1 | Page KERTAS KAJIAN KEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM SENGKETA HASIL PILKADA DI MAHKAMAH KONSTITUSI Jakarta, 11 Oktober 2015 KONSTITUSI DAN DEMOKRASI (KoDe) INISIATIF Jl. M. Kahfi I No. 8A Cilandak, Jakarta Selatan 12620 Telp/Fax: +62 21 78847507 www.kodeinisiatif.org
12
Embed
KERTAS KAJIAN KEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM · PDF fileKEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM SENGKETA HASIL PILKADA DI MAHKAMAH KONSTITUSI Jakarta, ... Mengingat perkembangan itu,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1 | P a g e
KERTAS KAJIAN
KEDUDUKAN HUKUM PEMILIH DALAM SENGKETA
HASIL PILKADA DI MAHKAMAH KONSTITUSI
Jakarta, 11 Oktober 2015
KONSTITUSI DAN DEMOKRASI (KoDe) INISIATIF
Jl. M. Kahfi I No. 8A Cilandak, Jakarta Selatan 12620 Telp/Fax: +62 21 78847507
procedural (Pilkada). Mekanisme pemilihan ini tidak hanya menjalankan ketentuan Pasal 18B
UUD 1945 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. Namun prosedur pemilihan ini
sesungguhnya menjalankan perintah konstitusi dalam Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945, bahwa
kedaulatan berada ditangan rakyat yang dilaksanakan berdasarkan undang-undang.
Posisi pemilih dalam proses sengketa, bisa secara langsung menjadi pihak yang merasa
dirugikan akibat proses pemilih yang tidak berlangsung jujur dan adil. Pemilih diberikan hak
gugat seperti halnya konsep citizen law suit. Melalui mekanisme ini, pemilih secara sendiri-
sendiri bisa mengajukan permohonan. Atau melalui mekanisme gugatan perwakilan kelompok
(class action), dimana pemilih bisa mengajukan gugatan secara berkelompok yang diwakilkan
kepada wakil kelompok yang merasa dirugikan atas pelaksanaan pemilu yang tidak jujur dan
adil.
Namun terhadap mekansime tersebut, perlu adanya penyesuaian dengan mekanisme
sengketa hasil di MK. Perseorangan yang akan menggugat sebaiknya warga negara yang
memiliki hak pilih di satu daerah itu saja (tidak lintas daerah). Begitu juga soal waktu, mestinya
pemilih yang akan mengajukan gugatan diberikan waktu lebih longgar sehingga memiliki
kesempatan untuk mengonsolidasikan diri. Waktu 3 hari setelah penetapan hasil pilkada tentu
terlalu singkat, bahkan oleh pasangan calon yang telah terorganisir sekalipun. Apalagi untuk
pemilih yang tidak secara langsung memiliki akses terhadap dokumen seperti halnya pasangan
calon dan saksinya. Bahkan dalam proses pembuktian, MK bisa memerintahkan kepada KPU
untuk menghadirkan dokumen yang diduga termanipulasi. Begitu juga dengan Bawaslu sebagai
pengawas untuk dimintakan keterangan terhadap proses yang berjalan
Pada prinsipnya, mekanisme gugatan perseorangan bisa diberikan ruang untuk
membuktikan bukti awal terjadinya kecurangan terhadap mekanisme dan proses pemilihan
secara massif, sistematis dan terstruktur. Tentu kesemuanya harus mempengaruhi hasil pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah. Berdasarkan hal itu, maka disampaikan beberapa
rekomendasi sebagai berikut:
1. Mahkamah Konstitusi hendaknya merevisi Peraturan MK Nomor 1,2 dan 3 Tahun
2015 terkait prosedur dan tata cara pengajuan gugatan perselisihan hasil pilkada dengan
memasukkan pemilih baik sendiri maupun berkelompok sebagai pihak yang memiliki
hak untuk mengajukan permohonan sengketa hasil pilkada di MK.
2. Memberikan waktu yang lebih leluasa kepada pemilih untuk mengajukan permohonan.
3. Membuat desain hukum acara yang lebih memudahkan bagi pemilih untuk dapat
mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi
Jakarta, 15 Oktober 2015
Cp. Veri Junaidi (Ketua KoDe): 085263006929
Arie M Haikal (Peneliti KoDe): 085265331945
4 | P a g e
A. PUTUSAN CALON TUNGGAL DAN PERMASALAHAN YANG DITIMBULKAN
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang
Pengujian Pasal 49 ayat (8) dan (9), Pasal 50 ayat (8) dan (9), Pasal 51 (2), Pasal 52 (2),
Pasal 54 ayat (4), ayat (5), dan (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah telah memberikan jawaban atas kebuntuan soal
keberadaan calon tunggal. Melalui putusan ini, pilkada yang hanya diikuti oleh 1 (satu)
pasangan calon baik pada saat pendaftaran, perpanjangan pendaftaran maupun berhalangan
tetap sebelum dan sesudah masa kampanye tetap bisa dilaksanakan.
Putusan ini sudah tepat karena mampu menjawab perdebatan apakah calon tunggal
dimungkinkan atau tidak dalam pilkada. Namun sisi lainnya, putusan ini juga menimbulkan
pertanyaan dalam implementasinya, khususnya penerapan dilapangan baik tahapan
pilkadanya maupun mekanisme penyelesaian sengketa hasil pilkada di MK. Selain itu juga
mekanisme pengaturannya, apakah tindaklanjutnya bisa langsung menggunakan peraturan
Komisi Pemilihan Umum (PKPU) atau langsung dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi
(PMK).
Pertama soal kebuntuan dalam mengakomodir calon tunggal. Putusan MK telah
memberikan jawaban soal mekanismenya, pemilih tinggal mencoblos pilihan Setuju atau
Tidak Setuju terhadap pasangan calon tunggal tersebut. Jika pilihan Setuju lebih banyak
daripada Tidak Setuju, maka pasangan calon tunggal ditetapkan sebagai kepala daerah dan
wakil kepala daerah terpilih. Namun jika Tidak Setuju, maka pilkada ditunda pada masa
pemilihan berikutnya dan konsekuensinya terjadi kekosongan kepala daerah yang akan diisi
oleh pejabat gubernur, bupati atau walikota.
Kedua soal permasalahan tindak lanjutnya, mengingat mekanisme ini baru diputuskan
pada masa kampanye sudah tentu menghilangkan jatah kampanye pasangan calon. Persoalan
sosialisasi, kesiapan penyelenggara (KPU daerah dan tingkat lapangan, anggaran dan tender
pengadaan alat peraga kampanye dan bentuk fasilitasi KPU lainnya, serta pendaftaran
pemilih harus dikebut dalam waktu dekat, mengingat tahapan pilkada hanya tinggal 2 bulan
lagi.
Selain persoalan tersebut, yang menjadi perhatian dalam kajian ini adalah dampak
putusan MK soal calon tunggal terhadap kedudukan hukum pemohon (legal standing) dalam
sengketa hasil pilkada khususnya pemilihan yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon.
Misalnya, berdasarkan mekanisme calon tunggal, pasangan calon tunggal terpilih dengan
suara terbanyak, namun ditemukan dugaan kecurangan yang begitu massif, maka siapakah
yang berhak mengajukan permohonan sengketa ke MK? Mengingat hanya ada satu
pasangan calon saja. Siapakah yang diberikan hak konstitusional untuk mengajukan
permohonan ke MK?
Mengingat Pasal 3 ayat (1) huruf a, b, dan c Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK)
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah, telah membatasi pihak (pemohon) yang
berhak mengajukan permohonan sengketa pilkada. Pihak yang berhak mengajukan
5 | P a g e
permohonan hanya pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati
serta pasangan calon walikota dan wakil walikota.
Oleh karena itu, menarik untuk mengkaji lebih lanjut dengan judul “ Kedudukan
Hukum Pemilih Dalam Sengketa Hasil Pilkada Di Mahkamah Konstitusi Khususnya
Pemilihan Kepala Daerah Yang Diikuti Oleh Calon Tunggal”
B. HAK PILIH, KEDAULATAN RAKYAT DAN HAK ASAS MANUSIA
Kekuasaan atau kedaulatan suatu negara sesungguhnya berasal dari rakyat, begitu juga
dengan pelaksanaannya. Pada hakikatnya rakyatlah yang akan menjalankan kedaulatan itu
untuk mencapai kesejahteraannya. Berkenaan dengan itu, maka demokrasi menawarkan
suatu sistem dimana hak pilih setiap warga negara adalah sangat bermakna. Namun
demikian, wacana mengenai hak pilih warga negara tidak mesti dilihat dari sudut pandang
nilai-nilai demokrasi saja. Wacana tentang hak pilih warga negara erat kaitannya dengan isu
pemenuhan akan Hak Asasi Manusia (HAM). Ada hubungan antara HAMdan konsep
negara1, yaitu hak yang muncul dalam pemikiran awal tentang negara.
Misalnya dalam Politea, yang ditulis Plato sebagai respon atas keprihatinan terhadap
negara yang dipimpin oleh orang-orang berorientasi harta, haus kekuasaan, dan kehormatan.
Alhasil, kesewenang-wenangan semacam itu mengakibatkan penderitaan bagi rakyat. Atas
kondisi demikian, Plato manawarkan pandangan mengenai eksistensi negara yang ideal, yang
sesuai dengan cita-cita negara yang menjunjung tinggi keadilan dan terbebas dari pemimpin
rakus dan lalim.Pemikiran Plato mengenai negara ideal ini terus berkembang hingga akhirnya
memengaruhi pemikiran Aristoteles.
Dalam bukunya The Politics (yang ditulis sekitar 335 dan 323 SM), Aristoteles
memberikan deskripsi tentang bagaimana konsep dan wujud dari demokrasi
kuno.2Menurutnya, negara ideal harus dijalankan sesuai dengan tatanan hukum dan prinsip
1 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik Di Indonesia (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008), hlm. 70.
2 Aristoteles dalam gagasan demokrasi klasik, menguraikan bahwa suatu negara dikatakan sebagai negara demokrasi, memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1)pemilihan atas suatu jabatan oleh semua dari semua; (2) semua memerintah tiap orang dan tiap orang memerintah semua secara bergiliran; (3) jabatan yang diisi oleh orang banyak, baik semuanya atau pokoknya mereka yang tidak membutuhkan pengalaman atau keterampilan; (4) tidak ada suatu masa jabatan yang tergantung pada kualifikasi kepemilikan atau properti, atau hanya pada yang paling rendah yang mungkin; (5) orang yang sama tidak boleh memegang jabatan yang sama dua kali atau boleh tapi jarang atau hanya sedikit jabatan selain yang berhubungan dengan peperangan; (6) jangka waktu yang pendek untuk semua jabatan atau sebanyak mungkin jabatan; (7) semua akan bertindak sebagai juri di pengadilan, yang dipilih dari semua dan yang dipilih dari semua dan menghakimi semua atau sebagian besar masalah, yaitu yang tertinggi dan paling penting, semisal masalah yang mempengaruhi konstitusi, pengawasan dan kontrak antarindividu; (8) majelis sebagai otoritas tertinggi dalam segala hal atau setidaknya dalam masalah-masalah yang paling penting, sedangkan para pejabat tidak memiliki kekuasaan lebih tinggi dari siapapun atau kalaupun punya maka sangat sedikit; (9) pembayaran atas pelayanan, dalam majelis, dalam ruang pengadilan dan di kantor-kantor, dikenakan biaya yang sama untuk semua; (10) karena kelahiran, kekayaan dan pendidikan adalah tanda-tanda menentukan dalam oligarkhi, jadi kebalikannya, yaitu kelahiran yang hina, kemiskinan dan pendidikan yang rendah dianggap umum dalam demokrasi; dan (11) tidak ada pejabat yang
6 | P a g e
demokrasi. Satu prinsip dasar dari konstitusi demokratis adalah kebebasan, sebab demokrasi
ditujukan untuk kebebasan itu sendiri.3 Dengan demikian, dari pemikiran ini demokrasi telah
memberikan porsi kekuasaanlebih besar pada rakyat dalam menjalankan kekuasaan negara.
Berangkat dari beberapa pemikiran di atas, maka disadari bahwa rakyat dibayangkan
ada sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Rakyatlah yang berhak untuk memilih,
menentukan, dan menjalankan kekuasaan negara.4 Kekuasaan tersebut hendaknya dijalankan
rakyat dengan berlandaskan pada kebebasan yang dijamin hak-haknya.5
Kebebasan
dimaksudkan untuk menjamin penggunaan hak pilih merupakan kehendak bebas, tanpa
tekanan, intimidasi, dan manipulasi. Meskipun demikian, kebebasan itu sendiri memerlukan
kesadaran akan kesetaraan politik yang kuat di kalangan rakyat. Kesadaran akan kesetaraan
politik ini tecermin pada pengakuan bahwa setiap orang memiliki hak untuk memilih secara
bebas dan juga hak untuk dipilih. Dengan demikian, kesetaraan politik semacam ini
mendudukkan rakyat pada posisi dan kesempatan „yang seimbang‟.
Lebih lanjut, kebebasan menggunakan hak pilih sejalan dengan apa yang dijelaskan
John Rawls tentang konsep kebebasan. Menurut Rawls, orang mempunyai kemerdekaan
untuk melakukan sesuatu ketika mereka bebas dari batasan-batasan tertentu, baik untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang dapat atau tidak dilakukan. Kebebasan ini,
kata Rawl, dilindungi dari campur tangan orang lain.6Meskipun konsep ini sangat ideal,
kekuasaan yang diberikan kepada negara rawan menjadi tirani. Untuk mengantisipasinya,
Aristoteles memberikan petunjuk dalam menjalankan kekuasaan yang lahir dari mekanisme
demokratis dengan tujuan menghindari tirani kekuasaan. Kekuasaan yang dilahirkan dari
penerapan demokrasi harus dijalankan secara bergantian, dan di situ kunci pokoknya adalah
adanya mekanisme rotasi kekuasaan. Tidak dibenarkan monopoli kekuasaan hingga waktu
yang cukup lama, karena gagasan keadilan demokrasi adalah kesetaraan numerik, bukan
kesetaraan berdasarkan jasa.7
memiliki masa jabatan tanpa batas dan bila jabatan itu lowong sebelum waktunya, maka orang banyak memilih penggantinya dari sekian banyak kandidat.
3 David Held,Models of Democracy, (Jakarta: Akbar Tandjung Institute. 2007), hlm. 10.
4 Pengertian demikian sejalan dengan pemikiran tentang kedaulatan rakyat, bahwa rakyat merupakan tempat melahirkan kekuasaan tertinggi. Lihat, Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-Negara Lain(Malahng: Nusa Media, 2007),hlm 28., dalam Khairul Fahmi,Pemilu dan Kedaulatan Rakyat(Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2011), hlm. 19.
5 Hak pilih memiliki posisi penting dalam pelaksanaan pemilu yang demokratis.Mengingat hal tersebut International IDEA meletakkan hak untuk memilih dan dipilih sebagai salah satu aspek pemilu demokratis.Hak untuk memilih dan dipilih mesti terpenuhi dalam pelaksanaan pemilu yang demokratis.Hak untuk memilih dan dipilih merupakan salah satu standar yang menjadi tolak ukur demokratis atau tidaknya suatu pemilihan umum. International IDEA, “Standar-standar Internasional Pemilihan Umumum: Pedoman Peninjauan Kembali Kerangka Hukum Pemilu“ (Jakarta: International IDEA, 2004).
6 John Rawls,Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 254.
7 David Held, Op.Cit, hlm. 9.
7 | P a g e
Gagasan tersebut menghendaki adanya rotasi tampuk kekuasaan secara berkala
berdasarkan masa tugas tertentu. Sebagian dari rakyat yang terpilih untuk menduduki jabatan
politikakan digantikan dengan anggota rakyat yang lain sebagai penguasa baru dalam jangka
waktu yang disepakati. Rotasi kekuasaan mutlak dilakukan dan menjadi basis jalannya
negara demokrasi. Namun demikian, rotasi kekuasaan harus dijalankan sesuai dengan
semangat demokrasi, bukan sekedar prosedur demokratisasi semata. Kebanyakan negara
dengan basis demokrasi menggunakan pemilu sebagai satu jalan untuk menegakkan prinsip-
prinsip demokrasi.
Sebagaimana telah disinggung sedikit di atas, bahwa proses pemilihan jabatan politik
dalam mekanisme pemilihan umum merupakan prasyarat awal mewujudkan negara yang
demokratis. Namun, hal ini bukan berarti pemilu identik dengan demokrasi. Menurut
Aristoteles, ada beberapa prinsip yang harus dipenuhi dalam demokrasi: adanya kebebasan
dan kesetaraan dalam menjalankan hak untuk dipilih dan memilih.8 Hak dipilih dijalankan
sesuai dengan kehendaknya, tanpa ada tekanan dan pembatasan yang menghambat dalam
mengekspresikan diri mengambil simpati rakyat. Penyampaian visi, misi, dan program
merupakan pilihan bebas agar rakyat (pemilih) dapat mengakses informasi itu dengan
leluasa. Kebebasan itu harus didasarkan pada prinsip kesetaraan. Dan tentu saja, bahwa
kandidat memiliki kesempatan yang sama untuk mengenal dan dikenal rakyat yang akan
memilihnya.Rakyat harus memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya.9 Partai politik
dan kandidat harus memberikan kebebasan bagi rakyat untuk memilih dan menilai sang calon
tanpa dihalang-halangi.
C. LEGAL STANDING PEMILIH DALAM PERSELISIHAN HASIL PILKADA
Berdasarkan argumentasi di atas, terlihat bahwa pemilih/rakyat merupakan subjek
utama dalam mekanisme demokrasi procedural yakni konteks sekarang pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah. Mekanisme pemilihan ini tidak hanya menjalankan
ketentuan Pasal 18B UUD 1945 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. Namun
prosedur pemilihan ini sesungguhnya menjalankan perintah konstitusi dalam Pasal 1 Ayat 2
UUD 1945, bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat yang dilaksanakan berdasarkan
undang-undang.
Konteks kehadiran calon tunggal, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah berhadap-hadapan secara langsung dengan pemilih. Calon tunggal berada di kolom
“setuju” berhadapan dengan pemilih yang berada di kolom “tidak setuju.” Ketika kolom
“tidak setuju” menang berarti pemilih secara langsung tidak berkehendak terhadap
8 David Held, Ibid, hlm. 10.
9 Kebebasan dipastikan adalah nilai dasar yang secara luas diyakini oleh semua pelaku politik. Locke menyebutnya dengan kebebasan alami manusia yakni terbebas dari setiap kekuasaan duniawi (yang lebih tinggi), tidak tunduk pada kemauan atau kekuasaan seseorang manusia (raja), melainkan sepenuhnya mengikuti aturan alami sebagai landasan hak-hak nya.Tobias Gombert dkk., Buku Bacaan Sosial Demokrasi 1: Landasan Sosial Demokrasi. Friedrich Ebert Stiftung, Bon-Jerman.Diterjemahkan oleh Ivan A Hadar.hlm. 11.
8 | P a g e
kepemimpinan Pasangan Calon Tunggal. Begitu sebaliknya, ketika kolom “Setuju”
memperoleh suara terbanyak maka pemilih telah menghendaki pasangan calon tunggal
sehingga bisa dilantik sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih.
Namun jika ditemukan manipulasi, kecurangan dan pelanggaran terhadap kehendak
rakyat melalui pelanggaran yang disebut sistematis, terstruktur dan massif, mestinya pemilih
juga diberikan ruang untuk melakukan koreksi terhadap hasil pemilu. Jika kolom “Tidak
Setuju” yang tidak menghendaki keterpilihan pasangan calon tunggal menang, dan
ditemukan manipulasi suara secara massif oleh kelompok tertentu atau bahkan
penyelenggara, tentu pemilih berhak mengajukan gugatan yang diwakilkan oleh pasangan
calon tunggal. Posisi pemilih telah memandatkan melalui mekanisme pemilu untuk
mewakili dalam mengajukan sengketa di Mahkamah Konstitusi.
Namun sebaliknya, jika kolom “Setuju” memperoleh suara terbanyak sehingga
mengantarkan pada keterpilihan pasangan calon tunggal akan memunculkan pertanyaan,
siapa yang mewakili pemilih dalam persidangan sengketa di MK? Jika sebelumnya pemilih
diwakili pasangan calon tunggal, konteks kasus ini pemilih bisa secara langsung hadir
mewakili dirinya sendiri. Sebab dalam mekanisme calon tunggal, tidak ada yang berhak
mewakili kedudukan hukum pemilih, begitu juga dengan partai politik yang tidak
mengajukan pasangan calon. Partai hanya akan memperoleh mandate dan bisa mewakili
ketika dalam pemilihan hadir dan memperoleh suara. Namun ketika tidak sama sekali turut
dalam pilkada, maka tidak ada hak partai untuk turut mengajukan gugatan.
Posisi pemilih dalam proses sengketa, bisa secara langsung menjadi pihak yang merasa
dirugikan akibat proses pemilih yang tidak berlangsung jujur dan adil. adapun teknis
pengajuannya, dalam waktu yang telah ditentukan bisa langsung mengajukan gugatan
dengan tetap mengikuti prosedur yang berlaku. Adapun syarat pengajuannya tentu harus
dibuktikan bahwa pemohon benar-benar pemilih yang terdaftar di Pilkada daerah tersebut.
Mekanisme gugatan oleh perseorangan warga negara bukanlah prosedur yang asing.
Indonesia telah mengenal mekanisme Hak Gugat Warga Negara (Citizen Law Suit) ataupun
gugatan perwakilan yang dikenal Hak Gugat Perwakilan Kelompok (Class Action).
1. Penerapan Doktrin Citizen Law Suit (Hak Gugat Warga Negara)
Prinsip Citizen Law Suit yang dalam bahasa lainnya dikenal sebagai hak gugat
warga Negara dapat digunakan sebagai legal standing (kedudukan hukum) bagi
rakyat sebagai pemilik “kolom tidak setuju” menggugat kolom “setuju” dalam
perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi.
9 | P a g e
Hak Gugat Warga Negara atau yang disebut Citizen Law Suit praktiknya telah
berkembang di berbagai Negara khususnya dalam sistem hukum Amerika, India, dan
Australia.10
“Hak Gugat Warga Negara (Citizen Law Suit) hakekatnya adalah akses
orang perorangan warga negara untuk kepentingan keseluruhan
warga negara atau kepentigan publik termasuk kepentingan
lingkungan mengajukan gugatan di pengadilan guna menuntut agar
pemerintahmelakukan penegakan hukum yang diwajibkan kepadanya
atau untuk memulihkan kerugian publik yang terjadi.”11
“Michael D. Axline memberikan penegasan bahwa Citizen Law Suit
juga memberikan kekuatan kepada warga negara untuk menggugat
pihak tertentu (private) yang melanggar undang-undang selain
kekuatan kepada warga Negara dan lembaga-lembaga (federal) yang
melakukan pelanggaran undang-undang atau yang gagal dalam
memenuhi kewajibannya dalam pelaksanaan (implementasi) undang-
undang.”12
Citizen Law suit pertama kali muncul dalam praktek di Indonesia adalah
melalui peradilan umum dalam ranah peradilan perdata melalui Gugatan yang
diajukan oleh Tim Advokasi Tragedi Nunukan pada kasus deportasi buruh migrant
Indonesia oleh pemerintah Malaysia. Gugatan ini dinyatakan diterima dan diakui
oleh Prngadilan Negeri Jakarta Pusat.
Walaupun pada awal masuknya gugatan ini tiadanya aturan hukum yang
mengatur mekanisme gugatan citizen law suit. Sandaran atauran hukum bagi gugatan
ini adalahUndang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakimanyang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
1999 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 14 ayat (1) yang menyatakan bahwa:
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa tidak atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Selanjutnya dalam Undang-Undang yang sama pada pasal 17 menyatakan:
10
YLBHI dan PSHK, Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan
Masalah Hukum, YLBHI, Jakarta, 2007. hal. 382 11
Ibid, hal. 382. 12
Ibid, hal. 382
10 | P a g e
“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat”.
Pengadilan sebagai sarana tuntutan hak melalui perantaraan hakim sangat
berperanan penting dalam menentukan diterima atau tidaknya Gugatan Citizen Law
Suit.
Mekanisme Citizen Law Suit(CLS)tersebut, dapat diadopsi prinsipnya dalam
pengajuan perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah di Mahkamah
Konstitusi.Prinsip CLS/Hak Gugat Warga Negara dapat diterapkan oleh rakyat dalam
hal ini pemilih sebagai pemilik kedalautan. Karena seperti yang telah diuraikan di
atas CLS/Hak Gugat Warga Negara pada hakikatnya adalah akses perorangan warga
Negara mewakili kepentingan keseluruhan warga Negara/ kepentingan publik yang
lebih luas.
2. Penerapan Doktrin Class Action (Hak Gugat Perwakilan Kelompok)
Class Action atau dikenal dengan Hak Gugat Perwakilan Kelompok
merupakan mekanisme gugatan yang relatif baru dalam hukum Indonesia. Dalam
sistem Hukum Indonesia Class Action/Hak Gugat Perwakilan Kelompok ditemukan
pengaturannya dalam berbagai peraturan perundang-undangan diantaranya :
1. UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 37 ayat (1) beserta
penjelasannya.
2. UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 46 ayat (1) huruf (b)