1 Sudira (2016) menyebutkan bahwa SMK sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan kejuruan memiliki kekhasan dalam pembuatan kurikulum. Kurikulum yang dibuat disesuaikan dengan kebutuhan pendidikan kejuruan. Terdapat kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh lulusan dari SMK yaitu kesiapan untuk dapat masuk ke dunia usaha/dunia industri selain dari pemahaman mengenai dasar teori sesuai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Beban belajar SMK meliputi kegiatan pembelajaran tatap muka, praktik di sekolah, dan kegiatan kerja praktik di dunia usaha/industri. Hal ini sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan menurut Kurikulum 2013 yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 54 tahun 2013, maka bagi lulusan Sekolah Menengah Kejuruan diharapkan memiliki sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Wakasek Humas selaku penanggungjawab praktik kerja lapangan menuturkan bahwa sesuai dengan kurikulum 2013, terdapat aktivitas pada siswa SMK untuk melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL). PKL ini merupakan bentuk perwujudan kurikulum yang mengarah kepada tercapainya kompetensi dasar keterampilan. PKL ini dilaksanakan oleh siswa kelas XI pada semester kedua. Pada masa PKL terjadi perubahan tugas yang harus diselesaikan oleh siswa. Siswa dituntut untuk dapat memenuhi tugas dan beradaptasi dengan ritme kerja di tempat PKL yang tentunya berbeda dengan tugas belajar di sekolah. Kemampuan siswa dalam beradapatasi terhadap tuntutan dunia usaha/industri dapat mempengaruhi ketuntasan siswa dalam menyelesaikan PKL.
21
Embed
keteteran - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117263/potongan/S2-2017... · “PKL-nya shift, jadi ada yang pagi sama ada yang sore. ... pihak sekolah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
Sudira (2016) menyebutkan bahwa SMK sebagai tempat penyelenggaraan
pendidikan kejuruan memiliki kekhasan dalam pembuatan kurikulum. Kurikulum
yang dibuat disesuaikan dengan kebutuhan pendidikan kejuruan. Terdapat
kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh lulusan dari SMK yaitu kesiapan untuk
dapat masuk ke dunia usaha/dunia industri selain dari pemahaman mengenai dasar
teori sesuai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Beban belajar SMK meliputi
kegiatan pembelajaran tatap muka, praktik di sekolah, dan kegiatan kerja praktik di
dunia usaha/industri. Hal ini sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan menurut
Kurikulum 2013 yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
No. 54 tahun 2013, maka bagi lulusan Sekolah Menengah Kejuruan diharapkan
memiliki sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Wakasek Humas selaku penanggungjawab praktik kerja lapangan menuturkan
bahwa sesuai dengan kurikulum 2013, terdapat aktivitas pada siswa SMK untuk
melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL). PKL ini merupakan bentuk
perwujudan kurikulum yang mengarah kepada tercapainya kompetensi dasar
keterampilan. PKL ini dilaksanakan oleh siswa kelas XI pada semester kedua. Pada
masa PKL terjadi perubahan tugas yang harus diselesaikan oleh siswa. Siswa dituntut
untuk dapat memenuhi tugas dan beradaptasi dengan ritme kerja di tempat PKL yang
tentunya berbeda dengan tugas belajar di sekolah. Kemampuan siswa dalam
beradapatasi terhadap tuntutan dunia usaha/industri dapat mempengaruhi ketuntasan
siswa dalam menyelesaikan PKL.
2
Berdasarkan pada pengalaman beberapa siswa kelas XI yang sudah melalui
masa PKL, mereka merasa cukup kesulitan mengikuti tugas dan ritme kerja di tempat
PKL. Hal ini sesuai dengan pernyataan beberapa siswa berikut ini:
“Ya lumayan kerasa keteteran mba. Kalau biasanya di sekolah kan gitu-gitu aja,
paling kalau telat ngerjain tugas atau nggak ngumpulin nggakpapa, ya
dikurangi nilainya sama guru. Tapi kalau di tempat PKL bisa jadi masalah sama
pembimbing di sana, nggak bisa santai.”
“Berangkat pagi pulang sore mba. Pas instalasi atau servis sering gagal, jadi
kena tegur.”
“PKL-nya shift, jadi ada yang pagi sama ada yang sore. Bikin males berangkat
mba, pulangnya bisa malem.”
Apabila siswa merasa tidak cocok atau tidak mampu mengikuti peraturan di
tempat PKL, maka siswa yang bersangkutan biasanya meminta ijin tidak masuk atau
tidak masuk tanpa alasan, bahkan tidak sedikit yang meminta ke pembimbing di
sekolah untuk pindah ke tempat lain. Tentu saja hal ini merugikan banyak pihak.
Siswa akan membuang waktu untuk mencari tempat baru yang akan diajukan ke
sekolah, pihak sekolah harus mendata perubahan tempat dan memberikan surat
pengajuan ke tempat yang baru, setelah itu baru dilakukan penerjunan. Berikut
penuturan siswa yang sempat berpindah tempat PKL:
“Nggak betah mbak, disuruh-suruh, sering ditegur juga kalau salah. Jadi minta
pindah tempat aja sekalian.”
Data dari penanggungjawab PKL di SMK swasta A di Sleman menunjukkan
adanya peningkatan jumlah siswa yang pindah tempat PKL dari tahun 2016 yang
berjumlah 26 siswa ke tahun 2017 meningkat menjadi 41 siswa. Peningkatan ini
terjadi karena ketidaksiapan siswa dalam beradaptasi di dunia kerja dengan berbagai
3
tuntutan yang tentunya berbeda dengan tuntutan di sekolah. Terdapat beberapa siswa
yang menyampaikan bahwa mereka merasa tidak cocok karena sering ditegur oleh
pemilik atau pembimbing di tempat PKL serta harus mengikuti aturan kerja dan jam
kerja yang berlaku.
“Biasanya masalahnya gitu mbak, males kalau sering ditegur, jadi mending ijin.
Kalau kurang jamnya ya nambah meskipun udah selesai masa PKL-nya.” Siswa
lain yang pernah berpindah tempat PKL menambahi dengan pernyataan: “Lha
ditegur terus mba, udah nggak digaji tapi diatur-atur, berangkat pagi pulang
sore.”
Wakil Kepala Sekolah bidang Humas selaku Guru penanggung jawab PKL
memberikan pernyataan sebagai berikut:
“Saya sudah menyampaikan dari awal ketika siswa mengajukan tempat PKL
(Dunia Usaha/Dunia Industri yang dapat disingkat DU/DI), jangan sampai
pindah tempat PKL, karena itu sangat merugikan semua pihak. Dari siswanya
harus bilang ke pembimbing, nyari tempat baru, lapor ke TU untuk dibuatkan
surat pengantar, iya kalau DU/DI itu mau menerima, kalau tidak siswa harus
nyari lagi tempat lain. Setelah ada surat pengantar, DU/DI bersedia, baru
diterjunkan. Tentunya ini memakan banyak waktu. Akibatnya siswa harus
menambah jumlah waktu PKL. Padahal sekolah sudah membuat jadwal bahwa
PKL selama 3 bulan, lalu kembali sekolah untuk belajar materi sebagai
persiapan ujian semester. Itu yang terdata mbak, yang tidak terdata banyak lagi,
mereka biasanya ijin bahkan ada yang tidak pernah masuk kerja. Pernah juga
ada yang sampai dikembalikan ke sekolah.”
Wakil Kepala Sekolah bidang kurikulum menambahkan bahwa fenomena
berpindah tempat PKL adalah hal yang sering terjadi. Menurut beliau, siswa akan lari
apabila siswa merasa kesulitan beradaptasi dan menyelesaikan masalah di tempat
PKL, padahal belum tentu tidak akan menemui masalah yang sama ketika berada di
tempat yang baru. Berikut pernyataan dari wakil kepala sekolah bidang kurikulum:
“Waaah, kalau pindah tempat PKL itu udah umum mbak. Jadi kalau siswa di
tempat PKL kan harus mengikuti peraturan yang ada di sana, termasuk jam
4
kerja dan beban kerjanya. Nah kalau siswa di sekolah kan terbiasa dimaklumi
kayak ngumpul tugas telat ya paling dikurangi nilainya, jadi mereka kaget kalau
harus mengikuti aturan kerja. Misal, ditegur kalau ada yang salah atau kurang,
itu malah bisa-bisa mereka nggak mau berangkat PKL lagi. Ada juga itu mba,
baru sehari diterjunkan, terus merasa tidak cocok dengan rekan kerja atau
pemilik tempat usaha, langsung minta pindah. Padahal kami sudah
menyediakan guru pembimbing, siswa bisa menceritakan masalah yang dialami
di tempat PKL agar bisa diselesaikan. Karena kalau sampai tidak selesai dengan
baik-baik, tentu citra sekolah juga terpengaruh. Dan belum tentu juga kalau
pindah itu masalah selesai, bisa saja ketemu masalah yang sama”
Pada tanggal 9 Mei 2017 dan 10 Mei 2017 peneliti melakukan survei kepada
83 siswa kelas XI SMK swasta A di Kabupaten Sleman yang sudah melaksanakan
PKL. Survei dilakukan dengan memberikan angket yang berisi permasalahan yang
terjadi saat PKL, tingkat masalah tersebut (ringan, sedang, berat), dan hal yang
dilakukan untuk menghadapi permasalahan tersebut. Diperoleh data bahwa
permasalahan yang muncul ketika PKL adalah seringnya ditegur pemilik dan rekan
kerja, sering diberi tugas yang banyak, terlambat datang ke tempat kerja, kesulitan
beradaptasi dengan rekan kerja dengan latar belakang asal daerah yang berbeda,
konflik dengan rekan kerja, kesalahpahaman dalam komunikasi dengan teman PKL,
kesulitan dalam melayani pelanggan, sering gagal dalam melaksanakan tugas, tempat
PKL yang tidak nyaman, dan kelelahan karena jam kerja mengikuti karyawan. Cara
yang dilakukan oleh siswa cukup beragam, ada siswa yang berupaya untuk langsung
menyelesaikan seperti dengan terus berusaha bekerja dengan baik, bertanya kepada
rekan kerja, dan berkonsultasi dengan pembimbing. Namun, tidak sedikit juga yang
mengabaikan masalah yang dimiliki dengan ijin tidak masuk, membolos, dan
mengajukan perpindahan tempat PKL. Ada juga siswa yang tidak melakukan apa-apa
5
dan menangis. Beragamnya permasalahan siswa di tempat PKL dan cara
mengatasinya menunjukkan bagaimana kemampuan siswa dalam beradaptasi dengan
kondisi yang berbeda dan penuh tuntutan.
Ketidakmampuan siswa dalam beradaptasi terhadap tuntutan baik yang
berasal dari diri sendiri maupun orang lain dapat membuat siswa menjadi stres.
Atwater (1983) mendefinisikan stres sebagai tuntutan untuk beradaptasi yang
membutuhkan respon penyesuaian diri dari individu. Stres secara psikologis dapat
didefinisikan sebagai sebuah permintaan pada sebuah organisme untuk mengatur,
mengatasi, dan menyesuaikan diri (Rathus dan Nevid, 1991).
Ada beberapa macam sumber stres yang dikemukakan oleh para peneliti di
antaranya: kerepotan sehari-hari, perubahan dalam hidup, sakit dan ketidaknyamanan
fisik, frustrasi, dan konflik, serta stresor dari lingkungan seperti bencana alam dan
bencana teknologi (Rathus dan Nevid, 1991). Stres yang dialami oleh siswa pada
kasus PKL ini mengarah kepada ketidakmampuan siswa dalam menghadapi
perubahan dan konflik. Terdapat juga konsekuensi negatif dari kegagalan yang
dilakukan dalam mengerjakan tugas di dunia usaha/indutri. Siswa akan menerima
teguran/peringatan dari rekan kerja maupun atasan.
Kesuksesan seseorang dalam beradaptasi terhadap stres termasuk cara
bagaimana individu dapat mengatur emosi, berpikir konstruktif, meregulasi dan
mengarahkan perilaku, mengontrol dorongan internal, dan melakukan tindakan pada
lingkungan sosial dan nonsosial untuk mengubah atau menurunkan sumber dari stres
6
(Compas, Connor-Smith, Saltzman, Thomsen, dan Wadsworth, 2001). Usaha yang
digunakan untuk menghadapi stres dinamakan coping.
Lazarus (1999) menyatakan bahwa coping adalah usaha seseorang untuk
mengatur kondisi kehidupan yang penuh stres. Stres dan coping dapat dikatakan
resiprokal untuk satu sama lain. Ketika coping yang digunakan tidak efektif maka
level dari stres menjadi tinggi, dan ketika coping yang digunakan efektif, maka level
stres akan menjadi rendah. Mengacu pada teori Lazarus, Fyedenberg dan Lewis
(1997) mendefinisikan coping sebagai sebuah pengaturan aksi kognitif dan afektif
yang muncul dalam respon pada sebuah perhatian terhadap fakta. Sarafino dan Smith
(2011) mendefinisikan coping sebagai proses ketika seseorang mencoba untuk
mengelola sesuatu yang dirasa tidak sesuai antara tuntutan dan sumber daya sehingga
dinilai sebagai sebuah situasi yang penuh stres. Upaya coping seseorang dapat terlihat
dari respon yang dilakukan saat menghadapi stres yaitu menggunakan kognitif dan
perilaku (Greer, 2007).
Franken (2007) menyatakan bahwa coping lebih mengarah kepada usaha-
usaha untuk mengatur daripada hasil dari usaha-usaha tersebut, dalam kata lain
memiliki atau mengembangkan sebuah sikap positif adalah bentuk dari coping.
Sveinbjornsdottir dan Thorsteinsson (2008) mendefinisikan individual coping sebagai
faktor penting yang berhubungan dengan kesehatan mental dan well-being.
Schwarzer (2001) menyebutkan empat tipe coping berdasarkan waktu dan
kepastian akan tuntutan dan permasalahan subjektif, yaitu coping reaktif, coping
antisipatori, coping preventif, dan coping proaktif. Coping reaktif mengarah kepada
7
strategi yang dilakukan berkaitan dengan kerugian atau kehilangan sebagai
pengalaman yang telah terjadi di masa lalu. Coping antisipatori berkaitan dengan
ancaman yang tidak dapat dihindari di masa depan. Coping preventif mengarah
kepada ancaman yang tidak dapat dipastikan di masa yang akan datang, sedangkan
coping proaktif berkaitan dengan tantangan di masa depan yang dilihat
sebagai sarana mengembangkan diri.
Schwarzer (2001) menerangkan lebih lanjut mengenai strategi coping
berdasarkan waktu dan kepastian akan permasalahan. Reaktif coping diartikan
sebagai sebuah usaha untuk berdamai dengan stresor yang sudah terjadi atau sedang
terjadi. Seseorang yang membutuhkan cara untuk mengatasi dengan membuat
kompensasi terhadap kerugian yang pernah dialami. Pilihan lainnya adalah dengan
mengatur kembali tujuan atau mencari makna dari permasalahan yang sudah terjadi
untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Ada strategi coping yang digolongkan
sebagai coping reaktif untuk menurunkan stres, yaitu emotion focused coping dan
problem focused coping (Franken, 2007; Horwitz, Hill, dan King, 2010).
Schwarzer (2001) menyatakan bahwa proaktif coping dapat didefinisikan
sebagai upaya membangun sumber daya baik dari dalam individu maupun dari
lingkungan untuk memfasilitasi untuk menghadapi tantangan dan pengembangan diri.
Di dalam coping proaktif, seseorang memiliki visi dan melihat tuntutan atau risiko
sebagai kesempatan untuk berkembang, bukan sebagai ancaman, bahaya, atau
kerugian. Individu memulai jalan yang membangun dan berusaha meningkatkan
8
kualitas kehidupan dengan tingkat kinerja yang lebih tinggi. Seseorang yang memiliki
kemampuan coping proaktif dapat menjadikan hidup yang bermakna.
Berdasarkan pemaparan teori coping yang ada, coping dapat diartikan sebagai
sebuah strategi yang digunakan oleh individu untuk menurunkan stres yang dimiliki.
Coping dapat dikategorisasikan berdasarkan waktu dan permasalahan, yaitu coping
reaktif, coping antisipatori, coping preventif, dan coping proaktif. Coping reaktif
mengarah kepada strategi yang dilakukan untuk berdamai dengan stresor yang sudah
terjadi atau sedang terjadi. Coping reaktif ini terdiri dari dua strategi yaitu problem-
focused coping dan emotion-focused coping. Coping antisipatori berkaitan dengan
ancaman/masalah yang tidak dapat dihindari di masa depan, sedangkan coping
preventif lebih mengarah kepada ancaman yang tidak dapat dipastikan di masa yang
akan datang. Coping proaktif berkaitan dengan tantangan di masa depan yang dilihat
sebagai sarana mengembangkan diri.
Kondisi siswa di lapangan menunjukkan kecenderungan siswa kurang mampu
menghadapi sumber dari stres berupa tuntutan terhadap perubahan tugas. Hal ini
didasarkan pada permasalahan yang muncul yaitu siswa cenderung mengabaikan dan
melarikan diri ketika tidak mampu beradaptasi di dunia usaha/industri. Perilaku yang
muncul adalah tidak masuk kerja atau mengajukan untuk pindah tempat PKL.
Padahal siswa sendiri yang memilih tempat PKL dan mendapat pendampingan dari
guru sekolah serta pendamping lapangan di tempat PKL. Frydenberg dan Ramon
(1997) menggolongkan coping dengan mengembangkan kekhawatiran, mengabaikan
masalah, berangan-angan, menyalahkan diri sendiri, tidak membagi masalah yang
9
dimiliki, dan melarikan diri sebagai bentuk dari non-productive coping yang biasanya
dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk mengatasi stres (Jacobs, Vollink,
Dehue, & Lechner, 2015). Ketika siswa ditegur rekan kerja atau pemilik saat
melakukan kesalahan atau gagal mengerjakan tugasnya, siswa cenderung tidak
menerima dan merasa tidak nyaman. Sagar, Lavalle, dan Spray (2009) menyatakan
bahwa kemampuan siswa dalam menghadapi kegagalan dapat mempengaruhi
kesejahteraan siswa (well-being), performansi, dan tugas sekolah.
Permasalahan yang dialami siswa berkaitan dengan tugas di PKL merupakan
sumber stres yang sifatnya dapat dikontrol. Siswa dapat menggunakan sumber daya
yang ada untuk menghadapi permasalahan yang sedang dialami. Thien dan Razak
(2013) menyatakan bahwa stres akademik pada siswa di sekolah berkorelasi dengan
tugas yang berlebihan, ujian, persaingan, merasa kesulitan dalam mengerjakan tugas
sekolah. Shahmohammadi (2011) menemukan bahwa terdapat sepuluh stressor
akademik utama yang dimiliki oleh siswa sekolah menengah atas adalah ketakutan
apabila tidak mendapatkan tempat di tingkat pendidikan selanjutnya, ujian, terlalu
banyak materi yang dipelajari, kesulitan dalam memahami materi pelajaran, terlalu
banyak tugas, dan jadwal sekolah yang terlalu padat. Lebih penting dari itu,
konsekuensi negatif yang dapat ditimbulkan dari stres akademik dapat meningkatkan
potensi tingginya level kecemasan dan depresi bahkan sampai ke bunuh diri pada
remaja. Pada jangka pendek, permasalahan akademik yang dirasakan oleh siswa
berdampak pada konsentrasi siswa saat belajar sehingga dapat berpengaruh pada
prestasi akademik yang diperoleh (Thien dan Razak, 2013).
10
Eppelmann, Parzer, Lenzen, Burger, Haffner, Resch, dan Kaess (2016)
melalui penelitiannya memperoleh hasil bahwa siswa sekolah menengah atas yang
memiliki tingkat stres tinggi dapat berpengaruh terhadap kehidupan sekolah dan masa
depannya dan berhubungan dengan emosi atau permasalahan perilaku. Permasalahan
ini dapat mengarah kepada penarikan diri siswa tersebut dari lingkungannya.
Coping aktif yang tinggi berhubungan dengan kesehatan mental yaitu
rendahnya potensi depresi dan keputusasaan pada masa dewasa awal (Kinnunen,