KESIAPAN MAHASISWA PROFESI APOTEKER DALAM MENGHADAPI STANDAR KOMPETENSI FARMASIS INDONESIA DALAM SUDUT PANDANG MAHASISWA PROFESI APOTEKER DI DUA PERGURUAN TINGGI DI JAWA BARAT PERIODE APRIL 2006 - JUNI 2006 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi Oleh: Heribertus Dwi Hartanto NIM : 02 8114 092 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2006 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
Embed
KESIAPAN MAHASISWA PROFESI APOTEKER DALAM …repository.usd.ac.id/2849/2/028114092_Full.pdf · kesiapan mahasiswa profesi apoteker dalam menghadapi standar kompetensi farmasis indonesia
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KESIAPAN MAHASISWA PROFESI APOTEKER DALAM MENGHADAPI STANDAR KOMPETENSI FARMASIS INDONESIA DALAM SUDUT
PANDANG MAHASISWA PROFESI APOTEKER DI DUA PERGURUAN TINGGI DI JAWA BARAT
PERIODE APRIL 2006 - JUNI 2006
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Heribertus Dwi Hartanto NIM : 02 8114 092
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2006
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Evangelizare pauperibus missit me
ku persembahkan kepada Bapa,kepada keluarga kudus,
kepada keluargaku,kepada kekasihku,
dan kepada almamaterku.
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PRAKATA
Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan
karunianya sehingga penulis dapat menyelasaikan skripsi yang berjudul “Kesiapan
Mahasiswa Profesi Apoteker Dalam Menghadapi Standar Kompetensi Farmasis
Indonesia Dalam Sudut Pandang Mahasiswa Profesi Apoteker Di Dua
Perguruan Tinggi Di Jawa Barat Periode April 2006 - Juni 2006”.
Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat untuk
meraih gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) di Fakultas Farmasi Sanata Dharma.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta
2. Bapak Edi Joko Santoso, S,Si., Apt. selaku pencetus ide awal penelitian ini, dan
pembimbing kami meski hanya beberapa waktu. Terima kasih atas waktu,
motivasi, kritik, dan saran yang telah diberikan.
3. Bapak Drs. Sulasmono, Apt. selaku pembimbing utama yang telah bersedia
meluangkan waktu untuk membimbing, memotivasi, memberikan kritik dan
saran hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Terima kasih atas persahabatan kita dan segala bantuan dan dukungannya.
22. Teman-teman kostku lama : Mas Novan, Mas Doni, Mas Albert, Mas Benny,
Mas Haryo, Budi, Agus, Opiek, dan Wiwid. Terima kasih atas kebersamaannya
selama ini.
23. Teman-teman di Akiyama, terima kasih atas jasa dan waktu yang diberikan.
24. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dalam kesempatan ini, penulis juga memohon maaf kepada semua pihak atas
kekurangan dan kesalahan yang mungkin dilakukan penulis. Oleh karena itu dengan
rendah hati penulis mengharapkan masukan, saran dan kritik yang membangun.
Yogyakarta, 14 November 2006
Penulis
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
INTISARI
Farmasis Indonesia saat ini dituntut untuk mampu melakukan pekerjaan kefarmasian berdasarkan asuhan kefarmasian. Standar kompetensi farmasis merupakan suatu standar ukuran kualitas pelayanan farmasis kepada pasien atau masyarakat dalam kaitannya dengan konsep pelayanan kefarmasian yang mengacu pada asuhan kefarmasian. Pengetahuan dan kemampuan farmasis menentukan kualitas pelayanan kefarmasian yang diberikannya. Pengetahuan dan kemampuan ini salah satunya diperoleh farmasis melalui suatu proses pendidikan tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesiapan mahasiswa program profesi farmasi dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia dan melihat pola distribusi minat mahasiswa profesi apoteker di tiga bidang pelayanan kefarmasian, yaitu industri, rumah sakit, dan apotek. Penelitian ini termasuk dalam penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif. Subyek dalam penelitian ini adalah semua mahasiswa yang baru menyelesaikan kurikulum inti pendidikan farmasi yang sifatnya teori pada jenjang pendidikan profesi apoteker periode April 2006-Juni 2006 dan belum mengucapkan Sumpah Apoteker di dua perguruan tinggi di Propinsi Jawa Barat dan menggunakan kuesioner sebagai instrumen penelitian. Analisis yang dilakukan adalah statistik deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 35,97% responden berminat di bidang rumah sakit; 21,05% berminat di bidang apotek, dan 42,98% responden berminat di bidang industri. Responden yang menyatakan siap melakukan pelayanan kefarmasian di bidang rumah sakit sebesar 82,93%, responden yang tidak siap sebesar 14,63%. Responden yang menyatakan siap melakukan pelayanan kefarmasian di bidang apotek sebesar 83,33%, sedangkan 16,67% responden tidak siap melakukan pelayanan kefarmasian di apotek. Dalam bidang pelayanan kefarmasian di industri, responden yang menyatakan siap sebesar 81,63%, dan responden yang tidak siap sebesar 18,37%. Kata kunci : Sudut Pandang, Standar Kompetensi Farmasis Indonesia, Mahasiswa Profesi Apoteker
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRACT
Indonesian pharmacist nowadays was demanded to have capabilities to
handle pharmacy job based on pharmaceutical care. Pharmacist competency standard was a quality measurement standard of pharmacist services to their patients or societies in relation with pharmacy services concepts in accordance to pharmaceutical care. Pharmacist knowledges and skills determined the quality of the pharmacy services given. The knowledges and skills was obtained by studying in high education.
The aim of this research were to know the readiness of the of Professional Pharmacist Students in order to Face the Standar Kompetensi Farmasis Indonesia and to see the interest distribution pattern of Professional Pharmacist Students in three pharmacy service fields, which were industrial pharmacy, hospital, and drugstore. This research was categorized as non eksperiment research with descriptive research design. Subjects of this research was Professional Pharmacist Students who just finished all theories in the pharmacy education curriculum of apotechary profession degree in period April 2006 - June 2006 and they have not conducted Pharmacist Oath in two universities in West Java by using quesionnaire as research instrument. The analysis was descriptive statistics.
The result showed that 35.97% of respondents were interested in hospital, 21.05% chose interest in apotechary, and 42.98% of respondents chose interest in industrial pharmacy. Respondents who stated their readiness to do the pharmacy service in hospital was about 82.93%, respondents who not ready were about 14.63%. Respondents who stated their readiness in apotechary field were about 83.33%, while 16.67% of respondents were not ready to do the services in apotechary in the field of industrial pharmacy, 81.63% of respondents stated their readiness, while 18.37% of respondents stated otherwise. Keywords: Perception, Standar Kompetensi Farmasis Indonesia, Professional Pharmacist Students.
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN JUDUL................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN.................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................... iv
PRAKATA................................................................................................ v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA................................................... ix
INTISARI................................................................................................. x
ABSTRACT................................................................................................ xi
DAFTAR ISI............................................................................................. xii
DAFTAR TABEL..................................................................................... xvii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................. xxii
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................. xxiii
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang.................................................................................... 1
Lampiran 3. Hasil Wawancara................................................................ 122
Lampiran 4. Surat Ijin Penelitian............................................................ 126
xxiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Pelayanan kesehatan merupakan upaya yang bertujuan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, serta memulihkan
kesehatan manusia yang dapat dilakukan secara mandiri atau bersama-sama sebagai
suatu organisasi. Pelayanan kefarmasian merupakan salah satu sub sistem dari sistem
pelayanan kesehatan, ditinjau dari segi fungsi, yang berkaitan dengan obat atau
pengobatan (Anonim, 2004a). Mutu pelayanan kesehatan akan menjadi lebih baik
jika masing-masing profesi/tenaga kesehatan memberikan pelayanannya secara
terpadu didasarkan pada standar profesi, etika, dan norma masing-masing, termasuk
juga profesi farmasi. Oleh karena itu, profesi farmasi juga diharapkan mampu untuk
menjaga dan meningkatkan mutu pelayanannya.
Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) telah menetapkan pemberlakuan
buku Standar Kompetensi Farmasis Indonesia sebagai suatu standar dan acuan bagi
apoteker Indonesia dalam melaksanakan aktivitas keprofesiannya. Standar
Kompetensi Farmasis Indonesia merupakan upaya ISFI untuk mempertahankan dan
meningkatkan mutu pelayanan apoteker Indonesia kepada masyarakat sesuai
perkembangan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Harapannya, setiap bidang
pelayanan farmasi baik di industri, apotek, rumah sakit dan komunitas klinis lainnya
tetap dipegang oleh apoteker (Anonim, 2004a).
Salah satu faktor penentu kemampuan profesi farmasi memenuhi kebutuhan
masyarakat adalah program pendidikannya. Drs. Ahaditomo, M.S., menyatakan
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
bahwa keahlian farmasi diperoleh selama pendidikan tinggi kefarmasian
(Anonim, 2004a). Walaupun demikian, Eddie Lembong melihat bahwa mata ajaran
yang diajukan tidak sepenuhnya menjawab kebutuhan
pemakai/konsumen/masyarakat. Kesenjangan antara materi dengan keterampilan
yang dibutuhkan di lapangan sangat terasa di Indonesia, dimana sebagai suatu profesi
sangat terasa bahwa farmasi tidak sangat mampu memenuhi kebutuhan riil di
masyarakat. Hal ini terkemuka setelah ia melakukan pengkajian secara selintas
kurikulum pendidikan farmasi di beberapa lembaga pendidikan terkemuka di
Indonesia yang tertuang di dalam buku peringatan 50 tahun pendidikan farmasi
Institut Teknologi Bandung.
Drs. Ahaditomo, M.S. mengharapkan bahwa seorang apoteker yang baru
menyelesaikan pendidikannya diharapkan untuk mengacu pada Standar Kompetensi
Farmasis Indonesia dalam melakukan pekerjaan kefarmasian sesuai bidang minatnya
(Anonim, 2004a). Dari sinilah penulis mendapatkan ide untuk mengadakan
penelitian mengenai kesiapan para calon apoteker untuk memenuhi Standar
Kompetensi Farmasis Indonesia. Penulis merasa perlunya data-data yang dapat
menunjukkan gambaran nyata kesiapan calon apoteker dalam menghadapi Standar
Profesi Farmasi Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
1. Rumusan masalah
Dari latar belakang yang telah dikemukakan muncul beberapa permasalahan.
a. Bagaimana pola distribusi minat mahasiswa program profesi apoteker di dua
perguruan tinggi di Propinsi Jawa Barat untuk melakukan pelayanan
kefarmasian di bidang industri, rumah sakit dan apotek?
b. Apakah mahasiswa program profesi apoteker di dua perguruan tinggi di
Propinsi Jawa Barat siap menghadapi Standar Kompetensi Farmasis
Indonesia?
2. Keaslian penelitian
Penelitian tentang Standar Kompetensi Farmasis Indonesia yang sudah
dilakukan adalah mengkaji tentang sikap apoteker di apotek terhadap Standar
Kompetensi Farmasis Indonesia. Sepengetahuan penulis, penelitian yang
berkaitan dengan kesiapan mahasiswa program profesi apoteker menghadapi
Standar Kompetensi Farmasis Indonesia belum pernah dilakukan. Beberapa
penelitian yang sudah pernah dilakukan berhubungan dengan Standar
Kompetensi Farmasis Indonesia.
a. Sikap Apoteker di Apotek pada Kecamatan Depok Kabupaten Sleman
terhadap Standar Kompetensi Farmasis Indonesia (Nurjaman, 2004).
b. Sikap Apoteker di Apotek pada Kecamatan Danurejan Kotamadya Jogjakarta
terhadap Standar Kompetensi Farmasis Indonesia (Kuncoro, 2004)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
3. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan deskripsi yang jelas
mengenai kesiapan para calon apoteker untuk menghadapi Standar Kompetensi
Farmasis Indonesia. Data yang diperoleh diharapkan dapat digunakan sebagai
acuan bagi pihak-pihak terkait dalam menentukan tindak lanjut mengenai
pengetahuan dan kemampuan calon apoteker sehingga setiap calon apoteker siap
untuk menghadapi dan memenuhi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia.
B. Tujuan Penelitian
Mengetahui pola distribusi minat mahasiswa program profesi apoteker untuk
melakukan pelayanan kefarmasian di bidang industri, rumah sakit dan apotek dan
kesiapan mahasiswa program profesi apoteker dalam menghadapi Standar
Kompetensi Farmasis Indonesia dan di dua perguruan tinggi di Propinsi Jawa Barat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Perubahan Konsep Pelayanan Farmasi
Pada awalnya, apoteker berfungsi sebagai peracik obat untuk diserahkan
kepada pasien di Apotek. Berkembangnya industri untuk memproduksi obat berskala
besar mengubah peranan apoteker dari peracik obat menjadi pendistribusi obat.
Perkembangan ini dipicu oleh meningkatnya jumlah kebutuhan obat, berkembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi, tekanan kompetisi perdagangan, inovasi dalam
penemuan obat baru, lahirnya berbagai penyakit baru dan berbagai hal lain. Pada
situasi ini, arah pelayanan kefarmasian adalah pemenuhan terhadap kebutuhan
masyarakat akan obat, yang selanjutnya disebut drug oriented. Berdasarkan hasil
evaluasi penggunaan obat, diketahui terjadi banyak pemasalahan yang timbul
berkenaan dengan penggunaan obat. Walaupun demikian, makna obat sebagai media
untuk proses kesehatan tidak berubah. Hal ini kemudian mendorong dan
membelokkan arah orietasi pelayanan kefarmasian menjadi patient oriented
(Anonim, 2004a). Terjadinya perubahan konsep pola penyakit, penatalaksanaannya
ke pola hidup sehat dan promosi kesehatan ikut menjadi faktor terjadinya perubahan
pola pelayanan kefarmasian ini (Sudjaswadi, 2002).
Saat ini, pelayanan kefarmasian berorientasi pada pasien dan mengacu pada
filosofi asuhan kefarmasian. Asuhan kefarmasian adalah tanggung jawab profesi
dalam hal farmakoterapi dengan tujuan mengidentifikasi, mencegah dan
menyelesaikan masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan
sehingga dapat mencapai keluaran yang dapat menjaga atau meningkatkan kualitas
5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
hidup pasien. Dalam konsep ini, apoteker diajak untuk mewujudkan pengobatan
rasional bagi masyarakat, yang menyeimbangkan aspek klinis dan ekonomi
berdasarkan kepentingan pasien. Apoteker tidak lagi sekedar menjual obat kepada
pasien atau masyarakat, tetapi juga harus menjamin tersedianya obat yang berkualitas
dalam jumlah yang cukup, aman, nyaman digunakan, dan harga terjangkau serta
pada saat pemberiannya disertai informasi yang memadai, diikuti pemantauan pada
saat penggunaan obat dan akhirnya dilakukan evaluasi (Anonim, 2004a).
B. Profesi
Profesi adalah suatu kelompok pekerjaan yang memiliki karakteristik
khusus, termasuk di dalamnya tehnik keahlian dengan tingkat tertinggi, berkomitmen
untuk pelayanan kemasyarakatan, melakukan monopoli dalam pekerjaannya dan
punya otonomi atas semua pekerjaannya. Seorang dengan pekerjaan profesi akan
mendapatkan tingkat sosial dan status yang tinggi. Profesionalisme lebih bermakna
sebagai strategi dari satu kelompok pekerjaan untuk mencapai dan memelihara
profesinya (Harding dkk, 1994). Banyak kriteria untuk menentukan suatu pekerjaan
adalah suatu profesi, antara lain
1. Unusual learning, yaitu dididik dan menerima pengetahuan yang khas dan
merupakan lulusan dari perguruan tinggi, sehingga tidak diperoleh di tempat lain
atau bidang yang berbeda.
2. Pelayanannya bersifat altruistik (tidak mementingkan diri sendiri dan
mementingkan kepentingan orang lain)
3. Telah mengucapkan sumpah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
4. Memiliki kode etik
5. Memiliki standar profesi, yaitu pedoman yang harus digunakan sebagai petunjuk
dalam menjalankan profesi secara baik (Anonim, 1992)
6. Memiliki pengakuan hukum (adanya undang-undang maupun ketentuan
peraturan perundang-undangan lain)
7. Memiliki perijinan (Surat Ijin Praktek atau Surat Ijin Kerja)
8. Memiliki wadah profesi yang menunjukkan jati diri profesional
9. Bersifat otonomi dan independensi
10. Bertemu dan berinteraksi dengan klien atau penderita
11. Confidental relationship dalam pelayanannya.
(Sulasmono, 1997)
C. Apoteker
Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek memberikan definisi Apoteker sebagai
“sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah
berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan
kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker”.
Apoteker adalah satu-satunya profesi yang memiliki otoritas profesi dalam
proses kefarmasian. Otoritas yang melekat pada diri farmasis/apoteker adalah
sebagai akibat penguasaan atas keahliannya dibidang iptek kefarmasian melalui
pengalaman belajar-mengajar di pendidikan tinggi kefarmasian dan pengalaman
keprofesian yang kemudian disumpah sebelum menjalankan keahliannya dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
bentuk keprofesian sehari-hari. Dan pada hakekatnya peristiwa pembuatan obat
merupakan peristiwa iptek, manajemen, etik, moral dan obligasi kemanusiaan
(Ahaditomo, 2000).
Farmasi dapat digolongkan sebagai suatu profesi karena menunjukkan
beberapa ciri khusus.
1. Monopoli pekerjaan (Monopoly of Practice). Monopoli pekerjaan yang
dilakukan profesi dijamin dan dilindungi oleh negara (Harding, 1993). Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan mengatur
mengenai pekerjaan kefarmasian.
Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027 tahun 2004 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek, apoteker adalah sarjana farmasi yang telah
lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan
perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di
Indonesia sebagai Apoteker.
Undang-undang Kesehatan Nomor 23 tahun 1992 dan Keputusan Menteri
Kesehatan No. 1027 tahun 2004 ini menjadi bukti itu bahwa profesi farmasi
memiliki pengakuan secara hukum di Indonesia. Seseorang yang apoteker tidak
diperbolehkan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian.
2. Memiliki pengetahuan khusus dan pelatihan dalam jangka waktu yang lama
(Specialised knowledge and lengthy training). Untuk diterima menjadi anggota
profesi, seseorang harus menjalani pendidikan intensif yang bervariasi dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
spesialisasi tinggi. Untuk menjadi lulusan farmasi membutuhkan masa
pendidikan empat sampai lima, kemudian diikuti dengan satu tahun pendidikan
profesi untuk mendapatkan gelar apoteker. Pada saat menempuh masa
pendidikan, apoteker dibekali dengan pengetahuan dan kemampuan khusus yang
disesuaikan dengan tugasnya dalam mempersiapkan dan menerapkan
penggunaan obat secara klinis (Harding, 1993). Lembaga Pendidikan Tinggi
farmasi mempunyai andil yang besar bagi perkembangan sejarah kefarmasian
pada masa-masa selanjutnya (Sirait, 2001).
3. Berorientasi pada pelayanan (Service Orientations). Pernyataan ini
menandakan bahwa anggota profesi harus bekerja sebaik-baiknya untuk
memenuhi keinginan client. Anggota profesi tidak diperbolehkan untuk memaksa
client dengan maksud untuk memenuhi kebutuhannya pribadi. Pelayanan yang
dilakukan oleh apoteker termasuk di dalamnya adalah menyediakan obat-obatan
dan perlengkapannya, membantu terapi pada penyakit ringan, dan memberikan
informasi tentang kesehatan (Harding, 1993).
4. Pengaturan diri (Self-regulation). Profesi merupakan pekerjaan yang berbeda
dari pekerjaan yang lain sehingga profesi diberikan kebebasan dalam mengatur
dirinya sendiri. Organisasi profesi diperbolehkan untuk mengatur sistem
pendidikan, memutuskan seseorang yang memenuhi persyaratan untuk menjadi
anggota profesi dan memperkirakan seseorang yang berkompeten dalam
menjalankan pekerjaannya (Harding, 1993). Asuhan kefarmasian merupakan
bukti pengaturan profesi farmasi terhadap standar pelayanan yang dapat
dilakukan oleh farmasis di seluruh Dunia. Di Indonesia pengaturan tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
diwujudkan dengan adanya Sumpah/Janji Apoteker yang diatur dalam peraturan
pemerintah nomor 20 tahun 1962, Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia yang
diatur dalam keputusan kongres nasional XVII ISFI nomor: 007/KONGRES
XVII/ISFI/2005 dan Standar Kompetensi Farmasis Indonesia yang diterbitkan
tahun 2004.
Peranan profesi farmasi juga telah digariskan oleh WHO yang dikenal
dengan istilah seven stars pharmacist.
1. Care-giver. Apoteker merupakan pemberi pelayanan dalam bentuk pelayanan
klinis, analitis, teknis, sesuai peraturan perundang-undangan. Saat memberikan
pelayanan, apoteker harus berinteraksi dengan pasien secara individu maupun
kelompok. Apoteker juga harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem
pelayanan kesehatan secara berkesinambungan dan pelayanan farmasis yang
dihasilkan harus bermutu tinggi.
2. Decision-maker. Apoteker mendasarkan pekerjaannya pada kecukupan,
keefikasian dan biaya yang efektif dan efisiensi terhadap seluruh penggunaan
sumber daya manusia, obat, bahan kimia, peralatan, prosedur, pelayanan, dan
lain-lain. Untuk mencapai tujuan tersebut kemampuan dan ketrampilan apoteker
perlu diukur untuk kemudian hasilnya dijadikan dasar dalam menentukan
pendidikan dan pelatihan yang diperlukan.
3. Communicator. Apoteker mempunyai kedudukan penting dalam berhubungan
dengan pasien maupun profesi kesehatan yang lain, oleh karena itu harus
mempunyai kemampuan berkomunikasi yang cukup baik. Komunikasi tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
meliputi komunikasi verbal, non verbal, mendengar, dan kemampuan menulis
dengan menggunakan bahasa sesuai kebutuhan.
4. Leader. Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin.
Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang
empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola
keputusan.
5. Manager. Apoteker harus efektif dalam mengelola sumber daya (manusia, fisik,
anggaran) dan informasi, juga harus dapat dipimpin dan memimpin orang lain
dalam tim kesehatan. Lebih jauh lagi, apoteker mendatang harus tanggap
terhadap kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi mengenai
obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan obat.
6. Life-long learner. Apoteker harus senang belajar sejak kuliah dan semangat
belajar harus selalu dijaga walaupun sudah bekerja untuk menjamin bahwa
keahlian dan ketrampilan yang selalu baru (up-date) untuk melakukan praktek
profesi. Apoteker juga harus mempelajari cara belajar yang efektif.
7. Teacher. Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk mendidik dan melatih
apoteker generasi mendatang. Partisipasinya tidak hanya dalam berbagai ilmu
pengetahuan baru satu sama lain, tetapi juga kesempatan memperoleh
pengalaman dan peningkatan ketrampilan (Anonim, 2004).
D. Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia
Ciri suatu profesi diantaranya adalah memiliki kode etik (Sulasmono,1997).
Kode etik merupakan asas dan norma yang diterima oleh suatu kelompok tertentu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
sebagai landasan ukuran tingkah laku (Salim, 1991). Kode Etik Apoteker Indonesia
adalah suatu aturan moral sebagai rambu-rambu yang membatasi seorang Apoteker
dalam menjalankan pekerjaan keprofesiannya dari perbuatan tercela dan merugikan
martabat profesi apoteker dan organisasi profesi (Sulasmono, 1997). Isi kode etik
apoteker/farmasis Indonesia berdasarkan keputusan kongres nasional XVII ISFI
nomor : 007/KONGRES XVII/ISFI/2005 pada tanggal 18 Juni 2005.
KODE ETIK APOTEKER/FARMASIS INDONESIA
Mukamadiah Bahwasanya seorang Apoteker/Farmasis di dalam menjalankan tugas
kewajibannya serta dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan Tuhan Yang Maha Esa
Apoteker/Farmasisdidalam pengabdiannya kepada nusa dan bangsa serta di dalam mengamalkan keahliannya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji Apoteker/Farmasis
Menyadari akan hal tersebut Apoteker/Farmasis di dalam pengabdian profesinya berpedoman pada satu ikatan moral yaitu:
BAB I
Kewajiban Umum Pasal 1: sumpah/janji
Setiap Apoteker/Farmasis harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Apoteker/Farmasis
Pasal 2 Setiap Apoteker/Farmasis harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia
Pasal 3 Setiap Apoteker/Farmasis harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker/Farmasis Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya
Pasal 4 Setiap Apoteker/Farmasis harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya
Pasal 5 Di dalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker/Farmasis harus menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian
Pasal 6 Seorang Apoteker/Farmasis harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Pasal 7 Seorang Apoteker/Farmasis harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya
Pasal 8 Seorang Apoteker/Farmasis harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya.
BAB II Kewajiban Apoteker Terhadap Penderita
Pasal 9 Seorang Apoteker/Farmasis dalam melakukan pekerjaan kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak asasi penderita dan melindungi makhluk hidup insani
BAB III
Kewajiban Apoteker Terhadap Teman Sejawat Pasal 10
Setiap Apoteker/Farmasis harus memperlukan teman Sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan
Pasal 11 Sesama Apoteker/Farmasis harus selalu saling mengingatkan dan saling menasehati untuk mematuhi ketentuan-ketentuan Kode Etik
Pasal 12 Setiap Apoteker/Farmasis harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan kerjasama yang baik sesama Apoteker/Farmasis di dalam memelihara keluhuran martabat jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa saling mempercayai di dalam menunaikan tugasnya.
BAB IV
Kewajiban Apoteker Terhadap Sejawat Petugas Kesehatan Lainnya Pasal 13
Setiap Apoteker/Farmasis harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan menghormati sejawat petugas kesehatan.
Pasal 14 Setiap Apoteker/Farmasis hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya/hilangnya kepercayaan masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan lainnya.
BAB V Penutup Pasal 15
Setiap Apoteker/Farmasis bersungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan kode etik Apoteker/Farmasis Indonesia dalam menjalankan tugas kefarmasiannya sehari-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
hari. Jika seorang Apoteker/Farmasis baik dengan sengaja maupun tak sengaja melanggar atau tidak mematuhi kode etik Apoteker/Farmasis Indonesia, maka dia wajib mengkui dan menerima sanksi dari pemerintah, ikatan/organisasi profesi farmasi yang menanganinya (ISFI) dan mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa
E. Standar Profesi
Menurut penjelasan atas Peraturan Pemerintah No.32 tahun 1996 tentang
tenaga kesehatan pada pasal 21 ayat (1), standar profesi tenaga kesehatan adalah
pedoman yang harus dipergunakan oleh tenaga kesehatan sebagai petunjuk dalam
menjalankan profesinya secara baik. Menurut penjelasan atas Undang-Undang no. 29
tahun 2004 tentang praktik kedokteran umum pada pasal 50, standar profesi adalah
batasan kemampuan (knowledge, skill, and profesional attitude minimal) yang harus
dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada
masyarakat secara mandiri.
Menurut penjelasan atas Undang-Undang no. 29 tahun 2004 tentang praktik
kedokteran umum pada pasal 50, standar profesi dibuat oleh organisasi profesi.
Menurut Peraturan Pemerintah No.32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan pada
pasal 21 ayat (52), standar profesi tanaga kesehatan ditetapkan oleh menteri. Pada
penjelasan atas Peraturan Pemerintah No.32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan
pada pasal 21 ayat (2) disebutkan bahwa dalam menetapkan standar profesi untuk
masing-masing jenis tenaga kesehatan, Menteri dapat meminta pertimbangan dari
para ahli di bidang kesehatan dan atau yang mewakili ikatan profesi tenaga
kesehatan. Pada Peraturan Pemerintah No.32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan
pada pasal 24 disebutkan bahwa perlindungan hukum diberikan kepada tenaga
kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
F. Standar Kompetensi Farmasis Indonesia
Standar Kompetensi Farmasis Indonesia merupakan suatu standar yang
berisi ukuran kualitas pelayanan kefarmasian yang mengacu pada asuhan
kefarmasian, sehingga apoteker Indonesia dapat memberikan pelayanan yang
seragam kepada konsumen atau masyarakat, baik yang dilakukan di rumah sakit,
apotek, lembaga riset dan industri. Standar Kompetensi Farmasis Indonesia berguna
untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan farmasis seseuai
prkembangan kebutuhan masyarakat, sehingga masyarakat akan selalu mendapatkan
pelayanan terbaik dari profesi apoteker (Anonim, 2004a).
Berdasarkan surat keputusan badan pimpinan pusat Ikatan Sarjana Farmasi
Indonesia nomor: 031008/BPP/SK.09 tanggal 8 Oktober 2003, maka Standar
Kompetensi Farmasis Indonesia telah diberlakukan sebagai standar dan acuan bagi
Apoteker Indonesia dalam menjalankan aktivitas keprofesiannya. Pemberlakuan
Standar Kompetensi Farmasis Indonesia ini semakin menguatkan kedudukan farmasi
sebagai sebuah profesi. Standar Kompetensi Farmasis Indonesia meliputi tiga bidang
pelayanan kefarmasian, yaitu Rumah Sakit, Apotek dan Industri.
G. Standar Kompetensi Farmasis Indonesia di Rumah Sakit
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit,
Farmasi Rumah Sakit bertanggung jawab terhadap semua barang farmasi yang
beredar di Rumah Sakit tersebut. Pelayanan farmasi diselenggarakan dan dikelola
oleh Apoteker yang mempunyai pengalaman minimal dua tahun di bagian farmasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
Rumah Sakit. Personalia yang melakukan pekerjaan kefarmasian di Rumah Sakit
dipersyaratkan terdaftar di Departemen Kesehatan, terdaftar di asosiasi profesi,
mempunyai ijin kerja dan mempunyai Surat Keputusan (SK) penempatan.
Penyelenggaraan pelayanan kefarmasian dilaksanakan oleh tenaga farmasi
profesional yang berwenang berdasarkan undang-undang, memenuhi persyaratan
baik dari segi aspek hukum, strata pendidikan, kualitas maupun dengan kuantitas
dengan jaminan kepastian adanya peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap
keprofesian terus menerus dalam rangka menjaga mutu profesi dan kepuasan
pelanggan.
Berikut adalah kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki oleh apoteker
yang akan bekerja di rumah sakit yang didasarkan pada Standar Kompetensi
Farmasis Indonesia yang disusun oleh Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) dan
dilihat kesesuaiannya dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
dan Kode Etik Apoteker / Farmasis Indonesia.
1. Kompetensi A : Asuhan kefarmasian
a. Memberikan pelayanan obat kepada pasien atas permintaan dari dokter,
dokter gigi atau dokter hewan baik verbal maupun non verbal. Salah satu
kegiatan pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat di Rumah Sakit yang
tercantum di dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit
pada bab VI adalah mengkaji instruksi pengobatan/resep pasien. Resep adalah
permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada Apoteker, untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku.
Pada bab VI bagian 2.1. menyebutkan tentang pengkajian resep. Kajian resep
meliputi kegiatan yang dimulai dari seleksi persyaratan administrasi, persyaratan
farmasi dan persyaratan klinis. Persyaratan administrasi meliputi nama, umur,
jenis kelamin dan berat badan pasien; nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter;
tanggal resep; ruangan/unit asal resep persyaratan farmasi meliputi bentuk dan
kekuatan sediaan; dosis dan jumlah obat; stabilitas dan ketersediaan; aturan, cara
dan teknik penggunaan. Persyaratan klinis meliputi ketepatan indikasi, dosis, dan
waktu penggunaan obat; duplikasi pengobatan; alergi, interaksi, dan efek
samping obat; kontra indikasi dan efek aditif.
b. Memberikan pelayanan kepada pasien atas permintaan pasien itu sendiri
dalam rangka ingin melakukan pengobatan mandiri.
c. Memberikan pelayanan informasi obat. Pada bab VI bagian 2.4. mengenai
pelayanan informasi obat disebutkan bahwa
Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, tidak bias dan terkini kepada dokter, Apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien. Tujuan : i. Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga
kesehatan di lingkungan Rumah Sakit ii. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang
berhubungan dengan obat, terutama Panitia/Komite Farmasi dan Terapi
iii. Meningkatkan profesionalisme Apoteker iv. Menunjang terapi obat yang rasional. Kegiatan : i. Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara
aktif dan pasif ii. Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui
telepon, surat atau tatap muka iii. Membuat buletin, lesflet, label obat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
iv. Menyediakan informasi bagi Komite/Panitia Farmasi dan Terapi sehubungan dengan penyusunan Formularium Rumah Sakit.
d. Memberikan konsultasi/konseling obat. Pada bab VI bagian 2.5. mengenai
konseling disebutkan bahwa
Konseling merupakan suatu proses yang sistematik untuk mengidentifikasi dan penyelesaian masalah pasien yang berkaitan dengan pengambilan dan penggunaan obat pasien rawat jalan dan pasien rawat inap. Tujuan : Memberikan pemahaman yang benar mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan mengenai nama obat, tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara penggunaan obat, lama penggunaan obat, efek samping obat, tanda-tanda toksisitas, cara penyimpanan obat dan penggunaan obat lain.
e. Membuat formulasi khusus sediaan obat yang mendukung proses terapi.
Kompetensi ini disebutkan pada bab VI bagian dispensing sediaan farmasi
khusus
Dispensing dibedakan berdasarkan atas sifat sediaannya : a. Dispensing sediaan farmasi parenteral nutrisi merupakan kegiatan
pencampuran nutrisi parenteral yang dilakukan oleh tenaga yang terlatih secara aseptis sesuai kebutuhan pasien dengan menjaga stabilitas sediaan, formula standar dan kepatuhan terhadap prosedur yang menyertai. Kegiatan : 1) mencampur sediaan karbohidrat, protein, lipid, vitamin, mineral
untuk kebutuhan perorangan 2) mengemas ke dalam kantong khusus untuk nutrisi
b. Dispensing sediaan farmasi pencampuran obat steril melakukan pencampuran obat steril sesuai kebutuhan pasien yang menjamin kompatibilitas, dan stabilitas obat maupun wadah sesuai dengan dosis yang ditetapkan. Kegiatan : 1) mencampur sediaan intravena ke dalam cairan infus 2) melarutkan sediaan intravena dalam bentuk serbuk dengan
pelarut yang sesuai 3) mengemas menjadi sediaan siap pakai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
f. Melakukan monitoring efek samping obat. Pada bab VI bagian 2.3.disebutkan
mengenai pemantauan dan pelaporan efek samping obat.
Pemantauan dan pelaporan efek samping obat merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi. Kegiatan : i. kegiatan menganalisa laporan efek samping obat
ii. mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami efek samping obat
iii. mengisi formulir efek samping obat iv. melaporkan ke panitia Efek Samping Obat Nasional.
g. Pelayanan klinik berbasis farmakokinetika. Salah satu bentuk pelayanan klinis
berbasis farmakokinetika adalah pemantauan kadar obat dalam darah. Hal ini
tercantum pada bab VI bagian 2.6.
Melakukan pemeriksaan kadar beberapa obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit. Tujuan: 1. mengetahui kadar obat dalam darah 2. memberikan rekomendasi kepada dokter yang merawat Kegiatan: 1. memisahkan serum dan plasma darah 2. memeriksa kadar obat yang terdapat dalam plasma dengan alat
TDM 3. membuat rekomendasi kepada dokter berdasarkan hasil pemeriksaan Faktor-faktor yang diperhatikan: 1. alat Therapeutic Drug Monitoring 2. reagen sesuai obat yang diberikan
h. Penatalaksanaan obat sitostatika dan obat atau bahan yang setara. Pada Bab
II dijelaskan bahwa salah satu pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat
dan alat kesehatan adalah melakukan penanganan obat kanker. Pada Bab VI
dijelaskan tentang dispensing sediaan farmasi berbahaya termasuk didalamnya
penanganan obat kanker.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Merupakan penanganan obat kanker secara aseptis dalam kemasan siap pakai sesuai kebutuhan pasien oleh tenaga farmasi yang terlatih dengan pengendalian pada keamanan terhadap lingkungan, petugas maupun sediaan obatnya dari efek toksik dan kontaminasi, dengan menggunakan alat pelindung diri, mengamankan pada saat pencampuran, distribusi, maupun proses pemberian kepada pasien sampai pembuangan limbahnya. Secara operasional dalam mempersiapkan dan melakukan harus sesuai prosedur yang ditetapkan dengan alat pelindung diri yang memadai, sehingga kecelakaan terkendali Kegiatan: 1. melakukan perhitungan dosis secara akurat 2. melarutkan sediaan obat kanker dengan pelarut yang sesuai 3. mencampur sediaan obat kanker sesuai dengan protokol pengobatan 4. mengemas dalam kemasan tertentu 5. membuang limbah sesuai prosedur yang berlaku
i. Melakukan evaluasi penggunaan obat. Pada bab VI bagian 2.8. disebutkan
mengenai pengkajian penggunaan obat
Pengkajian penggunaan obat merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin obat-obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif dan terjangkau oleh pasien. Tujuan : i. Mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat
pada pelayanan kesehatan/dokter tertentu ii. Membandingkan pola penggunaan obat pada pelayanan
kesehatan/dokter satu dengan yang lain iii. Penilaian berkala atas penggunaan obat spesifik iv. Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat
Pada bab III juga disebutkan perlunya tinjauan terhadap penggunaan obat di
Rumah Sakit dengan mengkaji medical record dibanding dengan standar
diagnosa dan terapi.
2. Kompetensi B : Akuntabilitas praktek farmasi
a. Menjamin praktek kefarmasian berbasis bukti ilmiah dan etika profesi.
Pada bab II diatur bahwa tugas pokok farmasi Rumah Sakit adalah
menyelenggarakan kegiatan pelayanan farmasi profesional berdasarkan prosedur
kefarmasian dan etik profesi. Pada bab VI mengenai pelayanan kefarmasian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
dalam penggunaan obat dan alat kesehatan disebutkan juga bahwa salah satu
peran Apoteker adalah menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang menyangkut
obat kepada staf medis dan perawat.
b. Merancang, melaksanakan, memonitor dan evaluasi dan mengembangkan
standar kerja sesuai arahan pedoman yang berlaku. Pada bab II tertulis
Semua kebijakan dan prosedur yang ada harus tertulis dan dicantumkan tanggal dikeluarkannya peraturan tersebut. Peraturan dan prosedur yang ada harus mencerminkan standar pelayanan farmasi mutakhir yang sesuai dengan peraturan dan tujuan dari pada pelayanan farmasi itu sendiri. Kriteria kebijakan dan prosedur dibuat oleh kepala instansi, panitia/komite farmasi dan terapi serta para Apoteker. Dalam pengelolaan perbekalan farmasi, kebijakan dan prosedur meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, pembuatan/produksi, penyimpanan, pendistribusian dan penyerahan. Pelayanan farmasi harus mencerminkan kualitas pelayanan kefarmasian yang bermutu tinggi. Mutu pelayanan farmasi harus dievaluasi secara periodik terhadap konsep, kebutuhan, proses, dan hasil yang diharapkan demi menunjang peningkatan mutu pelayanan.
c. Bertanggungjawab terhadap setiap keputusan profesional yang diambil.
Pada bab II menyebutkan bahwa
Farmasi Rumah Sakit bertanggung jawab terhadap semua barang farmasi yang beredar di Rumah Sakit tersebut. Kepala Instalasi Farmasi bertanggung jawab terhadap segala aspek hukum dan peraturan-peraturan farmasi baik terhadap pengawasan distribusi maupun administrasi barang farmasi. Kepala Instalasi Farmasi harus terlibat langsung dalam perumusan segala keputusan yang berhubungan dengan pelayanan farmasi dan penggunaan obat.
d. Melakukan kerjasama dengan pihak lain yang terkait atau bertindak
mandiri dalam mencegah kerusakan lingkungan akibat obat. Pada bab VI
disebutkan bahwa penanganan obat kanker harus dilakukan secara aseptis dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
pembuangan limbah harus mengikuti prosedur yang berlaku sehingga keamanan
lingkungan dapat dikendalikan.
e. Melakukan perbaikan mutu pelayanan secara terus menerus dan
berkelanjutan untuk memenuhi kepuasan “stakeholder”. Pada bab I
disebutkan
Mutu pelayanan farmasi Rumah Sakit adalah pelayanan farmasi yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan dalam menimbulkan kepuasan pasien sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata masyarakat, serta penyelenggaraannya sesuai dengan standar pelayanan profesi yang ditetapkan serta sesuai dengan kode etik profesi farmasi. Pengendalian mutu adalah suatu mekanisme kegiatan pemantauan dan penilaian terhadap pelayanan yang diberikan, secara terencana dan sistematis, sehingga dapat diidentifikasi peluang untuk peningkatan mutu serta menyediakan mekanisme tindakan yang diambil, sehingga terbentuk proses peningkatan mutu pelayanan farmasi yang berkesinambungan.
3. Kompetensi C : Manajemen praktis farmasi
a. Merancang, membuat, mengetahui, memahami, dan melaksanakan regulasi
dibidang farmasi. Penjabaran dari kompetensi tersebut adalah dengan
menampilkan semua kegiatan operasional kefarmasian di farmasi rumah sakit
berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku dari tingkat lokal,
regional, nasional maupun internasional. Pada bab III disebutkan bahwa
Panitia Farmasi dan Terapi ikut membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan tinjauan terhadap kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan mengenai penggunaan obat di Rumah Sakit sesuai peraturan yang berlaku secara lokal maupun nasional.
Hal ini juga disebutkan pada pasal 8 Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia,
yaitu bahwa seorang apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan
perundang-undangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi
pada khususnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
b. Merancang, membuat, melakukan pengelolaan farmasi rumah sakit yang
efektif dan efisien. Penjabaran kompetensi di atas adalah dengan mendefinisikan
strategi, kebijakan, program dan menerjemahkan ke dalam rencana kerja (plan of
action). Pada bab VI tentang pengelolaan perbekalan farmasi disebutkan bahwa
Pengelolaan perbekalan farmasi merupakan suatu siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan, perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, penghapusan, administrasi dan pelaporan serta evaluasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan.
Pada bab II mengenai fungsi pengelolaan farmasi tertulis
1. memilih perbekalan farmasi sesuai kebutuhan pelayanan Rumah
Sakit 2. merencanakan kebutuhan perbekalan farmasi secara optimal 3. mengadakan perbekalan farmasi berpedoman pada perencanaan
yang telah dibuat sesuai ketentuan yang berlaku 4. memproduksi perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan di Rumah Sakit 5. menerima perbekalan farmasi sesuai dengan spesisfikasi dan
ketentuan yang berlaku 6. menyimpan perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan
persyaratan kefarmasian 7. mendistribusikan perbekalan farmasi ke unit-unit pelayanan di
Rumah Sakit c. Merancang, membuat, melakukan pengelolaan obat yang efektif dan efisien.
Penjabaran dari kompetensi di atas adalah dengan melakukan seleksi,
persediaan, perancangan dan pelaksanaan sistem distribusi, melakukan
dispensing serta evaluasi penggunaan obat dalam rangka pelayanan kepada
pasien yang terintegrasi dalam asuhan kefarmasian dan sistem jaminan mutu
pelayanan. Pada bab VI disebutkan bahwa salah satu tujuan pelayanan
kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan adalah memberikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
pelayanan farmasi yang dapat menjamin efektifitas, keamanan dan efisiensi
penggunaan obat. Pada bab II mengenai fungsi pelayanan kefarmasian dalam
penggunaan obat dan alat kesehatan tertera kegiatan-kegiatan yang dilakukan
1) mengkaji instruksi pengobatan/resep pasien 2) megidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat
dan alat kesehatan 3) mencegah dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan obat dan
alat kesehatan 4) memantau efektifitas dan keamanan penggunaan obat dan alat
kesehatan 5) memberikan informasi kepada petugas kesehatan, pasien/keluarga 6) memberi konseling kepada pasien/keluarga 7) melakukan pencampuran obat suntik 8) melakukan penyiapan nutrisi parenteral 9) melakukan penanganan obat kanker 10) melakukan penentuan kadar obat dalam darah 11) melakukan pencatatan setiap kegiatan 12) melaporkan setiap kegiatan
d. Merancang organisasi kerja yang meliputi ; arah dan kerangka organisasi,
sumber daya manusia, fasilitas, keuangan, termasuk sistem informasi
manajemen. Pada bab III disebutkan
Bagan organisasi merupakan bagan yang menggambarkan pembagian tugas, koordinasi dan wewenang serta fungsi. Kerangka organisasi minimal mengakomodasi penyelenggaraan pengelolaan perbekalan, pelayanan farmasi klinik dan manajemen mutu, dan harus selalu dinamis sesuai perubahan yang dilakukan yang tetap menjaga mutu sesuai harapan pelanggan.
Pada bab II tertulis
Bagan organisasi menggambarkan uraian tugas, fungsi, wewenang dan tanggungjawab serta hubungan koordinasi di dalam maupun di luar pelayanan farmasi yang ditetapkan oleh pimpinan Rumah Sakit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
e. Merancang, melaksanakan, memantau dan menyesuaikan struktur harga,
berdasarkan kemampuan bayar dan kembalian modal serta imbalan jasa
praktek kefarmasian. Pada bab VI disebutkan
Perencanaan merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung jawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Pedoman perencanaan :
1. DOEN, Formularium Rumah Sakit, Standar Terapi Rumah Sakit, ketentuan setempat yang berlaku
2. Data catatan medik 3. Anggaran yang tersedia 4. Penetapan prioritas 5. Siklus penyakit 6. Sisa persedian 7. Data pemakaian periode yang lalu 8. Rencana pengembangan
f. Memonitor dan evaluasi penyelenggaraan seluruh kegiatan operasional
mencakup aspek manajemen maupun klinis yang mengarah pada kepuasan
konsumen. Pada bab I disebutkan bahwa
Evaluasi adalah proses penilaian kinerja pelayanan farmasi di Rumah Sakit yang meliputi penilaian terhadap sumber daya manusia (SDM), pengelolaan perbekalan farmasi dan pelayanan kefarmasian kepada pasien/pelayanan farmasi klinik.
Pada bab VIII tertulis
Tujuan khusus kegiatan evaluasi : 1. menghilangkan kinerja pelayanan yang substandar 2. terciptanya pelayanan farmasi yang menjamin efektifitas obat dan
keamanan pasien 3. meningkatkan efisiensi pelayanan 4. meningkatkan mutu obat yang diproduksi di Rumah Sakit sesuai
CPOB ( Cara Pembuatan Obat yang Baik) 5. meningkatkan kepuasan pelanggan 6. menurunkan keluhan pelanggan atau unit kerja terkait
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
Berdasarkan waktu pelaksanaan evaluasi, sibagi tiga jenis program evaluasi: 1. prospektif : program dijalankan sebelum pelayanan dilaksanakan.
Contoh : pembuatan standar, perijinan 2. konkuren : program dijalankan bersamaan dengan pelayanan
dilaksanakan Contoh : memantau kegiatan konseling Apoteker, peracikan resep oleh Asisten Apoteker
3. retrospektif : program pengendalian yang dijalankan setelah pelayanan dilaksanakan Contoh : survei konsumen, laporan mutasi barang
Metode evaluasi : 1. audit (pengawasan) : dilakukan terhadap proses hasil kegiatan
apakah sudah sesuai standar 2. review (penilaian) : terhadap pelayanan yang telah diberikan,
penggunaan sumber daya, penulisan resep 3. survei : untuk mengukur kepuasan pasien, dilakukan dengan angket
atau wawancara langsung 4. observasi : terhadap kesepatan pelayanan antrian, ketepatan
penyerahan obat. 4. Kompetensi D : Komunikasi farmasi
a. Memantapkan hubungan profesional antara farmasis dengan pasien dan
keluarganya dengan sepenuh hati dalam suasana kemitraan untuk
menyelesaikan masalah terapi obat pasien. Pada bab VI disebutkan tentang
Ronde/visite pasien, yaitu kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap bersama tim
dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Salah satu tujuannya adalah menilai
kemajuan pasien. Pada pasal 9 Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia
disebutkan bahwa seorang Apoteker/Farmasis dalam melakukan pekerjaan
kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak
asasi penderita dan melindungi makhluk hidup insani.
b. Memantapkan hubungan profesional antara farmasis dengan tenaga
kesehatan lain dalam rangka mencapai keluaran terapi yang optimal
khususnya dalam aspek obat. Pada bab VI disebutkan tentang Ronde/visite
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
pasien, yaitu kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap bersama tim dokter dan
tenaga kesehatan lainnya. Tujuan lain yang dapat dilihat dari kegiatan ini adalah
bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain untuk menilai kemajuan pasien. Pada
bab III mencantumkan salah satu bentuk kerjasama profesional antara farmasis
dengan tenaga kesehatan lainnya, yaitu di dalam Panitia Farmasi dan Terapi.
Panitia Farmasi dan Terapi adalah organisasi yang mewakili hubungan
komunikasi antara para staf medis dengan staf farmasi, dimana anggotanya terdiri
dari dokter yang mewakili pesialisasi-spesialisasi yang ada di Rumah Sakit, dan
Apoteker wakil dari Farmasi Rumah Sakit, serta tenaga kesehatan lainnya. Pada
pasal 13 Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia disebutkan bahwa setiap
Apoteker/Farmasis harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun
dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan
menghormati sejawat petugas kesehatan. Pada pasal 14 juga disebutkan bahwa
setiap Apoteker/Farmasis hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau
perbuatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya/hilangnya kepercayaan
masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan lainnya.
c. Memantapkan hubungan dengan semua tingkat/lapisan manajemen dengan
bahasa manajemen berdasarkan atas semangat asuhan kefarmasian. Pada bab IV
mengenai tenaga fungsional, Apoteker dituntut untuk memiliki kemampuan
dalam mengelola manajemen praktis farmasi dan kemampuan melakukan
akuntabilitas praktek kefarmasian.
d. Memantapkan hubungan dengan sesama farmasis berdasarkan saling
menghormati dan mengakui kemampuan profesi demi tegaknya martabat profesi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
Pada pasal 10 Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia disebutkan bahwa setiap
Apoteker/Farmasis harus memperlukan teman Sejawatnya sebagaimana ia sendiri
ingin diperlakukan. Dan pada pasal 12 disebutkan bahwa setiap
Apoteker/Farmasis harus mempergunakan setiap kesempatan untuk
meningkatkan kerjasama yang baik sesama Apoteker/Farmasis di dalam
memelihara keluhuran martabat jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa
saling mempercayai di dalam menunaikan tugasnya.
5. Kompetensi E : Pendidikan dan pelatihan farmasi
a. Memotivasi, mendidik dan melatih farmasis lain dan mahasiswa farmasis
dalam penerapan asuhan kefarmasian. Pada bab II pada bagian
pengembangan staf dan program pendidikan telah mengatur tentang
penyelenggaraan pendidikan, meliputi penggunaan obat dan penerapannya,
pendidikan berkelanjutan bagi staf farmasi dan praktikum farmasi bagi siswa
farmasi dan pasca sarjana farmasi. Pada bab II ini juga disebutkan bahwa
Apabila ada pelatihan kefarmasian bagi mahasiswa fakultas farmasi atau tenaga farmasi lainnya, maka harus ditunjuk Apoteker yang memiliki kualifitasi pendidik/pengajar untuk mengawasi jalannya pelatihan tersebut.
. Pada bab VI disebutkan tentang tujuan dari kegiatan pendidikan dan pelatihan
Tujuan umum : 1. mempersiapkan sumber daya manusia farmasi untuk dapat
melaksanakan rencana strategi instalasi Rumah Sakit di waktu mendatang
2. menghasilkan calon Apoteker, ahli madya farmasi, asisten Apoteker yang dapat menampilkan potensi dan produktifitasnya secara optimal di bidang kefarmasian
Tujuan khusus : 1. meningkatkan pemahaman tentang farmasi Rumah Sakit 2. memahami tentang pelayanan farmasi klinik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
3. meningkatkan keterampilan, pengetahuan dan kemampuan di bidang kefarmasian
Ruang lingkup kegiatan : 1. pendidikan formal 2. pendidikan berkelanjutan (internal dan eksternal) 3. pelatihan 4. pertemuan ilmiah (seminar, simposium) 5. studi banding 6. praktek kerja lapangan
b. Merencanakan dan melakukan aktivitas pengembangan staf, bagi teknisi di
bidang farmasi, pekarya dan juru resep dalam rangka peningkatan efisiensi
dan kualitas pelayanan farmasi yang diberikan. Pada Bab II bagian
pengembangan staf dan program pendidikan disebutkan bahwa
Setiap staf Rumah Sakit harus mempunyai kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya. Setiap staf diberikan kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan dan pendidikan berkelanjutan. Staf harus dibantu secara aktif untuk mengikuti program yang diadakan oleh organisasi profesi, perkumpulan dan institusi terkait. Penyelenggaraan pendidikan dan penyuluhan meliputi : i. Penggunaan obat dan penerapannya
ii. Pendidikan berkelanjutan bagi staf farmasi Penambahan pengetahuan disesuaikan dengan tanggungjawab, sedangkan peningkatan keterampilan disesuaikan dengan tugas.
c. Berpartisipasi aktif dalam pendidikan dan pelatihan berkelanjutan untuk
meningkatkan kualitas diri dan kualitas praktek kefarmasian. Pada bab IV
mengenai kompetensi Apoteker sebagai pimpinan, disebutkan bahwa
1. Mempunyai kemampuan dan kemauan mengelola dan mengembangkan pelayanan farmasi
2. Mempunyai kemampuan untuk mengembangkan diri
Pada pasal 4 Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia disebutkan bahwa Setiap
Apoteker/Farmasis harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang
kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
d. Mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan dalam bidang kesehatan
umum, penyakit dan manajemen terapi kepada pasien, profesi kesehatan dan
masyarakat.
6. Kompetensi F : Penelitian dan pengembangan kefarmasian
a. Melakukan penelitian dan pengembangan, mempresentasikan dan
mempublikasikan hasil penelitian dan pengembangan kepada masyarakat
dan profesi kesehatan lain. Pada bab VII mencantumkan hal-hal mengenai
penelitian dan pengembangan.
7.2.1 Penelitian Penelitian yang dilakukan Apoteker di Rumah Sakit yaitu: a. Penelitian farmasetik, termasuk pengembangan dan menguji bentuk
sediaan baru. Formulasi, metode pemberian (konsumsi) dan sistem pelepasan obat dalam tubuh (Drug Release System)
b. Berperan dalam penelitian klinis yang diadakan oleh praktisi klinis, terutama dalam karakterisasi terapetik, evaluasi, pembandingan hasil Outcomes dari terapi obat dan regimen pengobatan.
c. Penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan, termasuk penelitian perilaku dari sosioekonomi seperti penelitian tentang biaya keuntungan cost-benefit dalam pelayanan farmasi
d. Penelitian operasional (operation research) seperti studi waktu, gerakan, dan evaluasi program dan pelayanan farmasi yang baru dan yang ada sekarang.
7.2.2 Pengembangan Instalasi Farmasi Rumah Sakit di Rumah Sakit pemerintah kelas A dan B (terutama Rumah Sakit pendidikan) dan Rumah Sakit swasta sekelas, agar mulai meningkatkan mutu perbekalan farmasi dan obat-obatan yang diproduksi serta mengembangkan dan melaksanakan praktek farmasi klinis.
b. Menggunakan hasil penelitian dan pengembangan sebagai dasar dalam
pengambilan keputusan dan peningkatan mutu praktek kefarmasian. Pada
bab VII bagian 2 mengenai penelitian dan pengembangan menyebutkan
Pimpinan dan Apoteker Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus berjuang, bekerja jeras dan berkomunikasi efektif dengan semua pihak agar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
pengembangan fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit yang baru itu dapat diterima oleh pimpinan dan staf medik Rumah Sakit.
Inti dari kesesuaian antara Standar Kompetensi Farmasis Indonesia di bidang
rumah sakit dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1197 tahun 2004 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit dan Kode etik Apoteker/Farmasis
Indonesia dapat dilihat pada tabel II berikut.
Tabel I. Kesesuaian Standar Kompetensi Farmasis Indonesia di bidang rumah sakit dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1197 tahun 2004 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit dan Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia
No. Kompetensi (Kegiatan) Kepmenkes 1197 tahun
2004
Kode Etik
1. Kompetensi A : Asuhan Kefarmasian
a. Memberikan pelayanan obat kepada pasien atas permintaan dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan baik verbal maupun non verbal.
√ √
b. Memberikan pelayanan kepada pasien atau masyarakat yang ingin melakukan pengobatan mandiri. - √
c. Memberikan pelayanan informasi obat. √ √ d. Memberikan konsultasi obat. √ √
e. Membuat formulasi khusus sediaan obat yang mendukung proses terapi. √ √
f. Melakukan monitoring efek samping obat. √ √ g. Pelayanan klinis berbasis farmakokinetik. √ √
h. Penatalaksanaan obat sitostatistika dan obat atau bahan yang setara √ √
i. Melakukan evaluasi penggunaan obat. √ √ 2. Kompetensi B : Akuntabilitas Praktek Farmasi
a. Menjamin praktek kefarmasian berbasis bukti ilmiah dan etika profesi. √ √
b. Merancang, melaksanakan, memonitor dan evaluasi dan mengembangkan standar kerja sesuai arahan pedoman yang berlaku.
√ -
c. Bertanggungjawab terhadap setiap keputusan profesional yang ambil. √ √
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
Tabel I. Lanjutan
No. Kompetensi (Kegiatan) Kepmenkes 1197 tahun
2004
Kode Etik
d. Melakukan kerjasama dengan pihak lain yang terkait atau bertindak mandiri dalam mencegah kerusakan lingkungan akibat obat.
√ -
e. Melakukan perbaikan mutu pelayanan secara terus menerus dan berkelanjutan untuk memenuhi kepuasan stakeholder.
√ √
3. Kompetensi C : Manajemen Praktis Farmasi
a. Merancang, membuat, mengetahui, memahami, dan melaksanakan regulasi dibidang farmasi. √ √
b. Merancang, membuat, melakukan pengelolaan rumah sakit yang efektif dan efisien.. √ √
c. Merancang, membuat, melakukan pengelolaan obat di apotek yang efektif dan efisien. √ √
d. Merancang organisasi kerja yang meliputi; arah dan kerangka organisasi, sumber daya manusia, fasilitas, keuangan, termasuk sistem informasi manajemen.
√ -
e. Merancang, melaksanakan, memantau, dan menyesuaikan struktur harga, berdasarkan kemampuan bayar dan kembalian modal serta imbalan jasa praktek kefarmasian.
√ √
f. Memonitor dan evaluasi penyelenggaraan seluruh kegiatan operasional mencakup aspek manajemen maupun asuhan kefarmasian yang mengarah pada kepuasan konsumen
√ √
4. Kompetensi D : Komunikasi Farmasi
a. Memantapkan hubungan profesional antara apoteker dengan pasien dan keluarganya dengan sepenuh hati dalam suasana kemitraan untuk menyelesaikan masalah terapi obat pasien.
√ √
b. Memantapkan hubungan profesional antara apoteker dengan tenaga kesehatan lain dalam rangka mencapai keluaran terapi yang optimal khususnya dalam aspek obat.
√ √
c. Memantapkan hubungan dengan semua tingkat/lapisan manajemen dengan bahasa manajemen berdasarkan atas semangat asuhan kefarmasian.
√ √
d. Memantapkan hubungan dengan sesama apoteker berdasarkan saling menghormati dan mengakui kemampuan profesi demi tegaknya martabat profesi.
- √
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
Tabel I. Lanjutan
No. Kompetensi (Kegiatan) Kepmenkes 1197 tahun
2004
Kode Etik
5. Kompetensi E : Pendidikan dan Pelatihan Farmasi
a. Memotivasi, mendidik, dan melatih apoteker lain dan mahasiswa farmasi dalam penerapan asuhan kefarmasian. √ √
b. Merencanakan dan melakukan aktivitas pengembangan staf, bagi teknisi di bidang farmasi, pekarya, dan juru resep dalam rangka peningkatan efisiensi dan kualitas pelayanan farmasi yang diberikan.
√ √
c. Berpartisipasi aktif dalam pendidikan dan pelatihan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas diri dan kualitas praktek kefarmasian.
√ √
d. Mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan dalam bidang kesehatan umum, penyakit dan manajemen terapi kepada pasien, profesi kesehatan dan masyarakat.
√ √
6. Kompetensi F : Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian
a. Melakukan penelitian dan pengembangan, mempresentasikan dan mempublikasikan hasil penelitian dan pengembangan kepada masyarakat dan profesi kesehatan lain.
√ √
b. Menggunakan hasil penelitian dan pengembangan sebagai dasar dalam pengembilan keputusan dan peningkatan mutu praktek kefarmasian.
√ √
H. Standar Kompetensi Farmasis Indonesia di Apotek
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek mendefinisikan apotek sebagai
tempat, tertentu, tempat dilakukan pekerjan kefarmasian dan penyaluran sediaan
farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Secara umum, kompetensi
di Apotek hampir sama dengan kompetensi di Rumah Sakit. Perbedaan terletak pada
kompetensi yang dibutuhkan untuk menjalankan asuhan kefarmasian. Pada bidang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Apotek tidak mencantumkan kompetensi seperti yang terdapat di dalam kompetensi
Rumah Sakit sebagaimana tercantum di bawah ini
Membuat formulasi khusus sediaaan obat yang mendukung proases terapi
Pelayanan klinik berbasis farmakokinetika
Penatalaksanaan obat sitostatika dan obat atau bahan obat yang setara
Berikut adalah kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki oleh apoteker
yang akan bekerja di apotek yang didasarkan pada Standar Kompetensi Farmasis
Indonesia yang disusun oleh Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) dan dilihat
kesesuaiannya dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dan
Kode Etik Apoteker / Farmasis Indonesia.
1. Kompetensi A : Asuhan kefarmasian
a. Memberikan pelayanan obat kepada pasien atas permintaan dari dokter,
dokter gigi atau dokter hewan baik verbal maupun non verbal. Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian Di Apotek menyebutkan bahwa resep adalah permintaan
tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada Apoteker untuk
menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku. Pada bab III mengenai pelayanan menyebutkan hal-
hal yang harus dilakukan berkaitan dengan pelayanan resep.
1.1 Skrining resep Apoteker melakukan skrining resep meliputi: 1.1.1 Persyaratan administratif
Nama, SIP dan alamat dokter. Tanggal penulisan resep. Tanda tangan/paraf dokter penulis resep.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien.
Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang minta Cara pemakaian yang jelas Informasi lainnya
1.1.2 Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.
1.1.3 Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi dan jumlah obat dan lain-lain).
Pada bagian 1.2 tertulis hal-hal mengenai penyiapan obat, yaitu peracikan, yang
meliputi kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan
memberikan etiket pada wadah, dan penyerahan obat. Sebelum obat diserahan
pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat
dengan resep.
b. Memberikan pelayanan kepada pasien atau masyarakat yang ingin
melakukan pengobatan mandiri. Kepmenkes No. 347 tahun 1990 tentang Obat
Wajib Apotik menyebutkan bahwa peran Apoteker di apotik dalam pelayanan
KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) serta pelayanan obat kepada
masyarakat perlu ditingkatkan dalam rangka peningkatan pengobatan sendiri.
c. Memberikan pelayanan informasi obat. Pada bab III mengenai informasi obat
mengatur mengenai bentuk pelayanan informasi obat di Apotek yang harus
dilakukan.
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Pada bab II bagian saran dan prasarana disebutkan juga bahwa Apotek harus
memiliki tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan
brosur/materi informasi.
d. Memberikan konsultasi/konseling obat. Pada bab III bagian konseling
disebutkan bahwa
Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan farmasi lainnya. Untuk penderia penyakit tertentu seperti cardiovaskular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, Apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.
Pada bab II bagian saran dan prasarana disebutkan juga bahwa Apotek harus
memiliki ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan
meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien.
e. Melakukan monitoring efek samping obat. Pada bab III diatur tentang
monitoring penggunaan obat. Setelah penyerahan obat kepada pasien, Apoteker
harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien
tertentu seperti cardiovaskular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis
lainnya. Efek samping obat juga dapat dilihat pada saat Apoteker melakukan
skrining resep, pada saat melakukan pertimbangan klinis.
f. Melakukan evaluasi penggunaan obat. Pada bab III dicantumkan bahwa
setelah penyerahan obat kepada pasien, Apoteker harus melaksanakan
pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti
cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya. Untuk
kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis, Apoteker
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
sebagai care giver diharapkan juga dapat melaksanakan pelayanan kefarmasian
yang sifatnya kunjungan ke rumah (home care). Untuk aktivitas ini, Apoteker
harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record).
2. Kompetensi B : Akuntabilitas praktek farmasi
a. Menjamin praktek kefarmasian berbasis bukti ilmiah dan etika profesi.
b. Merancang, melaksanakan, memonitor dan evaluasi dan mengembangkan
standar kerja sesuai arahan pedoman yang berlaku. Prosedur tetap (protap)
merupakan suatu indikator untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang
telah ditetapkan. Protap dan mutu pelayanan tercantum di dalam Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bab IV tentang Evaluasi mutu
pelayanan.
Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah: a. Tingkat kepuasan konsumen : dilakukan dengan survei berupa
angket ayau wawancara langsung. b. Dimensi waktu : lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah
ditetapkan). c. Prosedur Tetap : Untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar
yang telah ditetapkan Disamping itu prosedur tetap bermanfaat untuk : Memastikan bahwa praktik yang baik dapat terlaksana setiap saat; Adanya pembagian tugas dan wewenang; Memberikan pertimbangan dan panduan untuk tenaga kesehatan
lain yang bekerja di Apotek; Dapat digunakan sebagai alat untuk melatih staf baru; Membantu proses audit.
Prosedur tetap disusun dengan format sebagai berikut: 1. Tujuan : merupakan tujuan protap 2. Ruang Lingkup : berisi pernyataan tentang pelayanan yang
dilakukan dengan kompetensi yang diharapkan 3. Hasil : hal yang dicapai oleh pelayanan yang diberikan dan
dinyatakan dalam bentuk yang dapat diukur 4. Persyaratan : hal-hal yang diperlukan untuk menunjang pelayanan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
5. Proses : berisi langkah-langkah pokok yang perlu diikuti untuk penerapan standar
6. Sifat protap adalah spesifik mengenai kefarmasian c. Bertanggungjawab terhadap setiap keputusan profesional yang diambil. hal
ini tercermin dari definisi tentang pelayanan kefarmasian pada bab I, yaitu
sebagai bentuk pelayanan dan tanggungjawab langsung profesi apoteker dalam
pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
d. Melakukan kerjasama dengan pihak lain yang terkait atau bertindak
mandiri dalam mencegah kerusakan lingkungan akibat obat.
e. Melakukan perbaikan mutu pelayanan secara terus menerus dan
berkelanjutan untuk memenuhi kepuasan “stakeholder”. Salah satu indikator
penilaian mutu pelayanan seperti yang tertete dalam Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek adalah kepuasan konsumen.
3. Kompetensi C : Manajemen praktis farmasi
a. Merancang, membuat, mengetahui, memahami, dan melaksanakan regulasi
dibidang farmasi. Penjabaran dari kompetensi tersebut adalah dengan
menampilkan semua kegiatan operasional kefarmasian di apotek berdasarkan
undang-undang dan peraturan yang berlaku dari tingkat lokal, regional, nasional
maupun internasional. Hal ini disebutkan pada pasal 8 Kode Etik
Apoteker/Farmasis Indonesia, yaitu bahwa seorang apoteker harus aktif
mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan
pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
b. Merancang, membuat, melakukan pengelolaan apotek yang efektif dan
efisien. Penjabaran kompetensi di atas adalah dengan mendefinisikan falsafah
pengamanan persediaan, perancangan dan pelaksanaan sistem distribusi,
melakukan dispensing serta evaluasi penggunaan obat dalam rangka pelayanan
kepada pasien yang terintegrasi dalam asuhan kefarmasian dan sistem jaminan
mutu pelayanan.Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
pada bab II bagian Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan
lainnya mencantumkan mengenai pengelolan obat, yaitu pengeluaran obat
memakai sistem FIFO (first ini first out) dan FEFO (first expire first out).
Perencanaan obat juga harus memperhatikan pola penyakit di masyarakat,
kemampuan masyarakat dan juga budaya masyarakat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
d. Merancang organisasi kerja yang meliputi : arah dan kerangka organisasi,
sumber daya manusia, fasilitas, keuangan, termasuk sistem informasi
manajemen.
e. Merancang, melaksanakan, memantau dan menyesuaikan struktur harga,
berdasarkan kemampuan bayar dan kembalian modal serta imbalan jasa
praktek kefarmasian.
f. Memonitor dan evaluasi penyelenggaraan seluruh kegiatan operasional
mencakup aspek manajemen maupun asuhan kefarmasian yang mengarah
pada kepuasan konsumen. Monitoring penyelenggaraan kegiatan operasional
dapat dilakukan melalui pelaksanaan prosedur tetap (protap), sedangkan evaluasi
kegiatan dilakukan melalui survei kepada konsumen.
4. Kompetensi D : Komunikasi farmasi
a. Memantapkan hubungan profesional antara farmasis dengan pasien dan
keluarganya dengan sepenuh hati dalam suasana kemitraan untuk
menyelesaikan masalah terapi obat pasien. Pada bab III mencantumkan
tentang Pelayanan Residensial (home care), yaitu pelayanan Apoteker sebagai
care giver dalam pelayanan kefarmasian di rumah-rumah khususnya untuk
kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan terapi kronis. Melalui pelayanan
ini, hubungan antara Apoteker dan pasien akan semakin erat, sehingga
memungkinkan seorang Apoteker untuk mengetahui masalah-masalah yang
timbul pada saat terapi dan menyelesaikan masalah tersebut atas dasar ilmu
kefarmasiannya. Pada pasal 9 Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia disebutkan
bahwa seorang Apoteker/Farmasis dalam melakukan pekerjaan kefarmasian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak asasi
penderita dan melindungi makhluk hidup insani.
b. Memantapkan hubungan profesional antara farmasis dengan tenaga
kesehatan lain dalam rangka mencapai keluaran terapi yang optimal
khususnya dalam aspek obat. Pada pasal 13 Kode Etik Apoteker/Farmasis
Indonesia disebutkan bahwa setiap Apoteker/Farmasis harus mempergunakan
setiap kesempatan untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling
mempercayai, menghargai dan menghormati sejawat petugas kesehatan. Pada
pasal 14 juga disebutkan bahwa setiap Apoteker/Farmasis hendaknya
menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yang dapat mengakibatkan
berkurangnya/hilangnya kepercayaan masyarakat kepada sejawat petugas
kesehatan lainnya.
c. Memantapkan hubungan dengan semua tingkat/lapisan manajemen dengan
bahasa manajemen berdasarkan atas semangat asuhan kefarmasian.
d. Memantapkan hubungan dengan sesama farmasis berdasarkan saling
menghormati dan mengakui kemampuan profesi demi tegaknya martabat
profesi. Pada pasal 10 Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia disebutkan
bahwa setiap Apoteker/Farmasis harus memperlukan teman Sejawatnya
sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan. Dan pada pasal 12 disebutkan bahwa
setiap Apoteker/Farmasis harus mempergunakan setiap kesempatan untuk
meningkatkan kerjasama yang baik sesama Apoteker/Farmasis di dalam
memelihara keluhuran martabat jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa
saling mempercayai di dalam menunaikan tugasnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
5. Kompetensi E : Pendidikan dan pelatihan farmasi
a. Memotivasi, mendidik dan melatih farmasis lain dan mahasiswa farmasis
dalam penerapan asuhan kefarmasian.
b. Merencanakan dan melakukan aktivitas pengembangan staf, bagi teknisi di
bidang farmasi, pekarya, dan juru resep dalam rangka peningkatan efisiensi
dan kualitas pelayanan farmasi yang diberikan. Kompetensi ini juga
tercantum di dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
pada bab IV, yaitu bahwa Apoteker harus mampu membantu memberi
pendidikan dan peluang bagi sumber daya manusia yang ada untuk meningkatkan
pengetahuannya.
c. Berpartisipasi aktif dalam pendidikan dan pelatihan berkelanjutan untuk
meningkatkan kualitas diri dan kualitas praktek kefarmasian. Di dalam
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
bab II disebutkan bahwa dalam pengelolaan Apotek, Apoteker selalu belajar
sepanjang karier. Di dalam Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia pasal 4
disebutkan bahwa Setiap Apoteker/Farmasis harus selalu aktif mengikuti
perkembangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada
khususnya.
d. Mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan dalam bidang
kesehatan umum, penyakit dan manajemen terapi kepada pasien, profesi
kesehatan dan masyarakat. Pada bab III pada bagian Promosi dan Edukasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
disebutkan bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus
berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi.
6. Kompetensi F : Penelitian dan pengembangan kefarmasian
a. Melakukan penelitian dan pengembangan, mempresentasikan dan
mempublikasikan hasil penelitian dan pengembangan kepada masyarakat
dan profesi kesehatan lain.
b. Menggunakan hasil penelitian dan pengembangan sebagai dasar dalam
pengambilan keputusan dan peningkatan mutu praktek kefarmasian.
Kesesuaian antara Standar Kompetensi Farmasis Indonesia di bidang rumah
sakit dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1197 tahun 2004 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Keputusan Menteri Kesehatan No. 1332
tahun 2002 tentang Perubahan atas Permenkes No.922 tahun 1993 tentang Ketentuan
dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek dan Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia
dapat dilihat pada tabel II berikut.
Tabel II. Kesesuaian Standar Kompetensi Farmasis Indonesia di bidang apotek dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Keputusan Menteri Kesehatan No. 1332 tahun 2002 tentang Perubahan atas Permenkes No.922 tahun 1993 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek dan Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia
No. Kompetensi (Kegiatan)
SK Menkes No.1027
tahun 2004
Kode Etik
Kepmenkes No.1332
tahun 2002
1. Kompetensi A : Asuhan Kefarmasian
a. Memberikan pelayanan obat kepada pasien atas permintaan dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan baik verbal maupun non verbal.
√ √ √
b. Memberikan pelayanan kepada pasien atau masyarakat yang ingin melakukan pengobatan mandiri.
- √ -
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Tabel II. Lanjutan
No. Kompetensi (Kegiatan) SK Menkes
No.1027 tahun 2004
Kode Etik
Kepmenkes No.1332
tahun 2002 c. Memberikan pelayanan informasi obat. √ √ √
d. Memberikan konsultasi obat. √ √ -
e. Melakukan monitoring efek samping obat. √ √ √
f. Melakukan evaluasi penggunaan obat. √ √ √
2. Kompetensi B : Akuntabilitas Praktek Farmasi
a. Menjamin praktek kefarmasian berbasis bukti ilmiah dan etika profesi. - √ √
b. Merancang, melaksanakan, memonitor dan evaluasi dan mengembangkan standar kerja sesuai arahan pedoman yang berlaku.
√ - -
c. Bertanggungjawab terhadap setiap keputusan profesional yang ambil. √ √ √
d. Melakukan kerjasama dengan pihak lain yang terkait atau bertindak mandiri dalam mencegah kerusakan lingkungan akibat obat.
√ - -
e. Melakukan perbaikan mutu pelayanan secara terus menerus dan berkelanjutan untuk memenuhi kepuasan stakeholder.
√ √ √
3. Kompetensi C : Manajemen Praktis Farmasi
a. Merancang, membuat, mengetahui, memahami, dan melaksanakan regulasi dibidang farmasi. √ √ √
b. Merancang, membuat, melakukan pengelolaan apotek yang efektif dan efisien. √ √ -
c. Merancang, membuat, melakukan pengelolaan obat di apotek yang efektif dan efisien. √ √ √
d. Merancang organisasi kerja yang meliputi; arah dan kerangka organisasi, sumber daya manusia, fasilitas, keuangan, termasuk sistem informasi manajemen.
√ - √
e. Merancang, melaksanakan, memantau, dan menyesuaikan struktur harga, berdasarkan kemampuan bayar dan kembalian modal serta imbalan jasa praktek kefarmasian.
- √ -
f. Memonitor dan evaluasi penyelenggaraan seluruh kegiatan operasional mencakup aspek manajemen maupun asuhan kefarmasian yang mengarah pada kepuasan konsumen
√ √ -
4. Kompetensi D : Komunikasi Farmasi
a. Memantapkan hubungan profesional antara apoteker dengan pasien dan keluarganya dengan sepenuh hati dalam suasana kemitraan untuk menyelesaikan masalah terapi obat pasien.
√ √ -
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
Tabel II. Lanjutan
No. Kompetensi (Kegiatan) SK Menkes
No.1027 tahun 2004
Kode Etik
Kepmenkes No.1332
tahun 2002
b. Memantapkan hubungan profesional antara apoteker dengan pasien dan keluarganya dengan sepenuh hati dalam suasana kemitraan untuk menyelesaikan masalah terapi obat pasien.
√ √ -
c. Memantapkan hubungan profesional antara apoteker dengan tenaga kesehatan lain dalam rangka mencapai keluaran terapi yang optimal khususnya dalam aspek obat.
√ √ -
d. Memantapkan hubungan dengan semua tingkat/lapisan manajemen dengan bahasa manajemen berdasarkan atas semangat asuhan kefarmasian.
- √ -
e. Memantapkan hubungan dengan sesama apoteker berdasarkan saling menghormati dan mengakui kemampuan profesi demi tegaknya martabat profesi.
- √ -
5. Kompetensi E : Pendidikan dan Pelatihan Farmasi
a. Memotivasi, mendidik, dan melatih apoteker lain dan mahasiswa farmasi dalam penerapan asuhan kefarmasian.
√ √ -
b.
Merencanakan dan melakukan aktivitas pengembangan staf, bagi teknisi di bidang farmasi, pekarya, dan juru resep dalam rangka peningkatan efisiensi dan kualitas pelayanan farmasi yang diberikan.
√ √ -
c. Berpartisipasi aktif dalam pendidikan dan pelatihan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas diri dan kualitas praktek kefarmasian.
√ √ -
d. Mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan dalam bidang kesehatan umum, penyakit dan manajemen terapi kepada pasien, profesi kesehatan dan masyarakat.
√ √ -
6. Kompetensi F : Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian
a. Melakukan penelitian dan pengembangan, mempresentasikan dan mempublikasikan hasil penelitian dan pengembangan kepada masyarakat dan profesi kesehatan lain.
√ √ -
b. Menggunakan hasil penelitian dan pengembangan sebagai dasar dalam pengembilan keputusan dan peningkatan mutu praktek kefarmasian.
- √ -
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
I. Standar Kompetensi Farmasis Indonesia di Industri
Berikut adalah kompetensi-kompetensi peran apoteker yang dibagi
berdasarkan fungsi industrial dan sebagian besar kompetensi-kompetensi tersebut
telah sesuai dengan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik.
1. Quality Management (Manajemen Mutu). Rincian aspek pengetahuan yang
harus dimiliki.
a Metode analisis; mampu menyusun, memodifikasi dan menggunakan metode
analisis untuk pemeriksa bahan baku, bahan pengemas, produk antara, produk
ruahan, dan produk jadi.
b Studi stabilitas; mampu membuat protokol uji stabilitas, melakukan uji stabilitas
sesuai protokol yang sudah disiapkan dan menginterpretasikan data serta
menentukan masa simpan produk.
c Penyelidikan kegagalan (failure investigation), penyimpangan bets (batch
deviation), prosedur pengolahan dan pengemasan ulang (rework proseduces);
mampu melakukan penyelidikan terhadap kegagalan dan penyimpanan pada
suatu bets produk serta memberikan persetujuan terhadap usul perbaikan
sistem/proses dan atau pengolahan dan pengemasan ulang.
d Rancang bangun fasilitas (facility design) dan sertifikasi CPOB; mampu
melakukan evaluasi rancang bangun fasilitas yang memenuhi persyaratan CPOB
untuk mempertahankan sertifikasi CPOB serta mengajukan usul perbaikan.
e CPOB di laboratorium; mampu membuat prosedur atau tata cara yang sesuai
dengan CPOB untuk laboratorium pengendali/pengawas mutu dan melaksanakan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
f Inspeksi diri CPOB; mampu mengkoordinasikan dan melaksanakan inspeksi
diri untuk memastikan bahwa pelaksanaan CPOB diterapkan dengan efektif
(sesuai dengan ketentuan yang berlaku).
g Penanganan keluhan, obat kembalian dan penarikan obat jadi; mampu
mencari penyebab keluhan yang muncul kemudian mengambil langkah
perbaikan, dan jika perlu melakukan penarikan produk untuk menjamin produk
yang beredar di pasar senantiasa memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan.
h Penilaian pemasok (vendor rating); mampu menyusun prosedur audit pemasok,
melaksanakan audit dan memberi penilaian terhadap pemasok baru sehingga
dapat dimasukkan ke dalam daftar pemasok yang disetujui serta melakukan audit
berkala terhadap pemasok yang disetujui agar kinerjanya tetap baik dan atau
ditingkatkan.
i Kalibrasi, kualifikasi dan validasi; mampu mengkoordinasi atau melakukan
proses kalibrasi, kualifikasi dan validasi proses/metode analisis untuk
memastikan mutu produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan.
j Pengendalian perubahan; mampu mengendalikan perubahan yang dilakukan
disistem atau proses produksi, laboratorium, dan teknik/penunjang yang akan
mempengaruhi mutu obat, regulasi, dan keamanan/keselamatan kerja dengan cara
melakukan analisis dampak perubahan dan menentukan langah-langkah yang
diperlukan sebagai akibat dari perubahan.
k Pengelolaan dan pengendalian dokumen; mampu menyusun sistem
pengelolaan dan pengendalian dokumen yang diperlukan untuk penerapan
CPOB.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
l Pelatihan CPOB; mampu menyusun sistem pelatihan CPOB bagi karyawan baru
dan lama serta pelatihan penyegaran agar mereka mengerti bagaimana bekerja
sesuai CPOB dan menjalankannya.
m UKK Dan K3/Environment, Health, And Safety (EHS); mampu membuat
program pengendalian dan pemantauan pencemaran lingkungan yang meliputi
pengelolaan limbah cair, padat, laboratorium. Program K3 (seperti pemerikasaan
kesehatan berkala, pemakaian sarana pembantu untuk perlindungan terhadap
keselamatan kerja dalam melakukan proses atau menjalankan mesin) serta
senantiasa melakukan perbaikan yang berkesinambungan.
n Penyusunan data pendukung untuk registrasi; mampu
mengumpulkan/menyusun data-data pendukung untuk memenuhi persyaratan
regristrasi yaitu bagtian Chemical, Manufacture, dan Control (CMC).
2. Production Management (Manajemen Produksi). Rincian aspek pengetahuan
yang harus dimiliki.
a Pemahaman desain formula; mampu mengevaluasi desain formula dan desain
kemasan sesuai dengan fasilitas dan skala produksi yang digunakan.
b Penanganan bahan/material handling; mampu menangani bahan baku, bahan
pengemas, produk ruahan, produk antara, dan produk jadi selama proses
produksi.
c Proses pembuatan produk farmasi; mampu membuat produk jadi sesuai
dengan jumlah dan spesifikasi yang telah ditentukan dengan biaya efisien.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
d UKK dan K3/ Environment, Health, and Safety (EHS); mampu membuat
program keselamatan dan kesehatan kerja serta program pemantauan dan
pengendalian lingkungan.
e Rancang bangun fasilitas (Facility Design) dan sertifikasi CPOB; mampu
melakukan evaluasi rancang bangun fasilitas yang memenuhi persyaratan CPOB
untuk memperoleh dan mempertahankan sertifikasi CPOB serta mengajukan usul
perbaikan.
f Inspeksi diri CPOB; mampu melaksanakan inspeksi diri untuk memastikan
bahwa pelaksanaan CPOB berjalan dengan efektif (sesuai dengan ketentuan yang
berlaku).
g Kalibrasi, kualifikasi, dan validasi; mampu melakukan proses kalibrasi,
kualifikasi peralatan, validasi proses, dan validasi pembersihan untuk
memastikan mutu produk yang dihasilkan.
h Pengendalian perubahan (Change Control); mampu mengendalikan perubahan
yang terjadi diproduksi yang akan mempengaruhi mutu obat, regulasi, dan
keamanan dengan cara melakukan analisis terhadap dampak perubahan dan
melakukan langkah-langkah yang diperlukan sebagai akibat dari perubahan.
3. Product Development (Pengembangan Produk). Rincian aspek pengetahuan
yang harus dimiliki.
a Formulasi; mampu merancang suatu formula sediaan obat jadi yang memenuhi
kriteria khasiat, aman, stabil, dan cost effective.
b Teknologi farmasi; mampu mengaplikasikan formulasi pada fasilitas produksi
serta melakukan transfer teknologi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
c Pengembangan bahan pengemas; mampu mengevaluasi, merancang, dan
menentukan bahan pengemas yang sesuai keperluan konsumenakhir, dan yang
dapat menjamin kualitas produk selama masa simpan produk atau obat jadi serta
cost effective.
d Penyiapan data penunjang registrasi; mampu menyusun data-data penunjang
registrasi yang berhubungan dengan pengembangan produk untuk memenuhi
persyaratan registrasi.
4. Material Management (Manajemen Persediaan). Rincian aspek pengetahuan
yang harus dimiliki.
a Pengadaan barang (Procurement) untuk produk obat; mampu melakukan
pengadaan barang pada saat dibutuhkan dan selalu menjaga ketersediaannya
sehingga tidak akan ada kekosongan apabila barang dibutuhkan.
b Pergudangan; mampu melakukan penerimaan, penyimpanan dan pengeluaran
barang dengan menjaga keamanan dan kualitas barang.
c Production Planing And Inventory Control (PPIC); mampu membuat
perencanaan pengadaan bahan baku dan bahan pengemas, membuat perencanaan
produksi dan memonitor pelaksanaan jadual produksi serta melakukan
pengendalian inventory.
5. Regulatory and Product Information (Regulasi dan Informasi Produk).
Rincian aspek pengetahuan yang harus dimiliki.
a Registrasi; mampu untuk menguasai proses pendaftaran obat jadi secara
menyeluruh untuk memperoleh izin pemasaran (marketing authorization).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
b Regulasi; mampu dalam memperoleh pengetahuan tentang peraturan atau
regulasi di bidang industri farmasi dan peraturan yang terkait dan mampu untuk
mneginformasikan peraturan ke industri internal.
c Sertifikasi; mampu memperoleh pengetahuan tentang proses sertifikasi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d Informasi produk; mampu untuk menyampaikan informasi suatu produk kepada
konsumen sesuai dengan kode etik peraturan yang berlaku.
e Permohonan izin dan pelaporan hasil uji klinik; mampu menguasai proses
perolehan izin dan pelaporan hasil uji klinik.
f Pelaporan MESO; mampu melakukan pelaporan monitoring semua efek obat
yang dijumpai pada penggunaan obat, sebagai bahan untuk melakukan penilaian
kembali obat yang beredar serta untuk melakukan tindakan pengamanan atau
penyesuaian yang diperlukan.
g Pelaporan penanganan keluhan dan penarikan kembali produk jadi; mampu
melakukan pelaporan dan penanganan setiap keluhan yang muncul untuk
mengambil langkah perbaikan dan jika perlu dilakukan penarikan produk untuk
menjamin bahwa produk yang beredar di pasar memenuhi syarat yang
ditentukan.
J. Organisasi Profesi
Farmasi sebagai sebuah profesi memiliki wadah profesi yang menunjukkan
jati diri profesionalitasnya. Melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia nomor 41846/Kb/121 tanggal 16 September 1965, Menteri Kesehatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
Republik Indonesia telah menetapkan bahwa Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI)
merupakan organisasi tunggal/satu-satunya organisasi sarjana farmasi/apoteker
Indonesia. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
nomor 41846/Kb/121 tanggal 16 September 1965 tersebut, maka ISFI memiliki
kekuatan hukum di hadapan negara. Sebagai organisasi yang mengayomi profesi
farmasi di Indonesia, ISFI berhak untuk menjalankan/mengatur profesi farmasi,
termasuk mengeluarkan Standar Kompetensi Farmasis Indonesia sebagai suatu
standar pelayanan kefarmasian di Indonesia.
K. Pendidikan Farmasi
Pendidikan farmasi merupakan suatu pendidikan tinggi yang berbasis
keahlian farmasi. Empat hal utama yang diajarkan kepada calon farmasis adalah
keahlian farmakologi, kimia farmasi, farmasetika dan farmakognosi fitokimia
(Richards et al, 2004), disamping itu juga diajarkan mengenai farmasi sosial
(Sudjaswadi, 2002). Di Indonesia, pendidikan tinggi farmasi dilakukan pada jenjang
strata satu dan jenjang pendidikan profesi apoteker. Asosiasi Pendidikan Tinggi
Farmasi Indonesia (APTFI) merupakan sebuah lembaga yang menentukan kurikulum
inti pendidikan farmasi, baik jenjang strata satu maupun jenjng profesi. Berikut ini
merupakan isi kurikulum inti dan beban sistem kredit semester (sks) setiap mata
kuliah jenjang profesi apoteker berdasarkan Surat Keputusan Majelis APTFI nomor
002/APTFI/MA/2005 tentang pengesahan kurikulum, silabus, dan penyelenggaraan
pendidikan profesi apoteker dalam lampiran satu.
Sifat Pendidikan : Permintaan utama (Majoring) Bidang Pelayanan Farmasi. Jenis Kurikulum : Pharmaceutical First Professional Degree
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
Beban : Kurikulum inti 24 SKS dan matakuliah pilihan minimun: 4 SKS, diselenggarakan dalam 2 semester
Tabel III. Kurikulum inti pendidikan profesi apoteker No. Nama Mata Kuliah SKS 1 Farmakoterapi & Terminologi Medik 2 2 Biofarmasetika & Farmakokinetika Klinik 2 3 Compounding &Dispensing 2 4 Manajemen Farmasi Komunitas 2 5 Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care) 2 6 Komunikasi & Konseling 2 7 Interaksi Obat (Drug Related Problems) 2 8 Praktek Kerja Profesi Di Apotek 4 9 Mata Kuliah Muatan Lokal 6
MATA KULIAH PILIHAN ditentukan oleh masing-masing perguruan tinggi farmasi yang mendapat izin menyelenggarakan pendidikan profesi farmasis (apoteker). CATATAN 1. Bila mata kuliah sudah diberikan di Program S1 maka pada program {profesi
dapat diganti dengan muatan lokal. 2. Silabus akan disusun oleh Komisi Pendidikan APTFI. Sistem pendidikan tahap
Pharmaceutical Second/Third Professional Degree akan ditetapkan oleh keputusan rapat Kolegium Imlu Farmasi Indonesia (KIFI) yang akan segera dibentuk (Anonim, 2005).
Berikut ini merupakan daftar nama mata kuliah kurikulum tahun 2006
program profesi apoteker di tempat peneliti menempuh pendidikan strata satu
farmasi.
Tabel IV. Daftar Nama Mata Kuliah Kurikulum Tahun 2006 Program Profesi Apoteker Minat Praktek Kerja Profesi Apoteker : Farmasi Rumah Sakit
Nama Mata Kuliah Wajib/Pilihan SKS SEMESTER I 1 Farmakoterapi & Terminologi Medik Wajib APTFI 2 2 Biofarmasetika & Farmakokinetika Klinik (sudah
Tabel IV. Lanjutan Nama Mata Kuliah Wajib/Pilihan SKS SEMESTER I 8 Farmasi Rumah Sakit Wajib 2 9 Etika dan Perundang-undangan Wajib 2 10 Farmasi Kesehatan Masyarakat Wajib 2 11 Mata Kuliah Pilihan 1 Pilihan 2 12 Mata Kuliah Pilihan 2 Pilihan 2 Mata Kuliah minat PK profesi di Rumah Sakit
adalah:
1 Farmasi Industri Pilihan 2 2 Kewirausahaan Pilihan 2 3 Bioteknologi Farmasi Pilihan 2 4 Terapi Komplementer Pilihan 2 5 Evidence Based Medicine* Pilihan 2 6 Psikologi Kesehatan Pilihan 2 SEMESTER II 1 Praktek Kerja Profesi di Apotek Wajib APTFI 4 2 Praktek Kerja Profesi di Rumah Sakit Wajib 6 *) BELUM DISELENGGARAKAN
Tabel V. Daftar Nama Mata Kuliah Kurikulum Tahun 2006 Program Profesi Apoteker Minat Praktek Kerja Profesi Apoteker : Farmasi Industri
Nama Mata Kuliah Wajib/Pilihan SKS SEMESTER I 1 Farmakoterapi & Terminologi Medik Wajib APTFI 2 2 Biofarmasetika & Farmakokinetika Klinik (sudah
ada di S-1) Wajib APTFI -
3 Compounding & Dispensing Wajib APTFI 2 4 Manajemen Farmasi Industri Wajib APTFI 2 5 Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care) Wajib APTFI 2 6 Komunikasi & Konseling Wajib APTFI 2 7 Interaksi Obat (Drug Related Problem) Wajib APTFI 2 8 Farmasi Industri Wajib 2 9 Etika dan Perundang-undangan Wajib 2 10 Farmasi Kesehatan Masyarakat Wajib 2 11 Mata Kuliah Pilihan 1 Pilihan 2 12 Mata Kuliah Pilihan 2 Pilihan 2 Mata Kuliah minat PK profesi di Industri adalah: 1 Farmasi Rumah Sakit Pilihan 2 2 Kewirausahaan Pilihan 2 3 Bioteknologi Farmasi Pilihan 2 4 Sistem Pengembangan Obat Tradisional Pilihan 2 5 Phytopharmaceutical Technology Pilihan 2 6 Unit Operasi Industri Farmasi Pilihan 2 7 Pengolahan Limbah Farmasi* Pilihan 2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
Tabel V. Lanjutan Nama Mata Kuliah Wajib/Pilihan SKS SEMESTER I 8 Ekonomi Farmasi Pilihan 2 9 Validasi Metode Analisis Pilihan 2 SEMESTER II 1 Praktek Kerja Profesi di Apotek Wajib APTFI 4 2 Praktek Kerja Profesi di Industri Wajib 6 *) BELUM DISELENGGARAKAN
Berikut ini merupakan salah satu kurikulum program pendidikan profesi
farmasi di salah satu perguruan tinggi farmasi di Jawa Barat.
Tabel VI. Struktur Kurikulum Program Profesi Apoteker di salah satu perguruan tinggi di Jawa barat
SEMESTER I Kuliah Modul-I
SEMESTER II Kuliah Modul-II
Intensif 8 Minggu Intensif 8 Minggu Farmasi Rumah Sakit (3 sks) Farmasi Industri (3 sks) Manajemen Farmasi (3 sks) KP-I (8 sks)
Farmakoterapi (2 sks) Ilmu Komunikasi (2 sks) Undang-undang Farmasi dan Etika Profesi (2 sks) KP-II (8 sks)
7. Memberikan pelayanan klinik berbasis farmakokinetik. - 4,88 51,22 34,14 9,76
8. Melakukan penatalaksanaan obat sitostatika dan obat atau bahan obat yang setara.
4,88 9,76 51,22 24,38 9,76
9. Melakukan evaluasi penggunaan obat. 2,44 - 14,63 70,73 12,20
Tingkat kesiapan responden yang paling rendah terletak pada kompetensi
melakukan penatalaksanaan obat sitostatika dan obat atau bahan obat yang setara
dan membuat formulasi khusus sediaan obat yang mendukung proses terapi.
Diduga, hal ini terjadi karena tidak/belum adanya pengenalan secara khusus
terhadap obat sitostatika atau bahan obat yang setara pada saat perkuliahan.
b. Akuntabilitas praktek farmasi
Akuntabilitas dapat diartikan sebagai kekuatan pengendali yang mampu
menciptakan dorongan terhadap stakeholder dan bertanggungjawab terhadap
pekerjaan kefarmasian yang dilakukan. Gambaran kesiapan responden di tiap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
bidang kegiatan dalam kompetensi Akuntabilitas praktek farmasi di rumah sakit
dapat dilihat dalam tabel VIII berikut
Tabel VIII. Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi B (Akuntabilitas Praktek Farmasi) dalam bidang pelayanan kefarmasian
di rumah sakit
No Bidang Kegiatan STS (%)
TS (%)
R (%)
S (%)
SS (%)
1. Menjamin praktek kefarmasian berbasis bukti ilmiah dan etika profesi.
- 2,44 24,39 58,54 14,63
2.
Merancang, melaksanakan, memonitor, mengevaluasi dan mengembangkan standar kerja sesuai arahan pedoman yang berlaku.
- - 26,83 56,10 17,07
3. Bertanggungjawab terhadap setiap keputusan profesional yang diambil. - - 9,76 75,61 14,63
4.
Melakukan kerjasama dengan pihak lain yang terkait atau bertindak mandiri dalam mencegah kerusakan lingkungan akibat obat.
- - 9,76 73,17 17,07
5.
Melakukan perbaikan mutu pelayanan secara terus menerus dan berkelanjutan untuk memenuhi kepuasan stakeholder.
- - 17,07 68,30 14,63
Dalam menjalankan kompetensi ini, apoteker diharapkan dapat
menjalankan perannya dalam seven stars pharmacis sebagai leader,
communicator, dan desicion maker. Tingkat. Berdasarkan gambaran tingkat
kesiapan pada kompetensi ketiga dan keempat, responden sudah siap
menjalankan perannya sebagai decision maker.
c. Manajemen praktis farmasi
Gambaran kesiapan responden di tiap bidang kegiatan dalam
kompetensi manajemen praktis farmasi di rumah sakit dapat dilihat dalam tabel
IX berikut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
Tabel IX. Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi C (Manajemen Praktis Farmasi) dalam bidang pelayanan kefarmasian di rumah sakit
No Bidang Kegiatan STS (%)
TS (%)
R (%)
S (%)
SS (%)
1. Merancang, membuat, mengetahui, memahami dan melaksanakan regulasi di bidang farmasi.
- 4,88 43,90 41,46 9,76
2. Merancang, membuat, melakukan pengelolaan farmasi rumah sakit yang efektif dan efisien.
- 4,88 21,95 68,29 4,88
3. Merancang, membuat, melakukan pengelolaan obat yang efektif dan efisien.
- 7,32 14,63 65,85 12,20
4.
Merancang organisasi kerja yang meliputi arah dan kerangka organisasi, sumber daya manusia, fasilitas, keuangan, termasuk sistem informasi manajemen.
- 4,88 26,83 60,97 7,32
5.
Merancang, melaksanakan, memantau dan menyesuaikan struktur harga, berdasarkan kemampuan bayar dan kembalian modal serta imbalan jasa praktek kefarmasian.
2,44 - 29,27 63,41 4,88
6.
Memonitor dan mengevaluasi penyelenggaraan seluruh kegiatan operasional mencakup aspek menajemen maupun klinis yang mengarah pada kepuasan konsumen.
2,44 - 26,83 65,85 4,88
Peran dalam seven stars pharmacis yang diharapakan mampu
dijalankan oleh seorang apoteker dalam kompetensi ini adalah sebagai seorang
manager. Salah satu tugasnya di dalam farmasi rumah sakit adalah kemampuan
menguraikan tugas, fungsi, wewenang dan tanggungjawab serta hubungan
koordinasi di dalam maupun di luar pelayanan farmasi yang ditetapkan oleh
pimpinan Rumah Sakit. Berdasarkan gambaran di atas, tingkat kesiapan yang
paling rendah terletak pada kompetensi pertama, yaitu tentang regulasi di bidang
farmasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
d. Komunikasi farmasi
Gambaran kesiapan responden di tiap bidang kegiatan dalam
kompetensi komunikasi farmasi di rumah sakit dapat dilihat dalam tabel X
berikut
Tabel X. Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi D (Komunikasi Farmasi) dalam bidang pelayanan kefarmasian di rumah sakit
No Bidang Kegiatan STS (%)
TS (%)
R (%)
S (%)
SS (%)
1.
Memantapkan hubungan profesional antara farmasis dengan pasien dan keluarganya dengan sepenuh hati dalam suasana kemitraan untuk menyelesaikan masalah terapi obat pasien.
- 2,44 17,07 68,29 12,20
2.
Memantapkan hubungan profesional antara farmasis dengan tenaga kesehatan lain dalam rangka mencapai keluaran terapi yang optimal khususnya dalam aspek obat.
- 2,44 24,39 63,41 9,76
3.
Memantapkan hubungan dengan semua tingkat/lapisan manajemen dengan bahasa manajemen berdasarkan atas semangat asuhan kefarmasian.
- 7,32 24,39 63,41 4,88
4.
Memantapkan hubungan dengan sesama farmasis berdasarkan saling menghormati dan mengakui kemampuan profesi demi tegaknya martabat profesi.
- - 4,88 85,36 9,76
Berdasarkan gambaran di atas, tingkat kesiapan responden yang paling
tinggi terletak pada kompetensi keempat. Hal ini mencerminkan bahwa
responden akan memperlakukan teman Sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan pada saat menjadi seorang apoteker. Kemampuan komunikasi yang
baik sangat dibutuhkan dalam memnuhi kompetensi ini. Komunikasi yang baik
sangat diperlukan agar seorang apoteker dapat menjalankan perannya dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
seven stars pharmacis sebagai care-giver,leader, manager,communicator dan
teacher.
e. Pendidikan dan pelatihan farmasi
Gambaran kesiapan responden di tiap bidang kegiatan dalam
kompetensi pendidikan dan pelatihan di rumah sakit dapat dilihat dalam tabel XI
berikut
Tabel XI. Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi E (Pendidikan dan Pelatihan Farmasi) dalam bidang pelayanan kefarmasian di rumah sakit
No Bidang Kegiatan STS (%)
TS (%)
R (%)
S (%)
SS (%)
1.
Memotivasi, mendidik dan melatih farmasis lain dan mahasiswa farmasi dalam penerapan asuhan kefarmasian.
- 2,44 29,27 63,41 4,88
2.
Merencanakan dan melakukan aktivitas pengembangan staf, bagi teknisi di bidang farmasi, pekarya, dan juru resep dalam rangka peningkatan efisiensi dan kualitas pelayanan farmasi yang diberikan
- 4,88 24,39 63,41 7,32
3.
Berpartisipasi aktif dalam pendidikan dan pelatihan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas diri dan kualitas praktek kefarmasian.
- - 12,20 70,73 17,07
4.
Mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan dalam bidang kesehatan umum, penyakit dan manajemen terapi kepada pasien, profesi kesehatan dan masyarakat.
- 2,44 24,39 68,29 4,88
Peran dalam seven stars pharmacis yang diharapkan dapat terlaksana
dengan baik melalui kompetensi ini adalah peran sebagai teacher. Selain itu,
apoteker juga diajak untuk selalu meningkatkan kualitas dirinya dan mengikuti
perkembangan di bidang kesehatan pada umumnya dan farmasi pada khususnya.
Tujuannya adalah agar mutu pekerjaan kefarmasian/pelayanan kefarmasian yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
dilakukan atau diberikan oleh seorang apoteker kepada masyarakat dapat terjaga
dan bahkan meningkat.
f. Penelitian dan pengembangan kefarmasian
Gambaran kesiapan responden di tiap bidang kegiatan dalam
kompetensi penelitian dan pengembangan kefarmasian di rumah sakit dapat
dilihat dalam tabel XII berikut
Tabel XII. Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi F (Penelitian dan Pengembangan kefarmasian) dalam bidang pelayanan kefarmasian
di rumah sakit
No Bidang Kegiatan STS (%)
TS (%)
R (%)
S (%)
SS (%)
1.
Melakukan penelitian dan pengembangan, mempresentasikan dan mempublikasikan hasil penelitian dan pengembangan kepada masyarakat dan profesi kesehatan lain.
- - 41,46 51,22 7,32
2.
Menggunakan hasil penelitian dan pengembangan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan dan peningkatan mutu praktek kefarmasian
- 2,44 24,39 56,10 17,07
Apoteker masih mempunyai tanggung jawab untuk menjalankan
perannya dalam seven stars pharmacist sebagai long-life learner. Penerapan
kompetensi Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian di rumah sakit adalah
dilakukannya penelitian klinis yang dilakukan dengan cara membandingkan hasil
terapi pasien, dan penelitian yang menyangkut evaluasi pelayanan kefarmasian
yang diberikan. Untuk dapat menerapkan kompetensi ini seorang apoteker
ataupun lulusan apoteker baru harus siap untuk selalu mengikuti perkembangan
dibidang farmasi dan memiliki kemauan untuk terus belajar. Hal ini sesuai
dengan Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia pasal 4, yaitu bahwa seorang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang kesehatan paa
umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya.
Berdasarkan pernyataan mahasiswa Apoteker yang diberikan pada
pertanyaaan semi terbuka mengenai kesiapan mereka menghadapi Standar
Kompetensi Farmasi Indonesia, diperoleh gambaran mengenai kesiapan mahasiswa
program profesi Apoteker menghadapi Standar Kompetensi Farmasi Indonesia dalam
bidang pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit sebagai berikut
82,93%14,63%
2,44%Tidak Siap Siaptidak mencantumkan
Gambar 4. Gambaran kesiapan responden dalam bidang Rumah Sakit
secara umum
Alasan-alasan yang diberikan oleh responden terhadap tingkat kesiapan
dirinya dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasi Indonesia dalam bidang
Rumah Sakit tertera di dalam tabel XIII dan XIV di bawah ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
Tabel XIII. Alasan-alasan responden mengenai ketidaksiapan responden dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia dalam bidang
pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit
No. Alasan Persentase
(%)
1 Ilmu pengetahuan yang dimiliki belum cukup mendalam dan belum berpengalaman 33,33
2 Tidak semua kriteria dapat dipenuhi 16,67
3 Pemahaman dunia profesi masih kurang 16,67
4 Fasilitas dan sistem pembelajaran masih belum optimal 16,67
5 Tidak memberikan alasan 16,67
Total 100
Alasan utama ketidaksiapan mahasiswa program profesi Apoteker adalah
ilmu pengetahuan yang dimiliki belum cukup mendalam dan belum berpengalaman.
Tabel XIV. Alasan-alasan responden mengenai kesiapan responden dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia pada bidang
pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit
No. Alasan Persentase (%)
1 Bekal ilmu pengetahuan toritis cukup 17,64
2 Learning by doing 14,71
3 Menunjukkan keberadaan Apoteker 11,77
4 Tuntutan 11,77
5 Kemajuan peran profesi Apoteker 8,82
6 Mewujudkan Pharmaceutical care 5,88
7 Ada SPO (Standar Prosedur Operasional) 2,94
8 Pengalaman cukup 2,94
9 Profesionalitas 2,94
10 Optimis 2,94
11 Berminat 2,94
12 Tidak memberi alasan 14,71
Total 100
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
Berdasarkan alasan yang diberikan, alasan utama kesiapan mahasiswa
program profesi Apoteker adalah bekal ilmu pengetahuan teoritis yang mereka miliki
dirasa cukup.
2. Bidang Apotek
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek mendefinisikan apotek sebagai
tempat, tertentu, tempat dilakukan pekerjan kefarmasian dan penyaluran sediaan
farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia nomor 25 tahun 1980 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah nomor 26 tahun 1965 tentang Apotik pasal 1 mengatur tentang tugas dan
fungsi apotek.
Tugas dan fungsi apotik adalah: a. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan
sumpah; b. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk,
pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat; c. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang
diperlukan masyarakat secara meluas dan merata. Pengelolaan apotik menjadi tugas dan tanggung jawab seorang apoteker.
Sebesar 21,05% minat responden tertarik pada bidang pelayanan di Apotek.
Berikut gambaran kesiapan responden dalam bidang kegiatan yang terdapat dalam
bidang pelayanan kefarmasian di Apotek berdasarkan sudut pandang responden.
a. Asuhan kefarmasian
Secara umum, kompetensi di Apotek hampir sama dengan kompetensi
di Rumah Sakit. Perbedaan terletak pada kompetensi yang dibutuhkan untuk
menjalankan asuhan kefarmasian. Pada bidang Apotek tidak mencantumkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
kompetensi membuat formulasi khusus sediaaan obat yang mendukung proases
terapi, pelayanan klinik berbasis farmakokinetika, dan penatalaksanaan obat
sitostatika dan obat atau bahan obat yang setara. Gambaran kesiapan responden
di tiap bidang kegiatan dalam kompetensi asuhan kefarmasian di apotek dapat
dilihat dalam tabel XV berikut
Tabel XV. Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi A (Asuhan Kefarmasian) dalam bidang pelayanan kefarmasian di apotek
No Bidang Kegiatan STS (%)
TS (%)
R (%)
S (%)
SS (%)
1. Memberikan pelayanan obat kepada pasien atas permintaan dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan baik verbal maupun non verbal.
4,17 - - 54,16 41,67
2. Memberikan pelayanan kepada pasien atau masyarakat yang ingin melakukan pengobatan mandiri.
- - 4,17 54,16 41,67
3. Memberikan pelayanan informasi obat. - - 4,17 50 45,83
6. Melakukan evaluasi penggunaan obat. 4,17 4,17 25 41,66 25
Berdasarkan gambaran di atas, tingkat kesiapan responden telertak pada
kompetensi kelima, yaitu melakukan monitoring efek samping obat. Hal ini
diduga berkaitan dengan sulitnya untuk mengenal dan mengetahui identitas dan
alamat pasien yang pernah datang di apotek, jumlah pasien yang datang kembali
ke apotek setelah penggunaan obat dan terbatasnya apoteker yang bekerja di
apotek. Pengecualian dilakukan apabila apoteker melakukan pelayanan
residensial (home care). Melalui medical record yang dibuat, seorang apoteker
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
dapat melakukan monitoring efek samping obat yang mungkin terjadi pada saat
melakukan pelayanan residensial.
b. Akuntabilitas praktek farmasi
Gambaran kesiapan responden di tiap bidang kegiatan dalam
kompetensi akuntabilitas praktek farmasi di apotek dapat dilihat dalam tabel XVI
berikut
Tabel XVI. Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi B (Akuntabilitas Praktek Farmasi) dalam bidang pelayanan kefarmasian
di apotek
No Bidang Kegiatan STS (%)
TS (%)
R (%)
S (%)
SS (%)
1. Menjamin praktek kefarmasian berbasis bukti ilmiah dan etika profesi.
8,33 4,17 12,50 58,33 16,67
2.
Merancang, melaksanakan, memonitor dan evaluasi dan mengembangkan standar kerja sesuai arahan pedoman yang berlaku.
8,33 4,17 16,67 58,33 12,50
3. Bertanggung jawab terhadap setiap keputusan profesional yang diambil. 4,17 - 8,33 58,33 29,17
4.
Melakukan kerjasama dengan pihak lain yang terkait atau bertindak mandiri dalam mencegah kerusakan lingkungan akibat obat.
4,17 - 16,67 54,16 25
5.
Melakukan perbaikan mutu pelayanan secara terus menerus dan berkelanjutan untuk memenuhi kepuasan stakeholder.
4,17 - 12,50 45,83 37,50
Pada kompetensi kelima dapat dilihat bahwa responden yang mengisi
kolom sangat setuju memiliki persentase tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
responden akan selalu berupaya meningkatkan kualitas dirinya, sehingga mutu
pelayanan yang diberikannya dapat selau terjaga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
c. Manajemen praktis farmasi
Gambaran kesiapan responden di tiap bidang kegiatan dalam
kompetensi manajemen praktis farmasi di apotek dapat dilihat dalam tabel XVII
berikut
Tabel XVII. Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi C (Manajemen Praktis Farmasi) dalam bidang pelayanan kefarmasian
di apotek
No Bidang Kegiatan STS (%)
TS (%)
R (%)
S (%)
SS (%)
1. Merancang, membuat, mengetahui, memahami dan melaksanakan regulasi di bidang farmasi.
8,33 4,17 25 45,83 16,67
2. Merancang, membuat, melakukan pengelolaan apotek yang efektif dan efisien.
8,33 - 16,67 54,17 20,83
3. Merancang, membuat, melakukan pengelolaan obat di apotek yang efektif dan efisien.
4,17 4,17 12,50 54,16 25
4.
Merancang organisasi kerja yang meliputi: arah dan kerangka organisasi, sumber daya manusia, fasilitas, keuangan, termasuk sistem informasi manajemen.
- 4,17 20,83 54,17 20,83
5.
Merancang, melaksanakan, memantau dan menyesuaikan struktur harga, berdasarkan kemampuan bayar dan kembalian modal serta imbalan jasa praktek kefarmasian.
- 8,34 20,83 50 20,83
6.
Memonitor dan evaluasi penyelenggaraan seluruh kegiatan operasional mencakup aspek menajemen maupun asuhan kefarmasian yang mengarah pada kepuasan konsumen.
4,17 - 4,17 70,83 20,83
Berdasarkan gambaran di atas, tingkat kesiapan yang paling rendah
terletak pada kompetensi pertama, yaitu tentang regulasi di bidang farmasi.
diduga, hal ini terjadi dikarenakan kurangnya kesadaran responden dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan cenderung untuk mengabaikan
peraturan perundang-undangan tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
d. Komunikasi farmasi
Gambaran kesiapan responden di tiap bidang kegiatan dalam
kompetensi komunikasi farmasi di apotek dapat dilihat dalam tabel XVIII berikut
Tabel XVIII. Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi D (Komunikasi Farmasi) dalam bidang pelayanan kefarmasian di apotek
No Bidang Kegiatan STS (%)
TS (%)
R (%)
S (%)
SS (%)
1.
Memantapkan hubungan profesional antara farmasis dengan pasien dan keluarganya dengan sepenuh hati dalam suasana kemitraan untuk menyelesaikan masalah terapi obat pasien
4,17 - 4,17 45,83 45,83
2.
Memantapkan hubungan profesional antara farmasis dengan tenaga kesehatan lain dalam rangka mencapai keluaran terapi yang optimal khususnya dalam aspek obat.
- 4,17 12,50 50 33,33
3.
Memantapkan hubungan dengan semua tingkat/lapisan manajemen dengan bahasa manajemen berdasarkan atas semangat asuhan kefarmasian.
4,17 - 29,16 41,67 25
4.
Memantapkan hubungan dengan sesama farmasis berdasarkan saling menghormati dan mengakui kemampuan profesi demi tegaknya martabat profesi.
4,17 - 4,17 58,33 33,33
Berdasarkan gambaran di atas, tingkat kesiapan responden yang
terendah terletak pada kompetensi ketiga. hal ini terjadi diduga karena kurangnya
bekal mengenai manajemen farmasi selama pendidikan profesi farmasi. Bobot
mata kuliah Manajemen Farmasi di dalam kurikulum program pendidikan profesi
apoteker berkisar 2-3 sks (sistem kredit semester).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
e. Pendidikan dan pelatihan farmasi
Gambaran kesiapan responden di tiap bidang kegiatan dalam
kompetensi pendidikan dan pelatihan farmasi di apotek dapat dilihat dalam tabel
XIX berikut
Tabel XIX. Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi E (Pendidikan dan Pelatihan Farmasi) dalam bidang pelayanan kefarmasian
di apotek
No Bidang Kegiatan STS (%)
TS (%)
R (%)
S (%)
SS (%)
1. Memotivasi, mendidik dan melatih farmasis lain dan mahasiswa farmasi dalam penerapan asuhan kefarmasian.
4,17 - 16,67 58,33 20,83
2.
Merencanakan dan melakukan aktivitas pengembangan staf, bagi teknisi di bidang farmasi, pekarya, dan juru resep dalam rangka peningkatan efisiensi dan kualitas pelayanan farmasi yang diberikan
4,17 - 4,17 66,66 25
3. Berpartisipasi aktif dalam pendidikan dan pelatihan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas diri dan kualitas praktek kefarmasian.
4,17 - 12,50 50 33,33
4.
Mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan dalam bidang kesehatan umum, penyakit dan manajemen terapi kepada pasien, profesi kesehatan dan masyarakat.
4,17 - 8,33 62,50 25
f. Penelitian dan pengembangan kefarmasian
Gambaran kesiapan responden di tiap bidang kegiatan dalam
kompetensi penelititan dan pengembangan kefarmasian di apotek dapat dilihat
dalam tabel XX berikut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
Tabel XX. Kesiapan responden dalam pelaksanaan kompetensi F (Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian) dalam bidang pelayanan
kefarmasian di apotek
No Bidang Kegiatan STS (%)
TS (%)
R (%)
S (%)
SS (%)
1.
Melakukan penelitian dan pengembangan, mempresentasikan dan mempublikasikan hasil penelitian dan pengembangan kepada masyarakat dan profesi kesehatan lain.
4,17 - 50 29,16 16,67
2. Menggunakan hasil penelitian dan pengembangan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan dan peningkatan mutu praktek kefarmasian
4,17 - 16,67 58,33 20,83
Berdasarkan pernyataan mahasiswa program profesi Apoteker yang
diberikan, diperoleh gambaran mengenai kesiapan mahasiswa program profesi
Apoteker menghadapi Standar Kompetensi Farmasi Indonesia dalam bidang
pelayanan kefarmasian di Apotek sebagai berikut
83,33%
16,67%
Tidak SiapSiap
Gambar 5. Gambaran kesiapan responden dalam bidang Apotek secara
Umum
Alasan-alasan yang diberikan oleh responden terhadap tingkat kesiapan
dirinya dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasi Indonesia dalam bidang
Apotek tertera di dalam tabel XXI dan XXII berikut ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
Tabel XXI. Alasan-alasan responden mengenai ketidaksiapan responden dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia
dalam bidang pelayanan kefarmasian di Apotek
No. Alasan Persentase (%)
1 Ilmu pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki belum cukup mendalam, terutama manajemen dan komunikasi
50
2 Tidak memberikan alasan 50
Total 100
Berdasarkan data yang dapat dilihat pada tabel XXI, 50% responden yang
menyatakan tidak siap dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia
dalam bidang pelayanan di Apotek mempunyai alasan karena pengetahuan dan
kemampuan yang didapat selama masa perkuliahan baik di jenjang strata satu
ataupun program profesi Apoteker belum cukup membekali responden.
Tabel XXII. Alasan-alasan responden mengenai kesiapan responden dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia pada bidang
pelayanan kefarmasian di Apotek
No. Alasan Persentase (%)
1 Learning by doing 25
2 Tuntutan profesi 20
3 Profesionalitas sebagai Apoteker 10
4 Bekal ilmu pengetahuan cukup 10
5 Selalu ada kesempatan untuk Mempersiapkan diri 10
6 Agar profesi Apoteker semakin dihargai dan diakui 5
7 Optimis 5
8 Berminat di bidang farmasi komunitas 5
9 Meningkatkan kualitas Apoteker 5
10 Tidak memberikan alasan 5
Total 100
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
Dari tabel XXII dapat dilihat bahwa 25% responden yang menyatakan siap
dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia dalam bidang pelayanan
kefarmasian di Apotek memberikan alasan dapat selalu belajar sambil bekerja.
3. Bidang Industri
Bidang Industri memiliki lima fungsi Industrial yang dapat diisi oleh seorang
calon Apoteker. Kelima fungsi Industrial tersebut adalah Quality Management
(Manajemen Mutu), Production Management (Manajemen Produksi), Product
Development (Pengembangan Produk), Material Management (Manajemen
Persediaan), dan Regulatory and Product Information (Regulasi dan Informasi
Produk) (Anonim, 2004).
Sebesar 42,98% minat responden tertarik pada bidang pelayanan di
Industri. Berikut gambaran kesiapan responden dalam bidang kegiatan yang terdapat
dalam bidang pelayanan kefarmasian di Industri berdasarkan sudut pandang
responden.
a. Quality Management (Manajemen Mutu)
Pedoman CPOB mencantumkan salah satu tugas pokok bagian
pengawasan mutu, yaitu menyusun dan merivisi prosedur pengawasan dan
spesifikasi serta menyiapkan instruksi tertulis yang rinci untuk tiap pemeriksaan,
pengujian dan analisis. Manajer pengawasan mutu hendaklah seorang apoteker
yang cakap, terlatih dan memiliki pengalaman praktis di bidang indutri farmasi
dan keterampilan dalam kepeminmpinan sehingga memungkinkan melaksanakan
tugas secara profesional. Manajer pengawasan mutu hendaklah diberi wewenang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
dan tanggungjawab penuh dalam tugas pengawasan mutu yaitu dalam
penyusunan verifikasi dan pelaksanaan seluruh prosedur pengawasan mutu.
Gambaran kesiapan responden di tiap bidang kegiatan dalam kompetensi
manajemen mutu di industri dapat dilihat dalam tabel XXIII berikut
Tabel XXIII. Kesiapan responden dalam fungsi industrial Quality Management di Industri
7. Kalibrasi, kualifikasi, dan validasi - 6,12 32,66 53,06 8,16
8. Pengendalian perubahan (change control). - 8,16 20,41 65,31 6,12
c. Product Development (Pengembangan Produk)
Gambaran kesiapan responden di tiap bidang kegiatan dalam
kompetensi pengembangan produk di industri dapat dilihat dalam tabel XXV
berikut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Tabel XXV. Kesiapan responden dalam fungsi industrial Product Development di Industri
No Bidang Kegiatan STS (%)
TS (%)
R (%)
S (%)
SS (%)
1. Formulasi. - - 12,25 73,46 14,29
2. Teknologi farmasi - 2,04 32,66 55,10 10,20
3. Pengembangan bahan pengemas - 4,08 12,25 71,42 12,25
4. Penyiapan data penunjang registrasi - 10,20 14,29 69,39 6,12
d. Material Management (Manajemen Persediaan)
Gambaran kesiapan responden di tiap bidang kegiatan dalam
kompetensi manajemen persediaan di industri dapat dilihat dalam tabel XXVI
berikut
Tabel XXVI. Kesiapan responden dalam fungsi industrial Material Management di Industri
No Bidang Kegiatan STS (%)
TS (%)
R (%)
S (%)
SS (%)
1. Pengadaan barang (procurement) untuk produk obat. - 2,04 14,29 75,51 8,16
2. Pergudangan - - 8,16 83,68 8,16
3. Production Planning and Inventory Control (PPIC). - 4,08 22,45 65,31 8,16
e. Regulatory and Product Information (Regulasi dan Informasi Produk)
Gambaran kesiapan responden di tiap bidang kegiatan dalam
kompetensi regulasi dan informasi produk di industri dapat dilihat dalam tabel
XXVII berikut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
Tabel XXVII. Kesiapan responden dalam fungsi industrial Regulatory and Product Information di Industri
No Bidang Kegiatan STS (%)
TS (%)
R (%)
S (%)
SS (%)
1. Registrasi. - 8,16 28,57 48,98 14,29
2. Regulasi. - - 16,33 75,51 8,16
3. Sertifikasi. - 2,04 14,29 75,51 8,16
4. Informasi produk. - 2,04 6,12 73,47 18,37
5. Permohonan izin dan pelaporan hasil uji klinik. 2,04 4,08 22,45 67,35 4,08
6. Pelaporan MESO. - 4,08 20,41 69,39 6,12
7. Pelaporan penanganan keluhan dan penarikan kembali produk jadi.
- - 14,29 75,51 10,20
Berdasarkan data pada tabel XXVII terlihat bahwa responden masih
merasa tidak siap pada bidang registrasi. Ini terjadi diduga karena memang belum
adanya pengetahuan yang diberikan secara mendetail tentang tugas seorang
apoteker diindustri khususnya dalam tata cara registrasi.
Berdasarkan pernyataan responden yang diperoleh dari jawaban pertanyaan
yang diajukan oleh peneliti, telah diperoleh gambaran mengenai kesiapan mahasiswa
program profesi Apoteker menghadapi Standar Kompetensi Farmasi Indonesia dalam
bidang pelayanan kefarmasian dibidang Industri sebagai berikut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
18,37%
81,63%
Tidak Siap Siap
Gambar 6. Gambaran kesiapan responden dalam bidang Industri secara umum
Alasan-alasan yang diberikan oleh responden terhadap tingkat kesiapan
dirinya dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasi Indonesia dalam bidang
Industri tertera di dalam tabel XXVIII dan XXIX di bawah ini
Tabel XXVIII Alasan-alasan responden mengenai ketidaksiapan responden dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia
dalam bidang pelayanan kefarmasian di Industri
No. Alasan Persentase (%)
1 Ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki belum cukup 33,33
2 Ilmu pengetahuan yang dimiliki belum cukup 22,22
3 Kurang pengalaman 22,22
4 Tidak semua kriteria yang diajukan dapat dikuasai 11,11
5 Tidak memberi alasan 11,11
Total 100
Berdasarkan tabel XXVIII di atas, alasan utama ketidaksiapan responden
adalah belum cukupnya ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
Tabel XXIX. Alasan-alasan responden mengenai kesiapan responden dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia pada bidang
pelayanan kefarmasian di Industri
No. Alasan Persentase (%)
1 Bekal ilmu pengetahuan teoritis dan pengalaman KP 20
2 Bekal ilmu pengetahuan teoritis cukup 20
3 Learning by doing 15
4 Tidak memberi alasan 7,5
5 Persiapan diri sejak awal untuk kerja di Industri 7,5
6 Bekal ilmu pengetahuan teoritis cukup dan terus belajar 7,5
7 Ada training di awal kerja 5
8 Meningkatkan mutu Apoteker 5
9 Tuntutan 5
10 Ada PROTAP dan SOP 2,5
11 Sarana prasarana perkuliahan yang mendukung 2,5
12 Optimis 2,5
Total 100
Berdasarkan alasan yang diberikan, alasan utama kesiapan responden
adalah bekal ilmu pengetahuan teoritis yang cukup dan mempunyai pengalaman dari
Kerja Praktek.
C. Rangkuman Pembahasan
Rangkuman pembahasan berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut:
1. Pola distribusi minat pada bidang pelayanan kefarmasian di dua Perguruan
Tinggi Farmasi di Jawa Barat adalah sebagai berikut:
a. rumah sakit sebesar 35,97%
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
b. apotek sebesar 21,05%
c. industri sebesar 42,98%
2. Gambaran umum minat responden dalam tiga bidang pelayanan kefarmasian di
Jawa Barat dapat dilihat pada gambar 7 berikut ini:
35,97%
21,05%
42,98%
0,00%
10,00%
20,00%
30,00%
40,00%
50,00%
Apotek Industri Rumah Sakit
Gambar 7. Distribusi minat responden pada tiga bidang pelayanan kefarmasian di Jawa Barat
3. Kesiapan responden dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasis
Indonesia dalam bidang pelayanan kefarmasian :
a. rumah sakit:
1) responden yang menyatakan siap sebanyak 82,93%
2) responden yang menyatakan tidak siap sebanyak 14,63%
3) responden yang tidak menyatakan kesiapannya sebanyak 2,44%
b. apotek:
1) responden yang menyatakan siap sebanyak 83,33%
2) responden yang menyatakan tidak siap sebanyak 16,67%
c. industri:
1) responden yang menyatakan siap sebanyak 81,63%
2) responden yang menyatakan tidak siap sebanyak 18,37%
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
4. Gambaran umum kesiapan responden dalam menghadapi Standar Kompetensi
Farmasis Indonesia dapat dilihat pada gambar 8 berikut ini :
Gambar 8. Gambaran umum kesiapan responden
0102030405060708090
rumah sakit apotek industri
tidak siapsiap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini pada umumnya adalah
sebagai berikut:
1. pola distribusi minat pada bidang pelayanan kefarmasian di dua Perguruan
Tinggi Farmasi di Jawa Barat adalah sebagai berikut:
a. rumah sakit sebesar 35,97%
b. apotek sebesar 21,05%
c. industri sebesar 42,98%
2. kesiapan responden dalam menghadapi Standar Kompetensi Farmasis
Indonesia dalam bidang pelayanan kefarmasian :
a. rumah sakit:
1) responden yang menyatakan siap sebanyak 82,93%
2) responden yang menyatakan tidak siap sebanyak 14,63%
3) responden yang tidak menyatakan kesiapannya sebanyak 2,44%
b. apotek:
1) responden yang menyatakan siap sebanyak 83,33%
2) responden yang menyatakan tidak siap sebanyak 16,67%
c. industri:
1) responden yang menyatakan siap sebanyak 81,63%
2) responden yang menyatakan tidak siap sebanyak 18,37%
99
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
B. SARAN
Saran yang diberikan terkait dengan penelitian ini adalah:
1. perlu diadakan sosialisasi mengenai Standar Kompetensi Farmasis Indonesia
kepada seluruh mahasiswa farmasi dan profesi apoteker dan apoteker.
2. perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara kurikulum
pendidikan di lembaga pendidikan tinggi farmasi dengan kualitas Apoteker
lulusan lembaga pendidikan tinggi farmasi dalam segi kepuasan stakeholder.
3. perlu dilakukan kajian ulang mengenai kurikulum pendidikan strata satu
farmasi dan profesi apoteker, agar seluruh lulusan yang dihasilkan setiap
perguruan tinggi dapat memenuhi Standar Kompetensi Farmasis Indonesia.
4. perlu dilakukan tambahan ilmu pengetahuan dan ketrampilan bagi mahasiswa
profesi apoteker, terutama ilmu manajemen dan komunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
DAFTAR PUSTAKA
Adi, 2004, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, 79-82, Granit, Jakarta. Ahaditomo, 2000, Membangun Kembali Peran Farmasis Indonesia sebagai Guardian
bagi Konsumen Obat, Makalah Seminar tentang Dampak UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen Konferensi Daerah ISFI DKI Jakarta, Senin, 24 Juli 2000, DKI Jakarta.
Anief, M., 1995, Manajemen Farmasi, Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta. Anonim, 1962, Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1962 Tentang Lafal
Sumpah/Janji Apoteker, Jakarta. Anonim, 1980, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotek, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Anonim, 1992, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Anonim, 1993, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/MENKES/PER/X/1993
Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Anonim, 1996, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tentang Tenaga Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Anonim, 1999, Pharmacy Education - A Vision Of The Future,
http://www.aacp.org/site/view.asp Diakses tanggal 5 Juli 2005. Anonim, 2000, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
949/MENKES/PER/VI/2000 Tentang Registrasi Obat Jadi, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Anonim, 2001, Pedoman Cara Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB), Badan
Pengawas Obat dan Makanan, Jakarta. Anonim, 2002a, Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
HK.00.05.3.02706 Tahun 2002 Tentang Promosi Obat, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, Jakarta.
Anonim, 2002b, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 1332//MENKES/SK/X/2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomr 922/MENKES/PER/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Anonim, 2003, Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
HK.00.05.3.1950 Tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, Jakarta.
Anonim, 2004a, Standar Kompetensi Farmasis Indonesia, Badan Pimpinan Pusat
Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Jakarta. Anonim, 2004b, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Anonim, 2004c, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Anonim, 2004d, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 131/MENKES/SK/II/2004
Tentang Sistem Kesehatan Nasional, Depertemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Anonim, 2005a, Strategi Pembangunan Kesehatan,
http://www.depkes.go.id/showis.php?tid=Strategi Diakses tanggal 1 Juli 2005.
Anonim, 2005b, Surat Keputusan Majelis Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi
Indonesia Nomor: 002/APTFI/MA/2005, Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia, Bandung.
Anonim, 2005c, Keputusan Kongres Nasional XVII ISFI Nomor: 007/KONGRES
XVII/ISFI/2005 Tentang Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Denpasar.
Anonim, 2005d, The Role Of The Pharmacist In Self-Care And Self-Medication,
http://www.who.int, Diakses tanggal 14 September 2005. Aslam, M., Tan, C.K., Prayitno., 2003, Farmasi Klinis, Gramedia, Jakarta. Faisal, S., 1981, Dasar dan Teknik Menyusun Angket, 23, 37-38, Usaha Nasional,
Harding, G., Sarah, N., and Kevin T., 1993, Sociology For Pharmacists An Introduction, 73-83, The Macmillan Press, LTD, London.
Harding, G., Sarah, N., and Kevin T., 1994, Social Pharmacy Innovation and Development, 5, The Pharmaceutical Press, London.
Kountur, R., 2005, Metode Penelitian untukPenulisan Skripsi dan Tesis, 103-109,
137-145, 152-161,167-183, Penerbit PPM, Jakarta. Kuncoro, H., 2004, Sikap Farmasis di Apotek pada Kecamatan Danurejan
Kotamadya Jogjakarta terhadap Standar Kompetensi Farmasi Indonesia, Skripsi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Yogyakarta.
Mardalis, 2006, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, 24-29,53-69, Bumi
Aksara, Jakarta. Martodiharjo, S., 2004, Pharmaceutical Care Practices, Makalah, Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. McIntyre, L.J., 2005, Need to Know: Social Science Research Methods, 151-165,
McGraw Hill Companies. Inc., New York. Nawawi, H., 1985, Metode Penelitian Bidang Sosial, 117-125, 137-160, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta. Notoatmodjo, S., 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Rhineka Cipta, Jakarta. Nurjaman, E., 2004, Sikap Farmasis di Apotek pada Kecamatan Depok Kabupaten
Sleman terhadap Standar Kompetensi Farmasi Indonesia, Skripsi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.