KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (Analisis Perbandingan Antara Negara Indonesia Dengan Negara Prancis) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: ANNISA HIDAYATUSH SHOLIKHA NIM : 11160480000003 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H / 2021 M
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
(Analisis Perbandingan Antara Negara Indonesia Dengan Negara Prancis)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ANNISA HIDAYATUSH SHOLIKHA
NIM : 11160480000003
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2021 M
i
KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
(Analisis Perbandingan Antara Negara Indonesia Dengan Negara Prancis)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ANNISA HIDAYATUSH SHOLIKHA
NIM : 11160480000003
HALAMAN JUDUL
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2021 M
ii
KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
(Analisis Perbandingan Antara Negara Indonesia Dengan Negara Prancis)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ANNISA HIDAYATUSH SHOLIKHA
NIM : 11160480000003
LEMBAR PERSETUJUAN
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2021 M
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ismail Hasani, S.H.,M.H.
NIP. 19771217 200710 1 002
Fathudin, S.H.I., S.H.,M.A. Hum., M.H.
NIP. 19850610 201903 1 007
iii
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Annisa Hidayatush Sholikha
NIM : 11160480000003
Program Studi : Ilmu Hukum
Alamat : Komplek Sepolwan Pasar Jumat, Jakarta Selatan, 12310
dilakukan oleh Mahkamah Agung begitu banyak, tidak hanya perkara
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang tetapi
juga perkara kasasi dan upaya hukum lain serta perkara peninjauan kembali
yang notabenenya membutuhkan waktu untuk penyelesaiannya, sehingga
tidak menunjukkan integralitas visi dan konsep hukum atas asas peradilan
yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan, karena antara Mahkamah Agung
dan Mahkamah Konstitusi memiliki standar berbeda mengenai konsep hukum
yang ditegakkan. Sehingga atas hal tersebut peneliti tertarik untuk mengkaji
lebih secara komperehensif pembahasan ini dalam bentuk skripsi yang
berjudul KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN (Analisis Perbandingan Antara Negara Indonesia Dengan
Negara Prancis)
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan penjabaran yang telah diuraikan dalam latar belakang
masalah, maka identifikasi masalahnya ialah sebagai berikut:
a. Ketidaksinambungan akibat telah dilaksanakan suatu Undang-
Undang yang inkonsisten terhadap Peraturan Perundang-Undangan
yang lebih tinggi.
b. Upaya penanganan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di
Mahkamah Agung dengan pelimpahan kewenangan kepada
Mahkamah Konstitusi.
c. Urgensi kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan
antara negara Indonesia dengan negara Prancis.
d. Adanya perbedaan lembaga Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan antara negara Indonesia dengan negara Prancis.
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan serta masalah yang berhasil di
identifikasi oleh peneliti, maka permasalahan yang timbul semakin
kompleks sehingga peneliti membatasi masalah-masalah yang akan
7
dibahas dengan tujuan agar peneliti fokus terhadap historikal konteks dan
kewenangan dari Pengujian Peraturan Perundang-Undangan antara Negara
Indonesia dan Negara Prancis.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembatasan masalah
tersebut, peneliti akan mengkaji tentang komparasi dalam Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan antara Negara Indonesia dengan Negara
Prancis, maka perumusan masalah yang ingin disajikan oleh peneliti
dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana Perkembangan pada Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan di Indonesia?
b. Bagaimana Perbandingan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan
Antara Negara Indonesia, dengan Negara Prancis?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang permasalahan dan perumusan masalah di
atas, maka tujuan diadakan penelitian ini sebagai berikut:
a. Mengetahui Perkembangan Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan di Indonesia.
b. Mengetahui Perbandingan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan
di Negara Indonesia dan Negara Prancis.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
sehingga dapat menambah wawasan yang dapat digunakan dalam
pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan terkhusus pada
hukum kelembagaan negara. Serta dapat dijadikan sebagai bahan
acuan oleh kalangan pelajar, mahasiswa dan kalangan akademis
lainnya.
8
b. Secara Praktis
Penelitian ini dapat bermanfaat bagi para peminat hukum
kelembagaan negara, juga manfaat praktisnya yaitu dapat dijadikan
bahan referensi dan bahan kajian untuk pertimbangan bagi pembentuk
Undang-Undang dan dapat diterapkan dalam bentuk nyata sebagai
partisipasi dalam pembangunan negara dan masyarakat Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam skripsi ini, penulis menggunakan penelitian hukum
normatif10 yang menjadikan Undang-Undang serta putusan hakim sebagai
objek kajian yang kemudian ditinjau dari aspek teoritis maupun berbagai
hukum negara lain terkait mahkamah konstitusi.11
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif karena menggunakan
data kualitatif. Dalam penelitian terkait Kewenangan Pengujian Peraturan
Perundang-Undangan ini, peneliti menggunakan penelitian kualitatif yaitu
didasarkan pada relevansi data terhadap permasalahan, hasil penelitian ini
disajikan dalam bentuk kalimat-kalimat.
2. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Pendekatan Perundang-Undangan (statute-approach),12 yakni pendekatan
menggunakan legislasi dan regulasi dalam hal ini berkaitan dengan UUD
NRI 1945, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah
10Sukismo, Karakter Penelitian Hukum Normatif dan Sosiologis, (Yogyakarta:Penerbit
Puskumbangsi Leppa UGM, 2008), h. 8. 11 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), h. 35-37. 12 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:
Bayumedia, 2007), h.391.
9
Agung dan dan Pendekatan konseptual dengan (conceptual-approach)13
yang merujuk kepada doktrin hukum yang ada, dan juga Constitution Of 4
October, 1958 (Constitution du 4 October, 1958 en vigueur/ la
Constitution de la 5e Republique), yang mengatur tentang Dewan
Konstitusi (Council Constitutional), yang ada pada Title VII/BAB VII.14
3. Data Penelitian dan Sumber Bahan Hukum
Data yang peneliti butuhkan dalam menjawab permasalahan
penelitian ini berupa informasi terkait ketentuan dalam Peraturan
Perundang-Undangan mengenai Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan di negara Indonesia dan Negara Prancis. Aturan hukum yang
digunakan sebagai sumber bahan hukum berkaitan dengan aturan
Perundang-Undangan mengenai kekuasaan kehakiman, Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Informasi yang dibutuhkan tersebut tersimpan dalam dokumen
Peraturan Perundang-Undangan dalam bentuknya yaitu Undang-Undang
Dasar, dan Peraturan yang dibawahnya. Adapun penjabarannya sebagai
berikut:
a. Sumber Hukum Primer
1) UUD NRI 1945
2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi
4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
5) Constitution of 4 October, 1958 (Constitution du 4 octobre, 1958
en vigueur/ la Constitution de la 5e Republique), yang mengatur
tentang Dewan Konstitusi di Prancis
b. Sumber Hukum Sekunder
13 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta:Prenada Media, 2005), h. 119. 14 Desy Wulandari, “EX ANTE REVIEW, dalam Mewujudkan Konstitusionalitas
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”, Article Indonesian State Law Review,
Vol.1, No.1, Oktober 2018, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, h.39.
10
Bahan sekunder ialah bahan hukum yang memberi penjelasan
terhadap bahan primer. Bahan sekunder berupa publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumen resmi, meliputi:
1) Buku yang relevan dengan tema penelitian
2) Artikel, Jurnal, maupun makalah yan membahas tentang Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan
3) Bahan non-hukum
4. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan
data untuk sumber data primer dan penunjang berupa data sekunder
sebagai berikut:
Studi Dokumen, yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan
pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan
penelitian.15 Peneliti mengumpulan data dengan membaca dokumen yang
memuat informasi terkait Politik Hukum Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan. Dokumen yang dimaksud ialah Peraturan Perundang-
Undangan seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah
Agung, Constitution of 4 October, 1958 (Constitution du 4 octobre 1958
en vigueur/ la Constitution de la 5e Republique), yang mengatur tentang
Dewan Konstitusi di Prancis.
5. Teknik Pengolahan Data dan Metode Analisis Data
Data yang telah diperoleh dari studi dokumen yang telah dilakukan
selanjutnya akan disederhanakan lalu akan diolah menjadi analisis
deskriptif yaitu memaparkan atau menarasikan informasi yang telah
15 Supriyadi, “Community Of Practitioners: Solusi Alternatif Berbagi Pengetahuan Antar
Pustakawan”, Jurnal Lentera Pustaka, (Semarang, 2016), h. 85.
11
didapatkan dalam bentuk rangkaian kalimat-kalimat hingga mudah
dipahami.
Penelitian ini menggunakan metode analisis normatif, sebuah jenis
penelitian dengan menekankan aspek pemahaman suatu norma hukum
yang terdapat dalam Perundang-Undangan serta norma-norma yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat.
6. Metode Penulisan
Acuan metode penulisan penelitian ini mengacu kepada “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2017” yang
diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum.
E. Sistematika Pembahasan
Masing-masing bab dalam penelitian ini terdiri atas beberapa sub bab
sesuai dengan pembahasan dan materi yang akan diteliti. Adapun perinciannya
sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini membahas mengenai Latar Belakang Masalah, Identifikasi
Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat
Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II KEKUASAAN KEHAKIMAN
Bab ini memuat beberapa teori yang menjadi landasan berfikir
dalam permasalahan yang dibahas yang saling memiliki
keterkaitan hukum, Dalam bab ini peneliti membahas mengenai
kajian pustaka, kerangka konseptual, kerangka teoritis dan
tinjauan (review) kajian terdahulu.
BAB III PERKEMBANGAN PENGUJIAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Bab ini membahas mengenai Lembaga yang menguji Peratutan
Perundang-Undangan di Indonesia maupun di Prancis. kemudian
dalam bab ini juga, membahas mengenai Perkembangan Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan dilingkungan Kekuasaan
12
Kehakiman dan juga mengenai kewenangannya. Yang dimana
didalamnya berisikan Sejarah Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan di Indonesia dari sebelum amandemen dan setelah
amandemen dan begitu pula di lingkungan Prancis.
BAB IV KOMPARASI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN ANTARA NEGARA INDONESIA DENGAN
NEGARA PRANCIS
Bab ini membahas secara mendalam fokus utama disertai dengan
hasil analisis data secara mendalam mengenai:
a. Perkembangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di
negara Indonesia.
b. Perbandingan mengenai Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan Antara Negara Indonesia dengan Negara Prancis.
BAB V PENUTUP
Bab ini merupakan bagian akhir dalam penelitian ini yang berisikan
kesimpulan pembahasan dan rekomendasi. Kesimpulan merupakan
hasil penyederhanaan dari analisis data yang telah didapatkan serta
hasil pembuktian maupun uraian yang telah dideskripsikan pada bab
sebelumnya yang berkaitan dengan pokok masalah.
13
BAB II
KEKUASAAN KEHAKIMAN
A. Kerangka Konseptual
Kerangka Konseptual ini bertujuan untuk memberikan batasan mengenai
apa yang akan diteliti di dalam penelitian ini. Kerangka Konseptual pada
hakikatnya merumuskan definisi operasional yang akan digunakan untuk
menyamakan presepsi. Terdapat beberapa definisi yang dipakai dalam rujukan
penulisan skripsi ini. Adanya definisi ini karena membahas persoalan hukum
sehingga peneliti tidak mengacu kepada pendapat perseorangan saja namun
merujuk pada Peraturan Perundang-Undangan. Berikut ialah beberapa definisi
yang akan diuraikan sebagai berikut:
1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Berbicara mengenai penyempurnaan pelaksanaan reformasi
konstitusional yang integral menuju proses demokratisasi, perlu
dibentuknya suatu mahkamah yang memang dikhususkan untuk menjaga
konsitusi suatu negara. Oleh karena itu dalam perubahan ketiga Undang-
Undang Dasar dalam Pasal 24 ayat (2) tertulis “kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung, dan Badan Peradilan Umum,
Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara, dan juga pada sebuah Mahkamah
Konstitusi”. Pasal 24C ayat (1) menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan juga terakhir, yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar, kemudian memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik dan juga memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum (pemilu).1 Kewenangan menurut H.D Stoud
adalah keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan
penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik dalam
1 Jimly Asshhiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Rawamangun: Sinar
Grafika, 2011), h. 204.
14
hukum publik, artinya Mahkamah Konstitusi mempunyai sebuah sebuah
hak atau kekuasaan yang telah dilimpahkan kepadanya sesuai dengan apa
yang telah dijelaskan didalam Peraturan Perundang-Undangan.2
2. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Peraturan
Perundangan Satu Atap di Indonesia
Pandangan mengenai pemberlakuan satu atap pengajuan untuk
menguji Peraturan Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi,
merupakan suatu upaya untuk menguatkan bahwasanya, Mahkamah
Konstitusi merupakan Court of Law, dan Mahkamah Agung merupakan
Court of Justice, karena Pengujian Peraturan Perundang-Undangan
termasuk juga kedalam ranah Court of Law bukan Court of Justice.3
Kemudian dalam proses beracara di Mahkamah Agung dianggap kurang
fair. Jika berperkara di Mahkamah Konstitusi dilakukan dengan konsep
terbuka untuk umum, maka permohonan Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan di Mahkamah Agung dilakukan secara tertutup. Dengan
sistem pengalihan kewenangan pada Pengujian Peraturan yang ada di
bawah Undang-Undang, dari Mahkamah Agung ke Mahkamah
Konstitusi merupakan suatu hal yang dapat memudahkan masyarakat
agar tidak menimbulkan kebingungan dalam perkara pengajuan dalam
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan. Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, Mahkamah Agung merupakan institusi yang sangat sibuk
dengan banyaknya suatu perkara, sehingga pelimpahan kewenangan itu
akan meringankan kerja pada Mahkamah Agung. Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, Mahkamah Agung dengan kuantitas SDM yang
terbatas, harus menangani puluhan ribu perkara setiap tahunnya.
Demi mengejawantahkan upaya dalam Pengujian Peraturan
Perundangan satu atap melalui Mahkamah Konstitusi, sistem dasar yang
perlu dilakukan supaya pengalihan kewenangan Pengujian Peraturan
2 Stoud HD, De Betekenissen Van De Wet, Dalam Irfan Fachruddin, Pengawasan
Peradilan Adiministrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, (Bandung: Alumni, 2004), h. 4.
3Jimly Asshiddiqie, MK Siap Ambil Alih Wewenang MA Uji Aturan di Bawah UU,
http://www.antaranews.com/print , diakses tanggal 20 oktober 2020.
Menurut Teori Konstitusi, sistem dalam Pengujian Peraturan
Perundang-Undangan merupakan suatu bentuk upaya untuk menguatkan
konsep negara hukum yang menempatkan konstitusi sebagai hukum
tertinggi. Pengujian Peraturan Perundang-Undangan merupakan
konstitusi bergaransi terhadap semua produk hukum untuk menciptakan
penegakan hukum yang baik dalam suatu Negara.5
Istilah lain dari Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, yaitu
dikenal dengan istilah Judicial Rivew. Dalam hal ini, istilah Judicial
Review terpatok penggunaanya pada proses uji Perundang-Undangan,
yang dilakukan oleh suatu lembaga peradilan. Kemudian, terpapar pula
mengenai pembagian Judicial Review, Constitutional Review dan
Judicial Constitutional Review. Yang dimana, Constitutional Review
digunakan secara umum guna untuk proses uji konstitusionalitas produk
dalam Perundang-Undangan yang berada di bawah naungan konstitusi,
dan juga dilakukan oleh lembaga legislatif, (seperti oleh MPR pada masa
Orde Baru) bisa juga oleh lembaga peradilan, bahkan oleh sebuah
lembaga khusus yang ditunjuk untuk melakukan tugas uji constitutional
tersebut (seperti Dewan Konstitusi di Prancis). Istilah khusus Judicial
Constitutional Review baru dapat digunakan dalam membicarakan proses
uji konstitusionalitas yang dilakukan oleh lembaga peradilan saja.6
4. Dewan Konstitusi (Conseil Constitutionnel)
Tercantum jelas didalam sistem konstitusi Prancis mengenai ‘Cour
de’Cassation’ yang terpisah keberadaannya dari ‘Conseil
Constitutionnel’. Dalam artian ‘Cour de’Cassation’ itu sendiri yaitu
Mahkamah Agung, lembaga pradilan; sedangkan ‘Conseil
Constitutionnel’ bukan pengadilan, melainkan Dewan Konstitusi. Oleh
karenanya, penyebutannya bukan ‘cour’ (pengadilan), tetapi ‘conseil’
5 Taufiqurrahman Syahuri, Pengkajian Konstitusi Tentang Problematika Pengujian
Peraturan PerundangUndangan, (Jakarta: BPHN Kemenhum dan HAM RI, 2014), h. 51-52. 6 https://alisafaat.wordpress.com/2008/05/28/toetsingsrecht-%E2%80%93-judicial-review-
%E2%80%93-constitutional-review, (Di Akses pada 25 Januari, 2021 pukul 22:11 WIB)
yang dibentuk merupakan konstitusi demokrasi yang menghendaki rule
of the law.14
Dalam bukunya I Dewa Gede Atmadja15 yang berjudul Hukum
Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD
1945, dikutip pengertian konstitusi dari Kamus Hukum Inggris, Oxford
Dictionary of Law bahwa “Constitution is the rules and practices that
determain the composition and functions of the organs of central and
local government in a state and regulate the relationship between
individual and the state”. Dalam terjemahannya konstitusi adalah aturan-
aturan hukum dan praktek-praktek yang menentukan susunan dan fungsi
lembaga pemerintahan pusat dan daerah, serta mengatur hubungan antara
warga negara dan negara.
Sejatinya, perlu pemahaman lebih mengenai konstitusi dan
konstitusional, karena terdapat perbedaan. Yang dimana dalam hal ini,
konstitusi merupakan ketentuan yang mengatur mengenai ketatanegaraan
sedangkan konstitusional yang merupakan pembatasan kekuasaan dan
jaminan hak rakyat melalui konstitusi.
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Tinjauan terhadap kajian terdahulu ialah bertujuan untuk
membandingkan skripsi atau karya ilmiah yang telah ada dengan apa yang
akan diteliti mengenai penelitian tersebut guna menghindari pemahaman
bagi pembaca ataupun penulis terhadap duplikasi, replikasi, dan
penjiplakan. Berikut beberapa penelitian atau karya ilmiah yang telah ada:
1. CAHYO DWI NUGRAHANTO dalam skripsi yang berjudul “HAK
UJI MATERIL OLEH KEKUASAAN KEHAKIMAN (PENGUJIAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN) TERHADAP
PERATURAN MENTERI OLEH MAHKAMAH AGUNG
14 Novendri M. Nggilu, Hukum dan Teori Konstitusi (Perubahan Konstitusi yang
partisipatif dan Populis), (Yogyakarta: UII Press, 2015), h.17. 15 I Gede Atmajaya, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah
Perubahan UUD 1945, (Malang: Setara Press, 2010), h. 22-23.
22
REPUBLIK INDONESIA”.16 Skripsi ini terfokus mengkaji mengenai
peraturan menteri yang diakui keberadaan dan eksistensinya dalam
sistem legislasi nasional, juga terfokus kepada lembaga negara yang
berwenang untuk melakukan pengujian terhadap Peraturan Perundang-
Undangan, baik menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar maupun menguji peraturan dibawah Undang-Undang terhadap
Undang-Undang adalah Mahkamah Konstitusi. Berbeda dengan skripsi
peneliti yang berfokus membahas mengenai historikal konteks dan
kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
dan Negara Prancis.
2. SYLVIA AMANDA dalam skripsi yang berjudul “STUDI
PERBANDINGAN PRINSIP HUKUM ACARA DI MAHKAMAH
KONSTITUSI DAN MAHKAMAH AGUNG DALAM SIDANG
PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN”.17 Skripsi ini terfokus
pada keterkaitan hukum beracara Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dan alasan
mengapa Pengujian Peraturan Perundang-Undangan oleh Mahkamah
Agung dilakukan secara tertutup untuk umum, selain itu skripsi
tersebut juga mengkaji mengenai persidangan Pengujian Peraturan
Perundang-Undangan yang juga dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi
dan dilakukan secara terbuka. Persamaan dengan skripsi tersebut yaitu
sama-sama membahas mengenai perbandingan, yang membedakan
dengan peneliti, peneliti membahas mengenai historikal konteks dan
kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, yang dimana
didalamnya terdapat sejarah awal dan sesudah amandemen mengenai
Pengujian Peraturan Perundang-Undangn di indoensia dan
16 Cahyo Dwi Nugroho, Hak Uji Materil Oleh Kekuasaan Kehakiman (Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan) Terhadap Peraturan Menteri oleh Mahkamah Agung Republik
Indonesia, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret, 2011. 17 Sylvia Amanda, Studi Perbandingan Prinsip Hukum Acara di Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung dalam Sidang Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2017.
23
membandingkan dengan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan
yang ada di Negara Prancis.
3. INGGRIT IFANI dalam skripsi yang berjudul “LEGAL STANDING
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG OLEH MAHKAMAH
KONSTITUSI RI”.18 Skripsi ini terfokus membahas mengenai apakah
wewenang Mahkamah Konstitusi menguji Peraturan Perundang-
Undangan sudah sesuai dengan UUD 1945, tentu jelas berbeda dengan
peneliti, peneliti membahas mengenai kewenangan Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan satu atap di Indonesia dan
menganalisis perbandingan antar Negara yaitu Negara Prancis.
4. Artikel Jurnal berjudul “KEWENANGAN PENGUJIAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MAHKAMAH
AGUNG TERHADAP PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DI BAWAH UNDANG-UNDANG”.19 Oleh Doni Silalahi. Jurnal ini
fokus mengkaji dan memusatkan Kewenangan Pengujian Peraturan
Perundang-Undangan Mahkamah Agung. Persamaan di dalam skripsi
yang peneliti teliti adalah sama-sama membahas mengenai
kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan. Sedangkan
perbedaannya adalah peneliti fokus terhadap komparasi Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia dengan Negara Prancis.
5. Artikel Jurnal berjudul “PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN INDONESIA”.20 Oleh Machmud Aziz. Dalam
pembahasan yang di tulis oleh penulis, pokok masalah yang ada
didalamnya berisikan mengenai Pengujian peraturan Perundang-
Undangan dalam arti luas, kemudian pada dasarnya di samping untuk
18 Inggrit Ifani, Legal Standing Ppengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi RI,
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2015. 19 Doni Silalahi, “Kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Mahkamah
Agung Terhadap Peraturan Perundang-undangan di Bawah Undang-Undang”, Jurnal Mahasiswa
S2 Hukum Universitas Tanjungpura, Vol.3 No. 3, 2016.
20 Machmud Aziz, “Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Dalam Sistem Peraturan
Amandemen UUD 1945 telah memberikan suatu perubahan yang sangat
signifikan, yaitu telah mengamanatkan kepada dua lembaga yang terdapat dalam
kekuasaan kehakiman, yaitu menjalankan kewenangannya dalam Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan. Perubahan yang terjadi ini tentu menjadi bagian
dari pengaruh dari pergerakan politik dan ketatanegaraan pada saat itu, dan
dilatarbelakangi dengan adanya reformasi.
Terdapat isu yang menjadi sebuah perdebatan dalam amandemen Undang-
Undang Dasar 1945, yaitu telah diberikannya kewenangan kepada lembaga
yudisial untuk melaksanakan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan,
khususnya Pengujian Undang-Undang. Kemudian, kewenangan ini diakomodasi
dalam Pasal 24C UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah
Konstitusi untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD, sedangkan Pengujian
1 Sri Soemantri, Hak Uji Material di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1997), h. 71-74.
27
Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang diberikan kepada
Mahkamah Agung.2
Tradisi hukum yang berkembang di Prancis, memang awalnya di warisi
oleh pemikiran Rousseau. Menurut Prof. Djokosutono yang dijadikan pedoman
tidak lagi paham Montoesquieu, tetapi paham Rousseau. Dalam kajian filosofis
Rousseau kehendak umum (general will) adalah keinginan yang tidak dapat
dipertanyakan. Ketika itu gagasan the sovereignity of the law of the people
mendominasi paradigma berpikir di kalangan para ahli dan praktisi Prancis, yang
berdaulat ialah de collective will. Maka ada baiknya mengulas sejenak periode
berlakunya ajaran tersebut. Ajaran ini pada kenyataannya membuat pasang surut
perkembangan sistem constitutional review di sebagian besar negara-negara
Eropa. Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi atau organ sejenisnya yang
terdapat di negara-negara Eropa adalah lembaga yang didirikan atau dibentuk
untuk menyandang peran sebagai pengawal konstitusi tersebut sama sekali
terlepas dari sistem peradilan umum. Oleh karena itu, kedudukannya terpisah, sui
gene organ konstitusional dan memiliki kekuasaan eksklusif untuk
menyelenggarakan pengujian konstitusional terhadap Rancangan Undang-Undang
dan peraturan tata tertib parlemen.3
A. Sejarah Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di Negara Indonesia
Kualitas penting yang harus dijaga di negara Indonesia, salah satunya
adalah Pengujian Peraturan Perundang-Undangan. Dalam hal ini, seperti yang
kita pelajari bersama, pada dasarnya, Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan merupakan suatu pengujian terhadapa produk hukum yang
dilakukan oleh suatu lembaga yudikatif atau suatu badan peradilan, yang
dimana lembaga ini memiliki kewenangan yang diberikan oleh konstitusi
untuk menguji produk hukum yang dibentuk oleh lembaga legislatif. Peranan
dari Mahkamah Konstitusi sendiri adalah dalam menguji konstitusionalitas
Undang-Undang (secara materiil dan formal) memerlukan penggunaan
2Lutfil Ansori, “Politik Hukum Judicial Review Ketetapan MPR”, Jurnal Hukum dan
Perundangan Islam, Vol. 6, No.1, April 2016, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, h.30. 3 Djosutono, Hukum Tata Negara, dihimpun oleh Harun Al Rasid, (Ghalia Indonesia:
Jakarta, 1982), h. 91.
28
interpretasi penafsiran hukum atas Undang-Undang Dasar. Artinya bahwa
dengan interpretasi penafsiran hukum atas UUD, Mahkamah Konstitusi dapat
memperluas atau mempersempit arti, maksud, dan tujuan dari UUD.4 Dalam
melakukan kewenangannya untuk pengujian (judicial review), juga dipercaya
untuk menjalankan fungsi check and balances di antara lembaga pemegang
kekuasaan negara. Secara teori, fungsi tersebut dilakukan untuk menghindari
kesewenang-wenangan lembaga-lembaga negara.5 Kata istilah Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan lebih dikenal dalam masyarakat di Indonesia,
sebenarnya lahir dari negara yang menganut asas sistem pemisahan kekuasaan
(trias politica) dimana Amerika Serikat sebagai negara yang terkenal
menggunakannya prinsip tersebut.
Dalam histrorinya, pada saat pertama kali dilaksanakan di negara
Amerika, Amerika belum mempunyai suatu pengaturan yang ada pada
konstitusi atau Undang-Undang. Tidak ada aturan yang memperkenankan
adanya kewenangan pada Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Agung,
namun ketua Mahkamah Agung pada saat itu, yakni Jhon Marshall
mempernyatakan bahwa terdapat kewajiban konstitusional para hakim pada
saat disumpah untuk menjaga konstitusi. Marshal, mengeluarkan argumentasi
bahwa dengan pernyataan sumpah memberikan kewajiban pada Mahkamah
Agung untuk menjaga supremasi konstitusi. Hal ini memberikan kewajiban
kepada Mahkamah Agung, untuk dapat menyatakan Undang-Undang tidak
memiliki kekuatan yang mengikat apabila Undang-Undang tersebut dianggap
melanggar konstitusi.6 Kasus untuk pertama kali tersebut dikenal dengan
kasus Marbury vs Madison pada tahun 1803. Marbury vs Madison merupakan
kasus hukum mengenai pengangkatan sekelompok hakim baru pada larut
malam yang kemudian dikenal sebagai “the midnight judges”, hakim-hakim
4 Muhammad Junaidi, Hukum Konstitusi “Pandangan dan Gagasan Modernisasi Negara
Hukum”, (PT RajaGrafindo Persada: Depok, 2018), h. 177. 5 Maria Farida Indrati, Pengujian Peraturan PerundangUndangan Mengenal Keberadaan
Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Modul 1, h. 3. 6 Maria Farida, Masalah Hak Uji Terhadap Peraturan Perundang-Undangan dalam Teori
Perundang-Undangan, Seri Buku Ajar, (Jakarta: FHUI, 2000) h.105.
29
tengah malam.7 Untuk memperluas lebih dalam mengenai makna suatu
Judicial Review (Pengujian Peraturan Perundang-Undangan), kita dapat
mencoba mengenal suatu istilah yang dikenal dalam kepustakaan Belanda,
yakni toetsingsrecht. Toetsingsrecht merupakan hak menguji terhadap produk
hukum. Hak menguji ini akan memiliki sebutan yang berbeda, sesuai lembaga
mana yang akan menggunakannya.8
Kembali lagi pada pembahasan mengenai Pengujian Peraturan
Perundang-Undangan di negara Indonesia, sejatinya hak menguji produk
hukum yang dipegang pada lembaga yudikatif di Indonesia terbagi menjadi
dua yaitu oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi, dengan
menjalankan tugas yang berbeda satu sama lain. Mahkamah Konstitusi dalam
hal pengujian, lembaga ini menguji khusus Undang-Undang, kemudian
Mahkamah Agung menguji Peraturan Perundang-Undangan di bawah
Undang-Undang. Meskipun Judicial Review dan Toetsingrecht mempunyai
history yang berbeda dalam perkembangannya, tetapi esensi dari kedua
pengertian tersebut hamper sama, yaitu menguji produk hukum.
Perkembangan hukum dan ketatanegaraan dalam masalah pengujian produk
hukum pada lembaga yudikatif inilah yang tidak lepas mempengaruhi adanya
pembentukan Mahkamah Konstitusi di dunia, terkhususnya di negara
Indonesia.9 Dalam kultur di negara Eropa Continental, pengujian hukum
tersentralisasi pada satu badan yang dikenal dengan istilah Centralized
Judicial Review.
Ketika diberlakukannya suatu Konstitusi Republik Indonesia Serikat
(RIS), Pengujian Peraturan Perundang-Undangan pernah menjadi salah satu
wewenang pada Mahkamah Agung. Tapi, hanya terbatas pada Pengujian
Undang-Undang Negara bagian terhadap suatu Konstitusi. Seperti yang
tercantum dalam Pasal 156, Pasal 157, dan Pasal 158, Konstitusi Republik
7 Ismail Hasani, Pengujian Konstitusionalitas PERDA, (Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2020), h. 64. 8 Jimly Asshidiqqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konpres, 2006),
h.2. 9 Tim Penyusun Hukum Acara MK, Hukum Acara MK, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan MKRI, 2010) h.1.
30
Indonesia Serikat. Berbeda halnya dengan Undang-Undang Dasar Sementara
Tahun 1950, konstitusi ini tegas tidak mengatur mengenai Pengujian Undang-
Undang. Persoalan ini dipengaruhi dengan cara pandang bahwa Undang-
Undang dilihat sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh
pemerintah bersama DPR.10
Sebelum adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945, wewenang
menguji suatu Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 di
pegang oleh MPR. Kewenangan MPR ini berdasarkan kepada Ketetapan MPR
Nomor III/MPR/2000 mengenai Sumber Hukum, dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan. Pada Pasal 5 ayat (1) ketetapan tersebut terbilang
“Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dan Ketetapan MPR.” Dalam
perkembangannya, hampir tidak pernah MPR melakukan tindakan pengujian
terhadap Undang-Undang yang notabene seluruhnya dibuat oleh eksekutif.
Dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (SU MPR) 6 Oktober
Tahun 1999, fraksi-fraksi MPR di samping sepakat untuk mengamandemen
UUD 1945, prioritas utama dalam amandemen tersebut dilakukan terhadap
DPR dan Mahkamh Agung.11 Kemudian, kebijakan tersebut diambil dalam
rangka memperkuat kedudukan kekuasaan kehakiman dan kekuasaan pembuat
Undang-Undang. Dari pemikiran seperti itu, beberapa dinamika pemikiran
terkait dengan upaya merumuskan suatu lembaga yang berwenang untuk
melakukan pengujian terhadap Undang-Undang yaitu Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi.
Pokok pemikiran yang menyatakan bahwasanya wewenang tersebut
diberikan kepada MPR akhirnya dikesampingkan, karena sudah tidak lagi
menjadi lembaga tertinggi pada saat itu. Kemudian gagasan yang menyatakan
bahwasanya kewenangan diberikan kepada Mahkamah Agung, juga akhirnya
tidak dapat diterima. Karena Mahkamah Agung sendiri sudah banyak
terbebani dalam menangani tugas dan kasus-kasus. Dan salah satu
10 Sri Soemantri, Hak Menguji Material di Indonesia, … , h. 25. 11 MPR RI, Risalah Rapat ke-1 Badan Pekerja MPR RI, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR
RI, 1999), h. 80- 81.
31
kewenangan Mahkamah Agung yang membatasi dirinya yaitu sebagai
lembaga penguji produk hukum dibawah Undang-Undang. Sampai kemudian
disepakati bahwa, Mahkamah Konstitusi merupakan satu-satunya lembaga
yang representative untuk melakukan pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai lembaga yang independen, Mahkamah
Konstitusi juga termasuk kedalam lembaga Kekuasaan Kehakiman.
Pengujian yang dilakukan oleh suatu lembaga khusus, pertama kali
diusulkan oleh Professor Hans Kelsen. Menurutnya, dalam sebuah negara
hukum, penting dengan dipusatkan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan
yang dipegang oleh satu badan khusus. Kelsen yang saat itu berperan dalam
pembentukan konstitusi di negara Austria, mencoba memperkenalkan adanya
sebuah lembaga Pengujian Peraturan Perundang-Undangan khusus yang
dinamakan “verfassungsgerichtshof” atau Mahkamah Konstitusi.12 Usulan
idenya diterima, kemudian dirumuskan dalam konstitusi Austria. Walaupun
sebelum adanya ide ini, Austria telah mengenal kewenangan mengadili
sengketa antar warga negara dengan pemerintahan terkait dengan
perlindungan hak politik, bahkan untuk pengadilan negara bagian telah ada
wewenang memutuskan keberatan konstitusional yang diajukan warga negara
atas tindakan negara.13 Namun, kewenangan tersebut ada pada Mahkamah
Agung di negara Austria, sedangkan gagasan Kelsen yakni, pembentukan
lembaga khusus yaitu Mahkamah Konstitusi untuk melakukan Judicial Review
kepada produk hukum. Pada saat itu, pemikiran briliannya kemudian menjadi
pembicaraan yang hangat di kalangan ilmuwan Eropa Continental. Jimly
Asshidiqie mengatakan bahwa negara Austrialah yang menjadi negara pelopor
terbentuknya Mahkamah Konstitusi sebagaimana tercantum dalam Undang-
Undang Dasar 1920 Austria.14 Setelah pendirian Mahkamah Konstitusi di
Austria, barulah bermunculan Mahkamah Konstitusi yang serupa di beberapa
12 Jimly Asshiddiqie, Sejarah Constitutional Review dan Gagasan Pembentukan MK,
makalah yang dibuat untuk acara “The Three E Lecture Series”, @merica, Pacific Place, Level 3,
(Jakarta, 18 Juni 2012), h.1. 13 Muchamad Ali Safaat, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretriat Jendral
MK RI, 2011), H. 2-3. 14 Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi, Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional
sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, (Jakarta: Prandnya Paramita, 2006), H. 131.
32
negara, termasuk Indonesia. Pada tahun 2003, Indonesia membentuk
Mahkamah Konstitusi. Menurut Jimly Asshidiqqie, pada tahun tersebut telah
ada 78 negara yang memiliki Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri di
luar struktur dari Mahkamah Agung.15
B. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Melaksanakan Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Moh. Mahfud MD, pada tahun 2009 telah membuka wacana untuk
menambah kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan judicial
review terhadap seluruh Peraturan Perundang-Undangan. Adapun alasan yang
dikemukakan Moh. Mahfud MD, adalah16
Pengujian Undang-Undang terhadap UUD dan Pengujian Peraturan
Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang terhadap Peraturan
Perundang-Undangan yang derajatnya lebih tinggi semuanya dijadikan
kewenangan Mahkamah Konstitusi. Hal ini dimaksudkan agar ada
konsentrasi dan konsistensi penafsiran semua Peraturan Perundang-Undangan
dari yang paling tinggi (UUD) sampai yang paling rendah (Perda).
Dari gagasan Mahfud di atas, ada dua hal yang menjadi dasar
pertimbangannya, yaitu konsentrasi dan konsistensi penafsiran semua
peraturan perundang-undangan. Mengacu kepada pendapat Mahfud tersebut,
tidak lain dimaksudkan untuk dapat mengejawantahkan konsepsi negara
hukum Indonesia yang konstitusional demokratis.
Seiring berjalannya waktu, penjabaran mengenai pengujian produk
legislasi oleh sebuah lembaga peradilan (Judicial Review) akan terus
berkembang. Bermula dari Amerika (1803) dalam perkara Madison versus
Marbury hingga pembentukan peradilan khusus konstitusional di Austria
(1920). Pokok-pokok pemikiran John Marshall dan Hans Kelsen telah
memengaruhi “cara” berhukum di banyak negara. Kemudian, Indonesia
sendiri mengimplementasikan konsep tersebut pada perubahan Undang-
15 Jimly Asshiddiqie, Sejarah Constitutional Review dan Gagasan Pembentukan MK, … ,
hal.1. 16 Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2009), h. 285.
33
Undang Dasar ke tiga. Berbicara mengenai Mahkamah Konstitusi, Mahkamah
Konstitusi sendiri terbentuk pada tanggal 13 Agustus 2003. Dalam kurun
waktu 7 (tujuh) tahun sejak berdirinya, Mahkamah Konstitusi telah menjadi
sebuah lembaga kekuasaan kehakiman yang diakui oleh para pencari keadilan
(Justisiabellen).17
Pembentukan Mahkamah Konstitusi menjadi jawaban akhir dari
beberapa kemungkinan lembaga mana yang diberikan kewenangan untuk
melakukan Judicial Review. Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga baru
yang menjadi pelaku kekuasaan kehakiman, selain Mahkamah Agung yang
sebelumnya telah ada. Perubahan Konstitusi Indonesia yang menempatkan
konstitusi sebagai pemegang kedaulatan tertinggi atau supremasi konstitusi.
Apabila sebelum perubahan UUD 1945, MPR dikatakan sebagai pemegang
kedaulatan rakyat, maka perubahan UUD ini menggantikan dengan menyebut
konstitusi sebagai norma yang akan memberikan perintah kepada lembaga
yang berwenang. Beberapa literatur menyatakan adanya perubahan dari
supremasi MPR menjadi supremasi konstitusi.
Hal ini tercermin pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi
“kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
UndangUndang Dasar” Konstitusi yang kemudian akan memberikan aturan
siapa yang akan melakukan kedaulatan tersebut dan termasuk batasan
wewenang lembaga negara dan pemerintah agar tidak melanggar hak-hak
rakyat Indonesia. Konstitusi adalah norma tertinggi yang berlaku sebagai
pedoman atau patokan dari norma-norma hukum lainnya. Konstitusi tidak
dapat dikesampingkan. Norma hukum di bawahnya harus sesuai. Untuk
memastikan kesesuaian antara konstitusi dengan norma hukum di bawahnya,
perlu dibentuk mekanisme yang dapat memastikan bahwa aturan hukum di
bawah konstitusi sesuai dan tidak bertentangan. Mahkamah Konstitusi yang
akhirnya diberikan tugas untuk melakukannya.18
17 Pusat Studi Konstitusi Hakultas Hukum Andalas, “Perkembangan Pengujian
PerundangUndangan di Mahkamah Konstitus”, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 6, Desember 2010,
h. 148. 18 Maria Farida Indrati, Modul Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, ... , h.10.
34
Mahkamah Konstitusi sendiri sebagai lembaga negara produk reforal.
Mahkamah Konstitusi menjadi tumpuan ekspektasi masyarakat yang
menginginkan tejadinya perbaikan dalam bidang penegakan hukum. Sejauh
ini, Mahkamah Konstitusi telah merespons harapan publik tersebut melalui
proses peradilan yang bersih dan putusan yang menjunjung tinggi prinsip
keadilan. Terkait dengan penegakan prinsip keadilan ini, Mahkamah
Konstitusi mengedapankan keadilan substantif, yaitu keadilan yang lebih
didasarkan pada kebenaran materil dari pada kebenran formal.19
Keberadaan Mahkamah Konstitusi tersebut diatur dalam Pasal 24C ayat
(1) dan ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen yang kemudian dipertegas
kembali dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Sejak
mulai tahun 2003 itulah Mahkamah Konstitusi telah membuka diri untuk
menerima permohonan dari masyarakat yang merasa hak-hak dan kewenangan
konstitusionalnya dilanggar akibat berlakunya suatu undang-undang. Pada
awalnya fungsi ini belum dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat, tetapi
seiring dengan perkembangan waktu dan tumbuhnya kesadaran masyarakat,
pada sepanjang tahun 2004 sampai tahun 2010 ini sudah cukup banyak
perkara yang diajukan dan diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi.
Sebagian dari perkara yang masuk tersebut sudah ada ketetapan
hukumnya dengan dijatuhkannya putusan oleh Mahkamah Konstitusi.
Kemudian pembentukan Mahkamah Konstitusi menandai era baru dalam
sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia. Beberapa wilayah yang tadinya
tidak tersentuh (untouchable) oleh hukum, seperti masalah pengujian
peraturan perundang-undangan terhadap Undang-Undang, sekarang dapat
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, termasuk juga kewenangan-
kewenangan lainnya yang diatur dalam UUD 1945 pasca amandemen.20
19 Muhammad Junaidi, Hukum Konstitusi Pandangan dan Gagasan Modernisasi Negara
Hukum, (Depok: Rajawali Pers, 2018), h. 183. 20 Bambang Sutiyoso, “Pembentukan Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaku Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 6, 2010, h. 26.
35
C. Sejarah Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di Prancis
Berbicara mengenai sejarah Peraturan Perundang-Undangan di Prancis,
terdapat sebuah sebutan yang berbeda dari negara Indonesia. Yang dimana, di
Indonesia bernama Mahkamah Konstitusi, dan di negara Prancis di sebutan
dengan Dewan Konstitusi. Dalam hal ini, Dewan Konstitusi Prancis sendiri,
didirikan pada tahun 1958 yang bertepatan dengan berlakunya Konstitusi
Republik Kelima. Semula ide pembentukan organ ini memang didesain untuk
melucuti kekuasaan parlemen. Oleh karena itu, organ yang disebut Conseil
Constitutionnel sering pula dikatakan sebagai bentuk paling mutakhir dari
sistem pengujian konstitusional. Akibatnya, model ala Prancis banyak
diadopsi oleh model constitutional review yang terdapat di negara-negara
Eropa. Conseil Constitutionnel adalah tribunal yang digagas secara khusus
untuk menegakkan kaidah-kaidah fundamental seperti tercantum dalam
Pembukaan Konstitusi 1946 dan Deklarasi tentang Hak-Hak Manusia.21
Di dalam sistem konstitusi Prancis, jelas tercantum ketentuan mengenai
‘Cour de’Cassation’ yang terpisah keberadaannya dari ‘Conseil
Constitutonnel’. ‘Cour de’Cassation’ adalah Mahkamah Agung, lembaga
pradilan; sedangkan ‘Conseil Constitutionnel’ bukan pengadilan, melainkan
semi-peradilan. Oleh karena itu sebutannya bukan ‘cour’ (pengadilan), tetapi
‘conseil’ (dewan). Perbedaan karakter politik atau hukum dari kedua lembaga
ini jelas terlihat pula dalam pola susunan keanggotaan keduanya. Jika di
Mahkamah Agung, seluruh anggotanya adalah ahli hukum dan berprofesi
sebaga hakim, maka dalam susunan keanggotaan ‘Consell Contitutionell’
tidak demikian. Anggotanya dapat berasal dari partai politik atau birokrat dan
sebagainya, meskipun sebagian terbesar di antaranya selalu para ahli hukum.
Memang pada hakikatnya fungsi-fungsi yang dijalankan oleh lembaga
pengawal konstitusi ini bukanlah fungsi-fungsi peradilan dalam arti yang
lazim. Dalam sistem konstitusi Prancis, lembaga ini lebih bersifat semi-
21 Jimly Asshiddiqie, Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, (PT Sinar
Grafika: Jakarta, 2011), h. 136.
36
peradilan.22 Memperhatikan asal-usul sistem pengujian konstitusional di
Prancis, Kekuasaan Dewan Konstitusi, yang diatur dalam Konstitusi,
ditentukan dan dilengkapi oleh undang-undang organik. Kekuasaan yang
diberikan padanya oleh undang-undang ini dapat dibagi menjadi dua kategori:
1. Ex ante review:
Dewan Konstitusi dipilih secara wajib dengan undang-undang
dasar dan peraturan Dewan Parlemen sebelum diundangkannya DPR dan
sebelum berlakunya DPR. Ini juga dapat dirampas dari komitmen
internasional sebelum ratifikasi atau persetujuannya. Untuk legislasi biasa,
Dewan dapat disita dari sebuah undang-undang sebelum diundangkan.
Dalam dua kasus terakhir ini, Dewan dapat ditangkap dengan cara yang
berbeda tergantung pada tindakan yang sedang ditinjau, baik oleh otoritas
politik (Presiden Republik, Perdana Menteri atau presiden Majelis
Nasional atau Senat), atau oleh setidaknya 60 Anggota Parlemen atau 60
Senator.
Sejak 1999, Dewan Konstitusi juga dapat memeriksa konstitusionalitas
undang-undang wilayah yang bergantung yang diadopsi oleh Kongres
Kaledonia Baru.
2. Ex post review:
Sejak 1 Maret 2010 dan setelah amandemen konstitusi tanggal 23
Juli 2008, Dewan Konstitusi dapat mempertimbangkan apakah ketentuan
legislatif yang sudah berlaku melanggar hak dan kebebasan yang dijamin
di bawah Konstitusi, bertindak atas rujukan oleh Conseil d'État atau
Pengadilan Kasasi. Dalam kasus seperti itu, pengujian konstitusional
dilakukan atas prakarsa pemohon, karena pertanyaan tersebut diajukan
melalui permohonan yang diajukan dalam persidangan di hadapan
pengadilan. Kasus-kasus tersebut melibatkan aplikasi untuk putusan
pendahuluan prioritas tentang masalah konstitusionalitas.
22 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, … , h.
56.
37
-Sebagai pengadilan yang bertanggung jawab untuk menggambarkan
yurisdiksi antara undang-undang dan bidang peraturan, Dewan Konstitusi
juga dapat ditangkap di satu sisi selama diskusi di depan Parlemen oleh
presiden DPR yang relevan atau oleh Perdana Menteri, atau di sisi lain
mantan pos oleh Perdana Menteri untuk mengklasifikasi ulang ketentuan
legislatif, yaitu mengubah dengan keputusan suatu ketentuan legislatif
yang isinya bersifat pengaturan.
- Menyusul amandemen tanggal 23 Juli 2008, Dewan Konstitusi dapat
dipanggil untuk memverifikasi apakah persyaratan di mana RUU diajukan
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang organik
(Undang-Undang Organik no. 2009-403 tanggal 15 April 2009).23
Sebelum berlakunya konstitusi kelima, berlaku konstitusi republik
pertama (1792-1799), kedua (1848-1852), ketiga, (1875-1940), dan
keempat (1946-1958). Jika dilihat dari sudut tatanegara, ketika itu sistem
Prancis secara absolut sangat mengagumkan doktrin kedaulatan parlemen.
Meskipun masing-masing species dari kekuatan legislatif dan konstituen
melebur secara nyata kedalam genus parlemen. Akan tetapi, dalam kurun
waktu tersebut konstitusi hanya dapat diubah oleh kekuatan mayoritas
sederhana yang terdapat di majelis nasional (national assembly). Pada
zaman ini bukan berarti doktrin kedaulatan parlemen itu tidak
dipermasalahkan oleh mereka yang meragukan kesucian organ yang
mencerminkan kedaulatan rakyat tersebut. Sebab dalam praktik pernah
terdapat aneka langkah minimal untuk membatasi diskresi organ legislatif
dengan tujuan melindungi hak-hak fundamental. Namun, dapat dikatakan
gagasan untuk melindungi hak-hak dasar itu tidak pernah disetujui oleh
parlemen.24
23 http://www.conseil-constitutionnel.fr/conseil-constitutionnel/english/presentation/presentation.25739.html, (Di akses pada 14 April 2021).
24 Alec Stone, The Birth of Judicial in France: The Constitutional Council in Comparative
Perspective, Oxford University Press, New York, 1992, h.27.