Kilas-Balik Memburu Perjumpaan: (I) Dangdut Memagut Dendang
Rhoma IramaFOKUSJabar.com:KAISAR Dangdut Rhoma Irama berjaya di
kancah musik Indonesia. Perjuangan gigih dan perjalanan panjang
yang ditempuhnya dalam membangun martabat dangdut untuk terpandang,
bermandikan romantika tersendiri. Tantangan dan rintangan
dilintasinya, kian meneguhkan pemusik kelahiran Tasikmalaya itu,
untuk tidak berpaling dari musik dangdut, Berikut ini terurai kisah
kilas-balikYoyo Dasriyodari Garut, mantan wartawan Majalah musik
legendaris Aktuil Bandung, dalam memburu perjumpaan dengan sang
Raja Dangdut itu. Tulisannya dikemas dalam 17 bagian:Sebelum
putaran tahun 1975, denyut nadi dangdut belum mengencang. Gengsi
musik dendang ini masih rendah. Bukan saja dianggap berperingkat
kelas dua, namun juga dituding sebagai musik pinggiran. Tetapi
kekuatan pasar dangdut yang semula populer dengan sebutan melayu,
dan musik pengiringnya masih ditulis OM (Orkes Melayu) itu, merebut
selera masyarakat sejak era 1960-an masa kejayaan Ellya Agus. Nama
yang kemudian dikenal sebagai Ellya M Haris hingga bernama Ellya
Khadam. Sederet nama lainnya tercatat, Juhana Satar, Mashabi,
Munif, Elvy Sukaesih, Babay Suhaemi serta Latief Khan.
Raja Dangdut Rhoma Irama semasa masih bernama Oma Irama, saat
berduet dengan Inneke Kusumawaty, iringan Band Zaenal Combo
pimpinan (alm) Zaenal Arifien.(Foto: Istimewa)Legenda kemasyhuran
lagu-lagunya seperti Ratapan Anak Tiri, Keluhan Anak Yatim, Harapan
Hampa, Kecewa, Boneka India, Sekedar Bertanya, Termenung, serta
Renungkanlah, masih memanjang hingga kekinian. Dalam kondisi
seperti itu, reputasi Oma Irama belum menguat di kancah percaturan
penyanyi melayu, yang memanjakan pamor Mansyur S dan Muchsin
Alatas. Popularitas Oma mulai tergosok dengan kepopuleran lagu Ke
Bina Ria, duetnya bersama Titing Yeni iringan OM Purnama pimpinan
Awab Abdullah.Tokoh dangdut itu sejajar dengan Zakaria pimpinan OM
Pancaran Muda, yang deras mengiringi penyanyi dangdut, dan kreatif
mencipta lagu. Saya kenal lagu Oma lainnya, Terajana, Kegagaln
Cinta dan Rindu karya Achmad Fadaq. Namun tahun 1969 kemasyhuran
duet harmonis Muchsin & Titiek Sandhora berlagu Ke Bina Ria
versi pop dangdut Band Empat Nada pimpinan Yadin/A Riyanto, menyapu
kepopuleran duet Oma Irama & Titing Yeni. Publik lebih mengenal
Ke Bina Ria dari duet Muchsin dan Titiek Sandhora. Pasar dangdut
yang tak pernah surut, saat itu menggoda pula bisnis rekaman
penyanyi pop.Biduan kenamaan (alm) Alfian yang dikenal dengan lagu
Senja di Kaimana, Semalam d Cianjur maupun Sebiduk di Sungai Musi,
meluncurkan album dangdut iringan OM Bukit Siguntang pimpinan A
Khalik. Langkah ini menyusul sukses (alm) Lilies Suryani, dengan OM
Pancaran Muda, yang meroketkan lagu Gadis Sakura dan Tamasya Ke
Tawangmangu. Dalam aroma pop dangdut, band Electrika pimpinan Iwan
Setawan, menghadirkan Tutty Subarjo berlagu Alam Pagi. Dari kubu
dangdut, (alm) Ellya Khadam, Elvy Sukaesih dan Babay Suhaemi,
pernah dihadirkan dalam kemasan musik pop iringan Band Zaenal Combo
pimpinan (alm) Zaenal Arifien.Namun kejutan sukses penyanyi dangdut
di ladang pop, hanya membukukan kehadiran Muchsin berlagu Merana
dan Gadis Lesung Pipit, iringan Band Arulan pimpinan Yarzuk
Arifien. Itupun dikemas dalam album kompilasi Aneka 12. Sebaliknya,
Munif mendendang Bunga Nirwana aroma pop dangdut. Sungguhpun pasar
dangdut lebih komersial, tetapi martabat dangdut kalah terpandang
dibanding pop. Karakteristik lagu dan musik dangdut yang
mendayu-dayu, menerbitkan anggapan selera kaum pinggiran. Dangdut
bukan musik gedongan.Bisa dipahami, jika Oma Irama mengaku tidak
tergiur berladang di musik dendang. Tahun 1967 saya pertamakali
mendapat kesempatan rekaman dari perusahaan Dimita.Tapi peluang itu
tidak langsung saya terima, karena harus rekaman lagu dangdut
dengan Orkes Chandraleka. Dulu, saya memang segan sekali ngebawain
lagu dangdut Oma Irama tertawa mengenang kisahnya, di awal
perjumpaan saya di Garut 3 September 1975. Tetapi Benny Mucharam,
kakak kandung Oma, terus membujuknya agar menerima peluang rekaman
itu karena masih teramat mahalnya kesempatan rekaman bagi penyanyi
baru. Oma pun mulai rekaman dangdut.Lagu ciptaan pertamanya, Ingkar
Janji, turut direkam dan menyemangati karier baru Oma di ladang
dangdut. Sejumlah album dangdut lainnya bermunculan dengan orkes
pengiring berbeda, hingga Oma mencuatkan lagu duet Ke Bina
Ria..Meski pintu rekaman mulai terbuka, namun tidak memadamkan
ambisi Oma Irama untuk sukses sebagai penyanyi pop. Oma yang
berangkat dari musik pop, masih gigih memburu karienya Di saat
album rekaman duet memusim pun, Oma tampil dalam album pop bersama
Inneke Kusumawaty dan Lily Junaedi, iringan Band Zaenal Combo.
***
Kilas-Balik Memburu Perjumpaan: (2) Perlawanan Dendang Rhoma
IramaFOKUSJabar.Com:Sukses tak hanya butuh proses, namun juga
misteri! Seumpama bayangan, jika dibiarkan sukses itu tak pernah
henti menggoda. Sebaliknya, saat terus dikejar, seolah selalu saja
menjauh Oma Irama pun lalu hadir berduet dengan (alm) Veronica
mantan pemain organ The Beach Girls, yang kemudian jadi isterinya.
Namun dominasi pasar duet Muchsin dan TitiekSandhora, masih sulit
dipatahkan! Peringkat mereka tidak tergoyahkan kehadiran Oma Irama
dan Inneke Kusumawaty, Lily Junaedhy, maupun dengan Ellya
Khadam.Sebaris duet lainnya bermunculan, seperti (alm) Onny Suryono
& Tutty Subardjo, (alm) DickySuprapto & (alm) Suzanna,
(alm) Alfian & Tetty Kadi, serta Didi Yudha & Anieta
Tourisia. Empat album pop Oma Irama dengan Jopie Item dan Zaenal
Combo, juga berlalu begitu saja. Salah satu lagunya yang sering
mengudara di RRI Palembang berjudul, PantaiBestgy. Memang reputasi
Oma Irama belum diperhitungkan. Padahal, Oma berpotensi sebagai
penyanyi pop dengan keapikan suaranya. Kemenangan Oma di Festival
Pop Singers Asia Tenggara 1972 di Singapore, menggantikan (alm)
DeddyDamhudi, merupakan pembenaran atas potensinya.Oma merebut
juara pertama, saat berlagu I Who Have Nothing nyanyian Tom Jones
dan Jangan Ditanya tembang lawas karya peninggalan (alm) Ismail
Marzuki. Pada saat bersamaan, Wiwiek Abidin memenangi juara pertama
untuk penyanyi wanitanya. Tetapi berjaya di arena festival, belum
membuka kunci sukses perjalanan karier pop Oma Irama. Tahun 1973
pun waktu saya mendampingi proses rekaman grup band The Yudas di
studio Remaco Jakarta, nama Oma Irama belum hangat dalam percaturan
bursa artis penyanyi pop di pabrik piringan hitam terbesar se-Asia
Tenggara itu.
Pasangan duet dangdut harmonis Oma Irama dan Elvy Sukaesih,
menandai sukses kebangkitan Oma Irama bersama SonetaGrup-nya.
Kehadiran Rita Sugiarto sebagai pengganti Elvy, menguatkan
supremasi duet baru di kancah dangdut negeri ini.(Dokumentasi)Nama
Deddy Damhudi, Muchsin, Bob Tutupoly dan (alm) Broery Marantika,
yang lebih banyak dibicarakan. Di sisi lain, bursa grup band tengah
menghangat. Terlebih, dengan polemic rebutan hak cipta lagu
TiadaLagi, yang melejitkan (alm) Charles Hutagalung dari grup band
The Mercys Medan. Penggugat hak cipta lagunya muncul dari Arany
vokalis The Yudas, grup band asal Riau yang pernah bermukim di Kota
Garut. Saya diposisikan sebagai mediator The Yudas pimpinan
Kartisna Yudakusumah, Kepala BRI Cabang Garut.The Mercys diwakili
rekan Benny Soewandito, yang lebih dikenal dengan nama Bens Leo.
Saya ingat tahun 1974, lagu dangdut Terajana yang mewarnai film
Melawan Badai karya (alm) Sofia WD, tidak menjembatani Oma Irama
bermain film. Dendang ceria itu, dinyanyikan Jaja Miharja, dengan
aksi jenaka dan berkepala gundul. Lagu itu pula ditampilkan Urip
Arpan di film Laila Majenun karya (alm) Drs Syumanjaya. Bisa
dimaknai, sosok dan reputasi Oma Irama belum mengusik nilai jual
dalam bisnis dunia film nasional.Romantika perjalanan kariernya,
belum seirama dengan irama ambisi Oma Irama, yang masih harus
menaklukkan keragaman irama tantangannya. Barangkali benar, pop
tidak berjodoh dengan perburuan karier Oma Irama. Lelaki simpatik
kelahiran Tasikmalaya, 12 Desember 1946 ini lalu terpacu memutar
baling-baling kariernya ke kancah music dangdut. Tak tahu kenapa,
di mass media kini penanggalan kelahiran itu tertulis jadi 11
Desember 1946. Saya merasa tidak salah mencatat. Apa Oma keliru
menyebutnya? Entahlah. Itu peristiwa lain saya, di luar beda
penanggalan kelahiran (alm) Nike Ardilla.Semasa kebersamaan panjang
dengan sang mega bintang itu sejak tahun 1987, saya mencatat
penanggalan kelahirannya, 28 Desember 1975. Sepeninggal Nike,
justru 27 Desember 1975 orang mengenal sebagai kelahirannya.
Bahkan, pada plat nomer sedan Honda Genio pengantar maut sang
bintang pun betulis D-27-AK. Unik, dalam catatan saya penanggalan
kelahiran kedua super star itu lebih satu hari. Tak tahu siapa yang
keliru? Di luar perhitungan, Nike Ardilla jadi mega bintang
fenomenal. Saya pun tak pernah mengira, bakal lahir penyanyi
bergelar Raja Dangdut bersosok Rhoma Irama.Kalaupun pernah mencuat
sebutan Ratu Dangdut untuk Ellya Khadam, tetapi masih kurang
permanen. Keunikan lain pun berulang. Tahun 1975 bukan hanya
momentum kelahiran (alm) Nike Ardilla. Tahun itu pula historis
penting bagi kelahiran paradigm baru dunia music dangdut Indonesia,
yang ditandai sukses fantastis lagu Begadang. Serta merta sukses
itu melahirkan kejutan reputasi Oma Irama dan SonetaGrup, yang
dibentuknya 13 Oktober 1973. Saat itu formasinya terdiri dari Oma
Irama (lead vocal gitar), Wempy (rhythm), Nasir (Mandolin), Riswan
(keyboard), Hadi (suling), Yopi (Tamborin), Pongky (bass guiar)
danChovif (gendang). ***
Kilas-Balik Memburu Perjumpaan: (3) Keteguhan Rhoma Irama
Menebas Angka 13FOKUSJabar.com: Seketika, Oma Irama menuai julukan
sebagai tokoh pembaharu musik dangdut yang menggebrak musik
Indonesia dengan formula ramuan aroma rock dan musik dendangnya.Oma
dan Sonetamampu menawarkan warna lain. Dangdut dinamis dan energik
Bangunan komposisi musiknya menembus selera gedongan. Dendang
lagunya yang manis, komunikatif dan harmonis, membangun keragaman
baru dengan karakteristik tersendiri.Oma sukses membuka kebaruan
kiblat musik dangdut dalam segala aspek musikalnya.
Potret kenangan hari kemarin. Perjumpaan Oma Irama dan Yoyo
Dasriyo, 3 September 1975, di Gedung Sumbersari Garut. Perbincangan
di atas pentas, seusai pergelaran Malam Begadang(Foto: Cang
Anwar)
Saya bukan penggemar fanatik lagu dan musik dangdut. Namun 3
September 1975, booming lagu Begadangmengusik saya memburu Oma
Irama yang menggelar pentas Malam Begadang di Gedung Sumbersari
Garut.Saya menenteng kamera Canonet QL-17. Hadir ke gedung pun
setengah hati! Bukan apa-apa, tetapi karena tak punya keyakinan
liputan pentas musik dangdut menarik dimuat di Majalah musik AKTUIL
Bandung, tempat saya bekerja, yang sarat dengan pemberitaan musik
luar negeri.Liputan pentas musik dangdut, dimungkinkan melawan
arus! Itu sebabnya, saya lebih terpanggil menjumpai (alm) Veronica.
Isteri Oma Irama ini lebih berpotensi dimuat di Aktuil yang
bergengsi dalam pemberitaan musik, karena Veronica pernah berjaya
sebagai primadona grup band wanita The Beach Girls.Saya berhasrat
menulis Oma Irama di mata isterinya. Dari sosok Veronica,
menjanjikan banyak hal menarik untuk diungkap. Namun malam itu,
belum terbuka kemungkinan jumpa Veronica, karena saya langsung
hadir dalam keremangan gedung pergelaran Soneta.Atmosfer Gedung
Sumbersari sesak dengan luapan massa.Oma Irama dan Soneta Grup
beraksi, bersama Elvy Sukaesih, dan Neneng Susanti penyanyi
pendamping mereka. Di belakang Oma, aksi para pemain Soneta masih
sederhana. Musik dangdut membahana. Oma mendendang lagu Begadang.
Namun memasuki awal bait kedua lagu pembukanya, listrik mendadak
mati..Massa penonton bersabar, menunggu Oma mengulang lagi lagunya,
bersambut Dewa Amor, dan Gelandangan. Neneng Susanti mendendang
lagu Jam Lima dan Warung Pojok.Pentas dangdut menghangat dengan
aksi menggemaskan dari Elvy Sukaesih berlagu Jangan Dulu, Kuda
Lumping, Tali Merah dan Sampai Besok Pagi. Duet Oma & Elvy
berlagu Berjoget, Ke Monas Tung Keripit, Mandul dan Bosan, mengunci
pergelaran Soneta Grup.Di saat para penonton berhamburan
meninggalkan gedung, saya bergegas memburu Oma ke atas pentas. Sang
panglima Soneta yang masih bermandikat keringat, tersenyum ramah.
Saya perkenalkan diri sebagai wartawan Majalah AKTUIL Bandung.Oma
pun sedia untuk wawancara. Penyanyi dangdut dan pimpinan Soneta
Grup itu melepas lelah, sambil menghisap rokok kretek kesukaannya.
Penampilannya berambut ikal panjang, dan terurai tebal melintas
bahu.Kostum pentasnya warna gelap diwarnai ornamen yang memantulkan
kilatan cahaya. Celana hitamnya model cut-bray, dan sepatu dengan
hak tinggi. Saya sendiri masih berambut gondrong, dan bercelana
cut-bray. Memang itu trend awak Majalah Aktuil,seperti juga Remy
Silado, (alm) Denny Sabri, Man HS, Maman Sagt serta Bens Leo.Kami
duduk berhadapan di atas kursi beralas kayu. Saya hanya menyiapkan
alat tulis sebuah buku wawancara. Cang Anwar, rekan fotorgrafer,
segera memotret perjumpaan awal itu.Baru saya tahu, tutur bicara
Oma tidak selantang suara dalam nyanyiannya. Suara pembaharu musik
dangdut ini, cenderung mengalir lirih tanpa hentakan emosi. Musik
dangdut, yang semula tidak diminatinya, lalu jadi media untuk
mengekspresikan kekayaan kreasi bermusik, dan karya cipta
lgu-lagunya.Mungkin lantaran pengaruh lingkungan juga! Saya tinggal
di Bukit Duri, dan hampir setiap malam teman-teman saya di sana
suka nyanyi-nyanyi dengan musik dangdut. Eh didengar-dengar memang
meresap juga. Akhirnya saya bertekad buat menegakkan jenis dangdut
ini. Saya bentuk Soneta, saya berusaha mencari diri di sana Oma
Irama tertawa kecil. Uniknya, Oma memilih angka 13 untuk
pembentukan Soneta Grup. Tepat 13 Oktober 1973.Saya nggak percaya
kalau angka tigabelas itu dianggap orang sebagai angka sial! Itu
benar-benar tahayul! tandasnya kemudian.Keyakinan itu, lalu
dikuatkannya dengan kenyataan sukses di arena festival. Waktu saya
menang sebagai Juara Festival Pop Singers Asia Tenggara di
Singapore, saya tampil dengan nomer undian 13. Jadi, angka 13 itu
sama dengan angka-angka lainnya.Tapi orang sudah terlanjur
menganggap angka 13 itu sial. Bahkan, sampa ke seluruh penjuru
dunia. Tidak pernah ada satu kamarHOTELpun, yang bernomer 13. Kalau
nggak 12A, langsung saja nomer 14! Saya jadi ketawa. Kenapa mereka
percaya dengan tahayul..? Saya pikir, kita ini seperti hidup di
zaman jahiliyah modern. Astaghfirullahal adzim Oma bergeleng
kepala.Kilas-Balik Memburu Perjumpaan: (4) Veronica Menuturi Irama
Rhoma IramaFOKUSJabar.Com:Kreasi penggabungan musik rock ke dalam
dendang, terdukung dengan kemampuan bermusik para pemain Soneta
lainnya, yang berbasis rock dari Surabaya, Namun gerilya
pembaharuan dangdut Soneta, mengusik kalangan pemusik dangdut
lainnya. Musik baru Oma dituding mengingkari keutuhan ciri musik
dangdut.Biarpun saya masukkan unsur rock, tapi sebenarnya Soneta
tetap berpijak di dangdut. Kami tidak mengingkari dangdut, karena
bunyi dangdut dari gendangnya, dan sulingnya masih kami
pertahankan! Saya memang sengaja berkreasi membaharui musik
dangdut, supaya musik dangdut di muka bumi Indonesia tidak loyo
tegasnya .Saya ingat gagasan Awab Abdullah pimpinan OM Purnama, di
balik pembuatan film Bandung Lautan Api di Bandung, untuk
mengadopsi underground. Saat itu, Abdullah berperan sebagai figur
pasukan Gurkha. Di lain kesempatan di Cipanas Garut, Latief M yang
pernah berlagu Penglaris dan Hujan Duit, berobsesi mengemas musik
dangdut dengan warna musik tradisional Bali. Oma mendukung kreasi
mereka. Namun sesaat Oma terdiam, lalu tersenyum: Tapi.., bukan dia
orangnya katanya kemudian. Nada suaranya tak terdengar.
Kenangan lawas Yoyo Dasriyo, dalam perjumpaan lepas dengan (alm)
Veronica Irama di Hotel Kencana nomer 34, Tasikmalaya.(Foto: Cang
Anwar)Oma benar, karena konsep kedua pemusik dangdut itu tak pernah
mengemuka lagi.Selepas perjumpaan sekilas itu, saya tahu diri.
Liputan show Oma Irama dan Soneta Grup tidak dikirm ke Majalah
Aktuil Bandung. Liputannya saya kirim ke media Yudha Minggu, dan
Suara Karya Minggu Jakarta, yang terbit pada 28 September 1975.
Meski begitu, saya menyiasati penerbitan Majalah Aktuil, untuk
menulis tentang Oma Irama dari Veronica Irama.Peluang jumpa
Veronica terbuka.Kebetulan promotor show (alm) H Asep Ruchimat
Sudjana, sobat dekat saya.Sobat yang kemudian pernah dikenal
sebagai tokoh politik Golkar dan anggota DPR-RI itu, mengajak
melanjutkan liputan pentas musik Soneta ke Tasikmalaya dan Banjar.
Bersama tim Soneta, kami melunncur ke Tasikmalaya, dan transit di
Hotel Kencana. Siang itu banyak waktu terbuka untuk berbincang
dengan Veronica, jelang memburu lokasi pentas musik di Aula Sospol
Jl Pangaduan Kuda.Bermodal perjumpaan awal di Garut, sosok saya tak
terlalu asing lagi di mata Oma Irama dan pendukung Soneta Grup.Saya
bertandang ke teras kamar hotel bernomer 34, yang dihuni Veronica
dan suaminya.Hanya sesaat menunggu, Veronica lalu menyambut ramah.
Penampilannya bukan lagi seperti primadona grup The Beach Girls,
yang ramping semampai dengan rambut panjang tegerai. Tetapi
Veronica Monikamala Agustina Timbuleng, puteri dari keluarga Adrian
Oscard Timbuleng (Manado) dan Ny Flora de Bryine yang berdarah
campuran Belanda-Banten ini, masih tetap anggun dan lembut.
Rambutnya hanya melintas bahu Badannya agak subur.Dulu, berat badan
saya paling cuma 45 kg. Setelah menikah bisa sampai 60 kg Veronica
tertawa kecil, memecahkan kesan dinginnya.Ternyata wanita berkulit
kuning langsat ini komunikatif.Obrolan pun akrab dan hangat.Memang
sejak Oma naik daun di kancah dangdut, Veronica tenggelam dari
percaturan kancah keartisan musik.Tak banyak lagi orang kenal,
dengan reputasinya semasa aktif sebagai penyanyi pop dan pemain
organ The Beach Girls. Saya sibuk di rumah saja, dan mengajar les
piano untuk anak-anak.. katanya. Jumlah anak didiknya terpaksa
dirampingkan, karena berbagi waktu dengan kesibukan mengurus
manajemen Soneta Grup.Pernikahannya dengan Oma Irama tahun 1971,
sebenarnya tidak memadamkan karier musiknya.Dua tahun sejak
berstatus nyonya, Vero masih mendukung The Beach Girls. Saya masuk
Beach Girls pada bulan Mei 1969, dan bulan Mei 1973 saya out! Pas
empat tahun kenangnya sambil tersenyum.Dalam percaturan grup band
wanita Indonesia, The Beach Girls pimpinan (alm) Anny Kusuma,
pernah mencuatkan lagu barat Lody dan Pertama Berpacaran.Vero
mengaku tak ingat lagi judul lagu-lagu yang pernah direkamnya
itu.Perhatiannya tersita untuk kelangsungan Soneta.Bahkan Vero
pernah rekaman lagu dangdut bersama musik dendang itu, berlagu Ada
Gula Ada Semut dan berduet dengan suaminya dalam lagu Cinta
Buta.Kesibukan di balik layar Soneta, membuat Vero tak banyak lagi
mengamati perkembangan grup band wanita, atau penyanyi generasi
penerusnya yang bermunculan di televisi.Vero larut menuturi dunia
dangdut, dan berpaling dari dunia keartisan penyanyi pop. Titian
karier nyanyinya hanya bisa mengingat pernah mendukung barisan
penyanyi dari Band Dharma Musica, Bhayangkara, Brimoresta, Sari
Agung, The Cocos serta grup band wanita The Candies. ***
Kilas-Balik Memburu Perjumpaan: (5) Rhoma Irama Terpaksa
Berpaling Dari BanjarFOKUSJabar.Com:SEBELUM merapat ke grup The
Beach Girls, Veronica banyak tampil dengan band pengiring berbeda.
sampai tahun 1969. Namun Vero mengaku lupa nama rekannya, semasa
mendukung band The Candies. Sandra (lead gitar), Yudith (bass
gitar), Ester (ryhtm). Yang main drum-nya siapa ya! Wah lupa, tapi
kabarnya dia jadi pramugari Seulawah Veronica tersipu malu. Sambil
tertawa, Vero berucap: Saya ini orangnya aneh, Mas! Waktu masih
aktif jadi penyanyi juga, tidak pernah mengagumi seorang penyanyi
pun. Datar-datar sajaKetika Oma menerapkan konsep baru musik dan
lagu dangdut, Veronica tidak langsung mendukungnya. Bahkan Vero
mengkritisi hingga menyulut perdebatan di balik kelahiran lagu
seperti Begadang. Kami pernah selisih paham! Saya bilang, ngapain
bikin lagu melayu macam gitu..? Lagu itu terlalu banyak mengandung
unsur pop-nya. Tapi kemudian Kak Oma bilang, kamu diam aja deh Dia
langsung masuk kamar, merampungkan lagu yang sedang diciptakannya
cerita Veronica. Bukan hanya Begadang, beda pendapat itu melatari
lagu Berkelana, Penasaran dan Rupiah.Veronica tak pernah menduga,
lagu-lagu yang semula dianggap kontroversial itu, justru
mendongkrak martabat Oma Irama dan Soneta Grup di dunia musik
dangdut negeri ini. Sukses fantastis lagu Begadang, berlapis
Berkelana, Penasaran dan Rupiah, membuat ketangguhan Soneta Grup.
Itu semua, di luar saya punya sangkaan! Kalau menurut kebiasaan,
setiap terjadi selisih paham saat penulisan lagu Kak Oma, lagu itu
jadi hit dimana-mana.. Tapi saya kan nggak mau terus-terusan
cekcok. Biarin bagaimana Kak Oma aja deh! Veronica tertawa
nyaring.
Potret kenangan tahun 1975 di Garut. Elvy Sukaesih dan Oma Irama
di atas kendaraan terbuka, jelang pawai keliling kota diarak dari
depan Hotel Kota, Jl Ciledug, Garut.(Dokumentasi Yodaz)Figur
perempuan ini, yang tersembunyi di balik kibar Oma Irama dan Soneta
Grup. Saya mengunci perbincangan dengan ibu gadis kecil Debby
Veramasari Irama, yang baru berusia 4 tahun, untuk bersiap ke
lokasi pentas musik Soneta Grup. Sedan VW mungil bertuliskan Dank
Doet di kaca depan, tampak meluncur ke halaman kamar hotel itu. VW
kodok ini yang setia membawa keluarga Oma Irama dan Veronica untuk
berkelana, menggelar pentas musik dangdutnya ke berbagai pelosok
negeri. Namun pergelaran Soneta siang di aula Sospol Tasikmalaya
itu, terkesan spekulatif dengan persiapan minim.Tidak ada luapan
penonton. Atmosfer show Soneta pun hambar. Kondisi seperti itu,
dimungkinkan memburuk lagi dengan tidak adanya waktu untuk pawai
artis keliling kota Banyak warga kota tidak tahu, Oma Irama yang
pernah menghuni rumah di Jl Selakaso 51 Tasikmalaya, siang itu
hadir di pentas musik aula Sospol. Saya terdiam di balik layar
panggung sederhana, bersama Veronica dan Neneng Susanty. Duduk
santai di bangku panjang beratap tenda. Gema musik dangdut Soneta
yang membahana, terdengar mengiring dendang Oma dalam Begadang,
Penasaran dan Tung Keripit, serta berduet Mari Berjoget dengan Elvy
SukaesihGemuruh tepuk tangan menjemput Elvy Sukaesih mendendang
Kubawa dan Sebuah Nama. Selepas aksi pentas dangdut itu, panitia
mengajak saya bersiap estafet untuk meliput lanjutan show di
Banjar. Bersama rombongan Soneta, sore hari itu pula kami meluncur
ke Banjar. Hujan deras runtuh tanpa kompromi. Setiba di perkotaan
Banjar, semua orang terpaksa terdiam di dalam mobil. Saya dan Cang
Anwar rekan fotografer, sempat singgah ke rumah saudaranya, memburu
Shalat Maghrib. Kebetulan rumahnya di sisi jalan raya. Tak jauh
dari lokasi pentas musk terbuka.Dalam keremangan malam dan guyuran
hujan yang kian deras, warga Banjar mulai berhamburan. Kerumunan
orang tampak berpencar. Berteduh di emper jalanan kota kecil itu.
Namun di lokasi pentas masih sunyi. Belum tampak lampu penerang.
Panitia sibuk kordinasi. Masih membayang sosok (alm) Asep Sudjana,
berlari-lari membiarkan dirinya basah kuyup. Itu resiko promotor
yang dipikulnya, Saya tak tahu pasti, apa sebenarnya yang terjadi
malam itu. Bis pengangkut tim Soneta, dan sedan VW mungil yang
ditumpangi Oma Irama, masih belum memasuki areal lapangan.Suasana
tanpa kepastian. Di puncak penantian yang mengesalkan, justru bis
dan sedan VW itu berputar arah meninggalkan Banjar. Saya tertegun.
Terkabar kemudian, pentas musik Soneta Grup dibatalkan. Guyuran
hujan makin deras. Saya tak sempat menyalami Oma Irama, Veronica,
Elvy Sukaesih, maupun Neneng Susanty atau tim pemusik Soneta. Malam
itu kedekatan emosional yang baru terjalin dengan mereka, mendadak
terpisah tanpa kata. Saya masih termangu dalam mobil panitia. Sedan
VW mungil dan bis pengangkut tim Soneta, sekejap saja hilang dari
batas pandang ***
Kilas-Balik Memburu Perjumpaan: (6) Perseteruan Menyulut Dangdut
Dan RockFOKUSJabar.Com:Masa-masa itu saya senang berpetualang.
Mungkin juga masih keasyikan memproses identitas diri. Tanpa
berharap imbalan dari panitia maupun dari pihak Soneta, saya
menuturi lintasan romantika perjalanan Soneta Grup sebatas
kemampuan yang saya miliki. Faslitas yang diberikan panitia, hanya
akomodasi, konsumsi, biaya pembelian 2 rol negatif film hitam putih
dan batu baterey kecil untuk kebutuhan pemotretan, yang banyak
menggunakan kilatan lampu blitz . Perangkat kamera masih
manual.
Keterangan Foto (6):Wawancara Yoyo Dasriyo dan Elvy Sukaesih, di
balik pentas dangdut Soneta Grup di Gedung Sumbersari Garut, 1975.
Tampak rekan Cang Anwar masih berambut gondrong, dan Man KingS (
jongkok). Pebincangan diseling Elvy dengan menguatkan backing
vocal, untuk dendang Oma dari balik pentas. (Dokumentasi:
Yodaz)
Belum ada kamera digital dengan kemudahan fasilitasnya. Proses
cuci cetak foto pun membutuhkan waktu di studio foto. Beruntung,
Cang Anwar punya kamar gelap, dan bias memproses foto di rumahnya.
Setiba kembali di Garut, saya minta beberapa foto bernilai jual
seperti aksi Oma Irama, Elvy Sukaesih dan Veronica, secepatnya
disiapkan untuk melengkapi pengiriman laporan show dan profil
mereka. Dengan mesin tik merk Royal yang belum lama saya miliki,
tulisan profil Veronica, saya buat untuk penerbitan Majalah Aktuil
Bandung.Pikir saya, tulisan itu bisa jadi terobosan untuk menulis
Oma Irama di majalan musik bergengsi tersebut. Sungguhpun begitu,
saya masih harus menunggu momentum yang pas. Membaca dulu
perkembangan yang dicapai Soneta Grup, di tengah gelombang
persaingan pentas grup band musik hingar-bingar, yang membesarkan
nama grup The Rollies, AKA, God Bless, Giant Step serta sederet
nama lainnya. Saya yakin, tulisan profil Veronica berkadar adaptif.
Kapan pun bisa diluncurkan. Tidak akan basi. Terbukti gaung
pembaharuan dangdut Soneta Grup kian membahana.Reputasi Oma Irama
makin menggetarkan pentas musik Indonesia. Dangdut Soneta fasih
membaca selera konsumen musik. Sejumlah lagunya yang terus
mengalir, begitu cepat mengigit pasar dalam pergolakan kancah musik
grup band. Terlebih, setelah Oma Irama menyulut sensasi besar yang
meninggikan nilai komersiaitas Soneta Grup -nya, manakala pasangan
duetnya bergeser dari Elvy Sukaesih ke Rita Sugiarto, sang
pendatang bergelar juara pertama Festival Penyanyi Pop Indonesia di
Semarang.Kecuali itu, penampilan Oma Irama pun berambut lebih
pendek dan namanya berganti Rhoma Irama,setelah menunaikan ibadah
haji. Pemusik dangdut berdarah ningrat dari pasangan R Burdah
Anggawirya dan Ny Hj R. Tuti Juariah ini, terusik menyembunyikan
gelar haji dan keningratannya ke balik RH (Raden Haji), hingga
lahir nama baru Rhoma Irama. Tatanan musik dangdutnya yang beraroma
rock, dikuatkan lagi dengan lagu-lagu bernapas Islami. Pergelaran
pentas musiknya, senantiasa sarat dengan semangat syiar menggemakan
amal maruf nahyi munkar!Terobosan konsep musik dangdut Soneta,
sangat mengejutkan! Kekaguman dan pujian selalu memandikan pentas
musik Rhoma Irama dan Soneta Grup-nya yang makin solid. Sukses itu
sangat terdukung dengan kemampuan Rhoma menulis lagu-lagunya, yang
sesuai dengan kapasitas dan karaktersitik suaranya. Arus
pemberitaan seputar Rhoma Irama menyita penerbitan beragam media
cetak. Pamor Soneta pun berkilat. Nilai jualnya makin tinggi. Semua
itu melicinkan pemasaran album rekaman Darah Muda, dan album Soneta
lainnya.Kemasyhuran lagu-lagunya tak terbendung lagi, seperti
135.000.000, Rupiah, Hak Azazi, Ingkar, Terpaksa, Haram, Darah
Muda, berlapis lejitan sukses kehadiran Rita Sugiarto mendendang
Hitam, Percuma, Biduan, Cuma Kamu, Cup-Cup, maupun Mati Aku. Itu
momentum yang pas, untuk meluncurkan stok tulisan tentang Veronica.
Benar juga, Aktuil 205 edisi 27 September 1976, langsung memuat
profil Veronica Irama bertajuk Di Balik Sukses Rhoma Irama. Majalah
musik ini, lalu membuka lahan pemberitaan tentang pembaharu dangdut
itu.Saya tak sungkan lagi mengirim tulisan tentang Rhoma Irama,
yang kesuksesannya dalam mengangkat martabat musik dangdut
mengalirkan banyak pengakuan. Bahkan, aksi Rhoma dan Rita menembus
gambar sampul majalah musik legendaris itu. Rhoma tak pernah tahu,
diam-diam saya turut bangga, karena Aktuil sangat selektif. Tidak
sembarang artis atau grup band, dilirik untuk dipajang di sampul
majalah terkemuka itu. Pemberitaan tentang Rhoma makin gencar, saat
Benny Soebardja pemusik hard-rock dari grup band Giant Step
menyulut polemik di tengah pesatnya pamor Soneta Grup.Kedua pemusik
kondang asal Tasikmalaya yang berlainan kiblat musiknya,
bersitegang tentang derajat musik mereka. Giant Step dengan formasi
Benny Soebardja. Triawan Munaf (ayah Sherina), Jelly Tobing, Albert
Warnerin dan Erwin Badudu, saat itu tengah diposisikan sebagai
kelompok pemusik elit di jajaran musik hingar-bingar. Persaingan
citra musik Giant Step dengan pendatang Soneta Grup yang mengusung
dangdut rock, tergoda menyulut perseteruan. Rhoma Irama yang
berbangga dengan sukses perjuangannya mengangkat martabat dangdut,
tak menerima musiknya direndahkan dari musik lain ***
Kilas-Balik Memburu Perjumpaan: (7) Rhoma Irama Menuai Gelar
Super StarFOKUSJabar.com:Silang pendapat kedua kubu musik, tak
berkepanjangan.Pemusik dangdut dan insan musik lainnya sepakat,
untuk saling menjunjung tinggi martabat musik Indonesia.Tetapi
polemik itu terlanjur menginspirasi Rhoma Irama, menggulirkan lagu
bertajuk Musik yang memuat ekspresi gejolak emosi perlawanannya.
Lagu ini mendadak hit, dan menggema di setiap aksi pentas musik
Soneta Aku mau bicara soal musik/Tentu saja bagi penggemar musik
Awal syair lagu itu lalu bersambut bahana musik dangdut Soneta,
ditingkah suara lantang Rhoma berdendang.Perlawanan keras Rhoma
Irama tersirat dalam bangunan syair lagunya: Biarkan kami
mendendangkan lagu/Lagu kami, lagu Melayu/Bagi pemusik yang anti
Melayu, boleh benci jangan mengganggu Bunyi syair lagu Musik makin
menajam. Siapa suka boleh dengarkan/Yang tak suka boleh
berlalu/Siapa suka boleh dengarkan/ Yang tak suka, minggiiir seru
Rhoma gemas. Perseteruan itu mengusik kepedulian Majalah Aktuil,
untuk mempertemukan Rhoma Irama dan Benny Soebardja dalam Diskusi
Musik Hard Rock & Dangdut.Kegiatan berharga kehormatan itu,
terkait peringatan ulangtahun kesembilan Majalah Aktuil, yang
digelar di Gedung Merdeka Bandung, medio Juni 1976.Besar harapan,
saya bisa bertemu lagi Rhoma Irama di gedung bernilai sejarah itu.
Tanpa diduga, saya duduk bersebelahan dengan (alm) Charles
Hutagalung, vokalis The Mercys, yang pernah menghangatkan kasus
rebutan hak cipta lagu Tiada Lagi. Sayangnya, Rhoma Irama tak hadir
dalam diskusi, yang bermaksud menjernihkan perseteruan itu.Itu
salah saya.Saya terlalu emosi waktu itu. Tapi sudah lama saya minta
maaf sama Oma. Jadi sudah tidak ada lagi persoalan apa-apa Benny
Soebardja tersenyum.
Dalam kawalan ketat dan jejalan penonton, Elvy Sukaesih dijumpai
Yoyo Dasriyo di atas pentas dangdut terbuka di Stadion Jayaraga
Garut (1979). Tanpa Oma Irama, Elvy Sukaesih eksis dan menuai
julukan Ratu Dangdut.(Foto: Teddy Tuarez).
Siang itu, (alm) Denny Sabri manager grup band Superkid, yang
mendampingi Benny Soebardja meyakinkan, antara pemusik hard-rock
dan dangdut tidak bermusuhan. Itu dibuktikan dengan aksi Benny di
pentas musik Giant Step di Palembang,yang sengaja mengadopsi intro
musik dangdut Soneta dari lagu Begadang ke dalam atraksi Giant
Step. Dikabarkan, atraksi perdamaian musik itu disambut
penontonnya. Pembicara lainnya dalam diskusi itu, tercatat Remy
Silado, Bens-Leo, Wandy (grup Odalf), serta Dr Sudjoko (dosen seni
rupa ITB).Wandy tampil mewakili pemusik dangdut, sambil membacakan
tanggapan Rhoma Irama. Saya bercita-cita membuat Soneta seimbang
dengan grup-grup musik hard rock yang ada. Saya akan gunakan
lighting dengan power 20.000 watt, dan sound system 2.000 watt..
ungkap Rhoma Irama dalam tanggapan tertulisnya. Rhoma yakin,
memadukan musik hard rock dan dangdut dapat dilakukan, sepanjang
berpijak pada keseimbangan harmoninasinya. Ini diharapkan agar
dangdut jangan berkiblat ke India saja, sebab akan membunuh kreasi
musikus irama Melayu.. tegasnya.Rhoma menilai, penonton musik hard
rock di Indonesia masih awam, hingga hard rcok belum bisa menyentuh
hati penggemar musik secara umum.Diharapkannya, kemajuan musik
dangdut, bisa berdampingan di pentas musik hard rock.Harapan itu
terpenuhi dengan pergelaran musik sensasional di Jakarta, saat grup
God Bless dipertemukan satu panggung dengan Soneta Grup.Kenyataan
itu pembenaran dan pengakuan atas derajat musk dangdut Soneta, yang
tidak lagi dilirik sebelah mata.Majalah Aktuil Bandung pula,
sepakat menobatkan Rhoma Irama sebagai Super Star pertama di
Indonesia.Saya menganggap, bukti kedamaian pemusik dangdut dan rock
itu dilukiskan dengan tampilan Achmad Albar God Bless mendendang
lagu Zakia (1979).Enam tahun kemudian, Benny Soebarja bersama Giant
Step-nya, meluncurkan lagu Geregetan yang beraroma dangdut rock
ringan (1985).Namun lagu karya Triawan Munaf personal Giant Step
itu, justru melejitkan anak gadisnya, Sherina (2010).Sukses Sherina
menginspirasi rekan Buyunk Aktuil di Jakarta, untuk membingkai
tulisan unik tentang anak-anak pemusik bising hari kemarin, yang
merebut pasar musik kekinian.Di luar Sherina, tercatat juga Ikmal
Tobing anak sang drummer maut Jelly Tobing, yang mencuat jadi top
drummer muda! Saya diminta Buyunk Aktuil ke Jakarta, untuk menemui
mereka. Selasa, 21 Mei 2013, Jelly Tobing di rumahnya, menyambut
hangat, seolah memutus perpisahan panjang, sejak pasukan Majalah
Aktuil bubar. Namun siang itu, tak bisa menjumpai Ikmal Tobing,
karena mendadak dipanggil Achmad Dani. Triawan Munaf pun
berhalangan mempertemukan kami dengan Sherina.Esok harinya, berdua
rekan Buyunk, meluncur ke Wisma Nusantara, menembus hujan lebat
dalam remang senja di bumi Jakarta ***
Kilas-Balik Memburu Perjumpaan: (8) Garuda Putih di Film Pertama
Oma IramaFOKUSJabar.Com:Saya nyaris tak mengenali lagi sosok tokoh
pemusik handal Giant Step itu. Benny Soebarja yang terkabar sukses
jadi pengusaha, kini berpenampilan ramping dengan rambut pendek dan
berkaca mata putih.Sesaat saya tertegun.Namun Benny masih kenal
saya.Seniman musik keras yang pernah bernama besar itu, tersenyum
sambil mengulurkan tangannya.Asa kenal itu teh! sambutnya dalam
bahasa Sunda. Rekan Buyunk Aktuil menyebut nama, dan domisili saya.
Seketika Benny melonjak. Ooh .iya wartawan Aktuil dari
Garut!Ternyata perjumpaan Rabu sore, 22 Mei 2013, yang ditempuh
dengan perjalanan jauh dari rumah Jelly Tobing itu, tidak bisa
mengembangkan perbincangan nostalgia. Benny Soebarja sibuk melayani
tamu dari Singapore untuk urusan bisnis.Sayup-sayup adzan Maghrib
pun mengalun. Benny Soebarja, Buyunk dan saya bergegas antrean
wudlu. Dari arah mushola yang sudah sesak dengan jamaah, terdengar
muadzin menyiapkan shalat.Sungguh, di saat-saat seperti itu,
Jakarta seolah memandikan kedamaian dan kenyamanan mendalam.Sejuk
membasuh semua relung sanubari.Kilas balik tentang lintasan
romantika hari kemarin bersama Rhoma Irama, kembali membayang.
Manakala reputasi Rhoma kian diperhitungkan, panggung musik Soneta
Grup di pelosok negeri ini, selalu menciptakan lautan
manusia..Luapan penonton seperti itu menuntut pengawalan dan
pengamanan ekstra ketat.Terlebih, karena daya jual Rhoma Irama
mulai ditambang dalam industri perfilman nasional.Di tahun 1976
itu, pasar film pertamanya bertajuk Oma Irama Penasaran yang
ditangani (alm) A Harris, berjaya di gedung-gedung
bioskop.Belakangan saya tahu, A Harris yang juga pencipta lagu
lawas Kudaku Lari (1949), pernah gabung bersama Kapt (Purn) R
Burdah Anggawirya, ayah Rhoma Irama, dalam Detasemen Garuda Putih.
Saya sih kenal Oma sudah lama.Jauh sebelum dia bikin Soneta ungkap
A Harris semasa hidupnya, saat sutradara film laga berdarah Betawi
dan Banten ini bertandang ke rumah saya. Kedekatan dengan sutradara
film itu terbina, sejak skenario film komedi Bendi Keramat yang
saya tulis diproduksi di Garut tahun 1988.Saya terusik untuk bisa
bertemu lagi Rhoma Irama, setelah bergelar Raja Dangdut, berganti
pasangan dengan Rita Sugiarto, dan setelah pamor Soneta Grup-nya
kian perkasa. Banyak hal bisa saya tulis untuk media cetak.Justru,
peluang jumpa itu tergelar lagi di Garut, jelang aksi pentas musik
Malam 135.000.000 di lapang terbuka Jayaraga.Saya memburu Rhoma dan
Rita di Hotel Kota Jl Ciledug Garut sebelum mereka pawai keliling
perkotaan.Lega hati saya.Rhoma Irama masih kenal saya.Ini
perjumpaan ketigakali di Garut.Seorang bocah mungil berkulit
bersih, bernama Debby Veramasari, bermanja-manja di pangkuan
Rhoma.Saat itu industri rekaman pop tengah memusim dengan aksi
artis penyanyi cilik dari anak artis kenamaan, sejak lejitan Chicha
Koeswoyo puteri Nomo Koeswoyo, mantan drummer grup legendaris Koes
Plus. Fenomena hit lagu Helly merajai pasar kaset rekaman pop.
Memang sejak lama saya melihat ada bakat-bakat bagus dari
Debby.Tapi sejauh itu, saya masih keberatan melepaskannya ke dunia
rekaman.Terus terang saja, sebenarnya saya tidak berniat
mengorbitkan dan mengkomersialkan dia jadi penyanyi tandas Rhoma
menyikapi kondisi itu.Berlatar kemasyhuran Rhoma Irama, kehadiran
Debby menjanjikan sukses sebagai artis penyanyi cilik pendatang.
Namun Rhoma masih harus membaca tantangan, yang akan dihadapinya
dalam mendua konsentrasi. Memikirkan kelangsungan Soneta Grup, dan
menangani karier sang gadis kecilnya. Saat saya tanya kelahiran
Debby, seketika Rhoma Irama tertawa.Saya lupa., biar nanti saya
tanya ibunya Sambil menunggu Vernoica yang masih berkemas di
kamarnya, Rhoma bertutur tentang kelucuan tingkah anak gadisnya
itu.Kalau saya sembahyang, dia suka ngebuntutin!Suatu saat saya
dibikin ketawa, lihat telunjuk yang diangkatnya waktu Attahiyat,
bukan telunjuk kanan. Saya tanya, kenapa telunjuk kiri yang
diangkat? Dia bilang, habis telunjuk kanan Debby sakit kena luka
Saya tertawa cerita Rhoma berderai tawa.Tak lama, Veronica muncul
mengulum senyum.Rhoma menyambutnya dengan menanyakan kelahiran
Debby.18 Desember 1973. Baru empat tahun! balas sang mama spontan.
Selepas wawancara, rekan Cang Anwar, saya minta memotret perjumpaan
kenangan bersama Rhoma, Veronica dan Debby Veramasari. Suatu hari,
foto bersama itu berharga sejarah*** (Bersambung)
Kilas Balik Memburu Perjumpaan (9) Lara Usai Pentas Musik
JayaragaFOKUSJabar.com:Masih ada waktu yang tersisa. Rhoma Irama
lalu memperkenalkan saya dengan Rita Sugiarto dan Tati Hartati,
penyanyi pendampingnya. Mengapa Rhoma menggaet Rita, saat duetnya
dengan Elvy Sukaesih merebut pasar dangdut?.Rhoma Irama tersenyum
menjemput pertanyaan saya.Saya ingin buktikan kepada masyarakat,
bahwa tanpa seorang Elvy Sukaesih pun, Soneta bisa jalan terus..
katanya optimistis. Terbukti, meski kehadiran Rhoma di Kota Garut
untuk ketigakalinya, namun kecintaan masyarakat penggemar Soneta
masih belum surut.Gelombang lautan manusia tumpah menjejali Stadion
Jayaraga. Show Soneta pun sukses luar biasa! Dibuka dengan lagu
Musik dan Nyanyian Setan, magnetis aksi Rhoma Irama membuat banyak
penontonnya histeris. Terlebih setelah dendang lagu Penasaran,
Darah Muda, Lapar dan 135 juta.Tampil kemudian Taty Hartati berlagu
Malam Minggu, Lonceng dan Berahi. Massa seakan terhipnotis, ketika
Rita Sugiarto mendendang lagu Biduan, Hitam dan Datang Untuk Pergi
yang pernah menjayakan Elvy Sukaesih.Jelang pentas musik selesai,
saya bergegas mendahului hamburan massa dari arena. Cemas melihat
gejolak penonton, yang memungkinkan kurang nyaman. Namun setiba di
rumah yang hanya direntang jarak sekitar 1 km dari Jayaraga,
kejutan kabar terumbar. Saya tersentak. Bahkan seketika
kalangkabut.Ternyata, pergelaran musik dangdut yang fantastis malam
itu, berujung malapetaka. Tragis. Lautan manusia bagai berombak.
Mereka berlomba berdesakkan memburu pintu ke luar, yang berpagar
drum. Gejolak arus penonton tak terkendali. Dua orang bocah tewas
terinjak-injak.Puluhan orang lainnya terkapar pingsan, serta dua
korban menderita luka. Saya buru-buru balik lagi ke lokasi. Harus
secepatnya melacak akurasi data tentang korban.Di luar stadion
bekas pentas Malam 135 juta, hanya menyisakan cerita lara. Malam
itu raungan sirene dari sejumlah mobil ambulance terdengar memecah
haru, diterpa tiupan peluit petugas keamanan.Ketegangan dan
kecemasan masih memanggang. Saya tidak memburu ke RS dr Slamet
Garut, karena kebutuhan foto berita rekaman suasana sudah terlanjur
berlalu Pikir saya, besok pagi bisa minta bantuan rekan (alm) Yusup
Supardi wartawan Harian Umum Mandala.Rumah rekan \wartawan itu
kebetulan di seberang lokasi RSU. Namun saya pun segera ke rumah
(alm) Kamaludin Syamsul, wartawan HU Pikiran Rakyat, untuk
mendapatkan foto pendukung berita yang memotret suasana itu.Saat
itu tak mudah mendapat foto berdaya rekaman peristiwa aktual,
karena jumlah wartawan belum mencapai ratusan orang. Di PWI
Kordinatorat Garut (kini PWI Perwakilan Garut), baru tercatat 22
orang. Itu pun sudah dianggap banyak, dan jadi gunjingan.Belum ada
organisasi lain di luar PWI. Bahkan, wartawan peliput pentas musik,
masih bisa dihitung dengan jari.Kondisi seperti itu menciptakan
martabat wartawan terpandang, karena masih sulitnya mendapat
pengakuan profesi kewartawanan.Saya menerima beberapa foto hitam
putih dari Syamsul Kamaludin, Tak perduli, meski foto-foto sisa
dari yang sudah dikirimkan ke kantor redaksinya. Masih beruntung,
saya belum dibebani tugas memburu dead-line berita di suratkabar
harian, karena saya masih memfokuskan tulisan entertainment di HU
Suara Karya dan Berita Yudha edisi minggu, di balik tugas sebagai
wartawan majalan bulanan Aktuil Bandung.Ada tenggang waktu untuk
mengembangkan materi pemberitaan, termasuk tanggapan panitia dan
Rhoma Irama, atas malapetaka selepas pentas musiknya.Pihak panitia
dan Rhoma menyatakan penyesalan dan kedukaan mendalam. Untuk kedua
pihak keluarga korban tewas, diserahkan santunan duka senilai Rp 60
ribu. Santunan ini terdiri dari panitia Rp20 ribu dan pihak Rhoma
Irama senilai Rp40 ribu. Jumlah sebesar itu termasuk tinggi.
Tingkat honor tulisan di media cetak pun dihargai Rp750 untuk
sebuah artikel di Suara Karya Jakarta.Di depanHOTELKota Garut,
siang itu kerumunanan wajah duka tim Soneta Grup masih membekas.
Mereka bersiap meluncur lagi ke Sumedang. Di tengah kesibukan
jelang keberangkatan konvoi kendaraan itu, Benny Mucharam, kakak
Rhoma Irama, sebagai pimpinan rombongan mengajak saya meliput show
ke Sumedang. Iya ikut aja kata Rhoma di samping sedan VW mungilnya.
Seketika terpikir, itu kehormatan langka! Naluri kewartawanan pun
terpanggil untuk membaca sambutan warga Sumedang, atas kehadiran
Soneta. Kebersamaan itu pun menjanjikan peluang untuk kenal lebih
dekat dengan tim Soneta, dan Rita Sugiarto, yang berpotensi jadi
primadona baru dangdut.***
Kilas Balik Memburu Perjumpaan (9) Rhoma Irama Membakar Sepi
SumedangFOKUSJabar.com:Serasa tersanjung. Benny Mucharam memberi
kehormatan. Saya diminta naik ke dalam colt. Ditempatkan di jok
tengah, diapit Rita Sugiarto dan Tati Hartati. Harum varfum kedua
artis, seketika menyapu penciuman. Kendaraan memang belum ber-AC.
Desir udara nyaman, hanya bertiup dari celah daun jendela yang
digeserkan, Konvoi kendaraan mulai melaju. Sepanjang perjalanan
Garut Sumedang, saya leluasa mendua perbincangan dengan Rita dan
Tati. Kilas-balik karier Rita sejak menggeluti pentas musik pop
hingga gabung dalam Soneta terurai lepas.Saya paling suka dengar
kamu nyanyi Cuma Kamu, Hitam dan Biduan! Ekspresif.. Saya membuka
percakapan. Rita tersenyum. Lalu notes kecil yang memuat wawancara
dengan tulisan stenografi, dan sebuah pulpen, saya sodorkan. Untuk
kenangan saya, tolong kamu tuliskan syair lagu Cuma Kamu di sini..
Rita manggut sambil tersenyum, dan menarik notes itu. Artis ini
menulis dan bersenandung kecil lagu Cuma Kamu, Rita menulis syair
lagu di atas tas perangkat alat kecantikan yang didekapnya. Saya
tak pernah menduga, bakal mendampingi Rita Sugiarto, dalam kisah
perjalanan pemusik dangdut sekaliber Soneta Grup.
Aksi Rhoma Irama di depan publik dangdut Sumedang, 1977. Tim
Soneta sukses menghipnotis penontonnya. Padahal waktu pawai artis
digelar, sunyi dari sambutan masyarakat setempat (Foto: Yodaz)
Belum lagi dengan program show lanjutan ke Ciawi, Tasikmalaya.
Tak banyak orang tahu, saya pernah jadi orang di balik lintasan
pergelaran musik Soneta. Syair lagu tulisan kenangan Rita Sugiarto
dalam secarik kertas kecil itu pun, sampai kini masih tersimpan.
Sebelum menerjuni lagu dangdut, saya berkarier sebagai penyanyi
pop. Saya pernah jadi juara utama dan favourite di Demak tahun
1971.Habis itu, saya beberapakali menjuarai lomba nyanyi dangdut
dan keroncong di Semarang Fair.Lalu terpilih jadi juara Pop Singers
se-Jawa Tengah tahun 1974/75, untuk mewakill Jateng ke tingkat
nasional di Jakarta Rita mengalirkan tuturannya.Namun penyanyi
kelahiran Mranggen Semarang, 19 September 1958 bernama lengkap Rita
Derta Kismiarti Sugiarto ini, terpaksa membatalkan kesiapannya
tampil di pentas festival penyanyi pop tingkat nasional, karena
terpilih jadi pasangan duet Rhoma Irama menggantikan Elvy Sukaesih.
Ternyata karier Rita memang unik! Saya ini suka nyanyi serabutan,
Kak! Tidak cuma nyanyi satu jenis lagu saja. Pop boleh, dangdut
mau, keroncong siap.. Pokoknya apa sajalah. Yang penting, saya ada
kemampuan Rita lalu berderai tawa nyaringDalam perjalanan ke
Sumedang, saya pun berbagi perrhatian dengan Tati Hartati. Penyanyi
pendamping ini saya ajak bicara tentang titian kariernya di pentas
musik dangdut. Jelang sore hari, kami tiba di Kota Tahu Itu. Pihak
panitia mendadak meminta rombongan Soneta menggelar pawai keliling
kota. Saya masih berada dalam konvoi kendaraan artis dangdut.
Sempat heran, sambutan massa di Sumedang, tak sehangat Garut. Sepi
massa penggemar dangdut di keramaian pusat kota itu. Tetapi apapun
kondisinya, tidak menyurutkan semangat para pemusik
Soneta.Terlebih, setelah Ketua DPRD Sumedang, Achmad Mustofa,
bertandang keHOTELpersinggahan kami. Mustofa minta Rhoma Irama
tidak berkecil hati, karena diyakininya warga Sumedang akan tumpah
saat tiba waktu show. Tapi harap maklum, penonton di Sumedang ini
mahal tepuk tangan! Kemarin ini waktu grup band Panbers manggung,
mereka tampak diam-diam saja. Nah kalau para penonton di Sumedang
diam, itu tandanya setuju dengan aksi musik yang mereka saksikan
tuturnya kemudian.Di saat tim Soneta melepas lelah perjalanan, saya
mencuri waktu memburu studio foto, untuk membeli 1 rol negatif
hitam putih dan empat batu baterey kecil. Di tempat itu pula, saya
memproses cuci cetak foto pergelaran aksi pentas Soneta di
Jayaraga, Garut. Saya minta selesai setengah jam, sebelum waktu
Maghrib, agar Rhoma bisa melihat dulu hasil foto shownya. Mas,
boleh dong lihat foto-fotonya..? Ada yang sudah dicetak? Ada saya
nggak? sambut Hadi pemain suling sambil tertawa. Saya bilang, semua
foto sedang diproses di toko foto. Tak jauh dari lokasi
hotel.Rupanya Hadi tak sabar. Pemain suling yang selalu tampil beda
di panggung musiknya ini, semangat mengajak saya untuk bersama ke
tempat proses foto. Saya mau lihat-lihat dulu foto-fotonya, sebelum
masuk majalah. Hadi tertawa akrab. Saya berdua Hadi naik becak
menembus wajah perkotaan Sumedang. Hadi tak perduli, beberapa orang
mengenali sosoknya. Memang, Hadi jadi bagian dari pesona pentas
Soneta. Tiupan sulingnya memiliki karakteristik kuat. Dalam
kesenduan lagu Rhoma Irama dan Rita Sugiarto, alunan sulingnya
merawankan sukma ***
Kilas Balik Memburu Perjumpaan (10) Suasana Agamis Jelang Aksi
SonetaFOKUSJabar.Com:Lain lagi dengandendang ceria.Atraksi tiupan
suling Hadi jadi bumbu penyedap irama joget. Tiba di depan studio
foto, Hadi bergegas membayar jasa tukang becak. Pemain suling ini
pun berbaik hati, menanggung ongkos cuci-cetak foto. Saya lalu
dibawanya mampir ke rumah makan Bandung, hanya untuk sekedar minum
kopi dan merokok. Hadi ceria dan asyik membuka sejumlah foto, yang
baru selesai dicetak. Pemain suling yang bersahaja ini, mendahului
Rhoma Irama dan pemusik Soneta lainnya untuk melihat foto-foto
itu.Hadi minta beberapa lembar foto, setelah semua dilihat Rhoma di
hotel. Selepas Shalat Maghrib, Rhoma memilih foto-foto aksi pentas
Soneta waktu di Garut. Bagus-bagus ya! Bisa saya minta cetak lagi
untuk dibagikan sama penggemar? tanyanya sambil menunjukkan
beberapa lembar foto pilihannya. Boleh..! Insya Allah saya cetak
lagi nanti. Berapa banyak, Kang Haji..? Rhoma sebentar terdiam,
lalu tersenyum. Seratus lembar deh cukup katanya. Di Sumedang, baru
saya tahu kepemimpinan Rhoma Irama yang kharismatik di mata pasukan
Soneta.
Potret awal perjumpaan Tati Hartati (membelakangi lensa), Rita
Sugiarto dan Yoyo Dasriyo di Hotel Kota Garut,24 Oktober 1977,
jelang rombongan Soneta memburu Sumedang.(Foto: Cang Anwar)Tak
seorang pun turut campur, waktu Rhoma berbincang. Saya dibiarkan
berdua. Kalau tidak diminta, awak Soneta tak pernah menampakkan
sosoknya. Lebih kongkrit lagi, saat Benny Mucharam memberi komando
untuk Shalat Isya berjamaah. Kesolidan dalam suasana Islami sangat
mengental. Semua pemain Soneta mendadak sibuk berkemas. Berwudhu,
dan mengenakan kain sarung. Sebagian memakai kopiah. Menyambar kain
sorban.Saya ingin memotret kesibukan suasana religi seperti
itu.Tetapi saya pun tak mau ketinggalan shalat berjamaah.Apalagi
Rhoma Irama sebagai imam. Bagi saya, itu peristiwa langka!
Cepatsaja menjejeri shaf mamum di belakang imam. Saat-saat seperti
itu, dimungkinkan massa mulai mengalir ke arena pergelaran musik
Soneta di pusat kota. Sumedang. Mereka tak pernah tahu, sang Raja
Dangdut tengah khusuk memimpin shalat di sebuah ruangan hotel. Usai
shalat, kami disiapkan makan malam bersama. Dalam jeda waktu jelang
meluncur ke Alun-alun, Benny sibuk berbagi jatah rokok kretek Dji
Sam Soe.Merokok dulu, Kang! Benny tertawa kecil, sambil menyodorkan
sebungkus rokok Jalinan kedekatan dengan keluarga Soneta terasa
kian terbangun. Benar juga, jelang aksi pentas dangdut digelar,
massa penggemar Soneta di Sumedang, terhampar padat di depan pentas
terbuka. Terdukung lagi dengan cuaca malam yang bersahabat. Pak
Gunawananggota Kopasus, yang turut mengawal perjalanan rombongan
Soneta, sigap membantu pengamanan massa. Di antara jejelan massa,
saya bisa nyaman menuturi langkah para insan Soneta menaiki tangga
panggung terbuka.Terdengar gegap-gempita massa, menjemput kehadiran
Rhoma Irama. Sang Raja Dangdut ini memecah sepi sambutan massa di
Sumedang, yang sebelumnya konon tak pernah terjadi. Musik dendang
Soneta membahana. Sejumlah lagu hit penggosok pamor Soneta, bergema
silih berganti.. Sambutan massa dangdut di Sumedang amat
mengesankan. Hangatnya kenangan pentas musik itu, serasa memupus
lelah dalam perjalanan malam memburu Ciawi, Tasikmalaya.Namun di
balik kehangatan kesan dan gairah awak Soneta, justru tersembunyi
aksi perang dingin di antara Rita Sugiarto dan Tati Hartati. Dalam
keseharian di belakang layar, kedua bunga pentas Soneta ini tak
pernah menampakkan keharmonisan.Gelagat tak sedap itu saya tanya ke
Rhoma Irama sebelum meninggalkan Sumedang. Saya tidak tahu, ada apa
mereka..! Tapi itu biasa, sengketa anak-anak. Saling tidak
berteguran.. katanya tenang. Rhoma yakin, aksi dingin Rita dan
Tati, tidak berbuntut panjang ***
Kilas Balik Memburu Perjumpaan (11) Kebekuan Komunikasi Dua
Kembang SonetaFOKUSJabar.Com:Tetapi Raja Dangdut itu sempat
membisik, agar saya turut mencairkan kebekuan komunikasi kedua
artis penyanyinya. Pada kesempatan lain di rumah makan, Hadi
berkomentar: Kalaupun sengketa itu meledak, keduanya bakal akuran
lagi. Sebenarnya saya tahu persis persoalan mereka, cuma rasanya
berat untuk cerita sama wartawan pemain suling Soneta itu tertawa
kecil. Saya pun tak memaksa. Dalam perjalanan ke Ciawi, saya
diminta duduk lagi di antara dua kembang pentas Soneta itu.Saat ke
luar kawasan Sumedang, colt yang kami tumpangi harus mengisi
bensin, jelang memasuki Cileunyi. Bandung. Lewat tengah malam,
sunyi kian membalut suasana. Jalanan pun sepi. Lokasi SPBU terdekat
hanya berada di Cinunuk, setelah simpang jalan Cileunyi ke arah
Garut.. Konvoi kendaraan tim Soneta pun terpaksa harus merapat ke
Cinunuk. Jarum jam tangan menunjukkan Pkl 01.30. Sebagian pemusik
lelap tertidur. Waktu mengisi bensin, diam-diam saya memotret Rita
Sugiarto dan Tati Hartati, yang duduk bersama dalam kebisuan.
Potret awal perjumpaan Tati Hartati (membelakangi lensa), Rita
Sugiarto dan Yoyo Dasriyo di Hotel Kota Garut,24 Oktober 1977,
jelang rombongan Soneta memburu Sumedang.(Foto: Cang Anwar)Namun
pas kamera dibidikkan, justru Tati berpaling dari mata lensa.
Kebetulan atau bukan, tingkah seperti itu menajamkan kecurigaan
tentang aksi perang dingin mereka. Memang sejak di Garut, Tati
banyak menyendiri di balik pentas. Membiarkan Rita bercanda dan
berbincang dengan Veronica. Mereka jarang menampakkan keakraban
harmonis sesama artis Soneta. Ada apa sebenarnya di antara mereka?
Ah, nggak tahu! Tempo hari kita biasa-biasa aja.. tangkis Tati
merendahkan suaranya.Tapi kalian seperti tak penah tegur sapa..
desak saya. Berteguran sih suka juga, cuman Rita ngomongnya
seperlunya aja.. Habis bicara, eh dia pun diam lagi! Ah saya pikir,
lebih baik saya juga diam.. Tati mengungkap kekesalannya. Tak ada
kejelasan masalah. Mungkin persaingan asmara di balik pentas? Ah..,
tidak! Rita Sugiarto cepat menepis. Atau rebutan peringkat sebagai
penyanyi Soneta? Wah. kurang paham saya! Rita tersenyum. Penyanyi
yang lebih dewasa dalam bersikap ini, tak mau terpancing ulah
rekannya.Aksi perang dingin masih juga belum cair. Konvoi colt,
berikut sedan VW dan truk pengangkut perangkat sound-sistem Soneta,
lalu kembali melaju membelah kesunyian perjalanan. Benny meminta
saya jadi penunjuk jalan. Colt yang kami tumpangi lalu tampil
paling depan. Dalam lelah dan keremangan dini hari, saya mendadak
samar. Bimbang memilih arah di lepas terminal Cileunyi. Waktu itu
belum terbuka lintangan jalan tol ke Tanjungsari. Saya menunjuk
arah ke kanan.Tak tahunya, itu bentangan jalan jelang pintu gebang
tol Padaleunyi. Namun konvoi kendaraan terlanjur melintas gerbang
tol. Saya tersentak dan malu hati! Stop dulu! Kita salah jalan.
Kalau lurus terus, bisa ke Jakarta kata saya. Sopir menurunkan laju
kendaraannya. Colt berhenti. Penumpang seisi colt, yang
terkantuk-kantuk tertawa. termasuk Rita Sugiarto, Tati Hartati,
Benny Mucharam, Pak Gunawan, dan Nasir pemain mandolin. Iya
benar..! Jangan lurus. Kita bisa langsung balik ke Jakarta sahut
Benny.Secepat itu saya minta sopir berbalik arah lagi. Ke luar dari
jalan tol dan menyusuri jalan raya ke Nagreg. Konvoi kendaraan
Soneta terpaksa arak-arakan mencari tempat pemutar arah jalan. Tiba
di Ciawi memburu istirahat di rumah Dihok Somadikarta, panitia
pentas musik Soneta. Tak jauh dari lokasi rumah Vetty Vera. Sayang,
esok harinya mendung bergayut tebal memayungi pusat kota Kecamatan
Ciawi. Bahkan sejak sore hati, hujan runtuh menyiram suasana
keramaian, jelang jadwal pergelaran Soneta Grup. Tetapi siraman
hujan, tak merintang gelombang arus massa penggemar dangdut di
Ciawi. ***
Kilas-Balik Memburu Perjumpaan: (12) Lemparan Batu Dalam Guyuran
HujanFOKUSJabar.Com:Magnetis Rhoma Irama membakar gairah massa. Di
bawah cucuran hujan, mereka mengalir ke Alun-alun Ciawi. Pagar
bambu yang terpasang mengitari batas areal alun-alun, mendadak
roboh dihantam gejolak luapan massa. Saat hujan mulai reda, Rhoma
Irama dan Soneta Grup tampil beraksi.Gemuruh sambutan penonton
membakar suasana.Beragam dendang lagu ceria mengalun.Sebagian
penonton turut berjoget menuturi musik Soneta.Udara dingin Ciawi
terasa mulai menggigit.Curah hujan kembali merintang.Saya berkelit
ke balik pentas.Kebetulan malam itu hanya mengenakan kaos oblong
tipis berlogo Aktuil.Pak Gunawan berbaik hati.Seketika meminjamkan
jaket loreng Kopasus.Kang.., pake aja jaket ini!Dingin katanya
sambil melepas jaketnya. Musik dendang Soneta masih terus
membahana. Rhoma Irama kian didaulat penontonnya untuk mendendang
lagu-lagu keyajaannya.Namun tak seorang mampu melawan kehendak
alam.Curah hujan kian tinggi.
Keterangan foto:Rita Sugiarto dan Yoyo Dasriyo, di Ciawi
Tasikmalaya, 1977. Di luar hujan lebat runtuh memandikan kawasan
kota kecamatan itu. (Dokumentasi: Yodaz)Atraksi pentas musik yang
memikat dan komunikatif, tergelar di bawah naungan tenda
panggung.Massa penggemar dangdut tak mau perduli.Tetapi guyuran
hujan bagai petaka yang menghantui. Beberapa sudut atap pentas pun
mendadak jebol. Tak kuasa menampung dahsyatnya hujan.Sangat
realistis, saat keputusan Rhoma harus menghentikan pergelaran
musiknya.Rhoma menghindarkan gejala buruk.Terlebih karena siraman
hujan, menerobos tenda pentas.Semua terkena cipratan hujan.Veronica
Irama yang memangku Debby Veramasari di belakang sound sistem,
tampak cemas dan bergegas meninggalkan panggung. Semua orang
mendadak sibuk mecari peneduh dirinya.Pentas musik Soneta pun
dihentikan. Celakanya, sejumlah penonton masih memaksakan
kehendaknya, minta Soneta terus beraksi! Padahal, cuaca
buruk.Bahkan deras hujan pun menenggelamkan bahana musik.Mereka
lalu berulah.Melampiaskan kekecewaanya dengan melempar batu- ke
arah pentas. Astaghfirullahal adzim! Saya tersentak.Beberapa batu
kecil jatuh, nyaris menyambar kepala..Massa bubar berhamburan,
menerobos cucuran hujan.Alun-alun Ciawi, Tasikmalaya kembali
sunyi.Tak ada suara berisik, seperti pemandangan aksi tutup mulut
di kamar Rita Sugiarto dan Tati Hartati.Mereka berbaring bersama di
atas kasur.Sebuah bantal guling jadi batas pemisah. Ada apa di
antara mereka? Waktu tidur sekasur, kamu nggak pernah ngobrol sama
Rita? Saya menghampiri Tati, yang berkemas lagi untuk memburu
Jakarta.Tati hanya tersenyum kecil tanpa kata.Saat-saat sebelum
konvoi kendaraan Soneta diberangkatkan, Rhoma Irama mendekati
abangnya. Jaga, Ben! Jangan sampai mereka berantem pintanya, sambil
berlalu menuju sedan VW-nya.Benny manggut.Kecemasan Rhoma jadi
pembenaran dari perang dingin kedua penyanyi Soneta itu.Apa yang
terjadi? Rita tertegun, ketika membuka pintu colt untuk menempati
jok seperti semula.Rupanya, Tati tengah beraksi di dalam colt itu.
Tidur-tiduran sendirian hingga menutup tempat duduk orang
lain.Alasannya, sakit perut.Benny segera turun tangan.Tanpa kata,
Rita lalu duduk berdampingan.Ada apa sih kalian ini? tanya Benny
kepada mereka, dalam colt yang meluncur lewat tengah malam dari
Ciawi.Rita masih membisu, dan menjatuhkan wajahnya Nggak ada
apa-apa! sahut Tati. Tapi kenapa Oma bilang, jangan sampai
berantem..? Benny mendesak.Gadis ini tertawa nyaring. Apaan
berantem segala? Emangnya Mohammad Ali.. katanya tanpa
beban.***
Kilas-Balik Memburu Perjumpaan: (13) Syuting Film Merintang
Jadwal ShalatFOKUSJabar,Com:Rita Sugiarto masih diam. Asyik saja
menulis kesan di notes saya. Konvoi kendaraan tim Soneta membelah
kesunyian jalan ke arah Bandung. Kelelahan terasa meruntuhkan
kebugaran. Saya pun tak ingat lagi, turun di mana malam itu!
Direntang beberapa bulan kemudian, terkabar Rhoma Irama dan Soneta
Grup siap tampil di Alun-alun Limbangan, Garut. Saya ingat
foto-foto yang pernah dipesan Rhoma waktu di Sumedang. Segera saya
cetak 1 dus foto pesanannya, untuk saya serahkan di Limbangan,
Garut
Pasangan harmonis Rhoma Irama dan Yatie Octavia dalam film
nasional. Mereka mampu merebut perhatian penonton filmnya, dengan
memerani tokoh Rhoma dan Ani. Keharmonisan pasangan peran itu
membekaskan kenangan di hati penonton filmnya.s(Dokumentasi
Yodaz)Dengan kebaikan rekan wartawan senior Garut, (alm) Yuyun Edi
Karyana, saya boncengan naik Vespa melintasi jalan Leuwigoong
sejauh 42 km. Saya memang tidak punya, dan tidak bisa mengendarai
semua jens kendaraan. Rekan wartawan yang lebih senior itu, mengaku
awam dengan kancah selebriitis. Bisa dipahami, kalau sepanjang
perjalanan bertanya seputar dunia hiburan yang saya geluti.
Termasuk tentang imbalan jasa, yang banyak dianggap gampang
didapat. Terus terang, saya tak memahami urusan itu.Seya tidak
pernah meminta. Selama ini hanya memburu mereka untuk kebutuhan
profesi. kata saya. Almarhum tertawa, karena dunia saya dinilai
tidak sebasah liputan pemberitaan pemerintahan. Saya bilang juga,
untuk memenuhi pesanan foto Rhoma, saya bayar dulu dengan duit
pribadi. Kebetulan, Limbangan Garut bukan daerah asing. Masa kecil
saya pun diwarnai dengan suasana kehidupan di pedesaan itu, karena
Limbangan kampung halaman almarhumah ibu saya. Rekan yang
membonceng saya, justru isterinya berasal dari Limbangan.Karenanya,
mudah menemukan sekretariat panitia pergelaran musik Soneta, yang
ternyata tak jauh dari lokasi Alun-alun Limbangan. Saya langsung
mlnta izin panitia, untuk menjumpai Rhoma Irama yang sudah berada
di rumah itu. Rhoma menyambut ramah dan akrab. Seketika, banyak
penggemar Rhoma berdesakan di batas ruangan rumah itu. Kang Haji,
saya bawakan foto pesanan waktu di Sumedang.. kata saya. Rhoma
melonjak ceria.Oh ya.., dibawa sekarang? Mana! sambutnya. Saya
serahkan satu dus foto hasil cetakan Brims Studio Garut. Rhoma
tertawa lega.. Tunggu sebentar ya..! Rhoma bergegas masuk ke
ruangan kamar. Sesaat kemudian memanggil saya. ke batas pintu
kamarnya. Ini sekedar untuk ganti ongkos cetak fotonya! Terimakasih
ya Rhoma merendahkan suaranya, sambil menyusupkan sebuah amplop ke
genggaman tangan saya. Amplopnya agak tebal, Tak tahu berapa
isinya! Saya bersyukur. Amplop itu memuat lembaran uang seribuan
dan pecahan limaratusan rupiah.Saya ingat, uang tebusan foto hitam
putih itu bernilai Rp 10.000,- (Sepuluh Ribu Rupiah). Dari duit
itu, bisa berbagi menutup ongkos cetak foto, pengadaan 1 rol
negatif film hitam putih merk Agfa, berikut batu baterey, dan
sebungkus rokok. Namun sore itu, perjumpaan Rhoma terlalu singkat,
karena berbatas ambang Maghib, dan persiapan pentas musiknya. Awak
Soneta hilir-mudik di ruangan lain. Tak sempat saya jumpai Rita
Sugiarto, maupun Tati Hartati.Bahkan, tak bisa pula menyaksikan
pergelaran Soneta hingga tuntas, karena rekan wartawan yang
membonceng saya, terburu-buru balik lagi ke Leles, Garut. Terkabar,
pentas musik Soneta di Limbangan tak meluapkan arus penontonnya.
Tenyata, Limbangan lalu merentangkan perpisahan selama tiga tahun.
Selama itu pula, saya hanya membaca perkembangan Rhoma melalui
media cetak dan media filmnya. Sederet film Rhoma Irama memenangi
pasar film, sejak sukses Oma Irama Penasaran ***
Kilas-Balik Memburu Perjumpaan: (14) Harga Matii Untuk Tipuan
KameraFOKUSJabar.Com:Muncul kemudian film seperti Gitar Tua,
Berkelana, Darah Muda, Begadang, Raja Dangdut, Satria Bergitar,
Kemilau Cinta di Langit Jingga, Pengabdian serta sederet judul film
lainnya. Padahal, serampung film pertamanya, Rhoma mengaku tipis
kemungkinan meneruskan karier filmnya. Bagi saya, ternyata main
film itu terlalu banyak meminta waktu! Misalnya kalau datang waktu
Shalat Dhuhur, kebetulan cuacanya bagus, Shalat terpaksa mesti
ditangguhkan.. Rhoma bergeleng kepala.
Aktor watak El-Manik dan Yatie Octavia, dalam sebuah adegan film
Rhoma Irama. Pola trik kamera selalu diterapkan dalam adegan
kemesraan Rhoma dan Yatie Octavia yang identik dengan tokoh Ani,
(Istimewa)
Kondisi di lokasi syuting film seperti itu sangat dipahaminya.
Sebab matahari di tempat syuting itu mahal! Disampng itu, dengan
main film, berarti tawaran-tawaran show untuk Soneta Grup tidak
bisa saya layani katanya dalam obrolan diHOTELKota Garut. Rhoma pun
keberatan atas penjudulan film-filmnya, yang selalu saja menjual
kepopuleran namanya. Saya ingin nggak usah kayak Benyamin, yang
terus-terusan dipake judul film, model Benyamin Brengsek, Benyamin
Tukang Ngibul dan sebagainya. Cukup sekali saja, waktu Oma Irama
Penasaran.Sebagai figur artis yang kental dengan napas keagamaan,
dan bergelar haji, Rhoma menegaskan prinsipnya untuk tidak
melakukan adegan cium kemesraan dengan Yatie Octavia. Artis
berbibir mungil pemeran tokoh Ani dalam serial lakon film Rhoma
Irama. Adegan kemesraan dengan wanita bukan muhrimnya itu,
seringkali mengusik usilan sumbang dari kalangan fanatik agama.
Rhoma Irama tersenyum menyikapi usilan itu. Bagaimanapun manfaatnya
tetap ada! Tapi jika dibandingkan dengan mudzarat-nya, maka manfaat
itu lebih kecil dari mudzorat-nyaBagaimana tentang anggapan zinah
mata dengan pasangan main film? Taktis sekali Rhoma menanggapinya.
Zinah mata itu saya kira merupakan dosa-dosa yang tidak tertulis!
Seperti misalnya minum bir, ataupun makan daging babi, manfaatnya
tetap ada, tapi celakanya lebih besar. Ingat, dosa itu banyak
sekali tingkatannya. Zinah mata dari goyang pinggul umpamanya, atau
minum-minum bir itu, entah masuk tingkatan dosa yang keberapa.
Karenanya, adegan kelembutan cinta Rhoma dan Ani, selalu
disiasatinya dengan tipuan kamera.Trik kamera, jadi prinsip
berharga hati. Saya selalu minta dibikin trik kamera! Masih ada
jarak beberapa senti lagi, yang memisahkan bibir saya dan Yatie
tandas Rhoma Irama. Kekuatan prinsipnya diberlakukan juga dalam
menangani karier gadis kecil Debby Veramasari Saya tidak akan
melepas Debby untuk jadi artis penyanyi, sebelum dia punya iman
yang kuat! Kalaupun jadi artis nyanyi, dia akan nyanyi sendiri.
Nggak harus bergaya Yoan dan Tanty, yang sahut-sahutan.. Rhoma
menegaskan lagi prinsipnya.Tetapi banyak prinsipnya terpaksa harus
dipatahkan kehendak lain dari pihak produser. Film-film Rhoma
mengalir, dengan mendagangkan penjudulan nama Rhoma Irama. Sederet
lagu rekaman pop Debby Veramasari pun, diwarnai lagu sahut-sahutan
dengan Rhoma Irama, seperti Idih Papa Genit, Indandip, maupun Cok
Galigacok. Saya lalu terpanggil kembali memburu Rhoma Irama, untuk
mengupas semua prinpsipnya yang harus berpaling dari
kenyataan.Peluang yang menjanjikan perjumpaan-ulang, tergelar medio
Januari 1979, di Tasikmalaya. Waktu itu terkabar Rhoma Irama dan
Soneta Grup siap menggelar show Soneta di sana. Pikir saya, itu
momentum penting! Saya harus bisa menyaksikan aksi Rhoma di kota
kelahirannya, setelah eksistensinya mendapat banyak pengakuan, dan
dipujikan. Kebetulan saya kenal dekat dengan (alm) Ade Kostaman,
rekan wartawan dari Harian PIkiran Rakyat di Tasikmalaya. Sambil
menenteng kamera Qanonet QL-17, seorang diri meluncur naik bis dari
Garut ke Tasikmalaya ***
Kilas-Balik Memburu Perjumpaan: (15) Menebus Kegagalan Di
Pangaduan KudaOKUSJabar.Com:Sudah janjian dengan rekan wartawan di
Tasikmlaya., untuk bersama meliput pentas musik Soneta. Cuaca
cerah. Langit membiru. Bersih tanpa sapuan awan. Di pusat perkotaan
Tasik, terhampar pemandangan lautan manusia, mengitari kawasan
lokasi Alun-alun. Panggung musik Soneta Grup, terbangun kokoh di
depan areal halaman Masjid Agung Tasikmalaya. Gambaran suasana yang
jauh berbeda, dibanding waktu Rhoma tampil di Aula Sospol, Jl
Pangaduan Kuda, Tasikmalaya.Bertolak dari rumah rekan Ade Kostaman,
selepas Maghrib. Berdua nak becak ke Alun-alun. Langkah cepat
diayun menyeruakkan lautan manusia yang menyesak. Saya minta Ade,
menembus penjagaan ketat lebih cepat, sebelum rombongan Rhoma Irama
tiba. Memang panggung musik itu dgelar di depan Masjid Agung,
karena pelaksana show-nya LPTQ (Lembaga Pengembangan Tilawatil
Quran) Kab Tasikmalaya. Pentas dangdut digelar, dalam upaya
pengumpulan dana amal, untuk kontingen MTQ (Musabaqah Tilawatil
Quran) ke tingkat Jawa Barat.
Potret kenangan perjumpaan lawas Rhoma Irama dan Yoyo Dasriyo,
lewat tengah malam di Hotel Priangan Tasikmalaya (1979).
Wajah-wajah lelah dengan kilatan keringat, yang masih tampak
membekas (Foto: alm Ade Kostaman)Kita harus naik panggung lebih
dulu! Cari aman aja pinta saya ke Ade. Rekan wartawan ini, segera
menghubungi panitia dan penjaga keamanan Harap-harap cemas terlukis
dalam sikap rekan Ade Kostaman. Apa bisa wawancara Rhoma sebelum
acara digelar? bisiknya. Saya bergeleng kepala. Tentu, karena di
pentas musik terbuka seperti itu, lebih berpeluang memotret. Untuk
program wawancara, harus mencegat langkah Rhoma. Harus janjian
wawancara selepas pergelaran.Di atas panggung, sekitar 20.000 lebih
massa penggemar dangdut menyemut. Panitia mengerahkan 390 aparat
keamanan dari berbagai kesatuan. Pengidolaan atas Rhoma Irama
memang makin menguat. Riuh-rendah tempik sorak penonton memecah,
ketika Raja Dangdut dan rombongan memasuki areal pentas. Saya
buru-buru menyambut dan menyalami Rhoma, sambil berucap salam,
ketika sang Raja Dangdut naik ke atas panggung.Wilujeng wengi, Kang
Haji? Masih ingat saya? Rhoma Irama memandangi saya. Lalu melonjak
dan tertawa. Oh iya! Maaf saya kurang fasih bahasa Sunda.. Rhoma
tertawa kecil. Tadi itu apa sih artinya..? katanya tersipu-sipu.
Wilujeng wengi itu selamat malam.! balas saya. Rhoma
manggut-manggut. Saya ini memang lahir di sini. Di Tasikmalaya.
Tapi sejak kecil, saya hidup di Jakarta. Mana bisa ngomong Sunda!
tuturnya lagi tersipu-sipu. Oh iya, Rita sama Tati udah baikan!
Anda kan turut mendamaikan mereka. Malam ini dua-duanya hadir di
TasikKabar damai dari Rhoma, mengusik kenangan perang dingin di
antara kembang Sonetaitu, dalam perjalanan Sumedang Ciawi,
Tasikmalaya. Rhoma bersiap menyandangkan tali gitarnya. Saya
mendekat lagi, dan minta waktu wawancara di hotel, seusai
pergelarannya. Boleh..! Datang aja. Nanti saya tunggu balasnya
melegakan hati. Terdengar kemudian, Rhoma beraksi di pentas musik
dendang. Sertamerta tempik sorak massa pun gegap
gempita.Kemasyhuran lagu Hak Azasi, Ingkar, Terpaksa, Kuraca,
Begadang II, Insya Allah dan Narapidana, berkumandang. Lalu, Tati
Hartati berlagu Jangan Dulu dan Kaumku nyanyian Elvy Sukaesih.
Sambutan massa kian menghangat, menjemput penampilan Rita Sugiarto
yang memikat dengan dendang Cup-Cup, Percuma dan Capek.. Selepas
show, Rhoma Irama menyerahkan bantuan dana senilai Rp 250.000,-(Dua
Ratus Limapuluh Ribu Rupiah), Sebelum penonton bubar, saya dan Ade
Kostaman bergegas pulang, untuk mengambil dulu Vespa yang disimpan
di rumahnya. Memburu janji perjumpaan dengan Raja Dangdut***
Kilas-Balik Memburu Perjumpaan: (16) Kekuatan Produser
Menaklukkan RhomaFOKUSJabar.Com:Saya naik Vespa boncengan. Berdua
membelah kesunyian wajah perkotaan Tasikmalaya,Sudah malam begini,
apa Rhoma Irama masih bisa nerima tamu? tanya Ade ragu. Kita coba
saja..! balas saya. Benar, memang bukan waktunya bertamu di tengah
malam seperti itu. Namun keyakinan saya mematahkan keraguan,
semata-mata karena sudah janjian di pentas. Vespa pun
melaju.memburu lokasiHOTELPriangan.LokasiHOTELterpandang itu, agak
jauh dari keramaian perkotaan. Sepi mendekap suasana di sekitar
halaman dan bangunan hotel. Deru Vespa menembus sepi. Beberapa
aparat keamanan pun terusik. Wajah tak bersahabat segera mendekat,
dan menghadang langkah kami,, setelah Vespa diparkir. Rhoma Irama
lagi istirahat! Sudah malam, nggak bisa diganggu, Pak! sambut
petugas itu datar. Saya diminta datang malam ini juga sama Bang
Haji. Tadi sudah bilang di panggung desak saya.
Potret kenangan lawas Rhoma Irama bersama SK Marta, rekan
wartawan film, dan Benny Muharam, di lokasi syuting film Kemilau
Cinta Di Langit Jingga. Film ini tercatat sebagai salah satu film
Rhoma, yang tidak menjual judul kemasyhuran namanya. (Dokumentasi
Yodaz)Seorang di antara mereka, mengabari Rhoma ke lantai atas.
Sesaat kemudian, petugas itu kembali dengan wajah penuh tanya.
Mungkin heran, seorang bernama besar sekelas Rhoma Irama, masih mau
menerima tamu lewat tengah malam seperti saya, yang berpenampilan
lapangan. Dalam gigitan dingin Tasikmalaya, tampil berjaket biru
menutup kaos oblong merah. Rambut kelimis dan wajah berkilat
terbasuh keringat. Kami diizinkan naik ke lantai atas hotel
itu.Rhoma yang sudah berpakaian tidur warna merah muda, tersenyum
akrab menyambut kami. Saya terharu main di Tasikmalaya ini. Saya
tidak menyangka akan mendapat sambutan sedemikian hebatnya di kota
kelahiran saya.. Rhoma membuka perbincangan, sambil melepas lelah.
Keringatnya masih berkilau Tanpa banyak berbasa-basi lagi, saya
mengajak Rhoma berbincang tentang dunianya. Rhoma bertutur tentang
bermacam prinsip rekaman dan film-filmnya, yang tidak sejalan
dengan konsep semula.Rhoma tidak menampik kenyataan itu. Bukan saya
nggak mau konsekwen. Yo! Prinsip tinggal prinsip deh.., tapi karena
desakan dari Yukawi yang hubungannya sama saya sudah amat familiar,
akhirnya saya menyerah Rhoma Irama tertawa datar. Penjudulan
film-filmnya pun, terpaksa dibiarkannya bermunculan dengan menjual
kemasyhuran nama Rhoma Irama. Di luar sederet film yang dibintangi
Rhoma, tercatat beberapa film nasional lain turut menjual
kepopuleran lagunya.Lagu hit Begadang dihadirkan dalam film Krisis
X dan Ganasnya Nafsu karya (alm) Turino Junaedi. Lagu Terajana
memvisualkan keceriaan adegan film Melawan Badai (1974) karya (alm)
Sofia WD, dengan aksi jenaka Jaja Miharja berkepala gundul. Bahkan
(alm) Syumanjaya mengemas lagu Penasaran dan Terajana dengan gaya
Urip Arphan di film Laila Majenun. Rhoma tersentak. Ah masak sih..!
Saya kaget kalau benar lagu Terajana pake Urip Arphan di film itu..
Rhoma sesaat termangu..Soalnya, waktu unit manajer film itu minta
izin, dia cuma bilang lagu saya mau dipake di film Laila Majenun,
yang seakan-akan berkumandang melalui radio.. Kenapa tidak bilang
sejara jujur ya? Saya sesali sikap dia ungkap Rhoma yang mengaku
belum pernah menonton film-film itu, dengan nada sesal. Kekagetan
Rhoma, sama seperti Benny Mucharam abang kandungnya. Saya nggak
tahu kalau film Melawan Badai juga pake lagu dangdut itu, kenapa
nggak minta izin dulu ya Rhoma Irama tersenyum datar sambil
bergeleng kepala ***
Kilas-Balik Memburu Perjumpaan: (17) Kekuatan Produser
Menaklukkan RhomaFOKUSJabar.Com:Naik Vespa boncengan. Berdua Ade
Kostaman, membelah sunyi di wajah perkotaan Tasikmalaya,Sudah malam
begini, apa Rhoma Irama masih bisa nerima tamu? tanya Ade ragu.
Kita coba saja..! balas saya. Benar, memang bukan waktunya bertamu
di tengah malam seperti itu. Namun keyakinan saya mematahkan
keraguan, semata-mata karena sudah janjian di pentas. Vespa pun
melaju.memburu lokasi Hotel Priangan. Lokasi hotel terpandang itu,
agak jauh dari keramaian kota.
Yoyo Dasriyo dan Rita Sugiarto (1979), lewat tengah malam di
Hotel Priangan Tasikmalaya. Rhoma mempertemukan mereka, selepas
sukses show Soneta di kampung halaman sang Raja Dangdut(Foto: alm
Ade Kostaman)Sepi mendekap suasana di sekitar halaman hotel. Deru
Vespa menembus sepi. Beberapa aparat keamanan pun terusik. Wajah
tak bersahabat segera mendekat, dan menghadang langkah kami,,
setelah Vespa diparkir. Rhoma Irama lagi istirahat! Sudah malam,
nggak bisa diganggu, Pak! sambut petugas itu datar. Saya diminta
datang malam ini juga sama Bang Haji. Tadi sudah bilang di panggung
desak saya.Seorang di antara mereka, mengabari Rhoma ke lantai
atas.Sesaat kemudian, petugas itu kembali dengan wajah penuh tanya.
Mungkin heran, seorang bernama besar sekelas Rhoma Irama, masih mau
menerima tamu lewat tengah malam seperti saya, yang berpenampilan
lapangan. Dalam gigitan dingin Tasikmalaya, tampil berjaket biru
menutup kaos oblong merah. Rambut kelimis dan wajah berkilat
terbasuh keringat. Kami diizinkan naik ke lantai atas hotel itu.
Rhoma yang sudah berpakaian tidur warna merah muda, tersenyum akrab
menyambut kami.Saya terharu main di Tasikmalaya ini. Saya tidak
menyangka akan mendapat sambutan sedemikian hebatnya di kota
kelahiran saya.. Rhoma membuka obrolan, sambil melepas lelah.
Keringatnya masih berkilau Tanpa banyak berbasa-basi lagi, saya
mengajak Rhoma berbincang tentang dunianya. Rhoma bertutur tentang
bermacam prinsip rekaman dan film-filmnya, yang tidak sejalan
dengan konsep semula.Rhoma tidak menampik kenyataan itu. Bukan saya
nggak mau konsekwen. Yo! Prinsip tinggal prinsip deh.., tapi karena
desakan dari Yukawi yang hubungannya sama saya sudah amat familiar,
akhirnya saya menyerahRhoma Irama tertawa datar. Penjudulan
film-filmnya, terpaksa dibiarkan bermunculan dengan menjual
kemasyhuran nama Rhoma Irama. Di luar sederet film yang dibintangi
Rhoma, tercatat beberapa film nasional lain turut menjual
kepopuleran lagunya. Lagu hit Begadang dihadirkan dalam film Krisis
X dan Ganasnya Nafsu karya (alm) Turino Junaedi. Lagu Terajana
memvisualkan keceriaan adegan film Melawan Badai (1974) karya (alm)
Sofia WD, dengan aksi jenaka Jaja Miharja berkepala gundul.Bahkan
(alm) Syumanjaya mengemas lagu Penasaran dan Terajana dengan gaya
Urip Arphan di film Laila Majenun. Rhoma tersentak. Ah masak sih..!
Saya kaget kalau benar lagu Terajana pake Urip Arphan di film itu..
Rhoma sesaat termangu.. Soalnya, waktu unit manajer film itu minta
izin, dia cuma bilang lagu saya mau dipake di film Laila Majenun,
yang seakan-akan berkumandang melalui radio.. Kenapa tidak bilang
sejara jujur ya? Saya sesali sikap dia ungkap Rhoma yang mengaku
belum pernah menonton film-film itu, dengan nada sesal.Kekagetan
Rhoma, sama seperti Benny Mucharam abang kandungnya. Saya nggak
tahu kalau film Melawan Badai juga pake lagu dangdut itu, kenapa
nggak minta izin dulu ya Rhoma Irama tersenyum datar sambil
bergeleng kepala. Penyesalan Rhoma mengusik pula sikap Elvy
Sukaesih dan Rita Sugiarto, yang tanpa izin merekam ulang karya
cipta lagunya. Saya sungguh sesali sikap Elvy, walau saya tidak
terlalu menyalahkan dia. Tapi dengan merekam Begadang II milik
saya, dengan sadar dia langgar hak cipta.. Kembali Rhoma terdiam
sesaat *.
Kilas-Balik Memburu Perjumpaan: (18) Dilarang Melarang Menembus
Pop JawaFOKUSJabar.Com:Rhoma Irama memecahkan kekesalannya. Memang
Elvy pernah nelepon saya, tapi isinya bukan seperti yang dimuat di
koran-koran, bahwa dia pernah minta izin! Itu sama sekali tidak
benar. Elvy nelepon saya, setelah dia rekam lagu itu! Katanya, Oma
kalau situ mau nuntut ke pengadilan, gue jangan kena getahnya dong.
Ah saya benar-benar menyesali sikap itu ungkap Rhoma kemudian.
Walau begitu, Rhoma mengakui Elvy sebagai pasangan duetnya yang
paling serasi, di antara pasangan sebelumnya.
Aktor pemeran antagonis dalam film Rhoma Irama, Soultan Saladin
(kanan) dan Yoyo Dasriyo (1980), dalam perjumpaan lawas berlatar
Bukit Ngamplang Garut,(Fotor Harold Simatupang)Dalam awal karier
duetnya, Rhoma pernah dipasangkan dengan Titing Yeni, (alm) Ellya
Khadam, lalu duet pop bersama Inneke Kusumawaty dan Lily Junaedi,
serta Rita Sugiarto. Elvy punya teknik penjiwaan lagu yang bagus.
Tapi sama Rita pun, saya mulai menemukan keserasian Rhoma berlega
hati. Tetapi kekecewaan lagi-lagi mengganjalnya, selepas membuka
peluang Rita Sugiarto untuk rekaman lagu pop. Kesempatan itu
sengaja saya berikan, biar Rita bisa melanjutkan potensinya sebagai
penyanyi pop..katanya.Rhoma kaget, saat Yukawi Record meluncurkan
album rekaman Pop Jawa dari Rita Sugiarto (1978), memuat 8 lagu
iringan band Family Grup. Materi lagunya hanya alih bahasa dari
lagu dangdut rekaman terdahulu, seperti Dendang Ria, Begadang II,
Beku, Hitam, Joget serta Dilarang Melarang. Sebenarnya saya kaget
sekali, tapi karena kasetnya terlanjur beredar, ya apa boleh buat
deh! Mau saya, Rita itu rekaman pop yang betul-betul Pop Indonesia.
Bukan mempop-Jawakan lagu milik Soneta Rhoma bergeleng kepalaDi
kesempatan terpisah, Rita mengaku gembira, dengan peluang rekaman
lagu pop. Saya senang sekali dapat kesempatan rekaman pop, untuk
kembali merintis karier pop yang pernah saya terjuni tutunya.
Tetapi Rita belum tahu tentang kelangsungan karier pop-nya, Bagi
saya, sebetulnya bagaimana Mas Oma saja! Pokoknya saya akan
berusaha memanfaatkannya sebaik mungkin.setiap peluang yang saya
dapatkan, Biar pun saya ada dalam grup dangdut, tapi cinta saya
untuk pop tetap ada Rita berderai tawa.Penyanyi dangdut ini pun
berminat main film, dan mendendangkan lagunya sendiri Tapi semua
itu terserah bagaimana Mas Oma saja deh!. Rita Sugiarto senantiasa
hangat dan akrab dalam berbincang..Tutur katanya mengalir. Derai
tawanya memecah suasana. Luwes dan dewasa. Di luar Soneta, sukses
lagu Penglaris dan Hujan Duit, pernah membintangkan Latief M di
film nasional. Ingat pula (alm) A Rafiq), yang dihadirkan dalam
film, yang menjual kepopuleran lagu dangdutnya,Pengalaman Pertama
dan Karena Dia (Nico Pelamonia).Apa yang menggoda Rhoma bermain
film? Misi saya tetap. Menyebarkan syiar Islam dan musik dangdut
balasnya tandas. Rhoma memilih Yatie Octavia sebagai patner dalam
filmnya. Saya punya taktik sendiri dalam menerjuni film. Saya mau
mewujudkan sesuatu, yang bisa meninggakan kesan khusus untuk
masyarakat penonton filmnya katanya. Apa daya tarik Yatie Octavia
untuk jadi pasangan tetap dalam film? Rhoma tersenyum dan bertutur
lirih.Saya merasa cocok main film sama Yatie. Lagi pula, saya pikir
Yatie itu pasangan pertama dalam film pertama saya. Selain itu,
saya menilai Yatie sudah pengalaman di film. Sedikitnya saya pun
bisa mengambil pelajaran dari dia katanya terbuka. Rhoma sukses
menciptakan kondisi, untuk diidentikan sebagai pasangan abadi Yatie
Octavia. Terdukung lagi dengan ketenaran Yatie yang berharga jual
tinggi. Bahkan di era-1980, Yatie Octavia terjaring ke dalam kelas
The Big Five bersama Roy Marten, Robby Sugara, Jenny Rachman dan
Doris Callebaut ***