Page 1
KETAHANAN OKSIDASI LAPISAN NiCrAl DENGAN
PENAMBAHAN ELEMEN REAKTIF Y DAN YSi PADA
HASTELLOY C-276
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sains (S.Si)
Oleh
SAFITRY RAMANDHANY
NIM: 1113097000019
PROGRAM STUDI FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
Page 2
ii
KETAHANAN OKSIDASI LAPISAN NiCrAl DENGAN
PENAMBAHAN ELEMEN REAKTIF Y DAN YSi PADA
HASTELLOY C-276
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sains (S.Si)
Oleh:
SAFITRY RAMANDHANY
NIM: 1113097000019
PROGRAM STUDI FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
Page 5
v
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si) di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, September 2017
Safitry Ramandhany
Page 6
vi
ABSTRAK
Sistem Perintang Termal (Thermal Barrier Coating) merupakan proses pelapisan
multi-layer dan multi-material yang diaplikasikan pada material yang beroperasi
pada lingkungan bersuhu tinggi. Sistem ini terdiri dari lapisan pengikat (bond
coat), lapisan oksida protektif, dan lapisan keramik. Fokus penelitian ini adalah
mengetahui ketahanan oksidasi 1000oC selama 100 jam terhadap sistem lapisan
pengikat NiCrAl, NiCrAlY, dan NiCrAlYSi di atas substrat Hastelloy C-276
dengan teknik pelapisan High Velocity Oxi Fuel (HVOF). Hasil pengujian
menujukkan lapisan pengikat NiCrAlY dan NiCrAlYSi lebih tahan terhadap
oksidasi dibanding lapisan NiCrAl pada sampel Hastelloy C-276. Hal ini
dibuktikan dengan adanya pengelupasan lapisan pelapis pada lapisan pengikat
NiCrAl. Melalui karakterisasi XRD dan SEM diketahui pada sampel NiCrAlY
dan NiCrAlYSi terbentuk lapisan oksida protektif (α-Al2O3) yang mampu
mencegah difusi oksigen lebih lanjut. Namun, pada lapisan pengikat NiCrAlYSi
terbentuk banyak oksida (NiCr2O4) yang bersifat merugikan, sehingga lapisan
pengikat NiCrAlY merupakan lapisan pengikat terbaik dibanding NiCrAl dan
NiCrAlYSi dengan perubahan massa sebesar ±2.43 mg/cm2 setelah oksidasi 100
jam. Secara keseluruhan lapisan pengikat dengan penambahan Y dan YSi yang
mana merupakan elemen reaktif mempunyai pengaruh yang baik terhadap
ketahanan oksidasi.
Kata kunci: Lapisan pengikat NiCrAl, elemen reaktif Y dan YSi, oksidasi,
Hastelloy C-276, High Velocity Oxy Fuel, SEM dan XRD
Page 7
vii
ABSTRACT
Thermal Barrier Coating (TBC) is multi-layers and multi-materials coating which
operates on high temperature environment. This system consists of bond coat,
thermaly grown oxide or protective oxides, and ceramic top coat. The focus
research on this present study was determined oxidation resistance on 1000oC
during 100 hours against bond coat system of NiCrAl, NiCrAlY, and NiCrAlYSi
on Hastelloy C-276 substrate with High Velocity Oxy Fuel (HVOF) method. The
result showed NiCrAlY bond coat and NiCrAlYSi bond coat had more resistance
oxidation than NiCrAl bond coat. This result was evidenced by spallation of
NiCrAl bond coat layer. Result of XRD and SEM analysis showed NiCrAlY and
NiCrAlYSi samples was observed protective layer oxides (α-Al2O3) which
prevents further oxygen diffusion. However, NiCrAlYSi bond coat observed a lot
of detrimental spinel oxide (NiCr2O4), thus NiCrAlY bond coat is a best coating
system than NiCrAl and NiCrAlYSi bond coat with mass change ±2.43 mg/cm2
after 100 hours oxidation test. Over all, bond coat with addition of Y and YSi
(reactive element) have good influence against oxidation resistance.
Key word: NiCrAl bond coat, reactive element Y and Si, oxidation, Hastelloy C-
276, High Velocity Oxy Fuel, SEM, and XRD
Page 8
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang menguasai seluruh alam. Puji syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta‟ala, atas karunia dan rahmatNya
penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Shalawat dan salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada teladan terbaik akhir zaman, Nabi Muhammad
shalallahu „alayhi wa sallam yang telah menunjukkan dari zaman jahiliyah
menuju terang benderang.
Karya tulis ilmiah ini merupakan hasil penelitian tugas akhir jenjang
perkuliahan Strata 1, mahasiswa program studi Fisika UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Penelitian dari karya tulis ilmiah dengan judul “Ketahanan Oksidasi
Lapisan NiCrAl dengan Penambahan Elemen Reaktif Y dan YSi pada Hastelloy
C-276” dilakukan di Pusat Penelitian Fisika-Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (P2F-LIPI).
Pada karya tulis ini dijelaskan proses penelitian ilmiah sesuai dengan
diagram alir penelitian hingga proses analisis data, dan penarikan kesimpulan.
Desain penelitian ini adalah melapisi substrat Hastelloy C-276 dengan serbuk
NiCrAl, NiCrAlY dan NiCrAlYSi menggunakan teknologi HVOF. Substrat yang
telah dilapisi dilakukan heat treatment kemudian dilakukan pengujian oksidasi
1000 oC selama 100 jam. Setelah melalui tahap tersebut dilakukan karakterisasi
sampel menggunakan X-Ray Diffractometer (XRD) untuk identifikasi fasa dan
Page 9
ix
Scanning Electron Microscope (SEM) untuk mengamati struktur mikro. Tujuan
dari penelitian ini adalah mengetahui dan menganalisis ketahanan oksidasi lapisan
pengikat NiCrAl, NiCrAlY dan NiCrAlYSi .
Penelitian ini dapat selesai dan berjalan dengan baik berkat bantuan,
bimbingan, dan fasilitas yang telah diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Bambang Widyatmoko, M.Eng selaku Kepala Pusat Penelitian Fisika-
LIPI yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan
penelitian di P2F-LIPI.
3. Arif Tjahjono, M.Si selaku Ketua Prodi Fisika Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus dosen pembimbing yang telah
membimbing, mengarahkan, dan memberi masukan dalam proses penulisan
karya ilmiah ini.
4. Dr. Eni Sugiarti, M.Eng selaku pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, arahan, dan masukan kepada penulis ketika melakukan
penelitian.
5. Resetiana Dwi Desiati, S.T, Risma Yulita Sundawa, S.Si, Yuliasari, S.Si,
Ahmad Novi Muslimin, S.Si, Astria Nurhermaya, dan teman-teman
Laboratorium High Temperature Material Coating (HTMC), P2F-LIPI yang
telah membantu dalam analisis data, karakterisasi sampel, maupun proses
penelitian di laboratorium.
Page 10
x
6. Teman-teman Program Studi Fisika angkatan 2013 yang telah memotivasi
dalam penelitian tugas akhir ini.
7. Kedua orang tua, keluarga, dan kerabat yang senantiasa memberikan
dukungan serta memberikan do‟a kepada penulis demi kelancaran dan
keberhasilan pelaksanaan penelitian ini.
Penulis menyadari dalam penulisan karya ilmiah ini tidak luput dari
kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat
membangun sehingga penulis dapat belajar dan semoga menjadi lebih baik dalam
penulisan karya ilmiah selanjutnya. Kritik dan saran tersebut dapat disampaikan
melalui alamat email penulis: [email protected] .
Semoga segala bantuan yang telah diberikan oleh berbagai pihak dijadikan
sebagai amal sholeh. Penulis berharap karya tulis ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan khususnya bagi penulis.
Jakarta, September 2017
Safitry Ramandhany
Page 11
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iii
PENGESAHAN UJIAN ........................................................................................ iv
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... v
ABSTRAK ............................................................................................................. vi
ABSTRACT .......................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 6
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................... 6
1.4 Batasan Masalah ................................................................................ 7
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................. 8
1.6 Sistematika Penulisan ........................................................................ 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 10
Page 12
xii
2.1 Sistem Perintang Termal .................................................................. 10
2.2 Termodinamika Logam Oksidasi ..................................................... 13
2.3 Kinetika Laju Oksidasi Temperatur Tinggi ..................................... 17
2.4 Paduan NiCrAl ................................................................................. 20
2.5 Hastelloy C-276 ............................................................................... 21
2.6 Elemen Reaktif ................................................................................ 23
2.7 High Velocity Oxy Fuel (HVOF) ..................................................... 26
2.8 Perlakuan Pemanasan (Heat Treatment) .......................................... 28
2.9 Prinsip Kerja Alat Karakterisasi ...................................................... 30
BAB III METODE PENELITIAN......................................................................... 38
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .......................................................... 38
3.2 Bahan dan Peralatan Penelitian ........................................................ 38
3.3 Diagram Alir Penelitian ................................................................... 46
3.4 Prosedur Penelitian .......................................................................... 48
3.5 Variabel Penelitian ........................................................................... 53
3.6 Karakterisasi Struktur Mikro ........................................................... 53
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 57
4.1 Pengamatan Visual Kondisi Sampel ................................................ 57
4.2 Perubahan Massa Setelah Proses Oksidasi ...................................... 59
4.3 Pengamatan Struktur Mikro ............................................................. 62
Page 13
xiii
4.4 Identifikasi Fasa ............................................................................... 69
BAB V PENUTUP ................................................................................................. 79
DAFTAR REFERENSI ......................................................................................... 82
Page 14
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Komposisi Hastelloy C-276 ................................................................... 21
Tabel 2.2 Perbandingan Proses Semprotan Termal ............................................... 27
Tabel 2.3 Komposisi Serbuk Pelapis ..................................................................... 48
Tabel 3.1 Bahan Penelitian .................................................................................... 39
Tabel 3.2 Peralatan Penelitian ................................................................................ 41
Tabel 3.3 Alat Karakterisasi ................................................................................... 46
Tabel 3.4 Parameter HVOF.................................................................................... 50
Tabel 3.5 Komposisi Larutan Cu-Plating .............................................................. 54
Tabel 4.1 Sampel Uji Sebelum dan Sesudah Oksidasi (a) NiCrAl, (b) NiCrAlY,
(c) NiCrAlYSi ....................................................................................... 58
Tabel 4.2 Perubahan Massa per Jam ...................................................................... 59
Tabel 4.3 Posisi 2θ, d-spacing, dan Fasa yang Teridentifikasi .............................. 71
Page 15
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Ilustrasi Lapisan TBC ........................................................................ 10
Gambar 2.2 Grafik Arrhenius terhadap Laju Pertumbuhan Lapisan Oksida ........ 12
Gambar 2.3 Termo-kinetik Lapisan Oksida ........................................................... 12
Gambar 2.4 Diagram Elingham ............................................................................ 16
Gambar 2.5 Hukum Pertumbuhan Logaritmik....................................................... 18
Gambar 2.6 Hukum Pertumbuhan Parabolik ......................................................... 20
Gambar 2.7 Skema Semprotan HVOF ................................................................... 28
Gambar 2.8 Komponen pada X-Ray Diffractometer ............................................. 32
Gambar 2.9 Prinsip Kerja SEM ............................................................................. 34
Gambar 2.10 Kedalaman Deteksi Secondary Electron (SE), Backscatter
Electon (BSE), Auger Electron (AE) ................................................ 35
Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian .................................................................... 47
Gambar 3.2 Proses HVOF .................................................................................... 51
Gambar 3.3 Mekanisme Heat Treatment .............................................................. 51
Gambar 3.4 Siklus Pengujian Oksidasi ................................................................. 52
Gambar 3.5 Preparasi Sampel Cross Section Sebelum Karakterisasi ................... 55
Gambar 4.1 Kurva Perubahan Massa Uji Oksidasi ................................................ 59
Gambar 4.2 Gambar (Secondary Electron) SE Permukaan Sampel (a) NiCrAl,
(b) NiCrAlY, (c) NiCrAlYSi ............................................................ 62
Page 16
xvi
Gambar 4.3 SEM BSE Penampang Melintang Sampel (a) NiCrAl, (b)
NiCrAlY, (c) NiCrAlYSi .................................................................. 64
Gambar 4.4 SEM BSE dan EDS Mapping Lapisan Oksida (a) NiCrAl, (b)
NiCrAlY, (c) NiCrAlYSi .................................................................. 67
Gambar 4.5 Pola Difraksi Sinar X (a.1) NiCrAl Sebelum, (a.2) NiCrAl Setelah
Pengujian Oksidasi, dan (a.3) Bagian NiCrAl yang Rontok (b.1)
NiCrAlY Sebelum, dan (b.2) NiCrAlY Setelah Pengujian
Oksidasi, (c.1) NiCrAlYSi Sebelum, dan (c.2) NiCrAlYSi Setelah
Pengujian Oksidasi ........................................................................... 70
Gambar 4.6 Struktur Kristal α-A2O3 ...................................................................... 75
Gambar 4.7 Struktur Kristal θ-Al2O3 ..................................................................... 75
Page 17
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Logam merupakan material yang cenderung kehilangan elektron sehingga
membentuk kation. Ketika di udara terbuka, kation ini dapat bereaksi dengan
oksigen membentuk oksida. Proses inilah yang disebut oksidasi. Proses oksidasi
dapat mengubah struktur maupun sifat kimia dari material tersebut. Sebagai
contoh akibat proses oksidasi adalah besi berkarat setelah beberapa tahun. Proses
oksidasi ini dapat mengurangi performa dari material [1]. Oleh karena itu, banyak
dilakukan proses perlindungan terhadap material logam untuk mencegah reaksi
dengan oksigen. Contoh dari perlindungan ini adalah pengecatan, penganodaan
(anodising) atau penyepuhan logam.
Saat ini sudah banyak alat berbahan logam yang beroperasi pada suhu
tinggi, contoh: turbin blade pada mesin pesawat terbang, pembangkit daya, mesin
penggerak kapal, dan industri tenaga nuklir [2], [3]. Disebabkan hal tersebut
diperlukan cara khusus untuk melindungi material dari lingkungan bersuhu tinggi.
Terkait hal ini, telah lama diteliti proses pelapisan untuk melindungi material dari
lingkungan bersuhu tinggi. Proses pelapisan ini disebut sistem perintang termal
(Thermal Barrier Coating, TBC) [4].
Sistem perintang termal merupakan sistem multi-layer dan multi-material
pelapis di mana digunakan untuk melindungi material dari lingkungan bersuhu
Page 18
2
tinggi (>1000oC) [3]. Sistem ini terdiri dari 3 lapisan di atas substrat superalloy
yaitu lapisan pengikat (Bond Coat, BC), lapisan oksida protektif (Thermally
Grown Oxide, TGO) dan lapisan keramik (Top Coat, TP) [3]. Sistem pelapisan ini
tidak menaikkan suhu logam dasar meskipun suhu lingkungan meningkat [5],
sehingga proses oksidasi dapat dihindari.
TBC sering digunakan pada proses pelapisan sudu turbin/turbine blade yang
merupakan bagian dari mesin jet [4]. Turbine blade dalam pesawat berfungsi
sebagai penggerak kompresor untuk mengeluarkan massa dari ruang pembakaran
menuju nosel. Oleh karena itu, turbine blade harus mampu menahan beban pada
temperatur tinggi (900-1050oC), kekuatan mekanik yang sangat baik, tahan
terhadap deformasi creep termal, memiliki ketahanan fatigue (kelelahan) yang
baik, dan tahan terhadap korosi maupun oksidasi [6].
Pada suhu tinggi (1204 hingga 1371oC) serta dengan mempertimbangkan
kekuatan material, superalloy berbasis nikel sering digunakan [7]. Superalloy
berbasis kobalt juga dapat digunakan sebagai pengganti superalloy berbasis nikel
dikarenakan kekuatan dan daya tahan terhadap korosi [7]. Unsur nikel mampu
memberi keuletan dan ketangguhan dikarenakan unsur ini memicu terbentuknya
fasa austenite yang lebih kuat dan stabil pada suhu tinggi [8]. Pada aplikasi suhu
tinggi kandungan kromium dalam superalloy juga dibutuhkan dikarenakan
ketahanan oksidasinya terhadap suhu tinggi [9]. Contoh superalloy berbasis nikel
yang sering digunakan untuk beroperasi pada lingkungan bersuhu tinggi adalah
Hastelloy dan Inconel. Superalloy berbasis nikel ini digunakan sebagai material
logam dasar atau yang disebut substrat. Substrat kemudian dilakukan teknik
Page 19
3
pelapisan menggunakan sistem perintang termal guna melindungi substrat dari
lingkungan bersuhu tinggi.
Pada sistem perintang termal, lapisan pengikat terdiri dari logam maupun
paduannya. Selama proses oksidasi lapisan ini akan menghasilkan lapisan oksida
protektif di atas permukaan pelapis. Lapisan oksida protektif mampu menghalangi
difusi oksigen lebih lanjut. Oleh karena itu, pada lapisan pengikat harus terdiri
dari logam yang dapat membentuk lapisan oksida protektif. Lapisan oksida
protektif dapat berupa alumina (Al2O3), kromia (Cr2O3), dan silika (SiO2),
sehingga pada lapisan pengikat umumnya terdapat logam Al, Cr, Si, atau
paduannya. Sehingga pada penelitian ini menggunakan serbuk pelapis NiCrAl.
Ilmu material sering berkaitan dengan unsur maupun senyawa kimia.
Masing-masing unsur maupun senyawa kimia disusun oleh proton dan elektron
dengan jumlah tertentu. Unsur kimia terdiri yang terdiri dari 118 macam memiliki
densitas, massa atom, serta manfaat tertentu bagi kehidupan di dunia. Terkait
dengan unsur kimia, terdapat firman Allah dalam surah Al-Hijr ayat 21 yang dapat
ditadaburi:
عْلوُمٍ لهُُ إلِاَّ بِقَدَرٍ مَّ ن شَيْءٍ إلِاَّ عِندَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّ ﴾١٢﴿وَإنِ مِّ
“Dan tidak ada sesuatu pun, melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya, Kami
tidak menurunkan melainkan dengan ukuran tertentu” (Q.S Al-Hijr: 21).
Allah menurunkan material yang bermanfaat di dunia ini dengan ukuran tertentu,
begitu pula dalam unsur kimia. Semua material yang Allah berikan memiliki
manfaat masing-masing. Sebagai contoh unsur nikel, kromium, aluminium,
Page 20
4
alumina (Al2O3), maupun kromia (Cr2O3) memiliki ukuran tertentu dalam jumlah
elektron, atom, besar densitas, dan lain-lain serta memiliki manfaat yang berbeda-
beda. Sesungguhnya milik Allah-lah semua kekayaan (khazanah) yang ada di
langit dan bumi. Maha Besar Allah yang mengatur susunan ciptaanNya di bumi
ini dan sungguh Allah adalah sebaik-baik pencipta.
Terdapat beberapa metode dalam mendeposikan serbuk pelapis di atas
substrat, yaitu difusi dan over lay. Masing-masing metode tersebut mempunyai
keuntungan dan kerugian. Metode overlay biasa digunakan pada industri dalam
melakukan pelapisan [10]. Metode ini dapat memproduksi dalam waktu yang
cepat dengan kuantitas yang banyak. Salah satu teknik pelapisan dari metode over
lay adalah termal spray (semprotan termal). Teknik ini menggunakan energi panas
dan tekanan untuk mendeposikan material pelapis ke atas substrat. Salah satu
teknik pelapisan terbaik dari termal spray adalah High Velocity Oxy Fuel (HVOF)
dikarenakan oksida yang dihasilkan rendah serta tingkat densitas yang tinggi [11].
Pada sistem perintang termal, lapisan oksida protektif (TGO) merupakan
lapisan yang sangat utama, disebabkan banyak mekanisme kegagalan dari TBC
yang berasal dari formasi pertumbuhannya [8]. Lapisan oksida protektif dengan
tingkat adhesivitas yang tinggi, stabil, dan laju pertumbuhan yang lambat dapat
meningkatkan masa pakai lapisan perintang termal [12]. Terkait hal ini, elemen
reaktif yang termasuk golongan logam tanah jarang (contoh: Y, La, Hf, Ce, Si, Zr)
dapat menjadi solusi dalam meningkatkan kualitas lapisan oksida protektif [13].
Sejak ditemukannya elemen reaktif oleh Pfeil pada tahun 1937, penelitian
tentang elemen reaktif terus dikembangkan hingga saat ini. Pada tahun 1989 John
Page 21
5
Stringer menyatakan bahwa ditimbulkan Reactive Element Effect (REE) ketika ≤1
wt% dari elemen reaktif ditambahkan pada panduan suhu tinggi. Efek ini akan
meningkatkan ketahanan oksidasi [13]. Pada tahun 1995 dan 1997 penelitian yang
dilakukan Grabke, et al dan Ishii, et al menyatakan bahwa penambahan elemen
reaktif dapat menaikkan adhesivitas antara lapisan oksida protektif dengan
substrat serta laju pertumbuhan lapisan oksida protektif berkurang [14][15].
Tahun 2005, Montealegre, et al menyatakan bahwa penambahan elemen reaktif
dapat memperhalus ukuran butir. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa
yttrium mempunyai performa yang baik pada perlindungan oksidasi [16].
Berdasarkan penelitian oleh Jinlong Wang, et al tahun 2016 efek dari penambahan
yttrium adalah mencegah terbentuknya lapisan oksida yang rumpling dan
membuat pasak oksida (oxide pegs) antara lapisan oksida dengan pelapis [17]. Di
sisi lain silikon juga mulai banyak diteliti karena kemampuannya untuk
menghasilkan oksida protektif SiO2 di mana mempunyai ketahanan yang baik
terhadap oksidasi [6]. Penelitian tahun 2017 oleh Jiangdong Cao, et al menyatakan
bahwa penambahan silikon dapat menekan laju oksidasi serta mencegah difusi
unsur tahan api (seperti W dan Mo) yang dapat membuat kegagalan sistem TBC
[18]. Namun, perbandingan ketahanan oksidasi pada 1000oC antara NiCrAl
dengan penambahan Y dan YSi belum pernah dilakukan sebelumnya sehingga
belum diketahui ketahanan oksidasi yang lebih baik antara NiCrAlY dan
NiCrAlYSi.
Pada penelitian ini, diteliti tentang efek penambahan yttrium dan yttrium
silikon pada lapisan pengikat NiCrAl dengan pengujian oksidasi 1000oC selama
Page 22
6
100 jam. Hasil pengujian berupa kurva perubahan massa, mikrostruktur dan
identifikasi fasa akan memberikan informasi mengenai ketahanan oksidasi lapisan
tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Bagaimana struktur mikro lapisan NiCrAl, NiCrAlY, dan NiCrAlYSi pada
substrat Hastelloy C-276?
2. Fasa apa yang terbentuk pada lapisan NiCrAl, NiCrAlY, dan NiCrAlYSi pada
substrat Hastelloy C-276?
3. Bagaimana ketahanan oksidasi lapisan pengikat NiCrAl, NiCrAlY, dan
NiCrAlYSi di atas substrat Hastelloy C-276 pada suhu 1000oC?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengamati struktur mikro lapisan NiCrAl, NiCrAlY, dan NiCrAlYSi pada
substrat Hastelloy C-276.
2. Menentukan fasa yang terbentuk pada lapisan NiCrAl, NiCrAlY, dan
NiCrAlYSi pada substrat Hastelloy C-276.
3. Menentukan ketahanan oksidasi lapisan pengikat NiCrAl, NiCrAlY, dan
NiCrAlYSi di atas substrat Hastelloy C-276 pada suhu 1000oC.
Page 23
7
1.4 Batasan Masalah
Dalam penelitian ini terdapat beberapa batasan masalah, yaitu:
1. Substrat yang digunakan adalah Hastelloy C-276.
2. Serbuk pelapis yang digunakan NiCrAl, NiCrAlY, dan NiCrAlYSi dengan
komposisi balNi-24Cr-7Al-0.4RE.
3. Serbuk pelapis merupakan hasil sintesa menggunakan metode mechanical
alloying menggunakan mesin planetary ball miller.
4. Metode yang digunakan dalam proses pelapisan adalah High Velocity Oxygen
Fuel (HVOF) sesuai Standard Operasional Prosedur (SOP) HVOF yang
terdapat di Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik – Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (P2 TELIMEK – LIPI), Bandung.
5. Proses heat treatment menggunakan vacuum furnace dengan temperatur
1100oC selama 4 jam.
6. Tungku oksidasi menggunakan muffle furnace dengan temperatur 1000oC
selama 100 jam dengan metode oksidasi isotermal.
7. Identifikasi fasa secara kualitatif menggunakan X-Ray Diffractometer dengan
Cu Kα radiasi 40 kV dan 30 mA serta analisa menggunakan aplikasi High
Score Plus.
8. Pengamatan struktur mikro penampang melintang dan permukaan sampel
menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM).
9. Penelitian ini hanya terbatas pada pengamatan struktur mikro bagian substrat,
bond coat (lapisan pengikat), dan thermally grown oxide (lapisan oksida
protektif) setelah dan sebelum pengujian oksidasi 1000oC selama 100 jam.
Page 24
8
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai sistem
perintang termal khususnya bagian lapisan pengikat yaitu NiCrAlX (X: elemen
reaktif). Melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan
pengembangan pelapisan logam pada lingkungan bersuhu tinggi. Logam yang
telah dilapisi sistem lapisan paduan NiCrAlX (X: Y dan YSi) memiliki ketahanan
oksidasi yang lebih baik dibanding NiCrAl, sehingga dapat memperpanjang masa
pakai logam tersebut. Selain itu, upaya peningkatan ketahanan oksidasi suhu
tinggi pada logam berbasis nikel diharapkan menjadi momentum pengembangan
sistem rekayasa material berbasis nikel.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini menjelaskan bagian pendahuluan yang berisi latar belakang,
perumusan masalah, batasan masalah, dan sistematika penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menjelaskan mengenai pengertian, teori-teori, dan hasil penelitian
terdahulu yang digunakan sebagai landasan atau dari dasar penelitian.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini berisi waktu dan tempat pelaksanaan, bahan dan peralatan penelitian,
diagram alir penelitian, dan prosedur penelitian.
Page 25
9
BAB IV HASIL DAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menjelaskan hasil karakterisasi sampel dan pembahasan analisis dari
karakterisasi yang telah dilakukan.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dari hasil pembahasan serta saran untuk penelitian
selanjutnya.
Page 26
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Perintang Termal
Sistem Perintang Termal (Thermal Barrier Coating, TBC) merupakan
sistem pelapisan logam untuk melindungi dari lingkungan bertemperatur tinggi.
Contoh aplikasi sistem ini adalah pada mesin turbin pesawat terbang, pembangkit
daya, reaktor nuklir, dan lain-lain [2][3]. Lingkungan bertemperatur tinggi dapat
menyebabkan kualitas material menurun sehingga mengurangi masa pakai
material [1].
Pada sistem perintang termal, material dilapisi menggunakan multi-material.
Sistem ini terdiri dari 3 lapisan, yaitu lapisan pengikat, lapisan oksida protektif,
serta lapisan keramik [3]. Ketiga lapisan tersebut saling mendukung dalam sistem
perintang termal ini.
2.1.1 Lapisan Pengikat/Bond Coat
Lapisan pengikat merupakan lapisan yang berada tepat di atas substrat.
Lapisan ini dapat menggunakan beberapa material logam, contoh material tersebut
adalah nikel (Ni), aluminium (Al), kromium (Cr), cobalt (Co) maupun besi (Fe)
Substrate
Bond Coat
Thermally Grown Oxide
Top Coat
Gambar 2.1 Ilustrasi Lapisan TBC
Page 27
11
[4]. Proses pelapisan pada substrat dapat menggunakan proses difusi maupun
penempelan/overlay. Proses pelapisan difusi umumnya dilakukan dengan metode
Chemical Vapor Deposition (CVD), Slurry Coating, Pack Cementation, maupun
Vapor Phase Deposition (VPC). Sedangkan proses pelapisan dengan cara overlay
antara lain Electron Beam Physical Vapor Deposition (EB-PVD), High Velocity
Oxy Fuel (HVOF), Low Pressure Plasma Spray (LPPS), atau Vacuum Plasma
Spray (VPS) [11]. Lapisan pengikat akan membentuk lapisan oksida protektif.
Contoh lapisan oksida protektif adalah Al2O3 dan Cr2O3. Parameter keberhasilan
lapisan pengikat ditandai dengan kemampuannya dalam membentuk lapisan
oksida protektif [5].
2.1.2 Lapisan Oksida Protektif/Thermally Grown Oxide
Lapisan selanjutnya adalah lapisan oksida protektif (Thermally Grown
Oxide, TGO). Lapisan TGO berada di antara lapisan pengikat dan lapisan
keramik. Lapisan ini memiliki ketebalan 0.1-10 μm [19]. Lapisan tipis oksida,
contoh Al2O3, mampu menghalang difusi oksigen di mana difusi oksigen akan
menyebabkan material teroksidasi [19]. Crack dan spalasi pada lapisan TGO
sering menjadi penyebab utama kegagalan TBC [2]. TGO yang baik adalah yang
mempunyai adhesivitas tinggi terhadap lapisan pengikat maupun lapisan keramik.
Tingginya adhesivitas TGO mencegah terjadinya spalasi (pengelupasan) dan
crack.
Page 28
12
Gambar 2.2 Grafik Arrhenius terhadap laju pertumbuhan lapisan oksida [6]
Gambar 2.3 Termo-kinetik lapisan oksida [6]
Berdasarkan gambar grafik Arrhenius dan Termo-kinetik dari lapisan oksida
dapat diketahui bahwa oksida alumina (Al2O3) lebih stabil dibanding oksida
Page 29
13
lainnya. Oksidasi aluminium menjadi Al2O3 menghasilkan energi yang besar.
Lapisan oksida Al2O3 nyaris menghentikan oksidasi selanjutnya. Hal ini membuat
lapisan oksida yang tidak kasat mata ini menjadi lapisan pelindung yang sangat
baik terhadap oksidasi selanjutnya. Terdapat dua faktor yang mendukung
perlindungan ini, yaitu: (1) ion Al3+
dan O2-
terikat dengan kuat dibandingkan
dengan ion logam lainnya, sehingga ion aluminium tidak mudah berdifusi melalui
lapisan oksida ke permukaan, (2) sifat dari struktur kristal Al2O3 dan aluminium
adalah koheren, yaitu mempunyai dimensi yang sama, sehingga terdapat ikatan
yang kuat antara kerak dan logam. Sama dengan aluminium, kromium juga dapat
membentuk kerak kromium oksida yang koheren [1].
2.1.3 Lapisan Keramik/Top Coat
Lapisan terakhir adalah lapisan keramik (Ceramic Top Coat). Keramik
merupakan material yang tahan terhadap temperatur tinggi dan konduktivitas
termal yang rendah. Lapisan keramik umumnya berbahan Y2O3-stabilized ZrO2
(YSZ) [19]. Lapisan ini umumnya memiliki ketebalan 0.1-3 mm [19]. Lapisan
keramik ini dapat dilakukan dengan teknologi Air Plasma Spray (APS), Elecron
Beam Physical Vapor Deposition (EBPVD), maupun teknologi thermal spray
lainnya.
2.2 Termodinamika Logam Oksidasi
Umumnya material mudah dideformasi apabila temperaturnya semakin
tinggi. Hal ini dikarenakan adanya dislokasi atau pergerakan atom. Pergerakan ini
Page 30
14
memungkinkan terjadinya kemunduran sifat/kekuatan logam dikarenakan adanya
energi termal. Kemunduran sifat dapat terjadi pada temperatur tinggi, antara lain
oksidasi, creep, maupun pengelupasan [1].
Oksidasi terjadi di hampir semua reaksi temperatur tinggi di mana
merupakan proses reaksi kimia yang meningkatkan terbentuknya senyawa seperti
oksida, sulfida, karbida, dan lain-lain [31]. Hampir semua logam mudah bereaksi
dengan oksigen [15]. Oksidasi mulai terjadi dengan mengabsorsi molekul oksigen
dari atmosfer, nukleasi oksida, membentuk lapisan oksida tipis, diikuti dengan
menebalnya lapisan oksida [20]. Reaksi oksidasi menghasilkan kerak oksida yang
segera memisahkan logam dari udara yang memasok oksigen. Oksidasi akan
berlangsung terus jika logam berdifusi ke luar atau oksigen berdifusi ke dalam
melalui kerak. Logam yang mempunyai jari-jari ion lebih kecil dibanding jari-jari
ion oksigen (R O2-
=0.140 nm) akan lebih mudah berdifusi ke luar dibanding
oksigen yang berdifusi ke dalam [1]. Persamaan berikut adalah reaksi antara gas
oksigen (O2) dengan metal (M) dalam membentuk metal oksida:
(2.1)
Reaksi kimia melibatkan pelepasan dan menyerapan energi. Pelepasan
energi dilakukan apabila dalam suatu reaksi, produk reaksi memiliki energi yang
lebih rendah dari pereaktan, sedangkan penyerapan energi terjadi bila produk
memiliki energi yang lebih tinggi. Secara termodinamika, oksida akan terbentuk
pada permukaan logam ketika potesial oksigen di lingkungan lebih besar
dibanding tekanan parsial oksigen di kesetimbangan dengan oksida [20].
Kesetimbangan tekanan oksigen juga dikenal dengan tekanan disosiasi pada
Page 31
15
oksida dalam kesetimbangan dengan logam di mana dibedakan dari energi bebas
Gibbs transformasi oksida. Energi bebas Gibbs reaksi oksidasi dapat ditulis:
(2.2)
di mana adalah aktivitas oksida sedangkan adalah aktivitas logam,
merupakan tekanan parsial gas oksigen. Energi bebas Gibbs untuk pembentukan
oksida terhadap temperatur dikenal dengan diagram Ellingham/Richardson, di
mana digunakan untuk mendapat informasi tentang tekanan parsial kebutuhan
oksigen untuk berbagai logam dalam pembentukan oksida di berbagai temperatur
[20].
Standar energi bebas Gibbs dalam suatu reaksi dapat diekspresikan dalam
bentuk entalpi dan entropi.
(2.3)
Keterangan:
= Energi bebas Gibbs (cal/mol)
= entalpi (cal/mol)
= temperatur (K)
= entropi
Entalpi pembentukan ( adalah energi panas yang digunakan pada
reaksi ketika suatu unsut bereaksi dengan unsur lain. Tanda negatif pada entalpi
ini menunjukkan jumlah panas yang dibutuhkan. Apabila bernilai negatif
maka reaksi tersebut dapat berjalan secara spontan, namun apabila suatu reaksi
Page 32
16
bernilai positif maka reaksi tersebut tidak dapat berjalan secara spontan.
Energi bebas Gibbs di plot dalam suatu grafik dengan parameter vs temperatur,
grafik ini disebut diagram Ellingham.
Gambar 2.4 Diagram Elingham [21]
Page 33
17
Pada diagram Ellingham, logam yang aktif secara kimia memiliki energi bebas
tinggi (negatif) dalam membentuk oksida. Logam ini terletak dibagian bawah.
Sedangkan logam yang kurang aktif secara kimia, memiliki energi bebas kecil
(positif) dalam membentuk oksida. Kelompok logam ini terletak di bagian atas.
Semakin negatif nilai suatu logam menunjukkan logam tersebut semakin
stabil dalam membetuk oksida. Hal ini ditunjukkan melalui garis terendah pada
diagram [20].
2.3 Kinetika Laju Oksidasi Temperatur Tinggi
Laju reaksi dan persaman laju yang sesuai untuk oksidasi logam tergantung
atas beberapa faktor. Faktor tersebut adalah: temperatur, tekanan oksigen,
persiapan permukaan dan perlakuan sebelum oksidasi pada logam tersebut.
Kinetika oksidasi sangat penting utuk memberi estimasi masa pakai logam untuk
digunakan pada komponen yang beroperasi pada temperatur tinggi. Persamaan
laju oksidasi dikelompokkan menjadi logaritmik, linier dan parabolik. Oksidasi
merupakan proses bereaksinya oksigen untuk membentuk oksida pada permukaan
logam, sehingga terjadi penambahan massa dari logam. Penambahan massa ini
sebanding dengan ketebalan oksida (x) [20].
2.3.1 Hukum Pertumbuhan Logaritmik
Hukum ini menggambarkan oksidasi pada daerah lapisan tipis. Hampir
semua logam yang dipanaskan pada temperatur rendah memiliki laju pertumbuhan
logaritmik (<400oC) [22]. Laju oksidasi muncul sangat cepat pada permulaan
Page 34
18
kemudian melambat, berikut adalah persamaan laju oksidasi logaritmik searah dan
berlawanan [20]:
Hukum logaritmik searah (direct)
(2.4)
Hukum logaritmik berlawanan (inverse)
(2.5)
dimana: x = ketebalan oksida, perubahan massa sebagai hasil oksidasi, jumlah
oksigen yang dikonsumsi per satuan area permukaan pada logam
atau jumlah logam yang berubah menjadi oksida (μm)
t = waktu oksidasi (jam)
dan a, b =konstanta
Gambar 2.5 Hukum Pertumbuhan Logaritmik [20]
2.3.2 Hukum Pertumbuhan Linier
Hukum pertumbuhan ini mengikuti kaidah konstan terhadap waktu. Rumus
hukum pertumbuhan linier sebagai berikut:
Page 35
19
(2.6)
(2.7)
di mana adalah konstanta laju linier pada reaksi. Pertumbuhan linier ini terjadi
dikarenakan oksida yang terbentuk dalam volume kecil sehingga tidak mampu
menghalang difusi oksigen ke dalam logam. Laju pertumbuhan ini dialami oleh
logam pada temperatur tinggi. Reaksi ini biasanya terjadi karena reaksi pada
permukaan atau batas fasa, contoh reaksi keadaan stabil yang dibatasi oleh
adsorbsi reaktan pada permukaan, reaksi yang disebabkan oleh terbentuknya
oksida yang stabil pada logam, atau difusi yang melalui lapisan protektif dengan
ketebalan konstan. Pada beberapa logam seperti logam alkali dan logam tanah
alkali, hukum laju linier biasanya terjadi ketikaadanya crack lapisan protektif atau
terkelupas yang mengawali akses secara langsung gas ke logam. Hasilnya adalah
laju oksidasi yang sangat cepat [20].
2.3.3 Hukum Pertumbuhan Parabolik
Hampir semua paduan mengikuti hukum parabolik pada temperatur tinggi.
Pertumbuhan oksida terjadi dengan laju oksidasi yang terus menurun. Proses
pertumbuhan oksida biasanya dikendalikan oleh difusi ion atau elektron pada awal
pembentukan lapisan oksida. Lapisan oksida ini memisahkan antara logam dengan
oksigen. Berikut adalah hukum pertumbuhan parabolik:
(2.8)
atau
(2.9)
Page 36
20
di mana: = ketebalan kerak
= waktu
= konstanta laju parabolik (g2m
-4s
-1)
Hal ini menunjukkan laju oksidasi dikendalikan oleh menebalnya lapisan kerak.
Namun jika kerak mengelupas, atau jika volume kerak lebih rendah dari logam
awal, laju oksidasi menjadi lebih cepat yaitu:
(6)
Gambar 2.6 Hukum Pertumbuhan Parabolik [20]
2.4 Paduan NiCrAl
Ni-Cr-Al merupakan unsur-unsur utama yang sering digunakan produk
komersial dalam aplikasi pada lingkungan temperatur tinggi. Hal ini dikarenakan
oleh dua sifatnya; sifat pertama adalah mempunyai struktur fasa γ- γ′ Ni3Al di
mana mempunyai sifat mekanik yang tinggi; sifat kedua, mempunyai potensi
Page 37
21
dalam membentuk lapisan oksida protektif, seperti kromia (Cr2O3) dan alumina
(Al2O3) [23] [9]. Lapisan oksida protektif ini dapat menghalang difusi oksigen
pada material sehingga menghambat laju oksidasi [24]. Aluminium merupakan
logam yang mudah bereaksi dengan oksigen sehingga dikatakan bahwa logam ini
mudah teroksidasi (berkarat), namun dalam kenyataannya logam ini mempunyai
daya tahan karat yang sangat baik [9]. Hal tersebut dikarenakan terbentuknya
lapisan tipis yang kaya akan oksigen pada permukaan aluminium. Lapisan tipis ini
akan melindungi dari serangan atmosfer. [9]
Pada aplikasi lingkungan suhu tinggi, paduan mengandung kromium dan
aluminium yang tinggi untuk perlindungan terhadap oksidasi atau korosi [23]. Di
samping itu tingginya Cr dan Al dapat menambah kegetasan dan mengurangi
kekuatan pada temperatur tinggi atau ketahanan creep sehingga diperlukan
komposisi yang tepat untuk mengatasi hal ini [23].
2.5 Hastelloy C-276
Superalloy berbasis Nikel (C-276) banyak digunakan pada pembangkit daya
nuklir dan industri kimia karena sifat mekanik dan ketahanan korosi yang tinggi
[25]. Paduan super ini juga diaplikasikan pada turbin yang membutuhkan
ketahanan pada temperatur tinggi [9].
Tabel 2.1 Komposisi Hastelloy C-276 [17]
Unsur Wt% Unsur Wt%
Ni Bal. Mn ≤ 1.0
Fe 4-7 C ≤ 0.001
Page 38
22
Cr 14-16 Si ≤ 0.008
Mo 15-17 P ≤ 0.04
W 3-4.5 S ≤ 0.03
Co ≤ 2.5 V ≤ 0.035
Hastelloy C-276 memiliki ketahanan korosi yang tinggi yang berasal dari
sistem terner Ni-Cr-Mo [26]. Paduan super ini didominasi dengan unsur nikel
(Ni), kromium (Cr), dan molibdenum (Mo). Adanya komposisi kromium dan
molibdenum membuat paduan ini sangat baik terhadap lingkungan yang oksidatif
[27]. Penambahan Ni dan Cr pada paduan Hastelloy C-276 mampu meningkatkan
ketahanan terhadap oksidasi [27][9]. Unsur molibdenum mampu meningkatkan
ketahanan korosi pitting (sumur) dan korosi crevice (celah) [27]. Korosi pitting
disebabkan karena komposisi logam yang tidak homogen, sedangkan korosi
crevice (celah) terjadi pada logam yang berdempetan dengan logam lain dan
diantaranya ada celah yang dapat menahan kotoran dan air sehingga konsentasi O2
pada mulut lebih banyak dibanding bagian dalam, sehingga bagian mulut menjadi
katodik dan bagian dalam anodik [28]. Unsur karbon (C), molibdenum (Mo), dan
tungsen (W) mampu membentuk karbida yang akan mengendap di batas butir [9].
Penambahan unsur tahan api (Mo dan W) mampu menambah ketahanan pada
lingkungan suhu tinggi. Unsur kobalt (Co), besi (Fe), kromium (Cr), molibdenum
(Mo), tungsen (W), vanadium (V) juga dapat bertindak sebagai larutan padat [9].
Unsur Co, Cr, Mo dan W merupakan penstabil fasa gamma (γ) di mana fasa γ
merupakan fasa Al atau Ni. Fasa yang cukup ulet ini dapat membentuk endapan
yang merata dan stabil pada matriks [9]. Oleh karena itu, selain menguatkan
Page 39
23
matriks, fasa ini dapat mengurangi ketangguhan retaknya [9]. Penambahan W dan
Fe pada superaloy ini sebagai fasa tunggal, paduan padat yang tidak mengeras
oleh perlakuan panas [26].
2.6 Elemen Reaktif
Elemen Reaktif (Reacive Element, RE) pertama kali dipatenkan oleh Pfeil
pada tahun 1937 [29]. Elemen reaktif merupakan unsur logam tanah jarang yang
ditambahkan pada paduan dengan persentase berat ≤1% dari berat paduan di mana
penambahan ini memberikan beberapa keuntungan [13]. Contoh unsur elemen
reaktif adalah Y (yttrium), Zr (zirkonium), Kr (kripton), Ce (serium), Hf
(hafnium), Xe (xenon), Si (silikon), La (lantanum), dan oksidanya [24][22][30].
Seluruh elemen reaktif dapat meningkatkan ketahanan oksidasi suhu tinggi pada
paduan [22]. Oksida yang terbentuk pada elemen reaktif mempunyai temperatur
leleh >2000oC dan -ΔH298K > 1000kJ/mol di mana menunjukkan oksida tersebut
sangat stabil [22].
Elemen reaktif mempunyai beberapa keuntungan pada skala adhesi,
pertumbuhan, dan mikro struktur [24]. Berikut adalah efek penambahan elemen
reaktif [22] [31] [32] [33]:
a. Oksida elemen reaktif bertindak sebagai nukleasi heterogen yang selektif
dalam menentukan elemen yang protektif seperti aluminium dan kromium.
b. Penambahan elemen reaktif mempengaruhi skala pertumbuhan butir.
c. Penambahan elemen reaktif mempengaruhi morfologi dan mikrostruktur.
Umumnya produk oksida yang dihasilkan sangat kecil.
Page 40
24
d. Penambahan elemen reaktif mempengaruhi ukuran butir sehingga menjadi
lebih kecil.
e. Produk oksida yang dihasilkan berasal dari oksidasi internal.
f. Penambahan oksida elemen reaktif dapat bertindak sebagai vacancy sink di
mana mampu meminimalkan kekosongan dan porositas pada permukaan alloy.
g. Penambahan RE mampu mencegah pengotor seperti sulfur, klorin, dan fosfor
pada permukaan alloy.
Dalam paduan suhu tinggi tanpa penambahan elemen reaktif, lapisan Al2O3
tumbuh karena terjadinya difusi oksigen ke arah dalam dan difusi aluminium ke
arah luar paduan melewati batas-batas butir, sehingga sangat mudah terjadi
pengelupasan lapisan dari permukaan paduan. Pada paduan yang mengandung
elemen reaktif, difusi aluminium ke arah luar ditekan dan pertumbuhan lapisan
Al2O3 terjadi terutama oleh difusi oksigen ke dalam paduan sepanjang batas-batas
butir, sehingga adhesinya lebih baik dan laju pertumbuhannya berkurang [34][35].
Penambahan elemen reaktif tersebut bertujuan untuk menghasilkan struktur-mikro
dengan butiran-butiran yang halus dan untuk memperbaiki sifat oksidasi,
sedangkan sifat mekanik yang menguntungkan masih dapat dipertahankan [16].
Penambahan RE juga digunakan sebagai penstabil dan penambah daya lekat
dari lapisan oksida protektif yang telah terbentuk sehingga menjadi kuat.
Penambahan elemen reaktif akan lebih efektif jika jumlah elemen reaktif berkisar
≤ 1% berat dan terdistribusi secara merata [13]. Bila penambahan reactive element
>1% atau <0.1% maka lapisan proteksi yang telah terbentuk justru bersifat mudah
mengelupas.
Page 41
25
Penambahan sejumlah kecil elemen-elemen reaktif seperti Y (yttrium), Ce
(serium), Hf (hafnium), Zr (zirconium), Ti (titanium), Si (silikon) atau oksidanya
pada paduan lapisan dilakukan dengan beberapa teknik, yaitu penambahan elemen
reaktif dalam bentuk larutan, dispersi oksida, pelapisan permukaan, pemaduan,
atau implantasi ion.
2.6.1 Yttrium
Yttrium merupakan logam transisi, sering disebut juga logam tanah jarang.
Unsur dengan simbol Y ini mempunyai nomor atom 39, berat atom 88.9, jari-jari
kovalen 1.62 (Ǻ), serta konfigurasi elektron [Kr]4d15s
2 [36]. Yttrium memiliki
titik leleh 1526 oC dan titik didih 2931
oC. Struktur kristal dari unsur ini adalah
hexagonal close-packed (HCP) dengan jari-jari atom 180 pm. Unsur ini
membentuk oksida berupa Y2O3 dengan titik leleh 2425 oC.
2.6.2 Silikon
Silikon merupakan unsur kimia dengan nomor atom 14. Silikon merupakan
unsur yang lebih tidak reaktif dibanding karbon. Lebih dari 90% kerak bumi
terdiri dari mineral silikat, hal ini menjadikan silikon sebagai unsur kedua paling
melimpah di kerak bumi. Silikon mempunyai titik lebur 1414 oC dan titik didih
3265 oC dengan kepadatan 2.3290 g/cm
3. Unsur ini mempunyai jari-jari kovalen
dan jari-jari atom 111 pm. Titik leleh SiO2 adalah 1710 oC. Struktur kristal dari
unsur silikon adalah hexagonal close-packed (HCP).
Page 42
26
2.7 High Velocity Oxy Fuel (HVOF)
Teknologi HVOF merupakan proses thermal spray (semprotan termal) di
mana feedstock material dipanaskan dan dialirkan melewati nosel pada aliran gas
bertekanan sehingga menghasilkan kecepatan alir partikel yang tinggi/supersonik
[37]. Semprotan termal umum digunakan pada proses pelapisan yang digunakan
pada pelapisan logam maupun non logam [11]. Proses ini digolongkan dalam tiga
kategori utama: Flame Spray, Electric Arc Spray, dan Plasma Arc Spray. Sumber
energi ini digunakan untuk memanaskan material pelapis (dalam bentuk powder,
kawat, maupun batang) agar menjadi cair atau sedikit mencair [11].
Keuntungan dari proses semprotan termal adalah sangat beragam material
yang dapat digunakan sebagai bahan pelapis. Keuntungan kedua adalah
kemampuan semprotan termal untuk melakukan pelapisan terhadap substrat tanpa
panas yang signifikan. Keuntungan selanjutnya adalah apabila ingin melepas
pelapis yang telah usang dan melakukan pelapisan ulang tidak akan mengubah
dimensinya [11].
Flame Spray mencakup proses low-velocity, rod-flame, dan wire flame.
High Velocity Oxy Fuel (HVOF) termasuk pada proses low-velocity. Bahan bakar
pada HVOF adalah gas (seperti hidrogen, propana, atau propilena) dan oksigen
yang digunakan untuk membuat pembakaran pada temperatur 2500oC hingga
3000oC. Pembakaran terjadi pada ruang internal dengan tekanan yang sangat
tinggi, keluar melalui lubang kecil (diameter 8-9mm) untuk menggerakkan gas jet
dengan kecepatan partikel yang sangat tinggi. Hasil dari proses ini menghasilkan
Page 43
27
densitas yang sangat baik (padat), lapisan dengan adhesivitas yang baik. Serbuk
maupun kawat pelapis dapat ditembakkan dari 2.3-14 kg/jam [11].
Penggunaan teknologi semprotan termal telah meningkat pesat [38]. Dari
beberapa proses semprotan termal tersebut, HVOF dan Detonation Spray
menghasilkan kekuatan ikat yang tinggi dengan mikrostruktur yang sangat padat
[11].
Tabel 2.2 Perbandingan Proses Semprotan Termal [11]
Proses Aliran Gas
(m3/jam)
Suhu
(oC)
Kecepatan
(m/s)
Kekuat
an ikat
Kohesi
vitas
Oksida
(%)
Flame
Powder 11 2200 30 3 Rendah 6
Flame wire 71 2800 180 4 Sedang 4
HVOF 28-57 3100 610-1060 8 Sangat
tinggi 0.2
Detonation
gun 11 3900 910 8
Sangat
tinggi 0.1
Wire Arc 71 5500 240 6 Tinggi 0.5-3
Conventional
plasma 4.2 5500 240 6 Tinggi 0.5-1
High-energy
plasma 17-28 8300 240-1220 8
Sangat
tinggi 0.1
Vacuum
plasma 8.4 8300 240-610 9
Sangat
tinggi 0
Page 44
28
Gambar 2.7 Skema Semprotan HVOF [39]
2.8 Perlakuan Pemanasan (Heat Treatment)
Perlakuan pemanasan (heat treatment) dapat menyebabkan terjadinya
perubahan ukuran dan bentuk butiran. Perubahan ukuran dan bentuk butiran ini
disebabkan oleh pertumbuhan butir dengan cara pengkristalan kembali. Pada saat
proses pendinginan, pembentukan butir akan tetap terjadi. Oleh karena itu proses
perlakuan panas yang berlangsung lama akan menyebabkan terjadinya
pertumbuhan butiran dalam ukuran yang lebih kecil dan lebih halus [9]. Sifat
logam terutama sifat mekanik sangat dipengaruhi struktur mikro. Adanya
pemanasan dan pendinginan dengan kecepatan tertentu maka struktur pada logam
akan berubah.
Pada proses pelapisan dengan teknik semprotan termal terjadi porositas
yang cukup banyak dan dapat mengurangi keausan dan ketahanan korosi [40].
Dikarenakan hal tersebut, pada pelapisan semprotan termal, perlakuan pemanasan
Page 45
29
dibutuhkan untuk meningkatkan sifat mekanik, metalurgi, dan elektrokimia.
Perlakuan pemanasan ini dapat mengurangi porositas/lubang dan meningkatkan
sifat mekaniknya, serta menjadikan paduan menjadi homogen [41]. Pada
penelitian tahun 2017 oleh D, Salehi Doolabi, et al menyatakan bahwa proses
annealing (1120 oC selama 2 jam dan 845
oC selama 24 jam) pada sampel
sebelum pengujian oksidasi dapat mencegah terbentuknya oksida yang tidak
diharapkan seperti oksida spinel pada permukaan [42].
Terdapat beberapa jenis perlakuan pemanasan, antara lain: quenching
(pengerasan), annealing (pelunakkan), normalizing, dan tempering . Pada proses
pengerasan, logam dipanaskan hingga mencapai batas austenite yang homogen
selama rentang waktu tertentu. Selanjutnya logam didinginkan dengan cepat
dengan cara dicelupkan ke dalam media pendingin. Kekerasan baja tergantung
pada kecepatan pendingin.
Proses perlakuan panas annealing merupakan proses pemanasan pada di
atas temperatur kritis selama beberapa lama, kemudian diikuti dengan
pendinginan secara perlahan-lahan hingga temperatur logam mendekati
temperatur luar [9]. Proses perlakuan panas ini bertujuan untuk melunakan,
membebaskan tegangan sehingga diperoleh struktur yang dikehendaki [9].
Perlakuan panas normalizing merupakan pemanasan hingga mencapai fasa
austenit kemudian didinginkan secara perlahan di udara. Jenis perlakuan panas ini
bertujuan untuk melunakkan logam.
Proses pemanasan tempering merupakan pemanasan sampai temperatur
sedikit di bawah temperatur kritis lalu ditahan beberapa lama, kemudian
Page 46
30
didinginkan menggunakan media pendingin. Jenis pemanasan ini bertujuan untuk
meningkatkan keuletan dan ketangguhan logam.
2.9 Prinsip Kerja Alat Karakterisasi
2.9.1 X-Ray Diffractometer (XRD)
X-Ray Diffractometer merupakan alat yang memanfaatkan prinsip kerja
difraksi sinar X. Studi mengenai XRD mulai intensif diteliti pada tahun 1912 oleh
M. van Laue. Laue berargumentasi bahwa ketika sinar X melewati sebuah kristal,
atom-atom bertindak sebagai sumber gelombang sekunder. Eksperimen pertama
dilakukan oleh Herren Friedrich dan Knipping menggunakan kristal tembaga
sulfat berhasil memberikan hasil pola difraksi pertama yang menjadi induk
perkembangan difraksi sinar X selanjutnya [43].
a. Sinar X
Sinar X pertama kali ditemukan oleh ilmuwan Jerman, W.C Rontgen pada
tahun 1895. Rontgen menemukan sejenis radiasi yang keluar dari sebuah tabung
muatan (discharge tube), radiasi ini diberi nama sinar X. Sinar X pada tabung
muatan ini terbentuk dengan cara pemberian beda tegangan pada elektroda-
elektroda tabung yang menghasilkan „sinar elektron yang ditumbuk pada bahan
tertentu. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan diketahui bahwa sinar
X adalah radiasi elektromagnet transversal, seperti cahaya tampak, dengan
panjang gelombang antara 10 nanometer hingga 100 pikometer, frekuensi 30
petahertz-30exahertz, dan energi 100 eV-100 KeV.
Page 47
31
Sinar X mampu menjalar pada medium apapun dengan kecepatan hampir
tetap, yaitu setara dengan kecepatan cahaya di dalam vakum (3x108
m/s). Sinar ini
menjalar lurus, sehingga sinar X tidak dapat dibelokkan oleh lensa namun dapat
dipantulkan oleh cermin. Sinar X dapat dimanfaatkan untuk mnegetahui keadaan
mikrostruktur material yang memiliki keteraturan atom dikarenakan prinsip sifat-
sifat gelombang sinar X dan interaksinya dengan material.
Melalui sinar-x dapat diketahui verifikasi struktur kristal yang sangat baik.
Gelombang-gelombang di antara gelombang elektromagnet dengan panjang
gelombang sedikit lebih besar dari jarak interplanar kristal (dhkl) akan mengalami
difraksi mengikuti hukum fisika. Melalui sudut difraksi ini dapat diketahui
struktur kristal dengan ketelitian tinggi. Sebaliknya, dapat diketahui jarak
interplanar pada suatu logam hingga empat angka signifikan bahkan lebih [1].
b. Mekanisme Operasi XRD
XRD merupakan salah satu alat yang memanfaatkan prinsip hukum Bragg
yang digunakan untuk mengidentifikasi fasa kristalin dalam material dengan
menentukan parameter struktur kisi, mengetahui ukuran partikel, mempelajari
equilibrium fasa, analisis kimiawi, mengetahui tegangan, serta orientasi kristal
[44]
Page 48
32
Gambar 2.8 Komponen pada X-Ray Diffractometer [45]
Hukum Bragg merupakan perumusan matematika tentang persyaratan yang
harus dipenuhi agar berkas sinar X yang dihamburkan merupakan berkas difraksi.
Saat material dikenai sinar X, intensitas sinar yang ditransmisikan lebih rendah
dari intensitas sinar datang. Hal ini disebabkan adanya penyerapan oleh material
dan penghamburan oleh atom-atom dalam material tersebut. Hamburan sinar X
tersebut ada yang saling menghilangkan dan ada yang saling menguatkan. Berkas
sinar X yang saling menguatkan itulah yang disebut berkas difraksi.
n. λ= 2.d.sin θ;
n = 1,2,...
Bedasarkan persamaan Bragg, jika seberkas sinar X dijatuhkan pada sampel
kristal, maka bidang kristal itu akan membiaskan sinar X yang memiliki panjang
gelombang sama dengan jarak antar kisi dalam kristal tersebut. Sinar yang
dibiaskan akan ditangkap oleh detektor kemudian diterjemahkan sebagai sebuah
Page 49
33
puncak difraksi. Semakin banyak bidang kristal yang terdapat dalam sampel,
maka semakin kuat intensitas pembiasan yang dihasilkan. Setiap puncak yang
muncul pada pola XRD mewakili satu bidang kristal yang memiliki orientasi
tertentu. Hasil dari XRD berupa data kualitatif fasa yang terkandung dalam suatu
material. Masing-masing senyawa memiliki posisi 2θ yang berbeda.
Secara umum, prinsip kerja XRD adalah; XRD terdiri dari tiga bagian
utama, yaitu tabung sinar X, tempat objek yang diteliti, dan detektor sinar X.
Tabung sinar sebagai tempat penghasil sinar X yang berisi katoda memanaskan
filamen sehingga menghasilkan electron. Perbedaan tegangan menyebabkan
percepatan elektron akan menembaki objek. Ketika electron mempunyai tingkat
energi yang tinggi dan menumbuk elektron dalam objek sehingga dihasilkan
pancaran sinar X. Objek dan detektor berputar untuk menangkap dan merekam
intensitas refleksi sinar X. Detektor merekam dan memproses sinyal sinar X dan
mengolahnya dalam bentuk grafik.
2.9.2 Scanning Microscopy Electron (SEM)
Scanning Electron Microscope (SEM) adalah sebuah mikroskop elektron
yang didesain untuk menyelidiki permukaan dari objek solid secara langsung.
SEM memiliki perbesaran 10 – 3000000x, depth of field 4 – 0.4 mm dan resolusi
sebesar 1 – 10 nm. Kombinasi dari perbesaran yang tinggi, depth of field yang
besar, resolusi yang baik, kemampuan untuk mengetahui komposisi dan informasi
kristalografi membuat SEM banyak digunakan untuk keperluan penelitian dan
industri.
Page 50
34
Gambar 2.9 Prinsip Kerja SEM [46]
SEM terdiri dari penembak elektron, dua lensa kondensator, sebuah lensa
objektif, sebuah sistem deteksi elektron, dan satu set deflector, seluruhnya
beroperasi dalam keadaan vakum. Penembak elektron sebagai sumber elektron
dan mempercepatnya dengan energi 1-30 keV. Berkas terkecil penampang
melintang pada sumber disebut “crossover”, kemudian mengalami demagnisasi
oleh tiga tahap sistem lensa elektron, sehingga sebuah electron probe dengan
diameter 1-10 nm membawa tegangan 1-100 pA ditimbulkan pada permukaan
spesimen. Untuk tegangan tinggi, 1-10 nA, diameter electron probe bertambah
0.1-1 μm [47]
Page 51
35
Gambar 2.10 Kedalaman deteksi secondary electron (SE), backscatter electon
(BSE), auger electron (AE) [46]
Adapun fungsi utama dari SEM antara lain dapat digunakan untuk
mengetahui informasi-informasi mengenai:
a. Topografi, ciri-ciri permukaan dan teksturnya (kekerasan, sifat memantulkan
cahaya, dan sebagainya).
b. Morfologi, yaitu bentuk dan ukuran dari partikel penyusun objek (kekuatan,
cacat pada Integrated Circuit (IC) dan chip, dan sebagainya). Komposisi,
yaitu data kuantitatif unsur dan senyawa yang terkandung di dalam objek
(titik lebur, kereaktifan, kekerasan, dan sebagainya).
c. Informasi kristalografi, yaitu informasi mengenai bagaimana susunan dari
butir-butir di dalam objek yang diamati (konduktifitas, sifat elektrik,
kekuatan, dan sebagainya).
Prinsip kerja SEM yaitu bermula dari electron beam yang dihasilkan oleh
sebuah filamen pada electron gun. Pada umumnya electron gun yang digunakan
adalah tungsten hairpin gun dengan filamen berupa lilitan tungsten yang berfungsi
sebagai katoda.
Page 52
36
Tegangan diberikan kepada lilitan yang mengakibatkan terjadinya
pemanasan. Anoda kemudian akan membentuk gaya yang dapat menarik elektron
melaju menuju ke anoda. Kemudian electron beam difokuskan ke suatu titik pada
permukaan sampel dengan menggunakan dua buah lensa kondenser. Lensa
kondenser kedua (atau biasa disebut dengan lensa objektif) memfokuskan beam
dengan diameter yang sangat kecil, yaitu sekitar 10-20 nm. Hamburan elektron,
baik Secondary Electron (SE) atau Back Scattered Electron (BSE) dari
permukaan sampel akan dideteksi oleh detektor dan dimunculkan dalam bentuk
gambar pada layar SEM memiliki beberapa detektor yang berfungsi untuk
menangkap hamburan elektron dan memberikan informasi yang berbeda-beda.
Detektor-detektor tersebut antara lain:
a. Detektor EDS, yang berfungsi untuk menangkap informasi mengenai
komposisi sampel pada skala mikro.
b. Backscatter detector, yang berfungsi untuk menangkap informasi mengenai
nomor atom dan topografi.
c. Secondary detector, yang berfungsi untuk menangkap informasi mengenai
topografi.
Pada SEM, terdapat sistem vakum pada electron-optical column dan sample
chamber yang bertujuan antara lain:
a. Menghilangkan efek pergerakan elektron yang tidak beraturan karena adanya
molekul gas pada lingkungan tersebut, yang dapat mengakibatkan penurunan
intensitas dan stabilitas.
Page 53
37
b. Meminimalisasi gas yang dapat bereaksi dengan sampel atau mengendap pada
sampel, baik gas yang berasal dari sampel atau pun mikroskop. Karena apabila
hal tersebut terjadi, maka akan menurunkan kontras dan membuat gelap detail
pada gambar. Semua sumber elektron membutuhkan lingkungan yang vakum
untuk beroperasi.
Page 54
38
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian “Ketahanan Oksidasi Lapisan NiCrAl dengan Penambahan
Elemen Reaktif Y dan YSi pada Hastelloy” dilakukan pada tanggal 23 Januari
sampai Agustus 2017 yang bertempat di:
a. Laboratorium High Temperature Material Coating (HTMC) di Pusat Penelitian
Fisika (P2F), Lembaga Ilmu dan Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kawasan
Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan, Banten Indonesia 154314.
b. Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik – Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (P2 TELIMEK – LIPI), Jalan Sangkuriang Komplek LIPI Gedung
20, Bandung, Jawa Barat Indonesia 40135.
3.2 Bahan dan Peralatan Penelitian
Pada penelitian kali ini digunakan beberapa bahan dan peralatan yang
diperlukan dalam penelitian sebagai alat pendukung penelitian maupun alat
karakterisasi bahan.
3.2.1 Bahan Penelitian
Berikut adalah bahan yang digunakan dalam penelitian:
Page 55
39
Tabel 3.1 Bahan Penelitian
No Gambar Nama Kegunaan
1
Hastelloy C-276 Substrat utama yang akan
dilapisi
2
Serbuk NiCrAl Serbuk untuk melapisi
substrat
3
Serbuk NiCrAlY Serbuk untuk melapisi
substrat
4
Serbuk NiCrAlYSi Serbuk untuk melapisi
substrat
5
Resin Epoxy Sebagai bahan pencetakan
sampel cross section
Page 56
40
6
Hardener Sebagai pengeras resin
7
Aquades
Untuk membersihkan
sampel cross section dari
kotoran
8
Micro Polis 0.1 um
dan 0.05 um
Katalis untuk
menghaluskan sampel
pada proses cross section
9
Larutan Cu-Plating Sebagai katalis saat proses
Cu-Plating
Page 57
41
3.2.2 Peralatan Penelitian
Berikut adalah peralatan yang digunakan dalam penelitian:
Tabel 3.2 Peralatan Penelitian
No. Gambar Nama Kegunaan
1
Plat Dudukan
Untuk meletakkan
sampel dalam proses
HVOF
2
Kawat nikel Pengait sampel pada
plat dudukan
3
Tang Pemotong kawat
4
Pinset Untuk mengambil
sampel
5
Crucible
Tempat penyangga
sampel pada proses
heat treatment
Page 58
42
7
Tungku
Vacuum
Edwards XD-
14000VF
Tungku pembakaran
untuk proses heat
treatment
8
Muffle
Furnace PPF-
1300
Untuk proses oksidasi
9
Alumina
Rodstick
Sebagai alat penyangga
sampel pada proses
oksidasi
10
Ceramic
crucible
Sebagai tempat
penyangga sampel pada
proses oksidasi
11
Clips Sebagai penyangga
sampel
12
Mounting Cup Sebagai cetakan sampel
dan resin epoxy
Page 59
43
13
Mesin Polisher Menghaluskan sampel
14
Ultrasonic
cleaner
Pembersih dari kotoran
menggunakan
gelombang ultrasonic
15
Timbangan
digital 6 digit
Menimbang sampel dan
serbuk
16
Penjepit buaya Menghubungkan arus
listrik
17
Power suppIy Sumber arus listrik
18
Gelas beker,
50 mL, 100
mL
Tempat larutan Cu-
Platwting maupun
cairan lain
Page 60
44
19
Jangka Sorong Mengukur dimensi
sampel
20
Abrasive paper Untuk menghaluskan
sampel
21
Elektroda
tembaga
Sebagai elektroda untuk
proses Cu-platting
22
Hair dryer Mengeringkan sampel
23
Mesin
pemotong Memotong sampel
24
Penggaris Mengukur sampel
Page 61
45
25
Magnetic
Stirer
Untuk megaduk larutan
elektrolit agar tetap
homogeny
26
Mesin HVOF
Untuk proses pelapisan
menggunakan
temperatur tinggi
27
Desikator Tempat penyimpan
kedap uap air
28
Kawat
tembaga
Pengait sampel ke arus
listrik pada proses Cu-
plating
29
Spatula Untuk mengambil
sampel maupun serbuk
30
Latex Finger
Coat
Melindungi tangan dari
bahan kimia
31
Laboratory
Sieving 270
mesh
Mengayak serbuk
Page 62
46
3.2.3 Alat Karakterisasi
Berikut adalah alat karakterisasi yang digunakan dalam penelitian:
Tabel 3.3 Alat Karakterisasi
No Gambar Nama Kegunaan
1.
Scanning Electron
Microscopy (SEM)
tipe JIB-4610F Multi
Beam System
Melihat struktur
mikro pada
sampel
2
X-Ray Diffactometer
(XRD) Rigaku tipe
Smart Lab
Mengetahui fasa
yang terbentuk
pada sampel
3.3 Diagram Alir Penelitian
Dibutuhkan beberapa tahap penelitian yang sistematis dalam mencapai hasil
penelitian. Tahap-tahap tersebut harus dilalui dengan berurutan mulai dari
preparasi sampel sampai karakterisasi bahan dan analisis hasil. Pada penelitian ini,
desain penelitian adalah melapisi sampel Hastelloy C-276 dengan serbuk
Page 63
47
NiCrAl+/reaktif elemen kemudian diuji dengan pengujian oksidasi selama 100
jam dalam temperatur 1000oC.
Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian
Preparasi serbuk NiCrAl,
NiCrAlY, dan NiCrAlYSi
Substrat Hastelloy C-276
Dilakukan mechanical alloying
selama 36 jam 1500 rpm
Dipotong dengan dimensi
15x15x1.6 mm
Dihaluskan menggunakan
abrasive paper #100, #400,
#800, #1000
Dikaitkan pada plat dudukan
Karakterisasi Sampel
Substrat dilapisi dengan serbuk
pelapis melalui proses HVOF
Dilakukan proses Heat Treatment
dengan suhu 11000C selama 4 jam
Dilakukan proses Oksidasi pada suhu
10000C selama 100 jam
SEM XRD
Analisa Data
Kesimpulan
Page 64
48
Terdapat tiga macam sampel, yaitu Hastelloy C-276 yang dilapisi dengan
serbuk NiCrAl, NiCrAlY dan NiCrAlYSi. Pelapisan sampel Hastelloy C-276
dilakukan dengan metode HVOF. Sebelum dilakukan pengujian oksidasi, sampel
dilakukan heat treatment. Tahap akhir penelitian ini adalah melakukan
karakterisasi sampel dan analisis data.
3.4 Prosedur Penelitian
Terdapat beberapa tahap yang dilakukan pada proses penelitian ini. Berikut
adalah tahap-tahap penelitian tersebut:
3.4.1 Preparasi Serbuk Pelapis
Pada penelitian ini, serbuk perlapis yang digunakan merupakan hasil sintesa
dari beberapa unsur pemadunya. Serbuk tersebut terdiri dari serbuk nikel (Ni),
kromium (Cr), aluminium (Al), ytrrium (Y) dan silikon (Si). Serbuk tersebut
dilakukan penimbangan sesuai komposisi yang ditentukan.
Tabel 2.3 Komposisi Serbuk Pelapis
Serbuk Pelapis Komposisi (wt%)
Ni Cr Al Y Si
NiCrAl Bal 24 7 - -
NiCrAlY Bal 24 7 0.4 -
NiCrAlYSi Bal 24 7 0.4 0.4
Preparasi serbuk NiCrAl,
NiCrAlY dan NiCrAlYSi
Substrat Hastelloy C-276
Dilakukan mechanical milling
selama 36 jam
Dipotong dengan dimensi
15x15x1.6 mm
Dihaluskan menggunakan
abrasive paper #100, #400,
#800, #1000
Dikaitkan pada plat dudukan
Karakterisasi Sampel
Substrat dilapisi dengan serbuk
pelapis melalui proses HVOF
DIlakukan proses Heat Treatment
dengan suhu 11000C selama 4 jam
DIlakukan proses Oksidasi pada suhu
10000C selama 100 jam
SEM XRD
Analisa Data
Kesimpulan
Page 65
49
Sintesa serbuk pelapis dilakukan dengan metode mechanical alloying
selama 36 jam dengan kecepatan 25 Hz atau 1500 rpm. Setelah dilakukan metode
mechanical alloying serbuk dilakukan pengayakan menggunakan laboratory
sieving 270 mesh (53 μm).
3.4.2 Preparasi Substrat
Preparasi substrat Hastelloy C-276 bertujuan untuk menyiapkan substrat
agar siap dilapisi serbuk pelapis. Pada preparasi substrat, Hastelloy C-276
dipotong dengan dimensi 15x15x1.6 mm. Pemotongan substrat dengan dimensi
tersebut bertujuan untuk mempermudah proses penelitian di mana sampel akan
dilakukan plasma spraying, heat treatment, dan pengujian oksidasi. Selanjutnya
substrat Hastelloy diamplas menggunakan abrasive paper tipe CC 100 CW, CC
400 CW, CC 800 CW, dan CC 1200 CW. Nomor pada abrasive paper tersebut
menandakan semakin tinggi angkanya maka abrasive paper semakin halus. Proses
pengamplasan substrat bertujuan untuk memperhalus permukaan substrat
sehingga membuat substrat bersih dari kotoran. Selain hal itu, permukaan substrat
yang halus akan membuat hasil lebih baik dibanding menggunakan permukaan
substrat yang kasar.
3.4.3 Pelapisan dengan Metode High Velocity Oxy Fuel (HVOF)
Proses pelapisan dilakukan dengan metode HVOF. Sebelum dilakukan
proses pelapisan dilakukan preparasi terhadap substrat Hastelloy-C276 terlebih
dahulu. Tahap ini diawali dengan mengaitkan substrat dengan erat pada plat
dudukan menggunakan kawat nikel. Tahap ini bertujuan agar substrat stabil saat
dilakukan proses pelapisan. Kemudian dilakukan proses blasting alumina
Page 66
50
menggunakan pasir silika putih grit 24 dengan tekanan udara 6 bar dan jarak
tembak 20 cm agar pori-pori substrat terbuka dan mudah menerima dan berikatan
dengan serbuk pelapis sehingga didapatkan lapisan dengan tingkat adhesivitas
tinggi. Serbuk pelapis yang sudah dipersiapkan dimasukkan ke powder feeder
untuk dilakukan proses penembakan pada substrat. Berikut adalah pengaturan gas
pada mesin HVOF:
Tabel 3.4 Parameter HVOF
No Spesifikasi
1 Tekanan N2 4.8 bar
2 Tekanan O2 8.2 bar
3 Tekanan propane 5.2 bar
4 Tekanan putaran kompres air 4 bar
5 Laju gas pembakaran 0.06-0.27 m3/jam
6 Laju gas pembawa 0.015 m3/jam
Sebelum dilakukan penembakan serbuk pelapis pada substrat, dilakukan
proses pre-heating selama 1 menit. Tahap ini dilakukan agar serbuk pelapis
mudah terbakar. Proses penembakan dilakukan selama kurang lebih 20 detik tiap
substrat dengan temperatur 1150 oC. Setelah substrat terlapisi tahap selanjutnya
adalah dilakukan pendinginan pada substrat pada ruang terbuka.
Page 67
51
Gambar 3.2 Proses HVOF
3.4.4 Proses Perlakuan Pemanasan (Heat Treatment)
Perlakuan pemanasan bertujuan agar lapisan pada susbtrat yang lebih
homogen. Preparasi sampel sebelum dilakukan heat treatment adalah dengan
meletakkan sampel pada ceramic crucible dengan menggunakan kawat nikel agar
sampel dapat berdiri. Hal tersebut dilakukan karena pada proses heat treatment
semua permukaan sampel tidak boleh tertutupi agar diperoleh hasil yang
maksimal.
Gambar 3.3 Mekanisme Heat Treatment
Proses ini dilakukan dalam keadaan vakum dengan tekanan 20 Pa
selanjutnya sampel dialiri gas argon hingga tekanan pada tungku 7000 Pa. Lalu
tungku kembali divakum hingga tekanan 50 Pa. Tahap selanjutnya adalah proses
Page 68
52
heat treatment dengan suhu 1100 oC dengan waktu tahan 4 jam. Kecepatan naik
temperatur adalah 10 oC tiap menit. Setelah proses heat treatment selesai, sampel
diambil setelah tugku kembali pada suhu ruang. Proses pemanasan yang tinggi ini
juga dapat mengurangi porositas [41].
3.4.5 Pengujian Oksidasi
Pengujian logam pada temperatur tinggi dibedakan menjadi 3, yaitu korosi
tingkat I, tingkat II, dan oksidasi (>1000oC). Pada peneltian ini dilakukan
pengujian oksidasi 1000oC menggunakan Muffle Furnace PPF-1300 buatan LIPI-
Fisika Serpong. Pengujian oksidasi dilakukan dari suhu ruang kemudian suhu
dinaikkan hingga 1000oC dengan kecepatan naik 10
oC per menit. Setelah
mencapai suhu 1000oC, suhu ditahan hingga waktu yang telah ditentukan.
Kemudian temperatur diturunkan hingga mencapai suhu ruang atau maksimal 60
oC.
Gambar 3.4 Siklus Pengujian Oksidasi
Pengujian oksidasi menggunakan isotermal oksidasi di mana proses
pengujian pada suhu tertentu dan siklus waktu yang ditentukan. Setiap siklus
oksidasi dilakukan penimbangan saampel untuk mengetahui perubahan massa.
Beriku adalah persamaan untuk menghitung perubahan massa sampel:
Page 69
53
(3.1)
di mana: = perubahan massa
= massa pada siklus tertentu (gr)
= massa awal (gr)
A = luas penampang (cm2)
3.5 Variabel Penelitian
3.5.1 Variabel Perlakuan
a. Variasi sampel dengan perlakuan: perlakuan pemanasan (heat treatment) tanpa
proses oksidasi, perlakuan pemanasan (heat treatment) dilanjutkan dengan
proses oksidasi.
b. 3 variasi sampel dengan tambahan elemen reaktif yang berbeda: yaitu NiCrAl,
NiCrAl+Y, NiCrAl+Y+Si
3.5.2 Variabel Pengujian
a. Analisa morfologi sampel: SEM
b. Analisa fasa yang terbentuk pada sampel: XRD
3.6 Karakterisasi Struktur Mikro
Karakterisasi sampel pada penelitian ini SEM (Scanning Electron
Microscopy) dan XRD (X-Ray Diffraction)
Page 70
54
3.6.1 SEM ( Scanning Electron Microscopy)
Pengujian menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) dilakukan
untuk mengetahui morfologi sampel, struktur mikro, ukuran butir, dan komposisi
sampel. Pada penelitian kali ini tipe alat uji SEM yang digunakan adalah JIB-
4610F Multi Beam System.
Pada penelitian ini, karakterisasi dilakukan pada permukaan sampel dan
penampang melintang sampel. Pada proses pengambilan sampel penampang
melintang (cross section) dilakukan beberapa perlakukan sebelum dilakukan
karakterisasi menggunakan SEM. Tahap pertama preparasi sampel cross section
adalah melapisi sampel dengan tembaga, proses pelapisan ini menggunakan
metode electroplating menggunakan elekstroda tembaga dan larutan elektrolit Cu-
plating dengan rapat arus 100 mA/sampel selama kurang lebih 20 jam pada
temperatur ruang.
Tabel 3.5 Komposisi Larutan Cu-Plating
Bahan Konsentrasi
Tembaga Sulfat (CuSO4) 50 g/500 ml
Asam Sulfat (H2SO4) 50 g/500 ml
Setelah sampel terlapisi tembaga tahap selanjutnya adalah mencetak sampel
menggunakan resin menggunakan mounting cup. Kemudian sampel dipotong
melintang menggunakan mesin pemotong dan diamplas menggunakan abrasive
paper grit #100, #400, #800, #1200, #1500, #2000, dan #3000. Kemudian sampel
dilakukan polishing menggunakan mesin polisher memakai kain beludru dan
alumina micropolisher 1.0 μm dan 0,05 μm. Proses preparasi pada sampel cross
Page 71
55
section bertujuan untuk membuat permukaan sampel halus dan tidak ada goresan
sehingga struktur mikro yang dihasilkan terlihat dengan baik.
Pengambilan data karakterisasi SEM menggunakan 2 detektor yaitu
backscatter detector dengan hamburan elektron BSE (Back Scattered Electron)
dan SE (Secondary Electron). Backscatter detector berfungsi untuk menangkap
informasi mengenai nomor atom dan topografi. BSE akan menampilkan
perbedaan warna pada gambar sampel yang muncul pada layar, perbedaan warna
tersebut menandakan perbedaan unsur penyusun pada sampel uji. Sedangkan
detektor SE digunakan untuk mengkap informasi mengenai topografi.
Gambar 3.5 Preparasi Sampel Cross Section Sebelum Karakterisasi
3.6.2 XRD (X-Ray Diffraction)
Pengujian menggunakan XRD adalah suatu metode pengujian untuk
mengetahui fasa yang terdapat pada sampel uji. Pada penelitian kali ini tipe alat
uji X-Ray Diffactometer (XRD) adalah Rigaku Smartlab dengan drive system
adalah CBO 9.0 kW. Pengujian XRD hanya dapat dilakukan pada padatan kristal,
hal ini dikarenakan amorf (bukan kristal) tidak mempunyai susunan atom yang
teratur.
Hasil pengujian XDR berupa peak di mana peak ini menggambarkan fasa
yang terdapat pada sampel uji. Fasa terkuat akan membentuk sebuah peak paling
Page 72
56
tinggi diantara fasa-fasa lainnya. XRD juga dapat digunakan untuk mengetahui
komposisi fasa-fasa yang terdapat pada sampel uji.
Page 73
57
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ketahanan oksidasi terhadap sampel dengan lapisan paduan NiCrAl,
NiCrAlY, maupun NiCrAlYSi di atas substrat Hastelloy C-276 yang dilapiskan
menggunakan metode High Velocity Oxy Fuel (HVOF) diketahui melalui
pengujian oksidasi menggunakan muffle furnace 1000oC selama 100 jam. Setiap
periode uji oksidasi (Gambar 3.4) dilakukan pengambilan data berupa massa
sampel serta foto kondisi sampel. Selain data tersebut, untuk keperluan analisis
struktur mikro dilakukan karakterisasi menggunakan Scanning Electron
Microscope (SEM) dan penentuan fasa yang terbentuk menggunakan X-Ray
Diffractometer (XRD) terhadap sampel dengan perlakuan setelah heat treatment
sebelum uji oksidasi serta sampel setelah dilakukan uji oksidasi. Sehingga melalui
data tersebut dapat dilakukan analisa ketahanan oksidasi dari masing-masing
sampel.
4.1 Pengamatan Visual Kondisi Sampel
Pengamatan visual terhadap kondisi sampel didokumentasikan dalam
bentuk foto setiap durasi tes pengujian oksidasi. Kondisi ketiga sampel sebelum
dan sesudah pengujian oksidasi 1000oC selama 100 jam dapat dilihat pada Tabel
4.1.
Page 74
58
Tabel 4.1 Sampel uji sebelum dan sesudah oksidasi (a) NiCrAl, (b) NiCrAlY, (c)
NiCrAlYSi
Durasi
Oksidasi (a) (b) (c)
0 jam
100 jam
Berdasarkan foto kondisi sampel pada gambar di atas, dapat diamati
perubahan warna pada sampel. Sebelum dilakukan pengujian oksidasi, ketiga
sampel memiliki warna coklat kehitaman, sedangkan setelah dilakukan pengujian
oksidasi 1000oC selama 100 jam warna ketiga sampel menjadi hitam. Sehingga
dapat disimpulkan pengujian oksidasi 1000oC selama 100 jam menyebabkan
perubahan warna sampel menjadi lebih gelap (hitam).
Proses pengamatan secara visual untuk membantu analisis ketahanan
oksidasi juga dilakukan melalui pengamatan morfologi ketiga sampel. Melalui
pengamatan morfologi terhadap kondisi sampel pada gambar dapat diketahui pada
sampel (a) NiCrAl terjadi pengelupasan lapisan pelapis yang ditunjukkan
menggunakan anak panah, sedangkan pada sampel (b) dan (c) tidak ditemukan
adanya lapisan pelapis yang mengelupas. Melalui pengamatan morfologi ini
diketahui bahwa sampel (a) memiliki ketahanan oksidasi yang buruk disebabkan
terkelupas
Page 75
59
adanya lapisan pelapis yang terkelupas pada sampel tersebut setelah pengujian
oksidasi 1000oC selama 100 jam.
4.2 Perubahan Massa Setelah Proses Oksidasi
Perubahan massa setelah proses pengujian oksidasi dihitung menggunakan
persamaan (3.1) dan ditampilkan melalui kurva perubahan massa pada Gambar
4.1 Selain itu untuk membantu proses analisis perubahan massa ditampilkan data
perubahan massa per jam yang dibagi menjadi tiga tahap, yaitu perubahan massa
bertambah, massa stabil, dan massa hilang yang ditampilkan pada Tabel 4.2
Gambar 4.1 Kurva perubahan massa uji oksidasi
Tabel 4.2 Perubahan Massa per Jam
Tahap Perubahan massa per jam (mg/cm
2.h)
(a) NiCrAl (b) NiCrAlY (c) NiCrAlYSi
Massa bertambah 0.206 0.065 0.106
Massa stabil 0.177 0.035 0.056
Page 76
60
Massa hilang -0.005 - -
Berdasarkan kurva perubahan massa setelah pengujian oksidasi yang
ditunjukkan Gambar 4.1 dapat diketahui sampel (a) di mana substrat Hastelloy
yang dilapisi NiCrAl mengalami kenaikan massa hingga durasi tes ke-15 jam,
pertambahan massa per jam pada kondisi ini adalah 0.206 mg/cm2.h. Kemudian
massa menjadi stabil pada durasi tes ke-15 jam hingga ke-31 jam, perubahan
massa per jam pada kondisi ini adalah 0.177 mg/cm2.h. Sedangkan setelah durasi
tes ke-31 jam sampel mengalami penurunan massa/massa hilang hingga durasi tes
ke-100 jam, perubahan massa per jam pada kondisi ini adalah -0.005 mg/cm2.h.
Penurunan massa pada sampel (a) NiCrAl menunjukkan adanya bagian sampel
yang hilang, hal ini sesuai dengan pengamatan visual di mana sampel (a) NiCrAl
mengalami pengelupasan pada bagian lapisan pelapis.
Melalui pengamatan pada kurva perubahan massa sampel (b) NiCrAlY,
diketahui bahwa terjadi penambahan massa pada durasi tes hingga 31 jam,
pertambahan massa per jam pada sampel NiCrAlY adalah 0.065 mg/cm2.h (Tabel
4.2). Kemudian dari durasi tes ke-31 jam hingga 100 jam massa menjadi stabil
dengan pertambahan massa per jam sebesar 0.035 mg/cm2.h. Pada sampel
NiCrAlY tidak mengalami penurunan massa seperti halnya sampel NiCrAl.
Pada sampel (c) NiCrAlYSi memiliki tahap yang sama seperti sampel (b)
NiCrAlY di mana terdiri dari dua tahap, yaitu massa bertambah dan massa stabil.
Sampel (c) NiCrAlYSi mengalami pertambahan massa hingga durasi tes ke-31
jam sebesar 0.106 mg/cm2.h, sedangkan massa stabil dialami setelah durasi tes ke-
31 hingga ke-100 jam sebesar 0.056 mg/cm2.h
Page 77
61
Melalui data Tabel 4.2, sampel (a) NiCrAl mengalami perubahan massa per
jam terbesar pada tahap massa bertambah dibanding sampel lain yaitu sebesar
0.206 mg/cm2.h. Pada tahap ini perubahan massa tertinggi selanjutnya dialami
oleh sampel (c) NiCrAlYSi yaitu sebesar 0.106 mg/cm2.h, sedangkan sampel (b)
NiCrAlY mengalami perubahan massa paling kecil dibanding sampel lain, yaitu
sebesar 0.065 mg/cm2.h. Hal ini sama halnya pada tahap massa stabil, sampel (a)
NiCrAl mengalami perubahan massa per jam paling besar sebesar 0.177
mg/cm2.h, kemudian sampel (c) NiCrAlYSi sebesar 0.056 mg/cm
2.h, lalu sampel
(b) NiCrAlY sebesar 0.035 mg/cm2.h. Pada tahap massa hilang, hanya sampel (a)
yang mengalami dengan perubahan massa per jam sebesar -0.005 mg/cm2.h,
sedangkan pada sampel (b) NiCrAlY dan (c) NiCrAlYSi tidak mengalami massa
hilang.
Melalui kurva perubahan massa dapat diketahui konstanta laju parabolik,
dimana dibagi menjadi dua tahap, yaitu pada siklus 0-31 jam dan 31-100 jam,
sehingga diperoleh konstanta laju parabolik pada siklus 0-31 jam untuk NiCrAl
adalah 9.19 x 10-11
g2cm
-4s
-1, NiCrAlY 3.67 x 10
-11 g
2cm
-4s
-1, NiCrAlYSi 9.73 x
10-11
. Pada siklus 31-100 jam sampel NiCrAl tidak dapat ditetapkan konstanta laju
parabolik, karena pada siklus tersebut sampel mengalami penurunan massa.
Berbeda dengan sampel NiCrAlY dan NiCrAlYSi di mana pada siklus 31-100 jam
massa mengalami perubahan yang tidak terlalu signifikan, sehingga konstanta laju
paraboliknya adalah 1.67 x 10-9
g2cm
-4s
-1 dan 3.43 x 10
-9 g
2cm
-4s
-1.
Page 78
62
4.3 Pengamatan Struktur Mikro
Pengamatan struktur mikro dilakukan terhadap sampel setelah heat
treatment sebelum pengujian oksidasi serta sampel setelah dilakukan uji oksidasi.
Melalui pengamatan struktur mikro akan didapatkan informasi mengenai
morfologi permukaan dan penampang melintang masing-masing sampel.
3.3.1 Morfologi permukaan sampel
Pengamatan morfologi permukaan sampel dilakukan menggunakan SEM
menggunakan hamburan elektron Secondary Electron (SE). Hamburan elektron
ini digunakan untuk mengetahui informasi mengenai topografi, bentuk dan ukuran
dari partikel penyusun. Struktur permukaan sampel dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Gambar 4. 2 Gambar (Secondary Electron) SE Permukaan Sampel (a) NiCrAl, (b)
NiCrAlY, (c) NiCrAlYSi
Berdasarkan gambar di atas, dapat diamati sampel sebelum pengujian
oksidasi yaitu sampel (a) NiCrAl terdapat partikel yang belum meleleh sedangkan
sampel (b) NiCrAlY dan sampel (c) NiCrAlYSi terlihat sampel yang meleleh
disebabkan proses heat treatment 1100 oC selama 4 jam, sehingga pada sampel (a)
Partikel tidak
meleleh
Partikel meleleh
Partikel meleleh
(b) (c) (a)
Sebelum
Sesudah
Page 79
63
NiCrAl dapat dikatakan kurang homogen karena masih terdapatnya partikel yang
belum meleleh.
Pada sampel setelah dilakukan pengujian oksidasi tampak perubahan
morfologi dari ketiga sampel. Pada ketiga sampel tersebut tampak terdapat bagian
yang lebih tinggi dibanding dengan bagian lain. Morfologi sampel setelah
pengujian oksidasi tampak berbeda dari sampel sebelum oksidasi yaitu tampak
struktur berupa bunga brokoli (cauliflower structure) yang tersebar merata di
seluruh permukaan sampel setelah oksidasi, sehingga dengan terbentuknya
struktur tersebut dapat dikatakan bahwa lapisan oksida terbentuk di atas
permukaan lapisan.
3.3.2 Morfologi Penampang melintang
Pada morfologi penampang melintang menggunakan hamburan Back
Scettered Electron (BSE). Di mana hamburan ini berfungsi untuk menangkap
informasi mengenai nomor atom serta topologi. Berikut adalah gambar SEM BSE
sampel.
Page 80
64
Gambar 4. 3 SEM BSE Penampang Melintang Sampel (a) NiCrAl, (b) NiCrAlY,
(c) NiCrAlYSi
Berdasarkan gambar tersebut ketebalan sampel hampir sama yaitu di atas
200 μm. Sampel (a) NiCrAl sebelum dilakukan pengujian oksidasi memiliki
ketebalan 280 μm. Terdapat banyak pengendapan unsur tahan api (molibdenum)
pada daerah lapisan pelapis dekat permukaan substrat. Unsur tahan api ini berasal
dari substrat Hastelloy C-276. Pada sampel ini terdapat Secondary Reaction Zone
(SRZ) setinggi 75 μm. Pada sampel (b) NiCrAlY mempunyai ketebalan lapisan
pelapis sekitar 230 μm. Tedapat beberapa daerah pengendapan unsur tahan api
pada sampel ini, serta SRZ setinggi 72 μm. Sedangkan pada sampel (c)
NiCrAlYSi tebal lapisan pelapis sekitar 239 μm dengan SRZ 59 μm. Pada sampel
ini tidak ditemukan adanya pengendapan unsur tahan api.
Setelah dilakukan pengujian oksidasi sampel NiCrAl memiliki ketebalan
243 μm dengan SRZ 75 μm. Pada sampel ini juga terdapat daerah pengendapan
unsur tahan api, serta oksida interface yang cukup banyak. Sampel NiCrAlY
mempunyai ketebalan lapisan pelapis sebesar 209 μm dengan SRZ 5 μm. Pada
Page 81
65
sampel ini pengendapan unsur tahan api sangat kecil serta beberapa oksida
interface. Sampel NiCrAlYSi mempunyai ketebalan lapisan pelapis 273 μm
dengan SRZ 46 μm. Pada sampel ini tidak ditemukan adanya endapan unsur tahan
api serta terdapat beberapa oksida interface.
Melalui pengamatan dari ketiga sampel sebelum dan sesudah oksidasi
diketahui bahwa pada sampel NiCrAl terdapat endapan unsur tahan api lebih
banyak dibanding sampel NiCrAlY dan NiCrAlYSi. Unsur tahan api seperti W,
Ta, Re, dan Mo banyak terdapat pada superalloy. Pengendapan unsur tahan api
akan mengakibatkan crack dini dan menyebabkan pengelupasan lapisan pelapis.
Hal ini sesuai dengan kondisi sampel (Gambar 4.1) di mana sampel NiCrAl
terjadi pengelupasan pada lapisan pelapis.
SRZ terdapat pada semua sampel setelah dilakukan heat treatment, namun
sampel NiCrAl mempunyai SRZ yang lebih banyak. Pada SRZ terdapat
pengendapan unsur tahan api. Unsur-unsur tersebut mengendap keluar sebagai
karbida disebabkan kelarutannya yang rendah pada SRZ [22][48]. Pengendapan
ini meningkatkan ketahanan creep pada superalloy disebabkan pengendapan ini
memperkecil batas butir [8]. Namun kuantitas pengendapan yang berlebihan
mengurangi sifat mekanis pada superalloy [22][48]. Mekanisme munculnya
oksida interface digambarkan melalui persamaan (4.1) sampai (4.3)
2 γ′-Ni3Al 6 γ-Ni + 2[Al] (4.1)
[Al] + [N] = AlN (4.2)
2AlN + 3[O] = Al2O3 + 2[N] (4.3)
Page 82
66
Oksida interface merupakan produk oksida yang terdapat pada bagian
interface. Oksida interface ini diawali dengan pengendapan aluminium yang
kemudian mengurangi komposisi γ′-Ni3Al, hal ini membuat efek yang merugikan
untuk performa sistem pelapis, disebabkan pengurangan γ′-Ni3Al akan
mengurangi ketahanan creep superalloy [2]. Oksida interface dapat memperburuk
tegangan internal pada bagian interface dimana dapat menyebabkan kegagalan
sistem perintang termal [2].
Melalui pengamatan di atas, dapat disimpulkan sampel NiCrAl mudah
mengalami kegagalan sistem perintang termal disebabkan banyaknya endapan
unsur tahan api pada pelapis maupun substrat serta banyaknya oksida interface
pada bagian antar muka antara pelapis dengan substrat.
3.3.3 Morfologi lapisan oksida
Ketahanan oksidasi lapisan pengikat NiCrAl dipengaruhi oleh kondisi
Termally Grown Oxide (TGO) di mana TGO adalah lapisan oksida protektif. Oleh
karena itu, diambil gambar morfologi pada lapisan oksida ketiga sampel setelah
pengujian oksidasi. Pengambilan gambar ini menggunakan hamburan Back
Scatter Electron (BSE) untuk mendapatkan informasi mengenai unsur yang
terdapat pada sampel.
Page 83
67
Gambar 4.4 SEM BSE dan EDS mapping lapisan oksida (a) NiCrAl, (b)
NiCrAlY, (c) NiCrAlYSi
Berdasarkan data gambar 4.4 di atas dapat diketahui bahwa ketiga sampel
terdapat lapisan kontinu (berwarna hitam) yang berada di atas permukaan lapisan
pengikat. Lapisan kontinu tersebut adalah Al2O3 yang merupakan lapisan oksida
protektif. Hal ini diketahui melalui data EDS mapping yang terletak di bawah
masing-masing gambar lapisan oksida di mana EDS mapping ini menunjukkan
kandungan unsur tertentu pada gambar. Unsur alumina pada gambar ditunjukkan
dengan warna kuning, sedangkan unsur oksigen ditunjukkan dengan warna merah.
Selain itu pada ketiga sampel tersebut bagian di atas lapisan Al2O3 terdapat mixed
oxides (oksida campuran) yang berwarna abu-abu tua. Hal ini diketahui melalui
data EDS mapping. Pada ketiga sampel tersebut bagian yang berada di atas
lapisan Al2O3 dan berwarna abu-abu tua terdiri dari unsur nikel (biru), kromium
(hijau), sedikit aluminium (kuning), serta oksigen (merah).
Sampel NiCrAl mempunyai lapisan Al2O3 dengan ketebalan kurang lebih
1.03 μm. Lapisan ini tampak kontinu di atas permukaan lapisan pengikat, namun
Rumpling
Rumpling
Page 84
68
rumpling. Pada sampel NiCrAl terdapat mixed oxide di atas lapisan Al2O3.
Lapisan oksida ini tampak cukup kontinu di atas lapisan protektif Al2O3 dengan
kuantitas yang kecil.
Pada sampel (b) NiCrAlY, lapisan Al2O3 mempunyai ketebalan sekitar 1.8
μm. Lapisan protektif ini tampak kontinu dan halus/tidak rumpling. Kondisi mixed
oxides pada sampel ini terdapat di beberapa titik di atas lapisan protektif Al2O3
dengan kuantitas yang cukup banyak.
Lapisan Al2O3 pada sampel (c) NiCrAlYSi mempunyai ketebalan 1.7 μm.
Kondisi lapisan ini tidak kontinu serta di beberapa titik terdapat oksida yang
rumpling. Pada bagian di atas lapisan Al2O3 terdapat mixed oxides dengan
kuantitas yang lebih banyak dibanding sampel NiCrAl dan NiCrAlY.
Berdasarkan pengamatan pada ketiga sampel tersebut dapat diketahui bahwa
ada beberapa kondisi lapisan TGO (Al2O3) kontinu, tidak kontinu, serta rumpling.
Kondisi-kondisi tersebut ada yang bersifat menguntungkan maupun merugikan
terhadap ketahanan sistem perintang termal. Kondisi kontinu pada lapisan Al2O3
merupakan kondisi yang diharapkan untuk meningkatkan ketahanan oksidasi
sistem perintang termal, sedangkan kondisi tidak kontinu dapat menyebabkan
kegagalan sistem perintang termal disebabkan terdapatnya celah difusi oksigen
pada sampel. Hal tersebut sama halnya untuk kondisi rumpling Al2O3. Kondisi ini
merupakan kondisi yang tidak diharapkan dikarenakan dapat menyebabkan
kegagalan sistem perintang termal [17].
Melalui hal tersebut dapat diketahui bahwa sampel dengan kondisi Al2O3
yang kontinu dan tidak rumpling menghasilkan ketahanan oksidasi yang baik.
Page 85
69
Telah diamati bahwa sampel dengan kondisi Al2O3 seperti itu dimiliki oleh
sampel (b) NiCrAlY, sedangkan sampel NiCrAl dan NiCrAlYSi memiliki kondisi
lapisan Al2O3 yang dapat menyebabkan kegagalan sistem perintang termal.
Ketiga sampel tersebut menghasilkan mixed oxides yang berada di atas
lapisan Al2O3. Keberadaan mixed oxides pada lapisan pengikat menjadikan tempat
ini sebegai nukleasi crack yang dapat mengawali spalasi dini lapisan pengikat
pada sistem perintang termal [12]. Disebabkan oleh penambahan volume mixed
oxides secara cepat menjadikan fasa ini tidak baik/merugikan terhadap sistem
perintang termal [12].
Oleh karena itu, sampel NiCrAlY merupakan sampel dengan ketahanan
oksidasi yang lebih baik dibanding sampel NiCrAl dan NiCrAlYSi.
4.4 Identifikasi Fasa
Identifikasi fasa yang terbentuk pada sampel dapat dilakukan melalui pola
difraksi sinar-X yang disajikan pada Gambar 4.5 yang merupakan hasil dari
penembakan sinar-X terhadap masing-masing sampel menggunakan alat X-Ray
Diffractometer (XRD). Analisa fasa pada sampel ini menggunakan perangkan
lunak High Score Plus serta analisa manual melalui pencocokan d-spacing fasa.
Page 86
70
Gambar 4.5 Pola Difraksi Sinar X (a.1) NiCrAl Sebelum, (a.2) NiCrAl Setelah
Pengujian Oksidasi, dan (a.3) Bagian NiCrAl yang Rontok (b.1) NiCrAlY
Sebelum, dan (b.2) NiCrAlY Setelah Pengujian Oksidasi, (c.1) NiCrAlYSi
Sebelum, dan (c.2) NiCrAlYSi Setelah Pengujian Oksidasi
Berdasarkan hasil identifikasi fasa menggunakan software High Score Plus
dan melalui pencocokan d-spacing fasa dapat diketahui bahwa sampel NiCrAl
setelah dilakukan heat treatment dan sebelum dilakukan pengujian oksidasi
terdapat fasa γ-Ni, γ′-Ni3Al, Cr2O3, dan θ-Al2O3 sedangkan pada sampel NiCrAlY
dan NiCrAlYSi hanya terdapat fasa γ-Ni, γ′-Ni3Al, dan α-Al2O3.
Setelah pengujian oksidasi, fasa yang terdapat pada sampel NiCrAl adalah
γ-Ni, γ′-Ni3Al, dan NiCr2O4. Sedangkan pada sampel NiCrAlY fasa yang
dihasilkan adalah γ-Ni, γ′-Ni3Al, NiCr2O4, θ-Al2O3, serta α-Al2O3. Fasa yang sama
Page 87
71
dihasilkan oleh sampel NiCrAlYSi yaitu γ-Ni, γ′-Ni3Al, NiCr2O4, θ-Al2O3, serta α-
Al2O3. Berikut adalah posisi fasa dan d-spacing
Tabel 4.3 Posisi 2θ, d-spacing, dan fasa yang teridentifikasi
Sampel 2θ d-spacing Fasa
(a.1) NiCrAl
sebelum oksidasi
24.587 3.61780 Cr2O3
33.671 2.65963 Cr2O3
36.24 2.47687 Cr2O3
40.40 2.23103 θ-Al2O3
43.819 2.06435 γ-Ni, γ′-Ni3Al, Cr2O3
51.04 1.78809 γ-Ni, γ′-Ni3Al, θ-Al2O3
54.95 1.66975 Cr2O3, θ-Al2O3
74.93 1.26629 γ-Ni, γ′-Ni3AlS
(a.2) NiCrAl
setelah oksidasi
36.17 2.48122 NiCr2O4
44.141 2.05006 γ-Ni, γ′-Ni3Al, NiCr2O4
51.387 1.77671 γ-Ni, γ′-Ni3Al
75.58 1.25703 γ-Ni, γ′-Ni3Al, NiCr2O4
(a.3) NiCrAl
rontokan
30.866 2.89466 NiCr2O4, δ-Al2O3
35.90 2.49978 NiCr2O4
37.235 2.46128 θ-Al2O3, δ-Al2O3
41.58 2.17010 δ-Al2O3
43.268 2.08938 NiCr2O4, α-Al2O3
52.29 1.74817 α-Al2O3
54.52 1.68191 NiCr2O4, θ-Al2O3
62.851 1.47741 NiCr2O4, θ-Al2O3
65.57 1.42263 α-Al2O3, θ-Al2O3
75.36 1.26014 NiCr2O4, α-Al2O3
Page 88
72
(b.1) NiCrAlY
sebelum oksidasi
35.7 2.51286 γ′-Ni3Al
44.062 2.05354 γ-Ni, γ′-Ni3Al
51.306 1.77930 γ-Ni, γ′-Ni3Al
57.55 1.60016 γ′-Ni3Al, α-Al2O3
75.45 1.25890 γ-Ni, γ′-Ni3Al, α-Al2O3
(b.2) NiCrAlY
setelah oksidasi
30.53 2.92591 NiCr2O4
36.05 2.48956 NiCr2O4
43.716 2.06899 γ-Ni, γ′-Ni3Al, NiCr2O4
50.86 1.79383 Ni3Al, θ-Al2O3
57.78 1.59448 γ′-Ni3Al, NiCr2O4, α-Al2O3
63.66 1.46061 γ′-Ni3Al, NiCr2O4, θ-Al2O3
74.80 1.26824 γ-Ni, γ′-Ni3Al, NiCr2O4, α-
Al2O3
(c.1) NiCrAlYSi
sebelum oksidasi
35.69 2.51392 γ′-Ni3Al
44.058 2.05370 γ-Ni, γ′-Ni3Al, α-Al2O3
51.30 1.77938 γ-Ni, γ′-Ni3Al
75.30 1.26099 γ-Ni, γ′-Ni3Al, α-Al2O3
(c.2) NiCrAlYSi
setelah oksidasi
30.63 2.91674 NiCr2O4
36.10 2.48580 NiCr2O4
43.985 2.05696 γ-Ni, γ′-Ni3Al, NiCr2O4, α-
Al2O3
51.21 1.78238 γ-Ni, γ′-Ni3Al, θ-Al2O3
57.78 2.91674 γ′-Ni3Al, NiCr2O4, α-Al2O3
63.9171 1.45530 γ′-Ni3Al, NiCr2O4, θ-Al2O3
75.38 1.25993 γ-Ni, γ′-Ni3Al, NiCr2O4, α-
Al2O3
Page 89
73
Pada data hasil identifikasi fasa, terlihat bahwa fasa γ-Ni dengan γ′-Ni3Al
terjadi pelebaran (broadening) peak dan saling tumpang tindih (overlap). Hal ini
dapat disebabkan ukuran butir yang kecil pada sampel [49]. Fasa γ-Ni yang
terbentuk pada seluruh sampel sebelum maupun setelah oksidasi menjadikan
sampel mempunyai sifat mekanik yang tinggi [23]. Fasa γ′-Ni3Al juga terbentuk
pada seluruh sampel. Fasa ini merupakan fasa yang biasa terbentuk pada paduan
NiCrAl setelah proses heat treatment. Fasa ini membantu terbentuknya Al2O3
selama proses oksidasi. γ′-Ni3Al yang terbentuk sebelum dan sesudah oksidasi
menunjukkan γ′-Ni3Al aktif dalam membantu menyediakan Al untuk proses
pembentukan Al2O3 selama proses oksidasi. Mekanisme pembentukan Al2O3
melalui γ′-Ni3Al dapat dilihat pada persamaan (4.4).
2 γ′-Ni3Al + 3[O] Al2O3 + 6Ni (4.4)
Pada sampel sebelum setelah heat treatment selama 4 jam pada suhu
1100oC terbentuk produk oksida yaitu alumina (Al2O3) pada ketiga sampel dan
kromia (Cr2O3) pada sampel NiCrAl. Fasa ini telah terbentuk pada sampel
sebelum proses oksidasi yang disebabkan terperangkapnya oksigen pada lapisan
pengikat saat proses High Velocity Oxy Fuel (HVOF), sehingga oksigen bereaksi
dengan unsur lain kemudian menghasilkan oksida pada lapisan pengikat.
Sebelum dilakukan proses oksidasi, fasa alumina ditemukan pada seluruh
sampel, di mana sampel NiCrAl mengandung θ-Al2O3, sedangkan sampel
NiCrAlY dan NiCrAlYSi mengandung α-Al2O3. Fasa alumina merupakan salah
satu oksida protektif. Terbentuknya fasa ini selain dari fasa γ′-Ni3Al, juga
terbentuk dari unsur aluminium (Al) itu sendiri (4.5). Fasa ini terdiri dari beberapa
Page 90
74
jenis, antara lain: γ-Al2O3, δ-Al2O3, θ-Al2O3, dan α-Al2O3. Fasa γ-Al2O3, δ-Al2O3
dan θ-Al2O3 bersifat metastabil, sedangkan fasa α-Al2O3 bersifat stabil [50].
Pembentukan fasa stabil α-Al2O3 terjadi pada suhu di atas 1100 oC atau dengan
durasi oksidasi yang lama. Fasa stabil α-Al2O3 nyaris menghentikan difusi
oksigen selanjutnya, sehingga fasa ini yang diharapkan terbentuk pada sampel
untuk aplikasi suhu tinggi. Pada sampel NiCrAl ditemukan fasa metastabil
alumina yaitu θ-Al2O3, sedangkan pada sampel NiCrAlY dan NiCrAlYSi
ditemukan fasa stabil alumina α-Al2O3.
2Al + (3/2)O2 Al2O3 (4.5)
Pada sampel NiCrAl sebelum oksidasi ditemukan fasa Cr2O3. Fasa ini
merupakan salah satu oksida protektif. Terbentuknya fasa Cr2O3 dikarenakan
tingginya afinitas oksigen dengan unsur kromium, ∆Hf (Cr2O3) = 1139.7 kJ/mol
[2]. Fasa Cr2O3 akan menguap pada suhu di atas 800 oC, oleh karena itu fasa
Cr2O3 tidak ditemukan pada sampel setelah uji oksidasi. Mekanisme pembentukan
Cr2O3 dapat dilihat pada persamaan (4.6).
2[Cr] + 3[O] Cr2O3 (4.6)
Fasa Cr2O3 tidak ditemukan pada sampel NiCrAlY dan NiCrAlYSi sebelum
oksidasi, namun pada sampel tersebut ditemukan fasa α-Al2O3. Sedangkan pada
sampel NiCrAl hanya terbentuk fasa metastabil θ-Al2O3. Hal ini dikarenakan fasa
α-Al2O3 yang terbentuk pada sampel NiCrAlY dan NiCrAlYSi nyaris
menghentikan difusi oksigen ke arah dalam sampel maupun difusi ion dalam
sampel ke arah luar, sehingga tidak terbentuknya fasa Cr2O3 pada sampel
menunjukkan fasa α-Al2O3 mampu mengisolasi ion kromia untuk tidak berdifusi
Page 91
75
ke luar. Melalui database COD-9007634 untuk α-Al2O3 dan COD-1200005 untuk
θ-Al2O3 diketahui bahwa fasa α-Al2O3 mempunyai struktur kristal rhombohedral,
sedangkan fasa θ-Al2O3 mempunyai struktur kristal monoklinik. α-Al2O3 disebut
fasa stabil karena fasa ini tidak mengalami perubahan struktur kristal, sedangkan
fasa metastabil alumina (contoh: θ-Al2O3) mempunyai struktur kristal yang dapat
berubah. Perubahan struktur kristal ini memungkinkan terjadinya perpindahan
kation (Al3+
) sehingga besar kemungkinan terjadinya defect yaitu Frenkel Defect
(kekosongan kation dan pasangan kation interstitial) maupun Shottky Defect
(kekosongan kation dan anion). Hal ini membuat α-Al2O3 lebih stabil dibanding θ-
Al2O3 dan nyaris menghentikan difusi ion dari luar maupun dalam.
Gambar 4.6 Struktur Kristal α-A2O3
Gambar 4.7 Struktur Kristal θ-Al2O3
Melalui hal ini diketahui bahwa sebelum pengujian oksidasi, sampel
NiCrAlY dan NiCrAlYSi memiliki potensi ketahanan oksidasi yang baik karena
terbentuknya fasa stabil alumina (α-Al2O3), sedangkan pada sampel NiCrAl hanya
terbentuk fasa metastabil alumina (θ-Al2O3) dan oksida kromium (Cr2O3). Hal ini
sesuai dengan pernyataan bahwa penambahan elemen reaktif mampu menentukan
elemen yang protektif dalam nukleasi pembentukan oksida protektif.
Diamond Demonstration Diamond Demonstration
Page 92
76
Setelah pengujian oksidasi, ketiga sampel menghasilkan produk oksida
NiCr2O4. Fasa NiCr2O4 termasuk ke dalam grup spinel. Fasa ini merupakan
produk oksida yang terdiri lebih dari satu unsur atau dapat dikatakan oksida
campuran/mixed oxides. Hal ini sesuai dengan morfologi lapisan oksida (Gambar
4.2) di mana ketiga sampel menghasilkan mixed oxides di atas lapisan Al2O3.
Mekanisme pembentukan NiCr2O4 dapat dilihat pada persamaan (4.7). Mixed
oxides dapat terjadi karena pada awal proses oksidasi, oksigen cepat bereaksi
dengan Al, Cr, dan Ni pada permukaan pelapis untuk membentuk lapisan oksida
eksternal yang terdiri dari campuran alumina, kromia, dan NiO [2] [51]. Sehingga
oksida eksternal ini dapat bersifat protektif disebabkan menghalangi penetrasi
oksigen ke daerah interface [2]. Namun, terbentuknya mixed oxides yang
berlebihan dapat mengurangi kekuatan fatigue pada lapisan pengikat [8]. Hal ini
disebabkan mixed oxides menimbulkan dan menjadi tempat penyebaran crack [8].
Oleh karena itu terbentuknya mixed oxides (NiCr2O4) yang berlebihan pada
permukaan lapisan pengikat tidak diharapkan.
NiO + Cr2O3 NiCr2O4 (4.7)
Berdasarkan gambar SEM penampang melintang/cross section (Gambar
4.4) dapat dilihat bahwa sampel NiCrAlYSi memiliki mixed oxides yang lebih
banyak dibanding sampel lain. Hal ini sesuai dengan data perubahan massa per
jam (Tabel 4.1) di mana massa NiCrAlYSi lebih besar jika dibandingkan dengan
sampel NiCrAlY. Oleh karena itu dapat dinyatakan sampel NiCrAlYSi mudah
timbulnya crack dikarenakan mixed oxides yang berlebihan.
Page 93
77
Setelah pengujian oksidasi pada sampel NiCrAl (a.2) tidak ditemukan fasa
alumina, sedangkan pada sampel NiCrAlY dan NiCrAlYSi terdapat fasa alumina
(θ-Al2O3 dan α-Al2O3). Oksida protektif seperti alumina dan kromia diharapkan
muncul pada permukaan sampel pada saat oksidasi. Oksida protektif ini berfungsi
untuk menghambat difusi oksigen selanjutnya. Pada sampel NiCrAl tidak
ditemukan adanya oksida protektif. Oksida protektif justru ditemukan pada bagian
sampel NiCrAl yang rontok (a.3) di mana terdapat tiga jenis fasa alumina yaitu δ-
Al2O3, θ-Al2O3, dan α-Al2O3. Timbulnya tiga jenis alumina disebabkan perubahan
yang belum sempurna dari metastabil alumina menjadi stabil alumina. Oksida
protektif (alumina) yang tidak terdapat pada sampel NiCrAl namun terdapat pada
bagian NiCrAl yang rontok menujukkan lapisan oksida protektif memiliki nilai
adhesivitas yang rendah, sehingga lapisan oksida protektif mudah rontok. Hal ini
menjawab sebab penurunan massa pada sampel NiCrAl yang ditunjukkan pada
Gambar 4.1 dan Tabel 4.2. Sedangkan pada sampel NiCrAlY dan NiCrAlYSi
terdapat fasa metastabil θ-Al2O3 serta fasa stabil α-Al2O3. Sampel tersebut juga
tidak mengalami penurunan massa (Gambar 4.1 dan Tabel 4.2) yang
menunjukkan hampir tidak adanya bagian yang rontok pada sampel. Hal ini
menunjukkan lapisan oksida protektif pada sampel NiCrAlY dan NiCrAlYSi
mempunyai nilai adhesivitas yang tinggi sehingga mampu mencegah difusi
oksigen dengan baik.
Berdasarkan identifikasi fasa tersebut dapat dinyatakan bahwa sampel
NiCrAlY dan NiCrAlYSi memiliki lapisan oksida protektif yang lebih baik
dibanding sampel NiCrAl. Hal ini sesuai dengan kurva perubahan massa (Gambar
Page 94
78
4.1) yang telah dijabarkan di atas. Berdasarkan kurva perubahan massa dapat
diketahui sampel (b) NiCrAlY dan sampel (c) NiCrAlYSi mengalami perubahan
massa yang stabil dimulai dari durasi tes ke 31 jam hingga 100 jam. Berbeda
halnya dengan sampel NiCrAl di mana mengalami massa stabil pada durasi tes ke
15 jam hingga 31 jam. Hal ini disebabkan pada sampel NiCrAlY dan NiCrAlYSi
terdapat fasa stabil α-Al2O3, sehingga difusi oksigen nyaris terhenti. Pernyataan
ini sesuai dengan data perubahan massa per jam (Tabel 4.2) di mana perubahan
massa pada sampel NiCrAlY adalah 0.134 mg/cm2.h dan NiCrAlYSi sebesar
0.213 mg/cm2.h. Perubahan massa ini lebih kecil dibanding perubahan massa pada
sampel NiCrAl yaitu 0.377 mg/cm2.h. Hal ini membuktikan difusi oksigen dari
sampel NiCrAl lebih banyak dibanding sampel NiCrAlY dan NiCrAlYSi.
Page 95
79
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan tujuan yang telah dirumuskan dalam penelitian maka dapat
ditarik kesimpulan:
1. Sistem lapisan NiCrAlY dan NiCrAlYSi dapat meningkatkan ketahanan
oksidasi 1000 oC selama 100 jam terhadap logam berbasis nikel (Hastelloy C-
276). Hal ini ditandai pada sampel tersebut dengan tidak adanya lapisan
coating yang rontok pada logam Hastelloy C-276, sedangkan pada logam
dengan pelapis NiCrAl terjadi spalasi lapisan coating. Sistem lapisan NiCrAlY
memiliki ketahanan oksidasi yang lebih baik dibanding sistem pelapis lainnya
dengan perubahan massa sebesar ±2.43 mg/cm2 setelah oksidasi 100 jam.
2. Struktur mikro pada permukaan sampel sebelum oksidasi masih berupa partikel
serbuk yang homogen dan terdapat bagian partikel serbuk yang meleleh,
setelah proses oksidasi struktur sampel berupa bunga brokoli (cauliflower
structure) yang tersebar merata di permukaan sampel. Struktur mikro
penampang melintang sebelum oksidasi tampak belum banyak oksigen yang
difusi ke permukaan maupun lapisan coating, setelah proses pengujian oksidasi
terlihat banyak oksigen yang difusi ke permukaan maupun lapisan coating.
Lapisan oksida protektif dan oksida campuran lebih tebal pada sampel setelah
pengujian oksidasi. Dilihat dari mikrostruktur, lapisan oksida protektif (Al2O3)
NiCrAlY lebih baik dibanding sampel laiinya disebabkan Al2O3 yang terbentuk
Page 96
80
kontinu, tidak rumpling, dengan ketebalan yang cukup yaitu ±1.8 μm. Setelah
pengujian oksidasi muncul fasa spinel NiCr2O4 yang bersifat merugikan
apabila berlebih. Pada sampel NiCrAlYSi fasa spinel lebih banyak dibanding
sampel lainnya, sehingga sampel ini mudah mengalami crack.
3. Fasa yang terindentifikasi pada sampel sebelum oksidasi adalah γ-Ni, γ′-Ni3Al,
θ-Al2O3, Cr2O3 untuk sampel NiCrAl dan γ-Ni, γ′-Ni3Al, α-Al2O3 untuk sampel
NiCrAlY dan NiCrAlYSi. Fasa setelah proses pengujian oksidasi adalah γ-Ni,
γ′-Ni3Al, NirCr2O4 untuk sampel NiCrAl dan fasa pada rontokan sampel
NiCrAl adalah δ-Al2O3, θ-Al2O3, α-Al2O3, dan NiCr2O4. Pada sampel NiCrAlY
dan NiCrAlYSi fasa yang terbentuk adalah adalah γ-Ni, γ′-Ni3Al, α-Al2O3, dan
NirCr2O4. Hal ini menunjukkan pada sampel NiCrAl lapisan oksida protektif
memiliki nilai adhesivitas yang rendah sehingga menimbulkan spalasi/rontok.
4. Penyebab sistem lapisan NiCrAlY, NiCrAlYSi lebih tahan terhadap oksidasi
dikarenakan tambahan elemen reaktif Y dan YSi pada lapisan pengikat.
Elemen reaktif ini mampu menentukan elemen yang protektif dalam nukleasi
pembentukan oksida protektif, sehingga terbentuknya oksida protektif yang
bersifat stabil. Elemen ini dapat meningkatkan nilai adhesivitas antara lapisan
oksida protektif dengan lapisan coating.
5.2 Saran
Berdasarkan pengalaman penelitian yang dilakukan, maka ada beberapa saran
untuk penelitian selanjutnya, yaitu:
Page 97
81
1. Serbuk pelapis yang digunakan berukuran kecil (berukuran kurang dari 50 μm)
untuk mengurangi porositas pada lapisan coating, sehingga menghambat difusi
oksigen.
2. Tungku heat treatment yang digunakan dalam keadaan vakum untuk
menaikkan ketahanan oksidasi sampel.
Page 98
DAFTAR REFERENSI
[1] L. H. V. Vlack, Elemen-elemen Ilmu dan Rekayasa Material. Jakarta:
Erlangga, 2004.
[2] Y. Z. Liu, X. B. Hu, S. J. Zheng, Y. L. Zhu, H. Wei, and X. L. Ma,
“Microstructural evolution of the interface between NiCrAlY coating and
superalloy during isothermal oxidation,” vol. 80, pp. 63–69, 2015.
[3] V. Kumar and K. Balasubramanian, “Progress in Organic Coatings
Progress update on failure mechanisms of advanced thermal barrier
coatings : A review,” Prog. Org. Coatings, vol. 90, pp. 54–82, 2016.
[4] W. Stamm and M. an der Ruhr, “Layer System With Layer Having
Different Grain Sizes,” US 0160269 A1, 2008.
[5] M. Majid, J. Sirus, K. Akira, S. Korush, J. J. Ahmad, and K. Iman, “Cyclic
Oxidation Behavior of CoNiCrAlY Coatings Produced by,” vol. 40, no. 1,
pp. 53–58, 2011.
[6] N. S. Jacobson and J. L. Smialek, “Oxidation of High Temperature
Aerospace Materials,” NASA Glenn Res. Cent., 2014.
[7] M. J. Donachie and S. J. Donachie, Superalloys: A Technical Guide, 2nd
Edition. ASM International, 2002, p. 8.
Page 99
[8] J. D. Osorio, A. Toro, and J. P. Hernandes-Ortiz, “Thermal Barrier
Coatings for Gas Turbine Applications: Failure Mechanisms and Key
Microstructural Features,” vol. 79, 2012.
[9] A. Tjahjono, Fisika Logam dan Alloy. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2013.
[10] M. S. Hussain, S. A. Swailem, and A. Hala, “Advanced Nanocomposites
for High Temperature Aero-Engine/Turbine Components,” J.
Nanofacturing, vol. 4, pp. 248–256, 2009.
[11] J. Davis, Handbook of Thermal Spray Technology. Materials Park, Ohio:
ASM International, 2004, pp. 3–13.
[12] M. Daroonparvar, “Effects of bond coat and top coat (including nano
zones) structures on morphology and type of formed transient stage oxides
at pre-heat treated nano NiCrAlY/nano ZrO 2-8% Y2O3 interface during
oxidation,” J. Rare Earths, vol. 33, no. 9, pp. 983–994, 2015.
[13] J. Stringer, “The Reactive Element Effect in High-temperature Corrosion,”
vol. 20, pp. 129–137, 1989.
[14] K. Ishii, M. Kohno, S. Ishikawa, and S. Satoh, “Effect of Rare-Earth
Elements on High-Temperature Oxidation Resistance.pdf,” Mater. Trans.,
vol. 38, pp. 787–792, 1997.
[15] H. J. Grabke, M. Siegers, and V. K. Tolpygo, “Oxidation of Fe-Cr-Al and
Fe-Cr-Al-Y Single Crystals,” vol. 227, pp. 217–227, 1995.
Page 100
[16] M. A. Montealegre, G. Strehl, J. L. Gonzalez-Carrasco, and G. Borchardt,
“Oxidation behaviour of novel ODS FeAlCr intermetallic alloys,”
Intermetallics, vol. 13, no. 8, pp. 896–906, 2005.
[17] J. Wang, M. Chen, L. Yang, L. Liu, S. Zhu, and F. Wang, “The effect of
yttrium addition on oxidation of a sputtered nanocrystalline coating with
moderate amount of tantalum in composition,” Appl. Surf. Sci., vol. 366,
pp. 245–253, 2016.
[18] J. Cao, J. Zhang, Y. Hua, R. Chen, Z. Li, and Y. Ye, “Surface & Coatings
Technology Microstructures and isothermal oxidation behaviors of
CoCrAlYTaSi coating prepared by plasma spraying on the Ni-based
superalloy GH202,” SCT, vol. 311, pp. 19–26, 2017.
[19] D. R. Clarke, M. Oechsner, and N. P. Padture, “Thermal-barrier coatings
for more efficient gas-turbine engines,” pp. 891–898, 2017.
[20] A. S. Khanna, Introduction to High Temperature Oxidation and Corrosion.
Delhi: ASM International, 2002.
[21] Palgren, Gary, and M. Saint Paul, “Fused Abrasive Bodies Comprising an
Oxygen Scavenger Metal,” 2004.
[22] N. Mu, “High temperature oxidation behavior of [gamma]-Ni + [gamma]‟-
Ni3Al alloys and coatings modified with Pt and reactive elements by,”
2007.
Page 101
[23] X. Yang, X. Peng, C. Xu, and F. Wang, “Electrochemical Assembly of Ni
– x Cr – y Al Nanocomposites with Excellent High-Temperature Oxidation
Resistance,” 2009.
[24] D. Naumenko, B. A. Pint, and W. J. Quadakkers, “Current Thoughts on
Reactive Element Effects in Alumina-Forming Systems : In Memory of
John,” Oxid. Met., vol. 86, no. 1, pp. 1–43, 2016.
[25] S. Zhou, D. Chai, J. Yu, G. Ma, and D. Wu, “Microstructure characteristic
and mechanical property of pulsed laser lap-welded nickel-based superalloy
and stainless steel,” J. Manuf. Process., vol. 25, pp. 220–226, 2017.
[26] M. J. Cieslak, T. J. Headley, and A. D. Romig, “The Welding Metallurgy
of HASTELLOY,” Metall. Trans., vol. 17, no. November, pp. 2035–2047,
1986.
[27] D. P. Triharto, “Studi ketahanan korosi SUS 316L, SUS 317L, SUS 329J,
dan Hasteloy C-276 dalam asam asetat yang mengandung ion bromide,”
Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, 2010.
[28] B. Utomo, “Jenis korosi dan penanggulangannya,” vol. 6, no. 2, pp. 138–
141, 2009.
[29] L. B. Pfeil, “Improvements in Heat Resistant Alloys,” U.K. Patent No.
459848, 1973.
Page 102
[30] B. A. Pint, “Progress in Understanding the Reactive Element Effect Since
the Whittle and Stringer Literature Review,” in John Stringer Symposium
on High Temperature Corrosion, 2001, pp. 1–10.
[31] A. M. Hunts, “Effect of Active Elements on The Oxidation Behaviour of
Al2O3-Formers, The Role of Active Elements in the Oxidation Behaviour
of High Temperature Metals and Alloys,” Elseiver Appl. Sci., 1989.
[32] D. P. Moon and M. J. Bennett, “The Effects of Reactive Element Oxide
Coatings on the Oxidation Behaviour of Metals and Alloys at High
Temperatures,” Mater. Sci. Forum, vol. 43, pp. 269–298, 1989.
[33] D. P. Whittle and J. Stringer, “Improvements in High Temperature
Oxidation Resistance by Addition of Reactive Elements or Oxide
Dispersions,” Philos. Trans. R. Soc. London, vol. 295, pp. 309–329, 1980.
[34] H. J. Grabke, M. Siegers, and V. K. Tolpygo, “Oxidation of Fe-Cr-Al and
Fe-Cr-Al-YS in the Crystals,” Z. Naturforsch, vol. 227, pp. 217–227, 1995.
[35] I. Kazuhide, K. Masaaki, I. Shin, and S. Susumu, “Effect of Rare-Earth
Elements on High-Temperature Oxidation Resistance of Fe–20Cr–5Al
Alloy Foils,” Mater. Trans. JIM, vol. 38, pp. 787–792, 1997.
[36] D. Corbridge, Phosphorus: Chemistry, Biochemistry and Technology,
Sixth. New York: CRC Press, 2016.
Page 103
[37] B. Prawara, High Velocity Oxygen Fuel (HVOF) Thermal Spray Coating
System. Bandung, 2017.
[38] H. Sarjas, P. Kulu, K. Juhani, and M. Viljus, “Wear resistance of HVOF
sprayed coatings from mechanically activated thermally synthesized Cr 3 C
2 – Ni spray powder,” pp. 101–106, 2016.
[39] S. Zhang and D. Zhao, Advances in Materials Science and Engineering:
Aerospace Material Handbook. New York: CRC Press, 2013.
[40] S. H. Zhang, J. H. Yoon, M. X. Li, T. Y. Cho, Y. K. Joo, and J. Y. Cho,
“Influence of CO2 laser heat treatment on surface properties,
electrochemical and tribological performance of HVOF sprayed WC–
24%Cr3C2–6%Ni coating,” Mater. Chem. Phys., vol. 119, no. 3, pp. 458–
464, 2010.
[41] K. R. Ram and M. Reddy, “Effect of heat treatment on corrosion behavior
of duplex coatings,” J. King Saud Univ. - Eng. Sci., vol. 29, no. 1, pp. 84–
90, 2017.
[42] D. S. Doolabi, M. R. Rahimipour, M. Alizadeh, S. Pouladi, S. M. M.
Hadavi, and M. R. Vaezi, “Effect of high vacuum heat treatment on
microstructure and cyclic oxidation resistance of HVOF-CoNiCrAlY
coatings,” Vaccum, vol. 135, pp. 22–33, 2017.
Page 104
[43] H. H. Bauer, G. D. Christian, and J. E. O‟reilly, Analisis Beralatan, 1st ed.
Kuala Lumpur: Kementrian Pendidikan Malaysia, 1990.
[44] B. D. Cullity, “Elements of X-Ray Diffraction,” in Addison-Wesley
Metallurgy Series, Reading, Massachusetts: Addison-Wesley Publishing
Company, 1956.
[45] M. Suryanarayana and G. Norton, X-Ray Diffraction: A Practical
Approach. New York: Springer Science+Business Media, 1998.
[46] L. Reimer, Scanning Electron Microscopy: Physics of Image Formation
and Microanalysis. New York Tokyo: Springer-Verlag Berlin Heidelberg,
2013.
[47] A. Khursheed, Scanning Electron Microscope Optics and Spectrometers.
Singapore: Word Scientific, 2011.
[48] I. E. Locci, C. Western, R. A. Mackay, A. Garg, and F. Ritzert, “Successful
Surface Treatments for Reducing Instabilities in Advanced Nickel-Base
Superalloys for Turbine Blades,” 2004.
[49] M. Daroonparvar, M. S. Hussain, M. Azizi, and M. Yajid, “Applied
Surface Science The role of formation of continues thermally grown oxide
layer on the nanostructured NiCrAlY bond coat during thermal exposure in
air,” Appl. Surf. Sci., vol. 261, pp. 287–297, 2012.
Page 105
[50] P. S. Santos, H. S. Santos, and S. P. Toledo, “Standard Transition Aluminas
. Electron Microscopy Studies,” vol. 3, no. 4, pp. 104–114, 2000.
[51] F. Cao, B. Tryon, C. Torbet, and T. Pollock, “Microstructural evolition and
failure characteristics of a NiCoCrAlY bond coat in „hot spot‟ cyclic
oxidation,” Acta Mater., vol. 57, pp. 3885–3894, 2009.
Page 106
Lampiran-lampiran
Database peak XRD
A. γ-Ni (Sumber:
Database Software High Score Plus)
Page 107
B. γ′-Ni3Al (Sumber:
Database Software High Score Plus)
Page 109
C. Cr2O3 (Sumber:
Database Software High Score Plus)
Page 111
D. NiCr2O4 (Sumber:
Database Software High Score Plus)
Page 113
E. Al2O3 (Sumber: P. S. Santos, H. S. Santos, and S. P. Toledo, “Standard
Transition Aluminas. Electron Microscopy Studies,” vol. 3, no. 4, pp. 104–114,
2000.)