Kinerja Birokrasi Pelayanan PublikPosted by:Parliamentary
Centeron 26 October 2010inNasional2 CommentsSelasa 26/10/2010
Buruknya birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar yang
dihadapi Asia. Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang
berbasis di Hongkong meneliti pendapat para eksekutif bisnis asing
(expatriats), hasilnya birokrasi Indonesia dinilai termasuk
terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti dibandingkan keadaan
di tahun 1999, meskipun lebih baik dibanding keadaan Cina, Vietnam
dan India.Di tahun 2000, Indonesia memperoleh skor 8,0 atau tak
bergerak dari skor 1999, dari kisaran skor yang dimungkinkan, yakni
nol untuk terbaik dan 10 untuk terburuk. Skor 8,0 atau jauh di
bawah rata-rata ini diperoleh berdasarkan pengalaman dan persepsi
expatriats yang menjadi responden bahwa antara lain menurut mereka
masih banyak pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang memanfaatkan
posisi mereka untuk memperkaya diri sendiri dan orang terdekat.Para
eksekutif bisnis yang disurvei PERC juga berpendapat, sebagian
besar negara di kawasan Asia masih perlu menekan hambatan birokrasi
(red tape barriers). Mereka juga mencatat beberapa kemajuan,
terutama dengan tekanan terhadap birokrasi untuk melakukan
reformasi.Reformasi menurut temuan PERC terjadi di beberapa negara
Asia seperti Thailand dan Korea Selatan. Peringkat Thailand dan
Korea Selatan tahun 2000 membaik, meskipun di bawah rata-rata,
yakni masing-masing 6,5 dan 7,5 dari tahun lalu yang 8,14 dan 8,7.
Tahun lalu (1999), hasil penelitian PERC menempatkan Indonesia
sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi dan sarat kroniisme
dengan skor 9,91 untuk korupsi dan 9,09 untuk kroniisme dengan
skala penilaian yang sama antara nol yang terbaik hingga sepuluh
yang terburuk.Konsep KebijakanInformasi mengenai kinerja birokrasi
publik terjadi karena kinerja belum dianggap sebagai suatu hal yang
penting oleh penierintah. Tidak tersedianya informasi mengenai
indikator kinerja birokrasi publik menjadi bukti dan
ketidakseriusan pemerintah untuk menjadikan kinerja pelayanan
publik sebagai agenda kebijakan yang penting. Kinerja pejabat
birokrasi tidak pernah menjadi pertimbangan yang penting dalam
mempromosikan pejabat birokrasi. Daftar penilaian pelaksanaan
pekerjaan (DP3) yang selama ini dipergunakan untuk menilai kinerja
pejabat birokrasi sangat jauh relevansinya dengan
indikator-indikator kinerja yang sebenarnya.Akibatnya, para pejabat
birokrasi tidak memiliki insentif untuk menunjukkan kinerja
sehingga kinerja birokrasi cenderung menjadi amat rendah.Pemerintah
terhadap birokrasi seringkali tidak ada hubungannya dengan kinerJ
birokasinya. misalnya, dalam menentukan anggaran birokrasinya,
pemerintah sama sekali idak mengaitkan anggaran dengan kinerja
birokrasi. Anggaran birokrasi publik selama ini lebih didasarkan
atas input, bukan cutput. Anggaran yang ditcrima oleh sebuah
birokrasi publik lebih ditentukan oleh kebutuhan, bukan oleh hasil
yangakan diberikan oleh birokrasi itu pada masyarakatnya.Akibatnya,
dorongan untuk mewujudkan hasil dan kinerja cenderung rendah dalam
kehidupan birokrasi publik.Karena anggaran sening menjadi driving
force dari perilaku birokrasi dan para pejabatnya, mengaitkan
anggaran yang ditnirna oleh sebuah birokrasi publik dengan hasil
atau kinerja bisa menjadi salah satu faktor yang mendorong
perbaikan kinerja birokrasi publik. Para pejabat birokrasi yang
ingin memperoleh anggaran yang besar menjadi terdorong untuk
menunjukkan kmerja yang balk. Kalau ini dapat dilakukan, data dan
informasi mengenai kinerja birokrasi publik niscaya akan tersedia
sehingga penilaian kinerja birokrasi publik juga menjadi lebih
mudah dilakukan.Faktor lain yang menyebabkan terbatasnya informasi
mengenai kinerja birokrasi publik adalah kompleksitas indikator
kinerja yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi
publik. Berbeda dengan swasta yang indikator kinerjanya relatif
sederhana dan tersedia di pasar, indikator kinerja birokrasi sering
sangat kompleks. Hal ini terjadi karena birokrasi publik memiliki
stakeholders yang sangat banyak dan memiliki kepentingan yang
berbeda-beda. Perusahaan bisnis memiliki stakeholders yang jauh
lebih sedikit, pemilik dan konsumen, dan kepentingannya relatif
mudah dintegrasikan. Kepentingan utarna peinilik perusahaan ialah
selalu memperoleh keuntungan, sedangkan kepentingan utama konsuuen
biasanya adalait kualitas produk dan harga yang
terjangkau.Stakeholders dan birokrasi publik, seperti masyarakat
pengguna jasa, aktivis sosial dan partai, wartawan, dan para
penggusaha sering berkepentingan berbeda-beda dan berusaha
mendesakkan kepentingannya agar diperhatikan oleh birokrasi publik.
Penilaian kinerja birokrasi publik karenanya cenderung menjadi jauh
lebih kompleks dan sulit dilakukan daripada di perusahaan
bisnis.Penilaian kinerja birokrasi publik tidak cukup hanya
dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang melekat pada
birokrasi itu seperti efisiensi dan efektivitias, tetapi harus
dilihat juga dan indikator-indikator yang melekat pada pengguna
jasa, seperti kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas, dan
responsivitas. Penilaian kinerja dan sisi pengguna jasa menjadi
sangat penting karena birokrasi publik seringkali memiliki
kewenangan monopolis sehingga para pengguna jasa tidak memiliki
alternatif sumber pelayanan.Dalam pelayanan yang diselenggarakan
oleh pasar, yang pengguna jasa memiliki pilihan sumber pelayanan,
penggunaan pelayanan bisa mencerminkan kepuasan terhadap memberi
layanan. Dalam pelayanan oleh birokrasi publik, penggunaan
pelayanan oleh publik sering tidak ada hubungannya sama sekali
dengan kepuasannya terhadap pelayanan. Kesulitan lain dalam menilai
kinerja birokrasi publik muncul karena tujuan dan misi birokrasi
publik seringkali bukan hanya sangat kabur, tetapi juga bersifat
multidimensional.Kenyataan bahwa birokrasi publik mernilild
stakeholders yang banyak dan meinilild kepentingan yang sering
berbenturan satu dengan lainnya membuat birokrasi publik mengalaini
kesulitan untuk merumuskan inisi yang jelas. Akibatnya, ukuran
kinerja organisasi publik di mata para stakeholders juga
berbedabeda. Namun, ada beberapa indikator yang biasanya digunakan
untuk mengukur kinerja birokrasi publik (Dwiyanto, 1995), yaitu
sebagai berikut.1. ProduktivitasKonsep produktivitas tidak hanya
mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan.
Produktivitas pada umumnya dipahaini sebagai rasio antara input
dengan output. Konsep produktivitas dirasa terlalu sempit dan
kemudian General Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan satu
ukuran produktivitas yang lebih luas dengan memasukkan seberapa
besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan sebagai
salah satu indikator kinerja yang penting.2. Kualitas LayananIsu
mengenai kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam
menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan
negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena
ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima
dan organisasi publik. Dengan deinikian, kepuasaan masyarakat
terh.dap Lyanan dapat dijadikan indikator kinerja organisasi
publik. Keuntungan utama menggunakan kepuasan masyarakat sebagai
indikator kinerja adalah informasi mengenai kepuasan masyarakat
seringkali tersedia secara mudah dan murah.Informasi mengenai
kepuasan terhadap kualitas pelayanan seringkali dapat diperoleh dan
media massa atau diskusi pubilk. Akibat akses terhadap informasi
mengenai kepuasan masyarakat terhadap kualitas layanan relatif
sangat tinggi, maka bisa menjadi satu ukuran kinerja organisasi
publik yang mudah dan murah dipergunakan. Kepuasan masyarakat bisa
menjadi parameter untuk menilai kinerja organisasi publik.3.
ResponsivitasResponsivitas adalah kemampuan organisasi untuk
mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas
pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik
sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat
responsivitas di sini menunjuk pada keselarasan antara program dan
kegiatan pelayanan dengan kcbutuhan dan azpirasi.Kumorotorno (1996)
menggunakan beberapa kriteria untuk dijddikan pedoman dalam menilai
kirerja organisasi pelayanan publik, antara lam, adalah berikut
ini.1. EfisiensiEfisiensi menyangkut pertimbangan tentang
keberhasilan organisasi pelayanan publik mendapatkan laba,
memanfaatkan faktor-faktor produksi serta pertimbangan yang berasal
dari rasionalitas ekonomis. Apabila diterapkan secar objektif,
kriteria. seperti likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas
merupakan kriteria efisiensi yang sangat relevan.2.
EfektivitasApakah tujuan dan didirikannya organisasi pelayanan
publik tersebut tercapai? Hal tersebut erat kaitannya dengan
rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi, serta fungsi
agen pembangunan.3. Keadilankeadilan mempertanyakan distnibusi dan
alokasi layanan yang diselenggarakanoieh organisasi pelayanan
publik. Kriteria ini erat kaitannya dengan konsep ketercukupan atau
kepantasan. Keduanya mempersoalkan apakah tingkat efektivitas
tertentu, kebutuhan dan nilai-nilai dalam masyarakat dapat
terpenuhi. Isu-isu yang mnyangkut pemerataan pembangunan, layanan
kepada kelompok pinggiran dan sebagainya, akan mampu dijawab
melalui kriteria ini.4. DayaTanggapBerlainan dengan bisnis yang
dilaksanakan oleh perusahaan awasta, organisasi pelayanan publik
merupakan bagan diri daya tanggap negara atau pemerintah akan
kebutuhan vital masyarakat. Oleh sebab itu, kriteria organisasi
tersebut secara keseluruhan harus dapat dipertanggungjawabkan
secara transparan demi memenuhi kriteria daya tanggap.Salim &
Woodward (1992) melihat kinerja berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan ekonomi, efisiensi, efektivitas, dan
persamaan pelayanan. Aspek ekonorni alam kinerja diartikan sebagai
strategi untuk menggunakan sumber daya yang senunimal mungkin dalam
proses penyelenggaraan kegiatan pelayanan publik. Efisiensi kinerja
pelayanan publik juga dilihat untuk menunjuk suatu kondisi
tercapainya perbandingan terbaik/proporsional antara input
pelayanan dengan output pelayanan.Demikian pula, aspek efektivitas
kinerja pelayanan ialah untuk melihat tercapainya pemenuhan tujuan
atau target pelayanan yang telah ditentukan. Prinsip keadilan dalam
pemberian pelayanan publik juga dilihat sebagai ukuran untuk
menilai seberapa jauh suatu ventuk pelayanan telah memperhatikan
aspek-aspek keadilan dan membuat publik memiliki akses yang sama
terhadap sistem pelayanan yang ditawarkan.Zeithaini, Parasuraman,
dan Berry (1990) mengemukakan bahwa kinerja pelayanan publik yang
baik dapat dilihat melalui berbagai indikator yang sifatnya
fisik.Penyelenggaraan pelayanan publik yang baik dapat dilihat
melalui aspek fisik pelayanan yang diberikan, seperti tersedianya
gedung pelayanan yang representatif, fasilitas pelayanan berupa
televisi, ruang tunggu yang nyaman, peralatan pendukung yang
memiliki teknologi canggih, misalnya komputer, penampilan aparat
yang menarik di mata pengguna jasa, seperti seragam dan aksesoris,
serta berbagai fasilitas kantor pelayanan yang memudahkan akses
pelayanan bagi masyarakat.Berbagai perspektif dalam melihat kinerja
pelayanan publik di atas memperlihatkan bahwa indikator-indikator
yang dipergunakan untuk menyusun kinerja pelayanan publik ternyata
sangat bervariasi. Secara garis besar, berbagai parameter yang
dipergunakan untuk melihat kinerja pelayanan publik dapat
dikelompokkan menjadi dua pendekatan. Pendekatan pertama melihat
kinerja pelayanan publik dan perspektif pemberi layanan, dan
pendekatan kedua melihat kinerja pelayanan publik dan perspektif
pengguna jasa.Pembagian pendekatan atau perspektif dalam nielihat
kinerja pelayanan publik tersebut hendaknya tidak dilihat secara
diametrik, melainkan tetap dipahami sebagai suatu sudut pandang
yang saling berinteraksi di antara keduanya; Hal tersebut
disebabkan dalam melihat persoalan kinerja pelayanan publik,
terdapat berbagai faktor yang mempengaruhinya secara timbal balik,
terutama pengaruh interaksi lingkungan yang dapat mempengaruhi cara
pandang birokrasi terhadap publik, demikian pula sebaliknya.Dalam
konteks kinerja birokrasi pelayanan publik di Indonesia, pemerintah
melalui Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan)
Nomor 81 lahun 1995 telah memberikan berbagai rambu-rambu pemberian
pelayanan kepada birokrasi publik secara baik. Berbagai prmsip
pelayanan, seperti kesederhanaan, kejelasan, kepastian, keamanan,
keterbukaan, efisien, ekonoinis, dan keadilan yang merata merupakan
prinsip-prinsip pelayanan yang harus diakomodasi dalam pemberian
pelayanan publik di Indonesia.Prinsip kesederhanaan, misalnya,
mempunyai maksud banwa prosedur atau tata cara pemberian pelayanan
publik harus didesain sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan
pelayanan kepada masyarakat menjadi mudah, lancar, cepat, tidak
berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan.Perkembangan
lingkungan global juga telah memberikan andil yang besar kepada
birokrasi untuk semakin meningkatkan daya saing dalam kerangka
pasar bebas dan tuntutan globatisasi.Birokrasi publik dituntut
harus mampu memberikan pelayanan yang sebaik mungkin, baik kepada
publik maupun kepada investor dari negara lain. Salah satu strategi
untuk merespons perkembangan global tersebut adalah dengan
meningkatkan kapasitas birokrasi dalam pemberian pelayanan, publik.
Penerapan strategi yang mengintegrasikan pendekatan kultural dan
struktural ke dalam sistem pelayanan birokrasi, yang disebut dengan
Total Quality Management (TQM), dapat dilakukan untuk semakin
meningkatkan produktivitas dan perbaikan pelayanan
birokrasi.Perbaikan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan
publik menjadi isu yang semakin penting untuk segera mendapatkan
perhatian dan semua pihak. Birokrasi yang memiliki kinerja buruk
dalam menberikan pelaydnan kepada publik akan sangat mempengaruhi
kinerja pemerintah dan masyarakat secara keseluruan dalam rangka
meningkatkan daya saing suatu negara pada era global.Birokrasi
pelayanan publik di Indonesia, berdasarkan laporan dan The World
Competitiveness Yearbook tahun 1999 berada pada kelompok
negara-negara yang memiliki indeks competitiveness paling rendah di
antara 100 negara paling kompetitif di dunia (Cullen & Cushman,
2000: 15) semakin buruk dan semakin korup karena dengan semakin
besarnya skor yang dimiliki, semakin buruk kualitas birokrasi di
suatu negara.Birokrasi di Indonesia dalam tahun 2001 hanya lebih
baik dibandingkan dengan India dan Vietnam. Dan kacamata iklim
bisnis secara keseluruhan, dengan mmperhatikan faktor sistemik,
sosio-politik, lingkungan, pasar, dan dinamika perekonomian,
Indonesia bahkan berada pada posisi paling bawah dalam indeks
bisnis. Hal tersebut berarti bahwa Indonesi menjadi negara yang
paling tidak menarik untuk tujuan melakukan investasi.Kinerja
birokrasi sebenarnya dapat dilihat melalui berbagai dimensi,
seperti dimensi akuntabilitas, efisiensi, efektivitas,
responsivitas, maupun responsibiltas. Berbagai literatur yang
membahas kinerja birokrasi pada dasarnya memiliki kesamaan
substansial yakni untuk meihat seberapa jauh tingkat pencapaian
hasil yang telah dilakukan oleh birokrasi pelayanan. Kinerja itu
merupakan suatu konsep yang disusun dan berbagai indikator yang
sangat bervariasi sesuai dengan fokus dan konteks
penggunaannya.Perspektif yang digunakan oleh birokrasi sebagai
pemberi layanan merupakn perspektif yang sebenarnya berasal dan
pendekatan birokrasi yang cenderung menempatkan diri sebagai
regulator danipada sebagai pelayan. Kineqa birokrasi pada awlrwa
banyak dipahanii oleh kalangan birokrasi hanya dan aspek
responsibilitas, yakni sejauh mana pelayanan yang diherikan telah
sesuai dengan aturan formal yang diterapkan.Pemberian pelayanan
yang telah menunjuk kepada aturan formal dianggap telah memenuhi
sendi-sendi pelayanan yang baik dan aparat pelayanan dianggap telah
konsisten dalam menerapkan aturan hukum pelayanan. Sulit untuk
menelusuri lebih jauh, apakah penerapan prinsip tersebut telah
membawa implikasi kepada kultur birokrasi pelayanan di Indonesia
yang tidak dapat melakukan inisiatif dan inovasi
pelayanan.C.AkuntabilitasAkuntabilitas dalam penvelenggaraan
pelavanan publik adalah suatu ukuran yang menunjukkan beberapa
besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran
nilai-nilai atau norma eksternal yang ada di masyarakat atau yang
diiniliki oleh para stakeholders. Nilai dan norma pelayanan yang
herkembang dalam masyarakat tersebut di antaranya meliputi
transparansi pelayanan, prinsip keadilan, jaminan penegakan hukum,
hak asasi manusia, dan orentasi pelayanan yang dikembangkan
terhadap masyarakat pengguna jasa.Akuntabilitas penyelenggaraan
pelayanan publik dalampenelitian dilihat melalui
indikator-indikator kinerja yang meliputi: (1) acuan pelayanan yang
dipergunakan aparat birokrasi dalam proses penyelenggraan pelayanan
publik. Indikator tersebut mencerminkan prinsip orientasi pelayanan
yang dikembangkan oleh birokrasi terhadap masyarakat pengguna jasa;
(2) tindakan yang dilakukan oleh aparat birokrasi apabila terdapat
masyarakat pengguna jasa yang tidak memenuhi persyaratan yang telah
ditentukan; dan (3) dalam menjalankan tugas pelayanan, seberapa
jauh kepentingan pengguna jasa memperoleh prioritas dari aparat
birokrasi.Aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan publik
seringkali masih menerapkan standar nilai atau norma pelayanan
secara sepihak, seperti pemberian pelayanan yang hanya berdasarkan
pada juklak (petunjuk dan pelaksanaan) sehingga kecenderungan yang
terjadi adalah lemahnya komitmen aparat birokrasi untuk akuntabel
terhadap masyarakat yang dilayaninya.Salah satu faktor penyebab
yang menjadikan rendahnya tingkat akuntabilitas birokrasi adalah
terlalu amanya proses indoktrinasi kultur birokrasi yang
mengarahkan aparat birokrasi untuk selalu melihat ke atas. Selama
ini aparat birokrasi telah terbiasa lebih mementingkan kepentingan
pimpinan daripada kepentingan masyarakat pengguna jasa. Birokrasi
tidak pernah merasa bertanggung jawab kepada publik, melainkan
bertanggung jawab kepada pimpinan atau atasannya.Pemberian
pelayanan yang memakan proses dan prosedur panjang, seperti yang
terjadi di Unit Pelayanan Terpadu, juga menjadi indikasi masih
rendahnya akuntabiltas dan birokrasi pelayanan yang ada. Keberadaan
Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) sebagai unit pelayanan
yang pada awalya dirancang untuk memudahkan pelayanan masyarakat,
pada kenyataannya justru cenderung memperpanjang proses dan
prosedur pelayanan.Meskipun demikian, keberadaannya masih tetap
dipertahankan karena merupakan program dari Pemerintah Pusat.
Seorang aparat birokrasi pada kantor Dmas Tata Kota mengakui telah
terjadinya ketidakefektifan sistem pelayanan di UPTSA. Rendahnya
akuntabilitas pemberian pelayanan publik oleh birokrasi dapat
dilihat juga dan banyaknya kasus yang dialami oleh masyarakat
pengguna jasa. Masalah prosedur pelayanan yang banyak merugikan
masyarakat pengguna jasa, terutama masalah transparansi persyaratan
yang diperlukan, merupakan kasus-kasus pelayanan yang banyak
mencuatTransparansi informasi birokrasi dalam pemberian pelayanan
publik masih tetap menjadi isu yang penting bagi upaya ke arah
perbaikan kinerja birokrasi pemerintah. Tindakan untuk melakukan
reformasi birokrasi terutama diarahkan pada upaya untuk peningkatan
efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas birokrasi (Lubis,
2001).Transparansi dalam birokrasi dapat memberikan implikasi pada
meningkatnya tingkat korupsi di dalam birokrasi, tetapi reformasi
tetap dilakukan di semua tingkatan birokrasi. Apabila reformasi
dilakukan pada tingkat birokrasi pusat saja, hal tersebut justru
hanya akan memindahkan korupsi dan birokrasi pusat ke birokrasi
yang ada di daerah. Acuan pelayanan yang digunakan oleh aparat
birokrasi juga dapat menunjukkan tingkat akuntabilitas pemberian
pelayanan publik. Acuan pelayanan yang dianggap paling penting oleh
birokrasi dapat merefleksikan pola pelayanan yang dipergunakan.Pola
pelayanan yang akuntabel adalah pola pelayanan yang mengacu pada
kepuasan publik sebagai pengguna jasa. Birokrasi pelayanan di
ketiga daerah ternyata masih menjadikan aturan dan petunjuk
pimpinan sebagai acuan utama pemberian pelayanan. Birokrasi bahkan
terlihat belum sepenuhnya mengerti dan memahami eksistensi
birokrasi yang tetap tergantung pada publik.Kesadaran aparat
birokrasi tentang eksistensi publik yang dapat dipengaruhi
eksistensi birokrasi juga masih sangat rendah.Persepsi di kalangan
aparat birokrasi yang selalu menempatkan diri (superior) terhadap
publik sehingga menimbulkan sifat arogansi aparat birokrasi masih
sangat dominan terlihat. Hasil temuan lapangan bahwa ini dapat
memperlihatkan masih kuatnya kecenderungan orientasi pemberian
pelayanan yang belum bersandar pada uasan masyarakat menunjukkan
bahwa budaya minta petunjuk atasan masih cenderung dijadikan
referensi atau lebih dipentingkan pada melakukan pelayanan yang
memuaskan masyarakat pengguna .Acuan pelayanan birokrasi di ketiga
daerah yang masih menempatkan pimpinan dan aturan sebagai sentral
pelayanan membuktikan bahwa kultur atau corak birokrasi patrimonial
masih mewarnai birokrasi dalam memberikan pelayanan publik. Aparat
pelayanan yang bertindak atas dasar prinsip peraturan menjadi
bersikap kaku dan tidak mendorong lahirnya kreativitas dalam
pemberian layanan. Pelaksanaan pelayanan publik seharusnya bertitik
tolak dari misi dan visi pelayanan agar dapat mengakomodasi
kepentingan masyarakat.D.ResponsivitasResponsivitas adalah
kemampuan birokrasi untuk rnengenal kebutuhan masyarakat, menyusun
agenda dan prioritas pelayanan, serta mengembangkan program-progrm
pelayanan sesuai dcngan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa responsivitas ini mengukur daya
tanggap birokasi lerhadap harapan, keinginan dan aspirasi, serta
tuntutan pengguna jasa. Responsivitas sangat diperlukan dalam
pelayanan publik karena hal tersebut merupakan bukti kemampuan
organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda
dan prioritas pebyanan serta mengembangkan program-program pelayan
publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat (Dilulio,
1991). Organisasi yang memiliki responsivitas rendah dengan
sendirinya memiliki kinerja yang jelek juga (Osborne &
Plastrik, 1997).Dalam operasionalisasinya, responsivitas pelayanan
publik dijabarkan menjadi beberapa indikator, seperti meliputi (1)
terdapat tidaknya keluhan dan pengguna jasa selama satu tahun
terakhir; (2) sikap aparat birokrasi dalam merespons keluhan dan
pengguna jasa; (3) penggnaan keluhan dan pengguna jasa sebagai
referensi bagi perbaikan penyelenggaraan pelayanan pada masa
mendatang (4) berbagai tindakan aparat birokrasi untuk memberikan
kepuasan pelayanan kepada pengguna jasa; serta (5) penempatan
pengguna jasa oleh aparat birokrasi dalam sistem pelayanan yang
berlaku.Keluhan yang disampaikan oleh masyarakat pengguna jasa
merupakan indikator pelayanan yang memperlihatkan bahwa produk
pelayanan yang selama ini dihasilkan oleh birokrasi belum dapat
memenuhi harapan pengguna layanan.Responsivitas birokrasi yang
rendah juga banyak disebabkan oleh belum adanya pengembangan
komunikasi eksternal secara nyata oleh jajaran birokrasi pelayanan.
Indikasi nyata dari belum dikembangkannya komunikasi eksternal
secara efektif oleh birokrasi terlihat pada masih besarnya gap
pelayanan yang terjadi. Gap pelayanan yang terjadi merupakan
gambaran pelayanan yang memperlihatkan hahwa belum ditemukan
kesamaan persepsi antara harapan pengguna jasa dan pemberi layanan
terhadap kualitas pelayanan yang diberikan.Aparat birokrasi
pelayanan di ketiga daerah penelitian terlihat masih membuka jurang
komunikasi yang lebar dengan masyarakat pcngguna jasa. Tidak
transparannya aparat birokrasi pelayanan pertanahan, misalnya,
merupakan salah satu indikasi belum adanya pengembangan komunikasi
eksternal di kalangan aparat birokrasi dengan rnasyarakat pengguna
jasa. Tidak transparannya komunikasi dan birokrasi yang menyangkut
pemberian pelayanan menyebabkan pihak masyarakat pengguna jasa
selalu berada pada posisi yang dimikan.Tidak adanya transparansi
informasi dari birokrasi tersebut membuat banyak masyarakat
pengguna jasa mengalami frustasi. Kornunikasi yang tidak efektif
yang selama ini masih dikembangkan oleh birokrasi menunjukkan bahwa
birokrasi belum mempunyai kesadaran untuk meningkatkan kualitas
pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa.Responsivitas pemberian
pelayanan publik salah satunya diukur melalui keterbukaan informasi
dan seberapa jauh interaksi komunikasi yang terjalin antara
birokrasi sebagai pemberi layanan dengan masyarakat pengguna jasa.
Kasus di atas memperlihatkan gambaran bahwa masyarakat pengguna
jasa seringkali belum mempunyai akses terhadap informasi pelayanan
yang dibutuhkan, demikian pula kecenderungan aparat birokrasi
justru terkesan menyembunyikan informasi kepada masyarakat. Dalam
iklim komunikasi pelayanan yng tertutup seperti ini, sangat sulit
untuk dapat mewujudkan responsivitas aparat birokrasi dalam
penyelenggaraan pelayanan kepada publik.E.Orientasi pada
PelayananOrientasi pada pelayanan menunjuk pada seberapa banyak
energi birokrasi dirmanfaatkan untuk penyelenggaraan pelayanan
publik. Sistem pemberian pelayanan yang baik dapat dilihat dan
besarnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh birokrasi secara
efektif didayagunakan untuk melayani kepentingan pelayanan.
Idealisnya, segenap kemampuan dan sumber daya yang dimiliki oleh
aparat birokrasi hanya dicurahkan atau dikonsentrasikat untuk
melayani kebutuhan dan kepentingan pengguna jasa.Kemampuan dan
sumber daya aparat birokrasi sangat diperlukan agar orientasi pada
pelayanan dapat dicapai. Contohnya, antara lain, adalah masalah
penyediaan waktu kerja aparat yang benar-benar berorientasi pada
pemberian pelayanan kepada masyarakat. Aparat birokrasi yang ideal
adalah aparat birokrasi yang tidak dibebani oleh tugas-tugas kantor
lain di luar tugas pelayanan kepada masyarakat.Aparat pelayanan
yang ideal juga seharusnya tidak memiliki kegiatan atau pekerjaan
lain seperti pekerjaan sambilan di luar pekerjaan kantor yang dapat
mengganggu tugas-tugas penyelenggaraan pelayanan. Kinerja pelayanan
aparat birokrasi akan dapat maksimal apabila bila semua waktu dan
konsentrasi aparat benar-benar tercurah untuk melayani masyarakat
pengguna jasa.Kondisi pelayanan yang ideal di atas dalam
realitasnya sangat sulit untuk diwujudkan dalam birokrasi.
Ketidakjelasan pembagian wewenang, inkonsistensi pembagian kerja,
serta sikap pimpinan kantor yang sewenang-wenang memberikan tugas
kepada aparat bawahan tanpa memperhitungkan aspek sifat pekerjaan,
urgensi pekerjaan, dan dampak pemberian tugas terhadap kualitas
pemberian pelayanan kepada masyarakat. Hal-hal tersebut merupakan
beberapa fakta penyebab sulitnya aparat birokrasi berkonsentrasi
secara penuh pada tugas-tugas pelayanan masyarakat. Aparat
birokrasi seringkali meninggalkan tugas pelayanan dan lebih banyak
menghabiskan waktu untuk tugas-tugas lain di luar tugas
pelayanan.Kondisi tersebut membuat pelayanan kepada masyarakat
menjadi terganggu. Masih seringnya aparat birokrasi meninggalkan
tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat, erat kaitannya dengan
adanya tugas-tugas tambahan yang dibebankan oleh pimpinan kepada
aparat pada tingkat bawah yang menjalankan tugas pelayanan langsung
kepada masyarakat. Hal tersebut sangat sering menimpa aparat
birokrasi di tingkat desa, kelurahan, atau kecamatan yang merupakan
tingkatan pemerintahan terendah yang langsung berhadapan dengan
masyarakat.Aparat pelayanan seringkali diperintahkan oleh pimpinan
kantor desa atau kecamatan untuk menghadiri kegiatan-kegiatan
kemasyarakatan, scperti mewakili camat atau lurah melayat warga
yang meninggal dunia, ikut serta dalam kegiatan posyandu, safari
KB, pertemuan RW, atau pertemuan rapat warga lainnya, yang
dilakukan pada saat jam pelayanan.Penugasan aparat untuk dinas luar
oleh pihak pimpinan kantor pada saat jam pelayanan masih seringkali
ditemukan di beberapa kantor pelayanan baik di lingkungan kantor
pelayanan desa, kecamatan, kantor pertanahan maupun kantor
pelayanan perizinan. Kegiatan dinas luar yang seringkali dilakukan
oleh aparat birokrasi adalah melakukan kegiatan peninjauan suatu
kegiatan atau membantu pekerjaan dan seksi lainnya. Banyak
ditemukan aparat pelayanan yang membantu tugas-tugas dari seksi
atau bagian lainnya sehingga tugas pokoknya menjadi terbengkalai,
seperti seorang kepala seksi pelayanan harus ikut dalam kegiatan
penataan arsip, mengurusi surat menyurat, menjaga dan menerima
telepon kantor, atau bahkan penyelenggaraan pasar murah atau
sekaten.Tugas-tugas tersebut belum termasuk tugas-tugas untuk
kepentingan pribadi yang diberikan oleh pimpinan, seperti
mengerjakan tugas-tugas kantor yang seharusnya menjadi bagian tugas
pimpinan, menemani tamu kantor atau tamu pimpinan, menyampaikan
suatu surat pembenitahuan ke kantor-kantor kelurahan, atau mewakili
camat keliling kecamatan untuk memantau dan melakukan pembinaan
kepada masyarakat. Pada akhirnya ketidakberadaan petugas pelayanan
menyebabkan pemberian pelayanan terhadap pengguna jasa menjadi
lambat sehingga kinerja pelayanan publik menjadi buruk.Alasan yang
seringkali dikemukakan oleh pimpinan kantor untuk menugaskan aparat
pelayanan mengerjakan tugas lain pada saat-saat jam pelayanan
adalah karena terbatasnya jumlah personil aparat pelayanan. Para
pimpinan kantor, sebagaimana yang seringkali diungkapkan oleh para
aparat, seringkali menggunakan alasan pokokke endi sing selo, atau
pokoknya siapa saja aparat yang dianggap memiliki waktu luang, maka
akan ditugaskan untuk dinas luar.Manajemen pembagian tugas dan
sebagian besar pimpinan birokrasi yang belum mencerminkan gaya
seorang manajer tersebut menjadikan pola pembagian tugas dalam
birokrasi antara urusan adimnistratif, tugas pimpinan, dan tugas
pelayanan menjadi bercampur. Pimpinan birokrasi seningKali belwn
dapat membedakan antara tugas pnibadi pimpinan, tugas pimpinan
kantor yang tidak dapat diwakilkan kepada bawahan, dan tugas
pelayanan masyarakat dan aparat pelayanan sehingga seningkali
menyebabkan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat cenderung dapat
dikalahkan oleh kepentingan pribadi pimpinan atau tugas-tuas
pimpinan lainnya.Pada sisi output pelayanan, birokrasi secara ideal
harus dapat memberikan produk pelayanan yang berkualitas, terutama
dan aspek biaya dan waktu pelayanan. Efisinsi pada sisi input
dipergunakan untuk melihat seberapa jauh kemudahan akses publik
terhadap sistem pelayanan yang ditawarkan.Akses publik terhadap
pelayanan dipandang efisien apabila publik memiliki jaininan atau
kepastian menyangkut biaya pelayanan. Kepastian biaya pelayanan
yang hams dike1irkan oleh publik merupakan indikator penting untuk
melihat intensitas korupsi dalam sistem layanan birokrasi.
Birokrasi pelayanan publik yang korup akan ditandaj oleh besarnya
biaya ekstra yang harus dikeluarkan oleh pengguna jasa dalam
mengakses layanan. Publik, dengan demikian, harus mengeluarkan baya
ekstra untuk dapat memperoleh pelayanan yang terbaik dan birokrasi,
padahal secara prinsip seharusnya pelayanan terbaik harus dapat
dinikmati oleh publik secara keseluruhan.Demikian pula efisiensi
pelayanan dan sisi output, dipergunakan untuk melihat pemberian
produk pelayanan oleh birokrasi tanpa disertai adanya tindakan
pemaksaan kepada publik untuk mengeluarkan biaya ekstra pelayanan,
seperti suap, sumbangan sukarela, dan berbagai pungutan dalam
proses pelayanan yang sedang berlangsung. Dalam kultur pelayanan
birokrasj di Indonesia, telah lama dikenal istilah tahu sania
taint, yang berarti adanya toleransi dan pihak aparat birokrasi
maupun masyarakat pengguna jasa untuk menggunakan mekanisme suap
dan mendapatkan pelayanan yang terbaik.Kecenderungan aparat
birokrasi untuk menerima pemberian uang dan masyarakat pengguna
jasa tersebut disebabkan masih adanva budaya upeti dalam sistem
pelayanan publik di Indonesia. Budaya pelayanan yang dikembangkan
semenjak masa birokrasi keraiaan tersebut pada dasarnya menempatkan
aparat birokrasi sebagai pihak yang harus dilayani oleh masyarakat,
pelayanan yang hams dilakukan oleh masyarakat tersebut ialah dalam
rangka memperoleh patron di dalam birokrasi yang sewaktu-waktu
dapat dipergunakan untuk membangun akses ke birokrasi. Mekanisme
pemberian hiaya ekstra dalam praktik pelayanan birokrasi
sesungguhnya memperlihatkan berbagai faktor yang sangat kompleks,
seperti menyangkut masalah kultur psikologis, sistem pelayanan,
mekanisme pengawasan, serta mentalitas aparat maupun pengguna jasa
sendiri.Praktik pelayanan dengan membenikan uang ekstra kepada
apara birokrasi tersebut telah menjadi suatu kebiasaan umum di
lingkunga birokrasi. Aparat birokrasi xnenjadi terbiasa dalam
budaya pelayana yang mengharapkan adanya pemberian uang dan
masyarakat. Apabila dalam memberikan pelayanan pengguna jasa tidak
memberikan imbalan dalam bentuk uang ekstra tersebut, biasanya
aparat dalarn bckcrja terkesan ogah-ogahan atau seenaknya sendiri.
Sebaliknya, semakin besar jmbalan yang diberikan masyarakat
pengguna jasa akan semakin memacu motivasi keqa aparat dalam
melayani masyarakat pengguna jasa tersebut.Selain ditinjau dan segi
biaya, efisensi pelayanan publik juga ditinjau dan scgi waktu
pelayanan. Keluhan yang dialami oleh pengguna jasa menyangkut waktu
pelayanan adalah ketidakjelasan waktu pelayanan. Sebenarnya banyak
pengguna jasa yang tidak berkeberatan untuk membayar mahal kalau
jelas perinciannya untuk keperluan apa, dan berapa lama waktu yang
diperlukan. Akan tetapi, waktu yang diperlukan untuk mengurus
pelayanan publik sangat tidak jelas.Urusan yang sama sangat mungkin
membutuhkan biaya dan waktu yang jauh berbeda.Menurut petugas
pelayanan, lamanya pemberian pelayanan kepada masyarakat pengguna
jasa disebabkan adanya kendala internal dan eksternal. Kendala
iiLternal meliputi pealatan pendukung yang tidak memadai, kualitas
SDM rendah, dan koordinasi antarunit. Selain itu, faktor kualitas
sumber daya manusia yang relatif rendah semakin menghambat
pemberian pelayanan kepada masyarakat.Kualitas SDM yang rendah
tersebut ditandai dengan ketidakmampuan petugas memberikan solusi
kepada customer atau yang lebih dikenal dengan melakukan tindakan
diskresi. Faktor rendahnya pendidikan para petugas pelayanan
mempengaruhi peinikiran mereka bahwa semua keputusan harus berasal
dan atasan dan harus berpegang teguh kepada juklak/juknis sehingga
ketika seorang pengguna jasa memerlukan pelayanan yang cepat,
aparat tidak mampu mcmenuhinya karena harus menunggu instruksi
atasan terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan pelayanan publik
menjadi memerlukan waktu pelayanan yang relatif lebih
lama.Koordinasi antarunit seringkali menghambat pemberian pelayanan
karena waktu yang dibutuhkan menjadi lebih lama. Kendala lain yang
dihadapi adalah kendala eksternal yaitu kendala yang disebabkan
oleh pengguna jasa itu sendiri seperti ketidaklengkapan dokumen,
pengguna jasa tidak kooperatif dan ketiadaan koordinasi
antarinstansi seperti dari kelurahan ke kecamatan. Masalah
ketidaklengkapan persyaratan/dokumen yang harus dilengkapi oleh
pengguna jasa seringkali membuat aparat menolak memberikan
pelayanan.Pengguna jasa disarankan untuk melengkapinya terlebih
dahulu. Di sini yang menjadi persoalan adalah ketika lokasi tempat
tinggal seorang pengguna jasa jauh dan instansi tersebut dan
masalah kesibukan pengguna jasa membuat penyelesaian urusan menjadi
lebih lama. Hal tersebut diakui oleh aparat sebagai penyebab utama
kelambatan, tetapi jarang sekali aparat yang mempunyai inisiatif
untuk tetap memproses berkas-berkas urusan tersebut dan kekurangan
persyaratan dilengkapi kemudian. Bagi aparat, apabila tetap
diproses, akan menyulitkan kerja mereka sendiri.Pengguna jasa juga
seringkali tidak kooperatif maksudnya yaitu bahwa kadangkala
pengguna jasa menghalalkan segala cara untuk menyelesaikan
urusannya meskipun melanggar peraturan.Kinerja Pelayanan Publik
menghasilkan kesimpulan mengenai rndahnya kualitas pelayanan publik
di Indonesia. Pada hakikatnya, pelayanan publik dirancang dan
diselenggarakan antuk memenuhi kebutuhan masyarakat pengguna jasa.
Namun, persepsi antara masyarakat penggun jasa dan aparat birokrasi
mengenai kualitas pelayanan publik yang efisien, transparan, pasti
dan adil belum berhasil diwujudkan.Sebagai penyelenggara pelayanan
publik, birokrasi pemerintah gagal dalam merespons dinamika politik
dan ekonomi sehingga pelayanan publik cenderung menjadi tidak
efisien dan tidak responsif. Bahkan, berbagai bentuk patologi
birokrasi telah berkembang dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Akibatnya, muncul banyak praktik KKN dalam penyelenggaraan
pelayanan yang amat merugikan masyarakat pengguna jasa. Kinerja
pelayanan publik yang buruk ini adalah hasil dan kompleksitas
permasalahan yang ada di tubuh birokrasi IndonesiaF.PenutupPerlu
dibangun birokrasi berkultur dan struktur rasional-egaliter, bukan
irasional-hirarkis. Caranya dengan pelatihan untuk menghargai
penggunaan nalar sehat dan mengunakan hasil-hasil ilmu pengetahuan.
Perlunya memiliki semangat pioner, bukan memelihara budaya minta
petunjuk dari atasan. Perlu dibiasakan mencari cara-cara baru yang
praktis untuk pelayanan publik, inisiatif, antisipatif dan
proaktif, cerdas membaca keadaan kebutuhan publik, memandang semua
orang sederajat di muka hukum, menghargai prinsip kesederajatan
kemanusian, setiap orang yang berurusan diperlakukan dengan sama
pentingnya.Birokrasi yang propartisipan-outonomus bukan
komando-hirarkis. Birokrasi Indonesia ke depan perlu mendukung dan
melakukan peran pemberdayaan dan memerdekakan masyarakat untuk
berkarya dan berkreatifitas. Perlu dikurangi kadar pengawasan dan
represi terhadap hak ekspresi masyarakat. Perlu ditinggalkan
cara-cara penguasaan masyarakat lewat kooptasi kelembagaan dan
dihindari sikap dominasi.Birokrasi bertindak profesional terhadap
publik. Berperan menjadi pelayan masyarakat (public servent). Dalam
memberikan pelayanan ada transparansi biaya dan tidak terjadi
pungutan liar. PNS perleu memberikan informasi dan transparansi
sebagai hak masyarakat dan bisa dimintai pertanggungjawabannya
(public accountibility) lewat dengar pendapat (hearing) dengan
legislatif atau kelompok kepentingan yang datang. Melakukan
pemberdayaan publik dan mendukung terbangunnya proses
demokratisasi.Birokrasi yang saling bersaing antar bagian dalam
meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam melayani publik secara
kompetitif, bukan minta dilayani atau membebani masyarakat dengan
pungutan liar, salah urus, dan ketidakpedulian.Birokrasi yang
melakukan rekruitmen sumber daya manusianya melalui seleksi fit and
proper test, bukan mengangkat staf atau pimpinan karena alasan
kolusi dan nepotisme. Birokrasi yang memberikan reward merit system
(memberikan penghargaan dan imbalan gaji sesuai pencapaian
prestasi) bukan spoil system (hubungan kerja yang kolutif,
diskriminatif dan kurang mendidik, pola reward dan punishment
kurang berjalan).KONSEP BIROKRASIBirokrasi merupakan instrumen
penting dalam masyarakat modern yang kehadirannya tak mungkin
terelakkan. Eksistensi birokrasi ini sebagai konsekuensi logis dari
tugas utama negara (pemerintahan) untuk menyelenggarakan
kesejahteraan masyarakat (social welfare). Negara dituntut terlibat
dalam memproduksi barang dan jasa yang diperlukan oleh rakyatnya
(public goods and services) baik secara langsung maupun tidak.
Bahkan dalam keadaan tertentu negara yang memutuskan apa yang
terbaik bagi rakyatnya.Untuk itu negara membangun sistem
administrasi yang bertujuan untuk melayani kepentingan rakyatnya
yang disebut dengan istilah birokrasi.Birokrasi bagi sebagian orang
dimaknai sebagai prosedur yang berbelit-belit, menyulitkan dan
menjengkelkan. Namun bagi sebagian yang lain birokrasi dipahami
dari perspektif yang positif yakni sebagai upaya untuk mengatur dan
mengendalikan perilaku masyarakat agar lebih tertib. Ketertiban
yang dimaksud adalah ketertiban dalam hal mengelola berbagai sumber
daya yang mendistribusikan sumber daya tersebut kepada setiap
anggota masyarakat secara berkeadilan.Pendapat yang berbeda di atas
dapat dipahami dari perspektifnya masing-masing. Bagi yang
berpandangan posisif terhadap birokrasi maka baginya birokrasi
adalah sebuah keniscayaan. Akan tetapi bagi mereka yang
berpandangan negatif maka birokrasi justru menjadi salah satu
penghalang tercapainya tujuan sehingga keberadaan birokrasi harus
dihilangkan.Dalam pembahasan ini, akan dikupas tentang makna
birokrasi dari berbagai perspektif dan kemudian disimpulkan tentang
apa birokrasi itu sesungguhnya dan bagaimana seharusnya birokrasi
itu dijalankan oleh aparat birokrasi yang disebut sebagai
birokrat.PENGERTIAN BIROKRASISejauh ini, birokrasi menunjuk pada
empat pengertian, yaitu: Pertama, menunjuk pada kelompok pranata
atau lembaga tertentu. Pengertian ini menyamakan birokrasi dengan
biro. Kedua, menunjuk pada metode khusus untuk pengalokasian
sumberdaya dalam suatu organisasi besar. Pengertian ini berpadanan
dengan istilah pengambilan keputusan birokratis. Ketiga, menunjuk
pada kebiroan atau mutu yang membedakan antara biro-biro dengan
jenis-jenis organisasi lain. Pengertian ini lebih menunjuk pada
sifat-sifat statis organisasi (Downs, 1967 dalam Thoha, 2003).
Keempat, sebagai kelompok orang, yakni orang-orang yang digaji yang
berfungsi dalam pemerintahan (Castle, Suyatno, dan Nurhadiantomo,
1983).Dalam kehidupan sehari-hari istilah Birokrasi
setidak-tidaknya dimaknai sebagai berikut (Albrow dalam Zauhar,
1996):1. Bureaucracy as Rational OrganizationBirokasi sebagai
Organisasi Rasional. Dalam pengertian ini birokrasi dimaknai
sebagai suatu organisasi yang rasional dalam melaksanakan setiap
aktivitasnya. Setiap tindakan birokrasi hendaknya mengacu pada
pertimbangan-pertimbangan rasional.1. Bureaucracy as Rule by
OfficialBirokrasi sebagai Aturan yang dijalankan oleh para pejabat.
Birokrasi merupakan seperangkat aturan yang dijalankan oleh para
pejabat dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Aturan-aturan itu dibuat guna mempermudah proses pelayanan publik.
Namun pada kenyataannya aturan tersebut sering disalahgunakn demi
kepentingan pejabat yang bersangkutan. Akibatnya masyarakat menjadi
antipati dengan berbagai aturan yang dibuat oleh pejabat publik dan
cenderung tidak ditaati.1. Bureaucracy as Organizational
IneficiencyBirokrasi sebagai Pemborosan yang dilakukan oleh
organisasi. Pemborosan (ineficiency) yang dimaksudkan adalah
pemborosan dalam segi waktu, tenaga, finansial maupun sumber daya
lainnya. Seringkali niat baik birokrasi untuk memberikan layanan
yang efisien justru berbalik menjadi layanan yang tidak efisien dan
mengecewakan masyarakat.Karena itu masyarakat menjadi apatis
terhadap berbagai slogan efisiensi yang disampaikan oleh aparat
birokrasi. Semangat debirokratisasi menjadi tidak bermakna karena
tidak diimbangi dengan sikap dan perilaku para pejabat yang tidak
konsisten dan konsekuen dengan pernyataannya. Birokrasi justru
dianggap sebagai tempat bersarangnya berbagai penyakit organisasi
modern seperti pembengkakan pegawai, biaya tinggi dan sulit
beradaptasi dengan lingkungannya.1. Bureaucracy as Public
AdministrationBirokrasi sebagai Administrasi Publik. Birokrasi
dalam hal ini disama artikan dengan administrasi publik.
Administrasi Publik adalah proses pengelolaan sumber daya publik
untuk dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat. Birokrasi adalah
unsur pelaksana dari administrasi publik agar tujuan pelayanan
kepada masyarakat tercapai secara efektif, efisien dan rasional.1.
Bureaucracy as Administration by OfficialsBirokrasi sebagai
Administrasi yang dilaksanakan oleh para pegawai. Dalam hal ini
pemahaman terhadap makna birokrasi hampir sama dengan bureaucracy
as rule by official dan bureaucracy as public administration.1.
Bureaucracy as the OrganizationBirokrasi sebagai Organisasi.
Organisasi yang dimaksudkan adalah organisasi memiliki struktur dan
aturan-aturan yang jelas dan formal. Organisasi merupakan suatu
sistem kerjasama yang melibatkan banyak orang, dimana setiap orang
mempunyai peran dan fungsi serta tugas yang saling mendukung demi
tercapainya tujuan organisasi.Organisasi sebagai sistem kerjasama
berarti: (a) sistem mengenai pekerjaan-pekerjaan yang dirumuskan
secara baik, dimana masing-masing mengandung wewenang, tugas dan
tanggung jawab yang memungkinkan setiap orang dapat bekerjasama
secara efektif; (b) sistem penugasan pekerjaan kepada orang-orang
berdasarkan kekhususan bidang kerja masing-masing; (c) sistem yang
terencana dari suatu bentuk kerjasama yang memberikan peran
tertentu untuk dilaksanakan kepada anggotanya.1. Bureaucracy as
Modern SocietyBirokrasi merupakan ciri dari masyarakat modern. Bagi
masyarakat modern keberaturan merupakan sebuah kemestian.
Keberaturan itu dapat dicapai jika dilaksanakan oleh suatu
institusi formal yang dapat mengendalikan perilaku menyimpang
masyarakat. Institusi formal itu adalah birokrasi.Secara etimologi
Birokrasi berasal dari istilah buralist yang dikembangkan oleh
Reiheer von Stein pada 1821, kemudian menjadi bureaucracy yang
akhir-akhir ini ditandai dengan cara-cara kerja yang rasional,
impersoal dan leglistik (Thoha, 1995 dalam Hariyoso,
2002).Birokrasi menurut Evers dalam Zauhar (1996) dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yaitu:1.Birokrasi dipandang
sebagai rasionalisme prosedur pemerintahan dan aparat administrasi
publik. Makna ini adalah sejalan dengan ide Weber tentang
birokrasi, dan oleh Evers dinamakan Birokrasi Weber
(BW).2.Birokrasi dipandang sebagai bentuk organisasi yang
membengkak dan jumlah pegawai yang besar. Konsep inilah yang sering
disebut Parkinson Law.3.Birokrasi dipandang sebagai perluasan
kekuasaan pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan masyarakat.
Oleh Evers (dalam Zauhar) disebut Orwelisasi.Dengan demikian maka
Istilah Birokrasi dalam masyarakat dimaknai secara diametral
(bertentangan satu sama lain yang tidak mungkin mencapai titik
temu):1.Secara Positif: Birokrasi sebagai alat yang efisien dan
efektif untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan adanya alat yang
efisien dan efektif ini maka tujuan suatu organisasi (privat maupun
publik) lebih mudah tercapai.2.Secara Negatif: Birokrasi sebagai
alat untuk memperoleh, mempertahankan dan melaksanakan kekuasaan.
Birokrasi adalah sesuatu yang penuh dengan kekakuan (inflexibility)
dan kemandegan struktural (structural static), tatacara yang
berlebihan (ritualism) dan penyimpangan sasaran (pervesion goals),
sifat pengabaian (alienation) serta otomatis (automatism) dan
menutup diri terhadap perbedaan pendapat (constrain of dissent).
Birokrasi seperti ini menurut Marx bersifat parasitik dan
eksploitatif.Dengan demikian maka Birokrasi dapat juga dimaknai
sebagai suatu sistem kerja yang berlaku dalam suatu organisasi
(baik publik maupun swasta) yang mengatur secara ke dalam maupun
keluar.Mengatur ke dalam berarti berhubungan dengan hal-hal yang
menyangkut hubungan atau interaksi antara manusia dalam organisasi
juga antara manusia dengan sumber daya organisasi lainnya.
Sedangkan mengatur keluar berarti berhubungan dengan interaksi
antara organisasi dengan pihak lain baik dengan lembaga lain maupun
dengan individu-individu.Konsep birokrasi sesungguhnya berupaya
mengaplikasikan prinsip-prinsip organisasi yang dimaksudkan untuk
memperbaiki efisiensi administrasi, meskipun birokrasi yang
keterlaluan seringkali justru menimbulkan efek yang tidak baik.
Mouzelis menambahkan bahwa dalam birokrasi terdapat aturan-aturan
yang rasional, struktur organisasi dan proses berdasar pengetahuan
teknis dan dengan efisiensi yang setinggi-tingginya.Di samping
diberikan makna yang cukup positif tersebut, birokrasi juga sering
dimaknai secara negatif. Dalam perspektif yang negatif ini
birokrasi dimaknai sebagai sebagai suatu proses yang
berbelit-belit, waktu yang lama, biaya yang mahal dan menimbulkan
keluh kesah yang pada akhirnya ada anggapan bahwa birokrasi itu
tidak efisien dan bahkan tidak adil.Biasanya masalah administrasi
yang kompleks dan ruwet terdapat pada organisasi besar, seperti
organisasi pemerintahan. Akan tetapi, sebenarnya birokrasi tidak
dibatasi hanya pada institusi sektor publik saja. Serikat Dagang,
Universitas, dan LSM merupakan contoh birokrasi di luar
pemerintah.Berikut ini adalah beberapa pengertian birokrasi dalam
pandangan beberapa pakar:1. Max WeberWeber menulis banyak sekali
tentang kedudukan pejabat dalam masyarakat modern. Baginya
kedudukan pejabat merupakan tipe penanan sosial yang makin penting.
Ciri-ciri yang berbeda dari peranan ini ialah: pertama, seseorang
memiliki tugas-tugas khusus untuk dilakukan. Kedua, bahwa fasilitas
dan sumber-sumber yang diperlukan untuk memenuhi tugas-tugas itu
diberikan oleh orang orang lain, bukan oleh pemegang peranan itu.
Dalam hal ini, pejabat memiki posisi yang sama dengan pekerja
pabrik, sedang Weber secara modern mengartikannya sebagai individu
dari alat-alat produksi.Tetapi pejabat memiliki ciri yang
membedakannya dengan pekerja: ia memiliki otoritas. Karena pejabat
memiliki otoritas dan pada saat yang sama inilah sumbangannya, ia
berlaku hampir tanpa penjelasan bahwa suatu jabatan tercakup dalam
administrasi (setiap bentuk otoritas mengekspresikan dirinya
sendiri dan fungsinya sebagai administrasi). Bagi Weber
membicarakan pejabat-pejabat administrasi adalah
bertele-tele.Meskipun demikian konsep tersebut muncul pertama
kalinya. Perwira Tentara, Pendeta, Manajer Pabrik semuanya adalah
pejabat yang menghabiskan waktunya untuk menginterpretasikan dan
memindahkan instruksi tertulis. Ciri pokok pejabat birokrasi adalah
orang yang diangkat, bukan dipilih. Dengan menyatakan hal ini Weber
telah hampir sampai pada definisi umumnya yang dikenakan terhadap
birokrasi.Weber memandang Birokrasi sebagai birokrasi rasional atau
ideal sebagai unsur pokok dalam rasionalisasi dunia modern, yang
baginya jauh lebih penting dari seluruh proses sosial (Sarundajang,
2003).1. Farel Heady (1989):Birokrasi adalah struktur tertentu yang
memiliki karakteristik tertentu: hierarki, diferensiasi dan
kualifikasi atau kompetensi. Hierarkhi bekaitan dengan struktur
jabatan yang mengakibatkan perbedaan tugas dan wewenang antar
anggota organisasi. Diferensisasi yang dimaksud adalah perbedaan
tugas dan wewenang antar anggota organisasi birokrasi dalam
mencapai tujuan.Sedangkan kualifikasi atau kompetensi maksudnya
adalah seorang birokrat hendaknya orang yang memiliki kualifikasi
atau kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dan
wewenangnya secara profesional. Dalam hal ini seorang birokrat
bukanlah orang yang tidak tahu menahu tentang tugas dan
wewenangnya, melainkan orang yang sangat profesional dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya tersebut.1. Hegel:Birokrasi
adalah institusi yang menduduki posisi organiik yang netral di
dalam struktur sosial dan berfungsi sebagai penghubung antara
negara yang memanifestasikan kepentingan umum, dan masyarakat sipil
yang mewakili kepentingan khusus dalam masyarakat.Hegel melihat,
bahwa birokrasi merupakan jembatan yang dibuat untuk menghubungkan
antara kepentingan masyarakat dan kepentingan negara yang dalam
saat-saat tertentu berbeda. Oleh sebab itu peran birokrasi menjadi
sangat strategis dalam rangka menyatukan persepsi dan perspektif
antara negara (pemerintah) dan masyarakat sehingga tidak terjadi
kekacauan.1. Karl MarxBirokrasi adalah Organisasi yang bersifat
Parasitik dan Eksploitatif. Birokrasi merupakan Instrumen bagi
kelas yang berkuasa untuk mengekploitasi kelas sosial yang lain
(yang dikuasai). Birokrasi berfungsi untuk mempertahankan privilage
dan status quo bagi kepentingan kelas kapitalis.Dalam pandangan
Marx yang berbeda dengan Hegel, birokrasi merupakan sistem yang
diciptakan oleh kalangan atas (the have) untuk memperdayai kalangan
bawah (the have not) demi mempertahankan dan meningkatkan
kesejahteraan mereka sendiri. Dalam hal ini birokrasi menjadi
kambing hitam bagi kesalahan penguasa terhadap rakyatnya. Segenap
kesalahan penguasa akhirnya tertumpu pada birokrasi yang sebenarnya
hanya menjadi alat saja.1. Blau dan MeyerBirokrasi adalah sesuatu
yang penuh dengan kekakuan (inflexibility) dan kemandegan
struktural (structural static), tata cara yang berlebihan
(ritualism) dan penyimpangan sasaran (pervesion goals), sifat
pengabaian (alienation) serta otomatis (automatism) dan menutup
diri terhadap perbedaan pendapat (constrain of dissent). Dengan
demikian Blau dan Meyer melihat bahwa birokrasi adalah sesuatu yang
negatif yang hanya akan menjadi masalah bagi masyarakat.1. Yahya
Muhaiminkeseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer
yang bertugas membantu pemerintah (untuk memberikan pelayanan
publik) dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu.1.
Almond and Powell (1966):The Governmental Bureaucracy is a group of
formally organized offices and duties, lnked in a complex grading
subordinates to the formal roler maker (Birokrasi Pemerintahan
adalah sekumpulan tugas dan jabatan yang terorganisir secara formal
berkaitan dengan jenjang yang kompleks dan tunduk pada pembuat
peran formal)Dari berbagai pengertian diatas penulis menyimpulkan
bahwa Birokrasi sesungguhnya dapat dipahami dan diberi pengertian
sebagai suatu sistem kerja yang berlaku dalam organisasi yang
mengatur interaksi sosial baik ke dalam maupun keluar. Secara
spesifik birokrasi publik (pemerintahan) dapat dimaknai sebagai
institusi atau agen pemerintahan yang dilengkapi dengan otoritas
sistematik dan rasional dengan aturan-aturan yang lugas (a system
of authority relations defined by rationally developed rule)
(Chandler and Plano, 1982 dalam Hariyoso, 2002).TIPOLOGI BIROKRASI
PUBLIKTipologi birokrasi dapat dilihat dari berbagai aspek. Menurut
Zauhar (1996) dilihat dari perspektif otoritasnya, dikenal adanya
birokrasi tradisional, birokrasi karismatik, dan birokrasi legal
rasional.Sumber legitimasi Birokrasi Tradisional adalah waktu, yang
bersumber pada established belief in the sanctity of immerial
traditions and the legitimacy of the status of those exercising
under them. Sumber legitimasi Birokrasi Kharismatis, adalah
kepribadian yang luar biasa yang dimiliki pemimpin, dan bersumber
pada devotion to the spesific and exemplary character of an
individual person and the normative patterns or orde revealed
ordainded by him.Birokrasi Legal Rasional bersumber pada aturan
aturan yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karenanya
Birokrasi Legal Rasional bersumber pada the legality of patterns of
normative rules and the right of these elevated to authority under
such rules to issue commands. Jenis yang terakhir ini yang menurut
Weber (dalam Zauhar, 1996) merupakan unsur terpenting bagi
pertumbuhan dan perkembangan organisasi.Dari perspektif derajat
keterbukaan, Lee (1971) dalam Zauhar (1996) mengklasifikasikan ke
dalam birokrasi terbuka, campuran, dan tertutup. Yang dimaksud
birokrasi terbuka, derajat keterbukaan birokrasi dapat dilihat pada
aksesibilitas masyarakat untuk berhubungan dengan birokrasi,
luasnya pelaksanaan recruitment, kebebasan kelompok lain untuk
memasuki jajaran birokrasi tingkat menengah dan tinggi, serta
derajat kesediaan birokrasi untuk mendistribusikan kekuasaannya
kepada kelompok lain.Dalam birokasi tertutup, ditandai dengan
adanya ciri yang sangat elitis dikalangan birokrasi dan mereka
menjadi kelas yang memiliki hak privelese tertentu. Untuk bisa
masuk ke birokrasi harus melalui ujian pamong praja dikaitkan
dengan lamanya kuliah di perguruan tinggi. Rotasi antar bagian bisa
terjadi, namun tak diikuti dengan pemberian fasilitas. Kesetiaan
para pamong kepada pekerjaannya. Moral mereka sangat tinggi namun
orientasinya menjadi sempit.Birokrasi campuran, menurut Zauhar
(1996) merupakan tipe birokrasi hasil kontak yang terbatas antara
birokrasi dengan masyarakat. Kontak yang agak terbatas tersebut
dapat diawali dengan masuknya individu ke dalam jajaran birokrasi
pemerintahan guna mengurangi kelemahan birokrasi, seperti
kekurangmampuan birokrasi lama untuk merencanakan, statistik,
industrialisasi dan lain lain. Keterbatasan itu pula maka terbuka
dari masuknya para ekspert (ahli) baik dari kalangan perguruan
tinggi maupun dari luar negeri.Sementara itu, menurut Hariandja
(1999), ada perbedaan yang signifikan antara pandangan umum tentang
birokrasi dalam suatu keseharian dan sudut pandang ilmiah
metodologis. Bagi awam, birokrasi mengingatkan pada struktur yang
lamban, kekusutan prosedural, kaku, tidak efisian dan
sebagainya.Dalam banyak hal kebenaran umum (public image) ini tidak
sepenuhnya salah.Berbagai kasus menunjukkan, birokrasi lebih
melayani dirinya dan kepentingan kliennya daripada mendahulukan
kepentingan umum. Tidak jarang ia juga menjadi alat politik dari
suatu kekuatan politik tertentu. Hal semacam itu tentu seharusnya
tidak terjadi. Karena penjelasan mengenai birokrasi yang dilakukan
secara ilmiah harus mencakup usaha untuk menguji hubungan
administratif dan aparatur manajerial dalam kerangka konteks sosial
yang spesifik, tempat birokrasi dibentuk.Dengan demikian maka
tipologi birokrasi dapat dibedakan menjadi 3, yakni (Zauhar,
1996);1.Birokrasi Tradisional (bersumber pada Waktu)2.Birokrasi
Kharismatik (bersumber pada kepribadian)3.Birokrasi Legal-rasional
(bersumber pada aturan-aturan yang legal)Birokrasi yang dapat
meningkatkan efisiensi organisasi adalah birokrasi yang
legal-rasional. Karena itu juga disebut sebagai birorasionalitas
atau biro-efisiensi. Sedangkan birokrasi yang tidak mampu
meningkatkan efisiensi disebut sebagai biropatologi (Zauhar,
1996).PENDEKATAN DALAM MEMAHAMI BIROKRASIDalam memahami Birokrasi
dapat digunakan 3 Pendekatan (Zauhar, 1996):1. Birokrasi dipandang
sebagai rasionalisme prosedur pemerintahan dan aparat administrasi
publik (Birokrasi Weber). Pemikiran Max Weber yang yelah dikupas
tuntas oleh Martin Albrow menjelaskan bahwa Weber tidak pernah
mendefinisikan birokrasi. Biasanya ia telah diasumsikan membuat
definisi tersebut dan kegagalannya untuk membuat demikian
bertentangan dengan usahanya untuk mendefinisikan konsep-konsep
analisis organisasi lain. Memang jelas bahwa Weber tidak menganggap
istilah birokrasi sebagai bahasa ilmu sosial.Apa yang dikerjakannya
secara hati-hati adalah merinci segi-segi apa yang dipandangnya
sebagai bentu birokrasi yang paling rasional. Salah satu petunjuk
bagi konsep umum Birokrasi Weber, tampak dalam identifikasinya
terhadap jenis birokrasi yang lain terpisah dari tipe paling
rasional.Inilah Birokrasi Patrimonial. Birokrasi Patrimonial ini
berbeda dengan birokrasi rasional terutama karena para pejabat yang
bekerja tidak bebas dibanding orang-orang yang diangkat secara
kontraktual. Weber menemukan contoh-contoh tersebut dalam Imperium
Romawi terakhir, dalam Mesir Kuno dan dalam Imperium Bizantium.
Namun demikian, hakekat gagasan birokrasi patrimonial adalah
keberadaan suatu badan. Konsep tentang pejabat (Beamter) merupakan
dasar bagi konsep tentang birokasi. Hal itu diperkuat dengan
seringnya Weber dalam berbagai kesempatan menggunakan breamtentum
(staf pegawai) sebagai suatu alternatif bagi birokrasi
(Sarundajang, 2003).2. Birokasi dipandang sebagai organisasi yang
membengkak dan jumlah pegawainya besar (Parkinson Law). Parkinson
Law mengatakan:a.Setiap Pegawai Negeri akan berusaha sekuat tenaga
meningkatkan jumlah pegawai bawahannyab.Setiap Pegawai Pegeri akan
selalu menciptakan tugas baru bagi dirinya sendiri yang sering
diragukan manfaat dan artinyac.Karena itu laju birokrasi akan
meningkat dan jumlah pegawai akan naik secara otomatis tidak
tergantung dari beban tugas yang diperlukan1. Birokrasi dipandang
sebagai perluasan kekuasaan pemerintah dengan maksud mengontrol
kegiatan masyarakat (Orwelisasi).KARAKTERISTIK IDEAL
BIROKRASIIlmuwan yang sangat berpengaruh dalam pengembangan teori
birokrasi adalah Max Weber, seorang sosiolog jerman yang juga ahli
hukum.Weber pernah menulis buku wirtschaft und gesellchaft (teori
organisasi sosial dan ekonomi) yang didalamnya terdapat salah satu
bab mengenai birokrasi. Karya itu sampai sekarang dikenal konsep
tipe ideal birokrasi. Konsep tipe ideal ini kurang dikenal tentang
kritiknya terhadap seberapa jauh peran birokrasi terhadap kehidupan
politik, atau bagaimana peran politik terhadap birokrasi. Birokrasi
Weberian hanya menekankan bagaimana seharusnya mesin birokrasi itu
secara profesional dan rasional dijalankan.Menurutnya, birokrasi
dan institusi lainnya dapat dilihat sebagai kehidupan kerja yang
rutin (routines of workday life). Untuk menyeimbangkan kerja rutin
tersebut, ia memperkenalkan gagasan mengenai charisma yang
direfleksikan dalam bentuk kepemimpinan yang kharismatik. Weber
mengamati bahwa birokrasi membentuk proses administrasi yang rutin
sama persis dengan mesin pada proses produksi.Dalam model yang
diajukan Weber, birokrasi memiliki karakteristik ideal sebagai
berikut (dalam Islamy, 2003):1. Pembagian Kerja/ Spesialisasi
(division of labor)Dalam menjalankan berbagai tugasnya, birokrasi
membagi kegiatan-kegiatan pemerintahan menjadi bagian-bagian yang
masing-masing terpisah dan memiliki fungsi yang khas. Pembagian
kerja seperti ini memungkinkan terjadinya spesialisasi fungsi.
Dengan cara seperti ini, penugasan spesialis untuk tugas-tugas
khusus bisa dilakukan dan setiap mereka bertanggung jawab atas
keberesan pekerjaannya masing-masing.Aktivitas yang reguler
mensyaratkan tujuan organisasi didistribusikan dengan cara yang
tetap dengan tugas-tugas kantor (official duties). Pemisahan tugas
secara tegas memungkinkan untuk memperkerjakan ahli yang
terspesialisasi pada setiap posisi dan menyebabkan setiap orang
bertanggungjawab terhadap kinerja yang efektif atas tugas-tugasnya.
Karena itu tugas-tugas birokrasi hendaknya dilakukan oleh
masing-masing pegawai yang benar-benar memiliki keahlian khusus
(specialized expert) dan bertanggung jawab demi tercapainya tujuan
organisasi secara efektif dan efisien.2. Adanya prinsip hierarki
wewenang (the principle of hierarchi)Ciri khas birokrasi adalah
adanya wewenang yang disusun secara hierarkis atau berjenjang.
Hierarki itu berbentuk piramid yang memiliki konsekuensi semakin
tinggi suatu jenjang berarti pula semakin besar wewenang yang
melekat di dalamnya dan semakin sedikit penghuninya.Hierarki
wewenang ini sekaligus mengindikasikan adanya hierarki tanggung
jawab. Dalam hierarki itu setiap pejabat harus bertanggung jawab
kepada atasannya mengenai keputusan-keputusan dan
tindakan-tindakannya sendiri maupun yang dilakukan oleh anak
buahnya. Pada setiap tingkat hierarki, para pejabat birokrasi
memiliki hak memberi perintah dan pengarahan pada bawahannya, dan
para bawahan itu berkewajiban untuk mematuhinya. Sekalipun begitu,
ruang lingkup wewenang memberi perintah itu secara jelas dibatasi
hanya pada masalah-masalah yang berkaitan langsung dengan kegiatan
resmi pemerintahan.Organisasi birokrasi mengikuti prinsip hirarki
sehingga setiap unit yang lebih rendah berada dalam pengendalian
dan pengawasan organisasi yang lebih tinggi. Setiap pegawai dalam
hirarki administrasi bertanggungjawab kepada atasannya.Keputusan
dan tindakan harus dimintakan persetujuan kepada atasan. Agar dapat
membebankan tanggungjawabnya kepada bawahan, ia memiliki wewenang/
kekuasaan atas bawahannya sehingga ia mempunyai hak untuk
mengeluarkan perintah untuk ditaati dan dilaksanakan oleh bawahan.
Meskipun masing-masing pegawai yang berada pada jenjang mempunyai
otoritas-birokratis tetapi penggunaan otoritas tersebut tetap harus
relevan dengan tugas-tugas resmi organisasi.3. Adanya sistem aturan
(system of rules)Kegiatan pemerintahan diatur oleh suatu sistem
aturan main yang abstrak. Aturan main itu merumuskan lingkup
tanggung jawab para pemegang jabatan di berbagai posisi dan
hubungan di antara mereka. Aturan-aturan itu juga menjamin
koordinasi berbagai tugas yang berbeda dan menjamin keseragaman
pelaksanaan berbagai kegiatan itu.Operasi kegiatan dalam birokrasi
dilaksanakan berdasarkan sistem aturan yang ditaati secara
konsisten. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin adanya unuformitas
kinerja setiap tugas dan rasa tanggung jawab masing-masing anggota
organisasi bagi pelaksanaan tugasnya.Sistem yang distandarkan ini
dirancang untuk menjamin adanya keseragaman dalam melaksanakan
setiap tugas, tanpa memandang jumlah personil yang melaksanakan dan
koordinasi tugas tugas yang berbeda-beda. Aturan-aturan yang
eksplisit tersebut menentukan tanggung jawab setiap anggota
organisasi dan hubungan diantara mereka, namun tidak berarti bahwa
kewajiban birokrasi sangat mudah dan rutin. Tugas tugas birokrasi
memiliki kompleksitas yang bervariasi, dari tugas-tugas klerikal
yang sifatnya rutin hingga tugas tugas yang sulit.4. Hubungan
Impersonal (formalistic impersonality)Para pejabat birokrasi harus
memiliki orientasi impersonal. Mereka harus menghindarkan
pertimbangan pribadi dalam hubungannya dengan bawahannya maupun
dengan anggota masyarakat yang dilayaninya.
REKONSTRUKSI KULTURAL BIROKRASI UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT
Bambang Wicaksono[1]
Abstraksi
Desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan telah membawa
implikasi luas pada perbaikan kehidupan politik. Demokrasi dan
desentralisasi diharapkan menjadi pintu gerbang untuk mengantarkan
masyarakat Indonesia yang sejahtera di segala aspek kehidupan.
Melalui desentralisasi, birokrasi diharapkan mampu mengembangkan
mindset dan kultur yang lebih humanis sehingga perumusan kebijakan
menjadi lebih memihak pada kesejahteraan masyarakat. Reformasi
birokrasi juga merupakan momentum tepat bagi birokrasi untuk
melakukan pembenahan mendasar (rekonstruksi) terhadap tatanan
kebudayaan yang melekat pada sistem organisasi. Rekonstruksi
kebudayaan birokrasi akan menyentuh dimensi paling mendasar yakni
perbaikan kinerja pelayanan publik yang bisa berdampak pada
perbaikan kesejahteraan masyarakat di semua aspek kehidupan.Key
Words : Decentralization, Bureaucratic reform, Mindset and culture
reconstruction, Public service delivery.
Pendahuluan
Reformasi politik tahun 1998 tidak saja memberikan harapan pada
terjadinya perubahan tatanan politik nasional, namun diharapkan
dapat pula membawa perubahan pada sistem birokrasi nasional. Selama
lebih dari 32 tahun masa pemerintahan Orde Baru, birokrasi begitu
memegang peran dan otoritas yang begitu besar dalam proses
pengambilan kebijakan publik. Konstruksi tata hubungan antara
masyarakat dengan pemerintah, baik di tingkat nasional maupun
lokal, sangat bergantung pada intervensi birokrasi di dalamnya.
Oleh karena itu, harapan akan adanya perubahan struktur dan kultur
birokrasi pemerintah yang semakin profesional, memiliki landasan
etika moral yang tinggi, dan mengabdi untuk kesejahteraan
masyarakat luas menjadi suatu isu krusial di Indonesia.Perubahan
paradigma birokrasi, dari paradigma mengatur menjadi paradigma
melayani dalam penyelenggaraan pelayanan publik, memerlukan adanya
suatu upaya rekonstruksi kultur dan manajemen birokrasi. Kultur dan
manajemen dalam birokrasi harus mengarah pada pencapaian sosok
birokrasi yang profesional, efisien, efektif, dan responsif dalam
penyelenggraan pelayanan publik. Kultur birokrasi yang selama masa
Orde Baru menganut kultur kekuasaan, telah membawa implikasi pada
adanya ketimpangan dalam konteks hubungan Negara-Masyarakat yang
seharusnya berlandaskan pada prinsip keadilan dan kesetaraan.
Birokrasi menjadi memiliki posisi yang begitu kuat dan dominan
dalam proses pengambilan kebijakan-kebijakan strategis di
masyarakat. Konstruksi struktur dan kultur birokrasi di Indonesia
tersebut sangat tidak ideal dan jauh dari nilai-nilai birokrasi
modern yang profesional, transparan, efisien, dan efektif sebagai
salah satu dasar bagi pengembangan tata-pemerintahan yang ideal di
Indonesia.Demikian pula adanya UU Nomor 22/1999 yang diperbaharui
dengan UU No.32/2004, menandai dimulainya kebijakan otonomi daerah
yang membawa perubahan fundamental dalam sistem pemerintahan di
Indonesia. Kebijakan ini telah membawa implikasi luas pada berbagai
dimensi penyelenggaraan pemerintahan, baik di pusat maupun di
daerah. Menurut Pratikno (1999), dengan adanya otonomi daerah,
sebenarnya secara politik telah terjadi pergeseran lokus politik
secara mendasar, yakni dari birokrasi ke politisi. Apabila pada
masa Orde Baru, peran sentral dalam pengambilan kebijakan publik
lebih banyak didominasi oleh birokrasi, maka pada era otonomi
daerah berlaku sebaliknya. Otonomi daerah telah memberikan
penguatan secara politik kepada para politisi atau anggota DPR/D.
Peran dan kedudukan DPR/D dalam pengambilan kebijakan menjadi jauh
lebih kuat sehingga birokrasi tidak dapat lagi mendominasi proses
pengambilan keputusan.Apabila birokrasi tidak dapat secara cepat
merespon berbagai isu yang mencuat di atas, dikhawatirkan akan
dapat mempengaruhi perwujudan tata-pemerintahan yang baik di
daerah. Suatu tata-pemerintahan yang baik akan dapat tercipta
apabila para pemangku kepentingan di daerah dengan penuh kesadaran
mengembangkan nilai-nilai transparansi, partisipasi, penegakan
hukum, keadilan, serta demokratisasi sehingga menjamin adanya
mekanisme kontrol publik atas penyelenggaraan pemerintahan di
daerah. Pengembangan tata-pemerintahan yang baik akan menciptakan
sistem birokrasi dan penyelenggaraan pelayanan publik yang efisien,
transparan, responsif, dan publik akuntabel. Upaya ini dapat
diwukudkan apabila birokrasi memang dipersiapkan dan dilakukan
penataan struktur dan kultur pelayanan dengan berbasis pada
manajemen pelayanan publik yang modern.Namun, implementasi otonomi
daerah belum memperlihatkan adanya konsekuensi perubahan secara
mendasar pada birokrasi pemerintah. Kebijakan otonomi daerah yang
diharapkan dapat memberikan pengalihan kewenangan yang lebih besar
dari birokrasi kepada publik, ternyata masih memberikan peran dan
kewenangan yang terlalu besar pada birokrasi. Birokrasi masih
banyak membuat kebijakan yang tidak memihak kepada kepentingan
publik. Kebijakan dalam bentuk Perda yang semata-mata berorientasi
pada pendapatan daerah,maupun besaran alokasi dana untuk memenuhi
belanja kebutuhan rutin birokrasi, merupakan salah satu bukti kuat
adanya kecenderungan tersebut.Birokrasi masih menjadi salah satu
lembaga yang memiliki kekuatan politik sangat besar untuk
mengontrol berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebaliknya, warga
masyarakat masih dalam posisi lemah untuk secara efektif mampu
mengontrol perilaku pejabat birokrasi. Hal tersebut secara mudah
dapat terlihat pada mekanisme pengambilan kebijakan APBD yang
dilakukan secara tertutup di dalam rapat Panitia Anggaran sehingga
publik tidak memiliki akses untuk mengontrol alokasi anggaran yang
secara langsung dapat merugikan kepentingan publik, seperti
peningkatan gaji/insentif anggota DPRD, peningkatan anggaran
belanja pegawai, pembelian kendaraan dinas Bupati/Walikota,
minimnya alokasi anggaran untuk program pendidikan, kesehatan,
pengentasan kemiskinan, dan sebagainya.Selama otonomi daerah
berlangsung, belum terlihat adanya perubahan secara sistematis pada
birokrasi menyangkut pengembangan nilai-nilai tata-pemerintahan
yang baik. Birokrasi belum sepenuhnya mengembangkan konsep tentang
profesionalisme, transparansi, akuntabilitas, efisiensi,
efektivitas nilai-nilai moral dalam penyelenggaraan pelayanan
publik. Banyaknya fenomena KKN di lingkungan birokrasi pemerintah,
memperlihatkan tidak adanya kontrol publik secara efektif terhadap
lembaga birokrasi pemerintah. Disamping itu, birokrasi dan pejabat
di dalamnya cenderung masih mengembangkan paradigma ketertutupan
dan logika kekuasaan dalam menjalankan fungsinya, seperti tidak
adanya publikasi mengenai anggaran belanja pegawai secara terbuka
dan terperinci kepada masyarakat, rente birokrasi dalam pemberian
pelayanan publik, mekanisme kritik yang tidak berjalan efektif,
serta tidak mengembangkan kriteria kinerja sebagai basis dalam
menilai kompetensi pejabat atau pegawai di lingkungan
birokrasi.
Pelayanan Publik dan Keseriusan Birokrasi
Berpijak pada realitas di atas, birokrasi pemerintah
merupakansalah satu bagian dari permasalahan publik yang penting
untuk mendapat perhatian secara serius apabila tata-pemerintahan
yang baik memang hendak dikembangkan pada masa-masa mendatang.
Salah satu aspek dalam kinerja birokrasi pemerintah di Indonesia
yang masih harus mendapatkan atensi besar adalah menyangkut
penyelenggaraan pelayanan publik yang belum berbasis pada
nilai-nilai profesionalisme, kompetensi, etika pelayanan,
efisiensi, dan transparansi.Urgensi pemberian pelayanan publik yang
profesional, etis, efisien, transparan, dan akuntabel menjadi
bagian penting dalam menopang dinamika kehidupan masyarakat modern
yang semakin kritis dan menuntut adanya pelayanan publik yang
profesional dari birokrasi pemerintah.Pada masa otonomi daerah,
kinerja penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh
birokrasi belum memperlihatkan hasil yang optimal. Berdasarkan
hasil penelitian GDS (2002)[2], menurut persepsi rumah tangga,
kepastian biaya dan waktu pelayanan masih menjadi persoalan krusial
bagi warga masyarakat (lihat, Gambar 1). Munculnya berbagai
keluhan, tuntutan dan kekecewaan sebagian besar masyarakat yang
pernah berurusan dengan birokrasi pemerintah, secara akumulatif
sebenarnya dapat memperlihatkan adanya persoalan di tubuh birokrasi
yang telah mencapai titik kritis untuk segera direspon format
solusinya. Manajemen pelayanan publik yang seharusnya dikembangkan
dalam bentuk pelayanan yang mengedepankan pada visi pelayanan yang
berpihak padacustomer-driven, secara faktual belum banyak dilakukan
perubahan secara cukup mendasar di lingkungan birokrasi pemerintah.
Orientasi pelayanan dari sebagian besar aparatur birokrasi
pemerintah masih cenderung diarahkan untuk kepentingan birokrasi
atau pejabat birokrasi, bukannya pada peningkatan kualitas
pelayanan kepada masyarakat (Dwiyanto, dkk., 2001).Masyarakat yang
sedang tumbuh ke arah masyarakat madani (civil society) menuntut
adanya peran birokrasi pemerintah yang lebih adaptif terhadap
penguatan hak-hak publik dalam pemberian pelayanan secara lebih
luas dan berimbang. Oleh karena itu, pada masa-masa mendatang,
birokrasi pemerintah harus mampu menjadi birokrasi yang kompetitif
untuk melakukan reformasi manajemen pelayanan (Turner & Hulme,
1997) sehingga dapat memberikan performansi pelayanan yang sesuai
dengan harapan dan kebutuhan publik atau pengguna layanan.
Perubahan ke arah birokrasi yang memiliki corak kultur pelayanan,
membawa implikasi besar terhadap perubahan manajemen pelayanan
dalam birokrasi. Segenap jajaran aparatur birokrasidituntut untuk
dapat merubahmind-setbirokrasi dari yang korup, kolutif, dan
nepotisme, menjadi aparatur birokrasi yang responsif, profesional,
bersandar pada etika moral yang tinggi, dan publik akuntabel.Tentu
saja tuntutan perubahanmind-setdalam birokrasi di atas, dalam
implementasinya banyak menyebabkan terjadinya berbagai bentuk
benturan kepentingan dalam birokrasi. Sebagain kelompok dalam
birokrasi tentu masih menganut paradigma lama yang akan berhadapan
dengan sebagian kelompok dalam birokrasi yang mencoba menerapkan
paradigam baru yang lebih berorientasi pada kepentingan publik.
Konflik kepentingan antara warga dengan birokrasi dalam
penyelenggaraan pelayanan publik, juga masih seringkali dijumpai di
era otonomi daerah. Hal ini setidaknya ditunjukkan pada pengakuan
salah seorang warga masyarakat yang sedang mengurus akta tanah atas
kinerja aparat birokrasi yang masih korup pemberian pelayanan
publik di salah satu Kabupaten di Jogjakarta berikut:
Saya pernah mengalami kekecewaan saat mengurus akta tanah di
BPN, menurut petugas waktu selesainya akta tanah saya adalah 3
bulan. Namun Saya tunggu tidak pernah ada berita yang jelas,
petugas hanya janji-janji melulu, saya harus bolak-balik 15 kali ke
BPN. Saya mendapat informasi dari sesama warga pemohon, bahwa untuk
mempercepat urusan akta tanah petugasnya harus diberi uang amplop.
Akhirnya saya beri uang Rp. 20 ribu, dan ternyata lansung diproses.
(GDS, 2002).
Masih buruknya kualitas penyelenggaraan pelayanan publik di
Indonesia (Dwiyanto, 2002), menunjukkan bahwa esensi dari kebijakan
otonomi daerah masih belum dapat dipahami secara benar oleh banyak
pejabat birokrasi. Penyelenggaraan pelayanan publik yang masih
diskriminatif, terjadinya rente birokrasi, suap, pungutan liar,
tidak adanya kepastian pelayanan, arogansi kekuasaan, serta masih
lemahnya posisi tawar warga masyarakat terhadap pejabat birokrasi,
menunjukkan bahwamind-setbirokrasi dalam meberikan pelayanan masih
belum banyak mengalami perubahan seperti yang diharapkan.Selama
proses implementasi kebijakan otonomi daerah birokrasi pemerintah
sedang mengalami masa adaptasi menuju pada perubahan yang sangat
mendasar, baik secara struktur maupun kultur kelembagaannya sebagai
sebuah institusi. Dalam proses menuju transformasi tersebut,
birokrasidipengaruhi oleh berbagai variabel internal yang memegang
peran besar dalam mewujudkan reformasi birokrasi. Komitmen para
pejabat birokrasi, baik di pusat maupun di daerah dalam
mengaktualisasikan prinsip-prinsip dasar tata-pemerintahan yang
baik masih perlu diuji secara konkret. Pada prinsipnya, kapasitas
kelembagaan birokrasi untuk mentransformasikan nilai-nilai baru
seperti transparansi, akuntabilitas, keadilan, penegakan hukum,
serta reformasi manajemen pelayanan publik, akan berkorelasi
positif dengan perbaikan kinerja birokrasi pada masa mendatang.Oleh
karena itu selama masa otonomi daerah ini berlangsung, maka krisis
akan dialami oleh birokrasi pemerintah. Keberhasilan dalam
melakukan transformasi nilai-nilai kelembagaan baru akan memberikan
sinyal positif pada keberhasilan birokrasi dalam mengatasi krisis
dalam diri birokrasi. Sebaliknya, kegagalan birokrasi dalam
merespon krisis dalam bentukmelakukan perubahan paradigma dasar
dalam birokrasi, akan membawa konsekuensi pada kegagalan dalam
penataan ulang kelembagaan birokrasi pemerintah. Memang benar,
bahwa selama otonomi daerah berlangsung pengalihan kewenangan dari
Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah tidak mengakibatkan gejolak
atau kekacauan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Namun,
kinerja pelayanan publik yang masih buruk akan menjadi titik
sentral perhatian publik yang berpeluang menurunkan citra lembaga
birokrasi pemerintah.Apabila Pemerintah tidak segera memikirkan
langkah-langkah strategis untuk mereformasi birokrasi, tidak
menutup kemungkinan memunculkan kamuflase birokrasi yakni sebuah
tipikal birokrasi yang hidup di jaman berbeda namun tetap
menunjukkan watak dasarnya yang korup dan lemah dari sisi
akuntabilitas kepada publik. Pergantian masa hanya sekedar menjadi
pergantian waktu dan rezim penguasa. Pergantian era tidak bisa
dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai momentum untuk menata kinerja
birokrasi bagi perwujudan kesejahteraan masyarakat. Indikasi ini
sangat terlihat pada kebijakan anggaran pemerintah yang menunjukkan
lemahnya visi birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Kebijakan anggaran daerah (APBD) masih mengalami ketimpangan yang
cukup mencolok dimana alokasi anggaran untuk kebutuhan rutin
birokrasi masih jauh lebih besar dibandingkan dengan anggaran untuk
kebutuhan pelayanan publik.
Daya Saing Birokrasi: Suatu Wacana Baru
Wacana tentang tingkat daya saing birokrasi suatu negara saat
ini sudah merupakan suatu isu aktual seiring dengan masuknya era
globalisasi. Bahkan, pelayanan publik saat ini tidak terlepas pula
dari adanya fenomena globalisasi. Di banyak negara berkembang,
seperti Malaysia atau India telah mengadopsi berbagai pendekatan
manajemen pelayanan publik yang modern, seperti paradigma the New
Public Service,citizens charter, e-government, e-procurement, dan
lain sebagainya (lihat dalam,Government of Malaysia, 1996). Era
globalisasi ini menjadi tantangan baru bagi birokrasi di banyak
negara untuk dapat bersaing dengan negara-negara lainnya agar tetap
mampu memberikan pelayanan yang baik pada para calon investor.
Bahkan iklim investasi di suatu negara, akan sangat tergantung pada
kinerja pelayanan dari birokrasinya. Saat ini birokrasi di
masing-masing negara dituntut untuk dapat memberikan kinerja
pelayanan yang dapat menarik minat kalangan investor untuk
menanamkan modalnya. Regulasi yang berkaitan dengan penciptaan
stabilisasi politik, kebijakan ekonomi dan perpajakan yang menarik,
serta efisiensi birokrasi dalam pemberian pelayanan kepada para
investor, merupakan beberapa kebijakan yang telah ditempuh oleh
banyak negara untuk menarik investor ke suatu negara (Cullen &
Chushman, 2000). Birokrasi pemerintah dengan demikian memegang
peran sangat penting dalam rangka meningkatkan daya saing suatu
negara di mata investor. Birokrasi yang efisien dalam pemberian
pelayanan akan membawa konsekuensi pula pada efisiensi biaya
ekonomi yang harus dikeluarkan oleh adanya suatu kegiatan investasi
di suatu negara.Perkembangan isu global di atas tentu saja membawa
pengaruh besar pada keberadaan birokrasi pemerintah dalam
menjalankan fungsi penyelenggaraan pelayanan publik. Para pengusaha
atau investor telah menuntut agar birokrasi lebih efisien dalam
pemberian pelayanan yang berkaitan dengan berbagai kepentingan
duinia usaha. Namun pada kenyataannya, merujuk pada laporanThe
World Competitiveness Yearbooktahun 1999 (Cullen & Cushman,
2000), Indonesia berada pada posisi ke-96 dari 100 negara yang
dinilai paling menarik untuk menanamkan investasi di dunia.Bahkan
dalam suatu Laporan Investasi Dunia yang dirilis oleh UNCTAD
(United Nation Conference for Trade and Development) tahun 2003,
peringkat investasi Indonesia berada pada urutan ke-138 dari 140
negara atau posisi Indonesia setara dengan Suriname (Jawa Pos, 5
September 2003).Tentu saja kondisi tersebut tidak dapat dilepaskan
dari masih tidak efisiennya kinerja birokrasi dalam turut serta
menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi para calon investor.
Begitu pula kemampuan birokrasi pemerintah dalam meningkatkan
kinerja pelayanan dan profesionalisme sumber daya aparatur
birokrasi masih tergolong rendah. Profesionalisme birokrasi yang
mampu memberikan pelayanan yang efisien, juga masih jauh tertinggal
apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti
Thailand, Malaysia, Philipina, atau Singapura yang merupakan salah
satu negara dengan birokrasi yang paling kompetitif di dunia
bersama Canada dan Amerika Serikat.Kondisi tersebut memperlihatkan
bahwa kemampuan birokrasi pemerintah untuk melakukan fungsi
fasilitasi dalam mengelola berbagai potensi yang dimiliki oleh
publik masih sangat terbatas. Kemampuan birokrasi pemerintah untuk
memberikan kontribusi bagi peningkatkan daya saing nasional di
antara negara-negara di dunia masih terlihat sangat rendah. Kinerja
birokrasi dalam pemberian pelayanan yang berkaitan dengan perijinan
dunia usaha misalnya, masih memperlihatkan tingkat profesionalitas
yang rendah, seperti masih sering dijumpainya uang pelicin,
diskriminasi pelayanan atas dasar hubungan pertemanan,
ketidakpastian biaya, prosedur, dan waktu penyelesaian pelayanan
(lihat, Boks 1). Kondisi di atas tentu saja membawa dampak pada
kerugian dan kekecewaanmasyarakat atau kalangan dunia usaha ketika
berurusan dengan birokrasi. Bahkan pada proses rekrutmen pegawai
birokrasi di daerah, nuansa KKN masih seringkali dijumpai, hal ini
tentu saja sangat mempengaruhi kualitasdan kinerja birokrasi secara
keseluruan.Masih suburnya budaya korup di lingkungan birokrasi
pelayanan tentu saja membawa implikasi buruk pada upaya pencapaian
kultur pelayanan birokrasi yang profesional. Selama ini pesoalan
KKN dalam birokrasi seolah-olah telah menjadi praktek kolusi yang
turun temurun semenjak era birokrasi kerajaan, kolonial, dan masa
Orde Baru. Bahkan pada era otonomi dan reformasi saat ini,
persoalan KKN masih tetap menjadi isu utama dalam birokrasi di
Indonesia. Pergantian kepemimpinan di tingkat pusat, maupun
perubahan sistem birokrasi yang lebih desentralistik pada tingkat
Kabupaten/Kota, juga tidak banyak membawa perubahan atau perbaikan
terhadap upaya pemberantasan KKN. Fenomena KKN dalam birokrasi ini
memang cenderung terus bertahan sebagai akibat adanya kultur
masyarakat Indonesia yang relatif permisif terhadap praktek
korupsi. Sebagai contoh, masyarakat pun dengan mudah dan tanpa
beban melakukan penyuapan kepada petugas atau polisi di jalan raya.
Berdasarkan temuan GDS (2002:99), bahkan terdapat sebagian warga
masyarakat menganggap wajar dan tetap membayar ketika diminta uang
rokok oleh aparat birokrasi. Terlepas apakah petugas juga
menerimanya, namun budaya yang hidup di masyarakat tentang suap
menyuap kepada petugas atau aparat pemerintah patut menjadi
gambaran betapa kultur korup juga masih hidup dan mungkin
dilanggengkan oleh sebagian masyarakat kita.
Sumber: GDS, 2002.
Berdasarkan gambar di atas, warga masyarakat memberikan
penilaian buruk atas kinerja lembaga-lembaga penyelenggara
pelayanan Pemerintah. Kinerja penyelenggaraan pelayanan publik pada
tingkat yang paling mendasar sekalipun masih belum dapat memberikan
pelayanan yang sesuai dengan harapan warga masyarakat. Secara
nasional, kinerja lembaga-lembaga pelayanan publik pada tingkat
paling bawah, seperti kantor kepolisian, kantor kecamatan,
kelurahan, dan sebagainya, masih mengembangkan sistem pelayanan
yang belum berpihak pada kepentingan warga pengguna layanan. Belum
banyak terlihat tumbuhnya suatu kesadaran dan komitmen di kalangan
birokrasi bahwa kepentingan dan kepuasan warga pengguna adalah
orientasi utama dalam setiap pemberian pelayanan publik.Pada era
otonomi daerah terdapat kecenderungan terjadinya pergeseran poros
KKN dalam birokrasi. Meskipun secara umum terjadi pergeseran pusat
KKN dari birokrasi ke legislatif (GDS, 2002:111), namun birokrasi
ternyata tetap merupakan aktor penting dalam peta KKN di era
otonomi daerah. Apabila pada masa Orde Baru, poros KKN banyak
melibatkan pejabat birokrasi pusat, pejabat birokrasi propinsi, dan
Pengusaha, maka pada era otonomi daerah poros korupsi (terutama di
daerah) tidak lagi banyak melibatkan pejabat pusat, melainkan
berada di pihak Bupati/Walikota dengan pegusaha dan politisi lokal
(anggota DPRD). Para pemain lama di tingkat lokal, seperti Gubernur
telah mulai bergeser perannya digantikan oleh Bupati/Walikota. Para
pengusaha saat ini lebih memilih untuk melakukan kolusi dengan
Bupati/Walikota sebagai elit politik paling berpengaruh di daerah,
khususnya dalam proses memperoleh tender proyek. Namun demikian,
benang merah korupsi tetap sama yakni keterlibatan secara intensif
politisi, pengusaha, dan pejabat birokrasi, hanya saja saat ini
para pemainnya lebih banyak mengambil para pemain lokal. Pengakuan
salah seorang pengusaha di Jawa Tengah berikut setidaknya dapat
menggambarkan fenomena KKN di era otonomi daerah:
Para pengusaha di era otonomi daerah saya kira tidak banyak
bedanya dengan zaman dulu, Anda kan tahu sendiri lah... bagaimana
cara kita untuk mendapatkan proyek, semua harus keluar uang dulu.
Dalam bisnis itu namanya kita harus keluar modal dulu, apa maunya
mereka kita turuti saja, nanti kita akan tutup dengan dana proyek
yang kita dapat.
(Indept interview, GDS, 2002:141).
Berbagai kondisi di atas tentu saja membawa implikasi buruk pada
persoalan daya saing birokrasi pada era global. Upaya ke arah
pencapian kinerja birokrasi yang efisien dan akuntabel akan semakin
sulit diwujudkan apabila orientasi birokrasi masih belum mengarah
pada kinerja kelembagaan yang memenuhi nilai-nilai kompetensi.
Birokrasi yang kompetetif tentu saja membutuhkan perbaikan struktur
dan kultur kelembagaan yang mengadopsi pendekatan manajerial
pelayanan yang berbasis pada perubahan lingkungan. Birokrasi dengan
demikian semakin dituntut untuk memperhatikan dan menyesuaikan diri
dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungan pelayanan, termasuk di
dalamnya para pengguna layanan.Reformasi manajemen birokrasi perlu
diarahkan pada perombakan manajemen pelayanan publik, seperti
misalnya birokrasi harus dapat mengubah pandangan negatif di
masyarakat bahwa berurusan dengan birokrasi pemerintah identik
dengan urusan yang rumit, membosankan dan memerlukan uang ekstra
agar urusan dapat segera diselesaikan. Birokrasi harus dapat
mengubah sikap dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat,
pejabat birokrasi harus dapar merubah penampilan dari sosok
penguasa menjadi sosok yang penuh keramahan, persahabatan, dan
sangat membantu ketika berhadapan dengan masyarakat. Birokrasi
harus dapat mengadopsi ide-ide atau pemikiran bahwa masyarakat
diperlakukan sebagai pelanggan (klien ataucustomer) yang
keberadaannya mampu menentukan hidup matinya organisasi birokrasi.
Memberikan pelayanan yang memuaskan pengguna layanan, harus
diartikan sebagai profit bagi organisasi yang akan membuat
birokrasi tetap diapresiasi dan dibutuhkan oleh masyarakat.
Krisis Pemberian Pelayanan
Selama kebijakan otonomi berlangsung, tidak terlihat perubahan
secara signifikan terhadap perbaikan pelayanan publik di berbagai
daerah. Memang terdapat kabar baik dengan adanya kebijakan ini,
yakni perpindahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah Kabupaten/Kota dalam pemberian pelayanan publik ternyata
masih tetap berlangsung secara normal, tanpa adanya guncangan atau
gangguan yang benar-benar dapat membuat sistem pelayanan menjadi
kacau. Namun begitu, apabila melihat kondisi pelayanan publik yang
buruk semasa sebelum adanya kebijakan otonomi daerah, maka kondisi
di atas dapat diartikan bahwa sebenarnya sistem pelayanan publik di
Indonesia saat ini berlangsung secara stagnan. Artinya belum
terjadi perubahan atau perbaikan terhadap sistem penyelenggaraan
pelayanan publik secara baik.Kemampuan birokrasi pelayanan dalam
melakukan tindakan inisiatif pelayanan untuk memuaskan pengguna
jasa juga masih terlihat sangat lemah. Birokrasi pelayanan masih
sangatrules-drivendalam mengambil keputusan. Pola penerapan aturan
secara kaku membuat ruang inisiatif menjadi amat terbatas, sehingga
para pejabat birokrasi tidak dapat secara bebas melakukan inovasi
pelayanan menyesuaikan dinamika masyarakat yang terus berubah.
Dalam era globalisasi dan kompetis