Top Banner
Susut pascapanen dan gizi (susut hasil) perikanan di Indonesia diduga sangat nggi dan berpotensi menyebabkan kerugian sosial dan ekonomi. Dalam lima tahun ke depan, susut hasil perikanan bisa mencapai 3,8-5 juta ton/tahun, senilai Rp 63-83 triliun, atau setara dengan 840 ribu–1 juta ton protein. Susut hasil terjadi di sepanjang rantai pasok dari produksi hingga ke ngkat konsumen. Penyebabnya cukup kompleks dengan karakter yang berbeda di ap-ap tahapan rantai pasok dan daerah. Namun demikian, penerapan sistem rantai dingin yang dak sempurna menjadi penyebab utama. Selain itu, ketersediaan sarana dan prasarana, serta teknologi dan prosedur dalam penanganan dan pengolahan ikan adalah faktor penyumbang susut hasil perikanan yang dak dapat diabaikan. Faktor lain yang berkontribusi adalah sumber daya manusia terkait penguasaan teknologi, kepatuhan pada prosedur, dan pemahaman tentang nilai ikan sebagai bahan pangan dan sumber gizi. Upaya pengurangan susut hasil perikanan bisa dilakukan melalui pendekatan kebijakan dan teknis. Dari sisi kebijakan, diperlukan Visi, Misi, dan Strategi pengurangan susut hasil pangan (termasuk perikanan) disertai pencanangan Gerakan Nasional Pengurangan Susut Pascapanen dan Gizi Pangan. Sedangkan dari sisi teknis, diperlukan pengadaan sarana dan prasarana, serta teknologi dan prosedur dalam penanganan dan pengolahan ikan, disertai peningkatan kapasitas sumber daya manusia berdasarkan hasil kajian dan buk (evidence-based). Keterlibatan berbagai sektor dan masyarakat menjadi suatu keharusan dalam melaksanakan upaya- upaya tersebut. Ringkasan Pendahuluan Susut pascapanen dan gizi perikanan (susut hasil perikanan) adalah masalah yang telah dihadapi cukup lama. Meskipun dak ada data valid yang dapat diandalkan, ngkat susut tersebut (fisik) diperkirakan berkisar antara 20-29%, baik untuk perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Esmasi dalam lima tahun ke depan, susut hasil perikanan mencapai 3,8-5 juta ton per tahun dari total produksi 15,5- 20,5 juta ton per tahun, atau senilai Rp63,3-82,8 triliun per 1 tahun . Selain menyebabkan kerugian ekonomi, susut hasil perikanan juga menyebabkan hilangnya zat gizi yang berasal dari ikan yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan status gizi masyarakat. Protein ikan yang hilang diperkirakan mencapai 840 ribu – 1 juta ton per tahun, yang bila diselamatkan dapat dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan protein anak dan ibu hamil (6-7 kg/kapita/tahun). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, 17,7% anak di bawah usia lima tahun (balita) mengalami gizi buruk dan gizi kurang, 30,8% anak balita mengalami stunng, dan 48,9% ibu hamil mengalami anemia. Stunng dan masalah gizi lain diperkirakan menyebabkan kerugian sekitar 3% dari Produk Domesk Bruto (PDB) atau senilai Rp400 triliun per tahun (World Bank, 2014 dalam Kemendagri, Bappenas, dan TNP2K, 2018). Penyebab stunng antara lain adalah kekurangan asupan makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin dan mineral, serta buruknya keragaman pangan dan sumber protein hewani INTERVENSI KEBIJAKAN UNTUK MENGURANGI SUSUT PASCAPANEN DAN GIZI PERIKANAN 1 1. Poernomo, A. (2020). Susut Panen dan Gizi Bidang Perikanan. Jakarta: Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia. 1 Kertas Kerja Seri 3 Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia "Dokumen ini di dukung oleh Global Alliance for Improved Nutrion (GAIN)”
8

KERTAS KERJA - JP2GI 3 - INTERVENSI KEBIJAKAN ...jp2gi.org/public/docs/report/INTERVENSI KEBIJAKAN UNTUK...hasil perikanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa susut hasil perikanan

Aug 02, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: KERTAS KERJA - JP2GI 3 - INTERVENSI KEBIJAKAN ...jp2gi.org/public/docs/report/INTERVENSI KEBIJAKAN UNTUK...hasil perikanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa susut hasil perikanan

Susut pascapanen dan gizi (susut hasil) perikanan di Indonesia

diduga sangat �nggi dan berpotensi menyebabkan kerugian sosial

dan ekonomi. Dalam lima tahun ke depan, susut hasil perikanan bisa

mencapai 3,8-5 juta ton/tahun, senilai Rp 63-83 triliun, atau setara

dengan 840 ribu–1 juta ton protein. Susut hasil terjadi di sepanjang

rantai pasok dari produksi hingga ke �ngkat konsumen.

Penyebabnya cukup kompleks dengan karakter yang berbeda di

�ap-�ap tahapan rantai pasok dan daerah.

Namun demikian, penerapan sistem rantai dingin yang �dak

sempurna menjadi penyebab utama. Selain itu, ketersediaan sarana

dan prasarana, serta teknologi dan prosedur dalam penanganan dan

pengolahan ikan adalah faktor penyumbang susut hasil perikanan

yang �dak dapat diabaikan. Faktor lain yang berkontribusi adalah

sumber daya manusia terkait penguasaan teknologi, kepatuhan pada

prosedur, dan pemahaman tentang nilai ikan sebagai bahan pangan

dan sumber gizi.

Upaya pengurangan susut hasil perikanan bisa dilakukan melalui

pendekatan kebijakan dan teknis. Dari sisi kebijakan, diperlukan Visi,

Misi, dan Strategi pengurangan susut hasil pangan (termasuk

perikanan) disertai pencanangan Gerakan Nasional Pengurangan

Susut Pascapanen dan Gizi Pangan. Sedangkan dari sisi teknis,

diperlukan pengadaan sarana dan prasarana, serta teknologi dan

prosedur dalam penanganan dan pengolahan ikan, disertai

peningkatan kapasitas sumber daya manusia berdasarkan hasil

kajian dan buk� (evidence-based). Keterlibatan berbagai sektor dan

masyarakat menjadi suatu keharusan dalam melaksanakan upaya-

upaya tersebut.

Ringkasan

Pendahuluan

Susut pascapanen dan gizi perikanan (susut hasil perikanan)

adalah masalah yang telah dihadapi cukup lama. Meskipun

�dak ada data valid yang dapat diandalkan, �ngkat susut

tersebut (fisik) diperkirakan berkisar antara 20-29%, baik

untuk perikanan tangkap maupun perikanan budidaya.

Es�masi dalam lima tahun ke depan, susut hasil perikanan

mencapai 3,8-5 juta ton per tahun dari total produksi 15,5-

20,5 juta ton per tahun, atau senilai Rp63,3-82,8 triliun per 1tahun .

Selain menyebabkan kerugian ekonomi, susut hasil

perikanan juga menyebabkan hilangnya zat gizi yang berasal

dari ikan yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk

meningkatkan status gizi masyarakat. Protein ikan yang

hilang diperkirakan mencapai 840 ribu – 1 juta ton per tahun,

yang bila diselamatkan dapat dimanfaatkan untuk

mencukupi kebutuhan protein anak dan ibu hamil (6-7

kg/kapita/tahun). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) 2018, 17,7% anak di bawah usia lima tahun

(balita) mengalami gizi buruk dan gizi kurang, 30,8% anak

balita mengalami stun�ng, dan 48,9% ibu hamil mengalami

anemia. Stun�ng dan masalah gizi lain diperkirakan

menyebabkan kerugian sekitar 3% dari Produk Domes�k

Bruto (PDB) atau senilai Rp400 triliun per tahun (World

Bank, 2014 dalam Kemendagri, Bappenas, dan TNP2K,

2018). Penyebab stun�ng antara lain adalah kekurangan

asupan makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin dan

mineral, serta buruknya keragaman pangan dan sumber

protein hewani

INTERVENSI KEBIJAKAN UNTUK MENGURANGI SUSUT PASCAPANEN DAN GIZI PERIKANAN

1

1. Poernomo, A. (2020). Susut Panen dan Gizi Bidang Perikanan. Jakarta: Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia.

1

Kertas Kerja Seri 3 Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia

"Dokumen ini di dukung oleh Global Alliance for Improved Nutri�on (GAIN)”

Page 2: KERTAS KERJA - JP2GI 3 - INTERVENSI KEBIJAKAN ...jp2gi.org/public/docs/report/INTERVENSI KEBIJAKAN UNTUK...hasil perikanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa susut hasil perikanan

"Dokumen ini di dukung oleh Global Alliance for Improved Nutri�on (GAIN)”"Dokumen ini di dukung oleh Global Alliance for Improved Nutri�on (GAIN)”

( h � p : // s e h a t n e g e r i k u . k e m k e s . g o . i d / b a c a / r i l i s -

media/20180524/4125980/penyebab-stun�ng-anak/, 2018).

Di sisi lain, anemia pada ibu hamil umumnya disebabkan oleh

kekurangan zat gizi mikro pembentuk hemoglobin, yakni zat besi,

protein berkualitas �nggi, asam folat, dan vitamin B12. Walaupun

sumber terbaik zat-zat gizi tersebut ada pada daging merah,

sumber protein hewani lain, seper� ikan pun menjadi pilihan.

Konsumsi ikan masyarakat Indonesia pada 2019 berada pada

angka 54,5 kg/kapita/tahun dan ditargetkan menjadi

62,5/kapita/tahun pada 2024. Dengan susut hasil perikanan

sekitar 20-29%, maka target konsumsi ikan baru akan tercapai

pada 2023. Itu pun masih dibarengi dengan berbagai kehilangan

atau kerugian seper� disebutkan di atas. Oleh karena itu, perlu

diambil langkah-langkah untuk meminimalkan susut hasil, apalagi

mengingat target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable

Development Goals-SDGs) poin 12.3 yaitu mengurangi susut

pangan per kapita sebesar 50% pada tahun 2030. Risalah ini

diharapkan dapat memberikan masukan untuk mengurangi susut

hasil perikanan di�njau dari berbagai penyebab yang dapat

diiden�fikasi berdasarkan pengamatan lapangan dan dari pustaka

yang tersedia. Di dalam risalah ini �dak dibahas mengenai susut

yang disebabkan pembuangan ikan di laut (discards) dan ghost 2fishing .

Lokus dan penyebab susut hasil perikanan Ifood and Agriculture Organiza�on (FAO) membagi susut

pascapanen menjadi dua bagian besar yaitu loss dan waste (FAO,

2019). Susut hasil (loss) adalah berkurangnya kuan�tas atau kualitas

pangan dari rantai pasok yang disebabkan oleh ak�vitas pelaku

sepanjang rantai pasok, tetapi �dak termasuk penyedia jasa pangan,

pengecer, dan konsumen. Sedangkan limbah pangan (waste) adalah

berkurangnya kuan�tas atau kualitas pangan yang disebabkan oleh

ak�vitas pengecer, penyedia jasa pangan (restoran/kafe/kan�n dan

katering), dan konsumen. Untuk memudahkan pembahasan dalam

risalah ini, susut pascapanen (susut hasil) adalah gabungan

keduanya, yaitu hilangnya pangan secara kuan�tas dan kualitas dari

rantai pasok, sejak produksi sampai konsumsi. Susut pascapanen

(susut hasil) dalam risalah ini juga �dak dirinci berdasarkan jenisnya,

yaitu fisik, mutu, nutrisi, dan pasar (market loss) sebagaimana

diklasifikasikan dalam berbagai literatur (Kruijssen et al., 2020).

Susut hasil perikanan terjadi di sepanjang rantai pasok sejak ikan

ditangkap atau dipanen, sampai dengan konsumen dengan besaran

dan karakteris�k berbeda-beda (Gustavsson et al., 2011; Kruijssen

et al., 2020). Secara ringkas Gambar 1 menampilkan penyebab susut

hasil perikanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa susut hasil

perikanan terjadi saat ikan hasil tangkapan dan budidaya �dak

mendapat perlakuan semes�nya pada saat penanganan,

pengolahan, penyimpanan, transportasi, dan distribusi, termasuk

ke�ka memasuki tahap konsumsi. Apabila lebih dikerucutkan lagi,

penyebab utama susut hasil pascapanen perikanan adalah �dak

diterapkannya Sistem Rantai Dingin (cold chain system) secara

op�mal di sepanjang rantai pasok sejak penangkapan dan

pemanenan. Beberapa kendala yang menyebabkannya telah dicatat

oleh Huss (1995). Khususnya yang terjadi di negara berkembang,

bahkan beberapa kasus masih terjadi di Indonesia, antara lain:

1. Es harus diproduksi dengan energi yang cukup �nggi. Di negara

tropis dibutuhkan 55-85 kWh/ton es, sedangkan di negara

bersuhu sedang sampai rendah, hanya dibutuhkan 40-60

kWh/ton es. Penyediaan es ini �dak murah, apalagi dengan

adanya peningkatan harga bahan bakar selama dekade terakhir

ini. Selain itu, penyediaan es juga membutuhkan sarana dan

prasarana pendukung seper� air bersih, gudang dingin, dsb.

2. Es harus diproduksi dan digunakan dalam skala ekonomi.

Penambahan es sudah pas� akan menaikkan ongkos produksi

yang pada gilirannya akan menaikkan harga ikan. Oleh karena itu,

pelaku usaha memilih-milih jenis ikan yang akan didinginkan

dengan memper�mbangkan harga.

3. Kendala prak�s. Penggunaan es dalam penanganan hasil

tangkapan akan menimbulkan beberapa masalah prak�s,

misalnya berkurangnya ruang dalam palka, serta bertambahnya

berat dalam penanganan dan pengangkutan. Semuanya itu

mempunyai implikasi ekonomi.

4. Persepsi yang salah tentang kesegaran ikan. Di banyak negara

berkembang, bahkan di Indonesia, masih banyak konsumen yang

berpendapat bahwa ikan yang didinginkan dengan es adalah ikan

�dak segar, bahkan memiliki rasa dan aroma yang berbeda. Hal ini

menyebabkan preferensi konsumen terhadap ikan yang

didinginkan dengan es turun, meskipun sebenarnya konsumen

mengetahui bahwa ikan yang �dak didinginkan �dak sesegar

ikan yang didinginkan dengan es. Is�lah ikan segar dan ikan yang

didinginkan dengan es sering dipertentangkan, akibatnya

penjual lebih sering memajang ikan yang �dak didinginkan

dengan es.

5. Perlunya teknologi penanganan yang tepat. Mendinginkan ikan

dengan es sebenarnya �dak memerlukan teknik yang rumit,

namun prak�k pemberian es ternyata berbeda jika dibandingkan

antara negara maju dan negara berkembang. Di negara maju,

teknologi dikembangkan untuk mengurangi ongkos kerja dengan

tetap mengutamakan es dan kualitas ikan, misalnya dengan

otoma�sasi. Sementara itu di negara berkembang, pengurangan

ongkos produksi lebih banyak dilakukan dengan mengurangi

penggunaan es.

Prak�k-prak�k penanganan pascapanen perikanan yang �dak baik

(poor handling prac�ce) tersebut telah memicu terjadinya susut hasil

perikanan di hulu, terutama dari sisi kualitas yang pada gilirannya

akan menyebabkan susut ikutan di tahap selanjutnya. Di tahap

pengolahan, penguasaan teknologi masih belum memadai,

terutama oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Hal ini

diperberat dengan prak�k sanitasi dan higiene yang sering

diabaikan oleh pengolah maupun pemasar/pengecer. Pada tahap

selanjutnya, konsumen termasuk hotel, restoran, dan katering

(horeka) berkontribusi pada susut hasil perikanan (dalam hal ini

waste), melalui perilaku berlebihan dalam belanja, dalam penyediaan

porsi dan konsumsi, serta faktor-faktor terkait preferensi sosial

budaya masing-masing konsumen.

Sistem Rantai Dingin dapat didefinisikan sebagai penerapan teknik

pendinginan (0-4°C) terhadap ikan secara terus menerus dan �dak

terputus sejak penangkapan, pemanenan, penanganan, pengolahan,

distribusi, sampai konsumsi (Poernomo, 2017).

Definisi di atas mengisyaratkan beberapa hal:

1. Suhu ikan sepanjang rantai penanganan sampai dengan

konsumsi �dak boleh melebihi 4°C.

2. Diperlukan teknologi dan peralatan yang dapat menjaga suhu

ikan �dak melebihi 4°C.

3. Diperlukan suatu prosedur baku yang harus ditaa� agar suhu

ikan �dak melebihi 4°C.

4. Diperlukan sumber daya manusia yang dapat menerapkan

teknologi, mengoperasikan peralatan, dan mematuhi prosedur.

Permasalahan �dak diterapkannya sistem rantai dingin ada di bu�r

2, 3, dan 4, dan dapat dikelompokkan menjadi a) Sarana dan

prasarana (infrastruktur); b) Teknologi dan prosedur standar, dan c)

Sumber daya manusia.

Sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana yang memengaruhi

�ngkat susut hasil perikanan yang dominan adalah ketersediaan es

dan air bersih, alat tangkap dan panen ikan, penanganan di atas

kapal, fasilitas tempat pendaratan ikan yang memadai, serta gudang

dingin/beku. Keterbatasan sarana dan prasarana telah

menyebabkan ikan mengalami susut hasil semenjak didaratkan

(Wibowo et al., 2014; Markenih, 2016; Wibowo et al., 2017).

Ketersediaan teknologi. Ketersediaan teknologi adalah faktor

pen�ng lainnya yang berperan dalam �mbulnya susut hasil

perikanan. Kebutuhan akan teknologi di sepanjang rantai pasok

sangat beragam, dari yang sederhana sampai yang canggih, sesuai

dengan skala usaha. Permasalahan lain adalah ke�adaan prosedur

d a n s u m b e r d a y a m a n u s i a y a n g m e m a d a i u n t u k

mengimplementasikan teknologi.

Sumber daya manusia. Belum semua pelaku usaha di sepanjang

rantai pasok, maupun konsumen menganggap pen�ng penerapan

sistem rantai dingin. Masih banyak konsumen yang menganggap

bahwa ikan yang didinginkan dengan es adalah ikan yang �dak segar.

Di Indonesia �mur, is�lah “sudah ma� 7 kali” sering dialamatkan

kepada ikan yang didinginkan dengan es.

Langkah-langkah intervensi untuk mengurangi susut hasil perikananMengurangi susut hasil perikanan memerlukan pendekatan

mul�sektor dan mul�dimensi dari sisi kebijakan, legislasi,

peningkatan kapasitas, jasa dan infrastruktur, serta sosial-ekonomi

(Pink, 2016; FAO, 2018; Kruijssen et al., 2020). Bahkan, menurut

Ca�aneo et al. (2020) terdapat lima tantangan bagi pembuat

kebijakan di dalam upaya mengurangi susut hasil, yaitu:

1. Menges�masi susut hasil perikanan (FLW) �dak mudah, bahkan

cenderung sangat sulit.

2. Mengukur manfaat sosial-ekonomi, biaya pengurangan susut, 3dan tarik-ulur keputusan (trade off ) yang harus diambil

memerlukan banyak data dan kapasitas untuk menganalisisnya.

3. Keterbatasan informasi dalam menyusun kebijakan dan

intervensi.

4. Interaksi antar-tahapan dalam rantai pasok dan antar-wilayah

�dak sepenuhnya dipahami dalam pengurangan susut hasil.

5. Kenaikan pendapatan dapat mengubah pola pemborosan

pangan/ikan (FLW), dan memerlukan an�sipasi tersendiri.

Dengan memperha�kan hal-hal di atas dan menyesuaikan kondisi

indonesia, maka untuk mengatasi susut hasil, Indonesia perlu

menetapkan satu kebijakan umum yang diinisiasi oleh Bappenas.

Kebijakan umum tersebut bisa melipu�, namun �dak terbatas pada:

1. Pernyataan visi dan misi untuk mengurangi susut hasil pangan

(food loss and waste) sebesar 50%/kapita pada 2030.

2. Peta jalan dan strategi mencapai visi dan misi untuk menurunkan

susut hasil pangan (food loss and waste) sebesar 50%/kapita pada

2030.

2

2 3

Data sta�s�k Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),

produksi perikanan Indonesia tahun 2018

dikonsumsi segar

konsumsi ikan olahan

ekspor &non konsumsi

(tepung, dll.)

Berasal dari perikanan tangkap dan budidaya

12,8 juta ton

5,4 5,6 1,8 juta ton juta ton juta ton

1. h�ps://blog.winnowsolu�ons.com/what-a-waste-indonesias-struggle-with-food-waste-na�onwide2. h�ps://mediaindonesia.com/read/detail/282977-wow-1-orang-indonesia-hasilkan-sampah-makanan-300-kg-per-tahun3. h�p://www.fao.org/flw-in-fish-value-chains/overview/food-loss-and-waste-in-fish-value-chains/en/4. h�ps://sta�s�k.kkp.go.id/home.php?m=total&i=2

2 Ghost fishing adalah terperangkapnya ikan oleh alat penangkap ikan yang terlepas dari /atau dibuang oleh kapal penangkap ikan.3 Trade-off adalah keputusan situasional yang melibatkan pengurangan atau kehilangan satu kualitas, kuan�tas atau proper� dari satu set atau desain dengan imbalan keuntungan dalam aspek

lain. Secara sederhana, trade-off adalah di mana satu hal meningkat dan yang lain harus menurun.

Konsumsi ikan masyarakat Indonesia pada 2019

54.5 kgkapita/tahun pada

dan ditargetkan menjadi

62.5 kgkapita/tahun pada 2024

3

Kertas Kerja - Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia Kertas Kerja - Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia

Caprina R.H Sianturi
Cross-Out
Caprina R.H Sianturi
Inserted Text
Food
Page 3: KERTAS KERJA - JP2GI 3 - INTERVENSI KEBIJAKAN ...jp2gi.org/public/docs/report/INTERVENSI KEBIJAKAN UNTUK...hasil perikanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa susut hasil perikanan

"Dokumen ini di dukung oleh Global Alliance for Improved Nutri�on (GAIN)”"Dokumen ini di dukung oleh Global Alliance for Improved Nutri�on (GAIN)”

( h � p : // s e h a t n e g e r i k u . k e m k e s . g o . i d / b a c a / r i l i s -

media/20180524/4125980/penyebab-stun�ng-anak/, 2018).

Di sisi lain, anemia pada ibu hamil umumnya disebabkan oleh

kekurangan zat gizi mikro pembentuk hemoglobin, yakni zat besi,

protein berkualitas �nggi, asam folat, dan vitamin B12. Walaupun

sumber terbaik zat-zat gizi tersebut ada pada daging merah,

sumber protein hewani lain, seper� ikan pun menjadi pilihan.

Konsumsi ikan masyarakat Indonesia pada 2019 berada pada

angka 54,5 kg/kapita/tahun dan ditargetkan menjadi

62,5/kapita/tahun pada 2024. Dengan susut hasil perikanan

sekitar 20-29%, maka target konsumsi ikan baru akan tercapai

pada 2023. Itu pun masih dibarengi dengan berbagai kehilangan

atau kerugian seper� disebutkan di atas. Oleh karena itu, perlu

diambil langkah-langkah untuk meminimalkan susut hasil, apalagi

mengingat target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable

Development Goals-SDGs) poin 12.3 yaitu mengurangi susut

pangan per kapita sebesar 50% pada tahun 2030. Risalah ini

diharapkan dapat memberikan masukan untuk mengurangi susut

hasil perikanan di�njau dari berbagai penyebab yang dapat

diiden�fikasi berdasarkan pengamatan lapangan dan dari pustaka

yang tersedia. Di dalam risalah ini �dak dibahas mengenai susut

yang disebabkan pembuangan ikan di laut (discards) dan ghost 2fishing .

Lokus dan penyebab susut hasil perikanan Ifood and Agriculture Organiza�on (FAO) membagi susut

pascapanen menjadi dua bagian besar yaitu loss dan waste (FAO,

2019). Susut hasil (loss) adalah berkurangnya kuan�tas atau kualitas

pangan dari rantai pasok yang disebabkan oleh ak�vitas pelaku

sepanjang rantai pasok, tetapi �dak termasuk penyedia jasa pangan,

pengecer, dan konsumen. Sedangkan limbah pangan (waste) adalah

berkurangnya kuan�tas atau kualitas pangan yang disebabkan oleh

ak�vitas pengecer, penyedia jasa pangan (restoran/kafe/kan�n dan

katering), dan konsumen. Untuk memudahkan pembahasan dalam

risalah ini, susut pascapanen (susut hasil) adalah gabungan

keduanya, yaitu hilangnya pangan secara kuan�tas dan kualitas dari

rantai pasok, sejak produksi sampai konsumsi. Susut pascapanen

(susut hasil) dalam risalah ini juga �dak dirinci berdasarkan jenisnya,

yaitu fisik, mutu, nutrisi, dan pasar (market loss) sebagaimana

diklasifikasikan dalam berbagai literatur (Kruijssen et al., 2020).

Susut hasil perikanan terjadi di sepanjang rantai pasok sejak ikan

ditangkap atau dipanen, sampai dengan konsumen dengan besaran

dan karakteris�k berbeda-beda (Gustavsson et al., 2011; Kruijssen

et al., 2020). Secara ringkas Gambar 1 menampilkan penyebab susut

hasil perikanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa susut hasil

perikanan terjadi saat ikan hasil tangkapan dan budidaya �dak

mendapat perlakuan semes�nya pada saat penanganan,

pengolahan, penyimpanan, transportasi, dan distribusi, termasuk

ke�ka memasuki tahap konsumsi. Apabila lebih dikerucutkan lagi,

penyebab utama susut hasil pascapanen perikanan adalah �dak

diterapkannya Sistem Rantai Dingin (cold chain system) secara

op�mal di sepanjang rantai pasok sejak penangkapan dan

pemanenan. Beberapa kendala yang menyebabkannya telah dicatat

oleh Huss (1995). Khususnya yang terjadi di negara berkembang,

bahkan beberapa kasus masih terjadi di Indonesia, antara lain:

1. Es harus diproduksi dengan energi yang cukup �nggi. Di negara

tropis dibutuhkan 55-85 kWh/ton es, sedangkan di negara

bersuhu sedang sampai rendah, hanya dibutuhkan 40-60

kWh/ton es. Penyediaan es ini �dak murah, apalagi dengan

adanya peningkatan harga bahan bakar selama dekade terakhir

ini. Selain itu, penyediaan es juga membutuhkan sarana dan

prasarana pendukung seper� air bersih, gudang dingin, dsb.

2. Es harus diproduksi dan digunakan dalam skala ekonomi.

Penambahan es sudah pas� akan menaikkan ongkos produksi

yang pada gilirannya akan menaikkan harga ikan. Oleh karena itu,

pelaku usaha memilih-milih jenis ikan yang akan didinginkan

dengan memper�mbangkan harga.

3. Kendala prak�s. Penggunaan es dalam penanganan hasil

tangkapan akan menimbulkan beberapa masalah prak�s,

misalnya berkurangnya ruang dalam palka, serta bertambahnya

berat dalam penanganan dan pengangkutan. Semuanya itu

mempunyai implikasi ekonomi.

4. Persepsi yang salah tentang kesegaran ikan. Di banyak negara

berkembang, bahkan di Indonesia, masih banyak konsumen yang

berpendapat bahwa ikan yang didinginkan dengan es adalah ikan

�dak segar, bahkan memiliki rasa dan aroma yang berbeda. Hal ini

menyebabkan preferensi konsumen terhadap ikan yang

didinginkan dengan es turun, meskipun sebenarnya konsumen

mengetahui bahwa ikan yang �dak didinginkan �dak sesegar

ikan yang didinginkan dengan es. Is�lah ikan segar dan ikan yang

didinginkan dengan es sering dipertentangkan, akibatnya

penjual lebih sering memajang ikan yang �dak didinginkan

dengan es.

5. Perlunya teknologi penanganan yang tepat. Mendinginkan ikan

dengan es sebenarnya �dak memerlukan teknik yang rumit,

namun prak�k pemberian es ternyata berbeda jika dibandingkan

antara negara maju dan negara berkembang. Di negara maju,

teknologi dikembangkan untuk mengurangi ongkos kerja dengan

tetap mengutamakan es dan kualitas ikan, misalnya dengan

otoma�sasi. Sementara itu di negara berkembang, pengurangan

ongkos produksi lebih banyak dilakukan dengan mengurangi

penggunaan es.

Prak�k-prak�k penanganan pascapanen perikanan yang �dak baik

(poor handling prac�ce) tersebut telah memicu terjadinya susut hasil

perikanan di hulu, terutama dari sisi kualitas yang pada gilirannya

akan menyebabkan susut ikutan di tahap selanjutnya. Di tahap

pengolahan, penguasaan teknologi masih belum memadai,

terutama oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Hal ini

diperberat dengan prak�k sanitasi dan higiene yang sering

diabaikan oleh pengolah maupun pemasar/pengecer. Pada tahap

selanjutnya, konsumen termasuk hotel, restoran, dan katering

(horeka) berkontribusi pada susut hasil perikanan (dalam hal ini

waste), melalui perilaku berlebihan dalam belanja, dalam penyediaan

porsi dan konsumsi, serta faktor-faktor terkait preferensi sosial

budaya masing-masing konsumen.

Sistem Rantai Dingin dapat didefinisikan sebagai penerapan teknik

pendinginan (0-4°C) terhadap ikan secara terus menerus dan �dak

terputus sejak penangkapan, pemanenan, penanganan, pengolahan,

distribusi, sampai konsumsi (Poernomo, 2017).

Definisi di atas mengisyaratkan beberapa hal:

1. Suhu ikan sepanjang rantai penanganan sampai dengan

konsumsi �dak boleh melebihi 4°C.

2. Diperlukan teknologi dan peralatan yang dapat menjaga suhu

ikan �dak melebihi 4°C.

3. Diperlukan suatu prosedur baku yang harus ditaa� agar suhu

ikan �dak melebihi 4°C.

4. Diperlukan sumber daya manusia yang dapat menerapkan

teknologi, mengoperasikan peralatan, dan mematuhi prosedur.

Permasalahan �dak diterapkannya sistem rantai dingin ada di bu�r

2, 3, dan 4, dan dapat dikelompokkan menjadi a) Sarana dan

prasarana (infrastruktur); b) Teknologi dan prosedur standar, dan c)

Sumber daya manusia.

Sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana yang memengaruhi

�ngkat susut hasil perikanan yang dominan adalah ketersediaan es

dan air bersih, alat tangkap dan panen ikan, penanganan di atas

kapal, fasilitas tempat pendaratan ikan yang memadai, serta gudang

dingin/beku. Keterbatasan sarana dan prasarana telah

menyebabkan ikan mengalami susut hasil semenjak didaratkan

(Wibowo et al., 2014; Markenih, 2016; Wibowo et al., 2017).

Ketersediaan teknologi. Ketersediaan teknologi adalah faktor

pen�ng lainnya yang berperan dalam �mbulnya susut hasil

perikanan. Kebutuhan akan teknologi di sepanjang rantai pasok

sangat beragam, dari yang sederhana sampai yang canggih, sesuai

dengan skala usaha. Permasalahan lain adalah ke�adaan prosedur

d a n s u m b e r d a y a m a n u s i a y a n g m e m a d a i u n t u k

mengimplementasikan teknologi.

Sumber daya manusia. Belum semua pelaku usaha di sepanjang

rantai pasok, maupun konsumen menganggap pen�ng penerapan

sistem rantai dingin. Masih banyak konsumen yang menganggap

bahwa ikan yang didinginkan dengan es adalah ikan yang �dak segar.

Di Indonesia �mur, is�lah “sudah ma� 7 kali” sering dialamatkan

kepada ikan yang didinginkan dengan es.

Langkah-langkah intervensi untuk mengurangi susut hasil perikananMengurangi susut hasil perikanan memerlukan pendekatan

mul�sektor dan mul�dimensi dari sisi kebijakan, legislasi,

peningkatan kapasitas, jasa dan infrastruktur, serta sosial-ekonomi

(Pink, 2016; FAO, 2018; Kruijssen et al., 2020). Bahkan, menurut

Ca�aneo et al. (2020) terdapat lima tantangan bagi pembuat

kebijakan di dalam upaya mengurangi susut hasil, yaitu:

1. Menges�masi susut hasil perikanan (FLW) �dak mudah, bahkan

cenderung sangat sulit.

2. Mengukur manfaat sosial-ekonomi, biaya pengurangan susut, 3dan tarik-ulur keputusan (trade off ) yang harus diambil

memerlukan banyak data dan kapasitas untuk menganalisisnya.

3. Keterbatasan informasi dalam menyusun kebijakan dan

intervensi.

4. Interaksi antar-tahapan dalam rantai pasok dan antar-wilayah

�dak sepenuhnya dipahami dalam pengurangan susut hasil.

5. Kenaikan pendapatan dapat mengubah pola pemborosan

pangan/ikan (FLW), dan memerlukan an�sipasi tersendiri.

Dengan memperha�kan hal-hal di atas dan menyesuaikan kondisi

indonesia, maka untuk mengatasi susut hasil, Indonesia perlu

menetapkan satu kebijakan umum yang diinisiasi oleh Bappenas.

Kebijakan umum tersebut bisa melipu�, namun �dak terbatas pada:

1. Pernyataan visi dan misi untuk mengurangi susut hasil pangan

(food loss and waste) sebesar 50%/kapita pada 2030.

2. Peta jalan dan strategi mencapai visi dan misi untuk menurunkan

susut hasil pangan (food loss and waste) sebesar 50%/kapita pada

2030.

2

2 3

Data sta�s�k Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),

produksi perikanan Indonesia tahun 2018

dikonsumsi segar

konsumsi ikan olahan

ekspor &non konsumsi

(tepung, dll.)

Berasal dari perikanan tangkap dan budidaya

12,8 juta ton

5,4 5,6 1,8 juta ton juta ton juta ton

1. h�ps://blog.winnowsolu�ons.com/what-a-waste-indonesias-struggle-with-food-waste-na�onwide2. h�ps://mediaindonesia.com/read/detail/282977-wow-1-orang-indonesia-hasilkan-sampah-makanan-300-kg-per-tahun3. h�p://www.fao.org/flw-in-fish-value-chains/overview/food-loss-and-waste-in-fish-value-chains/en/4. h�ps://sta�s�k.kkp.go.id/home.php?m=total&i=2

2 Ghost fishing adalah terperangkapnya ikan oleh alat penangkap ikan yang terlepas dari /atau dibuang oleh kapal penangkap ikan.3 Trade-off adalah keputusan situasional yang melibatkan pengurangan atau kehilangan satu kualitas, kuan�tas atau proper� dari satu set atau desain dengan imbalan keuntungan dalam aspek

lain. Secara sederhana, trade-off adalah di mana satu hal meningkat dan yang lain harus menurun.

Konsumsi ikan masyarakat Indonesia pada 2019

54.5 kgkapita/tahun pada

dan ditargetkan menjadi

62.5 kgkapita/tahun pada 2024

3

Kertas Kerja - Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia Kertas Kerja - Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia

Caprina R.H Sianturi
Cross-Out
Caprina R.H Sianturi
Inserted Text
Indonesia
Page 4: KERTAS KERJA - JP2GI 3 - INTERVENSI KEBIJAKAN ...jp2gi.org/public/docs/report/INTERVENSI KEBIJAKAN UNTUK...hasil perikanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa susut hasil perikanan

"Dokumen ini di dukung oleh Global Alliance for Improved Nutri�on (GAIN)”"Dokumen ini di dukung oleh Global Alliance for Improved Nutri�on (GAIN)”

3. Penentuan prioritas pengurangan susut hasil, baik dari sisi

jenis bahan pangan atau tahapan rantai pasok (loss atau waste

atau keduanya).

4. Mengkonsolidasikan kegiatan dan pendanaan dari

Kementerian/Lembaga, Swasta, dan kelompok masyarakat

lainnya, melalui berbagai skema antara lain Kemitraan

Pemerintah dan Swasta (KPS).

5. Membentuk Gerakan Nasional Pengurangan Susut Pasca

Panen dan Gizi Pangan.

Untuk menyederhanakan pembahasan, dalam risalah ini digunakan

pendekatan dengan mengacu kepada penyebab susut sebagaimana

diuraikan dalam sub bab sebelumnya dan mengacu kepada Gambar

1. Secara ringkas langkah-langkah yang dapat diambil pada se�ap

tahapan rantai pasok ditampilkan di Tabel 1.

3.1. Sarana dan prasarana

Penyediaan dan penggunaan es adalah salah satu langkah utama

dalam penerapan sistem rantai dingin di Indonesia dan dapat

berperan mengurangi susut hasil perikanan. Meskipun demikian,

harganya �dak murah dan sebagian pelaku perikanan masih belum

memanfaatkannya dengan sempurna. Es�masi kebutuhan es untuk

daerah tropis yang disusun oleh Graham et al. (1992) sebagaimana

terlihat pada Tabel 2 dapat digunakan untuk merencanakan

pengadaan pabrik es, termasuk air bersih. Perhitungan kasar

pengadaan pabrik es (kapasitas 30 ton/hari) untuk penanganan ikan

laut ditampilkan pada Tabel 3, yaitu sekitar Rp 13,9 triliun. Karena

sebagian besar ikan budidaya diperdagangkan hidup atau �dak

dalam kondisi beku (didinginkan dengan es), maka kebutuhan es

untuk ikan budidaya diperkirakan hanya 25% dari kebutuhan untuk

ikan laut, sehingga jumlah pabrik es yang diperlukan adalah 681 unit

(kapasitas 30 ton/hari) senilai Rp 17,5 triliun. Apabila ditambah

dengan pengadaan (bantuan) palka berinsulasi dan/atau kotak

pendingin untuk nelayan skala kecil, pembudidaya, dan pemasar

ikan, maka dana yang dibutuhkan akan bertambah besar.

Sarana dan prasarana lain yang juga harus diadakan adalah unit

gudang dingin/beku (cold storage) untuk menyimpan ikan. Sarana ini

sangat diperlukan untuk menyelamatkan kelebihan produksi pada

waktu panen (glut) atau menyimpan sisa penjualan agar �dak

menyebabkan susut hasil. Gudang beku juga berperan pen�ng

dalam implementasi Sistem Logis�k Ikan Nasional (SLIN) dan sistem

resi gudang.

Pengadaan sarana dan prasarana di atas banyak dilakukan oleh

berbagai Kementerian/Lembaga (K/L). Selain Kementerian

Kelautan dan Perikanan (KKP), K/L lain yang mengadakannya adalah

Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan,

Kementerian Dalam Negeri (melalui pemerintah provinsi dan

kabupaten/kota), Kementerian Koperasi dan UKM, Badan Urusan

Logis�k (Bulog), bahkan BUMN, dan tentu saja pelaku usaha.

Banyaknya penyedia sarana dan prasarana ini malah berpotensi

menimbulkan pemborosan yang �dak perlu.

Mencerma� hal di atas, maka intervensi kebijakan yang disarankan

adalah Bappenas bersama K/L terkait menyusun rencana

pengadaan sarana dan prasarana sistem rantai dingin, termasuk air

bersih. Termasuk dalam perencanaan ini adalah pemilihan lokasi,

pendanaan, dan K/L maupun pihak yang akan melaksanakan.

Kementerian Koordinator Perekonomian diharapkan dapat

memberikan dukungan penuh. Pemetaan sarana dan prasarana yang

sudah ada merupakan kegiatan awal yang dapat dilakukan oleh KKP.

3.2. Teknologi dan prosedur standar

Teknologi penanganan dan pengolahan hasil perikanan, termasuk

untuk penyimpanan dan distribusi, terkadang �dak terlalu mudah

untuk dilaksanakan, terutama di daerah-daerah yang jauh dari kota.

Sementara itu, teknologi yang dikenalkan untuk diadopsi belum

disesuaikan dengan kondisi setempat, bahkan �dak sesuai dengan

kebutuhan, bahkan sering kali mengabaikan �ngkat pemahaman

dan penerimaan masyarakat terhadap teknologi tersebut. Karena

pemberian sarana dan prasarana sering �dak dibarengi dengan

prosedur yang mudah diterapkan, maka sebagai akibatnya banyak

sarana dan prasarana yang dibangun menjadi terbengkalai dan

mangkrak sehingga tujuannya menjadi �dak tercapai. Di sisi lain,

teknologi yang tersedia di pasar terkadang terlalu mahal atau terlalu

rumit untuk diterapkan.

Intervensi kebijakan yang dapat diambil adalah penyediaan

teknologi penanganan dan pengolahan ikan yang memenuhi

kebutuhan pelaku usaha, skala ekonomi dengan harga terjangkau,

melalui

1. Penyusunan kebutuhan teknologi dengan melibatkan calon

pengguna.

2. Pengembangan teknologi tepat guna dengan melibatkan badan

4 5

peneli�an dan pengembangan K/L, BPPT, dan Perguruan Tinggi.

3. Pembuatan prosedur standar penerapan teknologi bagi

pengguna.

4. Menyusun kriteria keberhasilan penerapan teknologi di pelaku

usaha,

5. Pembuatan dan penyediaan berbagai good prac�ces (GHP, GMP,

GRP, dll) untuk berbagai skala usaha di bidang penanganan,

pengolahan, penyimpanan, dan distribusi hasil perikanan.

6. Penyiapan skema insen�f dan disinsen�f untuk pengembangan

dan penerapan teknologi tepat guna.

1.3. Sumber daya manusia

Sumber daya manusia berperan pen�ng dalam pengurangan susut

hasil perikanan, terutama mereka yang terlibat di sepanjang rantai

pasok, termasuk konsumen (horeka maupun rumah tangga).

Ketersediaan sarana-prasarana dan teknologi �dak selalu menjadi

jaminan keberhasilan upaya penurunan susut hasil perikanan

apabila �dak dioperasikan oleh sumber daya manusia yang

mumpuni. Selain karena kapasitas dan pengetahuan terhadap cara-

cara penanganan dan pengolahan ikan sangat bervariasi, sikap

masyarakat terhadap teknologi baru, dan kepatuhan kepada

prosedur yang telah ditetapkan menjadi faktor penentu. Kesadaran

akan pen�ngnya nilai ekonomi dan nilai gizi makanan juga sangat

beragam di sepanjang rantai pasok, bahkan di tahap ritel dan

konsumsi.

Sementara itu, aspek gender juga perlu mendapat perha�an,

mengingat ternyata perempuan mempunyai peran yang cukup

pen�ng dalam usaha perikanan, bahkan terkadang perannya lebih

�nggi dari pada pria. World Bank (2012) mencatat bahwa 47%

tenaga kerja di perikanan adalah perempuan, sedangkan Phillips et

al. (2016) menyatakan bahwa 40-80% pekerja di akuakultur adalah

perempuan. Di Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

(Kiara) pada 2015 melaporkan bahwa 70% pekerjaan di perikanan

dilaksanakan oleh perempuan dengan waktu kerja sampai 17 jam 4per hari . Sementara itu, sebagaimana kebiasaan di negara dengan

kultur agraris seper� Indonesia, selain berperan pen�ng dalam

memproduksi pangan, perempuan juga memegang peran utama di

dalam penyiapan hidangan di rumah tangga (atau usaha katering di

perkotaan). Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa kontribusi

perempuan juga besar dalam menghasilkan susut hasil bahkan bisa

lebih besar, sebagaimana dilaporkan oleh Kaminski & Cole (2018).

Jadi, upaya pengurangan susut hasil perikanan dapat dipas�kan

akan memerlukan dukungan dari kaum perempuan.

Intervensi kebijakan yang diperlukan adalah peningkatan kapasitas

pelaku usaha perikanan dalam penanganan dan pengolahan ikan,

serta peningkatan pemahaman pelaku usaha dan konsumen tentang

susut hasil perikanan serta pencegahannya. Peningkatan kapasitas

tersebut dapat dilakukan melalui berbagai pela�han terstruktur dari

pusat sampai daerah, melibatkan Unit Pelaksana Teknis/UPT (pusat

dan daerah), serta perguruan �nggi setempat. Sedangkan

peningkatan pemahaman dapat dilakukan melalui sekolah dan

madrasah serta komunitas (keagamaan, perempuan, hobi, dll).

Organisasi keagamaan dan kemasyarakatan dapat menjadi mitra

strategis yang sangat efek�f dalam gerakan peningkatan

pemahaman. Kementerian/Lembaga yang berperan dalam hal ini

antara lain adalah KKP, Kementerian Kesehatan, Kementerian

Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Dalam

Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian

Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, dan Kementerian

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Sementara itu,

dua Kementerian Koordinator, yaitu Kementerian Koordinator

Perekonomian dan Kementerian Koordinator Pembangunan

Manusia dan Kebudayaan, dapat memberikan dukungan melalui

perannya masing-masing.

KesimpulanSusut hasil perikanan adalah masalah serius yang dihadapi oleh

Indonesia serta sangat berpotensi mengakibatkan kerugian

ekonomi dan kehilangan zat gizi yang sangat pen�ng, yaitu protein

ikan dan beberapa zat gizi mikro. Susut hasil perikanan terjadi di

semua tahap sepanjang rantai pasok, bahkan sampai konsumsi.

Penyebab susut hasil perikanan sangat beragam. Namun, penyebab

utama adalah ikan yang �dak ditangani sebagaimana mes�nya

dengan sistem rantai dingin op�mal di sepanjang rantai pasok. Selain

itu, terbatasnya teknologi tepat guna dan perilaku pelaku usaha dan

konsumen yang kurang cermat dalam melakukan penanganan dan

pengolahan ikan ikut berkontribusi terhadap �ngginya susut hasil

perikanan.

4

4 https://www.kemenkopmk.go.id/optimalisasi-peran-perempuan-dalam-pembangunan

Pendahuluan

Lokus dan penyebab

susut hasil perikanan

Langkah-langkah intervensi untuk mengurangi

susut hasil perikanan

Kesimpulan

Saran kebijakan

Kertas Kerja - Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia Kertas Kerja - Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia

Caprina R.H Sianturi
Cross-Out
Caprina R.H Sianturi
Inserted Text
K/L lain (spasi)
Page 5: KERTAS KERJA - JP2GI 3 - INTERVENSI KEBIJAKAN ...jp2gi.org/public/docs/report/INTERVENSI KEBIJAKAN UNTUK...hasil perikanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa susut hasil perikanan

"Dokumen ini di dukung oleh Global Alliance for Improved Nutri�on (GAIN)”"Dokumen ini di dukung oleh Global Alliance for Improved Nutri�on (GAIN)”

3. Penentuan prioritas pengurangan susut hasil, baik dari sisi

jenis bahan pangan atau tahapan rantai pasok (loss atau waste

atau keduanya).

4. Mengkonsolidasikan kegiatan dan pendanaan dari

Kementerian/Lembaga, Swasta, dan kelompok masyarakat

lainnya, melalui berbagai skema antara lain Kemitraan

Pemerintah dan Swasta (KPS).

5. Membentuk Gerakan Nasional Pengurangan Susut Pasca

Panen dan Gizi Pangan.

Untuk menyederhanakan pembahasan, dalam risalah ini digunakan

pendekatan dengan mengacu kepada penyebab susut sebagaimana

diuraikan dalam sub bab sebelumnya dan mengacu kepada Gambar

1. Secara ringkas langkah-langkah yang dapat diambil pada se�ap

tahapan rantai pasok ditampilkan di Tabel 1.

3.1. Sarana dan prasarana

Penyediaan dan penggunaan es adalah salah satu langkah utama

dalam penerapan sistem rantai dingin di Indonesia dan dapat

berperan mengurangi susut hasil perikanan. Meskipun demikian,

harganya �dak murah dan sebagian pelaku perikanan masih belum

memanfaatkannya dengan sempurna. Es�masi kebutuhan es untuk

daerah tropis yang disusun oleh Graham et al. (1992) sebagaimana

terlihat pada Tabel 2 dapat digunakan untuk merencanakan

pengadaan pabrik es, termasuk air bersih. Perhitungan kasar

pengadaan pabrik es (kapasitas 30 ton/hari) untuk penanganan ikan

laut ditampilkan pada Tabel 3, yaitu sekitar Rp 13,9 triliun. Karena

sebagian besar ikan budidaya diperdagangkan hidup atau �dak

dalam kondisi beku (didinginkan dengan es), maka kebutuhan es

untuk ikan budidaya diperkirakan hanya 25% dari kebutuhan untuk

ikan laut, sehingga jumlah pabrik es yang diperlukan adalah 681 unit

(kapasitas 30 ton/hari) senilai Rp 17,5 triliun. Apabila ditambah

dengan pengadaan (bantuan) palka berinsulasi dan/atau kotak

pendingin untuk nelayan skala kecil, pembudidaya, dan pemasar

ikan, maka dana yang dibutuhkan akan bertambah besar.

Sarana dan prasarana lain yang juga harus diadakan adalah unit

gudang dingin/beku (cold storage) untuk menyimpan ikan. Sarana ini

sangat diperlukan untuk menyelamatkan kelebihan produksi pada

waktu panen (glut) atau menyimpan sisa penjualan agar �dak

menyebabkan susut hasil. Gudang beku juga berperan pen�ng

dalam implementasi Sistem Logis�k Ikan Nasional (SLIN) dan sistem

resi gudang.

Pengadaan sarana dan prasarana di atas banyak dilakukan oleh

berbagai Kementerian/Lembaga (K/L). Selain Kementerian

Kelautan dan Perikanan (KKP), K/L lain yang mengadakannya adalah

Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan,

Kementerian Dalam Negeri (melalui pemerintah provinsi dan

kabupaten/kota), Kementerian Koperasi dan UKM, Badan Urusan

Logis�k (Bulog), bahkan BUMN, dan tentu saja pelaku usaha.

Banyaknya penyedia sarana dan prasarana ini malah berpotensi

menimbulkan pemborosan yang �dak perlu.

Mencerma� hal di atas, maka intervensi kebijakan yang disarankan

adalah Bappenas bersama K/L terkait menyusun rencana

pengadaan sarana dan prasarana sistem rantai dingin, termasuk air

bersih. Termasuk dalam perencanaan ini adalah pemilihan lokasi,

pendanaan, dan K/L maupun pihak yang akan melaksanakan.

Kementerian Koordinator Perekonomian diharapkan dapat

memberikan dukungan penuh. Pemetaan sarana dan prasarana yang

sudah ada merupakan kegiatan awal yang dapat dilakukan oleh KKP.

3.2. Teknologi dan prosedur standar

Teknologi penanganan dan pengolahan hasil perikanan, termasuk

untuk penyimpanan dan distribusi, terkadang �dak terlalu mudah

untuk dilaksanakan, terutama di daerah-daerah yang jauh dari kota.

Sementara itu, teknologi yang dikenalkan untuk diadopsi belum

disesuaikan dengan kondisi setempat, bahkan �dak sesuai dengan

kebutuhan, bahkan sering kali mengabaikan �ngkat pemahaman

dan penerimaan masyarakat terhadap teknologi tersebut. Karena

pemberian sarana dan prasarana sering �dak dibarengi dengan

prosedur yang mudah diterapkan, maka sebagai akibatnya banyak

sarana dan prasarana yang dibangun menjadi terbengkalai dan

mangkrak sehingga tujuannya menjadi �dak tercapai. Di sisi lain,

teknologi yang tersedia di pasar terkadang terlalu mahal atau terlalu

rumit untuk diterapkan.

Intervensi kebijakan yang dapat diambil adalah penyediaan

teknologi penanganan dan pengolahan ikan yang memenuhi

kebutuhan pelaku usaha, skala ekonomi dengan harga terjangkau,

melalui

1. Penyusunan kebutuhan teknologi dengan melibatkan calon

pengguna.

2. Pengembangan teknologi tepat guna dengan melibatkan badan

4 5

peneli�an dan pengembangan K/L, BPPT, dan Perguruan Tinggi.

3. Pembuatan prosedur standar penerapan teknologi bagi

pengguna.

4. Menyusun kriteria keberhasilan penerapan teknologi di pelaku

usaha,

5. Pembuatan dan penyediaan berbagai good prac�ces (GHP, GMP,

GRP, dll) untuk berbagai skala usaha di bidang penanganan,

pengolahan, penyimpanan, dan distribusi hasil perikanan.

6. Penyiapan skema insen�f dan disinsen�f untuk pengembangan

dan penerapan teknologi tepat guna.

1.3. Sumber daya manusia

Sumber daya manusia berperan pen�ng dalam pengurangan susut

hasil perikanan, terutama mereka yang terlibat di sepanjang rantai

pasok, termasuk konsumen (horeka maupun rumah tangga).

Ketersediaan sarana-prasarana dan teknologi �dak selalu menjadi

jaminan keberhasilan upaya penurunan susut hasil perikanan

apabila �dak dioperasikan oleh sumber daya manusia yang

mumpuni. Selain karena kapasitas dan pengetahuan terhadap cara-

cara penanganan dan pengolahan ikan sangat bervariasi, sikap

masyarakat terhadap teknologi baru, dan kepatuhan kepada

prosedur yang telah ditetapkan menjadi faktor penentu. Kesadaran

akan pen�ngnya nilai ekonomi dan nilai gizi makanan juga sangat

beragam di sepanjang rantai pasok, bahkan di tahap ritel dan

konsumsi.

Sementara itu, aspek gender juga perlu mendapat perha�an,

mengingat ternyata perempuan mempunyai peran yang cukup

pen�ng dalam usaha perikanan, bahkan terkadang perannya lebih

�nggi dari pada pria. World Bank (2012) mencatat bahwa 47%

tenaga kerja di perikanan adalah perempuan, sedangkan Phillips et

al. (2016) menyatakan bahwa 40-80% pekerja di akuakultur adalah

perempuan. Di Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

(Kiara) pada 2015 melaporkan bahwa 70% pekerjaan di perikanan

dilaksanakan oleh perempuan dengan waktu kerja sampai 17 jam 4per hari . Sementara itu, sebagaimana kebiasaan di negara dengan

kultur agraris seper� Indonesia, selain berperan pen�ng dalam

memproduksi pangan, perempuan juga memegang peran utama di

dalam penyiapan hidangan di rumah tangga (atau usaha katering di

perkotaan). Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa kontribusi

perempuan juga besar dalam menghasilkan susut hasil bahkan bisa

lebih besar, sebagaimana dilaporkan oleh Kaminski & Cole (2018).

Jadi, upaya pengurangan susut hasil perikanan dapat dipas�kan

akan memerlukan dukungan dari kaum perempuan.

Intervensi kebijakan yang diperlukan adalah peningkatan kapasitas

pelaku usaha perikanan dalam penanganan dan pengolahan ikan,

serta peningkatan pemahaman pelaku usaha dan konsumen tentang

susut hasil perikanan serta pencegahannya. Peningkatan kapasitas

tersebut dapat dilakukan melalui berbagai pela�han terstruktur dari

pusat sampai daerah, melibatkan Unit Pelaksana Teknis/UPT (pusat

dan daerah), serta perguruan �nggi setempat. Sedangkan

peningkatan pemahaman dapat dilakukan melalui sekolah dan

madrasah serta komunitas (keagamaan, perempuan, hobi, dll).

Organisasi keagamaan dan kemasyarakatan dapat menjadi mitra

strategis yang sangat efek�f dalam gerakan peningkatan

pemahaman. Kementerian/Lembaga yang berperan dalam hal ini

antara lain adalah KKP, Kementerian Kesehatan, Kementerian

Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Dalam

Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian

Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, dan Kementerian

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Sementara itu,

dua Kementerian Koordinator, yaitu Kementerian Koordinator

Perekonomian dan Kementerian Koordinator Pembangunan

Manusia dan Kebudayaan, dapat memberikan dukungan melalui

perannya masing-masing.

KesimpulanSusut hasil perikanan adalah masalah serius yang dihadapi oleh

Indonesia serta sangat berpotensi mengakibatkan kerugian

ekonomi dan kehilangan zat gizi yang sangat pen�ng, yaitu protein

ikan dan beberapa zat gizi mikro. Susut hasil perikanan terjadi di

semua tahap sepanjang rantai pasok, bahkan sampai konsumsi.

Penyebab susut hasil perikanan sangat beragam. Namun, penyebab

utama adalah ikan yang �dak ditangani sebagaimana mes�nya

dengan sistem rantai dingin op�mal di sepanjang rantai pasok. Selain

itu, terbatasnya teknologi tepat guna dan perilaku pelaku usaha dan

konsumen yang kurang cermat dalam melakukan penanganan dan

pengolahan ikan ikut berkontribusi terhadap �ngginya susut hasil

perikanan.

4

4 https://www.kemenkopmk.go.id/optimalisasi-peran-perempuan-dalam-pembangunan

Pendahuluan

Lokus dan penyebab

susut hasil perikanan

Langkah-langkah intervensi untuk mengurangi

susut hasil perikanan

Kesimpulan

Saran kebijakan

Kertas Kerja - Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia Kertas Kerja - Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia

Page 6: KERTAS KERJA - JP2GI 3 - INTERVENSI KEBIJAKAN ...jp2gi.org/public/docs/report/INTERVENSI KEBIJAKAN UNTUK...hasil perikanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa susut hasil perikanan

"Dokumen ini di dukung oleh Global Alliance for Improved Nutri�on (GAIN)”"Dokumen ini di dukung oleh Global Alliance for Improved Nutri�on (GAIN)”6 7

Referensi: 1. BPS. (2019). Konsumsi Protein dan Kalori Penduduk Indonesia dan Propinsi. Buku 2 (Vol. 2). Biro Pusat Sta�s�kCharles, A. T. (2001).

Sustainable fishery systems. Blackwell Science.

2. Cohrane, K., De Young, C., Soto, D., & Bahri, T. (2009). Climate Change Implica�on for Fisheries and Aquaculture: Overview of Current Scien�fic Knowledge. (No. 530; FAO Fisheries Tecnical Paper, p. 212). FAO.

3. Ditjen Kesmas. (2018). Tabel Komposisi Pangan Indonesia 2017. Kementerian Kesehatan RI.

4. Direktorat Pemasaran, Dit.Jen PDSKP, KKP, 2018. Peta Kebutuhan Ikan Berdasarkan Preferensi Konsumen Rumah Tangga Tahun 2017.

5. Ditjen PDSPKP (2020). Pedoman Penghitungan Angka Konsumsi Ikan. Kementerian Kelautan dan Perikanan

6. Gordon, D. T. (1988). Minerals in seafoods: Their bioavailability and interac�ons. Food Technology, 42(5), 156–160.

7. Habibie, Y., Fahmi, I., Kusuma, B., Wulandari.E. (2020). Studi Kualita�f: Peneli�an Forma�f Prak�k Penanganan Ikan dan Persepsi Konsumsi Ikan di Rumah Tangga dalam Rangka Intervensi Perubahan Perilaku untuk Perbaikan Status Gizi di Kota Probolinggo. Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya.

8. Mut (2015), Susut Hasil Panen Perikanan Capai Rp. 30 Triliun. Selasa, 3 November 2015. Berita Satu. h�ps://www.beritasatu.com/ekonomi/319331-susut-hasil-panen-perikanan-capai-rp-30-triliun

9. Nurhasan, M and Purnama, R.C. (2019). Poor Fishery Management Costs Indonesia $7 Billion per Year. The Conversa�on, May 13, 2019. h�ps://theconversa�on.com/poor-fishery-management-costs-indonesia-7-billion-per-year-heres-how-to-stop-it-109671

10. Sikorski, Z. E., Kolakowska, A., & Pan, B. S. (1990). The nutri�ve composi�on of the major groups of marine food organisms. In Z. E. Sikorski (Ed.), Seafood: Resources, Nutri�onal Composi�on and Preserva�on (pp. 29–54). CRC Press, Inc.

11. Wibowo, S., Utomo, B. S. B., Syamdidi, & Kusumawa�, R. (2014). Evaluasi Susut Hasil Pasca Panen Perikanan (PB-01-4-04-2014; Policy Brief, p. 4). Balai Besar Peneli�an dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. h�p://kkp.go.id/an-component/media/upload-gambar-pendukung/brsdm/pdf/files28897Evaluasi%20Susut%20Hasil%20Pasca%20Panen.pdf

Ca�aneo, A., Sánchez, M. V., Torero, M., & Vos, R. (2020). Reducing food loss and waste: Five challenges for policy and research. Food Policy,

101974. h�ps://doi.org/10.1016/j.foodpol.2020.101974

FAO. (2017, September 15). Food Loss and Waste in Fisheries and Aquaculture [Powerpoint]. Global Fishery Forum & Seafood Expo, St. Petersburg,

Russia.

FAO. (2018). Food loss and waste and the right to adequate food: Making the connec�on. FAO.

FAO. (2019). The State of Food and Agriculture 2019. Moving forward on food loss and waste reduc�on. Food and Agriculture Organiza�on of the United

Na�ons.

Graham, J., Johnston, W. A., & Nicholson, F. J. (1992). Ice in Fisheries (No. 331; FAO Fisheries Technical Paper, p. 75). FAO.

Gustavsson, J., Cederberg, C., & Sonesson, U. (2011). Global food losses and food waste: Extent, causes and preven�on  ; study conducted for the

Interna�onal Congress Save Food! at Interpack 2011, [16 - 17 May], Düsseldorf, Germany. Food and Agriculture Organiza�on of the United

Na�ons.

Huss, H. H. (1995). Quality and quality changes in fresh fish. FAO.

Kaminski, A. M., & Cole, S. M. (2018). Building a case for using par�cipatory and gender-aware approaches in post-harvest fish loss assessments and

fishery value chain development interven�ons. In FAO, Report and Papers Presented at the Fourth Mee�ng of Professionals/Experts in Support

of Fish Safety, Technology, and Marke�ng in Africa. Elmina, Ghana, 14–16 November 2017. (pp. 48–57). FAO.

Kruijssen, F., Tedesco, I., Ward, A., Pincus, L., Love, D., & Thorne-Lyman, A. L. (2020). Loss and waste in fish value chains: A review of the evidence from

low and middle-income countries. Global Food Security, 26, 100434. h�ps://doi.org/10.1016/j.gfs.2020.100434

Markenih, E. (2016). Sanitasi dan Higiena serta Pengaruhnya terhadap kualitas ikan yang Didaratkan di Pelabuhan Blanakan, Subang. Ins�tut Pertanian

Bogor.

Phillips, M., Subasinghe, R., Tran, N., Kassam, L., & Chan, C. Y. (2016). Aquaculture Big Numbers (No. 601; FAO Fisheries and Aquaculture Technical

Paper, p. 60). FAO.

Pink, P. (2016). Report of the '2015 Series of Interna�onal Conferences on Food Loss and Waste Reduc�on': Recommenda�ons on Improving Policies and

Strategies for Food Loss and Waste Reduc�on (p. 49). FAO.

Poernomo, A. (2017). Es Adalah Peradaban, Cetakan 3 dan Edisi Revisi.

Wibowo, S, Ward, A. R., Diei-Ouadi, Y., Susana, S., & Suuronen, P. (2017). Case studies on fish loss assessment of small-scale fisheries in Indonesia. (FAO

Fisheries and Aquaculture Circular No. 1129). FAO.

Wibowo, Singgih, Utomo, B. S. B., Syamdidi, & Kusumawa�, R. (2014). Evaluasi Susut Hasil Pasca Panen Perikanan (PB-01-4-04-2014; Policy Brief, p.

4). Balai Besar Peneli�an dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. h�p://kkp.go.id/an-

component/media/upload-gambar-pendukung/brsdm/pdf/files28897Evaluasi%20Susut%20Hasil%20Pasca%20Panen.pdf

World Bank. (2012). Hidden Harvest: The Global Contribu�on of Capture Fisheries. World Bank, FAO, World Fish Center.

World Bank, 2014. Be�er Growth Through Improved Sanita�on and Hygiene Prac�ces dalam Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Anak Kerdil

(Stun�ng) Periode 2018-2024. Jakarta: Kementerian Dalam Negeri, Bappenas, dan TNP2K

6

15%

9%

2%

6%

8,2%

#Ca�aneo, A., Sánchez, M. V., Torero, M., & Vos, R. (2020). Reducing food loss and waste: Five challenges for policy and research. Food Policy, 101974. h�ps://doi.org/10.1016/j.foodpol.2020.101974

FAO. (2017, September 15). Food Loss and Waste in Fisheries and Aquaculture [Powerpoint]. Global Fishery Forum & Seafood Expo, St.

Petersburg, Russia.

FAO. (2018). Food loss and waste and the right to adequate food: Making the connec�on. FAO.

FAO. (2019). The State of Food and Agriculture 2019. Moving forward on food loss and waste reduc�on. Food and Agriculture

Organiza�on of the United Na�ons.

Graham, J., Johnston, W. A., & Nicholson, F. J. (1992). Ice in Fisheries (No. 331; FAO Fisheries Technical Paper, p. 75). FAO.

Gustavsson, J., Cederberg, C., & Sonesson, U. (2011). Global food losses and food waste: Extent, causes and preven�on ; study conducted

for the Interna�onal Congress Save Food! at Interpack 2011, [16 - 17 May], Düsseldorf, Germany. Food and Agriculture

Organiza�on of the United Na�ons.

Huss, H. H. (1995). Quality and quality changes in fresh fish. FAO.

Kaminski, A. M., & Cole, S. M. (2018). Building a case for using par�cipatory and gender-aware approaches in post-harvest fish loss

assessments and fishery value chain development interven�ons. In FAO, Report and Papers Presented at the Fourth Mee�ng

of Professionals/Experts in Support of Fish Safety, Technology, and Marke�ng in Africa. Elmina, Ghana, 14–16 November 2017.

(pp. 48–57). FAO.

Kruijssen, F., Tedesco, I., Ward, A., Pincus, L., Love, D., & Thorne-Lyman, A. L. (2020). Loss and waste in fish value chains: A review of

t h e e v i d e n c e f r o m l o w a n d m i d d l e - i n c o m e c o u n t r i e s . G l o b a l Fo o d S e c u r i t y , 2 6 , 1 0 0 4 3 4 .

h�ps://doi.org/10.1016/j.gfs.2020.100434

Markenih, E. (2016). Sanitasi dan Higiena serta Pengaruhnya terhadap kualitas ikan yang Didaratkan di Pelabuhan Blanakan, Subang.

Ins�tut Pertanian Bogor.

Phillips, M., Subasinghe, R., Tran, N., Kassam, L., & Chan, C. Y. (2016). Aquaculture Big Numbers (No. 601; FAO Fisheries and

Aquaculture Technical Paper, p. 60). FAO.

Pink, P. (2016). Report of the '2015 Series of Interna�onal Conferences on Food Loss and Waste Reduc�on': Recommenda�ons on

Improving Policies and Strategies for Food Loss and Waste Reduc�on (p. 49). FAO.

Poernomo, A. (2017). Es Adalah Peradaban, Cetakan 3 dan Edisi Revisi.

Daftar Rujukan

Saran kebijakanSelain upaya secara teknis sebagaimana ditampilkan pada Tabel 1, pengurangan susut hasil perikanan perlu dilakukan

melalui langkah-langkah yang bersifat kebijakan. Karena kompleksnya permasalahan di lapangan, upaya tersebut

seyogyanya dilakukan secara mul�sektor dengan melibatkan Kementerian/Lembaga terkait dan pemangku kepen�ngan

lainnya. Langkah-langkah tersebut antara lain:

1.1. Penyusunan dan pencanangan Visi, Misi, dan Strategi pengurangan susut hasil pangan yang diinisiasi oleh

Bappenas.

1.2. Pencanangan Gerakan Nasional Pengurangan Susut Pasca-Panen Pangan dan Gizi.

1.3. Penguatan perencanaan pengadaan sarana dan prasarana pendinginan dan pengolahan ikan.

1.4. Penguatan perencanaan penyediaan teknologi tepat guna serta prosedur pendinginan dan pengolahan ikan.

1.5. Peningkatan kapasitas pelaku usaha perikanan di bidang penanganan dan pengolahan.

1.6. Peningkatan pemahaman konsumen dan masyarakat tentang pen�ngnya mengurangi susut hasil perikanan.

Tabel 3. Es�masi kebutuhan pabrik es untuk penanganan ikan laut

1https://ekonomi.bisnis.com/read/20170620/99/664665/perindo -dan-pt-barata-bangun-pabrik-es-di-lebak

5 https://ekonomi.bisnis.com/read/20170620/99/664665/perindo-dan-pt-barata-bangun-pabrik-es-di-lebak

1.5 : 1 1.5 : 1 2.0 : 1 5.0 : 1

Penangkapan dan pengumpulan

Penanganan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pengolahan Total Kegiatan

Es : ikan (bobot)

Sumatera

1,671

2,507

279

3,482

Jawa-Bali

1,433

2,149

239

2,985

NTT, NTB, Papua, Maluku Islands

1,679

2,518

280

3,497

Kalimantan

588

882

98

1,225

Sulawesi

1,326

1,989

221

2,762

TOTAL

6,696

10,045

1,116

13,951

Gambar 1. Diagram fishbone penyebab susut hasil perikanan (diolah dari (FAO, 2017; Gustavsson et al., 2011; Kruijssen et al., 2020; Wibowo et al., 2014; Wibowo et al., 2017)

Tabel 2. Es�masi kebutuhan es untuk penanganan dan ikan di daerah tropis (Graham et al., 1992)

KonsumsiPenyimpanandistribusi dan retailPemanenan

Penangkapan Postharvest handlingand transport

Pengolahan

SUSUT PASCAPANEN DAN GIZI

5

Pulau/Kelompok PulauProduksi 2018 (juta ton)

Kebutuhan es (juta ton)

Kebutuhan pabrik es(unit)

Investasi (Rp miliar)

Asumsi● Perikanan laut, sumber: h�ps://sta�s�k.kkp.go.id/home.php?m=total&i=2#panel-footer● Kebutuhan es dies�masi dari 75% produksi dikalikan 2 (es:ikan = 2:1)● Hari produksi dalam setahun 300

5● Harga pabrik es (kapasitas 30 ton/hari) berdasar nilai yang dibangun oleh PT Perindo di Lebak pada 2017

Kertas Kerja - Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia Kertas Kerja - Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia

Page 7: KERTAS KERJA - JP2GI 3 - INTERVENSI KEBIJAKAN ...jp2gi.org/public/docs/report/INTERVENSI KEBIJAKAN UNTUK...hasil perikanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa susut hasil perikanan

"Dokumen ini di dukung oleh Global Alliance for Improved Nutri�on (GAIN)”"Dokumen ini di dukung oleh Global Alliance for Improved Nutri�on (GAIN)”6 7

Referensi: 1. BPS. (2019). Konsumsi Protein dan Kalori Penduduk Indonesia dan Propinsi. Buku 2 (Vol. 2). Biro Pusat Sta�s�kCharles, A. T. (2001).

Sustainable fishery systems. Blackwell Science.

2. Cohrane, K., De Young, C., Soto, D., & Bahri, T. (2009). Climate Change Implica�on for Fisheries and Aquaculture: Overview of Current Scien�fic Knowledge. (No. 530; FAO Fisheries Tecnical Paper, p. 212). FAO.

3. Ditjen Kesmas. (2018). Tabel Komposisi Pangan Indonesia 2017. Kementerian Kesehatan RI.

4. Direktorat Pemasaran, Dit.Jen PDSKP, KKP, 2018. Peta Kebutuhan Ikan Berdasarkan Preferensi Konsumen Rumah Tangga Tahun 2017.

5. Ditjen PDSPKP (2020). Pedoman Penghitungan Angka Konsumsi Ikan. Kementerian Kelautan dan Perikanan

6. Gordon, D. T. (1988). Minerals in seafoods: Their bioavailability and interac�ons. Food Technology, 42(5), 156–160.

7. Habibie, Y., Fahmi, I., Kusuma, B., Wulandari.E. (2020). Studi Kualita�f: Peneli�an Forma�f Prak�k Penanganan Ikan dan Persepsi Konsumsi Ikan di Rumah Tangga dalam Rangka Intervensi Perubahan Perilaku untuk Perbaikan Status Gizi di Kota Probolinggo. Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya.

8. Mut (2015), Susut Hasil Panen Perikanan Capai Rp. 30 Triliun. Selasa, 3 November 2015. Berita Satu. h�ps://www.beritasatu.com/ekonomi/319331-susut-hasil-panen-perikanan-capai-rp-30-triliun

9. Nurhasan, M and Purnama, R.C. (2019). Poor Fishery Management Costs Indonesia $7 Billion per Year. The Conversa�on, May 13, 2019. h�ps://theconversa�on.com/poor-fishery-management-costs-indonesia-7-billion-per-year-heres-how-to-stop-it-109671

10. Sikorski, Z. E., Kolakowska, A., & Pan, B. S. (1990). The nutri�ve composi�on of the major groups of marine food organisms. In Z. E. Sikorski (Ed.), Seafood: Resources, Nutri�onal Composi�on and Preserva�on (pp. 29–54). CRC Press, Inc.

11. Wibowo, S., Utomo, B. S. B., Syamdidi, & Kusumawa�, R. (2014). Evaluasi Susut Hasil Pasca Panen Perikanan (PB-01-4-04-2014; Policy Brief, p. 4). Balai Besar Peneli�an dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. h�p://kkp.go.id/an-component/media/upload-gambar-pendukung/brsdm/pdf/files28897Evaluasi%20Susut%20Hasil%20Pasca%20Panen.pdf

Ca�aneo, A., Sánchez, M. V., Torero, M., & Vos, R. (2020). Reducing food loss and waste: Five challenges for policy and research. Food Policy,

101974. h�ps://doi.org/10.1016/j.foodpol.2020.101974

FAO. (2017, September 15). Food Loss and Waste in Fisheries and Aquaculture [Powerpoint]. Global Fishery Forum & Seafood Expo, St. Petersburg,

Russia.

FAO. (2018). Food loss and waste and the right to adequate food: Making the connec�on. FAO.

FAO. (2019). The State of Food and Agriculture 2019. Moving forward on food loss and waste reduc�on. Food and Agriculture Organiza�on of the United

Na�ons.

Graham, J., Johnston, W. A., & Nicholson, F. J. (1992). Ice in Fisheries (No. 331; FAO Fisheries Technical Paper, p. 75). FAO.

Gustavsson, J., Cederberg, C., & Sonesson, U. (2011). Global food losses and food waste: Extent, causes and preven�on  ; study conducted for the

Interna�onal Congress Save Food! at Interpack 2011, [16 - 17 May], Düsseldorf, Germany. Food and Agriculture Organiza�on of the United

Na�ons.

Huss, H. H. (1995). Quality and quality changes in fresh fish. FAO.

Kaminski, A. M., & Cole, S. M. (2018). Building a case for using par�cipatory and gender-aware approaches in post-harvest fish loss assessments and

fishery value chain development interven�ons. In FAO, Report and Papers Presented at the Fourth Mee�ng of Professionals/Experts in Support

of Fish Safety, Technology, and Marke�ng in Africa. Elmina, Ghana, 14–16 November 2017. (pp. 48–57). FAO.

Kruijssen, F., Tedesco, I., Ward, A., Pincus, L., Love, D., & Thorne-Lyman, A. L. (2020). Loss and waste in fish value chains: A review of the evidence from

low and middle-income countries. Global Food Security, 26, 100434. h�ps://doi.org/10.1016/j.gfs.2020.100434

Markenih, E. (2016). Sanitasi dan Higiena serta Pengaruhnya terhadap kualitas ikan yang Didaratkan di Pelabuhan Blanakan, Subang. Ins�tut Pertanian

Bogor.

Phillips, M., Subasinghe, R., Tran, N., Kassam, L., & Chan, C. Y. (2016). Aquaculture Big Numbers (No. 601; FAO Fisheries and Aquaculture Technical

Paper, p. 60). FAO.

Pink, P. (2016). Report of the '2015 Series of Interna�onal Conferences on Food Loss and Waste Reduc�on': Recommenda�ons on Improving Policies and

Strategies for Food Loss and Waste Reduc�on (p. 49). FAO.

Poernomo, A. (2017). Es Adalah Peradaban, Cetakan 3 dan Edisi Revisi.

Wibowo, S, Ward, A. R., Diei-Ouadi, Y., Susana, S., & Suuronen, P. (2017). Case studies on fish loss assessment of small-scale fisheries in Indonesia. (FAO

Fisheries and Aquaculture Circular No. 1129). FAO.

Wibowo, Singgih, Utomo, B. S. B., Syamdidi, & Kusumawa�, R. (2014). Evaluasi Susut Hasil Pasca Panen Perikanan (PB-01-4-04-2014; Policy Brief, p.

4). Balai Besar Peneli�an dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. h�p://kkp.go.id/an-

component/media/upload-gambar-pendukung/brsdm/pdf/files28897Evaluasi%20Susut%20Hasil%20Pasca%20Panen.pdf

World Bank. (2012). Hidden Harvest: The Global Contribu�on of Capture Fisheries. World Bank, FAO, World Fish Center.

World Bank, 2014. Be�er Growth Through Improved Sanita�on and Hygiene Prac�ces dalam Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Anak Kerdil

(Stun�ng) Periode 2018-2024. Jakarta: Kementerian Dalam Negeri, Bappenas, dan TNP2K

6

15%

9%

2%

6%

8,2%

#Ca�aneo, A., Sánchez, M. V., Torero, M., & Vos, R. (2020). Reducing food loss and waste: Five challenges for policy and research. Food Policy, 101974. h�ps://doi.org/10.1016/j.foodpol.2020.101974

FAO. (2017, September 15). Food Loss and Waste in Fisheries and Aquaculture [Powerpoint]. Global Fishery Forum & Seafood Expo, St.

Petersburg, Russia.

FAO. (2018). Food loss and waste and the right to adequate food: Making the connec�on. FAO.

FAO. (2019). The State of Food and Agriculture 2019. Moving forward on food loss and waste reduc�on. Food and Agriculture

Organiza�on of the United Na�ons.

Graham, J., Johnston, W. A., & Nicholson, F. J. (1992). Ice in Fisheries (No. 331; FAO Fisheries Technical Paper, p. 75). FAO.

Gustavsson, J., Cederberg, C., & Sonesson, U. (2011). Global food losses and food waste: Extent, causes and preven�on ; study conducted

for the Interna�onal Congress Save Food! at Interpack 2011, [16 - 17 May], Düsseldorf, Germany. Food and Agriculture

Organiza�on of the United Na�ons.

Huss, H. H. (1995). Quality and quality changes in fresh fish. FAO.

Kaminski, A. M., & Cole, S. M. (2018). Building a case for using par�cipatory and gender-aware approaches in post-harvest fish loss

assessments and fishery value chain development interven�ons. In FAO, Report and Papers Presented at the Fourth Mee�ng

of Professionals/Experts in Support of Fish Safety, Technology, and Marke�ng in Africa. Elmina, Ghana, 14–16 November 2017.

(pp. 48–57). FAO.

Kruijssen, F., Tedesco, I., Ward, A., Pincus, L., Love, D., & Thorne-Lyman, A. L. (2020). Loss and waste in fish value chains: A review of

t h e e v i d e n c e f r o m l o w a n d m i d d l e - i n c o m e c o u n t r i e s . G l o b a l Fo o d S e c u r i t y , 2 6 , 1 0 0 4 3 4 .

h�ps://doi.org/10.1016/j.gfs.2020.100434

Markenih, E. (2016). Sanitasi dan Higiena serta Pengaruhnya terhadap kualitas ikan yang Didaratkan di Pelabuhan Blanakan, Subang.

Ins�tut Pertanian Bogor.

Phillips, M., Subasinghe, R., Tran, N., Kassam, L., & Chan, C. Y. (2016). Aquaculture Big Numbers (No. 601; FAO Fisheries and

Aquaculture Technical Paper, p. 60). FAO.

Pink, P. (2016). Report of the '2015 Series of Interna�onal Conferences on Food Loss and Waste Reduc�on': Recommenda�ons on

Improving Policies and Strategies for Food Loss and Waste Reduc�on (p. 49). FAO.

Poernomo, A. (2017). Es Adalah Peradaban, Cetakan 3 dan Edisi Revisi.

Daftar Rujukan

Saran kebijakanSelain upaya secara teknis sebagaimana ditampilkan pada Tabel 1, pengurangan susut hasil perikanan perlu dilakukan

melalui langkah-langkah yang bersifat kebijakan. Karena kompleksnya permasalahan di lapangan, upaya tersebut

seyogyanya dilakukan secara mul�sektor dengan melibatkan Kementerian/Lembaga terkait dan pemangku kepen�ngan

lainnya. Langkah-langkah tersebut antara lain:

1.1. Penyusunan dan pencanangan Visi, Misi, dan Strategi pengurangan susut hasil pangan yang diinisiasi oleh

Bappenas.

1.2. Pencanangan Gerakan Nasional Pengurangan Susut Pasca-Panen Pangan dan Gizi.

1.3. Penguatan perencanaan pengadaan sarana dan prasarana pendinginan dan pengolahan ikan.

1.4. Penguatan perencanaan penyediaan teknologi tepat guna serta prosedur pendinginan dan pengolahan ikan.

1.5. Peningkatan kapasitas pelaku usaha perikanan di bidang penanganan dan pengolahan.

1.6. Peningkatan pemahaman konsumen dan masyarakat tentang pen�ngnya mengurangi susut hasil perikanan.

Tabel 3. Es�masi kebutuhan pabrik es untuk penanganan ikan laut

1https://ekonomi.bisnis.com/read/20170620/99/664665/perindo -dan-pt-barata-bangun-pabrik-es-di-lebak

5 https://ekonomi.bisnis.com/read/20170620/99/664665/perindo-dan-pt-barata-bangun-pabrik-es-di-lebak

1.5 : 1 1.5 : 1 2.0 : 1 5.0 : 1

Penangkapan dan pengumpulan

Penanganan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pengolahan Total Kegiatan

Es : ikan (bobot)

Sumatera

1,671

2,507

279

3,482

Jawa-Bali

1,433

2,149

239

2,985

NTT, NTB, Papua, Maluku Islands

1,679

2,518

280

3,497

Kalimantan

588

882

98

1,225

Sulawesi

1,326

1,989

221

2,762

TOTAL

6,696

10,045

1,116

13,951

Gambar 1. Diagram fishbone penyebab susut hasil perikanan (diolah dari (FAO, 2017; Gustavsson et al., 2011; Kruijssen et al., 2020; Wibowo et al., 2014; Wibowo et al., 2017)

Tabel 2. Es�masi kebutuhan es untuk penanganan dan ikan di daerah tropis (Graham et al., 1992)

KonsumsiPenyimpanandistribusi dan retailPemanenan

Penangkapan Postharvest handlingand transport

Pengolahan

SUSUT PASCAPANEN DAN GIZI

5

Pulau/Kelompok PulauProduksi 2018 (juta ton)

Kebutuhan es (juta ton)

Kebutuhan pabrik es(unit)

Investasi (Rp miliar)

Asumsi● Perikanan laut, sumber: h�ps://sta�s�k.kkp.go.id/home.php?m=total&i=2#panel-footer● Kebutuhan es dies�masi dari 75% produksi dikalikan 2 (es:ikan = 2:1)● Hari produksi dalam setahun 300

5● Harga pabrik es (kapasitas 30 ton/hari) berdasar nilai yang dibangun oleh PT Perindo di Lebak pada 2017

Kertas Kerja - Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia Kertas Kerja - Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia

Page 8: KERTAS KERJA - JP2GI 3 - INTERVENSI KEBIJAKAN ...jp2gi.org/public/docs/report/INTERVENSI KEBIJAKAN UNTUK...hasil perikanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa susut hasil perikanan

Tabel 1. Upaya teknis untuk mengurangi susut hasil perikanan

Penangkapan

Pemanenan

Penanganan pascapanen dan transportasi

Pengolahan

Tahap rantai pasok Upaya

● Penggunaan alat tangkap legal (Sarpras, Teknologi)● Penerapan sistem rantai dingin di kapal dan pendaratan (Sarpras, Teknologi, Prosedur,

SDM)● Perbaikan fasilitas sanitasi dan higiene di atas kapal (Sarpras, Teknologi, SDM, Prosedur)● Penyediaan air bersih● Penerapan Cara Penanganan Ikan yang Baik/GHP (Prosedur, SDM)● Percepatan pembongkaran (Teknologi, SDM)● Pela�han anak buah kapal untuk hauling dan penanganan ikan (SDM)

● Penyediaan alat panen dan “handling space” di tambak (Sarpras)● Penerapan sistem rantai dingin (Sarpras, Teknologi, Prosedur, SDM)● Penerapan Cara Penanganan Ikan yang Baik/GHP (Prosedur, SDM)● Penyediaan air bersih (Sarpras)● Pela�han tenaga kerja (SDM, Prosedur)

● Penerapan sistem rantai dingin (Sarpas, Teknologi, Prosedur, SDM)● Penerapan Cara Penanganan Ikan yang Baik/GHP (Prosedur, DM) ● Penyediaan transportasi skala kecil dan besar (Sarpas, Teknologi, Prosedur, SDM)● Penyediaan gudang beku/cold storage (Sarpras, Teknologi)

● Penerapan teknik pengolahan “bersih”/cleaner technology (Teknologi, Prosedur, SDM) ● Penyediaan alterna�f pemanfaatan limbah/zero waste products (Teknologi, Prosedur, SDM)● Penerapan sistem rantai dingin (Sarpas, Teknologi, Prosedur, SDM)● Penerapan GMP/SSOP (Prosedur, SDM)● Penggunaan bahan baku yang sesuai dan penanganannya (Teknologi, Prosedur)● Pengemasan dan penyimpanan yang sesuai (Sarpras, Teknologi, Prosedur)● Pela�han tenaga kerja (SDM)

● Penerapan sistem rantai dingin (Sarpas, Teknologi, Prosedur, SDM)● Penerapan Cara Penanganan Ikan yang Baik/GHP (Prosedur, SDM) ● Penerapan Good Retailing Prac�ces (GHP, Prosedur)● Pembenahan lapak ikan dalam pasar tradisional dan fasilitas pengecer lainnya (Sarpras)

● Fasilitasi kemudahan akses pasar bagi pelaku usaha/pemasar (Prosedur)● Promosi Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan, melipu�

o Edukasi konsumen mengenai manfaat makan ikan (SDM)o Edukasi konsumen tentang cara-cara penanganan dan pengolahan ikan (SDM)o Edukasi konsumen tentang berbagai alterna�f pengolahan limbah ikan

● Promosi Gerakan Memasyarakatkan Hidup Sehat (Germas) dengan meningkatkan asupan makanan bergizi dari ikan dan olahan ikan.

● Edukasi konsumen untuk mengubah pola belanja dan konsumsi● Memasukkan muatan manfaat ikan dan pencegahan pemborosan makanan (ikan) di

kurikulum pendidikan sekolah umum dan madrasah.● Bekerja sama dengan hotel, restoran dan katering (Horeka) untuk sosialisasi alterna�f

menghemat sumber daya ikan sebagai bahan baku masakan melalui berbagai resep

Konsumsi

Penyimpanan, distribusi dan retail

Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia(JP2GI)

Gedung Wisma Abadi Jl. Balikpapan no.31 Petojo Selatan, Kec. Gambir, Jakarta Pusat 10160

[email protected]

+6221 3844306

h�p://www.jp2gi.org

TIM PENYUSUN1. Achmad Poernomo – Dewan Pakar JP2GI2. Soen'an HP – Ketua JP2GI

DESAIN & LAYOUT1. Arifin Fino

TIM REDAKSI

Kertas Kerja - Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia