KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN Achmad Asfi Burhanudin ABSTRAK Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun tidak jarang dalam perkawinan terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus maupun sebab-sebab lain yang kadang menimbulkan suatu keadaan yang menyebabkan suatu perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi dan harus bercerai. Seperti halnya perkawinan yang menimbulkan hak dan kewajiban, perceraian membawa akibat-akibat hukum bagi kedua belah pihak dan juga terhadap anak-anak yang dilahirkan. Sementara itu masih banyak anak yang tidak beruntung (disadvantaged children) dalam mencukupi kehidupannya. Juga perlakuan orang tua terhadap anaknya mengenai pelaksanaan perlindungan hak-hak anak pasca perceraian selama ini bertolak belakang dengan ketentuan pelaksanaan pemenuhan hak-hak anak sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang perlindungan anak. Bila perceraian terjadi biasanya yang menjadi permasalahan ialah menyangkut tentang anak, siapa yang memeliharanya dan siapa pula yang menanggung biaya nafkahnya. Oleh karena itu perlu dikaji prinsip hukum tentang kewajiban orang tua atas biaya nafkah Anak setelah terjadinya perceraian. Pelaksanaan pemenuhan hak anak pasca perceraian selama ini belum mampu untuk melaksanakan ketentuan perlindungan hak anak, disebabkan beberapa faktor yang manjadi kendala, antara lain keterbatasan ekonomi, kelalaian orang tua, rendahnya pendidikan orang tua, serta rendahnya moral orang tua. Pemahaman masyarakat dalam melaksanakan kewajiban sebagai orang tua terutama pelaku perceraian sangat minim terbukti dengan pengetahuan hanya sebatas hak anak tentang biaya hidup saja. Kata kunci: Kewajiban Orang Tua, Hak-hak Anak, Perceraian. Pendahuluan Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak perdata biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah. Oleh karena itu, suami istri dalam suatu perkawinan mempunyai tanggung jawab secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa di samping mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik antara suami dan istri serta anak- anak yang lahir dalam perkawinan. Namun dalam pergaulan antara suami istri tidak jarang terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus, maupun sebab-sebab lain yang kadang-kadang menimbulkan suatu keadaan yang menyebabkan suatu perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi, sedangkan upaya-upaya damai yang dilakukan oleh kedua belah pihak maupun keluarga tidak membawa hasil yang maksimal sehingga pada akhirnya jalan keluar yang harus ditempuh tidak lain adalah perceraian. Perceraian selama ini seringkali
34
Embed
KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA
PERCERAIAN
Achmad Asfi Burhanudin
ABSTRAK
Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 merupakan ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun tidak jarang dalam
perkawinan terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus maupun sebab-sebab
lain yang kadang menimbulkan suatu keadaan yang menyebabkan suatu perkawinan tidak
dapat dipertahankan lagi dan harus bercerai.
Seperti halnya perkawinan yang menimbulkan hak dan kewajiban, perceraian membawa
akibat-akibat hukum bagi kedua belah pihak dan juga terhadap anak-anak yang dilahirkan.
Sementara itu masih banyak anak yang tidak beruntung (disadvantaged children) dalam
mencukupi kehidupannya. Juga perlakuan orang tua terhadap anaknya mengenai pelaksanaan
perlindungan hak-hak anak pasca perceraian selama ini bertolak belakang dengan ketentuan
pelaksanaan pemenuhan hak-hak anak sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang
perlindungan anak. Bila perceraian terjadi biasanya yang menjadi permasalahan ialah
menyangkut tentang anak, siapa yang memeliharanya dan siapa pula yang menanggung biaya
nafkahnya. Oleh karena itu perlu dikaji prinsip hukum tentang kewajiban orang tua atas biaya
nafkah Anak setelah terjadinya perceraian.
Pelaksanaan pemenuhan hak anak pasca perceraian selama ini belum mampu untuk
melaksanakan ketentuan perlindungan hak anak, disebabkan beberapa faktor yang manjadi
kendala, antara lain keterbatasan ekonomi, kelalaian orang tua, rendahnya pendidikan orang
tua, serta rendahnya moral orang tua. Pemahaman masyarakat dalam melaksanakan
kewajiban sebagai orang tua terutama pelaku perceraian sangat minim terbukti dengan
pengetahuan hanya sebatas hak anak tentang biaya hidup saja.
Kata kunci: Kewajiban Orang Tua, Hak-hak Anak, Perceraian.
Pendahuluan
Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak perdata
biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah. Oleh karena itu, suami istri dalam suatu
perkawinan mempunyai tanggung jawab secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa di
samping mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik antara suami dan istri serta anak-
anak yang lahir dalam perkawinan.
Namun dalam pergaulan antara suami istri tidak jarang terjadi perselisihan dan
pertengkaran yang terus menerus, maupun sebab-sebab lain yang kadang-kadang
menimbulkan suatu keadaan yang menyebabkan suatu perkawinan tidak dapat
dipertahankan lagi, sedangkan upaya-upaya damai yang dilakukan oleh kedua belah pihak
maupun keluarga tidak membawa hasil yang maksimal sehingga pada akhirnya jalan
keluar yang harus ditempuh tidak lain adalah perceraian. Perceraian selama ini seringkali
menyisakan problem-problem, terutama persoalan hak-hak anak yang mencakup seluruh
hak yang melekat pada anak yaitu hak memperoleh pendidikan, kesehatan, biaya
pemeliharaan dan lain sebagainya.
Sehingga pemenuhan hak-hak anak masih terdapat sebagian besar orang tua belum
memenuhi hak-hak anak pasca perceraiannya. Akibat perceraian terkadang hak-hak anak
ada yang dikesampingkan, terutama yang berkaitan dengan hak-hak pokok anak yaitu
biaya pemeliharaan, pendidikan, tempat tinggal dan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya.
Terlebih lagi ketika orang tuanya sudah memiliki keluarga baru sehingga memungkinkan
berkurangnya waktu untuk memenuhi hak-hak anaknya. Meskipun orang tua sudah tidak
lagi dalam satu keluarga akan tetapi persoalan hak-hak anak tetap menjadi tanggung jawab
orang tua dan tidak boleh dialihkan kepada orang lain selain kedua orang tuanya.
Ada sebagian orang tua cenderung melalaikan tanggung jawabnya dalam memenuhi
hak-hak anak, sehingga yang terjadi adalah anak seringkali dititipkan kepada keluarga
terdekat ayah atau ibu. Tidak hanya itu, akibat dari perceraian selama ini psikologi anak
mengalami perubahan. Sebagai dampaknya adalah anak jarang berkomunikasi dengan
kedua orang tuanya, cenderung pendiam, malas, minder serta cenderung nakal dan
sebagainya. Ini semua disebabkan karena adanya kurang perhatian orang tua terhadap hak-
hak anaknya.
Seperti halnya perkawinan yang menimbulkan hak dan kewajiban, perceraian
membawa akibat-akibat hukum bagi kedua belah pihak dan juga terhadap anak-anak yang
dilahirkan. Anak-anak tersebut harus hidup dalam suatu keluarga yang tidak harmonis
sebagaimana mestinya misalnya harus hidup dalam suatu keluarga dengan orang tua
tunggal seperti dengan seorang ibu atau dengan seorang ayah saja.
Sebagaimana diketahui bahwa anak merupakan penerus bangsa yang mengemban
tugas generasi-generasi sebelumnya. Sebagai penerus cita-cita bangsa dan negara, anak
diharapkan dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang sehat rohani dan
jasmani, cerdas, bahagia, berpendidikan dan bermoral tinggi. Untuk itu, anak tersebut
harus memperoleh kasih sayang, perlindungan, pembinaan, dan pengarahan yang tepat.
Dalam ajaran Islam, anak adalah amanat Allah kepada kedua orang tuanya,
masyarakat, bangsa dan negara sebagai pewaris dari ajaran Islam. Anak menerima setiap
ukiran dan mengikuti semua pengarahan yang diberikan kepadanya. Oleh karena itu perlu
dididik dan diajari dengan kebaikan agar bisa menjadi khalifah yang meneruskan
keberlangsungan kehidupan.1 Dalam keluarga yang orang tua bercerai pertumbuhan anak
dalam standar yang ideal kemungkinan sulit tercapai karena kebutuhan jasmani dan
rohaninya tidak dapat dipenuhi secara sempurna. Apabila dikaitkan pula dengan
kebutuhan materi/jasmani anak yang hidup dalam keluarga yang kedua orang tuanya
sudah bercerai, pertumbuhan dan perkembangan anak tentu akan mengalami hambatan
yang serius apabila kebutuhan materi/jasmani anak berupa biaya pemeliharaan dan biaya
pendidikan anak sampai dewasa tidak ada kejelasannya.
Menyadari demikian pentingnya anak dalam kedudukan keluarga, individu,
masyarakat, bangsa dan negara maka negara mengatur melalui undang-undang hak-hak
anak misalnya dalam, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Konvensi Hak Anak
yang dituangkan dalam Kepres Nomor 36 Tahun 1990, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak2, dan berbagai
peraturan perundang-undangan lain. Demikian pula hak-hak anak diakui oleh sejumlah
putusan pengadilan.
Di samping hak-hak anak memperoleh pengakuan dalam peraturan perundang-
undangan nasional, hak-hak anak juga memperoleh pengakuan dalam peraturan
perundang-undangan Internasional. Hal tersebut dapat dilihat dalam berbagai konvensi-
konvensi Internasional yang memfokuskan perhatiannya terhadap persoalan anak seperti
misalnya Convention on The Rights of Child Tahun 1989, ILO Convention No. 182
ConcerningThe Prohibition and Amediate Action for The Worst Forms of the Child
Labour tahun 1999 dan lain sebagainya.
Namun meskipun telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan
adanya kecenderungan Internasional yang memfokuskan perhatian terhadap anak, pada
kenyataannya masih banyak anak yang tidak beruntung (disadvantaged children) dalam
mencukupi kehidupannya.
Akibat Hukum Perceraian
1. Akibat perceraian dalam Undang-undang
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan apabila
perkawinan putus karena perceraian mempunyai akibat hukum terhadap anak, bekas
1 Hadi Supeno, Menyelamatkan Anak (Jakarta: Graha Putra, 2010), 13.
2 Mufidah, Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (Malang: UIN Press, 2008), 340-341.
suami/istri dan harta bersama. Akibat hukum terhadap anak ialah apabila terjadi
perceraian, maka baik ayah atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana terjadi perselisihan
mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusannya. Jadi ayah yang
bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak.
Bilamana ayah kenyataanya tidak dapat memberi kewajiban tersebut maka Pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.3
2. Akibat perceraian dalam hukum adat
Pada umumnya menurut hukum adat yang ideal, putus perkawinan karena kematian
dan perceraian membawa akibat hukum terhadap kedudukan suami dan istri, terhadap
pemeliharaan, pendidikan dan kedudukan anak, terhadap keluarga dan kerabat juga
terhadap harta bersama. Segala sesuatunya berdasarkan hukum adat yang berlaku masing-
masing, dan tidak ada kesamaan antara masyarakat adat yang satu dan yang lain.4
3. Akibat perceraian dalam hukum Islam
Menurut Hukum Islam setelah terjadinya suatu perceraian, maka akan menimbulkan
akibat hukum tertentu, menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 156, akibat putusnya
perkawinan karena perceraian ialah:
1) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila
ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh :
a) Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu.
b) Ayah.
c) Wanita-wanita dalam garis Iurus ke atas dari ayah.
d) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan.
e) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu
f) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
2) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah
atau ibunya.
3) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan
rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas
permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak
hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.
3Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan, Hukum Adat, Hukum
Agama (Bandung: Mandar Maju,1990), 188-189. 4Ibid, 189-190.
4) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus
diri sendiri (21 tahun).
5) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama
memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).
6) Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah
biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak yang tidak turut padanya.5
Hak dan Kedudukan Anak Setelah Perceraian Orang Tuanya
Di antara kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah memberi nafkah, seorang
ayah berkewajiban untuk memberikan jaminan nafkah terhadap anaknya, baik pakaian,
tempat tinggal maupun kebutuhan lainnya, meskipun hubungan perkawinan orang tua si anak
putus. Suatu perceraian tidak berakibat hilangnya kewajiban orang tua untuk tetap memberi
nafkah kepada anak-anaknya sampai dewasa atau dapat berdiri sendiri.
Peristiwa perceraian, apapun alasannya, merupakan malapetaka bagi anak, anak tidak
akan dapat lagi menikmati kasih sayang orang tua secara bersamaan yang sangat penting bagi
pertumbuhan mentalnya, tidak jarang pecahnya rumah tangga mengakibatkan terlantarnya
pengasuhan anak. Itulah sebabnya dalam ajaran Islam perceraian harus dihindarkan sedapat
mungkin bahkan merupakan perbuatan yang paling dibenci Allah . Bagi anak-anak yang
dilahirkan, perceraian orang tuanya merupakan hal yang akan mengguncang kehidupannya
dan akan berdampak buruk bagi pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga biasanya
anak-anak adalah pihak yang paling menderita dengan terjadinya perceraian orang tuanya.6
Setelah terjadinya perceraian, Pengadilan memutuskan siapa di antara ayah dan ibu
yang berhak menjalankan kuasa orang tua demi kelangsungan pemeliharaan dan pengasuhan
anak, tidak jarang terjadi perebutan mengenai hak asuh anak, masing-masing bekas suami
isteri merasa paling berhak dan paling layak untuk menjalankan hak asuh.
Dalam ajaran Islam, ada dua periode perkembangan anak dalam hubungannya dengan
hak asuh orang tua, yaitu periode sebelum mumayyiz (anak belum bisa membedakan antara
yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya, dari lahir sampai berumur tujuh atau
delapan tahun, menurut Kompilasi Hukum Islam sampai berusia 12 tahun, dan sesudah
mumayyiz. Sebelum anak mumayyiz, ibu lebih berhak menjalankan hak asuh anak karena ibu
lebih mengerti kebutuhan anak dengan kasih sayangnya apalagi anak pada usia tersebut
sangat membutuhkan hidup di dekat ibunya.
5Kompilasi Hukum Islam, 72.
6Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Jakarta:Kencana, 2004), 166-167.
Masa mumayyiz dimulai sejak anak secara sederhana sudah mampu membedakan
mana yang berbahaya dan bermanfaat bagi dirinya, ini dimulai sejak umur tujuh tahun sampai
menjelang dewasa (balig berakal). Pada masa ini anak sudah dapat memilih dan memutuskan
apakah akan memilih ikut ibu atau ayahnya. Tetapi dalam kondisi tertentu ketika pilihan anak
tidak menguntungkan bagi anak, demi kepentingan anak hakim boleh mengubah putusan itu
dan menentukan mana yang maslahat bagi anak.7
Sengketa hak asuh anak berbeda dengan sengketa harta, dalam sengketa harta putusan
hakim bersifat menafikan hak milik pihak yang kalah, tetapi putusan hak asuh sama sekali
tidak menafikan hubungan pihak yang kalah dengan anak yang disengketakan, sehingga tidak
sepatutnya sengketa hak asuh dipertajam ketika sudah diputuskan oleh Pengadilan. Sehingga
lazimnya walaupun putusan memenangkan pihak ibu dan mengalahkan pihak ayah, biasanya
putusan juga menyatakan ayah tetap berkewajiban membelanjai kebutuhan anaknya dan ibu
tidak boleh menghalang-halangi ayah berhubungan dengan anaknya demikian juga
sebaliknya, meskipun orang tuanya sudah bercerai anak tetap bebas berhubungan dan
mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya.8
Dengan terjadinya perceraian, pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami
untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
istri. Sebagai ibu atau ayah mereka tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak
dan jika ada perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan memberi putusan dengan
semata-mata mendasarkan kepada kepentingan anak. Seorang ayah bertanggung jawab atas
semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak dan jika ayah ternyata tidak
dapat memenuhi kewajibannya pengadilan dapat menentukan ibu ikut memikulnya.9
Semua biaya hadlanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri
sendiri atau sampai usia 21 tahun. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadlanah dan
nafkah anak maka pengadilanlah yang memutuskannya.10
Kewajiban orang tua untuk
memelihara dan mendidik anak tetap melekat meskipun hubungan perkawinan orang tua
putus.
Apabila pemegang hadlanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani
anak, pengadilan dapat memindahkan hak hadlanah. Semua biaya hadlanah dan nafkah anak
7Ibid, 181.
8Ibid, 200.
9Undang-undang Perkawinan di Indonesia pasal 41 (Surabaya: Arkola, 2007), 18
10Kompilasi Hukum Islam pasal 156 huruf (d) dan (e).
menjadi tanggungan ayah sesuai kemampuannya sampai anak dewasa dan dapat mengurus
diri sendiri (21 tahun).
Sehubungan dengan kewajiban nafkah dan hadlanah, pihak ayah atau ibu yang
merasa dirugikan, sebagai akibat adanya pelanggaran kewajiban hadlanah, dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan Agama agar pihak yang lalai memenuhi kewajibannya.11
Karena
orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan
melindungi anak, menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan
minatnya. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas kesejahteraan anak,
kewajiban memelihara dan mendidik anak sedemikian rupa, sehingga anak dapat tumbuh dan
berkembang menjadi orang yang cerdas, sehat, berbakti kepada orang tua, berbudi pekerti
luhur, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkemauan serta berkemampuan
meneruskan cita-cita bangsa berdasarkan Pancasila. Orang tua yang terbukti melalaikan
tanggung jawabnya, dapat dicabut kuasa asuhnya dengan putusan Hakim. Pencabutan kuasa
asuh tidak menghapuskan kewajiban orang tua untuk membiayai penghidupan, pemeliharaan
dan pendidikan anak sesuai kemampuan penghidupannya.
Selagi anak belum berusia 18 tahun atau belum menikah ia berada di bawah
kekuasaan orang tuanya yang akan mewakilinya mengenai perbuatan hukum di dalam dan di
luar pengadilan. Meskipun memegang kuasa, orang tua tidak boleh memindahkan hak atau
menggadaikan barang-barang tetap milik anaknya kecuali kepentingan anak menghendaki.
Jika orang tua melalaikan kewajibannya atau berkelakuan yang sangat buruk, kekuasaannya
terhadap anak dapat dicabut untuk waktu tertentu, pencabutan kekuasaan orang tua dapat
dimintakan ke pengadilan oleh salah satu orang tua, keluarga anak dalam garis lurus ke atas,
saudara kandung yang telah dewasa atau oleh pejabat berwenang, kekuasaan orang tua yang
dicabut tidak menghilangkan kewajibannya untuk tetap memberi biaya pemeliharaan kepada
anak.12
Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya sampai
anaknya kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban orang tua untuk memelihara dan
mendidik anak tetap melekat meskipun hubungan perkawinan orang tua putus.
Orang tua dan keluarga serta pemerintah bertanggung jawab menjaga kesehatan anak
dan merawat anak sejak dalam kandungan. Wajib mengusahakan agar anak yang lahir
11
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet-3 (Jakarta:
Kencana, 2005), 433. 12
Undang-undang Perkawinan di Indonesia pasal 41 (Surabaya: Arkola, 2007), 21.
terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan atau menimbulkan
kecacatan. Melindungi anak dari upaya transplantasi, pengambilan atau jual beli organ atau
jaringan tubuh, dijadikan obyek dalam penelitian kesehatan tanpa izin orang tua dan yang
bukan mengutamakan kepentingan terbaik anak.13
Anak mempunyai hak tertentu yang harus dipenuhi orang tua, sebaliknya orang tua
juga memiliki hak yang harus dipenuhi anaknya. Hak anak untuk mendapatkan penghidupan
yang layak meliputi sandang, pangan, pendidikan dan kesehatan merupakan nafkah anak
(alimentasi) yang harus dipenuhi orang tua, terutama ayah, baik dalam masa perkawinan atau
pun setelah terjadi perceraian.
Namun nafkah anak seringkali dilalaikan ayah setelah terjadinya perceraian,
sebenarnya nafkah anak yang dilalaikan dapat dimintakan eksekusi oleh ibu atau anak. Jenis
eksekusi nafkah anak adalah eksekusi dengan membayar sejumlah uang yang dimulai dari
permohonan, aanmaning, sita eksekusi, dan diakhiri dengan lelang. Bahkan Seorang PNS
pria yang bercerai sudah tidak berhak penuh atas gajinya, di situ ada hak isteri dan anak, hak
PNS hanya 1/3 dari gajinya jika ia punya anak dan ikut isteri atau ½ jika tidak memiliki
anak.14
Dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum atau tidak
diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang
memenuhi syarat dapat ditunjuk menjadi wali melalui penetapan pengadilan. Agama wali
harus sama dengan agama anak, wali wajib mengelola harta milik anak dan mewakilinya
melakukan perbuatan hukum di dalam atau pun di luar pengadilan. Selama belum ada
penetapan pengadilan mengenai wali, harta kekayaan anak dapat diurus Balai Harta
Peninggalan atau lembaga lain yang berwenang yang bertindak sebagai wali pengawas
mewakili anak. Jika wali di kemudian hari tidak cakap bertindak hukum atau
menyalahgunakan kekuasaannya status walinya dicabut, ditunjuk orang lain oleh Pengadilan
begitu juga jika wali meninggal.
Apabila seorang anak yang belum berusia 18 tahun tidak berada di bawah kekuasaan
orang tuanya, ia berada di bawah perwalian yang akan mengurusi masalah mengenai pribadi
dan harta bendanya. Penunjukan wali dapat dilakukan oleh orang tua yang menjalankan
kekuasaan anak sebelum ia meninggal melalui surat wasiat ataupun secara lisan dengan
disaksikan 2 orang saksi. Wali diutamakan berasal dari keluarga anak dan dapat juga ditunjuk
13
Pasal 45, 46 dan 47 UU. Perlindungan Anak 14
Deasy Caroline Moch. Dja’is, SH, Pelaksanaan Eksekusi Nafkah Anak di Pengadilan Agama, (Artikel
Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan Ditbinbapera Islam No. 42 Tahun X 1999), 39.
orang lain dengan syarat sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
Selama menjalankan perwalian seorang wali wajib mengurus anak dan harta bendanya
dengan sebaiknya dan menghormati agamanya, Ia wajib membuat daftar dan perubahan-
perubahan harta benda anak bahkan wali bertanggung jawab terhadap kerugian akibat
kesalahan atau kelalaiannya selama menjalankan perwalian. Wali juga tidak diperbolehkan
memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap si anak kecuali kepentingan anak
menghendaki tindakan itu. Kekuasaan wali dapat dicabut atas permintaan keluarga anak
dalam garis lurus ke atas atau saudara kandung yang telah dewasa jika terbukti sangat
melalaikan kewajibannya atau berkelakuan sangat buruk untuk kemudian ditunjuk wali yang
lain.
Definisi Anak
Anak adalah putra putri kehidupan, masa depan bangsa dan negara. Oleh karena itu
anak memerlukan pembinaan agar dapat berkembang mental dan spiritualnya secara
maksimal.15
1. Menurut Undang-undang Perlindungan Anak
Dalam UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak ditegaskan bahwa
anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan.16
Ketentuan dalam undang-undang di atas menerangkan
bahwa anak yang masih dalam kandungan pun di kategorikan anak sampai dengan berusia
18 tahun.
2. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Pengertian anak dalam hukum perdata tidak diatur secara eksplisit. Pengertian anak
selalu dihubungkan dengan kedewasaan sedangkan kedewasaan tidak ada keseragaman
dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (BW) anak belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21
tahun dan tidak lebih dahulu kawin.
3. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak lugas mengatur mengenai kapan seorang
digolongkan sebagai anak, secara tersirat dalam Pasal 6 ayat 2 yang menyatakan bahwa
syarat perkawinan bagi seorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat ijin
15
Darwan Prints dalam Iman Jauhari (1), Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam (Jakarta: Pustaka Bangsa
Press, 2003), 80 16
Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan Undang-Undang RI Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak , 119.
orangtuanya, Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1974 menyatakan bahwa minimal usia
anak dapat kawin pria 19 tahun dan wanita 16 tahun.17
Di sisi lain, Pasal 47 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1974 menyatakan bahwa anak yang
belum mencapai 18 tahun atau belum melakukan pernikahan ada di bawah kekuasaan
orang tuanya selama mereka tidak mencabut kekuasaan orang tuanya.
4. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dalam Inpres RI Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam batas usia
dewasa diatur dalam Pasal 98 ayat 1 dinyatakan bahwa dewasa adalah 21 tahun sepanjang
anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental ataupun belum pernah melakukan
perkawinan.
5. Menurut Hukum Adat
Menurut hukum adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan seseorang dapat dianggap
dewasa dan wewenang bertindak. Hasil penelitian Soepomo tentang hukum perdata Jawa
Barat dijelaskan bahwa ukuran kedewasaan sesorang diukur dari segi: 1) Dapat bekerja
sendiri (mandiri); 2) Cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bertanggung jawab; dan 3) Dapat mengurus harta kekayaannya sendiri.
Dalam hukum adat ukuran kedewasaan tidak berdasarkan hitungan usia tapi pada ciri
tertentu yang nyata.18
Dengan demikian setelah melihat ketentuan yang berlainan tersebut
diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian anak berlaku bagi seseorang yang berusia
dibawah 21 tahun.
Pengertian anak diatas, meskipun dikutip dari beberapa sumber akan tetapi yang
menjadi acuan utama disini adalah Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 yang spesifik
menjelaskan tentang perlindungan anak. Jadi dengan demikian dari semua pengertian anak
diatas hanya sebagai komparasi dari undang-undang dan ketentuan-ketentuan yang ada, baik
dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang pekawinan, Inpres RI Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam , Undang-undang hukum perdata ataupun hukum adat.
Ketentuan Hak-hak Anak Perspektif Undang-undang
17
Undang-undang Perkawinan di Indonesia pasal 41 (Surabaya: Arkola, 2007), 9. 18
Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), 19.
Pasal 34 Undang-undang dasar 1945 menyatakan bahwa negara memberikan
perlindungan kepada fakir miskin dan anak terlantar. Di Indonesia perhatian dalam bidang
perlindungan anak menjadi salah satu tujuan pembangunan.
Pengertian kesejahteraan anak dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 adalah
anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara rohani,
jasmani maupun sosial. Sementara dalam hal perlindungan anak adalah disebutkan segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dikriminasi.19
Pasal 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
merumuskan hak-hak anak sebagai berikut:
a. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan
kasih sayang baik dalam keluarganya maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh
dan berkembang dengan wajar.
b. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan
sosialnya, sesuai dengan kepribadian bangsa dan untuk menjadi warga negara yang
baik dan berguna.
c. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar.20
Sementara dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak yang mengatur hak-hak anak adalah pasal 4 sampai dengan pasal 18 menyebutkan:
1) Pasal 4 mengatur tentang hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar.
2) Pasal 5 mengatur tentang hak memperoleh nama sebagai suatu identitas diri.
3) Pasal 6 hak untuk beribadah
4) Pasal 7 ayat (1) dan pasal 14 mengatur tentang hak memperoleh asuhan.
5) Pasal 8 mengatur tentang hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan
sosial.
6) Pasal 9 ayat (1) mengatur tentang hak memperoleh pendidikan.
7) Pasal 10 hak untuk berpendapat.
8) Pasal 11 mengatur tentang hak untuk berekreasi dan berkreasi.
19
Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan Undang-Undang RI Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ( Surabaya: Media Centre, 2006), 119. 20
Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), 17.
9) Pasal 12 dan pasal 9 ayat (2) mengatur tentang hak memperoleh pelayanan khusus.
10) Pasal 13, 15, 16, pasal 17 ayat (1) dan (2) serta pasal 18 mengatur tentang hak
memperoleh perlindungan kekerasan, penganiayaan dan hukum.
Hak-hak anak yang disebutkan di atas pada hakikatnya adalah merupakan hak yang
sejatinya diberikan oleh orang tua pasca perceraiaanya dan segala aspek tersebut merupakan
bagian dari kegiatan pembangunan khusus di dalam memajukan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Hak-hak tersebut diperjelas dalam BAB III Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak sebagai berikut:
a) Pasal 4 menyatakan: setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.21
Hak yang dimaksudkan dalam pasal 4 ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 28 B
ayat (2) Undang- undang Dasar 1945 dan prinsip-prinsip pokok yang tercantum dalam
konvensi hak- hak anak.22
b) Pasal 5 menyatakan: setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan. Dalam pasal ini cukup jelas bahwa setiap anak berhak untuk
mendapatkan nama yang baik sebagai identitas diri.
c) Pasal 6 menyatakan: setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir,
dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang
tua.23
Ketentuan pasal 6 di atas dimaksudkan untuk memberi kebebasan kepada anak dalam
rangka mengembangkan kreatifitas dan intelektualitasnya (daya nalarnya) sesuai dengan
tingkat usia anak. Ketentuan pasal ini juga menegaskan bahwa pengembangan tersebut
masih tetap harus berada dalam bimbingan orang tuanya.24
d) Pasal 7 ayat (1) dan pasal 14 menyatakan: Setiap anak berhak untuk mengetahui orang
tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.25
Ketentuan pasal 7 ayat (1) mengenai hak anak untuk mengetahui siapa orang
tuanya,dalam arti asal- usulnya(termasuk ibu susunya), dimaksudkan untuk menghindari
terputusnya silsilah dan hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya,
21
Undang –undang RI Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak, 122. 22
Undang- undang RI Nomor 13 tahun 2006 tentang Peradilan Saksi dan Korban (Jakarta : CV Medya
Duta Jakarta 2006), 85. 23
Undang –undang RI Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak, hlm 122. 24
Undang –undang RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, hlm 85. 25
Undang –undnag RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, hlm122.
sedangkan untuk dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya, dimaksudkan agar anak dapat
patuh dan menghormati orang tuannya.26
Sementara dalam pasal 14 menyebutkan: setiap anak berhak diasuh oleh orang tuanya
sendiri, kecuali jika ada alasan dan atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa
pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan
terakhir. Pemisahan yang dimaksud dalam ketentuan ini tidak menghilangkan hubungan
anak dengan orang tuanya.
e) Pasal 8 menyatakan: setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan
sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Dalam pasal ini cukup jelas bahwa anak berhak untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisiknya.
f) Pasal 9 ayat (1) menyatakan: setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan
pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai
dengan minat dan bakatny.
Pasal ini cukup jelas mengatur tentang hak seorang anak untuk mendapatkan
pendidikan dan pengajaran dengan tujuan mengembangkan pribadi dan kecerdasannya.
g) Pasal 10 menyatakan: setiap anak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,
mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi
pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatuhan.
Pasal ini cukup jelas mengatur hak anak untuk dapat didengar pendapat, menerima,
mencari informasi sesuai dengan kecerdasannya serta usianya.
h) Pasal 11 menyatakan: setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu
luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain dan berekreasi, dan berkreasi sesuai
dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
Pasal ini cukup jelas bahwa anak berhak untuk dapat meluangkan waktu untuk
istirahat, bergaul, dan bermain serta berkreasi sesuai dengan minat dan bakatnya.
i) Pasal 12 menyatakan: setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh
rehabilitasi, bantuan sosial, pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.27
Ketentuan pasal ini menyebutkan bahwa ini dimaksudkan semata-mata untuk
menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya
26
Undang –undang RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, hlm 85. 27
Undang-undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak.123.
diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.28
Dalam konteks Indonesia, meskipun undang-undang No.39 tahun 1999 tentang hak
asasi manusia telah mencantumkan hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab
orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan
pada anak masih diperlukan undang-undang mengenai perlindungan anak sebagi landasan
yuridis bagi pelaksanaan dan tanggung jawab tersebut.
Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan
memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum.
Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak. Secara tegas undang-
undang ini menegaskan bahwa pertanggung jawaban orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-
menerus demi terlindunginya hak-hak anak.29
Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin
pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial.30
Selanjutnya mengenai tanggung jawab orang tua terhadap anaknya disebutkan dalam Bab
III Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 mengatur tentang tanggung jawab orang tua
terhadap kesejahteraan anak. Di mana dikatakan pertama-tama yang bertanggung jawab
atas kesejahteraan anak, adalah: orang tua (pasal 9). Orang tua terbukti melalaikan
tanggung jawabnya, yang mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak, dapat dicabut kuasa asuhnya sebagai orang tua terhadap anak (pasal
10 ayat 1) apabila hal terjadi, maka ditunjuk orang atau badan sebagai wali.31
Ketentuan Hak Anak Perspektif Hukum Islam
1. Hak Anak Menurut Fikih
Pemeliharaan anak dalam konteks fikih dikenal dengan istilah “Hadhanah”. Dalam
istilah bahasa hadhanah berarti “meletakkan sesuatu dekat dengan tulang rusuk atau
dipangkuannya, seakan-akan ibu disaat itu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga
“hadhanah” dijadikan istilah yang maksudnya: “pendidikan dan pemeliharaan anak sejak
28
Undang-undang RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.86. 29
Ibid, 83. 30
Ibid, 84. 31
Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), 82.
dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat
anak itu.32
Hadhanah yang dimaksudkan lebih identik kepada pemeliharaan anak yang masih
belum mumayyiz, dengan memelihara dari jasmani dan rohni. Bahkan hingga anak
mampu untuk mandiri dan bertanggung jawab. Dalam hal ini para ulama fikih
mendifisikan : hadhanah yaitu meletakkan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik
laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan
sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan
merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri menghadapi
hidup dan memikul tanggung jawab .33
Tidak hanya persoalan pemeliharaan akan tetapi juga dalam hal pengasuhan yang
dilakukan orang tua dengan segala potensi yang dimilikinya. Anak akan merasa nyaman
jika senantiasa dalam asuhan orang tuanya dengan penuh kasih sayang dan segala potensi
orang tua diberikan sepenuhnya untuk anak.
Dalam konteks fikih dijelaskan bahwa pendidikan terbaik bagi seorang anak adalah
apabila ia berada di bawah asuhan kedua orang tuanya: ayah dan ibunya yang
membesarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang dan memberinya pendidikan yang
baik, sehingga tumbuh subur dan sehat jasmaninya, demikian pula kecerdasan akalnya,
keluhuran akhlaknya, dan kehalusan perasaannya. Akan tetapi seandainya kedua orang tua
terpaksa berpisah (bercerai), maka pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (belum
dapat membedakan antara baik dan yang buruk, kira-kira di bawah 12 tahun) menjadi hak
ibunya. Dan jika si anak sudah di anggap mumayyiz, ia dipersilahkan memilih antara ikut
dengan ibu ataupun ayahnya .34
Sejumlah ayat al-Qur’an secara garis besar mengemukakan hak-hak anak sebagai
berikut:
1) Hak Anak untuk Hidup
Islam menghapus tradisi Arab Jahiliyah dalam hal pembunuhan terhadap anak karena
kekhawatiran tidak mampu menanggung biaya hidup sebagaimana QS. Al-Isra’: 31