1. HASIL PENGAMATAN
1.1. Kinetika Fermentasi VinegarHasil pengamatan kinetika
fermentasi dalam produksi vinegar dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kinetika Fermentasi dalam Produksi
VinegarKel.PerlakuanWaktu MO tiap petakRata-rata/ MO tiap
petakRata-rata/ MO tiap ccODpHTotal Asam (mg/ml)
1234
B1Sari Apel + S. cereviceaeN05688 6,75 2,7 x
1070,24163,1916,32
N244047465146,0018,4 x 1070,67333,1415,36
N484342465045,2518,1 x 1071,09313,2615,36
N7211096858894,7537,9 x 1071,39223,3413,44
N961428342324,75 9,9 x 1070,55413,4013,44
B2Sari Apel + S. cereviceaeN0201715915,256,1 x
1070,25953,1916,32
N244428215035,7514,3 x 1071,51543,1516,32
N484046464644,5017,8 x 1071,14323,2716,32
N724046626553,2521,3 x 1071,41373,3114,40
N962932141723,00 9,2 x 1070,43123,3713,44
B3Sari Apel + S. cereviceaeN06324 3,75 1,5 x
1070,21803,1716,32
N246957565258,5023,4 x 1070,78143,1416,32
N483235464038,2515,3 x 1071,17463,2515,36
N7210191878591,0036,4 x 1071,42913,3114,01
N962633313531,2512,5 x 1070,33583,3513,44
B4Sari Apel + S. cereviceaeN07979 8,00 3,2 x
1070,21303,1916,32
N246160515356,2522,5 x 1070,98963,1616,32
N482833263129,5011,8 x 1071,21503,2516,32
N726567646765,7526,3 x 1071,64613,3114,40
N9610418 5,75 2,3 x 1070,42973,3614,40
B5Sari Apel + S. cereviceaeN081841611,50 4,6 x
1070,32583,1816,32
N245043514747,7519,1 x 1070,79773,1716,32
N485759585757,7523,1 x 1071,13733,2415,36
N726067707768,5027,4 x 1071,45243,2814,40
N968759718375,0030,0 x 1071,16593,3114,40
Berdasarkan Tabel 1. di atas dapat diketahui bahwa perlakuan
yang dilakukan pada semua kelompok sama, yaitu menggunakan sari
apel yang ditambahkan kultur S. cereviceae. Dari segi jumlah
biomassa sel mikroorganisme terlihat bahwa selama 5 hari, yaitu N0,
N24, N48, N72 dan N96 menunjukkan rata-rata jumlah biomassa
mikroorganisme tiap cc mengalami fluktuasi dan cenderung meningkat
setiap harinya, kecuali pada N96 yang mengalami penurunan jumlah
biomassa sel pada kelompok B1 hingga B4. Dari segi nilai OD yang
diperoleh pada masing-masing kelompok mengalami peningkatan setiap
harinya, namun pada N96 mengalami penurunan, sehingga dapat
diketahui bahwa nilai OD tertinggi didapatkan pada N72. Selain itu,
pengukuran pH yang terlihat pada N24 mengalami penurunan nilai pH,
tetapi pada N48, N72, dan N96 mengalami peningkatan pada semua
kelompok. Untuk total asam pada semua kelompok cenderung mengalami
penurunan setiap harinya, namun adapula yang stabil / bernilai
tetap dari hari sebelumnya.
1.2. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan WaktuHasil
pengamatan hubungan jumlah sel mikroorganisme dengan waktu dapat
dilihat pada Grafik 1.
Grafik 1. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan Waktu
Berdasarkan Grafik 1. di atas dapat diketahui bahwa hubungan
antara jumlah sel mikroorganisme / cc dengan waktu untuk tiap
kelompok berbeda-beda. Untuk kelompok B1, B3, dan B4 terlihat bahwa
jumlah sel mikroorganisme mengalami fluktuatif. Peningkatan jumlah
sel mikroorganisme terlihat pada N24, N72, namun pada N24 dan N96
mengalami penurunan. Pada kelompok B2 terlihat bahwa dari N0 hingga
N72 mengalami peningkatan, namun pada N96 mengalami penurunan.
Berbeda dengan kelompok B5 yang mengalami peningkatan jumlah sel
mikroorganisme dari N0 hingga N96.1.3. Hubungan Jumlah Sel
Mikroorganisme dengan AbsorbansiHasil pengamatan hubungan jumlah
sel mikroorganisme dengan absorbansi dapat dilihat pada Grafik
2.
Grafik 2. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan
Absorbansi
Berdasarkan Grafik 2. dapat diketahui jika hubungan antara
jumlah mikroorganisme / cc dan nilai absorbansi pada masing-masing
kelompok tidak sama. Secara umum dapat terliha bahwa peningkatan
rata-rata jumlah mikroorganisme / cc akan diikuti pula dengan
peningkatan nilai absorbansi. Namun, juga terdapat data yang
menunjukkan jika penurunan rata-rata jumlah mikroorganisme / cc
diikuti dengan peningkatan nilai absorbansi.
1.4. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan pHHasil
pengamatan hubungan jumlah sel mikroorganisme dengan pH dapat
dilihat pada Grafik 3.
Grafik 3. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan pH
Berdasarkan Grafik 3. di atas diketahui bahwa hubungan antara
jumlah sel mikroorganisme / cc dengan pH masing-masing kelompok
berbeda, namun secara umum semakin tinggi pH yang diperoleh, maka
jumlah sel mikroorganisme akan meningkat pula. Akan tetapi pada
titik ke tiga dan ke lima kelompok B1, B3, dan B4 mengalami
penurunan. Selain itu, penurunan jumlah sel mikroorganisme juga
terlihat pada titik ke lima kelompok B2.
1.5. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan Total AsamHasil
pengamatan hubungan jumlah sel mikroorganisme dengan total asam
dapat dilihat pada Grafik 4.
Grafik 4. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan Total
Asam
Berdasarkan Grafik 4. di atas diketahui bahwa secara umum
semakin rendah jumlah sel mikroorganisme maka total asam yang
dihasilkan akan stabil atau semakin tinggi. Namun ada pula data
yang menunjukkan adanya penurunan total asam pada jumlah sel
mikroorganisme yang tinggi. Menurun atau meningkatnya jumlah sel
pada tiap kelompok pun tidak sama seiring dengan meningkatnya total
asam.
1.6. Hubungan Absorbansi dengan WaktuHasil pengamatan hubungan
absorbansi dengan waktu dapat dilihat pada Grafik 5.
Grafik 5. Hubungan Absorbansi dengan Waktu
Berdasarkan Grafik 5. di atas dapat diketahui hubungan antara
absorbansi dengan waktu pada masing-masing kelompok yang cenderung
mengalami peningkatan nilai absorbansi tiap harinya. Namun pada N96
justru mengalami penurunan nilai absorbansi pada semua kelompok.
Pada kelompok B2 juga terlihat adanya penurunan nilai absorbansi
yang terjadi, yaitu pada N48.
37
2. 34
3. PEMBAHASAN
Menurut Purwoko (2007), fermentasi merupakan suatu proses yang
memanfaatkan senyawa organik dalam pembentukan energi melalui
transfer elektron di dalam sitoplasma. Pembentukan energi ini
disebut juga sebagai fosforilasi oksidatif yang biasanya ditemukan
pada organisme fermentatif. Winarno et al. (1980) menambahkan bahwa
proses fermentasi terjadi akibat adanya aktivitas mikroorganisme
pada substrat organik yang sesuai. Substrat tersebut harus
mengandung karbon (C) dan nitrogen (N) yang akan digunakan sebagai
media fermentasi untuk menghasilkan alkohol karena selama proses
fermentasi akan terjadi pemecahan gula menjadi alkohol dan CO2 oleh
mikroorganisme. Fermentasi inilah yang akan menyebabkan terjadinya
perubahan sifat bahan pangan. Oleh karena itu, hasil fermentasi
sangat dipengaruhi oleh jenis bahan pangan (substrat), macam
mikroorganisme, dan proses metabolismenya. Fermentasi alkohol yang
terjadi adalah salah satu proses anaerobik dari dekomposisi heksosa
yang menghasilkan etanol dan CO2. Fermentasi yeast pada gula akan
menghasilkan larutan yang mengandung alkohol 10-15 %.
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan tentang kinetika
fermentasi dalam produksi minuman vinegar yang berbahan dasar buah
apel malang dan inokulum yeast Saccharomyces cereviceae dalam media
cair. Kwartiningsih & Nuning (2005) mengungkapkan bahwa vinegar
adalah produk fermentasi yang merupakan kelompok cider dan terbuat
dari suatu bahan dasar yang mengandung gula atau pati menjadi
alkohol yang difermentasi lagi pada proses selanjutnya. Menurut
Utami et al. (1992), kinetika dalam proses pembuatan produk
fermentasi sangat penting diketahui karena kinetika bertujuan untuk
mengetahui pertumbuhan dan pembentukan produk oleh suatu
mikroorganisme, sehingga dapat mengetahui respon sel dari
mikroorganisme tersebut. Kinetika dapat dikatakan sebagai dasar
dalam suatu proses fermentasi yang perlu dipahami. Menurut Ranganna
(1978), cider merupakan minuman yang mengandung alkohol cukup
rendah dan diproduksi dari fermentasi sari buah atau bahan lainnya
yang berpati dengan atau tanpa adanya penambahan gula oleh khamir.
Herrero et al. (2006) menjelaskan bahwa dalam proses pembuatan
cider terdapat dua reaksi penting yang terjadi, yaitu penggunaan
gula (glukosa) oleh yeast yang dapat menghasilkan etanol dan
karbondioksida serta reaksi dekarboksilasi asam malat menjadi asam
laktat dan karbondioksida oleh bakteri malolaktat. Menurut Fatimah
et al. (2013) dalam jurnalnya yang berjudul Kinetika Reaksi
Fermentasi Alkohol dari Buah Salak, pada ekstrak buah-buahan maupun
biji-bijian akan terjadi peristiwa fermentasi yang ditunjukkan
dengan adanya aktivitas yeast. Yeast ini akan memfermentasi
glukosa, fruktosa serta maltosa menjadi bioetanol. Namun
masing-masing spesies dari yeast memiliki perbedaan dalam hal
kecepatan pertumbuhan dan kecepatan dalam mempergunakan gula yang
terkandung. Dalam fermentasi bioetanol tersebut terdapat beberapa
faktor-faktor yang mempengaruhi, diantaranya adalah bahan dasar dan
nutrisi substrat yang digunakan dalam proses fermentasi; suhu
fermentasi yang menunjukkan suhu optimal untuk pertumbuhan dan
aktivitas mikroorganisme; pH yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
mikroorganisme; konsentrasi substrat yang digunakan karena
konsentrasi substrat yang berlebihan justru dapat mengakibatkan
kematian mikroorganisme; serta waktu fermentasi.
3.1. Bahan dan Cara KerjaPraktikum pembuatan vinegar diawali
dengan mengambil sari apel dari buah apel malang menggunakan
juicer. Penggunaan sari apel sesuai dengan pernyataan Nogueira et
al. (2008) bahwa sari apel berasal dari pengepresan buah apel yang
apabila difermentasi akan menghasilkan alkohol, sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan vinegar apel. Walaupun
mengandung alkohol, namun alkohol yang terkandung dalam vinegar
apel cenderung memiliki kadar yang rendah. Realita & Debby
(2010) menambahkan bahwa sebenarnya semua jenis buah dengan
kandungan gula yang cukup dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan vinegar. Namun buah apel sering digunakan karena menurut
Margantan (2001), apel mengandung vitamin A, vitamin B1, vitamin
B2, vitamin C, kalsium, fosfor, besi, dan serat pangan yang baik
untuk kesehatan. Selain itu juga mengandung antioksidan dan
membantu perbaikan metabolisme tubuh. Ikhsan (1997) menjelaskan
bahwa penghancuran apel dengan menggunakan juicer bertujuan untuk
mengeluarkan gula yang terkandung di dalam apel, sehingga akan
lebih mudah diuraikan oleh mikroorganisme yang berperan dalam
proses fermentasi.
Vinegar dapat dibuat dari berbagai jenis buah, namun buah
tersebut harus mengandung kadar gula yang cukup karena menurut
Ikhsan (1997), kadar gula sari buah merupakan faktor yang penting
dalam proses fermentasi. Gula mempunyai peran sebagai sumber karbon
dalam metabolisme yeast. Komponen utama terdapat dalam air buah
yaitu gula sebagai sumber kalori dan vitamin C. Untuk sari buah
sebaiknya dipilih buah-buahan yang rata-rata mengandung air lebih
dari 60% dari beratnya. Hal ini sesuai dengan teori Damtew et al.
(2012) dalam jurnalnya yang berjudul Evaluation of Growth Kinetics
and Biomass Yield Efficiency of Industrial Yeast Strains bahwa
pertumbuhan khamir Saccharomyces cereviceae hanya akan terjadi jika
terdapat kandungan gula dalam jumlah yang cukup tinggi karena
kandungan gula tersebut merupakan sumber karbon utama yang akan
difermentasi oleh yeast menjadi karbondioksida dan alkohol
(etanol). Oleh karena itu, yeast sering digunakan dalam pembuatan
minuman beralkohol, pembentukan biomassa, serta produk metabolit
lainnya. Setelah didapatkan sari apel dari juicer, langkah
selanjutnya adalah penyaringan dengan menggunakan kain saring. Hal
ini dilakukan agar ampas dari buah apel tidak ikut sebagai media
pertumbuhan karena berdasarkan teori Ikhsan (1997), sari buah yang
benar-benar terbebas dari ampasnya akan menyebabkan tingkat
kekeruhan yang rendah pada proses pembuatan vinegar.
Gambar 1. Penyaringan Sari Apel Malang
Kemudian sebanyak 250 ml sari apel yang akan dijadikan sebagai
media pertumbuhan dimasukkan dalam botol kaca dan disterilisasi
dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Wang et al. (2004)
menjelaskan bahwa proses sterilisasi dilakukan dengan tujuan untuk
membunuh semua mikrooganisme kontaminan yang tidak diinginkan dalam
proses fermentasi. Setelah disterilisasi, sari apel dibiarkan
dingin terlebih dahulu dengan merendamnya dalam air untuk
menurunkan suhu supaya suhu dari sari apel sesuai dengan suhu
tumbuh dari yeast. Hal ini sesuai dengan pernyataan Muljohardjo
(1988) yang menyatakan bahwa penurunan suhu dilakukan untuk
mencegah yeast S. cereviceae yang berperan dalam proses fermentasi
mati karena yeast tersebut tidak tahan terhadap panas. Kumalasari
(2011) menambahkan pula bahwa jika suhu terlalu rendah, maka proses
fermentasi akan berlangsung sangat lambat, sedangkan jika suhu
terlalu tinggi maka Saccharomyces cereviceae dapat mati sehingga
fermentasi tidak dapat berlangsung.
Gambar 2. Pengukuran Volume Sari ApelGambar 3. Pemasukan Sari
Apel dalam Botol Kaca
Gambar 4. Sari Apel dalam Botol Kaca yang Siap Disterilisasi
Gambar 5. Peletakan dalam AutoklafGambar 6. Proses Sterilisasi
Sari Apel
Gambar 7. Penurunan Suhu Sari Apel
Selanjutnya biakan yeast Saccharomyces cereviceae yang sudah
tersedia diambil sebanyak 30 ml dengan menggunakan pipet volume dan
dimasukkan ke dalam sari apel. Pengambilan biakan ini harus secara
aseptis dalam LAF (Laminar Air Flow) yang sudah mengalami tahap
penyinaran UV. Menurut Hadioetomo (1993), perlakuan aseptis
dilakukan untuk menghindari adanya kontaminasi oleh mikroorganisme
kontaminan lain dan mencegah adanya infeksi dari bakteri yang
merugikan. Untuk memperoleh kondisi aseptis ini, maka sebelum
melakukan pengambilan dan pemindahan kultur, tangan dan meja dalam
LAF harus disemprotkan dengan alkohol, serta selama pengambilan dan
pemindahan kultur dilakukan di dekat bunsen api.
Gambar 8. Pemindahan Kultur Yeast
Berdasarkan jurnal berjudul Optimization of Process Parameters
for Vinegar Production Using Banana Fermentation yang ditulis oleh
Saha & Banerjee (2013), sebenarnya fermentasi yang terjadi
dalam pembuatan vinegar terdiri dari dua tahapan yang melibatkan
yeast dan bakteri. Awalnya yeast akan berperan dalam fermentasi
gula menjadi etanol dalam kondisi yang anaerob terlebih dahulu,
kemudian adapula tahapan perubahan oksidasi etanol menjadi asam
asetat secara aerob oleh bakteri jenis Acetobacter. Hal ini
didukung pula oleh pernyataan Kwartiningsih & Nuning (2005)
yang mengungkapkan pula bahwa fermentasi vinegar meliputi dua
tahapan, yaitu fermentasi pembentukan alkohol yang melibatkan
Saccharomyces cereviceae dan fermentasi pembentukan asam asetat
yang melibatkan Acetobacter aceti.
Namun dalam praktikum ini jenis mikroorganisme yang
diinokulasikan hanya yeast dengan spesies Saccharomyces cereviceae.
Fardiaz (1992) menjelaskan bahwa Saccharomyces sp. merupakan salah
satu jenis yeast yang memiliki sel dengan bentuk bulat, oval,
memanjang, atau pseudomiselium. Saccharomyces akan berkembang biak
dengan cara tunas yang bersifat multipolar atau dengan pembentukan
askospora. Spesies yang paling umum digunakan dalam industri
makanan adalah Saccharomyces cereviceae yang dimanfaatkan dalam
pembuatan roti, produk alkohol, brem, cider, anggur, gliserol dan
enzim invertase. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Kulkarni et
al. (2011) bahwa Saccharomyces cereviceae banyak digunakan untuk
membuat produk beralkohol, seperti wine, bir, roti, dan sake.
Arthey & Ashurst (1998) menyatakan bahwa proses fermentasi
vinegar dilakukan oleh strain Saccharomyces spp., khususnya S.
cereviceae, S. bayanus, S. uvarum yang ditambahkan ke dalam sari
buah sebagai kultur murni. Pada umumnya, Saccharomyces cereviceae
paling banyak digunakan karena menurut Wang et al. (2004), S.
cereviceae mampu mengkonversi gula menjadi alkohol tanpa
menghasilkan off-flavor. Astawan & Astawan (1991) menambahkan
bahwa suhu optimum untuk fermentasi adalah 22-27o C, dimana pada
proses fermentasi, gula akan diubah menjadi alkohol dan CO2 dengan
menggunakan reaksi enzimatik yang dihasilkan oleh mikroorganisme.
Reed & Rehm (1983) mengungkapkan pula bahwa jenis yeast
Saccharomyces cereviceae termasuk dalam bakers yeast yaitu jenis
yeast yang dapat diproduksi dalam skala industri dan merupakan
jenis yeast top-fermentative (yeast fermentasi permukaan).
Sari apel yang sudah ditambahkan dengan biakan Saccharomyces
cereviceae lalu dikocok hingga rata dan diambil sebanyak 25 ml
dengan pengambilan secara aseptis menggunakan pipet volume dan
dipindahkan pada gelas ukur secara aseptis untuk diuji jumlah
biomassa yang terbentuk dengan menggunakan haemocytometer dan
diukur nilai Optical Density (OD) dengan spektrofotometer, pH, dan
total asam dengan metode titrasi. Media pertumbuhan dan yeast yang
tersisa selanjutnya diinkubasi dengan perlakuan shaker pada suhu
ruang (25-30oC) selama 5 hari. Kemudian setiap 24 jam dilakukan
pengambilan sampel sebanyak 25 ml secara aseptis untuk diuji jumlah
biomassa, nilai OD, pH, dan total asam. Pengaplikasian suhu ruang
sebagai suhu inkubasi sesuai dengan teori Fardiaz (1992) bahwa
kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan yeast yaitu 25-30oC dan suhu
maksimumnya 37-47oC. Said (1987) menjelaskan bahwa proses inkubasi
yang dilakukan dengan menggunakan shaker bertujuan sebagai salah
satu cara untuk mensuplai oksigen dan karbon bagi media
pertumbuhan, sehingga dapat membantu pertumbuhan yeast secara
aerobik. Dengan kata lain, peran dari tahap inkubasi menggunakan
shaker adalah sebagai aerasi. Ahmad et al. (2011) mengungkapkan
bahwa aerasi merupakan salah satu hal penting yang harus dilakukan
selama proses fermentasi menggunakan yeast Saccharomyces
cereviceae. Selain itu, tahap inkubasi dengan shaker juga berfungsi
sebagai agitasi yang merupakan tahap pengadukan supaya sel
mikroorganisme bercampur rata dalam media pertumbuhan. Hal ini
diperkuat dengan teori Stanburry & Whitaker (1984) bahwa
pengadukan memiliki dua fungsi utama, yaitu untuk menurunkan ukuran
gelembung-gelembung udara yang diperoleh dan untuk mempertahankan
kondisi lingkungan yang stabil di dalam wadah.
Gambar 9. Pengambilan Sampel
Gambar 10. Sampel Siap Uji
Gambar 11. Tahap Inkubasi dengan Shaker
Selama inkubasi, botol kaca juga harus dalam keadaan tertutup
dengan tujuan untuk mencegah kontaminasi dari udara luar. Rahman
(1992) menjelaskan bahwa penutup yang digunakan dapat menggunakan
kapas, busa, plastik, aluminium foil atau bahan lain yang dapat
menjaga kesterilan media. Hal ini sesuai dengan yang dilakukan pada
praktikum kali ini, dimana botol kaca ditutup dengan menggunakan
plastik yang sudah disterilisasi. Proses analisa pada praktikum
kali ini meliputi 4 hal, yaitu pengukuran biomassa dengan
haemocytometer, penentuan nilai OD / absorbansi menggunakan
spektrofotometer, pengukuran pH minuman vinegar, dan penentuan
total asam selama fermentasi.
Pengukuran biomassa dilakukan dengan pengambilan sampel
menggunakan pipet tetes, lalu sampel diteteskan di atas plat
haemocytometer yang sudah dibersihkan dengan alkohol dan
dikeringkan dengan tissue. Penuangan sampel harus dilakukan dengan
hati-hati dan tidak boleh terdapat gelembung karena akan
mempengaruhi penghitungan jumlah biomassa. Kemudian plat
haemocytometer ditutup dengan kaca objek yang telah dibersihkan
dengan alkohol dan dikeringkan dengan tissue. Selanjutnya
diletakkan di bawah mikroskop dan diamati. Hal-hal tersebut
dilakukan untuk menguji tingkat kepadatan Saccharomyces cereviceae
dalam vinegar selama 5 hari (N0, N24, N48, N72 dan N96). Penggunaan
alat haemocytometer sesuai dengan teori Hadioetomo (1993) bahwa
haemocytometer merupakan suatu ruang hitung yang berbentuk
petak-petak kecil dan biasa digunakan untuk menghitung jumlah sel
di bawah mikroskop. Chen & Chiang (2011) menambahkan pula bahwa
haemocytometer merupakan alat yang digunakan untuk menghitung
konsentrasi sel yang rendah dengan cepat, dimana haemocytometer
memiliki beberapa ruang dengan batas garis-garis yang dapat dilihat
pada mikroskop. Haemocytometer ini dibuat dengan sangat teliti,
sehingga lebar dan kedalaman garis sudah diketahui dengan pasti.
Hal ini akan membantu dalam penghitungan jumlah sel yang ada dalam
cairan. Pada haemocytometer terdapat 9 kotak besar yang dibatasi
dengan 3 garis di setiap sisinya dan di dalamnya terdapat kotak
kecil sejumlah 16 buah yang dibatasi dengan sebuah garis. Pada
praktikum ini, jumlah sel yang dihitung merupakan jumlah sel yang
terdapat dalam 4 kotak besar. Jumlah yeast yang terdapat dalam
media dihitung dengan menggunakan bantuan handcounter. Jumlah sel
yang terhitung pada keempat kotak haemocytometer selanjutnya
dirata-rata dan dicatat. Metode yang digunakan dalam pengukuran
biomassa pada praktikum ini sesuai pula dengan teori Atlas (1984)
yang menyatakan bahwa dalam pengukuran biomassa sel menggunakan
alat haemocytometer, awalnya sampel diambil dengan menggunakan
pipet tetes, kemudian diteteskan di atas plat haemocytometer lalu
ditutup dengan penutup kaca tipis dan diamati dengan mikroskop.
Gambar 12. Penetesan Sampel pada Plat HaemocytometerGambar 13.
Plat Haemocytometer Siap Diamati pada Mikroskop
Gambar 14. Plat Haemocytometer(Brewers, 2012)
Dengan menggunakan alat haemocytometer maka dapat dihitung
jumlah sel mikroorganisme tersebut menggunakan rumus:
Keterangan:Volume petak = 0,05 mm x 0,05 mm x 0,1 mm
Selain menggunakan haemocytometer, kinetika pertumbuhan mikroba
pada praktikum ini juga diketahui dengan pengukuran nilai OD
menggunakan spektrofotometer pada 3 ml vinegar apel. Pengukuran OD
ini dilakukan dengan menggunakan panjang gelombang 660 nm.
Penggunaan panjang gelombang ini sesuai dengan teori Sevda &
Rodrigues (2011) dalam jurnalnya yang berjudul Fermentative
Behavior of Saccharomyces Strains During Guava (Psidium Guajava L)
Must Fermentation and Optimization of Guava Wine Production bahwa
pengukuran OD untuk mengetahui jumlah Saccharomyces cereviceae
dilakukan dengan panjang gelombang 660 nm Di dalam jurnal tersebut
juga dilakukan penghitungan jumlah biomassa Saccharomyces pada
guava wine dengan menggunakan haemocytometer. Kondisi optimum
fermentasi Saccharomyces cereviceae pada produk guava wine pun
terlihat pada suhu fermentasi 25oC, pH 4, dan tingkat inokulum 6%,
sehingga akan memberikan kualitas yang baik dari guava wine. Hasil
absorbansi yang diperoleh pada pengukuran OD pun dapat dicatat.
Pengukuran OD ini juga dilakukan selama 5 hari berturut-turut.
Gambar 15. Pengukuran OD dengan Spektrofotometer
Selanjutnya untuk pengukuran pH digunakan sampel sebanyak 10 ml
dengan menggunakan pH meter. Nilai pH yang terukur lalu dicatat.
Tranggono et al. (1989) menjelaskan bahwa pH merupakan konsentrasi
ion hidrogen sebagian besar larutan atau merupakan logaritma
negatif dari konsentrasi ion hidrogen, sedangkan menurut
Martoharsono (1994), pH merupakan ukuran kekuatan suatu asam.
Langkah kerja praktikum ini juga sudah sesuai dengan teori
Martoharsono (1994) bahwa pH dari suatu larutan dapat diukur dengan
beberapa cara, yaitu dengan metode titrasi, kertas lakmus, atau pH
meter yang akan mendapatkan hasil yang lebih teliti.
Gambar 16. Pengujian pH dengan pH meter
Analisa keempat yaitu analisa total asam yang dilakukan dengan
menggunakan metode titrasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Solomon (1987) bahwa metode titrasi dapat bertujuan untuk mengukur
kesamaan karena asam dapat dinetralisasi oleh penambahan basa dan
basa dapat secara lengkap dinetralisasi oleh asam. Petrucci (1992)
menambahkan bahwa titrasi berguna untuk menentukan secara
kuantitatif senyawa yang akan ditentukan dengan pereaksi yang
terkandung pada larutan pengukur. Dalam titrasi dibutuhkan suatu
indikator pula yang dapat menunjukkan terjadinya perubahan warna.
Perubahan warna ini akan menentukan titik dimana asam dan basa yang
digunakan dalam reaksi penetralan dapat bereaksi dengan tepat. Oleh
karena itu diperlukan perlakuan yang sangat hati-hati dan teliti
ketika menambahkan asam ke basa atau basa ke asam, sehingga tidak
melewati titik akhir titrasi karena titik akhir titrasi ini
ditandai dengan perubahan warna pada indikator.
Pengukuran total asam selama fermentasi vinegar pada praktikum
ini dilakukan dengan menyiapkan sampel sari apel dengan biakan
yeast sebanyak 10 ml lalu ditambahkan dengan 2 tetes indikator PP
dan dititrasi dengan menggunakan NaOH 0,1 N. Penggunaan PP sebagai
indikator telah sesuai dengan teori Chang (1991) bahwa penggunaan
indikator disesuaikan dengan penggunaan titran. Oleh karena titran
yang digunakan dalam praktikum ini adalah NaOH yang bersifat basa,
maka sesuai jika menggunakan indikator PP, dimana ketika indikator
PP bereaksi dengan basa maka akan menghasilkan warna merah muda,
tetapi indikator PP tidak akan berwarna jika berada dalam larutan
netral ataupun asam. Penggunaan NaOH sebagai titran juga sesuai
dengan teori Petrucci & Suminar (1987) yang menjelaskan bahwa
titrasi biasanya menggunakan larutan asam kuat atau basa kuat.
Titrasi pun dapat dihentikan apabila sampel telah berubah warna
menjadi merah muda. Selanjutnya, jumlah NaOH yang dibutuhkan untuk
titrasi dicatat. Total asam dapat dihitung dengan menggunakan
rumus:
3.2. Hasil PengamatanBerdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh
pada masing-masing kelompok terlihat berbeda satu sama lain, dimana
ada terdapat data yang bersifat fluktuatif (naik dan turun secara
tidak teratur) meskipun menggunakan perlakuan dan bahan yang sama.
Pada kelompok B1, B3, dan B4, rata-rata jumlah mikroorganisme tiap
cc nya mengalami peningkatan, namun pada N48 dan N96 mengalami
penurunan dari hari sebelumnya. Pada kelompok B2 rata-rata jumlah
mikroorganisme tiap cc nya mengalami peningkatan, namun hanya pada
N96 yang mengalami penurunan jumlah sel, sedangkan pada kelompok B5
mengalami peningkatan terus menerus setiap harinya. Jika dilihat
dari nilai OD dan pH masing-masing kelompok mengalami peningkatan
pula, namun pada N24 mengalami penurunan nilai pH dan pada N96
mengalami penurunan nilai OD. Untuk total asam cenderung mengalami
penurunan dan bersifat stabil pada setiap kelompok. Fardiaz (1992)
menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi hasil
pengamatan yang berbeda-beda, diantaranya adalah faktor lingkungan
yang berbeda pada tiap harinya, sehingga akan mempengaruhi
pertumbuhan mikroorganisme. Faktor lingkungan yang dimaksud adalah
suhu, kelembaban, oksigen, dan pH lingkungan. Sener et al. (2007)
menambahkan bahwa proses fermentasi akan berlangsung dengan baik
jika dilakukan pada suhu ruang, yaitu sekitar 25oC dan jika suhu
terlalu rendah maka pertumbuhan sel yeast dapat terhambat,
sedangkan jika suhu inkubasi terlalu tinggi maka kerja enzim akan
terganggu dan akan menghambat berlangsungnya proses fermentasi.
3.2.1. Hubungan Antara Sel Mikroorganisme dengan
WaktuBerdasarkan dari grafik yang menunjukkan hubungan antara sel
mikroorganisme dan waktu dapat diketahui pada masing-masing
kelompok cenderung mengalami peningkatan tiap harinya, namun pada
N48 dan N96 justru mengalami penurunan pada kelompok B1, B3, dan
B4, sedangkan pada kelompok B2 menurun pada N96 saja. Fardiaz
(1992) menjelaskan bahwa pada awal inkubasi, mikroorganisme akan
melalui fase lag, dimana mikroorganisme melakukan adaptasi dengan
lingkungannya, namun selanjutnya mikroorganisme akan memasuki fase
log, dimana akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme yang cepat
sehingga jumlah sel mikroorganisme akan bertambah banyak setiap
harinya. Hal ini kurang sesuai dengan hasil pengamatan yang
menunjukkan jumlah sel yang fluktuatif. Penurunan sel
mikroorganisme yang terjadi pada N48 tidak sesuai pula dengan
pernyataan Triwahyuni et al. (2012) bahwa seharusnya selama proses
fermentasi maka sel yeast akan mengalami pertumbuhan yang sangat
cepat pada masa inkubasi 24-48 jam, sehingga pada jam ke-48,
pertumbuhan yeast berada pada fase eksponensial, dimana jumlah
yeast akan meningkat sangat tinggi. Namun setelah waktu inkubasi
melebihi 48 jam, maka sel yeast akan memasuki fase stasioner karena
sumber media yang digunakan sudah semakin terbatas jumlahnya.
Setelah fase stasioner, sel mikroorganisme akan memasuki fase
kematian yang menyebebakan jumlah sel yeast dalam mengalami
pertumbuhan yang rendah bahkan cenderung tidak bertumbuh kembali
dikarenakan media sudah habis. Akan tetapi hasil pengamatan pada
praktikum ini telah sesuai dengan penelitian Nogueira et al. (2008)
yang bertujuan untuk menentukan pengaruh reduksi biomassa pada
proses fermentasi dan kualitas wine apel, dimana terlihat bahwa
semakin lama waktu, diketahui bahwa jumlah sel yeast akan semakin
meningkat, namun setelah 2 hari fermentasi, pertumbuhan yeast akan
menurun karena nutrisi telah habis digunakan.
Sari et al. (2008) juga mengatakan bahwa proses fermentasi yang
dilakukan lebih dari 3 hari dapat mengurangi kadar alkohol yang
ditandai dengan penurunan jumlah sel yeast. Amenaghawon et al.
(2012) menambahkan bahwa kematian yeast dapat terjadi akibat
keberadaan etanol yang diproduksi oleh yeast dalam jumlah yang
besar. Etanol ini akan dihasilkan dari gula selama proses
fermentasi berlangsung, sehingga gula akan habis menjadi etanol.
Hal ini akan mengakibatkan terjadinya akumulasi etanol pada media,
sehingga dapat menghambat maupun menghentikan pertumbuhan yeast.
Penurunan jumlah mikroorganisme pada fase akhir sesuai dengan hasil
pengamatan yang dilakukan pada praktikum ini, dimana jumlah sel
pada N96 mengalami penurunan pada semua kelompok. Akan tetapi
ketidaksesuaian justru terlihat pada kelompok B5 yang mengalami
peningkatan jumlah sel pada N96. Ketidaksesuaian ini dapat terjadi
dikarenakan pengambilan jumlah mikroorganisme yang tidak merata dan
dalam melakukan penghitungan jumlah sel kurang teliti karena sel
yeast yang terlihat saling bergerombol. Hal ini didukung oleh
pernyataan Atlas (1984) yang menyatakan bahwa penghitungan jumlah
sel dengan menggunakan plat haemocytometer akan dipengaruhi oleh
pencampuran sampel, dimana saat penetesan sampel tidak
diperbolehkan adanya gelembung. Clark (2007) mengungkapkan pula
bahwa peningkatan jumlah sel akan sebanding dengan lamanya waktu
fermentasi, namun pada N96 akan mengalami penurunan karena
mikroorganisme berada pada fase akhir atau fase kematian.
Gambar 17. Fase Pertumbuhan Mikrobia(Ingraham et al., 2007)
N0N24N48
N72N96
Gambar 18. Hasil Uji Haemocytometer Di Bawah Mikroskop
3.2.2. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan
AbsorbansiMenurut Wilford (1987), nilai absorbansi larutan
merupakan nilai konstan dari intensitas penyerapan cahaya yang
dipengaruhi oleh konsentrasi larutan. Larutan dengan konsentrasi
yang tinggi (pekat) akan menimbulkan kekeruhan yang akan
menghasilkan nilai absorbansi yang semakin tinggi. Jomdecha &
Prateepasen (2006) menambahkan bahwa jumlah sinar yang dihambat
akan berbanding lurus dengan massa sel yang ada, sehingga semakin
banyak jumlah sel maka sinar yang dihamburkan akan semakin banyak,
jadi seharusnya nilai absorbansi akan meningkat dengan meningkatnya
jumlah sel mikroorganisme. Hal ini diperkuat dengan pernyataan
Rahman (1992) bahwa sampel yang semakin keruh menunjukkan semakin
tingginya aktivitas dari sel yeast untuk mengubah gula menjadi
alkohol dan hasil metabolit lainnya, sehingga dapat diketahui bahwa
hubungan antara OD dan jumlah sel mikroorganisme akan berbanding
lurus. Hal tersebut juga diperkuat dengan teori Anagnostopoulos et
al. (2010) bahwa semakin tinggi jumlah sel mikroorganisme per cc,
maka tingkat kekeruhannya akan semakin tinggi.
Berdasarkan teori tersebut, hasil pengamatan praktikum yang
terlihat pada grafik hubungan jumlah sel mikroorganisme dengan
absorbansi tidak sesuai dengan teori, karena hasil yang diperoleh
bersifat fluktuatif, meskipun terdapat data yang menunjukan bahwa
semakin banyak jumlah sel mikroorganisme, maka nilai OD yang
dihasilkan semakin tinggi pula. Ketidaksesuaian ini dapat terjadi
dikarenakan masih adanya ampas sari kelapa yang ikut terbawa dalam
sampel yang akan dilakukan pengukuran OD dengan spektrofotometer,
sehingga ampas / pengotor ini akan menghalangi sinar yang masuk.
Pomeranz & Meloan (1994) mengungkapkan bahwa selain adanya
pengotor, kondisi kuvet yang tergores, dan keberadaan gelembung
udara dalam larutan juga dapat mempengaruhi hasil OD yang terbaca.
Penggunaan alat spektrofotometer untuk pengukuran absorbansi / OD
pada praktikum ini sesuai dengan teori Rahman (1992) bahwa prinsip
kerja spektrofotometer yaitu jika sebuah cahaya jatuh pada medium
yang homogen, maka sebagian sinar yang masuk akan dipantulkan
dengan sudut yang berbeda, sebagian lainnya akan diserap oleh
medium tersebut, dan sisanya lagi akan diteruskan. Nilai yang
diperoleh melalui pengukuran tersebut adalah nilai yang tidak
diserap maupun yang tidak dipantulkan oleh medium, dan nilai
tersebut dapat disebut pula nilai absorbansi atau Optical Density
(OD).
3.2.3. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan pHBerdasarkan
grafik hubungan jumlah sel mikroorganisme dengan pH terlihat bahwa
peningkatan jumlah sel mikroorganisme cenderung diikuti dengan
peningkatan nilai pH tiap harinya, meskipun ada pula data yang
menunjukkan hubungan yang tidak sebanding yaitu peningkatan jumlah
sel tidak diikuti pula dengan peningkatan nilai pH. Yalcin &
Ozbas (2008) menjelaskan bahwa tingkat keasaman akan mempengaruhi
proses fermentasi yang berlangsung. Ketika pH tinggi, maka akan
menurunkan laju produksi biomassa sel yeast dikarenakan sel yeast
dapat tumbuh optimum ketika pH 4.
Triwahyuni et al. (2012) mengungkapkan bahwa selama proses
fermentasi berlangsung, maka akan terjadi peningkatan jumlah sel
yeast hingga pada waktu tertentu sebelum sel yeast mati. Ketika
jumlah sel yeast ini meningkat, maka produksi etanol (alkohol) juga
meningkat, sehingga akan terjadi penurunan nilai pH karena alkohol
bersifat asam. Berdasarkan teori tersebut, hasil praktikum kali ini
tidak sesuai. Ketidaksesuaian ini diperkuat pula oleh pernyataan
Azizah et al. (2012) dalam jurnalnya yang berjudul Pengaruh Lama
Fermentasi Terhadap Kadar Alkohol, pH, dan Produksi Gas Pada Proses
Fermentasi Bioetanol dari Whey dengan Substrat Kulit Nanas bahwa
Saccharomyces cereviceae merupakan yeast yang bersifat
homofermentatif dan menghasilkan alkohol yang bersifat asam,
sehingga selama proses fermentasi, maka alkohol yang terbentuk akan
semakin banyak dan menyebabkan pH menjadi semakin rendah (asam).
Dalam jurnal tersebut dijelaskan pula bahwa lama fermentasi
berkaitan pula dengan pertumbuhan Saccharomyces cereviceae yang
mengikuti kurva pertumbuhan mikroorganisme. Selain itu,
Kartohardjono et al. (2007) juga menjelaskan bahwa CO2 yang
dihasilkan selama proses fermentasi bersifat gas asam (acid whey),
sehingga CO2 yang dihasilkan oleh sel yeast selama proses
fermentasi akan berpengaruh terhadap nilai pH yang dihasilkan pula.
Menurut Gurvinder & Pooja (2011) diketahui pula bahwa pada
media pertumbuhan S. cerevisiae, kadar keasaman atau pH menjadi
sangat penting karena dapat mempengaruhi keberhasilan proses
fermentasi sebab secara langsung akan mempengaruhi pertumbuhan
khamir S. cerevisiae, sehingga jumlah etanol yang terbentuk dan
karakteristik sensori dari produk akhir yang diinginkan akan
berpengaruh.
3.2.4. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan Total
AsamPengukuran total asam pada praktikum ini dilakukan dengan
menggunakan metode titrasi. Menurut Nogueira et al. (2007),
pengurangan jumlah biomassa sel justru dilakukan untuk menjaga
kemanisan alami dari vinegar dan mengontrol kecepatan fermentasi,
oleh karena itu dapat diketahui dengan berkurangnya jumlah biomassa
sel maka tingkat keasaman dari vinegar yang dihasilkan akan
berkurang pula. Berdasarkan hasil pengamatan terlihat bahwa warna
yang dihasilkan setelah titrasi menunjukkan warna coklat tua dan
bukan merah muda. Hal ini dapat disebabkan karena warna awal
vinegar yang sudah berwarna merah hingga oranye. Hal tersebut
didukung pula oleh pernyataan Sreeramulu et al. (2000) yang
menyatakan bahwa dengan semakin lamanya waktu fermentasi maka akan
menyebabkan peningkatan jumlah sel yeast hingga pada suatu titik
tertentu yeast akan melakukan aktivitas metabolisme terhadap gula
pada substrat untuk diubah menjadi sejumlah asam organik. Dengan
pembentukan asam organik ini, maka nilai pH yang dihasilkan akan
semakin rendah. Asam organik tersebut dapat bersifat asam karena
adanya pelepasan proton (H+). Dengan begitu semakin lama waktu
fermentasi, jumlah sel yeast yang menghasilkan asam organik akan
meningkat pula sehingga total asam bertambah banyak, sedangkan
nilai pH semakin menurun. Berdasarkan teori tersebut, hasil
pengamatan yang didapatkan pada praktikum ini kurang sesuai karena
ada pula beberapa data yang peningkatan selnya tidak diikuti dengan
penambahan total asam. Hal ini dapat disebabkan karena penghitungan
total asam dengan titrasi tidak terlalu akurat akibat perbedaan
persepsi antar praktikan dalam menentukan titik akhir titrasi. Hal
tersebut didukung oleh pernyataan Girindra (1986) bahwa ketika
melakukan titrasi sebaiknya bagian bawah Erlenmeyer dialasi dengan
kertas putih, sehingga ketika terjadi perubahan warna pada larutan
sampel, maka dapat terlihat dengan jelas.
Day & Underwood (1992) menambahkan bahwa titrasi sebaiknya
dilakukan perlahan agar larutan titran yang digunakan dalam titrasi
tidak menempel pada dinding buret. Titrasi secara cepat sebenarnya
dapat dilakukan, tetapi pembacaan volume titran harus ditunggu
beberapa saat setelah mencapai titik akhir titrasi selesai. Hal
tersebut dilakukan agar larutan titran yang masih menempel di
dinding buret dapat turun secara perlahan-lahan. Dalam melakukan
titrasi, pembacaan volume zat titran dilakukan dengan membaca
meniskus cekung larutan.
Gambar 19. Sampel Setelah Titrasi
3.2.5. Hubungan Absorbansi dengan WaktuRahman (1992) menjelaskan
bahwa aktivitas yeast selama proses fermentasi dapat mengubah gula
yang terkandung dalam substrat menjadi alkohol dan beberapa hasil
metabolit lainnya. Dengan produksi berbagai macam metabolit
tersebut, maka warna larutan akan menjadi semakin keruh. Dengan
semakin keruhnya sampel, maka nilai %T yang merupakan rasio antara
intensitas yang diteruskan dengan intensitas cahaya mula-mula
semakin kecil, sehingga nilai absorbansi / optical density yang
terukur akan semakin tinggi. Hal tersebut didukung oleh pernyataan
Jomdecha & Prateepasen (2006) bahwa semakin lama waktu
fermentasi yang berlangsung maka nilai absorbansi yang dihasilkan
semakin tinggi dikarenakan jumlah sel yeast yang tumbuh selama
fermentasi tersebut semakin banyak jumlahnya, namun pada tahap
akhir fermentasi (N96) akan mengalami penurunan jumlah
mikroorganisme karena berada pada fase kematian. Teori tersebut
telah sesuai dengan hasil praktikum kali ini, dimana semakin lama
waktu fermentasi, maka nilai OD yang dihasilkan semakin tinggi,
namun pada N96 terjadi penurunan nilai OD pada setiap kelompok.
Dengan demikian maka semakin banyaknya jumlah sel seiring
berjalannya waktu fermentasi, maka larutan seharusnya akan semakin
keruh dan akan menghasilkan nilai absorbansi yang tinggi.
Berdasarkan grafik hasil pengamatan hubungan absorbansi dengan
waktu pada praktikum ini terlihat bahwa terdapat ketidaksesuaian
data OD pada N48 kelompok B2 yang mengalami penurunan dari hari
sebelumnya. Menurut Ewing (1976), hal ini dapat terjadi disebabkan
karena penempatan kuvet yang tidak tepat, kuvet yang digunakan
kotor, dan terdapat pengotor pada sampel yang akan dilakukan
pengujian OD dengan spektrofotometer. Laily et al. (2004)
menambahkan bahwa nilai OD menunjukkan terjadinya fase pertumbuhan
bakteri yang sangat jelas. Nilai OD ini akan stabil pada fase
adaptasi, namun nilai kekeruhan akan mengalami peningkatan saat
masuk fase eksponensial karena adanya penambahan jumlah sel.
4. 5. KESIMPULAN
Vinegar merupakan produk fermentasi kelompok cider dan terbuat
dari bahan dasar yang mengandung gula atau pati menjadi alkohol.
Kinetika bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan pembentukan
produk oleh suatu mikroorganisme, sehingga dapat mengetahui respon
sel dari mikroorganisme. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses
bioetanol adalah bahan dasar dan nutrisi substrat; suhu; pH;
konsentrasi substrat; serta waktu fermentasi. Kadar gula merupakan
faktor yang penting dalam proses fermentasi karena berperan sebagai
sumber karbon dalam metabolisme yeast. Pembuatan vinegar terdiri
dari dua tahapan, yaitu fermentasi pembentukan alkohol yang
melibatkan Saccharomyces cereviceae dan pembentukan asam asetat
yang melibatkan Acetobacter aceti. Proses inkubasi dengan
menggunakan shaker bertujuan sebagai aerasi dan agitasi.
Haemocytometer merupakan suatu ruang hitung yang berbentuk
petak-petak kecil dan biasa digunakan untuk menghitung jumlah sel
di bawah mikroskop. Metode titrasi dapat bertujuan untuk mengukur
kesamaan karena asam dapat dinetralisasi oleh penambahan basa.
Semakin lama waktu fermentasi yang berlangsung, maka nilai
absorbansi yang dihasilkan semakin tinggi karena jumlah sel yeast
yang tumbuh selama fermentasi semakin banyak, namun pada tahap
akhir fermentasi (N96) akan mengalami penurunan jumlah
mikroorganisme karena berada pada fase kematian. Kematian yeast
terjadi akibat keberadaan etanol yang diproduksi oleh yeast dalam
jumlah yang besar. Lama fermentasi berkaitan dengan pertumbuhan
Saccharomyces cereviceae yang mengikuti kurva pertumbuhan
mikroorganisme. Sampel yang semakin keruh menunjukkan semakin
tingginya aktivitas dari sel yeast untuk mengubah gula menjadi
alkohol dan hasil metabolit lainnya Hubungan antara OD dan jumlah
sel mikroorganisme akan berbanding lurus. Ketika jumlah sel yeast
meningkat, maka produksi etanol juga meningkat, sehingga akan
terjadi penurunan nilai pH karena alkohol bersifat asam.
Berkurangnya jumlah biomassa sel akan menurunkan tingkat keasaman
dari vinegar.Semarang, 29 Juni 2015Asisten Dosen, Bernardus Daniel
Metta Meliani Chaterine MeilaniMelita Mulyani12.70.0080
6. 7. DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, F.; A. T. Jameel; M. H. Kamarudin & M. Mel. (2011).
Study of Growth Kinetic and Modeling of Ethanol Production by
Saccharomyces cerevisae. African Journal of Biotechnology, Vol. 16
(81) : 18842-18846. Malaysia.
Amenaghawon, N. A.; C. O. Okieimen & S. E. Ogbeide. (2012).
Kinetic Modelling of Ethanol Inhibition during Alcohol fermentation
of Corn Stover using Saccharomyces cerevisiae. International
Journal of Engineering Research and Applications (IJERA), Vol. 2
(4) : 798-803. Nigeria.
Anagnostopoulos, V. A.; B. D. Symeopoulos & M. J. Soupioni.
(2010). Effect of Growth Conditions on Biosorption of Cadmium and
Copper by Yeast Cells. Global NEST Journal, Vol 12 (3) :
288-295.
Arthey, D. & P. R. Ashurst. (1998). Fruit Processing.
Chapman & Hall. London.
Astawan, M. A. & M. Astawan. (1991).Teknologi Pengolahan
Pangan Nabati Tepat Guna Edisi Pertama.CV Akademika Pressindo.
Jakarta.
Atlas, R. M. (1984). Microbiology Fundamental and Applications.
Mac Millard Publishing Company. New York.
Azizah, N. A.; N. Al-Baarri & S. Mulyani. (2012). Pengaruh
Lama Fermentasi Terhadap Kadar Alkohol, pH, dan Produksi Gas Pada
Proses Fermentasi Bioetanol dari Whey dengan Substrat Kulit Nanas.
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, Vol. 1 (2) : 72-77. Semarang.
Chang, R. (1991). Chemistry. MC Graw Hill. USA.
Chen, Y. W. & P. J. Chiang. (2011). Automatic Cell Counting
for Hemocytometers through Image Processing. World Academy of
Science, Engineering and Technology, Vol. 58 : 719-722.
Clark, J. (2007). Hukum Beer-Lambert.
http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/instrumen_analisis/spektrum_serapan_ultraviolet-tampak__uv-vis_/hukum_beer_lambert/.
Diakses tanggal 24 Juni 2015 pukul 21.19.
Damtew, W.; S. A. Emire & A. B. Aber. (2012). Evaluation of
Growth Kinetics and Biomass Yield Efficiency of Industrial Yeast
Strains. Archives of Applied Science Research Journal, Vol. 4 (5) :
1938-1948. Ethiopia.
Day, R. A. & A. L. Underwood. (1992). Analisa Kimia
Kuantitatif Edisi Kelima Jilid 2. Erlangga. Jakarta.
Ewing, G. W. (1976).Instrumental Methods of Chemical Analysis.
Mc Growhill Book Company. USA.
Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan I. PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Fatimah; F. Lia & L. Rahmasari. (2013). Kinetika Reaksi
Fermentasi Alkohol dari Buah Salak. Jurnal Teknik Kimia USU, Vol. 2
(2) : 16-20. Medan.
Girindra, A. (1986). Biokimia 1. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Gurvinder, S. K. & Pooja. (2011). Status of Wine Production
from Guava (Psidium guajava L.): A Traditional Fruit of India.
African Journal of Food Science, Vol. 5 (16) : 851-860. India.
Hadioetomo, R. S. (1993). Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Herrero, M.; L. A. Garcia & M. Diaz. (2006). Volatile
Compounds in Cider: Inoculation Time and Fermentation Temperature
Effects. Journal of the Institute of Brewing, Vol. 112 (3) :
210-214. Spain.
Ikhsan, M. B. (1997). Pengaruh Media Starter dan Cara Penambahan
Gula Terhadap Kualitas Anggur Pisang Klutuk. Stiper Farming.
Semarang.
Jomdecha, C. & A. Prateepasen. (2006). The Research of Low
Ultrasonic Energy Affects to Yeast Growth in Fermentation Process.
Asia Pacific Conference on NDT. Auckland, New Zealand.
Kartohardjono, S.; Anggara; Subihi & Yuliusman. (2007).
Absorbsi CO2 dari Campurannya dengan CH4 atau N2 melalui Kontaktor
Membran Serat Berongga Menggunakan Pelarut Air. Jurnal Teknologi,
Vol. 11 (2): 97-102.
Kulkarni, M. K.; P. T. Kininge & N. V. Ghasghase. (2011).
Effect of Additives on Alcohol Production and Kinetic Studies of S.
cerevisiae for Sugar Cane Wine Production. International Journal of
Advanced Biotechnology and Research, Vol. 2 (1) : 154-158.
Kumalasari, I. J. (2011). Pengaruh Variasi Suhu Inkubasi
terhadap Kadar Etanol Hasil Fermentasi Kulit dan Bonggol Nanas
(Ananas sativus). Skripsi. Universitas Muhammadiyah Semarang.
Semarang.
Kwartiningsih, E & L. Nuning S. M. (2005). Fermentasi Sari
Buah Nanas Menjadi Vinegar. Ekuilibrium, Vol. 4 (1) : 8-12.
Laily, N.; Atariansah; D. Nuraini; S. Istini; I. Susanti &
L. Hartono. (2004). Kinetika Fermentasi Produksi Selulosa Bakteri
oleh Acetobacter pasteurianum Pada Kultur Kocok. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Margantan, A. (2001). Banyak Makanan Berkhasiat Obat. CV Aneka.
Solo.
Martoharsono, S. (1994). Biokimia Jilid 1. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Muljohardjo, M. (1988). Teknologi Pengawetan Pangan Edisi
Ketiga. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Nogueira, A.; C. Mongruel; Deise R. S.; Nina W. & G.
Wosiacki. (2007). Effect of Biomass Reduction on the Fermentation
of Cider. Brazilan Archives of Biology and Technology. Brazil.
Nogueira, A; J. M. Le Quere; P. Gestin; A. Michel; G. Wosiacki
& J. F. Drilleau. (2008). Slow Fermentation in French Cider
Processing due to Partial Biomass Reduction. Journal Inst. Brew.,
Vol. 114 (2) : 102-110.
Petrucci, R & Suminar. (1987). Kimia Dasar Prinsip dan
Terapan Modern Edisi Keempat Jilid 2. Erlangga. Jakarta.
Petrucci, R. H. (1992). Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern
Jilid 2. Erlangga. Jakarta.
Pomeranz, Y. & C. E. Meloan. (1994). Food Analysis Theory
and Practice. John Wiley and Sons, Inc. New York.
Purwoko, T. (2007). Fisiologi Mikroba. Bumi Aksara. Jakarta.
Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. Arcan. Jakarta.
Ranganna. (1978). Analysis of Fruit and Vegetable Product. The
AVI Publ. Co. Inc. New Delhi.
Realita, T. & M. S. Debby. (2010). Teknologi Fermentasi.
Widya Padjajaran. Bandung.
Reed, G. & H. J. Rehm. (1983). Biotechnology Vol III :
Industrial Microbiology. AVI PublishingCompany Inc. Westport,
Connecticut.
Saha, P. & S. Banerjee. (2013). Optimization of Process
Parameters for Vinegar Production Using Banana Fermentation.
International Journal of Research in Engineering and Technology,
Vol. 2 (9) : 501-514. India.
Said, E. G. (1987). Bioindustri: Penerapan Teknologi Fermentasi.
PT Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.
Sari, I. M.; Noverita & Yulneriwarni. (2008). Pemanfaatan
Jerami Padi dan Alang- Alang dalam Fermentasi Etanol Menggunakan
Kapang Trichoderma viride dan khamir Saccharomycess cerevisiae.
VisVitalis, Vol. 5 (2) : 55-62.
Sener, A.; Ahmet C. & M. Umit U. (2007). The Effect of
Fermentation Temperature on the Growth Kinetics of Wine Yeast
Species. Turkey Journal Agricultural for 31 : 349-354. Turkey.
Sevda, S. B. & Rodrigues L. (2011). Fermentative Behavior of
Saccharomyces Strains During Guava (Psidium guajava L) Must
Fermentation and Optimization of Guava Wine Production. Journal of
Food Process Technol., Vol. 2 (4). India.
Solomon, S. (1987). Introduction to General, Organic, and
Biological Chemistry. Mc. Graw-Hill Inc. USA.
Sreeramulu; Guttapadu; Y. Zhu & W. Knol. (2000). Kombucha
Fermentation and Its Antimicrobial Activity. Journal Agriculture
Food Chem., Vol. 48 (6) : 2589-2594.
Stanburry, P. F. & Whitaker. (1984). Principles of
Fermentation Technology. Pergamon Press. New York.
Tranggono; B. Setiaji; Suhardi; Sudarmanto; Y. Marsono; A.
Murdiati; I. S. Utami & Suparmo. (1989). Petunjuk Laboratorium
Biokimia Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Triwahyuni, E.; N. Ariani; H. Hendarsyah & T. idiyanti.
(2012). The Effect of Dry Yeast Saccharomyces cereviceae
Concentration on Fermentation Process for Bioethanol Production
from Palm Oil Empty Fruit Bunches. Proceeding of ICSEEA 31-34.
Wang, D.; Y. Xu; J. Hu & G. Zhao. (2004). Fermentation
Kinetics of Different Sugars by Apple Wine Yeast Saccharomyces
cerevisiae. Journal of the Institute of Brewing, Vol. 110 (4) :
340-346.
Wilford, L. (1987). Chemistry for First Examinations. Blackie.
London.
Winarno, F. G.; S. Fardiaz & D. Fardiaz. (1980). Pengantar
Teknologi Pertanian. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Yalcin & Ozbas. (2008). Effects of Ph and Temperature on
Growth and Glycerol Production Kinetics of Two Indigenous Wine
Strains of Saccharomyces cerevisiae from Turkey. Brazilian Journal
of Microbiology, Vol. 39 : 325-332.
8. 9. LAMPIRAN9.1. PerhitunganRumus :
Keterangan :Volume petak = 0,05 mm x 0,05 mm x 0,1 mm = 0,00025
cm3 = 2,5 x 10-7 ccN NaOH = 0,1 N
9.1.1. Rata-Rata / tiap ccKelompok B1
Kelompok B2
Kelompok B3
Kelompok B4
Kelompok B5
9.1.2. Total AsamKelompok B1
Kelompok B2
Kelompok B3
Kelompok B4
Kelompok B5
9.2. Laporan Sementara9.3. Jurnal