BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. MASA REMAJA Masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan masalah-masalah (Hurlock, 1998). Oleh karenanya, remaja sangat rentan sekali mengalami masalah psikososial, yakni masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial (TP-KJM, 2002). Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasannya usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai patokan atau batasan untuk pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang dahulu terjadi pada akhir usia belasan (15- 18) kini terjadi pada awal belasan bahkan sebelum usia 11 tahun. Seorang anak berusia 10 tahun mungkin saja sudah (atau sedang) mengalami pubertas namun tidak berarti ia sudah bisa dikatakan sebagai remaja dan sudah siap
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1. MASA REMAJA
Masa remaja merupakan masa dimana seorang individu
mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan
mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan
juga penuh dengan masalah-masalah (Hurlock, 1998). Oleh karenanya,
remaja sangat rentan sekali mengalami masalah psikososial, yakni
masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat terjadinya
perubahan sosial (TP-KJM, 2002).
Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan
manusia yang batasannya usia maupun peranannya seringkali tidak
terlalu jelas. Pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal
keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai patokan atau batasan
untuk pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang dahulu terjadi
pada akhir usia belasan (15-18) kini terjadi pada awal belasan bahkan
sebelum usia 11 tahun. Seorang anak berusia 10 tahun mungkin saja
sudah (atau sedang) mengalami pubertas namun tidak berarti ia sudah
bisa dikatakan sebagai remaja dan sudah siap menghadapi dunia
orang dewasa. Ia belum siap menghadapi dunia nyata orang dewasa,
meski di saat yang sama ia juga bukan anak-anak lagi. Berbeda
dengan balita yang perkembangannya dengan jelas dapat diukur,
remaja hampir tidak memiliki pola perkembangan yang pasti. Dalam
perkembangannya seringkali mereka menjadi bingung karena kadang-
kadang diperlakukan sebagai anak-anak tetapi di lain waktu mereka
dituntut untuk bersikap mandiri dan dewasa. Memang banyak
perubahan pada diri seseorang sebagai tanda keremajaan, namun
seringkali perubahan itu hanya merupakan suatu tanda-tanda fisik dan
bukan sebagai pengesahan akan keremajaan seseorang. Namun satu
hal yang pasti, konflik yang dihadapi oleh remaja semakin kompleks
seiring dengan perubahan pada berbagai dimensi kehidupan dalam diri
mereka. Untuk dapat memahami remaja, maka perlu dilihat
berdasarkan perubahan pada dimensidimensi tersebut
Dimensi Biologis
Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas yang ditandai
dengan menstruasi pertama pada remaja putri atau pun perubahan
suara pada remaja putra, secara biologis dia mengalami perubahan
yang sangat besar. Pubertas menjadikan seorang anak tiba-tiba
memiliki kemampuan untuk ber-reproduksi. Pada masa pubertas,
hormon seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua jenis hormon
(gonadotrophins atau gonadotrophic hormones) yang berhubungan
dengan pertumbuhan, yaitu: 1) Follicle-Stimulating Hormone (FSH);
dan 2). Luteinizing Hormone (LH). Pada anak perempuan, kedua
hormon tersebut merangsang pertumbuhan estrogen dan
progesterone: dua jenis hormon kewanitaan. Pada anak lelaki,
Luteinizing Hormone yang juga dinamakan Interstitial-Cell Stimulating
(Suhardi, 1999). Menurut Murti (2005), di Belanda risiko dari kebiasaan merokok
adalah 2.20 lebih besar (OR= 2.20: CI 95%; 1,06 hingga 2,46) berada pada laki-laki
usia sekolah. Penelitian di Portugal (n= 629 remaja laki- laki) terlihat bahwa laki- laki
5-11 tahun usia sekolah mempunyai risiko merokok 0.87 lebih rendah (OR= 0.87: CI
95% 0,48 hingga 1,57) dibanding sebaya nya yang tidak bersekolah. Sedangkan
risiko untuk merokok pada laki- laki berumur 12 tahun pada usia sekolah adalah 0,81
lebih besar(CI=95%; 0,40 hingga 1,61) setelah mengendalikan beberapa faktor
perancu. Penelitian cross sectional di Beijing, China (n=2.201) dihasilkan hubungan
terbalik antara merokok dan pendidikan pada laki- laki remaja (p<0,01).
Teori Grossman (1972) dalam Murti (2005) “Demand for Health Capital”
menyebutkan, pendidikan merupakan faktor yang meningkatkan efisiensi produksi
kesehatan. Implikasinya, orang yang berpendidikan lebih tinggi memiliki permintaan
(demand) kesehatan lebih tinggi, sehingga memiliki status kesehatan yang lebih baik,
karena tahu cara yang lebih baik untuk menjadi sehat (misalnya, dengan tidak
merokok). Beberapa alasan pemerintah untuk mengendalikan tembakau yaitu
pendidikan merupakan analisis kritis dalam informasi mengenai perilaku terhadap
kesehatan, pendidikan rendah merupakan proporsi terbesar dalam kebiasaan
merokok.
2. Pendapatan
Laaksonen et al., (2003) menyatakan bahwa di Finlandia frekuensi merokok 1.52 kali
lebih rendah (OR 1.52: CI95% 1,27 hingga 1,83) pada remaja laki-laki berpendapatan
rendah daripada berpendapatan tinggi, setelah mengendalikan pendidikan dan status
sosial. Menurut Shapo et al., (2003) di Albania mencatat sebesar 0,70 lebih tidak suka
merokok (OR 0,70: CI95% 0,35 hingga 1,38) pada orang berpendapatan tinggi
daripada berpendapatan rendah, setelah mengendalikan umur, pendidikan dan
pekerjaan. Implikasi lain dari teori Grossman tentang “Demand for Health Capital”,
orang dengan pendapatan lebih tinggi memiliki permintaan (demand) akan kesehatan
yang juga lebih tinggi (agar pendapatannya tidak berkurang). Orang yang
berpendapatan lebih tinggi akan menghindari perilaku tidak sehat (misalnya
merokok) untuk menjaga tingkat keseha tannya. Menurut penelitian Handayani
(2007), ada hubungan antara pendapatan dengan kebiasaan merokok.
3. Modal Sosial
Modal sosial pertama kali dikemukakan oleh Putnam (1995) dalam Murti
(2005) yang mendefinisikannya sebagai:
‘‘features of social organication such as networks, norms and social trust that
facilitate coordination and cooperation for mutual benefit’’. Artinya, modal sosial
adalah “karakteristik dari organisasi sosial seperti jejaring sosial, norma-norma, dan
kepercayaan sosial, yang memudahkan koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan
bersama”. Modal sosial merupakan sumber daya atau barang publik yang terdapat
pada level komunitas. Jadi menurut Putnam, modal sosial merupakan variabel yang
terukur pada level masyarakat.
Berbeda dengan Putnam, Bourdieu (1986) dalam Murti (2005)
mendefinisikan modal sosial sebagai: ‘‘the aggregate of the actual or potential
resources which are linked to possession of a durable network of more or less
institutionalised relationships of mutual acquaintance and recognition’’. Artinya,
modal sosial adalah “kumpulan sumber daya, baik yang sebenarnya atau potensial,
sehingga individu-individu memiliki jejaring jangka panjang tentang hubungan yang
terlembagakan untuk saling mengenal dan memberi pengakuan. Jadi menurut
Bourdieu, modal sosial
merupakan sumber daya yang terkumpul pada individu- individu sebagai hasil
hubungan atau keanggotaannya dalam jejaring sosial. Sedangkan menurut Ziersch
(2005) mendefinisikan modal sosial sebagai: “the social infrastructure, such as
networks and values, that facilitates the exchange of social resources between
individuals, and the sum of resources available to those individuals through this
infrastructure”. Artinya, modal sosial adalah “infra-struktur sosial, seperti jejaring
dan nilai-nilai, yang memudahkan pertukaran sumber daya sosial antar individu-
individu, dan jumlah sumber daya yang tersedia untuk individu-individu tersebut
karena adanya infrastruktur tersebut”.
Penelitian Lindstrom (2004) di Swedia menemukan bahwa modal sosial
(dalam hal ini partisipasi sosial) berbanding terbalik dengan kebiasan merokok harian
(daily smoking). Komunitas perokok yang disebut “miniaturisation of the
community”, yakni partisipasi sosial tinggi dan tingkat kepercayaan rendah,
berhubungan positif dengan kebiasan merokok kadang-kadang (intermittent smoking,
occasional smoking). Lindstrom berpendapat, partisipasi sosial tidak selalu
meningkatkan perilaku terkait kesehatan secara positif. Ketika partisipasi tinggi
dipadukan dengan tingkat kepercayaan rendah, maka akan dihasilkan perilaku terkait
kesehatan yang merugikan kesehatan, dalam hal ini kebiasaan merokok. Terdapat
beberapa kemungkinan pengaruh modal sosial terhadap kebiasaan merokok:
a. Struktur sosial yang stabil dan tingkat migrasi yang rendah meningkatkan
berbagai aspek modal sosial seperti partisipasi sosial, jejaring sosial, dan
kepercayaan sosial.
b. Sebaliknya, konflik sosial melemahkan ikatan sosial dan jejaring sosial,
meningkatkan kemungkinan orang memiliki perilaku tidak sehat (misalnya,
merokok).
c. Sejumlah karakteristik struktur sosial di sebuah komunitas dapat juga
memberikan efek negatif terhadap modal sosial, partisipasi sosial, dan
perilaku terkait kesehatan seperti merokok. Contoh: Toleransi rendah
terhadap minoritas pada sebuah komunitas dengan jejaring sosial yang kuat
merupakan “sisi gelap modal sosial”, sehingga berefek buruk bagi perilaku
terkait kesehatan kelompok minoritas.
Hingga saat ini belum ada studi di negara berkembang yang mempublikasikan
hubungan antara perilaku merokok dan modal sosial. Modal sosial merupakan
variabel yang melekat pada masyarakat. Dengan demikian modal sosial tergantung
pada karakteristik masyarakat. Implikasinya, hubungan antara modal sosial dan
perilaku merokok bersifat spesifik menurut konteks (context-specific) masyarakat
(Murti, 2005).
4. Umur
Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (1995), umur mulai merokok yang
terkecil adalah 5 tahun, sebagian pada umur 10-14 tahun, sebagian besar pada umur
15-20 tahun, sebagian lagi pada umur 21-25 tahun, sebagian kecil pada umur 26-30
tahun. Prevalensi meningkat sejalan dengan meningkatnya umur, terutama pada umur
muda. Usia remaja merupakan usia yang rentan terhadap bujukan untuk mulai
merokok (Suhardi, 1999).
Menurut Murti (2005) umur di atas median (45 tahun) sama dengan 42 persen
mengalami penurunan dalam merokok daripada umur di bawah median (OR 0,58,
CI=95%; 0,47-0,71). Tetapi umur berakibat tidak sesuainya hakekat dalam kuantitas
konsumsi rokok. Selanjutnya hasil penelitian lain, contohnya pada suatu penelitian
(n=629 laki- laki) di Portugal mencatat risiko kebiasaan merokok (OR 0,19, CI=
95%; 0,05- 0,69) pada laki-laki dewasa umur 70 tahun ke atas (usia lanjut)
dibandingkan umur 18 sampai 29 tahun (usia remaja)
D. Karekteristik Perilaku Merokok di Rural dan Urban
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1995 dan 2001 menunjukkan
bahwa persentase penduduk yang merokok di pedesaan lebih tinggi dibandingkan di
perkotaan. Propinsi dengan persentase penduduk pedesaan yang merokok paling
tinggi berturut-turut adalah Lampung (325), Jawa Barat (31%), Kalimantan Barat
(31%), dan Bengkulu (30%). Propinsi dengan persentase penduduk perkotaan yang
paling tinggi adalah Jawa barat, NTB, dan Lampung. Lampung dan Jawa Barat juga
menjadi propinsi dengan persentase penduduk yang paling tinggi secara nasional,
sedangkan paling rendah adalah Bali (Gustiana, 2007). Menurut SKRT (1995)
disebutkan juga bahwa usia untuk memulai kebiasaan merokok sedikit lebih dini di
pedesaan dibandingkan dengan perkotaan (Suhardi, 1999).
Menurut Isnaini (2004) tidak ada hubungan antara tempat tinggal dengan
perilaku merokok remaja. Hal ini berarti tempat tinggal tidak mempengaruhi remaja
untuk merokok. Penelitian ini membuktikan bahwa remaja yang merokok tidak hanya
ditemukan di kota yaitu sebanyak 48,9% tetapi juga ditemukan remaja yang tinggal di
desa juga mempunyai persentase yang hampir sama 52,1% artinya tidak ada
perbedaan perilaku merokok remaja baik yang tinggal di kota maupun di desa. Kaprio
et al., (1989) dalam Murti (2005) mengemukakan, beberapa studi memperlihatkan
bahwa remaja yang tinggal di kota lebih cenderung untuk merokok. Hal ini
diakibatkan oleh pergeseran nilai- nilai yang ada di kota. Remaja kota beranggapan
merokok merupakan suatu hal ya ng biasa untuk menaikkan gengsi remaja walaupun
sebenarnya remaja tahu risiko apa yang akan di dapatkan bila merokok dan
menganggap mudah biaya yang akan mereka tanggung di masa depan. Menurut
SKRT melaporkan prevalensi merokok dalam satu bulan terakhir pada remaja Jawa
dan Bali umur 15-19 tahun adalah pada laki- laki di daerah urban 18,9% dan di
daerah rural 25,1%. Pada kelompok umur 20 tahun ke atas prevalensi merokok 1
bulan terakhir jauh lebih tinggi yaitu 68,3% di daerah urban dan 81,5% di daerah
rural Jawa Barat sedangkan di Bali 40,2% untuk daerah urban dan 43,9% untuk
daerah rural. Prevalensi merokok di daerah rural lebih besar daripada di derah urban.
Menurut Sunardi (1999), bahwa prevalensi perokok laki- laki daerah urban
lebih rendah daripada daerah rural dan prevalensi perokok perempuan daerah urban
lebih rendah daripada daerah rural. Selanjutnya dikemukakan bahwa proporsi
perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke atas 11-20 batang/hari dan 21+
batang/hari di daerah urban lebih tinggi daripada daerah rural dan proporsi perokok
perempuan tiap hari umur 20 tahun ke atas 11-20 batang/hari dan 21+ batang/hari di
daerah urban lebih tinggi daripada daerah rural. Prevalensi merokok menurun dengan
meningkatnya pendidikan di daerah rural dan urban. Prevalensi mulai menurun di
daerah urban setelah pengeluaran anggota rumah tangga per bulan di atas Rp
1.000.000,00.
ROKOK ITU NARKOBA
Rokok adalah pintu gerbang bagi narkoba. Lebih spesifik lagi, rokok itu
sendiri sebenarnya termasuk ke dalam definisi narkoba. Ya, di tengah maraknya
kampanye anti-narkoba di masyarakat, ternyata tidak banyak yang menyadari hal ini.
Merokok kini tidak lagi merupakan masalah kesehatan melulu, tetapi sudah memiliki
kompleksitas tersendiri.
Di dalam pengertian Narkoba termuat 3 kelompok zat aktif yaitu Narkotika,
Psikotropika dan Bahan Adiktif lainnya. Rokok bersama dengan alkohol termasuk ke
dalam kelompok yang terakhir. Nikotin yang merupakan salah satu komponen dari
rokok merupakan zat psikotropika stimulan. Jadi sesungguhnya rokok itu adalah
narkoba juga. Oleh karena itu, rokok pun memiliki sifat-sifat utama layaknya narkoba
lain yaitu habituasi, adiksi dan toleransi. Habituasi adalah suatu perasaan rindu, terus
menerus melintas di pikiran untuk menggunaan zat, sehingga seseorang akan terus
berkeinginan menggunakan zat tersebut saat berkumpul dengan sesama teman
pemakai. Sedangkan adiksi merupakan dorongan kompulsif untuk menggunakan
suatu zat diserta tanda-tanda ketergantungan.
Ketergantungan itu sendiri dapat berupa ketergantungan psikis (psychological
dependence) maupun ketergantungan fisiologis (physiological dependence).
Ketergantungan psikis merupakan kompulsi penggunaan zat untuk memenuhi
kebutuhan psikologis, seperti untuk menghadapi stress. Sedangkan ketergantungan
fisiologis berarti proses perubahan fungsional tubuh sedemikian rupa dikarenakan
paparan rutin terhadap zat. Toleransi adalah contoh bentuk ketergantungan fisiologis,
yaitu seiring bertambahnya waktu penggunaan maka pemakaian zat berikutnya
diperlukan dosis yang lebih besar dari sebelumnya untuk mencapai efek kenikmatan
yang sama. Toleransi inilah yang akan membuat seorang perokok, dan pemakai
narkoba lainnya, terus menambah jumlah batang rokok yang dihisapnya dari waktu
ke waktu.
Rokok merupakan narkoba termurah dan dijual bebas. Dengan selembar uang
Rp 1.000,00 seseorang sudah mampu mendapatkan sebatang rokok yang mengandung
4.000 macam zat kimia. Tidak ada satupun produk farmasi yang berisikan 4.000
macam zat kimia dapat dibeli dengan harga sedemikian murah. Oleh karena itu,
siapapun mudah memperoleh sebatang rokok, dari mereka yang usia tua maupun
anak sekolah dasar. Selain itu rokok juga memberikan kenikmatan, walaupun
sementara, dan hal ini lah yang menjadi magnet bagi pribadi-pribadi labil yang tidak
puas akan kenyataan hidup ini atau bagi para remaja sebagai teman setia saat kumpul-
kumpul.
Jadi tidak perlu heran jika merokok telah menjadi kebiasaan buruk yang
popular di masyarakat. Berdasarkan laporan Breslau dkk (2001), 1 dari 4 orang
dewasa di Amerika Serikat memiliki ketergantungan terhadap nikotin, walaupun
belakangan ini popularitas merokok di kalangan remaja Negeri Paman Sam terus
melorot. Penduduk Indonesia sendiri merupakan salah satu konsumen rokok terbesar
di dunia, serta memiliki produksi rokok yang tidak kalah besarnya pula. Fakta ini
membuat berbagai perusahaan rokok asing, seperti Philip Morris, berebut pangsa
pasar di negeri ini.
Dan akhirnya seiring impor rokok dan investasi dari negara maju yang
semakin masif, penyakit-penyakit terkait dengan rokok juga diimpor. Penyakit
kardiovaskular dan kanker (terutama kanker paru) sekarang ini menduduki tangga
teratas penyebab kematian di Indonesia, menggeser berbagai penyakit infeksi. Ada
beberapa tahapan yang dialami seorang perokok hingga menjadi tahap
ketergantungan. Tahap pertama adalah eksperimental atau coba-coba. Mereka mulai
menghirup rokok untuk mencari ketenangan, energi lebih dan pelarian dari stress
sehari-hari. Pada tahap ini seorang perokok merasa yakin masih dapat mengontrol
kebiasaannya untuk merokok.
Pada tahap selanjutnya, yaitu penggunaan rutin, perokok mulai dikendalikan
oleh efek dasyat nikotin. Pada tahap ini penyangkalan memainkan peranan penting.
Perokok akan menyangkal bahwa ia tidak dapat mengendalikan lagi kebiasaannya
merokok, menyangkal bahwa kebiasaannya itu dapat menimbulkan berbagai penyakit
fatal. Sebenarnya ia mengetahui bahaya-bahaya merokok, tetapi kenikmatan semu
tersebut telah terlanjur menutupi kecemasan dan akal sehatnya. Dengan penyangkalan
ini, maka tidak heran kampanye anti-rokok yang mengusung berbagai bahaya
merokok bagi kesehatan menjadi mentah.
Tahapan terakhir adalah ketergantungan, di mana rokok sudah menjadi
sahabat setia perokok setiap waktu, dan tanpanya, perokok akan mengeluh berbagai
macam kesengsaraan dari mulut pahit hingga demam. Dan selanjutnya, ia pun akan
merokok lagi, bukan sekedar mencari kenikmatan seperti tahapan awal melainkan
untuk menghindarkan diri dari kesakitan withdrawal. Menilik bahwa rokok berawal
dari coba-coba, rasa ingin tahu maupun rasa setia kawan, maka tidaklah berlebihan
untuk mengatakan bahwa pribadi perokok adalah rentan juga terhadap narkoba
lainnya. Rokok adalah pintu gerbang kepada narkoba lainnya. Kematian dikarenakan
penyakit-penyakit terkait rokok adalah lebih besar daripada kematian karena narkoba
jenis lainnya. Biaya negara untuk merawat penduduknya yang menderita penyakit-
penyakit terkait dengan rokok juga lebih besar dibandingkan pendapatan dari pajak
rokok.
Celakanya rokok adalah satu-satunya narkoba yang dapat menyerang orang
yang tidak turut menggunakannya. Beberapa penelitian telah menyebutkan bahwa
perokok pasif memiliki resiko yang kurang lebih sama dengan perokok aktif untuk
menderita penyakit jantung koroner, saluran napas, katarak dan bahkan kanker paru.
Sehingga tidak disangsikan bahwa rokok lebih berbahaya dibandingkan narkoba jenis
lainnya. Merokok bukanlah sekedar permasalahan kesehatan, tetapi melibatkan pula
segi politik, bisnis, sosial-pergaulan, psikologis maupun kemiskinan. Walaupun telah
diketahui resiko dari rokok sedemikian besar, adalah mustahil untuk melarang pabrik
rokok untuk beroperasi. Industri rokok adalah tempat perputaran uang yang hebat
berupa lapangan kerja serta penyumbang pajak terbesar bagi negara. Beberapa orang
terkaya di negeri ini berasal dari industri rokok. Rokok sudah lama menjadi sponsor
utama berbagai program olahraga, terutama sepak bola yang sangat popular di
masyarakat. Iklan rokok selalu menampilkan sosok pria yang maskulin dan jiwa
petualang sehingga mampu merebut hati para remaja yang memang masa penuh
mimpi untuk menjadi idola. Dengan demikian, apalah artinya himbauan kecil bahaya
merokok bagi kesehatan yang tertera di bungkus rokok dibandingkan iklan rokok
yang begitu megah. Hal inilah yang menjadikan rokok sebagai salah satu narkoba
yang ‘dilegalkan’. Bahkan selama ini ketika kasus narkoba terus bergejolak, rokok
selalu terabaikan sebagai akar masalah narkoba. Bagaimana mungkin kita hendak
melenyapkan ilalang tanpa mencabut akarnya? alaupun rokok dibentengi dengan
kokoh oleh unsur politik dan bisnis, bukan berarti upaya memerangi rokok harus
terhenti di tengah jalan. Upaya kampanye anti-rokok harus terus menerus digalakkan,
namun dengan berbagai pendekatan lain. Selama ini pendekatan dengan
mengedepankan berbagai ancaman kesehatan sudah banyak dipakai, dan biasanya
kurang efektif. Tentu saja jarang seorang perokok berhenti merokok dikarenakan
ketakutannya akan berbagai penyakit tersebut kecuali jika ia memang telah
menderitanya. Yang terjadi adalah kenikmatan sementara dari asap rokok yang
mengebul telah membuat diri perokok tenang, tidak mencemaskan apapun, hidup
menjadi nikmat serta mengaburkan kekhawatiran akan masa depannya.
Pendekatan yang mungkin lebih efektif adalah dengan menekankan betapa
penting untuk menghentikan merokok demi menyelamatkan orang-orang yang
disayangi seperti istri atau anak perokok dari bahaya sebagai perokok pasif. Selain itu
saat ini telah tersedia obat-obat pengganti nikotin seperti varenicline, hal ini mungkin
menjanjikan, tetapi bisa juga hanya sekedar pergeseran dari satu bentuk
ketergantungan kepada ketergantungan lainnya. Belum lagi masalah biaya yang
pastinya mahal karena produksi obat ini masih dipegang swasta. Larangan merokok
di tempat umum seperti yangt tertuang pada Peraturan Daerah (Perda) No 2 Tahun
2005 tentang Penanggulangan Pencemaran Udara (PPU) di DKI Jakarta sebenarnya
adalah upaya positif, namun sayangnya kenyataan di lapangan tidak berjalan
sebagaimana semestinya. Permasalahan rokok harus terus ditangani serius oleh
berbagai pihak, dalam skala makro maupun mikro, seserius dengan slogan-slogan
MENANGANI MASALAH ROKOK PADA REMAJA
Masalah tersebut perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak
mengingat remaja merupakan calon penerus generasi bangsa.
Ditangan remajalah masa depan bangsa ini digantungkan. Terdapat
beberapa cara yang dapat dilakukan dalam upaya untuk mencegah
semakin meningkatnya masalah yang terjadi pada remaja, yaitu
antara lain :
Peran Orangtua :
Menanamkan pola asuh yang baik pada anak sejak prenatal dan
balita
Membekali anak dengan dasar moral dan agama
Mengerti komunikasi yang baik dan efektif antara orangtua –
anak
Menjalin kerjasama yang baik dengan guru
Menjai tokoh panutan bagi anak baik dalam perilaku maupun
dalam hal menjaga lingkungan yang sehat
Menerapkan disiplin yang konsisten pada anak
Hindarkan anak dari NAPZA
Peran Guru :
Bersahabat dengan siswa
Menciptakan kondisi sekolah yang nyaman
Memberikan keleluasaan siswa untuk mengekspresikan diri
pada kegiatan
ekstrakurikuler
Menyediakan sarana dan prasarana bermain dan olahraga
Meningkatkan peran dan pemberdayaan guru BP
Meningkatkan disiplin sekolah dan sangsi yang tegas
Meningkatkan kerjasama dengan orangtua, sesama guru dan
sekolah lain
Mengadakan kompetisi sehat, seni budaya dan olahraga antar
sekolah
Menciptakan kondisi sekolah yang memungkinkan anak
berkembang
secara sehat dalah hal fisik, mental, spiritual dan sosial
Peran Pemerintah dan masyarakat :
Menghidupkan kembali kurikulum budi pekerti
Menyediakan sarana/prasarana yang dapat menampung
agresifitas anak
melalui olahraga dan bermain
Menegakkan hukum, sangsi dan disiplin yang tegas
Memberikan keteladanan
Lokasi sekolah dijauhkan dari pusat perbelanjaan dan pusat
hiburan
Peran Media :
Sampaikan berita dengan kalimat benar dan tepat (tidak
provokatif)
Adanya rubrik khusus dalam media masa (cetak, elektronik)
yang bebas
biaya khusus untuk remaja
REMAJA DAN PERILAKU HIDUP SEHAT
Remaja yang bersikap hidup sehat adalah remaja:
1. Mengerti tujuan hidup
2. Memahami faktor penghambat maupun pendukung perkembangan
kematangannya.
3. Bergaul dengan bijaksana
4. Terus menerus memperbaiki diri
Dengan demikian remaja dapat diharapkan menjaga remaja
yang handal dan sehat. emaja harus mengetahui dirinya memiliki
kekhawatiran dan harapan, dengan kata lain remaja harus mengerti
dirinya sendiri. Faktor yang berkembang pada setiap remaja antara
lain fisik, intelektual,emosional, spiritual. Kecepatan perkembangan
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fisik 35%
2. Intelektual 20%
3. Emosional 30%
4. Spiritual 15%
Faktor fisik berkembang secara tepat sedangkan faktor lainnya
berkembang tidak sama besar. Perkembangan yang tidak seimbang
inilah yang menimbulkan kejanggalan dan berpengaruh terhadap
perilaku remaja. Bagaimana seseorang remaja melihat dirinya sendiri,
orang lain serta hubungannya dengan orang lain termasuk orang tua
dan pembina? Kadangkadang ia ingin dianggap sebagai anak-anak,
orang dewasa, orang lain dianggap sebagai orang tua, teman.
Hubungan dirinya dengan orang lain dianggap bersifat:
1. Otoriter ------- demokratis
2. Tertutup ------- terbuka
3. Formal ------- informal
Semua tersebut di atas dalam keadaan "dalam perjalanan
menuju" Sehingga dapat dilihat segalanya masih dalam proses dan
tidak berada dalam kutub atau masa
anak-anak ataupun kutub atau masa dewasa. "Dalam perjalanan
menuju" ini yang menonjol adalah:
1. Fisik yang kuat
2. Emosi yang cepat tersinggung
3. Sering mengambil keputusan tanpa berfikir panjang
4. Pertimbangan agama, falsafah, ataupun tatakrama hanya
kadang-kadang
saja dipakai
Dan "Dalam perjalanan menuju" yang paling penting
diketahui oleh remaja adalah bagaimana remaja dapat berproses :
1. Menuju fisik yang ideal
2. Menuju emosi kelakian ataupun kewanitaan yang utuh
3. Menuju cara berfikir dewasa
4. Menuju mempercayai hal-hal yang agamais, bersifat falsafah dan
bersifat
tatakrama
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, TY. 1992. Rokok dan Kesehatan. Jakarta: UI Press
Baskara, B. 2007. Rokok Bagian Kehidupan Sosial Masyarakat DIY. Diakses 1 April 2010. http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0707/13/jogja/1039730.htm
Depkes. 2003. Fakta Tembakau Indonesia: Data untuk Penanggulangan Tembakau. Jakarta: Depkes
Fahriza, F. 2009. Tatkala Rokok Menjadi Indikator Kemiskinan. Diakses 1 April 2010. http://www.prakarsarakyat.org/artikel/opini/artikel_cetak.php?aid=351
Gustiana, M. 2007. Gambaran Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Remaja Tentang Merokok Di SMP Muhammadiyah Imogiri Dan DI SMP Muhammadiyah 6 Yogyakarta. [skripsi]diakses tgl 1 April 2010 Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM (download)
Handayani, L. 2007. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Praktek Merokok: Studi Kasus Pada Karyawan Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Buletin KesMas. Vol 1, No. 1, Januari 2007 1-50
Hidayati, UF. 2006. Persepsi Masyarakat Tentang Perilaku Merokok di Dusun Sendowo, Kelurahan Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. [skripsi] Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM
Isnaini, P. 2004. Struktur Keluarga dan Perilaku Merokok Pada Remaja: Analisis Data Sakerti 3 Tahun. [skripsi] Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM
Jaya, M. 2009. Pembunuh Berbahaya Itu Benama Rokok. Yogyakarta
Manshiro, DJ. 2008. Dampak Merokok Bagi Kesehatan. Diakses 1 April 2010. http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/kedokteran/dampakmerokok-bagi-kesehatan
Motik, F. 2008. Kibasan Tongkat Dewi Peri: Diakses 1 April 2010. http://www.idionline.org/artikel/74
Setiaji, B. 2007. Kebiasaan Merokok dan Kesehatan: Diakses 1 April 2010. http://www.promosikesehatan.com/?act=article&id=494
Suhardi. 1999. Perilaku Merokok di Indonesia Menurut Susenas dan SKRT 1995. Cermin Dunia Kedokteran No. 125. Hal:23-35
Tineke, A. Bahaya Merokok. Kompas, Minggu, 5 Mei 2009. diakses tgl 1 April 2010