1. Mengapa pasien sesak nafas hebat setelah meminum obat dari dokter klinik? Beda Fixed Drug Eruption dan SSJ (sindrom Steven Jhonson) ? Alergi obat adalah respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologi yang dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas yang terjadi selama atau setelah pemakaian obat. Alergi obat masuk kedalam penggolongan reaksi simpang obat (adverse drug reaction), yang meliputi toksisitas, efek samping, idiosinkrasi, intoleransi dan alergi obat. Toksisitas obat adalah efek obat berhubungan dengan kelebihan dosis obat. Efek samping obat adalah efek obat selain khasiat utama yang timbul karena sifat farmakologi obat atau interaksi dengan obat lain. Idiosinkrasi adalah reaksi obat yang timbul tidak berhubungan dengan sifat farmakologi obat, terdapat dengan proporsi bervariasi pada populasi dengan penyebab yang tidak diketahui. Intoleransi adalah reaksi terhadap obat bukan karena sifat farmakologi, timbul karena proses non imunologi. Sedangkan alergi obat adalah respon abnormal terhadap obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologi. Patofisiologi Alergenisitas obat tergantung dari berat molekul. Obat dengan berat molekul yang kecil tidak dapat langsung merangsang sistem imun bila tidak bergabung dengan bahan lain untuk bersifat sebagai allergen, Antigen yang bersifat tidak lengkap seperti ini merupakan kompleks obat dan protein yang disebut sebagai hapten. Hapten dapat membentuk ikatan kovalen dengan protein jaringan yang bersifat stabil, dan ikatan ini akan tetap utuh selama diproses di makrofag dan dipresentasikan kepada sel limfosit hingga sifat imunogeniknya stabil. Sebagian kecil substansi obat mempunyai berat molekul besar (insulin, antisera, ekstrak organ) dan bersifat imunogenik sehingga dapat langsung merangsang sistem imun tubuh. Tetapi ada beberapa jenis obat dengan berat molekul relatif rendah yang bersifat imunogenik tanpa bergabung dengan karier. Mekanismenya belum jelas, tetapi diduga obat ini membentuk polimer rantai panjang.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1. Mengapa pasien sesak nafas hebat setelah meminum obat dari dokter klinik? Beda Fixed Drug Eruption dan SSJ (sindrom Steven Jhonson) ?Alergi obat adalah respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologi yang dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas yang terjadi selama atau setelah pemakaian obat. Alergi obat masuk kedalam penggolongan reaksi simpang obat (adverse drug reaction), yang meliputi toksisitas, efek samping, idiosinkrasi, intoleransi dan alergi obat. Toksisitas obat adalah efek obat berhubungan dengan kelebihan dosis obat. Efek samping obat adalah efek obat selain khasiat utama yang timbul karena sifat farmakologi obat atau interaksi dengan obat lain. Idiosinkrasi adalah reaksi obat yang timbul tidak berhubungan dengan sifat farmakologi obat, terdapat dengan proporsi bervariasi pada populasi dengan penyebab yang tidak diketahui. Intoleransi adalah reaksi terhadap obat bukan karena sifat farmakologi, timbul karena proses non imunologi. Sedangkan alergi obat adalah respon abnormal terhadap obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologi.
Patofisiologi
Alergenisitas obat tergantung dari berat molekul. Obat dengan berat molekul
yang kecil tidak dapat langsung merangsang sistem imun bila tidak bergabung
dengan bahan lain untuk bersifat sebagai allergen,Antigen yang bersifat tidak
lengkap seperti ini merupakan kompleks obat dan protein yang disebut sebagai
hapten. Hapten dapat membentuk ikatan kovalen dengan protein jaringan yang
bersifat stabil, dan ikatan ini akan tetap utuh selama diproses di makrofag dan
dipresentasikan kepada sel limfosit hingga sifat imunogeniknya stabil.
Sebagian kecil substansi obat mempunyai berat molekul besar (insulin, antisera,
ekstrak organ) dan bersifat imunogenik sehingga dapat langsung merangsang
sistem imun tubuh. Tetapi ada beberapa jenis obat dengan berat molekul relatif
rendah yang bersifat imunogenik tanpa bergabung dengan karier.
Mekanismenya belum jelas, tetapi diduga obat ini membentuk polimer rantai
panjang.
Setelah pajanan awal maka kompleks obat-karier akan merangsang
pembentukan antibodi dan aktivasi sel imun dalam masa laten yang dapat
berlangsung selama 10-20 hari. Pada pajanan berikutnya periode laten menjadi
lebih singkat karena antigen tersebut sudah dikenal oleh sistem imun tubuh
melalui mekanisme pembentukan sel memori (reaksi anamnestik) .
Alergi obat merupakan reaksi hipersensitivitas yang dapat digolongkan menjadi
4 tipe menurut Gell dan Coombs (lihat bab tentang reaksi hipersensitivitas).
Alergi obat dapat terjadi melalui mekanisme ke-4 tipe tersebut (Tabel 26-2). Bila
antibodi spesifik yang terbentuk adalah IgE pada penderita atopi (IgE-mediated)
maka yang terjadi adalah reaksi tipe I (anafilaksis). Bila antibodi yang terbentuk
adalah IgG dan IgM, kemudian diikuti oleh aktivasi komplemen maka yang terjadi
adalah reaksi hipersensitivitas tipe II atau tipe III. Bila yang tersensitisasi adalah
respons imun selular maka akan terjadi reaksi tipe IV. Reaksi tipe II sampai IV
merupakan reaksi imun yang tidak dapat diprediksi dan tidak melalui
pembentukan IgE (non IgE-mediated).Perlu diingat bahwa dapat saja terjadi
alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu macam
obat secara bersamaan. Alergi obat tersering biasanya melalui mekanisme
tipe I dan IV. Sedangkan alergi obat melalui mekanisme tipe II dan tipe III
umumnya merupakan bagian dari kelainan hematologik atau penyakit autoimun.
Alergi obat dapat terjadi melalui semua 4 mekanisme hipersensitifitas Gell dan
Coomb, yaitu :
Reaksi hipersensitivitas segera (tipe I), terjadi bila obat atau
metabolitnya berinteraksi membentuk antibodi IgE yang spesifik dan
berikatan dengan sel mast di jaringan atau sel basofil di sirkulasi. Reaksi tipe
I merupakan hipersensitivitas cepat yang diperantarai oleh IgE dan
menyebabkan reaksi seperti anafilaksis. Gejala yang ditimbulkan dapat
berupa urtikaria, edema laring, wheezing dan kolaps kardiorespiratorius.
Penyebab umum adalah molekul biologis dan beberapa obat, seperti
penisilin dan insulin.
Reaksi antibody sitotoksik (tipe II), melibatkan antibodi IgG dan IgM
yang mengenali antigen obat di membran sel. Dengan adanya komplemen
serum, maka sel yang dilapisi antibodiakan dibersihkan atau dihancurkan
oleh sistem monosit-makrofag. Reaksi tipe II merupakan reaksi sitotoksik
yang diinduksi oleh kompleks komplemen dengan antibodi sitotoksik IgM
atau IgG. Reaksi ini terjadi sebagai respon terhadap obat yang mengubah
membran permukaan sel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang
disebabkan oleh metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang
disebabkan oleh kuinidin. Obat lain yang bekerja melalui mekanisme ini
antara lain sefalosporin, sulfonamida dan rifampisin.
Reaksi kompleks imun (tipe III), disebabkan oleh kompleks soluble dari
obat atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG. Pada reaksi tipe III
terdapat periode laten beberapa hari sebelum gejala timbul, yaitu periode
yang dibutuhkan untuk membentuk kompleks imun yang dapat
mengaktivasi komplemen. Reaksi terkadang baru timbul setelah obat
dihentikan. Reaksi tersebut dapat pula berupa reaksi setempat yang dikenal
sebagai reaksi Arthus. Terdapat pembengkakan dan kemerahan setempat
pada tempat antigen berada, misalnya pada vaksinasi. Reaksi setempat ini
terjadi oleh karena penderita telah mempunyai kadar antibodi yang tinggi
sehingga terjadi presipitasi pada tempat masuk antigen yang terjadi dalam
waktu 2 sampai 5 jam setelah pemberian. Manifestasi utama berupa
demam, ruam, urtikaria, limfadenopati dan artralgia. Contoh obat tersebut
antara lain penisilin, salisilat, sulfonamida, klorpromazin, tiourasil, globulin
Bronkospasme dapat dikelompokkan berdasarkan cepat timbulnya spasme bronkus
(Kay):
1. Fase cepat (rapid spasmogenic)
Bronkospasme timbul segera (30-60 menit) dan berakhir setelah 1-2 jam, selanjutnya
menghilang dengan sendirinya atau disusul dengan fase lambat menetap. Mediator
utamanya adalah histamin
2. Fase lambat menetap (late sustained)
Terdapat spasme bronkus dan akumulasi neutrofil. Sedangkan mediator kimianya
adalah leukotrien, prostaglandin, tromboksan, dll. Fase ini berlangsung 6-8 jam atau
lebih
3. Fase subakut/kronik
Adanya proses inflamasi pada dinding bronkus dengan infiltrasi sel-sel eosinofil dan
sel-sel mononukleus
Gangguan fungsional pada obstruksi bronkus adalah:
1. Adanya hambatan aliran udara nafas, merupakan gangguan ventilasi
(hipoventilasi)
2. Adanya distribusi ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah paru
(V/Q imbalance)
3. Adanya gangguan difusi gas di tingkat alveoli
Adanya ketiga faktor di atas akan mengakibatkan:
Hipoksemia, Hiperkapnea, Asidosis respiratoir tahap yang sangat lanjut
Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru (Pumonologi) Buku ke-2, dr. Pasiyan Rachmatullah, FK
UNDIP
3. Mengapa di kedua kelopak mata terdapat angiodema dan urtikaria hamper diseluruh tubuh?Urtikaria (kaligata, gidu, nettle rash, hives) adalah erupsi kulit yang menonjol, berbatas tegas, berwarna merah, umumnya berbentuk bulat, gatal, dan berwarna putih di bagian tengah bila ditekan. Angioedema (giant urticaria, angioneurotic edema, quinkes edema) adalah sebuah lesi yang sama dengan urtikaria tetapi pada angioedema meliputi jaringan subkutan yang lebih dalam , tidak gatal, namun biasanya disertai dengan rasa nyeri dan terbakar.Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik maupun non-imunologik. Hampir semua obat sistemik menimbulkan urtikaria secara imunologik (Tipe I atau II). Contohnya ialah obat-obatan golongan penisilin, sulfonamid, analgesik, pencahar, hormon, dan diuretik. Ada pula obat yang secara non-imunologik langsung merangsang sel mast untuk melepaskan histamin, misalnya kodein, opium, dan zat kontras. Aspirin menimbulkan urtikaria karena menghambat sintesis prostaglandin dari asam arakidonat.
Urtikaria disebabkan karena pelepasan histamin, bradikinin, leuketrien C4,
prostaglandin D2, dan substansi vasoaktif lainnya lainnya dari sel mast dan basofil di
kulit. Substansi-substansi tersebut menyebabkan ekstravasasi cairan ke kulit,
mengakibatkan timbulnya lesi urtikaria. Intensitas pruritus dari urtikaria adalah hasil
dari pelepasan histamin ke kulit. Aktivasi reseptor histamin H1 pada sel-sel endotel
dan otot polos menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler. Sedangkan aktivasi
reseptor histaminH2 menyebabkan vasodilatasi arteriol dan venula.
Proses ini disebabkan oleh beberapa mekanisme. Respon alergi tipe I IgE diinisiasi
oleh kompleks imun antigen-mediated IgE yang mengikat dan cross-link reseptor Fc
pada permukaan sel-sel mast dan basofil, hal tersebut menyebabkan pelepasan
histamin. Respon alergi tipe II dimediasi oleh sel-sel T sitotoksik, menyebabkan
deposit Ig, komplemen, dan fibrin di sekitar pembuluh darah. Hal ini menyebabkan
vaskulitis urtikaria. Penyakit kompleks imun tipe III berhubungan dengan SLE dan
penyakit autoimun lainnya yang dapat menyebabkan urtikaria.
Komplemen-mediated urtikaria disebabkan oleh infeksi bakteri dan virus, serum
sickness, dan reaksi transfusi. Reaksi transfusi urtikaria terjadi ketika substansi
alergenik dalam plasma dari produk darah donor bereaksi dengan antibodi Ig E
resipien. Beberapa obat-obatan (opioids, vecuronium, succinylcholine, vancomycin,
dan lain-lain) juga agen-agen radiokontras menyebabkan urtikaria karena
degranulasi sel mast melalui mekanisme mediasi non-Ig E. Urtikaria fisik pada
beberapa stimulus fisik yang menyebabkan urtikaria meliputi immediate pressure
urticaria, delayed pressure urticaria, cold urticaria, dan cholinergic
urticaria. Terakhir, urtikaria kronik dimana penyebabnya tidak dapat ditemukan
secara signifikan, merupakan idiopatik.
Sumber : Soter, Allen. Urticaria and Angioedema. Dalam : Freedberg, Eisen, Wolff,
Austen. Fitzpatrick’s Dermatology In Genereal Medicine. Edisi 6. New York : McGraw-
Hill Inc. 2003: 122-45.
Kulszicky, Anthony. 2010. Urticaria and Angioedema. Immuno VI 05/10. Halaman 1-12.
4. Mengapa didapatkan vital sign RR 40x/menitdan 80/40 mmHg, nadi 130x/menit, danakraldingin?Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Plateletactivatingfactor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keadaan syok
Gejala hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik. Hipotensi terjadi sebagai akibat dari dua faktor, pertama akibat terjadinya vasodilatasi pembuluh darah perifer dan kedua akibat meningkatnya permeabilitas dinding
kapiler sehingga selain resistensi pembuluh darah menurun, juga banyak cairan intravaskuler yang keluar keruang interstitiel (terjadi hipovolume relatif).
Menurut patofisiologinya, syok terbagi atas 3 fase yaitu :Fase KompensasiPenurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa sehingga timbul gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk menimbulkan gangguan seluler. Mekanisme kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak dan otot skelet dan penurunan aliran darah ke tempat yang kurang vital. Faktor humoral dilepaskan untuk menimbulkan vasokonstriksi dan menaikkan volume darah dengan konservasi air. Ventilasi meningkat untuk mengatasi adanya penurunan kadar oksigen di daerah arteri. Jadi pada fase kompensasi ini terjadi peningkatan detak dan kontraktilitas otot jantung untuk menaikkan curah jantung dan peningkatan respirasi untuk memperbaiki ventilasi alveolar. Walau aliran darah ke ginjal menurun, tetapi karena ginjal mempunyai cara regulasi sendiri untuk mempertahankan filtrasi glomeruler. Akan tetapi jika tekanan darah menurun, maka filtrasi glomeruler juga menurun.Fase ProgresifTerjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi kebutuhan tubuh. Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung tidak lagi mencukupi sehingga terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan darah arteri menurun, aliran darah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata, gangguan seluler, metabolisme terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan akhirnya terjadi kematian sel. Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak mampu berkonstriksi sehingga terjadi bendungan vena, vena balik (venous return) menurun. Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan tetapi tidak dapat kembali ke jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan trombosis kecil-kecil sehingga dapat terjadi koagulopati intravasa yang luas (DIC = Disseminated Intravascular Coagulation). Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat vasomotor dan respirasi di otak. Keadaan ini menambah hipoksia jaringan. Hipoksia dan anoksia menyebabkan terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari jaringan (histamin dan bradikinin) yang ikut memperjelek syok (vasodilatasi dan memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan anoksia usus menimbulkan penurunan integritas mukosa usus, pelepasan toksin dan invasi bakteri usus ke sirkulasi. Invasi bakteri dan penurunan fungsi detoksikasi hepar memperjelek keadaan. Dapat timbul sepsis, DIC bertambah nyata, integritas sistim retikuloendotelial rusak, integritas mikro sirkulasi juga rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan metabolisme dari aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik, terjadi peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan.Fase Irevesibel
Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga tidak dapat diperbaiki. Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya ireversibilitas syok. Gagal sistem kardiorespirasi, jantung tidak mampu lagi memompa darah yang cukup, paru menjadi kaku, timbul edema interstisial, daya respirasi menurun, dan akhirnya anoksia dan hiperkapnea
5. Mengapa pada pemeriksaan fisik didapatkan stridor, wheezing, retraksi subcostal, dan fase ekspirasi memanjang dan muka kebiru-biruan?
Wheezing adalah penyempitan saluran napas dari bronki dan bronkiolus yang dapat disebabkan
oleh bronkokonstriksi, edema mukosa, kompresi eksternal, atau obstruksi parsial oleh tumor,
benda asing, atau cairan kental.
Wheezing yang terjadi akibat obstruksi saluran napas intrathorakal terutama pada ekspirasi
karena saluran napas, sesuai dengan perubahan intrathorakal , cenderung melebar pada
inspirasi dan menyempit pada ekspirasi .Peningkatan resistensi intrathorakal biasanya
terjadi akibat penyempitan atau penyumbatan bronkus karena tekanan dari luar,
kontraksi otot bronkus, penebalan lapisan mukus, atau sumbatan lumen oleh mucus, hal
ini benyak terjadi pada asma atau bronchitis kronis.
Obstruksi intrathorakal terutama mengganggu proses ekspirasi karena saat inspirasi tekanan
intrathorakal menurun sehingga melebarkan jalan pernapasan. Perbandingan waktu ekspirasi
dan inspirasi akan meningkat. Ekspirasi yang terhambat akan melebarkan duktulus alveolus
(emfisema sentrilobular) menurunkan elastisitas paru (peningkatan komplians), dan bagian
tengah pernapasan akan terdorong kearah inspirasi (barrel chest). Hal ini meningkatkan kapasitas
residu fungsional dan dibutuhkan tekanan intrathorakal untuk melakukan ekspirasi karena
komplians dan resistensi meningkat. Akibatnya, terjadi penekanan bronkiolus sehingga tekanan
jalan napas semakin meningkat. Obstruksi akan menurunkan kapasitas pernapasan maksimal (V
max) dan FEV1 .
(Price dan Wilson, 2006).
Wheezing
BUKU AJAR DIAGNOSTIKFISIKOLEH MARK H. SWARTZ HAL. 174
Muka kebiruanSianosis merupakan indikasi dari kurangnya oksigen di aliran darah yang disebabkan oleh kelainan jantung kongenital atau racun (seperti CO). Penyebab sianosis adalah Hb yang tidak mengandung O2 , jumlahnya berlebihan dalam dalam pembuluh darah kulit, terutama dalam kapiler. Hb yang tidak mengandung O2 memiliki warna biru gelap yang terlihat melalui kulit. Pada umumnya sianosis muncul apabila darah arteri berisi lebih dari 5 gram Hb yang tidak mengandung O2 dalam setiap desiliter darah.
Sianosis
Sianosis terjadi akibat darah yang beredar ke seluruh tubuh mengandungdarah kotor
yang rendah oksigen. Bila kadar oksigen yang beredar teralurendah (pasien biru
sekali), bisa terjadi gangguan otak dengan manifestasigelisah, menangis merintih,
lemas bahkan sampai kejang
sianosis adalah suatu klinis atau gejala dari adanya gangguan pada
tubuhseseorang, warna kebiru-biruan pada kulit dan selaput lendir yang
terjadiakibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tak
berkaitandengan O2).
dalam arti sebenarnya sianosis adalah kebiruan pada bagiantubuh seseorang.
biasanya karena kekurangan oksigen yang dibawa olehdarah. Sianosis dapat tanda
insufisiensi pernapasan, meskipun bukanmerupakan tanda yang dapat
diandalkan.
Ada dua jenis sianosis: sianosissentral dan sianosis perifer
Sianosis sentral disebabkan oleh insufisiensioksigenasi Hb dalam paru, dan
paling mudah diketahui pada wajah, bibir,cuping telinga, serta bagian bawah
lidah. Sianosis biasanya tak diketahuisebelum jumlah absolut Hb tereduksi
mencapai 5g per 100 ml atau lebih padaseseorang dengan konsentrasi Hb yang
normal (saturasi oksigen [SaO2]kurang dari 90%). Jumlah normal Hb tereduksi
dalam jaringan kapiler adalah 2,5 g per 100 ml. Pada orang dengan konsentrasi
Hb yang normal, sianosisakan pertama kali terdeteksi pada SaO2 kira-kira 75%
dan PaO2 50 mmHgatau kurang. Penderita anemia (konsentrasi Hb rendah)
mungkin tak pernahmengalami sianosis walaupun mereka menderita hipoksia
jaringan yang beratkarena jumlah absolut Hb tereduksi kemungkinan tidak
dapat mencapai 5 gper 100 ml. Sebaliknya, orang yang menderita polisitemia
(konsentrasi Hbyang tinggi) dengan mudah mempunyai kadar Hb tereduksi 5 g
per 100 mlwalaupun hanya mengalami hipoksia yang ringan sekali.
Faktor -faktor lainyang menyulitkan pengenalan sianosis adalah variasi
ketebalan kulit,pigmentasi dan kondisi penerangan.
sianosis perifer bila aliran darah banyak berkurangsehingga sangat
menurunkan saturasi darah vena, dan akan menyebabkansuatu daerah
menjadi biru. Sianosis perifer dapat terjadi akibat insufisiensijantung,
sumbatan pada aliran darah, atau vasokonstriksi pembuluh darahakibat suhu
yang dingin. Sejumlah kecil methemoglobin atau sulfhemoglobindalam sirkulasi
dapat menimbulkan sianosis, walaupun jarang terjadi
Sianosis : Sianosis adalah berubahnya warna kulit menjadi kebiruan akibat meningkatnya jumlah
Hb terreduksi dalam kapiler (Price dan Wilson, 2006).
merupakan indikasi dari kurangnya oksigen di aliran darah yang disebabkan oleh kelainan
jantung kongenital atau racun (seperti CO). Penyebab sianosis adalah Hb yang tidak mengandung
O2 , jumlahnya berlebihan dalam dalam pembuluh darah kulit, terutama dalam kapiler. Hb yang
tidak mengandung O2 memiliki warna biru gelap yang terlihat melalui kulit. Pada umumnya
sianosis muncul apabila darah arteri berisi lebih dari 5 gram Hb yang tidak mengandung O2
dalam setiap desiliter darah.
fase ekspirasi memanjang
Mengi yang terjadi akibat obstruksi saluran napas intrathorakal terutama pada ekspirasi
karena saluran napas, sesuai dengan perubahan intrathorakal , cenderung melebar pada
inspirasi dan menyempit pada ekspirasi (Stark, 1990). Peningkatan resistensi intrathorakal
biasanya terjadi akibat penyempitan atau penyumbatan bronkus karena tekanan dari luar,
kontraksi otot bronkus, penebalan lapisan mukus, atau sumbatan lumen oleh mucus, hal ini
benyak terjadi pada asma atau bronchitis kronis (Lang, 2007:76).
Obstruksi intrathorakal terutama mengganggu proses ekspirasi karena saat inspirasi tekanan
intrathorakal menurun sehingga melebarkan jalan pernapasan. Perbandingan waktu ekspirasi
dan inspirasi akan meningkat. Ekspirasi yang terhambat akan melebarkan duktulus alveolus
(emfisema sentrilobular) menurunkan elastisitas paru (peningkatan komplians), dan bagian
tengah pernapasan akan terdorong kearah inspirasi (barrel chest). Hal ini meningkatkan
kapasitas residu fungsional dan dibutuhkan tekanan intrathorakal untuk melakukan ekspirasi
karena komplians dan resistensi meningkat. Akibatnya, terjadi penekanan bronkiolus
sehingga tekanan jalan napas semakin meningkat. Obstruksi akan menurunkan kapasitas
pernapasan maksimal (V max) dan FEV1 (Lang, 2007:76). Kejadian ini penting dimengerti
pada penderita (misal) asma karena pasien dengan penyakit asma ketika asma kambuh, pasien
akan gugup karena merasa sesak napas dan makin berusaha inspirasi sebanyak-banyaknya,
oleh karena itu bagi dokter atau perawat harus bisa menenangkan terlebih dahulu kejiwaan
pasien, karena ketika gugup dan inspirasi kuat makin memperburuk kondisi mereka.
tendelern burgPosisi syok adalah posisi orang yang terbaring di punggungnya dengan kaki terangkat sekitar 8-12 inci. Ini digunakan ketika seorang pasien menunjukkan tanda-tanda syok. posisi syok juga digunakan untuk pasien yang mengalami keadaan darurat terkait panas..
Tujuan dari posisi syok adalah untuk mengangkat kaki di atas jantung dengan cara yang akan sedikit membantu aliran darah ke jantung. (meninggikan tungkai memungkinkan darah mengalir dari tungkai kembali ke jantung). membantu lebih banyak mengalirkan oksigen melalui darah dan membantu menghilangkan hipoksia yang dapat menyebabkan shock.
Sumber : Irwin, Richard S.; Rippe, James M. (January 2003). Intensive Care Medicine dan first aid Pertolongan Pertama Ed 5 (American College of Emergency Physicians)
Meletakkan penderita dalam posisi syok :- Kepala setinggi atau sedikit lebih tinggi daripada dada- Tubuh horizontal atau dada sedikit lebih rendah- Kedua tungkai lurus diangkat 20 derajat ; literature lain ada yang menyebutkan
15-30 cm jika tidak dicurigai cidera spinal)
Kedaruratan medik, agus purwadianto dan budi sampurna
7. Bagaimana penilaian ABCDE padapasien?8. Bagaimana prinsip pemeriksaan ECG?9. Bagaimana prinsip dari pulse oxymetri?10. Apa diagnosis dari scenario dan klasifikasinya?
Tanda gejala syokManifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari
reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam
setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam
setelah terpapar dengan alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah
terpapar dengan alergen.
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-
kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam
derajat ringan, sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan
perifer, sensasi hangat, rasa sesak dimulut, dan tenggorok. Dapat juga terjadi
kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata berair.
Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan. Derajat
sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan
edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi. Wajah kemerahan,
hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi. Awitan gejala-gejala sama
dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak
dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan
diatas disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea
berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare,
dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat
disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang irreversible.
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada
satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal,
kulit, mata, susunan saaraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain.
Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam
mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak,
mual, pusing, lemas dan sakit perut.
Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan.
Pada rhinitis alergi dapat dijumpaiallergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra
inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pemeriksaan hidung bagian luar di bidang
alergi ada beberapa tanda, misalnya: allergic salute, yaitu pasien dengan
menggunakan telapak tangan menggosok ujung hidungnya ke arah atas untuk
menghilangkan rasa gatal dan melonggarkan sumbatan; allergic crease, garis
melintang akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic facies, terdiri dari
pernapasan mulut, allergic shiners, dan kelainan gigi geligi. Bagian dalam hidung
diperiksa untuk menilai warna mukosa, jumlah, dan bentuk sekret, edema, polip
hidung, dan deviasi septum. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria,
kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.
Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan
saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume
tidal. Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlibat
sehingga terjadi stridor. Suara bisa serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika
edema terus memburuk. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab
kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran
napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa. Selain itu juga
terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat, serta bersin-bersin.
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi
koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular
terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung
(angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula
dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang
mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri) akibat penurunan
GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut. Selain itu
terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengan perubahan kandungan
elektrolit pada urine.
Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral,
peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem
gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot polos,
berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang kadang dijumpai
perdarahan rektal yang terjadi akibat iskemia atau infark usus.
Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi
trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan pada
sistem neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi
insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi
perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan
asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi keretakan antar sel, sel
membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel.
HAUPT M T, CARLSON R W. ANAPHYLACTIC AND ANAPHYLACTOID REACTIONS. DALAM BUKU: SHOEMAKER W C, AYRES S, GRENVIK A EDS, TEXBOOK OF CRITICAL CARE. PHILADELPHIA
11. Apa saja pemeriksaan penunjangnya?Beberapa tujuan dari penggunaan EKG adalah :1. Untuk mengetahui adanya kelainan-kelainan irama jantung/disritmia2. Kelainan-kelainan otot jantung3. Pengaruh/efek obat-obat jantung4. Ganguan -gangguan elektrolit5. Perikarditis6. Memperkirakan adanya pembesaran jantung/hipertropi atrium dan ventrikel7. Menilai fungsi pacu jantung.
Indikasi dari penggunaan EKG
Merupakan standar emas untuk diagnosis aritmia jantung
EKG memandu tingkatan terapi dan risiko untuk pasien yang dicurigai ada infark otot jantung akut
EKG membantu menemukan gangguan elektrolit (mis. hiperkalemiadan hipokalemia)
EKG digunakan sebagai alat tapis penyakit jantung iskemik selama uji stres jantung
EKG kadang-kadang berguna untuk mendeteksi penyakit bukan jantung (mis. emboli paru atau hipotermia)
Penunjang diagnostik EKG untuk mengetahui gambaran jantung ( biasanya pada gambar EKG gelombang T mendatar dan terbalik ), aritmia.SUNDANA K, 2008, INTERPRETASI EKG, 2008
Pulse oxymetry
Merupakan suatu alat untuk mengukur saturasi oksigen dalam darah secara
non-invasif. Alat ini memancarkan cahaya ke jaringan seperti jari, jempol kaki,
atau pada anak kecil, seluruh bagian tangan atau kaki. Saturasi oksigen diukur
pada pembuluh arteri kecil, oleh sebab itu disebut arterial oxygen
saturation (SaO2). Ada yang dapat digunakan berulang kali hingga beberapa
penurunan volume efektif plasma, nadi cepat dan halus sampai tidak teraba,
renjatan, pingsan, pada EKG dapat ditemukan aritmia, T mendatar atau terbalik,
irama nodal, fibrilasi ventrikel sampai asistol.
- Respirasi
Dapat terjadi pernapasan cepat dan dangkal, rhinitis, bersin, gatal dihidung, batuk ,
sesak, mengi, stridor, suara serak, gawat napas, takipnea sampai apnea, kongesti
hidung, edema dan hiperemi mukosa, obstuksi jalan napas, bronkospasme,
hipersekresi mukus, wheezing dispnea, dan kegagalan pernafasan.
- Gastrointestinal
Kram perut karena kontraksi dan spasme otot polos intestinal. Mual, muntah, sakit
perut, diare.
- Kulit
Pruritus, urtikaria, angioedema, eritema.
- Mata
Gatal , lakrimasi, merah, bengkak.
- Susunan saraf pusat
Disorientasi, halusinasi, rasa logam, kejang, koma.
- Sistem saluran kencing
Produksi urin berkurang.
Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang
irreversible.
Selain beberapa gangguan pada beberapa sistem organ, Manifestasi klinik syok
Anafilaksis masih dibagi dalam derajat berat ringannya, yaitu sebagai berikut :
a. Ringan
1. Kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak dimulut dan tenggorok.
2. Kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, mata
berair.
3. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan.
b. Sedang
1. Dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan
edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi.
2. Wajah kemerahan, hangat, ansietas dan gatal-gatal.
3. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan.
c. Parah
1. Awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang
sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat
kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat dan sianosis.
2. Disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare dan kejang-kejang.
3. Henti jantung dan koma jarang terjadi.
Secara sederhana gajala & tanda syok anafilaktik tertera pada tabel dibawah ini :
Tanda dan gejala Keterangan
Tekanan darah Turun sampai sangat turun
Tekanan nadi Turun sampai sangat turun
Denyut nadi Meningkat sampai sangat
meningkat
Isi nadi Normal atau kecil
Vasokonstriksi
perifer
Meningkat
Suhu kulit Dingin
Warna Normal atau pucat
Tekanan vena
sentral
Normal atau rendah
Diuresis Tidak ada
EKG Normal
Foto paru Normal
Diagnosis Banding
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik, seperti :
1. Reaksi vasovagal
Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampak
pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada
reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan
darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti
anafilaktik.
2. Infark miokard akut
Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau
tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-
tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.
3. Reaksi hipoglikemik
Reaksi hipoglikemik disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain.
Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah
kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas.
Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas.
4. Reaksi histeris
Pada reaksi histeris tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau
sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara. Sedangkan
tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.
5. Carsinoid syndrome
Pada syndrom ini dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala,
diare, serangan sesak napas seperti asma.
6. Chinese restaurant syndrome
Dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa
menit setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5gr bisa
menyebabkan asma.Namun tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan
tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi makanan tanpa MSG.
7. Asma bronchial
Gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara napas yang
berbunyi ngik-ngik. Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu,
aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari.
8. Rhinitis alergika
Penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung
yang hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus, mis. debu,
terutama di udara dingin.dan hampir semua kasus asma diawali dengan RA.
Terapi Syok Anafilaksis
1. Penderita langsung dibaringkan.
2. Pemberian oksigen dimana dapat dipertimbangkan intubasi endotrakheal.
3. Diberikan larutan salin (cairan IVFD Ringer Laktat atau NaCl 0,9%) untuk mengisi
kekurangan cairan pada pembuluh darah yang melebar. Juga ditambahkan nutrisi
dengan Dextrosa 5%.
4. Diberikan suntikan adrenalin IM/SK 0,3 – 0,5 ml larutan 1:1000 bila keadaan ringan,
ulangi setiap 5 – 10 menit bila keadaan parah.
5. Dapat juga diberikan adrenalin secara IV yaitu 3 – 5 ml IV larutan 1 : 10000
6. Bisa diberikan obat alternatif seperti :
a. Aminofilin bila ada bronkospasme dengan dosis 5 – 6 mg/kg perinfus selama
20 menit dan dilanjutkan 0,4 – 0,9 mg/kg/jam.
b. Kortikosteroid/hidrokortison , IV 100-200 mg untuk mencegah relaps.
c. Antihistamin IV seperi difenhidramin 50 – 100 mg IM/IV, namun kurang
efektif terlebih apabila penanganan syok sudah teratasi.
Profilaksis Syok Anafilaksis
Pencegahan syok anafilaksis merupakan langkah terpenting dalam setiap pemberian
obat, tetapi ternyata tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Ada beberapa hal yang
dapat kita lakukan, antara lain :
1. Pemberian obat harus benar – benar atas indikasi yang kuat dan tepat.
2. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai
riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap
kemungkinan terjadinya syok anafilaksis.
3. Penting menyadari bahwa tes kulit negatif, pada umumnya penderita dapat
mentoleransi pemberian obat – obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita
tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan
mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3%
dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.
4. Yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadinya reaksi anfilaksis atau anafilaktoid serta
adanya alat –alat bantu resusitasi kegawatan
HAUPT M T, CARLSON R W. ANAPHYLACTIC AND ANAPHYLACTOID REACTIONS. DALAM BUKU: SHOEMAKER W C, AYRES S, GRENVIK A EDS, TEXBOOK OF CRITICAL CARE. PHILADELPHIA
12. Bagaimana alur penatalaksanaan pada pasien tersebut?PENATALAKSANAAN
BUKU AJAR BEDAH OLEH DAVID C. SABISTONHARRISON: PRINSIP-PRINSIP ILMU PENYAKIT DALAM
Loading cairanutk masukkan cairan IV. Kristaloid dan koloid. Tujuan: utk mengembalikan cairan yg ada di tubuh seharusnya yg sudah merembes ke jaringanBila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka
diperlukan jumlah 3–4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20–40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin.HAUPT M T, CARLSON R W. ANAPHYLACTIC AND ANAPHYLACTOID REACTIONS. DALAM BUKU: SHOEMAKER W C, AYRES S, GRENVIK A EDS, TEXBOOK OF CRITICAL CARE. PHILADELPHIA
Inotropik vasopresor
Saat terjadi keadaan hipotensi meskipun pemberian cairan telah kita lakukan, agent vasopressor sering kita gunakan. Tujuan penggunaan agent vasopressor adalah untuk meningkatkan mean arterial pressure (MAP). Indikasi pemberian agent vasopressor adalah pada keadaan septik syok yang refrakter terhadap resusitasi volume yang adekuat. Indikasi lainnya meliputi penanganan vasodilatory shock saat cardiopulmonary bypass, anaphylaxis,vascular surgery (carotid endarterectomy), drug overdoses (tricyclic antidepressant) dan spinal cord trauma. Sedangkan agent inotropik merupakan agent yang memiliki efek meningkatkan kontraktilitas jantung. Kontraktilitas jantung yang terganggu dapat menurunkan cardiac output sehingga tidak dapat memberikan perfusi maupun hantaran oksigen yang cukup ke jaringan.VINCENT, J.L. (2008), HEMODYNAMIC SUPPORT OF THE CRITICALLY ILL PATIENT, IN:ANESTHESIOLOGY. LONGNECKER, D. E., EDITOR. UNITED STATES OF AMERICA: THE MCGRAW-HILL COMPANIES, INC.Phenylephrine
Phenylephrine merupakan noncatecholamine sintetik yang menstimulasi terutama
reseptor α adrenergik secara langsung, hanya sebagian kecil bekerja secara tidak
langsung melalui pelepasan norepinephrine. Karena bukan derivat derivat catechol,
tidak diinaktifkan oleh COMT, memiliki masa kerja yang lebih panjang dibandingkan
dengancatecholamine. Phenylephrine ini bekerja langsung pada reseptor.
Venokonstriksi yangterjadi lebih besar daripada arterial konstriksi.
Efek terhadap reseptor β adrenergik minimal.Pada dosis yang sangat tinggi, baru
terlihat adanya aktivitas β. Phenylephrine merupakan
vasokonstriktor yang sangat poten, namun menyebabkan risiko penurunan aliran
darah danperfusi jaringan. Pada pasien syok sepsis, phenylephrine menyebabkan
penurunan alirandarah splanchnic dan hantaran oksigen.
Epinephrine (Adrenaline)
Epinephrine tergolong vasokonstriktor yang sangat kuat dan cardiac stimulant.
Epinephrine merupakan catecholamine endogen yang dihasilkan oleh
medulla adrenal dengan aktivitas α dan β1 yang poten, dan efek β2 yang sedang.
Pada dosis yang rendah, efek βmenunjukkan dominasi. Pada dosis yang lebih tinggi,
efek α menjadi lebih signifikan. Epinephrine merupakan aktivator reseptor α
adrenergik yang paling kuat.Pada hipotensiyang akut seringkali epinephrine lebih
disukai dibandingkan dengan norepinephrine karena efek β adrenergik yang lebih
kuat berperan dalam mempertahakan maupun meningkatkancardiac output.
Fungsi alamiah dari epinephrine bekerja pada (a) kontraktilitas jantung, (b) heart
rate,(c) tonus otot polos vaskular dan otot bronkus, (d) sekresi kelenjar, (e) proses
metabolismeseperti glikogenolisis dan lipolisis. Pemberian secara oral tidak efektif,
karena epinephrinedimetabolisme secara cepat pada mukosa gastrointestinal dan
hepar. Absorpsi epinephrinesetelah pemberian secara subkutan kurang baik, karena
epinephrine menyebabkanvasokonstriksi pada tempat suntikan. Epinephrine juga
kurang larut dalam lemak, sehinggamencegah masuknya obat ke susunan saraf pusat
dan minimnya pengaruh langsung padaotak.
Epinephrine menstimulasi reseptor β1 yang menyebabkan peningkatan
tekanansistolik, heart rate, dan curah jantung. Terjadi sedikit penurunan tekanan
diastolik, hal inimencerminkan adanya vasodilatasi pada vaskularisasi otot rangka
sebagai akibat stimulasireseptor β2
Sebagai hasil akhir adalah peningkatan tekanan nadi dan perubahan minimalpada
tekanan arteri rerata. Karena perubahan tekanan arteri rerata minimal maka
kecilkemungkinan untuk terjadinya refleks bradikardi akibat aktivasi baroreseptor.
Epinephrinemeningkatkan heart rate dengan meningkatkan laju depolarisasi fase 4,
yang juga dapatmeningkatkan resiko terjadinya disritmia. Peningkatan curah jantung
yang terjadi merupakanakibat dari meningkatnya heart rate, kontraktilitas jantung,
dan aliran darah balik. Epinephrine menstimulasi reseptor α1 secara dominan pada
kulit, mukosa, vaskularhepar dan ginjal menghasilkan vasokonstriksi kuat.
Pada vaskular otot rangka, epinephrinemenstimulasi reseptor β2 secara dominan,
menghasilkan vasodilatasi. Hasil akhirnya adalahdistribusi curah jantung ke otot
rangka dan menurunkan tahanan vaskular sistemik. Alirandarah ginjal akan
menurun, walau tanpa perubahan pada tekanan darah sistemik. Sekresirenin akan
meningkat karena adanya stimulasi reseptor beta di ginjal. Pada dosis
terapi,epinephrine tidak memiliki efek vasokonstriksi yang signifikan pada arteri
serebral. Alirandarah koroner akan meningkat setelah pemberian epinephrine,
walaupun pada dosis yangtidak merubah tekanan darah sistemik
Dopamine
Dopamine merupakan immediate metabolic precursor dari norepinephrine
yangmengaktifkan reseptor D1 di vaskular sehingga menyebabkan vasodilatasi.
Aktivasi reseptorprasinaptik D2 mampu menekan release norepinephrine. Dopamine
dapat mengaktifkan
reseptor β1 di jantung. Pada dosis rendah, tahanan perifer dapat menurun. Namun
pada pemberian infus dengan kecepatan tinggi, dapat mengaktifkan reseptor α pem
buluh darah,menyebabkan vasokonstriksi, termasuk di vaskuler ginjal, sehingga
menyerupai efek epinephrine.
Dopamine memiliki efek dopaminergik dominan pada dosis sangat rendah
(<3µ/kg/menit intravena) dan mampu menimbulkan dilatasi pada sirkulasi
hepatosplanchnic danrenal. Efek adrenergik dopamine bervariasi berdasarkan dosis.
Pada dosis rendah, 3-10µ/kg /menit intravena, efek β adrenergik mendominasi
sehingga aliran darah meningkat secara
bersama-sama dengan tekanan darah. Pada dosis yang lebih tinggi,
efek α adrenergik menjadi sangat poten, sehingga sangat berperan pada kasus-kasus
hipotensi berat. Dopaminemeningkatkan tekanan arterial terutama dengan
meningkatkan cardiac index, sebagaikonsekuensi meningkatnya stroke volume dan
heart rate, dengan efek tahanan vaskulersistemik yang minimal. Dopamine juga
memiliki kekurangan, diantaranya adalah dopaminetergolong agen yang relatif
lemah, sehingga membutuhkan epinephrine atau norepinephrineuntuk mengontrol
keadaan hipotensi. Dopamine dapat meningkatkan aliran darah lebihefektif
dibandingkan dengan vasopressor lainnya, namun juga meningkatkan heart rate.
1
Stimulasi dopaminergik menyebabkan efek endokrin yang tidak diharapkan
padakelenjar hipotalamopituitari, sehingga terjadi efek imunosupressan akibat
menurunnyapelepasan prolactin.
Ephedrine
Ephedrine merupakan non katekolamin sintetik yang bekerja secara tidak
langsungmerangsang reseptor α dan β
adrenergik. Efek farmakologinya secara tidak langsungberkaitan dengan pelepasan
norepinephrine endogen, atau secara langsung denganmerangsang reseptor
adrenergik. Ephedrine tidak dimetabolisme oleh MAO di saluran cernasehingga
memungkinkan untuk diabsobsi utuh oleh sirkulasi sistemik setelah pemberian
oral.Pemberian ephedrine intramuskuler memungkinkan, namun dapat
mengakibatkanvasokontriksi lokal sehingga menghambat absorbsi sistemik