Top Banner
Kesultanan Samudera Pasai Kesultanan Pasai, juga dikenal dengan Samudera Darussalam, atau Samudera Pasai, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera , kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara , Provinsi Aceh , Indonesia . Belum begitu banyak bukti arkeologis tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah. [1] Namun beberapa sejarahwan memulai menelusuri keberadaan kerajaan ini bersumberkan dari Hikayat Raja-raja Pasai , [2] dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja serta penemuan koin berbahan emas dan perak dengan tertera nama rajanya. [3] Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh , sekitar tahun 1267 . Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri ini pada tahun 1345 . Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah serangan Portugal pada tahun 1521 . Pembentukan awal Berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai , menceritakan tentang pendirian Pasai oleh Marah Silu, setelah sebelumnya ia menggantikan seorang raja yang bernama Sultan Malik al-Nasser. [2] Marah Silu ini sebelumnya berada pada satu kawasan yang disebut dengan Semerlangakemudian setelah naik tahta bergelar Sultan Malik as-Saleh, ia wafat pada tahun 696 H atau 1297 M. [4] Dalam Hikayat Raja-raja Pasai maupun Sulalatus Salatin nama Pasai dan Samudera telah dipisahkan merujuk pada dua kawasan yang berbeda, namun dalam catatanTiongkok nama-nama tersebut tidak dibedakan sama sekali. Sementara Marco Polo dalam lawatannya mencatat beberapa daftar kerajaan yang ada di pantai timur Pulau Sumatera waktu itu, dari selatan ke utara terdapat nama Ferlec (Perlak), Basma dan Samara (Samudera). Pemerintahan Sultan Malik as-Saleh kemudian dilanjutkan oleh putranya Sultan Muhammad Malik az-Zahir dari perkawinannya dengan putriRaja Perlak . Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, koin emas sebagai mata uang telah diperkenalkan di Pasai, seiring dengan berkembangnya Pasai menjadi salah satu kawasan perdagangan sekaligus tempat pengembangan dakwah agama Islam . Kemudian sekitar tahun 1326 ia meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya Sultan Mahmud Malik az-Zahir dan memerintah sampai tahun 1345. Pada masa pemerintahannya, ia dikunjungi oleh Ibn Batuthah, kemudian menceritakan bahwa sultan di negeri Samatrah (Samudera) menyambutnya dengan penuh keramahan, dan penduduknya menganut Mazhab Syafi'i . [5]
47

Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

Nov 29, 2015

Download

Documents

prayogi_taqim
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

Kesultanan Samudera PasaiKesultanan Pasai, juga dikenal dengan Samudera Darussalam, atau Samudera Pasai,

adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota

Lhokseumawe dan Aceh Utara, Provinsi Aceh, Indonesia.

Belum begitu banyak bukti arkeologis tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian

sejarah.[1] Namun beberapa sejarahwan memulai menelusuri keberadaan kerajaan ini bersumberkan

dari Hikayat Raja-raja Pasai,[2] dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja serta penemuan koin

berbahan emas dan perak dengan tertera nama rajanya.[3]

Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh, sekitar tahun 1267.

Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur)

karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri ini pada

tahun 1345. Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah serangan Portugal pada tahun 1521.

Pembentukan awal

Berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai, menceritakan tentang pendirian Pasai oleh Marah Silu, setelah

sebelumnya ia menggantikan seorang raja yang bernama Sultan Malik al-Nasser.[2] Marah Silu ini

sebelumnya berada pada satu kawasan yang disebut dengan Semerlangakemudian setelah naik tahta

bergelar Sultan Malik as-Saleh, ia wafat pada tahun 696 H atau 1297 M.[4] Dalam Hikayat Raja-raja

Pasaimaupun Sulalatus Salatin nama Pasai dan Samudera telah dipisahkan merujuk pada dua kawasan

yang berbeda, namun dalam catatanTiongkok nama-nama tersebut tidak dibedakan sama sekali.

Sementara Marco Polo dalam lawatannya mencatat beberapa daftar kerajaan yang ada di pantai

timur Pulau Sumatera waktu itu, dari selatan ke utara terdapat

nama Ferlec (Perlak), Basma dan Samara (Samudera).

Pemerintahan Sultan Malik as-Saleh kemudian dilanjutkan oleh putranya Sultan Muhammad Malik az-

Zahir dari perkawinannya dengan putriRaja Perlak. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-

Zahir, koin emas sebagai mata uang telah diperkenalkan di Pasai, seiring dengan berkembangnya Pasai

menjadi salah satu kawasan perdagangan sekaligus tempat pengembangan dakwah agama Islam.

Kemudian sekitar tahun 1326 ia meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya Sultan Mahmud Malik az-

Zahir dan memerintah sampai tahun 1345. Pada masa pemerintahannya, ia dikunjungi oleh Ibn Batuthah,

kemudian menceritakan bahwa sultan di negeri Samatrah (Samudera) menyambutnya dengan penuh

keramahan, dan penduduknya menganut Mazhab Syafi'i.[5]

Selanjutnya pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Malik az-Zahir putra Sultan Mahmud Malik az-Zahir,

datang serangan dari Majapahitantara tahun 1345 dan 1350, dan menyebabkan Sultan Pasai terpaksa

melarikan diri dari ibukota kerajaan.

"Maka titah Sang Nata akan segala tawanan orang Pasai itu, suruhlah ia duduk di tanah Jawa ini, mana

kesukaan hatinya. Itulah sebabnya maka banyak keramat di tanah Jawa tatkala Pasai kalah oleh Majapahit itu".

Page 2: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

Relasi dan persaingan

Kesultanan Pasai kembali bangkit dibawah pimpinan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahirtahun 1383, dan

memerintah sampai tahun 1405. Dalam kronik Cina ia juga dikenal dengan nama Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki, dan

disebutkan ia tewas oleh Raja Nakur. Selanjutnya pemerintahan Kesultanan Pasai dilanjutkan oleh istrinya

Sultanah Nahrasiyah.

Armada Cheng Ho yang memimpin sekitar 208 kapal mengunjungi Pasai berturut turut dalam tahun 1405,

1408 dan 1412. Berdasarkan laporan perjalanan Cheng Ho yang dicatat oleh para pembantunya

seperti Ma Huan dan Fei Xin. Secara geografis Kesultanan Pasai dideskripsikan memiliki batas wilayah

dengan pegunungan tinggi disebelah selatan dan timur, serta jika terus ke arah timur berbatasan

dengan Kerajaan Aru, sebelah utara dengan laut, sebelah barat berbatasan dengan dua

kerajaan, Nakur dan Lide. Sedangkan jika terus ke arah barat berjumpa dengan kerajaan Lambri (Lamuri)

yang disebutkan waktu itu berjarak 3 hari 3 malam dari Pasai. Dalam kunjungan tersebut Cheng Ho juga

menyampaikan hadiah dari Kaisar Cina, Lonceng Cakra Donya.[6]

Sekitar tahun 1434 Sultan Pasai mengirim saudaranya yang dikenal dengan Ha-li-zhi-han namun wafat

di Beijing. Kaisar Xuande dari Dinasti Ming mengutus Wang Jinhong ke Pasai untuk menyampaikan berita

tersebut.[6]

Pemerintahan

Lonceng Cakra Donya

Pusat pemerintahan Kesultanan Pasai terletaknya antara Krueng Jambo Aye (Sungai Jambu Air)

dengan Krueng Pase (Sungai Pasai), Aceh Utara. Menurut ibn Batuthah yang menghabiskan waktunya

sekitar dua minggu di Pasai, menyebutkan bahwa kerajaan ini tidak memiliki benteng pertahanan dari batu,

namun telah memagari kotanya dengan kayu, yang berjarak beberapa kilometer dari pelabuhannya. Pada

kawasan inti kerajaan ini terdapatmasjid, dan pasar serta dilalui oleh sungai tawar yang bermuara ke laut.

Ma Huan menambahkan, walau muaranya besar namun ombaknya menggelora dan mudah

mengakibatkan kapal terbalik.[6] Sehingga penamaan Lhokseumawe yang dapat bermaksud teluk yang

airnya berputar-putar kemungkinan berkaitan dengan ini.

Page 3: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

Dalam struktur pemerintahan terdapat istilah menteri, syahbandar dan kadi. Sementara anak-anak sultan

baik lelaki maupun perempuan digelari dengan Tun, begitu juga beberapa petinggi kerajaan. Kesultanan

Pasai memiliki beberapa kerajaan bawahan, dan penguasanya juga bergelar sultan.

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, Kerajaan Perlak telah menjadi bagian dari

kedaulatan Pasai, kemudian ia juga menempatkan salah seorang anaknya yaitu Sultan Mansur di

Samudera. Namun pada masa Sultan Ahmad Malik az-Zahir, kawasan Samudera sudah menjadi satu

kesatuan dengan nama Samudera Pasai yang tetap berpusat di Pasai. Pada masa pemerintahan Sultan

Zain al-Abidin Malik az-Zahir,Lide (Kerajaan Pedir) disebutkan menjadi kerajaan bawahan dari Pasai.

Sementara itu Pasai juga disebutkan memiliki hubungan yang buruk dengan Nakur, puncaknya kerajaan ini

menyerang Pasai dan mengakibatkan Sultan Pasai terbunuh.

Perekonomian

Pasai merupakan kota dagang, mengandalkan lada sebagai komoditi andalannya, dalam catatan Ma Huan

disebutkan 100 kati lada dijual dengan harga perak 1 tahil. Dalam perdagangan Kesultanan Pasai

mengeluarkan koin emas sebagai alat transaksi pada masyarakatnya, mata uang ini

disebut Deureuham (dirham) yang dibuat 70% emas murni dengan berat 0.60 gram, diameter 10 mm, mutu

17 karat.

Sementara masyarakat Pasai umumnya telah menanam padi di ladang, yang dipanen 2 kali setahun, serta

memilki sapi perah untuk menghasilkan keju. Sedangkan rumah penduduknya memiliki tinggi rata-rata 2.5

meter yang disekat menjadi beberapa bilik, dengan lantai terbuat dari bilah-bilah kayu kelapa atau kayu

pinang yang disusun dengan rotan, dan di atasnya dihamparkan tikar rotan atau pandan.[6]

Agama dan budaya

Islam merupakan agama yang dianut oleh masyarakat Pasai, walau pengaruh Hindu dan Buddha juga

turut mewarnai masyarakat ini. Dari catatan Ma Huan dan Tomé Pires,[7] telah membandingkan dan

menyebutkan bahwa sosial budaya masyarakat Pasai mirip dengan Malaka, seperti bahasa, maupun

tradisi pada upacara kelahiran, perkawinan dan kematian. Kemungkinan kesamaan ini memudahkan

penerimaan Islam di Malaka dan hubungan yang akrab ini dipererat oleh adanya pernikahan antara putri

Pasai dengan raja Malaka sebagaimana diceritakan dalam Sulalatus Salatin.

Akhir pemerintahan

Menjelang masa-masa akhir pemerintahan Kesultanan Pasai, terjadi beberapa pertikaian di Pasai yang

mengakibatkan perang saudara. Sulalatus Salatin [8]  menceritakan Sultan Pasai meminta bantuan

kepada Sultan Melaka untuk meredam pemberontakan tersebut. Namun Kesultanan Pasai sendiri akhirnya

runtuh setelah ditaklukkan oleh Portugal tahun 1521 yang sebelumnya telah menaklukan Melaka

tahun 1511, dan kemudian tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan

Aceh.

Page 4: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

Daftar penguasa Pasai

Berikut daftar penguasa Pasai,

Periode Nama Sultan atau Gelar Catatan dan peristiwa penting

1267 - 1297

Sultan Malik as-Saleh (Marah Silu) Hikayat Raja-raja Pasai dan makam raja

1297 - 1326

Sultan Muhammad Malik az-Zahir Koin emas telah mulai diperkenalkan

1326 - 1345

Sultan Mahmud Malik az-Zahir Dikunjungi Ibnu Batutah

1345 - 1383

Sultan Ahmad Malik az-Zahir Diserang Majapahit

1383 - 1405

Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir Dikunjungi Cheng Ho

1405 - 1412

Sultanah NahrasiyahRaja perempuan, (janda Sultan Pasai sebelumnya)

1405 - 1412

Sultan Sallah ad-Din Menikahi Sultanah Nahrasiyah

1412 - 1455

Sultan Abu Zaid Malik az-Zahir Mengirim utusan ke Cina

1455 - 1477

Sultan Mahmud Malik az-Zahir II

1477 - 1500

Sultan Zain al-Abidin ibn Mahmud Malik az-Zahir IISultan Zain al-Abidin II

1501 - 1513

Sultan Abd-Allah Malik az-Zahir

Page 5: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

1513 - 1521

Sultan Zain al-Abidin III Penaklukan oleh Portugal

Warisan sejarah

Penemuan makam Sultan Malik as-Saleh yang bertarikh 696 H atau 1297 M, dirujuk oleh sejarahwan

sebagai tanda telah masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-13. Walau ada pendapat bahwa

kemungkinan Islam telah datang lebih awal dari itu. Hikayat Raja-raja Pasai memang penuh dengan mitos

dan legenda namun deskripsi ceritanya telah membantu dalam mengungkap sisi gelap sejarah akan

keberadaan kerajaan ini. Kejayaan masa lalu kerajaan ini telah menginspirasikan masyarakatnya untuk

kembali menggunakan nama pendiri kerajaan ini untuk Universitas Malikussaleh di Lhokseumawe.

Kesultanan TernateDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ngara Lamo, gerbang Istana Sultan Ternate di tahun 1930-an

Kerajaan Gapi atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Kesultanan Ternate (mengikuti nama

ibukotanya) adalah salah satu dari 4 kerajaan Islam di Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam

tertua di Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Kesultanan Ternate memiliki peran

penting di kawasan timur Nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-17. Kesultanan Ternate menikmati

kegemilangan di paruh abad ke -16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Di masa

jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi utara, timur dan tengah, bagian

selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di pasifik.

Asal Usul

Pulau Gapi (kini Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13, penduduk Ternate awal merupakan warga

eksodus dari Halmahera. Awalnya di Ternate terdapat 4 kampung yang masing - masing dikepalai oleh

seorang momole (kepala marga), merekalah yang pertama – tama mengadakan hubungan dengan para

pedagang yang datang dari segala penjuru mencari rempah – rempah. Penduduk Ternate semakin

heterogen dengan bermukimnya pedagang Arab, Jawa, Melayu dan Tionghoa. Oleh karena aktivitas

Page 6: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

perdagangan yang semakin ramai ditambah ancaman yang sering datang dari para perompak maka atas

prakarsa momole Guna pemimpin Tobona diadakan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi yang

lebih kuat dan mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja.

Tahun 1257 momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai Kolano (raja) pertama dengan

gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate, yang dalam

perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai “Gam

Lamo” atau kampung besar (belakangan orang menyebut Gam Lamo dengan Gamalama). Semakin besar

dan populernya Kota Ternate, sehingga kemudian orang lebih suka mengatakan kerajaan Ternate

daripada kerajaan Gapi. Di bawah pimpinan beberapa generasi penguasa berikutnya, Ternate berkembang

dari sebuah kerajaan yang hanya berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh

dan terbesar di bagian timur Indonesia khususnya Maluku.

Organisasi kerajaan

Di masa – masa awal suku Ternate dipimpin oleh para momole. Setelah membentuk kerajaan jabatan

pimpinan dipegang seorang raja yang disebutKolano. Mulai pertengahan abad ke-15, Islam diadopsi

secara total oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam diberlakukan. Sultan Zainal Abidin meninggalkan

gelar Kolano dan menggantinya dengan gelar Sultan. Para ulama menjadi figur penting dalam kerajaan.

Setelah Sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan Jogugu (perdana menteri) dan Fala Raha sebagai

para penasihat. Fala Raha atau Empat Rumah adalah empat klan bangsawan yang menjadi tulang

punggung kesultanan sebagai representasi para momole pada masa lalu, masing – masing dikepalai

seorang Kimalaha. Mereka antara lain ; Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan Tamadi. Pejabat – pejabat

tinggi kesultanan umumnya berasal dari klan – klan ini. Bila seorang sultan tak memiliki pewaris maka

penerusnya dipilih dari salah satu klan. Selanjutnya ada jabatan – jabatan lain Bobato Nyagimoi se

Tufkange (Dewan 18), Sabua Raha, Kapita Lau, Salahakan, Sangaji dll. Untuk lebih jelasnya

lihat Struktur organisasi kesultanan Ternate.

Moloku Kie Raha

Selain Ternate, di Maluku juga terdapat paling tidak 5 kerajaan lain yang memiliki pengaruh. Tidore, Jailolo,

Bacan, Obi dan Loloda. Kerajaan – kerajaan ini merupakan saingan Ternate memperebutkan hegemoni di

Maluku. Berkat perdagangan rempah Ternate menikmati pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, dan

untuk memperkuat hegemoninya di Maluku, Ternate mulai melakukan ekspansi. Hal ini menimbulkan

antipati dan memperbesar kecemburuan kerajaan lain di Maluku, mereka memandang Ternate sebagai

musuh bersama hingga memicu terjadinya perang. Demi menghentikan konflik yang berlarut – larut, raja

Ternate ke-7 Kolano Cili Aiya atau disebut juga Kolano Sida Arif Malamo (1322-1331) mengundang raja –

raja Maluku yang lain untuk berdamai dan bermusyawarah membentuk persekutuan. Persekutuan ini

kemudian dikenal sebagai Persekutan Moti atau Motir Verbond. Butir penting dari pertemuan ini selain

terjalinnya persekutuan adalah penyeragaman bentuk kelembagaan kerajaan di Maluku. Oleh karena

Page 7: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

pertemuan ini dihadiri 4 raja Maluku yang terkuat maka disebut juga sebagai persekutuan Moloku Kie

Raha (Empat Gunung Maluku).

Kedatangan Islam

Tak ada sumber yang jelas mengenai kapan awal kedatangan Islam di Maluku khususnya Ternate. Namun

diperkirakan sejak awal berdirinya kerajaan Ternate masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat

banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah

menggunakan nama bernuansa Islam namun kepastian mereka maupun keluarga kerajaan memeluk Islam

masih diperdebatkan. Hanya dapat dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate resmi memeluk Islam

pertengahan abad ke-15.

Kolano Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama yang diketahui memeluk Islam

bersama seluruh kerabat dan pejabat istana. Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya, Zainal

Abidin (1486-1500). Beberapa langkah yang diambil Sultan Zainal Abidin adalah meninggalkan gelar

Kolano dan menggantinya dengan Sultan, Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam

diberlakukan, membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama.

Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku secara total, hampir tanpa perubahan. Ia

juga mendirikan madrasah yang pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran

Islam dengan berguru pada Sunan Giri di pulau Jawa, disana beliau dikenal sebagai "Sultan Bualawa"

(Sultan Cengkih).

Kedatangan Portugal dan perang saudara

Di masa pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1521), Ternate semakin berkembang, rakyatnya

diwajibkan berpakaian secara islami, teknik pembuatan perahu dan senjata yang diperoleh dari orang Arab

dan Turki digunakan untuk memperkuat pasukan Ternate. Di masa ini pula datang orang Eropa pertama di

Maluku, Loedwijk de Bartomo (Ludovico Varthema) tahun 1506. Tahun 1512 Portugal untuk pertama

kalinya menginjakkan kaki di Ternate dibawah pimpinan Fransisco Serrao, atas persetujuan Sultan,

Portugal diizinkan mendirikan pos dagang di Ternate. Portugal datang bukan semata – mata untuk

berdagang melainkan untuk menguasai perdagangan rempah – rempah Pala dan Cengkih di Maluku.

Untuk itu terlebih dulu mereka harus menaklukkan Ternate. Sultan Bayanullah wafat meninggalkan pewaris

- pewaris yang masih sangat belia. Janda sultan, permaisuri Nukila dan Pangeran Taruwese, adik

almarhum sultan bertindak sebagai wali. Permaisuri Nukila yang asal Tidore bermaksud menyatukan

Ternate dan Tidore dibawah satu mahkota yakni salah satu dari kedua puteranya, pangeran Hidayat

(kelak Sultan Dayalu) dan pangeran Abu Hayat (kelak Sultan Abu Hayat II). Sementara pangeran

Tarruwese menginginkan tahta bagi dirinya sendiri. Portugal memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu

domba keduanya hingga pecah perang saudara. Kubu permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan

pangeran Taruwese didukung Portugal. Setelah meraih kemenangan pangeran Taruwese justru dikhianati

dan dibunuh Portugal. Gubernur Portugal bertindak sebagai penasihat kerajaan dan dengan pengaruh

yang dimiliki berhasil membujuk dewan kerajaan untuk mengangkat pangeran Tabariji sebagai sultan.

Page 8: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

Tetapi ketika Sultan Tabariji mulai menunjukkan sikap bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke Goa – India.

Disana ia dipaksa Portugal untuk menandatangani perjanjian menjadikan Ternate sebagai kerajaan Kristen

dan vasal kerajaan Portugal, namun perjanjian itu ditolak mentah-mentah Sultan Khairun (1534-1570).

Pengusiran Portugal

Perlakuan Portugal terhadap saudara – saudaranya membuat Sultan Khairun geram dan bertekad

mengusir Portugal dari Maluku. Tindak – tanduk bangsa barat yang satu ini juga menimbulkan kemarahan

rakyat yang akhirnya berdiri di belakang sultan Khairun. Sejak masa sultan Bayanullah, Ternate telah

menjadi salah satu dari tiga kesultanan terkuat dan pusat Islam utama di Nusantara abad ke-16 selain

Aceh dan Demak setelah kejatuhan kesultanan Malaka tahun 1511. Ketiganya membentuk Aliansi

Tiga untuk membendung sepak terjang Portugal di Nusantara.

Tak ingin menjadi Malaka kedua, sultan Khairun mengobarkan perang pengusiran Portugal. Kedudukan

Portugal kala itu sudah sangat kuat, selain memiliki benteng dan kantong kekuatan di seluruh Maluku

mereka juga memiliki sekutu – sekutu suku pribumi yang bisa dikerahkan untuk menghadang Ternate.

Dengan adanya Aceh dan Demak yang terus mengancam kedudukan Portugal di Malaka, Portugal di

Maluku kesulitan mendapat bala bantuan hingga terpaksa memohon damai kepada sultan Khairun. Secara

licik Gubernur Portugal, Lopez de Mesquita mengundang Sultan Khairun ke meja perundingan dan

akhirnya dengan kejam membunuh Sultan yang datang tanpa pengawalnya. Pembunuhan Sultan Khairun

semakin mendorong rakyat Ternate untuk menyingkirkan Portugal, bahkan seluruh Maluku kini mendukung

kepemimpinan dan perjuangan Sultan Baabullah (1570-1583), pos-pos Portugal di seluruh Maluku dan

wilayah timur Indonesia digempur, setelah peperangan selama 5 tahun, akhirnya Portugal meninggalkan

Maluku untuk selamanya tahun 1575. Kemenangan rakyat Ternate ini merupakan kemenangan pertama

putera-putera nusantara atas kekuatan barat. Dibawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate mencapai

puncak kejayaan, wilayah membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di bagian barat hingga kepulauan

Marshall dibagian timur, dari Philipina (Selatan) dibagian utara hingga kepulauan Nusa Tenggara dibagian

selatan. Sultan Baabullah dijuluki “penguasa 72 pulau” yang semuanya berpenghuni (sejarawan Belanda,

Valentijn menuturkan secara rinci nama-nama ke-72 pulau tersebut) hingga menjadikan kesultanan

Ternate sebagai kerajaan islam terbesar di Indonesia timur, disamping Aceh dan Demak yang menguasai

wilayah barat dan tengah nusantara kala itu. Periode keemasaan tiga kesultanan ini selama abad 14 dan

15 entah sengaja atau tidak dikesampingkan dalam sejarah bangsa ini padahal mereka adalah pilar

pertama yang membendung kolonialisme barat.

Kedatangan Belanda

Sepeninggal Sultan Baabullah Ternate mulai melemah, Spanyol yang telah bersatu dengan Portugal tahun

1580 mencoba menguasai kembali Maluku dengan menyerang Ternate. Dengan kekuatan baru Spanyol

memperkuat kedudukannya di Filipina, Ternate pun menjalin aliansi dengan Mindanao untuk menghalau

Spanyol namun gagal bahkan sultan Said Barakati berhasil ditawan Spanyol dan dibuang ke Manila.

Kekalahan demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate meminta bantuan Belanda tahun 1603.

Page 9: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

Ternate akhirnya sukses menahan Spanyol namun dengan imbalan yang amat mahal. Belanda akhirnya

secara perlahan-lahan menguasai Ternate, tanggal 26 Juni 1607 Sultan Ternate menandatangani kontrak

monopoli VOC di Maluku sebagai imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol. Pada tahun 1607 pula

Belanda membangun benteng Oranje di Ternate yang merupakan benteng pertama mereka di nusantara.

Sejak awal hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang antara Belanda dan Ternate menimbulkan

ketidakpuasan para penguasa dan bangsawan Ternate. Diantaranya adalah pangeran Hidayat (15?? -

1624), Raja muda Ambon yang juga merupakan mantan wali raja Ternate ini memimpin oposisi yang

menentang kedudukan sultan dan Belanda. Ia mengabaikan perjanjian monopoli dagang Belanda dengan

menjual rempah – rempah kepada pedagang Jawa dan Makassar.

Perlawanan rakyat Maluku dan kejatuhan Ternate

Semakin lama cengkeraman dan pengaruh Belanda pada sultan – sultan Ternate semakin kuat, Belanda

dengan leluasa mengeluarkan peraturan yang merugikan rakyat lewat perintah sultan, sikap Belanda yang

kurang ajar dan sikap sultan yang cenderung manut menimbulkan kekecewaan semua kalangan.

Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada 4 pemberontakan yang dikobarkan bangsawan Ternate dan rakyat

Maluku.

Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga rempah yang merosot Belanda

memutuskan melakukan penebangan besar – besaran pohon cengkeh dan pala di seluruh Maluku

atau yang lebih dikenal sebagai Hongi Tochten, akibatnya rakyat mengobarkan perlawanan. Tahun

1641, dipimpin oleh raja muda Ambon Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan gabungan Ternate –

Hitu – Makassar menggempur berbagai kedudukan Belanda di Maluku Tengah. Salahakan Luhu

kemudian berhasil ditangkap dan dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya tanggal 16 Juni 1643.

Perjuangan lalu dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, kapita Hitu Kakiali dan Tolukabessi hingga 1646.

Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate dan Ambon,

pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah (1648-1650,1655-1675) yang terlampau akrab dan

dianggap cenderung menuruti kemauan Belanda. Para bangsawan berkomplot untuk menurunkan

Mandarsyah. Tiga di antara pemberontak yang utama adalah trio pangeran Saidi,

Majiradan Kalamata. Pangeran Saidi adalah seorang Kapita Laut atau panglima tertinggi pasukan

Ternate, pangeran Majira adalah raja muda Ambon sementara pangeran Kalamata adalah adik sultan

Mandarsyah. Saidi dan Majira memimpin pemberontakan di Maluku tengah sementara pangeran

Kalamata bergabung dengan raja Gowa sultan Hasanuddin di Makassar. Mereka bahkan sempat

berhasil menurunkan sultan Mandarsyah dari tahta dan mengangkat Sultan Manilha (1650–1655)

namun berkat bantuan Belanda kedudukan Mandarsyah kembali dipulihkan. Setelah 5 tahun

pemberontakan Saidi cs berhasil dipadamkan. Pangeran Saidi disiksa secara kejam hingga mati

sementara pangeran Majira dan Kalamata menerima pengampunan Sultan dan hidup dalam

pengasingan.

Page 10: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

Sultan Muhammad Nurul Islam atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Sibori (1675 – 1691)

merasa gerah dengan tindak – tanduk Belanda yang semena - mena. Ia kemudian menjalin

persekutuan dengan Datuk Abdulrahman penguasa Mindanao, namun upayanya untuk menggalang

kekuatan kurang maksimal karena daerah – daerah strategis yang bisa diandalkan untuk basis

perlawanan terlanjur jatuh ke tangan Belanda oleh berbagai perjanjian yang dibuat para

pendahulunya. Ia kalah dan terpaksa menyingkir ke Jailolo. Tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa

menandatangani perjanjian yang intinya menjadikan Ternate sebagai kerajaan dependen Belanda.

Perjanjian ini mengakhiri masa Ternate sebagai negara berdaulat.

Meski telah kehilangan kekuasaan mereka beberapa Sultan Ternate berikutnya tetap berjuang

mengeluarkan Ternate dari cengkeraman Belanda. Dengan kemampuan yang terbatas karena selalu

diawasi mereka hanya mampu menyokong perjuangan rakyatnya secara diam – diam. Yang terakhir tahun

1914 Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1896-1927) menggerakkan perlawanan rakyat di wilayah –

wilayah kekuasaannya, bermula di wilayah Banggai dibawah pimpinan Hairuddin Tomagola namun gagal.

Di Jailolo rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah pimpinan Kapita Banau berhasil menimbulkan

kerugian di pihak Belanda, banyak prajurit Belanda yang tewas termasuk Coentroleur Belanda Agerbeek,

markas mereka diobrak – abrik. Akan tetapi karena keunggulan militer serta persenjataan yang lebih

lengkap dimiliki Belanda perlawanan tersebut berhasil dipatahkan, kapita Banau ditangkap dan dijatuhi

hukuman gantung. Sultan Haji Muhammad Usman Syah terbukti terlibat dalam pemberontakan ini oleh

karenanya berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda, tanggal 23 September 1915 no. 47, sultan

Haji Muhammad Usman Syah dicopot dari jabatan sultan dan seluruh hartanya disita, beliau dibuang ke

Bandung tahun 1915 dan meninggal disana tahun 1927. Pasca penurunan sultan Haji Muhammad Usman

Syah jabatan sultan sempat lowong selama 14 tahun dan pemerintahan adat dijalankan oleh Jogugu serta

dewan kesultanan. Sempat muncul keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus kesultanan

Ternate namun niat itu urung dilaksanakan karena khawatir akan reaksi keras yang bisa memicu

pemberontakan baru sementara Ternate berada jauh dari pusat pemerintahan Belanda di Batavia.

Dalam usianya yang kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan Ternate masih tetap bertahan meskipun

hanya sebatas simbol budaya. Jabatan sultan sebagai pemimpin Ternate ke-49 kini dipegang oleh

sultan Drs. H. Mudaffar Sjah, BcHk. (Mudaffar II) yang dinobatkan tahun 1986.

Warisan Ternate

Imperium nusantara timur yang dipimpin Ternate memang telah runtuh sejak pertengahan abad ke-17

namun pengaruh Ternate sebagai kerajaan dengan sejarah yang panjang masih terus terasa hingga

berabad kemudian. Ternate memiliki andil yang sangat besar dalam kebudayaan nusantara bagian timur

khususnya Sulawesi (utara dan pesisir timur) dan Maluku. Pengaruh itu mencakup agama, adat istiadat

dan bahasa.

Sebagai kerajaan pertama yang memeluk Islam Ternate memiliki peran yang besar dalam upaya

pengislaman dan pengenalan syariat-syariat Islam di wilayah timur nusantara dan bagian selatan Filipina.

Page 11: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

Bentuk organisasi kesultanan serta penerapan syariat Islam yang diperkenalkan pertama kali oleh sultan

Zainal Abidin menjadi standar yang diikuti semua kerajaan di Maluku hampir tanpa perubahan yang berarti.

Keberhasilan rakyat Ternate dibawah sultan Baabullah dalam mengusir Portugal tahun 1575 merupakan

kemenangan pertama pribumi nusantara atas kekuatan barat, oleh karenanya almarhum Buya

Hamka bahkan memuji kemenangan rakyat Ternate ini telah menunda penjajahan barat atas bumi

nusantara selama 100 tahun sekaligus memperkokoh kedudukan Islam, dan sekiranya rakyat Ternate

gagal niscaya wilayah timur Indonesia akan menjadi pusat kristen seperti halnya Filipina.

Kedudukan Ternate sebagai kerajaan yang berpengaruh turut pula mengangkat derajat Bahasa Ternate

sebagai bahasa pergaulan di berbagai wilayah yang berada dibawah pengaruhnya. Prof E.K.W.

Masinambow dalam tulisannya; “Bahasa Ternate dalam konteks bahasa - bahasa Austronesia dan Non

Austronesia” mengemukakan bahwa bahasa Ternate memiliki dampak terbesar terhadap bahasa Melayu

yang digunakan masyarakat timur Indonesia. Sebanyak 46% kosakata bahasa Melayu di Manado diambil

dari bahasa Ternate. Bahasa Melayu – Ternate ini kini digunakan luas di Indonesia Timur terutama

Sulawesi Utara, pesisir timur Sulawesi Tengah dan Selatan, Maluku dan Papua dengan dialek yang

berbeda – beda.[1] Dua naskah surat sultan Ternate Abu Hayat II kepada Raja Portugal tanggal 27 April

dan 8 November 1521 diakui sebagai naskah Melayu tertua di dunia setelah naskah Melayu Tanjung

Tanah. Kedua surat Sultan Abu Hayat tersebut saat ini masih tersimpan di museum Lisabon – Portugal.[2][3]

[4]

Daftar Sultan Ternate

Kolano dan Sultan Ternate Masa jabatan[5][6][7][8][9]

Baab Mashur Malamo 1257 - 1277

Jamin Qadrat 1277 - 1284

Komala Abu Said 1284 - 1298

Bakuku (Kalabata) 1298 - 1304

Ngara Malamo (Komala) 1304 - 1317

Patsaranga Malamo 1317 - 1322

Cili Aiya (Sidang Arif Malamo) 1322 - 1331

Page 12: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

Panji Malamo 1331 - 1332

Syah Alam 1332 - 1343

Tulu Malamo 1343 - 1347

Kie Mabiji (Abu Hayat I) 1347 - 1350

Ngolo Macahaya 1350 - 1357

Momole 1357 - 1359

Gapi Malamo I 1359 - 1372

Gapi Baguna I 1372 - 1377

Komala Pulu 1377 - 1432

Marhum (Gapi Baguna II) 1432 - 1486

Zainal Abidin 1486 - 1500

Bayanullah 1500 - 1522

Hidayatullah 1522 - 1529

Abu Hayat II 1529 - 1533

Tabariji 1533 - 1534

Khairun Jamil 1535 - 1570

Babullah Datu syah 1570 - 1583

Page 13: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

Said Barakat syah 1583 - 1606

Mudaffar Syah I 1607 - 1627

Hamzah 1627 - 1648

Mandarsyah 1648 - 1650 (masa pertama)

Manila 1650 - 1655

Mandarsyah 1655 - 1675 (masa kedua)

Sibori 1675 - 1689

Said Fatahullah 1689 - 1714

Amir Iskandar Zulkarnain Syaifuddin 1714 - 1751

Ayan Syah 1751 - 1754

Syah Mardan 1755 - 1763

Jalaluddin 1763 - 1774

Harunsyah 1774 - 1781

Achral 1781 - 1796

Muhammad Yasin 1796 - 1801

Muhammad Ali 1807 - 1821

Page 14: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

Muhammad Sarmoli 1821 - 1823

Muhammad Zain 1823 - 1859

Muhammad Arsyad 1859 - 1876

Ayanhar 1879 - 1900

Muhammad Ilham (Kolano Ara Rimoi)

1900 - 1902

Haji Muhammad Usman syah 1902 - 1915

Iskandar Muhammad Jabir syah 1929 - 1975

Drs. Haji Mudaffar Syah (Mudaffar II) 1975 – sekarang

Kerajaan PagaruyungDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

"Pagaruyung" beralih ke halaman ini. Untuk nagari dengan nama yang sama, lihat Pagaruyung,

Tanjung Emas, Tanah Datar.

Kerajaan Pagaruyung adalah sebuah Kerajaan Melayu yang pernah berdiri, meliputi

provinsi Sumatera Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Nama kerajaan ini dirujuk

dari Tambo yang ada pada masyarakat Minangkabau, yaitu nama sebuah nagari yang

bernamaPagaruyung,[1] dan juga dapat dirujuk dari inskripsi cap mohor Sultan Tangkal Alam Bagagar

dari Pagaruyung,[1] yaitu pada tulisan beraksaraJawi dalam lingkaran bagian dalam yang berbunyi

sebagai berikut: Sultan Tangkal Alam Bagagar ibnu Sultan Khalīfatullāh yang mempunyai tahta

kerajaan dalam negeri Pagaruyung Dārul Qarār Johan Berdaulat Zillullāh fīl 'Ālam.[2] Kerajaan ini

runtuh pada masa Perang Padri, setelah ditandatanganinya perjanjian antara Kaum Adat dengan

pihak Belanda yang menjadikan kawasan Kerajaan Pagaruyung berada dalam pengawasan Belanda.

[3]

Page 15: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

Sebelumnya kerajaan ini tergabung dalam Malayapura,[4] sebuah kerajaan yang pada Prasasti

Amoghapasa disebutkan dipimpin olehAdityawarman, yang mengukuhkan dirinya sebagai

penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi. Termasuk pula di dalam Malayapura adalah

kerajaan Dharmasraya dan beberapa kerajaan atau daerah taklukan Adityawarman lainnya.[5]

Sejarah

Berdirinya Pagaruyung

Arca Bhairawa di Museum Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui dengan pasti,

dari Tambo yang diterima oleh masyarakatMinangkabau tidak ada yang memberikan penanggalan

dari setiap peristiwa-peristiwa yang diceritakan, bahkan jika menganggapAdityawarman sebagai

pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tidak jelas menyebutkannya. Namun dari beberapa

prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah

menjadi raja di negeri tersebut, tepatnya menjadi Tuhan Surawasa, sebagaimana penafsiran

dari Prasasti Batusangkar.

Dari manuskrip yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian belakang Arca

Amoghapasa [6]  disebutkan pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja

di Malayapura, Adityawarman merupakan putra dari Adwayawarman seperti yang terpahat

pada Prasasti Kuburajo dan anak dari Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya seperti yang

disebut dalam Pararaton. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang

Page 16: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

menaklukkan Bali dan Palembang,[7] pada masa pemerintahannya kemungkinan Adityawarman

memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau.

Dari prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman menyelesaikan

pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan

padi[8] yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yang menjadi raja

sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan adat Minangkabau, pewarisan

dari mamak (paman) kepada kamanakan (kemenakan) telah terjadi pada masa tersebut.[9] Sementara

pada sisi lain dari saluran irigasi tersebut terdapat juga sebuah prasasti yang

beraksara Nagariatau Tamil, sehingga dapat menunjukan adanya sekelompok masyarakat dari

selatan India dalam jumlah yang signifikan pada kawasan tersebut.[8]

Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, dan

bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit.[10] Namun dari prasasti-prasasti yang

ditinggalkan oleh raja ini belum ada satu pun yang menyebut sesuatu hal yang berkaitan

dengan bhumi jawa dan kemudian dari berita Cina diketahui Adityawarman pernah mengirimkan

utusan ke Cina sebanyak 6 kali selama rentang waktu 1371 sampai 1377.[9]

Setelah meninggalnya Adityawarman, kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk

menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409.[10] Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran

dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan

demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut

tentara Jawa berhasil dikalahkan.

Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah memiliki sistem

politik semacam konfederasi, yang merupakan lembaga musyawarah dari berbagai Nagari dan Luhak.

Dilihat dari kontinuitas sejarah, kerajaan Pagaruyung merupakan semacam perubahan sistem

administrasi semata bagi masyarakat setempat (Suku Minang).

Pengaruh Hindu-Budha

Page 17: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

Prasasti Adityawarman

Pengaruh Hindu-Budha di Sumatera bagian tengah telah muncul kira-kira pada abad ke-13,[11] yaitu

dimulai pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanagara, dan kemudian pada masa

pemerintahan Adityawarman dan putranya Ananggawarman. Kekuasaan dari Adityawarman

diperkirakan cukup kuat mendominasi wilayah Sumatera bagian tengah dan sekitarnya.[5] Hal ini dapat

dibuktikan dengan gelar Maharajadiraja yang disandang oleh Adityawarman seperti yang terpahat

pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, yang ditemukan di hulu sungaiBatang Hari (sekarang

termasuk kawasan Kabupaten Dharmasraya).

Dari prasasti Batusangkar disebutkan Ananggawarman sebagai yuvaraja melakukan ritual ajaran

Tantris dari agama Buddha yang disebut hevajra yaitu upacara peralihan kekuasaan dari

Adityawarman kepada putra mahkotanya, hal ini dapat dikaitkan dengan kronik Tiongkok tahun 1377

tentang adanya utusan San-fo-ts'i kepada Kaisar Cina yang meminta permohonan pengakuan sebagai

penguasa pada kawasan San-fo-ts'i.[12]

Beberapa kawasan pedalaman Sumatera tengah sampai sekarang masih dijumpai pengaruhi agama

Buddha antara lain kawasan percandian Padangroco, kawasan percandian Padanglawas dan

kawasan percandian Muara Takus. Kemungkinan kawasan tersebut termasuk kawasan taklukan

Adityawarman.[10] Sedangkan tercatat penganut taat ajaran ini selain Adityawarman pada masa

sebelumnnya adalah Kubilai Khan dari Mongol dan raja Kertanegara dariSinghasari.[13]

Pengaruh Islam

Perkembangan agama Islam setelah akhir abad ke-14 sedikit banyaknya memberi pengaruh terutama

yang berkaitan dengan sistem patrialineal, dan memberikan fenomena yang relatif baru pada

masyarakat di pedalaman Minangkabau. Pada awal abad ke-16, Suma Oriental yang ditulis antara

tahun 1513 dan 1515, mencatat dari ketiga raja Minangkabau, hanya satu yang telah

menjadi muslim sejak 15 tahun sebelumnya.[14]

Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir dan

guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang

terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah

ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17,

Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam

tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.[15]

Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam

mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah

adat Minangkabau yang terkenal: "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang artinya adat

Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-Qur'an.

Namun dalam beberapa hal masih ada beberapa sistem dan cara-cara adat masih dipertahankan dan

Page 18: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

inilah yang mendorong pecahnya perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Padri yang pada

awalnya antara Kaum Padri (ulama) dengan Kaum Adat, sebelum Belanda melibatkan diri dalam

peperangan ini.[16]

Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung dengan

ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang berhubungan

dengan Islam. Penamaan negari Sumpur Kudus yang mengandung kata kudus yang berasal dari

kata Quduus (suci) sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat dan Limo Kaum yang mengandung

kata qaum jelas merupakan pengaruh dari bahasa Arab atau Islam. Selain itu dalam

perangkat adat juga muncul istilah Imam, Katik (Khatib), Bila (Bilal), Malin (Mu'alim) yang merupakan

pengganti dari istilah-istilah yang berbau Hindu danBuddha yang dipakai sebelumnya misalnya

istilah Pandito (pendeta).

Hubungan dengan Belanda dan Inggris

"Terdapat keselarasan yang mengagumkan dalam corak penulisan, bukan saja dalam

bukuprosa dan puisi, tetapi juga dalam perutusan surat, dan pengalaman saya sendiri telah membuktikan

kepada saya bahwa tidak ada masalah dalam menterjemahkan surat dari pada raja-raja dari

kepulauan Maluku, maupun menterjemahkan surat dari pada raja Kedahdan Terengganu di Semenanjung

Malaya atau dari Minangkabau di Sumatera".

— Pendapat dari William Marsden.

Pada awal abad ke-17, kerajaan ini terpaksa harus mengakui kedaulatan Kesultanan Aceh,[17] dan

mengakui para gubernur Aceh yang ditunjuk untuk daerah pesisir pantai barat Sumatera. Namun

sekitar tahun 1665, masyarakat Minang di pesisir pantai barat bangkit dan memberontak terhadap

gubernur Aceh. Dari surat penguasa Minangkabau yang menyebut dirinya Raja

Pagaruyungmengajukan permohonan kepada VOC, dan VOC waktu itu mengambil kesempatan

sekaligus untuk menghentikan monopoli Aceh atas emas dan lada.[18] Selanjutnya VOC melalui

seorang regentnya di Padang, Jacob Pits yang daerah kekuasaannya meliputi dari Kotawan di selatan

sampai ke Barus di utara Padang mengirimkan surat tanggal 9 Oktober 1668 ditujukan kepada Sultan

Ahmadsyah, Iskandar Zur-Karnain, Penguasa Minangkabau yang kaya akan emas serta

memberitahukan bahwa VOC telah menguasai kawasan pantai pesisir barat sehingga perdagangan

emas dapat dialirkan kembali pada pesisir pantai.[19] Menurut catatan Belanda, Sultan Ahmadsyah

meninggal dunia tahun 1674[20] dan digantikan oleh anaknya yang bernama Sultan Indermasyah.[21]

Ketika VOC berhasil mengusir Kesultanan Aceh dari pesisir Sumatera Barat tahun 1666,

[1] melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan antara daerah-daerah rantau dan pesisir

dengan pusat Kerajaan Pagaruyung menjadi erat kembali. Saat itu Pagaruyung merupakan salah satu

pusat perdagangan di pulau Sumatera, disebabkan adanya produksi emas di sana. Demikianlah hal

tersebut menarik perhatian Belanda dan Inggris untuk menjalin hubungan dengan Pagaruyung.

Page 19: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

Terdapat catatan bahwa tahun 1684, seorang Portugis bernama Tomas Dias melakukan kunjungan ke

Pagaruyung atas perintah gubernur jenderal Belanda di Malaka.[22]

Sekitar tahun 1750 kerajaan Pagaruyung mulai tidak menyukai keberadaan VOC di Padang dan

pernah berusaha membujuk Inggris yang berada di Bengkulu, bersekutu untuk mengusir Belanda

walaupun tidak ditanggapi oleh pihak Inggris.[23] Namun pada tahun 1781 Inggris berhasil menguasai

Padang untuk sementara waktu,[24] dan waktu itu datang utusan dari Pagaruyung memberikan ucapan

selamat atas keberhasilan Inggris mengusir Belanda dari Padang.[25] Menurut Marsden tanah

Minangkabau sejak lama dianggap terkaya dengan emas, dan waktu itu kekuasaan raja Minangkabau

disebutnya sudah terbagi atas raja Suruaso dan raja Sungai Tarab dengan kekuasaan yang sama.

[25] Sebelumnya pada tahun 1732, regent VOC di Padang telah mencatat bahwa ada

seorang ratu bernama Yang Dipertuan Puti Jamilan telah mengirimkan tombak dan pedang berbahan

emas, sebagai tanda pengukuhan dirinya sebagai penguasa bumi emas.[26] Walaupun kemudian

setelah pihak Belanda maupun Inggris berhasil mencapai kawasan pedalaman Minangkabau, namun

mereka belum pernah menemukan cadangan emas yang signifikan dari kawasan tersebut.[27]

Sebagai akibat konflik antara Inggris dan Perancis dalam Perang Napoleon di mana Belanda ada di

pihak Perancis, maka Inggris memerangi Belanda dan kembali berhasil menguasai pantai barat

Sumatera Barat antara tahun 1795 sampai dengan tahun 1819. Thomas Stamford

Raffles mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, yang sudah mulai dilanda peperangan antara

kaum Padri dan kaum Adat. Saat itu Raffles menemukan bahwa ibu kota kerajaan mengalami

pembakaran akibat peperangan yang terjadi.[28] Setelah terjadi perdamaian antara Inggris dan Belanda

pada tahun 1814, maka Belanda kembali memasuki Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda

memastikan kembali pengaruhnya di pulau Sumatera dan Pagaruyung, dengan ditanda-

tanganinya Traktat London pada tahun 1824 dengan Inggris.

Runtuhnya Pagaruyung

"Dari reruntuhan kota (Pagaruyung) ini menjadi bukti bahwa di sini pernah berdiri sebuah peradaban

Melayu yang luar biasa, menyaingi Jawa, situs dari banyak bangunan kini tidak ada lagi, hancur karena

perang yang masih berlangsung".

— Pendapat dari Thomas Stamford Raffles.

Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang perang Padri, meskipun

raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh,

sedangkanInderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih

tunduk pada raja Pagaruyung.

Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara Kaum Padri dan Kaum Adat. Dalam beberapa

perundingan tidak ada kata sepakat antara mereka. Seiring itu dibeberapa negeri dalam kerajaan

Pagaruyung bergejolak, dan puncaknya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang

Page 20: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

Pagaruyung pada tahun 1815. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari

ibu kota kerajaan ke Lubuk Jambi.[29][30]

Karena terdesak oleh Kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta bantuan kepada Belanda,

dan sebelumnya mereka telah melakukan diplomasi dengan Inggris sewaktu Raffles mengunjungi

Pagaruyung serta menjanjikan bantuan kepada mereka.[1] Pada tanggal 10 Februari 1821 [3]  Sultan

Tangkal Alam Bagagarsyah, yaitu kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah yang berada di Padang,

[20] beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk

bekerjasama dalam melawan Kaum Padri. Walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu

itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung.

[1] Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan kerajaan Pagaruyung

kepada pemerintah Belanda.[16] Kemudian setelah Belanda berhasil merebut Pagaruyung dari Kaum

Padri, pada tahun 1824 atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja

Alam Muningsyah kembali ke Pagaruyung, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah, raja

terakhir di Minangkabau ini, wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.[20]

Pasukan Belanda dan Padri saling berhadapan di medan perang. Lukisan sekitar tahun 1900.

Sementara Sultan Tangkal Alam Bagagarsyah pada sisi lain ingin diakui sebagai Raja Pagaruyung,

namun pemerintah Hindia-Belanda dari awal telah membatasi kewenangannya dan hanya

mengangkatnya sebagai Regent Tanah Datar.[20] Kemungkinan karena kebijakan tersebut

menimbulkan dorongan pada Sultan Tangkal Alam Bagagar untuk mulai memikirkan bagaimana

mengusir Belanda dari negerinya.[1]

Setelah menyelesaikan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda kemudian berusaha menaklukkan Kaum

Padri dengan kiriman tentara dari Jawa,Madura, Bugis dan Ambon.[31] Namun ambisi kolonial Belanda

tampaknya membuat kaum adat dan Kaum Padri berusaha melupakan perbedaan mereka dan

bersekutu secara rahasia untuk mengusir Belanda. Pada tanggal 2 Mei 1833 Sultan Tangkal Alam

Bagagar ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Ia dibuang

ke Batavia (Jakarta sekarang) sampai akhir hayatnya, dan dimakamkan di pekuburan Mangga Dua.[32]

Setelah kejatuhannya, pengaruh dan prestise kerajaan Pagaruyung tetap tinggi terutama pada

kalangan masyarakat Minangkabau yang berada di rantau. Salah satu ahli waris kerajaan Pagaruyung

diundang untuk menjadi penguasa di Kuantan.[33] Begitu juga sewaktu Raffles masih bertugas di

Page 21: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

Semenanjung Malaya, dia berjumpa dengan kerabat Pagaruyung yang berada di Negeri Sembilan,

dan Raffles bermaksud mengangkat Yang Dipertuan Ali Alamsyah yang dianggapnya masih keturunan

langsung raja Minangkabau sebagai raja di bawah perlindungan Inggris.[1] Sementara setelah

berakhirnya Perang Padri, Tuan Gadang di Batipuh meminta pemerintah Hindia-Belanda untuk

memberikan kedudukan yang lebih tinggi dari pada sekadar Regent Tanah Datar yang dipegangnya

setelah menggantikan Sultan Tangkal Alam Bagagar, namun permintaan ini ditolak oleh Belanda,

[34] hal ini nantinya termasuk salah satu pendorong pecahnya pemberontakan tahun

1841 di Batipuh selain masalah cultuurstelsel.[20]

Wilayah kekuasaan

Menurut Tomé Pires dalam Suma Oriental,[14] tanah Minangkabau selain dataran tinggi pedalaman

Sumatera tempat dimana rajanya tinggal, juga termasuk wilayah pantai timur Arcat (antara Aru dan

Rokan) ke Jambi dan kota-kota pelabuhan pantai barat Panchur (Barus), Tiku dan Pariaman. Dari

catatan tersebut juga dinyatakan tanah Indragiri, Siak dan Arcat merupakan bagian dari tanah

Minangkabau, dengan Teluk Kuantan sebagai pelabuhan utama raja Minangkabau tersebut. Namun

belakangan daerah-daerah rantau seperti Siak, Kampar dan Indragiri kemudian lepas dan ditaklukkan

oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh.[35]

Wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung adalah wilayah tempat hidup, tumbuh, dan

berkembangnya kebudayaan Minangkabau. Wilayah ini dapat dilacak dari

pernyataan Tambo (legenda adat) berbahasa Minang ini: [36]

Dari Sikilang Aia Bangih

Hingga Taratak Aia Hitam

Dari Durian Ditakuak Rajo

Hingga Sialang Balantak Basi

Sikilang Aia Bangih adalah batas utara, sekarang di daerah Pasaman Barat,

berbatasan dengan Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam adalah

daerah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo adalah wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi.

Yang terakhir, Sialang Balantak Basi adalah wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten

Kampar, Riau sekarang. Secara lengkapnya, di dalam tambo dinyatakan

bahwa Alam Minangkabau (wilayah Kerajaan Pagaruyung) adalah sebagai berikut:

Nan salilik Gunuang Marapi

Saedaran Gunuang Pasaman

Sajajaran Sago jo Singgalang

Saputaran Talang jo Kurinci

Dari Sirangkak nan Badangkang

Hinggo Buayo Putiah Daguak

Page 22: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

Sampai ka Pintu Rajo Hilia

Hinggo Durian Ditakuak Rajo

Sipisau-pisau Hanyuik

Sialang Balantak Basi

Hinggo Aia Babaliak Mudiak

Sailiran Batang Bangkaweh

Sampai ka ombak nan badabua

Sailiran Batang Sikilang

Hinggo lauik nan sadidieh

Ka timua Ranah Aia Bangih

Rao jo Mapat Tunggua

Gunuang Mahalintang

Pasisia Banda Sapuluah

Taratak Aia Hitam

Sampai ka Tanjuang Simalidu

Pucuak Jambi Sambilan Lurah

Sistem pemerintahan

Aparat pemerintahan

Adityawarman pada awalnya menyusun sistem pemerintahannya mirip dengan

sistem pemerintahan yang ada di Majapahit [15]  masa itu, meskipun kemudian

menyesuaikannya dengan karakter dan struktur kekuasaan kerajaan sebelumnya

(Dharmasraya dan Sriwijaya) yang pernah ada pada masyarakat setempat. Ibukota

diperintah secara langsung oleh raja, sementara daerah pendukung tetap diperintah

oleh Datuk setempat.[37]

Setelah masuknya Islam, Raja Alam yang berkedudukan

di Pagaruyung melaksanakan tugas pemerintahannya dengan bantuan dua orang

pembantu utamanya (wakil raja), yaitu Raja Adat yang berkedudukan di Buo,

dan Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur Kudus. Bersama-sama mereka

bertiga disebut Rajo Tigo Selo, artinya tiga orang raja yang "bersila" atau bertahta.

Raja Adat memutuskan masalah-masalah adat, sedangkan Raja Ibadat mengurus

masalah-masalah agama. Bila ada masalah yang tidak selesai barulah dibawa ke

Raja Pagaruyung. Istilah lainnya yang digunakan untuk mereka dalam bahasa

Minang adalah tigo tungku sajarangan. Untuk sistem pergantian raja di

Minangkabau menggunakan sistempatrilineal [38]  berbeda dengan sistem waris dan

kekerabatan suku yang masih tetap pada sistem matrilineal.[15]

Page 23: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

Selain kedua raja tadi, Raja Alam juga dibantu oleh para pembesar yang

disebut Basa Ampek Balai, artinya "empat menteri utama". Mereka adalah:

1. Bandaro yang berkedudukan di Sungai Tarab.

2. Makhudum yang berkedudukan di Sumanik.

3. Indomo yang berkedudukan di Suruaso.

4. Tuan Gadang  yang berkedudukan di Batipuh.

Belakangan, pengaruh Islam menempatkan Tuan Kadi yang berkedudukan

di Padang Ganting masuk menjadi Basa Ampek Balai. Ia mengeser kedudukan

Tuan Gadang di Batipuh, dan bertugas menjaga syariah agama.

Sebagai aparat pemerintahan, masing-masing Basa Ampek Balai punya daerah-

daerah tertentu tempat mereka berhak menagih upeti sekadarnya, yang disebut

rantau masing-masing pembesar tersebut. Bandaro memiliki rantau di Bandar X,

rantau Tuan Kadi adalah di VII Koto dekat Sijunjung, Indomo punya rantau di bagian

utara Padang sedangkan Makhudum punya rantau di Semenanjung Melayu, di

daerah pemukiman orang Minangkabau di sana.

Selain itu dalam menjalankan roda pemerintahan, kerajaan juga mengenal aparat

pemerintah yang menjalankan kebijakan dari kerajaan sesuai dengan fungsi

masing-masing, yang sebut Langgam nan Tujuah. Mereka terdiri dari:

1. Pamuncak Koto Piliang

2. Perdamaian Koto Piliang

3. Pasak Kungkuang Koto Piliang

4. Harimau Campo Koto Piliang

5. Camin Taruih Koto Piliang

6. Cumati Koto Piliang

7. Gajah Tongga Koto Piliang

Pemerintahan Darek dan Rantau

Dalam laporannya, Tomé Pires telah memformulasikan struktur wilayah dari tanah

Minangkabau dalam darek (land) dan rantau (sea/coast),[14] walaupun untuk

beberapa daerah pantai timur Sumatera seperti Jambi dan Palembang disebutkan

telah dipimpin oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa.

Kerajaan Pagaruyung membawahi lebih dari 500 nagari, yang merupakan satuan

wilayah otonom pemerintahan. Nagari-nagari ini merupakan dasar kerajaan, dan

mempunyai kewenangan yang luas dalam memerintah. Suatu nagari mempunyai

kekayaannya sendiri dan memiliki pengadilan adatnya sendiri. Beberapa buah

nagari kadang-kadang membentuk persekutuan. Misalnya Bandar X adalah

Page 24: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

persekutuan sepuluh nagari di selatan Padang. Kepala persekutuan ini diambil dari

kaum penghulu, dan sering diberi gelar raja. Raja kecil ini bertindak sebagai wakil

Raja Pagaruyung.

Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah

pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri

yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadiKoto, dari Koto

manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan

di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak,

kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan

kemudian berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yang dibentuk

minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut.[15]

Darek

Luhak nan Tigo

Luhak Tanah Data Luhak Agam Luhak Limopuluah

Alam Surambi Sungai Pagu Ampek-Ampek Angkek Hulu

Batipuah Sapuluah Koto Lawang nan Tigo Balai Lareh

Kubuang Tigobaleh Nagari-nagari Danau Maninjau Luhak

Langgam nan Tujuah Ranah

Limokaum Duobaleh Koto Sandi

Lintau Sambilan Koto

Lubuak nan Tigo

Nilam Payuang Sakaki

Pariangan Padangpanjang

Sungai Tarab Salapan Batua

Talawi Tigo Tumpuak

Tanjuang nan Tigo

Sapuluah Koto di Ateh

Page 25: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

Di daerah Darek atau daerah inti Kerajaan Pagaruyung terbagi atas 3 luhak (Luhak

Nan Tigo, yaitu LuhakTak nan Data, belakangan menjadi Luhak Tanah Data, Luhak

Agam dan Luhak Limopuluah). Sementara pada setiap nagari pada kawasan luhak

ini diperintah oleh para penghulu, yang mengepalai masing-masing suku yang

berdiam dalam nagari tersebut. Penghulu dipilih oleh anggota suku, dan

warga nagariuntuk memimpin dan mengendalikan pemerintahan nagari tersebut.

Keputusan pemerintahan diambil melalui kesepakatan para penghulu di Balai Adat,

setelah dimusyawarahkan terlebih dahulu. Di daerah inti Kerajaan

Pagaruyung, Raja Pagaruyung tetap dihormati walau hanya bertindak sebagai

penengah dan penentu batas wilayah.

Rantau

Raja Pagaruyung mengendalikan secara langsung daerah Rantau. Ia boleh

membuat peraturan dan memungut pajak di sana. Rantau merupakan suatu

kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi

sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau

dikenal dengan Rantau nan duo terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur)

danRantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).

Masing-masing luhak memiliki wilayah rantaunya sendiri. Penduduk Tanah Datar

merantau ke arah barat dan tenggara, penduduk Agam merantau ke arah utara dan

barat, sedangkan penduduk Limopuluah merantau ke daerah Riau daratan

sekarang, yaitu Rantau Kampar, Rokan dan Kuantan. Selain itu, terdapat daerah

perbatasan wilayah luhak dan rantau yang disebut sebagai Ujuang Darek Kapalo

Rantau. Di daerah rantau seperti di Pasaman, kekuasaan penghulu ini sering

berpindah kepada raja-raja kecil, yang memerintah turun temurun. Di Inderapura,

raja mengambil gelarsultan. Sementara di kawasan lain mengambil gelar Yang

Dipertuan Besar.

Pembagian daerah rantau adalah sebagai berikut:

Rantau Luhak Tanah Data

Rantau Nan Kurang Aso Duo

Puluah

Lubuak Ambacang

Lubuak Jambi

Gunuang Koto

Benai

Pangian

Rantau Luhak Agam

Nagari-nagari pantai

barat Sumatera

Pasaman Barat

Pasaman Timur

Panti

Rao

Lubuak Sikapiang

Rantau Luhak Limopuluah

Mangilang

Tanjuang Balik

Pangkalan

Koto Alam

Gunuang Malintang

Muaro Paiti

Rantau Barangin

Page 26: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

Basra

Sitinjua

Kopa

Taluak Ingin

Inuman

Surantiah

Taluak Rayo

Simpang Kulayang

Aia Molek

Pasia Ringgit

Kuantan

Talang Mamak

Kualo Thok

Ujuang Darek Kapalo

Rantaunya

Anduriang Kayu Tanam

Guguak Kapalo

Hilalang

Sicincin

Toboh Pakandangan

Duo Kali Sabaleh Anam

Lingkuang

Tujuah Koto

Sungai Sariak.

Ujuang Darek Kapalo

Rantaunya

Palembayan

Silareh Aia

Lubuak Basuang

Kampuang Pinang

Simpang Ampek

Sungai Garinggiang

Lubuak Bawan

Tigo Koto

Garagahan

Manggopoh

Rokan Pandalian

Kuatan Singingi

Gunuang Sailan

Kuntu

Lipek Kain

Ludai

Ujuang Bukik

Sanggan

Tigo Baleh Koto

Kampar

Sibiruang

Gunuang Malelo

Tabiang

Tanjuang

Gunuang Bungsu

Muaro Takuih

Pangkai

Binamang

Tanjuang Abai

Pulau Gadang

Baluang Koto Sitangkai

Tigo Baleh

Lubuak Aguang

Limo Koto Kampar

Kuok

Salo

Bangkinang

Rumbio

Aia Tirih

Taratak Buluah

Pangkalan Indawang

Pangkalan Kapeh

Pangkalan Sarai

Koto Laweh

Sementara kawasan Rantau Pasisia Panjang atau Banda Sapuluah (Bandar

Sepuluh) dipimpin oleh Rajo nan Ampek (4 orang yang bergelar raja; Raja Airhaji,

Page 27: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

Raja Bungo Pasang, Raja Kambang, Raja Palangai). Kawasan ini merupakan

semacam konfederasi dari 10 daerah atau nagari (negeri), yang masing-masing

dipimpin oleh 10 orang penghulu. Nagari-nagari tersebut adalah

Airhaji

Bungo Pasang atau Painan Banda Salido

Kambang

Palangai

Lakitan

Tapan

Tarusan

Batang Kapeh

Ampek Baleh Koto

Limo Koto

Nagari-nagari ini kemudian dikenal sebagai bagian dari Kerajaan Inderapura,

termasuk daerah Anak Sungai, yang mencakup lembah Manjuto dan Airdikit

(disebut sebagai nagari Ampek Baleh Koto), dan Muko-muko (Limo Koto).

Selain ketiga daerah-daerah rantau tadi, terdapat suatu daerah rantau yang terletak

di wilayah Semenanjung Malaya (Malaysia sekarang). Beberapa kawasan rantau

tersebut menjadi nagari, kemudian masyarakatnya

membentuk konfederasi (semacam Luhak), dan pada masa awal meminta

dikirimkan raja sebagai pemimpin atau pemersatu mereka kepada Yang Dipertuan

Pagaruyung, kawasan tersebut dikenal sebagai Negeri Sembilan, nagari-nagari

tersebut adalah

Jelai

Jelebu

Johol

Klang

Naning

Pasir Besar

Rembau

Segamat

Sungai Ujong

Kesultanan Malaka

Page 28: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

Untuk kegunaan lain dari Malaka, lihat Malaka.

Replika istana Kesultanan Malaka, dibangun kembali berdasarkan informasi dariSulalatus Salatin

Kesultanan Malaka adalah sebuah Kerajaan Melayu yang pernah berdiri di Malaka, Malaysia. Kerajaan ini

didirikan oleh Parameswara, kemudian mencapai puncak kejayaan di abad ke 15 dengan menguasai jalur

pelayaran Selat Malaka, sebelum ditaklukan oleh Portugal tahun1511. Kejatuhan Malaka ini menjadi pintu

masuknya kolonialisasi Eropa di kawasan Nusantara.

Kerajaan ini tidak meninggalkan bukti arkeologis yang cukup untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian

sejarah, namun keberadaan kerajaan ini dapat diketahui melalui Sulalatus Salatin dan kronik Cina masa Dinasti

Ming. Dari perbandingan dua sumber ini masih menimbulkan kerumitan akan sejarah awal Malaka terutama

hubungannya dengan perkembangan agama Islam di Malaka serta rentang waktu dari pemerintahan masing-

masing raja Malaka. Pada awalnya Islam belum menjadi agama bagi masyarakat Malaka, namun perkembangan

berikutnya Islam telah menjadi bagian dari kerajaan ini yang ditunjukkan oleh gelar sultan yang disandang oleh

penguasa Malaka berikutnya.

Pendirian

Berdasarkan Sulalatus Salatin kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Melayu di Singapura, kemudian

serangan Jawa dan Siammenyebabkan pusat pemerintahan berpindah ke Malaka. Kronik Dinasti

Ming mencatat Parameswara sebagai pendiri Malaka mengunjungiKaisar Yongle di Nanjing pada tahun 1405

dan meminta pengakuan atas wilayah kedaulatannya.[1] Sebagai balasan upeti yang diberikan,Kaisar

Cina menyetujui untuk memberikan perlindungan pada Malaka,[2] kemudian tercatat ada sampai 29 kali utusan

Malaka mengunjungi Kaisar Cina.[3] Pengaruh yang besar dari relasi ini adalah Malaka dapat terhindar dari

kemungkinan adanya serangan Siam dari utara, terutama setelah Kaisar Cina mengabarkan

penguasa Ayutthaya akan hubungannya dengan Malaka.[4] Keberhasilan dalam hubungan diplomasi dengan

Tiongkok memberi manfaat akan kestabilan pemerintahan baru di Malaka, kemudian Malaka berkembang

menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara, dan juga menjadi salah satu pangkalan armada Ming.[5][6]

Laporan dari kunjungan Laksamana Cheng Ho pada 1409, mengambarkan Islam telah mulai dianut oleh

masyarakat Malaka,[4] sementara berdasarkan catatan Ming, penguasa Malaka mulai mengunakan

gelar sultan muncul pada tahun 1455. Sedangkan dalam Sulalatus Salatingelar sultan sudah mulai diperkenalkan

Page 29: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

oleh penganti berikutnya Raja Iskandar Syah, tokoh yang dianggap sama dengan Parameswara oleh beberapa

sejarahwan.[5] Sementara dalam Pararaton disebutkan terdapat nama tokoh yang mirip yaitu Bhra Hyang

Parameswara sebagai suami dari Ratu Majapahit, Ratu Suhita. Namun kontroversi identifikasi tokoh ini masih

diperdebatkan sampai sekarang.

Pada tahun 1414 Parameswara digantikan putranya, Megat Iskandar Syah,[2] memerintah selama 10 tahun,

kemudian menganut agama Islam [7]  dan digantikan oleh Sri Maharaja atau Sultan Muhammad Syah. Putra

Muhammad Syah yang kemudian menggantikannya, Raja Ibrahim, mengambil gelar Sri Parameswara Dewa

Syah. Namun masa pemerintahannya hanya 17 bulan, dan dia mangkat karena terbunuh pada 1445. Saudara

seayahnya, Raja Kasim, kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan Mudzaffar Syah.

Hubungan dengan kekuatan regional

Sampai tahun 1435, Malaka memiliki hubungan yang dekat dengan Dinasti Ming, armada Ming berperan

mengamankan jalur pelayaran Selat Malaka yang sebelumnya sering diganggu oleh adanya kawanan perompak

dan bajak laut.[4] Di bawah perlindungan Ming, Malaka berkembang menjadi pelabuhan penting di pesisir

barat Semenanjung Malaya yang tidak dapat disentuh oleh Majapahit dan Ayutthaya. Namun seiring berubahnya

kebijakan luar negeri Dinasti Ming, Kawasan ujung tanah ini terus diklaim oleh Siam sebagai bagian dari

kedaulatannya sampai Malaka jatuh ke tangan Portugal, dan setelah takluknya Malaka,

kawasan Perlis, Kelantan, Terengganu dan Kedah kemudian berada dalam kekuasaan Siam.[6]

Sulalatus Salatin juga mengambarkan kedekatan hubungan Malaka dengan Pasai, hubungan kekerabatan ini

dipererat dengan adanya pernikahan putri Sultan Pasai dengan Raja Malaka dan kemudian Sultan Malaka pada

masa berikutnya juga turut memadamkan pemberontakan yang terjadi di Pasai. Ma Huan juru tulis Cheng

Ho menyebutkan adanya kemiripan adat istiadat Malaka dengan Pasai serta ke dua kawasan tersebut telah

menjadi tempat pemukiman komunitas muslim di Selat Malaka.[4] Sementara kemungkinan ada ancaman

dari Jawa dapat dihindari, terutama setelah Sultan Mansur Syahmembina hubungan diplomatik dengan Batara

Majapahit yang kemudian meminang dan menikahi putri Raja Jawa tersebut.[8] Selain itu sekitar tahun 1475 di

Jawa juga muncul kekuatan muslim di Demak yang nanti turut melemahkan hegemoni Majapahit atas kawasan

yang mereka klaim sebelumnya sebagai daerah bawahan. Adanya keterkaitan Malaka dengan Demak terlihat

setelah jatuhnya Malaka kepada Portugal, tercatat ada beberapa kali pasukan Demak mencoba merebut kembali

Malaka dari tangan Portugal.[7][9]

Masa kejayaan

Pada masa pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah, Malaka melakukan ekspansi di Semenanjung Malaya dan

pesisir timur pantai Sumatera, setelah sebelumnya berhasil mengusir serangan Siam.[8] Di mulai dengan

menyerang Aru yang disebut sebagai kerajaan yang tidak menjadi muslim dengan baik.[7]Penaklukan Malaka atas

kawasan sekitarnya ditopang oleh kekuatan armada laut yang kuat pada masa tersebut serta kemampuan

mengendalikan Orang Laut yang tersebar antara kawasan pesisir timur Pulau Sumatera sampai Laut Cina

Selatan. Orang laut ini berperan mengarahkan setiap kapal yang melalui Selat Malaka untuk singgah di Malaka

serta menjamin keselamatan kapal-kapal itu sepanjang jalur pelayarannya setelah membayar cukai di Malaka.[10]

Page 30: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

Di bawah pemerintahan raja berikutnya yang naik tahta pada tahun 1459, Sultan Mansur Syah, Melaka

menyerbu Kedah dan Pahang, dan menjadikannya negara vassal.[11] Di bawah sultan yang sama Kampar,

dan Siak juga takluk.[11] Sementara kawasan Inderagiri dan Jambi merupakan hadiah dari Batara

Majapahit untuk Raja Malaka.[11] Sultan Mansur Syah kemudian digantikan oleh putranya Sultan Alauddin

Syah namun memerintah tidak begitu lama karena diduga ia diracun sampai meninggal[12] dan kemudian

digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Syah.[8]

Hingga akhir abad ke-15 Malaka telah menjadi kota pelabuhan kosmopolitan dan pusat perdagangan dari

beberapa hasil bumi seperti emas, timah, lada dan kapur. Malaka muncul sebagai kekuatan utama dalam

penguasaan jalur Selat Malaka, termasuk mengendalikan kedua pesisir yang mengapit selat itu.[12]

Penurunan

Sultan Mahmud Syah memerintah Malaka sampai tahun 1511, saat ibu kota kerajaan tersebut diserang

pasukan Portugal di bawah pimpinan Afonso de Albuquerque. Serangan dimulai pada 10 Agustus 1511 dan

pada 24 Agustus 1511 Malaka jatuh kepada Portugal. Sultan Mahmud Syah kemudian melarikan diri

ke Bintan dan menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat pemerintahan baru.[13] Perlawanan terhadap

penaklukan Portugal berlanjut, pada bulan Januari 1513 Patih Yunus dengan pasukan dari Demak berkekuatan

100 kapal 5000 tentara mencoba menyerang Malaka, namun serangan ini berhasil dikalahkan oleh Portugal.

[9] Selanjutnya untuk memperkuat posisinya di Malaka, Portugal menyisir dan menundukkan kawasan

antara Selat Malaka. Pada bulan Juli 1514, de Albuquerque berhasil menundukkan Kampar, dan Raja Kampar

menyatakan kesediaan dirinya sebagai vazal dari Portugal di Malaka.[13]

Sejak tahun 1518 sampai 1520, Sultan Mahmud Syah kembali bangkit dan terus melakukan perlawanan dengan

menyerang kedudukan Portugal di Malaka. Namun usaha Sultan Malaka merebut kembali Malaka dari Portugal

gagal. Di sisi lain Portugal juga terus memperkokoh penguasaannya atas jalur pelayaran di Selat Malaka. Pada

pertengahan tahun 1521, Portugal menyerang Pasai, sekaligus meruntuhkan kerajaan yang juga

merupakan sekutu dari Sultan Malaka.

Selanjutnya pada bulan Oktober 1521, pasukan Portugal dibawah pimpinan de Albuquerque mencoba menyerang

Bintan untuk meredam perlawanan Sultan Malaka, namun serangan ini dapat dipatahkan oleh Sultan Mahmud

Syah. Namun dalam serangan berikutnya pada 23 Oktober 1526 Portugal berhasil membumihanguskan Bintan,

dan Sultan Malaka kemudian melarikan diri ke Kampar, tempat dia wafat dua tahun kemudian.

[13] Berdasarkan Sulalatus Salatin Sultan Mahmud Syah kemudian digantikan oleh putranya Sultan Alauddin

Syah yang kemudian tinggal di Pahang beberapa saat sebelum menetap di Johor.[10] Kemudian pada masa

berikutnya para pewaris Sultan Malaka setelah Sultan Mahmud Syah lebih dikenal disebut dengan Sultan Johor.

Pemerintahan

Walaupun Kesultanan Malaka sangat kuat dipengaruhi oleh agama Islam namun dalam menjalankan

pemerintahan, kerajaan ini tidak menerapkan pemerintahan Islam sepenuhnya. Undang-undang yang berlaku di

Malaka seperti Hukum Kanun Malaka hanya 40,9% mengikut aturan Islam. Begitu jugaUndang-undang Laut

Malaka hanya 1 pasal dari 25 pasal yang mengikut aturan Islam.[12]

Page 31: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

Kesultanan Malaka dalam urusan kenegaraan telah memiliki susunan tata pemerintahan yang rapi. Sultan Malaka

memiliki kekuasaan yang absolut, seluruh peraturan dan undang-undang merujuk kepada Raja Malaka.

Sementara dalam administrasi pemerintahan Sultan Malaka dibantu oleh beberapa pembesar,

antaranya Bendahara, Tumenggung, Penghulu Bendahari dan Syahbandar. Kemudian terdapat lagi

beberapa menteri yang bertanggungjawab atas beberapa urusan negara.[14] Selain itu terdapat

jabatan Laksamana yang pada awalnya diberikan kepada kelompok masyarakat Orang Laut.[10]

Daftar raja Malaka

Berikut daftar raja Malaka[5]

Periode Nama Raja Catatan dan peristiwa penting

1405-1414

Pai-li-mi-sul-la*ParameswaraRaja Iskandar Syah**Paramicura****

Berkunjung ke Nanjing dan minta pengakuan Kaisar Cina

1414-1424

Mu-kan-sa-yu-ti-er-sha*Megat Iskandar SyahRaja Kecil Besar**Raja Besar Muda***Chaquem Daraxa****

Berkunjung ke Nanjing dan mengabarkan kematian bapaknya

1424-1444

Hsi-li-ma-ha-la-che*Sri MaharajaSultan Muhammad Syah**Raja Tengah***

1444-1445

Hsi-li-pa-mi-hsi-wa-er-tiu-pa-sha*Sri Parameswara Dewa SyahSultan Abu Syahid**Sultan Muhammad Syah***

1446-1459Su-lu-t'an-wu-ta-fo-na-sha*Sultan Mudzaffar Syah**Sultan Modafaixa****

1459-1477 Sultan Mansur Syah**

1477-1488 Sultan Alauddin Riayat Syah**

Page 32: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

1488-

1511

Sultan Mahmud Syah**

Kerajaan InderapuraDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Artikel ini bukan mengenai Siak Sri Inderapura, ibukota Kabupaten Siak, yang dahulunya merupakan tempat

kedudukan sultan-sultan Siak.

Kerajaan Inderapura merupakan sebuah kerajaan yang berada di wilayah kabupaten Pesisir Selatan,

Provinsi Sumatera Barat sekarang, berbatasan dengan Provinsi Bengkulu dan Jambi. Secara resmi kerajaan ini pernah

menjadi bawahan (vazal) Kerajaan Pagaruyung. Walau pada prakteknya kerajaan ini berdiri sendiri serta bebas

mengatur urusan dalam dan luar negerinya.

Kerajaan ini pada masa jayanya meliputi wilayah pantai barat Sumatera mulai dari Padang di utara sampai Sungai

Hurai di selatan. Produk terpenting Inderapura adalah lada, dan juga emas.

Wilayah kerajaan Inderapura

Kebangkitan 

Salah satu makam raja Inderapura

Inderapura dikenal juga sebagai Ujung Pagaruyung. Melemahnya kekuasaan Pagaruyung selama abad ke-15, beberapa

daerah pada kawasan pesisir Minangkabau lainnya, seperti Inderagiri, Jambi, dan Inderapura dibiarkan mengurus

dirinya sendiri.[1]

Namun perkembangan Inderapura baru benar-benar dimulai saat Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Arus

perdagangan yang tadinya melalui Selat Malaka sebagian besar beralih ke pantai barat Sumatera dan Selat Sunda.

Perkembangan dan ekspansi Inderapura terutama ditunjang oleh lada.[1]

Page 33: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

Kapan tepatnya Inderapura mencapai status negeri merdeka tidak diketahui dengan pasti. Namun diperkirakan, ini

bertepatan dengan mulai maraknya perdagangan lada di wilayah tersebut. Pada pertengahan abad keenam belas

didorong usaha penanaman lada batas selatan Inderapura mencapai Silebar (sekarang di Provinsi Bengkulu). Pada

masa ini Inderapura menjalin persahabatan dengan Banten dan Aceh.

Saat Kesultanan Aceh melakukan ekspansi sampai wilayah Pariaman. Inderapura menghentikan ekspansi tersebut

dengan menjalin persahabatan dengan Aceh melalui ikatan perkawinan antara Raja Dewi, putri Sultan Munawar

Syah dari Inderapura,[2] dengan Sultan Firman Syah, saudara raja Aceh saat itu, Sultan Ali Ri'ayat Syah (1568-1575).

Lewat hubungan perkawinan ini dan kekuatan ekonominya Inderapura mendapat pengaruh besar di Kotaraja (Banda

Aceh), bahkan para hulubalang dari Inderapura disebut-sebut berkomplot dalam pembunuhan putra Sultan Ali Ri'ayat

Syah, sehingga melancarkan jalan buat suami Raja Dewi naik tahta dengan nama Sultan Sri Alampada 1576. Walau

kekuasaannya hanya berlangsung selama tiga tahun sebelum tersingkir dari tahtanya karena pertentangan dengan

para ulama di Aceh.

Namun pengaruh Inderapura terus bertahan di Kesultanan Aceh, dari 1586 sampai 1588 salah seorang yang masih

berkaitan dengan Raja Dewi, memerintah dengan gelar Sultan Ali Ri'ayat Syah II atau Sultan Buyong,[3] sebelum

akhirnya terbunuh oleh intrik ulama Aceh.[1]

Perekonomian 

Berdasarkan laporan Belanda, pada tahun 1616 Inderapura digambarkan sebagai sebuah kerajaan yang makmur

dibawah pemerintahan Raja Itam, serta sekitar 30.000 rakyatnya terlibat dalam pertanian dan perkebunan yang

mengandalkan komoditi beras dan lada. Selanjutnya pada masa Raja Besar sekitar tahun 1624, VOC berhasil

membuat perjanjian dalam pengumpulan hasil pertanian tersebut langsung dimuat ke atas kapal tanpa mesti merapat

dulu di pelabuhan, serta dibebaskan dari cukai pelabuhan. Begitu juga pada masa Raja Puti, pengganti Raja Besar,

Inderapura tetap menerapkan pelabuhan bebas cukai dalam mendorong perekonomiannya.[1]

Setelah ekspedisi penghukuman tahun 1633 oleh Kesultanan Aceh, sampai tahun 1637 Inderapura tetap tidak mampu

mendongkrak hasil pertaniannya mencapai hasil yang telah diperoleh pada masa-masa sebelumnya. Di saat penurunan

pengaruh Aceh, Sultan Muzzaffar Syah mulai melakukan konsolidasi kekuatan, yang kemudian dilanjutkan oleh

anaknya Sultan Muhammad Syah yang naik tahta sekitar tahun 1660 dan mulai kembali menjalin hubungan

diplomatik dengan Belanda dan Inggris.

Penurunan 

Di bawah Sultan Iskandar Muda, kesultanan Aceh seraya memerangi negeri-negeri penghasil lada di Semenanjung

Malaya, dan juga berusaha memperkuat cengkeramannya atas monopoli lada dari pantai barat Sumatera. Kendali ketat

para wakil Aceh (disebut sebagaipanglima) di Tiku dan Pariaman atas penjualan lada mengancam perdagangan

Inderapura lewat pelabuhan di utara. Karena itu Inderapura mulai mengembangkan bandarnya di selatan, Silebar,

yang biasanya digunakan untuk mengekspor lada lewat Banten.

Inderapura juga berusaha mengelak dari membayar cukai pada para panglima Aceh. Ini memancing kemarahan

penguasa Aceh yang mengirim armadanya pada 1633 untuk menghukum Inderapura. Raja Puti yang memerintah

Page 34: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

Inderapura saat itu dihukum mati beserta beberapa bangsawan lainnya, dan banyak orang ditawan dan dibawa

ke Kotaraja. Aceh menempatkan panglimanya di Inderapura dan Raja Malfarsyah diangkat menjadi raja

menggantikan Raja Puti.

Di bawah pengganti Iskandar Muda, Sultan Iskandar Tsani kendali Aceh melemah. Pada masa pemerintahan Ratu

Tajul Alam pengaruh Aceh di Inderapura mulai digantikan Belanda (VOC).[1] Dominasi VOC diawali ketika Sultan

Muhammad Syah meminta bantuan Belanda memadamkan pemberontakan di Inderapura pada tahun 1662.

Pemberontakan ini dipicu oleh tuntutan Raja Adil yang merasa mempunyai hak atas tahta Inderapura berdasarkan

sistem matrilineal. Akibatnya Sultan Inderapura terpaksa melarikan diri beserta ayah dan kerabatnya. Kemudian

Sultan Mansur Syah, dikirim ke Batavia menanda-tangani perjanjian yang disepakati tahun 1663 dan memberikan

VOC hak monopoli pembelian lada, dan hak pengerjaan tambang emas.[4] Pada Oktober 1663 pemerintahan

Inderapura kembali pulih, dan Sultan Inderapura mengakui Raja Adil sebagai wakilnya yang berkedudukan di

Manjuto.[5][1]

Pada masa Sultan Muhammad Syah, Inderapura dikunjungi oleh para pelaut Bugis yang dipimpin oleh Daeng

Maruppa yang kemudian menikah dengan saudara perempuan Sultan Muhammad Syah, kemudian melahirkan Daeng

Mabela yang bergelar Sultan Seian,[6] berdasarkan catatan Inggris, Daeng Mabela pada tahun 1688 menjadi komandan

pasukan Bugis untuk EIC.[7]

Sultan Muhammad Syah digantikan oleh anaknya Sultan Mansur Syah (1691-1696), pada masa pemerintahannya bibit

ketidakpuasan rakyatnya atas penerapan cukai yang tinggi serta dominasi monopoli dagang VOC kembali muncul.

Namun pada tahun 1696 Sultan Mansur Syah meninggal dunia dan digantikan oleh Raja Pesisir, yang baru berusia 6

tahun dan pemerintahannya berada dibawah perwalian neneknya.[8] Puncak perlawanan rakyat Inderapura

menyebabkan hancurnya pos VOC di Pulau Cingkuak, sebagai reaksi terhadap serbuan itu, tanggal 6 Juni 1701 VOC

membalas dengan mengirim pasukan dan berhasil mengendalikan Inderapura.

Inderapura akhirnya benar-benar runtuh pada 1792 ketika garnisun VOC di Air Haji menyerbu Inderapura karena

pertengkaran komandannya dengan Sultan Inderapura, kemudian Sultan Inderapura mengungsi ke Bengkulu dan

meninggal di sana (1824).[9]

Pemerintahan 

Secara etimologi Inderapura berasal dari bahasa Sanskerta, dan dapat bermakna Kota Raja. Inderapura pada awalnya

adalah kawasan rantau dari Minangkabau, merupakan kawasan pesisir di pantai barat Pulau Sumatera. Sebagai

kawasan rantau, Inderapura dipimpin oleh wakil yang ditunjuk dari Pagaruyung dan bergelar Raja [10]  kemudian juga

bergelar Sultan. Raja Inderapura diidentifikasikan sebagai putra Raja Alam atau Yang Dipertuan Pagaruyung.[11]

Wilayah kekuasaan 

Pada akhir abad ketujuh belas pusat wilayah Inderapura, mencakup lembah sungai Airhaji dan Batang Inderapura,

terdiri atas dua puluh koto. Masing-masing koto diperintah oleh seorang menteri, yang berfungsi seperti penghulu di

wilayah Minangkabau lainnya. Sementara pada daerah Anak Sungai, yang mencakup lembah Manjuto dan Airdikit

Page 35: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

(disebut sebagai Negeri Empat Belas Koto), dan Muko-muko (Lima Koto), sistem pemerintahannya tidak jauh

berbeda.

Untuk kawasan utara, disebut dengan Banda Sapuluah (Bandar Sepuluh) yang dipimpin oleh Rajo nan Ampek (4

orang yang bergelar raja; Raja Airhaji, Raja Bungo Pasang, Raja Kambang, Raja Palangai). Kawasan ini merupakan

semacam konfederasi dari 10 daerah atau nagari (negeri), yang juga masing-masing dipimpin oleh 10 orang penghulu.

[1]

Pada kawasan bagian selatan, di mana sistem pemerintahan yang terdiri dari desa-desa berada di bawah

wewenang peroatin (kepala yang bertanggung jawab menyelesaikan sengketa di muara sungai). Peroatin ini pada

awalnya berjumlah 59 orang (peroatin nan kurang satu enam puluh). Para menteri dan peroatin ini tunduk pada

kekuasaan raja atau sultan.

Pada penghujung abad ketujuh belas para peroatin masih berfungsi sebagai kepala wilayah. Namun tugas-tugas

menteri mulai bergeser seiring dengan proses terlepasnya Inderapura menjadi kerajaan terpisah dari Pagaruyung.

Menteri Dua Puluh Koto di Inderapura bertindak sebagai penasihat kerajaan. Menteri Empat Belas Koto bertugas

mengatur rumah tangga istana, sedangkan Menteri Lima Koto bertanggung jawab atas pertahanan.[1]

Walau pada tahun 1691 kawasan Anak Sungai di bawah Raja Adil, melepaskan diri dari Inderapura dan menjadi

kerajaan sendiri, yang pada awalnya didukung oleh Inggris. Namun tidak lama berselang ia mangkat dan digantikan

oleh anaknya yang bergelar Sultan Gulemat (1691-1716). Sultan Gulemat tidak berhasil menjadikan kawasan itu

stabil dan kemudian juga kehilangan dukungan dari para menteri yang ada pada kawasan tersebut.[12]

Kebangkitan Kembali Kesultanan Inderapura 

Setelah seabad lebih Kesultanan Inderapura bagai tinggal nama, tak ada seorang sultan atau raja pun yang dinobatkan

untuk menduduki singgasana. Kerajaan yang berjaya di alam Minangkabau ini pernah menguasai daerah sepanjang

pantai Barat Sumatera di masa lampau. Hari ini, 1 Desember 2012, tepat 101 tahun tiarapnya kesultanan tersebut

seiring Istana Inderapura dibakar penjajah masa itu. Pada tahun ke-101 kesultanan tertua di Nusantara menurut Bunda

Ratu Kuasa Alam Kusumadiningrat Dato' Seri Saripah Murliani, geliatnya harus dibangkitkan lagi. Tampuk

Kesultanan harus di pegang oleh waris yang tertera pada ranji silsilah Kesultanan Inderapura. Pemashuran sang Sultan

pun dihelat dengan kemegahan selayaknya sebuah kerajaan bermarwah, Minggu (1/12), bertempat di Hotel Grand Ina

Muara Padang. Tidak kurang dari 20 raja dan sultan se-Nusantara menghadiri penobatan Youdi Prayogo,SE, ME

bergelar Sultan Indera Rahimsyah Daulat Sultan Muhammad Syah sebagai Sultan ke-35 setelah pemegang waris ke-

34 memasuki uzur, berumur kurang lebih 99 tahun. Bunda Ratu Kuasa Alam Kusumadiningrat mengatakan, sudah

saatnya kerajaan - kerajaan di Nusantara bangkit untuk mengembalikan marwah dan agar adat tidak hilang. "Adat

adalah hal penting yang yang harus dipertahankan, bila adat terkikis maka karamlah suatu bangsa,"ucapnya kepada

wartawan usai acara penobatan Sultan Inderapura. Wanita anggun yang mengenakan mahkota bertatahkan berlian ini

menjelaskan, kerajaan dan kesultanan Nusantara yang dari dulu telah memperjuangkan bangsa ini dari cengkeraman

penjajah, hal ini perlu diketahui oleh generasi bangsa di masa sekarang agar nilai adat dan budaya yang dibawa

kesultanan dan kerajaan tetap menjadi pengaruh kuat bagi kepribadian mereka. "Mengapa tidak, dengan adat dan

budaya maka anak negeri akan menjadi pribadi sejati anak Indonesia. Karena, adat membuat mereka punya pekerti

Page 36: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

yang luhur, berbudi bahasa yang elok, sopan santun, menghormati orang tua dan jujur,"ujar Bunda Ratu dalam logat

Melayu Malaysia. Lebih lanjut putri asal Kerajaan Melayu Jambi dan berdomisili di Kerajaan Negeri Sembilan

Malaysia ini menyebut, carut marut yang dihadapi di Indonesia maupun di negara lainnya tak lain karena lunturnya

adat dan budaya. Korupsi merajalela karena masyarakat sudah tak jujur dan amanah. "Berteriak berantas korupsi

adalah sia - sia,"katanya. Terungkap juga kekecewaan Bunda Ratu terhadap petinggi pemerintahan setempat yang tak

datang dalam prosesi pemashuran tersebut. Tak terkecuali Gubernur dan Bupati. "Saya sedih, beratkah untuk datang

ke helat ini sehingga tak seorangpun pejabat yang kami undang turut hadir ? Alangkah indah duduk bersama untuk

membenahi negeri. Kami tak hendak menandingi pemerintah apalagi bermaksud menggulingkan. Dengan

membangkitkan Kesultanan maka kita bisa bersama membangun negeri baik secara fisik dan moral,"tandasnya. Lebih

lanjut dikatakan, kedatangannya juga membawa sejumlah pengusaha asal negeri jiran Malaysia yang berminat untuk

berinvestasi. Tapi dengan ketidakhadiran pejabat seolah itikad baik dari Bunda Ratu tak mendapat respon. "Saya

berniat menemui Gubernur Sumatera Barat dan Bupati Pesisir Selatan untuk membicarakan kemungkinan pebisnis

Malaysia untuk investasi di negeri ini,"tukasnya. Sementara itu Sultan Inderapura yang baru saja dimashurkan

mengungkapkan, membangkitkan kembali Kesultanan Inderapura adalah amanah yang saat ini diletakkan di

pundaknya. Ia berjanji akan 'membangkit batang terandam' setelah terpuruk sekian lama dimana Adat Bersendi Syara'

Syara' Bersendi Kitabullah telah mulai ditinggalkan. "Selain itu, Istana Inderapura yang telah runtuh juga akan

kembali dibangun,"ujar dosen tetap di IAIN Sultan Taha Syaifuddin Jambi ini. Dia juga ungkapkan akan selalu

berkoordinasi dengan pemerintah setempat. Selain menjaga situs - situs yang ada juga dalam rangka pembinaan

masyarakat untuk menghargai dan memahami sejarah.

Daftar Raja Inderapura 

Lihat juga Daftar Raja Inderapura

Berikut adalah daftar Raja Inderapura:

Tahun

Nama atau gelar

Catatan dan peristiwa penting

1550Sultan Munawar SyahRaja Mamulia

1580 Raja DewiNama lainnya adalah Putri Rekna Candra Dewi

1616

Raja Itam

1624 Raja Besar

Page 37: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

Tahun

Nama atau gelar

Catatan dan peristiwa penting

1625 Raja Puti Nama lainnya Putri Rekna Alun1633

Sultan Muzzaffar SyahRaja Malfarsyah

1660Sultan Muhammad Syah

Raja Adil menuntut hak yang sama.

1691Sultan Mansur Syah

Sultan Gulemat putra Raja Adil berkedudukan di Manjuto melepaskan diri dari Inderapura.

1696 Raja Pesisir

1760 Raja Pesisir II

1790Raja Pesisir III

Kesultanan Demak

Kesultanan Demak atau Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama dan terbesar di pantai

utara Jawa ("Pasisir"). Menurut tradisi Jawa, Demak sebelumnya merupakan kadipaten dari

kerajaan Majapahit, kemudian muncul sebagai kekuatan baru mewarisi legitimasi dari kebesaran

Majapahit.[1]

Kerajaan ini tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada

umumnya. Walau tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran karena terjadi perebutan

kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada tahun 1568, kekuasaan Demak beralih ke Kerajaan

Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir. Salah satu peninggalan bersejarah Kerajaan Demak ialah Mesjid

Agung Demak, yang menurut tradisi didirikan oleh Walisongo.

Lokasi keraton Demak, yang pada masa itu berada di tepi laut, berada di kampung Bintara (dibaca

"Bintoro" dalam bahasa Jawa), saat ini telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah. Sebutan kerajaan pada

Page 38: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

periode ketika beribukota di sana dikenal sebagai Demak Bintara. Pada masa raja ke-4 ibukota

dipindahkan ke Prawata (dibaca "Prawoto") dan untuk periode ini kerajaan disebut Demak Prawata.

Masa awal

Menjelang akhir abad ke-15, seiring dengan kemuduran Majapahit, secara praktis beberapa wilayah

kekuasaannya mulai memisahkan diri. Bahkan wilayah-wilayah yang tersebar atas kadipaten-kadipaten

saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit.

Sementara Demak yang berada di wilayah utara pantai Jawa muncul sebagai kawasan yang mandiri.

Dalam tradisi Jawa digambarkan bahwa Demak merupakan penganti langsung dari Majapahit, sementara

Raja Demak (Raden Patah) dianggap sebagai putra Majapahit terakhir. Kerajaan Demak didirikan oleh

kemungkinan besar seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po.[2] Kemungkinan besar puteranya

adalah orang yang oleh Tomé Pires dalam Suma Oriental-nya dijuluki "Pate Rodim", mungkin

dimaksudkan "Badruddin" atau "Kamaruddin" dan meninggal sekitar tahun 1504. Putera atau adik Rodim,

yang bernama Trenggana bertahta dari tahun 1505 sampai 1518, kemudian dari tahun1521 sampai 1546.

Di antara kedua masa ini yang bertahta adalah iparnya, Raja Yunus (Pati Unus) dari Jepara. Sementara

pada masaTrenggana sekitar tahun 1527 ekspansi militer Kerajaan Demak berhasil menundukan

Majapahit.[1]

Masa keemasan

Pada awal abad ke-16, Kerajaan Demak telah menjadi kerajaan yang kuat di Pulau Jawa, tidak satu pun

kerajaan lain di Jawa yang mampu menandingi usaha kerajaan ini dalam memperluas kekuasaannya

dengan menundukan beberapa kawasan pelabuhan dan pedalaman di nusantara.

Di bawah Pati Unus

Demak di bawah Pati Unus adalah Demak yang berwawasan nusantara. Visi besarnya adalah menjadikan

Demak sebagai kerajaan maritim yang besar. Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam

dengan pendudukan Portugis di Malaka. Kemudian beberapa kali ia mengirimkan armada lautnya untuk

menyerang Portugis di Malaka.[3]

Di bawah Trenggana

Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawahnya, Demak mulai

menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau

tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan

Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa

(1527, 1546). Trenggana meninggal pada tahun 1546dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan,

dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto. Salah seorang panglima perang Demak waktu itu

adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi menantu raja Trenggana.

Sementara Maulana Hasanuddin putera Sunan Gunung Jati [4]  diperintah oleh Trenggana untuk

menundukkan Banten Girang. Kemudian hari keturunan Maulana Hasanudin menjadikan Banten sebagai

Page 39: Kerajaan Islam Tugas IPS.docx

kerajaan mandiri. Sedangkan Sunan Kudus merupakan imam di Masjid Demak juga pemimpin utama

dalam penaklukan Majapahit sebelum pindah ke Kudus.[1]

Kemunduran

Suksesi ke tangan Sunan Prawoto tidak berlangsung mulus. Penunjukannya sebagai sunan ditentang oleh

adik Trenggana, yaitu Pangeran Sekar Seda Lepen. Dalam penumpasan pemberontakan, Pangeran Sekar

Seda Lepen akhirnya terbunuh. Akan tetapi, pada tahun 1561 Sunan Prawoto beserta keluarganya dihabisi

oleh suruhan Arya Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen. Arya Penangsang kemudian menjadi

penguasa tahta Demak. Suruhan Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri, adipati Jepara, dan

hal ini menyebabkan adipati-adipati di bawah Demak memusuhi Arya Penangsang, salah satunya adalah

Adipati Pengging.

Arya Penangsang akhirnya berhasil dibunuh dalam peperangan oleh Sutawijaya, anak angkat Joko Tingkir.

Joko Tingkir memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang, dan di sana ia mendirikan Kerajaan Pajang.