Page 1
Kesultanan Samudera PasaiKesultanan Pasai, juga dikenal dengan Samudera Darussalam, atau Samudera Pasai,
adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota
Lhokseumawe dan Aceh Utara, Provinsi Aceh, Indonesia.
Belum begitu banyak bukti arkeologis tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian
sejarah.[1] Namun beberapa sejarahwan memulai menelusuri keberadaan kerajaan ini bersumberkan
dari Hikayat Raja-raja Pasai,[2] dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja serta penemuan koin
berbahan emas dan perak dengan tertera nama rajanya.[3]
Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh, sekitar tahun 1267.
Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur)
karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri ini pada
tahun 1345. Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah serangan Portugal pada tahun 1521.
Pembentukan awal
Berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai, menceritakan tentang pendirian Pasai oleh Marah Silu, setelah
sebelumnya ia menggantikan seorang raja yang bernama Sultan Malik al-Nasser.[2] Marah Silu ini
sebelumnya berada pada satu kawasan yang disebut dengan Semerlangakemudian setelah naik tahta
bergelar Sultan Malik as-Saleh, ia wafat pada tahun 696 H atau 1297 M.[4] Dalam Hikayat Raja-raja
Pasaimaupun Sulalatus Salatin nama Pasai dan Samudera telah dipisahkan merujuk pada dua kawasan
yang berbeda, namun dalam catatanTiongkok nama-nama tersebut tidak dibedakan sama sekali.
Sementara Marco Polo dalam lawatannya mencatat beberapa daftar kerajaan yang ada di pantai
timur Pulau Sumatera waktu itu, dari selatan ke utara terdapat
nama Ferlec (Perlak), Basma dan Samara (Samudera).
Pemerintahan Sultan Malik as-Saleh kemudian dilanjutkan oleh putranya Sultan Muhammad Malik az-
Zahir dari perkawinannya dengan putriRaja Perlak. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-
Zahir, koin emas sebagai mata uang telah diperkenalkan di Pasai, seiring dengan berkembangnya Pasai
menjadi salah satu kawasan perdagangan sekaligus tempat pengembangan dakwah agama Islam.
Kemudian sekitar tahun 1326 ia meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya Sultan Mahmud Malik az-
Zahir dan memerintah sampai tahun 1345. Pada masa pemerintahannya, ia dikunjungi oleh Ibn Batuthah,
kemudian menceritakan bahwa sultan di negeri Samatrah (Samudera) menyambutnya dengan penuh
keramahan, dan penduduknya menganut Mazhab Syafi'i.[5]
Selanjutnya pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Malik az-Zahir putra Sultan Mahmud Malik az-Zahir,
datang serangan dari Majapahitantara tahun 1345 dan 1350, dan menyebabkan Sultan Pasai terpaksa
melarikan diri dari ibukota kerajaan.
"Maka titah Sang Nata akan segala tawanan orang Pasai itu, suruhlah ia duduk di tanah Jawa ini, mana
kesukaan hatinya. Itulah sebabnya maka banyak keramat di tanah Jawa tatkala Pasai kalah oleh Majapahit itu".
Page 2
—
Relasi dan persaingan
Kesultanan Pasai kembali bangkit dibawah pimpinan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahirtahun 1383, dan
memerintah sampai tahun 1405. Dalam kronik Cina ia juga dikenal dengan nama Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki, dan
disebutkan ia tewas oleh Raja Nakur. Selanjutnya pemerintahan Kesultanan Pasai dilanjutkan oleh istrinya
Sultanah Nahrasiyah.
Armada Cheng Ho yang memimpin sekitar 208 kapal mengunjungi Pasai berturut turut dalam tahun 1405,
1408 dan 1412. Berdasarkan laporan perjalanan Cheng Ho yang dicatat oleh para pembantunya
seperti Ma Huan dan Fei Xin. Secara geografis Kesultanan Pasai dideskripsikan memiliki batas wilayah
dengan pegunungan tinggi disebelah selatan dan timur, serta jika terus ke arah timur berbatasan
dengan Kerajaan Aru, sebelah utara dengan laut, sebelah barat berbatasan dengan dua
kerajaan, Nakur dan Lide. Sedangkan jika terus ke arah barat berjumpa dengan kerajaan Lambri (Lamuri)
yang disebutkan waktu itu berjarak 3 hari 3 malam dari Pasai. Dalam kunjungan tersebut Cheng Ho juga
menyampaikan hadiah dari Kaisar Cina, Lonceng Cakra Donya.[6]
Sekitar tahun 1434 Sultan Pasai mengirim saudaranya yang dikenal dengan Ha-li-zhi-han namun wafat
di Beijing. Kaisar Xuande dari Dinasti Ming mengutus Wang Jinhong ke Pasai untuk menyampaikan berita
tersebut.[6]
Pemerintahan
Lonceng Cakra Donya
Pusat pemerintahan Kesultanan Pasai terletaknya antara Krueng Jambo Aye (Sungai Jambu Air)
dengan Krueng Pase (Sungai Pasai), Aceh Utara. Menurut ibn Batuthah yang menghabiskan waktunya
sekitar dua minggu di Pasai, menyebutkan bahwa kerajaan ini tidak memiliki benteng pertahanan dari batu,
namun telah memagari kotanya dengan kayu, yang berjarak beberapa kilometer dari pelabuhannya. Pada
kawasan inti kerajaan ini terdapatmasjid, dan pasar serta dilalui oleh sungai tawar yang bermuara ke laut.
Ma Huan menambahkan, walau muaranya besar namun ombaknya menggelora dan mudah
mengakibatkan kapal terbalik.[6] Sehingga penamaan Lhokseumawe yang dapat bermaksud teluk yang
airnya berputar-putar kemungkinan berkaitan dengan ini.
Page 3
Dalam struktur pemerintahan terdapat istilah menteri, syahbandar dan kadi. Sementara anak-anak sultan
baik lelaki maupun perempuan digelari dengan Tun, begitu juga beberapa petinggi kerajaan. Kesultanan
Pasai memiliki beberapa kerajaan bawahan, dan penguasanya juga bergelar sultan.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, Kerajaan Perlak telah menjadi bagian dari
kedaulatan Pasai, kemudian ia juga menempatkan salah seorang anaknya yaitu Sultan Mansur di
Samudera. Namun pada masa Sultan Ahmad Malik az-Zahir, kawasan Samudera sudah menjadi satu
kesatuan dengan nama Samudera Pasai yang tetap berpusat di Pasai. Pada masa pemerintahan Sultan
Zain al-Abidin Malik az-Zahir,Lide (Kerajaan Pedir) disebutkan menjadi kerajaan bawahan dari Pasai.
Sementara itu Pasai juga disebutkan memiliki hubungan yang buruk dengan Nakur, puncaknya kerajaan ini
menyerang Pasai dan mengakibatkan Sultan Pasai terbunuh.
Perekonomian
Pasai merupakan kota dagang, mengandalkan lada sebagai komoditi andalannya, dalam catatan Ma Huan
disebutkan 100 kati lada dijual dengan harga perak 1 tahil. Dalam perdagangan Kesultanan Pasai
mengeluarkan koin emas sebagai alat transaksi pada masyarakatnya, mata uang ini
disebut Deureuham (dirham) yang dibuat 70% emas murni dengan berat 0.60 gram, diameter 10 mm, mutu
17 karat.
Sementara masyarakat Pasai umumnya telah menanam padi di ladang, yang dipanen 2 kali setahun, serta
memilki sapi perah untuk menghasilkan keju. Sedangkan rumah penduduknya memiliki tinggi rata-rata 2.5
meter yang disekat menjadi beberapa bilik, dengan lantai terbuat dari bilah-bilah kayu kelapa atau kayu
pinang yang disusun dengan rotan, dan di atasnya dihamparkan tikar rotan atau pandan.[6]
Agama dan budaya
Islam merupakan agama yang dianut oleh masyarakat Pasai, walau pengaruh Hindu dan Buddha juga
turut mewarnai masyarakat ini. Dari catatan Ma Huan dan Tomé Pires,[7] telah membandingkan dan
menyebutkan bahwa sosial budaya masyarakat Pasai mirip dengan Malaka, seperti bahasa, maupun
tradisi pada upacara kelahiran, perkawinan dan kematian. Kemungkinan kesamaan ini memudahkan
penerimaan Islam di Malaka dan hubungan yang akrab ini dipererat oleh adanya pernikahan antara putri
Pasai dengan raja Malaka sebagaimana diceritakan dalam Sulalatus Salatin.
Akhir pemerintahan
Menjelang masa-masa akhir pemerintahan Kesultanan Pasai, terjadi beberapa pertikaian di Pasai yang
mengakibatkan perang saudara. Sulalatus Salatin [8] menceritakan Sultan Pasai meminta bantuan
kepada Sultan Melaka untuk meredam pemberontakan tersebut. Namun Kesultanan Pasai sendiri akhirnya
runtuh setelah ditaklukkan oleh Portugal tahun 1521 yang sebelumnya telah menaklukan Melaka
tahun 1511, dan kemudian tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan
Aceh.
Page 4
Daftar penguasa Pasai
Berikut daftar penguasa Pasai,
Periode Nama Sultan atau Gelar Catatan dan peristiwa penting
1267 - 1297
Sultan Malik as-Saleh (Marah Silu) Hikayat Raja-raja Pasai dan makam raja
1297 - 1326
Sultan Muhammad Malik az-Zahir Koin emas telah mulai diperkenalkan
1326 - 1345
Sultan Mahmud Malik az-Zahir Dikunjungi Ibnu Batutah
1345 - 1383
Sultan Ahmad Malik az-Zahir Diserang Majapahit
1383 - 1405
Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir Dikunjungi Cheng Ho
1405 - 1412
Sultanah NahrasiyahRaja perempuan, (janda Sultan Pasai sebelumnya)
1405 - 1412
Sultan Sallah ad-Din Menikahi Sultanah Nahrasiyah
1412 - 1455
Sultan Abu Zaid Malik az-Zahir Mengirim utusan ke Cina
1455 - 1477
Sultan Mahmud Malik az-Zahir II
1477 - 1500
Sultan Zain al-Abidin ibn Mahmud Malik az-Zahir IISultan Zain al-Abidin II
1501 - 1513
Sultan Abd-Allah Malik az-Zahir
Page 5
1513 - 1521
Sultan Zain al-Abidin III Penaklukan oleh Portugal
Warisan sejarah
Penemuan makam Sultan Malik as-Saleh yang bertarikh 696 H atau 1297 M, dirujuk oleh sejarahwan
sebagai tanda telah masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-13. Walau ada pendapat bahwa
kemungkinan Islam telah datang lebih awal dari itu. Hikayat Raja-raja Pasai memang penuh dengan mitos
dan legenda namun deskripsi ceritanya telah membantu dalam mengungkap sisi gelap sejarah akan
keberadaan kerajaan ini. Kejayaan masa lalu kerajaan ini telah menginspirasikan masyarakatnya untuk
kembali menggunakan nama pendiri kerajaan ini untuk Universitas Malikussaleh di Lhokseumawe.
Kesultanan TernateDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ngara Lamo, gerbang Istana Sultan Ternate di tahun 1930-an
Kerajaan Gapi atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Kesultanan Ternate (mengikuti nama
ibukotanya) adalah salah satu dari 4 kerajaan Islam di Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam
tertua di Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Kesultanan Ternate memiliki peran
penting di kawasan timur Nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-17. Kesultanan Ternate menikmati
kegemilangan di paruh abad ke -16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Di masa
jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi utara, timur dan tengah, bagian
selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di pasifik.
Asal Usul
Pulau Gapi (kini Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13, penduduk Ternate awal merupakan warga
eksodus dari Halmahera. Awalnya di Ternate terdapat 4 kampung yang masing - masing dikepalai oleh
seorang momole (kepala marga), merekalah yang pertama – tama mengadakan hubungan dengan para
pedagang yang datang dari segala penjuru mencari rempah – rempah. Penduduk Ternate semakin
heterogen dengan bermukimnya pedagang Arab, Jawa, Melayu dan Tionghoa. Oleh karena aktivitas
Page 6
perdagangan yang semakin ramai ditambah ancaman yang sering datang dari para perompak maka atas
prakarsa momole Guna pemimpin Tobona diadakan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi yang
lebih kuat dan mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja.
Tahun 1257 momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai Kolano (raja) pertama dengan
gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate, yang dalam
perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai “Gam
Lamo” atau kampung besar (belakangan orang menyebut Gam Lamo dengan Gamalama). Semakin besar
dan populernya Kota Ternate, sehingga kemudian orang lebih suka mengatakan kerajaan Ternate
daripada kerajaan Gapi. Di bawah pimpinan beberapa generasi penguasa berikutnya, Ternate berkembang
dari sebuah kerajaan yang hanya berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh
dan terbesar di bagian timur Indonesia khususnya Maluku.
Organisasi kerajaan
Di masa – masa awal suku Ternate dipimpin oleh para momole. Setelah membentuk kerajaan jabatan
pimpinan dipegang seorang raja yang disebutKolano. Mulai pertengahan abad ke-15, Islam diadopsi
secara total oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam diberlakukan. Sultan Zainal Abidin meninggalkan
gelar Kolano dan menggantinya dengan gelar Sultan. Para ulama menjadi figur penting dalam kerajaan.
Setelah Sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan Jogugu (perdana menteri) dan Fala Raha sebagai
para penasihat. Fala Raha atau Empat Rumah adalah empat klan bangsawan yang menjadi tulang
punggung kesultanan sebagai representasi para momole pada masa lalu, masing – masing dikepalai
seorang Kimalaha. Mereka antara lain ; Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan Tamadi. Pejabat – pejabat
tinggi kesultanan umumnya berasal dari klan – klan ini. Bila seorang sultan tak memiliki pewaris maka
penerusnya dipilih dari salah satu klan. Selanjutnya ada jabatan – jabatan lain Bobato Nyagimoi se
Tufkange (Dewan 18), Sabua Raha, Kapita Lau, Salahakan, Sangaji dll. Untuk lebih jelasnya
lihat Struktur organisasi kesultanan Ternate.
Moloku Kie Raha
Selain Ternate, di Maluku juga terdapat paling tidak 5 kerajaan lain yang memiliki pengaruh. Tidore, Jailolo,
Bacan, Obi dan Loloda. Kerajaan – kerajaan ini merupakan saingan Ternate memperebutkan hegemoni di
Maluku. Berkat perdagangan rempah Ternate menikmati pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, dan
untuk memperkuat hegemoninya di Maluku, Ternate mulai melakukan ekspansi. Hal ini menimbulkan
antipati dan memperbesar kecemburuan kerajaan lain di Maluku, mereka memandang Ternate sebagai
musuh bersama hingga memicu terjadinya perang. Demi menghentikan konflik yang berlarut – larut, raja
Ternate ke-7 Kolano Cili Aiya atau disebut juga Kolano Sida Arif Malamo (1322-1331) mengundang raja –
raja Maluku yang lain untuk berdamai dan bermusyawarah membentuk persekutuan. Persekutuan ini
kemudian dikenal sebagai Persekutan Moti atau Motir Verbond. Butir penting dari pertemuan ini selain
terjalinnya persekutuan adalah penyeragaman bentuk kelembagaan kerajaan di Maluku. Oleh karena
Page 7
pertemuan ini dihadiri 4 raja Maluku yang terkuat maka disebut juga sebagai persekutuan Moloku Kie
Raha (Empat Gunung Maluku).
Kedatangan Islam
Tak ada sumber yang jelas mengenai kapan awal kedatangan Islam di Maluku khususnya Ternate. Namun
diperkirakan sejak awal berdirinya kerajaan Ternate masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat
banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah
menggunakan nama bernuansa Islam namun kepastian mereka maupun keluarga kerajaan memeluk Islam
masih diperdebatkan. Hanya dapat dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate resmi memeluk Islam
pertengahan abad ke-15.
Kolano Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama yang diketahui memeluk Islam
bersama seluruh kerabat dan pejabat istana. Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya, Zainal
Abidin (1486-1500). Beberapa langkah yang diambil Sultan Zainal Abidin adalah meninggalkan gelar
Kolano dan menggantinya dengan Sultan, Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam
diberlakukan, membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama.
Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku secara total, hampir tanpa perubahan. Ia
juga mendirikan madrasah yang pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran
Islam dengan berguru pada Sunan Giri di pulau Jawa, disana beliau dikenal sebagai "Sultan Bualawa"
(Sultan Cengkih).
Kedatangan Portugal dan perang saudara
Di masa pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1521), Ternate semakin berkembang, rakyatnya
diwajibkan berpakaian secara islami, teknik pembuatan perahu dan senjata yang diperoleh dari orang Arab
dan Turki digunakan untuk memperkuat pasukan Ternate. Di masa ini pula datang orang Eropa pertama di
Maluku, Loedwijk de Bartomo (Ludovico Varthema) tahun 1506. Tahun 1512 Portugal untuk pertama
kalinya menginjakkan kaki di Ternate dibawah pimpinan Fransisco Serrao, atas persetujuan Sultan,
Portugal diizinkan mendirikan pos dagang di Ternate. Portugal datang bukan semata – mata untuk
berdagang melainkan untuk menguasai perdagangan rempah – rempah Pala dan Cengkih di Maluku.
Untuk itu terlebih dulu mereka harus menaklukkan Ternate. Sultan Bayanullah wafat meninggalkan pewaris
- pewaris yang masih sangat belia. Janda sultan, permaisuri Nukila dan Pangeran Taruwese, adik
almarhum sultan bertindak sebagai wali. Permaisuri Nukila yang asal Tidore bermaksud menyatukan
Ternate dan Tidore dibawah satu mahkota yakni salah satu dari kedua puteranya, pangeran Hidayat
(kelak Sultan Dayalu) dan pangeran Abu Hayat (kelak Sultan Abu Hayat II). Sementara pangeran
Tarruwese menginginkan tahta bagi dirinya sendiri. Portugal memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu
domba keduanya hingga pecah perang saudara. Kubu permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan
pangeran Taruwese didukung Portugal. Setelah meraih kemenangan pangeran Taruwese justru dikhianati
dan dibunuh Portugal. Gubernur Portugal bertindak sebagai penasihat kerajaan dan dengan pengaruh
yang dimiliki berhasil membujuk dewan kerajaan untuk mengangkat pangeran Tabariji sebagai sultan.
Page 8
Tetapi ketika Sultan Tabariji mulai menunjukkan sikap bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke Goa – India.
Disana ia dipaksa Portugal untuk menandatangani perjanjian menjadikan Ternate sebagai kerajaan Kristen
dan vasal kerajaan Portugal, namun perjanjian itu ditolak mentah-mentah Sultan Khairun (1534-1570).
Pengusiran Portugal
Perlakuan Portugal terhadap saudara – saudaranya membuat Sultan Khairun geram dan bertekad
mengusir Portugal dari Maluku. Tindak – tanduk bangsa barat yang satu ini juga menimbulkan kemarahan
rakyat yang akhirnya berdiri di belakang sultan Khairun. Sejak masa sultan Bayanullah, Ternate telah
menjadi salah satu dari tiga kesultanan terkuat dan pusat Islam utama di Nusantara abad ke-16 selain
Aceh dan Demak setelah kejatuhan kesultanan Malaka tahun 1511. Ketiganya membentuk Aliansi
Tiga untuk membendung sepak terjang Portugal di Nusantara.
Tak ingin menjadi Malaka kedua, sultan Khairun mengobarkan perang pengusiran Portugal. Kedudukan
Portugal kala itu sudah sangat kuat, selain memiliki benteng dan kantong kekuatan di seluruh Maluku
mereka juga memiliki sekutu – sekutu suku pribumi yang bisa dikerahkan untuk menghadang Ternate.
Dengan adanya Aceh dan Demak yang terus mengancam kedudukan Portugal di Malaka, Portugal di
Maluku kesulitan mendapat bala bantuan hingga terpaksa memohon damai kepada sultan Khairun. Secara
licik Gubernur Portugal, Lopez de Mesquita mengundang Sultan Khairun ke meja perundingan dan
akhirnya dengan kejam membunuh Sultan yang datang tanpa pengawalnya. Pembunuhan Sultan Khairun
semakin mendorong rakyat Ternate untuk menyingkirkan Portugal, bahkan seluruh Maluku kini mendukung
kepemimpinan dan perjuangan Sultan Baabullah (1570-1583), pos-pos Portugal di seluruh Maluku dan
wilayah timur Indonesia digempur, setelah peperangan selama 5 tahun, akhirnya Portugal meninggalkan
Maluku untuk selamanya tahun 1575. Kemenangan rakyat Ternate ini merupakan kemenangan pertama
putera-putera nusantara atas kekuatan barat. Dibawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate mencapai
puncak kejayaan, wilayah membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di bagian barat hingga kepulauan
Marshall dibagian timur, dari Philipina (Selatan) dibagian utara hingga kepulauan Nusa Tenggara dibagian
selatan. Sultan Baabullah dijuluki “penguasa 72 pulau” yang semuanya berpenghuni (sejarawan Belanda,
Valentijn menuturkan secara rinci nama-nama ke-72 pulau tersebut) hingga menjadikan kesultanan
Ternate sebagai kerajaan islam terbesar di Indonesia timur, disamping Aceh dan Demak yang menguasai
wilayah barat dan tengah nusantara kala itu. Periode keemasaan tiga kesultanan ini selama abad 14 dan
15 entah sengaja atau tidak dikesampingkan dalam sejarah bangsa ini padahal mereka adalah pilar
pertama yang membendung kolonialisme barat.
Kedatangan Belanda
Sepeninggal Sultan Baabullah Ternate mulai melemah, Spanyol yang telah bersatu dengan Portugal tahun
1580 mencoba menguasai kembali Maluku dengan menyerang Ternate. Dengan kekuatan baru Spanyol
memperkuat kedudukannya di Filipina, Ternate pun menjalin aliansi dengan Mindanao untuk menghalau
Spanyol namun gagal bahkan sultan Said Barakati berhasil ditawan Spanyol dan dibuang ke Manila.
Kekalahan demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate meminta bantuan Belanda tahun 1603.
Page 9
Ternate akhirnya sukses menahan Spanyol namun dengan imbalan yang amat mahal. Belanda akhirnya
secara perlahan-lahan menguasai Ternate, tanggal 26 Juni 1607 Sultan Ternate menandatangani kontrak
monopoli VOC di Maluku sebagai imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol. Pada tahun 1607 pula
Belanda membangun benteng Oranje di Ternate yang merupakan benteng pertama mereka di nusantara.
Sejak awal hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang antara Belanda dan Ternate menimbulkan
ketidakpuasan para penguasa dan bangsawan Ternate. Diantaranya adalah pangeran Hidayat (15?? -
1624), Raja muda Ambon yang juga merupakan mantan wali raja Ternate ini memimpin oposisi yang
menentang kedudukan sultan dan Belanda. Ia mengabaikan perjanjian monopoli dagang Belanda dengan
menjual rempah – rempah kepada pedagang Jawa dan Makassar.
Perlawanan rakyat Maluku dan kejatuhan Ternate
Semakin lama cengkeraman dan pengaruh Belanda pada sultan – sultan Ternate semakin kuat, Belanda
dengan leluasa mengeluarkan peraturan yang merugikan rakyat lewat perintah sultan, sikap Belanda yang
kurang ajar dan sikap sultan yang cenderung manut menimbulkan kekecewaan semua kalangan.
Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada 4 pemberontakan yang dikobarkan bangsawan Ternate dan rakyat
Maluku.
Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga rempah yang merosot Belanda
memutuskan melakukan penebangan besar – besaran pohon cengkeh dan pala di seluruh Maluku
atau yang lebih dikenal sebagai Hongi Tochten, akibatnya rakyat mengobarkan perlawanan. Tahun
1641, dipimpin oleh raja muda Ambon Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan gabungan Ternate –
Hitu – Makassar menggempur berbagai kedudukan Belanda di Maluku Tengah. Salahakan Luhu
kemudian berhasil ditangkap dan dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya tanggal 16 Juni 1643.
Perjuangan lalu dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, kapita Hitu Kakiali dan Tolukabessi hingga 1646.
Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate dan Ambon,
pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah (1648-1650,1655-1675) yang terlampau akrab dan
dianggap cenderung menuruti kemauan Belanda. Para bangsawan berkomplot untuk menurunkan
Mandarsyah. Tiga di antara pemberontak yang utama adalah trio pangeran Saidi,
Majiradan Kalamata. Pangeran Saidi adalah seorang Kapita Laut atau panglima tertinggi pasukan
Ternate, pangeran Majira adalah raja muda Ambon sementara pangeran Kalamata adalah adik sultan
Mandarsyah. Saidi dan Majira memimpin pemberontakan di Maluku tengah sementara pangeran
Kalamata bergabung dengan raja Gowa sultan Hasanuddin di Makassar. Mereka bahkan sempat
berhasil menurunkan sultan Mandarsyah dari tahta dan mengangkat Sultan Manilha (1650–1655)
namun berkat bantuan Belanda kedudukan Mandarsyah kembali dipulihkan. Setelah 5 tahun
pemberontakan Saidi cs berhasil dipadamkan. Pangeran Saidi disiksa secara kejam hingga mati
sementara pangeran Majira dan Kalamata menerima pengampunan Sultan dan hidup dalam
pengasingan.
Page 10
Sultan Muhammad Nurul Islam atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Sibori (1675 – 1691)
merasa gerah dengan tindak – tanduk Belanda yang semena - mena. Ia kemudian menjalin
persekutuan dengan Datuk Abdulrahman penguasa Mindanao, namun upayanya untuk menggalang
kekuatan kurang maksimal karena daerah – daerah strategis yang bisa diandalkan untuk basis
perlawanan terlanjur jatuh ke tangan Belanda oleh berbagai perjanjian yang dibuat para
pendahulunya. Ia kalah dan terpaksa menyingkir ke Jailolo. Tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa
menandatangani perjanjian yang intinya menjadikan Ternate sebagai kerajaan dependen Belanda.
Perjanjian ini mengakhiri masa Ternate sebagai negara berdaulat.
Meski telah kehilangan kekuasaan mereka beberapa Sultan Ternate berikutnya tetap berjuang
mengeluarkan Ternate dari cengkeraman Belanda. Dengan kemampuan yang terbatas karena selalu
diawasi mereka hanya mampu menyokong perjuangan rakyatnya secara diam – diam. Yang terakhir tahun
1914 Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1896-1927) menggerakkan perlawanan rakyat di wilayah –
wilayah kekuasaannya, bermula di wilayah Banggai dibawah pimpinan Hairuddin Tomagola namun gagal.
Di Jailolo rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah pimpinan Kapita Banau berhasil menimbulkan
kerugian di pihak Belanda, banyak prajurit Belanda yang tewas termasuk Coentroleur Belanda Agerbeek,
markas mereka diobrak – abrik. Akan tetapi karena keunggulan militer serta persenjataan yang lebih
lengkap dimiliki Belanda perlawanan tersebut berhasil dipatahkan, kapita Banau ditangkap dan dijatuhi
hukuman gantung. Sultan Haji Muhammad Usman Syah terbukti terlibat dalam pemberontakan ini oleh
karenanya berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda, tanggal 23 September 1915 no. 47, sultan
Haji Muhammad Usman Syah dicopot dari jabatan sultan dan seluruh hartanya disita, beliau dibuang ke
Bandung tahun 1915 dan meninggal disana tahun 1927. Pasca penurunan sultan Haji Muhammad Usman
Syah jabatan sultan sempat lowong selama 14 tahun dan pemerintahan adat dijalankan oleh Jogugu serta
dewan kesultanan. Sempat muncul keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus kesultanan
Ternate namun niat itu urung dilaksanakan karena khawatir akan reaksi keras yang bisa memicu
pemberontakan baru sementara Ternate berada jauh dari pusat pemerintahan Belanda di Batavia.
Dalam usianya yang kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan Ternate masih tetap bertahan meskipun
hanya sebatas simbol budaya. Jabatan sultan sebagai pemimpin Ternate ke-49 kini dipegang oleh
sultan Drs. H. Mudaffar Sjah, BcHk. (Mudaffar II) yang dinobatkan tahun 1986.
Warisan Ternate
Imperium nusantara timur yang dipimpin Ternate memang telah runtuh sejak pertengahan abad ke-17
namun pengaruh Ternate sebagai kerajaan dengan sejarah yang panjang masih terus terasa hingga
berabad kemudian. Ternate memiliki andil yang sangat besar dalam kebudayaan nusantara bagian timur
khususnya Sulawesi (utara dan pesisir timur) dan Maluku. Pengaruh itu mencakup agama, adat istiadat
dan bahasa.
Sebagai kerajaan pertama yang memeluk Islam Ternate memiliki peran yang besar dalam upaya
pengislaman dan pengenalan syariat-syariat Islam di wilayah timur nusantara dan bagian selatan Filipina.
Page 11
Bentuk organisasi kesultanan serta penerapan syariat Islam yang diperkenalkan pertama kali oleh sultan
Zainal Abidin menjadi standar yang diikuti semua kerajaan di Maluku hampir tanpa perubahan yang berarti.
Keberhasilan rakyat Ternate dibawah sultan Baabullah dalam mengusir Portugal tahun 1575 merupakan
kemenangan pertama pribumi nusantara atas kekuatan barat, oleh karenanya almarhum Buya
Hamka bahkan memuji kemenangan rakyat Ternate ini telah menunda penjajahan barat atas bumi
nusantara selama 100 tahun sekaligus memperkokoh kedudukan Islam, dan sekiranya rakyat Ternate
gagal niscaya wilayah timur Indonesia akan menjadi pusat kristen seperti halnya Filipina.
Kedudukan Ternate sebagai kerajaan yang berpengaruh turut pula mengangkat derajat Bahasa Ternate
sebagai bahasa pergaulan di berbagai wilayah yang berada dibawah pengaruhnya. Prof E.K.W.
Masinambow dalam tulisannya; “Bahasa Ternate dalam konteks bahasa - bahasa Austronesia dan Non
Austronesia” mengemukakan bahwa bahasa Ternate memiliki dampak terbesar terhadap bahasa Melayu
yang digunakan masyarakat timur Indonesia. Sebanyak 46% kosakata bahasa Melayu di Manado diambil
dari bahasa Ternate. Bahasa Melayu – Ternate ini kini digunakan luas di Indonesia Timur terutama
Sulawesi Utara, pesisir timur Sulawesi Tengah dan Selatan, Maluku dan Papua dengan dialek yang
berbeda – beda.[1] Dua naskah surat sultan Ternate Abu Hayat II kepada Raja Portugal tanggal 27 April
dan 8 November 1521 diakui sebagai naskah Melayu tertua di dunia setelah naskah Melayu Tanjung
Tanah. Kedua surat Sultan Abu Hayat tersebut saat ini masih tersimpan di museum Lisabon – Portugal.[2][3]
[4]
Daftar Sultan Ternate
Kolano dan Sultan Ternate Masa jabatan[5][6][7][8][9]
Baab Mashur Malamo 1257 - 1277
Jamin Qadrat 1277 - 1284
Komala Abu Said 1284 - 1298
Bakuku (Kalabata) 1298 - 1304
Ngara Malamo (Komala) 1304 - 1317
Patsaranga Malamo 1317 - 1322
Cili Aiya (Sidang Arif Malamo) 1322 - 1331
Page 12
Panji Malamo 1331 - 1332
Syah Alam 1332 - 1343
Tulu Malamo 1343 - 1347
Kie Mabiji (Abu Hayat I) 1347 - 1350
Ngolo Macahaya 1350 - 1357
Momole 1357 - 1359
Gapi Malamo I 1359 - 1372
Gapi Baguna I 1372 - 1377
Komala Pulu 1377 - 1432
Marhum (Gapi Baguna II) 1432 - 1486
Zainal Abidin 1486 - 1500
Bayanullah 1500 - 1522
Hidayatullah 1522 - 1529
Abu Hayat II 1529 - 1533
Tabariji 1533 - 1534
Khairun Jamil 1535 - 1570
Babullah Datu syah 1570 - 1583
Page 13
Said Barakat syah 1583 - 1606
Mudaffar Syah I 1607 - 1627
Hamzah 1627 - 1648
Mandarsyah 1648 - 1650 (masa pertama)
Manila 1650 - 1655
Mandarsyah 1655 - 1675 (masa kedua)
Sibori 1675 - 1689
Said Fatahullah 1689 - 1714
Amir Iskandar Zulkarnain Syaifuddin 1714 - 1751
Ayan Syah 1751 - 1754
Syah Mardan 1755 - 1763
Jalaluddin 1763 - 1774
Harunsyah 1774 - 1781
Achral 1781 - 1796
Muhammad Yasin 1796 - 1801
Muhammad Ali 1807 - 1821
Page 14
Muhammad Sarmoli 1821 - 1823
Muhammad Zain 1823 - 1859
Muhammad Arsyad 1859 - 1876
Ayanhar 1879 - 1900
Muhammad Ilham (Kolano Ara Rimoi)
1900 - 1902
Haji Muhammad Usman syah 1902 - 1915
Iskandar Muhammad Jabir syah 1929 - 1975
Drs. Haji Mudaffar Syah (Mudaffar II) 1975 – sekarang
Kerajaan PagaruyungDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
"Pagaruyung" beralih ke halaman ini. Untuk nagari dengan nama yang sama, lihat Pagaruyung,
Tanjung Emas, Tanah Datar.
Kerajaan Pagaruyung adalah sebuah Kerajaan Melayu yang pernah berdiri, meliputi
provinsi Sumatera Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Nama kerajaan ini dirujuk
dari Tambo yang ada pada masyarakat Minangkabau, yaitu nama sebuah nagari yang
bernamaPagaruyung,[1] dan juga dapat dirujuk dari inskripsi cap mohor Sultan Tangkal Alam Bagagar
dari Pagaruyung,[1] yaitu pada tulisan beraksaraJawi dalam lingkaran bagian dalam yang berbunyi
sebagai berikut: Sultan Tangkal Alam Bagagar ibnu Sultan Khalīfatullāh yang mempunyai tahta
kerajaan dalam negeri Pagaruyung Dārul Qarār Johan Berdaulat Zillullāh fīl 'Ālam.[2] Kerajaan ini
runtuh pada masa Perang Padri, setelah ditandatanganinya perjanjian antara Kaum Adat dengan
pihak Belanda yang menjadikan kawasan Kerajaan Pagaruyung berada dalam pengawasan Belanda.
[3]
Page 15
Sebelumnya kerajaan ini tergabung dalam Malayapura,[4] sebuah kerajaan yang pada Prasasti
Amoghapasa disebutkan dipimpin olehAdityawarman, yang mengukuhkan dirinya sebagai
penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi. Termasuk pula di dalam Malayapura adalah
kerajaan Dharmasraya dan beberapa kerajaan atau daerah taklukan Adityawarman lainnya.[5]
Sejarah
Berdirinya Pagaruyung
Arca Bhairawa di Museum Nasional Republik Indonesia, Jakarta.
Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui dengan pasti,
dari Tambo yang diterima oleh masyarakatMinangkabau tidak ada yang memberikan penanggalan
dari setiap peristiwa-peristiwa yang diceritakan, bahkan jika menganggapAdityawarman sebagai
pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tidak jelas menyebutkannya. Namun dari beberapa
prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah
menjadi raja di negeri tersebut, tepatnya menjadi Tuhan Surawasa, sebagaimana penafsiran
dari Prasasti Batusangkar.
Dari manuskrip yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian belakang Arca
Amoghapasa [6] disebutkan pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja
di Malayapura, Adityawarman merupakan putra dari Adwayawarman seperti yang terpahat
pada Prasasti Kuburajo dan anak dari Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya seperti yang
disebut dalam Pararaton. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang
Page 16
menaklukkan Bali dan Palembang,[7] pada masa pemerintahannya kemungkinan Adityawarman
memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau.
Dari prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman menyelesaikan
pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan
padi[8] yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yang menjadi raja
sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan adat Minangkabau, pewarisan
dari mamak (paman) kepada kamanakan (kemenakan) telah terjadi pada masa tersebut.[9] Sementara
pada sisi lain dari saluran irigasi tersebut terdapat juga sebuah prasasti yang
beraksara Nagariatau Tamil, sehingga dapat menunjukan adanya sekelompok masyarakat dari
selatan India dalam jumlah yang signifikan pada kawasan tersebut.[8]
Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, dan
bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit.[10] Namun dari prasasti-prasasti yang
ditinggalkan oleh raja ini belum ada satu pun yang menyebut sesuatu hal yang berkaitan
dengan bhumi jawa dan kemudian dari berita Cina diketahui Adityawarman pernah mengirimkan
utusan ke Cina sebanyak 6 kali selama rentang waktu 1371 sampai 1377.[9]
Setelah meninggalnya Adityawarman, kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk
menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409.[10] Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran
dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan
demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut
tentara Jawa berhasil dikalahkan.
Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah memiliki sistem
politik semacam konfederasi, yang merupakan lembaga musyawarah dari berbagai Nagari dan Luhak.
Dilihat dari kontinuitas sejarah, kerajaan Pagaruyung merupakan semacam perubahan sistem
administrasi semata bagi masyarakat setempat (Suku Minang).
Pengaruh Hindu-Budha
Page 17
Prasasti Adityawarman
Pengaruh Hindu-Budha di Sumatera bagian tengah telah muncul kira-kira pada abad ke-13,[11] yaitu
dimulai pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanagara, dan kemudian pada masa
pemerintahan Adityawarman dan putranya Ananggawarman. Kekuasaan dari Adityawarman
diperkirakan cukup kuat mendominasi wilayah Sumatera bagian tengah dan sekitarnya.[5] Hal ini dapat
dibuktikan dengan gelar Maharajadiraja yang disandang oleh Adityawarman seperti yang terpahat
pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, yang ditemukan di hulu sungaiBatang Hari (sekarang
termasuk kawasan Kabupaten Dharmasraya).
Dari prasasti Batusangkar disebutkan Ananggawarman sebagai yuvaraja melakukan ritual ajaran
Tantris dari agama Buddha yang disebut hevajra yaitu upacara peralihan kekuasaan dari
Adityawarman kepada putra mahkotanya, hal ini dapat dikaitkan dengan kronik Tiongkok tahun 1377
tentang adanya utusan San-fo-ts'i kepada Kaisar Cina yang meminta permohonan pengakuan sebagai
penguasa pada kawasan San-fo-ts'i.[12]
Beberapa kawasan pedalaman Sumatera tengah sampai sekarang masih dijumpai pengaruhi agama
Buddha antara lain kawasan percandian Padangroco, kawasan percandian Padanglawas dan
kawasan percandian Muara Takus. Kemungkinan kawasan tersebut termasuk kawasan taklukan
Adityawarman.[10] Sedangkan tercatat penganut taat ajaran ini selain Adityawarman pada masa
sebelumnnya adalah Kubilai Khan dari Mongol dan raja Kertanegara dariSinghasari.[13]
Pengaruh Islam
Perkembangan agama Islam setelah akhir abad ke-14 sedikit banyaknya memberi pengaruh terutama
yang berkaitan dengan sistem patrialineal, dan memberikan fenomena yang relatif baru pada
masyarakat di pedalaman Minangkabau. Pada awal abad ke-16, Suma Oriental yang ditulis antara
tahun 1513 dan 1515, mencatat dari ketiga raja Minangkabau, hanya satu yang telah
menjadi muslim sejak 15 tahun sebelumnya.[14]
Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir dan
guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang
terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah
ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17,
Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam
tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.[15]
Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam
mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah
adat Minangkabau yang terkenal: "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang artinya adat
Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-Qur'an.
Namun dalam beberapa hal masih ada beberapa sistem dan cara-cara adat masih dipertahankan dan
Page 18
inilah yang mendorong pecahnya perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Padri yang pada
awalnya antara Kaum Padri (ulama) dengan Kaum Adat, sebelum Belanda melibatkan diri dalam
peperangan ini.[16]
Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung dengan
ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang berhubungan
dengan Islam. Penamaan negari Sumpur Kudus yang mengandung kata kudus yang berasal dari
kata Quduus (suci) sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat dan Limo Kaum yang mengandung
kata qaum jelas merupakan pengaruh dari bahasa Arab atau Islam. Selain itu dalam
perangkat adat juga muncul istilah Imam, Katik (Khatib), Bila (Bilal), Malin (Mu'alim) yang merupakan
pengganti dari istilah-istilah yang berbau Hindu danBuddha yang dipakai sebelumnya misalnya
istilah Pandito (pendeta).
Hubungan dengan Belanda dan Inggris
"Terdapat keselarasan yang mengagumkan dalam corak penulisan, bukan saja dalam
bukuprosa dan puisi, tetapi juga dalam perutusan surat, dan pengalaman saya sendiri telah membuktikan
kepada saya bahwa tidak ada masalah dalam menterjemahkan surat dari pada raja-raja dari
kepulauan Maluku, maupun menterjemahkan surat dari pada raja Kedahdan Terengganu di Semenanjung
Malaya atau dari Minangkabau di Sumatera".
— Pendapat dari William Marsden.
Pada awal abad ke-17, kerajaan ini terpaksa harus mengakui kedaulatan Kesultanan Aceh,[17] dan
mengakui para gubernur Aceh yang ditunjuk untuk daerah pesisir pantai barat Sumatera. Namun
sekitar tahun 1665, masyarakat Minang di pesisir pantai barat bangkit dan memberontak terhadap
gubernur Aceh. Dari surat penguasa Minangkabau yang menyebut dirinya Raja
Pagaruyungmengajukan permohonan kepada VOC, dan VOC waktu itu mengambil kesempatan
sekaligus untuk menghentikan monopoli Aceh atas emas dan lada.[18] Selanjutnya VOC melalui
seorang regentnya di Padang, Jacob Pits yang daerah kekuasaannya meliputi dari Kotawan di selatan
sampai ke Barus di utara Padang mengirimkan surat tanggal 9 Oktober 1668 ditujukan kepada Sultan
Ahmadsyah, Iskandar Zur-Karnain, Penguasa Minangkabau yang kaya akan emas serta
memberitahukan bahwa VOC telah menguasai kawasan pantai pesisir barat sehingga perdagangan
emas dapat dialirkan kembali pada pesisir pantai.[19] Menurut catatan Belanda, Sultan Ahmadsyah
meninggal dunia tahun 1674[20] dan digantikan oleh anaknya yang bernama Sultan Indermasyah.[21]
Ketika VOC berhasil mengusir Kesultanan Aceh dari pesisir Sumatera Barat tahun 1666,
[1] melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan antara daerah-daerah rantau dan pesisir
dengan pusat Kerajaan Pagaruyung menjadi erat kembali. Saat itu Pagaruyung merupakan salah satu
pusat perdagangan di pulau Sumatera, disebabkan adanya produksi emas di sana. Demikianlah hal
tersebut menarik perhatian Belanda dan Inggris untuk menjalin hubungan dengan Pagaruyung.
Page 19
Terdapat catatan bahwa tahun 1684, seorang Portugis bernama Tomas Dias melakukan kunjungan ke
Pagaruyung atas perintah gubernur jenderal Belanda di Malaka.[22]
Sekitar tahun 1750 kerajaan Pagaruyung mulai tidak menyukai keberadaan VOC di Padang dan
pernah berusaha membujuk Inggris yang berada di Bengkulu, bersekutu untuk mengusir Belanda
walaupun tidak ditanggapi oleh pihak Inggris.[23] Namun pada tahun 1781 Inggris berhasil menguasai
Padang untuk sementara waktu,[24] dan waktu itu datang utusan dari Pagaruyung memberikan ucapan
selamat atas keberhasilan Inggris mengusir Belanda dari Padang.[25] Menurut Marsden tanah
Minangkabau sejak lama dianggap terkaya dengan emas, dan waktu itu kekuasaan raja Minangkabau
disebutnya sudah terbagi atas raja Suruaso dan raja Sungai Tarab dengan kekuasaan yang sama.
[25] Sebelumnya pada tahun 1732, regent VOC di Padang telah mencatat bahwa ada
seorang ratu bernama Yang Dipertuan Puti Jamilan telah mengirimkan tombak dan pedang berbahan
emas, sebagai tanda pengukuhan dirinya sebagai penguasa bumi emas.[26] Walaupun kemudian
setelah pihak Belanda maupun Inggris berhasil mencapai kawasan pedalaman Minangkabau, namun
mereka belum pernah menemukan cadangan emas yang signifikan dari kawasan tersebut.[27]
Sebagai akibat konflik antara Inggris dan Perancis dalam Perang Napoleon di mana Belanda ada di
pihak Perancis, maka Inggris memerangi Belanda dan kembali berhasil menguasai pantai barat
Sumatera Barat antara tahun 1795 sampai dengan tahun 1819. Thomas Stamford
Raffles mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, yang sudah mulai dilanda peperangan antara
kaum Padri dan kaum Adat. Saat itu Raffles menemukan bahwa ibu kota kerajaan mengalami
pembakaran akibat peperangan yang terjadi.[28] Setelah terjadi perdamaian antara Inggris dan Belanda
pada tahun 1814, maka Belanda kembali memasuki Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda
memastikan kembali pengaruhnya di pulau Sumatera dan Pagaruyung, dengan ditanda-
tanganinya Traktat London pada tahun 1824 dengan Inggris.
Runtuhnya Pagaruyung
"Dari reruntuhan kota (Pagaruyung) ini menjadi bukti bahwa di sini pernah berdiri sebuah peradaban
Melayu yang luar biasa, menyaingi Jawa, situs dari banyak bangunan kini tidak ada lagi, hancur karena
perang yang masih berlangsung".
— Pendapat dari Thomas Stamford Raffles.
Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang perang Padri, meskipun
raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh,
sedangkanInderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih
tunduk pada raja Pagaruyung.
Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara Kaum Padri dan Kaum Adat. Dalam beberapa
perundingan tidak ada kata sepakat antara mereka. Seiring itu dibeberapa negeri dalam kerajaan
Pagaruyung bergejolak, dan puncaknya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang
Page 20
Pagaruyung pada tahun 1815. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari
ibu kota kerajaan ke Lubuk Jambi.[29][30]
Karena terdesak oleh Kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta bantuan kepada Belanda,
dan sebelumnya mereka telah melakukan diplomasi dengan Inggris sewaktu Raffles mengunjungi
Pagaruyung serta menjanjikan bantuan kepada mereka.[1] Pada tanggal 10 Februari 1821 [3] Sultan
Tangkal Alam Bagagarsyah, yaitu kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah yang berada di Padang,
[20] beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk
bekerjasama dalam melawan Kaum Padri. Walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu
itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung.
[1] Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan kerajaan Pagaruyung
kepada pemerintah Belanda.[16] Kemudian setelah Belanda berhasil merebut Pagaruyung dari Kaum
Padri, pada tahun 1824 atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja
Alam Muningsyah kembali ke Pagaruyung, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah, raja
terakhir di Minangkabau ini, wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.[20]
Pasukan Belanda dan Padri saling berhadapan di medan perang. Lukisan sekitar tahun 1900.
Sementara Sultan Tangkal Alam Bagagarsyah pada sisi lain ingin diakui sebagai Raja Pagaruyung,
namun pemerintah Hindia-Belanda dari awal telah membatasi kewenangannya dan hanya
mengangkatnya sebagai Regent Tanah Datar.[20] Kemungkinan karena kebijakan tersebut
menimbulkan dorongan pada Sultan Tangkal Alam Bagagar untuk mulai memikirkan bagaimana
mengusir Belanda dari negerinya.[1]
Setelah menyelesaikan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda kemudian berusaha menaklukkan Kaum
Padri dengan kiriman tentara dari Jawa,Madura, Bugis dan Ambon.[31] Namun ambisi kolonial Belanda
tampaknya membuat kaum adat dan Kaum Padri berusaha melupakan perbedaan mereka dan
bersekutu secara rahasia untuk mengusir Belanda. Pada tanggal 2 Mei 1833 Sultan Tangkal Alam
Bagagar ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Ia dibuang
ke Batavia (Jakarta sekarang) sampai akhir hayatnya, dan dimakamkan di pekuburan Mangga Dua.[32]
Setelah kejatuhannya, pengaruh dan prestise kerajaan Pagaruyung tetap tinggi terutama pada
kalangan masyarakat Minangkabau yang berada di rantau. Salah satu ahli waris kerajaan Pagaruyung
diundang untuk menjadi penguasa di Kuantan.[33] Begitu juga sewaktu Raffles masih bertugas di
Page 21
Semenanjung Malaya, dia berjumpa dengan kerabat Pagaruyung yang berada di Negeri Sembilan,
dan Raffles bermaksud mengangkat Yang Dipertuan Ali Alamsyah yang dianggapnya masih keturunan
langsung raja Minangkabau sebagai raja di bawah perlindungan Inggris.[1] Sementara setelah
berakhirnya Perang Padri, Tuan Gadang di Batipuh meminta pemerintah Hindia-Belanda untuk
memberikan kedudukan yang lebih tinggi dari pada sekadar Regent Tanah Datar yang dipegangnya
setelah menggantikan Sultan Tangkal Alam Bagagar, namun permintaan ini ditolak oleh Belanda,
[34] hal ini nantinya termasuk salah satu pendorong pecahnya pemberontakan tahun
1841 di Batipuh selain masalah cultuurstelsel.[20]
Wilayah kekuasaan
Menurut Tomé Pires dalam Suma Oriental,[14] tanah Minangkabau selain dataran tinggi pedalaman
Sumatera tempat dimana rajanya tinggal, juga termasuk wilayah pantai timur Arcat (antara Aru dan
Rokan) ke Jambi dan kota-kota pelabuhan pantai barat Panchur (Barus), Tiku dan Pariaman. Dari
catatan tersebut juga dinyatakan tanah Indragiri, Siak dan Arcat merupakan bagian dari tanah
Minangkabau, dengan Teluk Kuantan sebagai pelabuhan utama raja Minangkabau tersebut. Namun
belakangan daerah-daerah rantau seperti Siak, Kampar dan Indragiri kemudian lepas dan ditaklukkan
oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh.[35]
Wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung adalah wilayah tempat hidup, tumbuh, dan
berkembangnya kebudayaan Minangkabau. Wilayah ini dapat dilacak dari
pernyataan Tambo (legenda adat) berbahasa Minang ini: [36]
Dari Sikilang Aia Bangih
Hingga Taratak Aia Hitam
Dari Durian Ditakuak Rajo
Hingga Sialang Balantak Basi
Sikilang Aia Bangih adalah batas utara, sekarang di daerah Pasaman Barat,
berbatasan dengan Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam adalah
daerah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo adalah wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi.
Yang terakhir, Sialang Balantak Basi adalah wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten
Kampar, Riau sekarang. Secara lengkapnya, di dalam tambo dinyatakan
bahwa Alam Minangkabau (wilayah Kerajaan Pagaruyung) adalah sebagai berikut:
Nan salilik Gunuang Marapi
Saedaran Gunuang Pasaman
Sajajaran Sago jo Singgalang
Saputaran Talang jo Kurinci
Dari Sirangkak nan Badangkang
Hinggo Buayo Putiah Daguak
Page 22
Sampai ka Pintu Rajo Hilia
Hinggo Durian Ditakuak Rajo
Sipisau-pisau Hanyuik
Sialang Balantak Basi
Hinggo Aia Babaliak Mudiak
Sailiran Batang Bangkaweh
Sampai ka ombak nan badabua
Sailiran Batang Sikilang
Hinggo lauik nan sadidieh
Ka timua Ranah Aia Bangih
Rao jo Mapat Tunggua
Gunuang Mahalintang
Pasisia Banda Sapuluah
Taratak Aia Hitam
Sampai ka Tanjuang Simalidu
Pucuak Jambi Sambilan Lurah
Sistem pemerintahan
Aparat pemerintahan
Adityawarman pada awalnya menyusun sistem pemerintahannya mirip dengan
sistem pemerintahan yang ada di Majapahit [15] masa itu, meskipun kemudian
menyesuaikannya dengan karakter dan struktur kekuasaan kerajaan sebelumnya
(Dharmasraya dan Sriwijaya) yang pernah ada pada masyarakat setempat. Ibukota
diperintah secara langsung oleh raja, sementara daerah pendukung tetap diperintah
oleh Datuk setempat.[37]
Setelah masuknya Islam, Raja Alam yang berkedudukan
di Pagaruyung melaksanakan tugas pemerintahannya dengan bantuan dua orang
pembantu utamanya (wakil raja), yaitu Raja Adat yang berkedudukan di Buo,
dan Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur Kudus. Bersama-sama mereka
bertiga disebut Rajo Tigo Selo, artinya tiga orang raja yang "bersila" atau bertahta.
Raja Adat memutuskan masalah-masalah adat, sedangkan Raja Ibadat mengurus
masalah-masalah agama. Bila ada masalah yang tidak selesai barulah dibawa ke
Raja Pagaruyung. Istilah lainnya yang digunakan untuk mereka dalam bahasa
Minang adalah tigo tungku sajarangan. Untuk sistem pergantian raja di
Minangkabau menggunakan sistempatrilineal [38] berbeda dengan sistem waris dan
kekerabatan suku yang masih tetap pada sistem matrilineal.[15]
Page 23
Selain kedua raja tadi, Raja Alam juga dibantu oleh para pembesar yang
disebut Basa Ampek Balai, artinya "empat menteri utama". Mereka adalah:
1. Bandaro yang berkedudukan di Sungai Tarab.
2. Makhudum yang berkedudukan di Sumanik.
3. Indomo yang berkedudukan di Suruaso.
4. Tuan Gadang yang berkedudukan di Batipuh.
Belakangan, pengaruh Islam menempatkan Tuan Kadi yang berkedudukan
di Padang Ganting masuk menjadi Basa Ampek Balai. Ia mengeser kedudukan
Tuan Gadang di Batipuh, dan bertugas menjaga syariah agama.
Sebagai aparat pemerintahan, masing-masing Basa Ampek Balai punya daerah-
daerah tertentu tempat mereka berhak menagih upeti sekadarnya, yang disebut
rantau masing-masing pembesar tersebut. Bandaro memiliki rantau di Bandar X,
rantau Tuan Kadi adalah di VII Koto dekat Sijunjung, Indomo punya rantau di bagian
utara Padang sedangkan Makhudum punya rantau di Semenanjung Melayu, di
daerah pemukiman orang Minangkabau di sana.
Selain itu dalam menjalankan roda pemerintahan, kerajaan juga mengenal aparat
pemerintah yang menjalankan kebijakan dari kerajaan sesuai dengan fungsi
masing-masing, yang sebut Langgam nan Tujuah. Mereka terdiri dari:
1. Pamuncak Koto Piliang
2. Perdamaian Koto Piliang
3. Pasak Kungkuang Koto Piliang
4. Harimau Campo Koto Piliang
5. Camin Taruih Koto Piliang
6. Cumati Koto Piliang
7. Gajah Tongga Koto Piliang
Pemerintahan Darek dan Rantau
Dalam laporannya, Tomé Pires telah memformulasikan struktur wilayah dari tanah
Minangkabau dalam darek (land) dan rantau (sea/coast),[14] walaupun untuk
beberapa daerah pantai timur Sumatera seperti Jambi dan Palembang disebutkan
telah dipimpin oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa.
Kerajaan Pagaruyung membawahi lebih dari 500 nagari, yang merupakan satuan
wilayah otonom pemerintahan. Nagari-nagari ini merupakan dasar kerajaan, dan
mempunyai kewenangan yang luas dalam memerintah. Suatu nagari mempunyai
kekayaannya sendiri dan memiliki pengadilan adatnya sendiri. Beberapa buah
nagari kadang-kadang membentuk persekutuan. Misalnya Bandar X adalah
Page 24
persekutuan sepuluh nagari di selatan Padang. Kepala persekutuan ini diambil dari
kaum penghulu, dan sering diberi gelar raja. Raja kecil ini bertindak sebagai wakil
Raja Pagaruyung.
Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah
pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri
yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadiKoto, dari Koto
manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan
di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak,
kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan
kemudian berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yang dibentuk
minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut.[15]
Darek
Luhak nan Tigo
Luhak Tanah Data Luhak Agam Luhak Limopuluah
Alam Surambi Sungai Pagu Ampek-Ampek Angkek Hulu
Batipuah Sapuluah Koto Lawang nan Tigo Balai Lareh
Kubuang Tigobaleh Nagari-nagari Danau Maninjau Luhak
Langgam nan Tujuah Ranah
Limokaum Duobaleh Koto Sandi
Lintau Sambilan Koto
Lubuak nan Tigo
Nilam Payuang Sakaki
Pariangan Padangpanjang
Sungai Tarab Salapan Batua
Talawi Tigo Tumpuak
Tanjuang nan Tigo
Sapuluah Koto di Ateh
Page 25
Di daerah Darek atau daerah inti Kerajaan Pagaruyung terbagi atas 3 luhak (Luhak
Nan Tigo, yaitu LuhakTak nan Data, belakangan menjadi Luhak Tanah Data, Luhak
Agam dan Luhak Limopuluah). Sementara pada setiap nagari pada kawasan luhak
ini diperintah oleh para penghulu, yang mengepalai masing-masing suku yang
berdiam dalam nagari tersebut. Penghulu dipilih oleh anggota suku, dan
warga nagariuntuk memimpin dan mengendalikan pemerintahan nagari tersebut.
Keputusan pemerintahan diambil melalui kesepakatan para penghulu di Balai Adat,
setelah dimusyawarahkan terlebih dahulu. Di daerah inti Kerajaan
Pagaruyung, Raja Pagaruyung tetap dihormati walau hanya bertindak sebagai
penengah dan penentu batas wilayah.
Rantau
Raja Pagaruyung mengendalikan secara langsung daerah Rantau. Ia boleh
membuat peraturan dan memungut pajak di sana. Rantau merupakan suatu
kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi
sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau
dikenal dengan Rantau nan duo terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur)
danRantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).
Masing-masing luhak memiliki wilayah rantaunya sendiri. Penduduk Tanah Datar
merantau ke arah barat dan tenggara, penduduk Agam merantau ke arah utara dan
barat, sedangkan penduduk Limopuluah merantau ke daerah Riau daratan
sekarang, yaitu Rantau Kampar, Rokan dan Kuantan. Selain itu, terdapat daerah
perbatasan wilayah luhak dan rantau yang disebut sebagai Ujuang Darek Kapalo
Rantau. Di daerah rantau seperti di Pasaman, kekuasaan penghulu ini sering
berpindah kepada raja-raja kecil, yang memerintah turun temurun. Di Inderapura,
raja mengambil gelarsultan. Sementara di kawasan lain mengambil gelar Yang
Dipertuan Besar.
Pembagian daerah rantau adalah sebagai berikut:
Rantau Luhak Tanah Data
Rantau Nan Kurang Aso Duo
Puluah
Lubuak Ambacang
Lubuak Jambi
Gunuang Koto
Benai
Pangian
Rantau Luhak Agam
Nagari-nagari pantai
barat Sumatera
Pasaman Barat
Pasaman Timur
Panti
Rao
Lubuak Sikapiang
Rantau Luhak Limopuluah
Mangilang
Tanjuang Balik
Pangkalan
Koto Alam
Gunuang Malintang
Muaro Paiti
Rantau Barangin
Page 26
Basra
Sitinjua
Kopa
Taluak Ingin
Inuman
Surantiah
Taluak Rayo
Simpang Kulayang
Aia Molek
Pasia Ringgit
Kuantan
Talang Mamak
Kualo Thok
Ujuang Darek Kapalo
Rantaunya
Anduriang Kayu Tanam
Guguak Kapalo
Hilalang
Sicincin
Toboh Pakandangan
Duo Kali Sabaleh Anam
Lingkuang
Tujuah Koto
Sungai Sariak.
Ujuang Darek Kapalo
Rantaunya
Palembayan
Silareh Aia
Lubuak Basuang
Kampuang Pinang
Simpang Ampek
Sungai Garinggiang
Lubuak Bawan
Tigo Koto
Garagahan
Manggopoh
Rokan Pandalian
Kuatan Singingi
Gunuang Sailan
Kuntu
Lipek Kain
Ludai
Ujuang Bukik
Sanggan
Tigo Baleh Koto
Kampar
Sibiruang
Gunuang Malelo
Tabiang
Tanjuang
Gunuang Bungsu
Muaro Takuih
Pangkai
Binamang
Tanjuang Abai
Pulau Gadang
Baluang Koto Sitangkai
Tigo Baleh
Lubuak Aguang
Limo Koto Kampar
Kuok
Salo
Bangkinang
Rumbio
Aia Tirih
Taratak Buluah
Pangkalan Indawang
Pangkalan Kapeh
Pangkalan Sarai
Koto Laweh
Sementara kawasan Rantau Pasisia Panjang atau Banda Sapuluah (Bandar
Sepuluh) dipimpin oleh Rajo nan Ampek (4 orang yang bergelar raja; Raja Airhaji,
Page 27
Raja Bungo Pasang, Raja Kambang, Raja Palangai). Kawasan ini merupakan
semacam konfederasi dari 10 daerah atau nagari (negeri), yang masing-masing
dipimpin oleh 10 orang penghulu. Nagari-nagari tersebut adalah
Airhaji
Bungo Pasang atau Painan Banda Salido
Kambang
Palangai
Lakitan
Tapan
Tarusan
Batang Kapeh
Ampek Baleh Koto
Limo Koto
Nagari-nagari ini kemudian dikenal sebagai bagian dari Kerajaan Inderapura,
termasuk daerah Anak Sungai, yang mencakup lembah Manjuto dan Airdikit
(disebut sebagai nagari Ampek Baleh Koto), dan Muko-muko (Limo Koto).
Selain ketiga daerah-daerah rantau tadi, terdapat suatu daerah rantau yang terletak
di wilayah Semenanjung Malaya (Malaysia sekarang). Beberapa kawasan rantau
tersebut menjadi nagari, kemudian masyarakatnya
membentuk konfederasi (semacam Luhak), dan pada masa awal meminta
dikirimkan raja sebagai pemimpin atau pemersatu mereka kepada Yang Dipertuan
Pagaruyung, kawasan tersebut dikenal sebagai Negeri Sembilan, nagari-nagari
tersebut adalah
Jelai
Jelebu
Johol
Klang
Naning
Pasir Besar
Rembau
Segamat
Sungai Ujong
Kesultanan Malaka
Page 28
Untuk kegunaan lain dari Malaka, lihat Malaka.
Replika istana Kesultanan Malaka, dibangun kembali berdasarkan informasi dariSulalatus Salatin
Kesultanan Malaka adalah sebuah Kerajaan Melayu yang pernah berdiri di Malaka, Malaysia. Kerajaan ini
didirikan oleh Parameswara, kemudian mencapai puncak kejayaan di abad ke 15 dengan menguasai jalur
pelayaran Selat Malaka, sebelum ditaklukan oleh Portugal tahun1511. Kejatuhan Malaka ini menjadi pintu
masuknya kolonialisasi Eropa di kawasan Nusantara.
Kerajaan ini tidak meninggalkan bukti arkeologis yang cukup untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian
sejarah, namun keberadaan kerajaan ini dapat diketahui melalui Sulalatus Salatin dan kronik Cina masa Dinasti
Ming. Dari perbandingan dua sumber ini masih menimbulkan kerumitan akan sejarah awal Malaka terutama
hubungannya dengan perkembangan agama Islam di Malaka serta rentang waktu dari pemerintahan masing-
masing raja Malaka. Pada awalnya Islam belum menjadi agama bagi masyarakat Malaka, namun perkembangan
berikutnya Islam telah menjadi bagian dari kerajaan ini yang ditunjukkan oleh gelar sultan yang disandang oleh
penguasa Malaka berikutnya.
Pendirian
Berdasarkan Sulalatus Salatin kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Melayu di Singapura, kemudian
serangan Jawa dan Siammenyebabkan pusat pemerintahan berpindah ke Malaka. Kronik Dinasti
Ming mencatat Parameswara sebagai pendiri Malaka mengunjungiKaisar Yongle di Nanjing pada tahun 1405
dan meminta pengakuan atas wilayah kedaulatannya.[1] Sebagai balasan upeti yang diberikan,Kaisar
Cina menyetujui untuk memberikan perlindungan pada Malaka,[2] kemudian tercatat ada sampai 29 kali utusan
Malaka mengunjungi Kaisar Cina.[3] Pengaruh yang besar dari relasi ini adalah Malaka dapat terhindar dari
kemungkinan adanya serangan Siam dari utara, terutama setelah Kaisar Cina mengabarkan
penguasa Ayutthaya akan hubungannya dengan Malaka.[4] Keberhasilan dalam hubungan diplomasi dengan
Tiongkok memberi manfaat akan kestabilan pemerintahan baru di Malaka, kemudian Malaka berkembang
menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara, dan juga menjadi salah satu pangkalan armada Ming.[5][6]
Laporan dari kunjungan Laksamana Cheng Ho pada 1409, mengambarkan Islam telah mulai dianut oleh
masyarakat Malaka,[4] sementara berdasarkan catatan Ming, penguasa Malaka mulai mengunakan
gelar sultan muncul pada tahun 1455. Sedangkan dalam Sulalatus Salatingelar sultan sudah mulai diperkenalkan
Page 29
oleh penganti berikutnya Raja Iskandar Syah, tokoh yang dianggap sama dengan Parameswara oleh beberapa
sejarahwan.[5] Sementara dalam Pararaton disebutkan terdapat nama tokoh yang mirip yaitu Bhra Hyang
Parameswara sebagai suami dari Ratu Majapahit, Ratu Suhita. Namun kontroversi identifikasi tokoh ini masih
diperdebatkan sampai sekarang.
Pada tahun 1414 Parameswara digantikan putranya, Megat Iskandar Syah,[2] memerintah selama 10 tahun,
kemudian menganut agama Islam [7] dan digantikan oleh Sri Maharaja atau Sultan Muhammad Syah. Putra
Muhammad Syah yang kemudian menggantikannya, Raja Ibrahim, mengambil gelar Sri Parameswara Dewa
Syah. Namun masa pemerintahannya hanya 17 bulan, dan dia mangkat karena terbunuh pada 1445. Saudara
seayahnya, Raja Kasim, kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan Mudzaffar Syah.
Hubungan dengan kekuatan regional
Sampai tahun 1435, Malaka memiliki hubungan yang dekat dengan Dinasti Ming, armada Ming berperan
mengamankan jalur pelayaran Selat Malaka yang sebelumnya sering diganggu oleh adanya kawanan perompak
dan bajak laut.[4] Di bawah perlindungan Ming, Malaka berkembang menjadi pelabuhan penting di pesisir
barat Semenanjung Malaya yang tidak dapat disentuh oleh Majapahit dan Ayutthaya. Namun seiring berubahnya
kebijakan luar negeri Dinasti Ming, Kawasan ujung tanah ini terus diklaim oleh Siam sebagai bagian dari
kedaulatannya sampai Malaka jatuh ke tangan Portugal, dan setelah takluknya Malaka,
kawasan Perlis, Kelantan, Terengganu dan Kedah kemudian berada dalam kekuasaan Siam.[6]
Sulalatus Salatin juga mengambarkan kedekatan hubungan Malaka dengan Pasai, hubungan kekerabatan ini
dipererat dengan adanya pernikahan putri Sultan Pasai dengan Raja Malaka dan kemudian Sultan Malaka pada
masa berikutnya juga turut memadamkan pemberontakan yang terjadi di Pasai. Ma Huan juru tulis Cheng
Ho menyebutkan adanya kemiripan adat istiadat Malaka dengan Pasai serta ke dua kawasan tersebut telah
menjadi tempat pemukiman komunitas muslim di Selat Malaka.[4] Sementara kemungkinan ada ancaman
dari Jawa dapat dihindari, terutama setelah Sultan Mansur Syahmembina hubungan diplomatik dengan Batara
Majapahit yang kemudian meminang dan menikahi putri Raja Jawa tersebut.[8] Selain itu sekitar tahun 1475 di
Jawa juga muncul kekuatan muslim di Demak yang nanti turut melemahkan hegemoni Majapahit atas kawasan
yang mereka klaim sebelumnya sebagai daerah bawahan. Adanya keterkaitan Malaka dengan Demak terlihat
setelah jatuhnya Malaka kepada Portugal, tercatat ada beberapa kali pasukan Demak mencoba merebut kembali
Malaka dari tangan Portugal.[7][9]
Masa kejayaan
Pada masa pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah, Malaka melakukan ekspansi di Semenanjung Malaya dan
pesisir timur pantai Sumatera, setelah sebelumnya berhasil mengusir serangan Siam.[8] Di mulai dengan
menyerang Aru yang disebut sebagai kerajaan yang tidak menjadi muslim dengan baik.[7]Penaklukan Malaka atas
kawasan sekitarnya ditopang oleh kekuatan armada laut yang kuat pada masa tersebut serta kemampuan
mengendalikan Orang Laut yang tersebar antara kawasan pesisir timur Pulau Sumatera sampai Laut Cina
Selatan. Orang laut ini berperan mengarahkan setiap kapal yang melalui Selat Malaka untuk singgah di Malaka
serta menjamin keselamatan kapal-kapal itu sepanjang jalur pelayarannya setelah membayar cukai di Malaka.[10]
Page 30
Di bawah pemerintahan raja berikutnya yang naik tahta pada tahun 1459, Sultan Mansur Syah, Melaka
menyerbu Kedah dan Pahang, dan menjadikannya negara vassal.[11] Di bawah sultan yang sama Kampar,
dan Siak juga takluk.[11] Sementara kawasan Inderagiri dan Jambi merupakan hadiah dari Batara
Majapahit untuk Raja Malaka.[11] Sultan Mansur Syah kemudian digantikan oleh putranya Sultan Alauddin
Syah namun memerintah tidak begitu lama karena diduga ia diracun sampai meninggal[12] dan kemudian
digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Syah.[8]
Hingga akhir abad ke-15 Malaka telah menjadi kota pelabuhan kosmopolitan dan pusat perdagangan dari
beberapa hasil bumi seperti emas, timah, lada dan kapur. Malaka muncul sebagai kekuatan utama dalam
penguasaan jalur Selat Malaka, termasuk mengendalikan kedua pesisir yang mengapit selat itu.[12]
Penurunan
Sultan Mahmud Syah memerintah Malaka sampai tahun 1511, saat ibu kota kerajaan tersebut diserang
pasukan Portugal di bawah pimpinan Afonso de Albuquerque. Serangan dimulai pada 10 Agustus 1511 dan
pada 24 Agustus 1511 Malaka jatuh kepada Portugal. Sultan Mahmud Syah kemudian melarikan diri
ke Bintan dan menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat pemerintahan baru.[13] Perlawanan terhadap
penaklukan Portugal berlanjut, pada bulan Januari 1513 Patih Yunus dengan pasukan dari Demak berkekuatan
100 kapal 5000 tentara mencoba menyerang Malaka, namun serangan ini berhasil dikalahkan oleh Portugal.
[9] Selanjutnya untuk memperkuat posisinya di Malaka, Portugal menyisir dan menundukkan kawasan
antara Selat Malaka. Pada bulan Juli 1514, de Albuquerque berhasil menundukkan Kampar, dan Raja Kampar
menyatakan kesediaan dirinya sebagai vazal dari Portugal di Malaka.[13]
Sejak tahun 1518 sampai 1520, Sultan Mahmud Syah kembali bangkit dan terus melakukan perlawanan dengan
menyerang kedudukan Portugal di Malaka. Namun usaha Sultan Malaka merebut kembali Malaka dari Portugal
gagal. Di sisi lain Portugal juga terus memperkokoh penguasaannya atas jalur pelayaran di Selat Malaka. Pada
pertengahan tahun 1521, Portugal menyerang Pasai, sekaligus meruntuhkan kerajaan yang juga
merupakan sekutu dari Sultan Malaka.
Selanjutnya pada bulan Oktober 1521, pasukan Portugal dibawah pimpinan de Albuquerque mencoba menyerang
Bintan untuk meredam perlawanan Sultan Malaka, namun serangan ini dapat dipatahkan oleh Sultan Mahmud
Syah. Namun dalam serangan berikutnya pada 23 Oktober 1526 Portugal berhasil membumihanguskan Bintan,
dan Sultan Malaka kemudian melarikan diri ke Kampar, tempat dia wafat dua tahun kemudian.
[13] Berdasarkan Sulalatus Salatin Sultan Mahmud Syah kemudian digantikan oleh putranya Sultan Alauddin
Syah yang kemudian tinggal di Pahang beberapa saat sebelum menetap di Johor.[10] Kemudian pada masa
berikutnya para pewaris Sultan Malaka setelah Sultan Mahmud Syah lebih dikenal disebut dengan Sultan Johor.
Pemerintahan
Walaupun Kesultanan Malaka sangat kuat dipengaruhi oleh agama Islam namun dalam menjalankan
pemerintahan, kerajaan ini tidak menerapkan pemerintahan Islam sepenuhnya. Undang-undang yang berlaku di
Malaka seperti Hukum Kanun Malaka hanya 40,9% mengikut aturan Islam. Begitu jugaUndang-undang Laut
Malaka hanya 1 pasal dari 25 pasal yang mengikut aturan Islam.[12]
Page 31
Kesultanan Malaka dalam urusan kenegaraan telah memiliki susunan tata pemerintahan yang rapi. Sultan Malaka
memiliki kekuasaan yang absolut, seluruh peraturan dan undang-undang merujuk kepada Raja Malaka.
Sementara dalam administrasi pemerintahan Sultan Malaka dibantu oleh beberapa pembesar,
antaranya Bendahara, Tumenggung, Penghulu Bendahari dan Syahbandar. Kemudian terdapat lagi
beberapa menteri yang bertanggungjawab atas beberapa urusan negara.[14] Selain itu terdapat
jabatan Laksamana yang pada awalnya diberikan kepada kelompok masyarakat Orang Laut.[10]
Daftar raja Malaka
Berikut daftar raja Malaka[5]
Periode Nama Raja Catatan dan peristiwa penting
1405-1414
Pai-li-mi-sul-la*ParameswaraRaja Iskandar Syah**Paramicura****
Berkunjung ke Nanjing dan minta pengakuan Kaisar Cina
1414-1424
Mu-kan-sa-yu-ti-er-sha*Megat Iskandar SyahRaja Kecil Besar**Raja Besar Muda***Chaquem Daraxa****
Berkunjung ke Nanjing dan mengabarkan kematian bapaknya
1424-1444
Hsi-li-ma-ha-la-che*Sri MaharajaSultan Muhammad Syah**Raja Tengah***
1444-1445
Hsi-li-pa-mi-hsi-wa-er-tiu-pa-sha*Sri Parameswara Dewa SyahSultan Abu Syahid**Sultan Muhammad Syah***
1446-1459Su-lu-t'an-wu-ta-fo-na-sha*Sultan Mudzaffar Syah**Sultan Modafaixa****
1459-1477 Sultan Mansur Syah**
1477-1488 Sultan Alauddin Riayat Syah**
Page 32
1488-
1511
Sultan Mahmud Syah**
Kerajaan InderapuraDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Artikel ini bukan mengenai Siak Sri Inderapura, ibukota Kabupaten Siak, yang dahulunya merupakan tempat
kedudukan sultan-sultan Siak.
Kerajaan Inderapura merupakan sebuah kerajaan yang berada di wilayah kabupaten Pesisir Selatan,
Provinsi Sumatera Barat sekarang, berbatasan dengan Provinsi Bengkulu dan Jambi. Secara resmi kerajaan ini pernah
menjadi bawahan (vazal) Kerajaan Pagaruyung. Walau pada prakteknya kerajaan ini berdiri sendiri serta bebas
mengatur urusan dalam dan luar negerinya.
Kerajaan ini pada masa jayanya meliputi wilayah pantai barat Sumatera mulai dari Padang di utara sampai Sungai
Hurai di selatan. Produk terpenting Inderapura adalah lada, dan juga emas.
Wilayah kerajaan Inderapura
Kebangkitan
Salah satu makam raja Inderapura
Inderapura dikenal juga sebagai Ujung Pagaruyung. Melemahnya kekuasaan Pagaruyung selama abad ke-15, beberapa
daerah pada kawasan pesisir Minangkabau lainnya, seperti Inderagiri, Jambi, dan Inderapura dibiarkan mengurus
dirinya sendiri.[1]
Namun perkembangan Inderapura baru benar-benar dimulai saat Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Arus
perdagangan yang tadinya melalui Selat Malaka sebagian besar beralih ke pantai barat Sumatera dan Selat Sunda.
Perkembangan dan ekspansi Inderapura terutama ditunjang oleh lada.[1]
Page 33
Kapan tepatnya Inderapura mencapai status negeri merdeka tidak diketahui dengan pasti. Namun diperkirakan, ini
bertepatan dengan mulai maraknya perdagangan lada di wilayah tersebut. Pada pertengahan abad keenam belas
didorong usaha penanaman lada batas selatan Inderapura mencapai Silebar (sekarang di Provinsi Bengkulu). Pada
masa ini Inderapura menjalin persahabatan dengan Banten dan Aceh.
Saat Kesultanan Aceh melakukan ekspansi sampai wilayah Pariaman. Inderapura menghentikan ekspansi tersebut
dengan menjalin persahabatan dengan Aceh melalui ikatan perkawinan antara Raja Dewi, putri Sultan Munawar
Syah dari Inderapura,[2] dengan Sultan Firman Syah, saudara raja Aceh saat itu, Sultan Ali Ri'ayat Syah (1568-1575).
Lewat hubungan perkawinan ini dan kekuatan ekonominya Inderapura mendapat pengaruh besar di Kotaraja (Banda
Aceh), bahkan para hulubalang dari Inderapura disebut-sebut berkomplot dalam pembunuhan putra Sultan Ali Ri'ayat
Syah, sehingga melancarkan jalan buat suami Raja Dewi naik tahta dengan nama Sultan Sri Alampada 1576. Walau
kekuasaannya hanya berlangsung selama tiga tahun sebelum tersingkir dari tahtanya karena pertentangan dengan
para ulama di Aceh.
Namun pengaruh Inderapura terus bertahan di Kesultanan Aceh, dari 1586 sampai 1588 salah seorang yang masih
berkaitan dengan Raja Dewi, memerintah dengan gelar Sultan Ali Ri'ayat Syah II atau Sultan Buyong,[3] sebelum
akhirnya terbunuh oleh intrik ulama Aceh.[1]
Perekonomian
Berdasarkan laporan Belanda, pada tahun 1616 Inderapura digambarkan sebagai sebuah kerajaan yang makmur
dibawah pemerintahan Raja Itam, serta sekitar 30.000 rakyatnya terlibat dalam pertanian dan perkebunan yang
mengandalkan komoditi beras dan lada. Selanjutnya pada masa Raja Besar sekitar tahun 1624, VOC berhasil
membuat perjanjian dalam pengumpulan hasil pertanian tersebut langsung dimuat ke atas kapal tanpa mesti merapat
dulu di pelabuhan, serta dibebaskan dari cukai pelabuhan. Begitu juga pada masa Raja Puti, pengganti Raja Besar,
Inderapura tetap menerapkan pelabuhan bebas cukai dalam mendorong perekonomiannya.[1]
Setelah ekspedisi penghukuman tahun 1633 oleh Kesultanan Aceh, sampai tahun 1637 Inderapura tetap tidak mampu
mendongkrak hasil pertaniannya mencapai hasil yang telah diperoleh pada masa-masa sebelumnya. Di saat penurunan
pengaruh Aceh, Sultan Muzzaffar Syah mulai melakukan konsolidasi kekuatan, yang kemudian dilanjutkan oleh
anaknya Sultan Muhammad Syah yang naik tahta sekitar tahun 1660 dan mulai kembali menjalin hubungan
diplomatik dengan Belanda dan Inggris.
Penurunan
Di bawah Sultan Iskandar Muda, kesultanan Aceh seraya memerangi negeri-negeri penghasil lada di Semenanjung
Malaya, dan juga berusaha memperkuat cengkeramannya atas monopoli lada dari pantai barat Sumatera. Kendali ketat
para wakil Aceh (disebut sebagaipanglima) di Tiku dan Pariaman atas penjualan lada mengancam perdagangan
Inderapura lewat pelabuhan di utara. Karena itu Inderapura mulai mengembangkan bandarnya di selatan, Silebar,
yang biasanya digunakan untuk mengekspor lada lewat Banten.
Inderapura juga berusaha mengelak dari membayar cukai pada para panglima Aceh. Ini memancing kemarahan
penguasa Aceh yang mengirim armadanya pada 1633 untuk menghukum Inderapura. Raja Puti yang memerintah
Page 34
Inderapura saat itu dihukum mati beserta beberapa bangsawan lainnya, dan banyak orang ditawan dan dibawa
ke Kotaraja. Aceh menempatkan panglimanya di Inderapura dan Raja Malfarsyah diangkat menjadi raja
menggantikan Raja Puti.
Di bawah pengganti Iskandar Muda, Sultan Iskandar Tsani kendali Aceh melemah. Pada masa pemerintahan Ratu
Tajul Alam pengaruh Aceh di Inderapura mulai digantikan Belanda (VOC).[1] Dominasi VOC diawali ketika Sultan
Muhammad Syah meminta bantuan Belanda memadamkan pemberontakan di Inderapura pada tahun 1662.
Pemberontakan ini dipicu oleh tuntutan Raja Adil yang merasa mempunyai hak atas tahta Inderapura berdasarkan
sistem matrilineal. Akibatnya Sultan Inderapura terpaksa melarikan diri beserta ayah dan kerabatnya. Kemudian
Sultan Mansur Syah, dikirim ke Batavia menanda-tangani perjanjian yang disepakati tahun 1663 dan memberikan
VOC hak monopoli pembelian lada, dan hak pengerjaan tambang emas.[4] Pada Oktober 1663 pemerintahan
Inderapura kembali pulih, dan Sultan Inderapura mengakui Raja Adil sebagai wakilnya yang berkedudukan di
Manjuto.[5][1]
Pada masa Sultan Muhammad Syah, Inderapura dikunjungi oleh para pelaut Bugis yang dipimpin oleh Daeng
Maruppa yang kemudian menikah dengan saudara perempuan Sultan Muhammad Syah, kemudian melahirkan Daeng
Mabela yang bergelar Sultan Seian,[6] berdasarkan catatan Inggris, Daeng Mabela pada tahun 1688 menjadi komandan
pasukan Bugis untuk EIC.[7]
Sultan Muhammad Syah digantikan oleh anaknya Sultan Mansur Syah (1691-1696), pada masa pemerintahannya bibit
ketidakpuasan rakyatnya atas penerapan cukai yang tinggi serta dominasi monopoli dagang VOC kembali muncul.
Namun pada tahun 1696 Sultan Mansur Syah meninggal dunia dan digantikan oleh Raja Pesisir, yang baru berusia 6
tahun dan pemerintahannya berada dibawah perwalian neneknya.[8] Puncak perlawanan rakyat Inderapura
menyebabkan hancurnya pos VOC di Pulau Cingkuak, sebagai reaksi terhadap serbuan itu, tanggal 6 Juni 1701 VOC
membalas dengan mengirim pasukan dan berhasil mengendalikan Inderapura.
Inderapura akhirnya benar-benar runtuh pada 1792 ketika garnisun VOC di Air Haji menyerbu Inderapura karena
pertengkaran komandannya dengan Sultan Inderapura, kemudian Sultan Inderapura mengungsi ke Bengkulu dan
meninggal di sana (1824).[9]
Pemerintahan
Secara etimologi Inderapura berasal dari bahasa Sanskerta, dan dapat bermakna Kota Raja. Inderapura pada awalnya
adalah kawasan rantau dari Minangkabau, merupakan kawasan pesisir di pantai barat Pulau Sumatera. Sebagai
kawasan rantau, Inderapura dipimpin oleh wakil yang ditunjuk dari Pagaruyung dan bergelar Raja [10] kemudian juga
bergelar Sultan. Raja Inderapura diidentifikasikan sebagai putra Raja Alam atau Yang Dipertuan Pagaruyung.[11]
Wilayah kekuasaan
Pada akhir abad ketujuh belas pusat wilayah Inderapura, mencakup lembah sungai Airhaji dan Batang Inderapura,
terdiri atas dua puluh koto. Masing-masing koto diperintah oleh seorang menteri, yang berfungsi seperti penghulu di
wilayah Minangkabau lainnya. Sementara pada daerah Anak Sungai, yang mencakup lembah Manjuto dan Airdikit
Page 35
(disebut sebagai Negeri Empat Belas Koto), dan Muko-muko (Lima Koto), sistem pemerintahannya tidak jauh
berbeda.
Untuk kawasan utara, disebut dengan Banda Sapuluah (Bandar Sepuluh) yang dipimpin oleh Rajo nan Ampek (4
orang yang bergelar raja; Raja Airhaji, Raja Bungo Pasang, Raja Kambang, Raja Palangai). Kawasan ini merupakan
semacam konfederasi dari 10 daerah atau nagari (negeri), yang juga masing-masing dipimpin oleh 10 orang penghulu.
[1]
Pada kawasan bagian selatan, di mana sistem pemerintahan yang terdiri dari desa-desa berada di bawah
wewenang peroatin (kepala yang bertanggung jawab menyelesaikan sengketa di muara sungai). Peroatin ini pada
awalnya berjumlah 59 orang (peroatin nan kurang satu enam puluh). Para menteri dan peroatin ini tunduk pada
kekuasaan raja atau sultan.
Pada penghujung abad ketujuh belas para peroatin masih berfungsi sebagai kepala wilayah. Namun tugas-tugas
menteri mulai bergeser seiring dengan proses terlepasnya Inderapura menjadi kerajaan terpisah dari Pagaruyung.
Menteri Dua Puluh Koto di Inderapura bertindak sebagai penasihat kerajaan. Menteri Empat Belas Koto bertugas
mengatur rumah tangga istana, sedangkan Menteri Lima Koto bertanggung jawab atas pertahanan.[1]
Walau pada tahun 1691 kawasan Anak Sungai di bawah Raja Adil, melepaskan diri dari Inderapura dan menjadi
kerajaan sendiri, yang pada awalnya didukung oleh Inggris. Namun tidak lama berselang ia mangkat dan digantikan
oleh anaknya yang bergelar Sultan Gulemat (1691-1716). Sultan Gulemat tidak berhasil menjadikan kawasan itu
stabil dan kemudian juga kehilangan dukungan dari para menteri yang ada pada kawasan tersebut.[12]
Kebangkitan Kembali Kesultanan Inderapura
Setelah seabad lebih Kesultanan Inderapura bagai tinggal nama, tak ada seorang sultan atau raja pun yang dinobatkan
untuk menduduki singgasana. Kerajaan yang berjaya di alam Minangkabau ini pernah menguasai daerah sepanjang
pantai Barat Sumatera di masa lampau. Hari ini, 1 Desember 2012, tepat 101 tahun tiarapnya kesultanan tersebut
seiring Istana Inderapura dibakar penjajah masa itu. Pada tahun ke-101 kesultanan tertua di Nusantara menurut Bunda
Ratu Kuasa Alam Kusumadiningrat Dato' Seri Saripah Murliani, geliatnya harus dibangkitkan lagi. Tampuk
Kesultanan harus di pegang oleh waris yang tertera pada ranji silsilah Kesultanan Inderapura. Pemashuran sang Sultan
pun dihelat dengan kemegahan selayaknya sebuah kerajaan bermarwah, Minggu (1/12), bertempat di Hotel Grand Ina
Muara Padang. Tidak kurang dari 20 raja dan sultan se-Nusantara menghadiri penobatan Youdi Prayogo,SE, ME
bergelar Sultan Indera Rahimsyah Daulat Sultan Muhammad Syah sebagai Sultan ke-35 setelah pemegang waris ke-
34 memasuki uzur, berumur kurang lebih 99 tahun. Bunda Ratu Kuasa Alam Kusumadiningrat mengatakan, sudah
saatnya kerajaan - kerajaan di Nusantara bangkit untuk mengembalikan marwah dan agar adat tidak hilang. "Adat
adalah hal penting yang yang harus dipertahankan, bila adat terkikis maka karamlah suatu bangsa,"ucapnya kepada
wartawan usai acara penobatan Sultan Inderapura. Wanita anggun yang mengenakan mahkota bertatahkan berlian ini
menjelaskan, kerajaan dan kesultanan Nusantara yang dari dulu telah memperjuangkan bangsa ini dari cengkeraman
penjajah, hal ini perlu diketahui oleh generasi bangsa di masa sekarang agar nilai adat dan budaya yang dibawa
kesultanan dan kerajaan tetap menjadi pengaruh kuat bagi kepribadian mereka. "Mengapa tidak, dengan adat dan
budaya maka anak negeri akan menjadi pribadi sejati anak Indonesia. Karena, adat membuat mereka punya pekerti
Page 36
yang luhur, berbudi bahasa yang elok, sopan santun, menghormati orang tua dan jujur,"ujar Bunda Ratu dalam logat
Melayu Malaysia. Lebih lanjut putri asal Kerajaan Melayu Jambi dan berdomisili di Kerajaan Negeri Sembilan
Malaysia ini menyebut, carut marut yang dihadapi di Indonesia maupun di negara lainnya tak lain karena lunturnya
adat dan budaya. Korupsi merajalela karena masyarakat sudah tak jujur dan amanah. "Berteriak berantas korupsi
adalah sia - sia,"katanya. Terungkap juga kekecewaan Bunda Ratu terhadap petinggi pemerintahan setempat yang tak
datang dalam prosesi pemashuran tersebut. Tak terkecuali Gubernur dan Bupati. "Saya sedih, beratkah untuk datang
ke helat ini sehingga tak seorangpun pejabat yang kami undang turut hadir ? Alangkah indah duduk bersama untuk
membenahi negeri. Kami tak hendak menandingi pemerintah apalagi bermaksud menggulingkan. Dengan
membangkitkan Kesultanan maka kita bisa bersama membangun negeri baik secara fisik dan moral,"tandasnya. Lebih
lanjut dikatakan, kedatangannya juga membawa sejumlah pengusaha asal negeri jiran Malaysia yang berminat untuk
berinvestasi. Tapi dengan ketidakhadiran pejabat seolah itikad baik dari Bunda Ratu tak mendapat respon. "Saya
berniat menemui Gubernur Sumatera Barat dan Bupati Pesisir Selatan untuk membicarakan kemungkinan pebisnis
Malaysia untuk investasi di negeri ini,"tukasnya. Sementara itu Sultan Inderapura yang baru saja dimashurkan
mengungkapkan, membangkitkan kembali Kesultanan Inderapura adalah amanah yang saat ini diletakkan di
pundaknya. Ia berjanji akan 'membangkit batang terandam' setelah terpuruk sekian lama dimana Adat Bersendi Syara'
Syara' Bersendi Kitabullah telah mulai ditinggalkan. "Selain itu, Istana Inderapura yang telah runtuh juga akan
kembali dibangun,"ujar dosen tetap di IAIN Sultan Taha Syaifuddin Jambi ini. Dia juga ungkapkan akan selalu
berkoordinasi dengan pemerintah setempat. Selain menjaga situs - situs yang ada juga dalam rangka pembinaan
masyarakat untuk menghargai dan memahami sejarah.
Daftar Raja Inderapura
Lihat juga Daftar Raja Inderapura
Berikut adalah daftar Raja Inderapura:
Tahun
Nama atau gelar
Catatan dan peristiwa penting
1550Sultan Munawar SyahRaja Mamulia
1580 Raja DewiNama lainnya adalah Putri Rekna Candra Dewi
1616
Raja Itam
1624 Raja Besar
Page 37
Tahun
Nama atau gelar
Catatan dan peristiwa penting
1625 Raja Puti Nama lainnya Putri Rekna Alun1633
Sultan Muzzaffar SyahRaja Malfarsyah
1660Sultan Muhammad Syah
Raja Adil menuntut hak yang sama.
1691Sultan Mansur Syah
Sultan Gulemat putra Raja Adil berkedudukan di Manjuto melepaskan diri dari Inderapura.
1696 Raja Pesisir
1760 Raja Pesisir II
1790Raja Pesisir III
Kesultanan Demak
Kesultanan Demak atau Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama dan terbesar di pantai
utara Jawa ("Pasisir"). Menurut tradisi Jawa, Demak sebelumnya merupakan kadipaten dari
kerajaan Majapahit, kemudian muncul sebagai kekuatan baru mewarisi legitimasi dari kebesaran
Majapahit.[1]
Kerajaan ini tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada
umumnya. Walau tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran karena terjadi perebutan
kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada tahun 1568, kekuasaan Demak beralih ke Kerajaan
Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir. Salah satu peninggalan bersejarah Kerajaan Demak ialah Mesjid
Agung Demak, yang menurut tradisi didirikan oleh Walisongo.
Lokasi keraton Demak, yang pada masa itu berada di tepi laut, berada di kampung Bintara (dibaca
"Bintoro" dalam bahasa Jawa), saat ini telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah. Sebutan kerajaan pada
Page 38
periode ketika beribukota di sana dikenal sebagai Demak Bintara. Pada masa raja ke-4 ibukota
dipindahkan ke Prawata (dibaca "Prawoto") dan untuk periode ini kerajaan disebut Demak Prawata.
Masa awal
Menjelang akhir abad ke-15, seiring dengan kemuduran Majapahit, secara praktis beberapa wilayah
kekuasaannya mulai memisahkan diri. Bahkan wilayah-wilayah yang tersebar atas kadipaten-kadipaten
saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit.
Sementara Demak yang berada di wilayah utara pantai Jawa muncul sebagai kawasan yang mandiri.
Dalam tradisi Jawa digambarkan bahwa Demak merupakan penganti langsung dari Majapahit, sementara
Raja Demak (Raden Patah) dianggap sebagai putra Majapahit terakhir. Kerajaan Demak didirikan oleh
kemungkinan besar seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po.[2] Kemungkinan besar puteranya
adalah orang yang oleh Tomé Pires dalam Suma Oriental-nya dijuluki "Pate Rodim", mungkin
dimaksudkan "Badruddin" atau "Kamaruddin" dan meninggal sekitar tahun 1504. Putera atau adik Rodim,
yang bernama Trenggana bertahta dari tahun 1505 sampai 1518, kemudian dari tahun1521 sampai 1546.
Di antara kedua masa ini yang bertahta adalah iparnya, Raja Yunus (Pati Unus) dari Jepara. Sementara
pada masaTrenggana sekitar tahun 1527 ekspansi militer Kerajaan Demak berhasil menundukan
Majapahit.[1]
Masa keemasan
Pada awal abad ke-16, Kerajaan Demak telah menjadi kerajaan yang kuat di Pulau Jawa, tidak satu pun
kerajaan lain di Jawa yang mampu menandingi usaha kerajaan ini dalam memperluas kekuasaannya
dengan menundukan beberapa kawasan pelabuhan dan pedalaman di nusantara.
Di bawah Pati Unus
Demak di bawah Pati Unus adalah Demak yang berwawasan nusantara. Visi besarnya adalah menjadikan
Demak sebagai kerajaan maritim yang besar. Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam
dengan pendudukan Portugis di Malaka. Kemudian beberapa kali ia mengirimkan armada lautnya untuk
menyerang Portugis di Malaka.[3]
Di bawah Trenggana
Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawahnya, Demak mulai
menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau
tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan
Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa
(1527, 1546). Trenggana meninggal pada tahun 1546dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan,
dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto. Salah seorang panglima perang Demak waktu itu
adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi menantu raja Trenggana.
Sementara Maulana Hasanuddin putera Sunan Gunung Jati [4] diperintah oleh Trenggana untuk
menundukkan Banten Girang. Kemudian hari keturunan Maulana Hasanudin menjadikan Banten sebagai
Page 39
kerajaan mandiri. Sedangkan Sunan Kudus merupakan imam di Masjid Demak juga pemimpin utama
dalam penaklukan Majapahit sebelum pindah ke Kudus.[1]
Kemunduran
Suksesi ke tangan Sunan Prawoto tidak berlangsung mulus. Penunjukannya sebagai sunan ditentang oleh
adik Trenggana, yaitu Pangeran Sekar Seda Lepen. Dalam penumpasan pemberontakan, Pangeran Sekar
Seda Lepen akhirnya terbunuh. Akan tetapi, pada tahun 1561 Sunan Prawoto beserta keluarganya dihabisi
oleh suruhan Arya Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen. Arya Penangsang kemudian menjadi
penguasa tahta Demak. Suruhan Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri, adipati Jepara, dan
hal ini menyebabkan adipati-adipati di bawah Demak memusuhi Arya Penangsang, salah satunya adalah
Adipati Pengging.
Arya Penangsang akhirnya berhasil dibunuh dalam peperangan oleh Sutawijaya, anak angkat Joko Tingkir.
Joko Tingkir memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang, dan di sana ia mendirikan Kerajaan Pajang.