Kesesatan Paham Murjiah Dalam Contoh Kehidupan Sehari-hari Dari
... wirawan
Kesesatan Paham Murjiah Dalam Contoh Kehidupan Sehari-hari
Segala puji hanya milik Allah Subhaanahu Wa Taaalaa. Shalawat
dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah tercinta,
Muhammad bin Abdullah, segenap keluarga, para sahabat dan umatnya
yang setia.
Menghukumi Seseorang Dari Perbuatannya
Seorang pencuri di manapun, di zaman apapun tetap dihukumi
pencuri. Meskipun dia tidak mengatakan, "Hey orang-orang, saksikan
bahwa aku ini pencuri". Atau tak perlu menunggu pengakuannya dulu
bahwa ia habis mencuri. Karena yang penting bukti atau ada saksinya
bahwa ia pencuri saja sudah cukup, meskipun ia tidak mengaku
(mencuri).
Seorang pezina di manapun, di zaman apapun tetap dianggap
pezina. Meskipun dia tidak bilang, "Hai orang-orang, saksikan bahwa
aku ini pezina". Atau menunggunya mengatakan, tadi malam aku habis
berzina dengan fulanah.
Karena pencuri, pezina dihukumi sebagai pencuri atau pezina
karena perbuatannya, bukan karena ucapannya.
Sama halnya seseorang yang menjadikan dirinya sebagai sesembahan
(tuhan palsu) karena membuat hukum yang bertentangan dengan hukum
Allah, tidak perlu mengucapkan, "Hai manusia, mari kita tinggalkan
hukum Allah." Atau, "Ikutilah hukum yang kami buat meskipun
bertentangan dengan hukum Allah".
Apabila ia meyakini yang hukum Allah adalah yang tertinggi,
namun ia bersumpah jabatan akan menghormati hukum kafir maka ia
termasuk berpaham Murjiah. Iblis pun sama dengannya. Iblis juga
mengakui kekuasaan Allah, yakin bahwa Allah mempunyai
aturan-aturan, yakin adanya surga dan neraka, namun Iblis tetaplah
kafir. Keyakinannya tidak bermanfaat karena diikuti perbuatan
menyelisihi perintah Allah.
Muslim Wajib Tunduk Kepada Hukum Allah SWT
"Tidak ada yang berhak memutuskan hukum kecuali Allah...!" tegas
Sayyid Quthb "Hanya Allah-lah yang berhak melakukannya, karena Dia
adalah Tuhan alam semesta. Sedang hakimiyah (supremasi hukum)
termasuk kekhususan Allah sebagai tuhan. Maka siapa yang mengklaim
hak ini, berarti ia telah merampas kekhususan uluhiyyah Allah, baik
yang mengklaim itu adalah individu, kelompok, partai, lembaga, umat
atau seluruh manusia dalam bentuk lembaga internasional. Siapa saja
yang mengklaim dan merampas kekhususan uluhiyyah Allah yang paling
utama, maka ia telah kafir kepada Allah dengan kekafiran yang
nyata. Kekafirannya menjadi aksioma (yang tak terbantahkan) meski
hanya berdasar dengan satu dalil ini saja.
Pengklaiman ini tidak mesti dengan berucap, "Aku tidak
mengetahui ada tuhan selain aku," atau, "Aku adalah rabb kalian
yang paling tinggi," dengan terang-terangan, sebagaimana yang
diucapkan oleh Fir'aun. Namun, ia divonis telah "mengklaim dan
merampas hak ini dari Allah" cukup dengan perbuatannya
menyingkirkan syariat Allah dari supremasi hukum dan menyusun
undang-undang yang bersumber dari selain Allah Azza wa Jaala. Atau
cukup dengan meyakini bahwa ada pihak selain Allah Azza wa Jaala
yang memiliki hak supremasi hukum, meskipun pihak itu adalah
seluruh umat ini atau seluruh manusia di muka bumi."
Terhadap penggalan firman Allah Ta'ala, "Dia telah memerintahkan
agar kamu tidak menyembah selain Dia', Sayyid Quthb bertutur,
"Ketika kita memahami makna ibadah dengan pemahaman seperti inidi
mana ketundukan hanyalah pada Allah semata dan mengikuti perintah
hanya ditujukan kepadaNyaakan pahamlah kita, kenapa Yusuf a.s.
menetapkan bahwa Allah saja yang berhak diibadahi sebagai landasan
Dia-lah satusatunya yang berhak memutuskan hukum.
Sekali lagi kita dapati, bahwa perampasan hak untuk memutuskan
hukum dari Tangan Allah Azza wa Jalla akan mengeluarkan sang
perampas dari dien Allahsecara otomatiskarena perbuatan itu
mengeluarkannya dari peribadatan kepada Allah semata. Inilah
kesyirikan yangtidak bisa tidakpasti akan mengeluarkan para
pelakunya dari dien Allah. Selesai nukilan dari Sayyid Quthb.
(Sumber : Fie Zhilal Al-Quran)
Niat Saja Masih Belum Cukup
Suatu perbuatan dosa atau kekafiran juga tidak pernah menjadi
halal karena niat pelakunya baik.
Niat baik tidak bisa menjadikan sesuatu yang haram (apalagi
kesyirikan atau kekafiran) menjadi halal.
Contoh, seorang pencuri tetap dihukumi sebagai pencuri meskipun
niatnya baik semisal agar bisa memberi makan keluarganya. Meskipun
pencuri tadi tidak berniat buruk supaya korbannya mengalami
kerugian atau menjadi sedih, tetap saja mencuri adalah perbuatan
haram dan berdosa bila melakukannya.
Begitu juga selingkuh yang disertai zina, meskipun tidak berniat
menyakiti pasangan dan anak anaknya, berzina tetaplah merupakan
perbuatan dosa besar. Meskipun mungkin niatnya cuma melakukan
sekali kali, atau daripada harus bercerai kan kasihan keluarga.
Allah telah mengingatkan kita melalui firman-Nya (yang
artinya)
Dan sesungguhnya iblis telah dapat membuktikan kebenaran
sangkaannya terhadap mereka lalu mereka mengikutinya, kecuali
sebahagian orang-orang yang beriman. (QS. Saba' : 20)
Tidak Menyembunyikan Kebenaran
Kebenaran dan melaksanakan kebenaran sesuai tuntunan Al-Quran
dan As-Sunnah, adalah hal yang paling ditakuti oleh orang-orang
Kafir dan orang-orang Munafik.
Karena kenapa?
Karena kebenaran akan mengungkap Kekafiran dan Kemunafikan
mereka.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam misalnya, beliau juga
tidak menyembunyikan Surat Al-Lahab bahkan beliau mengatakan kepada
musyrikin, Hai orang orang Kafir! (QS Al-Kafirun) dengan alasan
demi kemaslahatan dakwah. Supaya pengikut beliau banyak, supaya
tidak mendapat penolakan dari kaummnya dsb.
Begitu juga, menyetujui demokrasi berarti menyetujui hukum itu
tergantung, relatif. Kalau kebanyakan manusia setuju yang haram
dihalalkan ya tidak apa apa, atau sebaliknya. Menyetujui demokrasi,
apalagi menjadikan dirinya sebagai Arbab (tuhan tuhan selain
Allah), atau melakukan perbuatan kafir karena memutuskan berbagai
perkara dengan menggunakan selain hukum Allah dan Rasul-Nya. ).
(Lihat tafsir Ibnu Katsir QS At-Taubah : 31, QS Al-An aam: 121, QS
Al-Maidah : 44, QS An-Nisa : 59 ). Sekaligus juga mengakui bolehnya
orang kafir menjadi pemimpin muslim, asal ia mendapat suara
terbanyak.
Apakah ketidak tahuan bisa dijadikan hujjah bahwa mereka bukan
musyrik?
Allah berfirman yang artinya :
Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta
perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat
mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman
baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.
(QS At-Taubah : 6)
Di atas disebutkan: "supaya ia sempat mendengar firman Allah".
Bagaimana dengan orang yang sempat mendengar firman Allah SWT,
memiliki Al-Quran, rajin membacanya dan mungkin hafal isinya?
Apakah ini bukan lebih musyrik atau kafir lagi?
Kekafiran (Murtad) Tak Perlu Niat
Kekafiran (murtad) tak perlu niat untuk murtad,
...atau murtad hanya dipahami pindah dari Islam ke Nasrani
sebagaimana yang diketahui oleh umum.
Abu Misyar al Madini berkata dari Muhammad bin Kaab al-Qurazhi
dan lain lain, mereka berkata, seseorang dari kaum munafik berkata
: Aku tidak melihat para Qari kita, melainkan mereka adalah orang
orang yang paling banyak makannya (rakus), paling dusta bicaranya
dan paling penakut jika berhadapan dengan musuh.
Maka perkataan ini diadukan kepada Rasulullah saw. Lalu orang
yang bersangkutan datang kepada beliau yang saat itu telah
berangkat dengan mengendarai untanya. Ia berkata, Ya Rasulullah,
saat itu kami hanya bermain main. Maka Rasulullah membacakan (yang
artinya):
Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.
Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat),
niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka
adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. (QS At Taubah [9] :
66)
Dan bahwa kedua kaki orang tersebut membentur batu (NB: mungkin
maksudnya terseret sambil memohon-mohon minta maaf karena unta
beliau sedang berjalan), tetapi Rasulullah saw sama sekali tidak
menoleh kepadanya, sedang ia memegangi pedang Rasulullah saw.
Di ayat sebelumnya Allah SWT berfirman bahwa mereka bermain main
(tidak serius), lengkapnya adalah (artinya) :
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka
lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, "Sesungguhnya kami
hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja." Katakanlah: "Apakah
dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu
berolok-olok?" (QS At Taubah [9] : 65)
Untuk yang Cuma bersenda gurau dan bermain-main saja sudah
dihukumi Kafir setelah beriman. Apalagi yang serius menyetujui
sistem kufur atau bersumpah akan setia kepada hukum kufur atau
menerapkan hukum kufur di tengah-tengah muslim? Yang melakukan
demikian pelakunya bisa jatuh ke dalam kekafiran atau menjadi orang
munafik (mengaku Islam tapi bukan)
Ada lagi riwayat tentang ayat di atas, bahwa murtad itu bisa
terjadi karena kebodohan, yaitu karena tidak tahu apa saja yang
bisa dianggap murtad.
Qatadah berkata, maka ketika Nabi saw di perang Tabuk, sementara
sekelompok orang munafik berjalan di depan beliau dan berkata:
Orang ini mengira akan menaklukan Istana dan Benteng Romawi,
sungguh mustahil.
Maka Allah SWT memberitahukan kepada Nabi saw apa yang mereka
katakan. Beliau berkata, Datangkan mereka kepadaku! setelah mereka
datang, beliau berkata, Kalian berkata begini dan begitu. Maka
mereka bersumpah dan mengatakan bahwa mereka hanya bercanda dan
bermain main. Firman-Nya: Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu
kafir sesudah beriman. Dan seterusnya.... (Sumber: Tafsir Ibnu
Katsir)
Niat baik saja tidak cukup...(apalagi membuat sesuatu yang haram
menjadi halal)
Dari A'isyah RA yang mengisahkan beberapa orang sahabat Nabi
SAW. yang bertanya kepada A'isyah RA. tentang amal ibadah Nabi
SAW.yang dilakukan sembunyi-sembunyi. Setelah tahu, saking
takjubnya diantara mereka ada yang bersumpah untuk tidak menikah.
Ada yang bertekad untuk tidak menyantap daging. Dan ada pula yang
bersumpah untuk tidak tidur di atas kasur. Mengetahui hal itu, Nabi
SAW. bersabda, "Ada apa gerangan dengan orang-orang itu, bersumpah
demikian dan demikian. Padahal aku shalat, tetapi aku juga tidur;
aku puasa, tetapi aku juga berbuka; dan aku juga menikahi wanita.
Barangsiapa yang membenci sunnahku, maka ia bukan dari golonganku."
(Muslim 2487).
Perintah Menghindari Syubhat...(Kesyirikan dan kekafiran juga
harus dijauhi)
An-Nu'man bin Basyir berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw.
bersabda, 'Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di
antara keduanya terdapat hal-hal musyabbihat (syubhat / samar,
tidak jelas halal-haramnya), yang tidak diketahui oleh kebanyakan
manusia. Barangsiapa yang menjaga hal-hal musyabbihat, maka ia
telah membersihkan kehormatan dan agamanya. Dan, barangsiapa yang
terjerumus dalam syubhat, maka ia seperti penggembala di sekitar
tanah larangan, hampir-hampir ia terjerumus ke dalamnya. Ketahuilah
bahwa setiap raja mempunyai tanah larangan, dan ketahuilah
sesungguhnya tanah larangan Allah adalah hal-hal yang
diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada sekerat daging.
Apabila daging itu baik, maka seluruh tubuh itu baik; dan apabila
sekerat daging itu rusak, maka seluruh tubuh itu pun rusak.
Ketahuilah, dia itu adalah hati.'" (HR. Bukhori)
Kedudukan Hadits
Imam Ahmad rahimahullah berkata: Ada Tiga hadits yang merupakan
poros agama, yaitu hadits mar, hadits Asyah, dan hadits Numan bin
Basyir.
Perkataan Imam Ahmad rahimahullah tersebut dapat dijelaskan
bahwa perbuatan seorang mukallaf bertumpu pada melaksanakan
perintah dan menjauhi larangan. Inilah halal dan haram. Dan
diantara halal dan haram tersebut ada yang mustabihat (hadits Numan
bin Basyir). Untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan
dibutuhkan niat yang benar (hadits mar), dan harus sesuai dengan
tuntunan syarit (hadits Asyah).
Semoga Allah SWT mematikan kita dan keluarga kita dalam keadaan
Islam, dan semoga orang - orang yang mengaku Islam namun telah
murtad tanpa sadar segera insyaf, bertobat dan tidak mengulang
kekafirannya sebelum mereka meninggal dunia...aamiin..
BAGIAN DUA
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat:
"Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia
enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang
kafir. (QS. [2] : 34)
Umar bin Khaththab radliyallahu anhu mengatakan dalam hadits
riwayat Bukhari: Sesungguhnya orang-orang dahulu dihukumi
berdasarkan wahyu pada zaman Rasulullah shalallahu alaihi wa
sallam, sehingga Rasulullah dapat mengetahui orang-orang munafiq
dengan wahyu. Sekarang wahyu sudah putus, dan kami menghukumi
kalian berdasarkan apa yang nampak dari kalian.
Wajib Memahami Hukum Tiap Perbuatan.
Ingat, seseorang dihukumi dari perbuatan dhahirnya, bukan dari
niatnya! Karena kalau semua dikembalikan ke niat, di dunia ini tak
ada perbuatan yang buruk dan dosa.
Sebab kebebasan berbuat sesuatu dalam Islam senantiasa merujuk
pada kata "ikhtiyar", yaitu kebebasan memilih yang berakar pada
kata "khair" (baik). Dengan demikian, kebebasan dalam Islam hanya
terbatas pada hal-hal yang bersifat baik, sehingga seorang Muslim
tidak dibebaskan untuk berbuat yang tidak baik.
Maka kita wajib memahami hukum tiap perbuatan, apakah; mubah,
makruh, sunnah, wajib atau malah haram?
Kaitan Antara Hukum, Perbuatan dan Niat
Contohnya KPR riba, bagi bank niatnya tentu cari untung, bukan
menyusahkan orang. Bagi nasabah, niatnya segera punya rumah, bukan
berniat melakukan riba yang jelas-jelas dosa. Tapi riba tetap riba,
dosa tetap dosa. Dalam contoh ini riba adalah dosa, tapi tidak
sampai menyebabkan kekafiran. (inilah paham Murjiah,
sedikit-sedikit yang penting niatnya)
Lalu bagaimanakah kemurtadan itu terjadi? Apakah murtad itu
hanya berarti pindah agama Nasrani seperti yang sering kita dengar?
Atau bagaimana?
Abu Bakar Al Hishniy Asy Syafiiy berkata dalam Kifayatul Ahkyar:
Riddah (murtad) menurut syariat adalah kembali dari Islam kepada
kekafiran dan memutus ke-Islaman sedang ia bisa terjadi kadang
dengan ucapan dan kadang dengan perbuatan dan kadang dengan
keyakinan. Dan masing-masing dari ketiga macam ini di dalamnya
banyak masalah yang tidak terhitung. (Kifayatul Ahkyar 2/123)
Syaikh Hamd Ibnu Atiq An Najdiy rahimahullah berkata:
Sesunggguhnya ulama sunnah dan hadits berkata Sesungguhnya orang
yang murtad adalah orang yang kafir setelah keIslamannya baik
berupa ucapan, perbuatan maupun keyakinan.. Mereka menetapkan bahwa
orang yang mengucapkan kekafiran adalah kafir walaupun tidak
meyakininya dan tidak mengamalkannya bila dipaksa. Begitu juga bila
ia melakukan kekafiran, maka ia kafir walaupun tidak meyakininya
dan tidak mengucapkannya. Begitu juga bila ia melapangkan dadanya
dengan kekafiran yaitu dia membukanya dan meluaskanya (maka ia
kafir), walaupun ia tidak mengucapkan hal itu dan tidak
mengamalkannya. Ini adalah sesuatu yang maklum secara pasti dari
kitab-kitab mereka dan orang yang memiliki kesibukan dalam ilmu,
maka mesti telah mencapai sebagaian dari hal itu (Ad Difa An Ahlis
Sunnah Wal Ittiba karya Syaikh Hamd Ibnu Atiq)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: Orang yang murtad adalah
setiap orang yang mendatangkan setelah ke-Islamannya sesuatu yang
menggugurkan keIslamannya berupa ucapan dan perkatan, dimana ia
tidak bisa bersatu kumpul bersama (Ash Sharimul Maslul: 459)
Dan Ibnu Taimiyyah berkata juga: Dan secara umum barang siapa
yang mengucapkan atau melakukan yang merupakan kekafiran maka ia
kafir dengan hal itu meskipun ia tidak bermaksud untuk kafir,
kerena tidak seorangpun bermaksud kafir, kecuali apa yang telah
Allah kehendaki (Ash Sharimul Maslul 177-178)
Perbuatan di bawah ini, mana yang mudhorotnya lebih sedikit?
Masih mending kalau cuma mendapat mudhorotkalau yang didapat
kekafiran? Pilih mana? Tentunya kita memilih, bahkan menghindar
dari kekafiran.
Manakah yang lebih memalukan menurut anda; karyawan yang dipecat
karena melanggar aturan, atau di PHK karena keadaan?
Manakah yang lebih parah; orang yang diam saja karena tidak
tahu, atau sudah tahu tapi diam saja?
Manakah yang mudhorotnya lebih kecil; orang awam agama yang
menjadikan nasrani sebagai pemimpin, atau ustadz yang menyetujui
kafirun menjadi pemimpin asal mendapat suara terbanyak?
Manakah yang lebih sesat; orang yang murtad karena bersumpah
akan berhukum kepada thaghut, atau ustadz yang menyetujui kekafiran
dengan bersumpah demi Allah, akan setia & berhukum kepada
thaghut? (menyetujui kekafiran adalah kekafiran)
Karena kekafiran itu bisa terjadi kapan saja dan di mana saja,
maka beruntunglah orang yang tahu hal hal apa saja yang menyebabkan
kekafiran, sehingga ia bisa menghindarinya dan segera bertobat bila
terlanjur melakukannya. Di antara hal ini adalah ucapan Ibnu
Qudamah rahimahullah Sesunguhnya riddah (murtad) adalah membatalkan
wudhu dan membatalkan tayammum dan ini adalah pendapat Al Auzaiy
dan Abu Tsaur. Dan ia (riddah) adalah mendatangkan sesuatu yang
dengan sebabnya ia keluar dari Islam, baik itu ucapan ataupun
keyakinan atau pun keraguan yang memindahkan dari Islam, kemudian
kapan saja ia kembali kepada keIslamannya dengan rujuk kepada
dienul haq maka ia tidak boleh shalat sampai ia berwudhu, meskipun
ia telah berwudhu sebelum ia murtad. (Al Mughniy Maasy Syarhil
Khabir juz 1/168)
Ibnu Qudamah juga berkata: (riddah) itu membatalkan adzan bila
ia ada di tengah adzan. (ibid 1/438)
Dan berkata juga: Kami tidak mengetahui perbedaan di antara ahli
ilmu bahwa orang yang murtad dari Islam di tengah shaum
sesungguhnya shaumnya rusak dan ia wajib mengqadha hari itu bila ia
kembali Islam di tengah hari itu ataupun hari itu sudah habis.
(ibid. 3/52)
Manakah yang mudhorotnya lebih kecil; tokoh di suatu wilayah
yang awam agama dan tidak berhukum kepada Al-Quran dan sunnah, atau
ustadz yang pandai agama tapi juga setuju (bahkan bersumpah) tidak
berhukum kepada Al-Quran dan sunnah?
Kalau semua dikembalikan ke niatnya, tidak sholat asal niatnya
baik semisal agar tidak capek tidak apa apa, maka habislah
Islam.
Dan saya mengingatkan para pencari ilmu dengan apa yang telah
saya sebutkan bahwa ucapan-ucapan ustadz / ulama itu harus memiliki
dalil dan bukan dijadikan dalil.
Satu contoh lagi
Manakah yang lebih sesat; orang yang rajin berzina, atau
gubernur bekas ustadz yang secara dhahir membiarkan perzinaan
dengan me-lokalisasi tempat zina?
Allah telah mengingatkan kita melalui firman-Nya (yang
artinya)
Dan sesungguhnya iblis telah dapat membuktikan kebenaran
sangkaannya terhadap mereka lalu mereka mengikutinya, kecuali
sebahagian orang-orang yang beriman. (QS. Saba' : 20)
Yang dihukumi itu perbuatannya, bukan niatnya!
Perhatikan kisah bapak kita... Sebagai muslim kita mengimani
bahwa para nabi memiliki kedudukan yang sangat tinggi di sisi Allah
SWT. Kita memuliakan para nabi sehingga di dunia ini kita tidak
pernah menyamakan seorangpun bahwa ia sama mulianya dengan para
nabi, kecuali ada nash yang menjelaskan sebaliknya.
Apakah ada yang berpikir bahwa Nabi Adam a.s. berniat buruk,
agar mendapat murka Allah SWT ketika memakan buah pohon
(khuldi)?
Atau barangkali ada yang berpikir Nabi Adam a.s. berniat jahat,
supaya anak cucunya tidak menikmati jannah?
Apa pun niat beliau saat itu, yang pasti beliau termakan rayuan
iblis. Sehingga diturunkan dari jannah, terpisah dari istrinya dan
beliau juga menyesali perbuatannya itu.
Jadi yang dihukumi di atas itu perbuatannya (memakan khuldi),
bukan niatnya. (inilah kesalahan paham Murjiah, sedikit-sedikit
yang penting niatnya, tanpa melihat perbuatannya)
Ingatlah, iblis dan setan sangat pandai menipu manusia. Tidak
ada orang yang bisa selamat dari godaan mereka, kecuali ia mendapat
pertolongan dan perlindungan dari Allah SWT. Kita bisa meninggal
dunia dalam keadaan Islam, tidak musyrik saja sudah luar biasa.
Nash Nash Al-Quran yang Menerangkan Bahwa Banyak Orang Kafir
Menyangka Perbuatan dan Keyakinan Mereka Adalah Baik.
Mereka menyangka bahwa mereka adalah orang orang baik, jalan
mereka lebih benar daripada jalannya orang orang yang beriman.
Apabila mereka melihat orang orang beriman, mereka menyatakan bahwa
sesungguhnya, mereka adalah orang orang yang sesat; mereka juga
mengolok olok orang orang yang beriman. Apabila kita berlakukan
syarat yang rusak tersebut kepada orang orang kafir, dan anda
tanyakan pada salah seorang di antara mereka, Apakah kamu ingin
kafir dengan apa yang kamu lakukan? pasti mereka menjawab, Bahkan,
kami adalah orang orang yang mendapat petunjuk, atau, Kami adalah
anak anak dan kekasih kekasih Allah.
Jika anda berpegang dengan syarat yang rusak* dan anda
membenarkan jawaban orang orang tersebut, berarti anda telah
mendustakan ayat ayat dan keterangan Allah. Anda juga telah kafir
karena mendustakan keterangan Allah. Hal ini cukup menjadi
penjelasan atas rusaknya syarat ini (*menjadikan niat untuk kafir
sebagai syarat pada amalan mukaffir, merupakan syarat batil yang
ditolak dalil dalil syari) Jadi untuk kafir tidak diperlukan niat,
seperti pada tulisan yang pernah saya posting dulu.
Masalah ini telah dijelaskan oleh Syaikhul Mufassirin
Ath-Thabari dalam menafsirkan firman Allah SWT yang artinya:
Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang
orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang
yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.
Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan
mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah
amalan- amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian
bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.(QS. Al-Kahfi: 103 105)
Ibnu Jarir Ath-Thabari mengatakan dalam menafsirkan ayat
tersebut, Ini merupakan dalil paling jelas atas salahnya pendapat
orang yang menyangka bahwa tiada orang yang kafir kepada Allah,
kecuali orang yang bermaksud kafir setelah dia mengetahui
keesaan-Nya. Karena, Allah telah menerangkan tentang orang yang
disebutkan ciri cirinya di ayat ini, bahwa apa yang mereka usahakan
di dunia ini akan hilang sia sia. Padahal, mereka menyangka bahwa
mereka (telah) berbuat baik. Allah menjelaskan bahwa mereka itulah
orang orang yang kafir terhadap ayat ayat Rabb mereka. Jika
pendapat yang benar, adalah pendapat orang orang yang mengatakan
bahwa tiada seorang pun kafir, kecuali atas sepengatahuannya, tentu
mereka yang Allah terangkan bahwa mereka menyangka berbuat baik itu
mendapatkan pahala atas apa yang mereka perbuat. Namun, pendapat
yang benar, tidak sebagaimana yang mereka katakan. Sebab, Allah
telah menerangkan bahwa mereka kafir kepada Allah dan amalan mereka
sia sia.[Jami Al-Bayan, XVI/35-43]
Hal ini juga telah diterangkan, ketika membahas orang orang yang
mengatakan perkataan kekafiran, sedang mereka tidak mengetahui
bahwa kata kata tersebut dapat mengkafirkannya. Adapun jika mereka
tidak mengetahui bahwa kata kata itu menyebabkan mereka kafir, maka
cukuplah firman Allah yang artinya :
Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.
(QS. At-Taubah: 66)
Mereka beralasan di hadapan Nabi Muhammad saw, bahwa mereka
menyangka kata kata tersebut tidak menjadikan mereka kafir (mereka
merasa cuma bersenda gurau atau bermain main saja). Sungguh
mengherankan, orang yang memiliki pemahaman seperti ini, padahal
dia mendengar firman Allah SWT yang artinya
: sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya. (QS. Al-Kahfi: 104)
Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan pelindung
(mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat
petunjuk. (QS. Al-Araf: 30)
Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi
mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka
mendapat petunjuk. (QS. Az-Zukhruf: 37)
Selain ayat ayat di atas, saya tembahkan beberapa ayat di bawah
ini:
Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: "Kami ini adalah
anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya." (QS. Al Maa idah :
18)
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: "Sekali-kali tidak akan
masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau
Nasrani." Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong
belaka. Katakanlah: "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu
adalah orang yang benar." (QS. Al-Baqarah : 111)
Dengan demikian, keyakinan orang kafir; bahwa mereka berbuat
baik atau mendapat petunjuk atau dia adalah penghuni surga, tidak
menghalangi untuk dikafirkan, asalkan kekafirannya itu telah
dinyatakan berdasarkan dalil.
Perhatikan juga firman Allah, yang artinya : Dan Kami tetapkan
bagi mereka teman-teman yang menjadikan mereka memandang bagus apa
yang ada di hadapan dan di belakang mereka dan tetaplah atas mereka
keputusan azab pada umat-umat yang terdahulu sebelum mereka dari
jin dan manusia, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang
merugi. (QS. Fushilat: 25)
Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha
Pemurah (Al Quran), kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan)
maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.
Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka
dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat
petunjuk. (QS. Az-Zukhruf: 36 37)
Lalu, bagaimana uqubah qadariyyah (hukuman yang sudah menjadi
ketetapan Allah) ini bisa dianggap sebagai penghalang terhadap
sebuah hukum syari untuk mengkafirkan mereka?
Tidak Berhukum Itu Ialah
Supaya jelas, kami beri contoh hukum yang didiamkan, entah
karena tidak mau berhukum dengan hukum Allah atau karena terlanjur
bersumpah kepada kekafiran. Padahal jelas jelas Imam 4 Mazhab
bersepakat adanya hukuman atas masalah itu. Jadi yang kita bahas
dalam hukum bukan terbatas membuat hukum saja, entah hukum itu
sesuai dengan Al-Quran atau As-Sunnahtetapi apakah kita
meninggalkan hukum atau tidak.
Karena tidak menjalankan hukum, sama saja meninggalkan hukum
tersebut.
Masalah : Hukum orang yang meyakini wajibnya sholat tapi MALAS
atau MEREMEHKAN.
Imam Hanafi : DIPENJARA dan tiap waktu sholat DIPUKUL agar
melaksanakan sholat.
Imam Maliki : DIHUKUM MATI
Imam Syafii : Diperintahkan BERTOBAT. Bila tak mau, DIHUKUM MATI
(ada pendapat setelah diberi waktu tiga hari tetap tidak mau
bertobat.
Imam Hambali : DIHUKUM MATI.
Ini baru masalah sholat, yang sudah dipahami dan diakui oleh
pengaku muslim sebagai bentuk ibadah. Sedang selain sholat, puasa,
zakat dan haji biasanya dianggap bukan ibadah, sebagaimana yang
kami terangkan dalam tulisan Pahami Dulu Makna Ibadah, Baru
Berpolitik!.
Jadi jangan sampai kita berpikir hukum secara sempit saja. Yaitu
membuat hukum, yang penting tidak bertentangan dengan Islam. Tapi
tolong pahami juga hukum hukum Islam yang jelas jelas kita
tinggalkan. Karena kalau hukum tersebut kita tinggalkan, sama
artinya menghapus hukum tersebut!
Atau dalam contoh di atas, berarti menghapus hukuman bagi orang
yang malas sholat. Yaitu tidak diapa apakan. Lalu kenapa hukum tadi
tidak diterapkan? Atau minimal dikampanyekan? Apa karena tidak ada
dana?
Tetapi alhamdulillah ada ustadz ustadz yang siap mengorbankan
kehidupannya, bahkan sudah dibuktikan sejak orba dulu, untuk selalu
menyiarkan diterapkannya syariat Islam secara kaffah dan terang
terangan. Antara lain ialah Abu Bakar Basyir, Abu Sulaiman Aman
Abdurrahman dan juga mereka yang menyelenggarakan Konferensi
Khilafah Internasional 2007 dengan tema Selamatkan Indonesia Dengan
Syariah.