KHILAFAH DINASTI UMAYYAHMASA KEBANGKITAN DAN KEHANCURAN
I. PENDAHULUAN Selama kurang lebih 91 tahun Dinasti Umayyah
berkuasa, pendidikan Islam mulai tumbuh dan berkembang seiring
dengan perluasan wilayah kekuasaan umat Islam yang dipengaruhi oleh
situasi dan kondisi politik pada saat itu. Perkembangan ilmu
pengetahuan bukan hanya terbatas pada bidang keagamaan saja tetapi
dalam bidang teknologi dan militer serta administrasi pemerintahan
juga banyak yang telah direformasi. Banyak jasa dan kemajuan dalam
pembangunan yang telah diukir oleh masing-masing khalifah Dinasti
Umayyah selama mereka berkuasa, diantaranya adalah mendirikan dinas
pos dan tempattempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap
dengan peralatannya di sepanjang jalan, penertiban angkatan
bersenjata dan mata uang, bahkan jabatan hakim (qadhi) menjadi
profesi tersendiri. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan ilmu
pengetahuan mendapat dukungan yang tingi dari masyaakat dan
pemerintah. Dalam makalah ini penulis mencoba mendiskripsikan
bagaimana sejarah berdirinya Dinasti Umayyah, khalifah-khalifah
Bani Umayyah, apa kemajuan yang dicapai dan apa yang mempengaruhi
kemunduran serta pola pendidikan Islam yang dikembangkan selama
masa pemerintahan Dinasti Umayyah.
II. SEJARAH BERDIRINYA DINASTI UMAYYAH
1
Bani Umayyah adalah salah satu dari keluarga suku Quraisy.
Keturunan Umayyah bin Abdul Syams bin Abdul Manaf, seorang pemimpin
suku Quraisy yang terpandang. Umayyah bersaing dengan pamannya,
Hasyim bin Abdul Manaf dalam merebutkan kehormatan dan kepemimpinan
masyarakat Quraiys. Umayyah dinilai memiliki cukup persyaratan
untuk menjadi pemimpin dan dihormati oleh masyarakat. Ia berasal
dari keluarga bangsawan kaya dan mempunyai sepuluh putra. Pada
zaman pra-Islam, orang yang memiliki ketiga kelebihan itu berhak
memperoleh kehormatan dan kekuasaan.1 Sebagian besar anggota
keluarga Bani Umayyah menentang Nabi Muhammad SAW yang menyampaikan
Islam, setelah Nabi Muhammad SAW pindah dari Makkah ke Madinah dan
berhasil mendapatkan pengikut di kota tersebut, sikap permusuhan
Bani Umayyah belum berakhir. Mereka memimpin orang Quraisy Makkah
untuk menentang dan memerangi Nabi SAW serta pengikutnya.
Peperangan pun terjadi beberapa kali, namun mereka tidak berhasil
mengalahkan Nabi SAW. Permusuhan Bani Umayyah berakhir setelah Nabi
SAW dan para pengikutnya berhasil memasuki Kota Makkah (tahun 8
H/630 M). Merasa tidak mampu melawan akhirnya Bani Umayyah menyerah
kepada Nabi SAW dan bersedia masuk Islam. Bani Umayyah tergolong
yang belakang masuk Islam. Setelah masuk Islam, mereka
memperlihatkan loyalitas dan dedikasi tinggi terhadap agama
tersebut. Dalam setiap peperangan yang dilakukan oleh kaum Muslimin
misalnya, mereka tampil dengan semangat kepahlawanan, seolah-olah
ingin mengimbangi keterlambatan mereka masuk Islam dengan berbuat
jasa besar kepada Islam. Karena sikap baik, ada diantara mereka
yang dipercayakan untuk menduduki jabatan penting. Muawiyah bin Abu
Sufyan (21 SH/602 M 60 H/600 M) misalnya pada masa Nabi SAW
diangkat menjadi penulis wahyu dan pada masa khalifah Umar bin
Khattab (421
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, (Jakarta: P. T.
Pustaka Al-Husna Baru, 2008), hlm. 21.
2
SH/581 M 23 H/644 M) diangkat pada tahun 641 sebagai Gubernur di
Suriah. Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan (47 SH/576 M 35
H/656 M). Bani Umayyah juga mendapat banyak keuntungan, pemberian
hadiah dan jabatan, kekuasaan yang membentang dari Suriah sampai
Pantai Laut Tengah. Ia memanfaatkan masa tersebut untuk
mempersiapkan diri dan meletakkan dasar pendirian sebuah dinasti.
Harapan itu lebih besar terbuka setelah Utsman bin Affan di bunuh
pada tahun 656 oleh para pemberontak yang menentang kebijakan
nepotisme dan penyalahgunaan harta baitul mal untuk keperluan
pribadi dan keluarga. Ketika Ali bin Abi Thalib (603 M 40 H/661 M),
yang diangkat oleh sahabat Nabi SAW di Madinah sebagai khalifah
pengganti Utsman, memerintahkan Umayyah untuk menyerahkan jabatan,
ia menolak. Sebaliknya, ia malah menuduh Ali terlibat dalam
pembunuhan Utsman atau paling tidak melindungi pemberotak yang
melindunginya. Sikap Muawiyah yang menentang Ali di pandang sebagai
pemberontakan terhadap pemerintah yang sah dan harus diperangi
sampai taat kembali, hingga akhirnya Ali dan pasukannya segera
berangkat untuk memerangi Muawiyah di Suriah. Sebelum pertempuran
itu terjadi, Ali mengutus delegasi, mengirim surat agar Muawiyah
mengakuinya serta bersatu dengannya. Namun usaha itu gagal dan
terjadilah peperangan dan hampir saja dimenangkan Ali, namun Amru
bin Ash dari Muawiyah mengangkat Al-Quran dengan tombak sebagai
simbol perdamaian. Kedua pihak setuju memilih seorang hakam
(perantara) sebagai perunding dan pencari jalan penyelesaian
sengketa. Pihak Muawiyah memilih Amru bin Ash dan dari Ali, Abu
Musa Al-Asyari (sahabat Nabi SAW, w. 72/53 H) yang disetujui
mayoritas penduduk Irak. Tahkim tersebut berakhir dengan kekecewaan
di pihak Ali. Ketika Abu Musa mengumumkan turunnya Ali dari
jabatannya, Amru bin Ash segera menyetujuinya dan menetapkan
Muawiyah sebagai khalifah. Tahkim ini jelas menguntungkan Muawiyah,
dan dari pihak Ali terjadi perpecahan
3
tentara yang menamakan Khawarij. Dan Khawarij berpendapat bahwa
yang terlibat dalam tahkim telah melakukan dosa besar hingga wajib
di bunuh/bertaubat. berhasil, Binu Rencana tersebut ternyata tidak
sepenuhnya berhasil Muljam (pengikut Khawarij) 661 hanya
membunuh Ali ketika Ali ke Masjid Kuffah. Adapun Muawiyah dan
Amru bin Ash selamat dari rencana tersebut. Sesudah wafatnya
khalifah Ali bin Abi Thalib, maka berarti habislah masa
kepemimpinan Khulafaur Rasyidin. Oleh karena itu masyarakat Arab,
Irak dan Iran mengangkat Hasan bin Ali untuk menggantikan kedudukan
ayahnya sehinga terjadilah pembaiatan oleh Qois bin Saad dan
diikuti tersebut maka oleh masyarakat Irak. Akan Muawiyah mengirim
tentara tetapi untuk permasalahan timbul karena pihak Muawiyah
tidak setuju dengan pembaiatan menyerang Kota Irak. Dengan
kebijaksanaan Hasan bin Ali maka peperang tersebut tidak terjadi,
hal ini dilakukan oleh Hasan agar pertumpahan darah yang lebih
besar dalam umat Islam bisa dihindari, namun Hasan bin Ali
mengajukan syarat-syarat kepada Muawiyah diantaranya adalah: 1.
Agar Muawiyah tidak menaruh dendam terhadap seorang pun dari
penduduk Irak 2. Agar pajak tanah negeri Ahwaz diberikan kepad
Hasan setiap tahun 3. Muawiyah membayar kepada saudaranya Husein
sebanyak 2 juta dirham 4. Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan
penduduk Irak 5. Pemberian kepada bani Hasyim haruslah lebih banyak
dari pada bani Abdu Syam 6. Jabatan khalifah sesudah Muawiyah harus
diputuskan berdasarkan musyawarah di antara kaum muslimin.2
2
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, (Jakarta: P. T.
Pustaka Al-Husna Baru, 2008), hlm. 30.
4
Menurut Ajid Thohir bahwa Dinasti Umayyah mulai terbentuk ketika
terjadi peristiwa tahkim dalam perang Siffin, yaitu suatu perang
yang bermaksud untuk menuntut balas atas kematian khalifah Utsman
bin Affan. Sebenarnya perang tersebut akan dimenangkan oleh
pendukung Ali bin Abi Thalib tetapi melihat gelagat kekalahan
Muawiyah segera mengajukan usul kepada pendukung Ali untuk kembali
kepada hukum Allah. Dalam peristiwa inilah Ali telah tertipu oleh
taktik dan siasat Muawiyah sehinga Ali kalah secara politis, oleh
karena itu Muawiyah mendapat kesempatan untuk mengangkat dirinya
sebagai khalifah sekaligus raja.3 Dengan demikian, secara resmi
penerimaan Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah setelah Hasan
bin Ali mengundurkan diri dari jabatan khalifah yang mendapat
dukungan dari kaum Syiah dan telah dipegangnya beberapa bulan
lamanya. Peristiwa kesepakatan antara Hasan bin Ali dengan Muawiyah
bin Abi Sufyan lebih dikenal dengan peristiwa Am al Jamaah dan
sekaligus menjadikan batas pemisah antara masa khulafaur rasyidin
(632-661 M) dengan masa Dinasti Umayyah (661-750 M). Walaupun
dengan menggunakan berbagai cara dan strategi yang kurang baik
yaitu dengan cara kekerasan, diplomasi dan tipu daya serta tidak
dengan pemilihan yang demokrasi Muawiyah tetap dianggap sebagai
pendiri Dinasti Umayyah yang telah banyak melakukan
kebijakan-kebijakan yang baru dalam bidang politik, pemerintahan
dan lain sebagainya Menurut Maidir dan Firdaus, selama memerintah
Muawiyah tidak mendapatkan kritikan oleh pemuka dan tokoh umat
Islam, kecuali setelah ia mengangkat anaknya Yazid menjadi putra
mahkota. Sebelum adanya peristiwa tersebut kondisi secara umum
tetap stabil dan terkendali sehingga Muawiyah dapat melakukan
beberapa usaha untuk memajukan pemerintahan dan perkembangan
Islam.43
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam,
Melacak akar-akar Sejarah, Sosial,
Politik, dan Budaya Umat Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, , 2004), Cet-1 h. 34.4
Maidir Harun, Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN-IB
Press, 2001), Cet-1, h. 81.
5
Muawiyah yang menjadi khalifah pertama yang berkuasa dalam
pemerintahan Dinasti Umayyah merubah sistem pemerintahan yang
bersifat demokrasi menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun
temurun). Hal ini tercermin ketika suksesi kepemimpinan Muawiyah
mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia kepada anaknya.
Muawiyah bermaksud menerapkan monarchi yang ada di Persia dan
Bizantium, walaupun dia tetap menggunakan istilah khalifah namun
pelaksanaannya banyak interpretasi baru dalam jabatan tersebut.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Muawiyah adalah
orang sangat berpengalaman dalam bidang politik dan mempunyai visi
dan misi serta tujuan yang sangat jauh kedepan untuk kemajuan
Dinasti Umayyah dan Umat Islam umumnya. Dinasti Umayyah berasal
dari dua keluarga, yaitu keluarga Harb bin Umayyah dan Abu al-Ash
bin Umayyah. Kebanyakan khalifahkhalifah Bani Umayyah adalah
berasal dari keluarga Abu al-Ash bin Umayyah. Adapun
khalifah-khalifah yang berasal dari keluarga Harb bin Umayyah
hanyalah Muawiyah, puteranya Yazid dan cucunya Muawiyah II. Para
khalifah Dinasti Umayyah seluruhnya berjumlah 14 orang yang telah
berkuasa mulai tahun 41- 132 H (661-750 M), mereka adalah: 1.
Muawiyah (41 H / 661 M) 2. Yazid I (60 H / 680 M) 3. Muawiyah II
(64 H / 683 M) 4. Marwan (64 H / 683 M) 5. Abdul Malik (65 H / 685
M) 6. Al Walid (86 H / 705 M) 7. Sulaiman (96 H / 615 M) 8. Umar
bin Abdul Aziz (99 H / 717 M) 9. Yazid II (101 H / 720 M) 10.
Hisyam (105 H /724 M)
6
11. 12. 13. 14.
Al Walid II (125 H / 742 M) Yazid III (126 H / 744 M) Ibrahim
(126 H / 744 M) Marwan II (132 H / 750 M).
Dari sekian banyak khalifah yang berkuasa pada masa Dinasti
Umayyah hanya beberapa khalifah saja yang dapat dikatakan khalifah
besar yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan, Abdul Malik bin Marwan, Al
Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz dan Hasyim bin Abdul
Malik. KHALIFAH-KHALIFAH BANI UMAYYAH Umayyah
Harb
Abul Ash
Abu Sufyan (1) - Muawiyah 41 60 H
Affan Usman
Al Hakam (4) -
Marwan 64 65 H (2) (3) Muhammad 65 86 H (8) Umar Marwan II 99
101 H 132 H 127 (14) - Yazid 60 64 H - Muawiyah II 64 H Abdul Aziz
(5) Abdul Malik
7
(6) Al Walid (10) - Hisyam 86 96 H 125 H
(7) Sulaiman 96 99 H
(9) Yazid II 105
101 105 H
(12) Yazid III 126 H
(13) Ibrahim 126 H
(11) Al Walid II 125 126 H
Dari jadwal di atas dapat kita lihat bahwa khalifah-khalifah
Daulan Umawiyah ada 14 orang, memerintah selama 91 tahun. Empat
orang khalifah diantaranya memegang kekuasaan selama 70 tahun.
Mereka adalah: Muawiyah, Abdul Malik, Al Walid dan Hisyam. Adapun
yang sepuluh orang lainnya hanya memerintah selama 21 tahun.5
III. DAULAH BANI UMAYYAH (MASA KEMAJUAN ISLAM) Masa
ke-Khilafahan Bani Umayyah hanya berumur 91 tahun yaitu dimulai
pada masa kekuasaan Muawiyah Bin Abi Sufyan, dimana pemerintahan
yang bersifat Islamiyyah berubah menjadi monarchiheridetis
(kerajaan turun temurun), yaitu setelah Hasan bin Ali menyerahkan
jabatan kekhalifahan kepada Muawiyah bin Abu Sufyan dalam rangka
mendamaikan kaum muslimin yang pada saat itu sedang dilanda fitnah
akibat terbunuhnya Utsman bin Affan, perang jamal dan penghianatan
dari orang-orang Khawarij dan syi'ah. Suksesi kepemimpinan secara
turun temurun dimulai ketika Muawiyah bin Abu Sufyan mewajibkan
seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid
bin Muawiyah. Muawiyah bin Abu Sufyan bermaksud mencontoh monarchi
di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah
khalifah, namun dia5
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, (Jakarta: P. T.
Pustaka Al-Husna Baru, 2008), hlm. 25.
8
memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk
mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya "khalifah Allah"
dalam pengertian "penguasa" yang diangkat oleh Allah.6 Ekspansi
yang terhenti pada masa khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib dilanjutkan kembali oleh daulah ini. Di zaman Muawiyah bin
Abu Sufyan, Tunisia dapat ditaklukkan. Di sebelah timur, Muawiyah
dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan
Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan
serangan-serangan ke ibu Kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi
ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah
Abdul Malik bin Marwan. Dia mengirim tentara menyeberangi sungai
Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm,
Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat
menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.7
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman AlWalid
bin Abdul Malik. Masa pemerintahan Al-Walid adalah masa
ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup
bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih
sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika
Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711
M. Setelah Al-Jazair dan Maroko dapat ditundukan, Thariq bin Ziyad,
pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang
memisahkan antara Maroko (Maghrib) dengan benua Eropa, dan mendarat
di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal
Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol
menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu Kota Spanyol, Kordova,
dengan cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain
seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu
6
Tentang perbedaan antara sistem pemerintahan masa khalifah
Rasyidah dan masa dinasti Umayyah ini, baca: Abu Ala Al-Maududi,
Khilafah dan Kerajaan, (bandung: Mizan, 1984). 7 Harun Nasution,
Op. Cit., hlm.61.
9
kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova.8 Pasukan Islam
memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari
rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman
penguasa. Di zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke
Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh
Abdurrahman bin Abdullah Al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang
Bordeau, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun,
dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, Al-Ghafiqi
terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping
daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut
Tengah (mediterania) juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani
Umayyah ini. Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik
di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah
ini betulbetul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol,
Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia
Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan,
turkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.9 Disamping ekspansi
kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan
di berbagai bidang. Muawiyah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat
tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya
di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan
bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus
seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri,
Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya. Abdul Malik mengubah
mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang
dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun
659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Khalifah Abdul
Malik juga berhasil8 9
melakukan
pembenahan-pembenahan
administrasi
Hassan Ibrahim Hassan, Op. Cit., hlm. 91. Harun Nasution, Islam
Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jakarta, UI Press, 1985, hlm. 62.
10
pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi
administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilan Khalifah Abdul-Malik
diikuti oleh puteranya Al-Walid bin Abdul Malik (705-715 M) seorang
yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan.
Dia membangun panti-panti untuk orang cacat. Semua personel yang
terlibat dalam kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara secara
tetap.10 Dia juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan
suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung
pemerintahan dan masjid-masjid yang megah. Meskipun keberhasilan
banyak dicapai daulah ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam
negeri dapat dianggap stabil. Karena Muawiyah dianggap tidak
mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan bin Ali ketika dia naik
tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian pemimpin
setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi
pengangkatan anaknya Yazid sebagai putera mahkota menyebabkan
munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang
mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan
berkelanjutan. Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di
Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid kemudian
mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa
penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua
orang terpaksa tunduk, kecuali Husein bin Ali dan Abdulah Bin
Zubair bin Awwam. Bersamaan dengan itu, kaum Syi'ah (pengikut
Abdullah bin Saba al-Yahudi) melakukan konsolidasi (penggabungan)
kekuatan kembali. Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh
Husein bin Ali. Pada tahun 680 M, ia berangkat dari Mekkah ke Kufah
atas tipu daya golongan Syi'ah yang ada di Irak. Umat Islam di
daerah ini tidak mengakui Yazid. Mereka berusaha menghasut dan
mengangkat Husein sebagai khalifah. Dalam pertempuran yang tidak
seimbang di Karballa, sebuah daerah di dekat10
A. Syalabi, Op. Cit., 2, hlm. 90-91.
11
Kufah, tentara dan seluruh keluarga Husein kalah dan Husein
sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus,
sedang tubuhnya dikubur di Karballa.11 Perlawanan orang-orang
Syi'ah tidak padam dengan sebab terbunuhnya Husein. Gerakan mereka
bahkan menjadi lebih keras, lebih gigih dan tersebar luas. Banyak
pemberontakan yang dipelopori kaum Syi'ah terjadi. Yang termashur
diantaranya adalah pemberontakan Mukhtar di Kufah pada tahun
685-687 M. Mukhtar (yang pada akhirnya mengaku sebagai nabi)
mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali (yaitu umat
Islam bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia dan lain-lain) yang
pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas dua.
Mukhtar terbunuh dalam peperangan melawan gerakan oposisi lainnya,
gerakan Abdullah bin Zubair.12 Namun, Ibnu Zubair juga tidak
berhasil menghentikan gerakan Syi'ah. Abdullah bin Zubair membina
gerakan oposisinya di Mekkah setelah dia menolak sumpah setia
terhadap Yazid. Akan tetapi, dia baru menyatakan dirinya secara
terbuka sebagai khalifah setelah Husein bin Ali terbunuh. Tentara
Yazid kemudian mengepung Madinah dan Makkah. Dua pasukan bertemu
dan pertempuran pun tak terhindarkan. Namun, peperangan terhenti
karena Yazid wafat dan tentara Bani Umayyah kembali ke Damaskus.
Gerakan Abdullah bin Zubair baru dapat dihancurkan pada masa
kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan. Tentara Bani Umayyah dipimpin
Hajjaj bin Yusuf AtsTsaqafi berangkat menuju Thaif, kemudian ke
Madinah dan akhirnya meneruskan perjalanan ke Makkah. Ka'bah
diserbu. Keluarga Zubai dan sahabatnya melarikan diri, sementara
bin Zubair sendiri dengan gigih melakukan perlawanan sampai
akhirnya terbunuh pada tahun 73 H/692 M.1311 12
Hassan Ibrahim Hassan, Op. Cit., hlm. 69. W. Montgomery Watt,
Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 1990), hlm. 23. 13 Ibid., hlm. 24.
12
Selain
gerakan
di
atas,
gerakan-gerakan
anarkis
yang
dilancarkan kelompok Khawarij dan Syi'ah juga dapat diredakan.
Keberhasilan memberantas gerakan-gerakan itulah yang membuat
orientasi pemerintahan dinasti ini dapat diarahkan kepada
pengamanan daerah-daerah kekuasaan di wilayah timur (meliputi
kotakota di sekitar Asia Tengah) dan wilayah Afrika bagian utara,
bahkan membuka jalan untuk menaklukkan Spanyol (Andalus). Hubungan
pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan
Khalifah Umar bin Abdul-Aziz (717-720 M). Ketika dinobatkan sebagai
khalifah, dia menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri
yang berada dalam wilayah Islam lebih baik daripada menambah
perluasannya.14 Ini berarti bahwa prioritas utama adalah
pembangunan dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat
singkat, dia berhasil menyadarkan golongan Syi'ah. Dia juga memberi
kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan
keyakinan dan kepercayaannya. Zakat diperingan. Kedudukan mawali
disejajarkan dengan muslim Arab. Sepeninggal Umar bin Abdul-Aziz,
kekuasaan Bani Umayyah berada di bawah khalifah Yazid bin
Abdul-Malik (720- 724 M). Namun sayang penguasa yang satu ini
terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan
kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya kepentingan terhadap
hidup etnis dalam politis, ketenteraman masyarakat bin dan
kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar
belakang dan menyatakan konfrontasi terus pemerintahan Yazid
Abdul-Malik. Kerusuhan
berlanjut hingga masa pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam
bin Abdul-Malik (724-743 M). Bahkan di zaman Hisyam ini muncul satu
kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani
Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang
didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman yang sangat
serius. Dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru ini,
mampu14
Ahmad Amin, Op, Cit., hlm. 104.
13
menggulingkan dinasti Umawiyah dan menggantikannya dengan
dinasti baru, Bani Abbas. Sebenarnya Hisyam bin Abdul Malik adalah
seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena
gerakan oposisi terlalu kuat khalifah tidak berdaya mematahkannya.
Sepeninggal Hisyam bin Abdul Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah
yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini
makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya, pada tahun 750 M,
Daulah Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu
Muslim Al-Khurasani. Marwan II bin Muhammad Al-Himar, khalifah
terakhir Bani Umayyah, melarikan diri ke Mesir, ditangkap dan
dibunuh di sana. IV. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Dinasti Bani
Umayyah Lemah dan Membawanya Kepada Kehancuran. Dinasti Umayyah
mengalami kemajuan yang pesat hanya pada dasawarsa pertama
kekuasaannya sedangkan pada tahun berikutnya sudah mengalami
kemunduran. Kemajuan yang terjadi pasa masa pemerintahan Muawiyah
sampai kepada Hisyam saja. Faktor-faktor itu antara lain adalah: 1.
Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu
yang baru (bidah) bagi tradisi Islam yang lebih menekankan aspek
senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidak jelasan sistem
pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang
tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.15 2. Latar
belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan
dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisasisa
Syi'ah (para pengikut Abdullah bin Saba al-Yahudi) dan Khawarij
terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa
awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa
15
Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London: Macmillan,
1970), hlm. 281.
14
pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap
gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah. 3. Pada
masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia
Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada
sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini
mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk
menggalang persatuan dan kesatuan.16 Disamping itu, sebagian besar
golongan mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian
timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali itu
menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa
Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.17 4. Lemahnya
pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup
mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak
sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi
kekuasaan. Disamping itu, para Ulama banyak yang kecewa karena
perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang. 5.
Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah
adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan
al-Abbas bin Abd al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh
dari Bani Hasyim dan dan kaum mawali yang merasa dikelas duakan
oleh pemerintahan Bani Umayyah.18 6. Timbulnya permasalahan sosial
yang menyebabkan orang non Arab dan suku Arabia Utara sehingga
dinasti Umayyah kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan.
Dengan Sebuah demikian yang dapat menjadi telah dibangun pengalaman
dengan tidak bagi baik setiap akan pemerintahan yang tidak baik
lambat atau cepat tetap akan runtuh. sistem menghasilkan produk
yang tidak baik juga.16 17 18
Syed Amer Ali, A Short History of the Saracens, (New Delhi,
Kitab Bhavan, 1981), hlm. 169-170. W. Montgomery Watt, Op. Cit.,
hlm. 28. Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2006), hlm. 49.
15
V. KEMAJUAN YANG DICAPAI Secara umum kemajuan dan perubahan yang
dilakukan pada masa dinasti Bani Umayyah sudah disinggung pada
pembahasan di atas. Namun untuk lebih jelasnya maka penulis akan
menguraikan halhal yang telah dilakukan oleh seluruh khalifah yang
berkuasa pada waktu itu, di antaranya adalah: 1. Pemisahan
kekuasaan. Pemisahan kekuasaan antara kekuasaan agama (spiritual
power) dengan kekuasaan politik (temporal power). Muawiyah bukanlah
seorang yang ahli dalam soal-soal keagamaan, maka masalah keagamaan
diserahkan kepada para ulama. 2. Pembagian wilayah. Pada masa
khalifah Umar bin Khattab terdapat 8 propinsi, maka pada masa
dinasti Umayyah menjadi 10 propinsi. Tiap-tiap propinsi dikepalai
oleh gubernur yang bertanggung jawab langsung kepada khalifah.
Gubernur berhak menunjuk wakilnya di daerah yang lebih kecil dan
mereka dinamakan amil. 3. Bidang administrai pemerintahan. Dinasti
Umayyah membenyuk beberapa diwan (departemen) yaitu: a.Diwan al
Rasail, semacam sekretaris jendral yang berfungsi untuk mengurus
surat-surat negara yang ditujukan kepada para gubernur atau
menerima surat-surat dari mereka. b. Diwan al Kharraj, yang
berfungsi untuk mengurus masalah pajak. c. Diwan al Barid, yang
berfungsi sebagai penyampai beritaberita rahasia daerah kepada
pemerintah pusat. d. Diwan al Khatam, yang berfungsi untuk mencatat
atau menyalin peraturan yang dikeluarkan oleh khalifah.
16
e. Diwan Musghlihat, yang berfungsi untuk menangani berbagai
kepentingan umum. 4. Organisasi keuangan. Percetakan uang dilakukan
pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan, walaupun pengelolaan
asset dari pajak tetap di baitul mal. 5. Organisasi ketentaraan.
Pada masa ini keluar kebijakan yang agak memaksa untuk menjadi
tentara yaitu dengan adanya undang-undang wajib militer yang
dinamakan Nidhomul Tajnidil Ijbary 6. Organisasi Kehakiman.
Kehakiman pada masa ini mempunyai dua ciri khas yaitu: a. Seorang
qadhi atau hakim memutuskan perkara dangan ijtihad b. Kehakiman
belum terpengaruh dengan politik 7. Bidang Sosial budaya. Pada masa
ini orang-orang Arab memandang dirinya lebih mulia dari segala
bangsa bukan Arab, bahkan mereka memberi gelar dengan Al Hamra. 8.
Bidang seni dan sastra. Ketika Walid bin Abdul Malik berkuasa
terjadi penyeragaman bahasa, yaitu semua administrasi negara harus
memakai bahasa Arab. 9. Bidng seni rupa. Seni ukir dan pahat yang
sangat berkembang pada masa itu dan kaligrafi sebagai motifnya. 10.
Bidang arsitektur. Telah dibangunnya kubah al Sakhrah di Baitul
Maqdis yang dibangun oleh khalifah Abdul Malik bin Marwan.
Mencermati sekilas tentang kemajuan yang telah dicapai oleh dinasti
Umayyah barang kali ada pesan yang dapat kita tangkap disini bahwa
ketika pemerintah mempunyai kemauan yang keras untuk
17
membangun .
negaranya
maka
rakyat
yang
dipimpinya
akan
mendukung semua program pemerintah tersebut VI. POLA PENDIDIKAN
ISLAM YANG DIKEMBANGKAN Di samping melakukan pengembangan wilayah
kekuasaan, pemerintah dinasti Umayyah juga memberi perhatian pada
bidang pendidikan. Hal ini dibuktikan dari kuatnya dorongan para
khalifah terhadap dunia pendidikan dengan menyediakan sarana dan
prasarana bagi para ilmuan, seniman, dan ulama untuk mengembangkan
semua bidang ilmu yang dikuasainya. Ilmu pengetahuan yang sudah
berkembang pada masa ini di antaranya adalah: 1. Ilmu agama, yaitu
Al-Quran, hadis, dan fiqh. Proses pembukuan hadis terjadi pada masa
khalifah Umar bin Abdul Aziz sejak saat itu hadis mengalami
perkembangan yang pesat. 2. Ilmu sejarah dan geografi, yaitu segala
ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup, kisah, dan riwayat.
Tokohnya adalah Ubaid bin Syariyah Al Jurhumi berhasil menulis
peristiwa sejarah. 3. Ilmu bahasa, yaitu segala ilmu yang berkaitan
dengan bahasa Arab seperti nahu, saraf dan lain sebagainya. 4. Ilmu
filsafat, yaitu ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa asing,
seperti ilmu mantic, kimia, astronomi, matematika, dan kedokteran.
Pola pendidikan pada masa dinasti Bani Umayyah sudah mengarah
kepada pendidikan yang bersifat desentralisasi, artinya pendidikan
tidak hanya terpusat di ibukota Negara saja tetapi sudah
dikembangan secara otonom di daerah yang telah dikuasai seiring
dengan ekspansi teritorial. Sistem pendidikan ketika itu belum
memiliki tingkatan dan standar umur. Kajian keilmuan yang ada pada
masa ini berpusat di Damaskus sebagai pusat kota pemerintahan,
Kuffah,
18
Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova dan beberapa kota lainya,
seperti Basrah, dan Irak, Damsyik dan Palestina, dan Fistat.(Mesir)
Melihat sejarah pertumbuhan ilmu pengetahuan yang ada pada masa
dinasti Umayyah, dapat difahami bahwa pada masa ini merupakan awal
dari perkembangan ilmu pengetahuan. Sebagaimana yang disampaikan
oleh Philip K. Hitti, masa pemerintahan dinasti Umayyah merupakan
masa inkubasi, maksudnya adalah masa ini peletakan dasar-dasar
kemajuan pendidikan selanjutnya dan intelektual Muslim berkembang
pada masa ini. Adapun bentuk dan lembaga pendidikan pada masa
dinasti Umayyah di antaranya adalah: 1. Pendidikan Istana, yaitu
pendidikan yang diselenggarakan dan diperuntukkan khusus bagi
anak-anak khalifah dan para pejabat pemerintahan. Kurikulum pada
pendidikan istana diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang
kendali pemerintahan atau hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan
keperluan dan kebutuhan pemerintah, maka kurikulumnya diatur oleh
guru dan orang tua murid. Hal ini dapat dilihat dari rencana dan
petunjuk yang diberikan oleh orang tua murid kepada guru agar
dijadikan acuan atau pedoman dalam mendidik anak-anak mereka.
Contoh pesanpesan tersebut di bawah ini: a. Wasiat Amru Utba kepada
pendidik putranya. Beliau berkata: Kerjamu yang pertama untuk
memperbaiki putra-putraku adalah memperbaiki dirimu sendiri, karena
mata mereka selalu terikat padamu. Apa yang kamu perbuat adalah
yang terbaik menurut pandangan mereka, dan yang buruk adalah yang
kamu tinggalkan. Ajarkanlah kepada mereka Al-Quran, tetapi jagalah
mereka agar tidak sampai bosan, karena kalau sampai demikian
Al-Quran itu akan meninggalkannya. Dan janganlah kamu dijauhkan
oleh Al-Quran, nanti mereka akan meninggalkan Al-Quran sama sekali.
Riwayatkanlah kepada
19
mereka hadits-hadits yang paling baik, dan syair yang paling
suci. Jangan kamu bawa mereka pindah dari suatu ilmu kepada ilmu
yang lain sebelum ilmu itu difahaminya dengan betul-betul. Sebab
ilmu yang bertimbun-timbun dalam otak sukar difahami. Ajarkanlah
kepada mereka jalan orang-orang yang bijaksana. Jauhkan mereka
berbicara dengan perempuan-perempuan. Jangan engkau bersandar
kepada kemaafanku karena aku pun telah menyandarkan sepenuhnya
kepada kecakapanmu. b. Wasiat Hisyam bin Abdul Malik kepada
Sulaiman al Kalbi, Dia berkata: Putraku ini adalah sepotong kulit
dari bagian dua mataku ini. Engkau talah saya angkat sebagai
pendidiknya karena itu hendaklah bertaqwa kepada Allah dan
melaksanakan apa yang telah dipercayakan kepada mu, pertama
latihlah dia dengan Kitabullah, kemudian riwayatkan syair yang
paling baik serta bawalah dia ke dusun-dusun untuk mengambil syair
yang baik, dan hendaklah diketahuinya yang halal dan haram begitu
juga berpidato dan cerita peperangan. c. Wasiat Abdul Malik bin
Marwan kepada pendidik putranya, Ajarkanlah kepada mereka berkata
benar di samping mengajarkan Al-Quran. Jauhkanlah mereka dari orang
jahat karena orang tersebut tidak mengindahkan perintah Tuhan dan
tidak berlaku sopan. Jauhkan pula mereka dari khadam dan pelayan,
karena pergaulan khadam dan pelayan itu dapat merusak moralnya.
Lunakkanlah perasaan mereka agar keras pundaknya. Berilah mereka
daging agar mereka berbadan kuat. Ajarkanlah syair kepada mereka
agar mulia dan berani. Suruhlah mereka bersugi dengan melintang dan
minum air dengan dengan menghirup tidak pelan-pelan, Dan bila
jangan kamu diminumnya senonoh.
menegurnya maka hendaklah dengan tertutup jangan sampai
20
diketahui
oleh
pelayan
dan
tamu
agar
mereka
tidak
dipandang rendah oleh mereka. 2. Pendidikan Kuttab, yaitu tempat
belajar menulis. Pada masa awal Islam sampai pada era khulafaur
rasyidin dalam pendidikan di Kuttab secara umum tidak dipungut
bayaran alias gratis, akan tetapi pada masa dinasti Umayyah ada di
antara pejabat yang sengaja menggaji guru dan menyediakan tempat
untuk proses belajar mengajar. Adapun materi yang diajarkan adalah
baca tulis yang pada umumnya diambil dari syair-syair dan pepatah
Arab. 3. Pendidikan pengetahuan Masjid, terutama yaitu yang tempat
pengembangan keagamaan. ilmu Pada bersifat
pendidikan masjid ini terdapat dua tingkatan yaitu menegah dan
tinggi. Materi pelajaran yang ada seperti Al-Quran dan tafsirnya,
hadis dan fiqh serta syariat Islam. 4. Pendidikan Badiah, yaitu
tempat belajar bahasa Arab yang fasih dan murni. Hal ini terjadi
ketika khalifah Abdul Malik bin Marwan memprogramkan arabisasi maka
muncul istilah badiah, yaitu dusun badui di Padang Sahara mereka
masih fasih dan murni sesuai dengan kaidah bahasa Arab tersebut.
Sehingga banyak khalifah yang mengirimkan anaknya ke badiah untuk
belajar bahasa Arab bahkan ulama juga pergi ke sana di antaranya
adalah Al Khalil bin Ahmad. 5. Pendidikan Perpustakaan, pemerintah
dinasti Umayyah mendirikan perpustakaan yang besar di Cordova pada
masa khalifah Al Hakam bin Nasir. 6. Majlis Sastra/Saloon
Kesusasteraan, yaitu suatu majelis khusus yang diadakan oleh
khalifah untuk membahas berbagai ilmu pengetahuan. Majelis ini
sudah ada sejak era khulafaur rasyidin yang diadakan di masjid.
Namun pada masa dinasti Umayyah pelaksanaannya dipindahkan ke
istana dan hanya dihadiri oleh orang-orang tertentu saja.
21
7. Bamaristan, yaitu rumah sakit tempat berobat dan merawat
orang serta tempat studi kedokteran. Cucu Muawiyah Khalid bin Yazid
sangat tertarik pada ilmu kimia dan kedokteran. Ia menyediakan
sejumlah harta dan memerintahkan para sarjana Yunani yang ada di
Mesir untuk menerjemahkan buku kimia dan kedokteran ke dalam bahasa
Arab. Hal ini menjadi terjemahan pertama dalam sejarah sehingga al
Walid bin Abdul Malik memberikan perhatian terhadap bamaristan.
Sedangkan pendidikan untuk umum merupakan kelanjutan dari
pendidikan yang telah dilaksanakan sejak zaman Nabi Muhammad SAW
masih hidup, ia merupan sarana pendidikan yang sangat penting bagi
kehidupan agama. Dalam pertumbuhan dan perkembangannya mempunyai
hubungan yang sangat erat dengan kehidupan Islam secara umum yang
ada kaitannya dengan peri kehidupan umat Islam sendiri. Dengan
demikian, tidaklah mengherankan bila usaha kegiatan pendidikan dan
pengembangan ilmu memperoleh kesempatan yang baik. Format
pendidikan pada masa khulafaur rasyidin dan Umayyah masih terjadi
dalam dunia pendidikan saat ini. Sebagaimana pola pengajaran dengan
sistem kuttab, tempat anak-anak belajar membaca dan menulis Al
Quran serta ilmu agama lainnya. Sistem dengan pola ini bertempat di
rumah guru, istana, dan masjid. Menurut hemat penulis bahwa pola
pendidikan pada masa dinasti Umayyah dapat dibagi menjadi dua yaitu
pendidikan istana yang khusus dan terbatas untuk anak-anak khalifah
dan keluarganya kemudian pendidikan untuk umum yang disediakan bagi
masyarakat. Karena visi dan misi serta tujuan masing-masing
pendidikan keduanya berbeda oleh karena itu sistem dan kurikulumnya
berbeda pula. Dari beberapa penjelasan di atas maka penulis
menyimpulkan bahwa pola pendidikan Islam pada masa pemerintahan
Umayyah sudah terjadi perkembangan dibanding pada masa
sebelumnya,
22
Walaupun sistem yang dilaksanakan masih menggunakan cara yang
lama. Hal ini disebabkan karena luas wilayah kekuasaan dinasti
Umayayh sudah begitu luas mencapai tiga benua. VII. PANDANGAN UMUM
ATAS PEMERINTAHAN BANI UMAYYAH Pandangan umum ini akan memudahkan
kita untuk memahami perkembangan masa Umayyah secara global,
menganalisa prinsipprinsipnya secara umum, membedakan kelebihan dan
kekurangannya serta kebaikan dan keburukannya. Ini semua disajikan
secara global dan sepintas kilas supaya kita mengetahui gambaran
umum pada masanya, dan mejadi jelas bagi kita perjalanan
pemerintahannya dengan segala paham yang melingkupinya. Pandangan
ini meliputi semua masa pemerintahan Bani Umayyah kecuali satu
masa, yaitu masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Masa ini berbeda
dengan yang lainnya, sebuah masa yang ingin mengadakan perbaikan
dan pembaharuan secara mendasar, dapat dikatakan masa ini lebih
menyerupai masa Abbasiyah bukannya Umayyah. Sedangkan perbedaan
antara keduanya sangat mencolok sebagai mana kita ketahui bersama.
Jalan terbaik untuk menentukan pandangan global atas pemerintahan
Umayyah adalah dengan menjelaskan: 1. Bentuk pemerintahan yang
diambil beserta pilar-pilarnya 2. Politik perekonomian 3. Fanatisme
golongan dan paham kasta dalam kehidupan sosial 4. Fanatisme agama
dan sikapnya atas penerapan syiar agama 5. Usahanya dalam
peradaban, keilmuan dan pertanian 6. Permusuhan-permusuhan yang
melingkupinya 7. Masuknya duri dalam inti sistem perencanaannya 8.
Kedudukan Bani Umayyah dalam sejarah Islam dan Arab.
23
Pertama yang ingin penulis sampaikan adalah bahwa apa yang
terpatri dalam pribadi kekekalan, pemerintahan mempertahankan
khalifah Bani Umayyah yang berupa sifat cinta jalannya Umayyah
Negara. selalu Begitulah bekerja mencapainya setiap untuk dan
mempengaruhi
kedudukannya,
berusaha
menggunakan segala kekuatan untuk dapat mempertahankannya. Maka
rencana-rencananya harus kita ketahui melalui usahanya untuk
mempertahankan diri dan metode yang dipakai untuk mencapainya.
Memang, belum begitu jelas perencanaan yang dipakai Bani Umayyah
untuk mempertahankan diri, mungkin karena memang mereka tidak
merencanakannya, tapi kita dapat mengungkapnya melalui alur
sejarah. Kita dapat membayangkan diri kita berada pada masanya
untuk mengetahui dan perencanaan yang telah dibuat. Masa-masa
sebelum sebelumnya kejadian-kejadian yang berlangsung
masanya memberitahukan kepada Bani Umayyah hal-hal berikut: 1.
Tiga Khulafaur-rasyidin telah mati dibunuh, yaitu Umar, Utsman dan
Ali. 2. Terbunuhnya Utsman adalah sudah terencana dengan rapi
dengan dasar bahwa setiap masyarakat boleh mengambil haknya dan
bisa menghakimi penguasa. 3. Ali tidak berhasil dalam
pemerintahannya karena orang disekitarnya ikut menentukan kebijakan
Negara, bahkan lebih berpengaruh daripada pendapat Ali sendiri. 4.
Dan ini yang terpenting: Sesungguhnya berpartisipasi dalam
mengambil memusuhi. Setelah memikirkan ini semua, Bani Umayyah
tidak ingin terjadi terhadapnya apa yang pernah terjadi atas dua
khalifah Rasyidun yang terakhir. Jadi keberlangsungan pemerintahan
Umayyah tergantung pada peletakan dasar pemerintahan yang dapat
mencegah terjadinya kebijakan negara, walaupun bagus bagi para
sahabat, tapi tidak bagus bagi masyarakat badui yang selalu
24
makar dan dapat mencegah pembunuhan terhadap khalifah serta
dapat menghilangkan dominasi penduduk pedalaman yang memusuhi. Para
khalifah Bani Umayyah tidak perlu jauh-jauh mencari sebuah model
pemerintahan yang sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Sistem
Byzantium sesuai dengan keinginannya. Muawiyah telah menetapkan
dirinya, sebelum berangkat berperang dengan Ali, menetapkan diri
bahwa dirinyalah satu-satunya pemimpin di Damaskus. Ia menetapkan
hanya idenyalah yang dipakai, tidak boleh ada ide lain kecuali yang
ia setujui. Kemudian ketika ia menjadi khalifah, bertambah kuatlah
ia untuk memakai gaya pemerintahan ini. Bahkan ia jadikan sistem
tersebut sebagai sistem pemerintahan paten yang harus dianut. Pada
saat itu Muawiyah berpikiran bahwa bentuk pemerintahan yang sesuai
dengan prinsip ketahanan negara adalah sistem tunggal yang
kebijakan hanya pada satu orang yaitu raja. Ia bukanlah sistem
musyawarah umum, akan tetapi sistem syura ini, pada masa Muawiyah
telah menjadi bentuk baru, yaitu musyawarah hanya pada golongan
tertentu yang berisi para cendikia, para ulama dan pembesar
kerajaan. Keberlangsungan pemerintahan juga harus ditopang dengan
cara pengetahuan akan khalifah berikutnya sebelum wafatnya khalifah
yang berkuasa. Pengetahuan ini untuk mencegah adanya perselisihan
dan perpecahan antara kaum muslimin. Hal ini berarti, baiat harus
sudah berlangsung kepada putra mahkota terpilih pada suatu masa
pemerintahan. Negara Bani Umayyah menggunakan sistem pewarisan
tahta ini karena keinginan kuatnya atas kekekalan dan ketahanan
negara. Sistem pemerintahan ini berpengaruh atas kas negara, harta
negara ini harus dibelanjakan untuk kepentingan negara,
Keberlangsungan negara menjadi kepentingan utama maka kas harus
dibelanjakan untuk keutuhannya. Harta ini merupakan sebuah sarana
pemerintahan, pengumpulan dan pembagiannya pada masa Umayyah masih
Islami akan tetapi pengelolaannya tidak jelas kecuali pada masa
Umar bin
25
Abdul Aziz. Pada masa Umayyah, harta merupakan sendi negara yang
sensitif, para khalifah banyak yang menyelewengkan penggunaannya
untuk menarik simpati. Di antara hak para tentara adalah dikasih
upah. Benar mereka dikasih upah, tetapi selain upah ini hanya
khalifah yang boleh membelanjakan uang. Maka gaji pegawai negara
tidak sama, ada yang banyak dan ada yang sedikit. Ia memakai
prinsip perbedaan gaji pegawai, perbedaan ini tidak sama dengan apa
yang dilakukan Umar bin Khattab yang berdasarkan atas jasa dan
perjuangan dalam membela Islam. Tetapi khalifah untuk Umayyah
memberikan sebagai gaji ganti berdasarkan perjuangan membela
negara
membela Islam, dalam pandangan Bani Umayyah negara adalah
perwujudan Islam dan menjadi payungnya. Prinsip ketahan negara
dalam masa Umayyah, memaksa masyarakat untuk bersikap fanatik.
Fanatisme ini menjadi pondasi negara sekaligus penyangganya, sikap
fanatik ini yaitu fanatik terhadap masyarakat Syam karena negara
Umayyah berdirii atas jasa mereka. Merekalah yang berpartisipasi
dalam perang melawan Ali dan Husain. Supaya negara tetap kuat maka
harus selalu bersama mereka dan selalu ditempatkan sebagai garda
depan pada setiap pertempuran. Ini fanatik pada segi khusus, lalu
fanatis ini berkembang dan menjadi sebuah mata rantai yang
berdasarkan atas urutan kepentingan dan kedudukan suatu masyarakat.
Mata rantai fanatisme ini dapat digambarkan seperti berikut:
Khalifah merupakan penguasa tunggal dengan keluarga besar Bani
Umayyah. Golongan ini mendapat posisi paling tinggi, mereka berhak
atas sesuatu yang tindak menjadi hak golongan lain. Kemudian
golongan kedua adalah masyarakat Arab Syam. Mereka mendapat hak
lebih daripada golongan Arab lain serta mendapat bagian harta lebih
daripada yang lain. Posisi setelah masyarakat Arab Syam adalah
untuk kaum Arab lain, sedangkan kaum A'jam dan warga keturunan
tidak memiliki kedudukan sebagaimana kaum Arab. Inilah fenomena
yang muncul
26
pada
masa
Umayyah
secara
umum.
Benar,
mereka
telah
mempekerjakan warga keturunan sebagai pegawai-pegawai kerajaan
khususnya pada bagian pegawai pajak, tetapi mereka hanyalah pegawai
rendahan, bukannya pejabat. Mereka juga dipekerjakan pada bagian
pengadilan, tetapi hanya dalam jumlah sedikit, kemudian kasta
terakhir adalah kalangan rakyat jelata yang non-muslim. Itulah
strata sosial pada masa Umayyah. Dari yang paling rendah, kafir
Dzimmi lalu keturunannya, lalu kaum Arab selain penduduk Syam, lalu
kaum Arab Syam, lalu keluarga Umayyah dan yang paling tinggi adalah
Khalifah. Sistem ini menjadi sistem negara. Apabila fenomena ini
dihubungkan dengan prinsip ketahanan negara, maka pemerintahan Bani
Umayyah dipegang sendiri oleh mereka dan keluarga yang berpihak
padanya sejak masa Utsman bin Affan, pemerintahan didominasi kaum
Arab Syam, khususnya Bani Kalb yang menjadi penopang khilafah Bani
Umayyah. Begitu juga dominasi selanjutnya adalah bagi kaum Arab
secara umum, sedangkan warga keturunan sebenarnya tidak menyukai
Bani Umayyah atau kaum Arab. Begitu juga Bani Umayyah tidak menaruh
kepercayaan kepada mereka. Ada kemungkinan bahwa pengutamaan
terhadap kaum Arab pada pemerintahan Umayyah ini bukan murni
inisiatif Bani Umayyah, akan tetapi berasal dari masa
Khulafaur-rasyidin. Khalifah Umar, dalam pandangannya, ia
membedakan antara Arab dan bukan Arab, kaum Arab dalam pandangannya
merupakan sendi pertama Islam. Semua orang Arab harus masuk Islam
walaupun terlambat, misalnya seorang Nashrani dari Bani Taglab
-salah satu kabilabArab- darinya tidak dipungut jizyah, tetapi
dipungut darinya zakat yang berlipat, dan baginya tidak boleh
memasukkan anak-anaknya ke dalam agama Nashrani.19 Dari sini Bani
Umayyah juga berprinsip sama, yaitu mengutamankan bangsa Arab dari
lainnya, bukan karena fanatisme
19
Abu Yusuf, Al-Kharaj, cetakan As-Salafiyah 1302, hlm.
120-122.
27
akan tetapi untuk membela dan melindungi ideologi Islam yang
telah menjadi agama bangsa Arab. Masih ada hal lain yang menjadi
penyebab fanatisme Arab pada pemerintahan Umayyah, yaitu bahwa Bani
Umayyah hanya fanatik terhadap sesuatu yang dianggap kuat sebagai
sandaran sedangkan kaum Arab adalah pejuang yang tangguh.
Ditangannya terdapat kepemimpinan, darinya berdiri sebuah bangsa
pejuang. Adapun selain Arab hanyalah rakyat jelata yang
berpekerjaan biasa, maka fanatis terhadapnyatidak dapat diharapkan
apa-apa. Pembelaan terhadap kaum Arab ini diiringi dengan pemakaian
bahasa mereka sebagai bahasa nasional secara menyeluruh. Bahasa
Arab adalah bahasa administrasi, perniagaan, keilmuan dan
pemerintahan seara umum. Disini kita dapat melihat Arabisasi yang
berlangsung pada masa Umayyah, yaitu pemakaian bahasa Arab pada
semua bidang kehidupan. Walaupun demikian, disamping pembelaan
besar terhadap Arab, Islam tetap menjadi pilar utama bangsa
Umayyah. Pemerintahan Umayyah berdiri atas dasar ayat-ayat Al-Quran
yang dijadikan hujjah, lalu dijadikan dasar untuk membela diri dan
untuk mencapai apa yang diinginkan. Pemerintahan Umayyah berdiri
atas dasar Islam dan ia tak dapat melepaskan baju Islam ini,
walaupun banyak yang mengatakan sebaliknya. Sesungguhnya dasar
Negara Umayyah adalah Islam dan tidak mungkin selain Isla,
orang-orang yang berkumpul bersama Muawiyah untuk memerangi Ali.
Mereka berkumpul atas dasar pikiran umtuk menuntut balas kematian
Utsman, dan mengembalikan khilafah kepada bentuknya yang asli.
Kenyataanya, agama Islam merupakan pondasi pemerintahan Umayyah.
Tidak ada khalifah diantara mereka yang dikenal kafir atau zindiq,
bahkan mereka memerangi zindiq, kekafiran dan bid'ah. Benar,
sebagian mereka ada yang terjerumus dosa besar, tetapi bukan karena
mengingkari ayat Allah melainkan karena bertindak gegabah. Tiga
28
khalifah yang dikenal peminum arak, yaitu Yazid I, Yazid II dan
Al-Walid bin Yazid. Jika benar demikian, maka mereka menjadi
peminum arak ini bukanlah kafir terhadap Islam atau ayat-ayatnya
melainkan karena ceroboh dan suka kenikmatan dunia. Akan tetapi
sikap mereka ini dibesar-besarkan oleh para musuhnya dan dianggap
sebagai zindiq atau kafir. Begitu juga kabar yang tersebar mengenai
mereka ditambah-tambahi. Dengan hal yang sebenarnya tidak mereka
lakukan. Sejak awal Islam telah menjadi pondasi bagi pemerintahan
Umayyah, hanya saja karena pengaruh kepemimpinan tunggal yang
dianutnya, ia memahami dasar-dasar hukum Islam tidak sama dengan
apa yang dipahami Abu Bakar dan Umar. Itu karena pandangan Bani
Umayyah terhadap pemerintahn berbeda dengan pandangan Khulafaur
Rasyidun. Kekuasaan menurut mereka adalah kekuasaan tunggal.
Khslifsh menurut mereka adalah bayang-bayang Tuhan di bumi, maka
tidak ada pengawasan satupun terhadap khalifah terhadap kinerjanya.
Rakyat tidak boleh berpendapat atau berselisih dengan perintah
khalifah. Para khalifah Umayyah juga menjalankan syiar-syiar agama,
mereka menyiarkannya pada banyak kesempatan, mereka juga
menjalankan pemerintahannya sesuai dengan alur Islam dan menilai
dirinya sesuai Islam. Akan tetapi ketika mereka telah
mengeluarkankeputusan, maka tidak boleh ada seorangpun yang
menilainya kecuali Allah. Rakyat tidak boleh menilai khalifah dan
keluarganya atas apa yang mereka kerjakan. Mereka berpandangan
bahwa apa yang terjadi atau Utsman tidak boleh terulang kembali,
yaitu khalifah dinilai oleh segolongan masyarakat. Menurut Bani
Umayyah, orang-orang yang memusuhi khalifah dan menilai kinerjanya
maka dianggap telah berbuat makar, maka boleh diperangi dan
dibunuh. Begitulah, pemerintahan Islam ketika dipegang Bani Umayyah
berubah dari pemerintahan agama menjadi pemerintahan temporal yang
berpegang pada agama. Bani Umayyah dianggap pemerintah bagi kaum
mukminin, khalifah dan raja bagi mereka. Akan tetapi Bani
29
Umayyah bukanlah imam seperti pengertian imam kaum Alawiyin,
penguasa Bani Umayyah tetap menjadi imam shalat, tetapi mereka
bukanlah seorang yang mujtahid atau ulama agama. Dengan demikian
rengganglah hubungan antara pemerintahan dan ijtihad agama,
khalifah lebih cocok disebut raja daripada disebut imam. Secara
umum dapat dikatakan, semua pemimpin Umayyah -kecuali satu-
berpandangan bahwa penguasa tidak bertanggung jawab di hadapan
rakyat atas kinerjanya. Rakyat tidak boleh menilai apa yang
pemimpin lakukan. Ada kecendrungan bahwa pandangan Umayyah ini
bersumber pada pandangan Murji'ah, yaitu pandangan bahwa manusi
tidak bisa menghukumi pekerjaannya, semua dikembalikan kepada
Allah, hanya Allah-lah yang bisa menghukumi pekerjaan manusia,
mereka menunggu penghitungan dari-Nya. Yang dituntut atas manusia
hanyalah keimanan. Barangsiapa yang menyatakan keislamannya maka ia
termasuk seorang muslim. Ini adalah madzhab Al-Ja'ad bin Dirham.
Kenyatannya khalifah terakhir, Marwan Al-Hammar mengambil pendapat
ini. Hanya saja dialah satu-satunya yang berbuat demikian diantara
kaumnya dan ia tercela sebabnya. Secara umum bukan berarti
masyarakat tinggal diam dengan kejelekan-kejelekannya, karena Allah
akan menghukumi, bukan demikian. Yang benar adalah bahwa masyarakat
sama sekali tidak boleh menilai apa yang dikerjakan khalifah. Bani
Umayyah memandang penguasa dengan pandangan terhormat, ia adalah
bayang-bayang tuhan di bumi sebagaimana dikatakan Abdul Malik bin
Marwan, maka tidak boleh ada yang mengkritik. Pandangan ini
merupakan pandangan seorang raja yang otoriter. Pandangan ini juga
dianut masyarakat yang berketurunan Umayyah. Sedangkan kepada
golongan lain, Bani Umayyah berpikiran bahwa prinsip ini tidak
boleh diterapkan. Mereka tidak boleh memakai pandangan Murjiah,
mereka tidak boleh terhanyut dengan kejelekan, tetapi wajib
melaksanakan syiar-syiar agama secara utuh. Syiar-syiar agama ini
dikumandangkan pada masa Umayyah. Rakyat tidak boleh
30
berbuat
zindiq
atau
bidah.
Buktinya
pemerintahan
Umayyah
memerangi madzhab yang tidak sejalan dengan madzhab Salaf
seperti madzhab Qadariyah. Jadi sikap Bani Umayyah terhadap pemuka
agama telah jelas, mereka menghormatinya dan member dorongan
terhadapnya, hanya saja tidak boleh berselisih pendapat dengan
penguasa. Setelah ini semua, mereka adalah kaum muslimin yang
tangguh, yang menyebarkan Islam ke segala penjuru, yang
melaksanakan syiar jihad dengan baik, mereka mengirimkan tentara ke
semua tempat, bahkan dua pemuda keluarga Umayyah ikut di garda
depan pasukan penakluk. Tidak diragukan bahwa sikap mereka ini
adalah demi kepahlawanan, agama dan mashlahat, dengan syiar jihad,
akan mencegah masyarakat berselisih dan bercerai-berai. Jihad
merupakan syiar agama yang agung, pelakunya akan diberi pahala di
dunia dan akherat. Ia mengobarkan perjuangan dan membakar semangat.
Salahsatu manfaatnya adalah mendapat harta rampasan perang walaupun
ini sebenarnya bukan tujuan asli. Pasukan Romawi misalnya, yang
banyak terkenal terkuras dengan darinya ketangguhan karena dan
keberaniannya. dengannya tidak Menghadapinya tidak begitu
menguntungkan, bahkan kas Negara peperangan membuahkan hasil bahkan
banyak yang mengalami kekalahan, apalagi ketika penaklukan
Konstatinopel yang merupakan target akhir baginya. Bani Umayyah
sangat bangga dengan keislamannya. Mereka ingin mengibarkan bendera
Islam ke semua tempat. Terserah mau dianggap politis, agamis atau
oportunis, yang jelas pemerintahan Umayyah sangat mengagungkan
Islam. Pemerintahan Umayyah sangat berambisi menjadi Negara
adidaya, mereka tidak ingin tersaingi bangsa lain. Mereka berambisi
menguasai seluruh negari dan membangun kekaisaran agung. Jika kita
lihat politik Umayyah dalam dua segi yaitu, Islam dan Arabisme,
maka akan kita dapatkan bahwa negaranya adalah Islamis dan Arabis
sekaligus, yaitu perpaduan antara Islam dan Arab. Dalam
31
pandangannya Islam merupakan syariat praktis, hokum, akidah dan
syiar-syiar agamis, sedangkan Arab merupakan darah dan bahasanya.
Semia ini bersatu padu dalam sebuah wadah yaitu Negara Islam Arab.
Pemerintahan Umayyah mengatur Negara, hubungan, nasionalisme dan
paham-pahamnya atas dasar prinsip yang kuat dan realistis, yaitu
prinsip ketahanan dan kekekalan Negara. Setiap paham yang bersandar
atas prinsip ini maka akan dibiarkan survive sedangkan yang
menentangnya maka akan dibebaskan. Jadi siasat Umayyah ini
merupakan siasat yang realistis untuk kepentingan stabilitas
Negara. Walaupun Bani Umayyah, sejak awal pemerintahan sampai
akhir, memusatkan pikiran untuk merencanakan strategi stabilitas
Negara, tapi sebenarnya ini bukan hanya untuk kepentingan
pribadinya. Strategi tersebut juga untuk kepentingan untuk
keilmuan. Islam, Arab dan keperadaban. membangun, Disamping cinta
seni, berusaha sastra dan keberlangsungan Ini merupakan
kekuasaannya, mereka juga terkenal dengan generasi yang gemar
karakteristik yang patut dibanggakan, mereka merupakan segolongan
Arab yang berperadapan, sebagaimana dikisahkan oleh sejarah Arab
kepada kita mengenai peradaban Yaman, dan Syam sebelum Islam.
Begitu juga yang disebutkan sejarah Islam kepada kita mengenai
beberapa golongan Arab seperti Bani Hamadan, Umawiyyin di Andalusia
dan beberapa Negara bagian. Golongan-golongan Arab ini sangat
perhatian terhadap peradaban, pembangunan dan kesenian. Mereka
perhatian terhadap sastra dan keindahan syair. Selain itu keilmuan
juga diperhatikan, para pakar dan ulamanya diberi dorongan untuk
mengembangkan keilmuannya. Sejak lama, karakteristik Bni Umayyah
dalam kesenian ini banyak diragukan, akan tetapi sejarah kesenian
dan pembangunan pada masanya membuktikan bahwa salah satu masanya
menunjukkan kedalaman seni yang tidak dipunyai generasi lain.
Muawiyah misalnya, ia membangun istana hijau pada masa Utsman,
untuk membangunnya ia banyak menghabiskan harta sehingga Abu Dzar
Al-Ghifari
32
menuduhnya dengan salah satu dari dua hal: menghambur-hamburkan
uang jika biaya pembangunan berasal dari uang pribadinya, atau
berkhianat jika ternyata pembangunannya bukan berasal dari
kantongnya sendiri.20 Bukti lain adalah istana dipedalaman, seperti
istana Amrah dan lainnya, kemegahan model bangunan, ruanganruangan
dan pagar-pagarnya menunjukkan bahwa Bani Umayyah masuk Madinah
lewat pintu-pintu yang lebar nan luas. Apalagi kemegahan yang
ditunjukkan Masjid Damaskus yang merupakan keajaiban seni tiada
banding. Adapun dalam hal keilmuan, sejarah Bani Umayyah telah
masyhur, tak perlu diragukan lagi. Sejak awal berdirinya,
pemerintahan Umayyah telah menaruh perhatian besar terhadap
keilmuan, mereka mendirikan Baitul Hikmah, yaitu gedung pusat
kajian dan perpustakaan, perhatian terhadap gedung ini berlanjut
sampai
generasi Marwan, bahkan dalam perjalanan dan peperangannya pun
mereka mempertanyakan dan memperhatikan keadaannya, Muawiyahlah
pencetus pendidikan dasar dalam bentuk persekolahan.21 Merekalah,
Bani Umayyah yang mendirikan pusat penelitian di Damaskus.22 Pusat
penelitian ini berarti sebuah ruangan yang luas untuk kegiatan
ilmiah karena sebuah pusat penelitian memerlukan perangkat komplit,
pengalaman dan keilmuan yang mendalam. Pengetahuan dasar pada
masanya merupakan yang terbaik. Misalnya, sebuah buku yang berjudul
Masrjuih mereka terjemahkan ke dalam bahasa Arab. Ternyata
terjemahannya ini membuat kagum banyak orang, termasuk Ibnu
Fadlullah Al-Amri yang berkomentar, Buku ini sungguh tajam
bahasanya, kokoh bagai batu karang, tidak diterjemah kecuali persis
aslinya, dan dijelaskan sesuai maknanya, tidak melampau makna yang
dikandungnya, tapi dipindah ke dalam bahasa
20 21 22
Al-Baladzuri, Ansab al Asyraf, juz 5, hal. 53. Mahasin
al-Wasail, Al-Sibli, naskahnya terdapat pada Pusat Kajian Ilmiah
Damaskus, bagian 65. Dreyer, A History of Astronomy, Percetakan
Dovier 1953, hal. 245-246.
33
lain berdasarkan persesuaian yang ada. Maka dengan demikian buku
ini sungguh elok pengungkapannya.23 Perkataan ini berarti bahwa
terjemah tersebut merupakan yang terbaik pada masa Umayyah dan itu
sungguh mengagumkan. Banyak juga karangan yang murni bahasa Arab.
Walau kebanyakannya telah hilang ditelan zaman, tapi sejarah yang
ada mengabarkan kepada kita tentangnya. Sebagai contoh, Ghailan
Al-Qadri yang menulis buku sebanyak dua ribu halaman yang apabila
dijilidkan maka bias mencapai sepuluh jilid.24 Contoh lain adalah
Al-Walid bin Yazid sendiri yang mengumpulkan sastra Arab,
syair-syairnya, berita-beritanya dan sejarahnya.25 Washil bin Atha
menulis buku dengan judul Qimathrain Min Al-Kutub Fi Al-Kalam.26
Semua ini memberitakan kepada kita tentang kajian keilmuan dan
produktivitasnya. Sedangkan telah lama kita menyangka bahwa masa
Umayyah tidak terdapat penyusunan buku. Dalam bidang kemasyarakatan
dan pembangunan, Bani Umayyah telah mengerjakan hal yang cukup
mengagumkan. Banyak orang yang mengingkari sebagian dirinya dengan
dalih bahwa masa Umayyah masih dekat dengan zaman Badui, maka
mereka tak mampu memahami sebuah peradaban. Akan tetapi kalau
mereka mau mengamati puncak peradabanBani Umayyah, maka mereka akan
menganggapnya sebuah keajaiban setelah apa yang mereka ingkari dari
Bani Umayyah. Sedangkan menciptakan dalam bidang administrasi, pos
dengan merekalah yang system pengiriman kantor-kantornya,
terminal-terminalnya dan pembawanya. Merekalah yang mencetuskan
system wakaf dan penjara pada tahun 118 H, upacara kerajaan dan
protokoler23 24 25 26
raja,
system
pengawasan
dan
pengadilan
serta
pengarsipannya. Untuk bidang militer merekalah jagonya,
merekaMasalik al-Abshar, Ibn Fadhlullah al-Amry, Naskah Aya Sophia
3422, 102. Al-Fahrast, Ibn an-Nadhim, cetakan Flughal, hal. 117.
Al-Fahrast, Op, Cit,. hlm. 61. Al-Minyah Wa al-Amal, hal. 21.
34
membuat system regu dan armada yang mampu menguasai laut tengah,
sedangkan kapal-kapalnya menyerbu Konstantinopel. Bani Umayyah
adalah generasi birokrat, konseptor dan berperadaban. Hal ini
tampak pada fase sejarah dan kinerjanya, secara kongrit hal ini
tampak pada perhatiannya terhadap perekonomian. Mereka lebih
perhatian dalam bidang pertanian daripada bidang perdagangan atau
industry, mereka menganggap bahwa tanah merupakan sumber utama
pendapatan. Bani Umayyah berkeinginan menambah pendapatan Negara
dengan cara meningkatkan system irigasi dan pertanian. Mereka telah
mengembangkannya dengan baik dan telah membuat prestasi besar.
Perhatian besar mereka curahkan untuk memperbaiki pertanian dan
mengolah tanah yang masih menganggur, mereka membangun aliranaliran
air dan bendungan. Orang pertama Bani Umayyah yang melakukan
demikian. Mungkin karena Yazid bin Muawiyah adalah seorang
insinyur. Dialah yang membuka aliran sungai Yazid yang terkenal
dengan sebutan namanya di Damaskus. Walaupun demikian bukan berarti
ia yang terbaik di kalangan Bani Umayyah karena masih banyak lagi
para insinyur lain seperti Al-Hajjaj dan Khalid Al-Qusary. Strategi
mereka dalam keuangan dan perekonomian berpengaruh besar dalam
pemerintahannya. Strategi ini berhubungan dengan paham politis,
yaitu yang bersinggungan langsung dengan urusan agama dan
kependudukan. Dapat kita lihat bagaimana siasat tersebut
berpengaruh atas masuk Islamnya beberapa suku, semisal suku Badui
dan kaum Barbar. Bagaimana juga ini berpengaruh atas migrasi
penduduk dari tanah pertanian menuju kota. Sebagaimana pernah
disebutkan bahwa siasat Bani Umayyah adalah realistis dan kuat.
Semuanya itu untukkepentingan hidup, prinsip kekekalan dan kekuatan
nasional. Akan tetapi siasat tersebut juga menuai permusuhan dan
perselisihan. Kekuatan yang Bani Umayyah bangun, fanatisme yang
dipegang dan harta yang mereka gunakan, semua ini membuat musuh
semakin gusar dan kebenciannya
35
memuncak. Musuh mereka banyak; ada yang memusuhinyasejak awal
berdirinya pemerintahan, ada yang memusuhinya karena sikap
fanatisme berlebihan, ada juga yang memusuhi karena siasat yang
mereka gunakan dalam perekonomian, kemudian ada pula musuh
terbesar, yaitu berasal dari ledakan emosi sementara yang menimpa
kabilah Arab pada suatu masa tertentu. Musuh pertama Bani Umayyah
adalah yang disebabkan berdirinya pemerintahan mereka, yaitu
penduduk Irak, Syiah, Khawarij dan sebagian penduduk Hijaz.
Muawiyah telah melakukan banyak hal untuk melunakkan hati mereka.
Hanya saja pemerintahan setelahnya tak mampu menyamai namun
Muawiyah kadang dalam hal lagi. kecerdikan Mereka dan kelihaiannya
berdiplomasi. Mereka tidak lihai mengatasi permusuhan, kadang
padam, berkobar sering menggunakan kekerasan dan diplomasi yang
kaku sehingga tidak membuahkan hasil. Musuh kedua mereka adalah
kaum keturunan. Permusuhan ini muncul akibat fanatisme Arab yang
berlebihan dan siasat keuangan yang digunakan oleh Al-Hajjaj.
Bangsa Arab selalu diunggulkan dalam gaji dan kedudukan, sedangkan
kaum keturunan hanya dianggap kaum petani yang tidak boleh
meninggalkan tanahnya. Walaupun Ziyad telah berusaha memasukkan
mereka dalam daftar pegawai, bahkan Muawiyah telah memindahkan
sebagian besar mereka dan diminta tolong untuk melawan Romawi dan
bangsa Jurjum.27 Akan tetapi siasat Al-Hajjaj telah menimbulkan
kebencian yang mendalam terhadap pemerintahan Umayyah. Umar bin
Abdul Aziz sendiri pun tidak mampu memadamkan kebencian ini secara
penuh. Musuh ketiga Bani Umayyah yaitu berasal dari pengkotakan
tentara berdasarkan kesukuan. Bangsa Arab biasa berperang dibawah
paying kabilah mereka, migrasi mereka dari tanah asal menuju daerah
penaklukan dengan kehidupan barunya tidak didasarkan atas rasa
akulturasi dan perpaduan budaya. Akan tetapi perpindahan
mereka27
Mumayyizat Bani Umayyah, Muhammad Kurdi Ali, disampaikan dalam
Pengkajian Kajian Ilmiah Arab, 2:315.
36
berdasarkan pembentukan tentara, sedangkan tentara ini terbentuk
berdasarkan perbedaan kesukuan kecuali pada akhir masa Bani
Umayyah, maka keadaan ini menimbulkan perselisihan antar kabilah
dan menyebabkan berkobarnya rasa fanatic kesukuan. Apalagi bagi
penduduk pedalaman. Bani Umayyah telah berusaha mengatasi
perselisihan dan fanatisme ini, akan tetapi kekuatan yang dipunyai
kabilah tersebut lebih besar daripada kekuatan Bani Umayyah. Bahkan
perselisihan tersebut mempengaruhi sikap beberapa gubernur
khususnya para gubernur di daerah. Musuh keempat dan yang paling
besar rasa permusuhannya yaitu yang berasal ledakan emosi yang
menimpa sebagian kabilah. Emosi ini berawal pada masa jahiliyah
yang menimbulkan fanatisme kabilah, persengketaan, peperangan dan
perampasan hak. Kemudian padam setelah hijrah selama satu generasi,
sekitar empat puluh tahun. Lalu kambuh ketika terjadinya fitnah
Utsman. Emosi ini mungkin akan berlanjut pada masa Muawiyah jika ia
tidak melakukan tindakan preventif dan mengalihkan emosi ini pada
penaklukan sehingga mereka tersibukkan dengan penaklukan tersebut.
Akan tetapi belum sempat Muawiyah meninggal, emosi ini meledak lagi
dan berkobar di kalangan kabilah Arab. Emosi yang kambuh ini
berlanjut sampai akhir hayat para pembuat fitnah. Lalu padam
sementara, selama kurang lebih empat puluh tahun, tetapi emosi ini
kumat lagi pada akhir masa Hisyam sampai akhir masa Bani Umayyah.
Musuh besar yang berasal dari luapan emosi tersebut sangat
merugikan posisi pemerintahan Umayyah. Banyak yang menyangka bahwa
perselisihan tersebut adalah keniscayaan karena memang sudah
menjadi tabiat bangsa Arab. Sedangkan kenyataannya pertikaian
tersebut hanyalah sebuah ledakan emosi sementara yang terjadi pada
masa tertentu. Walaupun perselisihan ini tampak sebagai pertikaian
antar kabilah, ini karena masyarakat pada masa Umayyah memang
terbentuk atas dasar kesukuan kabilah.
37
Inilah, seharusnya luapan emosi yang terjadi tersebut diarahkan
kepada hal yang bermanfaat untuk mengurangi dampaknya, seperti apa
yang dilakukan oleh Muawiyah dengan kecerdikan dan pengalamannya.
Jika orang Arab punya kesibukan lain selain perang maka keadaan
akan berubah, tetapi kenyataannya orang Arab tersibukkan Mereka
dengan peperangan, kemiliteran dan pemerintahan. kerajinan dan
tidak begitu memperhatikan pertanian,
perdagangan kecuali hanya untuk menguasai dan monopoli. Tak
diragukan bahwa kaum Umayyah bukanlah yang bertanggung jawab atas
perhatian Arab yang hanya tertuju pada peperangan ini, akan tetapi
salahnya, mereka tidak melakukan usaha untuk mengalihkan perhatian
tersebut pada bidang lain yang lebih bermanfaat. Seandainya mereka
melakukan demikian, maka sebagian luapan emosi tersebut akan
berubah menjadi sebuah produktivitas dan sebagian yang lain akan
bias dikuasai dan dikendalikan. Singkatnya sebab yang menjadikan
luapan emosi tersebut menjadi semangat perang antar Arab adalah
pengelompokan bangsa Arab atas dasar suku dan pembentukan
masyarakat atas dasar peperangan. Seandainya keadannya tidak
demikian, maka luapan tersebut akan muncul dengan bentuk lain,
semacam pembangunan atau pemikiran atau kerohanian atau materialism
atau lapangan pekerjaan ataupun dalam bentuk lain sesuai dengan
dasar pembentukan masyarakat. Begitulah, sejak awal berdirinya
pemerintahan Umayyah telah menghadapi rintangan yang menghalagi
setiap langkahnya, atau dengan kata lain bahwa Bani Umayyah telah
memikul kesulitan sejak awal berdirinya. Walaupun demikian,
walaupun aral melintang dan luapan emosi berkecamuk, tetapi mereka
telah mampu menghadapi rintangan ini dengan perencanaan yang
matang. Perencanaan tersebut atas dasar prinsip kekekalan, walaupun
kadang prinsip itu berbuntut kejelekan.
38
Perencanaan ini tercover dalam bentuk pemerintahan yang solid
secara turun temurun. Pemerintahan ini tidak terganggu dengan
kejadian apapun. Begitu juga dengan perencanaan ini terejawentahkan
dalam bentuk nasionalsime yang kokoh yang melindungi setiap
kejadian. Sehingga ketika perencanaan ini lumpuh, tidak bekerja
sebagaimana mestinya, maka hancurlah Negara. Kenyataannya
pemerintahan Umayyah runtuh karena tidak mengindahlan prinsip
kekekalan yang mereka bangun sejak awal masa berdirinya. Ketika
kekuasaan beralih atas dasar kekuatan pedang seperti apa yang
dilakukan Yazid III dan Marwan II, ketika kaum Umayyah tidak lagi
punya sikap fanatic asli kepada bangsa Syam Arab khususnya Bani
Kalb, sehingga Marwan Al-Jady menjadikan pusat pemerintahan jauh di
Harran yang bertetangga dengan Qais, maka berarti mereka telah
membinasakan pondasi ketahanan dan kekekalan Negara. Benar, mereka
telah berusaha membangun pondasi baru dan ibu kota baru, akan
tetapi zaman tidak membiarkan mereka. Ternyata musuh mengejutkan
mereka ketika mereka lengah. Maka jatuhlah pemerintahan dengan
mengenaskan, padahal mereka sedang dalam puncak kekuatan militer,
yang dipimpin oleh seorang khalifah yang cakap berperang dan lihai
bersiasat. Setelah ini, maka bagaimanakah posisi Bani Umayyah di
mata sejarah Islam dan Arab? Apakah dalam sejarah tersebut, mereka
telah membangun suatu tatanan? Sesungguhnya merekalah yang
menciptakan dasar pemerintahan dalam sejarah panjang kita, Bani
Abbas tidak menambah atas dasardasar ini kecuali hal kecil, Bani
Umayyah-lah yang meng-Arabkan Negara dan sendi-sendinya. Merekalah
yang meletakkan system ekonomi Islam setelah dijelaskan
perinciannya oleh Umar bin Khattab. Merekah yang meletakkan
dasar-dasar kesenian Arab dan peradabannya, merekalah yang membuka
jalan ilmu pengetahuan dan penyusunan kitab bagi Arab. Secara
ringkasnya: mereka adalh peletak dasar-dasar Negara Islam Arab
dengan berbagai seni, bentuk, ilmu
39
pengetahuan
dan
ekonominya,
walaupun
mereka
mempunyai
beberapa kesalahan dan kekeliruan akan tetapi niat mereka adalah
untuk mempertahankan kelangsungan Negara Umayyah, dantidak ada
tendensi lainnya. Kesalahan mereka dikarenakan keinginannya untuk
selalu eksis negaranya, dan bukan karena perilakunya yang jahat.
Mereka sudah berusaha untuk menjauhi kesalahan semampu mereka,
kalau kejahatan merupakan tabiat mereka maka mereka akan selalu
terjatuh dalam lubang kesesatan selamanya. Mereka adalah pembangun
untuk diri mereka sindiri, dan orang lain pada umumnya. Mereka
adalah orang-orang politikus, pejuang perang, pendekar yang licik,
raja-raja yang dictator, akan tetapi mereka juga kaum pembangun,
dan bangsa Arab asli serta orangorang Muslim yang membanggakan
agamanya. VIII. PENUTUP Dinasti Umayyah merupakan sebuah periode
yang sangat menentukan dalam peradaban Islam karena selama kurang
lebih 91 tahun berkuasa sudah banyak kebijakan dan perubahan yang
dilakukan oleh para khalifah sehingga kemajuan dan kemunduran
dinasti Umayyah menjadi pelajaran yang berharga bagi
pemimpinpemimpin Islam saat ini. Sedangkan untuk pola pendidikan
Islam memang masih sama dengan periode sebelumnya tetapi sudah ada
reformasi yang dilakukan baik dari segi kurikulumnya maupun tata
cara yang dilakukan oleh para pendidiknya. Hal yang penting kita
tangkap dari uraian di atas adalah bahwa pendidik harus
memperhatikan peserta didiknya dengan baik begitu juga orang tua
harus punya perhatian yang besar terhadap masa depan anaknya
sehingga pendidikan yang diselenggarakan dapat mencapai tujuan yang
diinginkan.
40
Banyak pelajaran atau ibrah yang dapat diambil dari sejarah
runtuhnya Dinasti Umayyah. Di antaranya: a) Tidak Boleh Rakus
Terhadap Kekuasaan. Muawiyah terlalu
berambisi menjadi penguasa negara, sehingga sejak Khalifah Ali
bin Abi Thalib dilantik sebagai Khulafa Ar-Rasyidin yang keempat,
ia melakukan pembangkangan dengan tidak mau membaiat Ali sebagai
khalifah. Muawiyah ingin dirinya yang menjadi khalifah. Keinginan
itu tercapai setelah ia melakukan segala cara untuk meraih
kekuasaan. Setelah menjadi khalifah, ia ingin keturunannya yang
menjadi penggantinya, sehingga mengubah sistem pemerintahan Islam
yang demokratis menjadi sistem kerajaan yang absolut. Muawiyah
mengangkat anaknya Yazid bin Muawiyah sebagia penggantinya kelak,
begitu juga dengan anak keturunan berikutnya, selalu mewariskan
kekuasaan yang mereka miliki kepada keluarga dan keturunannya.
Sikap rakus para pemimpin Dinasti Umayyah itu, pada gilirannya
membuat rakyat menjadi tidak senang kepada mereka, ditambah lagi
dengan sikap perilaku di antara para pemimpin Umayyah yang tidak
beradab. Sehingga rakyat memberontak dan berusaha menggulingkan
kekuasaan mereka. b) Berlaku Adil dan Bijaksana. Bagaimanapun suatu
pemerintahan yang tidak berlaku adil terhadap rakyatnya, hanya
tinggial menunggu kehancurannya. Bersikap adil dan bijaksana
terhadap rakyat merupakan syarat mutlak bagi para pemimpin,
sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw., dan para Khulafa
Ar-Rasyidin. Para pemimpin Dinasti Umayyah banyak tidak berlaku
adil terhadap rakyatnya, khususnya kepada kaum Mawali, yaitu
orang-orang non-Arab yang sudah masul Islam. Masyarakat muslim
non-Arab, terutama bangsa Persia ditempatkan sebagai warga negara
kelas dua. Meskipun mereka telah memeluk agama Islam, turut
berjuang membela Islam dan penguasa Dinasti Umayyah,
41
mereka tetap diperlakukan tidak adil oleh para pemimpin Dinasti
Umayyah, kecuali Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99- 101 H / 717720
M). Orang-orang non-Arab tidak bisa menjadi pegawai pemerintah,
kecuali menjadi prajurit rendahan. Itupun yang mereka hanya gaji
tetap, tanpa ada tunjangan keluarga dan tunjangan pensiunan
sebagaimana yang diterima oleh prajurit bangsa Arab. Sikap pemimpin
Dinasti Umayyah itu membuat masyarakat nonArab bersikap
anti-pemerintah, mereka bersatu padu dengan kekuatan lain dari Bani
Abbas dan kaum Syiah membentuk suatu gerakan menentang penguasa
Dinasti Umayyah. Sehingga dinasti itu pada akhirnya tumbang. c)
Bersikap Jujur dan Demokratis. Kejujuran dan sikap demokratis
merupakan syarat mutlak bagi para pemimpin. Jujur artinya terbuka
terhadap segala sesuatu yang diketahuinya, dan demokratis artinya
mengedepankan musyawarah mufakat dalam memutuskan sesuatu. Kedua
sifat itulah yang tidak dimiliki oleh para pemimpin Dinasti
Umayyah, namun mereka malah bersikap sebaliknya kecuali Khalifah
Umar bin Abdul Aziz. Mereka bersikap egois, otoriter dan ingin
menang sendiri. Segala keputusan yang menyangkut kepentingan
masyarakat luas, rakyat tidak pernah diajak musyawarah, sehingga
setiap keputusan pemerintah selalu berdasarkan kepentingan para
pemimpinnya. Begitu pula dalam hal suksesi pergantian pemimpin.
Dinasti Umayyah sengaja tidak membuat mekanisme atau aturan
tertentu mengenai pengantian khalifah. Mereka menunjuk anak
keturunannya sebagai pengganti danpenerus kekuasaan berikutnya.
Muawiyah mengangkat anaknya Yazid menjadi khalifah, Yazid pun
mengangkat anaknya Muawiyah bin Yazid menjadi khalifah dan begitu
seterusnya. Suksesi kepemimpinan yang demikian itu tidak memuaskan
rakyat banyak, sehingga membentuk gerakan-gerakan perlawanan yang
pada akhirnya mengguncang stabilitas kekuasaan dinasti
tersebut.
42
d)
Berakhlak Mulia dan Terpuji. Pemimpin adalah suru teladan baik,
niscaya rakyat yang dipimpinnya akan
yang dapat dicontoh bagi yang dipimpinnya. Ketika akhlak para
pemimpinnya mempunyai akhlak yang terpuji. Para pemimpin Dinasti
Umayyah, kebanyakan tidak memiliki akhlak terpuji. Hanya beberapa
orang diantara mereka yang memiliki akhlak mulia, seperti Khalifah
Umar bin Abdul Aziz, Khalifah Abdul Malik bin Marwan, dan Khalifah
Hisyam bin Abdul Malik. Pemimpin Dinasti Umayyah banyak yan
mencintai kemewahan harta dunia, yang suka berfoya-foya dari uang
dan negara. menghamburkan sumbernya
Memaksa rakyat jelata membayar pajak setinggi-tingginya, dan
uangnya dipergunakan untuk bersenang-senang para pejabat negara.
Sikap tidak terpuji yang dimiliki oleh para pemimpin Dinasti
Umayyah itu, membuat rakyat tidak simpati dan bersikap
antipemerintah. Sikap rakyat yang demikian itu, pada gilirannya
dapat mengguncang stabilitas keamanan negara, apalagi setelah
rakyat melakukan gerakan-gerakan perlawanan anti-pemerintah Dinasti
Umayyah. Dinasti itu akhirnya tumbang setelah 90 tahun
berkuasa.
43