Top Banner
1. HASIL PENGAMATAN 1.1. Kinetika Fermentasi Vinegar Hasil pengamatan kinetika fermentasi dalam produksi vinegar dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kinetika Fermentasi dalam Produksi Vinegar Kel. Perlakuan Waktu MO tiap petak Ʃ ata!rata" Ʃ MO tiap petak ata!rata" Ʃ MO tiap ## O$ pH Total %sam &mg"ml' 1 ( ) * +1 ,ari %pel - S. cereviceae / 0 2 2 340 (34 x 1/ 4 /3(*1 )315 1 3)( (* */ *4 * 01 * 3// 123* x 1/ 4 /3 4)) )31* 103) *2 *) *( * 0/ *03(0 1231 x 1/ 4 13/5)1 )3( 103) 4( 11/ 5 20 22 5*340 )435 x 1/ 4 13)5(( )3)* 1)3** 5 1* (2 )* () (*340 535 x 1/ 4 /300*1 )3*/ 1)3** +( ,ari %pel - S. cereviceae / (/ 14 10 5 103(0 31 x 1/ 4 /3(050 )315 1 3)( (* ** (2 (1 0/ )0340 1*3) x 1/ 4 13010* )310 1 3)( *2 */ * * * **30/ 1432 x 1/ 4 131*)( )3(4 1 3)( 4( */ * ( 0 0)3(0 (13) x 1/ 4 13*1)4 )3)1 1*3*/ 5 (5 )( 1* 14 ()3// 53( x 1/ 4 /3*)1( )3)4 1)3** +) ,ari %pel - S. cereviceae / ) ( * )340 130 x 1/ 4 /3(12/ )314 1 3)( (* 5 04 0 0( 0230/ ()3*x 1/ 4 /3421* )31* 1 3)( *2 )( )0 * */ )23(0 103) x 1/ 4 1314* )3(0 103) 4( 1/1 51 24 20 513// ) 3* x 1/ 4 13*(51 )3)1 1*3/1 5 ( )) )1 )0 )13(0 1(30 x 1/ 4 /3))02 )3)0 1)3** +* ,ari %pel - S. cereviceae / 4 5 4 5 23// )3( x 1/ 4 /3(1)/ )315 1 3)( (* 1 / 01 0) 0 3(0 ((30 x 1/ 4 /3525 )31 1 3)( *2 (2 )) ( )1 (530/ 1132 x 1/ 4 13(10/ )3(0 1 3)( 4( 0 4 * 4 0340 ( 3) x 1/ 4 13 * 1 )3)1 1*3*/ 5 1/ * 1 2 0340 (3) x 1/ 4 /3*(54 )3) 1*3*/ 1
42

Kinetika Fermentasi Dalam Produksi Minuman Vinegar_melita Mulyani_12.70.0080_b3

Nov 05, 2015

Download

Documents

James Gomez

Pada praktikum Teknologi Fermentasi ini, dilakukan pembuatan minuman vinegar dari sari apel yang kemudian di uji kinetikanya dengan melihat jumlah sel yeast yang terbentuk dari N0 hingga N96. Selanjutnya dapat diketahui hubungan antara jumlah sel yeast dengan waktu, absorbansi, pH, dan total asam. Selain itu juga dapat diketahui hubungan antara absorbansi dan waktu
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

1. HASIL PENGAMATAN

1.1. Kinetika Fermentasi VinegarHasil pengamatan kinetika fermentasi dalam produksi vinegar dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kinetika Fermentasi dalam Produksi VinegarKel.PerlakuanWaktu MO tiap petakRata-rata/ MO tiap petakRata-rata/ MO tiap ccODpHTotal Asam (mg/ml)

1234

B1Sari Apel + S. cereviceaeN05688 6,75 2,7 x 1070,24163,1916,32

N244047465146,0018,4 x 1070,67333,1415,36

N484342465045,2518,1 x 1071,09313,2615,36

N7211096858894,7537,9 x 1071,39223,3413,44

N961428342324,75 9,9 x 1070,55413,4013,44

B2Sari Apel + S. cereviceaeN0201715915,256,1 x 1070,25953,1916,32

N244428215035,7514,3 x 1071,51543,1516,32

N484046464644,5017,8 x 1071,14323,2716,32

N724046626553,2521,3 x 1071,41373,3114,40

N962932141723,00 9,2 x 1070,43123,3713,44

B3Sari Apel + S. cereviceaeN06324 3,75 1,5 x 1070,21803,1716,32

N246957565258,5023,4 x 1070,78143,1416,32

N483235464038,2515,3 x 1071,17463,2515,36

N7210191878591,0036,4 x 1071,42913,3114,01

N962633313531,2512,5 x 1070,33583,3513,44

B4Sari Apel + S. cereviceaeN07979 8,00 3,2 x 1070,21303,1916,32

N246160515356,2522,5 x 1070,98963,1616,32

N482833263129,5011,8 x 1071,21503,2516,32

N726567646765,7526,3 x 1071,64613,3114,40

N9610418 5,75 2,3 x 1070,42973,3614,40

B5Sari Apel + S. cereviceaeN081841611,50 4,6 x 1070,32583,1816,32

N245043514747,7519,1 x 1070,79773,1716,32

N485759585757,7523,1 x 1071,13733,2415,36

N726067707768,5027,4 x 1071,45243,2814,40

N968759718375,0030,0 x 1071,16593,3114,40

Berdasarkan Tabel 1. di atas dapat diketahui bahwa perlakuan yang dilakukan pada semua kelompok sama, yaitu menggunakan sari apel yang ditambahkan kultur S. cereviceae. Dari segi jumlah biomassa sel mikroorganisme terlihat bahwa selama 5 hari, yaitu N0, N24, N48, N72 dan N96 menunjukkan rata-rata jumlah biomassa mikroorganisme tiap cc mengalami fluktuasi dan cenderung meningkat setiap harinya, kecuali pada N96 yang mengalami penurunan jumlah biomassa sel pada kelompok B1 hingga B4. Dari segi nilai OD yang diperoleh pada masing-masing kelompok mengalami peningkatan setiap harinya, namun pada N96 mengalami penurunan, sehingga dapat diketahui bahwa nilai OD tertinggi didapatkan pada N72. Selain itu, pengukuran pH yang terlihat pada N24 mengalami penurunan nilai pH, tetapi pada N48, N72, dan N96 mengalami peningkatan pada semua kelompok. Untuk total asam pada semua kelompok cenderung mengalami penurunan setiap harinya, namun adapula yang stabil / bernilai tetap dari hari sebelumnya.

1.2. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan WaktuHasil pengamatan hubungan jumlah sel mikroorganisme dengan waktu dapat dilihat pada Grafik 1.

Grafik 1. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan Waktu

Berdasarkan Grafik 1. di atas dapat diketahui bahwa hubungan antara jumlah sel mikroorganisme / cc dengan waktu untuk tiap kelompok berbeda-beda. Untuk kelompok B1, B3, dan B4 terlihat bahwa jumlah sel mikroorganisme mengalami fluktuatif. Peningkatan jumlah sel mikroorganisme terlihat pada N24, N72, namun pada N24 dan N96 mengalami penurunan. Pada kelompok B2 terlihat bahwa dari N0 hingga N72 mengalami peningkatan, namun pada N96 mengalami penurunan. Berbeda dengan kelompok B5 yang mengalami peningkatan jumlah sel mikroorganisme dari N0 hingga N96.1.3. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan AbsorbansiHasil pengamatan hubungan jumlah sel mikroorganisme dengan absorbansi dapat dilihat pada Grafik 2.

Grafik 2. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan Absorbansi

Berdasarkan Grafik 2. dapat diketahui jika hubungan antara jumlah mikroorganisme / cc dan nilai absorbansi pada masing-masing kelompok tidak sama. Secara umum dapat terliha bahwa peningkatan rata-rata jumlah mikroorganisme / cc akan diikuti pula dengan peningkatan nilai absorbansi. Namun, juga terdapat data yang menunjukkan jika penurunan rata-rata jumlah mikroorganisme / cc diikuti dengan peningkatan nilai absorbansi.

1.4. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan pHHasil pengamatan hubungan jumlah sel mikroorganisme dengan pH dapat dilihat pada Grafik 3.

Grafik 3. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan pH

Berdasarkan Grafik 3. di atas diketahui bahwa hubungan antara jumlah sel mikroorganisme / cc dengan pH masing-masing kelompok berbeda, namun secara umum semakin tinggi pH yang diperoleh, maka jumlah sel mikroorganisme akan meningkat pula. Akan tetapi pada titik ke tiga dan ke lima kelompok B1, B3, dan B4 mengalami penurunan. Selain itu, penurunan jumlah sel mikroorganisme juga terlihat pada titik ke lima kelompok B2.

1.5. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan Total AsamHasil pengamatan hubungan jumlah sel mikroorganisme dengan total asam dapat dilihat pada Grafik 4.

Grafik 4. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan Total Asam

Berdasarkan Grafik 4. di atas diketahui bahwa secara umum semakin rendah jumlah sel mikroorganisme maka total asam yang dihasilkan akan stabil atau semakin tinggi. Namun ada pula data yang menunjukkan adanya penurunan total asam pada jumlah sel mikroorganisme yang tinggi. Menurun atau meningkatnya jumlah sel pada tiap kelompok pun tidak sama seiring dengan meningkatnya total asam.

1.6. Hubungan Absorbansi dengan WaktuHasil pengamatan hubungan absorbansi dengan waktu dapat dilihat pada Grafik 5.

Grafik 5. Hubungan Absorbansi dengan Waktu

Berdasarkan Grafik 5. di atas dapat diketahui hubungan antara absorbansi dengan waktu pada masing-masing kelompok yang cenderung mengalami peningkatan nilai absorbansi tiap harinya. Namun pada N96 justru mengalami penurunan nilai absorbansi pada semua kelompok. Pada kelompok B2 juga terlihat adanya penurunan nilai absorbansi yang terjadi, yaitu pada N48.

37

2. 34

3. PEMBAHASAN

Menurut Purwoko (2007), fermentasi merupakan suatu proses yang memanfaatkan senyawa organik dalam pembentukan energi melalui transfer elektron di dalam sitoplasma. Pembentukan energi ini disebut juga sebagai fosforilasi oksidatif yang biasanya ditemukan pada organisme fermentatif. Winarno et al. (1980) menambahkan bahwa proses fermentasi terjadi akibat adanya aktivitas mikroorganisme pada substrat organik yang sesuai. Substrat tersebut harus mengandung karbon (C) dan nitrogen (N) yang akan digunakan sebagai media fermentasi untuk menghasilkan alkohol karena selama proses fermentasi akan terjadi pemecahan gula menjadi alkohol dan CO2 oleh mikroorganisme. Fermentasi inilah yang akan menyebabkan terjadinya perubahan sifat bahan pangan. Oleh karena itu, hasil fermentasi sangat dipengaruhi oleh jenis bahan pangan (substrat), macam mikroorganisme, dan proses metabolismenya. Fermentasi alkohol yang terjadi adalah salah satu proses anaerobik dari dekomposisi heksosa yang menghasilkan etanol dan CO2. Fermentasi yeast pada gula akan menghasilkan larutan yang mengandung alkohol 10-15 %.

Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan tentang kinetika fermentasi dalam produksi minuman vinegar yang berbahan dasar buah apel malang dan inokulum yeast Saccharomyces cereviceae dalam media cair. Kwartiningsih & Nuning (2005) mengungkapkan bahwa vinegar adalah produk fermentasi yang merupakan kelompok cider dan terbuat dari suatu bahan dasar yang mengandung gula atau pati menjadi alkohol yang difermentasi lagi pada proses selanjutnya. Menurut Utami et al. (1992), kinetika dalam proses pembuatan produk fermentasi sangat penting diketahui karena kinetika bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan pembentukan produk oleh suatu mikroorganisme, sehingga dapat mengetahui respon sel dari mikroorganisme tersebut. Kinetika dapat dikatakan sebagai dasar dalam suatu proses fermentasi yang perlu dipahami. Menurut Ranganna (1978), cider merupakan minuman yang mengandung alkohol cukup rendah dan diproduksi dari fermentasi sari buah atau bahan lainnya yang berpati dengan atau tanpa adanya penambahan gula oleh khamir. Herrero et al. (2006) menjelaskan bahwa dalam proses pembuatan cider terdapat dua reaksi penting yang terjadi, yaitu penggunaan gula (glukosa) oleh yeast yang dapat menghasilkan etanol dan karbondioksida serta reaksi dekarboksilasi asam malat menjadi asam laktat dan karbondioksida oleh bakteri malolaktat. Menurut Fatimah et al. (2013) dalam jurnalnya yang berjudul Kinetika Reaksi Fermentasi Alkohol dari Buah Salak, pada ekstrak buah-buahan maupun biji-bijian akan terjadi peristiwa fermentasi yang ditunjukkan dengan adanya aktivitas yeast. Yeast ini akan memfermentasi glukosa, fruktosa serta maltosa menjadi bioetanol. Namun masing-masing spesies dari yeast memiliki perbedaan dalam hal kecepatan pertumbuhan dan kecepatan dalam mempergunakan gula yang terkandung. Dalam fermentasi bioetanol tersebut terdapat beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi, diantaranya adalah bahan dasar dan nutrisi substrat yang digunakan dalam proses fermentasi; suhu fermentasi yang menunjukkan suhu optimal untuk pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme; pH yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme; konsentrasi substrat yang digunakan karena konsentrasi substrat yang berlebihan justru dapat mengakibatkan kematian mikroorganisme; serta waktu fermentasi.

3.1. Bahan dan Cara KerjaPraktikum pembuatan vinegar diawali dengan mengambil sari apel dari buah apel malang menggunakan juicer. Penggunaan sari apel sesuai dengan pernyataan Nogueira et al. (2008) bahwa sari apel berasal dari pengepresan buah apel yang apabila difermentasi akan menghasilkan alkohol, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan vinegar apel. Walaupun mengandung alkohol, namun alkohol yang terkandung dalam vinegar apel cenderung memiliki kadar yang rendah. Realita & Debby (2010) menambahkan bahwa sebenarnya semua jenis buah dengan kandungan gula yang cukup dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan vinegar. Namun buah apel sering digunakan karena menurut Margantan (2001), apel mengandung vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, vitamin C, kalsium, fosfor, besi, dan serat pangan yang baik untuk kesehatan. Selain itu juga mengandung antioksidan dan membantu perbaikan metabolisme tubuh. Ikhsan (1997) menjelaskan bahwa penghancuran apel dengan menggunakan juicer bertujuan untuk mengeluarkan gula yang terkandung di dalam apel, sehingga akan lebih mudah diuraikan oleh mikroorganisme yang berperan dalam proses fermentasi.

Vinegar dapat dibuat dari berbagai jenis buah, namun buah tersebut harus mengandung kadar gula yang cukup karena menurut Ikhsan (1997), kadar gula sari buah merupakan faktor yang penting dalam proses fermentasi. Gula mempunyai peran sebagai sumber karbon dalam metabolisme yeast. Komponen utama terdapat dalam air buah yaitu gula sebagai sumber kalori dan vitamin C. Untuk sari buah sebaiknya dipilih buah-buahan yang rata-rata mengandung air lebih dari 60% dari beratnya. Hal ini sesuai dengan teori Damtew et al. (2012) dalam jurnalnya yang berjudul Evaluation of Growth Kinetics and Biomass Yield Efficiency of Industrial Yeast Strains bahwa pertumbuhan khamir Saccharomyces cereviceae hanya akan terjadi jika terdapat kandungan gula dalam jumlah yang cukup tinggi karena kandungan gula tersebut merupakan sumber karbon utama yang akan difermentasi oleh yeast menjadi karbondioksida dan alkohol (etanol). Oleh karena itu, yeast sering digunakan dalam pembuatan minuman beralkohol, pembentukan biomassa, serta produk metabolit lainnya. Setelah didapatkan sari apel dari juicer, langkah selanjutnya adalah penyaringan dengan menggunakan kain saring. Hal ini dilakukan agar ampas dari buah apel tidak ikut sebagai media pertumbuhan karena berdasarkan teori Ikhsan (1997), sari buah yang benar-benar terbebas dari ampasnya akan menyebabkan tingkat kekeruhan yang rendah pada proses pembuatan vinegar.

Gambar 1. Penyaringan Sari Apel Malang

Kemudian sebanyak 250 ml sari apel yang akan dijadikan sebagai media pertumbuhan dimasukkan dalam botol kaca dan disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Wang et al. (2004) menjelaskan bahwa proses sterilisasi dilakukan dengan tujuan untuk membunuh semua mikrooganisme kontaminan yang tidak diinginkan dalam proses fermentasi. Setelah disterilisasi, sari apel dibiarkan dingin terlebih dahulu dengan merendamnya dalam air untuk menurunkan suhu supaya suhu dari sari apel sesuai dengan suhu tumbuh dari yeast. Hal ini sesuai dengan pernyataan Muljohardjo (1988) yang menyatakan bahwa penurunan suhu dilakukan untuk mencegah yeast S. cereviceae yang berperan dalam proses fermentasi mati karena yeast tersebut tidak tahan terhadap panas. Kumalasari (2011) menambahkan pula bahwa jika suhu terlalu rendah, maka proses fermentasi akan berlangsung sangat lambat, sedangkan jika suhu terlalu tinggi maka Saccharomyces cereviceae dapat mati sehingga fermentasi tidak dapat berlangsung.

Gambar 2. Pengukuran Volume Sari ApelGambar 3. Pemasukan Sari Apel dalam Botol Kaca

Gambar 4. Sari Apel dalam Botol Kaca yang Siap Disterilisasi

Gambar 5. Peletakan dalam AutoklafGambar 6. Proses Sterilisasi Sari Apel

Gambar 7. Penurunan Suhu Sari Apel

Selanjutnya biakan yeast Saccharomyces cereviceae yang sudah tersedia diambil sebanyak 30 ml dengan menggunakan pipet volume dan dimasukkan ke dalam sari apel. Pengambilan biakan ini harus secara aseptis dalam LAF (Laminar Air Flow) yang sudah mengalami tahap penyinaran UV. Menurut Hadioetomo (1993), perlakuan aseptis dilakukan untuk menghindari adanya kontaminasi oleh mikroorganisme kontaminan lain dan mencegah adanya infeksi dari bakteri yang merugikan. Untuk memperoleh kondisi aseptis ini, maka sebelum melakukan pengambilan dan pemindahan kultur, tangan dan meja dalam LAF harus disemprotkan dengan alkohol, serta selama pengambilan dan pemindahan kultur dilakukan di dekat bunsen api.

Gambar 8. Pemindahan Kultur Yeast

Berdasarkan jurnal berjudul Optimization of Process Parameters for Vinegar Production Using Banana Fermentation yang ditulis oleh Saha & Banerjee (2013), sebenarnya fermentasi yang terjadi dalam pembuatan vinegar terdiri dari dua tahapan yang melibatkan yeast dan bakteri. Awalnya yeast akan berperan dalam fermentasi gula menjadi etanol dalam kondisi yang anaerob terlebih dahulu, kemudian adapula tahapan perubahan oksidasi etanol menjadi asam asetat secara aerob oleh bakteri jenis Acetobacter. Hal ini didukung pula oleh pernyataan Kwartiningsih & Nuning (2005) yang mengungkapkan pula bahwa fermentasi vinegar meliputi dua tahapan, yaitu fermentasi pembentukan alkohol yang melibatkan Saccharomyces cereviceae dan fermentasi pembentukan asam asetat yang melibatkan Acetobacter aceti.

Namun dalam praktikum ini jenis mikroorganisme yang diinokulasikan hanya yeast dengan spesies Saccharomyces cereviceae. Fardiaz (1992) menjelaskan bahwa Saccharomyces sp. merupakan salah satu jenis yeast yang memiliki sel dengan bentuk bulat, oval, memanjang, atau pseudomiselium. Saccharomyces akan berkembang biak dengan cara tunas yang bersifat multipolar atau dengan pembentukan askospora. Spesies yang paling umum digunakan dalam industri makanan adalah Saccharomyces cereviceae yang dimanfaatkan dalam pembuatan roti, produk alkohol, brem, cider, anggur, gliserol dan enzim invertase. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Kulkarni et al. (2011) bahwa Saccharomyces cereviceae banyak digunakan untuk membuat produk beralkohol, seperti wine, bir, roti, dan sake. Arthey & Ashurst (1998) menyatakan bahwa proses fermentasi vinegar dilakukan oleh strain Saccharomyces spp., khususnya S. cereviceae, S. bayanus, S. uvarum yang ditambahkan ke dalam sari buah sebagai kultur murni. Pada umumnya, Saccharomyces cereviceae paling banyak digunakan karena menurut Wang et al. (2004), S. cereviceae mampu mengkonversi gula menjadi alkohol tanpa menghasilkan off-flavor. Astawan & Astawan (1991) menambahkan bahwa suhu optimum untuk fermentasi adalah 22-27o C, dimana pada proses fermentasi, gula akan diubah menjadi alkohol dan CO2 dengan menggunakan reaksi enzimatik yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Reed & Rehm (1983) mengungkapkan pula bahwa jenis yeast Saccharomyces cereviceae termasuk dalam bakers yeast yaitu jenis yeast yang dapat diproduksi dalam skala industri dan merupakan jenis yeast top-fermentative (yeast fermentasi permukaan).

Sari apel yang sudah ditambahkan dengan biakan Saccharomyces cereviceae lalu dikocok hingga rata dan diambil sebanyak 25 ml dengan pengambilan secara aseptis menggunakan pipet volume dan dipindahkan pada gelas ukur secara aseptis untuk diuji jumlah biomassa yang terbentuk dengan menggunakan haemocytometer dan diukur nilai Optical Density (OD) dengan spektrofotometer, pH, dan total asam dengan metode titrasi. Media pertumbuhan dan yeast yang tersisa selanjutnya diinkubasi dengan perlakuan shaker pada suhu ruang (25-30oC) selama 5 hari. Kemudian setiap 24 jam dilakukan pengambilan sampel sebanyak 25 ml secara aseptis untuk diuji jumlah biomassa, nilai OD, pH, dan total asam. Pengaplikasian suhu ruang sebagai suhu inkubasi sesuai dengan teori Fardiaz (1992) bahwa kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan yeast yaitu 25-30oC dan suhu maksimumnya 37-47oC. Said (1987) menjelaskan bahwa proses inkubasi yang dilakukan dengan menggunakan shaker bertujuan sebagai salah satu cara untuk mensuplai oksigen dan karbon bagi media pertumbuhan, sehingga dapat membantu pertumbuhan yeast secara aerobik. Dengan kata lain, peran dari tahap inkubasi menggunakan shaker adalah sebagai aerasi. Ahmad et al. (2011) mengungkapkan bahwa aerasi merupakan salah satu hal penting yang harus dilakukan selama proses fermentasi menggunakan yeast Saccharomyces cereviceae. Selain itu, tahap inkubasi dengan shaker juga berfungsi sebagai agitasi yang merupakan tahap pengadukan supaya sel mikroorganisme bercampur rata dalam media pertumbuhan. Hal ini diperkuat dengan teori Stanburry & Whitaker (1984) bahwa pengadukan memiliki dua fungsi utama, yaitu untuk menurunkan ukuran gelembung-gelembung udara yang diperoleh dan untuk mempertahankan kondisi lingkungan yang stabil di dalam wadah.

Gambar 9. Pengambilan Sampel

Gambar 10. Sampel Siap Uji

Gambar 11. Tahap Inkubasi dengan Shaker

Selama inkubasi, botol kaca juga harus dalam keadaan tertutup dengan tujuan untuk mencegah kontaminasi dari udara luar. Rahman (1992) menjelaskan bahwa penutup yang digunakan dapat menggunakan kapas, busa, plastik, aluminium foil atau bahan lain yang dapat menjaga kesterilan media. Hal ini sesuai dengan yang dilakukan pada praktikum kali ini, dimana botol kaca ditutup dengan menggunakan plastik yang sudah disterilisasi. Proses analisa pada praktikum kali ini meliputi 4 hal, yaitu pengukuran biomassa dengan haemocytometer, penentuan nilai OD / absorbansi menggunakan spektrofotometer, pengukuran pH minuman vinegar, dan penentuan total asam selama fermentasi.

Pengukuran biomassa dilakukan dengan pengambilan sampel menggunakan pipet tetes, lalu sampel diteteskan di atas plat haemocytometer yang sudah dibersihkan dengan alkohol dan dikeringkan dengan tissue. Penuangan sampel harus dilakukan dengan hati-hati dan tidak boleh terdapat gelembung karena akan mempengaruhi penghitungan jumlah biomassa. Kemudian plat haemocytometer ditutup dengan kaca objek yang telah dibersihkan dengan alkohol dan dikeringkan dengan tissue. Selanjutnya diletakkan di bawah mikroskop dan diamati. Hal-hal tersebut dilakukan untuk menguji tingkat kepadatan Saccharomyces cereviceae dalam vinegar selama 5 hari (N0, N24, N48, N72 dan N96). Penggunaan alat haemocytometer sesuai dengan teori Hadioetomo (1993) bahwa haemocytometer merupakan suatu ruang hitung yang berbentuk petak-petak kecil dan biasa digunakan untuk menghitung jumlah sel di bawah mikroskop. Chen & Chiang (2011) menambahkan pula bahwa haemocytometer merupakan alat yang digunakan untuk menghitung konsentrasi sel yang rendah dengan cepat, dimana haemocytometer memiliki beberapa ruang dengan batas garis-garis yang dapat dilihat pada mikroskop. Haemocytometer ini dibuat dengan sangat teliti, sehingga lebar dan kedalaman garis sudah diketahui dengan pasti. Hal ini akan membantu dalam penghitungan jumlah sel yang ada dalam cairan. Pada haemocytometer terdapat 9 kotak besar yang dibatasi dengan 3 garis di setiap sisinya dan di dalamnya terdapat kotak kecil sejumlah 16 buah yang dibatasi dengan sebuah garis. Pada praktikum ini, jumlah sel yang dihitung merupakan jumlah sel yang terdapat dalam 4 kotak besar. Jumlah yeast yang terdapat dalam media dihitung dengan menggunakan bantuan handcounter. Jumlah sel yang terhitung pada keempat kotak haemocytometer selanjutnya dirata-rata dan dicatat. Metode yang digunakan dalam pengukuran biomassa pada praktikum ini sesuai pula dengan teori Atlas (1984) yang menyatakan bahwa dalam pengukuran biomassa sel menggunakan alat haemocytometer, awalnya sampel diambil dengan menggunakan pipet tetes, kemudian diteteskan di atas plat haemocytometer lalu ditutup dengan penutup kaca tipis dan diamati dengan mikroskop.

Gambar 12. Penetesan Sampel pada Plat HaemocytometerGambar 13. Plat Haemocytometer Siap Diamati pada Mikroskop

Gambar 14. Plat Haemocytometer(Brewers, 2012)

Dengan menggunakan alat haemocytometer maka dapat dihitung jumlah sel mikroorganisme tersebut menggunakan rumus:

Keterangan:Volume petak = 0,05 mm x 0,05 mm x 0,1 mm

Selain menggunakan haemocytometer, kinetika pertumbuhan mikroba pada praktikum ini juga diketahui dengan pengukuran nilai OD menggunakan spektrofotometer pada 3 ml vinegar apel. Pengukuran OD ini dilakukan dengan menggunakan panjang gelombang 660 nm. Penggunaan panjang gelombang ini sesuai dengan teori Sevda & Rodrigues (2011) dalam jurnalnya yang berjudul Fermentative Behavior of Saccharomyces Strains During Guava (Psidium Guajava L) Must Fermentation and Optimization of Guava Wine Production bahwa pengukuran OD untuk mengetahui jumlah Saccharomyces cereviceae dilakukan dengan panjang gelombang 660 nm Di dalam jurnal tersebut juga dilakukan penghitungan jumlah biomassa Saccharomyces pada guava wine dengan menggunakan haemocytometer. Kondisi optimum fermentasi Saccharomyces cereviceae pada produk guava wine pun terlihat pada suhu fermentasi 25oC, pH 4, dan tingkat inokulum 6%, sehingga akan memberikan kualitas yang baik dari guava wine. Hasil absorbansi yang diperoleh pada pengukuran OD pun dapat dicatat. Pengukuran OD ini juga dilakukan selama 5 hari berturut-turut.

Gambar 15. Pengukuran OD dengan Spektrofotometer

Selanjutnya untuk pengukuran pH digunakan sampel sebanyak 10 ml dengan menggunakan pH meter. Nilai pH yang terukur lalu dicatat. Tranggono et al. (1989) menjelaskan bahwa pH merupakan konsentrasi ion hidrogen sebagian besar larutan atau merupakan logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen, sedangkan menurut Martoharsono (1994), pH merupakan ukuran kekuatan suatu asam. Langkah kerja praktikum ini juga sudah sesuai dengan teori Martoharsono (1994) bahwa pH dari suatu larutan dapat diukur dengan beberapa cara, yaitu dengan metode titrasi, kertas lakmus, atau pH meter yang akan mendapatkan hasil yang lebih teliti.

Gambar 16. Pengujian pH dengan pH meter

Analisa keempat yaitu analisa total asam yang dilakukan dengan menggunakan metode titrasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Solomon (1987) bahwa metode titrasi dapat bertujuan untuk mengukur kesamaan karena asam dapat dinetralisasi oleh penambahan basa dan basa dapat secara lengkap dinetralisasi oleh asam. Petrucci (1992) menambahkan bahwa titrasi berguna untuk menentukan secara kuantitatif senyawa yang akan ditentukan dengan pereaksi yang terkandung pada larutan pengukur. Dalam titrasi dibutuhkan suatu indikator pula yang dapat menunjukkan terjadinya perubahan warna. Perubahan warna ini akan menentukan titik dimana asam dan basa yang digunakan dalam reaksi penetralan dapat bereaksi dengan tepat. Oleh karena itu diperlukan perlakuan yang sangat hati-hati dan teliti ketika menambahkan asam ke basa atau basa ke asam, sehingga tidak melewati titik akhir titrasi karena titik akhir titrasi ini ditandai dengan perubahan warna pada indikator.

Pengukuran total asam selama fermentasi vinegar pada praktikum ini dilakukan dengan menyiapkan sampel sari apel dengan biakan yeast sebanyak 10 ml lalu ditambahkan dengan 2 tetes indikator PP dan dititrasi dengan menggunakan NaOH 0,1 N. Penggunaan PP sebagai indikator telah sesuai dengan teori Chang (1991) bahwa penggunaan indikator disesuaikan dengan penggunaan titran. Oleh karena titran yang digunakan dalam praktikum ini adalah NaOH yang bersifat basa, maka sesuai jika menggunakan indikator PP, dimana ketika indikator PP bereaksi dengan basa maka akan menghasilkan warna merah muda, tetapi indikator PP tidak akan berwarna jika berada dalam larutan netral ataupun asam. Penggunaan NaOH sebagai titran juga sesuai dengan teori Petrucci & Suminar (1987) yang menjelaskan bahwa titrasi biasanya menggunakan larutan asam kuat atau basa kuat. Titrasi pun dapat dihentikan apabila sampel telah berubah warna menjadi merah muda. Selanjutnya, jumlah NaOH yang dibutuhkan untuk titrasi dicatat. Total asam dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

3.2. Hasil PengamatanBerdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh pada masing-masing kelompok terlihat berbeda satu sama lain, dimana ada terdapat data yang bersifat fluktuatif (naik dan turun secara tidak teratur) meskipun menggunakan perlakuan dan bahan yang sama. Pada kelompok B1, B3, dan B4, rata-rata jumlah mikroorganisme tiap cc nya mengalami peningkatan, namun pada N48 dan N96 mengalami penurunan dari hari sebelumnya. Pada kelompok B2 rata-rata jumlah mikroorganisme tiap cc nya mengalami peningkatan, namun hanya pada N96 yang mengalami penurunan jumlah sel, sedangkan pada kelompok B5 mengalami peningkatan terus menerus setiap harinya. Jika dilihat dari nilai OD dan pH masing-masing kelompok mengalami peningkatan pula, namun pada N24 mengalami penurunan nilai pH dan pada N96 mengalami penurunan nilai OD. Untuk total asam cenderung mengalami penurunan dan bersifat stabil pada setiap kelompok. Fardiaz (1992) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi hasil pengamatan yang berbeda-beda, diantaranya adalah faktor lingkungan yang berbeda pada tiap harinya, sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Faktor lingkungan yang dimaksud adalah suhu, kelembaban, oksigen, dan pH lingkungan. Sener et al. (2007) menambahkan bahwa proses fermentasi akan berlangsung dengan baik jika dilakukan pada suhu ruang, yaitu sekitar 25oC dan jika suhu terlalu rendah maka pertumbuhan sel yeast dapat terhambat, sedangkan jika suhu inkubasi terlalu tinggi maka kerja enzim akan terganggu dan akan menghambat berlangsungnya proses fermentasi.

3.2.1. Hubungan Antara Sel Mikroorganisme dengan WaktuBerdasarkan dari grafik yang menunjukkan hubungan antara sel mikroorganisme dan waktu dapat diketahui pada masing-masing kelompok cenderung mengalami peningkatan tiap harinya, namun pada N48 dan N96 justru mengalami penurunan pada kelompok B1, B3, dan B4, sedangkan pada kelompok B2 menurun pada N96 saja. Fardiaz (1992) menjelaskan bahwa pada awal inkubasi, mikroorganisme akan melalui fase lag, dimana mikroorganisme melakukan adaptasi dengan lingkungannya, namun selanjutnya mikroorganisme akan memasuki fase log, dimana akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme yang cepat sehingga jumlah sel mikroorganisme akan bertambah banyak setiap harinya. Hal ini kurang sesuai dengan hasil pengamatan yang menunjukkan jumlah sel yang fluktuatif. Penurunan sel mikroorganisme yang terjadi pada N48 tidak sesuai pula dengan pernyataan Triwahyuni et al. (2012) bahwa seharusnya selama proses fermentasi maka sel yeast akan mengalami pertumbuhan yang sangat cepat pada masa inkubasi 24-48 jam, sehingga pada jam ke-48, pertumbuhan yeast berada pada fase eksponensial, dimana jumlah yeast akan meningkat sangat tinggi. Namun setelah waktu inkubasi melebihi 48 jam, maka sel yeast akan memasuki fase stasioner karena sumber media yang digunakan sudah semakin terbatas jumlahnya. Setelah fase stasioner, sel mikroorganisme akan memasuki fase kematian yang menyebebakan jumlah sel yeast dalam mengalami pertumbuhan yang rendah bahkan cenderung tidak bertumbuh kembali dikarenakan media sudah habis. Akan tetapi hasil pengamatan pada praktikum ini telah sesuai dengan penelitian Nogueira et al. (2008) yang bertujuan untuk menentukan pengaruh reduksi biomassa pada proses fermentasi dan kualitas wine apel, dimana terlihat bahwa semakin lama waktu, diketahui bahwa jumlah sel yeast akan semakin meningkat, namun setelah 2 hari fermentasi, pertumbuhan yeast akan menurun karena nutrisi telah habis digunakan.

Sari et al. (2008) juga mengatakan bahwa proses fermentasi yang dilakukan lebih dari 3 hari dapat mengurangi kadar alkohol yang ditandai dengan penurunan jumlah sel yeast. Amenaghawon et al. (2012) menambahkan bahwa kematian yeast dapat terjadi akibat keberadaan etanol yang diproduksi oleh yeast dalam jumlah yang besar. Etanol ini akan dihasilkan dari gula selama proses fermentasi berlangsung, sehingga gula akan habis menjadi etanol. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya akumulasi etanol pada media, sehingga dapat menghambat maupun menghentikan pertumbuhan yeast. Penurunan jumlah mikroorganisme pada fase akhir sesuai dengan hasil pengamatan yang dilakukan pada praktikum ini, dimana jumlah sel pada N96 mengalami penurunan pada semua kelompok. Akan tetapi ketidaksesuaian justru terlihat pada kelompok B5 yang mengalami peningkatan jumlah sel pada N96. Ketidaksesuaian ini dapat terjadi dikarenakan pengambilan jumlah mikroorganisme yang tidak merata dan dalam melakukan penghitungan jumlah sel kurang teliti karena sel yeast yang terlihat saling bergerombol. Hal ini didukung oleh pernyataan Atlas (1984) yang menyatakan bahwa penghitungan jumlah sel dengan menggunakan plat haemocytometer akan dipengaruhi oleh pencampuran sampel, dimana saat penetesan sampel tidak diperbolehkan adanya gelembung. Clark (2007) mengungkapkan pula bahwa peningkatan jumlah sel akan sebanding dengan lamanya waktu fermentasi, namun pada N96 akan mengalami penurunan karena mikroorganisme berada pada fase akhir atau fase kematian.

Gambar 17. Fase Pertumbuhan Mikrobia(Ingraham et al., 2007)

N0N24N48

N72N96

Gambar 18. Hasil Uji Haemocytometer Di Bawah Mikroskop

3.2.2. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan AbsorbansiMenurut Wilford (1987), nilai absorbansi larutan merupakan nilai konstan dari intensitas penyerapan cahaya yang dipengaruhi oleh konsentrasi larutan. Larutan dengan konsentrasi yang tinggi (pekat) akan menimbulkan kekeruhan yang akan menghasilkan nilai absorbansi yang semakin tinggi. Jomdecha & Prateepasen (2006) menambahkan bahwa jumlah sinar yang dihambat akan berbanding lurus dengan massa sel yang ada, sehingga semakin banyak jumlah sel maka sinar yang dihamburkan akan semakin banyak, jadi seharusnya nilai absorbansi akan meningkat dengan meningkatnya jumlah sel mikroorganisme. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Rahman (1992) bahwa sampel yang semakin keruh menunjukkan semakin tingginya aktivitas dari sel yeast untuk mengubah gula menjadi alkohol dan hasil metabolit lainnya, sehingga dapat diketahui bahwa hubungan antara OD dan jumlah sel mikroorganisme akan berbanding lurus. Hal tersebut juga diperkuat dengan teori Anagnostopoulos et al. (2010) bahwa semakin tinggi jumlah sel mikroorganisme per cc, maka tingkat kekeruhannya akan semakin tinggi.

Berdasarkan teori tersebut, hasil pengamatan praktikum yang terlihat pada grafik hubungan jumlah sel mikroorganisme dengan absorbansi tidak sesuai dengan teori, karena hasil yang diperoleh bersifat fluktuatif, meskipun terdapat data yang menunjukan bahwa semakin banyak jumlah sel mikroorganisme, maka nilai OD yang dihasilkan semakin tinggi pula. Ketidaksesuaian ini dapat terjadi dikarenakan masih adanya ampas sari kelapa yang ikut terbawa dalam sampel yang akan dilakukan pengukuran OD dengan spektrofotometer, sehingga ampas / pengotor ini akan menghalangi sinar yang masuk. Pomeranz & Meloan (1994) mengungkapkan bahwa selain adanya pengotor, kondisi kuvet yang tergores, dan keberadaan gelembung udara dalam larutan juga dapat mempengaruhi hasil OD yang terbaca. Penggunaan alat spektrofotometer untuk pengukuran absorbansi / OD pada praktikum ini sesuai dengan teori Rahman (1992) bahwa prinsip kerja spektrofotometer yaitu jika sebuah cahaya jatuh pada medium yang homogen, maka sebagian sinar yang masuk akan dipantulkan dengan sudut yang berbeda, sebagian lainnya akan diserap oleh medium tersebut, dan sisanya lagi akan diteruskan. Nilai yang diperoleh melalui pengukuran tersebut adalah nilai yang tidak diserap maupun yang tidak dipantulkan oleh medium, dan nilai tersebut dapat disebut pula nilai absorbansi atau Optical Density (OD).

3.2.3. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan pHBerdasarkan grafik hubungan jumlah sel mikroorganisme dengan pH terlihat bahwa peningkatan jumlah sel mikroorganisme cenderung diikuti dengan peningkatan nilai pH tiap harinya, meskipun ada pula data yang menunjukkan hubungan yang tidak sebanding yaitu peningkatan jumlah sel tidak diikuti pula dengan peningkatan nilai pH. Yalcin & Ozbas (2008) menjelaskan bahwa tingkat keasaman akan mempengaruhi proses fermentasi yang berlangsung. Ketika pH tinggi, maka akan menurunkan laju produksi biomassa sel yeast dikarenakan sel yeast dapat tumbuh optimum ketika pH 4.

Triwahyuni et al. (2012) mengungkapkan bahwa selama proses fermentasi berlangsung, maka akan terjadi peningkatan jumlah sel yeast hingga pada waktu tertentu sebelum sel yeast mati. Ketika jumlah sel yeast ini meningkat, maka produksi etanol (alkohol) juga meningkat, sehingga akan terjadi penurunan nilai pH karena alkohol bersifat asam. Berdasarkan teori tersebut, hasil praktikum kali ini tidak sesuai. Ketidaksesuaian ini diperkuat pula oleh pernyataan Azizah et al. (2012) dalam jurnalnya yang berjudul Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Alkohol, pH, dan Produksi Gas Pada Proses Fermentasi Bioetanol dari Whey dengan Substrat Kulit Nanas bahwa Saccharomyces cereviceae merupakan yeast yang bersifat homofermentatif dan menghasilkan alkohol yang bersifat asam, sehingga selama proses fermentasi, maka alkohol yang terbentuk akan semakin banyak dan menyebabkan pH menjadi semakin rendah (asam). Dalam jurnal tersebut dijelaskan pula bahwa lama fermentasi berkaitan pula dengan pertumbuhan Saccharomyces cereviceae yang mengikuti kurva pertumbuhan mikroorganisme. Selain itu, Kartohardjono et al. (2007) juga menjelaskan bahwa CO2 yang dihasilkan selama proses fermentasi bersifat gas asam (acid whey), sehingga CO2 yang dihasilkan oleh sel yeast selama proses fermentasi akan berpengaruh terhadap nilai pH yang dihasilkan pula. Menurut Gurvinder & Pooja (2011) diketahui pula bahwa pada media pertumbuhan S. cerevisiae, kadar keasaman atau pH menjadi sangat penting karena dapat mempengaruhi keberhasilan proses fermentasi sebab secara langsung akan mempengaruhi pertumbuhan khamir S. cerevisiae, sehingga jumlah etanol yang terbentuk dan karakteristik sensori dari produk akhir yang diinginkan akan berpengaruh.

3.2.4. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan Total AsamPengukuran total asam pada praktikum ini dilakukan dengan menggunakan metode titrasi. Menurut Nogueira et al. (2007), pengurangan jumlah biomassa sel justru dilakukan untuk menjaga kemanisan alami dari vinegar dan mengontrol kecepatan fermentasi, oleh karena itu dapat diketahui dengan berkurangnya jumlah biomassa sel maka tingkat keasaman dari vinegar yang dihasilkan akan berkurang pula. Berdasarkan hasil pengamatan terlihat bahwa warna yang dihasilkan setelah titrasi menunjukkan warna coklat tua dan bukan merah muda. Hal ini dapat disebabkan karena warna awal vinegar yang sudah berwarna merah hingga oranye. Hal tersebut didukung pula oleh pernyataan Sreeramulu et al. (2000) yang menyatakan bahwa dengan semakin lamanya waktu fermentasi maka akan menyebabkan peningkatan jumlah sel yeast hingga pada suatu titik tertentu yeast akan melakukan aktivitas metabolisme terhadap gula pada substrat untuk diubah menjadi sejumlah asam organik. Dengan pembentukan asam organik ini, maka nilai pH yang dihasilkan akan semakin rendah. Asam organik tersebut dapat bersifat asam karena adanya pelepasan proton (H+). Dengan begitu semakin lama waktu fermentasi, jumlah sel yeast yang menghasilkan asam organik akan meningkat pula sehingga total asam bertambah banyak, sedangkan nilai pH semakin menurun. Berdasarkan teori tersebut, hasil pengamatan yang didapatkan pada praktikum ini kurang sesuai karena ada pula beberapa data yang peningkatan selnya tidak diikuti dengan penambahan total asam. Hal ini dapat disebabkan karena penghitungan total asam dengan titrasi tidak terlalu akurat akibat perbedaan persepsi antar praktikan dalam menentukan titik akhir titrasi. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Girindra (1986) bahwa ketika melakukan titrasi sebaiknya bagian bawah Erlenmeyer dialasi dengan kertas putih, sehingga ketika terjadi perubahan warna pada larutan sampel, maka dapat terlihat dengan jelas.

Day & Underwood (1992) menambahkan bahwa titrasi sebaiknya dilakukan perlahan agar larutan titran yang digunakan dalam titrasi tidak menempel pada dinding buret. Titrasi secara cepat sebenarnya dapat dilakukan, tetapi pembacaan volume titran harus ditunggu beberapa saat setelah mencapai titik akhir titrasi selesai. Hal tersebut dilakukan agar larutan titran yang masih menempel di dinding buret dapat turun secara perlahan-lahan. Dalam melakukan titrasi, pembacaan volume zat titran dilakukan dengan membaca meniskus cekung larutan.

Gambar 19. Sampel Setelah Titrasi

3.2.5. Hubungan Absorbansi dengan WaktuRahman (1992) menjelaskan bahwa aktivitas yeast selama proses fermentasi dapat mengubah gula yang terkandung dalam substrat menjadi alkohol dan beberapa hasil metabolit lainnya. Dengan produksi berbagai macam metabolit tersebut, maka warna larutan akan menjadi semakin keruh. Dengan semakin keruhnya sampel, maka nilai %T yang merupakan rasio antara intensitas yang diteruskan dengan intensitas cahaya mula-mula semakin kecil, sehingga nilai absorbansi / optical density yang terukur akan semakin tinggi. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Jomdecha & Prateepasen (2006) bahwa semakin lama waktu fermentasi yang berlangsung maka nilai absorbansi yang dihasilkan semakin tinggi dikarenakan jumlah sel yeast yang tumbuh selama fermentasi tersebut semakin banyak jumlahnya, namun pada tahap akhir fermentasi (N96) akan mengalami penurunan jumlah mikroorganisme karena berada pada fase kematian. Teori tersebut telah sesuai dengan hasil praktikum kali ini, dimana semakin lama waktu fermentasi, maka nilai OD yang dihasilkan semakin tinggi, namun pada N96 terjadi penurunan nilai OD pada setiap kelompok. Dengan demikian maka semakin banyaknya jumlah sel seiring berjalannya waktu fermentasi, maka larutan seharusnya akan semakin keruh dan akan menghasilkan nilai absorbansi yang tinggi.

Berdasarkan grafik hasil pengamatan hubungan absorbansi dengan waktu pada praktikum ini terlihat bahwa terdapat ketidaksesuaian data OD pada N48 kelompok B2 yang mengalami penurunan dari hari sebelumnya. Menurut Ewing (1976), hal ini dapat terjadi disebabkan karena penempatan kuvet yang tidak tepat, kuvet yang digunakan kotor, dan terdapat pengotor pada sampel yang akan dilakukan pengujian OD dengan spektrofotometer. Laily et al. (2004) menambahkan bahwa nilai OD menunjukkan terjadinya fase pertumbuhan bakteri yang sangat jelas. Nilai OD ini akan stabil pada fase adaptasi, namun nilai kekeruhan akan mengalami peningkatan saat masuk fase eksponensial karena adanya penambahan jumlah sel.

4. 5. KESIMPULAN

Vinegar merupakan produk fermentasi kelompok cider dan terbuat dari bahan dasar yang mengandung gula atau pati menjadi alkohol. Kinetika bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan pembentukan produk oleh suatu mikroorganisme, sehingga dapat mengetahui respon sel dari mikroorganisme. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses bioetanol adalah bahan dasar dan nutrisi substrat; suhu; pH; konsentrasi substrat; serta waktu fermentasi. Kadar gula merupakan faktor yang penting dalam proses fermentasi karena berperan sebagai sumber karbon dalam metabolisme yeast. Pembuatan vinegar terdiri dari dua tahapan, yaitu fermentasi pembentukan alkohol yang melibatkan Saccharomyces cereviceae dan pembentukan asam asetat yang melibatkan Acetobacter aceti. Proses inkubasi dengan menggunakan shaker bertujuan sebagai aerasi dan agitasi. Haemocytometer merupakan suatu ruang hitung yang berbentuk petak-petak kecil dan biasa digunakan untuk menghitung jumlah sel di bawah mikroskop. Metode titrasi dapat bertujuan untuk mengukur kesamaan karena asam dapat dinetralisasi oleh penambahan basa. Semakin lama waktu fermentasi yang berlangsung, maka nilai absorbansi yang dihasilkan semakin tinggi karena jumlah sel yeast yang tumbuh selama fermentasi semakin banyak, namun pada tahap akhir fermentasi (N96) akan mengalami penurunan jumlah mikroorganisme karena berada pada fase kematian. Kematian yeast terjadi akibat keberadaan etanol yang diproduksi oleh yeast dalam jumlah yang besar. Lama fermentasi berkaitan dengan pertumbuhan Saccharomyces cereviceae yang mengikuti kurva pertumbuhan mikroorganisme. Sampel yang semakin keruh menunjukkan semakin tingginya aktivitas dari sel yeast untuk mengubah gula menjadi alkohol dan hasil metabolit lainnya Hubungan antara OD dan jumlah sel mikroorganisme akan berbanding lurus. Ketika jumlah sel yeast meningkat, maka produksi etanol juga meningkat, sehingga akan terjadi penurunan nilai pH karena alkohol bersifat asam. Berkurangnya jumlah biomassa sel akan menurunkan tingkat keasaman dari vinegar.Semarang, 29 Juni 2015Asisten Dosen, Bernardus Daniel Metta Meliani Chaterine MeilaniMelita Mulyani12.70.0080

6. 7. DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, F.; A. T. Jameel; M. H. Kamarudin & M. Mel. (2011). Study of Growth Kinetic and Modeling of Ethanol Production by Saccharomyces cerevisae. African Journal of Biotechnology, Vol. 16 (81) : 18842-18846. Malaysia.

Amenaghawon, N. A.; C. O. Okieimen & S. E. Ogbeide. (2012). Kinetic Modelling of Ethanol Inhibition during Alcohol fermentation of Corn Stover using Saccharomyces cerevisiae. International Journal of Engineering Research and Applications (IJERA), Vol. 2 (4) : 798-803. Nigeria.

Anagnostopoulos, V. A.; B. D. Symeopoulos & M. J. Soupioni. (2010). Effect of Growth Conditions on Biosorption of Cadmium and Copper by Yeast Cells. Global NEST Journal, Vol 12 (3) : 288-295.

Arthey, D. & P. R. Ashurst. (1998). Fruit Processing. Chapman & Hall. London.

Astawan, M. A. & M. Astawan. (1991).Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna Edisi Pertama.CV Akademika Pressindo. Jakarta.

Atlas, R. M. (1984). Microbiology Fundamental and Applications. Mac Millard Publishing Company. New York.

Azizah, N. A.; N. Al-Baarri & S. Mulyani. (2012). Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Alkohol, pH, dan Produksi Gas Pada Proses Fermentasi Bioetanol dari Whey dengan Substrat Kulit Nanas. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, Vol. 1 (2) : 72-77. Semarang.

Chang, R. (1991). Chemistry. MC Graw Hill. USA.

Chen, Y. W. & P. J. Chiang. (2011). Automatic Cell Counting for Hemocytometers through Image Processing. World Academy of Science, Engineering and Technology, Vol. 58 : 719-722.

Clark, J. (2007). Hukum Beer-Lambert. http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/instrumen_analisis/spektrum_serapan_ultraviolet-tampak__uv-vis_/hukum_beer_lambert/. Diakses tanggal 24 Juni 2015 pukul 21.19.

Damtew, W.; S. A. Emire & A. B. Aber. (2012). Evaluation of Growth Kinetics and Biomass Yield Efficiency of Industrial Yeast Strains. Archives of Applied Science Research Journal, Vol. 4 (5) : 1938-1948. Ethiopia.

Day, R. A. & A. L. Underwood. (1992). Analisa Kimia Kuantitatif Edisi Kelima Jilid 2. Erlangga. Jakarta.

Ewing, G. W. (1976).Instrumental Methods of Chemical Analysis. Mc Growhill Book Company. USA.

Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan I. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Fatimah; F. Lia & L. Rahmasari. (2013). Kinetika Reaksi Fermentasi Alkohol dari Buah Salak. Jurnal Teknik Kimia USU, Vol. 2 (2) : 16-20. Medan.

Girindra, A. (1986). Biokimia 1. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Gurvinder, S. K. & Pooja. (2011). Status of Wine Production from Guava (Psidium guajava L.): A Traditional Fruit of India. African Journal of Food Science, Vol. 5 (16) : 851-860. India.

Hadioetomo, R. S. (1993). Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Herrero, M.; L. A. Garcia & M. Diaz. (2006). Volatile Compounds in Cider: Inoculation Time and Fermentation Temperature Effects. Journal of the Institute of Brewing, Vol. 112 (3) : 210-214. Spain.

Ikhsan, M. B. (1997). Pengaruh Media Starter dan Cara Penambahan Gula Terhadap Kualitas Anggur Pisang Klutuk. Stiper Farming. Semarang.

Jomdecha, C. & A. Prateepasen. (2006). The Research of Low Ultrasonic Energy Affects to Yeast Growth in Fermentation Process. Asia Pacific Conference on NDT. Auckland, New Zealand.

Kartohardjono, S.; Anggara; Subihi & Yuliusman. (2007). Absorbsi CO2 dari Campurannya dengan CH4 atau N2 melalui Kontaktor Membran Serat Berongga Menggunakan Pelarut Air. Jurnal Teknologi, Vol. 11 (2): 97-102.

Kulkarni, M. K.; P. T. Kininge & N. V. Ghasghase. (2011). Effect of Additives on Alcohol Production and Kinetic Studies of S. cerevisiae for Sugar Cane Wine Production. International Journal of Advanced Biotechnology and Research, Vol. 2 (1) : 154-158.

Kumalasari, I. J. (2011). Pengaruh Variasi Suhu Inkubasi terhadap Kadar Etanol Hasil Fermentasi Kulit dan Bonggol Nanas (Ananas sativus). Skripsi. Universitas Muhammadiyah Semarang. Semarang.

Kwartiningsih, E & L. Nuning S. M. (2005). Fermentasi Sari Buah Nanas Menjadi Vinegar. Ekuilibrium, Vol. 4 (1) : 8-12.

Laily, N.; Atariansah; D. Nuraini; S. Istini; I. Susanti & L. Hartono. (2004). Kinetika Fermentasi Produksi Selulosa Bakteri oleh Acetobacter pasteurianum Pada Kultur Kocok. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Margantan, A. (2001). Banyak Makanan Berkhasiat Obat. CV Aneka. Solo.

Martoharsono, S. (1994). Biokimia Jilid 1. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Muljohardjo, M. (1988). Teknologi Pengawetan Pangan Edisi Ketiga. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Nogueira, A.; C. Mongruel; Deise R. S.; Nina W. & G. Wosiacki. (2007). Effect of Biomass Reduction on the Fermentation of Cider. Brazilan Archives of Biology and Technology. Brazil.

Nogueira, A; J. M. Le Quere; P. Gestin; A. Michel; G. Wosiacki & J. F. Drilleau. (2008). Slow Fermentation in French Cider Processing due to Partial Biomass Reduction. Journal Inst. Brew., Vol. 114 (2) : 102-110.

Petrucci, R & Suminar. (1987). Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern Edisi Keempat Jilid 2. Erlangga. Jakarta.

Petrucci, R. H. (1992). Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern Jilid 2. Erlangga. Jakarta.

Pomeranz, Y. & C. E. Meloan. (1994). Food Analysis Theory and Practice. John Wiley and Sons, Inc. New York.

Purwoko, T. (2007). Fisiologi Mikroba. Bumi Aksara. Jakarta.

Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. Arcan. Jakarta.

Ranganna. (1978). Analysis of Fruit and Vegetable Product. The AVI Publ. Co. Inc. New Delhi.

Realita, T. & M. S. Debby. (2010). Teknologi Fermentasi. Widya Padjajaran. Bandung.

Reed, G. & H. J. Rehm. (1983). Biotechnology Vol III : Industrial Microbiology. AVI PublishingCompany Inc. Westport, Connecticut.

Saha, P. & S. Banerjee. (2013). Optimization of Process Parameters for Vinegar Production Using Banana Fermentation. International Journal of Research in Engineering and Technology, Vol. 2 (9) : 501-514. India.

Said, E. G. (1987). Bioindustri: Penerapan Teknologi Fermentasi. PT Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.

Sari, I. M.; Noverita & Yulneriwarni. (2008). Pemanfaatan Jerami Padi dan Alang- Alang dalam Fermentasi Etanol Menggunakan Kapang Trichoderma viride dan khamir Saccharomycess cerevisiae. VisVitalis, Vol. 5 (2) : 55-62.

Sener, A.; Ahmet C. & M. Umit U. (2007). The Effect of Fermentation Temperature on the Growth Kinetics of Wine Yeast Species. Turkey Journal Agricultural for 31 : 349-354. Turkey.

Sevda, S. B. & Rodrigues L. (2011). Fermentative Behavior of Saccharomyces Strains During Guava (Psidium guajava L) Must Fermentation and Optimization of Guava Wine Production. Journal of Food Process Technol., Vol. 2 (4). India.

Solomon, S. (1987). Introduction to General, Organic, and Biological Chemistry. Mc. Graw-Hill Inc. USA.

Sreeramulu; Guttapadu; Y. Zhu & W. Knol. (2000). Kombucha Fermentation and Its Antimicrobial Activity. Journal Agriculture Food Chem., Vol. 48 (6) : 2589-2594.

Stanburry, P. F. & Whitaker. (1984). Principles of Fermentation Technology. Pergamon Press. New York.

Tranggono; B. Setiaji; Suhardi; Sudarmanto; Y. Marsono; A. Murdiati; I. S. Utami & Suparmo. (1989). Petunjuk Laboratorium Biokimia Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Triwahyuni, E.; N. Ariani; H. Hendarsyah & T. idiyanti. (2012). The Effect of Dry Yeast Saccharomyces cereviceae Concentration on Fermentation Process for Bioethanol Production from Palm Oil Empty Fruit Bunches. Proceeding of ICSEEA 31-34.

Wang, D.; Y. Xu; J. Hu & G. Zhao. (2004). Fermentation Kinetics of Different Sugars by Apple Wine Yeast Saccharomyces cerevisiae. Journal of the Institute of Brewing, Vol. 110 (4) : 340-346.

Wilford, L. (1987). Chemistry for First Examinations. Blackie. London.

Winarno, F. G.; S. Fardiaz & D. Fardiaz. (1980). Pengantar Teknologi Pertanian. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Yalcin & Ozbas. (2008). Effects of Ph and Temperature on Growth and Glycerol Production Kinetics of Two Indigenous Wine Strains of Saccharomyces cerevisiae from Turkey. Brazilian Journal of Microbiology, Vol. 39 : 325-332.

8. 9. LAMPIRAN9.1. PerhitunganRumus :

Keterangan :Volume petak = 0,05 mm x 0,05 mm x 0,1 mm = 0,00025 cm3 = 2,5 x 10-7 ccN NaOH = 0,1 N

9.1.1. Rata-Rata / tiap ccKelompok B1

Kelompok B2

Kelompok B3

Kelompok B4

Kelompok B5

9.1.2. Total AsamKelompok B1

Kelompok B2

Kelompok B3

Kelompok B4

Kelompok B5

9.2. Laporan Sementara9.3. Jurnal