KETIDAKADILAN GENDER PADA PEREMPUAN DALAM NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN DAN GENI JORA SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Oleh Ila Nurlaila 109013000041 PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
134
Embed
KETIDAKADILAN GENDER PADA PEREMPUAN DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24434/1/Ila... · KETIDAKADILAN GENDER PADA PEREMPUAN DALAM NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KETIDAKADILAN GENDER PADA PEREMPUAN DALAM
NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN DAN GENI
JORA SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Ila Nurlaila
109013000041
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
ABSTRAK
ILA NURLAILA, 109013000041, ―Ketidakadilan Gender Pada Perempuan dalam
novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora Serta Implikasinya terhadap
Pembelajaran Sastra di Sekolah‖. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Dosen Pembimbing: Rosida Erowati, M. Hum.
Gender merupakan konsep kultural yang dibangun oleh masyarakat. Hal inilah
yang menyebabkan adanya kesulitan pergerakan bagi perempuan untuk
menembus perubahan pandangan terhadap gender karena hal ini dibangun oleh
sekelompok masyarakat. Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah:
1) Bagaimana struktur yang membangun novel Perempuan Berkalung Sorban
dan Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy? 2) Bagaimana ketidakadilan pada
perempuan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora Karya
Abidah El Khalieqy? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketidakadilan
pada perempuan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis isi. Subjek
penelitian ini adalah ketidakadilan terhadap perempuan dalam novel Perempuan
Berkalung Sorban dan Geni Jora, dan sebagai objek penelitian adalah novel
Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora. Teknik pengumpulan data pada
penelitian ini menggunakan metode penentuan unit analysis, pencatatan data dan
analisis.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, tampak ketidakadilan gender yang terjadi
pada perempuan dalam novel ―Perempuan Berkalung Sorban‖ dan ―Geni Jora‖
meliputi lima aspek, yaitu, . 1) Marginalisasi terhadap perempuan. 2) Subordinasi
terhadap perempuan. 3) Stereotip terhadap perempuan. 4) Violence (kekerasan)
yang terjadi pada perempuan. 5) Beban kerja terhadap perempuan. Sikap-sikap
yang ditunjukan oleh tokoh utama dan nilai-nilai yang terkandung dalam kedua
novel tersebut dapat dijadikan pembelajaran sastra. Kata Kunci: Ketidakadilan, Gender, Perempuan
i
ABSTRACT
ILA NURLAILA, 109013000041, " Gender Inequalities toward Women in
―Perempuan Berkalung Sorban‖ and ―Geni Jora‖ novel and its Implications for
Literature Learning at School". Indonesian Language and Literature Departement,
Faculty of Tarbiyah and Teaching Science, State Islamic of Syarif Hidayatullah
Jakarta. Advisor: Rosida Erowati, M.Hum.
Gender is a cultural concept which is built by the society. This caused movement
difficulty to break gender point of view because this concept is built by certain
society. Mirroring that concept, this research focuses on problem; 1) how is the
structure of Perempuan Berkalung Sorban by Abidah El Khalieqy novel is? 2)
how does the author face the gender inequalities in Perempuan Berkalung Sorban
and Geni Jora novel by Abidah El Khalieqy? The aim of this study is to know the
author’s attitude of inequitable gender in Perempuan Berkalung Sorban and Geni
Jora novel.
The method used in this study is content analysis method. The subject of this
study, gender inequalities toward women of the Perempuan Berkalun Sorban and
Geni Jora novel by Abidah El Khalieqy, and as the object research is Perempuan
Berkalung Sorban and Geni Jora novel. Data collection in this study using the
method of determining the unit of analysis, data recording, and analysis.
Based on the research, gender inequalities toward women includes five aspects: 1)
The marginalization toward women. 2) The subordinate toward women. 3) The
stereotype toward women. 4) The violence toward women. 5) The force labor
toward women. These atittudes showed by main character a moral values inside
both novel. These attitudes are valued for literature.
Keyword: Inequalities, Gender, Women
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Illahi Rabbi Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan Rahmat dan
Hidayah-Nya, serta kesehatan jasmani dan rohani kepada penulis sehingga
diberikan kemudahan untuk dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
―Ketidakadilan Gender dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora
Serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah‖. Solawat Serta
salam semoga tetap tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad Saw, dan
kesejahteraan semoga selalu menyertai keluarga Beliau, para sahabatnya, dan kita
sebagai umatnya yang mengarapkan syafa’at darinya.
Penulis menyusun skripsi ini untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis berharap skripsi
ini dapat bermanfaat bagi kepentingan pembacanya.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat banyak nasihat, saran,
bantuan, bimbingan, dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
perempuan, tahun 2002 sebanyak 5.163 kasus, tahun 2003 sebanyak 7.787
kasus, tahun 2004 sebanyak 14.040 kasus, tahun 2005 sebanyak 20.391
kasus, tahun 2006 sebanyak 22.512 kasus, dan pada tahun 2007 sebanyak
25.522 kasus.5 Dilihat dari data tersebut, kekerasan yang terjadi pada
perempuan terus meningkat setiap tahunnya.
Sebagai bentuk kepeduliannya terhadap persoalan-persoalan yang
terjadi pada perempuan, Abidah El Khalieqy mengajak pembaca untuk
mengetahui secara lebih detail permasalahan yang sering terjadi pada
perempuan terkait dengan ketidakadilan gender yang biasa dialami
perempuan. Penggambaran Abidah tentang sosok perempuan Islam berbeda
dengan sosok perempuan Islam yang biasa diceritakan pada novel-novel yang
bernuansa Islam lainnya seperti Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih
karya Habiburrahman El Shirazy. Dalam karyanya, Abidah menunjukkan
sosok perempuan yang sangat berani untuk menuntut kebebasan dari patriarki
dan juga mengkritisi dunia laki-laki yang tergambarkan pada novelnya yang
berjudul Perempuan Berkalung Sorban (2001) dan Geni Jora (2003).
Perempuan Berkalung Sorban merupakan novel yang pernah mendapatkan
protes dan menjadi kontroversi di kalangan masyarakat. Dua tahun kemudian
Abidah menulis novel yang berjudul Geni Jora. Geni Jora merupakan novel
Abidah yang mendapatkan juara kedua dalam Sayembara Novel Dewan
Kesenian Jakarta. Permasalahan yang cukup kompleks mengenai kedudukan
wanita dalam Islam, keluarga dan masyarakat juga terlihat dalam novel
Perempuan Berkalung Sorban. Sebagai karya yang berbicara mengenai
agama dan moral, Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora merupakan
salah satu yang dianjurkan untuk dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran
sastra.
Sebagai lembaga pendidikan, sekolah bertugas memberikan
pembelajaran moral, agama, dan sosial kepada para siswanya. Pembelajaran
5 Ninik Rahayu, Penghapusan Undang-Undang No. 23 tahun 2004. Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-pidana/653- undang-undang-no-23-tahun-2004-tentang-penghapusan-kekerasan-dalam-rumah-tangga-uu- pkdrt.html. diunduh pada tanggal 10 Januari 2014 pukul 07. 50
Novel memiliki struktur yang kompleks dan biasanya dibangun dari unsur-
unsur yang dapat didiskusikan. Salah satunya adalah unsur intrinsik novel. Unsur
intrinsik adalah unsur-unsur yang secara langsung membangun karya sastra itu
sendiri. Unsur-unsur ini secara faktual dijumpai pembaca pada saat membaca
karya sastra. Kepaduan antara unsur intrinsik inilah yang membuat suatu novel
dapat terwujud.
Unsur intrinsik novel terdiri dari tema, alur, penokohan, latar dan sudut
pandang.
1. Tema
Pembahasan mengenai makna yang terdapat di dalam sebuah karya
sastra (novel) merupakan pembahasan mengenai tema. Tema adalah ide,
gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya
sastra.10 Tema berarti kandungan umum dari isi yang ada di dalam karya
sastra tersebut atau juga disebut dengan ide dari cerita yang dimaksud.
8 Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1998), h. 53 9 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
1993), h. 282. 10 Fanannie, Telaah Sastra, (Surakarta: Anggota IKAPI Jateng, 2001), Cet.II, h.84
14
Istilah tema menurut Scharbach dalam Aminuddin berasal dari bahasa latin
yang berarti ―tempat meletakkan suatu perangkat‖. Disebut demikian karena
tema adalah ide yang mendasari cerita sehingga berperanan juga sebagai
pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang
diciptakannya.11
Staton dalam Nurgiantoro mengartikan tema sebagai ―makna sebuah
cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara
yang sederhana‖.12
Karena sastra adalah refleksi kehidupan masyarakat, maka tema yang
diungkapkan bisa bermacam-macam. Tema bisa berupa permasalahan moral
etika, sosial, agama, budaya yang berhubungan erat dengan kehidupan.
2. Alur (Plot)
Menurut Abrams dalam Wahyudi Siswanto alur ialah rangkaian cerita
yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah
cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.13 Selain itu, alur
adalah rangkaian peristiwa yang satu sama lain dihubungkan dengan hukum
sebab akibat. Artinya peristiwa pertama menyebabkan peristiwa kedua,
peristiwa kedua menyebabkan terjadinya peristiwa ketiga. Dan demikian
selanjutnya hingga pada dasarnya peristiwa terakhir ditentukan terjadinya
peristiwa pertama.14
Ada berbagai pendapat tentang tahapan-tahapan peristiwa dalam suatu
peristiwa. Aminudin dalam Wahyudi Siswanto membedakan tahapan-
tahapan peristiwa atas pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian,
dan penyelesaian. Pengenalan adalah tahap peristiwa dalam suatu cerita
rekaan atau drama yang memperkenalkan tokoh-tokoh atau latar cerita. Yang
11 Aminuddin, Pengantar Apresiasi Sastra, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2002), h. 91. 12 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press,2009), h. 70 13 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, ( Jakarta: PT Grasindo, 2008 ), h.159. 14 Yakob Sumarjo dan Saini KM, Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia, 1986), h.
139.
15
dikenalkan dari tokoh ini misalnya, nama, asal, ciri fisik, dan sifatnya.
Konflik atau tikaian adalah ketegangan atau pertentangan antara dua
kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan atau drama. Komplikasi
atau rumitan adalah bagian tengah alur rekaan atau drama yang
mengembangkan tikaian. Klimaks adalah bagian alur cerita rekaan atau
drama yang melukiskan puncak ketegangan, terutama dipandang dari segi
tanggapan emosional pembaca. Leraian adalah bagian struktur alur yang
sesudah tercapai klimaks. Pada tahap ini peristiwa-peristiwa yang terjadi
menunjukkan perkembangan lakuan ke arah selesaian. Selesaian adalah
tahap akhir suatu cerita atau drama. Dalam tahap ini semua masalah dapat
Berdasarkan beberapa pendapat tentang alur yang telah dikemukakan
di atas alur merupakan rangkaian peristiwa yang di dalamnya terdapat
pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan akhirnya cerita itu
mencapai penyelesaian bagaimana cerita itu dapat terselesaikan.
3. Tokoh dan Penokohan
Tokoh dan penokohan adalah salah satu unsur yang terpenting dalam
suatu cerita. Kehadiran tokoh ikut menentukan apakah ia mempunyai peran
baik atau buruk, yaitu sebagai tokoh yang dipuja atau dipuji (protagonis)
atau sebagai tokoh yang menghalangi tujuan tokoh protagonis (antagonis).
Di dalam sebuah karya fiksi, istilah tokoh merujuk pada pelaku yang
ada dalam cerita tersebut. Istilah tokoh dalam sebuah cerita, menunjuk pada
penempatan atau pelukisan gambaran tokoh-tokoh tertentu dengan watak
tertentu. Tokoh cerita adalah orang orang yang ditampilkan dalam karya
sastra yang sifatnya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan
memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
15 Wahyudi Siswanto, op.cit., h. 159-160.
16
diekspresikan dalam ucapan dan tindakan.16 Dari penjelasan Abrams
tersebut, sudah jelas bahwa pengertian ―Tokoh‖ mengacu pada orangnya
(pelaku cerita).
Istilah penokohan mempunyai pengertian yang lebih luas daripada
pengertian tokoh. Nurgiyantoro mengatakan bahwa penokohan menyangkut
masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, bagaimana
penempatan dan pelukisannya dalam cerita sehingga mampu memberikan
gambaran yang jelas bagi pembaca.17 Dengan demikian Nurgiyantoro
berpendapat bahwa penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan
perwatakan, sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh, cerita,
bagaimana perwatakan, bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam
sebuah cerita sehingga mampu memberikan gambaran yang jelas kepada
pembaca.
Dilihat dari fungsi penampilan, tokoh dibedakan menjadi dua, yaitu:18
a. Tokoh protagonis
Altenberhand dan Lewis dalam Burhan Nurgiyantoro
mengemukakan bahwa tokoh protagonis sebagai tokoh yang kita kagumi,
tokoh yang berpendirian pada norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi
kita.
b. Tokoh antagonis
Tokoh antagonis adalah tokoh yang menjadi penyebab terjadinya
konflik. Biasanya berbanding terbalik dengan tokoh protagonis secara
langsung maupun tidak langsung.
16 M.H. Abrams, A Glosaary Literary Terms, (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1981), h. 20.
17 Burhan Nuriyantoro. Op. cit ., h. 166. 18 Ibid., h. 178.
17
4. Latar
Latar adalah segala keterangan, petunjuk atau pengacuan yang
berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu
karya sastra.19Nurgiyantoro mengatakan bahwa latar memberikan pijakan
cerita secara konkret dan jelas yang sangat penting untuk memberikan kesan
realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu, yang seolah-olah
sungguh ada dan terjadi.20 Rusnaya mengatakan bahwa latar berfungsi untuk
menunjukkan tempat kejadian dan untuk memberikan kemiripan kenyataan
dalam hal menimbulkan kesungguhan.21 Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa latar adalah tempat, waktu atau suasana yang
memperjelas kondisi peristiwa-peristiwa yang ada dalam sebuah karya
sastra.
Stanton dalam Nurgiyantoro mengelompokan latar bersama dengan
tokoh dan plot ke dalam fakta (cerita), sebab ketiga hal inilah yang akan
dihadapi dan dapat diimajenasi oleh pembaca secara faktual jika membaca
cerita fiksi. Ketiga hal inilah yang secara kongkret dan langsung membentuk
cerita: tokoh cerita adalah pelaku dan penderita kejadian-kejadian yang
bersebab-akibat dan itu perlu pijakan, di mana dan kapan.‖22
Secara garis besar, latar dalam fisik dapat dikelompokkan menjadi
beberapa jenis latar, diantaranya adalah:
a. Latar tempat
Gambaran tentang peristiwa atau cerita dalam fiksi terjadi. Gambaran
latar tempat itu ada yang sangat luas ada pula yang sangat sempit. Tempat itu
bisa terdiri atas negara, kota, kampung atau desa, pelosok, pantai, hutan,
rumah, kapal laut, mobil, kereta, di udara, di darat.
19 Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1991), h.30. 20 Burhan Nurgiyantoro, op.cit., h. 217. 21 Yus Rusyana, Metode Pengajaran Sastra, (Bandung: Gunung Larang, 1982), h. 48. 22 Burhan Nurgiyantoro, op.cit., h. 216.
18
b. Latar waktu
Unsur yang menggambarkan kapan, masa dan saat tertentu terjadinya
peristiwa dalam karya fiksi itu. Faktor waktu ini ada hubungannya dengan
tempat, gambaran suatu tempat pada waktu, masa, zaman, atau musim
tertentu. Latar waktu mempunyai kaitan erat dengan sejarah. Latar waktu juga
bisa dihubungkan dengan yang berlaku setiap hari, yaitu malam, siang, tengah
hari, pagi, sore dan lain sebagainya.23
Adapun fungsi latar adalah memberikan informasi sebagaimana adanya,
selain itu latar berfungsi sebagai pemerjelas konflik, pemerjelas tokoh, dan
adanya latar juga berfungsi sebagai simbol yang menunjukkan keadaan atau
jati diri tokoh. Menurut Panuti Sudjiman latar berfungsi sebagai proyeksi
keadaan batin para tokoh.24
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa latar merupakan landasan
berlangsungnya berbagai peristiwa dan kisah yang diceritakan dalam cerita
fiksi. Latar memberikan landasan berpijak secara konkret dan jelas. Hal itu
akan memberikan kesan realis kepada pembaca, bahwa cerita yang dikisahkan
seolah-olah ada dan sungguh-sungguh terjadi.
5. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah posisi pengarang dalam membawakan cerita.25
Sudut pandang (point of view) dapat dipahami sebagai cara sebuah cerita
dikisahkan. Menurut Robert Stanton dalam Adib Sofia dan Sugihastuti
mengartikan sudut pandang sebagai posisi yang merupakan dasar berpijak kita
untuk melihat secara hati-hati agar ceritanya memiliki hasil yang sangat
memadai.26
23 Tuloli. Teori Fiksi. (Gorontalo, BMT Nurul Jannah. 2000), h. 155 24 Sudjiman, op. cit., h. 46. 25Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012), h.69. 26Adib Sofia dan Sugihastuti, Feminisme dan Sastra: Menguak Citra Perempuan dalam
Layar Terkembang, (Bandung: Katarsis, 2003), h. 16
19
Secara garis besar sudut pandang dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu berperan langsung sebagai orang pertama, sebagai tokoh yang terlibat
dalam cerita yang bersangkutan dan hanya sebagai orang ketiga yang berperan
sebagai pengamat.
Pada sudut pandang yang menggunakan orang pertama, pengarang
memakai istilah ―aku‖ dalam ceritanya, ia menjadi tokoh utama. Dalam hal ini
narator ikut terlibat dalam cerita. Narator masuk ke dalam cerita menjadi
tokoh ―aku‖, yaitu tokoh yang menceritakan kesadaran dirinya sendiri, serta
segala peristiwa atau tindakan yang diketahui, didengar, dilihat, dialami,
dirasakan, serta sikapnya terhadap tokoh lain, kepada pembaca. Pembaca
hanya menerima apa yang diceritakan oleh tokoh aku.
Adapun sudut pandang orang ketiga, narator menjadi seorang yang
berada di luar cerita. Pengarang menampilkan tokoh-tokoh dengan
menyebutkan nama, atau menggunakan kata ia, dia, mereka. Nama-nama
tokoh cerita, khususnya tokoh utama, terus menerus tersebut, dan sebagai
variasi digunakan kata ganti. Hal ini akan memudahkan pembaca dalam
mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak.
Dilihat dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa sudut
pandang adalah cara pengarang menentukan posisinya dalam suatu karyanya
sastra. Dan caranya pun bermacam-macam, hal tersebut disesuaikan dengan
penceritaan dan peristiwa yang akan diciptakan oleh pengarang.
D. Hakikat Pembelajaran Sastra
Materi atau bahan pelajaran merupakan salah satu komponen penting selain
komponen pengajar dan peserta didik dalam proses pembelajaran. Proses
pembelajaran bisa disebut interaktif edukatif yang sadar akan tujuan, artinya
interaksi yang telah dicanangkan untuk satu tujuan tertentu, setidaknya tercapai
tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran yang dirumuskan dalam satuan
20
pembelajaran.27 Pelajaran-pelajaran yang dirancang tentunya memiliki peranan
yang sangat penting bagi terlaksananya tujuan pendidikan. Tujuan dari
pembelajaran tersebut terdiri dari tiga aspek yaitu tujuan kognitif, tujuan afektif,
dan tujuan psikomotorik. Ada banyak materi pembelajaran di sekolah, salah
satunya adalah pembelajaran sastra. Kaitannya dengan pembelajaran, sastra
memiliki konstribusi yang sangat besar dalam dunia pendidikan khususnya bagi
pembelajaran sastra di sekolah. Sebagaimana yang disebutkan dalam kurikulum
1994 dan Garis-garis Besar Program Pengajaran bahasa Indonesian tentang
pembelajaran sastra tertera bahwa pembelajaran sastra dimaksudkan untuk
meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra. Kegiatan
mengapresiasi sastra berkaitan dengan latihan mempertajam perasaan, penalaran,
dan daya khayal serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan
hidup.
Berdasarkan pedoman tersebut, jelas sekali bahwa pembelajaran sastra
memiliki tujuan yang jelas, secara tidak langsung melalui pembelajaran sastra.
Peserta didik dituntut untuk mengapresiasikan karya sastra yang dibaca dan
dipelajarinya. Mengapresiasi berarti menilai dan memaknai dari karya sastra itu
sendiri, mengungkapkan nilai dan pesan apa yang ingin disampaikan oleh
pengarang kepada pembacanya. Oemarjati mengungkapkan bahwa:
Mengapresiasikan sastra berarti menanggapi sastra dengan kemampuan
afektif yang disatu pihat peka terhadap nilai-nilai yang dikandung sastra
yang bersangkutan baik yang tersurat maupun tersirat dan kerangka
tematik yang mendasarinya. Di lain pihak kepekaan tanggapan tersebut
berupaya memahami pola tata nilai yang diperolehnya dari bacaan di
dalam proporsi yang sesuai dengan konteks persoalan. Dengan demikian
pembelajaran di sekolah dilakukan dengan metode yang tepat mengacu
kepada kemampuan afektif siswa, sehingga menjadi apresiatif.28
27 Iskandarwassid, dan Dadang Suhendar, Strategi Pembelajaran Bahasa, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), h. 202.
28 Boen, S Oemarjati, ―PembinaanApresiasi Sastra dalam Proses Belajar-Mengajar‖ dalam Bambang Kaswanti Purwa (ed), ―Bulir-Bulir Sastra dan Bahasa: Pembahasan Pembelajaran‖, (Yogyakarta: Kanisisus, 1991), h. 58.
21
Karya sastra mengandung unsur pendidikan dan pengajaran. Pengajaran
tersebut berkaitan dengan pembelajaran sastra di sekolah yang mempunyai
intruksional khusus bagi pendidikan. Secara umum tujuan pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia bidang sastra dalam kurikulum 2004, yaitu 1) Agar peserta
didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan
kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan kemampuan
berbahasa; 2) peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia
sebagai khazanah budaya dan intelektuan manusia Indonesia. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa karya sastra yang baik selalu mengandung sesuatu yang
patut direnungkan. Hasil perenungan itu pada akhirnya dapat memperkaya
pengetahuan intelektual pembaca dan menumbuhkan semacam emosi dan
dorongan positif terhadap perkembangan pengetahuan manusia itu sendiri.
Seperti yang dikemukakan oleh Horace bahwa fungsi karya sastra sebagai dulce
et utile, yaitu sebagai penghibur sekaligus berguna.29 Pengertian ini menunjukan
bahwa fungsi karya sastra bukan hanya untuk mengibur, tetapi juga karya sastra
dapat mengajarkan sesuatu yang berguna.
Seperti kita ketahui ada empat keterampilan berbahasa yaitu menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis. Mengikutsertakan sastra dalam kurikulum
berarti akan membantu siswa melatih keterampilan membaca, dan mungkin
ditambah sedikit kemampuan menyimak, berbicara, dan menulis yang saling
berhubungan satu sama lain.
Dalam pengajaran sastra, siswa dapat melatih keterampilan menyimak
dengan mendengarkan suatu karya yang dibacakan oleh guru, teman, atu lewat
pita rekaman. Siswa dapat melatih kemampuan bicara dengan ikut berperan
dalam suatu lakon drama. Siswa juga dapat meningkatkan keterampilan
membaca dengan membacakan puisi atau pun prosa cerita, dan karena sastra itu
29
Achadiati Ikram, dkk, ―Sejarah Kebudayaan Indonesia Bahasa, Sastra, dan Aksara‖, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 33.
22
menarik, siswa dapat mendiskusikannya dan kemudian menuliskan hasilnya
sebagai latihan keterampilan menulis.30
Dengan demikian, kehadiran sastra dalam pembelajaran mempunyai
peranan yang sangat penting. Karena dengan pembelajaran sastra siswa dapat
menemukan fakta-fakta yang berisikan pengetahuan. Fakta-fakta yang ditemukan
itu dapat berupa nilai-nilai kemanusiaan seperti, nilai moral, nilai pendidikan,
nilai sosial, nilai budaya, dan nilai religius. Bahkan dapat lebih dari itu, dengan
pembelajaran sastra, siswa dapat melatih kemampuan dalam menganalisis dan
merealisasikan nilai-nilai tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam hal pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah
kecakapan yang bersifat indra, yang bersifat penalaran, yang bersifat afektif, dan
yang bersifat sosial.31 Dalam pelaksanaan pengajaran sastra dapat membantu
pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi 4 manfaat, yaitu: membantu
keterampilan berbahasa, meningkatkan kemampuan budaya, mengembangkan
cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak. Sesuai dengan amanat
Kurikulum 2004, pembelajaran sastra hendaknya digunakan peserta didik sebagai
salah satu kecakapan hidup dan belajar sepanjang hayat yang dibakukan dan
harus dicapai peserta didik melalui pengalaman belajar. Dalam kurikulum 2004
kecakapan hidup ini disebut sebagai Standar Kompetensi Lintas Kurikulum.
Kecakapan hidup dapat dikelompokkan ke dalam lima jenis. Kelima jenis
kecakapan itu adalah:
1. Kecakapan mengenal diri (self awarenesses) atau kecakapan personal
2. Kecakapan berpikir rasional (thinking skill)
3. Kecakapan sosial (social skill)
4. Kecakapan akademik (academic skill)
5. Kecakapan vokasional (cocasional skill)32
30 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), Cet VIII, h. 17. 31 Ibid., h. 19. 32 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: 2008), h. 171-173.
23
Mengacu pada amanat kurikulum di atas, maka dapat dikatakan bahwa
pembelajaran sastra memiliki peranan yang sangat besar terhadap pembentukan
siswa, karena dengan pembelajaran sastra siswa dituntut mengapresiasikan nilai-
nilai yang terkandung dalam karya sastra yang telah dipelajarinya. Dan nilai-nilai
kemanusiaan tersebut ditanamkan dalam diri siswa sehingga dapat
mempengaruhi daya imajinasi, pola pikir, emosional, kreatifitas, dan intelektual
siswa.
Banyak jenis karya sastra yang dapat diapresiasikan oleh siswa untuk
pembelajara, salah satunya adalah novel. Novel biasanya sering dipilih untuk
diapresiasi karena novel adalah jenis karya sastra yang menceritakan kehidupan
seorang manusia. Dalam novel terdapat konflik permasalahan yang terkadang
terjadi pula dalam kehidupan nyata yang menjadikan cerita itu tidak terlihat
monoton. Cerita itu disampaikan oleh penulis dengan menggunakan bahasa yang
sehari-hari. Selain itu dalam sebuah novel juga biasanya terdapat nila-nilai
kemanusiaan yang bisa direnungkan pada kehidupan sehari-hari. Begitulah sastra
dengan hasil karyanya, dapat memberikan sisi positif bagi kehidupan, terutama
dalam dunia pendidikan.
E. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan berfungsi untuk memberikan pemaparan tentang
penelitian sebelumnya yang telah dilakukan. Penulis melakukan tinjauan di
internet dan perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam hal ini penulis
tidak menemuka judul skripsi yang sama dengan yang penulis kaji. Pada bagian
ini dipaparkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya,
pertama skripsi dengan judul ‖Kehidupan Pesantren dalam Novel Geni Jora
Karya Abidah El Khalieqy Kajian Sosiologi Sastra‖. Penelitian ini dilakukan
oleh Ana Fitria Vivi Suhartina mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Universitas Sebelas Maret pada tahun 2011. Penelitian dibatasi pada
kehidupan pesantren yang ada dalam novel Geni Jora karya Abidah El Kalieqy.
24
Hasil dari penelitian ini adalah: (1) Aspek sosial budaya pesantren dalam novel
Geni Jora karya Abidah El Khalieqy yaitu: (a) Kedudukan Pondok Pesantren
dalam Novel Geni Jora , (b) Kedudukan Kyai sebagai Pembawa Nilai Sosial
Budaya dalam Novel Geni Jora , (c) Masjid dan Masyarakat Pesantren dalam
Novel Geni Jora , (d) Santri, Kyai, dan Pondok Pesantren dalam Novel Geni Jora
(2) Tanggapan pembaca terhadap novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy
adalah selain menceritakan tentang feminisme, novel ini juga banyak
mengandung nilai- nilai agama khususnya agama islam karena dalam novel ini
settingnya ada di Pesantren.
Persamaan penelitian Ana Fitria Vivi Suhartina dengan penelitian ini
terletak pada pengarang yang sama dari objek yang dikaji, yaitu Abidah El
Khaieqy. Sedangkan perbedaannya terletak pada aspek kajian dan objek
kajiannya. Peneliti Ana Fitria Vivi Suhartina mengkaji tentang kehidupan
pesantren yang ada dalam novel Geni Jora. Sedangkan di sini penulis mengkaji
tentang ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel Perempuan
Berkalung Sorban dan Geni Jora.
Kedua, skripsi dengan judul ‖Novel Menebus Impian Karya Abidah El
Khalieqy Kajian Feminisme dan Nilai Pendidikan‖. Penelitian ini dilakukan oleh
Primasari Wahyuni mahasiswi Universitas Sebelas Maret pada tahun 2011.
Penelitian dibatasi pada nilai pendidikan yang ada dalam novel Menembus
Impian karya Abidah El Khalieqy. Hasil penelitian ini sebagai berikut: (1)
eksistensi perempuan dalam novel Menebus Impian yang meliputi: (a) kebebasan
memilih bagi perempuan (kebebasan memilih pasangan hidup, memilih
pekerjaan, menentukan pendidikan, dan menentukan nasibnya sendiri); dan (b)
Rebana, adalah istilah-istilah yang diasosioriskan pada masyarakat unik ini.
Tokoh–tokoh seperti Gus Dur, Gus Mus, Emha, Nurkholis Majid, hampir
semua masyarakat Indonesia tahu bahwa mereka berasal dari dan tergolong
sebagai kaum santri. Kantong-kantong wilayah santri yang terkenal adalah
Banten-Jawa Barat, Sarang-Rembang-Lasem-Jateng Jateng, Lirboyo-Kediri,
Tebu Ireng-Tambak Beras-Jombang, Tremas-Pacitan Jatim. Tetapi saat ini
hampir di seluruh pelosok pulau Jawa terdapat pondok pesantren baik kecil
maupun besar. Hal ini tak lepas dari perjuangan tokoh-tokoh santri dalam
berdakwah dan menyebarkan ajaran pesantren.
Kultur pesantren adalah kultur yang khas. Cliffort Geertz
menggambarkan bahwa santri adalah bagian dari masyarakat Jawa
sebagaimana pernyataannya: ―Santri mewakili sikap menitik beratkan pada
31
segi-segi Islam dalam sinkretisme, pada umumnya berhubungan dengan
unsur pedagang dan petani. Abangan mewakili sikap yang menitik beratkan
segi-segi sinkretisme Jawa yang menyeluruh, secara luas berhubungan
dengan unsur-unsur mistik kerakyatan. Dan priyayi menitik beratkan pada
segi-segi Hinduisme dan berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi.‖
Karena pada umumnya pusat-pusat pesantren ada di daerah pedesaan,
kehidupan sehari-hari kaum santri lebih akrab dengan kehidupan masyarakat
desa dari pada kota, kehidupan mereka yang sebenarnya kurang terekspos ke
luar wilayah mereka. Tetapi ketika perkembangan zaman semakin pesat,
benturan-benturan dengan dunia luar mulai mereka rasakan. Bahkan kini pun
banyak pesantren-pesantren besar eksis di tengah-tengah masyarakat kota.4
2. Konsep Dasar Pembuatan Novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni
Jora
Menurut Abidah persoalan perempuan itu tidak lekang oleh zaman.
Sejak Adam sampai Muhammad, sejak zaman Muhammad sampai sekarang,
persoalan perempuan dengan berbagai macam sisinya masih saja aktual
untuk dibicarakan. Itu sebabnya perempuan disebut-sebut dalam Al-Quran
dan Hadist sebagai bagian dari masalah kehidupan dunia selain kekuasaan
dan harta. Dalam sejarahnya sampai kini, persoalan perempuan timbul lebih
disebabkan oleh sumber-sumber tiranik yang bergerak melalui sistem
patriarki. Oleh pikiran dan konstruksi budaya kaum lelaki. 5
Bagi Abidah sebagai penulis, yang menjadi konsep dasar pembuatan
novel Perempuan Berkalung Sorban adalah sebagai pengingat dan motivasi
bagi kaum laki-laki dan perempuan, khususnya kaum muslimah untuk
4Fatichatus Sarifah, Biografi Abidah El Khalieqy, Artikel diakses di
http://www.solopos.com/2012/07/06/abidah-el-khalieqy-menulis-adalah-panggilan-hidup-199603 pada tanggal 26 Agustus 2013, pukul 07.08 WIB
5Siti Rizkia Kamilah, Skripsi, Analisis Isi Pesan Dakwah Pada Novel Perempuan Berkalung Sorban, (Wawancara pribadi dengan Abidah El-Khalieqy melalui email: Jakarta, 04 Juni 2010)
yang di dalam pemerintahannya sangat menghargai kebebasan bagi
kaum perempuan.
Latar tempat dalam novel ini diceritakan secara deskriptif oleh
tokoh Kejora, seperti pada kutipan berikut.
Setelah Damaskus, inilah perjalanan kedua yang menggetarkan
jaringan sarafku. Maroko. Sebuah tempat penuh kontras dan
keindahan yang menakjubkan. Negara modern dengan jiwa
yang bersahaja. Lebih dari separuh buminya adalah sahara,
taman Allah sebagaimana legenda arab yang terjaga.
Menandingi Sahara yang perkasa, Pegunungan Atlas
membentang bagai tulang punggung Maroko. (GJ. h. 11)
Pemilihan latar tempat di Negara Maroko ini karena sebagai
simbol dari kebebasan untuk perempuan yang terlihat di sana. Selain
di Maroko, Abidah juga menggambarkan latar di rumah Kejora.
Penggambaran latar ini diceritakan melalui dialog-dialog antara
Kejora dan anggota keluarganya, seperti Lola, Nenek, Prahara dan
Ibu. Di rumah ini lah Kejora dan saudara perempuannya Lola
mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan anggota keluarganya
yang laki-laki. Pandangan nenek Kejora yang masih kolot, yang
selalu berpikir bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin yang
peringkatnya selalu berada di atas perempuan memicu tokoh Kejora
untuk dapat membuktikan diri bahwa perempuan bukanlah makhuk
nomer dua yang selalu berada di bawah laki-laki.
Pesantren juga menjadi latar tempat pada novel ini.
Penggambaran latar ini disampaikan secara deskriptif. Di pesantren
inilah Abidah memcoba menceritakan sisi lain yang biasanya ada di
pesantren. Seperti santri-santi yang mengalami lesbian (penyuka
sesama jenis), dan beberapa santri yang suka membuat keributan di
pesantren seperti yang dilakukan oleh geng Sonya dan Geng Detty.
Semua hal ini sangat meresahkan dan sulit sekali untuk diberantas
tuntas hingga ke akar-akarnya.
Selain itu, Yogyakarta menjadi latar tempat yang lain dalam
novel ini. Pengarang menggambarkan latar tempat Yogyakarta
70
secara deskriptif melalui penggambaran dari Kejora tentang kota-
kota yang berada di daerah Yogyakarta, seperti pada kutipan berikut
ini:
Sepanjang emperan Malioboro, anda akan menemukan segala
keindahan barang-barang kerajinan dengan harga yang relatif
murah. Berbekal kepandaian menawar, anda bisa memborong
berbagai bentuk tas kulit, topi, sepatu, gelang gading, baju
batik, segala macam aksesoris, mainan anak, alat kesehatan,
rupa- rupa cincin, dan batu akik. (GJ. h. 254)
Selain itu pengambilan latar tempat Yogyakarta sebagai simbol
bahwa perempuan pun mempunyai hak yang sama dalam
mendapatkan pendidikan, karena Yogyakarta merupakan tempat
yang terkenal dengan kualitas pendidikannya yang baik.
b. Latar Waktu
Latar Waktu dalam novel GJ tidak begitu dijelaskan secara
rinci mengambil latar pada tahun berapa. Banyak latar waktu yang
disebutkan secara deskriptif maupun melalui dialog-dialog yang ada
tentang latar waktu yang hanya sekedar latar waktu pagi, siang, sore
dan malam. Selain itu dalam novel GJ terdapat perubahan periode
waktu yang terjadi selama penceritaan.
Tedapat dua perubahan periode waktu yang terjadi dalam novel
GJ. Perubahan periode waktu yang pertama dimulai dari Kejora
masih duduk di kelas lima Sekolah Dasar dan berusia 9 tahun sampai
Kejora duduk di kelas empat di pesantrennya (setara dengan kelas
satu Sekolah Menengah Atas) yang panjang waktu penceritaannya
selama lima tahun. Perubahan periode waktu yang kedua diawali
dari Kejora yang berada di kelas lima di Pesantrennya sampai Kejora
melanjutkan kuliah di Damaskus yang panjang waktu penceritaanya
berkisar enam tahun. Jadi perubahan periode waktu keseluruhan
dalam novel GJ adalah sebelas tahun.
71
5. Sudut pandang
Sudut pandang merupakan cara pengarang untuk menceritakan
sebuah cerita, bagaimana menampilkan tokoh, latar, dan peristiwa-
peristiwa yang ada dalam cerita kepada pembaca. Dalam novel GJ ini,
Abidah El Khalieqy menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku
utama. Dalam novel ini tokoh utama akuan adalah Kejora. Karena dalam
novel GJ ini tokoh utamanya yaitu Kejora yang menceritakan tentang
kehidupan yang dialaminya dan tokoh Kejora pula lah yang menceritakan
tokoh tokoh lainnya. Dengan menggunakan sudut pandang aku ini
membuat pembaca seakan-akan masuk ke dalam cerita dan dapat lebih
meresapi cerita. Kutipan yang mendukung sudut pandang orang pertama
pelaku utama ini sebagai berikut: ―Ibu seorang perempuan sederhana
yang mengelola rumahnya menjadi kastil yang indah bagi anak-anak dan
suaminya. Ia tak pernah kemana-mana. Ia melangkahi pintu besar hanya
diwaktu takziah, pesta pernikahan, atau menjadi imam salat jumat di
langgar yan khusus untuk perempuan.‖ (GJ. h. 102) Pada kutipan tersebut,
tokoh aku (Kejora) lah yang menceritakan bagaimana tokoh-tokoh
lainnya ada dan mengisi cerita dalam novel ini. Tokoh lainnya
diceritakan melalui pendapat dan pandangan tokoh Kejora. Dengan
menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku utama ini pembaca
dapat merasa lebih dekat dan masuk ke dalam cerita.
Penggunaan sudut pandang orang pertama pelaku utama ini
menunjukkan bahwa pengarang tidak sama sekali masuk ke dalam cerita.
Posisi pencerita dalam sudut pandang ini terdapat pada tokoh utamanya
yaitu Kejora. Segala bentuk peristiwa yang ada dalam cerita digambarkan
melalui pandangan Kejora. Selain itu, penggambaran tokoh-tokoh lain
yang terdapat pada novel ini juga digambarkan melalui pandangan
Kejora. Melalui tokoh Kejora pengarang mengungkapkan bagaimana
system patriarki yang harus diterima oleh Kejora.
72
C. Analisis Ketidakadilan Gender Pada Perempuan yang Terdapat dalam
Novel Perempuan Berkalung Sorban dan Novel Geni Jora
Abidah El-Khalieqy merupakan sastrawan yang berasal dari Jawa
Timur. Kekhasan Abidah dalam menulis karya sastra dapat dibedakan dengan
mudah ketimbang sastrawan lain, karena Abidah memiliki ciri-ciri khusus,
yaitu setiap karyanya baik novel maupun cerpen tidak terlepas dari hal-hal
yang bersangkutan dengan agama, khususnya agama islam. Dalam beberapa
karyanya Abidah mengangkat tentang posisi perempuan dalam agama dapat
dilihat dengan jelas dari beberapa karyanya, seperti, novelnya yang berjudul
Perempuan berkalung Sorban (2001) dan Geni Jora (2003). Dalam karyanya
tersebut, Abidah mengkritisi tradisi dan pandangan beragama yang kental
dengan budaya patriarki dan cenderung tidak memihak pada perempuan
terutama dalam lingkungan pesantren salaf. Pandangan dan pengamatannya
mengenai posisi perempuan dalam islam terutama dalam lingkup pesantren
ini ia tuangkan dalam cerpen maupun novel. Perempuan Berkalung Sorban
(2001) contohnya, Abidah mengungkapkan bahwa tujuannya dalam membuat
novel PBS ini adalah untuk mensosialisasikan hak-hak reproduksi perempuan
yang sudah diratifikasi oleh PBB.7
Dalam PBS Abidah berbicara tentang budaya patriarki yang sudah
mendarah daging. Novel ini, erat kaitannya dengan nilai-nilai kegamaan.
―Agama merupakan batu fondasi perbedaan gender.‖8 Dari kutipan tersebut
terlihat bahwa dalam agama pun membahas tentang gender. Perbedaan ini
dibahas dalam beberapa kitab yang biasa dipelajari di pesantren seperti kitab
Uqud al Lujani. Menurut penelitian Martin Van Bruinisen, professor Belanda
yang meneliti kitab kuning di Indonesia, kitab Uqud al Lujani adalah salah
satu kitab yang banyak dipelajari di pesantren. Padahal, kelompok kritis islam
Indonesia menyimpulkan bahwa kitab ini sangat tidak ramah pada perempuan
7 Wawancara dengan Abidah EL Khalieqy dalam Koran Tempo (Edisi 15 Februari 2009) 8 Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007) h. 84
73
karena banyak pernyataan yang dinilai menyudutkan perempuan.9 Pada novel
ini dikisahkan seorang perempuan yang ingin mendapatkan pengakuan
kesetaraan dari kaum laki-laki. Melalui tokoh utamanya, Annisa, ia
menyampaikan kritiknya terhadap Kyai dan kitab-kitab yang berkarakter
menyudutkan perempuan. Selain itu, dalam PBS juga membahas hak-hak
reproduksi perempuan dengan memunculkan tokoh Samsudin yang sering
melakukan kekerasan terhadap Annisa. Setelah ia mendapatkan perbedaan
perlakuan yang dilakukan di lingkungan rumah dan pesantren serta
mendapatkan kekerasan seksual oleh Samsudin, pada akhirnya Annisa
menikah dengan Khudhori yang tidak memandang permasalahan atas dasar
gender dan dapat menghargai Annisa sebagai perempuan walaupun pada
akhirnya Annisa harus rela kehilangan Khudhori dan hidup sendiri bersama
anaknya.
Dari cerita di atas sangat jelas bahwa Abidah menginginkan perempuan
meraih kemandiriannya sendiri tanpa ketergantungan pada kaum laki laki,
dan perempuan harus menguasai ilmu pengetahuan agar ia dapat mandiri.
Kematian Khudhori, suami keduanya, yang membuat Annisa harus hidup
sendiri dan membesarkan anaknya sendiri menjadi simbol bahwa perempuan
harus mampu hidup mandiri tanpa bantuan laki-laki.
Keputusan Abidah untuk mengkritik para Kyai dan kehidupan
pesantren kitab-kitab yang menyudutkan perempuan ini berdampak negatif.
Terlebih setelah novel PBS ini difilmkan, ia dianggap melecehkan agama
Islam.
Berdasarkan paparan tersebut, sangatlah jelas bahwa keputusan Abidah
mengkritik kehidupan pesantren salaf yang terlalu berpatok pada kitab-kitab
yang menyudutkan perempuan memunculkan reaksi negatif dari pembaca.
Pada tahun 2004 ia menerbitkan sebuah novel yang berjudul Geni Jora yang
masih bercerita tentang upaya pembebasan perempuan dari budaya patriarki
9 Asnal Mala, Op,cit.
74
namun Abidah tidak menyampaikan kritiknya secara terang-terangan seperti
pada novel PBS. Berikut ini adalah pembahasan mengenai Ketidakdilan
Gender yang terlihat dalam novel PBS dan GJ.
1. Marginalisasi terhadap Perempuan
Salah satu bentuk ketidakadilan yang terdapat dalam novel PBS
dan GJ adalah marginalisasi. Marginalisasi pada perempuan merupakan
batasan-batasan yang diterima oleh perempuan. Nilai-nilai partriarki
yang sangat kental membuat kaum perempuan mengalami diskriminasi
dalam kehidupannya. Di dalam keluarga, marginalisasi terhadap
perempuan sudah terjadi dalam bentuk diskriminasi atas anggota
keluarga laki-laki dan perempuan. ―Keluarga merupakan pengaruh
pertama dan utama dalam perkembangan seorang anak.‖10 Kutipan
tersebut menyatakan bahwa seorang anak akan tumbuh menjadi
seseorang yang berkarakter seperti apa itu tergantung dari bagaimana
cara didikan yang diterapkan oleh orang keluarganya. orang tua
selayaknya dapat memperlakukan anak-anak mereka tanpa melakukan
diskriminasi atas dasar jenis kelamin.
Dalam PBS disinggung bagaimana cara didik orang tua yang
selalu membeda-bedakan perlakuan untuk anak laki-laki dan anak
perempuan. Hal ini dialami oleh tokoh utama yang selalu mendapatkan
perlakuan yang berbeda dengan saudara laki-lakinya, seperti pada
kutipan berikut: ―Tidak seperti Wildan dan Rizal yang bebas keluyuran
dalam kuasanya, main bola, dan main layang-layang, sementara aku
disekap di dapur untuk mencuci kotoran bekas makanan mereka,
mengiris bawang hingga mataku pedas demi kelezatan dan
kenyamanan perut mereka.‖ (PBS. h. 23) Kutipan tersebut bercerita
tentang bagaimana tokoh utama mendapatkan perlakuan berbeda yang
dilakukan oleh ayahnya. Sikap tidak suka akan perbedaan perlakuan
10 Saparinah Sadli, Berbeda tetapi Setara, (Jakarta, Kompas, 2010) , h. 158.
75
yang diterima, ditunjukan oleh sikap tokoh utama yang sering
melanggar aturan-aturan yang ada. Sikap-sikap yang ditunjukan oleh
tokoh utama bermakna bahwa ia inginkan pembebasan dari budaya
patriarki yang ada di lingkungannya. Ia tidak menerima hanya karena
alasan ia merupakan seorang anak perempuan membuat ia diperlakukan
berbeda.
Pengambilan latar tempat di daerah Jawa juga mempengaruhi
terjadinya diskriminasi terhadap perempuan pada novel ini. ―Dalam
konstruksi budaya Jawa, munculnya kecenderungan boy preference
(lebih berpihak pada anak laki-laki). Kecenderungan tersebut akhirnya
menimbulkan ketidakadilan yang terefleksi dalam perlakuan yang
berbeda terhadap anak laki-laki dan perempuan.‖11 Seperti yang
dijelaskan pada kutipan tersebut, bahwa dalam budaya masyarakat Jawa
anak laki-laki lebih diutamakan dan dihargai kebebasannya daripada
anak perempuan. Ini pula yang terjadi dalam novel PBS yang
mengambil latar di daerah Jawa Timur.
Sikap yang ditunjukkan oleh Annisa menunjukkan bahwa ia
memiliki keinginan untuk diperlakukan secara adil, meskipun ia
seorang perempuan. Ia tidak menerima perlakuan orang-orang di
sekitarnya yang menganggap perempuan sebagai makhuk lemah.
Perlakuan orang-orang terhadap perempuan tentunya bertentangan
dengan Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 13:
ابا شع ث جانام كر و نا جاناا ن ان ي أا
لا عجلنا ن جاا د نلا دا ر ك جا اى نا ونشال
عكأني
11 Rahmawati dalam Amiroh Ambarwati, Perspektif Feminis dalam Novel Perempuan di Titik Nol Terjemah Novel Imra‟ atun‟ inda Nuqtah Karya Nawal El Sadaawi dan Perempuan Berkalung Sorban Karya Abidah El Khalieqy. (Muwazah: 2009)., h. 27
76
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya saling mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah iialah orang
yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-
Hujurat/49;13).
Dari ayat tersebut tampak jelas bahwa hubungan antara manusia
dan laki-laki diatur oleh norma agama. Ayat tersebut memberi penjelasan
bahwa pada dasarnya manusia semua diciptakan sama, meskipun berasal
dari bangsa, suku, budaya yang berbeda. Hal ini bertentangan dengan
perlakuan yang dilakukan oleh orang-orang sekitar Annisa, yang
membeda-bedakannya dengan saudara laki-lakinya.
Dalam Al Qur-an pun dijelaskan bahwa perempuan dan laki laki
pada dasarnya sama, yang membedakan antara keduanya hanyalah iman
ketakwaannya. Jadi tak seharusnya batasan-batasan terhadap kaum
perempuan itu dibuat. ―Al-Qur‟ an sangat menekankan nilai keadilan,
kesetaraan dan keharmonisan. Islam sebagai agama yang memberi
rahmat bagi semesta alam, tentu anti rasialisme dan menolak
diskriminasi.‖12
Kembali pada pembahasan terhadap marginalisasi pada perempuan,
hal ini juga terlihat ketika Samsudin melakukan praktek poligami secara
terbuka. Meskipun dalam hukum islam poligami diperbolehkan, bukan
berarti suami boleh melakukan praktek poligami seenaknya. Tokoh
utama dalam novel ini dipoligami dengan alasan suami yang ingin
menyakiti istrinya. Ia kemudian melakukan perselingkuhan yang
membuat wanita lain ini mengalami kehamilan dan akhirnya meminta
pertanggungjawaban Samsudin. Apalagi dalam melakukan praktik
12 Eti Nurhayati, Psikologi Perempuan dalam Berbagai Perspektif, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012) h. 26.
77
poligaminya, Samsudin tidak bisa berlaku adil ketika memperlakukan
istri pertama dan istri keduanya.
Dua tahun kemudian Abidah kembali menulis novel yang
bertemakan sama dengan Perempuan Berkalung Sorban, yaitu novel
Geni Jora. Marginalisasi juga terjadi pada tokoh utama GJ yaitu, Kejora.
Tidak jauh berbeda dengan penggambaran Annisa pada PBS, pada GJ
Abidah menggambarkan Kejora selalu mendapatkan diskriminasi dari
neneknya. Ia selalu dinomorduakan dari adik laki-lakinya, Prahara.
Perlakuan nenek yang cenderung memarginalkan perempuan
menyebabkan tidak adanya penghargaan terhadap prestasi yang
diperoleh perempuan. Oleh karena itu, Kejora selalu termotivasi untuk
melawan ketidakadilan tersebut, seperti tampak pada kutipan berikut:
―Ini kah nilai rapot sekolahan, Cucu. Betapa pun nilai Prahara di
sekolahan, sebagai laki-laki, ia tetap ranking pertama di dunia
kenyataan. Sebaliknya kau. Berapa pun rankingmu, kau adalah
perempuan dan akan tetap sebagai perempuan.‖ (GJ. h. 82) Sebagai
perlawanan terhadap ketidakadilan yang didapatnya, Kejora selalu
belajar dan terus meningkatkan prestasinya.
Pada GJ, Abidah juga mengangkat tentang praktik poligami. Di sini
yang melakukan praktik poligami adalah ayah Kejora. Namun,
penggambaran praktik poligami dalam GJ lebih baik dari penggambaran
praktik poligami dalam PBS. Dalam GJ alasan ayah Kejora melakukan
praktik poligami adalah karena istri pertamanya tidak bisa mendapatkan
keturunan dan ayah Kejora memperlakukan kedua istrinya dengan adil.
‖Semuanya lebih dari cukup, Sayang. Tak ada sesuatu pun yang kurang.
Allah melimpahkan segala kesenangan, kebahagiaan dan kenikmatan
yang tak terhingga pada kita semua. Dan ini harus kita syukuri‖ (GJ. h.
102) Kutipan tersebut menunjukkan bahwa tokoh ayah mampu berlaku
adil dalam praktik poligaminya. Dilihat dari konsep ceritanya, tokoh ayah
memiliki sifat yang jauh berbeda dengan tokoh Samsudin dalam PBS.
Sikap tokoh ayah Kejora yang melakukan praktik poligami dikarenakan
78
istri pertamanya tidak mampu memberikan keturunan ini lebih masuk
akal dan dapat ditolerir daripada sikap Samsudin yang sengaja
melakukan perselingkuhan dan praktik poligami untuk menyakiti Annisa.
Walaupun begitu terlihat jelas sikap Abidah menunjukkan bahwa
―poligami sebagai keadaan darurat, dapat dilakukan asal syarat-
syaratnya dapat dipenuhi.‖13 Kutipan tersebut menyatakan pandangan
Abidah bahwa sesungguhnya poligami dapat dilakukan jika memang
dalam keadaan yang terdesak seperti dalam PBS ketika Kalsum datang
ke Annisa untuk minta dinikahi oleh Samsudin karena dirinya sudah
terlanjur hamil. Dan dalam GJ, ayah Kejora melakukan praktik poligami
karena tidak memiliki keturunan dari istri pertamanya. Walaupun begitu
praktik poligami juga harus dilakukan dengan cara yang adil. M Quraish
Shihab dalam Wiyatmi menyatakan bahwa ―poligami itu bukan anjuran,
tetapi salah satu solusi yang diberikan kepada mereka yang sangat
membutuhkan dan memenuhi syarat-syaratnya.‖14 Dari kutipan di atas
terlihat bahwa poligami itu ada dan boleh dilakukan pada saat-saat
terdesak saja, dan itu pun harus dengan ketentuan-ketentuan yang ada,
tidak bisa sembarangan melakukan poligami. Selain itu, pada GJ
digambarkan juga sikap Kejora yang menolak jika dia harus dimadu. Hal
ini menunjukan pada dasarnya tidak ada wanita yang menginginkan
dimadu. Berbeda dengan sikap Annisa yang tidak dapat berbuat apa-apa
saat ia harus dimadu.
Dilihat dari konsep cerita, tokoh Kejora dalam GJ memiliki sifat
yang hampir sama dengan Annisa dalam PBS. Tetapi yang membedakan
antara Annisa dalam PBS dengan Kejora dalam GJ adalah pada sikap
Annisa yang pasrah dan menerima begitu saja untuk dijodohkan dengan
laki-laki pilihan orang tuanya, dan juga menerima keputusan Samsudin
berpoligami dikarenakan ia sama sekali tidak mencintai Samsudin.
Berbeda dengan Kejora yang dibebaskan untuk memilih calon
13 Wiyatmi, op.cit, h. 169 14 Ibid., h. 170
79
pendamping hidupnya sendiri, ia juga bersikeras menolak poligami
dengan alasan apa pun.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa dalam kedua novelnya, yaitu
Perempuan Berkalung Sorban (2001) dan Geni Jora (2003) Abidah
selalu mengangkat isu diskriminasi yang terjadi pada perempuan dan
praktik poligami yang biasa dilakukan laki-laki. Dalam penceritaannya,
Annisa dan Kejora memiliki perbedaan dalam menuntut kesetaraan.
Tokoh Annisa dalam PBS mentuntut keadilan dan kesetaraan secara
terang-terangan, tetapi di sini tokoh utama tetap menerima keputusan
yang diberikan oleh orang-orang sekitarnya, seperti perjodohan. Namun
dalam GJ, Abidah menjadi lebih baik dalam memposisikan tokoh utama.
Tokoh utama GJ tidak dijodohkan secara paksa, ia juga digambarkan
sebagai perempuan yang tidak mau mengalah terhadap ketidakadilan
yang terjadi padanya.
Dalam novel PBS dan juga GJ terlihat ada dua pola poligami yang
terjadi, pola pertama, poligami dilakukan dengan terbuka, istri pertama
terpaksa memberi izin, hubungan antara istri pertama dengan kedua
kurang baik. Penyebab poligami dilakukan karena hubungan antara
suami dengan istri pertama tidak harmonis, keduanya menikah karena
perjodohan dan bukan atas landasan saling mencintai, suami melakukan
perselingkuhan yang menyebabkan kehamilan perempuan lain. Dan ini
terjadi dalam PBS. Pola kedua, poligami dilakukan dengan terbuka, ada
izin istri pertama, kedua istri berhubungan dengan baik. Penyebab
poligami karena istri pertama tidak dapat memberikan keturunan.15 Dari
kutipan tersebut terlihat bahwa Abidah ingin Jika sesuatu ketidakadilan
terjadi padanya ia akan membalasnya satu tingkat dari apa yang
diterimanya, bahkan ia tak segan-segan untuk berpoliandri jika suatu saat
pasangannya melakukan poligami.
15 Wiyatmi, op,cit., h. 162
80
2. Subordinasi terhadap Perempuan
Subordinasi adalah suatu sikap yang menempatkan perempuan
pada posisi yang tidak penting muncul dari adanya anggapan bahwa
perempuan itu emosional atau irasional sehingga perempuan tidak bisa
tampil memimpin.16 Konsep subordinasi pada perempuan dalam PBS
berbeda dengan konsep subordinasi pada perempuan dalam GJ. Dalam
PBS subordinasi terlihat dalam lingkup rumah tangga yaitu melalui
pendidikan yaitu dengan memprioritaskan anak laki-laki untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi dibandingkan perempuan,
ini disebabkan adanya anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah
tinggi-tinggi karena pada akhirnya akan menjadi ibu rumah tangga yang
kerjaannya hanya untuk mengurusi urusan rumah tangga. Dalam PBS
tokoh utama tidak diizinkan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi, sedangkan kedua saudara laki-lakinya boleh. Tapi walaupun
demikian Abidah tetap menggambarkan tokoh utama yang memiliki
pintar. Tokoh utama yang diceritakan menikah ketika ia baru lulus
Sekolah Dasar karena perjodohan, tetap melanjutkan sekolahnya setelah
ia menikah. ―Maka, sekalipun sudah hampir dua minggu aku absen dari
panggilan guru,, kupaksakan diri ini untuk kembali ke sekolah
Tsanawiyah. Dengan penuh keyakinan bahwa segalanya akan berubah
ketika lautan ilmu itu telah berkumpul di sini, dalam otakku.‖(PBS. h. 98)
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa tokoh utama tidak ingin putus
sekolah lantaran ia sudah menikah. Ia tetap melanjutkan sekolahnya
sampai akhirnya Aliyah (setara dengan SMA). Saat Aliyah ia bercerai
dengan Samsudin dengan alasan karena selama ini Samsudin selalu
berbuat kasar dan tak henti-hentinya menyakitinya. Terlihat bahwa
tokoh-tokoh perempuan dalam PBS tidak memiliki kesempatan untuk
melanjutkan sekolahnya dan hanya menjadi ibu rumah tangga saja.
Pemikiran yang seperti inilah yang coba disingkirkan dengan
16 Rian Nugroho, op. cit., 13
81
penggambaran tokoh Annisa yang teguh kukuh tak menyerah untuk terus
bersekolah.
Peranan orang tua yang seharusnya bisa melindungi hak-hak anak,
baik itu anak laki-laki ataupun perempuan, dan memberikan pendidikan
yang layak kepada anaknya, tidak memaksakan kehendak orang tua
terutama dalam pernikahan dan pemilihan jodoh. Anak perempuan
memiliki kebebasan sendiri menentukan pasangan hidupnya, dan orang
tua hanya cukup memberikan nasihat dan pertimbangannya. Semua hal
itu tidak terlihat dalam novel ini yang hampir semua tokoh
perempuannya tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang tinggi, dan
pemaksaan pernikahan yang dilakukan oleh orang tua tokoh utama.
Dua tahun kemudian dalam novel yang berjudul Geni Jora karya
Abidah El Khalieqy terlihat penggambaran yang berbeda mengenai
pendidikan untuk perempuan. Dalam GJ dijelaskan bahwa pendidikan
bagi wanita pun penting. Ini ditunjukkan dari keadaan Kejora yang sama
sekali tidak mengalami kesulitan untuk menuntut ilmu meskipun ia
adalah seorang perempuan. Berbeda dengan PBS yang hampir semua
tokoh perempuannya tidak melanjutkan sekolahnya ke jenjang lebih
tinggi. Dalam GJ tokoh perempuan di sini mendapatkan dukungan untuk
melanjutkan sekolahnya ke jenjang lebih tinggi, seperti pada kutipan
berikut:
―Kami mau les, Om.‖ Aku menjawab
―Mau les? Les apa?‖
―Les bahasa Arab.‖
―Masa? Kalian mau jadi TKW?‖
Idih! Om norak. Kami sih mau masuk pesantren, bukan jadi TKW
selama ini juga tinggal di pesantren?‖ (GJ. h. 105)
Kutipan di atas menyatakan bahwa dari kecil Kejora dan Lola
sudah dipersiapkan untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi. Bahkan
82
sampai mengikuti les agar bisa diterima di sekolah yang diinginkan.
Walaupun biasanya mereka tidak pernah diijinkan untuk keluar dari
rumah tapi untuk menuntut ilmu mereka diijinkan untuk membuka
gerbang rumahnya. Penggambaran perempuan yang sulit mendapatkan
pendidikan yang diperlihatkan dengan sangat jelas di PBS tidak terlihat
dalam novel GJ. Selain itu, melalui tokoh Omi (ibunda Zakky) dijelaskan
bahwa perempuan pun mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan
pendidikan. Abidah juga memberikan pandangannya tentang pendidikan
dalam tradisi Syi’i, yaitu pendidikan bagi perempuan lebih penting
daripada pendidikan bagi laki-laki, seperti pada kutipan berikut: ―Akan
sangat berbeda jika sudah membicarakan masalah pendidikan. Omi Ida
banyak dipengaruhi pernikahan Fathimiyah yang justru tidak
mengkoloni Turki. Dalam tradisi Syi‟ I, pendidikn untuk perempuan bagi
perempuan lebih utama dibandingkan pendidikan bagi laki-laki.‖ (GJ. h.
189) Kutipan tersebut terlihat bahwa Abidah menambahkan pandangan
tentang kebudayaan yang mengutamakan pendidikan untuk perempuan
dibandingkan laki-laki melalui tokoh Omi Ida yang merupakan ibu dari
Zakky. Melalui tokoh Omi Ida, Abidah ingin menyampaikan
pandanganya bahwa pendidikan juga sangat penting bagi kaum
perempuan.
Pemilihan Negara Timur Tengah sebagai tempat untuk melanjutkan
sekolah karena Negara-negara di Timur Tengah dapat dijadikan sebagai
simbol kebebasan. Seperti kutipan berikut.
Di sini kutemukan orang Afrika bergandengan tangan dengan
orang Prancis. Orang Prancis bermain football bersama orang Arab
dan orang Yahudi menjual taring macan pada orang Herber.
Sementara orang Herber berdesak-desakan memotong permadani
Tazenakht dengan permata asli untuk ditawarkan kepada orang
Afrika. Berduyun-duyun manusia dari berbagai ras yang berkulit
hitam, berkulit cokelat, dan berkulit putih, meramaikan kebidupan
dan membentuk kebudayaan Maroko. (GJ. h. 12—13)
83
Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan dalam menggambarkan Subordinasi pada perempuan dalam
PBS dan GJ. Dalam PBS, digambarkan bahwa pendidikan bagi
perempuan tidaklah penting, oleh karena itu tokoh-tokoh perempuan
dalam PBS tidak melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi.
Sedngkan dalam GJ tokoh-tokoh perempuannya dapat melanjutkan
sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi, bahkan ke luar negeri. Selain itu
dalam PBS tokoh utamanya dipaksa untuk menerima perjodohan oleh
orang tuanya yang berujung pada perceraian. Sedangkan dalam GJ tokoh
utamanya diberi kebebasan untuk memilih dan menentukan pendamping
hidupnya.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa terdapat perbedaan saat
menggambarkan subordinasi pada perempuan kedua novelnya, yaitu
Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora. Dalam PBS Abidah selalu
mengangkat isu subordinasi yaitu mengenai pendidikan yang tidak terlalu
penting bagi perempuan. Akan tetapi pada GJ, Abidah tida menyinggung
subordinasi mengenai pendidikan. Karena semua tokoh perempuan
dalam GJ berpendidikan tinggi.
3. Stereotip terhadap Perempuan
Stereotip adalah pelebelan atau penandaan negatif terhadap
kelompok atau jenis kelamin tertentu.17 Stereotip-stereotip itu
mencerminkan kesan umum mengenai bahasa perempuan dan laki-laki.
Stereotip-stereotip tersebut jarang sekali berpihak pada perempuan.18
Dalam PBS dan GJ, terdapat pandangan yang berbeda tentang
stereotipe yang terjadi pada perempuan. Bentuk stereotip yang
ditampilkan dalam PBS yaitu anggapan bahwa perempuan itu
penggoda, seperti pada kutipan berikut: ‖…… keakrabanmu dengannya
17 Riant Nugroho, op.cit., h. 12 18 David Graddol dan Joan Swann, Gender Voice: Telaah Kritis, Relasi Bahasa Gender,
(Pedati: 2003), h. 2
84
akan menimbulkan kecurigaan masyarakat. Terlebih sekarang ini.
Ingatlah, bahwa kau adalah seorang janda, Nisa. Dan statusmu itulah
yang membuat pikiran orang dalam menilaimu. Jika sedikit saja kau
lengah, mereka akan berebut menggunjingkanmu. ‖ (GJ. h. 145) dari
kutipan berikut terlihat bahwa budaya dalam masyarakat PBS
memberikan stereotif yang negatif bagi perempuan, yaitu perempuan
sebagai makhluk penggoda. Ini ditunjukkan dari tokoh Annisa yang
mendapatkan pelbelan negatif itu hanya karena ia seorang perempuan
dan seorang janda, sehingga msyarakat menyimpulkan bahwa ia
seorang perempuan penggoda saat ia sering pergi berdua dengan
Khudhori.
Selain itu, adanya keyakinan di masyarakat bahwa tugas
perempuan adalah untuk melayani suami berakibat pada
menomorduakan pendidikan bagi perempuan, hal ini terlihat pada
kutipan berikut:
―.....dalam budaya nenek moyang kita, seorang laki-laki memiliki
kewajiban dan seorang perempuan memiliki kewajiban.
Kewajiban seorang laki-laki, yang terutama adalah bekerja
mencari nafkah, baik di kantor, di sawah, di laut, atau di mana
saja asal bisa mendatangkan rezeki halal. Sedangkan seorang
perempuan, mereka juga memiliki kewajiban, yang terutama
adalah mengurus urusan rumah tangga dan mendidik anak.....” (PBS. h. 27)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa budaya yang ada membentuk
anggapan bahwa dalam rumah tangga yang seharusnya mencari nafkah
adalah laki-laki (suami) dan tugas perempuan (istri) adalah mengurus
segala keperluan rumah tangga dan melayani. Hal ini membuat stereotip
tentang pendidikan untuk perempuan tidak terlalu diutamakan. ―Tetapi
anak perempuan kan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Sudah cukup
jika telah mengaji dan khatam. Sudah ikut sorongan kitab kuning. Kami
juga tidak terlalu terburu. Ya, mungkin menunggu si Udin Wisuda
kelak.‖ (PBS. h. 81) Kutipan tersebut menunjukkan bahwa pandangan
orang-orang terhadap pendidikan untuk anak perempuan pada masa itu
85
tidaklah penting. Karena perempuan bukanlah pemimpin dalam
keluarga yang berkewajiban untuk mencari nafkah, jadi bagi mereka
(perempuan) pendidikan bukanlah hal yang utama yang harus mereka
dapatkan.
Tetapi penggambaran Abidah mengenai sosok Samsudin yang
malas, tidak bertanggung jawab dan kepala keluarga yang tidak
memiliki pekerjaan seakan melelehkan stereotip tentang suami yang
seharusnya mencari nafkah di luar rumah, sesuai dengan kutipan beriku:
―sekalipun sarjana, Samsudin tidak bekerja atau belum mendapat
pekerjaan.‖ Kutipan tersebut telah mematahkan stereotip yang ada pada
novel ini, karena sebagai laki-laki Samsudin benar-benar tidak bisa
diandalkan. Untuk biaya hidup mereka pun masih mengandalkan orang
tua Samsudin.
Dua tahun kemudian, dalam novelnya yang berjudul Geni Jora,
Abidah juga memperlihatkan pelebelan yang negative untuk kaum
perempuan, seperti pada kutipan berikut: ―Ayah akan berpihak pada
mereka, sebab mereka orang kepercayaannya. Belum lagi kalau Nenek
tahu, ia akan memojokanku, memojokkan kita berdua.sebab itu, jaga
mulutmu.‖ (GJ. h. 91) Pada kutipan tersebut terlihat bahwa Lola yang
sudah dilecehkan oleh kedua pamannya namun tak mau memberitahu
kepada siapa pun perihal tersebut, ini dikarenakan ia beranggapan
bahwa Ayah dan Neneknya tidak akan membelanya, bahkan akan
menyalahkannya. Anggapan seperti inilah yang diangkat oleh Abidah
dalam GJ. Anggapan yang mengatakan bahwa pelecehan seksual yang
sering terjadi pada perempuan tidak terlepas dari kesalahan perempuan.
Dalam hal ini perempuan menjadi korban yang disalahkan.
Selain itu, dalam GJ juga dijelaskan bahwa laki-laki adalah pihak
yang nantinya akan mencari nafkah untuk membiayai kehidupan
keluarganya. Namun dalam GJ, pentingnya pendidikan untuk
86
perempuan juga mendapat porsi yang sama dengan pentingnya
pendidikan bagi laki-laki, sehingga semua tokoh perempuan dalam GJ
bersekolah sampai jenjang yang tinggi.
Penggambaran tokoh utama sebagai salah satu mahasiswa yang
sedang kuliah di Damaskus. Selain Kejora, Elya, dan Lola tokoh
perempuan dalam GJ juga melanjutkan sekolahnya ke jenjang
perguruan tinggi. Ini berbeda dengan tokoh-tokoh perempuan yang ada
dalam PBS yang mayoritasnya pendidikan terakhirnya SD, SMP,
ataupun SMA. Dalam PBS hanya Annisa yang memperjuangkan
haknya untuk terus mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-
laki. Dalam GJ Abidah mencoba menunjukkan pandangannya pada
pembaca bahwa perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki-
laki dalam hal mendapatkan pendidikan yang yang tinggi juga layak.
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa dalam PBS dan GJ sama-
sama mengangkat isu tentang stereotip yang sering dipasangkan pada
perempuan, perempuan sebagai makhluk penggoda yang, dan walaupun
mereka mengalami kekerasan atau pelecehan seksual, itu tetap saja
perempuanlah yang akan dipersalahkan. Gambaran seperti inilah yang
masih kita temui dalam kehidupan nyata. Perbedaan terlihat ketika
Abidah menggambarkan laki-laki sebagai pencari nafkah yang
berakibat pendidikan bagi perempuan dinomorduakan dalam PBS.
Namun dalam GJ adanya anggapan bahwa laki-laki merupakan orang
yang mencari nafkah dalam keluarga tidak membuat hak perempuan
dalam mendapatkan pendidikan menjadi hilang.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa dalam kedua novelnya,
yaitu PBS dan PBS Abidah mengangkat isu pelebelan negatif yaitu
pelebelan bahwa perempuan merupakan makhluk penggoda. Dalam
PBS, Annisa yang merupakan janda dianggap sering menggoda
Khudhori karena mereka berdua sering pergi keluar bersama. Begitu
87
pula dalam GJ, Lola yang dilecehkan oleh kedua pamannya, tidak
berani melaporkannya kepada ayahnya karena takut nantinya ia yang
akan disalahkan. Selain itu anggapan bahwa laki-laki merupakan
pencari nafkah membuat perempuan sulit untuk mendapatkan haknya di
dunia pendidikan dalam PBS, sedangkan dalam GJ, anggapan seperti
itu tidak mempengaruhi pendidikan yang akan mereka (perempuan)
jalani.
4. Kekerasan (Violence) terhadap Perempuan
Violence (kekerasan) merupakan assoult (invasi) atau serangan
terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang yang
dilakukan terhadap jenis kelamin tertentu. Kekerasan terhadap sesama
manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun kekerasan
terhadap satu jenis kelamin tertentu disebabkan oleh anggapan gender.
Dikaitkan dengan novel PBS dan GJ, diceritakan kekerasan dan
pelecehan seksual yang diterima tokoh utama. Dalam PBS, jenis
kekerasan yang pertama kali munculkan adalah tindakan pelecehan
yang dialami oleh tokoh utama dan sahabatnya ketika mereka pergi ke
bioskop. Di sini detegaskan bahwa banyak sekali tindak pelecehan yang
terjadi pada perempuan di tempat umum, seperti pada kutipan berikut:
―’Maaf mungkin lain kali. Sebab seseorang sedang menunggu kami di
ujung jalan itu.’ Aku menirukan Aisyah lalu secepatnya pergi ke utara.
Tetapi lelaki itu tidak gampang dibohongi, ia menangkap tanganku dan
berusaha meringkus tubuhku...‖ (GJ. h. 45) Dari kutipan tersebut dapat
diketahui bahwa pelecehan pada perempuan dapat terjadi di mana saja,
kapan saja dan oleh siapa saja.
Selain itu, pada PBS digambarkan bahwa tokoh utamanya yang
selalu mendapatkan kekerasan baik kekerasan fisik maupun seksual.
Kekerasan seksual yang dialami Annisa adalah pemerkosaan oleh
suaminya sendiri. Dikatakan sebagai perkosaan, padahal dilakukan
88
oleh suami sendiri ini karena hubungan suami-istri dibangun atas dasar
mencintai dan saling memahami, tidak ada paksaan di dalamnya apalagi
jika perilaku seksual yang dilakukan itu menyimpang, ini bisa
dikategorikan dalam kasus pemerkosaan. Di sini Abidah mengangkat
mengenai pemerkosaan dalam perkawinan dengan memunculkan tokoh
utama yang selalu mendapatkan semua hal itu dari suaminya. Seperti
yang terlihat pada kutipan berikut.
Dengan paksa pula ia membuka bajuku dan semua yang nempel
di badan. Aku meronta kesakitan tapi ia kelihatan semakin buas
dan tenaganya semakin lama semakin berlipat-lipat. Matanya
mendelik ke wajahku. Kedua tangannya mencengkeram
lenganku. Beban gajihnya begitu berat menindih tubuhku
sehingga semuanya menjaid tidak tertahankan. Seperti ada
peluru karet yang menembus badanku. (PBS. h. 90)
Kutipan di atas menunjukan bahwa tokoh utama dalam PBS
mendapatkan kekerasan seksual oleh suaminya sendiri. Sehingga
menimbulkan trauma yang besar kepapa tokoh Annisa. Samsudin
sebagai suami merasa mempunyai hak dan kekuasaan penuh atas
Annisa, ia tidak peduli bagaimana perasaan Annisa saat itu. Hal ini
bertentangan dengan Al-Quran surat Annisa ayat 19 yang artinya ―Hai
orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita
dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena
hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang
nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak.‖ (Q.S. Annisa/4: 19)
Dari ayat tersebut tampak jelas bahwa seorang suami haruslah
memperlakukan dan menggauli istrinya dengan baik. Tidak dengan
paksaan apalagi dengan kekerasan. Ini sangat bertolak belakang pada
89
penggambaran suami (Samsudin) pada PBS yang memperlakukan dan
menggauli istrinya secara paksa dan kasar.
Selain itu Annisa juga mendapatkan kekerasan secara fisik yang
dilakukan oleh Samsudin. Anissa mendapatkan kekerasan fisik ketika ia
mulai memberontak terhadap prilaku Samsudin yang menyimpang.
Seperti yang terlihat dari kutipan berikut: ―Plak! Plaakk!! Ia menampar
mukaku bertubu-tubi hingga pipi dan pundakku lebam dan kebiru-
biruan.‖ (GJ. h.111). Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Annisa
mendapat tindak kekerasan oleh suaminya sendiri hanya karena ketika
Samsudin menginginkan berhubungan intim dengan Annisa tanpa
ditutupi selimut, sedangkan Annisa menginginkan selimut itu membuat
Samsudin geram. Kekerasan seperti ini tidak selayaknya dilakukan
seorang suami terhadap istrinya. Karena pada dasarnya pemerintah pun
melindungi perempuan dari tindak kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) melalui sebagaimana dikemukakan dalam:
Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.19
Kekerasan yang terjadi pada Annisa membuatnya mengalami
trauma. Selain kekerasan seksual dan fisik dari Samsudin, ia juga sering
dicemooh dan dimaki. Bahkan yang lebih keterlaluan lagi, Annisa
diperlihatkan oleh Samsudin cara berhubungan suami istri dengan istri
barunya, Kulsum. Samsudin melakukan hubungan seksual dengan istri
keduanya tepat dihadapan Annisa dan hal ini menimbulkan perasaan
19 Ninik Rahayu penghapusan Undang-Undang No. 23 tahun 2004. Tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-pidana/653- undang-undang-no-23-tahun-2004-tentang-penghapusan-kekerasan-dalam-rumah-tangga-uu- pkdrt.html. diunduh pada tabffal 10 Januari 2014 pukul 07. 50 WIB