific Ministers’ Conference on Housing and Urban
Development (APMCHUD) yang akan dilaksanakan pada tanggal 22-24 Juni 2010 di
Solo, Indonesia. Semoga saja kegiatan-kegiatan yang telah dan akan dilakukan
pemerintah, baik di tingkat regional, nasional, maupun daerah, benar-benar
mampu menghasilkan pembangunan permukiman dan perkotaan yang
berkelanjutan, terutama bagi kesejahteraan masyarakat miskin dan marjinal.
(Redaksi)
Volume 37 • KIPRAH4
DAFTARISI
10
44
14
42
20
52
NUANSANUANSANUANSANUANSANUANSA...........................................................................................................33333
LINTAS INFOLINTAS INFOLINTAS INFOLINTAS INFOLINTAS INFOTiga Jembatan Bentang Panjang Dibangundi Kalimantan.....................................................................................66666Rawa Menjadi Prioritas Andalan..............................................77777Hulu Brantas Kategori Kritis......................................................77777Operasi & Pemeliharaan BKT Penting.....................................88888Ketua Komisi V DPR-RI Dilantik.................................................88888Anggaran Tambahan PU Rp 1,25 T............................................99999Terbit, Permen PU tentang Jalan Tol......................................99999 Segera Terbit, Perpres Tata Ruang Kawasan BBK...............99999
LAPORAN UTAMALAPORAN UTAMALAPORAN UTAMALAPORAN UTAMALAPORAN UTAMAPermukiman Kumuh, PR yang Belum Selesai.......................1010101010Realita Permukiman Kumuh: “Siapa Sih yang MauHidup Kaya Gini??”......................................................................1414141414Suara Hati Pemukim Kumuh.....................................…..…..........1717171717Okupasi Bantaran Kali Kian Marak................………................1818181818Menjamurnya Permukiman Pinggiran Rel KA...................2020202020Urbanisasi, Arus yang Belum (Tak Pernah) BisaBerhenti........................................................................................2323232323Upaya Pemerintah Menangani Permukiman Kumuh......2525252525Bebas Kumuh 2020, Mungkinkah?........................................2626262626Perlunya Pendampingan di Kawasan Kumuh......................2828282828Pemerintah Harus Ubah Paradigma.....................................2929292929
5KIPRAH • Volume 37
DAFTARISI
3829 36
766854
Perbaikan Kampung, Hemat Biaya dan MinimGejolak .........................................................................................3030303030Perlu Pengakuan Pemerintah.................................................3131313131Perlu Kebijakan Optimal dalam MengakomodasikanWarga............................................................................................3232323232Masalah Sosial Harus Diperhatikan.......................................3232323232Penanganan Permukiman Kumuh Kota Cimahi....................3333333333Revitalisasi Boezem Morokrembangan.................................3636363636Jalan Panjang menuju Bebas Kumuh...................................3838383838
GALERI FOTOGALERI FOTOGALERI FOTOGALERI FOTOGALERI FOTOWorld Expo Shanghai 2010.................................................4242424242
SELINGANSELINGANSELINGANSELINGANSELINGANMelongok Lombok...................................................................4444444444
TAHUKAH ANDATAHUKAH ANDATAHUKAH ANDATAHUKAH ANDATAHUKAH ANDATahukah Anda.........................................................................4646464646Yang Unik................................................................................….4747474747
JELAJAHJELAJAHJELAJAHJELAJAHJELAJAHFlood Way Dikeruk, Banjir pun Berkurang......................4848484848Menyelamatkan Waduk, Menolong Kehidupan................5050505050Manado Benahi Akses Jalan.................................................5252525252Percepatan Pembangunan Jalan di Papua PerluDana Rp 9,78 Trilyun..............................................................5454545454
Perlunya Air Minum di Papua..............................................5858585858Dari Papua ke Irian Terus ke Papua Lagi.........................5959595959Pusat Perhatikan Infrastruktur PU di Maluku.................6060606060EINRIP untuk Kawasan Timur Indonesia .........................6262626262
LAPORAN KHUSUSLAPORAN KHUSUSLAPORAN KHUSUSLAPORAN KHUSUSLAPORAN KHUSUSWUF 5, World Expo Shanghai, dan APMCHUD 2010:Event Internasional Peduli Perkotaan...............................6464646464Menjalin Kerja Sama Global..............................………….........6868686868
WACANAWACANAWACANAWACANAWACANAKompensasi Eksternalitas Pembangunan Kota...............7070707070Pembaharuan Pengaturan Usaha & PeranMasyarakat Jasa Konstruksi......................................................7474747474Pelestarian Bangunan dan Pengingkaran Sejarah.…..7676767676Menuju Permukiman Ramah Lingkungan.......................7878787878
JENDELAJENDELAJENDELAJENDELAJENDELARahma Sarita: Untuk Banjir......................................................8080808080
INFO BUKUINFO BUKUINFO BUKUINFO BUKUINFO BUKUBanjir Kanal Timur, Tidak Perlu Menunggu LebaranKucing...........................................................................................8181818181
KARIKATUR.....KARIKATUR.....KARIKATUR.....KARIKATUR.....KARIKATUR...............................................................................8282828282
Volume 37 • KIPRAH6
LINTASINFO
Dalam waktu dekat, Balai Besar
Pelaksanaan Jalan Nasional
(BBJN) VII Kalimantan beren-
cana membangun tiga buah jembatan
bentang panjang di Kalbar, Kalsel, dan
Kaltim. Ketiga jembatan tersebut ma-
sing-masing Jembatan Tayan sepanjang
1.420 meter di Kalbar, Jembatan Kota
Baru (3 km) di Kalsel, dan Jembatan Pulau
Balang ( 1.708) di Kaltim.
Studi kelayakan dan amdal ketiga jemba-
tan tersebut telah selesai dikerjakan,
tinggal menunggu kesiapan dana yang
rencananya akan dipikul bersama antara
pemda, pemerintah pusat, dan bantuan
pinjaman dari luar negeri. Demikian
dijelaskan Kepala BBJN VII, Subagiyo,
sewaktu ditemui Kiprah di Banjarmasin.
Jembatan Tayan misalnya, rencananya
mulai dibangun 2011 dan selesai 2014
diperkirakan membutuhkan dana sekitar
Rp 800 milyar. Saat ini, pemerintah pusat
tengah berupaya mencarikan dana pin-
jaman dari Cina. Jembatan yang memben-
tang di atas Sungai Kapuas ini merupakan
bagian dari mata rantai Lintas Selatan
Kalimantan (3.500 Km) yang juga masuk
sistem jaringan jalan ASEAN Highway se-
hingga perannya sangat penting dan
strategis dari sistem jaringan jalan
nasional yang menghubungkan antar
wilayah 4 provinsi di Kalimantan.
Sementara untuk pembangunan Jem-
batan Pulau Balang di Kaltim, bentang
pendeknya sepanjang 408 meter mulai
dikerjakan pihak pemerintah daerah
dengan membangun pilar tiang pancang
jembatan. Sedang sisanya, bentang
panjang 1.300 meter yang rencananya
akan dibiayai melalui dana APBN dan
pinjaman luar negeri, kini sedang di-
upayakan oleh pemerintah pusat.
Jembatan lain yang nilainya cukup stra-
tegis adalah Jembatan Kota Baru di Kalsel
Tiga Jembatan Bentang Panjang
sepanjang 3 kilometer, yang memben-
tang di atas laut menghubungkan daratan
Kalimantan (Batu Licin) dengan Pulau
Kota Baru. Saat ini, jembatan tersebut
dalam tahap evaluasi menyangkut pene-
tapan tinggi dan panjang jembatan dari
muka air laut yang perencanaan desainnya
dikerjakan oleh LAPI-ITB Bandung
Rencana ini diharapkan menarik pihak in-
vestor untuk membiayai terwujudnya
jembatan tersebut yang diperkirakan
membutuhkan dana sekitar Rp 1 trilliun.
Apalagi daerah ini memiliki potensi
sumber daya alam melimpah, berupa hasil
pertambangan, perkebunan, dan per-
ikanan, selain hasil hutan.
Dibalik rencana besar itu, menurut Suba-
giyo, terkendalanya masalah dana jangan
sampai dijadikan penghambat atau alasan
untuk tidak berbuat sebaik-baiknya bagi
pelayanan kepada masyarakat, meski
masalah mutu masih menjadi ganjalan.
Mutu
Subagiyo mengakui, luasnya wilayah dan
panjang jalan yang harus ditangani di
Kalimantan kurang didukung sistem
kelembagaan yang memadai, khususnya
menyangkut penerapan Sistem Manaje-
men Mutu (SMM). Selama ini masalah
tersebut masih dititipkan di Bidang Tata
Usaha, padahal masalah mutu pekerjaan
kini sudah menjadi tuntutan mendesak.
Oleh karena itu, Subagiyo mengusulkan
ke pusat agar BBJN VII Kalimantan sege-
ra membentuk Bidang Mutu agar mutu
penanganan jalan di Kalimantan semakin
meningkat dan tidak tertinggal jauh
dibanding dengan daerah-daerah lain.
Sebagai ilustrasi, Subagiyo menyebutkan
bahwa untuk wilayah Pulau Jawa, yang
luasnya separuh dari luas Kalimantan, dita-
ngani oleh dua balai besar tipe A, sedang-
kan di Kalimantan hanya ditangani oleh
satu balai besar tipe B. Kenyataan ini yang
membuat penanganan jalan di Kaliman-
tan kurang maksimal dan terkesan ter-
tinggal jika dibanding penanganan jalan
di daerah lain. Namun dibalik itu, Suba-
giyo bertekad supaya lebar jalan nasional
seluruh Kalimantan, yang sekarang rata-
rata baru 4 hingga 4,5 meter, pada tahun
2014 sudah memiliki lebar 6-7 meter.
Di samping itu, Subagiyo juga menge-
luhkan kerusakan jalan Trans Kalimantan
akibat over load kendaraan pengangkut
batu bara, sawit, dan angkutan barang
lain yang melintasi jalan itu. Seperti yang
terjadi di ruas jalan Trans Kalimantan, di
wilayah utara Kalimantan Timur sebagian
besar berlubang, amblas, dan longsor.
Ruas Bontang-Tanjung Redep misalnya,
kondisi jalannya masih termasuk katagori
kelas IIIB dengan lebar rata-rata 4 hingga
4,5 meter. Jalan ini hanya mampu mena-
han kendaraan dengan beban maksimal
8 ton. “Truk yang melintas membawa
muatan jauh lebih berat daripada kapa-
sitas jalan,” tandasnya.
Selain itu, tidak semua titik longsor dapat
segera diperbaiki karena biaya dari
pemerintah pusat minim. Misalnya,
kebutuhan untuk mengatasi satu titik
longsor membutuhkan dana Rp 1 milyar
hingga 3 milyar. Padahal di ruas Sangatta-
Simpang Perdau ada 34 titik longsor. (Joe)
Dibangun di Kalimantan
Longsor, Km 75 ruas penajam Tanah Grogot,Kaltim. (Foto:Yunus)
7KIPRAH • Volume 37
LINTASINFO
Rawa Menjadi Prioritas Andalan
Sebagai sumber daya lahan alternatif
rawa sangat potensial dijadikan
lahan produktif ketahanan pangan.
Tak kurang dari 33,4 juta hektar potensi
lahan rawa di Indonesia yang lokasinya
tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan
Papua siap dikembangkan. Berdasarkan
survei, lahan dataran rendah pantai dan
dekat pantai sekitar 5,6 juta hektar dari
24 juta hektar, diantaranya cocok dikem-
bangkan untuk lahan pertanian pro-
duktif.
Menurut Dir. Rawa dan Pantai, Ditjen
SDA, Djajamurni Wargadalam, sampai
saat ini reklamasi lahan rawa yang telah
dikembangkan seluas 1,8 juta hektar,
terdiri dari rawa pasang surut 1,46 juta
hektar dan 0,34 juta hektar lahan rawa
lebak. Namun dalam perkembangannya,
kondisinya banyak yang menurun akibat
kurang pemeliharaan (terbatasnya dana
O&P). Dampak yang lebih jauh, banyak
lahan rawa terlantar kurang terawat dan
produksinya anjlok. Padahal, kata Djaja-
murni, rawa memiliki potensi besar, bila
direvitalisasi, yakni bisa meningkatkan
produksi pangan (padi ), dari rata-rata 3 ton/
ha/thn, meningkat menjadi 5 hingga 6
ton/hektar/tahun. “Sangat strategis
untuk mendukung ketahanan pangan,”
ujarnya.
Ia mencontohkan keberhasilan pening-
katan produksi padi lahan rawa di Telang
Saleh, Kab.Banyuasin, Sumsel, dan lahan
rawa di Kab. Sambas, Kalbar, yang
berhasil memetik hasil padi 8 ton/hektar
sekali panen. Belum lagi tambahan dari
hasil tanaman sisipan.
Kegiatan revitalisasi ini menurut Djaja-
murni meliputi rehabilitasi sistem tata
kelola air pada jaringan makro, pemasang-
an bangunan pintu klep pengatur pada
saluran pemasok, dan perbaikan saluran
Diakuinya, akibat krisis ekonomi pada 1997
persoalan rawa menjadi kurang diperha-
tikan. Anggaran terbatas telah menye-
babkan semakin besarnya kerusakan
lahan rawa, terutama pada jaringan
pematus makro dan mikro serta
bangunan pintu-pintu klep pengatur
yang memerlukan rehabilitasi dan rekon-
struksi. Kondisi ini menyebabkan penu-
runan kualitas pelayanan yang mengaki-
batkan pertumbuhan tanaman kurang
bagus. Kondisi yang demikian, antara lain
berlangsung di Dandai Jaya, Tabunganen,
Kabupaten Barito Kuala.
Untuk mengembalikan fungsi semula,
setidaknya dibutuhkan dana sekitar
Rp 1,78 triliun, yaitu untuk pening-
katan dan merehabilitasi jaringan
makro seluas 230.000 hektar dan biaya
O&P bangunan seluas 800.000 hektar,
yang diprediksi membutuhkan sekitar
Rp 500.000/hektar/tahun. Sela in
penetapan prioritas dan pengem-
bangan daerah baru, tentunya. (Gus)
yang diselingi penanaman buah alpukat,
petai, nangka, dan sengon untuk men-
jawab kebutuhan ekonomi warga.
Tiga model kebijakan yang diterapkan
untuk melindungi sumber sungai Bran-
tas, yakni melalui perlindungan hard ware,
software, dan edukasi kepada masyarakat,
terutama generasi muda setempat,
termasuk mendorong desa untuk mem-
buat peraturan desa dalam upaya mence-
gah eksploitasi sumber-sumber air.
Di sisi lain, Tjoek mengkhawatirkan
ekspansi perusahaan besar, seperti hotel
serta investasi bisnis air minum dalam
kemasan, yang jika tidak diatur dan
dibatasi bisa mengancam kelangsungan
sumber air. (Trie)Kondisi air di hulu Sungai Barantas
saat ini sudah dalam kategori kri-
tis sehingga memerlukan strategi
penanganan yang lebih taktis. Hal
Hulu Brantas Kategori Kritistersebut karena 70 persen dari sekitar
57 sumber air penting di Kota Batu
berada di dekat permukiman dan telah
dieksploitasi oleh warga setempat untuk
kegiatan domestik, seperti mandi, cuci,
dan air minum. Selain itu, cara bertani
yang salah juga ikut memperparah
kerusakan lingkungan, yaitu terjadinya
erosi dan sedimentasi.
Direktur Utama PJT I, Tjoek Waluyo
Subijanto, yang hadir pada saat peng-
hijauan di Desa Giripurno, Kecamatan
Bumiaji, Kota Batu, menyatakan, PJT I
bekerja sama dengan Pemkot Batu dan
LSM berusaha mempertahankan keles-
tarian sumber air, antara lain dengan
penghijauan. Dalam kegiatan tersebut
telah ditanam 500 dari rencananya 10.000
batang pohon di daerah tangkapan air
Bantaran Sungai Brantas. (Foto:Istimewa)
drainase, yang merupakan pengatur
sistem tata air mikro di tingkat usaha tani.
Upaya lain yang tak kalah penting adalah
kegiatan O&P pada seluruh jaringan.
Volume 37 • KIPRAH8
LINTASINFO
Proyek Banjir Kanal Timur (BKT)
terbukti telah berhasil mengu-
rangi luas dan lama genangan
akibat banjir Jakarta tahun ini, setelah
akhir Desember lalu tembus ke laut. Kalau
sebelumnya tinggi genangan rata-rata 0,5
hingga 1 meter dan lama genangan 72
jam, kini setelah ada BKT tinggi genangan
hanya semata kaki orang dewasa dan 14
jam kemudian airnya sudah surut.
Dengan kata lain, sekali pun pembangunan
BKT belum 100 persen tuntas, tetapi
keberadaannya telah memberi manfaat
bagi sebagian warga ibu kota, yaitu rasa
aman dari banjir, karena berkurangnya luas
dan lama genangan.
Sekalipun demikian, mantan Dirjen Sum-
ber daya Air (SDA), Kementerian Peker-
jaan Umum, Siswoko, mewanti-wanti
kepada jajaran SDA agar masalah Operasai
dan Pemeliharaan (O&P) diperhatikan.
Oleh karena itu, pengelolaan paska proyek
Operasi & Pemeliharaan BKT Pentingnanti harus tetap ditangani oleh Peme-
rintah Pusat, dalam hal ini BBWS Cili-
wung-Cisadane, meski pihak Pemprov.
DKI ikut andil, khususnya dalam pem-
bebasan lahan. “Toh manfaatnya untuk
warga DKI juga,” ujar Siswoko, saat hadir
dalam acara Peluncuran Bedah Buku BKT
di Pendopo Sapta Taruna PU 30 Maret
lalu.
Fungsi BKT sendiri, selain mengurangi
ancaman banjir di daerah Jakarta Timur,
juga melindungi permukiman, kawasan
industri dan pergudangan, serta akan
dimanfaatkan sebagai prasarana konsevasi
air, yaitu pengisian kembali air tanah,
sumber air baku, dan prasarana trans-
portasi air.
Menurut Siswoko, paska konstruksi
masalah O&P menjadi penting agar
bangunan tetap berfungsi sesuai rencana.
BKT ini merupakan salah satu bagian dari
sistem penanganan banjir yang menye-
luruh, yang
akan diikuti
dengan pe-
kerjaan terus-
menerus, ter-
utama bagian
hilirnya, se-
perti pem-
buatan folder
atau waduk
tampungan
banjir dll. Bahkan, di beberapa bagian atau
lokasi yang kondisi lebar salurannya masih
sekitar 15 meter harus dibuat sesuai
rencana, yaitu lebar 70 meter dan
panjang 23,5 Km. Selain itu, upaya struk-
tural ini harus diikuti dengan upaya-upaya
nonstruktural, agar kanal tetap bersih
dapat digunakan untuk lalu lintas air.
Bukan menjadi tempat buangan sampah
dan limbah bagi industri dan rumah
tangga, khususnya yang datang dari aliran
Sungai Cipinang dan Kali Sunter. (Joe)
Siswoko, mantan Dirjen SDA.(Foto:Dok.)
Ketua Komisi V DPR-RI Dilantik
Wakil Ketua DPR-RI, Pramono
Anung, menetapkan Dra.Yasti
Soepredjo Mokoagow dari
Fraksi Partai Amanat Nasional sebagai
Ketua Komisi V DPR-RI yang baru.
Sebelumnya, jabatan ketua Komisi V
dijabat oleh Taufik Kurniawan yang
sekarang menjadi wakil Ketua DPR-RI
menggantikan almarhum Marwoto.
Pelantikan yang berlangsung Kamis (15/
4) yang lalu di gedung Nusantara DPR-RI,
dihadiri 36 anggota Komisi V DPR-RI dan
Wakil Ketua Komisi V Muhidin M Said ( F-
PG), H.Mulyadi ( F-PD), dan Yoseph
Umarhadi ( F-PDIP).
Dalam kesempatan tersebut, Pramono
Anung berpesan agar Ketua Komisi V
yang baru dapat berhati-hati dan beker-
ja sama secara kolektif kolegial dengan
pimpinan-pimpinan Komisi V yang lain.
“Saya mungkin tidak perlu berpesan apa-
apa lagi, karena Ibu Yesti ini juga dari
anggota Komisi V DPR-RI,” kata Pramono.
Sementara Yasti yang baru saja dilantik
mengatakan, sebagai pimpinan yang baru
dia berharap dapat bekerja sama dengan
sejumlah jajaran Komisi V. Yasti juga
berharap dapat menerapkan mekanisme
kerja hubungan antar anggota dan
pimpinan Komisi V DPR dijalankan dengan
prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan,
kebersamaan, dan saling menghormati.
Ketua Komisi V yang baru menyampaikan
keinginannya untuk selalu terbuka ter-
hadap saran, masukan, bahkan kritik. Dia
menyadari sebagai politisi yang baru
pertama kali duduk sebagai anggota
dewan, masih belum memiliki penga-
laman seperti anggota-anggota Komisi V
yang sebelumnya telah menjadi anggota
Dewan. Untuk itu, kata Yasti, agar dapat
Ketua Komisi DPR-RI, Dra. Yasti SoepredjoMokoagow.(Foto:Dok.)
9KIPRAH • Volume 37
LINTASINFO
menjadi pimpinan yang baik dan benar
dia mengharapkan kesediaan anggota
Komisi V untuk menegur atau meng-
ingatkan jika ada kekeliruan atau hal-hal
yang berpotensi menjadi kelemahan dan
kekeliruan. “Saya akan senang, lapang
dada, dan bahagia menerimanya sebagai
bagian dari hubungan yang saling meng-
hormati satu sama lain,” kata Yasti. Pada
akhir sambutannya, Yasti mengajak selu-
ruh anggota Komisi V DPR-RI untuk
menyukseskan tugas-tugas yang harus
diemban dan dipertanggungjawabkan,
bukan hanya kepada partai semata dan
konstituen masing-masing, namun ter-
lebih lagi kepada seluruh rakyat Indo-
nesia.(Jons)
Segera Terbit, Perpres Tata Ruang Kawasan BBK
Anggaran Tambahan PU Rp1,25 T
Kementerian Pekerjaan Umum
(PU) kembali mendapat alokasi
anggaran tambahan dalam AP-
BNP 2010 sebesar Rp 450 miliar. Sebe-
lumnya, Kementerian PU juga telah
mendapat alokasi anggaran tambahan
sebesar Rp 805,2 miliar, sehingga total
menjadi Rp 1,25 triliun.
Wakil Ketua komisi V DPR Muhidin M. Said
mengatakan, penambahan anggaran
dalam APBNP 2010 sebesar Rp 450 miliar
sudah mendapatkan persetujuan dari
komisi V DPR. “Ada tambahan anggaran
lagi Rp 450 miliar, jadi total menjadi Rp
1,25 triliun, “ ujarnya di Jakarta, Senin (3/5).
Menurut Muhidin , tambahan anggaran
sebesar itu tetap belum mampu menu-
tupi kekurangan anggaran tahun ini untuk
Kementerian PU yang diproyeksikan
mencapai Rp 6 triliun.(Lmm)
Terbit, Permen PU tentang Jalan Tol
Kelambatan atau terbengkalainya
20 proyek ruas tol diharapkan
segera teratasi dengan terbitnya
peraturan Menteri PU terkait proyek-
proyek tersebut. Menurut Kepala BPJT
Nurdin Manurung, dengan Permen PU
itu pemerintah dapat menerapkan keten-
tuan Peraturan Presiden No. 67/2005
tentang Kerja Sama Pemerintah dengan
Badan Usaha dalam Penyediaan Infra-
struktur. Permen Pekerjaan Umum
tersebut akan mengatur kriteria investasi
tol sementara BPJT akan menginvestasi
kelayakan proyek serta kemampuan
badan usaha jalan tol dalam menyele-
saikan proyek tersebut. (Ist)
Naskah Rancangan Peraturan
Presiden (Raperpres) tentang
Rencana Tata Ruang Kawasan
Batam, Bintan, dan Karimun (RTR Ka-
wasan BBK) telah sesuai dengan aspirasi
yang disampaikan oleh masyarakat.
Diharapkan proses selanjutnya dapat
disahkan menjadi Peraturan Presiden
(Perpres), demikian disampaikan Direk-
tur Jenderal Penataan Ruang, Imam S.
Ernawi pada Kegiatan Koordinasi Tim
Pelaksana Badan Koordinasi Penataan
Ruang Nasional (BKPRN) di Jakarta.
Raperpres tentang kawasan ini telah
melalui proses yang panjang, termasuk
pembicaraan dengan pihak Pemerintah
Daerah terkait. “Raperpres ini diharap-
kan segera dapat diselesaikan dan
diproses lebih lanjut sesuai mekanisme
BKPRN, agar dapat segera diusulkan
kepada Presiden sekaligus disahkan
sebagai Perpres,” imbuh Imam.
Direktur Penataan Ruang Wilayah I,
Bahal Edison Naiborhu, menambahkan,
telah sesuainya RTR Kawasan BBK
dengan aspirasi masyarakat tersebut juga
ditunjukkan dengan adanya persetujuan
serta dukungan dari masing-masing
Bupati dan Walikota terkait. Khususnya,
terhadap materi Raperpres RTR Ka-
wasan BBK yang dituangkan dalam
naskah kesepakatan substansi dan du-
kungan proses legalisasi Raperpres
tentang RTR Kawasan BBK.
Menurut Edison, sebaiknya perma-
salahan substansi sudah tidak diper0-
masalahkan lagi karena pada dasarnya
Raperpres ini telah disetujui dan men-
dapatkan dukungan dari Pemerintah
Daerah terkait.
“Segala masukan yang didapatkan pada
hari ini akan diadopsi jika memang sesuai
dengan aturan Perundang-undangan
yang berlaku,” tandas Edison. (Oc/Sha)
Salah satu infrastruktur yang dibangunKementerian PU. (Foto:Dok.)
Jalan tol di Jakarta.(Foto:Dok.)
Volume 37 • KIPRAH10
Melihat kondisi kota-kota besar
di Indonesia, banyak terdapat
penduduk yang “terpaksa”
hidup di dalam rumah yang kondisinya
sangat jauh dari standar rumah layak.
Rumah-rumah yang tak layak tersebut
berada pada suatu daerah yang memiliki
kepadatan bangunan yang tinggi, ke-
kurangan pelayanan air bersih dan
sanitasi, serta penghuninya sangat miskin.
Akhirnya dengan kondisi yang serba di
bawah standar tersebut, daerah tersebut
dicap atau dinamakan sebagai per-
mukiman kumuh. Hal ini berbeda dengan
Permukiman Kumuh,
permukiman yang formal, yang dirancang
berdasarkan pembakuan resmi.
Membicarakan masalah permukiman
kumuh di perkotaan, sulit untuk tidak
memulainya dengan masalah kependu-
dukan, khususnya urbanisasi. Salah satu
penyebab urbanisasi karena tidak seim-
bangnya pembangunan antara kawasan
perkotaan dengan perdesaan.
Kota yang merupakan pusat ekonomi
menjadi faktor penarik para urban.
Berdasarkan data dari PBB, diperkirakan
tingkat urbanisasi di Asia pada tahun 2005
hingga 2010 akan meningkat dengan
tingkat pertambahan 2,5 % per tahun.
Penduduk yang mayoritas berasal dari
perdesaan tersebut rata-rata berpen-
didikan rendah dan miskin tersebut,
membanjiri kota hanya bermodalkan pas-
pasan atau istilahnya bonek (bondo nekat)
untuk mengadu nasib. Kota semakin
padat, dan diperparah pula dengan
pertumbuhan alami kota tersebut (pen-
duduk asli).
Urbanisasi akhirnya berdampak tidak
seimbangnya permintaan dan penyediaan
LAPORANUTAMA
Rumah, barangkali menjadi dambaan setiap insan yang hidup di dunia ini. Bagaimanapun kondisinya,kehidupan seseorang sebagian besar diawali, dilakoni, dan diakhiri di rumah. Akan tetapi, tidak setiap
insan dapat memenuhi harapan untuk memiliki rumah idamannya.
PR yang Belum SelesaiPermukiman tak sehat daerah Roxy, Jakarta Barat .(Foto:Wy)
11KIPRAH • Volume 37
dalam segenap aspek kehidupan, ter-
utama perumahan dan permukiman.
Urbanisasi merupakan fenomena global,
membawa dampak berupa masalah-
masalah perkotaan, terutama di negara-
negara berkembang, baik menyangkut
transportasi, perumahan, kesehatan
lingkungan, penyediaan sarana dan
prasarana umum, sektor tenaga kerja,
perekonomian kota, tata ruang, dan lain
sebagainya.
Masalah-masalah ini makin majemuk dan
makin pelik, terutama dalam penyediaan
perumahan dan permukiman. Kebijakan
melalui produk jadi, seperti proyek-
proyek Perum Perumnas dan Real Estate,
lebih banyak menyediakan perumahan
bagi yang berpenghasilan menengah ke
atas. Mereka yang berpenghasilan ren-
dah nyaris tidak tersentuh karena ketidak
mampuan mereka membeli atau me-
nyewa perumahan seperti apapun ben-
tuknya.
Para pendatang dari desa yang tidak
memiliki pendidikan dan kemampuan
tersebut, membangun rumah-rumah
mereka di atas lahan-lahan yang dapat
mereka “temukan”, seperti bantaran
sungai, kiri-kanan jalur rel kereta api,
kolong jembatan, tempat pembuangan
sampah, bahkan kuburan sekalipun.
Biasanya, mereka membawa juga ke-
luarga dan kerabatnya. Lambat laun
mereka beranak-pinak yang membuat
semakin padatnya permukiman ter-
sebut.
Faktor lain yang secara tidak langsung
meningkatkan permukiman kumuh
perkotaan adalah menurunnya pen-
dapatan masyarakat akibat krisis politik
dan ekonomi di Indonesia di tahun 1998,
yang telah meningkatkan secara drastis
proporsi masyarakat yang berada di
bawah garis kemiskinan.
Di tengah kondisi seperti ini, tidaklah
mengherankan kalau sektor informal
dalam perekonomian kota maupun
perumahan tumbuh semakin subur
semenjak krisis yang melanda Indonesia.
Dengan kesempatan kerja yang se-
makin langka, angka pemutusan hu-
bungan kerja yang tinggi, pendapatan
yang terus menurun, maka kondisi
serta standar kualitas kehidupan
masyarakat cenderung menurun pula.
Kemampuan daya beli masyarakat
menurun secara signifikan termasuk
akses mereka terhadap rumah yang
layak. Oleh karena itu, tidak meng-
herankan jika permasalahan rumah
kumuh ataupun rumah liar semakin
akut. Hal ini tentu membutuhkan
perhatian serius dari seluruh stake-
holders di bidang permukiman dan
pemerintah kota itu sendiri.
Bila kondisi permukiman kumuh tidak
ditangani dengan serius dan kompre-
hensif, akan timbul dampak negatif yang
mengancam kota tersebut.
Oleh karena umumnya penghuni adalah
masyarakat berpenghasilan rendah yang
cenderung miskin serta kepadatan
penduduk yang tinggi sehingga sanitasi
di lingkungan tersebut sangat buruk,
maka berbagai penyakit akan timbul di
permukiman tersebut, terutama pe-
nyakit yang mengancam anak-anak balita.
Selain itu, timbul berbagai permasalahan
sosial, seperti maraknya tindak krimi-
nalitas dan perilaku-perilaku asusila di kota
tersebut, dengan alasan untuk mem-
pertahankan hidup.
Berdasarkan data dari UN Habitat tahun
2001, populasi kumuh di perkotaan sekitar
28,0 % dari total populasi kota. Persentase
tersebut masih cukup besar, padahal
berdasarkan kasat mata, telah banyak
program pemerintah yang dikeluarkan
dengan alokasi dana yang besar untuk
menangani masalah perkotaan yang satu
ini.
Namun, sampai sekarang masalah ini
tetap saja belum terselesaikan. Bagi
sebagian orang atapun pemerintah,
permukiman kumuh tetap dianggap
sebagai masalah yang harus diselesaikan
kapan pun jua. Akan tetapi, dari sudut
yang berbeda, mungkin ada pihak yang
menganggap itu sebagai sebuah solusi,
terutama bagi kaum marjinal di per-
kotaan. Bagaimanakah pandangan kita?
Adakah solusi yang tepat untuk meng-
atasinya?
Munculnya kawasan permukiman kumuh
merupakan satu indikasi kegagalan pro-
gram perumahan yang terlalu berpihak
pada produksi rumah jadi, terutama bagi
masyarakat golongan ekonomi mene-
ngah ke atas, dan prioritas program
perumahan pada rumah milik. Program
pemberdayaan masyarakat dalam me-
nyediakan rumah yang layak bagi dirinya
sendiri belumlah dilaksanakan dengan
optimal.
LAPORANUTAMA
Volume 37 • KIPRAH12
Bagi sebagian besar orang, terutama para
pengambil kebijakan, permukiman ku-
muh dipandang sebagai suatu masalah,
terutama dilihat dari sisi penampilan
fisiknya. Permukiman kumuh selalu
menjadi kambing hitam bagi kumalnya
wajah kota dan terkadang menyiratkan
bahwa kegagalan pembangunan adalah
sesuatu yang haram bagi kebanyakan
pemimpin.
Lingkungan yang kotor, becek, sani-
tasi yang buruk, bangunan yang sem-
rawut, penampilan yang jorok, sumur
yang tercemar, kepadatan bangunan
dan hunian yang tinggi, penggunaan
bahan bangunan bekas dan murah,
dan sebagainya, merupakan gambar-
an umum yang dikaitkan dengan
eksistensi permukiman kumuh. Di
samping itu, pada permukiman kumuh
juga melekat stereotip kriminalitas
tinggi dan penyumbang kekacauan
kota dan komunitasnya. Jalan peme-
cahan yang diambil biasanya adalah
menggusur permukiman tersebut.
Memang, untuk kasus-kasus tertentu,
penggusuran dapat dilakukan apabila
permukiman kumuh tersebut dapat
membahayakan kepentingan publik dan
negara, namun tetap harus memberikan
lokasi pengganti bagi mereka.
Tetapi, kalau saja kita mau menengok
lebih dalam, ternyata ada beberapa
permukiman kumuh yang dapat mem-
berikan jawaban hidup bagi orang yang
tinggal di dalamnya, khususnya bagi
orang yang memiliki kemauan keras.
Tanpa bantuan sedikit pun dari peme-
rintah, orang-orang (yang berkemauan
keras) yang tinggal di permukiman
seperti ini mampu membangun pere-
konomian keluarga mereka. Mereka tidak
memerlukan kredit perbankan (apalagi
menyedot devisa negara), di samping
tidak memiliki akses, juga mungkin karena
mereka membutuhkan sistem finansial
yang lebih sederhana.
Secara swadaya, mereka juga mampu me-
menuhi kebutuhan akan rumah mereka.
Secara ekonomi, permukiman ini juga
memasok barang dan tenaga kerja yang
murah untuk ikut memutar roda pere-
konomian kota, terutama dalam sektor
informal.
Pertemuan Johannesburg Summit yang
diselenggarakan oleh UN Habitat pada
tanggal 25 September 2002 di kota
Johannesburg telah menghasilkan the
Johannesburg Declaration dan the Jo-
hannesburg Plan of Implementation
(JPOI). Pada pertemuan itu, seluruh
negara peserta kembali menegaskan
komitmen mereka terhadap pencapaian
Millennium Development Goals (MDGs),
termasuk mengenai pembangunan ber-
kelanjutan yang merupakan unsur dasar
dari agenda internasional serta memberi
dorongan baru untuk aksi global dalam
memerangi kemiskinan dan menjaga
lingkungan. Pemahaman pembangunan
berkelan-jutan diperluas dan diperkuat
khususnya yang berkenaan dengan
pentingnya keterkaitan antara kemis-
kinan serta lingkungan dan penggunaan
sumber-sumber daya yang dimiliki, baik
sumber daya alam maupun manusia.
Negara-negara peserta juga bertekad
membangun suatu solidaritas pendanaan
dunia untuk memberantas kemiskinan
dan meningkatkan pengembangan sosial
dan kemanusiaan di negara-negara ber-
kembang.
Para delegasi setuju dan menegaskan
kembali komitmen nyata yang luas dan
target-target aksi untuk mencapai imple-
mentasi yang lebih efektif dari sasaran-
sasaran pembangunan berkelanjutan.
Konsep kemitraan antara pemerintah,
kalangan pebisnis dan masyarakat sipil
diberikan suatu penekanan yang kuat oleh
pertemuan ini, baik dalam proses peren-
canaan maupun implementasinya.
Dalam hal pemberantasan kemiskinan
untuk tahun 2015, para peserta menye-
pakati suatu aksi bersama untuk mengu-
rangi setengah proporsi dari penduduk
LAPORANUTAMA
Permukiman tak layak huni .(Foto:Wy)
Mereka mampu memanfaatkan sumber
daya yang amat terbatas agar dapat
bertahan di tengah himpitan kerasnya
kehidupan kota modern. Kebanyakan dari
mereka mampu mendaur ulang bahan-
bahan tak terpakai menjadi sesuatu yang
berguna bagi diri mereka sendiri.
13KIPRAH • Volume 37
dunia yang berpendapatan kurang dari $
US 1 per hari dan setengah proporsi
penduduk yang menderita kelaparan.
Supaya di tahun 2020 dapat tercapai
suatu perbaikan yang berarti bagi ke-
hidupan, paling tidak 100 juta penghuni
rumah kumuh harus dihapuskan, se-
bagaimana yang diusulkan dalam inisiatif
“Kota tanpa permukiman kumuh”. Hal
ini tentu memiliki dampak luas terhadap
penentuan progam-progam pemerintah
kota untuk ikut berpartisipasi mengimple-
mentasikan kesepakatan-kesepakatan
tersebut.
Penanganan permukiman kumuh juga
ditegaskan kembali dalam World Urban
Forum (WUF) 5 di Rio Janeiro, Brazil pada
tanggal 22 – 26 Maret 2010, yang meng-
ambil tema “The Right to the City-Bridg-
ing the Urban Divide”. Agenda acara WUF
antara lain upaya-upaya mengurangi
kemiskinan dan upaya pembangunan kota
yang berkelanjutan, meliputi akses
tempat tinggal, kesehatan, air, sanitasi
dan pelayanan infrastruktur.
Juga dalam waktu dekat ini akan diseleng-
garakan acara konferensi tingkat menteri
tentang Perumahan dan Pengembangan
Perkotaan seAsia-Pasifik (Asia Pacific Mi-
nisters’ Conference on Housing and Urban
Development, APMCHUD) pada tanggal
22–24 Juni 2010 di Solo, Jawa Tengah. Pada
acara tersebut, perbaikan permukiman
kumuh menjadi salah satu agenda acaranya.
Dengan terangkatnya masalah permu-
kiman kumuh sebagai permasalahan
dunia, maka program aksi secara menyelu-
ruh haruslah disusun untuk mengurangi
angka kemiskinan, meningkatkan penda-
patan masyarakat, memperbaiki kondisi
lingkungan, membuka lapangan kerja,
meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam pembangunan, dan sebagainya.
Semuanya itu ditujukan untuk meman-
tapkan proses pembangunan berke-
lanjutan.
Dalam kaitannya dengan perbaikan kon-
disi permukiman di perkotaan, maka
diperlukan adanya perubahan paradigma.
Di samping memiliki masalah terutama
dalam hal kualitas lingkungan yang buruk,
permukiman kumuh sesungguhnya me-
miliki potensi untuk dikembangkan dan
mempunyai kontribusi yang memadai
terhadap pemecahan masalah permu-
kiman dan perekonomian kota.
Pemerintah, khususnya pemerintah kota,
perlu memikirkan cara-cara baru dalam
menangani masalah permukiman. Dam-
pak-dampak dari permukiman kumuh
tersebut masih menjadi pekerjaan rumah
(PR) yang belum selesai. Kaum marginal
di perkotaan umumnya tetap membutuh-
kan perhatian kita bersama, terutama
untuk meningkatkan kapasitas dan ak-
sesibilitas mereka terhadap perbaikan
kualitas kehidupannya. Negeri dengan
kota-kotanya ini dibangun bukan hanya
untuk mereka yang mujur, namun juga
bagi mereka yang belum beruntung.(Nld)
LAPORANUTAMA
Tepian Waduk Pluit, Jakarta Barat .(Foto:Wy)
Volume 37 • KIPRAH14
LAPORANUTAMA
Siang itu terik matahari me-
manggang kawasan Kampung
Bayam, Kelurahan Papanggo,
Jakarta Utara. Di tengah terik matahari
tersebut tim Kiprah terjun ke kawasan
ini untuk melihat langsung kondisi
permukiman kumuh yang ada. Saat
sedang sibuk-sibuknya memotret ka-
wasan kumuh dari atas rel kereta, bebe-
rapa pasang mata menatap penuh curiga.
Kami meneruskan perjalanan memasuki
perkampungan, namun perasaan was-was
mulai melanda saat beberapa warga mulai
berkumpul. Seorang bapak kemudian
menegur dengan nada tak bersahabat,
“Ini potret-potret, maksudnya apa?”
Sejenak kami terdiam, kemudian dengan
hati-hati mencoba menanyakan kenapa
warga terkesan tidak ramah. Beberapa
saat kemudian, setelah menjelaskan
maksud kedatangan kami, kesalahpaham-
Realita Permukiman Kumuh:
“Siapa Sih yang Mau Hidup Kayak Gini??”
an yang nyaris timbul itu bisa diatasi. Agar
lebih mengakrabkan diri, kami mem-
belikan rokok dan makanan ringan. Sontak
ketegangan yang tersisa melumer de-
ngan sendirinya. Siang itu, dari tenda
darurat sebuah warung mie ayam, me-
luncurlah berbagai macam cerita milik
warga permukiman kumuh.
Dari mulut Pak Asep (40), tercetus
bagaimana perasaan tidak tenang karena
menempati lahan secara ilegal dirasakan
warga disini. Terlebih sebagian meru-
pakan korban gusuran dari taman BMW
yang ditertibkan sekitar tahun 2007 lalu
oleh Pemda DKI Jakarta. Itulah sebabnya
warga masih curiga jika ada orang luar
memotret atau mencari tahu kondisi
lingkungannya. Takutnya hal tersebut
berujung pada penggusuran kembali.
Dari pembicaraan tersebut, kami me-
nangkap kesan bahwa mereka pun sadar
bahwa mereka salah menempati lahan
yang kini mereka diami tersebut. “Tapi
mau kemana lagi? Sekarang apa-apa
mahal. Kalau mampu, kita juga bakalan
pindah. Memangnya siapa sih yang mau
hidup kayak gini,” Kata Ngadimin (43),
seorang warga yang berprofesi sebagai
buruh serabutan.
Hidup di tempat ini memang nyaris tak
tertahankan bagi kebanyakan orang. Coba
saja bayangkan, rumah dengan tinggi
langit-langit kurang dari 180 cm, dengan
dinding dan atap dari bahan seadanya
(seng, triplek, dan lain-lain). Sebagian
besar juga masih berlantaikan tanah.
Belum lagi bau dari saluran air mampet
dengan banyak sampah dan kotoran.
Bagaimana tidak, di sepanjang saluran
mampet itu warga membuang sam-
Pemanfaatan tanah kosong untuk permukiman warga menimbulkan kekumuhan.(Foto:Joe)
15KIPRAH • Volume 37
LAPORANUTAMA
pahnya dan juga berjejer jamban di sisinya.
Bahkan, pada saat kami mengobrol pun
ada warga yang sedang buang air besar
di jamban darurat tersebut, hanya ber-
jarak kurang dari 5 meter dari tempat kami
duduk. Hal yang biasa di lingkungan ini.
Namun, jangan dikira warga di sini tidak
acuh terhadap lingkungannya. Mereka
memiliki struktur organisasi tersendiri,
semacam pengurus lingkungan. Ada
ketua, sekretaris, hingga keamanan.
Ujang (47) mengaku, pengajian warga
juga rutin digelar. Sebagai bukti, kami juga
melihat sebuah mushola kecil yang cukup
bersih dan rapi, juga semacam gardu,
tempat berkumpul warga.
Untuk listrik dan air, Asep menjelaskan
bahwa hal itu bisa dipenuhi. “Tapi bukan
sambungan resmi, Bapak tahulah dari-
mana,” jawabnya sambil terkekeh saat
kami menanyakan tentang fasilitas listrik
dan air. Hal yang bisa di maklumi, selain
karena dianggap mahal, juga karena
mereka dianggap penghuni liar sehingga
tidak memungkinkan mendapat layanan
secara resmi.
Masalah legalitas juga menjadi pertanyaan
warga. Jika mereka dianggap liar, pada
kenyataannya banyak warga yang me-
miliki KTP. Soal dianggap sebagai
penghuni liar, warga tampak menyimpan
kekesalan yang amat sangat. “Selama ini,
hak-hak kami diabaikan terus,” kata Asep
lagi. “Padahal kalau pas pemilu, dikasih
TPS juga, terus pas kampanye, pada
datang janji ini-itu. Sekarang mana?!”
tandasnya dengan nada panas. “Kita
semua sudah bosan akan janji-janji,”
tambahnya lagi.
Sebetulnya keinginan warga mudah saja.
“Kami mengerti bahwa tempat kami ini
tidak boleh ditinggali. Tapi kalau meng-
gusur harus manusiawi dong, kami kan
bukan hewan,” demikian kata Ngadimin.
Bagaimana dengan tawaran relokasi ke
rusun? Pada dasarnya warga tidak ber-
keberatan, asalkan lokasi tidak terlalu jauh
dan persyaratan untuk mendapatkannya
tidak dipersulit.
Bagaimana kegiatan warga di sini? Di salah
satu sudut, beberapa pria bermain kartu
dan catur. Di depan sebuah rumah tampak
seorang wanita muda yang sedang asyik
mendengarkan radio. Tak jauh darinya,
beberapa wanita lain berkumpul. Apa
yang mereka lakukan? Rupanya mereka
sedang ramai berceloteh tentang gosip
terbaru sambil membersihkan beras dan
mencari kutu di rambut temannya.
Sebagian lagi kami saksikan hanya sedang
termenung diam.
Ada satu kesan yang mirip dari sebagian
besar wajah mereka. Itu adalah wajah-
wajah yang letih oleh hidup dan risau akan
masa depan. Wajah yang sudah acuh dan
nyaris tanpa gairah hidup. Kata yang pa-
ling tepat adalah “orang-orang kalah”.
Tentunya tidak semua seperti itu. Bebe-
rapa orang masih tampak bersemangat.
Tengoklah Wagimin (38), asal Cilacap,
yang bekerja sebagai buruh bangunan.
Atau Darmono (42), yang kesehariannya
berdagang asongan. “Alhamdulillah,
masih bisa ngumpulin buat dikirim ke
kampung,” demikian tuturnya sambil
tersenyum. Pastinya, hanya anak-anak
yang tidak merasakan tekanan. Mereka
dengan bebas berlarian dan bermain di
antara jalan dan lorong perkampungan.
Namun perlu diakui, ada semacam stigma
negatif dari masyarakat sekitar terhadap
penghuni permukiman kumuh ini. Seperti
dinyatakan Mamat (44), seorang sopir
angkot yang trayeknya melintasi jalan
dekat perkampungan ini. “ Wah, kalau
malam sih, di sini baru ramai pada keluar,”
katanya. Siapa yang keluar? “Ya perem-
puan, biasalah,” jawabnya tertawa geli.
Silahkan Anda tarik kesimpulan sendiri.
Secara demografi, warga di sini memiliki
beragam profesi. Ada yang jadi satpam,
tukang parkir, buruh, tukang cuci,
pemulung dan lain-lain. Sebagian besar
justru menganggur. Satu hal yang me-
nyatukan mereka semua adalah sebagai
masyarakat kelas bawah dengan ekonomi
yang lemah.
Memang, kota menjadi magnet bagi
kaum urban untuk mengadu nasib.
Dampak negatifnya, perkembangan tata
kota menjadi semrawut dan timbullah
permukiman kumuh di mana-mana.
Namanya saja mengadu nasib..... yah
untung-untungan. Harus diakui bahwaSarana MCK di kawasan kumuh.(Foto:Joe)
Volume 37 • KIPRAH16
sebagian pendatang yang kurang dibekali
keterampilan dan bermodal cekak, ter-
paksa menempati daerah-daerah perko-
taan yang sebenarnya tidak diperun-
tukkan sebagai tempat tinggal.
Impian dan harapan untuk memiliki rumah
sederhana, sehat, memenuhi standar
minimum kebutuhan f isiologis dan
psikologis, aman, dan nyaman, masih jauh
panggang dari pada api. Permukiman
kumuh jelas rentan terhadap bahaya
kebakaran, tindak kejahatan, gangguan
alam, dan penyakit. Tentu tak layak
sebagai tempat berteduh dan berlin-
dung.
secara tidak wajar, seperti suka merokok
dan berkata kotor serta tindakan negatif
lainnya.
Terciptanya permukiman kumuh perko-
taan pasti tidak dikehendaki semua pihak,
terutama pemerintah daerah dan kota
yang menghendaki pemanfaatan ruang
kota sesuai RTRW karena keberadaan
kawasan kumuh tidak dapat sepenuhnya
mendukung terwujudnya kota yang
berkelanjutan. Faktanya, permukiman
kumuh kian lama kian menjamur. Keha-
diran mereka telah menimbulkan konflik
kepentingan antara warga dan peme-
rintah. Antara yang mengatur dan yang
diatur, sehingga pemecahannya menjadi
semakin rumit.
Kosasih (45), salah seorang warga Kam-
pung Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta,
sejak puluhan tahun tinggal di bantaran
sungai Ciliwung merasa gelisah atas
tragedi banjir yang tak pernah absen. Ia
pun dapat menerima dan memahami
pentingnya program relokasi yang di-
tawarkan pemerintah. Asal harganya
murah, terjangkau, dan pemerintah
benar-benar merealisasikannya.
Pasalnya, banyak tanah kosong tidak jadi
dibangun, akhirnya ditempati lagi oleh
pendatang liar lainnya. “Yang penting
lokasinya tidak jauh dari tempat kami
bekerja,” paparnya. Mereka pilih me-
netap karena takut direlokasi oleh peme-
rintah karena tidak ada kepastian. Kondisi
ini akibat ketidakmampuan pemerintah
menyediakan hunian yang memadai bagi
mereka. Herman (50) dan warga lain yang
bermukim di kampung Pulo Bukit Duri
sadar kalau mereka tinggal di atas lahan
terlarang, namun untuk mewujudkan
keinginan pindah ke tempat lain, bukan
perkara gampang. Mereka umumnya
hanya pedagang kecil atau buruh pabrik
yang tinggal menetap atau sementara.
Mereka memilih membangun rumah
tingkat di bantaran sungai. Mereka harus
menerima dan mencoba untuk mengatasi
segala konsekuensi dari pilihan tersebut.
Bagi warga, tinggal di sejengkal tanah di
kawasan kumuh adalah suatu perjuangan
besar. Asalkan tetap punya uang, mereka
sudah dapat hidup, meski serba minimal
dan selalu siap menghadapi segala resiko.
Bedanya, kalau dulu manusia memilih
sungai Ciliwung untuk bertempat tinggal,
mengembangkan budaya, dan menjaga
kelestariannya. Namun sekarang, sungai
itu dianggap daratan yang mudah dicapai
dan relatif murah, sehingga okupasi lahan
sampai ke badan sungai terus berlang-
sung. Mereka memperlakukan Ciliwung
sebagai tempat pembuangan sampah dan
MCK.
Akibatnya, sungai Ciliwung tercemar dan
beralih peran dari sumber kehidupan
menjadi sumber bencana. Okupasi DAS
marak terjadi sejak tahun 2000. Lebar Cili-
wung yang semula 14 meter, kini hanya
tersisa 8 meter. Padahal, menurut Pitoyo
Subandrio, Kepala Balai Besar Wilayah
Sungai (BBWS) Ciliwung-Cisadane, se-
harusnya lebar sungai 30–40 meter
ditambah bantaran 10 hingga 15 meter.
(Wy&Joe)
LAPORANUTAMA
Bahkan menurut beberapa pakar krimi-
nologi, kejahatan dapat dijumpai dalam
struktur sosial dan fisik dari suatu ling-
kungan, sehingga keadaan suatu ling-
kungan dapat memunculkan kejahatan.
Hal inilah yang menyebabkan kenapa di
suatu lingkungan kumuh misalnya dapat
terjadi lebih banyak kejahatan dibanding
dengan lingkungan lain.
Lingkungan kumuh juga berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan perilaku anak
Kawasan kumuh Papanggo, Jakarta Utara.(Foto:Joe)
17KIPRAH • Volume 37
Subur Suhadi. (Foto:Joe)
Asep. (Foto:Joe)
Suara Hati Pemukim Kumuh
LAPORANUTAMA
Subur Suhadi (40), asal Purwokerto,
Jawa Tengah, yang juga pengurus
RW 02 Kompleks Rusunawa Budha
Suchi, Cengkareng, merasa berterima
kasih atas bantuan semua pihak karena
berhasil hidup lebih aman, nyaman, dan
tenteram dibanding 7 tahun silam. Saat
itu, ia bersama warga lainnya masih
bermukim di daerah Kampung Jati di
bantaran Kali Anyar. Meski demikian,
setiap bulan ia dan warga lain harus
merogoh kocek untuk uang sewa rumah, listrik, air bersih, dan
lingkungan sebesar Rp 150.000,-.
Apalagi, daerah ini sekarang semakin ramai dan berkembang maju
setelah banyak dibangun apartemen dan ruko di sekitarnya. Lokasinya
pun cukup strategis, gampang dijangkau, fasos dan fasumnya terbilang
lengkap, mulai dari sanitasi, pelayanan pendidikan, kesehatan, hingga
fasilitas olah raga cukup tersedia. Menurutnya, penanganan
masyarakat kumuh di bantaran kali harus dilakukan secara manusiawi
karena sebagian dari mereka sudah menetap di sana secara turun
temurun. Untuk itu, harus ada kompromi antara pemerintah dengan
warga setempat.
Asep (40) Anggota Satpam warga Kali
Bayem, Papanggo, Ancol. Bapak dua
orang anak ini menjadi korban gusuran
eks Kawasan BMW Pademangan,
sejak 2 tahun silam, namun nasibnya
mengenaskan. Kini, ia dan ratusan
warga lainnya terpaksa tinggal di
bedeng di sepanjang pinggiran rel KA
antara Stasiun Priok dan Kota. “Kami
dibutuhkan hanya pada saat Pemilu
ataupun Pilkada. Di luar itu, kami
dianggap tidak ada, padahal kami
punya KTP resmi. Janji-janji pemda sebelumnya hingga kini
belum ada realisasinya,” ujarnya. Hal tersebut dibenarkan
Tukimin, pengurus RT setempat. Bagi Asep dan kawan-kawan,
yang dibutuhkan hanya kepastian tempat tinggal yang menetap,
layak huni, dan terjangkau, sehingga tercipta rasa aman dan
nyaman.
Menurut Asep, hampir setiap tahun warga mendengar isu
bahwa hunian mereka akan dibebaskan oleh pemerintah untuk
penataan kota. Namun, kasak-kusuk yang berembus itu dengan
cepat menguap. Minimnya sosialisasi pemerintah menyebabkan
sebagian warga berspekulasi maupun menolak untuk pindah.
Yusuf (25), salah seorang warga Pluit,
Muara Angke, yang beruntung bisa
menjadi mahasiswa semester akhir
Universitas Atmajaya, Jakarta, me-
ngatakan, upaya struktural dan non
struktural harus dilaksanakan. Hal
yang terpenting adalah memper-
baiki kerja sama atau kolaborasi di
antara instansi-instansi pemerintah
untuk menemukan solusi bersama
dan mengintegrasikan action plan
mereka.
Menurutnya, semua pemangku kepentingan perlu memainkan
peranannya untuk memberikan kontribusi pada solusi secara
menyeluruh, seperti menyamakan pemahaman atau persepsi
antara masyarakat, pemerintah, dan swasta tentang per-
mukiman kumuh, relokasi, mentaati tata ruang dan tata guna
lahan, pengelolaan sampah yang baik, reboisasi, pembangunan
sumur resapan, dan seterusnya.
“Lebih baik kami kebanjiran di sini
daripada harus pindah ke rusunawa,
tetapi hidup menjadi tidak nyaman
dan tidak ada kepastian menetap,”
kata Hasan (35) warga Rawa Jati, Jakar-
ta Selatan. Selain itu, muncul kekhawa-
tiran sempitnya ruangan yang harus
dihuni lebih dari satu keluarga.
Kalaupun terpaksa pindah, Hasan dan
rekan-rekannya minta ganti rugi pembebasan lahan sebesar
Rp1,5 juta per meter persegi atau lebih tinggi dari harga Nilai
Jual Obyek Pajak (NJOP) tanah di wilayah itu, yaitu sekitar Rp
700.000,- per meter persegi. Harga patokan tanah itu dipandang
cukup untuk membangun rumah baru yang layak huni. “Karena
sebetulnya kami sendiri sudah bosan kebanjiran terus setiap
tahun. Kami tidak keberatan dipindah, asalkan pemerintah
bersedia membebaskan tempat tinggal kami dengan harga
yang pantas,” tutur bapak tiga orang anak ini.
Dari semua masalah penanganan kawasan kumuh perkotaan di
atas, kiranya masalah permukiman kumuh akan terus menjadi
ganjalan apabila tidak segera ditangani secara bijak karena
masalah permukiman kumuh adalah masalah kita semua.(Joe)
Yusuf.(Foto:Joe)
Hasan.(Foto:Joe)
Volume 37 • KIPRAH18
Banyak orang memilih tinggal di
daerah bantaran kali karena lebih
murah dan ekonomis. Alasannya,
bukan lagi karena membutuhkan air dan
alirannya, mereka menganggap daerah
bantaran kali sebagai daerah yang mudah
dicapai, dekat dengan tempat mencari
nafkah, dan murah. Itulah sebabnya
okupasi dan alih fungsi lahan semakin
marak dari tepian hingga ke badan sungai.
Sayang, pemanfaatannya tidak dibarengi
dengan upaya pelestarian lingkungan
yang sangat penting bagi keberlang-
sungan sungai itu. Banyak sungai men-
derita karena penyempitan, pendang-
kalan, dan pencemaran akibat ulah ma-
nusia. Dari 13 sungai yang mengalir di
wilayah DKI Jakarta, hampir seluruhnya
tak luput dari tindakan okupasi. Sebut
saja Sungai Ciliwung, Cipinang, Kali Adem,
Kali Anyar, Sunter, Grogol, dan masih
banyak contoh lagi.
Selain karena kemiskinan, rusaknya
sejumlah kali di Jakarta juga disebabkan
oleh pertambahan penduduk yang terus
menerus tak terkendali. Seiring dengan
itu, semakin beragam dan kompleks pula
aktivitas manusia yang merugikan ke-
lestariannya.
Sungai yang seharusnya menjadi sumber
bermacam berkah dalam perjalanan
waktu kemudian justru menjadi sumber
Kawasan kumuh Kali Bayem, Papanggo, Ancol.(Foto:Joe)
Okupasi Bantaran Kali Kian MarakSeiring dengan perjalanan waktu, penduduk di kota metropolitan Jakarta semakinbertambah. Dampak langsung dari kejadian itu okupasi terhadap lahan bantaran
sungai di Jakarta semakin marak.
LAPORANUTAMA
19KIPRAH • Volume 37
aneka musibah. Sampah di sungai misal-
nya, menebarkan bau busuk dan menjadi
sumber berbagai penyakit.
Tumpukan sampah juga dapat menye-
babkan pendangkalan dan penyempitan
sungai serta menghambat aliran, akhir-
nya menimbulkan banjir. Dan, sampah
bukan hanya persoalan di daerah hilir.
Sejak di daerah hulu dan tengah masya-
rakat dan industri telah membuang
limbahnya ke kali, sehingga kali semakin
tercemar. Hal ini diperparah lagi dengan
tingkah laku masyarakat yang meng-
anggap sungai adalah TPA sampah dan
WC terpanjang. Buktinya, hampir sebagi-
an besar daerah permukiman di bantaran
sungai memang tidak memiliki tempat
pembuangan sampah, apalagi yang
memisahkan antara sampah basah dan
kering. Mereka tak peduli, langsung
membuangnya ke kali karena dirasakan
lebih praktis dan ekonomis.
Dan persoalan sungai, menurut para ahli
SDA, dapat dibaca sebagai persoalan
konflik cara pandang manusia dalam
menilai sungai, apakah sebagai barang
publik (public goods) atau sebagai
sumber daya milik bersama (common
properety resources). Cara pandang
sungai sebagai barang milik adalah
pandangan tradisional, sedangkan cara
pandang sungai merupakan sumber daya
bersama adalah cara pandang yang lebih
maju yang telah disertai dengan kearifan.
Janji relokasi
Kendati demikian upaya untuk mener-
tibkan dan merelokasi warga bantaran
bukannya tak dilakukan, namun pro-
sesnya tak semudah membalikkan telapak
tangan. Program penataan kawasan
kumuh di bantaran sungai sudah lama
menjadi wacana pemerintah.
Masyarakat yang puluhan tahun menetap
di tepi sungai dijanjikan untuk dipindah-
kan ke rumah susun sederhana yang di-
bangun oleh Kementerian Pekerjaan
Umum di tanah Pemprov DKI Jakarta.
Tahun 2002, pemerintah menyatakan siap
membangun rusunami di tepi sungai,
yakni di Kelurahan Bidara Cina. Namun
janji itu hingga kini belum terealisasi.
Pada tahun 2009, ada target pembangu-
nan 14 menara kembar (twin block/TB)
rusunawa berkapasitas 80-100 unit rumah
tipe 30-36 meter persegi. Rusunawa itu
tersebar di Kelurahan Cipinang Besar
Selatan (2 TB), Cakung Barat (6 TB), dan
Penggilingan (6TB) di Jakarta Timur.
Hingga akhir 2008 sudah terbangun 10 TB,
namun belum dilengkapi dengan fasilitas
listrik dan air bersih.
Akibatnya, rusunawa yang dibangun
dengan menghabiskan anggaran negara
yang cukup besar itu tidak siap huni.
Padahal, bangunan yang dibiarkan ter-
lantar berpotensi mengalami kerusakan
lebih cepat. Sementara itu, sosialisasi
terhadap masyarakat juga masih minim,
sehingga menghambat penataan warga
di bantaran sungai.
Melalui program resettlement, Pemprov
DKI Jakarta akan memindahkan ribuan
warga bantaran Ciliwung di sepanjang
Pengadegan (Rawajati)-Jembatan Kali
bata-Manggarai ke rusunawa. Prioritas
penggunaannya diutamakan bagi warga
yang berstatus penduduk legal yang
memiliki sertifikat atau tanda kepe-
milikan lahan.
Penanganan kawasan kumuh selama ini
memang banyak menuai kegagalan atau
sekedar memindahkan kekumuhan,
tetapi ada pula yang berhasil. Contoh
sukses penanganan warga penggusuran
justru diperlihatkan Rusunawa Yayasan
Budha Suchi di Cengkareng dan Muara
Karang yang menampung tak kurang
dari 1500 KK “korban” penertiban Kali
Anyar, Kampung Jati, dan Kali Adem.
Keberhasilan juga diwujudkan di se-
jumlah rusunawa yang dibangun Perum
Perumnas, baik di dalam maupun di ping-
giran kota, dan ternyata tingkat keber-
hasilannya cukup tinggi.
Harus diakui, kawasan kumuh tidak saja
terdapat di daerah bantaran sungai,
tetapi banyak juga yang berada di
pinggiran rel kereta api, areal pema-
kaman umum, di bawah jembatan, jalan
layang, dan bahkan di tengah-tengah
kawasan yang tidak kumuh sekalipun.
(Joe)
LAPORANUTAMA
Bantaran sungai untuk permukiman.(Foto:Dok.)
Volume 37 • KIPRAH20
LAPORANUTAMA
Menjamurnya
Setidaknya sudah 200 KK kita pu-
langkan ke daerah asal Jateng dan
Jatim, terutama mereka yang tidak
memiliki kartu identitas. Namun, siapa
menjamin mereka tidak kembali lagi, bah-
kan dengan rombongan lebih besar, kata
Sugeng Priyono, Manajer Humasda PT
Kereta Api sewaktu ditemui Kiprah di kan-
tornya, Jakarta. Ia katakan, usaha mere-
lokasi warga pinggiran rel ke rumah susun
sewa tak mampu menarik minat mereka,
karena tarif listrik dan air di sana dianggap
terlalu mahal dan memberatkan. Selain
itu, kedekatan lokasi dengan tempat
mencari nafkah juga menjadi alasan.
Seiring dengan perjalanan waktu, pen-
duduk yang bermukim dan berusaha di
sepanjang pinggiran rel terus bertam-
bah hingga melampui ambang batas. Dan
alasan orang tinggal di pinggiran rel,
bukan karena gampang naik kereta api,
tetapi mereka menganggap pinggiran rel
sebagai daerah yang mudah dicapai, dekat
dengan tempat mencari nafkah, dan se-
kaligus murah.
Itulah sebabnya, kita kini melihat ter-
jadinya okupasi lahan bantaran rel kereta
api mulai dari tepian ruang milik jalan,
hingga daerah manfaat jalan. Padahal, itu
merupakan daerah terlarang karena
sangat berbahaya, mengganggu kese-
lamatan operasional kereta, dan peng-
huninya itu sendiri.
Di banyak lokasi bahkan telah tumbuh
pasar darurat dan pasar tumpah. “Seha-
rusnya daerah manfaat jalan itu clean,
bebas dari segala bentuk gangguan.
Permukiman Pinggiran Rel KA
Pinggiran rel kereta api(KA) menjadi alternatifpermukiman bagi pen-
duduk yang tidak mem-punyai lahan formal,
selain bantaran sungai.Lahan kosong yang tidak
terjaga dengan baikdimanfaatkan sebagian
orang untuk tempattinggal. Permukiman
pinggiran rel kereta apiitu semakin lama se-
makin menjamur. WalauPT Kereta Api sebenar-nya tak henti-hentinyamelakukan penertibanterhadap warga yangtinggal di sepanjang
pinggir jalur kereta api,karena selain dilarang
juga mengganggu opera-sional kereta api.
Ruwetnya penataan warga di pinggiran rel KA di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat.(Foto:Dok.)
21KIPRAH • Volume 37
LAPORANUTAMA
Aturannya, pada jarak 20 meter kanan-kiri
rel harus bersih dari gangguan, termasuk
hunian liar tadi,” tandas Sugeng.
Sugeng bercerita tentang kekhawatiran
para masinis untuk mengeluarkan anggota
badannya ketika harus melewati jalur
Stasiun Beos Kota hingga Tanjung Priok,
yang saat ini dipenuhi hunian liar. Mereka
takut lehernya putus, akibat tersambar
seng bangunan liar milik warga.
Kondisi seperti itu bila dibiarkan terus dan
tidak ditertibkan, kata Sugeng, persoal-
annya akan semakin ruwet dan kompleks,
karena menyangkut faktor sosio-ekonomi
masyarakat, khususnya masyarakat ber-
penghasilan rendah (MBR).
Keseriusan PT Kereta Api dalam me-
nangani kawasan kumuh di pinggiran rel
tak hanya dilakukan melalui program
penertiban atau sekedar menggusur,
tetapi selalu mempertimbangkan faktor
sosiologis dan psikologis warga.
Pendekatan manusiawi dalam sosia-
lisasinya, terbukti membuahkan hasil yang
diinginkan. “Kami kompromikan, kami
beri mereka batas waktu, peringatan, juga
bantuan tenaga dan alat, serta prosesnya
kita tunggui hingga rampung.”
Prinsipnya, kami selalu mengajak warga
berdialog sebelum memberikan surat
peringatan pembongkaran. Semua warga
yang memiliki bangunan di atas tanah ter-
larang, dipersilahkan membongkar sendiri
bangunan mereka, agar bahan bangunan
dapat digunakan lagi untuk kepentingan
lain,” kata Sugeng meyakinkan.
Melalui model pendekatan seperti itu,
ternyata beberapa kawasan kumuh yang
selama ini dianggap rawan, dapat dise-
lesaikan tanpa gejolak, tidak mendapat
perlawanan warga. Bahkan, be-
berapa pemilik warung mau
membongkar sendiri bangunan
mereka.
Ia mencontohkan, saat pena-
nganan kawasan kumuh di se-
panjang rel kereta api antara
Jakarta Kota dan Tanjung Priok,
Tanah Abang batas Tanggerang
atau Jatinegara batas Bekasi, kini
kondisinya semakin membaik.
Sedang untuk mempertahankan
kawasan itu agar tetap bersih dan
rapi, pihak PT Kereta Api bekerja
sama dengan melibatkan warga
eks penghuni untuk ikut menjaga
sekaligus merawatnya.
Fatah (30), warga Klender,
mengatakan, pihaknya setuju
dengan penertiban ini, supaya
lingkungan kumuh kawasan ban-
taran rel menjadi bersih dan rapih.
Fatah dan beberapa warga lainnya
juga turut membongkar bangun-
an warung makan, kios dan WC umum
yang selama ini menggangu.
Tuntutan Perut
Syair lagu “Sapa Suruh Datang Jakarta”
kiranya tepat untuk menggambarkan
betapa getir dan beratnya resiko per-
juangan hidup kaum urban di Jakarta dan
kota besar lain. Khususnya, dalam meng-
adu nasib meningkatkan ekonominya,
meski mereka terpaksa bertempat
tinggal dan berusaha di daerah terlarang
yang selalu diuber-uber oleh petugas
Kamtib. Mereka tidak kapok karena telah
terkondisi dengan keadaan seperti itu.
Mereka mengaku dan sadar bahwa
selama ini mereka tinggal dan berusaha
di atas lahan terlarang bukan haknya.
Namun, untuk pindah ke tempat lain
bukan perkara gampang. Mereka memi-
lih membangun rumah kumuh di ping-
giran rel karena lokasinya berdekatan
dengan tempat mereka mencari nafkah.
Penertiban warga bantaran rel KA terus dilakukanmelalui pendekatan persuasif dan dialogis untuk
menghindari konflik. (Foto:Joe)
Volume 37 • KIPRAH22
Umumnya mereka bermata pencarian
sebagai pedagang kecil atau pengasong,
buruh kasar, dan pengepul barang-barang
bekas. Sebagian dari mereka merupakan
warga pendatang ilegal, baik yang tinggal
sementara maupun yang terus menetap.
Seperti pengakuan Widodo (24), pemuda
yang biasa jualan asongan asal Pur-
wokerto, Jateng. “Bagi saya dan warga
lain, meski tinggal tak layak, hal itu harus
diterima dengan suka cita karena dicapai
melalui perjuangan yang tidak mudah.
Asalkan bisa tetap punya uang, kami siap
hidup dengan serba minim. Resiko itu
tidak besar karena kami siap hidup
dengan apa adanya, ketimbang sulit hidup
di desa,” ujarnya.
Melihat persoalan tersebut sudah saatnya
pemerintah menyiapkan alternatif tem-
pat tinggal yang layak bagi masyarakat.
Pemerintah juga harus bertindak tegas
dalam penataan kotanya, termasuk
membebaskan permukiman liar di ka-
wasan pinggiran rel, bantaran sungai,
kolong jalan tol/jembatan, dan tanah
kosong, serta pemakaman umum, agar
tata ruang kota tidak semakin hancur.
Mengingat, persoalan permukiman ku-
muh perkotaan sudah semakin meng-
gurita, sehingga pemecahannya pun
seharusnya jangan parsial. Tetapi, harus
secara menyeluruh, melibatkan seluruh
pemangku kepentingan. Sugeng pun
mengakui bahwa PT Kereta Api tidak akan
mampu mengatasi masalah kawasan
kumuh sendirian. Ini karena menyangkut
soal kemiskinan kota.
Sebagian besar ditentukan oleh sektor
lain. Oleh karena itu, Sugeng mengharap-
kan munculnya kesadaran bersama dari
semua sektor untuk bersama-sama ber-
kontribusi dalam mengatasi permukiman
kumuh ini secara bijak.
Bagaimana pun, PT Kereta Api telah me-
lakukan sejumlah pekerjaan yang diper-
lukan guna mengatasi pertumbuhan per-
mukiman kumuh yang terus membayang-
bayangi dinamika kota. Penertiban
bangunan kumuh di lahan milik PT Kereta
Api akan terus dilaksanakan dengan meng-
gunakan pendekatan persuasif, edukatif,
dan dialogis untuk meminimalkan konflik
saat penertiban.(Joe)
LAPORANUTAMA
Permukiman kumuh kelurahan Papanggo Ancol, Jakarta Utara yang masih menyisakan masalah.(Foto:Joe)
Pendekatan manusiawidalam sosialisasinya,
terbukti membuahkan hasilyang diinginkan. “Kami
kompromikan, kami berimereka batas waktu
peringatan, juga bantuantenaga dan alat, sertaprosesnya kita tunggui
hingga rampung.
23KIPRAH • Volume 37
LAPORANUTAMA
Perpindahan penduduk dari desa ke
kota, atau yang biasa dikenal
dengan istilah urbanisasi, seolah-
olah menjadi salah satu kambing hitam
semakin padat dan kumuhnya permu-
kiman di perkotaan. Benarkah urbanisasi
yang menjadi faktor utama penyebab
permukiman kumuh di perkotaan? Apa
sebenarnya yang menjadi kelebihan kota
maupun kekurangan desa sehingga
perpindahan penduduk desa ke kota kian
meningkat? Lalu, dampak apa saja yang
timbul dari peningkatan urbanisasi
tersebut?
Pembangunan perkotaan kian lama kian
bertambah maju. Kemajuan tersebut
dapat dilihat secara kasat mata melalui
semakin banyaknya gedung-gedung
bertingkat dan pencakar langit, serta
suburnya pusat-pusat perbelanjaan dan
perkantoran. Bagi sebagian besar pen-
duduk desa, kemajuan pembangunan
di perkotaan memberikan kesem-
patan lebih untuk meningkatkan
perekonomian keluarga mereka. Oleh
karena itulah, apabila ditanya alasan
penduduk desa yang mencari pe-
kerjaan di kota, maka sebagian besar
akan menjawab untuk memenuhi ke-
butuhan rumah tangga mereka yang
tinggal di desa. Sementara anggota
keluarga mereka yang termasuk ka-
tegori angkatan kerja bekerja di kota,
anak-anak dan orang tua dapat tetap
tinggal di desa. Tak jarang, demi me-
mastikan keragaman sumber peng-
hasilan, anggota keluarga seringkali
bekerja terpencar di berbagai tem-
pat, di kota-kota kecil maupun di kota-
Urbanisasi, Arus yang Belum
Apa sih yang menjadi penyebab permukiman kumuh di kota? Kenapa sekarang kota tampak kumuh,padahal dahulu tidak? Sebenarnya, apa penyebabnya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sering
dilontarkan oleh penduduk asli kota yang sudah lama tinggal. “Banyak pendatang dari desa nih yangcari kerja di kota, modalnya pas-pasan atau cuma nekat. Jadinya, mereka tinggal sembarangan deh.”
Begitulah jawaban yang paling sering kita dengar.
kota besar. Hal ini dimaksudkan agar
keamanan f inansial mereka tidak
rentan terhadap pengaruh kondisi
ekonomi di satu tempat.
Meskipun bagi sebagian orang mening-
galkan kampungnya dan bekerja di perko-
taan karena tidak ada pilihan lain, namun
kebanyakan dari mereka bermigrasi
merupakan suatu pilihan. Peningkatan
jaringan transportasi serta ketersediaan
telepon selular yang mempermudah
komunikasi dan berjejaring dengan
kenalan mereka di kota telah membuat
penduduk desa paham mengenai keun-
tungan (ataupun kerugian) untuk pindah
ke kota, terutama mengenai informasi
kesempatan kerja serta kondisi hunian di
perkotaan.
Selain luasnya kesempatan kerja, alasan
seseorang merasa ditarik ke kota adalah
ketersediaan beragam fasilitas, khusus-
nya fasilitas pendidikan dan kesehatan di
perkotaan yang lebih baik. Adapun alasan
lainnya ialah struktur sosial dan budaya di
kota lebih bebas, sementara di perdesaan
dirasa lebih mengekang.
(Tak Pernah) Bisa Berhenti
Mobilitas perpindahan penduduk dari desa ke kota semakin tinggi, seiring denganmeningkatnya tingkat kehidupan masyarakat.(Foto:Lies)
Volume 37 • KIPRAH24
LAPORANUTAMA
Kondisi Desa
Di samping kemajuan pembangunan di
perkotaan yang menjadi faktor mening-
katnya urbanisasi, kondisi perdesaan yang
dianggap tidak mampu menyediakan
kesempatan kerja bagi penduduknya
serta minimnya penghasilan yang layak
dari kegiatan pertanian juga menjadi
faktor penyebab utama terjadinya urba-
nisasi.
Mengapa penduduk desa banyak yang
pindah ke kota? Hal ini disebabkan oleh
banyak faktor. Pertama, kebanyakan
penduduk desa bekerja di sektor perta-
nian. Sektor ini sangat tergantung
dengan kondisi cuaca, ketersediaan lahan,
dan tingkat kesuburan tanah. Kerawanan
bencana di daerah tersebut, seperti
banjir, kemarau, ataupun gempa bumi,
maupun perubahan ekologis yang berke-
lanjutan, seperti penggurunan atau erosi
tanah, juga menjadi pemicu orang untuk
bermigrasi.
Kedua, kemiskinan petani. Jumlah petani
kita banyak, tetapi hasil produknya tidak
signifikan, sehingga akhirnya petani tidak
bisa sejahtera, dan tetap dipeluk kemis-
kinan. Permasalahannya, petani-petani di
Indonesia ternyata sebagian besar adalah
buruh tani yang tidak punya lahan, petani
penggarap yang tidak punya sawah, atau
petani gurem yang lahannya di bawah 0,5
hektar.
Selain tanah miliknya tergolong kecil,
para petani seringkali terpaksa berhutang
atau menjual tanahnya untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan melunasi hutang.
Akibatnya, penghasilan di desa cenderung
kecil dan petani tetap miskin. Sedangkan
untuk meningkatkan produksi, mereka
harus membayar teknologi yang
dibutuhkan, bibit tanaman unggul,
ataupun obat anti hama yang relatif
mahal.
Kemiskinan petani memang menjadi awal
permasalahan yang membuat banyak
petani beralih profesi serta memilih
mencari kerja di perkotaan. Mereka
terpaksa keluar dari daerah asalnya
akibat rendahnya kualitas hidup atau
adanya daerah yang menjanjikan
kesempatan untuk hidup lebih layak.
Seringkali seseorang memutuskan
bermigrasi karena kombinasi dari
kedua faktor di atas. Pilihan yang ter-
sedia adalah menambah penghasilan
mereka dengan pekerjaan tambahan
yang tidak terkait dengan sektor
pertanian, baik pekerjaan di desa
maupun di kota untuk sementara,
sebagai buruh bangunan, pembantu
rumah tangga, pedagang kaki lima,
dan pekerjaan informal lainnya, yang
umum ditemukan di perkotaan.
Faktor ketiga, kurangnya angkatan
kerja produktif di perdesaan. Banyak-
nya penduduk desa usia produktif
yang bekerja di kota membuat pen-
duduk yang tinggal di desa lebih banyak
anak-anak dan orang tua. Para pemuda
desa juga makin enggan mengolah
sawah dan lebih tertarik pergi ke kota
untuk memperbaiki taraf hidupnya. Di
sisi lain, okupasi lahan pertanian
semakin marak untuk berbagai ke-
perluan non-pertanian.
Umumnya kaum urban di kota besar bermatapencaharian sebagai pedagang informal.(Foto:Lies)
Dampak
Laju urbanisasi yang tinggi pada akhirnya
memang mengancam keberadaan daya
dukung sebuah kota. Potret glamor dan
indah perkotaan nyatanya tidak seratus
persen benar. Keberadaan permukiman
kumuh memang menjadi alternatif bagi
para migran yang kurang beruntung
mendapatkan tempat tinggal yang layak.
Selain itu, sebagian besar para migran
hanya dapat bekerja di sektor informal,
seperti sebagai kuli bangunan, pembantu,
pedagang kaki lima, dan lainnya sebagai-
nya. Bahkan, banyak pula dari mereka
yang mengambil jalan pintas di kota
dengan bekerja sebagai bandar narkoba,
pekerja seks, ataupun preman.
Dengan demikian, tujuan para migran
untuk meningkatkan kesejahteraan dan
perekonomian dengan datang ke kota be-
lum tentu dapat terwujud. Peningkatan
urbanisasi justru lebih banyak menimbul-
kan permasalahan, terutama menjamur-
nya permukiman-permukiman kumuh di
perkotaan. Nyatanya, kota tidak selalu
“manis”, tetapi juga memberikan
“kepahitan”. (Endah)
25KIPRAH • Volume 37
LAPORANUTAMA
Pemerintah tidak tinggal diam dalam menangani
permukiman kumuh yang terjadi di perkotaan. Beberapa
program penanganan permukiman kumuh telah
digulirkan, antara lain:
a. Program M.H. Thamrin di Jakarta dan W.R. Supratman di
Surabaya
Program ini muncul pada tahun 1966 (saat Ali Sadikin menjabat
Gubernur DKI Jakarta) karena permintaan sumbangan terus
menerus warga kampung untuk memperbaiki fasilitas di
kampungnya. Program tersebut melibatkan 60 % partisipasi
masyarakat berupa uang, tenaga kerja, bahan bangunan, atau
tanah. Sisanya (40 %) menjadi tanggungan Pemda DKI Jakarta.
Pada waktu bersamaan, berlangsung juga program perbaikan
kampung di Surabaya yang dikenal dengan nama “Proyek W.R.
Supratman” yang memiliki banyak kemiripan dengan proyek
serupa di Jakarta.
b. Program Perbaikan Kampung (Kampong Improvement Pro-
gram/KIP)
Program ini meliputi perbaikan jalan kendaraan, jalan orang dan
saluran air, rehabilitasi dan pembuatan selokan kampung,
pengadaan tempat pembuangan dan gerobak sampah,
penyediaan air bersih melalui kran-kran umum, pembuatan
fasilitas MCK, serta pembangunan puskesmas dan sekolah dasar.
Beberapa contoh pelaksanaannya adalah Sombo (Surabaya),
Bandarharjo (Semarang), dan Kawasan 12 Ulu (Palembang).
c. Program Perbaikan Lingkungan Permukiman Kota (P2LPK)
Program ini didanai APBN untuk kota-kota kecil dan perdesaan,
seperti P3KT, P2LDT, P3LDT, dan KTP2D. Secara umum,
komponen programnya tidak berbeda jauh dengan program
KIP.
d. KIP Komprehensif
Merupakan penyempurnaan dari program KIP; yang mem-
bedakannya adalah dimunculkannya kembali komponen
pelibatan dan pemberdayaan masyarakat secara individu dan
kelembagaan, khususnya pemberdayaan ekonomi melalui
kegiatan pengelolaan stimulan dalam bentuk dana bergulir dari
pemerintah untuk merangsang dana swadaya masyarakat.
e. Program Peningkatan Kualitas Lingkungan (PKL)
Pada tahun 2001, bersamaan dengan kebijakan global
mewujudkan “Cities Without Slum”, dicanangkan Genta Kumuh
oleh Wapres RI pada puncak peringatan hari Habitat Dunia di
Surabaya. PKL merupakan pengembangan dari program KIP
Upaya Pemerintah Menangani
yang komponennya adalah pendampingan masyarakat (untuk
menghasilkan output kelembagaan dan community action plan),
bantuan prasarana lingkungan (memperbaiki kondisi prasarana
dan sarana lingkungan permukiman), maupun stimulasi
peningkatan ekonomi melalui dana bergulir (merangsang
masyarakat meningkatkan pendapatannya, menabung, serta
mengalokasikan dana untuk perbaikan dan pemeliharaan
prasarana dan sarana).
f. Program terkait Penanganan Lingkungan Permukiman Kumuh
Program-programnya adalah :
� Perumahan Swadaya / P2BPK
Program ini diarahkan untuk memberdayakan masyarakat
agar mampu mengadakan, memiliki, dan menghuni sendiri
rumah yang layak secara berkelompok.
� Program Penanggulangan Kemiskinan di perkotaan (P2KP)
P2KP adalah sebuah program yang dirancang pemerintah
dengan dukungan Bank Dunia untuk menanggulangi
kemiskinan di perkotaan sebagai akibat krisis ekonomi dan
moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1997.
Program ini menggunakan skema bantuan langsung kepada
masyarakat yang menjadi target group (kelompok sasaran).
Konsepnya adalah pelaksanaan dan pengelolaan program di
lapangan diserahkan kepada masyarakat, sedangkan pe-
merintah hanya fasilitator agar situasi kondusif.
� Community Based Housing and Initiative Local Development
(CoBILD)
Program ini ditujukan untuk membiayai perbaikan/peremajaan
rumah, pembangunan rumah baru, serta pengadaan dan
perbaikan/pemeliharaan prasarana dan sarana permukiman
dengan kelompok sasaran adalah masyarakat berpenghasilan
menengah ke bawah yang memiliki kesanggupan mengem-
balikan pinjaman yang diberikan.
� Kasiba (Kawasan Siap Bangun) / Lisiba (Lingkungan Siap
Bangun).
Kebijakan ini diambil untuk menyelesaikan masalah pe-
menuhan kebutuhan perumahan dan permukiman bagi
masyarakat berpenghasilan rendah, sekaligus untuk meng-
hambat maraknya aktivitas usaha spekulasi tanah dan
penguasaan tanah dalam jumlah besar oleh pengembang yang
tidak diimbangi dengan kesediaan menyediakan tanah dan
perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah misalnya
kebijakan lingkungan hunian berimbang 1:3:6.
�Kebijakan dan Program Bantuan Bagi Mayarakat Ber-
penghasilan rendah.
Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan dan program ban-
tuan langsung bagi masyarakat berpenghasilan rendah.(Nld)
Permukiman Kumuh
Volume 37 • KIPRAH26
Dalam Millenium Development
Goals (MDGs), masalah kemis-
kinan menjadi salah satu tujuan
yang hendak dicapai. Mengacu pada
MDGs, Kementerian Pekerjaan Umum
menargetkan Indonesia terbebas dari
kawasan permukiman kumuh di perkota-
an pada 2020. Bebagai program dengan
dukungan pemerintah daerah dan instan-
si terkait, Kementerian PUmelaksanakan
program-program, antara lain P2KP,
Pasimas dan Sanimas. Program-program
tersebut berjalan dengan melibatkan
masyarakat.
Erna Witoelar, mantan Menteri Kimbang-
wil dan mantan duta besar MDGs, berbagi
cerita dan masukan dalam upaya mena-
ngani permukiman kumuh di perkotaan
Bebas Kumuh 2020,
di Indonesia. Langkah apa yang dapat
ditempuh untuk mengurangi dan menata
kawasan kumuh? Berikut adalah petikan
wawancara Kiprah dengan Erna Witoelar.
Apa yang menyebabkan Ibu begitu peduli
dengan lingkungan dan masya-rakat?
Kepedulian saya terhadap kawasan
kumuh, air besih dan sanitasi karena
kepedulian terhadap lingkungan yang
terbawa sejak dulu, baik secara profe-
sional dari background pendidikan,
kegiatan-kegiatan yang diikuti, maupun
sebagai duta besar MDGs. Saya menjadi
duta besar MDGs pelaksana di negara
berkembang untuk memperbaiki kawa-
san kumuh, akses air bersih, dan sanitasi.
Apa pendapat Ibu mengenai tujuan dan
pencapaian MDGs tahun 2015?
Menurut saya, MDGs sangat serius untuk
memperbaiki kawasan kumuh, akses air
bersih, sanitasi, dan kemiskinan di negara
berkembang. Kesemua permasalahan
tersebut tercantum secara khusus dalam
butir-butir MDGs.
Apa pandangan Ibu mengenai kaitan
kemiskinan dan berkumuhan di perkotaan
dan perdesaan?
Sebetulnya, orang salah kaprah mengenai
kemiskinan di perkotaan dan perdesaan.
Orang menilai bahwa kemiskinan di
perkotaan lebih baik daripada di pede-
saan. Padahal, kemiskinan di perkotaan
lebih buruk. Miskin di pedesaan, orang
masih bisa makan, bercocok tanam. Tapi
miskin di perkotaan, tanpa uang orang
tidak bisa makan. Sehingga, jika orang
tidak punya uang dan kelaparan akan
timbul pikiran negatif yang berdampak
pada kriminal.
Selain itu, dari waktu ke waktu urbanisasi
semakin tinggi. 50% Masyarakat di negara
berkembang tinggal di kawasan kumuh
perkotaan sehingga kawasan kumuh
menjadi perlu ditangani lebih serius. Jika
tidak dikendalikan, permasalahan akan
terus bertambah dan rawan.
Bagaimana dengan luasan wilayah per-
mukiman kumuh, apakah semakin meluas?
Wilayah kantong kemiskinan semakin
meluas karena jumlah penduduk miskin
Mungkinkah? Erna Witoelar mantanMenteri Kimbangwil dan
mantan Duta Besar MDGs.(Foto:Dok.)
Sepanjang bantaran kali Ciliwung antara Kalibata hingga Manggarai tumbuh permukimankumuh mengakibatkan lebar kali menyempit dan dangkal akibat sedimentasi. (Foto:Dok.)
LAPORANUTAMA
27KIPRAH • Volume 37
yang datang ke perkotaan tidak berku-
rang. Miskin disini maksudnya adalah -
orang yang coba-coba hidup di perkotaan
dengan bekal seadanya. Sebagian dari
mereka tinggal di kawasan kumuh hanya
sementara. Jika mereka sudah memiliki
penghasilan yang lebih tetap, mereka
pindah ke rumah kontrakan atau membeli
rumah sederhana. Ada turn over yang cu-
kup tinggi. Jadi bukan daerahnya yang
semakin meluas, tapi penghuninya yang
meningkat. Dan tidak menutup kemung-
kinan, jika sudah sesak, akan timbul
permukinan kumuh di tempat lain atau
permukiman kumuh meluas.
Apa benar kumuh identik dengan kri-
minalitas?
Sebenarnya, kumuh identik dengan
keterpaksaan. Mereka terpaksa tinggal di
permukiman kumuh karena miskin.
Seperti yang tadi saya bilang, miskin di
perkotaan bisa menimbulkan kriminalitas.
Mereka datang ke kota untuk mening-
katkan kesejahteraan. Ada yang berhasil,
ada yang tidak. Orang miskin di perkotaan
cenderung tidak memiliki uang sama
sekali dan tidak bisa memenuhi kebu-
tuhan hidupnya.
Apa yang membuat Ibu mau menerima
tugas mulia sebagai Duta besar MDGs?
Dari dulu saya melihat bahwa pemba-
ngunan masyarakat hanya dilihat dari
sektor ke sektor. Padahal, pembangunan
harus dilakukan secara menyeluruh, tidak
sektor per sektor. Saya lihat, konsep MDGs
mencakup itu semua secara keseluruhan
dalam bentuk paket pembangunan yang
saling terkait. Saya melihat upaya terse-
but sebagai pendekatan yang cocok,
benar, atau holistik.
Pendidikan saya, yakni Ilmu Lingkungan,
mengajarkan pendekatan holistik. Ilmu
Lingkungan juga mengajarkan mengenai
pembangunan berkelanjutan dengan
unsur ekonomi, sosial, lingkungan dan
budaya menjadi satu. Pendekatan terse-
but yang menurut saya tepat untuk
mencapai tujuan.
Menurut Ibu, bagaimana memecahkan
masalah kawasan kumuh?
Permukiman di kawasan kumuh perlu
ditangani secara holistik. Bukan hanya
dengan pembangunan fisik dan perbaikan
saja. Harus terpadu. Tetapi tidak bisa
malah juga tidak bisa ditangani dengan
melakukan hal yang sama di tiap daerah.
Suatu kawasan kumuh perlu penanganan
berbeda sesuai dengan kondisi daerah.
Penanganan kawasan kumuh di Jakarta
tentunya berbeda dengan penanganan
kawasan kumuh di Yogyakarta, dan
daerah lain, walaupun ada kesamaan
penyebab, yakni urbanisasi. Penanganan
melakukan pembangunan dan perbaikan
kawasan, tetapi kurang mengajak par-
tisipasi masyarakat.
Pemerintah memprogramkan pem-
bersihan kawasan kumuh dan merelokasi
warga tanpa melakukan pendekatan ke
masyarakat, sehingga yang terjadi adalah
mereka pindah ke lokasi baru, lalu
kembali ke tempat lama. Hal tersebut
disebabkan oleh lokasi baru yang jauh dari
tempat bekerja, tempat baru masih
belum siap huni, atau fasilitasnya kurang
memebuhi kebutuhan.
Kota Solo berhasil memperbaiki kawasan
kumuhnya. Permukiman kumuh diper-
semakin baik jika pemerintah dan instansi
terkait mengenal kelompok sasaran. Jika
lahan yang mereka pakai adalah lahan
pemerintah, baiknya lahan tersebut
diputihkan menjadi kawasan permukinan.
Kemudian, masyarakat urunan untuk
memperbaiki lingkungan dengan didam-
pingi pemerintah.
Sistem pendampingan tersebut efektif.
Dengan pendampingan, pemerintah dan
instansi terkait mengetahui secara
langsung/tepat kebutuhan masyarakat di
kawasan kumuh. Suatu hal yang belum
dilakukan pemerintah dari dulu adalah
pendampingan. Dari dulu pemerintah
baiki dengan alternatif kawasan dan
digarap. Tempat disiapkan agar masya-
rakat siap pindah.
Menurut Ibu, apa yang perlu dilakukan
kedepan dan apa harapan Ibu?
Ke depan, perlu didorong hal-hal kecil
yang telah berhasil diterapkan bersama.
Pemerintah telah melakukan beberapa
program, seperti Sanimas, Pamsimas,
Rusunawa dan P2KP. Dorong dan beri
kepercayaan kepada Pemda untuk beker-
ja sama. Pemda yang baik diberi insentif
dan yang kurang baik ditegur.(Ind)
Kawasan kumuh di Cimahi, Jabar, merupakan problem sosial yang harus diatasi. (Foto:Lies)
LAPORANUTAMA
Volume 37 • KIPRAH28
LAPORANUTAMA
Permukiman di kawasan kumuh saat ini
dinilai meng khawatirkan. Tingkat urba-
nisasi yang tinggi dan terus akan
bertambah, mengakibatkan mun-culnya
kawasan-kawasan permukiman kumuh baru di
perkotaan. Erna Witoelar selaku duta besar
MDGs (pada waktu itu) melihat bahwa bagi
masyarakat yang tinggal di kawasan kumuh
perlu pendampingan dari pemerintah sebagai
fasilitator kawasan.
Menurut Erna, dengan melakukan pendam-
pingan kepada masyarakat, maka pemerintah
akan mengetahui kebutuhan masyarakat dan
dapat membenahi kawasan kumuh.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kawasan kumuh
mendorong timbulnya beberapa perma-
salahan, seperti kemiskinan, lingkungan hidup
yang buruk, anak-anak yang tidak memiliki akses
pendidikan, dan pelayanan kesehatan sebagai
kebutuhan dasar manusia yang kenyataannya
masih rendah. Permukiman kumuh dalam wilayah kantong-
kantong kemiskinan semakin meluas, salah satunya disebabkan
jumlah penduduk miskin yang datang ke perkotaan tidak
berkurang.
Erna menilai bahwa sebagian masyarakat yang tinggal di
kawasan kumuh merupakan orang yang baru pertama kali
menginjakkan kaki ke kota. Mereka datang dengan bermodalkan
semangat semata tanpa memikirkan resiko dan tantangan yang
akan dihadapi olehnya. Sementara itu, sebagian lagi merupakan
penduduk yang mau tidak mau terpaksa tinggal menetap di
kawasan kumuh karena kurang beruntung di perkotaan.
Terkait dengan kemiskinan, masyarakat sering salah kaprah
mengasumsikannya. Mereka beranggapan kemiskinan di
perkotaan lebih baik daripada kemiskinan yang mereka hadapi
di perdesaan.
“Miskin di pedesaan, masyarakat masih bisa makan dan hidup
dari hasil kebun. Tetapi di perkotaan, jika tidak memiliki uang,
masyarakat tidak bisa makan dan tidak bisa hidup, sehingga untuk
dapat bertahan hidup orang akan melakukan apa saja untuk
dapat makan dan hidup,” jelas Erna.
Permukiman di kawasan kumuh merupakan suatu persoalan
yang perlu ditangani secara holistik dan terpadu. Tidak hanya
melakukan pembangunan dan perbaikan fisik, air bersih,
lapangan pekerjaan, atau pendidikan saja. Karena kondisi
kawasan kumuh di tiap-tiap daerah berbeda, sehingga
diperlukan penanganan yang berbeda pula.
Dicontohkannya, kondisi kawasan kumuh di Jakarta berbeda
dengan kawasan kumuh di Yogyakarta. Penanganannya akan
semakin baik jika pemerintah mengenal kelompok sasaran
sehingga dapat diketahui kebutuhan masyarakat tersebut
seperti apa. Pemerintah hendaknya juga mengeluarkan aturan
yang tepat.
Untuk permukiman kumuh di bantaran sungai, jika memang
bantaran tersebut membahayakan untuk dihuni, hendaknya
pemerintah mengeluarkan aturan yang tegas dan merelokasi
masyarakat ke tempat yang layak serta segera menggarap lokasi
tersebut. Namun, jika masih memungkinkan untuk dihuni,
pemerintah dapat mengajak masyarakat untuk memperbaiki
lingkungan tersebut. (Ind)
Dengan melakukan pendampingan kepada masyarakat, maka pemerintah akanmengetahui kebutuhan masyarakat dan dapat membenahi kawasan kumuh (Foto:Lies)
Perlunya Pendampingan di Kawasan KumuhErna Witoelar, mantan Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah
29KIPRAH • Volume 37
LAPORANUTAMA
Imam Prasojo, Sosiolog(Foto:Dok.)
Pemerintah harus mengubah paradigma dalam
penanganan kawasan permukiman kumuh. Paradigma
proyek yang selama ini digunakan harus digeser menjadi
paradigma sosial yang partisipatif dengan melibatkan masya-
rakat. Selain itu, pemerintah juga perlu melaksanakan
pemerataan pembangunan yang sejatinya merupakan pangkal
pemicu munculnya permukiman kumuh.
Sosiolog Imam Prasodjo menjelaskan, pembangunan yang tidak
merata dan hanya terpusat di kota-kota besar menyebabkan
perpindahan penduduk ke daerah tersebut. Secara teoritis, pada
saat pembangunan itu timpang dan terkonsentrasi hanya pada
wilayah tertentu, orang otomatis akan berdatangan. Sebagian
dari penduduk yang melakukan perpindahan tersebut adalah
penduduk miskin.
Mereka membutuhkan tempat tinggal yang murah sehingga
pada akhirnya dipilihlah tempat-tempat seperti pinggir kali,
bawah jembatan, serta lahan-lahan kosong sebagai tempat
tinggal. Dan, mereka tidak berhenti sampai di situ, mereka terus
beranak-pinak sementara orang dari daerah lain terus
berdatangan. Artinya, pemerintah harus berpacu dengan tingkat
kekumuhan yang semakin meningkat.
Ada beberapa alternatif solusi yang dapat dikedepankan untuk
mengatasi masalah tersebut. Pertama, urbanisasi harus ditekan.
Caranya, dengan melakukan pemerataan pembangunan,
mendistribusikan pusat-pusat pembangunan di berbagai
wilayah. Hal tersebut membutuhkan kerja sama dan koordinasi
antara kota-kota pusat pembangunan dengan kota-kota yang
berada di sekitarnya.
Pemerintah Harus
Kedua, masyarakat harus dilibatkan
dalam penanganan permukiman
kumuh, sehingga kekumuhan tidak
semakin berkembang. Dengan meli-
batkan masyarakat, maka mereka
akan proaktif sekalipun tidak ada
pemerintah. Bahkan, jika perlu, penduduk kawasan kumuh diberi
kewenangan untuk membatasi orang yang datang ke kawasan
mereka.
Ketiga, perlu dilakukan upaya preventif dan penjagaan di kawasan
yang potensial akan menjadi kawasan kumuh. Selama ini,
perhatian terhadap upaya preventif terkesan kurang.
Pemerintah hanya bertindak setelah suatu kawasan sudah
telanjur menjadi permukiman kumuh.
Keempat, revitalisasi kawasan kumuh harus dilakukan dengan
pendekatan partisipatif dan dilakukan oleh orang-orang yang
ahli di bidangnya, misalnya negosiator. Upaya represif sudah
terbukti berulang kali gagal memberikan solusi terbaik.
Kelima, pendekatan untuk mengatasi masalah permukiman
kumuh adalah pendekatan integratif yang memerlukan
keterlibatan berbagai kementerian di pemerintahan. Itu
memerlukan sebuah dirigen yang canggih sehingga visinya benar
dan memiliki kemampuan sebagai integrator yang bagus.
Kebijakan yang sifatnya top down memiliki kecenderungan
untuk gagal. Sebab, pemerintah sebagai pengambil kebijakan
tidak dapat mengakomodasi keinginan dan kebutuhan
masyarakat. Dalam pembangunan rumah susun bagi penduduk
kawasan kumuh misalnya, pemerintah terkesan memaksa
masyarakat untuk pindah ke rumah susun. Padahal, fungsi rumah
bagi sebagian masyarakat adalah juga untuk tempat usaha,
bukan hanya tempat tinggal. Keengganan mereka pindah dari
kawasan kumuh ke rumah susun bukan tanpa alasan, mereka
takut kehilangan mata pencaharian jika pindah ke rumah susun.
Dengan demikian, ke depan, pemerintah harus lebih melibatkan
masyarakat dalam penanganan kawasan kumuh. Pendekatan
partisipatif dengan menempatkan masyarakat sebagai subjek –
dan bukan hanya sekedar objek akan lebih efektif dan memiliki
efek kontinuitas lebih besar dalam penanganan permukiman
kumuh. (Ivan)
Ubah Paradigma
Program padat karya dengan melibatkan masyarakat lokal.(Foto: Lies)
Volume 37 • KIPRAH30
LAPORANUTAMA
Darundono, AkademisiUniversitas Tarumanegara
(Foto:Dok.)
Perbaikan kampung adalah
suatu upaya memperbaiki
prasarana perkotaan secara
minimum, dengan meningkatkan
kualitas hidup penduduk miskin
perkotaan dengan biaya rendah.
Perbaikan kampung menjadi pili-
han kebijakan, dengan pertim-
bangan rumah-rumah dan penghu-
ninya sudah ada, dengan kete-
raturan dan modal sosial. Kebijakan perbaikan kampung telah
dilakukan selama tiga dasawarsa, dari tahun 1969-1999. Sampai
tahun 2004, Mantan Presiden Bank Dunia dalam suratnya
kepada mantan Gubernur DKI Ali Sadikin , menyatakan Proyek
MHT sebagai The Global Best Practice. Tetapi saat ini kebijakan
perumahan di Provinsi DKI Jakarta
berubah menjadi pembangunan ru-
mah susun, yang memakan biaya
lebih dari 1 Triliun rupiah selama 5
tahun ini. Beberapa penelitian menye-
butkan rumah susun banyak dimiliki
oleh masyarakat menengah ke atas,
yang awalnya adalah diperuntukan
bagi masyarakat berpenghasilan
rendah.
Penelitian yang dilakukan oleh Dinas
Perumahan Pemprov DKI pada tahun
2002 menyimpulkan bahwa kelompok sasaran (masyarakat
berpenghasilan rendah) yang mendiami rumah susun yang
dibangun hanya 20 persen.
Ini berarti bahwa 80 persen penghuni rumah susun adalah
golongan berpenghasilan menengah yang tidak perlu dan tidak
pantas menerima subsidi pemerintah. Pemerintah Provinsi DKI
juga merencanakan membangun 125.000 unit rumah susun
tahun ini yang terletak di pinggiran kota, seperti Cilincing,
Marunda dan Rorotan. Sekalipun fasilitas kesehatan dan
pendidikan disediakan, namun lapangan kerja penghuni masih
di tengah kota, sedangkan angkutan umum belum mendukung.
Tidak seperti pada perbaikan kampung yang partisipatif, rusun
pendekatannya adalah lebih bersifat teknokratik. Calon
penghuni tidak dilibatkan dalam proses pembangunan dan
keterikatan sosial yang ada di permukiman semula menjadi
retak. Dari sudut pandang tadi, tata ruang (membangun) di
pinggiran kota menciptakan Urban Sprawl. Peran serta
komunitas sejak diambilnya kebijakan perbaikan kampung
sampai dengan paska pembangunan sangat menentukan
keberhasilan pembangunan.
Bahkan, badan internasional seperti Bank Dunia terus berusaha
untuk mengembangkan pendekatan dalam mengatasi kemis-
kinan melalui berbagai kajian yang menggali sumber kekuatan
dari komunitas miskin itu sendiri yang dikenal dengan istilah
modal sosial (social capital). Adanya arisan, koperasi simpan-
pinjam, maupun majelis taklim dan lain-lain merupakan bibit
modal sosial yang terdapat hampir di setiap kampung.
Menggusur kampung pada hakikatnya sama dengan menggusur
jaringan sosial yang membantu para warga kampung meme-
cahkan persoalan dalam keadaan sulit dan membangkitkan rasa
identitas dan saling memiliki. Dari segi ekonomi, peremajaan
perkotaan lebih mahal 10-15 kali lipat.
Tanah makin sulit. Mengapa harus mem-
bongkar rumah-rumah yang sudah ada dan
telah menjadi perumahan bagi orang
dalam jumlah besar. Hal itu akan mem-
buat masalah lebih rumit. Maka, perbaiki
saja yang telah dimiliki. Tentang relokasi,
tak ada tanah yang terjangkau harganya
bagi orang-orang yang dipindahkan serta
akan jauh dari tempat kerja. Penghuni
rumah susun yang akhirnya memutuskan
keluar dari permukiman baru itupun
memilih kembali ke permukiman kam-
pung. Kembali dari mula, dengan modal kosong, menempati
lahan-lahan marjinal, miskin, dan kumuh.
Laporan UN Habitat dengan judul The Challengge of The Slums,
Oktober 2003 dalam membahas masalah permukiman kumuh
selalu menekankan bahwa permukiman kumuh bukan hasil
globalisasi dan ketidakadilan, tetapi lebih sebagai hasil
pemerintahan yang buruk. Menerima permukiman informal
sebagai permukiman formal merupakan konsekuensi terhadap
arus urbanisasi yang harus diterima sebagai kenyatan dan bagian
dari rajutan dan lansekap kota. Pilihan kebijakan perbaikan
kampung sebagai habitat warga kota yang berpenghasilan
rendah merupakan keputusan yang arif, mengingat besarnya
kelompok sasaran dan keterbatasan dana. Adalah keputusan
yang menentukan kebijakan yang dapat membawa pem-
bangunan berkelanjutan. Pembangunan yang melibatkan modal
sosial yang ada dan memperkuatnya merupakan kunci
pembangunan yang berkelanjutan. (Nld)
Perbaikan Kampung, Hemat Biaya danMinim Gejolak
Perbaikan lingkungan permukiman melalui proyekMHT, gagasan Gubernur Ali Sadikin.(Foto:Lis)
31KIPRAH • Volume 37
LAPORANUTAMA
Dodo Yuliman, PraktisiUN Habitat.(Foto:Dok.)
Penghuni permukiman ku-
muh itu silih berganti. Me-
nurut perhitungan dari UN
Habitat, tahun ini itu sudah ter-
lampaui target pengentasan pe-
mukim yang tinggal di permu-
kiman kumuh, yakni 100 juta orang
di Asia. Tetapi kenyataannya,
jumlah pemukim kumuh yang baru
bertambah banyak. Mereka hidup
di daerah-daerah ilegal, seperti bantaran sungai, pinggiran rel
KA dan lain-lain, yang sangat rentan terhadap bencana banjir,
penyakit menular, kriminalitas dan juga penggusuran.
Kerentanan itu yang menjadi program MDGs karena mereka
tetap memiliki hak yang sama dengan yang lain, walaupun hidup
mereka kurang beruntung.
Langkah yang dapat dilakukan adalah
pengakuan terhadap mereka. Ini
pernah dilakukan Walikota Solo untuk
permukiman di sebelah utara kota Solo.
Kurang lebih ada sekitar 200 KK dan
diperparah dengan krisis ekonomi yang
menjadikan permukiman menjadi
padat, tidak teratur, dan tidak terpola.
Saat itu, walikota akan memberikan
status yang legal dengan syarat mau
ditata. Masyarakat daerah tersebut
menerima karena di “manusiakan”.
Pendekatan ini sangat humanistik yang jarang ditemui di kota-
kota besar lainnya.
Setelah adanya pengakuan, perlu adanya dukungan dalam
bentuk teknis, seperti infrastruktur dan sanitasi. Hal ini sangat
diperlukan untuk mencegah segala macam penyakit yang dapat
mengakibatkan lost generations .
Berikutnya, pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi.
Dengan adanya pengakuan, mereka dapat meminjam uang
kepada bank untuk menjalankan usaha untuk mempertahankan
hidupnya. Program-program selain pemerintah, seperti NGO,
swasta, dan lain-lain juga sangat mudah mengalir ke daerah
tersebut.
Akhirnya, diharapkan dengan program-program yang masuk
secara sistemik dapat mengentaskan kemiskinan dan dapat
meningkatkan kualitas dari permukiman kumuh.
Perlu Pengakuan Pemerintah
Studi kasus di Brazil menunjukkan hampir 20 % penduduk kota
Rio de Janeiro tinggal di permukiman kumuh. Program
perbaikan permukiman kumuh dilakukan secara sistemik dan
transparan dengan melibatkan semua pihak. Mulai dari
menyelipkan rumah yang layak di permukiman kumuh sampai
merelokasi permukiman yang rawan longsor ke lokasi yang lebih
aman, tetapi tetap dekat dengan lokasi yang lama.
Di Srilangka, pemerintahnya mencanangkan program 1 juta
rumah dengan menumbuhsuburkan koperasi-koperasi dan bank
perempuan. Program tersebut berjalan efektif karena
mendukung kepentingan dan kebutuhan masyarakat di bidang
sosial, ekonomi, dan kesehatan.
Di Filipina, pernah punya program perumahan yang cukup baik
pada tahun 90-an, yakni program
pinjaman perumahan untuk komu-
nitas.
Sementara di Thailand, pemerintah
dan swasta terlibat dalam pengem-
bangan permukiman kumuh yang
menghabiskan dana cukup besar.
Akan tetapi, hasilnya cukup kelihatan,
dengan permukiman yang sangat
rapi, air bersih, dan sanitasinya bagus.
Di Indonesia, masih belum terlihat
secara jelas keberhasilan program-
program pemerintah dalam per-
baikan kampung karena penduduk yang relatif besar di-
bandingkan dengan Thailand.
Jadi, yang perlu dilakukan untuk penanganan permukiman
adalah recognition (pengakuan), dukungan, dan memberikan
program-program yang siap untuk berjalan secara sistemik dan
sesuai spesifikasi masyarakatnya. Program pemerintah seribu
tower rumah susun belum optimal. Dengan jumlah lantai yang
tinggi, perawatannya menjadi mahal untuk masyarakat
berpenghasilan rendah. Akhirnya, ditinggalkan penghuni asli-
nya, disewakan ke sembarang orang. Rusun baru juga banyak
yang dihuni oleh masyarakat yang mampu, padahal sebenarnya
diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Relokasi
diperlukan bagi daerah yang berbahaya, akan tetapi perlu
memperhatikan lokasi yang tepat bagi mereka untuk per-
ekonomiannya. Semua tinggal berpulang dari political will
pemerintah untuk melindungi segenap masyarakatnya.(Nld)
Proyek Rusunawa sebagai upaya mengurangidaerah kumuh perkotaan (Foto:Lis)
Volume 37 • KIPRAH32
LAPORANUTAMA
Anita Firmanti, KepalaPuslitbang Permukiman.
(Foto:Dok.)
Sejatinya pemerintah pusat
dan daerah telah, sedang,
dan terus berbuat banyak
untuk mengatasi problem kawasan
kumuh, baik secara struktural mau-
pun non struktural. Berbagai pola
dan metode penanganan telah pula
dilakukan, antara lain dengan revi-
talisasi, menata ulang kawasan, dan
membangun rusunawa. Namun, karena persoalannya bukan
teknis semata, melainkan juga menyangkut perilaku manusia
yang terkait erat dengan kemiskinan, keterbatasan, dan kepa-
datan, maka perlu kebijakan yang optimal dalam mengakomoda-
sikan aspirasi warga, seperti diungkapkan Anita Firmanti, Kepala
Puslitbang Permukiman Kementerian PU. “Prinsipnya adalah
dari dan untuk mereka. Dan, merelokasi tempat tinggal tanpa
mempertimbangkan latar belakang ekonomi dan tempat kerja
dapat dipastikan akan mengalami kegagalan,” tegas Anita.
Ia mencontohkan upaya yang dilakukan saat merelokasi warga
bantaran Kali Ciliwung dan Cipinang ke rusunawa yang dibangun
1995 ternyata tak mampu menarik minat penduduk karena tarif
listrik dan air di sana dianggap mahal, juga luas kamar yang dirasa
sangat sempit. Lantaran tak diminati, pemanfaatan rusunawa
itu akhirnya tak lagi sesuai peruntukannya.
Selain itu, tindakan tegas kurang diperlihatkan pemerintah
dalam usaha menertibkan permukiman. Pemerintah di satu sisi
menghimbau penduduk untuk pindah, tetapi di sisi lain
melegalisir status kependudukan warga. Kenyataannya, 90
persen warga bantaran Ciliwung memiliki KTP resmi dan legalitas
listrik sebagai sumber penerangan.
Perlu Kebijakan Optimal dalam Mengakomodasikan Warga
Masalah penataan kawasan kumuh terkait erat de-
ngan dua persoalan sosial. Pertama, masalah
pembebasan lahan yang merupakan persoalan
kompleks yang menjadi kendala dalam pembangunan infra-
struktur permukiman. Kedua, masalah status tanah, terkait
dengan bagaimana cara untuk pembebasannya. Padahal jelas-
jelas tanah negara, seperti contoh tragedi Makam Mbah Priok
di Jakarta Utara yang menelan korban jiwa dan puluhan luka-
luka.
Kalau persoalan teknis mungkin tidak begitu masalah, akan tetapi
persoalan lainnya itu yang agak rumit. Hal terpenting adalah
mekanisme pendekatan secara sosiologis.
Saat ini, di DPR telah masuk Program Legislasi Nasional
(PROLEGNAS) 2010 terkait dengan Rancangan Undang-Undang
Pengalihan Hak atas Tanah untuk Kepentingan Pembangunan.
Apabila RUU itu sudah selesai, hal itu merupakan salah satu
instrumen untuk mempercepat pembangunan, termasuk untuk
Masalah Sosial Harus Diperhatikan
penataan kawasan-kawasan
kumuh di Indonesia. Upaya
pemerintah untuk mengatasi
permukiman kumuh sebenar-
nya telah dilakukan. Misalnya,
pembangunan Rumah Susun
(Rusun) sebagai salah satu
upaya agar orang yang tinggal
di lingkungan kumuh bisa hidup
layak di suatu tempat yang
telah disediakan melalui pro-
gram pemerintah, terutama
bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Akan tetapi, persoalan lainnya adalah kita harus betul-betul
menyinkronkan antara tempat tinggal warga dengan tempat
beraktivitasnya sehari-hari. “Walaupun sudah kita sediakan
rusun yang bagus, tapi jauh dari pekerjaan mereka, maka mereka
enggan untuk menempatinya,” imbuhnya. (Jons)
Mulyadi, Wakil Ketua Komisi VDPR-RI (Foto:Dok.)
Melihat permasalahan itu, konsep Anita Firmanti sewaktu
menangani kawasan kumuh Cigugur, Cimahi, dan Jabar, yang
konon terpadat di dunia (500 orang/ha), agak berbeda karena
melalui jalur konsolidasi lahan dan membangun rusunawa
sebagai tempat penampungan sementara.
Tipologi bangunan dan prasarana infrastrukturnya sangat
memperhatikan kondisi lokal dengan pelibatan dan pember-
dayaan masyarakat, sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga
evaluasi dan pengawasannya.
Proyek yang akan selesai tahun 2012 tersebut nantinya
diharapkan dapat menjadi model bagi daerah lain dalam
mengatasi permukiman kumuh. Seperti kota-kota besar lain,
Bandung pun menghadapi problem kawasan kumuh yang tak
ringan dan perlu penanganan, seperti kawasan kumuh Kampung
Cicadas, Dewi Sartika, Babakan Surabaya, di pinggiran rel KA,
bantaran kali, atau kolong jembatan.(Joe)
33KIPRAH • Volume 37
Penanganan Permukiman KumuhKota Cimahi
Oleh: ** Pardino
tinggi di Kota Cimahi yang mengalami
degradasi lingkungan. Secara khusus, hal
ini berakumulasi di RW 5 yang memiliki
tingkat kepadatan tertinggi, yakni 226
jiwa/ha akibat berdekatan dengan kawa-
san industri di sekitarnya.
Kawasan ini kepadatan bangunannya
cukup tinggi. Pola tata massa bangunan
tumbuh secara organis tidak teratur.
Jarak antar bangunan sangat dekat
sehingga kurang baik bagi kesehatan
penghuni dan rawan bahaya kebakaran.
Kaum buruh tinggal di suatu rumah
kontrakan berukuran rata-rata 9-18 m2,
dihuni oleh perorangan atau keluarga
dengan kamar mandi komunal, rata-rata
LAPORANUTAMA
Rumah susun sebagai tampungan sementara bagi warga yang terkena perbaikan kampung di Cimahi, Jawa Barat. (Foto:Lis)
Posisi Kota Cimahi yang secara
geografis berbatasan langsung
dengan Kota dan Kabupaten Ban-
dung mendorong urbanisasi dan laju
pertumbuhan penduduk yang tinggi,
sekitar 2% per tahun dan rerata densitas
penduduk = 1.331 jiwa/km (Dinas Pena-
naman Modal Kota Cimahi, 2006). Kom-
binasi hal tersebut dengan kebutuhan
hunian, keterbatasan penghasilan, serta
lahan perkotaan yang mahal menye-
babkan permukiman kota tumbuh tanpa
mempertimbangkan visi sustainabilitas;
dampak derivatifnya berupa degradasi
kualitas lingkungan.
Kelurahan Cigugur Tengah merupakan
salah satu kawasan dengan kepadatan
2
jumlah lantai bangunan rumah sewa
tersebut adalah dua-tiga lantai, dengan
lebar koridor rata-rata kurang dari 1 m
yang umumnya dimanfaatkan untuk
melakukan aktivitas masak karena rumah
sewa rata-rata tidak dilengkapi dengan
dapur.
Dari hasil survei, mayoritas pemukim
berpendapatan antara Rp600 - Rp1 juta
per bulan (36,9%). Adapun pemukim yang
berpendapatan di atas Rp1 juta per bulan
sebesar 25,3%. Sisanya, berpendapatan di
bawah Rp300 ribu per bulan (12,5%) dan
Rp300 - 600 ribu per bulan (18,1%). Hal ini
memperlihatkan bahwa sebagian besar
penduduk di kawasan tersebut berpen-
dapatan rendah.
2
Volume 37 • KIPRAH34
LAPORANUTAMA
Pada sisi lain, pengeluaran rata-rata-
Rp956.378 per bulan. Hal ini berarti tidak
ada saving di golongan masyarakat ter-
sebut. Kondisi ini mengimplikasikan
prioritas kehidupan warga
akan cenderung membutuh-
kan upaya keras guna menca-
pai penyadaran tentang ku-
alitas bermukim. Selain itu
tingkat kemampuan warga
untuk berpatisipasi dalam pe-
nanganan kawasan secara fi-
nansial juga rendah.
Padahal upaya peningkatan
kualitas lingkungan permu-
kiman yang berwawasan sus-
tainabilitas hanya dapat dicapai
melalui penataan ulang kawa-
san menuju sinergi efisiensi
tata guna lahan, konservasi
lingkungan, serta aktivitas eko-
nomi. Proses ini membutuhkan ke-
mampuan finansial, minimal 30% dari
pendapatan harus dialokasikan untuk
pembiayaan infrastruktur.
Karenanya, pada konteks pengembangan
internal perkotaan, pengentasan per-
mukiman kumuh dapat diupayaan melalui
sinergi penyelesaian masalah kemiskinan,
kualitas lingkungan hidup, dan kapasitas
dalam penanganan kawasan kumuh kota.
Responsiveness memerlukan kelem-
bagaan pemkot yang tanggap terhadap
stakeholders. Hal ini dapat direalisasikan
melalui Kelompok Kerja Operasional
(Pokjanal) yang diarahkan sebagai pe-
rencana integrasi program berbagai
dinas, seperti pengentasan kemiskinan,
perbaikan lingkungan hidup, serta pem-
berdayaan ekonomi. Selain task-force
proses pembelajaran pengetahuan ke-
lembagaan.
Visi jangka panjang ke depan diharapkan
Pokjanal berhasil menghimpun segenap
program pembangunan serta keter-
paduan Dinas Pemkot Cimahi guna
menangani pembangunan kawasan ku-
muh di daerahnya.
Untuk itu komunikasi dan koordinasi yang
efektif antara pemkot dan masyarakat
dalam rangka pembentukan visi kolektif
perlu informasi yang handal dan terfokus
pada problem solving. Dan ini merupakan
dasar kerja sama yang vital dalam pe-
nataan kawasan kumuh.
Focus Group Discussion(FGD) berbasis ac-
tive learning merupakan sarana untuk
mencapai kondisi tersebut
karena strategi ini menempat-
kan pemkot - masyarakat sebagai
mitra (identitas baru) yang harus
memberi solusi atas persoalan
bersama, misal-nya aplikasi pro-
posal bisnis ke pihak swasta.
Good Public Expenditure (GPE)
Menurut World Bank dalam
“Mengoptimalkan Kontribusi
Desentralisasi Bagi Pembangun-
an: Metodologi Kerangka Kerja
Pengukuran Kinerja Pemerintah
Daerah” (2008), Otonomi Dae-
rah menggiring penganggaran
pembangunan untuk menuju pencapaian
GPE yang dapat ditengarai melalui
pengelolaan keuangan publik, kinerja
fiskal, penyediaan publik (fokus pada
pendidikan, kesehatan, prasarana), dan
iklim investasi. Iklim investasi ini diin-
Gambar. Posisi Spasial Kota Cimahi terkait Perkembangan Regional
daerah, termasuk pengelolaan kotanya.
Karenanya, pemerintah kota yang
mampu menerapkan prinsip Good Gover-
nance, khususnya prinsip responsiveness
dan strategic vision, amat diperlukan
Diskusi kelompok menentukan tipe dan jenis bangunan yang akan dibangun. (Foto:Pardino)
35KIPRAH • Volume 37
LAPORANUTAMA
dikasikan melalui pelatihan manajemen
usaha, pelatihan angkatan kerja, promosi
perdagangan, menghubungkan badan
usaha kecil dan besar, pelatihan aplikasi
kredit untuk UKM, dan program penye-
suaian usaha.
Model penanganan kawasan permukiman
kumuh seperti ini sanagat didukung
Walikota Cimahi yang peduli terhadap
daya saing daerahnya melalui eksplorasi
sumber-sumber pembiayaan yang ber-
basis competitive advantage, yakni industri
kreatif.
Kemampuan daerah untuk menggali
keuangan sendiri serta keterbatasan
sumber daya alam daerah sebaiknya
mengadopsi strategi pilot project (inspi-
ratif dan replikatif) sebagai
solusi pembangunan per-
mukiman. Operasionalisasi-
nya melalui Pokjanal (Ke-
lompok Kerja Instansional)
yang mengintegrasikan ber-
bagai program/kegiatan
dinas berbasis kluster.
Koordinasi dan integrasi pro-
gram/kegiatan antar dinas
akan mengefisienkan pem-
biayaan pembangunan.
Kemitraan dengan swasta
Pada tahun 2008 diperoleh
data bahwa 35,1% komunitas
warga di daerah kumuh Kota
Cimahi memiliki usaha/wira-
swasta, dimana 85,2% usaha tersebut
mengakses bank sebagai salah satu
sumber pembiayaan. Kondisi ini meru-
pakan potensi untuk dikembangkan
sebagai income source dalam penyerapan
tenaga kerja, pembiayaan infrastruktur,
modal kerja sama dengan berbagai pelaku
bisnis, serta dasar pelibatan CSR.
Pada tahun 2009 sebanyak delapan UMKM
kinerja bisnisnya dapat ditingkatkan
dengan melibatkan peran swasta dalam
pembinaan ekonomi lokal. Hal itu me-
rupakan kemajuan, yang perlu diting-
katkan secara menerus.
Strategi Peningkatan Kapasitas
Masyarakat
Ketidakmerataan akses terhadap infor-
masi menyebabkan ketidakseimbangan
partisipasi yang dapat berujung pada
ketidak-puasan terhadap program pem-
bangunan maupun ketidaktepatan sasar-
an implementasi.
Oleh karena itu, akses terbuka terhadap
informasi mengenai program pena-
nganan kawasan kumuh merupakan tahap
penting untuk meningkatkan partisipasi,
demokratisasi, serta menjadikannya
prioritas komunitas. Peningkatan dan
pemerataan akses ini dilakukan berdasar
prinsip gender equality, yakni melibatkan
pria dan wanita sesuai kapasitasnya.
serta mampu berkoordinasi dengan
pemkot sesuai kebutuhan prioritasnya.
Pembahasan atas penanganan kawasan
kumuh perkotaan merupakan diskursus
yang kian mengarah pada peran penting
aspek-aspek kelembagaan, pembiayaan,
serta pemberdayaan masyarakat.
Tentu dukungan aspek teknis tetap
menjadi komponen integral seiring
dengan kebutuhan untuk mengatasi
keterbatasan lahan, persyaratan bangun-
an gedung, ataupun rekayasa perilaku.
Sejumlah kesimpulan yang dapat dipe-
roleh atas uraian di atas, meliputi:
Pertama, penataan kawasan kumuh
perkotaan memerlukan upaya
penanganan sinergis atas isu
kemiskinan, lingkungan hidup,
serta kapasitas daerah, ter-
masuk pengelolaan perkotaan.
Faktor kelembagaan dan pem-
biayaan pembangunan meru-
pakan isu krusial yang mem-
butuhkan peningkatan kapa-
sitas para pelaku pembangun-
an, khususnya pemkot dan ma-
syarakat.
Kedua, pemerintah kota yang
mampu mengimplementasi-
kan Good Governance meru-
pakan prasyarat pengelolaan
proses pembangunan, ter-
masuk penataan kawasan
kumuh.Profil ekonomi komunitas RW 5 ini pun
bervariasi, mulai dari kaum miskin (pen-
dapatan < USD1 per hari) hingga kelom-
pok yang memiliki usaha dalam cakupan
yang signifikan. Hal ini memunculkan
variasi penanganan yang beragam pula.
Mulai dari yang membutuhkan imple-
mentasi kluster 1 (bantuan dan per-
lindungan sosial), kluster 2 (pemberda-
yaan masyarakat), maupun kluster 3
(pemberdayaan UKM).
Penanganan sesuai profil target-group ini
akan mengefektifkan upaya pember-
dayaan karena cenderung tepat sasaran
Gambar. Posisi Kelurahan Cigugur Tengah dalam KonteksTata Ruang Kota Cimahi
** Kapuslitbang SEB dan Peran Masyarakat,
Kementerian PU.
Ketiga, masyarakat yang sadar terhadap
permukiman berkualitas, setara dalam
mengakses informasi, serta berke-
mampuan untuk mengalokasikan ke-
mampuan finansialnya untuk mendu-
kung penataan kawasan kumuh menjadi
unsur penting dalam penataan kawasan
kumuh. Model penangan permukiman
kumuh di kota Cimahi ini kiranya dapat
menjadi contoh bagi daerah lain dalam
menangani problem yang sama.
Volume 37 • KIPRAH36
Boezem Morokrembangan di Su-
rabaya merupakan waduk kecil
yang dibangun pada zaman ko-
lonial Belanda. Boezem ini diperuntukan
sebagai penampung saluran drainase dari
daerah tangkapan air serta sebagai
pengendali banjir di kota Surabaya
dengan catchment area yang melingkupi
sebagian besar kawasan di sebelah
selatannya.
Sejalan dengan perkembangan kota dan
kurangnya pengendalian pemanfaatan
lahan mengakibatkan kawasan sekitar
boezem tumbuh menjadi lokasi hunian
yang tidak terkendali baik berupa kawasan
kumuh (slums) maupun pemukim ilegal
(informal shelter), bahkan kawasan yang
semula menjadi catchment area saat ini
sudah dipenuhi hunian baik yang legal
maupun penghuni ilegal, seperti di
perkampungan Tambak Sari dan Kalianak
Timur.
Perkembangan kawasan Boezem yang
sudah berlangsung puluhan tahun ini
memberikan kesan kurangnya concern
pemerintah dalam pengendalian dan
pemanfaatan ruang di kawasan sekitar
Boezem maupun penanganan Boezem
sebagai sebuah infrastruktur strategis
Kota Surabaya. Hal ini disadari ketika
kegiatan penanganan fisik boezem akan
dimulai tiga tahun yang lalu, ternyata
tumpukan sampah di areal Boezem sudah
berusia lebih dari 30 tahun, begitu juga
dengan proses pemanfaatan lahan sudah
berlangsung semenjak 50 tahun yang
silam. Pemanfaatan lahan oleh masya-
rakat diawali dengan adanya izin semen-
tara pemakaian tanah negara dari Kepala
Kantor Pengawas Agraria Karesidenan
Surabaya 15-6-1959, No. 2744/7B/1959.
Perkembangan hunian di sekitar kawasan
Boezem yang kurang terkendali ini telah
mempengaruhi kualitas lingkungan di
sekitar Boezem maupun fungsi Boezem
itu sendiri. Sejalan dengan perkem-
bangan pemanfaatan lahan, maka ber-
dasarkan hasil penelitian terhadap warga
yang bermukim di sekitar Boezem ter-
Oleh: **Edward Abdurrahman
Boezem Morokrembangan
LAPORANUTAMA
Kawasan Boezem Morokrembangan yang semula kumuh, kotor, dan bau kini menjadi bersih dan rapi setelah dilakukan revitalisasi. (Foto:Dok.)
Revitalisasi
37KIPRAH • Volume 37
dapat warga yang memiliki KTP maupun
warga yang tidak memiliki KTP, dan ada
pula sebagian yang termasuk kategori
keluarga musiman, yang keberadaannya
bersifat temporer (Sumber: Sugiarto,
Pemberdayaan Masyarakat).
Memperhatikan kondisi pemanfaatan
lahan di sekitar kawasan Boezem dan
dinamika sosial ekonomi masyarakat yang
terjadi saat ini maka untuk mewujudkan
sustainabilitas penanganan kawasan
boezem ke depan diperlukan langkah
pemecahan yang mampu mensinergikan
penanganan fisik dan non fisik. Pende-
katan non fisik menjadi penting dalam
penanganan kawasan Boezem karena
terkait dengan sejarah kawasan dan pre-
ference masyarakat yang ingin tetap
bermukim di areal tersebut.
Dalam penanganan kawasan kumuh
maupun squatter seperti yang terjadi di
kawasan Boezem ini maka pendekatan
dengan mendudukkan community se-
bagai subyek pembangunan akan lebih
memberikan secure kepada masyarakat
karena terkait langsung dengan kehi-
dupan dan penghidupan masyarakat
sebagai penghuni lingkungan (human in
habitant). Melalui pendekatan ini pula,
secara psikologis kita akan menumbuhkan
rasa tanggung jawab dan kepedulian
lingkungan hunian kepada masyarakat.
Meskipun penanganan fisik Boezem
sudah dimulai semenjak tiga tahun yang
lalu seperti pengerukan dan penanganan
drainase, namun keberlanjutan fungsi
Boezem akan sangat ditentukan pula oleh
perilaku masyarakat terhadap lingkungan.
Hal ini telah terbukti dengan kebiasaan
masyarakat yang selama ini membuang
sampah ke sungai maupun ke boezem
yang akhirnya mempengaruhi fungsi
Boezem dan kualitas lingkungannya.
Tentunya, hal ini menjadi tantangan kita
bersama untuk menemukan pola pena-
nganan yang mampu memberikan impli-
kasi keberlanjutan pada boezem dan
lingkungan hunian di sekitar boezem.
Untuk menemukan pola penanganan
aspek non fisik, diperlukan penggalian
informasi primer di lapangan serta data-
data yang up to date. Penanganan non
f isik ini akan sangat membutuhkan
ketelatenan dan keinginan untuk lebih
dekat dengan masyarakat sehingga need
masyarakat dapat digali lebih jauh. Untuk
bisa menghasilkan solusi yang mudah
diterima berbagai pihak maka penelitian
(research) kawasan menjadi sebuah
kebutuhan sehingga menghasilkan upa-
ya-upaya yang lebih mudah untuk diim-
plementasikan.
Selama ini penanganan kawasan dengan
pendekatan non fisik seperti perencanaan
partisipatif (participatory planning) dan
pemberdayaan masyarakat (community
empowering) sudah dilakukan, namun
belum banyak yang diperkuat dengan
penelitian yang lebih mendalam terkait
peraturan kawasan dan spatial planning,
potensi kawasan, rencana pengem-
bangan kawasan (area development), pre-
ference masyarakat, dan history kawasan,
yang kemudian mampu menghasilkan
sebuah sustainable design. Dua pende-
katan tersebut (participatory planning
dan community empowering) akan se-
makin efektif dilakukan jika dilandasi re-
search kawasan yang dilakukan oleh
perguruan tinggi/lembaga penelitian
setempat. Dengan demikian, link and
match antara perguruan tinggi/lembaga
studi sebagai pihak yang memahami
situasi kawasan dan pemerintah sebagai
pembuat kebijakan akan memberikan
efektivitas penanganan.
Pendekatan penanganan kawasan ber-
basis research ini telah dilakukan oleh
beberapa perguruan tinggi seperti Lund
University Swedia, Birmingham Univer-
sity bekerja sama dengan pemerintah kota
dalam menghasilkan sebuah penanganan
kawasan berkotaan dimana perguruan
tinggi berhasil memberikan gagasan
desain kawasan yang mampu meng- acce-
lerate pertumbuhan ekonomi kawasan
perkotaan.
Kawasan kumuh (slums) dan squatter
secara umum memberikan kesan sebagai
beban pembangunan perkotaan dan hal
ini tidak bisa dipungkiri. Meskipun demi-
kian, ada dua hal penting dalam pe-
nanganan kawasan kumuh. Pertama,
kawasan kumuh memiliki dinamika eko-
nomi, artinya masyarakat di kawasan
tersebut juga memiliki potensi tentunya
dengan skala terbatas. Kedua, masyarakat
di kawasan kumuh memiliki kohesi yang
baik di antara mereka, yang ditandai
dengan mudahnya kita mendapat in-
fomasi antara satu kelompok dengan
kelompok lainnya, maupun aktivitas yang
berkembang di antara masyarakat.
Kohesi dan budaya masyarakat ini me-
rupakan modal sosial dalam mendorong
upaya penanganan lingkungan yang lebih
baik. Pendekatan penanganan kawasan
dengan memperhatikan situasi lokal ini
mendapat dukungan dari UAI (Union of
Architect International) “Sustainable by
Design as a universal architectural concept,
by improving knowledge, strategies and
methods across different climatic, politi-
cal, social, and cultural contexts.
Ada dua langkah penguatan yang mung-
kin dilakukan, yaitu: Pertama, peme-
rintah memberikan dukungan kepada
perguruan tinggi/lembaga studi untuk
melakukan penelitian di kawasan Boe-
zem Morokrembangan agar diperoleh
informasi aktual dan preferensi masya-
rakat terhadap penanganan kawasan.
Kedua, diperlukan wadah untuk menam-
pung aspirasi masyarakat yang sekaligus
sebagai kontrol internal masyarakat.
Kontrol internal masyarakat ini menjadi
sangat penting karena melalui meka-
nisme ini efektivitas penanganan akan
jauh lebih mudah dilakukan dimana
kesadaran masyarakat terhadap ling-
kungan bisa dibangun secara terus
menerus oleh dan dari masyarakat sendiri
dengan pembekalan yang dilakukan
melalui pendampingan masyarakat oleh
tokoh-tokoh penggerak masyarakat atau
LSM lingkungan.
** Kasi di Direktorat Pengembangan Per-
mukiman, Ditjen Cipta Karya.
LAPORANUTAMA
Volume 37 • KIPRAH38
LAPORANUTAMA
Ketimpangan pembangunan ini
membawa banyak dampak, salah
satunya peningkatan perpindahan
penduduk dari desa ke kota, atau yang
lebih kita kenal dengan istilah urbanisasi.
Akibat semakin banyaknya orang desa
yang pindah ke kota demi mencari
perbaikan hidup, semakin banyak pula
permukiman yang harus disediakan
pemerintah kota. Oleh karena daya
dukung dan daya tampung kota tidak
sesuai dengan jumlah penduduk urban
yang datang, sedangkan tingkat per-
saingan kerja sangat tinggi, maka semakin
banyak pula penduduk urban miskin di
Jalan Panjang menuju
perkotaan. Selain itu, kota yang tidak siap
dalam menyediakan infrastruktur permu-
kiman dasar yang memadai, seperti
kualitas perumahan yang layak, air mi-
num, dan sanitasi, serta lahan bagi
pembangunan kawasan hunian baru,
mengakibatkan menjamurnya permu-
kiman-permukiman kumuh di perkotaan.
Pada dasarnya, permukiman yang masuk
kategori kumuh atau tidak layak huni
terbagi menjadi dua, yaitu permukiman
slums dan squatters. Permukiman slums
di sini adalah kawasan atau lingkungan
permukiman yang tidak dilayani infra-
struktur secara memadai, tetapi status
kepenghuniannya “biasanya” legal.
Sementara itu, permukiman squatters
adalah kawasan atau lingkungan permu-
kiman yang dihuni oleh masyarakat secara
ilegal, biasanya di tanah kosong bukan
miliknya dan atau tidak pada tempat yang
diperuntukkan bagi permukiman, misal-
nya di bantaran kali, bantaran rel kereta
api, kolong tol, kolong jembatan, dan lain
sebagainya.
Data Bappenas menyebutkan, lahan yang
digunakan untuk permukiman kumuh
antara tahun 1999 sampai tahun 2004
Dalam beberapa dekade terakhir, pembangunan di Indonesia semakin berkembang. Kemajuantersebut ditunjukkan dari semakin berkembangnya kota-kota kecil di Indonesia menjadi kota sedang
dan besar, dengan Jakarta sebagai pusat. Sayangnya, tak sedikit pula desa-desa maupun kota-kotakecil lainnya yang tidak berkembang, sehingga terjadi ketimpangan.
Bebas Kumuh
Kota sebagai magnet kaum urban untuk memperbaiki nasibnya.(Foto:Dok.)
39KIPRAH • Volume 37
LAPORANUTAMA
meningkat dari 47,000 hektar menjadi
54.000 hektar dengan tingkat laju keku-
muhan mencapai 2,9 persen per tahun.
Sementara itu, sekitar 15 juta rumah yang
dihuni oleh penduduk masuk kategori di
bawah standar. Bahkan, hasil penelitian
United Nations Development Programme
(UNDP) mengindikasikan peningkatan
luas permukiman kumuh mencapai 1,37
persen atau 57.800 hektar setiap tahun
antara tahun 2004 sampai 2009. Meskipun
demikian, memang belum ada jumlah
persis penduduk yang tinggal di per-
mukiman kumuh.
Menurut Budi Yuwono, Direktur Jenderal
Cipta Karya Kementerian Pekerjaan
Umum, yang pasti adalah angka permu-
kiman kumuh tidak bergerak turun,
melainkan berpindah-pindah saja. “Diba-
bat di sini, muncul di sana. Jadi bisa
dibayangkan, betapa kompleksnya per-
masalahan (permukiman) kumuh ini,”
demikian tukas Budi.
Munculnya permukiman-permukiman
kumuh di perkotaan, menurut Budi, salah
satunya adalah akibat sistem perencanaan
perkotaan yang tidak sanggup menangani
berbagai tantangan abad 21 dan telah
gagalnya kita menampung kebutuhan
untuk melibatkan masyarakat dan pe-
mangku kepentingan lainnya dalam
perencanaan kawasan perkotaan.
Urbanisasi memang belum atau nyaris tak
bisa dihentikan karena migrasi merupakan
bentuk penyelamatan diri.
Pemerintah juga tidak mudah untuk
mengontrol ke mana, bagaimana, dan
kapan penduduk akan melakukan migrasi.
Seringkali program peningkatan kualitas
permukiman kumuh, seperti penataan
kawasan permukiman kumuh, memiliki
rancangan yang kurang baik dan akhirnya
menimbulkan masalah lain di kemudian
hari. Dalam menghadapi situasi ini, para
pembuat kebijakan akhirnya cenderung
memilih untuk terus berusaha agar
masyarakat miskin tetap berada di desa
dan melihat mereka sebagai sumber
ketidakteraturan dan kriminalitas.
Berbicara tentang cara penekanan laju
urbanisasi dan penanganan permukiman
kumuh di perkotaan, salah satu program
pengurangan kawasan kumuh yang dila-
kukan Kementerian PU adalah revitalisasi,
membangun, atau bisa juga intervensi
kebijakan penyediaan perumahan layak
huni untuk pendatang kota berupa
rusunawa (rumah susun sewa). Kemen-
terian PU merencanakan pembangunan
rusunawa sebanyak 270 rusunawa ber-
lantai 4 dari tahun 2010 sampai tahun 2014
dengan alokasi anggaran sekitar Rp 10
milyar/unit rusunawa. Alokasi anggaran
tersebut fleksibel dan disesuaikan dengan
kebutuhan pembangunannya. Rencana-
nya, 70% rusunawa akan dibangun Ke-
menterian PU di pulau Jawa karena lebih
banyak kota metropolitan dan kota
besarnya. Sisanya, 20% untuk pem-
bangunan rusunawa di pulau Sumatera
dan 10% akan dibangun di Kalimantan,
Sulawesi, Bali, NTB, NTT dan Papua. Dae-
rah-daerah yang berhasil dalam mengen-
dalikan kawasan kumuh di daerahnya
melalui adanya rusun, antara lain adalah
Gresik, Sidoarjo, Cingeset-Bandung, dan
Cimahi.
Dalam kesempatan yang sama, Budi
membantah bahwa harga rusun yang
dipatok pemerintah dikategorikan mahal.
Budi mengatakan bahwa harga sewa
rusunawa di tiap-tiap daerah bervariasi,
tetapi cukup terjangkau. Harga sewa
rusunawa yang dibangun PU paling mahal
adalah rusunawa di Batam yang harga
sewanya sebesar Rp200.000,-/bulan untuk
ukuran 24m2. Meskipun demikian, banyak
juga rusunawa yang harga sewanya di
bawah itu, terutama jika kepala daerahnya
berinisiatif memberikan subsidi, seperti
harga sewa rusunawa di Gresik yang hanya
Rp100.000,-/bulan.
Selain melalui pembangunan rusunawa,
juga ada beberapa kemungkinan yang bisa
Budi Yuwono, Direktur Jenderal CiptaKarya Kementerian Pekerjaan Umum.
(Foto:Dok.)
Hunian Rusunawa Budha Suchi Cengkareng, Banten. (Foto:Wy)
Volume 37 • KIPRAH40
LAPORANUTAMA
dilakukan pemerintah dalam menekan
laju urbanisasi di perkotaan. Pertama, ber-
henti untuk berusaha menghentikan mi-
grasi dan mulai menghadirkan kebijakan
dan program yang realistis yang dapat
membantu proses urbanisasi menjadi
lebih baik, baik bagi masyarakat miskin
kota maupun bagi kota itu sendiri secara
keseluruhan. Kedua, pemerintah juga
harus terus melakukan pengentasan
kemiskinan dan pembangunan manusia
melalui proses bertahap. Ketiga, menja-
dikan kaum miskin sebagai pemeran
utama dalam upaya pengentasan kemis-
kinan dan pembangunan kota. Jika pe-
merintah kreatif mencari cara untuk
mendukung hal tersebut dan tidak lagi
mengecilkan peran kaum miskin, maka
mereka dapat melakukan perbaikan
permukiman dan perumahan, serta
menjadi mitra dalam upaya penyediaan
perumahan dan pelayanan.
Memang, tidak semua kebijakan dan pro-
gram yang dilakukan pemerintah, khusus-
nya Kementerian PU, berhasil. Budi
Yuwono memberi contoh ada rusun yang
telah selesai dibangun, tetapi sampai
sekarang belum dihuni atau penghuninya
belum tentu (warga) rumah kumuh yang
dimaksudkan semula. Penanganan per-
mukiman kumuh di DKI Jakarta misalnya,
rumah susunnya terbangun, tetapi
kawasan kumuhnya tetap ada. Menurut
Budi, kendala-kendala utama dalam
penataan permukiman kumuh ada 3
(tiga), yaitu:
1. Padatnya penduduk di kawasan ku-
muh, terutama di squatters (ba-
ngunan ilegal dan liar)
2. Terikatnya penduduk dengan mata
pencaharian sehingga dibutuhkan
komunikasi terus-menerus antara
pemerintah yang ingin mengurangi
kawasan kumuh dengan mereka yang
tinggal di situ.
3. Bervariasinya komitmen pemerintah
daerah. Kendala tersulit adalah peme-
rintah daerah yang kurang ber-
komitmen. Akibatnya, pembangunan
rusun terhambat atau tidak tepat
sasaran.
ke dalam kota. Misalnya, pemberlakuan
kartu identitas bagi para penghuninya.
Dengan demikian, mereka yang tidak
mempunyai kartu tersebut tidak menda-
pat akses pelayanan umum yang gratis
atau bersubsidi, seperti pendidikan dan
kesehatan. Akan tetapi, kebijakan ter-
sebut cenderung mengurangi jumlah
tenaga kerja di kota dan meningkatkan
harga barang dan jasa. Selain itu, tindakan
ini juga meningkatkan tingkat kemiskinan
para migran yang harus membayar
pelayanan yang seharusnya dapat dipe-
roleh secara gratis.
Kebijakan lainnya adalah penggusuran
paksa bagi para migran untuk kembali ke
desa atau trasmigrasi. Sayangnya, sering-
kali program penggusuran paksa ini salah
sasaran yang menyasar pada penduduk
kelahiran kota yang tidak mempunyai
latar belakang untuk bertani sama sekali
dan tidak memiliki keinginan untuk mena-
ta hidup baru di desa. Program relokasi
yang dilakukan pemerintah seringkali juga
tidak mampu memberikan kesempatan
kerja dan kondisi hidup yang layak, tak ja-
rang hanya memindahkan satu lokasi
permukiman kumuh ke lokasi lainnya.
Contoh kebijakan yang dilakukan peme-
rintah untuk membatasi migrasi desa ke
kota adalah dengan mempersulit akses
Lingkungan kumuh yang tak layak huni. (Foto:Dok.)
41KIPRAH • Volume 37
LAPORANUTAMA
Dengan demikian, program-program ter-
sebut tidak dapat berjalan secara optimal.
Pemerintah, khususnya Kementerian PU,
merasa bahwa semua permasalahan ini
merupakan tanggung jawab seluruh
stakeholders, bukan hanya tanggung
jawab pusat semata. Budi Yuwono
menjelaskan bahwa pemerintah daerah
kabupaten/kota juga harus punya komit-
men untuk pengentasan kawasan kumuh
di daerahnya. “Harus ada strategi dari
pemerintah daerah, baik kabupaten
maupun kota, untuk mengatasi masalah
itu. Baru kita (pusat) masuk ke sana.
Kalau pemdanya tidak ikut memiliki pro-
gram itu, ya repot.”
Budi Yowono sendiri dengan tegas
menyatakan, perencanaan kota yang
berhasil itu bila dilakukan secara parti-
sipatif. Artinya, melibatkan seluruh
pemangku kepentingan dalam perenca-
naan dan pelaksanaan program. “Peran
masyarakat dalam perencanaan kota
telah dikuatkan melalui UU No 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang.” Peren-
canaan kota yang partisipatif menjadi
tanggung jawab pemerintah, khususnya
pemerintah kota. Hal ini yang diwujudkan
dalam Rencana Stategis Pembangunan
Permukiman Perkotaan dengan mengacu
kepada Rencana Tata Ruang Wilayah,
yaitu terselenggaranya perencanaan kota
yang berkeadilan, berkelanjutan, dan
manusiawi sehingga dapat mewujudkan
kota sebagai permukiman layak huni
serta berkelanjutan bagi seluruh lapisan
masyarakat.
Tetapi Budi Yuwono mengakui, imple-
mentasi program masih lemah, terutama
menyangkut koordinasi, komitmen, dan
keterbukaan dari masing-masing pe-
mangku kepentingan, termasuk peme-
rintah daerah. Faktanya, banyak pemda
masih mengabaikan kewajibannya untuk
membuat rencana tata ruang dan melak-
sanakannya secara konsisten. Padahal,
perencanaan kota yang tidak partisipatif
akan menimbulkan ketidakadilan bagi
masyarakat, sehingga jumlah masyarakat
miskin kota bukannya berkurang, tetapi
justru semakin bertambah. Budi men-
contohkan, para pedagang pasar tradi-
sional yang tergusur akibat maraknya
pembangunan kawasan perdagangan
skala besar. Pendirian mini market yang
menyingkirkan sedikitnya 20 pedagang
pasar tradisional. Bahkan, Asosiasi Peda-
gang Seluruh Indonesia (APSI) mencatat
ada 8 pasar tradisional tutup di Jakarta
pada awal 2008 gara-gara tidak mampu
bersaing dengan pasar modern.
Contoh keberhasilan pemerintah daerah
dalam menerapkan perencanaan pem-
bangunan kota yang partisipatif dengan
keterlibatan penuh masyarakat adalah
kota Solo. Walikota Solo mengandalkan
komunikasi yang intensif dengan masya-
rakatnya, terutama masyarakat (dari
kawasan) kumuh. “Buktinya, dia berhasil
memindahkan masyarakat yang tinggal di
bantaran kali ke tempat baru. Rumah-
rumah yang semula membelakangi kali,
sekarang memutar menghadap kali, dan
(bagian) depannya diikhlaskan untuk
jalan. Belum lagi pembinaan-pembinaan
kawasan home industry, seperti di La-
wean, yang ditata rapi,” tutur Budi. Tidak
saja berhasil menangani permukiman
kumuh, pemerintah kota Solo juga
berhasil merevitalisasi pasar-pasar tradi-
sional, pedagang kaki lima, sehingga
ekonomi informal dan lokal tradisional
terselamatkan.
Pemerintah Indonesia juga berupaya
mencapai target-target Millennium Devel-
opment Goals (MDGs), yang salah satu
targetnya adalah untuk membebaskan
semua kota dari permukiman kumuh di
tahun 2020. Sebagai permulaan, peme-
rintah menargetkan 270 kota di Indone-
sia bebas permukiman kumuh di tahun
2010, kemudian meningkat menjadi 350
kota pada tahun 2015. Pada dasarnya,
MDGs merupakan kesepakatan inter-
nasional yang sasarannya telah diterapkan
di berbagai bidang, salah satunya mengu-
rangi daerah kumuh, penyediaan sanitasi
dan air bersih. Budi menyatakan bahwa
target MDGs di tahun 2015 nanti bisa
tercapai, meskipun masih harus bekerja
keras untuk pencapaian semua program
MDGs. “Akan tetapi, jika ditanyakan
bagaimana hasilnya,” sekali lagi Budi
menegaskan, “tidak mungkin hanya pusat
sendiri yang melakukan. Jadi, diperlukan
sinergi dan komitmen juga dari peme-
rintah daerah kabupaten/kota.” Agaknya,
pembangunan permukiman dan per-
kotaan, khususnya permukiman ku-muh,
masih harus melalui perjalanan yang
cukup panjang, seiring dengan dinamika
perkembangan kotanya. (Joe&Endah)
Upaya revitalisasi City Walk kawasan Jalan Slamet Riadi kota Solo. (Foto:Istimewa)
Volume 37 • KIPRAH42
GALERIFOTO
Volume 37 • KIPRAH42
Paviliun Indonesia tampak depan.(Foto:Lis)
Warna warni payung menghiasiPaviliun Indonesia. (Foto:Lis)
Pembukaan Paviliun oleh Menko PerekonomianHatta Rajasa. (Foto:Lis)
Tari Pendet Bali. (Foto:Lis)
Antrian pengunjung Paviliun Indonesia. (Foto:Lis)
Anyaman bambu sebagaipelengkap bangunan. (Foto:Lis)
Keanekaragaman biota lautIndonesia. (Foto:Lis)
World Expo Shanghai merupakan ajang
berkumpulnya masyarakat dunia untuk
berbagi pengalaman dan keberhasilan di bidang
ekonomi, sosial, budaya dan teknologi. Expo yang dibuka
selama 6 bulan dimulai sejak 1 Mei 2010 dan akan berakhir
31 Oktober 2010 ini resmi dibuka oleh Presiden RRC Hu
Jintao pada jumat (30/4). Luas area expo seluruhnya 5,28
km2, terletak di tengah kota dan di tepi sungai Huang Pu,
di antara jembatan Nan Pu dan jembatan Lu Pu. Kurang
lebih 200 negara dan 47 organisasi International akan
mengikuti World Expo ini. Tema expo kali ini adalah Better
City, Better Life yang mempunyai arti kota membuat
kehidupan yang semakin membaik. Tema pavilion dalam
World Expo ini terbagi 5 (lima), yakni Urban Footprints,
Urban Planet, Urban Dwellers, Urban Beings, and Urban
Dreams
Paviliun Indonesia seluas 4.000 m2 dengan bangunan 2400
m2, mempunyai tema BioDiverCity. Tema itu diambil dari
rangkaian kata Bio (kehidupan) – Diverse (keanekaraga-
man) dan City (kota) yang menghadirkan keanekaraga-
man budaya Indonesia dengan menampilkan keharmo-
nisan antar manusia dan lingkungannya. Paviliun Indone-
sia menampilkan desain tropis kontemporer yang
melambangkan keterbukaan melalui material bambu.(Lis)
43KIPRAH • Volume 37
GALERIFOTO
43KIPRAH • Volume 37
Meriahnya acarapembukaan
World Shanghai Expo2010
Paviliun Belanda. (Foto:Lis)Paviliun Latvia. (Foto:Lis)
Paviliun Ukraina. (Foto:Lis)Paviliun Afrika. (Foto:Lis)
Paviliun Estonia. (Foto:Lis) Paviliun UK. (Foto:Lis)
Urban Planet. (Foto:Lis)
Volume 37 • KIPRAH44
Apa yang orang jumpai di Lombok,
belum tentu ada di Bali.
Sebaliknya, apa yang orang jumpai
di Bali, pasti ada di Lombok. Ini berarti
Lombok lebih lengkap daripada Bali,
demikian promo seorang teman yang
memang asli orang Lombok. Sebagai
contoh, di Lombok orang bisa menjumpai
Pura, tetapi di Bali orang tidak akan
menemukan rumah-rumah adat Suku
Sasak.
Dari segi itu, bisa jadi benar. Lombok,
dengan daerah wisata andalan Pantai
Senggigi dan Gunung Rinjani, juga mem-
punyai Pantai Kuta yang bahkan lebih
menarik dari Kuta Bali karena selain
pantainya masih bersih, pasirnya juga
putih. Di beberapa lokasi, bahkan butiran-
butiran pasirnya sebesar merica. Oleh
warga setempat, butiran-butiran pasir itu
dijual kepada wisatawan dalam wadah
Melongok Lombok
“I love the blue of Indonesia......” Masih ingat jingle salah satu iklan produk rokok barusan? Jingle ituyang spontan meluncur dari mulut ketika mata disuguhi pemandangan birunya Pantai Senggigi.
botol yang bisa digunakan sebagai hiasan
di dalam rumah.
Selain itu, Lombok juga memiliki bebe-
rapa obyek wisata lain yang sangat
menarik, di antaranya Gili Terawangan, Gili
Meno, Gili Air, Gili Nangu, Gili Sundak, Gili
Tangkong, Cakranegara, Sentanu, Tete-
batu, Air Terjun Sendang Gile, Hutang
Monyet Pusuk, Taman Narmada, dan
Taman Mayura.
Soal makanan khas, kalau di Yogya terkenal
dengan gudegnya, di Lombok terkenal
dengan Plecing Kangkung dan Ayam
Taliwangnya. Kedua jenis makanan itu
berbumbu sambal dengan bahan dasar
cabe atau lombok. Tetapi jangan terus
menyamakan sifat orang Lombok dengan
cabe yang biasanya pedas dan panas. Ini
karena menurut bahasa setempat, ber-
dasarkan keterangan H. Lalu Suhaemie
dari Dinas Pariwisata Lombok Barat,
lombok berarti lurus. “Jadi bukan karena
masakannya pedas-pedas, maka wilayah
bagian NTB itu dinamai Lombok. Kesa-
lahpahaman itu yang harus dibetulkan,
juga pendapat bahwa orang Lombok itu
keras (panas) sesuai dengan nama dae-
rahnya,” tegasnya.
Pulau Seribu Masjid
Pulau Lombok memiliki luas 5.435 km2,
berdasarkan sensus tahun 2001, memiliki
jumlah penduduk sebanyak 2.722.123 jiwa.
Hampir 90% penduduknya beragama Is-
lam. Berbeda dengan Bali yang karena
mayoritas penduduknya beragama Hindu,
maka amat banyak dijumpai Pura sebagai
tempat beribadah sehingga dikenal
dengan Pulau Seribu Pura, maka Lombok
dengan mayoritas penduduknya yang
beragama Islam dikenal dengan Pulau
SELINGAN
Pantai Kuta, Lombok. (Foto: Remo)
45KIPRAH • Volume 37
Seribu Masjid karena banyaknya masjid
yang tersebar di daerah itu. Suatu lang-
kah yang berani, mengingat wisatawan,
utamanya asing, dan masih sering meng-
kaitkan antara masjid, Islam dengan
terorisme. Apalagi bom Bali yang menelan
ratusan korban beberapa tahun lalu
sempat membuat Bali sepi dari turis.
Namun, Suhaemie optimistis sebutan
Pulau Seribu Masjid bagi Lombok tidak
akan menghalangi kedatangan turis lokal
maupun asing. Hal Ini karena peran ulama
dengan tokoh adat dan pemerintah saling
bersinergi. “Islam itu rahmatan
lil alamin. Jadi, siapapun yang
kemari, monggo. Gak diganggu,”
ujar Suhaemie, yang mengaku
pernah sukses mendatangkan
satu kapal berisi dua ribu turis
yang berangkat dari Benoa, Bali,
dan sebuah kapal turis yang
datang langsung dari Darwin
Australia.
Lebih dari itu, sasaran turis lain
yang berpotensi bagi Lombok,
selain Australia dan negara-
negara dari benua lain, juga turis-
turis dari negara-negara di Timur
Tengah, seperti Dubai. Negara
ini konon bahkan be-rencana
menanamkan modalnya untuk mem-
bangun sebuah resor di Lombok.
Festival Senggigi
Berkunjung ke Lombok bisa kapan saja.
Setiap hari ada penerbangan langsung,
baik dari Bali, Jakarta, maupun dari
Surabaya. Dari Bali bahkan bisa dicapai
dengan kapal feri yang melayani penum-
pang setiap 30 menit sekali dengan waktu
tempuh kurang lebih empat setengah
jam. Dengan pesawat, perjalanan dari
Jakarta bisa ditempuh dalam waktu
kurang lebih dua jam, dari Surabaya
sekitar 40 menit, sedangkan dari Bali hanya
selama 20 menit.
Dari Bandara Selaparang umumnya wisa-
tawan langsung menuju ke Senggigi yang
bisa ditempuh dengan taksi atau mobil
pribadi dalam waktu kurang lebih 30
menit. Di sepanjang Pantai Senggigi
banyak dijumpai hotel dari mulai kelas
melati hingga bintang lima. Untuk urusan
makan, wisatawan juga tidak perlu bi-
ngung, karena banyak restoran yang
berderet di sepanjang jalan, dari ukuran
kecil hingga besar.
Setiap bulan Juli, bertepatan dengan
musim liburan, Pemerintah Daerah
Lombok menggelar Festival Senggigi
yang menampilkan kesenian dan kebu-
dayaan setempat. Dipilih Senggigi sebagai
turis itu merupakan suatu permainan adu
fisik dengan menggunakan perisai se-
bagai tameng dan pemukul dari rotan.
Dua pemain yang diadu diambil dari
penonton.
Menurut Suhaemie, Perisaian sebe-
narnya merupakan permainan rakyat
yang dilakukan sebagai ritual untuk
mendatangkan hujan. Setiap musim
kemarau yang panjang, dimana daerah-
daerah sudah mulai mengalami keke-
ringan, masyarakat Lombok melakukan
atraksi Perisaian. Dengan saling me-
nyerang dan memukul hingga
berdarah-darah, diharapkan
Tuhan menyirami mereka de-
ngan menurunkan hujan. Na-
mun, sekarang ini Perisaian
selain dilakukan untuk tujuan
ritual juga ditampilkan sebagai
hiburan.
Pemain Perisaian terdiri dari
dua orang yang dipimpin oleh
satu wasit. Pertarungannya
sendiri dilakukan dalam empat
babak atau ronde. Layaknya
tinju, setiap ronde mereka
diberi kesempatan untuk be-
ristirahat selama beberapa
menit. Pada ronde ke empat,
wasit akan memutuskan siapa yang
menang dan siapa yang kalah. Kadang-
kadang tidak sampai empat ronde wasit
sudah bisa memutuskan pemenangnya
apabila salah satu pemain menyerah.
Saling pukul dan sabet di antara pemain
terjadi begitu cepat karena goresan
merah di pinggang ataupun di perut tahu-
tahu terlihat pada saat pemain be-
ristirahat di setiap ronde. Seperti tinju,
sekali-sekali wasit harus memisahkan
kedua pemain saat adu pukulnya
terlalu rapat dan dirasa membaha-
yakan. Yang menarik, setiap kali dipi-
sahkan satu sama lain, masing-masing
pemain akan menari-nari dengan gaya
yang khas. Selanjutnya, pertandingan
diakhiri dengan saling berpelukan
setelah salah satu pemain dinyatakan
sebagai pemenang. (Patitis SR)
SELINGAN
Perisaian. (Foto: Remo)
tema festival karena daerah tersebut
masih merupakan pendongkrak utama
pendapatan asli daerah (PAD) NTB.
Festival yang dimulai sejak tahun 2003 itu
terus menggeliat dan berkembang sam-
pai sekarang. Yang tadinya hanya bersifat
lokal, dengan diikuti oleh 15 kecamatan
di Lombok Barat, sekarang sudah diikuti
oleh beberapa kabupaten kota di NTB.
Festival tersebut dimaksudkan untuk
meningkatkan dan menge-nalkan nilai-
nilai budaya masyarakat Lombok.
Perisaian
Salah satu atraksi yang dipertontonkan
setiap hari, dari mulai jam 16.00 waktu
setempat hingga maghrib, adalah Peri-
saian. Pertunjukan yang banyak menye-
dot perhatian masyarakat, termasuk para
Volume 37 • KIPRAH46
TAHUKAHANDA
Tridaya
Pendekatan pembangunan permukiman
dengan tiga sasaran pemberdayaan
sebagai satu kesatuan upaya, yaitu pem-
berdayan masyarakat, pemberdayaan
lingkungan, dan pemberdayaan kegiatan
usaha.
Ventilasi udara
Lubang yang berfungsi mengeluarkan
gas yang terakumulasi dalam pipa untuk
menyesuaikan tekanan udara dalam
saluran atau manhole menjadi sama
dengan tekanan udara luar.
NUSSP (Neighborhood Upgrading and
Shelter Sector Project)
Kegiatan penanganan perumahan dan
permukiman kumuh dengan meng-
gunakan dana pinjaman dari Asian Deve-
lopment Bank.
Permukiman Kumuh
Lingkungan permukiman yang telah
mengalami penurunan kualitas atau
memburuk, baik secara f isik, sosial
ekonomi, maupun sosial budaya.
Sarut ( Saringan air rumah tangga)
Prasarana untuk pengolah air tanah atau
air permukaan yang mempunyai kulitas
sesuai dengan kriteria tertentu atau
menjadi air bersih.
Lingkungan Permukiman
Bagian dari lingkungan hidup di luar
kawasan lindung, baik yang berupa
kawasan perkotaan maupun perdesaan
yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal atau lingkungan hunian
dan tempat yang mendukung perike-
hidupan dan penghidupan.
KLB (Koefisien Lantai Bangunan)
Koefisien perbandingan antara luas
seluruhan lantai bangunan gedung dan
luas persil/ kaveling/blok peruntukan.
Rusunami (rumah susun sederhana milik)
Bangunan bertingkat yang dibangun
dalam satu lingkungan tempat hunian
yang memiliki WC dan dapur, baik me-
nyatu dengan unit maupun bersifat publik,
dan diperoleh melalui kredit kepemilikan
rumah dengan subsidi maupun tanpa
subsidi.
Kasiba (Kawasan Siap Bangun)
Sebidang tanah yang f isiknya telah
dipersiapkan untuk pembangunan peru-
mahan dan permukiman skala besar yang
terbagi dalam satu lingkungan siap
bangun atau lebih dan pelaksanaanya
dilakukan secara bertahap yang lebih
dahulu dilengkapi dengan jaringan primer
dan sekunder.
Prasarana lingkungan sesuai dengan
rencana tata ruang lingkungan yang
ditetapkan oleh Kepala Daerah dan
memenuhi persyaratan pembakuan
pelayanan prasarana dan sarana ling-
kungan.
Gentrifikasi
Perubahan stratifikasi sosial; stratifikasi
penduduk kota tingkat bawah dari ka-
Permukiman liar di sepanjang bantaran rel kereta api, di daerah Papanggo Jakarta Utara. (Foto:Joe)
47KIPRAH • Volume 37
TAHUKAHANDA
Untuk dapat menarik pengunjung
untuk makan ke restoran,
biasanya pihak restauran meng-
ubah gaya restorannya menjadi lebih unik
dan aneh. Banyak cara yang dilakukan
untuk mengubah
restoran menjadi
sesuatu yang unik,
seperti menam-
bah suasana pede-
saan pada resto-
ran, menambah-
kan karaoke, me-
nyediakan maka-
nan ekstrim, dan
masih banyak lagi.
Dan percaya ga
percaya, ternyata
ada seorang pemi-
lik restoran yang membangun restoranya
di atas pohon. Lho? kok bisa? Ya, tentu
saja bisa. Restoran ini ada di Okinawa,
Jepang. Restoran ini berdiri di atas pohon
Gajamaru dengan ketinggian 20 kaki.
Yang unik...Restoran ini sangat ramai karena selain
konsepnya yang unik dan kreatif, res-
toran ini hanya berjarak beberapa kilo-
meter dari bandara Okinawa, sehingga
banyak turis yang menyempatkan diri
untuk makan di restoran ini.
Di restoran ini, kalian bisa memesan
beraneka jenis makanan Asia seperti
makananJepang, Korea, China, India, dan
Asia Tenggara. Dan perlu diketahui,
ternyata pohon yang dijadikan penumpu
retoran ini adalah pohon asli lho. Pohon
ini memang sangat besar dan kuat
sehingga sanggup untuk menahan beban
bangunan restoran ini.
Berminat untuk makan di restoran ini?
Silahkan datang ke Okinawa, Jepang.(Iip)
wasan kumuh di daerah tengah kota yang
kemudian menjadi permukiman mewah
lengkap dengan segala fasilitas kehidupan
bagi golongan yang mapan, kaum ekse-
kutif profesional, ekonomi kuat, dsb
Kawasan Kumuh
Bagian yang terabaikan dalam pemba-
ngunan perkotaan yang ditujukan dengan
kepadatan penduduk yang tinggi, kondisi
lingkungan yang tidak layak huni dan tidak
memenuhi syarat, serta minimnya fasi-
litas pendidikan, kesehatan, dan sarana
pra-sarana sosial budaya.
UDGL ( Urban Design Guidelines)
Suatu perangkat pengaturan berupa
panduan/arahan desain tata bangunan
berikut lingkungannya untuk suatu ka-
wasan/bagian kota tertentu.
Materi panduan rancang kota yang
bersifat spesifik sesuai keragaman yang
ada antara suatu kawasan dengan kawa-
san yang lain. Umumnya, rumusan yang
tertulis di dalam suatu panduan rancang
kota dibuat sedemikian rupa tanpa
mengurangi kreativitas arsitek.
Squatter (Penghuni Liar)
Orang-orang atau kelompok orang yang
menghuni atau menempati suatu kawa-
san, lahan, atau bangunan tanpa ijin resmi
Slums ( Kawasan Kumuh legal)
Suatu kawasan permukiman yang dilihat
dari keabsahan keberadaanya yang tidak
melanggar hukum.
Beberapa fakta tentang permukiman
kumuh:
1. Kondisi hunian rumah dan permu-
kiman serta penggunaan ruang tidak
memenuhi persyaratan yang layak
untuk tempat tinggal, baik secara
fisik, kesehatan, maupun sosial.
2. Fasilitas umum yang kondisinya
kurang dan tidak memadai.
3. Adanya tingkat frekuensi dan kepa-
datan volume yang tinggi dalam
penggunaan ruang yang ada di per-
mukiman kumuh sehingga men-
cerminkan adanya kesemrawutan
tata ruang dan ketidakberdayaan
ekonomi penghuninya.
4. Permukiman kumuh merupakan
suatu satuan-satuan komunitas yang
hidup secara tersendiri dengan
batas-batas kebudayaan dan sosial.
5. Penghunian permukiman kumuh
secara sosial dan ekonomi tidak
homogen.
6. Sebagian besar penghuni permu-
kiman kumuh adalah mereka yang
bekerja di sektor informal atau
mempunyai mata pencarian tamba-
han di sektor informal. (Iip)
Volume 37 • KIPRAH48
JELAJAH
Menteri Pekerjaan Umum, Djoko
Kirmanto, menyambut baik
upaya pengerukan flood way
Sedayu Lawas di Lamongan, Jawa Timur,
yang hasilnya dapat mengurangi dampak
banjir akibat luapan sungai Bengawan
Solo. “Banjir Sungai Bengawan Solo yang
kerap melanda wilayah Cepu, Bojone-
goro, Babat, Lamongan, hingga Gresik
untuk tahun ini dapat diminimalisir berkat
selesainya pengerukan bangunan sode-
tan (flood way) Sedayu Lawas sepanjang
12.500 meter oleh Balai Besar Wilayah
Sungai (BBWS) Bengawan Solo,” ujar
menteri saat meninjau prasarana pengen-
dali banjir di Lamongan, Jawa Timur awal
April lalu.
Graita Sutadi, Kepala BBWS Bengawan
Solo, dalam laporannya mengatakan, tak
Flood Way Dikeruk,Banjir pun Berkurang
kurang dari 1,4 juta M3 sedimen yang
harus diangkat dari badan saluran yang
selama ini menjadi salah satu penghambat
atau penyebab terjadinya banjir dan
genangan di daerah Bojonegoro dan
Lamongan. Untuk itu, dibutuhkan dana
sekitar Rp 23 milyar berasal dari dana
stimulus APBN 2010.
“Bangunan sodetan ini, sejak selesai
dikerjakan tahun 2001 oleh Proyek Induk
Pengembangan Wilayah Sungai Benga-
wan Solo waktu itu, belum pernah
dilakukan pengerukan, sehingga sedi-
mennya sangat tinggi dan menghambat
aliran air Bengawan Solo menuju pantai
utara laut Jawa,” ujarnya.
Padahal flood way ini dirancang untuk bisa
mengalirkan air Bengawan Solo dengan
debit sebesar 640 M3 per detik, namun
karena tiadanya dana operasi dan peme-
liharaan (O&P), fungsinya menjadi me-
nurun dan hanya mampu mengalirkan air
dengan debit 230 hingga 416 M3 per detik.
Akibatnya, banjir dan genangan selalu
datang saban tahun setiap musim hujan
tiba, terutama di wilayah Bojonegoro dan
Lamongan.
“Fakta menunjukan bahwa masalah O&P
sangatlah penting. Tak kalah pentingnya
dengan pembangunan,” tegas Graita.
Bahkan, terhadap bangunan yang telah
selesai dibangun seharusnya langsung
diikuti dengan kegiatan pengelolaan,
termasuk pemeliharaan O&P-nya. Apalagi
di banyak tempat, bangunan prasarana
SDA sudah berusia tua, sementara O&P
terbatas, maka fungsinya menurun,
Kegiatan pengerukan flood way Sedayu Lawas untuk mengangkat volume sedimen sebesar 1,4 juta m3. (Foto:Dok.)
49KIPRAH • Volume 37
JELAJAH
seperti terjadinya pendangkalan, rusak-
nya bangunan, atau kebocoran.
Padahal kata Graita, untuk menjaga
kelangsungan bangunan agar tetap stabil
dan dapat berfungsi secara efektif,
pemeliharaan dan pengawasan harus
dilakukan secara periodik dan berkesi-
nambungan. Kegiatan ini harus diutama-
kan dan menjadi perhatian khusus.
Sebelum terlambat.
Melihat permasalah itu, BBWS Benga-
wan Solo melakukan normalisasi sungai
dengan mengeruk sodetan sepanjang
12.500 meter, lebar dasar 100 meter,
kemiringan lereng 1 : 1,5 dan volume
galian 1,4 juta M3. Lokasinya mulai dari
Kecamatan Laren, Kabupaten Lamo-
ngan, hingga Kecamatan Brondong,
Kabupaten Tuban, dan rampung diker-
jakan selama 20 minggu kalender oleh
PT Adhi Karya.
Waduk Pacal
Pengerukan juga dilakukan terhadap
bangunan 4 pintu intake Waduk Pacal di
Bojonegoro akibat tertimbun sedimen,
sehingga air dari waduk tak bisa mengalir
ke saluran pembawa. Petani menjadi
resah karenanya, khawatir gagal tanam
pada MT berikutnya. Waduk ini dibangun
sejak jaman Belanda (1927-1933), ber-
fungsi untuk mengairi sawah seluas
16.600 hektar, selain untuk perikanan
darat dan kegiatan pariwisata.
Namun, karena keterbatasan dana peme-
liharaan, maka banyak bangunan yang
rusak atau fungsinya menurun. Misalnya
timbunan sedimen di 4 pintu intake ( 2
pintu pengambilan dan 2 pintu penguras)
telah mengganggu pasokan air karena
pintunya tertutup dan tertimbun sedi-
men setebal 10 meter.
Agar pintu bisa beroperasi kembali, pihak
BBWS Bengawan Solo mengambil
langkah strategis dengan melakukan
pengerukan sedimen di depan pintu
pengambilan. Tak kurang dari 30.000 M3
sedimen harus diangkat dari dasar waduk
dengan mengerahkan berbagai macam
alat berat mulai dari dreager, eksavator,
hingga kapal keruk yang dibantu tenaga
penyelam marinir dari Surabaya. Ke-
giatan tersebut dikerjakan selama 2 bulan
(Februari-Maret 2010) dengan dana
stimulus APBN sebesar Rp 4 milyar.
Kini, masyarakat petani di Lamongan dan
Bojonegoro merasa bersyukur dan gem-
bira atas beroperasinya kembali Waduk
Pacal yang menjadi dambaan mereka
selama ini, terutama pada saat mem-
butuhkan air. (Joe)
Graita Sutadi, Kepala Balai BesarWilayah Sungai Bengawan Solo.
(Foto: Joe)
(Sumber: BBWS Bengawan Solo)
Volume 37 • KIPRAH50
JELAJAH
Meski telah dibangun prasarana
sumber daya air, berupa
waduk, bendung, dan jaringan
irigasi berserta bangunan pelengkapnya,
tetapi pelayanannya tak dapat menjamin
daerah hilir bebas dari banjir atau air
irigasinya mencukupi di saat dibutuhkan.
Kepala Balai Besar W ilayah Sungai
(BBWS) Bengawan Solo, Graito Sutadi,
menginformasikan waduk didesain untuk
100 tahun, termasuk kemampuan me-
nampung sedimen. “Namun, baru 25
tahun dead storage telah terisi sedimen
lebih dari 60 persen,” katanya.
Waduk Gajah Mungkur di Kabupaten
Wonogiri mulai dibangun tahun 1977
Menyelamatkan Waduk,
Bengawan Solo adalah sebuah ironi. Tatkala musim hujan tiba, sungai terpanjang di pulau Jawa (527kilometer) itu pun mendatangkan penderitaan. Sawah, ladang, rumah, bangunan, terendam. Jalan danrel kereta api tidak dapat dilalui. Sebaliknya ketika kemarau, Bengawan Solo tidak banyak membantumasyarakat. Ketinggian air permukaan tidak cukup tinggi untuk menjangkau saluran irigasi. Petani
terpaksa mengangkat air dengan mesin pompa, sehingga biaya produksi menjadi tinggi, padahal petaniharus bercocok tanam karena hidup harus berlanjut.
Menolong Kehidupan
hingga selesai tahun 1982 yang meneng-
gelamkan puluhan desa pada wilayah
seluas 8.800 hektar. Dalam perjalannya
selama 28 tahun beroperasi, kemampuan
Gajah Mungkur kian menurun, terutama
karena sedimentasi akibat rusaknya DAS
di daerah hulu di kawasan Pegunungan
Seribu.
Setidaknya, terdapat delapan sungai
yang dibendung oleh Waduk Gajah Mung-
kur, yaitu Keduang, Tirtomoyo, Temon,
Solo Hulu, Alang, Unggulan, Wuryantoro,
dan Remnam yang berpengaruh ter-
hadap ketersediaan air waduk. Dari
delapan sungai tersebut, Sub DAS Kahi
Keduang merupakan kontributor ter-
besar penyumbang sedimen. Alirannya
langsung masuk ke arah mulut pintu in-
take sehingga mengganggu operasional
kerja waduk secara keseluruhan.
Secara kasat mata di hulu sepanjang alir-
an Kali Keduang di sana-sini memang
telah terjadi longsoran akibat budi daya
tanaman rakyat. Erosi berupa material
tanah, pasir, kerikil, batu, dan pohon yang
longsor itu langsung masuk ke sungai dan
akhirnya mengendap di waduk.
Hal ini membuktikan bahwa kebutuhan
ekonomi jangka pendek masyarakat
setempat dalam bentuk penanaman
lereng bukit berhadapan dengan
kebutuhan ekonomi jangka panjang
warga di sepanjang aliran Bengawan Solo
Bendung Colo, Nguter Kab. Wonogiri mampu mengairi areal sawah irigasi teknis seluas 27.000 ha, masing-masing di Daerah Irigasi Kab. Klaten,Sukoharjo, Sragen, dan Karanganyar, Jawa Tengah. (Foto:Dok.)
51KIPRAH • Volume 37
JELAJAH
yang melewati 23 kabupaten. Warga di
hilir Bengawan Solo jelas berkeinginan
waduk optimal, sehingga sawah terairi
sekaligus banjir dapat dikendalikan.
Dengan demikian, mereka dapat panen
dan harta bendanya utuh. Itulah yang
menjadi akar permasalahan pendang-
kalan waduk. Di sisi lain, masyarakat di hulu
kemudian justru menghendaki adanya
kompensasi atas pengorbanannya selama
ini. “Perlu penanganan secara arief dan
bijak dalam memecahkan masalah ini,
yaitu dengan memperhatikan dan mem-
bantu prasarana infrastruktur, seperti
perbaikan lingkungan permukiman,
pelayanan air bersih, dan bantuan lain-
nya,” ujar Graito.
Di bidang fisik langkah kongkrit yang
dilakukan, pihak BBWS Bengawan Solo
berencana membangun dam penangkap
sedimen (debris dam) di hilir Kali Ke-
duang, yang berfungsi sebagai kantong
lumpur, sebelum masuk ke Waduk.
Melalui upaya ini, diharapkan dapat
menangkal sedimen yang selama ini
mengancam kelestarian waduk. Upaya
lainnya, pihak Perum Jasa Tirta (PJT) I
selaku pengelola waduk melakukan
pengerukan secara rutin dan berkala agar
waduk tetap berfungsi meski biayanya
cukup mahal, seperti diungkap Suwar-
tono, Direktur Pengelolaan PJT I, Wilayah
Bengawan Solo.
Sedangkan di hilir Bengawan Solo, untuk
mengurangi banjir, pihak BBWS melaku-
kan peninggian sejumlah tanggul dan
pengerukan saluran flood way sebanyak
1,4 juta meter kubik di Sedayu Lawas,
Lamongan. Selain itu, juga dilakukan
normalisasi sungai (Grompol dan Mang
kang) di wilayah Kabupaten Sragen dan
sejumlah sungai di Madiun. Langkah lain
adalah pengerukan sedimen di depan
pintu outlet Waduk Pacal untuk menjamin
pasokan air irigasi agar masa tanam petani
tidak terganggu.
Rusaknya DAS Hulu
Akibat rusaknya lingkungan DAS hulu
Bengawan Solo, telah menyebabkan
sumber air di daerah hulu terus ber-
kurang, sungai-sungai banyak yang
kering, terutama di musim kemarau.
Semakin berkurangnya sumber air di
kawasan hulu itu, menurut Ruhban
Rozziyanto, Kabid Operasi dan Peme-
liharaan BBWS Bengawan Solo, diaki-
batkan oleh penutupan vegetasi yang
sangat rendah sehingga air hujan tidak
dapat ditampung di dalam tanah karena
kadar bahan organiknya rendah.
Berkurangnya persediaan air juga akibat
kemampuan infiltrasi air ke dalam tanah
rendah, lanjutnya sehingga aliran air
langsung masuk ke sungai dan waduk
dengan membawa material sedimen.
Sedimen memang kaya unsur hara
sehingga menyuburkan sawah. Tetapi,
yang sangat berpengaruh terhadap
produksi pangan nasional.
Melihat kompleksnya masalah yang diha-
dapi, PU jelas tidak mampu sendirian
melestarikan waduk. “Kami dibantu
instansi lain, pemda, dan masyarakat serta
dunia usaha mengerahkan aksi tanggung
jawab sosial melestarikan DAS,” ujar
Graito.
Konservasi
Menurut Graito Sutadi, untuk memper-
panjang usia waduk agar tetap berfungsi,
hal utama yang harus dijaga adalah
kelestarian lingkungan atau konservasi
hutan di DAS. Penanaman pohon me-
rupakan hal paling utama untuk mem-
pertahankan usia waduk tetap berfungsi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41
tahun l999 tentang Kehutanan, luas
hutan untuk mendukung keseim-bangan
ekosistem minimal 30 persen dari luas
wilayah. Luasan hutan itulah yang men-
jamin ketersediaan sumber daya air.
Bekerja sama dengan Departemen Ke-
hutanan, Departemen Pertanian, pemda
dan BUMN, pihak BBWS Bengawan Solo
melakukan penghutanan kembali pada
daerah-daerah kritis dengan melibatkan
masyarakat secara langsung mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, hingga pe-
manfaatan.
Pembangunan check dam pengendali
sedimen, ground sill, perkuatan tebing,
pembuatan teras bangku, dan sosialisasi,
merupakan sedikit contoh kongkrit
penanganan daerah hulu, secara struk-
tural dan non struktural. GNKPA pun
terus digiatkan dengan melibatkan
seluruh pemangku kepentingan, ter-
masuk masyarakat.
Melalui cara seperti ini, diharapkan
longsoran tebing-tebing sungai di daerah
tangkapan air menjadi berkurang, se-
hingga sedimen tidak masuk ke tam-
pungan waduk. Dengan demikian, se-
lamatnya waduk berarti pula menolong
banyak orang dalam kehidupan. (Joe)
sedimen juga mengganggu operasional
kerja waduk dan pembangkit listrik
tenaga air (PLTA). Buruknya perawatan
waduk, yang ditandai sedimentasi tinggi,
juga mengurangi peran fungsi waduk
untuk mengairi sawah. Sebaliknya, ketika
musim hujan ketinggian air di luar per-
kiraan sehingga dapat menjebol tanggul
dan mengakibatkan banjir.
Padahal di DAS utama Bengawan Solo,
terganggunya peran Waduk Gajah Mung-
kur juga mengancam ketahanan pangan
nasional. Setidaknya bagi 27.000 hektar
sawah irigasi teknis yang terdapat di
Jateng, apalagi di DAS Bengawan Solo
(Jatim) dimana terdapat 70.000 hektar
Untuk memperpanjang usiawaduk agar tetap berfungsi,hal utama yang harus dijaga
adalah kelestarianlingkungan atau konservasi
hutan di DAS.
Penanaman pohonmerupakan hal yang palingpenting agar waduk tetapberfungsi sesuai rencana.
(Graito Sutadi)
Volume 37 • KIPRAH52
Manado, kota pantai yang
terkenal dengan Bunakennya,
terus berkembang pesat, ter-
lebih setelah sukses menggelar konferensi
tingkat dunia World Ocean Conference
(WOC). Berdasarkan pengamatan singkat,
terjadi kepadatan lalu lintas di beberapa
titik di pusat kota akibat lalu lintas angkot
yang tidak tertib dan juga pengaruh jumlah
kendaraan serta kapasitas jalan. Terkait
dengan upaya kemacetan itu, di Manado
sendiri sebenarnya telah banyak upaya
pemerintah untuk mengatasinya.
Salah satunya, dengan pembangunan
Jalan Lingkar atau yang biasa disebut seba-
gai Ring Road. Jalan lingkar itu ditujukan
Manado Benahi Akses Jalan
untuk membuat jalur alternatif akibat
makin padatnya arus di pusat kota serta
melancarkan arus lalu lintas regional dari
luar kota Manado menuju Bandara Sam
Ratulangi dan Pelabuhan Peti Kemas
Bitung. Jalan mulus ber-hotmix di Manado
Ring Road Tahap I kini telah dapat
dinikmati oleh pengendara.
Ring Road tahap I itu dimulai dari titik nol
Kelurahan Molas hingga Bengkol sepan-
jang 25 km. Sementara itu, untuk Manado
Ring Road Tahap II sepanjang 8 Km masih
dalam proses. Di sisi lain, Manado Ring
Road Tahap III dan IV sepanjang masing-
masing 10 Km kini tinggal menunggu
penyelesaian.
Tak hanya jalan lingkar, sebagai peleng-
kap sistem jaringan Manado Ring Road sisi
Barat sedang dilakukan proyek besar,
yakni pembangunan jembatan Soekarno
serta jalan Boulevard (tahap II). Pemba-
ngunan Jembatan Soekarno sendiri
memiliki panjang sekitar 625 Meter,- lebar
7 meter serta tinggi 18 meter dan
menelan biaya sekitar Rp225 miliar dari
dana APBN murni.
Jembatan Soekarno melewati Sungai
Tondano dan merupakan bagian dari
Manado Ring Road yang menghubungi
Manado Utara – Manado Selatan. Diha-
rapkan nantinya jembatan mendorong
percepatan pembangunan di Sulut.
JELAJAH
Jembatan Soekarno dalam pengerjaan. (Foto:Lis)
53KIPRAH • Volume 37
Nantinya, jembatan itu akan menjadi
Landmark Kota Manado sekaligus meru-
pakan sebagai jembatan terpanjang di
Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Jembatan yang mulai dibangun sejak
jaman Presiden Megawati itu sampai saat
ini ternyata belum juga rampung. Kenda-
lanya, bagian tengah jembatan yang akan
menggunakan konstruksi cable stay harus
direview. Desainnya diharapkan selesai
akhir tahun 2010 ini, sehingga pemba-
ngunan jembatan itu akan selesai tahun
ini.
Selain itu, untuk memperlancar arus lalu
lintas arah pusat Kota Manado, kini
dilakukan juga pelebaran akses jalan dari
Bandara Sam Ratulangi. Pelebaran jalan
Manado-Mapanget sepanjang 11,8 km dari
dua lajur menjadi empat lajur dimak-
sudkan untuk meningkatkan kapasitas
ruas jalan Manado-Mapanget sebagai jalan
utama menuju Bandara Sam Ratulangi.
Tak hanya jalan dalam kota, pembangu-
nan jalan lintas dan jalan tol juga menjadi
prioritas. Pembangunan jalan tol Manado
– Bitung sangat diutamakan bagi kon-
sentrasi lalu lintas dari dan ke Pela-buhan
Laut Bitung menuju Manado.
Walau pembangunan jalan tol yang dinilai
sangat strategis itu pernah dilakukan
hingga dua kali, tetapi sampai sekarang
belum ada investor yang benar-benar
tertarik.
Kini, pemerintah pusat segera akan
membangun melalui tender ke pihak
swasta, apabila pembebasan tanah oleh
pemerintah daerah sudah dilakukan. Jika
tahun 2010 ini semua lahan sudah dibe-
baskan, maka tahun 2011 diharapkan jalan
tol itu sudah rampung.
Pembangunan jalan lintas trans Sulawesi
juga menjadi prioritas penting di Sulut.
Lintas barat Sulawesi diprioritaskan
mengingat pertumbuhan lalu lintasnya
sudah cukup tinggi dan merupakan simpul
pusat-pusat kegiatan ekonomi daerah
menuju outlet pelabuhan Makassar,
Parepare, dan pelabuhan Baru. Jalan
lintas ini menghubungkan wilayah Sula-
wesi Selatan – Sulawesi Barat - Sulawesi
Tengah – Gorontalo. Pada lintas barat yang
masih 4,5 meter dilakukan pelebaran jalan
dan jembatan menjadi lebar 6 dan 7
meter, sepanjang 1.260 Km. Pada tahun
2010 dilakukan kelanjutan penanganan
Lintas Barat yang masih tersisa 100 km.
Upaya pemerintah untuk membuat
infrastruktur agar kota Manado semakin
maju itu patut diacungi jempol. Kebe-
radaan Sulawesi Utara, yang secara
geografis berada di bibir Pasif ik dan
Manado sebagai pintu gerbangnya, harus
mendapat perhatian lebih terutama
dalam penataan infrastrukturnya.
Terlebih jika Manado hendak menjadi kota
pariwisata dunia dan akan berkembang
menjadi pusat pelayanan untuk wilayah
Kawasan Timur Indonesia (KTI), maka
pembenahan infrastruktur menjadi hal
penting yang harus dilakukan. Tak dapat
dipungkiri, kompetisi kota secara global
menuntut hal tersebut. (Lis)
JELAJAH
Usulan Program Infrastruktur PU
(Sumber : Sambutan Gubernur Sulut dalam pembukaan Konreg Wilayah Timur, Manado, 6 April 2010)
• Pembangunan Jalan bebas hambatan (tol) Manado-Bitung sepanjang 31 km khususnya pembebasan lahan
• Penyusunan FS Jalan bebas hambatan (tol) Manado-Tomohon
• Pembangunan tahap II Ring Road Kota Manado sepanjang 12 km
• Pembangunan jalan Boulevard Manado tahap II dari Jembatan Soekarno – TPI Tumumpa sepanjang 2,5 km
• Pembangunan dan peningkatan ruas Lintas Timur Pulau Sulawesi Girian – Taludaa/Batas Gorontalo sepanjang
390 km
• Pembangunan dan peningkatan ruas Lintas Barat Pulau Sulawesi Bitung – Atinggola/Batas Gorontalo sepanjang
345 km
• Peningkatan dan preservasi jalan-jalan di wilayah Kapet Manado-Bitung
• Pembangunan, peningkatan dan preservasi jalan nasional di pulau-pulau perbatasan antar negara
• Penyusunan FS Jembatan Bitung-Pulau Lembeh
• Penyelesaian Jembatan Soekarno
• Pelebaran ruas arteri dalam kota Manado
• Pembangunan Simpang Susun (Fly over) dalam kota Manado, Winangun, Kayuwatu dan Maumbi, Minahasa
Utara
• Pembangunan Simpang Susun (Fly over) dalam kota Manado menunjang terminal regional dan barang di
Liwas Ring Road Manado.
Provinsi Sulut
Volume 37 • KIPRAH54
Sebanyak 17 anggota Komisi V DPR-
RI yang dipimpin Muhidin
Muhammad Said selaku Ketua Tim
dalam rangka reses Masa Persidangan II
tahun sidang 2009–2010 melakukan
kunjungan kerja singkat ke Provinsi
Papua.
Karena kunjungan kerjanya hanya ber-
langsung tiga hari, tentu saja para wakil
rakyat tersebut tidak dapat melihat
kegiatan pembangunan infrastruktur
yang sedang berjalan secara lebih luas dan
Percepatan Pembangunan Jalan
Dalam masa reses Maret lalu, tim Komisi V DPR-RI melihat dari dekat pembangunan infrastruktur diprovinsi Papua sekaligus menyerap aspirasi dari daerah yang dikunjunginya itu. Reporter KIPRAH yang
mengikuti kunjungan tersebut, Etty Winarni, menuliskan laporannya seperti di bawah ini.
merata. Mereka turun ke lapangan hanya
di sekitar Jayapura. Proyek- proyek
pembangunan infrastruktur yang sempat
dilihat, antara lain Kawasan Perbatasan
dan Pos Lintas Batas Negara RI dengan
Papua New Guinea di SKOW, jalan
nasional Hamadi – Holtecam – Skow ,
Bendung Tami ( Irigasi ) dan Kantor Balai
Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah X
Propinsi Papua. Namun demikian, infor-
masi dan permasalahan Papua mereka
gali habis dalam kesempatan pertemuan
dengan jajaran pemda.
Dalam pertemuan yang berlangsung
cukup lama itu, Gubernur Papua, Barna-
bas Suebu, yang berhalangan hadir di
wakili oleh Ketua BAPPEDA. Hadir pula
dalam kesempatan tersebut, antara lain
Direktur Jalan dan Jembatan Wilayah
Timur Ditjen Bina Marga, Chaerul Taher,
para Kepala Dinas terkait, jajaran Pemda
Yahukimo, Pemda Puncak Jaya, Balai
Jalan Nasional Wilayah X, dan pejabat
lainnya.
Seperti biasanya, setelah pimpinan Tim
JELAJAH
di Papua Perlu Dana Rp 9,78 Trilyun
Peningkatan kapasitas pelabuhan Samudra Jayapura terus dilakukan. (Foto:Ind)
55KIPRAH • Volume 37
menyampaikan maksud dan tujuan
kunjungan kerja, disusul jajaran Pemda
menyampaikan penjelasan hal-hal yang
berkaitan dengan daerahnya, aspirasinya,
problem yang dihadapidan lain seba-
gainya, para anggota mengajukan per-
tanyaan, melakukan dialog, dan meyakin-
kan bahwa aspirasi daerah bakal dibawa
ke Jakarta dan diperjuangkan ke kemen-
terian yang bersangkutan dalam kesem-
patan rapat kerja dengan para menteri
atau dalam kesempatan rapat dengar
pendapat umum dengan para pejabat
eselon satu. Dialog panjang yang cukup
intens dalam kunjungan kerja singkat ke
Papua ini tentu saja sebagai upaya para
wakil rakyat menampung aspirasi daerah
sebagai bahan masukan dalam penajaman
program dan upaya peningkatan pela-
yanan kepada masyarakat luas
Isolasi Pegunungan Tengah
Dalam kesempatan pertemuan itu, Pe-
merintah Kabupaten Yahukimo minta
perhatian serius baik dari provinsi,
kementerian PU maupun Komisi V DPR-
RI dalam rangka membuka isolasi wilayah
Pegunungan Tengah pada umumnya, dan
kabupaten Yahukimo khususnya, terha-
dap beberapa kabupaten yang berbatasan
langsung dengan Yahukimo, sebagai
upaya pembukaan akses antar wilayah,
dimana Yahukimo memiliki posisi yang
sangat strategis karena dikelilingi oleh 5
( lima ) kabupaten, yaitu Jayawijaya,
Pegunungan Bintang, Boven Digul, Asmat,
dan Mappi.
Dengan kondisi geografi yang sangat
strategis tersebut, Yahukimo dapat
berperan sebagai jalur distribusi barang
dan jasa di wilayah Pegunungan Tengah
dan sekitarnya, yang tentunya harus
ditunjang dengan penyediaan infra-
struktur wilayah yang baik, khususnya
infrastruktur jalan dan jembatan.
Dengan demikian, perhatian dan bantu-
an, baik dari Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Provinsi Papua, sangat diha-
rapkan guna mendukung Yahukimo dalam
rangka mewujudkan pembukaan isolasi
wilayah Pegunungan Tengah dan seki-
tarnya sehingga dengan sendirinya taraf
perekonomian masyarakat akan me-
ningkat.
Yang tidak kalah pentingnya adalah
pembukaan isolasi wilayah di kabupaten
Yahukimo dapat menunjang penang-
gulangan rawan pangan dan kelaparan
yang sering melanda Yahukimo dari tahun
ke tahun akibat tidak adanya akses jalan
darat dari Ibukota Kabupaten ke 51 distrik
di Yahukimo.
Untuk itu, Pemerintah Kabupaten Yahu-
kimo mengusulkan rencana kegiatan
pembangunan infrastruktur jalan dan
jembatan dengan total kebutuhan dana
sekitar Rp 1.219.788.563.000,- untuk
pembangunan jalan Logpon – Suator
sepanjang 60 km, pembangunan jalan
Dekai- Seredala , 56 km, pembangunan
jalan Dekai- Sumo – Wamena, 128 km,
pengaspalan jalan dalam kota 164 km
serta pengaspalan jalan Dekai – Logpon
sepanjang 18,50 km.
Demikian pula halnya Pemerintah Kabu-
paten Puncak Jaya, yang juga perlu
mendapatkan perhatian yang sama
seperti kabupaten Yahukimo.
Penanganan Jalan
Sejak dulu, provinsi Papua mengandalkan
modal transportasinya berupa trans-
portasi udara. Kondisi geografis dan
sebaran penduduknya membuat trans-
portasi udara tersebut sampai saat ini
dipandang sebagai transportasi paling
efektif untuk menjelajah wilayah ini.
Resikonya, biaya memang tinggi dan
harga serba mahal karena semua kebu-
tuhan diangkut melalui udara. Lihat saja,
harga semen di Jayapura satu sak Rp 75
ribu, di Wamena harganya Rp 585.000 dan
di Puncak Jaya, satu sak semen mencapai
Rp1,2 juta.
Biaya subsidi penerbangan Jayapura –
Wamena per tahunnya mencapai Rp 350
milyar atau sekitar 47 prosen APBD
Kabupaten Jaya Wijaya. Transportasi
udara menjadi pilihan utama karena pada
kenyataannya infrastruktur jalan yang ada
saat ini sangat tidak sebanding dengan
luas wilayah Papua tersebut. Oleh
karenanya, menurut Chaerul Taher,
direktur Jalan dan Jem-batan wilayah
Timur Ditjen Bina Marga Kementerian
Pekerjaan Umum, pihaknya mulai tahun
2010 ini melakukan percepatan pem-
bangunan jalan dan jembatan di propinsi
Papua sepanjang 2.417 Km dengan titik
berat tujuh ruas jalan strategis sepanjang
JELAJAH
Ruas jalan nasional Hamadi – Holtecam – Skow berbatasan dengan New Guinea.(Foto:Ind)
Volume 37 • KIPRAH56
2.056.6 Km dan empat ruas jalan strategis
lainnya sepanjang 361 Km.
Percepatan pembangunan infrastruktur
jalan tersebut bertujuan untuk me-
nunjang pusat-pusat pertumbuhan eko-
nomi di Papua dan menekan tingkat harga
yang terlalu mahal.
Kepada tim Komisi V DPR-RI yang
meninjau dari dekat pelaksanaan pemba-
ngunan jalan di propinsi Papua itu,
Chaerul Taher menambahkan, biaya
pembangunannya sampai selesai tahun
2014 nanti memerlukan dana sekitar Rp
9,78 trilyun. Tahun 2010 ini, dialokasikan
dana sebesar Rp 1,14 trilyun. Dengan
demikian, masih diperlukan tambahan
dana sebesar Rp 827 milyar agar seluruh
ruas jalan tersebut dalam 5 ( lima ) tahun
dapat fungsional.
Selain itu, diperlukan juga tambahan
anggaran untuk pengadaan 9 Fleet alat
pemeliharaan rutin jalan sebesar Rp
51,206 milyar. Diperlukan Multi Years
Contract untuk mempercepat pemba-
ngunan/penanganan jalan serta menjaga
ruas jalan agar tetap berfungsi ( fung-
sional ).
Pembangunan 11 ruas jalan strategis
tersebut sudah berdasarkan Rencana
Tata Ruang Wilayah serta memperhatikan
PP No.26/2008 tentang RTRWN dimana
di Provinsi Papua telah ditetapkan
memiliki 6 ( enam ) kawasan andalan
(sebagai pusat pertumbuhan ekonomi
nantinya ), dan adanya pusat–pusat
kegiatan nasional maupun wilayah, yaitu
PKN ( Kota Jayapura dan Timika ) serta
PKW ( al. Merauke, Arso, Wamena ) dan
PKSN /Pusat Kegiatan Strategis Nasional
untuk menunjang kepentingan kawasan
perba-tasan negara, antara lain Jayapura,
Tanah Merah, dan Merauke.
Menurut dia, di Provinsi Papua terdapat
65 ruas jalan nasional dengan total
panjang 2.111 km. Dari 65 ruas tersebut
terdapat 7 ruas jalan strategis yakni
Nabire – Wagete – Erotali , Timika –
Mapurujaya – Pomako, Serui – Menawi –
Saubeba, Jayapura – Wamena – Mulia,
Jayapura – Sarmi, Jayapura – Hamadi –
Holtekamp – Batas PNG dan Merauke –
Waropko dengan panjang total 2.060 km.
Khusus untuk jalur Jayapura – Holtekamp
– Skouw – Batas PNG sepanjang 53 km,
telah terdapat penanganan hingga 2009
sepanjang 31,9 km dan total panjang
jembatan 19,8 meter. Pembangunan jalan
dengan target effektif 7,64 km dengan
rincian lebar badan jalan 4,5 m ( aspal HRS-
WC ) dan lebar bahu jalan 1,5 meter telah
dibiayai oleh APBN secara multiyears
2008- 2009 dengan total dana sebesar Rp
19,65 milyar. Sedangkan untuk tahun
2010, untuk ruas ini telah dianggarkan
sebesar Rp 10,51 milyar yang bersumber
dari dana APBN.
Untuk kawasan perbatasan, pemerintah
juga tengah melakukan peningkatan jalan
di daerah Skouw dan Merauke, ruas jalan
yang membatasi Indonesia dengan Papua
New Guine sepanjang 500 km dari Merau-
ke hingga Waropko. Kondisi jalan di
perbatasan saat ini sepanjang 120 km
sudah beraspal, sisanya masih jalan tanah.
Untuk mendukung keberlanjutan pe-
nanganan jalan perbatasan tersebut, perlu
dilaksanakan program multi years selama
3 ( tiga ) tahun. Pembangunan jalan
nasional di perbatasan ini juga dalam
rangka untuk mendukung kepentingan
pertahanan Negara. Pembukaan pos
perbatasan untuk angkutan kendaraan
antara kedua negara saat ini belum
berlangsung, baru untuk keperluan lalu
lintas orang saja.
Secara bertahap, penanganan jalan
diharapkan dapat diarahkan juga pada
penanganan jalan di wilayah tengah,
hingga ke Pegunungan Bintang dan
Wamena.
Sumber Daya Air
Berdasarkan hasil peninjauan lapangan ke
Bendung Tami dan Daerah Irigasi Koya,
Tim Komisi V DPR RI menilai telah terjadi
erosi dan kerusakan lingkungan yang
cukup parah di daerah hulu. Ini terlihat
dari sedimentasi lumpur dan limbah kayu
di Sungai Tami. Di lokasi bendung terda-
pat tumpukan ranting dan kayu tertimbun
di tubuh bendung, kurang adanya peme-
liharaan yang rutin sehingga ranting dan
JELAJAH
Gedung Asrama Mahasiswa di kota Sorong, Papua. (Foto:Ind)
57KIPRAH • Volume 37
JELAJAH
kayu gelondongan menumpuk berse-
rakan, serta terdapat sedimentasi yang
sudah meninggi di badan bendung dan
sekitarnya. Di samping itu, belum maksi-
malnya pemanfaatan air irigasi oleh
masyarakat petani untuk tanaman padi,
yaitu baru sekitar 25 % petani yang
meman-faatkan air irigasi. Masyarakat
petani tambak lebih dominan meman-
faatkan lahan di D.I. Koya untuk me-
melihara ikan karena hasil pemeliharaan
ikan lebih menguntungkan dari pada padi
serta kondisi saluran primer dan sekunder
fungsi layanannya sudah semakin me-
nurun.
Oleh karenanya, Komisi V DPR RI menya-
rankan agar Balai Wilayah Sungai Papua
menganggarkan dana 0 & P Bendung Ta-
mi yang cukup sehingga tumpukan rant-
ing , kayu, dan sedimen dapat diatasi
segera. Selain itu, rehabilitasi saluran
primer dan sekunder agar dianggarkan
supaya distribusi air untuk pertanian
dapat terpenuhi, utamanya untuk tana-
man padi.
Cipta Karya
Untuk memenuhi kebutuhan air minum
di Provinsi Papua, pemerintah pusat dan
pemerintah daerah bertekad untuk
mengembangkan dan meningkatkan
pelayanan air minum kepada masyarakat
Provinsi Papua melalui Pengembangan
Daerah Air Minum ( PDAM ).
Mengenai air minum dalam pertemuan
Komisi V DPR-RI dengan jajaran Pemda
Papua terungkap bahwa PDAM kabu-
paten Jayapura sekarang berubah men-
jadi PDAM Jayapura dengan wilayah
pelayanan di Kabupaten Jayapura dan
Kota Jayapura. Bupati Jayapura dan
Walikota Jayapura telah menandata-
ngani MOU yang berisi, antara lain bahwa
PDAM Jayapura melayani Wilayah Kota
Jayapura dan Wilayah Kabupaten Jaya-
pura Walikota Jayapura dan Bupati
Jayapura akan memberikan Penyertaan
Modal Pemerintah kepada PDAM Jaya-
pura. Namun demikian, sebelum tingkat
pelayanan mencapai 80 %, PDAM Jaya-
pura tidak diminta untuk menyetor
keuntungan ke kas daerah.
Saat ini, PDAM Jayapura dalam kondisi
kurang sehat (Skor dari BPPSPAM 1,80).
Total kapasitas terpasang 895 liter/detik
dan kapasitas produksi minimal (musim
kemarau) sekitar 426 liter/detik. Jumlah
pelanggan sekitar 26.918 SR dengan tarip
air minum minimum (musim kemarau)
Rp 850,-/m3 , rata –rata = Rp 3.500,-/m3 ,
tingkat kebocoran 52 %, efisiensi pena-
gihan 70 %.
Untuk PDAM di provinsi Papua, tingkat
kebocoran masih tinggi ( 52 % ). Pada
musim kemarau, kapasitas sumber air
menurun, pelayanan masih digilir, belum
bisa melayani 24 jam/hari, dan kondisinya
kurang sehat. Usulan untuk mengatasi
masalah tersebut adalah perlu dilakukan
program penyehatan PDAM, dibuat Re-
view Master Plan, FS, DED SPAM Jayapura
serta dilakukan pengembangan SPAM
Jayapura. (Ew)
Tim Komisi V DPR RI meninjau bangunan Bendung Tami di Jayapura yang mengalami pendangkalan akibat sedimentasi sehingga fungsinyasemakin menurun dari waktu ke waktu.(Foto:Ind)
Volume 37 • KIPRAH58
Dalam upaya memenuhi kebu-
tuhan air minum di Provinsi
Papua, pemerintah pusat dan
pemerintah daerah berkomitmen untuk
mengembangkan dan meningkatkan
pelayanan air minum kepada masyarakat
Provinsi Papua melalui Pengembangan
Daerah Air Minum (PDAM).
Seiring adanya pemekaran kawasan di
provinsi ini, pemerintah pusat terus
memfasilitasi pengembangan air minum
pada ibukota-ibukota kabupaten agar
kawasan-kawasan tersebut mendapatkan
pelayanan air minum melalui pening-
katan bertahap. Untuk itu, Pemprov
Papua telah mengalokasikan dananya
pada 2007 hingga mencapai Rp 40 miliar.
Demikian dikatakan Sardjiono, Kasubdit
Pengembangan Air Minum Wilayah II,
Perlunya
Ditjen Cipta Karya yang mewakili Direktur
Pengembangan Air Minum, saat men-
dampingi Komisi V DPR RI berkunjung ke
Provinsi Papua (12/3).
Provinsi Papua memiliki enam PDAM,
yakni PDAM Kabupaten Jayapura, PDAM
Biak Numfor, PDAM Kabupaten Merauke,
PDAM Kabupeten Nabire, PDAM Kabu-
paten Jayawijaya, dan PDAM Kabupaten
Yapen Waropen. Namun, dari 6 perusa-
haan itu hanya satu yang dinyatakan
kondisinya sehat (PDAM Kabupaten
Yapen Waropen).
Sementara itu, beberapa PDAM, seperti
PDAM Biak Numfor, PDAM Kabupaten
Merauke, dan PDAM Kabupeten Nabire,
ketiganya telah melakukan kerjasama
dengan Belanda sehingga statusnya
menjadi PDAM Swasta.
Data menyebutkan, jumlah penduduk di
kabupaten pemekaran d” 10 ribu jiwa (d”
2.000 KK). Sardjiono menilai, jika pengem-
bangan air minum di kabupaten peme-
karan mesti menggunakan PDAM, maka
target keuntungan tidak tercapai dan
menyebabkan PDAM menjadi sakit.
“Jika penduduk (Kab.Pemekaran) kurang
dari 2.000 KK, lalu dipaksakan dengan
PDAM, akan menjadi sakit, karena pen-
dapatan PDAM sangat ditentukan oleh
jumlah pelanggan. Semakin sedikit,
semakin sulit PDAM dikelola,” ujar
Sardjiono. Dijelaskan, Pemerintah Daerah
Kabupaten dan Kota Jayapura saat ini
tengah menggalang dana untuk PDAM
agar dapat menjangkau meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat. Melalui
kerjasama ini, diharapkan akan terjadi
peningkatan pelayanan yang hasil keun-
tungannya dibagi rata antara PDAM
Kabupaten dan PDAM Pemerintah Kota.
Dengan catatan, jika tingkat layanan
belum mencapai 80%, PDAM belum terikat
menyetorkan penghasilan ke kas daerah.
Menurut Sardjiono, kendala yang dira-
sakan saat ini adalah belum memadainya
dukungan dari pemda dalam hal pengem-
bangan jaringan di daerah distribusi yang
menyebabkan terbatasnya jumlah pe-
langgan yang bisa dilayani. Ditambah lagi,
masih minimnya tenaga kompetensi
sumber daya manusia (SDM). Untuk itu,
di masa depan kompetensi kemampuan
SDM yang bekerja di sektor air minum
mulai dari perencanaan, pembangunan
pengelolaan, dan bidang pengusahaan
PDAM perlu terus ditingkatkan.
Ditegaskan, jika PDAM difasilitasi dan
dioperasikan dengan baik serta memiliki
manajemen pengelolaan yang juga baik,
sangat dimungkinkan pelayanan kepada
masyarakat akan meningkat. Dengan
demikian, PDAM memiliki keuntungan
yang mampu menopang biaya operasio-
nal. Dengan begitu, masalah finansial akan
dapat diatasi, harap Kasubdit Pengem-
bangan Air Minum Wilayah II, Ditjen Cipta
Karya. (Ind)
Air Minum di Papua
JELAJAH
Hidran Yahukimo Papua. (Foto:dok.)
59KIPRAH • Volume 37
Dari Papua Ke Irian Terus Ke Papua Lagi
Papua, Irian, Irian Barat, Irian Jaya,
hanyalah nama. Jaman kolonial
dulu, penjajah Belanda menye-
butnya Netherland New Guinea, West
Papua, untuk membedakan dengan Papua
di sebelah timurnya yang berada dibawah
koloni Inggris. Yang dulu dibawah koloni
Inggris itu, sekarang kita kenal dengan
Papua Nugini. Setelah Indonesia mer-
deka, pulau terbesar nomor dua di dunia
setelah Green Land itu masih berada di
bawah kekuasaan Belanda.
Kita menyebut pulau itu dengan Irian.
Konon, nama itu akronim dari Ikut
Republik Indonesia Anti Netherland.
Tentu ini perlu di uji kebenarannya karena
nama Irian berasal dari nama pohon di
sekitar danau Sentani.
Setelah 17 tahun merdeka tahun 1962,
barulah Irian kembali ke pangkuan ibu
pertiwi, setelah Bung Karno 19 Desem-
ber 1961 di Yogyakarta memberikan
komando yang dikenal dengan nama
TRIKORA. Setelah Persatuan Pendapat
Rakyat (Pepera), jadilah provinsi Irian
Barat, kemudian di masa Orde Baru
menjadi Irian Jaya.
Di jaman reformasi, saat Gus Dur alm.
menjadi presiden, beliau menyetujui
penggunaan nama Papua sebagai ganti
Irian Jaya dan itu dikukuhkan melalui UU
no. 21/2003 tentang Otonomi Khusus
Papua. Begitulah, dari Papua ke Irian, terus
sekarang ke Papua lagi.
Sesuai UU No. 21 tentang Otonomi
Khusus Papua, wilayah ini di bagi menjadi
dua provinsi. Bagian timur disebut
provinsi Papua, sedangkan bagian barat-
nya menjadi provinsi Irian Jaya Barat,
kemudian setahun kemudian diubah
menjadi Papua Barat. Provinsi Papua saat
ini dipimpin oleh Gubernur Barnabas
Suebu, SH, dengan wakilnya Alex Ha-
segem, SE.Sudah menjadi pengetahuan
umum bahwa sebagian besar daratan
Papua masih berupa hutan belantara.
Sekitar 47% wilayah pulau Papua me-
rupakan bagian dari Indonesia, yang dulu
kita kenal sebagai Irian Barat. Potensi
Papua, seperti yang disampaikan ketua
Bappedanya, di depan rombongan Komisi
V DPR-RI, adalah tambang tembaga dan
emas yang merupakan primadona sum-
ber daya alam tambang provinsi Papua
saat ini.
Namun, masih banyak potensi lainnya
yang belum digarap secara serius, seperti
minyak dan gas bumi, emas, temba-
ga,batubara, nikel, pasir besi, dan lain-lain.
Selain potensi pertambangan, Papua me-
nyimpan kekayaan hutan berupa kayu, te-
rutama kayu besi dengan kualitas terbaik.
Sesuai data Dinas Kehutanan Provinsi Pa-
pua, sekitar enam juta hektar hutan di Pa-
pua kaya dengan kayu Merbau, jenis kayu
kelas satu, sementara potensi hutan sagu
di Papua mencapai 2,2 juta Ha dan pe-
ngembangan rawa mencapai 2,4 juta Ha.
Mengingat dan mempertimbangkan
besarnya potensi sumber daya alam yang
dimiliki oleh Provinsi Papua, maka diper-
lukan infrastruktur pendukung yang
memadai untuk mendukung ekplorasi dan
ekploitasi sumber daya alam di kawasan
tersebut.
Infrastruktur pendukung yang sangat
dibutuhkan, antara lain jalan raya, pela-
buhan laut, pelabuhan udara, peru-
mahan, layanan air minum, dan seba-
gainya. Pembangunan infrastruktur di
provinsi Papua, antara lain bertujuan
untuk menunjang pusat-pusat pertum-
buhan ekonomi dan menekan tingkat
kemahalan harga barang kebutuhan
pokok dan yang lainnya.
Potensi daerah rawa terutama berada di
dataran rendah merauke. Di kabupaten
ini, terutama di daerah pengembangan
rawa Kurik, ribuan transmigran telah lama
mengolah lahan ini menjadi daerah
pertanian yang subur, dan bisa disebut
sebagai lumbung padinya Papua. Pe-
ngembangannya terus dilakukan tahap
demi tahap sesuai dengan ketersediaan
dana yang ada.
Wilayah yang luas dengan jumlah pen-
duduk yang sedikit serta penyebaran yang
tak merata itu memang cukup berat. Kita
tak perlu heran apabila setelah puluhan
kilometer, jalan yang kita lalui belum juga
ketemu kampung. Soalnya, sebagian be-
sar penduduk bertempat tinggal di balik
bukit agak jauh dari jalan yang kita lalui.
(Ew)
JELAJAH
Volume 37 • KIPRAH60
Provinsi Maluku merupakan daerah
yang terkenal dengan sebutan
wilayah seribu pulau, tepatnya
sekitar 1.340 buah pulau dan mempunyai
luas daratan sekitar 712.480 km2, terdiri
dari 92.4 % lautan, 7.6 % daratan, dan
dengan jumlah penduduk 1.384.585 jiwa.
Untuk menghubungkan antar wilayah di
11 Kabupaten dan Kota, Provinsi Maluku
masih mengandalkan sebagian besar pada
transportasi penyeberangan feri. Sebab,
untuk transportasi udara masih terbatas
dan biayanya cukup mahal. Sebagai
gambaran, untuk sekali penerbangan dari
Ambon - Kab Tual saja biayanya hampir
sama ongkos dari Jakarta – Ambon. Untuk
itulah, infrastruktur di Maluku harus terus
dipacu, baik transportasi darat maupun
udara, serta sarana dan prasarana, jalan
lebih-lebih Trans Maluku, untuk segera
tersambung, yakni Ambon - Pulau Seram,
Pulau Buru, dan Saumlaki.
Pusat Perhatikan
Infratruktur PU di propinsi Maluku masih
tertinggal dibandingkan dengan provinsi
lainnya. Hal itu disebabkan kemampuan
APBD di Maluku tidak cukup untuk
membiayai pembangunan infratruktur di
Maluku sehingga masih memerlukan
sentuhan dan perhatian serius dari
pemerintah pusat, baik melalui Dana
Alokasi Khusus (DAK) maupun pening-
katan alokasi dana APBN yang belum
signifikan.
Permasalahan yang terjadi di propinsi
Maluku, utamanya bidang ke-PU-an,
masih sangat kompleks, misalnya sistem
transportasi yang belum terintegrasi
serta tingkat kemiskinan masih tinggi
sebesar 28.23 % . Alokasi anggaran dari
tahun ketahun memang semakin me-
ningkat namun kenaikannya belum sesuai
dengan yang diharapkan, sehingga ba-
nyak program-program yang belum bisa
terlaksana sesuai yang diharapkan.
Kepala Dinas PU Propinsi Maluku, Anto-
nius Sihalolo, mengatakan, guna menga-
tasi ketertinggalan maupun keterisola-
sian di Propinsi Maluku sebagai wilayah
kepulauan dan memiliki pulau-pulau
terluar dan berbatasan langsung dengan
Negara tetangga, diperlukan langkah-
langkah kongkrit untuk percepatan
prioritas pembangunan insfrastruktur,
khususnya bidang ke-PU-an, meliputi
Bidang Sumber Daya Air, Bidang Bina
Marga, dan Bidang Cipta Karya. Dana yang
diperlukan untuk percepatan pem-
bangunan infrastruktur sebesar Rp.
4.760.523.600 selama 5 tahun Anggaran,
yakni 2010-2014.
Kondisi insfrastruktur Bidang Sumber
Daya Air saat masih kurang memadai.
Contohnya, potensi Irigasi di Maluku
seluas 44.700 ha yang tersebar di Pulau
Seram seluas 29.188 Ha, pulau Buru 15.512
Ha. Dari jumlah tersebut, di wilayah yang
Instalasi penjernihan air PDAM Tual Maluku Tenggara kapasitasnya masih perlu ditingkatkan untuk pelayanan warga kota Tual. (Foto:Suprapto)
JELAJAH
Infrastruktur PU di Maluku
61KIPRAH • Volume 37
potensial, irigasinya hanya sekitar 19.120
Ha. Padahal, kondisi tersebut tidak sesuai
dengan yang diinginkan bidang Sumber
Daya Air. Dalam rangka swasembada
pangan, maka diperlukan luasan areal
irigasi sebesar 34.910 Ha. sehingga luas
irigasi yang harus dibangun adalah se-
besar 15.790 Ha, yang tersebar di Pulau
Buru dan Pulau Seram.
Di Bidang Bina Marga terdata panjang
jalan nasional 1.066,650 km, dan jalan
provinsi sepanjang 818,750 km. Adapun
panjang Jalan Trans Maluku sepanjang
1.016,380 km, kemudian Jalan Trans Aru
288,480 Km, Jalan Lintas P. Seram sepan-
jang 450, 144 km, lalu Jalan Lintas P.Buru
memiliki panjang 2651,607 Km, dan
panjang Jalan strategis adalah 920,210 Km.
Gambaran kondisi perkerasan jalan di
wilayah Maluku tersebut menunjukkan
masih terdapat ruas-ruas jalan yang
kondisinya rusak, baik rusak ringan
maupun rusak berat. Untuk itu, perlu
ditingkatkan sehingga transportasi peng-
hubung antar pulau di Maluku dapat
berjalan dengan lancar sehingga memacu
pertumbuhan ekonomi serta mengatasi
isolasi daerah.
Padahal yang diharapkan, kondisi Jalan
paling tidak untuk jalan Nasional 90 %
mantap, dan jalan provinsi 65 kondisinya
mantap.Sedangkan capaian pelayanan Air
bersih menurut Antonius Sihaloho sam-
pai saat ini sudah terlayani dengan SPAM
sebesar 39.5 %. Pengembangan Penye-
hatan Lingkungan Permukiman melalui
Sistem Air Limbah sebesar 80 % dari
pelayanan minimal dengan sistem pengo-
lahan limbah terpadu dan komunal bar
pada kota Ambon. Total pelayanan mini-
mal secara keseluruhan propinsi Maluku
di 11 Kab/kota baru mencapai 8,8 %.
DPR-RI dukung Trans Maluku
Wakil Ketua Komisi V DPR-RI dari Fraksi
PDIP, Yoseph Umarhadi, berjanji akan
mendukung secara politis melalui pem-
biayaan APBN setiap tahun guna terea-
lisasinya pembangunan jalan Trans Malu-
ku. Anggaran tahun 2010 ini akan dikucur-
kan bulan Juli mendatang. Sebagai upaya
membuka daerah terisolir, beberapa ruas
jalan yang telah dipatenkan menjadi Trans
Maluku atau masih dalam proses perin-
tisan saat ini tengah diperbaiki.
“Seingat saya, alokasi anggaran yang
diusulkan untuk jalan Trans Maluku oleh
pemerintah pusat berkisar antara Rp 5 –
10 miliar,” ujar Yoseph. Dikatakannya,
pemerintah pusat dan komisi V DPR-RI
telah sepakat dalam membuka akses jalan
di daerah-daerah terisolir di setiap pro-
vinsi di tanah air. Semua ini ditujukan
demi terwujudnya pembangunan selu-
ruh jalan trans di Indonesia.
“ Untuk Trans Maluku sudah dijadwalkan,
Kepala Dinas PU Provinsi MalukuAntonius Sihalolo. (Foto:Jons)
Kondisi salah satu ruas jalan trans Maluku di Tual, Maluku Tenggara, sebagian masih berupajalan perkerasan yang perlu ditingkatkan. (Foto:Jons)
dalam arti sudah masuk program pe-
merintah pusat dan kini pekerjaan secara
bertahap sedang dilaksanakan ,” tandas-
nya.
Adapun Jalan Trans Maluku yang diren-
canakan untuk diselesaikan, diantaranya
Pulau Seram, Pulau Buru, dan Saumlaki.
Khusus ruas di jalan-jalan tersebut
pemerintah pusat bersama Komisi V DPR
RI terus memantau pelaksanaan perbai-
kan jalannya. Ruas jalan ini diharapkan
dapat segera tersambung sehingga akses
jalan penghubung antar kabupaten lain
antara satu dengan lainnya dapat terin-
tegrasi. Ini merupakan permintaan
masyarakat sendiri, tutur Yoseph Umar-
hadi.
Terlebih lagi, kata Yoseph, akses jalan yang
belum terhubung tersebut memiliki keka-
yaan alam yang menyimpan berbagai
potensi obyek wisata yang hingga kini
belum tersentuh para investor. Dirinya
menilai, semestinya jalan-jalan tersebut,
sudah dipersiapkan sebelum pagelaran
event Sail Banda.
Persoalannya, proses alokasi anggaran
tidak mudah. Namun demikian, tambah
Yoseph, dipastikan cepat atau lambat
jalan Trans Maluku akan rampung pada
waktunya nanti. Untuk itu, dia berharap
rekan-rekan Komisi V DPR-RI terus men-
dukung pemerintah pusat supaya alokasi
anggarannya dapat meningkat setiap
tahun.( jons)
JELAJAH
Volume 37 • KIPRAH62
Saya sekarang senang karena jalan
ini akan menolong saya. Tidak
hanya hemat waktu, tapi juga
hemat solar,” demikian pengakuan
Markus, pengemudi truk yang setiap hari
mengggunakan jalan Pontianak – Tayan
yang saat ini sedang dibangun. “ Karena
dengan hemat waktu, saya bisa menam-
bah rit untuk mengangkut barang-barang
dari dan ke Pontianak. Ya, paling tidak
uang belanja yang bisa dibawa pulang bisa
bertambah,” ujar Markus di belakang
kemudi.
Pengakuan Markus hanyalah salah satu
dari banyak orang yang merasakan
manfaat jalan Pontianak - Tayan. “Apabila
jalan ini selesai dibangun akan sangat
membantu perekonomian masyarakat
Kalimantan Barat dan Kalimantan pada
umumnya” tutur Gubernur Kalimantan
Barat Cornelis.
Pergerakan barang dan jasa antar wilayah
akan semakin cepat karena transportasi
semakin lancar.
Apalagi kalau pembangunan Jembatan
Tayan segera terwujud. Hal itu jelas
sangat berpengaruh terhadap hubungan
antar Provinsi di Kalimantan. Rencana
pembangunan Jembatan di atas sungai
Kapuas yang mempunyai panjang 1.420
meter, ini membutuhkan dana Rp 500
milyar. Pemerintah pusat saat ini tengah
berupaya mencari dana pinjaman dari
luar negeri.
Ruas jalan Pontianak – Tayan (104 km)
merupakan salah satu ruas jalan yang
mendapat bantuan dari program EINRIP
(Eastern Indonensia National Road Im-
provement Project) dari Australia. Jalan
ini mempunyai peran strategis dalam
sistem jaringan jalan nasional. Selain itu,
EINRIP
juga bagian dari mata rantai Lintas
Selatan Kalimantan dan sistem jaringan
jalan ASEAN Highway.
Saat ini, sedang dibangun jalan sepan-
jang 31,5 km dengan standar lebar 6 -7
meter, dengan bahu jalan 1,5 meter,
dikerjakan oleh PT Waskita Karya dengan
dana sebesar Rp 137,34 milyar.
Program
EINRIP merupakan kemitraan antara
pemerintah Australia dengan Indonesia
dalam program pelaksanaan jalan nasional
dengan konstruksi standar tinggi, khu-
susnya untuk wilayah kawasan timur Indo-
nesia. Pelaksanaan pekerjaan program
EINRIP dikelola oleh Ditjen Bina Marga
Kementerian PU.
Pemerintah Australia telah memberikan
pinjaman sangat lunak sebesar Aus$ 300
juta, dan sebagai sharing, pemerintah In-
donesia dialokasikan Aus$30 juta. Pro-
gram EINRIP mencakup wilayah 9 pro-
vinsi, yaitu Bali, NTB, NTT, Kalimantan Se-
latan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara,
dengan target penanganan jalan sepan-
jang total 500 km, termasuk penggantian
jembatan.
Pemerintah Australia sendiri terus
berperan aktif dalam meningkatkan
kualitas jalan di Indonesia sejak 40 tahun
lalu, kata Duta Besar Australia untuk In-
donesia, Bill Farmer, dalam suatu kesem-
patan. Pemerintahnya sangat berbahagia
bisa turut berpartisipasi dalam proyek
besar di Indonesia. Menurutnya, dari 20
untuk Kawasan Timur Indonesia
JELAJAH
Duta Besar Australia untuk Indonesia Bill Farmer memberikan ucapan selamat kepada MenteriPU Djoko Kirmanto, saat berkunjung ke lokasi proyek. (Foto:Srijanto)
63KIPRAH • Volume 37
paket pekerjaan tersebut mencakup
pekerjaan pemeliharaan, peningkatan,
dan pem-bangunan jalan dan jembatan.
Tujuan utama dari program ini adalah
untuk penanganan jaringan jalan nasional
agar memenuhi standar pelayanan dan
aksesibilitas yang layak. Dari 20 paket
pekerjaan sipil tersebut, saat ini 12 paket
telah terkontrak, 4 paket masih dalam
proses tender, dan empat paket lainnya
dalam proses persiapan lelang, tutur
Hermanto Dadak.
Sedang berjalan
Selain ruas Pontianak – Tayan, paket
pekerjaan yang saat ini sedang dalam
pembangunan adalah ruas Tohpati –
Kusamba di Provinsi Bali. Jalan sepanjang
10,9 km ini dikerjakan oleh kontraktor PT
Jaya Konstruksi dan PT Duta Graha Indah
dengan alokasi dana sebesar Rp 180,82
milyar.
Ruas ini merupakan peningkatan terha-
dap ruas yang telah ada dengan membuat
duplikasi terhadap jalan lama. Teknologi
daur ulang diterapkan dalam pekerjaan
ini agar lebih efisien. Peningkatan juga
dilakukan terhadap persimpangan jalan ,
drainase, fasilitas pengairan, dan aspek
lainnya. Sampai saat ini, progresnya
mencapai lebih dari 38 %
Sumbawa Besar By Pass di Provinsi NTB
yang memiliki panjang jalan 11,20 km, di-
kerjakan PT Jaya Konstruksi Manggala
Pratama Tbk. Lebar jalan ini existingnya
bervariasi antara 5 – 6 meter ditingkatkan
menjadi 7 meter dengan bahu jalan
selebar 2 meter. Nilai kontrak untuk
mengerjakan paket ini sebesar Rp 71,51
milyar.
Paket pekerjaan peningkatan jalan Ti-
nanggea-Kasipute di Provinsi Sulawesi
Tenggara merupakan jalan yang melewati
taman nasonal, terletak di Km 119 – Km
141. Panjang jalan yang ditingkatkan
dengan program EINRIP adalah 33,77 km,
tepatnya dari Km 118,85 – Km 152,62 ruas
Tinanggea – Kasipute.
Ruas ini juga akan dilakukan peningkatan
terhadap 21 jembatan bentang pendek
dengan konstruksi jenis box culvert dan 5
buah jembatan existing akan dilakukan
rehabilitasi. Nilai kontrak pekerjaan ini
mencapai Rp 115,73 milyar, dikerjakan
oleh PTMulti Structure bersama PT Trifa
Abadi
Sementara itu program EINRIP untuk di
Provinsi Sulawesi Selatan melakukan
penanganan jalan sepanjang 26,88 km
antara Bantaeng - Bulukumba. Pada ruas
ini terdapat 5 buah jembatan baru akan
dibangun dengan total bentang 89 meter
dan 2 buah jembatan lama yang dilakukan
rehabilitasi. Nilai paket pekerjaan ini
mencapai Rp 124,60 milyar, dikerjakan
oleh PT Waskita Karya bersama PT
Brantas Abipraya.
Terkontrak
Sementara itu, saat ini ada 7 paket
pekerjaan baru terkontrak masing-
masing di Provinsi Bali adalah lanjutan
ruas Tohpati – Kusamba sepanjang 8,20
Km. Dalam paket ini terdapat 6 jembatan
yang dibangun terkait dengan duplikasi
jalan yang telah ada. Total panjang
jembatan yang dibangun adalah 211
meter, dengan nilai kontrak sebesar
Rp175,61 milyar.
Di Provinsi Sulawesi Selatan paket
pekerjaan yang mendapatkan bantuan
dari program EINRIP adalah ruas Seng-
kang – Impaimpa sepanjang 24,18 Km.
Jalan yang ada akan dilebarkan dari 44,5
meter menjadi 6 meter dengan bahu
jalan 1,5 meter. Di ruas ini terdapat 1 buah
bangunan atas jembatan yang akan
dibangun dan 5 buah jembatan yang ada
akan direhabilitasi. Total nilai kontrak
pekerjaan ini adalah Rp 100,65 milyar.
EINRIP juga melakukan peningkatan jalan
di Provinsi Sulawesi Utara, menyusul
banjir yang terjadi pada Juli 2006, karena
curah hujan yang tinggi, yang menye-
babkan kerusakan infrastruktur jalan dan
jembatan.
Dikoridor Molibagu – Taludaa terdapat 5
jembatan yang rusak cukup serius.
Bangunan bawah dan pemasangan
bangunan atas merupakan program
pekerjaan sipil, sedangkan untuk penga-
daan material rangka baja dibiayai dari
program EINRIP. Dana Rp 42,66 milyar
diperuntukan bagi penanganan peker-
jaan 5 jembatan dengan total panjang 480
meter dan jalan sepanjang 2 Km.
Provinsi lain di Sulawesi yang menda-
patkan program EINRIP adalah Sulawesi
Tenggara. Ruas jalan yang ditangani
adalah Bambae – Sp. Kasipute, sepanjang
23,93 Km. Dengan dana Rp 95,60 milyar
ruas ini dikerjakan oleh PT Bumi Karsa
bersama PT Nindya Karya.
Selain Pulau Sulawesi, program ini juga
menangani jalan dan jembatan di Pro-
vinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), tepat-
nya di beberapa ruas di Pulau Sumbawa.
Ruas tersebut adalah Pal IV Km 70
sepanjang 31,79 Km, dengan nilai kontrak
Rp 145,6 milyar, km 70 – Bts Cabdin
Dompu sepanjang 14,10 Km dengan
kontrak Rp 68,26 milyar. Bts Cabdin
Dompu – Banggo sepanjang 23,61 Km
dengan nilai kontrak Rp 101,93 milyar.
Sedang dan dalam persiapan tender
Masih ada 8 paket pekerjaan di 4 provinsi
yang saat ini sedang dalam pelaksanaan
tender dan persiapan tender. Masing-
masing paket tersebut adalah Lakuan –
Buol di Sulawesi Tengah(16,24 Km)
dengan 2 buah jembatan. Setelah itu,
ruas Martapura – Ds. Tungkep (18,89 Km)
dan Banjarmasin – Bts Kalteng (12,90
Km) yang keduanya di Provinsi Kali-
mantan Selatan. Jeneponto – Bantaeng
(25,83 Km) di Provinsi Sulawesi Selatan.
Adapum 4 paket pekerjaan yang masih
dalam persiapan tender adalah Ende –
Aegela (15,60 Km Provinsi, ruas Buku-
kumba – Tundong di Provinsi Sulawesi
Selatan sepanjang 65,24 Km yang dibagi
kedalam 3 paket pekerjaan.(Sr)
JELAJAH
Volume 37 • KIPRAH64
LAPORANKHUSUS
Istilah urbanisasi ternyata tidak hanya
merujuk pada perpindahan penduduk
dari desa ke kota, melainkan juga
pertambahan penduduk suatu kota
sebagai akibat migrasi penduduk dari
daerah pedesaan sekitarnya atau km
perpindahan penduduk dari kota lain
(Kamus Tata Ruang, Ditjen CK dan IAP,
1998). Bahkan, menurut Dirjen Cipta
Karya Kementerian PU, Budi Yuwono,
pada saat diwawancarai di salah satu
televisi swasta, Kamis (6/5/2010), istilah
urbanisasi kini juga memiliki arti yang
lebih luas, yaitu perubahan suatu desa
menjadi kota.
Saat ini, pesatnya urbanisasi akibat
ledakan pendudukan dan penyebaran
pendudukan yang tidak merata menjadi
isu krusial yang menarik perhatian dunia.
Menurut prediksi PBB, 50 tahun ke depan
ada sekitar 2/3 masyarakat dunia yang
akan tinggal di perkotaan masing-masing
WUF 5, World Expo Shanghai, dan APMCHUD 2010:
negara, termasuk Indonesia. Peningkatan
urbanisasi menimbulkan efek domino
yang pada akhirnya menimbulkan keru-
gian besar bagi umat manusia dan
lingkungan. Ledakan penduduk dan tidak
meratanya penyebaran penduduk juga
merupakan faktor adanya ketidakseim-
bangan antara wilayah perkotaan dengan
perdesaan sehingga semakin mening-
katkan urbanisasi. Cepatnya peningkatan
urbanisasi di perkotaan menimbulkan
banyak permasalahan, salah satunya
adalah maraknya permukiman kumuh di
perkotaan.
Oleh karena itulah, dunia semakin peduli
terhadap pengelolaan pembangunan
permukiman dan perkotaan. Hal itu ditan-
dai dengan diselenggarakannya tiga rang-
kaian kegiatan penting yang menyangkut
tema permukiman, yaitu World Urban Fo-
rum 5 (WUF) dengan tema Right to the
City: Bridging the Urban Devide, World
Shanghai Expo 2010 melalui Better City
Better Life, dan 3rd Asia Pasific Ministers’
Conference on Housing and Urban Devel-
opment (APMCHUD) dengan tema “Em-
powering Communities for Sustainable
Urbanization”.
World Urban Forum 5 (WUF)
Tantangan yang harus dihadapi oleh
perkotaan di dunia di masa depan akibat
pesatnya peningkatan urbanisasi, teru-
tama pada beberapa dekade terakhir,
ialah pengurangan ancaman kemiskinan,
peningkatan akses fasilitas dasar masya-
rakat (air bersih, tempat tinggal, sanitasi,
lingkungan yang bersahabat), dan per-
tumbuhan kota yang berkelanjutan.
Oleh karena itulah, pada tanggal 22-26
Maret 2010 telah dilaksanakan World Ur-
ban Forum 5 di kota Rio de Janeiro, Bra-
zil. Forum internasional terbesar di dunia
(Foto:Dok.)
Event Internasional Peduli Perkotaan
65KIPRAH • Volume 37
LAPORANKHUSUS
ini merupakan pertemuan internasional
kelima yang membahas tentang pemba-
ngunan perkotaan dan permasalahannya.
Kegiatan yang mengusung tema Right to
the City: Bridging the Urban Divide atau
Hak untuk Bertempat Tinggal di Kota:
Menjembatani Kesenjangan Perkotaan ini
diprakarsai oleh UN Habitat bekerja sama
dengan pemerintah Brazil dan dihadiri
oleh 21.000 peserta lebih dari 100 negara,
termasuk Indonesia. UN Habitat adalah
lembaga PBB yang fokus pada isu peru-
mahan dan permukiman bangunan per-
kotaan.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Bali
Moniaga, Duta Besar RI untuk Brazil,
bersama Dirjen Cipta Karya PU, Budi
Yuwono. Adapun partisipan lainnya dari
Indonesia terdiri dari perwakilan
kementerian/lembaga pemerintahan dan
instansi terkait, seperti Kementerian
Perumahan Rakyat, Badan Perencanaan
dan Pembangunan Nasional (Bappenas),
Kementerian Luar Negeri, Walikota
Palembang dan wakil pemerintah kota
Jakarta Barat, serta URDI (Urban and Re-
gional Development Institute).
Dalam forum WUF ini, delegasi Indonesia
secara aktif berpartisipasi dalam menyam-
paikan berbagai permasalahan yang
dihadapi, kebijakan yang diambil, serta
program-program yang sudah dijalankan
maupun terus dilakukan untuk mencapai
sasaran yang telah ditetapkan, termasuk
sasaran-sasaran Millennium Development
Goals atau MDGs 2015.
Kegiatan yang diikuti oleh delegasi Indo-
nesia mencakup mengikuti konferensi,
forum dialog dan diskusi, serta pameran
pembangunan perkotaan ini tidak hanya
sebagai ajang berbagi pengalaman,
namun sekaligus promosi awal dari
penyelenggaraan 3rd Asia Pacific Ministers’
Conference on Housing and Urban Devel-
opment atau biasa disebut APMCHUD
yang akan diselenggarakan di Solo pada
Juni 2010.
Secara khusus, ketua Delegasi RI meng-
undang negara-negara Asia-Pasifik untuk
menghadiri APMCHUD. Selain itu, dele-
gasi RI sempat berpartisipasi dalam per-
temuan South-South Cooperation yang
menekankan kepada negara-negara
Selatan akan pentingnya melihat kembali
potensi kerja sama mereka, khususnya
terkait dengan urbanisasi berkelanjutan
dan permukiman bagi semua. Delegasi
Indonesia pun menjajaki kemungkinan
kerja sama di bidang perumahan dan per-
mukiman dengan negara-negara peserta,
termasuk negara tuan rumah. Delegasi
RI juga menghadiri diskusi “Rental Hous-
ing” yang menekankan perlunya ke-
bijakan khusus tentang rumah sewa yang
dapat menciptakan keseimbangan antara
pemilik dengan penyewa rumah.
Berbagai permasalahan penting dibahas
oleh para menteri dari negara peserta
dalam pertemuan pleno yang dipimpin
oleh Menteri Perkotaan Brazil dan
Menteri Perumahan dan Perkotaan USA.
4 (Empat) permasalahan utama yang
dibahas adalah:
1) akses masyarakat miskin akan haknya
terhadap penghidupan di kota;
2) pemerintah daerah harus mencegah
pembangunan kota yang lebih me-
nguntungkan para pemilik modal;
3) pembangunan wilayah perkotaan ha-
rus mempertimbangkan aspek ling-
kungan, kepastian tinggal bagi masya-
rakat miskin, dan ancaman perubahan
iklim; serta
4) pembangunan infrastruktur perkotaan
bagi pemenuhan hak dasar masyarakat
perkotaan.
Pada WUF ini, delegasi Indonesia turut
berbagi pengalaman pelaksanaan pro-
gram dalam mengatasi permasalahan
pembangunaan permukiman dan per-
kotaan. Diantaranya, implementasi
NUSSP (Neighbourhood Upgrading Shel-
ter Sector Project) dari tahun 2005-2009
yang telah mengentaskan lebih dari 7 ribu
hektar kawasan kumuh di 32 kabupaten,
program P2KP (Program Penanggu-
langan Kemiskinan Perkotaan) yang
mencakup lebih dari 10.000 kelurahan
dengan dana Rp2,04 trilyun sejak di-
lakukan pada tahun 1999, program
PAMSIMAS (Penyediaan Air Minum dan
Sanitasi Berbasis Masyarakat) yang
didukung oleh Bank Dunia dengan target
15 provinsi, program SANIMAS (Sanitasi
Berbasis Masyarakat) yang telah dilak-
sanakan sejak tahun 2003 di lebih 400
lokasi, program RUSUNAWA (Rumah
Susun Sederhana Sewa) yang telah
dilaksanakan sejak tahun 2005 dan men-
capai 31.150 unit di 24 propinsi, program
KIP (Kampung Improvement Program/
Program Perbaikan Kampung), dan jugaKawasan Kota Favela, Brazil (Foto:Dok.)
Volume 37 • KIPRAH66
LAPORANKHUSUS
program gerakan pembangunan 1 juta
rumah murah.
Dalam sambutan penutupnya, Anna
Tibaijuka, Direktur Eksekutif UN Habitat,
menyampaikan bahwa dalam 10 tahun
terakhir ini jumlah penduduk dunia yang
tinggal di kawasan kumuh telah
meningkat dari 780 juta menjadi 820 juta
jiwa. Oleh karena itu, ada dua kerja sama
yang dilakukan oleh UN Habitat. Pertama,
pencanangan Program World Urban Cam-
paign, yaitu program kerja sama antara
UN Habitat dengan sektor publik dan
swasta, serta masyarakat sipil untuk
mengangkat isu urbanisasi berkelanjutan
menjadi agenda pemerintahan di seluruh
dunia. Kedua, kerja sama dengan
perusahaan Coca Cola untuk penyediaan
1 juta US$ bagi pe-ngembangan air murni
di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Program ini bertujuan membantu keles-
tarian sumber daya air dan efisiensi
penggunaan air serta membantu proses
daur ulang air kotor menjadi air bersih
ini diharapkan dapat terlaksana dalam 2
tahun mendatang.
World Shanghai Expo 2010
Rangkaian kegiatan internasional yang
membahas mengenai pembangunan
permukiman dan perkotaan selanjutnya
adalah World Shanghai Expo 2010.
Kegiatan ini diadakan sejak 1 Mei sampai
31 Oktober 2010 di Shanghai, Cina. World
Expo yang merupakan acara 5 tahunan
sejak tahun 1851 ini melibatkan partisipasi
negara-negara seluruh dunia untuk ber-
bagi pengalaman dan ajang promosi di
bidang ekonomi, sosial, budaya, dan
teknologi, sekaligus mempererat hubu-
ngan kerja sama antar bangsa.
Di momen inilah negara-negara peserta
expo mempromosikan keberhasilan
sekaligus saling berbagi permasalahan
melalui pameran. Adapun tema besar
World Expo 2010 adalah Better City, Bet-
ter Life (Kota yang lebih baik akan
memberikan kehidupan yang lebih baik
juga). Negara-negara yang menjadi
peserta mendekorasi paviliun negaranya
sesuai dengan 5 tema, yaitu Urban Foot-
print (Jejak Urban), Urban Planet (Planet
Urban), Urban Dwellers (Penduduk Ur-
ban), Urban Beings (Manusia Urban), dan
Urban Dreams (Mimpi Urban). World
Shanghai Expo 2010 diikuti kurang lebih
200 negara peserta dan 47 organisasi
internasional.
Indonesia tentu tidak menyia-nyiakan
kesempatan ini. Delegasi dari Indonesia
yang dipimpin oleh Hatta Rajasa (Menko
Perekonomian) didampingi Mari Elka
Pangestu (Menteri Perdagangan) me-
ngadakan pemutaran video berisi tentang
investasi dan promosi infrastruktur di In-
donesia yang ditampilkan di teater dalam
paviliun Indonesia.
Selain itu, para delegasi dari berbagai
kementerian/lembaga pemerintahan,
seperti Kementerian PU, Kementerian
Perdagangan, Kementerian Keuangan,
Kementerian Dalam Negeri, Kemen-
terian Luar Negeri, Kementerian ESDM,
Kementerian Kehutanan, Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kemen-
terian Komunikasi dan Informatika,
Kementerian Koperasi dan UKM, Kemen-
terian BUMN, serta BKPM (Badan Koor-
dinasi Penanaman Modal) menunjukkan
kerja sama apiknya dalam pameran ini.
Paviliun Indonesia memamerkan ber-
bagai potensi sumber daya alam (kehi-
dupan laut dan hutan), industri kreatif dan
kebudayaan (hasil bumi, kain, alat musik,
makanan), investasi, perdagangan, dan
pariwisata Indonesia. Paviliun seluas 4.000
m2 dengan bangunan 2.400 m2 yang
mengusung tema BioDiverCity ini patut
menjadi kebanggaan bangsa karena
menampilkan keharmonisan antara ma-
nusia dan lingkungan dalam keane-
karagaman budaya Indonesia.
Mari Elka Pangestu mengungkapkan
keberadaan Paviliun Indonesia memiliki
peran penting bagi program pencitraan
Indonesia sebagai satu bangsa yang
sering tidak dikenal dunia. Melalui Paviliun
Indonesia, diharapkan dunia Internasional
dapat melihat kemajuan Indonesia se-
bagai bagian dari dunia yang sedang
membangun peradaban.
APMCHUD
Setelah penyelenggaraan World Urban
Forum di Brazil dan World Shanghai Expo
di Cina, kegiatan terakhir dan sangat
penting, khususnya bagi pemerintah In-
Denyut nadi kota Shanghai, Cina. (Foto:Lis)
67KIPRAH • Volume 37
LAPORANKHUSUS
donesia, adalah penyelenggaraan 3rd Asia
Pacific Ministers’ Conference on Housing
and Urban Development (APMCHUD)
yang akan dilaksanakan pada tanggal 22-
24 Juni 2010 di Solo, Indonesia.
Dirjen Cipta Karya Kementerian PU Budi
Yuwono yang sekaligus juga merupakan
Wakil Ketua I APMCHUD menjelaskan
bahwa APMCHUD merupakan perte-
muan internasional dari 68 negara
anggota yang diwakili para menteri di
bidang pembangunan perumahan dan
pengembangan perkotaan seAsia-Pasifik
yang didirikan pada bulan Desember 2006.
Tujuan penyelenggaraan APMCHUD ke-3
nanti adalah membicarakan perlunya
penggelolaan perkotaan yang lebih
seimbang antara unsur sosial, ekonomi,
dan lingkungan melalui pembangunan
berkelanjutan.
Sebagai tuan rumah dan negara yang
memiliki populasi serta jumlah kota yang
besar, Indonesia akan memperlihatkan
praktik terbaik dalam bidang perumahan
dan pembangunan perkotaan yang telah
dilakukan.
Peserta APMCHUD nantinya diperkirakan
sekitar 650 orang, terdiri atas menteri
dan penjabat senior dari 68 negara
anggota, perwakilan dari lembaga inter-
nasional dan regional, serta pemerintah
lokal, akademisi, peneliti, serta organisasi
kemasyarakatan yang peduli pada isu
perumahan dan pembangunan kota.
Kegiatan yang akan diadakan adalah
Konferensi T ingkat Menteri dari 68
negara anggota dan pertemuan pejabat
senior, working group meeting, kunju-
ngan lapangan, dan pameran.
Tantangan dari semakin tingginya angka
urbanisasi di berbagai kota dunia, khu-
susnya kawasan Asia-Pasifik, ditunjukkan
dari adanya pertumbuhan perkotaan yang
diproyeksikan akan meningkat dua kali
lipat pada tahun 2050 dimana sebagian
besar dari pertumbuhan ini akan terjadi
di negara berkembang, 50% penduduk
dunia tinggal di perkotaan, 2/3 penduduk
dunia tinggal di perkotaan pada tahun
2030 dan separuhnya berada di kawasan
Asia-Pasifik, dan 50% penduduk perkotaan
di Asia tinggal di permukiman kumuh,
serta 650 juta penduduk Asia-Pasif ik
adalah masyarakat miskin.
Di Indonesia sendiri, menurut Menteri
Perumahan Rakyat (Menpera) Suharso
Monoarfa yang juga Ketua APMCHUD,
mengingat bahwa sejak tahun 2007 ada
Pemanfaatan bantaran sungai dengan penghijauan untuk mendukung keindahan kota. (Foto:Dok.)
sekitar 50% penduduk Indonesia tinggal
di perkotaan. Selain itu, 58,6% penduduk
tinggal di pulau Jawa yang luasnya kurang
dari 7% luas daratan Indonesia, adanya 17%
permukiman di lokasi rawan bencana,
serta tingkat kemiskinan mencapai 14,15%
atau sekitar 32,53 juta jiwa menjadikan
APMCHUD sebagai forum penting untuk
dapat berbagi pengalaman dan informasi
dengan negara-negara anggota APM-
CHUD sekaligus mencari solusi terbaik.
Solo dipilih sebagai tempat penye-
lenggaraan APMCHUD karena keber-
hasilan Walikota Solo dalam implemen-
tasi pembangunan permukiman dan
perkotaan yang mampu melibatkan
masyarakat dengan menghargai budaya
lokal. Pada APMCHUD nanti, kota Solo
akan menjadi salah satu kota percontohan
dan akan membagi pengalaman serta
keberhasilannya kepada negara-negara
anggota.
Semoga saja kegiatan APMCHUD di Solo
nanti dapat menghasilkan Deklarasi Solo
yang menjadi kerangka regional pem-
berdayaan masyarakat untuk urbanisasi
yang berkelanjutan, khususnya dalam
konteks perubahan iklim dan penguatan
ekonomi lokal di Indonesia. (Endah)
Volume 37 • KIPRAH68
APMCHUD merupakan Forum
Menteri seAsia-Pasifik di Bidang
Pembangunan Perumahan, Per-
mukiman dan Perkotaan (Asia Pacific Mi-
nisters’ Conference 0n Housing and Urban
Development) yang dibentuk dengan
tujuan mendorong kerjasama global,
berbagi pengalaman, informasi dan
pengetahuan dalam mengatasi perma-
salahan dan tantangan permukiman dan
pembangunan perkotaan seperti : urba-
nisasi, perumahan dan pengelolaan
permukiman, kemiskinan, lingkungan
kumuh (slum area), Millenium Develop-
ment Goals (MDGs), serta mengem-
bangkan kebijakan dan strategi bagi
Menjalin Kerja Sama Global(AMPCHUD, Surakarta 22-24 Juni 2010)
Oleh : **Taufan Madiasworo
pengembangan permukiman dan perko-
taan yang berkelanjutan.
Konferensi pertama APMCHUD diadakan
di New Delhi, India pada tahun 2006 dan
telah menghasilkan suatu kesepakatan
berupa Deklarasi New Delhi dan kerangka
kerja tentang implementasi urbanisasi
berkelanjutan di Asia Pasifik. Selanjutnya,
APMCHUD kedua pada tahun 2008 di Te-
heran telah menghasilkan Deklarasi Te-
heran dan rencana aksi untuk kerjasama
regional tentang promosi pembangunan
perkotaan berkelanjutan di Asia Pasifik
dengan beberapa fokus pada bidang-
bidang sebagai berikut: 1) perencanaan
dan pengelolaan perkotaan dan perde-
saan; 2) peningkatan kualitas kawasan
kumuh; 3) pelaksanaan MDGs tentang air
dan sanitasi; 4) pembiayaan perumahan
yang berkelanjutan dengan mening-
katkan keterjangkauan dan kualitas
perumahan sederhana; serta 5) pengem-
bangan urbanisasi berkelanjutan dengan
fokus pada bencana alam. APMCHUD
memiliki visi mempromosikan pem-
bangunan permukiman berkelanjutan di
kawasan Asia Pasifik dan misi menjadi
focal point/hub pengetahuan global dan
fasilitator pembangunan permukiman
berkelanjutan (KAK Penyusunan Materi
APMCHUD, 2010).
Kegiatan seni budaya di kota Surakarta (Kirab). (Foto: Pemkot Surakarta, 2008)
LAPORANKHUSUS
69KIPRAH • Volume 37
APMCHUD ke-3, dengan tuan rumah In-
donesia, akan diselenggarakan di kota
Surakarta pada tanggal 22-24 Juni 2010.
Kegiatan ini merupakan merupakan fo-
rum internasional bagi 68 negara yang
diwakili oleh para menteri seAsia-Pasifik
di bidang permukiman dan perkotaan.
Adapun tema APMCHUD ke-3 ini adalah
Empowering Communities for Sustainable
Urbanization. Ditetapkannya tema ter-
sebut dilatarbelakangi oleh beberapa
kondisi seperti tingginya tingkat urbani-
sasi, populasi dan kemiskinan, tingginya
konsumsi energi, eksploitasi lingkungan
yang berlebihan, dan Millenium Develop-
ment Goals (MDGs). Di sisi lain, isu ling-
kungan global juga tidak dapat dihindari
seperti pemanasan global dan perubahan
iklim.
Terdapat 5 (lima) sub tema yang akan
menjadi pokok bahasan dalam APMCHUD
ke-3 ini, yaitu: 1) perencanaan dan mana-
jemen perkotaan dan perdesaan; 2)
peningkatan kualitas kawasan kumuh
perkotaan; 3) pelaksanaan MDGs untuk
air minum dan limbah; 4) pembiayaan
perumahan berkelanjutan; dan 5) pe-
nanganan urbanisasi berkelanjutan. Dalam
APMCHUD ke-3 ini juga diharapkan dapat
ditetapkan sebuah kesepakatan dalam
bentuk Deklarasi Solo (Solo Declaration),
yang diantaranya akan memuat kerangka
regional peningkatan pemberdayaan
masyarakat untuk urbanisasi yang ber-
kelanjutan dalam konteks perubahan
iklim dan penguatan ekonomi lokal.
Surakarta, tuan rumah APMCHUD ke-3
Kota Surakarta adalah sebuah kota di
Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Kota ini
juga dikenal dengan nama Solo. Kota yang
merupakan pusat kebudayaan Jawa ini,
kaya dengan beragam aset warisan bu-
daya. Dulunya, kota ini juga merupakan
tempat kedudukan dari residen yang
membawahi karesidenan Surakarta di
masa awal kemerdekaan. Sektor pariwi-
sata berbasis budaya lokal merupakan
sektor unggulan kota Surakarta.
Kota Surakarta terpilih sebagai tempat
pelaksanaan APMCHUD ke-3 dengan be-
berapa pertimbangan, antara lain: 1) Kota
Surakarta menunjukkan langkah nyata
dan progress yang cukup signifikan dalam
sektor pembangunan perumahan, per-
mukiman, dan perkotaan berbasis pem-
berdayaan komunitas masyarakat; 2) Ko-
ta Surakarta menunjukkan tekad dan
keseriusan untuk menjalin kerja sama
sama dengan seluruh pemangku kepen-
tingan tidak hanya di tingkat nasional,
namun juga tingkat global; dan 3) Kota
Surakarta menunjukkan inovasi untuk
mendukung kapasitas lokal, menjaga
keberlanjutan lingkungan, serta secara
konsisten melakukan pembangunan
secara terpadu dan terencana.
Dampak strategis APMCHUD
Melalui pelaksanaan forum APMCHUD
yang ke-3 ini, diharapkan dapat mem-
berikan dampak strategis yang berke-
lanjutan dalam menjawab tantangan
perumahan dan pembangunan perko-
taan secara lebih efektif di masa menda-
tang, memberikan dukungan bagi pem-
berdayaan masyarakat, peningkatan
kesejahteraan masyarakat, penguatan
ekonomi lokal, mereduksi permasalahan
urbanisasi, lingkungan kumuh dan krisis
lingkungan, serta masalah global (global
warming dan perubahan iklim). Selan-
jutnya, melalui sharing pengalaman,
informasi dan pengetahuan, mem-
bangun kesepahaman, pemantapan
kemitraan dan kerjasama strategis
secara global umumnya serta regional,
khususnya antar negara-negara Asia
Pasifik diharapkan permasalahan dan
tantangan tersebut di atas dapat di-
tangani secara optimal.
**Kasi Pembinaan Perencanaan Tata Ruang
Perkotaan Wilayah II, Ditjen Penataan Ruang,
Kementerian Pekerjaan Umum.
Kampung Batik Laweyan.(Foto : Pemkot Surakarta, 2008)
Pengelolaan sektor informal yang cukup berhasil di kota Surakarta, dapat dijadikan bestpractices. (Foto: Pemkot Surakarta, 2009)
LAPORANKHUSUS
Volume 37 • KIPRAH70
Eksternalitas merupakan fenomena
dimana aktifitas pembangunan
kota menciptakan dampak terten-
tu terhadap pihak-pihak yang pada ha-
kekatnya tidak ikut terlibat dalam akifitas
tersebut, dapat bersifat menguntungkan
namun juga bisa merugikan. Eksternalitas
yang menguntungkan tentu merupakan
berkah multiplier effect pembangunan.
Yang menjadi persoalan adalah fenomena
eksternalitas negatif juga banyak terjadi
namun terabaikan, sehingga memicu
ketidakadilan dalam perikehidupan warga
kota. Kerugian umumnya dialami oleh
kelompok-kelompok yang lemah aksesnya
terhadap mekanisme pengambilan kepu-
Kompensasi Eksternalitas
Oleh: **Miming Miharja
Pembangunan kota-kota diIndonesia sering dikritik sebagai
proses yang tidak atau kurangmenuju ke arah pengembanganliveable cities, suatu lingkungan
binaan yang mampu memberikankenyamanan yang memadai bagiwarganya dari semua segmen. Di
samping sejumlah kemajuanyang dicapai dari proses
pembangunan, dengan mudahkita dapat mengamati berbagai
persoalan justru dipicu olehaktivitas pembangunan itu
sendiri. Sebut saja kemacetanlalu-lintas semakin akut akibat
pembangunan berbagai gedungyang membangkitkan dan
menarik pergerakan baru tanpaantisipasi pengembangan
jaringan jalan yang memadai;pencemaran udara, suara, dan
air akibat pembangunanberbagai pusat aktivitas industridan transportasi; serta hilangnya
mata pencaharian sekelompokpedagang tradisional akibat
pengembangan pusatperdagangan modern, dll. Dalam
ilmu perencanaan wilayah dankota, fenomena ini lazim disebut
eksternalitas.
WACANA
Pembangunan Kota
tusan formal pembangunan kota. Aki-
batnya, peningkatan kualitas kehidupan
sekelompok warga kota tertentu acapkali
diiringi dengan terjadinya penurunan
kualitas hidup kelompok warga yang lain
sehingga menciptakan atau memper-
dalam ketidakadilan.
Ada tiga syarat utama yang harus ditegak-
kan agar sisi buruk dari fenomena ekster-
nalitas pembangunan kota ini bisa diatasi.
Pertama, pemahaman seluruh pihak yang
terlibat dan berkepentingan dengan
aktifitas pembangunan kota: eksekutif,
legislatif, para pakar, lembaga swadaya
masyarakat, sektor swasta, serta masya-
rakat luas pada umumnya, akan fenomena
eksternalitas. Kedua, suasana demokratis
dimana setiap gejala eksternalitas (teru-
tama yang negatif) dapat disuarakan
untuk mendapat perhatian dan diper-
soalkan secara transparan, akuntabel, dan
berkeadilan. Ketiga, tegaknya kelemba-
gaan yang mampu menjalankan mekanis-
me kompensasi eksternalitas ini secara
efektif. Ketiga syarat ini telah sejak lama
terpenuhi dalam tatanan proses pemba-
ngunan kota-kota di negara maju, sehing-
ga tidak aneh bila kita mengamati kondisi
kota-kota mereka yang sangat nyaman
dan berkeadilan.
71KIPRAH • Volume 37
Pemahaman eksternalitas dapat bersifat
kompleks. Pada saat suatu investasi
menghasilkan kedua jenis eksternalitas
positif dan negatif, tidak selalu dapat
dikatakan bahwa eksternalitas positifnya
bisa mengompensasi yang negatif secara
langsung. Mengapa? Sebab, mungkin
pihak yang dirugikan dan diuntungkannya
berbeda (misalnya penduduk kawasan di
sekitar pusat perdagangan yang menga-
lami kemacetannya, sementara penduduk
dari wilayah lain yang memanfaatkan
kesempatan kerjanya). Mungkin juga
karena memang sifat dari eksternalitas
negatifnya secara hakiki tidak bisa
dikompensasi oleh eksternalitas positif-
nya. Contohnya kemacetan lalu lintas
yang hanya bisa diatasi oleh perbaikan
sistem jaringan jalan dan atau pengem-
bangan angkutan umum, bukannya oleh
penyediaan lapangan kerja.
Dengan demikian, analisis eksternalitas
dari suatu kegiatan pembangunan (baca:
investasi) kota tidak dapat dilakukan
dalam bentuk selisih besaran ekster-
nalitas negatif dan positif secara se-
derhana. Akan tetapi, memerlukan kajian
yang mendalam dengan mengacu pada
asas optimasi rasa keadilan publik. Per-
tanyaan kuncinya adalah adakah suatu
mekanisme yang efektif dalam me-
ngenali, menganalisa, mengitung, dan
secara patuh menjadikan pemahaman
atas eksternalitas ini menjadi acuan pada
proses pembangunan kota yang ber-
asaskan optimasi kepentingan publik oleh
karena jawabannya di negara kita adalah
belum ada, maka agenda pengembangan
mekanisme kompensasi ini sangat me-
narik dan strategis dalam upaya mem-
perbaiki arah pembangunan kota menuju
liveable cities.
Pertanyaan berikutnya adalah siapakah
sebenarnya pemicu eksternalitas? Meski-
pun pembangunan fasilitas umum oleh
dana publik adalah salah satu sumber
eksternalitas, kekuatan kapital yang
dimiliki sektor swasta merupakan pemicu
utama lainnya. Dalam pemahaman ilmu
ekonomi, sektor swasta dikenal sebagai
entitas dengan motif utama memaksi-
malkan profit. Adanya beberapa pelaku
usaha dengan kepedulian sosial yang
tinggi tidak cukup mengompensasi
karakter agregat kapitalis yang memiliki
kecenderungan memaksimalkan profit.
Ini suatu karakter yang berpotensi mem-
bentuk perilaku yang mengabaikan eks-
ternalitas negatif. Jika tidak ada pihak yang
mempersoalkannya, perilaku kapital akan
cenderung pada upaya mencapai keun-
tungan maksimal serta cenderung menga-
baikan biaya sosial akibat eksternalitas
negatif yang ditimbulkannya. Mengapa?
Karena dalam struktur pembiayaan
perusahaan, biaya untuk mengompensasi
eksternalitas negatif termasuk dalam
kelompok biaya produksi yang sifatnya
mereduksi profit. Meskipun secara fair
harus dikatakan bahwa pada saat yang
bersamaan investasi juga berpotensi
menciptakan eksternalitas positif, namun
tetap harus ada suatu analisa dan perhi-
tungan yang jelas terhadap resultan dari
eksternalitas suatu investasi.
II. Stadium demokrasi
Meskipun masih banyak kelemahan akibat
euphoria kebebasan, namun secara agre-
gat kita dapat merasakan banyak hikmah
positif perkembangan demokrasi ter-
sebut dalam mempromosikan pemba-
ngunan yang lebih berkeadilan. Kebe-
basan media pemberitaan yang cukup luas
dalam menyajikan proses pengungkapan
penyimpangan-penyimpangan di berbagai
sektor telah mampu membangun ke-
yakinan publik untuk berani menyuarakan
setiap persoalan. Mengapa kontrol publik
yang datang dari pihak masyarakat men-
jadi ujung tombak dalam pengendalian
eksternalitas? Karena mereka adalah
pihak yang paling banyak mengalami
kerugian oleh akibat dari eksternalitas
(negatif) yang tidak terkontrol, sehingga
paling paham akan realitas persoalan yang
dihadapi.
Mestinya masyarakat kota adalah pihak
yang paling termotivasi untuk memper-
tanyakan, misalnya, mengapa pem-
bangunan mal (pusat perdagangan) baru
diizinkan oleh pemerintah kota? Apakah
WACANA
Kawasan Bundaran H.I . Jakarta. (Foto:Lies)
Sementara itu, belum terpenuhinya
ketiga syarat tersebut dalam proses
pembangunan kota-kota di negeri kita,
telah menyebabkan sulitnya kita ter-
hindar dari resiko pembangunan kota yang
mengandung berbagai bentuk eks-
ternalitas negatif yang mungkin saja
disadari dan dikeluhkan, namun tidak
mampu dikompensasi.
I. Pemahaman eksternalitas
Respon aktif terhadap fenomena ekster-
nalitas diharapkan berkembang sebagai
bagian dari proses kontrol publik untuk
menekan dampak dari pembangunan kota
yang merugikan. Tentu saja respon
tersebut akan muncul bila ada pemaha-
man yang baik terhadap fenomenanya itu
sendiri. Dengan kata lain, pemahaman dari
semua elemen warga kota secara luas
tentang eksternalitas adalah syarat bagi
terbangunnya awareness untuk menekan
ekses negatif perilaku kapitalistik pemba-
ngunan kota.
Volume 37 • KIPRAH72
sudah sesuai dengan rencana tata ruang
kota yang pernah disusun? Siapa pihak
yang mendapat manfaat terbesar dari
pembangunan itu? Apa kerugian yang
diderita masyarakat (tambah macet,
tambah bising, pedagang kecil kehila-
ngan pangsa, dst.)? Adakah kompensasi
yang terukur dan memadai untuk menga-
tasinya?
Untuk itu, penting dilakukan kontrol
publik. Kekuatan kontrol publik ini hanya
dimungkinkan bila ada kecerdasan ma-
syarakat yang memadai yang disertai
pembentukan kelompok-kelompok kepe-
dulian.
Namun demikian, terpenuhinya syarat
kedua ini memerlukan upaya pembena-
han guna meminimalkan resiko negatif
akibat euphoria kebebasan. Perlu dikem-
bangkan kesadaran publik bahwa penyua-
raan fenomena eksternalitas pemba-
ngunan kota sejatinya bertujuan untuk
melakukan koreksi terhadap ekses nega-
tif dari aktifitas pembangunan secara
proporsional. Sikap berlebihan dalam
mengembangkan koreksi tersebut bisa
berakibat melemahkan akselerasi pemba-
ngunan kota bahkan bisa bersifat kontra
produktif. Bagaimanapun, proses pem-
bangunan kota perlu didorong untuk
selalu berakselerasi.
Di tengah semangat pembangunan kota
melalui skema partisipasi sektor swasta
yang merupakan alternatif solusi bagi
persoalan keterbatasan dana pemerin-
tah, upaya koreksi yang tidak proporsional
bisa menjadi bumerang.
III. Kelembagaan kompensasi
Syarat ketiga yang tidak kalah pentingnya
bagi keberhasilan pengembangan meka-
nisme kompensasi eksternalitas pemba-
ngunan kota adalah dukungan kelem-
bagaan. Kelembagaan tidak semata
merujuk pada pengertian konvensional
kelembagaan sebagai body of institution
(badan organisasi), melainkan pada
pengertian yang komprehensif, yakni
suatu set rule of the game yang mengatur
tata cara dan prosedur bagaimana seha-
rusnya mekanisme kompensasi tersebut
dijalankan. Tentu saja didalamnya terkan-
dung kebutuhan mendefinisikan badan-
badan organisasi sebagai unit pelaksana
fungsi regulasi, deteksi, analisa, pengam-
bilan keputusan, dan eksekusi keputusan.
Fungsi regulasi merupakan elemen pokok
yang merumuskan tata aturan main
bagaimana prosedur pengenalan (detek-
si) terhadap fenomena eksternalitas,
analisis terhadap masalah eksternalitas
yang muncul, aturan penambilan keputu-
san, serta eksekusi dan kontrol terhadap
keputusan yang telah diambil akan diatur.
Regulasi ini menempati peranan menda-
sar dalam memberikan landasan hukum
bagi setiap tindakan yang akan diambil
oleh perangkat terkait dalam proses
kompensasi eksternalitas. Bentuk regu-
lasi ini dapat berupa undang-undang,
peraturan pemerintah pusat, peraturan
daerah, serta bentuk-bentuk produk le-
gal lainnya sesuai dengan situasi dan
kondisinya. Jelas bahwa fungsi regulasi
ini terdiri dari unsur peraturan yang
dirumuskan oleh lembaga legislatif
dengan memperhatikan input dari ekse-
kutif, yudikatif, masyarakat luas, dan pihak
lain yang berkepentingan, termasuk
sektor swasta. Adapun pengembangan
konten dari regulasi untuk mengatur
setiap langkah dalam proses kompensasi
WACANA
IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) Setiabudi, Jakarta Selatan. (Foto:Ahmad Fauzi)
73KIPRAH • Volume 37
eksternalitas ini selayaknya disusun
berdasarkan pelajaran dari berbagai kasus
dan fenomena kerugian dan keuntungan
dari semua bentuk kegiatan investasi dan
pembangunan kota.
Fungsi deteksi berperan dalam mengama-
ti, mengenali, serta memformulasikan
fenomena eksternalitas dari suatu gejala
yang dirasakan menjadi rumusan state-
ment of problem yang jelas dan objektif.
Fungsi deteksi ini pada dasarnya dapat
dilakukan oleh setiap elemen masyarakat
(terutama yang terkena dampak dari
suatu kegiatan investasi dan atau pemba-
ngunan kota) baik individual maupun
kolektif/institusional.
Deteksi pada dasar-nya bisa bersifat ex-
ante, yaitu meprediksi kondisi-kondisi
yang akan terjadi sebagai dampak dari
suatu kegiatan pembangunan/investasi,
serta ex-post, yaitu menyatakan kondisi-
kondisi yang secara nyata sudah terjadi
sebagai dampak dari kegiatan pem-
bangunan/investasi.
Fungsi analisa berfungsi menindaklanjuti
perumusan masalah yang telah dihasilkan
pada tahap deteksi untuk dianalisa secara
komprehensif. Analisa bertujuan mema-
hami lebih lanjut aspek negatif serta positif
untuk menentukan gejala-gejala yang
dapat dipertimbangkan aspek cross-com-
pensation-nya atau tidak. Nampak bahwa
proses analisa ini memerlukan kecer-
matan khusus untuk dapat mempertim-
bangkan setiap fenomena secara jelas dan
berimbang.
Dengan demikian, diperlukan suatu
lembaga yang memiliki indepen-densi
serta profesionalisme yang tinggi. Lem-
baga ini bisa merupakan lembaga pe-
merintah yang independen dan ditugasi
khusus untuk tujuan ini. Sebetulnya,
lembaga badan perencanaan pemba-
ngunan daerah (bappeda) serta badan
pengendali dampak lingkungan daerah
(bapedalda) dapat diberdayakan untuk
mengemban fungsi ini. Untuk menjamin
akuntabilitas dan transparansi yang harus
dijaga oleh lembaga ini dalam mema-
WACANA
inkan fungsinya, diperlukan personil-
personil yang memiliki kapabilitas dan
pemahaman yang baik tentang substansi
persoalannya, serta pengawasan oleh
pihak independen.
Fungsi pengambilan keputusan idealnya
diperankan oleh lembaga khusus yang
bisa merupakan kelengkapan dari peme-
rintah baik di tingkat pusat maupun
daerah. Bila persoalan dapat diputuskan
dalam tataran non-juridis, maka lembaga
semacam bappeda dan bapedalda dapat
diberdayakan. Namun, bila terjadi ketidak
sepahaman yang cukup tajam antara
pihak-pihak yang berbeda pandangan
dalam penyelesaian persoalan kompen-
sasi eksternalitas ini, maka diperlukan
lembaga peradilan yang lebih formal.
Pembentukan suatu lembaga pengadilan
yang bertugas khusus dalam pengen-
dalian eksternalitas pembangunan/inves-
tasi kota semacam pengadilan tipikor dan
sejenisnya merupakan suatu strategi
yang baik untuk mewujudkan mekanisme
kompensasi eksternalitas pembangunan
kota yang efektif.
Fungsi eksekusi keputusan yang telah
diambil berada pada kelembagaan peme-
Kemacetan di Jl. Gatot Subroto Jakarta Selatan. (Foto:Lis)
rintah yang tugas pokoknya menjalankan
hasil kesepakatan atau bahkan keputusan
pengadilan. Dalam hal ini, kepolisian dan
polisi pamong praja merupakan organ-
organ yang dapat difungsikan untuk
tujuan ini. Fungsi eksekusi ini jelas
merupakan ujung tombak dari pelaksa-
naan keputusan dalam rangkaian meka-
nisme kompensasi eksternalitas yang
kerjanya dilandasi oleh keputusan yang
memiliki dasar hukum yang sudah tetap.
Namun demikian, yang lebih penting
adalah penetapan suatu strategi agar
keseluruhan sistem aturan main tersebut
dapat dijalankan secara akuntabel, trans-
paran, dan konsisten. Hal terakhir ini harus
didukung oleh mekanisme reward and
punishment yang jelas dan konsisten.
Dalam hal ini, perkembangan keterbu-
kaan dalam penyelenggaraan setiap
aktifitas yang berkaitan dengan kepenti-
ngan publik di negeri kita dewasa ini
cukup memberi harapan bagi keber-
hasilan mekanisme kompensasi ekster-
nalitas ini untuk dijalankan.
** Dosen pada Kelompok Keahlian Sistem
Infrastruktur Wilayah dan Kota, Sekolah
Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan
Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Volume 37 • KIPRAH74
Anda, saya, dan pembaca lainnya,
khususnya masyarakat jasa kon-
struksi, tentunya sudah menge-
tahui terbitnya PP 04 Tahun 2010 tentang
Perubahan Atas PP Nomor 28 Tahun 2000
Tentang Usaha Dan Peran Masyarakat Jasa
Konstruksi. Anda dan saya sedikit banyak
memahami bahwa dinamika perkem-
bangan usaha jasa konstruksi semakin hari
semakin cepat dan dinamis sehingga me-
merlukan pengaturan yang kompatibel
sesuai dengan dinamika/tuntutan per-
kembangan usaha jasa konstruksi ter-
sebut.
Ruang ini mungkin tidak cukup untuk
membedah PP 04 tahun 2010 secara de-
tail dan lengkap. Tetapi, semoga tulisan
ini dapat memberikan sedikit gambaran
tentang kisi-kisi pokok perubahan men-
dasar atas produk hukum tersebut, yang
konon merupakan karya panjang yang
telah melalui proses konsultasi publik
dalam usaha membenahi pengaturan
tentang usaha dan peran masyarakat jasa
konstruksi.
Hanya saja, di sayangkan sejak PP 4 ini
disahkan sebagai Peraturan Pemerintah
tanggal 6 Januari 2010, yang kedudukanya
sebagai pengganti PP 28 Tahun 2000,
yang ramai muncul dipermukaan justru
hanya menyangkut masalah sertifikasi
dan registrasi. Padahal, sertifikasi dan
registrasi hanya merupakan salah satu
konsekuensi atas perubahan tersebut.
Sementara, esensi dari perubahan ter-
sebut menyangkut nafas pengaturan
usaha dan peran masyarakata jasa kon-
struksi yang nantinya akan di-break down
dengan peraturan menteri justru belum
nampak tersentuh.
Pembaharuan Pengaturan Usaha &
Oleh: **Tri Djoko Waluyo dan H. Putut Marhayudi
Kalau kita menengok kebelakang, sesung-
guhnya terdapat berbagai permasalahan
yang ditemui ketika “PP 28 tahun 2000”
mulai diimplementasikan, antara lain
seperti:
(a) Lembaga yang diamanatkan oleh UU
Jasa Konstruksi (UUJK) tidak dideskripsi-
kan secara jelas sehingga dapat me-
nimbulkan kerancuan lembaga mana
yang ditunjuk oleh UU Jasa Konstruksi;
(b) Sumber pendanaan pelaksanaan
operasional kebijakan Lembaga bersifat
tidak tetap sehingga menyebabkan pelak-
sanaan tugas Lembaga menjadi tidak op-
timal dan akuntabilitas pelaksanaan
operasional kebijakan Lembaga menjadi
rendah;
(c) Badan Pelaksana (Bapel) kurang op-
timal dalam mendukung LPJK dari sisi
sumberdaya dan akuntabilitas;
(d) Pembidangan usaha belum dijabar-
kan sebagaimana amanat UUJK sehingga
menghambat daya saing penyedia jasa
karena tidak selaras dengan kebutuhan
pasar dan norma klasifikasi internasional;
(e) Pemerintah dan Lembaga Pengem-
bangan Jasa Konstruksi mengalami kesu-
litan dalam mengontrol proses sertifikasi
dan menjamin keberlanjutan pelayanan
publik dan;
(f) Mekanisme sertifikasi sangat beragam
dan tidak mengacu pada satu standar se-
hingga belum dapat memberikan gam-
Peran Masyarakat Jasa Konstruksi
WACANA
Kegiatan sektor jasa konstruksi memerlukan dukungan kelembagaan dan payung hukum yangkuat. (Foto:Dok.)
75KIPRAH • Volume 37
baran kompetensi penyedia jasa yang
sesungguhnya.
Tidak dapat dipungkiri, adanya berbagai
permasalahan yang ditemui tersebut
menunjukan bahwa dalam pengaturan
usaha & peran masyarakat dalam me-
ngembangkan jasa konstruksi kita ibarat
masuk ke ruang gelap yang belum di
ketahui saklar lampunya. Dampaknya
dapat dilihat dimana usaha dan peran
masyarakat jasa konstruksi yang diatur
dalam PP 28 Tahun 2000 belum signifikan
mengantarkan pencapaian tujuan Un-
dang-Undang Nomor 18 Tahun 1999
tentang Jasa Konstruksi. Dalam hal ini
terutama untuk mewujudkan struktur
usaha jasa konstruksi yang kokoh, andal,
berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan
konstruksi yang berkualitas. Hasilnya,
pengembangan jasa konstruksi ternyata
hanya “enak” didengarkan ketimbang
hasil penerapannya.
Lalu apa esensi perubahan dari PP 28
Tahun 2000 menjadi PP 04 Tahun 2010
tersebut?
Kalau kita bolak-balik PP 04 Tahun 2010,
sesungguhnya ada 4 substansi peru-bahan
prinsip dalam pengaturan usaha dan peran
masyarakat jasa konstruksi, yaitu:
(a)Perubahan substansi kelembagaan
dengan tujuan untuk memperkuat
keberadaan dan fungsi LPJK dalam
melaksanakan 5 tugas yang diamanatkan
UUJK; (b)Keberadaan sekretariat lem-
baga dengan tujuan untuk mendukung
kegiatan LPJK agar dapat lebih optimal
dalam melaksanakan tugas-tugas yang
diamanatkan UUJK; (c)Perubahan sub-
stansi pembidangan usaha dengan tujuan
agar pembidangan usaha lebih serasi dan
selaras dengan kebutuhan pasar dan
standar internasional; dan (d) perubahan
substansi sistem sertifikasi dengan tujuan
meningkatkan akuntabilitas proses peni-
laian kemampuan kompetensi penyedia
jasa.
Sesungguhnya, esensi dari nafas PP 4
tersebut pada hakekatnya tidak akan
menghilangkan usaha & peran masya-
rakat jasa konstruksi, tetapi justru
mendudukkan usaha & peran masyarakat
jasa konstruksi secara proporsional. Di sisi
lain, dalam PP 04 tahun 2010 juga menem-
patkan kembali peran pemerintah se-
bagai regulator karena jasa konstruksi
merupakan pelayanan publik, sedangkan
masyarakat jasa konstruksi tetap sebagai
eksekutor.
Pemerintah, dalam perannya sebagai
regulator, tetap dan harus memper-
timbangkan aspirasi dari masyarakat jasa
konstruksi. Sedangkan masyarakat jasa
konstruksi, sebagai eksekutor, senantiasa
berpedoman terhadap regulasi yang
dikeluarkan oleh pemerintah sehingga
terjadi checked and balance dalam pe-
ngembangan jasa konstruksi.
melalui peraturan menteri, diarahkan
untuk memberikan keleluasaan bagi
mengembangkan inisiatif dan kreativitas
pengembangan secara inovatif dalam
rangka pengembangan jasa konstruksi
Indonesia, dengan muaranya untuk
peningkatan pelayanan kepada masya-
rakat di sektor konstruksi.
Jadi, bagaimana nantinya menilai keber-
hasilan implementasi dari Peraturan ini?
Ukuran keberhasilan melaksanakan PP
nomor 04 Tahun 2010 ini tidak sekedar
kesiapan menterjemahkan pembagian
urusan, kelembagaan, pembidangan
usaha, sistem sertifikasi, personil, aset,
dan keuangan yang tidak lebih hanya
merupakan input bagi proses pelak-
sanaan itu sendiri karena yang diperlukan
masyarakat jasa konstruksi justru output,
result, dan outcome dari implementasi
pelaksanaannya.
Bahasa verbalnya, jangan lagi pengaturan
usaha & peran masyarakat jasa konstruksi
diartikan sebagai sebuah pembagian
kekuasaan atau pembagian kewenangan,
dan lain sebagainya. Akan lebih bijaksana
jika PP 4 Tahun 2010 kita artikan sebagai
gabungan antara alat dan filsafat menuju
proses pengaturan usaha dan peran
masyarakat jasa konstruksi yang lebih
ideal. Oleh karena itu, diperlukan keber-
samaan dalam mensosialisasikan pera-
turan ini antara pemerintah dengan
lembaga pengembangan jasa konstruksi,
baik tingkat pusat maupun tingkat
daerah.
Mudah-mudahan tulisan singkat ini mem-
berikan wacana pemahaman/persepsi
yang sama atas terbitnya PP 04 Tahun
2020 tentang Usaha dan Peran Masya-
rakat Jasa Konstruksi, sehingga kita tidak
akan terperangkap lagi dalam ruangan
gelap dalam melaksanakan pengem-
bangan jasa konstruksi di Indonesia.
** Tri Djoko Waluyo, M.Eng.Sc (Kapus PPUK-
BPKSDM-PU)
DR.H. Putut Marhayudi (Staf PPUK-BPKS
DM-PU)
WACANA
Kegiatan pembangunan gedung bertingkat,Jakarta semakin marak. (Foto:Dok.)
Yang jelas, dengan terbitnya PP 04 Tahun
2010 kita tidak ingin masuk lagi dalam
kamar gelap yang tidak tahu dimana
saklarnya. Kita tidak bisa lagi menggu-
nakan kunci inggris yang bisa kita stel
semau kita untuk menuju suatu tujuan,
karena kalau itu terjadi lagi, bisa menga-
kibatkan stagnasi pengembangan jasa
konstruksi.
Yang kita butuhkan adalah pisau yang
tajam yang sesuai dengan penggu-
naannya. Nafas pengaturan usaha dan
peran masyarakat jasa konstruksi yang
tertuang dalam PP 04 Tahun 2010, yang
detail pelaksanaannya nantinya diatur
Volume 37 • KIPRAH76
Di Indonesia, persoalan pelestarian
bangunan tua/bersejarah sudah
sejak 1970an diwacanakan, na-
mun masih saja terdapat sejumlah
pendapat yang pro dan kontra. Mereka
yang pro pelestarian menyakini bahwa
bangunan/karya arsitektur sebagai
bagian dari produk sejarah merupakan
petunjuk untuk memahami kondisi
budaya rancang bangun zaman kiwari.
Paling tidak, melalui penelusuran sejarah
sejumlah peristiwa penting dapat diru-
nut hingga relevansinya kepada masa kini
dan mendatang. Nuansa kesejarahan
sarat dengan makna rekreatif/edukatif
dan pemahaman terhadap lingkungan
bersejarah, berkaitan langsung dengan
upaya penghormatan peradaban ma-
nusia. Di pihak lain mereka yang memiliki
pandangan berbeda akan pelestarian
(konservasi) berdalih bahwa pelestarian
tidak lain merupakan upaya mengabaikan
kebutuhan/aktifitas baru. Selanjutnya,
penolakan terhadap perubahan (melalui
upaya konservasi) dianggap sebagai
sebuah tindakan menghalangi upaya
perbaikan/pembangunan kawasan kota.
Tidak jarang, muncul pula pendapat
bahwa kegiatan konservasi dianggap
sebagai sebuah upaya kelompok mino-
ritas (elit) yang dipaksakan kepada
kelompok mayoritas (marjinal).
Selain perdebatan di atas, terdapat
perbedaan apresiasi masyarakat ter-
hadap bangunan dan lingkungan ber-
sejarah antara pandangan masyarakat
Pelestarian Bangunan
Belum hilang ingatan masyarakat akan kejadian yang menimpa situs arkeologis Majapahit di desaTrowulan, Jawa Timur, kini kembali muncul kasus penghancuran bangunan tua di kota Pangkal Pinang,
Bangka-Belitung. Masyarakat pemerhati pelestarian tentu sangat menyesalkan kejadian tersebut,sementara pemerintah setempat berdalih bahwa bangunan tersebut tidak termasuk ke dalam kategoribangunan pelestarian dan bangunan sudah berada dalam kondisi terbengkalai. Tidak mustahil kejadian
sejenis akan kembali terulang, sehingga apa “lesson learned” dari peristiwa tersebut?
Barat (negara industri) dan masyarakat
dunia berkembang. Persoalan pelestarian
di negara berkembang, menurut Tyman
(1992) dalam jurnal TRIALOG Zur Situa-
tion der Denkmalpflege in Südostasien vol.
35, ditandai oleh sejumlah ciri, misalnya
usia artefak yang relatif muda. Selain itu
umumnya karakter benda/bangunan
yang layak dilindungi pun dibentuk oleh
unsur-unsur budaya yang sangat bera-
gam. Berangkat dari realitas yang ada,
diskrepansi dalam struktur masyarakat di
dunia ketiga secara tidak langsung juga
turut menyebabkan sulitnya pengung-
kapkan apresiasi terhadap warisan budaya
pada umumnya dan terhadap karya seni
bangunan (arsitektur) pada khususnya.
Hal ini terjadi karena realitas sosial yang
mendukung nilai seni bangunan menjadi
fragmen-fragmen yang tidak mudah
dikaitkan satu sama lain secara arsitek-
tural.
Konsekuensinya, untuk menilai signi-
fikansi artefak tersebut agar layak dija-
dikan warisan bersejarah, diperlukan
Oleh: **Widjaja Martokusumo
WACANA
dan Pengingkaran Sejarah
Keberadaan bangunan bersejarah perlu dilestarikan. (Foto:Dok.)
77KIPRAH • Volume 37
sebuah political will yang dibarengi
pemahaman substansi yang mendalam,
misalnya tentang kriteria pelestarian per
se. Jadi, memang masih tersisa sebuah
pekerjaan rumah yang berat bagi pemer-
hati dan para pemangku yang terlibat
dalam perkara pelestarian. Lebih lanjut,
hal ini mengisyaratkan bahwa kiranya
perlu dilakukan upaya untuk mengkritisi
kembali proses penilaian sejarah (hitorical
assesment) dan kriteria benda-benda
yang perlu dilindungi. Berkaitan dengan
hal penilaian, UU Benda Cagar Budaya
(BCB) no. 5/1992 secara eksplisit me-
nyatakan kriteria signifikansi, yaitu
kesejarahan, ilmu pengetahuan, langgam
arsitektur, dan nilai kebudayaan, selain
juga kriteria batas usia minimal (50
tahun).
Artinya, dalam kasus penghancuran
bangunan eks bioskop Surya (1924) dan
Garuda (1919) sesungguhnya kedua
bangunan tersebut sudah memenuhi
persyaratan sebagai sebuah artefak yang
harus dilindungi, sebagaimana dia-
manatkan dalam UU no 5/1992 dan UU
Bangunan Gedung (BG) no. 28/2002. UU
no. 28/2002 yang menyatakan bahwa
pengelolaan bangunan-bangunan yang
memiliki signifikansi khusus (dilindungi)
menjadi tanggung jawab Pemerintah
Daerah. Dengan demikian, apa yang telah
terjadi di Pangkal Pinang dapat dilihat
sebagai sebuah pengingkaran fakta
sejarah!
Dalam konteks kegiatan rancang kota
(seni bina kota), konservasi/pelestarian
dapat dilihat sebagai salah satu upaya
pengendalian proses-proses produksi
spasial secara politis maupun fisikal
(perencanaan spasial). Tentunya, upaya
pelestarian kini tidak hanya sebatas ranah
bangunan, namun juga sudah mencakup
ranah lingkungan/kawasan. Perhatian
terhadap aspek non fisik/bangunan dalam
kegiatan pelestarian merupakan sebuah
perubahan signifikan dalam diskusi
pelestarian global sejak tahun 1980-an.
Artinya, konsep pelestarian tidak saja
dibatasi oleh hal-hal yang bersifat kese-
jarahan belaka, namun juga mencakup isu
lingkungan yang lebih luas. Perubahan ini
sekaligus memperlihatkan bahwa sub-
stansi pelestarian bersifat dinamis dan
memiliki kaitan erat dengan pengelolaan
lingkungan hidup, seperti yang diung-
kapkan Pendlebury (2008) dalam Conser-
vation in the Age of Concensus.
Kegiatan pembangunan yang tidak ter-
kendali pada kawasan/tempat bersejarah
dapat menjadi ancaman serius terhadap
kelestarian nilai kesejarahan tempat
tersebut. Vandalisme terhadap bangunan
tua/bersejarah bukan sekedar karena
persoalan ideologis belaka, namun lebih
banyak dikarenakan motif ekonomi (glo-
bal). Berkenaan dengan hal tersebut,
pengendalian lingkungan melalui pe-
lestarian merupakan upaya untuk memi-
nimalkan kerugian/kerusakan yang mung-
kin terjadi.
Konservasi bangunan tua dan lingkungan
bersejarah diyakini tidak hanya sekedar
penghormatan kepada masa lalu (se-
jarah), tetapi juga terkait dengan aspek
pemanfaatan artefak secara cerdas. Oleh
karena itu, dalam era globalisasi dan era
perubahan cepat ini pelestarian dapat
berperan signifikan bagi pembentukan
jati diri. Selain itu, hal lain yang perlu
diketengahkan di sini adalah kegiatan
pelestarian bangunan dapat memberikan
kontribusi dalam penciptaan ruang kota
yang berkualitas.
Pelajaran yang dapat dipetik dari pe-
ristiwa di Pangkal Pinang adalah kegiatan
pelestarian bukan saja semata-mata pe-
kerjaan rumah bagi pemerintah daerah,
namun menjadi tanggung jawab seluruh
stakeholders pembangunan. Kerja sama
warga dan pemerintah lokal menjadi
sangat relevan ketika dikaitkan dengan
tantangan global dalam pembangunan
kota yang berjati diri dan berkelanjutan.
Apresiasi dan kesadaran masyarakat
terhadap kekayaan artefak kota berupa
bangunan tua hanya dapat terjadi bila
proses pelestarian memiliki manfaat bagi
masyarakat. Oleh karena itu, harus selalu
disepakati bahwa kegiatan pelestarian
dilakukan di dalam konteks peningkatan
kualitas lingkungan binaan dengan mem-
pertimbangkan aspek sosial, budaya,
ekonomi dan ekologi. Kiranya, kini sudah
saatnya institusi pemerintah dalam
melakukan pembe-nahan fisik kotanya
harus lebih peduli dengan peninggalan
sejarah berupa bangunanbangunan tua/
bersejarah, atau kota-kota kita akan
kehilangan penggalan sejarahnya….
**Kelompok Keahlian Perancangan
Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan
dan Pengembangan Kebijakan ITB.
WACANA
Contoh kampanye pelestarian bangunan di Jerman. (Foto: Dok.)
Volume 37 • KIPRAH78
Bukan tanpa alasan kampanye
permukiman ramah lingkungan
digalakkan. Hal itu untuk mengi-
ngatkan masyarakat tentang pentingnya
arti permukiman yang sehat, aman,
nyaman, dan lestari bagi penghuninya.
Pasalnya, tidak semua orang menyadari
bahwa maraknya isu ini ditandai dengan
fenomena degradasi lingkungan yang
semakin parah sehingga menimbulkan
bencana. Berikut petikan wawancara
Kiprah dengan Rana Yusuf Nasir, Direktur
Rating dan Teknologi PT Green Building,
yang fokus pada masalah bangunan
permukiman.
Bagaimana pandangan bapak tentang
perencanaan permukiman yang ramah
lingkungan yang lebih menjamin keaman-
an dan kenyamanan bagi penghuninya?
Bila ditinjau dari upaya membangun suatu
lingkungan masyarakat yang tertib,
tenteram, dan sejahtera, pada dasarnya
berhadapan dengan faktor internal, yaitu
lingkungannya itu sendiri. Kenapa de-
mikian? Sebab ciri perkembangan kota-
kota di Indonesia umumnya terjadi secara
alami, bukan melalui suatu perencanaan
sebelumnya.
Bukankah setiap kota telah memiliki
rencana tata ruang wilayah dan perun-
tukannya?
Memang benar, meski ada perencanaan
misalnya, tetapi tumbuh kembangnya
banyak yang tanpa kendali. Hal tersebut
dapat dilihat dari pemanfaatan ruang
yang terbangun cenderung ekspansif dan
menyebar serta mengkonversi ruang-
Menuju Permukiman
Ramah Lingkungan
ruang alami yang memiliki fungsi eko-
logis, seperti okupasi daerah resapan air,
hutan situ, daerah aliran sungai, eko-
sistem pantai, dan lahan-lahan ekonomi
lainnya. Misalnya, Dampaknya sangat
merugikan. Bencana banjir, tanah longsor,
abrasi pantai, atau rusaknya biota laut,
sungai, dan sebagainya karena ling-
kungannya terganggu.
Terkait dengan pemanfaatan sumber daya
air pak, belum lama ini kita telah mem-
peringati Hari Air Sedunia (HAD) pada
tanggal 22 Maret lalu. Bagaimana Bapak
memandang persoalan sumber daya air ke
depan?
Masalah sumber daya air ke depan
semakin rumit dan kompleks. Oleh karena
itu, bukan tanpa alasan Hari Air Sedunia
dicanangkan. Hal itu mengingatkan
masyarakat dunia akan arti pentingnya
pengelolaan sumber daya air yang sus-
tainable. Pasalnya, tidak semua orang
menyadari bahwa air yang terlihat tak
terbatas itu pun bisa menjadi harta karun
yang sulit dicari. Air bersih menjadi langka
dan mahal setiap tahun, air tanah pun
menjadi sulit. Oleh sebab itu, perlu
pengelolaan sumber daya air yang me-
nyeluruh dan berkelanjutan.
Persoalan-persoalan apa saja yang akan
manjadi tantangan sehingga masalah air
ke depan semakin rumit dan kompleks?
Ya, itu tadi. Persediaan air bersih setiap
tahun cenderung semakin merosot, air
menjadi semakin mahal, akibatnya air
menjadi sumber konflik kepentingan,
sementara tarif air tanah pun kian me-
roket. Di sisi lain, budaya dan tingkat
kesadaran masyarakat tentang air dan
sumbernya masih kurang menunjang
kelestarian air. Oleh karena itu, perlu
terobosan-terobosan teknologi dalam
rangka upaya penghematan air.
Negara kita kan memiliki ketersediaan
banyak air, apa yang perlu dikhawatirkan?
Betul. Kasarnya, kita tak harus membeli
air dari negara tetangga. Tetapi, tak serta
merta bisa membuat masyarakatnya
berboros-boros menggunakan air. Seba-
gian besar dari kita mungkin sulit untuk
membayangkannya, mengingat di Indo-
nesia air bersih masih tergolong mudah
diperoleh. Coba saja bertandang ke
negara-negara tetangga yang sumber
airnya tergantung dari negara lain karena
tak mampu menghasilkan atau menge-
lola air sendiri, harganya disana bisa bekali-
kali lipat.
Dalam posisi tersebut, kita harus men-
syukuri bahwa di negara sendiri kita bisa
membeli sebotol air minum dengan harga
Rp 2000. Meski demikian, bukan berarti
kita bisa tenang-tenang. Dengan jumlah
penduduk semakin meningkat dan seiring
dengan tingginya kebutuhan dunia usaha,
kebutuhan air juga meningkat.
Bagaimana menumbuhkembangkan kesa-
daran masyarakat tentang arti pentingnya
air bagi kehidupan. Menyangkut peru-
bahan tata nilai dan perilaku budaya
masyarakat?
Pendekatan budaya hemat air harus
digalakkan. Belajar mengantisipasi kelang-
Rana Yusuf Nasir, DirekturRating dan Teknologi
PT Green Building
WACANA
79KIPRAH • Volume 37
kaan air harus mulai dilakukan secara terus
menerus. Dan itu, bisa dimulai dari diri
kita sendiri, misalnya melalui kegiatan
rumah tangga sehari hari. Selain mem-
buka kran hanya saat diperlukan dan tidak
membiarkannya mengucur tanpa man-
faat, perbaiki semua kran air yang bocor
karena tetesannya bisa menghabiskan 25
liter air setiap harinya, dan akan men-
capai 10.000 liter per tahun.
Biasakan pula anggota keluarga untuk
mandi dengan pancuran karena jauh
lebih hemat ketimbang berendam di bath-
tub atau mandi dengan gayung. Matikan
pancuran selagi memakai sabun atau
sampo. Untuk sikat gigi, biasakanlah
menggunakan gelas untuk berkumur-
kumur agar air tidak terbuang percuma
saat keran mengucur.
Saat mencuci pakaian, biasakan untuk
memisahkan pakaian yang sangat kotor
dengan pakaian yang tidak terlalu kotor
karena pembilasan pakaian yang sangat
kotor cenderung menggunakan air yang
lebih banyak. Tampung juga air dalam
wadah saat mencuci buah atau sayuran
agar sisa airnya masih bisa dimanfaatkan
untuk menyiram tanaman atau kloset
jongkok. Dan, siram air hanya pada waktu
pagi atau malam hari untuk mengurangi
evaporasi dari air tersebut. Demikian pula
untuk kepentingan-kepentingan lainnya.
Sebetulnya berapa persen sih kebutuhan
riil air rumah tangga setiap harinya? kalau
selama ini kita dianggap boros? Tentu lain
kan penggunaannya antara masyarakat
perkotaan dan perdesaan?
Sebagai gambaran, kamar mandi di
rumah umumnya menggunakan 60-70 %,
kebutuhan dapur 15%, dan sisanya untuk
keperluan lain, seperti mencuci baju dan
menyiram kebun. Dari seluruh air yang
ada di bumi , 97 % merupakan air laut, dan
dari 3 % air tawar yang tersisa, hanya 1 %
saja yang tersedia untuik digunakan
seluruh manusia. Anda bisa bayangkan,
dengan hanya 1 % air bersih yang tersedia,
seberapa lama kita bisa memanfaat-
kannya. Terlebih lagi populasi manusia di
dunia cenderung meningkat setiap
tahunnya dan manusia takkan pernah bisa
lepas dari air karena 70% tubuhnya
mengandung air.
Berdasar penelitian, setiap hari satu o-
rang perdesaan menggunakan 50 liter air
dan satu orang perkotaan menggunakan
140 liter air. Suatu jumlah yang cukup
besar. Itu sebabnya penghematan harus
dilakukan dari lingkup yang paling kecil
sekali pun. Budaya hemat air juga harus
dilakukan oleh beragam jenis dunia usaha
(hotel, restoran, rumah sakit) dalam
operasional sehari-hari, yaitu dengan
menilik konsumsi air di tiap lini.
pemanfaatan tata ruang, termasuk arsi-
tektur bangunannya. Bagaimana Bapak
melihat hal ini?
Ooh tentu. Idealnya, pembangunan harus
berdasar pada master plan yang telah
dirancang pemerintah melalui konsep
penataan ruang. Dan, penataan ruang
yang baik itu harus mengacu pada pera-
turan zonasi (UU No 26 tahun 2007
tentang Penataan Ruang). Bahkan, pada
Bab XI dengan tegas disebutkan setiap
pelanggaran terhadap peraturan ini dapat
dikenai sanksi hukuman pidana, baik bagi
masyarakat yang melakukan pelanggaran
maupun pejabat yang memberi ijin.
Kalau ini bisa dijalankan, bagus. Namun
praktiknya? Pola pemanfaatan ruang kota
kurang mendukung terwujudnya kota
yang berkelanjutan, tumbuh tak terken-
dali, dan mengkonversi ruang-ruang
alami yang memiliki fungsi ekologis.
Padahal, lahan-lahan alami tersebut
sangat penting artinya untuk menjaga
kelangsungan ekosistem. Kerusakan dan
pengrusakan yang terjadi di atasnya
menimbulkan berbagai macam bencana
alam yang sangat merugikan.
Terkait dengan penghematan energi,
harus mulai dihemat pemakaiannya, baik
itu energi listrik, minyak, dan gas bumi,
maupun energi lain dengan sentuhan
desian dan teknologi yang ramah
lingkungan, hemat, efektif, dan efisien.
Karenanya, desain perencanaan bangu-
nan menjadi sangat penting.
Di sini peran Kementerian Pekerjaan
Umum sangat vital dalam upaya pem-
binaan teknis, evaluasi, dan pengawasan
bangunannya. Selain itu juga, pemda
menyangkut perizinan dan perguruan
tinggi serta produsen properti me-
nyangkut inovasi dan solusi.
Harapan ke depan tentang permukiman?
Terwujudnya permukiman yang ramah
lingkungan aman, nyaman, sehat, dan
lestari bagi penghuni dan lingkungannya.
(Joe)
Bagaimana dukungan rekayasa teknologi
terhadap penggunaan air?
Teknologi memang bisa kita manfaatkan
untuk penghematan penggunaan air. Di
sini, produsen sanitasi dituntut untuk
selalu menciptakan inovasi yang ujungnya
menghemat air, seperti penggunaan
kloset dengan sistem dual flush atau Eco-
flush dengan tombol pembilas. Ternyata
kloset jenis ini mampu mengurangi
pemakaian air hingga 70 %. Demikian pula
penggunaan lavatory faucet, hand shower
dan shower spray yang mampu meng-
hemat air tanpa harus mengorbankan
kenyamanan.
Untuk menuju permukiman yang ramah
lingkungan, tentu penghematan juga
diberlakukan bagi penggunaan energi dan
Bukan tanpa alasan Hari Air
Sedunia dicanangkan. Hal itu
mengingatkan masyarakat
dunia akan pentingnya arti
pengelolaan sumber daya air
yang sustainable. Pasalnya,
tidak semua orang menyadari
bahwa air yang terlihat tak
terbatas itu pun bisa menjadi
harta karun yang sulit dicari.
WACANA
Volume 37 • KIPRAH80
JENDELAJENDELA
Rahma Sarita :
Cantik dan cerdas. Itulah kesan pertama yang didapat ketika
bertemu dengannya. Tak sedikit pun ekspresi lelah di
wajahnya. Padahal, ia baru saja kembali dari luar kota
malam sebelumnya. Sosoknya memang sudah lama malang
melintang di dunia pertelevisian. Belakangan, ia menyapa
pemirsa TV One sebagai News Anchor.
Selama 10 tahun, Rahma Sarita menjajaki dunia jurnalisme
pertelevisian. Awalnya, ia tak terpikir untuk menjadi seorang
presenter. “Dulu saya ingin masuk sekolah seni, tetapi tak
diizinkan orang tua,” katanya. Ya, kecintaannya pada seni lukis
memang nyaris mengantarkannya ke sekolah seni, tetapi malah
sekolah hukum yang ia jalani.
Lulus Fakultas Hukum Universitas Airlangga, wanita kelahiran
Surabaya, 7 April l975 ini mencari pekerjaan yang sesuai dengan
bidangnya. Namun, Rahma malah masuk ke TVRI Surabaya.
“Saya banyak bersyukur, justru latar belakang sekolah hukum
sangat membantu pekerjaan. Saya terlatih untuk berfikir tajam,
kritis, dan menganalisis masalah dengan cepat,” aku bungsu
dari delapan bersaudara ini.
Kariernya pun terus melonjak cepat setelah hijrah dari TVRI
Surabaya ke Jakarta. Ia kemudian bergabung dengan Metro TV,
sebelum akhirnya hinggap di TV One. Di sini, ia bertugas sebagai
News Anchor untuk Kabar Petang sekaligus sebagai produser
program. Rahma juga turun tangan dalam pengembangan Devisi
News. Karena itu, ia dituntut jeli menangkap isu-isu ekonomi
dan politik dengan cekatan.
“Dunia TV menjadi bagian yang tak terpisahkan dari saya. Saya
sangat menikmati setiap momen di sini. Semua bergerak cepat
dan selalu ada hal yang baru. Ritmenya sangat dinamis dan
menantang. Kreativitas kita juga dituntut untuk bergulir,” cerita
Rahma bersemangat.
Bekerja di lingkungan TV memang memungkinkan dirinya
bertemu dengan berbagai kalangan, termasuk travelling, yang
sangat ia sukai. “Itu yang paling saya suka dari pekerjaan ini,”
ungkap penggemar program Witness di Aljazeera TV dan The
Larry King Show di CNN. Kini Rahma juga meng-handle program
Kerah Putih dan program lainnya
Ketika ditemui Kiprah seusai memandu Acara Peluncuran Buku
BKT di Pendopo Sapta Taruna PU (30/3), ia mengatakan,
penanganan banjir Jakarta oleh Balai Besar Wilayah Sungai
Ciliwung-Cisadane sangat positif. Langkah ini merupakan
terobosan teknologi untuk mengurangi ancaman banjir,
khususnya bagi warga wilayah Jakarta Timur.
Meski gawe besar ini belum tuntas 100 persen, tetapi hasilnya
telah dirasakan oleh masyarakat. Sejauh ini keberadaan BKT
mampu memperlihatkan manfaat di kala ancaman banjir datang,
seperti pada saat datangnya musim hujan lalu. Bahkan,
tambahnya, upaya mengatasi bajir sebetulnya secara sistimatis
dan konsepsional dilakukan pemerintak kolonial Belanda sejak
tahun l918 silam.
Menurutnya, penanganan banjir memerlukan komitmen politik
yang kuat dan konsisten dari pihak pemerintah, tetapi perlu
keterlibatan semua pihak, termasuk masyarakat agar banjir dapat
dikendalikan dan dikelola secara bijak.
Ia menghimbau, selain berhasil membangun infrastruktur,
sebaiknya masalah sosial, ekonomi masyarakat yang merupakan
garapan non-struktural juga perlu diperhatikan, khususnya, bagi
mereka yang selama ini bermukim di daerah bantaran kali,
demikian juga menyangkut pembebasan lahan untuk proyek.
Terhadap masyarakat yang selama ini tinggal di kawasan
bantaran kali, perlu ditata dan diminta kesadarannya untuk
direlokasi demi terwujudnya bantaran kali yang aman, nyaman,
dan lestari.
Melihat keberhasilan BKT, kiranya menata ulang tanpa mencari
kambing hitam adalah solusi terbaik. Untuk itu, perlu kebijakan
optimal dalam mengakomodasikan kepentingan dan aspirasi
warga agar mendapat dukungan riil dari masyarakat. Selamat
untuk BKT! (Joe)
Rahma Sarita. (Foto:Dok)
Untuk Banjir
81KIPRAH • Volume 37
INFOBUKUINFOBUKU
Bagi anda warga Jakarta, ada
sebuah kabar gembira di awal
tahun 2010 ini. Ada apakah ge-
rangan? Proyek Banjir Kanal Timur (BKT)
sudah tembus ke laut dan berfungsi.
Walaupun belumlah rampung seratus
persen, garapan dari Kementerian PU ini
berfungsi untuk mengurangi potensi
genangan dan banjir yang selalu meng-
hantui Jakarta setiap musim penghujan
tiba.
Mau tahu bagaimana sejarah dan per-
juangan panjang mewujudkan proyek
yang menjadi tumpuan harapan warga
Jakarta ini? Anda bisa mengetahui hal
tersebut dari buku “Banjir Kanal Timur,
Karya Anak Bangsa”. Buku ini di tulis oleh
Robert Adhi Ksp, seorang wartawan se-
nior dari Harian Kompas berdasarkan
wawancara dengan beberapa pihak
terkait ditambah data dari sumber-
sumber literatur lainnya.
Buku ini enak untuk dibaca dan desainnya
cukup menarik. Ia juga dilengkapi dengan
ilustrasi dan foto berwarna, indeks dan
“glossary”. Walaupun berbicara me-
ngenai proyek teknik, pembahasan
didalamnya jauh dari kesan teknik yang
rumit, bahkan lebih cenderung ke gaya
penulisan feature yang lebih mengungkap
sisi humanisme.
Bagian pertama dari buku ini membi-
carakan tentang problema banjir Jakarta
Banjir Kanal Timur, Tidak PerluMenunggu Lebaran Kucing
dari penyebab hingga beberapa alternatif
solusinya. Bagian kedua berbicara ten-
tang sejarah Banjir Kanal Timur sejak
master plan Jakarta 1973 hingga banjir
besar Jakarta di awal tahun 2007 yang
membuat pemerintah mengambil kepu-
tusan untuk mempercepat pembangu-
nannya.
Beragam kesulitan yang menghadang
pembangunan proyek ini, dari masalah
pembebasan tanah, penentangan warga,
relokasi fasilitas dan utilitas umum, juga
segudang hambatan lainnya terekam jelas
di bagian ketiga, termasuk cara pe-
nyelesaiannya serta suka-duka dalam
pengerjaan proyek.
Profil Pitoyo Subandrio dan Parno, selaku
orang-orang dibalik sukses pembangunan
Banjir Kanal Timur, ditulis dalam bagian
keempat. pada bagian kelima, ditam-
pilkan pandangan dan komentar seputar
Banjir Kanal Timur dan pengendalian
banjir dari berbagai kalangan, seperti
swasta, pemerintah, LSM, dan warga
masyarakat.
Satu hal yang membanggakan tentang
proyek Banjir Kanal Timur sepanjang 23,5
km ini adalah dibangun dengan otak, otot,
dan kantong bangsa Indonesia. Selain itu
perencana dan kontraktor Indonesia ser-
ta sumber dana dari APBN/APBD sendiri!
Proyek ini bisa menjadi acuan dan model
bagi pembangunan proyek infrastruktur
strategis lainnya. Pembelajaran yang bisa
diambil dari buku ini adalah bagaimana
anggaran dikucurkan sekaligus agar pro-
yek berjalan cepat, tender yang transpa-
ran, dan bagaimana cara penyelesaian
kasus-kasus pembebasan lahan.
Menteri PU, Djoko Kirmanto, sendiri
dalam pengantar buku ini menegaskan
bahwa keberhasilan proyek BKT ini perlu
dibarengi dengan pembenahan sistem
drainase dan pemanfatan ruang agar
mampu mengatasi perso-alan banjir
secara efektif.
Di sisi lain, Jusuf Kalla dalam kata pengan-
tarnya menyoroti hitung-hitungan biaya
BKT yang sebesar 2,5 trilyun rupiah itu
ternyata terbilang murah bila dibanding-
kan dengan dampak kerugian akibat banjir
Jakarta yang menghabiskan dana 8 trilyun
per tahunnya. Ini yang membuat ia berani
mengusulkan untuk menggelontorkan
dana sekian trilyun tersebut dalam waktu
singkat untuk mempercepat pembangun-
an BKT.
Terbukti, hasilnya kini sudah kita lihat
bersama. Ini senada dengan penda-pat
Kepala Balai Besar Wilayah Ciliwung
Cisadane, Pitoyo Subandrio. Dengan dana
proyek BKT sebelumnya yang cuma
dianggarkan 60 milyar pertahun, kalau ini
terus dilan-jutkan, “Sampai lebaran
kucing, BKT baru selesai” candanya,
sebagaimana dikutip dalam buku ini. (Wy)
Deskripsi Buku
Judul : Banjir Kanal Timur, Karya Anak Bangsa
Pengarang : Robert Adhi Ksp
Impresum : Jakarta : Grasindo, 2010
Kolasi : xviii, 300 hlm : Ilus. ; 23 cm
Volume 37 • KIPRAH82
KARIKATURKARIKATUR
Goes Ise’09
83KIPRAH • Volume 37
Volume 37 • KIPRAH84