Top Banner
ISSUE NO. 13 / JUNI 2020 Force Majeure dan Hardship: Sebuah Perbandingan Kiat Merancang Klausul Force Majeure dalam Kontrak Bisakah Bencana Alam Membebaskan Suatu Pihak dari Kewajibannya? INDONESIAN E-MAGAZINE FOR LEGAL KNOWLEDGE BY FORCE MAJEURE
14

Kiat Merancang Klausul Sebuah Perbandingan dari ... · berkerumun, selalu menggunakan masker, dan rutin mencuci tangan, serta menggunakan hand sanitizer. Peran masyarakat tentunya

Oct 30, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Kiat Merancang Klausul Sebuah Perbandingan dari ... · berkerumun, selalu menggunakan masker, dan rutin mencuci tangan, serta menggunakan hand sanitizer. Peran masyarakat tentunya

1

ISSUE NO. 13 / JUNI 2020

Force Majeure dan Hardship: Sebuah Perbandingan

Kiat Merancang Klausul Force Majeure dalam Kontrak

Bisakah Bencana Alam Membebaskan Suatu Pihak

dari Kewajibannya?

INdONESIaN E-MagazINE fOr LEgaL KNOwLEdgE by

FORCE MAJEURE

Page 2: Kiat Merancang Klausul Sebuah Perbandingan dari ... · berkerumun, selalu menggunakan masker, dan rutin mencuci tangan, serta menggunakan hand sanitizer. Peran masyarakat tentunya

2

IKLAN

Please do not hesitate to contact us if you have any question at [email protected].

Looking forward to hearing from you.

We, Akasa Cipta Tama (ACT), was established in April 2015 as a response to the demand of highly qualified translators for business, legal, technical, and general documents; as well as interpreters and note takers for meetings, seminars, and conference. Our translators, interpreters and note

takers have extensive experiences in their respective fields.

With a comprehensive database of qualified human resources, ACT works to ensure the best results in every project we run. Some of our top personnel have worked for various international events and some of our clients include the Office of the President of the Republic of Indonesia,

People’s Consultative Assembly, The United Nations, The World Bank, AusAID, USAID, and some prominent law firms in Indonesia.

Page 3: Kiat Merancang Klausul Sebuah Perbandingan dari ... · berkerumun, selalu menggunakan masker, dan rutin mencuci tangan, serta menggunakan hand sanitizer. Peran masyarakat tentunya

3

Editorial:Penasihat:Setyawati Fitri A., S.H., LL.M., FCIArb., FAIADR.Pemimpin Redaksi:Imelda Napitupulu, S.H., M.H.Sechabudin, S.H.Redaktur Pelaksana:M. Adhima Djawahir, S.H.Penulis:Dr. Hary Elias, BA V (Cantab), LL.M (1st Class Hons), MBA (Columbia), Juris DoctorMochammad Adhima Djawahir, S.H.Tanya Widjaja Kusumah, S.H.Agustin L.H. Hutabarat, S.H., C.L.A.Yoga Adi Nugraha, S.H.Keshia Bucha, S.HDavid Gayus El Harun Marpaung, S.H., M.Kn.Vincent Kamajaya, S.H.Diara Rizqika Putri, S.H.Hendra Wango, S.H.Konsultan Media: Fifi Juliana JelitaPenyunting Naskah: Wahyu HardjantoPenata Visual: Riesma PawestriIlustrasi: freepik.com

daftar isi

Majalah Actio terbit setiap empat bulan sekali,dibuat dan didistribusikan oleh

Sanggahan:Perlu kami sampaikan bahwa telaah, opini, maupun informasi dalam Actio merupakan kontribusi pribadi dari para partners dan/atau associate yang tergabung di kantor hukum Anggraeni and Partners dan merupakan pengetahuan hukum umum. Telaah, opini, dan informasi dalam Actio tidak dimaksudkan untuk memberikan pendapat hukum ataupun pandangan kantor hukum Anggraeni and Partners terhadap suatu permasalahan hukum tertentu.

Telaah, opini, dan informasi dalam Actio tidak dapat dianggap sebagai indikasi ataupun petunjuk terhadap keadaan di masa yang akan datang. Telaah, opini, maupun informasi dalam Actio tidak ditawarkan sebagai pendapat hukum atau saran hukum untuk setiap hal tertentu. Tidak ada pihak pembaca yang dapat menganggap bahwa dirinya harus bertindak atau berhenti bertindak atau memilih bertindak terkait suatu masalah tertentu berdasarkan telaah, opini, maupun informasi di Actio tanpa mencari nasihat dari profesional di bidang hukum sesuai dengan fakta-fakta dan keadaan-keadaan tertentu yang dihadapinya.

Pembaca yang kami hormati,

Sejak bulan Februari 2020, fokus dan perhatian dunia tercurah pada penanggulangan dan penanganan penyebaran Covid-19 (Corona Virus). Akibat penyebaran Covid-19, banyak kegiatan usaha menjadi terhambat, dan atau terhenti, serta mengubah berbagai tatanan juga kebiasaan pada berbagai bidang kehidupan. Tak terkecuali, dunia usaha.

Tentunya kita semua prihatin atas akibat yang ditimbulkan oleh Covid-19, termasuk dampak ekonomi pada banyak sektor usaha dan industri. Anggraeni and Partners berupaya untuk hadir dan mendampingi klien dalam menghadapi permasalahan hukum yang timbul akibat pandemi Covid-19.

ACTIO 13 mengangkat tema mengenai Keadaan Kahar. Topik ini merupakan salah satu topik dalam hukum perjanjian yang sering dibahas sejak mewabahnya Covid-19. Sebagian pihak berpandangan Covid-19 adalah keadaan force majeure yang mengakibatkan perlunya adaptasi dari dunia usaha, terkait kewajiban hukumnya. Sebagian yang lain berpandangan bahwa kewajiban tetap perlu dipenuhi sesuai dengan kontrak, karena mayoritas kontrak tidak mengatur Covid-19 sebagai suatu keadaan force majeure.

Beberapa pembahasan dalam artikel ACTIO kali ini, antara lain mengenai “Perubahan Prosedur Pelaksanaan Peradilan atas Pandemi Covid-19” dan Kupas Peraturan mengenai “Implementasi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dalam Penanganan Pandemi Covid-19”.

Akhir kata, kami seluruh Tim ACTIO mengucapkan selamat membaca dan semoga berguna bagi kita semua. Tetap semangat dan tetap sehat menjalani “Kenormalan Baru”.

Salam,Setyawati Fitri A, S.H., LL.M., FCIArb., FAIADR.

“Latent brain functions can be enabled by force majeure when we are facing the weirdness of an unknown reality.”- Toba Beta

KATA PeNgANTAr

INFO: Perubahan Prosedur Pelaksanaan Peradilan atas Pandemi Covid-19

KUPAS PerATUrAN: Implementasi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana Dalam Penanganan Pandemi Covid-19

TeLAAH: Bencana Alam Akankah Membebaskan Suatu Pihak dari Kewajibannya?

OPINI: Penerapan Financial Hardship Dalam Putusan Pengadilan Indonesia

TELAAH: Prinsip Force Majeure dan Hardship Suatu Perbandingan

KIAT: Teknik Perancangan Klausul Force Majeure dalam Kontrak

3

4

5

6

8

10

12

Page 4: Kiat Merancang Klausul Sebuah Perbandingan dari ... · berkerumun, selalu menggunakan masker, dan rutin mencuci tangan, serta menggunakan hand sanitizer. Peran masyarakat tentunya

4

INfO

Perubahan Prosedur Pelaksanaan Peradilan atas Pandemi Covid-19

Covid-19 (Corona Virus) di Indonesia mem-pengaruhi efektivitas dan efisiensi masyarakat dalam menjalankan aktivitas. Mudahnya moda

penyebaran Covid-19 mengakibatkan pemerintah mengimplementasikan kebijakan physical distancing dan work from home bagi seluruh masyarakat dan bidang usaha. Mahkamah Agung pun menerbitkan Surat edaran Nomor 6 tahun 2020 tentang Sistem Kerja di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada Di Bawahnya dalam Tatanan Normal Baru (Surat edaran 6/2020).

Dalam Surat edaran 6/2020 tertera, “guna mencegah penyebaran Covid-19 dan untuk tetap memastikan pelayanan peradilan tetap dapat dilaksanakan maka diimbau kepada para pihak dalam persidangan perkara perdata, perdata agama, dan tata usaha negara untuk menggunakan aplikasi e-litigasi”. Lalu sehubungan dengan perkara pidana, berdasarkan Surat Edaran 6/2020, untuk tetap memerhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan perjanjian kerja sama Nomor 402/DJU/HM.01.1/4/2020; KeP-17/e/ejp/04/2020; PAS-08.HH.05.05 Tahun 2020 antara Kejaksaan Republik Indonesia dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia Republik Indonesia mengenai pelaksanaan persidangan melalui teleconference (Perjanjian Kerja Sama 13 April 2020), yang pada isinya disampaikan hingga diumumkannya secara resmi oleh Pemerintah untuk mencabut kondisi kedaruratan wabah Covid-19, pelaksanaan persidangan akan dilakukan melalui teleconference.

Pelaksanaan persidangan melalui teleconference merupakan langkah positif untuk menekuni prinsip peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Namun demikian, sebagaimana disampaikan oleh salah satu anggota Ombudsman Republik Indonesia bahwa pelaksanaan sidang melalui teleconference dapat berpotensi maladministrasi yang disebabkan oleh adanya pengadilan yang belum memiliki ahli teknologi dan perangkat elektronik yang dapat memfasilitasi proses persidangan melalui teleconference. Oleh karena itu, dengan diterapkannya transisi penormalan baru akan dilihat apakah pemerintah akan melakukan penyesuaian dan atau membuat kebijakan terhadap tata cara pelaksanaan serta infrastruktur yang diperlukan untuk dapat menyelenggarakan proses persidangan dengan baik. yaN/Mad

Sourcel https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5edfd188dad3f/problematika-sidang-pidana-daring-saat-pandemi?page=all diakses pada tanggal 10

Juni 2020l https://www.ombudsman.go.id/news/r/-ombudsman-ri-temukan-potensi-maladministrasi-terkait-penyelenggaraan-persidangan-online-di-tengah-

pandemi-covid-19 diakses pada tanggal 10 Juni 2020l https://mediaindonesia.com/read/detail/319431-ombudsman-sidang-online-16-pn-berpotensi-maladministrasi diakses pada tanggal 10 Juni 2020

Page 5: Kiat Merancang Klausul Sebuah Perbandingan dari ... · berkerumun, selalu menggunakan masker, dan rutin mencuci tangan, serta menggunakan hand sanitizer. Peran masyarakat tentunya

5

KUPaS PEraTUraN

imPlementasi undanG-undanG nomor 24 tahun 2007 tentanG

PenanGGulanGan benCana dalam PenanGanan Pandemi Covid-19

UU No 24 tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana (“UU 24 tahun 2007”) pasal 1 ayat 3, mengategorikan pandemi Covid-19 sebagai

bencana non-alam, yakni bencana yang diakibatkan oleh peristiwa yang termasuk ke dalam epidemi dan pandemi. Lebih lanjut, dalam UU 24 tahun 2007, pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki tanggung jawab dan wewenang dalam penanggulangan bencana.

Tanggung jawab dan wewenang pemerintah pusat dan atau daerah meliputi pengurangan risiko bencana, perlindungan masyarakat, penjaminan pemenuhan masyarakat, pemulihan dampak bencana, dan pengalokasian dana untuk penanggulangan bencana, penempatan kebijakan penanggulangan, pembuatan rencana penanggulangan, perumusan kebijakan mencegah, dan penyaluran uang atau barang.

Pemerintah pusat dan atau pemerintah daerah telah secara nyata dengan memberlakukan ketentuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19. Penanganan atas pandemi oleh pemerintah tersebut, secara umum dinilai sudah cukup baik, meskipun angka pasien terdampak Covid-19 terus bertambah setiap harinya. Pengalokasian dana guna mengadakan program bantuan sosial berupa pemberian sembako khusus di daerah Jabodetabek dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk di luar Jabodetabek juga telah terlaksana dengan baik. Pemerintah lewat Kementerian Sosial

membuka layanan pengaduan masyarakat terkait bantuan sosial bagi masyarakat yang terdampak Covid-19. Kebijakan pemerintah dalam membatasi seluruh aktivitas Transportasi baik darat, laut, dan udara, yang secara langsung membatasi kegiatan mudik lebaran demi menekan laju penularan dan penyebaran Covid-19 di Indonesia.

Selain itu, dalam Pasal 26 UU 24 tahun 2007, terdapat hak bagi masyarakat yang terkena dampak bencana nasiona—dalam hal ini Covid-19. Hak tersebut meliputi mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan keterampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, dan berhak mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar, termasuk berhak menerima ganti kerugian akibat terkena bencana. Hal tersebut di atas telah dijalankan dengan baik oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dengan menyebarkan secara masif penyuluhan dan sosialisasi mengenai SOP Kesehatan. Termasuk di antaranya mengharuskan untuk tidak berkerumun, selalu menggunakan masker, dan rutin mencuci tangan, serta menggunakan hand sanitizer.

Peran masyarakat tentunya sangat besar untuk menentukan keberhasilan dalam mengakhiri Covid-19 di Indonesia. Pemerintah mengharapkan kerja sama semua perangkat rT, rW, dan Kepala Desa, sehubungan dengan pelaksanaan isolasi mandiri baik perorangan sampai kelompok. dgM/TwK

Page 6: Kiat Merancang Klausul Sebuah Perbandingan dari ... · berkerumun, selalu menggunakan masker, dan rutin mencuci tangan, serta menggunakan hand sanitizer. Peran masyarakat tentunya

6

benCana alam akankah membebaskan suatu Pihak dari kewajibannya?

6

TELaaH

1. Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, halaman 231. 2. R. Subekti, Hukum Perjanjian cetakan kedelapan belas, PT Intermasa, Jakarta, 2001, halaman 55. 3. J. Satrio, Wanprestasi Menurut KUHPerdata, Doktrin, dan Yurisprudensi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, halaman 105.4. Abdulkadir Muhammad, supra note no. 1, halaman 243-244.5. Rahmat S.S. Soemadipradja, Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa (Syarat-syarat Pembatalan Perjanjian yang Disebabkan Keadaan

Memaksa/Force Majeure), Nasional Legal Reform Program, Jakarta, 2010, halaman 79-84.

Perikatan terjadi karena perjanjian atau undang-undang yang menyebabkan setiap pihak memiliki hak dan kewajiban masing-masing.1 Akan

tetapi, pada praktiknya, tidak semua kewajiban dapat dipenuhi oleh para pihak. Salah satu alasannya adalah karena terjadi keadaan memaksa.

Keadaan memaksa secara umum diartikan sebagai sebuah kejadian yang tidak terduga, tidak disengaja, yaitu ketika debitur tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban. karena debitur terpaksa tidak dapat menepati kewajiban seperti yang telah disepakati dalam perjanjian.2 Dengan kata lain, keadaan memaksa menyebabkan debitur dibenarkan untuk tidak memenuhi kewajibannya.

Untuk menggunakan alasan keadaan memaksa, tidak boleh ada unsur kesengajaan atau kesalahan dari debitur.3 Lebih lanjut, ada 2 (dua) macam keadaan memaksa, yaitu keadaan memaksa absolut dan relatif. Keadaan memaksa absolut adalah situasi saat debitur tidak mungkin memenuhi prestasi karena objek perjanjian musnah dan hal tersebut tidak dapat diduga sebelumnya. Sementara keadaan memaksa relatif adalah situasi ketika debitur kesulitan memenuhi kewajibannya karena ada peristiwa yang menghalanginya untuk berbuat, dan hal tersebut tidak diduga sebelumnya.4

Keadaan memaksa di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Namun

KUHPerdata tidak memberikan definisi secara tegas terhadap keadaan memaksa. Walaupun demikian, KUHPerdata memberikan beberapa syarat agar suatu keadaan dapat dikategorikan sebagai keadaan memaksa, yaitu dengan ketentuan sebagai berikut:1. Debitur tidak melaksanakan atau tidak pada

waktu yang tepat melaksanakan kewajibannya disebabkan karena hal yang tidak terduga (Pasal 1244 KUHPerdata);

2. Debitur tidak memiliki itikad buruk (Pasal 1244 KUHPerdata);

3. Debitur tidak melaksanakan kewajibannya karena keadaan yang tidak disengaja (Pasal 1245 jo. Pasal 1553 KUHPerdata);

4. Apabila debitur melakukan kewajibannya maka akan dianggap melakukan perbuatan yang terlarang (Pasal 1245 KUHPerdata);

5. Keadaan tersebut di luar kesalahan pihak debitur (Pasal 1545 KUHPerdata).

Bencana alam merupakan salah satu contoh keadaan memaksa yang dapat menyebabkan kewajiban yang disepakati dalam perjanjian tidak dapat dipenuhi, yang sering dicantumkan dalam berbagai jenis perjanjian.5 Akan tetapi agar bencana alam dapat dikategorikan sebagai keadaan memaksa, Pengadilan akan mempertimbang kan situasi tersebut secara kasuistik. Putusan pengadilan berikut merefleksikan pandangan hakim yang menolak alasan bencana alam untuk dikualifikasikan sebagai keadaan memaksa.

Page 7: Kiat Merancang Klausul Sebuah Perbandingan dari ... · berkerumun, selalu menggunakan masker, dan rutin mencuci tangan, serta menggunakan hand sanitizer. Peran masyarakat tentunya

7

TELaaH

1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 2458K/Pdt/2008 Penggugat dan Tergugat terikat dalam perjanjian jual beli batubara. Dalam praktiknya, Tergugat mengakui melakukan keterlambatan pengiriman batubara, yaitu hanya sekali mengirim ke Filipina dan tidak mengirim sama sekali ke Thailand. Akan tetapi Tergugat mengklaim kegagalan pengiriman batubara tersebut dikarenakan hujan yang menyebabkan banjir dan jembatan penghubung ke daerah pengiriman rusak.

Judex Factie menyatakan bahwa curah hujan yang dapat diprediksi tidak dapat dianggap sebagai keadaan memaksa. Hal ini didukung dengan pernyataan para saksi yang menyatakan bahwa hujan selalu turun pada bulan Maret, April, dan Mei setiap tahun, sehingga Pengadilan berpendapat bahwa Tergugat telah melakukan wanprestasi.

2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 2301K/Pdt/2009 Penggugat adalah pemilik barang Material Tower 70 M dan 72 M berikut aksesori pelengkapnya, sedangkan Tergugat adalah jasa pengirim. Kedua pihak terikat sebuah perjanjian pengiriman barang. Akan tetapi, Tergugat telah lalai melakukan tanggung jawabnya sebagai pengirim barang, dikarenakan kapal KM. Kurnia sebagai kapal pengangkut telah terserang badai dan ombak besar sehingga tenggelam di Laut Juante. Tergugat tidak menutup asuransi terhadap barang yang diangkut padahal hal tersebut merupakan kewajiban Tergugat berdasarkan perjanjian.

Hakim berpendapat bahwa sudah sepatutnya Tergugat menutup asuransi terhadap material tower sebelum mengirimkannya ke tempat tujuan. Sehingga tenggelamnya kapal pengangkut tidak dapat dijadikan sebagai alasan keadaan memaksa yang menyebabkan Tergugat gagal memenuhi kewajibannya.

3. Putusan Pengadilan Negeri Langsa No. 01/Pdt.G/2011/PN.LgsPenggugat adalah Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang perkebunan, sedangkan Tergugat adalah perusahaan yang memiliki kompetensi dalam mengelola perkebunan. Penggugat dan Tergugat terikat perjanjian kerja sama operasi pengelolaan kelapa sawit milik Penggugat (Perjanjian KSO). Tergugat memiliki kewajiban untuk membayar kompensasi 1 miliar setiap bulan dan biaya-biaya

lain, seperti yang telah diperjanjikan dalam Perjanjian KSO. Akan tetapi, Tergugat gagal bayar sampai pada akhirnya Tergugat memiliki utang sebanyak rp 8.379.861.486,- (delapan milyar tiga ratus tujuh puluh sembilan juta delapan ratus enam puluh satu ribu empat ratus delapan puluh enam rupiah) kepada Penggugat. Tergugat berdalih salah satu kebun KSO, yaitu Kebun Krueng Luas terkena banjir sehingga pendapatan Manajemen KSO menjadi berkurang dan Tergugat kesulitan untuk melakukan pembayaran.

Hakim menyatakan bahwa, “berdasarkan keterangan seluruh saksi baik dari Penggugat maupun Tergugat, terdapat fakta di Krueng Luas setiap tahun terjadi banjir yang berlangsung kurang lebih sekitar 40 hari. Selain itu, posisi kebun Krueng Luas berdekatan dengan sungai sehingga jika musim hujan tiba luapan air sungai dapat atau selalu menghampiri kebun sawit setiap tahunnya. Keadaan tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai keadaan yang tak terduga, melainkan sudah dapat diprediksi sejak awal dan telah diselesaikan pada saat aanwijzing.”

Lebih lanjut hakim menyatakan, “Persoalannya seberapa mampu Tergugat mengantisipasi keadaan-keadaan yang secara normatif dapat diperhitungkan tersebut karena data-data seperti itu terdapat dalam dokumen tender yang disediakan Penggugat.”

Berdasarkan putusan-putusan di atas dapat disimpulkan bahwa di Indonesia, bencana alam tidak serta-merta dapat dikategorikan sebagai keadaan memaksa yang dapat membebaskan debitur untuk memenuhi kewajibannya. Meskipun terjadi bencana alam, keadaan memaksa tidak akan diakui oleh Pengadilan apabila pihak yang wanprestasi:(i) patut menduga atau berkontemplasi atas kejadian

tersebut,(ii) ada alternatif lain bagi debitur untuk

melaksanakan kewajibannya, dan(iii) debitur tidak melakukan upaya terbaik untuk

mengatasi keadaan tersebut.

Tentu saja akan terbuka bagi pihak yang berperkara untuk berargumen bahwa bencana alam tidak dapat diprediksi, melampaui kontemplasi, dan hal seperti itu menyebabkan tidak mungkin dilakukan pemenuhan kewajiban meskipun sudah dilakukan upaya terbaik. drP/SCN

Page 8: Kiat Merancang Klausul Sebuah Perbandingan dari ... · berkerumun, selalu menggunakan masker, dan rutin mencuci tangan, serta menggunakan hand sanitizer. Peran masyarakat tentunya

8

OPINI

Krisis Moneter 1997-1998, yang dikenal sebagai “krismon”, menyebabkan Dolar AS terpresiasi hampir 600% terhadap rupiah dalam waktu

kurang dari satu tahun.1 Kejadian ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam ekonomi Indonesia, terutama pada perusahaan Indonesia yang telah mengambil pinjaman dalam mata uang Dolar AS sebelum krismon. Saat itu, krisis meluas ke semua kontrak dalam mata uang Dolar AS karena pihak-pihak Indonesia mengalami kesulitan untuk membayar pinjaman dalam Dolar AS. Lebih dari 70% perusahaan yang terdaftar di pasar modal tiba-tiba menjadi tidak mampu membayar utang atau bangkrut.2

Fakta-fakta ini menggambarkan situasi yang dapat menyebabkan beban pada kondisi keuangan pribadi maupun kesulitan perusahaan untuk mempertahankan aktivitas bisnisnya. Situasi ini didasarkan pada doktrin di Indonesia yang disebut “keadaan sulit”. Kesulitan keuangan, yang di

Indonesia disebut sebagai keadaan sulit, adalah konsep yang berasal dari yurisdiksi Anglo-Saxon. Namun, di Indonesia, konsep tersebut didefinisikan sebagai peristiwa yang secara fundamental telah mengubah keseimbangan kontrak, yang disebabkan oleh biaya implementasi kontrak yang sangat tinggi, sehingga membebani pihak-pihak yang melaksanakan kontrak (debitur) atau nilai implementasi kontrak menjadi sangat kurang bagi pihak penerima (kreditor).

Menurut Agus Yudha Hernoko, Kesulitan Keuangan dapat menyebabkan kondisi berikut: 3

1) Pihak yang dirugikan berhak untuk meminta negosiasi ulang kontrak dari pihak lain. Permintaan harus segera diajukan dengan menunjukkan dasar (hukum) permintaan untuk negosiasi ulang.

1. https://finance.detik.com/bursa-dan-valas/d-4196577/ini-bedanya-pelemahan-rupiah-2018-dan-krismon-1998 diakses pada tanggal 31/3/20202. https://news.detik.com/kolom/d-4032343/memori-krisis-moneter-199719983. Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial (Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2008), hlm. 255.

Sebagaimana dikutip oleh Soemadipradja, Penjelasan tentang keadaan memaksa, hlm. 13.

PeneraPan FinanCial hardshiP dalam Putusan PenGadilan indonesia

Page 9: Kiat Merancang Klausul Sebuah Perbandingan dari ... · berkerumun, selalu menggunakan masker, dan rutin mencuci tangan, serta menggunakan hand sanitizer. Peran masyarakat tentunya

9

2) Permintaan negosiasi ulang tidak secara otomatis memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk mengakhiri kontrak.

3) Jika negosiasi ulang gagal mencapai kesepakatan dalam jangka waktu yang wajar, para pihak dapat mengajukannya ke pengadilan.

4) Jika keberadaan Kesulitan Keuangan terbukti di pengadilan, maka pengadilan dapat memutuskan untuk (a) mengakhiri kontrak pada tanggal dan waktu yang tetap; atau (b) mengubah kontrak dengan kembali ke situasi yang lebih seimbang.

Sesungguhnya ini adalah konsekuensi hukum yang mengejutkan karena pengadilan sekarang dapat menjadi penentu dari apa yang adil dalam keadaan tersebut.

Di Indonesia tidak ada peraturan tentang Keadaan Sulit, oleh karena itu, secara umum, hakim akan memutuskan masalah kesulitan keuangan dengan ketentuan overmacht.4 Overmacht, disebut keadaan memaksa di Indonesia, yang secara luas diterjemahkan sebagai force majeure. Pengadilan dapat mengakui keadaan memaksa sebagai force majeure yang membebaskan pihak dari kewajibannya dalam suatu perjanjian. Akibatnya tidak ada kewajiban untuk memberikan kompensasi, biaya, dan bunga, dan/atau dari kewajiban untuk memenuhi kewajiban. Ini terlepas dari apakah ada klausa force majeure. Force majeure umumnya diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata Indonesia.

Menurut doktrin, force majeure dapat dibagi menjadi beberapa klasifikasi, salah satunya adalah force majeur absolut dan relatif:5

1. Absolute Force Majeure: didefinisikan sebagai peristiwa saat tidak mungkin lagi melakukan perjanjian, misalnya mesin telah dihancurkan karena kebakaran.

2 Relative Force Majeure (tidak mutlak) adalah situasi ketika perjanjian masih bisa dilakukan, tetapi dengan pembayaran komersial yang terlalu besar dari debitur, misalnya, harga barang melonjak terlalu tinggi.

Berdasarkan penjelasan di atas, ada kesamaan dalam konsep kesulitan keuangan dan force majeure relatif. Agus Yudha Hernoko juga menyamakan kedua konsep ini.6 Peristiwa yang merupakan kondisi untuk keadaan sulit dan force majeure relatif sebenarnya serupa meskipun ada perbedaan yang jelas dalam konsekuensi hukum. Dalam kesulitan keuangan, itu tidak mengakibatkan perjanjian menjadi batal, tetapi memberikan hak untuk melakukan negosiasi ulang. Sementara dalam situasi force majeure, itu membebaskan pihak yang tidak berkinerja dari harus membayar kompensasi, dan juga dapat mengakibatkan perjanjian dinyatakan batal.

Pengadilan Indonesia belum menyatukan pendapat dan kejelasan tentang masalah keadaan sulit. Hal ini dapat dilihat pada keputusan kasus nomor 535 / Pdt.g / 2014 / PN.JKT.PST dan kasus No. 3087K / Pdt / 2001. Dalam kedua kasus tersebut, salah satu pihak menyatakan bahwa pada krisis ekonomi 1998 yang termasuk situasi dipaksakan, kedua putusan menolak alasan krisis ekonomi sebagai force majeure. Namun, dalam kasus 535 / Pdt.g / 2014 PN.JKT.PST, mahkamah menerima bahwa Krisis Moneter adalah perubahan dalam keadaan yang mengakibatkan kerugian besar dan pengadilan menganggap peristiwa ini bukan kesalahan para pihak, dan menambahkan bahwa peristiwa tersebut melampaui prediksi kedua belah pihak. Pengadilan merasa sudah sepantasnya risiko atau kerugian yang disebabkan oleh Krisis Moneter ditanggung oleh kedua belah pihak dengan beban komparatif yang sama. Majelis hakim kemudian menentukan jumlah uang yang harus dibayarkan berdasarkan keadilan dengan mengubah ketentuan perjanjian para pihak.

Meskipun Yurisprudensi bukan prinsip yang diakui di Indonesia, tidak ada keraguan bahwa preseden seperti itu, dan alasan hukum di balik keputusan itu, akan menghantui pengacara dan pihak-pihak yang lebih berkeinginan kepastian dalam hukum. VKa/SCN

4. Ibid., hlm. 254; 5. Soemadipradja, keadaan memaksa, hlm. 37; 6. Rahmat S.S. Soemadipradja, Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa, hlm. 3

OPINI

Page 10: Kiat Merancang Klausul Sebuah Perbandingan dari ... · berkerumun, selalu menggunakan masker, dan rutin mencuci tangan, serta menggunakan hand sanitizer. Peran masyarakat tentunya

10

TELaaH

Berdasarkan kebebasan membuat perjanjian, para pihak bebas menentukan hal-hal yang dapat dikategorikan sebagai force majeure. Akan tetapi,

berdasarkan penggunaan sebelumnya dan kebiasaan peristiwa, yang dikategorikan sebagai force majeure. pada umumnya berkaitan dengan peristiwa alam dan sosial, misalnya: gempa bumi, banjir, angin topan dan perang saudara. Di Indonesia, peristiwa yang berkaitan dengan ekonomi dan kepentingan bisnis dikategorikan sebagai hardship.1 Peristiwa yang berkaitan dengan ekonomi dikategorikan sebagai force majeure, di antaranya krisis moneter, berdasarkan kepada Putusan No. 3087K/Pdt/2001. Krisis ekonomi berdasarkan Putusan No. 285PK/Pdt/2010).2

Apakah hardship merupakan doktrin yang dijalankan di Indonesia? Berbeda dengan force majeure yang secara terang diatur dalam ketentuan Pasal 1244, 1245, 1444 dan 1445 KUH Perdata, maka hardship belum ada pengaturannya. Dan, dalam hal

PrinsiP ForCe majeure dan hardshiP suatu PerbandinGan

terjadi kasus-kasus terkait dengan hardship, pada umumnya hakim akan memutus berdasarkan force majeure. Klausula hardship biasanya digunakan untuk mengatasi tidak adanya penerapan klausul force majeure yang mengatur tentang hardship dalam lingkup bisnis. Aturan tentang hardship menentukan bahwa apabila pelaksanaan kontrak menjadi lebih berat bagi salah satu pihak, pihak tersebut bagaimanapun juga terikat untuk melaksanakan perikatannya, dengan tunduk pada ketentuan tentang hardship.3

Tentunya, hal ini mengakibatkan ketidakpastian untuk menilai suatu keadaan hardship, apakah boleh salah satu pihak mengesampingkan konsekuensi hukum atas tindakan wanprestasi. Ketidakpastian ini dapat dimitigasi dengan mencantumkan klausula force majeure atau klausula hardship pada suatu kontrak komersial berdasarkan berdasarkan kriteria objektif yang jelas, harus dipertimbangkan berdasarkan

1. Contract Law in China, Hong Kong: Sweet & Maxwell Asia, 2002, hlm. 409.2. “Penting Diketahui! Alasan-Alasan Force Majeure dalam Yurisprudensi Perdata” https://www.hukumonline.com/berita/baca/

lt5e734b032159c/penting-diketahui-alasan-alasan-iforce-majeur-i-dalam-yurisprudensi-perdata/ diakses pada tanggal 2 April 20203. Article 6.2.1 of UNIDrOIT Principles of International Commercial Contracts 2010, hlm. 19

Page 11: Kiat Merancang Klausul Sebuah Perbandingan dari ... · berkerumun, selalu menggunakan masker, dan rutin mencuci tangan, serta menggunakan hand sanitizer. Peran masyarakat tentunya

11

karakteristiknya. Ini akan memakan waktu lama untuk menghilangkan beberapa keraguan mengenai apakah suatu peristiwa campur tangan telah terjadi yang seharusnya memungkinkan Para Pihak untuk sebagian atau sepenuhnya lolos dari kewajiban kontrak mereka.

Force majeure dan hardship memiliki persamaan dan perbedaan sebagai berikut:Persamaan antara hardship dan force majeure, antara lain:4a. Terdapat suatu peristiwa yang menghalangi

pelaksanaan prestasi oleh salah satu pihak (debitur);

b. Peristiwa tersebut tidak dapat diduga pada saat pembuatan kontrak;

c. Peristiwa tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan (risiko) salah satu pihak.

Terdapat beberapa perbedaan penting antara force majeure dan hardship, antara lain:Pada persitiwa force majeure, maka dapat terjadi:a. Kontrak akan dianggap berakhir (kecuali

force majeure sebagian, ada kewajiban untuk melanjutkan sebagian yang tersisa), karena apabila merujuk pada Pasal 1381 KUHPerdata, maka force majeure merupakan salah satu alasan yang menyebabkan hapusnya perikatan;

b. Debitur tidak lagi bertanggung jawab atas risiko.

Pada hardship, peristiwa yang menghalangi prestasi diutamakan pada peristiwa yang mengubah keseimbangan kontrak secara fundamental, baik karena meningkatnya biaya pelaksanaan atau karena nilai pelaksanaan yang akan diterima berubah:a. Mengakibatkan perubahan signifikan sehingga

akan menimbulkan kerugian secara tidak wajar kepada pihak lain;

b. Apabila terbukti maka kontrak tidak berakhir namun dapat dinegosiasi ulang (renegosiasi) oleh para pihak untuk kelanjutannya;

c. Apabila negosiasi ulang gagal maka sengketa dapat diajukan ke pengadilan untuk dapat diputuskan;

d. Hakim dapat memutuskan kontrak atau merevisi kontrak untuk mengembalikan keseimbangan secara proporsional.5

Konsekuensi hukum atas persamaan dan perbedaan yang telah disampaikan diatas harus secara jelas disampaikan dalam proses negosiasi kontrak untuk meminimalkan ketidakpastian.

Dengan mencermati persamaan maupun perbedaan karakteristik antara force majeure dan hardship, maka dilihat dari perspektif kontrak komersial, hardship dipandang lebih fleksibel dan akomodatif untuk memberikan jalan keluar ketika muncul sengketa.

Namun, meskipun telah diakui oleh Pengadilan, praktik bisnis di Indonesia yang telah berlangsung selama ini tampaknya belum mengenal doktrin hardship, terbukti dengan minimnya kontrak-kontrak yang mengatur klausula hardship pada kontrak standard.

Salah satu cara lain yang dapat dilakukan adalah untuk mencantumkan ketentuan terkait hardship dalam lingkup klausul force majeure. Pencantuman klausula hardship dalam kontrak, khususnya untuk kontrak jangka panjang dengan nilai investasi yang sangat besar mempunyai arti penting untuk mengatasi kesulitan dalam menghadapi kehadiran doktrin hardship. Fluktuasi pada sektor perminyakan, komoditas dan biaya tenaga kerja merupakan dasar bagi kelangsungan organisasi bisnis dalam jangka panjang. Mungkin sudah waktunya bagi advokat untuk memberikan advis kepada klien tentang risiko-risiko ini daripada menyerahkan penentuan kepada sistem Pengadilan.

Pada akhirnya, ada atau tidak adanya klausula hardship maupun force majeure mengacu kepada penyampaian dan substansi klausula-klausula tersebut yang akan memberikan ruang gerak yang fleksibel terhadap kemungkinan-kemungkinan keadaan yang secara fundamental akan mempengaruhi keseimbangan kontrak dalam pelaksanaannya. HwO/aLH

TELaaH

4. Taryana Soenandar, Prinsip-Prinsip Unidroit: Sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, Jakarta: Sinar grafika, 2006, hlm 121-123.

5. Article 6.2.2 Jo. Article 6.2.3 of UNIDrOIT Principles of International Commercial Contracts 2010, hlm. 19

Page 12: Kiat Merancang Klausul Sebuah Perbandingan dari ... · berkerumun, selalu menggunakan masker, dan rutin mencuci tangan, serta menggunakan hand sanitizer. Peran masyarakat tentunya

12

KIaT

Penyebaran Covid-19 (Corona Virus) telah mempengaruhi kegiatan usaha secara luas. Banyak kegiatan usaha menjadi terhambat

dan atau terhenti karenanya. Itu membuat para pemangku kepentingan memeriksa kembali perjanjiannya; apakah di sana terdapat klausul yang dapat melindungi mereka atas terjadinya suatu keadaan tidak terduga atau force majeure.1

Pada saat pembuatan klausul dalam perjanjian, klausul force majeure pada umumnya menggunakan klausul standar. Ini karena dalam hukum perdata

teknik PeranCanGan klausul ForCe majeure dalam kontrak

di Indonesia dikenal asas kebebasan berkontrak, yang diatur pada Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Dengan demikian, secara hukum tidak ada larangan kepada pihak-pihak yang mengikatkan dirinya pada perjanjian untuk hanya mengatur ketentuan yang sifatnya umum (contoh: banjir, kebakaran, kerusuhan, dll) pada klausul force majeure perjanjian. Namun demikian, perlindungan bagi para pihak dapat ditingkatkan dengan cara mencantumkan frasa-frasa atau peristiwa yang sifatnya lebih spesifik.

1. Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, mendefinisikan force majeure sebagai: “Tidak ada penggantian biaya. kerugian dan bunga. bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur

terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.”

Page 13: Kiat Merancang Klausul Sebuah Perbandingan dari ... · berkerumun, selalu menggunakan masker, dan rutin mencuci tangan, serta menggunakan hand sanitizer. Peran masyarakat tentunya

13

Pandemi Covid-19 membuat klausul force majeure menjadi klausul yang penting dalam perjanjian. Berikut hal-hal yang dapat dipertimbangkan agar perancangan klausul force majeure dapat mengakomodasi kepentingan para pihak dalam suatu perjanjian.

1. Kita perlu memahami kegiatan usaha klien serta kepentingan klien atas perjanjian tersebut, sehingga dalam perancangan klausul dapat sesuai dengan aspirasi dan serta tujuan klien. Selain itu, kita harus mengetahui kegiatan usaha klien serta kepentingan klien secara baik untuk memberikan gambaran akan peristiwa apa yang perlu dicantumkan pada klausul force majeure.

2. Setelah menentukan peristiwa-peristiwa yang dianggap sebagai force majeure, akan lebih baik apabila ditambahkan ketentuan mengenai pemberitahuan oleh pihak yang terkena suatu keadaan force majeure. Pemberitahuan dari pihak yang terkena suatu force majeure wajib disertai alasan serta perkiraan keterlambatan atau penghentian sementara sebelum perkiraan penyelesaian atau pemenuhan kewajiban. Hal ini diperlukan untuk dapat memberikan pemahaman kepada para pihak untuk dapat menentukan terjadinya wanprestasi.

Pemberitahuan atas force majeure berfungsi sebagai bukti bahwa benar telah terjadi suatu keadaan tidak terduga yang menghambat atau memengaruhi pemenuhan kewajiban salah satu pihak, yang kemudian dapat menimbulkan 3 (tiga) kemungkinan yakni:

a. penghentian sementara pemenuhan kewajiban atas perjanjian oleh klien hingga berakhirnya situasi force majeure;

b. diterimanya perpanjangan waktu atas pemenuhan kewajiban klien terhadap perjanjian; atau

c. dalam keadaan force majeure tidak kembali normal dalam waktu dekat maka dapat menimbulkan hak kepada para pihak untuk dapat melakukan pengakhiran atas perjanjian.

3. Selain itu, wajib untuk disampaikan secara tegas, tempat yang memungkinkan terjadinya force majeure serta peristiwa yang dapat dinyatakan sebagai force majeure dalam menentukan kapan klausul force majeure dapat diimplementasikan. Hal ini berhubungan dengan peristiwa seperti, pemberitahuan pemerintah atas keadaan darurat. Pihak lain dapat menyampaikan argumen bahwa pencantuman peristiwa yang tidak spesifik akan lebih sesuai dikarenakan tidak ada kontrak yang dapat memperkirakan terjadinya force majeure. Pada akhirnya, hal ini merupakan proses evaluasi yang menyesuaikan dengan keinginan klien. Tugas kami selaku perancang kontrak mencakup pemberian saran dan pertimbangan kepada klien atas permasalahan ini.

4. Apabila ketentuan mengenai force majeure tidak diatur pada perjanjian maka hal yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan negosiasi ulang dengan pihak lainnya untuk menambahkan ketentuan mengenai force majeure atau untuk melakukan penyesuaian terhadap persyaratan pemenuhan kewajiban.

Kesimpulannya, dalam sebuah perjanjian seluruh klausul yang tertera di dalamnya memiliki fungsi dan peran yang dapat mempengaruhi para pihak. Terapkan hal-hal yang kami sampaikan di atas saat merancang klausul dalam perjanjian, khususnya dalam ketentuan force majeure untuk menciptakan kejelasan hukum dan perjanjian yang aman bagi semua pihak. yaN/Mad

KIaT

Page 14: Kiat Merancang Klausul Sebuah Perbandingan dari ... · berkerumun, selalu menggunakan masker, dan rutin mencuci tangan, serta menggunakan hand sanitizer. Peran masyarakat tentunya

14