KEPUTUSAN PENGGUNA ANGGARAN.KABUPATEN NOMOR: 188 / / . /
2012TENTANGPENUNJUKAN DAN PENGANGKATANPEJABAT PENATAUSAHAAN
KEUANGAN SKPD (PPK-SKPD),PEJABAT PEMBUAT KOMITMEN (PPK), PELAKSANA
TEKNIS KEGIATAN ( PTK )DAN PEMBANTU BENDAHARA PENGELUARAN DI
LINGKUNGANKABUPATEN TAHUN ANGGARAN KEPALA KABUPATEN .SELAKU
PENGGUNA ANGGARANMenimbang:Bahwa agar pelaksanaan pengelolaan
keuangan daerah dan kegiatan kegiatan pada Tahun Anggaran .
dilaksanakan dengan tertib, efektif, efisien, ekonomis, transparan
dan bertanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dengan memperhatikan azas keadilan, kepatutan dan
mantaat untuk masyararakat, maka dipandang perlu menetapkan Pejabat
Penatausahaan Keuangan SKPD (PPK-SKPD), Pejabat Pembuat Komitmen
(PPK), Pelaksana Teknis Kegiatan (PTK) dan Pembantu Bendahara
Pengeluaran di Iingkungan .. Kabupaten .. Tahun Anggaran . dalam
suatu Keputusan Pengguna Anggaran.Mengingat:1.Undang Undang Nomor
18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi ;2.Undang Undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas
dari korupsi, kolusi dan nepotisme;3.Undang Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001;4.Undang Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan tindak pidana
korupsi;5.Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
;6.Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara;7.Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang nomor 3 tahun 2005 tentang Pemerintah
Daerah dan telah ditetapkan dengan Undang Undang nomor 8 tahun 2005
menjadi Undang Undang;8.Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah;9.Peraturan Pemerintah Nomor 106 tahun 2000 tentang
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban dalam pelaksanaan Dekonsentrasi
dan Tugas Pembantuan ;10.Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005
tentang Standart Akutansi Pemerintah;11.Peraturan Pemerintah Nomor
55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan;12.Peraturan Pemerintah
Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah;13.Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2005 tentang Pedoman
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah
Daerah;14.Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2006 tentang Laporan
Keuangan dan Kinerja Instansi Pemeritah;15.Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah dengan Perubahan Terakhir
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 2006
;16.Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri dalam Dalam Negeri Nomor 59 tahun
2007;17.Peraturan Daerah Kabupaten Jombang Nomor 15 Tahun 2006
tentang Pokok Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah ;18.Peraturan
Daerah Kabupaten . Nomor Tahun . tentang Anggaran Pendapatan
danBelanja Daerah Tahun Anggaran ;19.Keputusan Bupati Nomor :
tentang Penunjukan dan Pengangkatan Pejabat Pelaksana Anggaran
dilingkungan Pemerintah Kabupaten Tahun Anggaran.
Memperhatikan:Keputusan Bupati .. Nomor : tentang Pemberhentian
dan Pengangkatan dalam Jabatan dilingkungan Pemerintah Kabupaten
Tahun Anggaran ..MEMUTUSKAN :MenetapkanPERTAMA: Menunjuk dan
Mengangkat Pegawai Negeri Sipil yang namanya tersebut dalam
Lampiran Keputusan ini sebagai Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD
(PPK-SKPD), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pelaksana Teknis
Kegiatan ( PTK ) dan Pembantu Bendahara Pengeluaran di Lingkungan
.. Kabupaten . Tahun Anggaran .. sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan
ini.KEDUA: Pejabat Penatatausahaan Keuangan SKPD ( PPK-SKPD )
sebagaimana dimaksud Diktum PERTAMA mempunyai Tugas Pokok dan
fungsi sebagai berikut :1.Meneliti kelengkapan SPP-LS pengadaan
barang dan jasa yang disampaikan oleh bendahara pengeluaran dan
diketahui / disetujui oleh PPK ;2.Meneliti kelengkapan SPP-UP,
SPP-GU, SPP-TU, SPP-LS gaji dan tunjangan PNS serta penghasilan
Iainnya yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang undangan
yang diajukan oleh bendahara pengeluaran ;3.Melakukan verifikasi
SPP;4.Menyiapkan SPM;5.Melakukan verifikasi harian atas
penerimaan;6.Melaksanakan akuntansi SKPD; dan7.Menyiapkan laporan
keuangan SKPD.KETIGA: Pejabat Pembuat Komitmen ( PPK ) sebagaimana
dimaksud Diktum PERTAMA mempunyai Tugas Pokok dan fungsi sebagai
berikut :1.Menyusun perencanaan pengadaan barang/jasa ;2.Menetapkan
paket paket pekerjaan disertai ketentuan mengenai peningkatan
penggunaan produksi dalam negeri dan peningkatan pemberian
kesempatan bagi usaha kecil termasuk koperasi kecil, serta kelompok
masyarakat ;3.Menetapkan dan mengesahkan harga perkiraan sendiri
(HPS), jadwal, tata cara pelaksanaan dan lokasi pengadaan yang
disusun oleh panitia pengadaan/pejabat pengadaan/unit Iayanan
pengadaan ;4.Menetapkan dan mengesahkan hasil panitia
pengadaan/pejabat pengadaan/unit Iayanan pengadaan sesuai
kewenangannya ;5.Menetapkan besaran uang muka yang menjadi hak
penyedia barang/jasa sesuai ketentuan yang berlaku ;6.Menyiapkan
dan melaksanakan perjanjian/kontrak dengan pihak penyedia
barang/jasa ;7.Melaporkan pelaksanaan/penyelesaian pengadaan
barang/jasa kepada pimpinan instansi ;8.Mengendalikan pelaksanaan
perjanjian/kontrak ;9.Menyerahkan aset hasil pengadaan barang/jasa
dan aset Iainnya kepada Bupati Jombang dengan berita acara
penyerahan ;10.Menandatangani pakta integritas sebelum pelaksanaan
pengadaan barang/jasa dimulai.KEEMPAT: Pejabat Pembuat Komitmen
dilarang mengadakan ikatan perjanjian dengan penyedia barang/jasa
apabila belum tersedia anggaran atau tidak cukup tersedia anggaran
yang akan mengakibatkan dilampauinya batas anggaran yang tersedia
untuk kegiatan/proyek yang dibiayai dari APBD.KELIMA: Pejabat
Pembuat Komitmen bertanggung jawab dari segi administrasi, fisik,
keuangan dan fungsional atas pengadaan barang/jasa yang
dilaksanakannya.KEENAM: Pejabat Pembuat Komitmen setelah
pengangkatannya segera menyusun organisasi, uraian tugas dan fungsi
secara jelas, kebijaksanaan pelaksanaan, rencana kerja yang
menggambarkan kegiatan yang harus dilaksanakan, bentuk hubungan
kerja, sasaran yang harus dicapai, tata Iaksana dan prosedur kerja
secara tertulis, dan disampaikan kepada atasan Iangsung dan unit
pengawasan intern instansi yang bersangkutan.KETUJUH :Pejabat
Pembuat Komitmen wajib melakukan pencatatan dan pelaporan keuangan
dan hasil kerja pada setiap kegiatan, baik kemajuan maupun hambatan
dalam pelaksanaan tugasnya dan disampaikan kepada atasan Iangsung
dan unit pengawasan intern instansi yang
bersangkutan.KEDELAPAN:Pejabat Pembuat Komitmen wajib menyimpan dan
memelihara seluruh dokumen pelaksanaan pengadaan barang/jasa
termasuk berita acara proses pelelangan/seleksi.KESEMBILAN:Pejabat
Pembuat Komitmen wajib memberikan tanggapan/informasi mengenai
pengadaan barang/jasa yang berada di dalam batas kewenangannya
kepada peserta pengadaan/masyarakat yang mengajukan pengaduan atau
yang memerlukan penjelasan.KESEPULUH:Pelaksana Teknis Kegiatan
sebagaimana tersebut pada Diktum PERTAMA melaksanakan kegiatan
dilingkup . Kabupaten .. Tahun Anggaran . sebagaimana terinci dalam
bagian yang tidak terpisahkan dari Lampiran Keputusan
ini.KESEBELAS:Pelaksana Teknis Kegiatan sebagaimana tersebut pada
Diktum PERTAMA bertanggung jawab kepada Pengguna Anggaran melalui
Pejabat Pembuat Komitmen atas pelaksanaan tugas yang
dibebankannya;KEDUABELAS:Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan
sebagimana tersebut pada Diktum PERTAMA mempunyai tugas pokok
sebagai berikut :a.mengendalikan pelaksanaan kegiatan;b.melaporkan
perkembangan pelaksanaan kegiatan; danc.menyiapkan dokumen anggaran
atas beban pengeluaran pelaksanaan kegiatan.KETIGABELAS:Dokumen
anggaran yang harus disiapkan oleh Pejabat Pelaksana Teknis
Kegiatan sebagimana dimaksud Diktum KEDUABELAS huruf (c) mencakup
dokumen administrasi kegiatan maupun dokumen administrasi yang
terkait dengan persyaratan pembayaran yang ditetapkan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.KEEMPATBELAS:Pembantu Bendahara
Pengeluaran sebagaimana dimaksud Diktum PERTAMA mempunyai Tugas
Pokok dan fungsi sebagai berikut :KELIMABELAS:Pembantu Bendahara
Pengeluaran sebagaimana tersebut pada Diktum PERTAMA mempunyai
fungsi membantu tugas-tugas Bendahara Pengeluaran di Iingkup .
Kabupaten .. sesuai dengan peraturan yang berlaku sebagaimana telah
diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dengan rincian tugas
antara lain sebagai berikut :1.Menerima dan meneliti serta
memverifikasi bukti bukti pengeluaran.2.Membuat SPP dan
SPM.3.Mengagendakan SPP dan SP2D4.Mencatat Buku Register SPP dan
SP2D, Buku Kas Umum, Buku Rekapitulasi Rincian Obyek Per
Rekenening, Buku Panjar, Buku Pajak PPh dan PPN.5.Memproses eksport
import data pengeluaran keuangan6.Mengarsipkan bukti bukti
pengeluaran keuangan dinas.KEENAMBELAS: Kepada semua Pejabat
sebagaimana dimaksud Diktum PERTAMA diberikan honorarium per bulan
selama Tahun Anggaran . mulai bulan Januari sampai dengan bulan
Desember ..KETUJUHBELAS:Pemberian honorarium kepada penjabat
sebagaimana dimaksud Diktum PERTAMA, dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten .. Tahun Anggaran , dalam
Kegiatan Penyediaan Jasa Administrasi Keuangan, Kode Rekening .. di
DPA SKPD Nomor : .KEDELAPANBELAS:Keputusan ini mulai berlaku sejak
tanggal ditetapkan.Ditetapkan di : Pada Tanggal : .. 2013 . .
KABUPATEN ,NIP. ..TEMBUSAN :Keputusan ini disampaikan kepada Yth.1.
Sdr. Bupati ;2. Sdr. Inspektur Kabupaten .;3. Sdr. Kepala Bagian .
Setda Kab . ;4. Sdr. Para Pejabat yang bersangkutan.
PERJALANAN DINAS AT COST DAN FIKSI HUKUM(1) YUSRAN LAPANANDA,
SH. MHKepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan & Aset
Daerah Kab. Gorontalo.
Saat ini pemerintah daerah dihadapkan dengan terbitnya Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2013 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pedoman
Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2013. Kenapa saya katakan demikian,
tentunya buat saya hal ini sangat beralasan. Untuk itu mari kita
uji bersama keberadaan Permendagri Nomor 16 Tahun 2013 beserta
Surat Edaran Mendagri Nomor 188.32/104/Keuda tanggal 31 Januari
2013 perihal penyampaian Permendagri Nomor 16 Tahun 2013, dari 3
(tiga) hal yang substansial sebagai berikut:Pertama, sepertinya ada
sesuatu yang membuat Menteri Dalam Negeri panik sehingga
tergesa-gesa menerbitkan Peraturan ini. Mengapa demikian? Menteri
Dalam Negeri tidak memperhatikan lebih dalam atas isi Peraturan
yang dirubah. Jika kita kaji, maka Permendagri Nomor 16 Tahun 2013
merubah Permendagri Nomor 37 tahun 2012 yang merupakan peraturan
yang mengatur pedoman penyusunan APBD Tahun Anggaran 2013. Di dalam
pasal 1 Permendagri Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan
APBD Tahun anggaran 2013, sudah didefinisikan pengertian atas
pedoman penyusunan APBD sebagai pokok-pokok kebijakan sebagai
petunjuk dan arah bagi pemerintah daerah dalam penyusunan,
pembahasan dan penetapan APBD. Sehingga dengan demikian peraturan
yang dirubah secara filosofi-substansial mengatur tentang bagaimana
pemerintah daerah menyusun, membahas dan menetapkan APBD. Memang
sangat ironis, saat ini hampir semua daerah sejak tanggal 31
Desember 2012 sudah selesai menyusun dan membahas APBD dan malahan
sudah menetapkan APBD, dan terlebih lagi hampir semua pemerintah
daerah telah dalam tahapan pelaksanaan APBD. Sehingga, sangatlah
tidak tepat peraturan ini diubah pada saat APBD sementara
dilaksanakan.Kedua, berikut ini berkaitan dengan fiksi hukum
sebagaimana yang diatur dalam Permendagri Nomor 16 Tahun 2013
dimana peraturan ini telah diundangkan pada tanggal 23 Januari 2013
oleh Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin melalui Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 146. Fiksi hukum menurut
Amiroeddin Syarif dalam bukunya Perundang-undangan Dasar, Jenis,
dan Teknik Pembuatannya diartikan setiap orang terikat pada suatu
undang-undang sejak dinyatakan berlaku. Secara lengkap pengaturan
atas fiksi hukum dalam peraturan ini sebagaimana diatur dalam Pasal
II Permendagri Nomor 16 Tahun 2013, Peraturan Menteri ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan. Dan berikutnya Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Dengan fiksi
hukum ini maka jelas, suka atau tidak suka dan mau atau tidak mau
maka sejak diundangkan tanggal 23 Januari 2013 maka Permendagri
Nomor 16 Tahun 2013 ini mulai berlaku.Selanjutnya bagaimana dengan
waktu pemberlakuan oleh pemerintah daerah? Inilah yang membuat
gaduh pemerintah daerah. Benar memang Permendagri Nomor 16 Tahun
2013 ini telah diundangkan pada tanggal 23 Januri 2013, namun
Mendagri telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 188.32/104/Keuda
tanggal 31 Januari 2013 perihal penyampaian Permendagri Nomor 16
Tahun 2013, yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Keuangan
Daerah DR. Yuswandi A. Tumenggung. Substansi surat edaran ini
adalah meminta Gubernur, Bupati/Walikota untuk menyesuaikan
peraturan kepala daerah tentang belanja perjalanan dinas yang
berlaku saat ini dengan substansi yang tercantum dalam Permendagri
Nomor 16 Tahun 2013. Dalam pembuatan surat edaran ini sangatlah
jelas Mendagri benar-benar tidak memperhatikan fiksi hukum yang
memberlakukan Permendagri Nomor 16 Tahun 2013 mulai berlaku pada
tanggal 23 Januari 2013.Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana
mungkin Surat Edaran Nomor 188.32/104/Keuda mengingkari fiksi hukum
Permendagri Nomor 16 Tahun 2013. Demikian pula secara nyata hampir
semua daerah menerima surat edaran ini nanti pada tanggal 12-14
Februari 2013. Sebenarnya untuk menghindari pengingkaran fiksi
hukum, Mendagri tidak perlu mengeluarkan surat edaran tersebut.
Semestinya waktu antara pengundangan dan sampainya pemberitahuan
atau penyampaian Permendagri Nomor 16 Tahun 2013 ke pemerintah
daerah seharusnya sudah diantisipasi melalui menambah/menyisipkan
frasa atau pasal di dalam Permendagri Nomor 16 Tahun 2013
sebagaimana contoh yang diatur dalam ketentuan peralihan
Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan
Bantuan Sosial yang bersumber dari APBD, sebagai berikut: Dengan
berlakunya Peraturan Menteri ini: a. pemberian hibah dan bantuan
sosial untuk tahun anggaran 2011 tetap dapat dilaksanakan sepanjang
telah dianggarkan dalam APBD/Perubahan APBD tahun anggaran 2011; b.
penganggaran, pelaksanaan dan penatausahaan, pelaporan dan
pertanggungjawaban serta monitoring dan evaluasi pemberian hibah
dan bantuan sosial mulai tahun anggaran 2012 berpedoman pada
Peraturan Menteri ini.Alternatif lainnya yakni dengan
menambah/menyisipkan frasa pemberlakukan atas Permendagri Nomor 16
Tahun 2013 mulai diberlakukan pada saat penyusunan, pembahasan dan
penetapan APBD-Perubahan sehingga dalam penerapannya tidak
bertentangan dengan pasal 1 Permendagri Nomor 37 Tahun 2012
mengenai pengertian atas pedoman penyusunan APBD yang merupakan
pokok-pokok kebijakan sebagai petunjuk dan arah bagi pemerintah
daerah dalam penyusunan, pembahasan dan penetapan APBD.Jika
demikian halnya maka pemerintah daerah tidak dibuat gaduh, karena
masih terdapat rentang waktu bagi pemerintah daerah untuk
mempersiapkan dan mensosialisasikan perjalanan dinas at cost serta
yang lebih penting adalah terhindar dari fiksi hukum.
Bersambung.Ketiga,sebenarnya apa substansi dari Permendagri Nomor
16 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 37 Tahun
2012 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2013. Substansi
Permendagri Nomor 37 Tahun 2012 yang dirubah dengan Permendagri
Nomor 16 Tahun 2013 adalah mengenai pengaturan perjalanan dinas
yakni diatur pada angka V. Hal-hal khusus lainnya, angka 15.
Dalamrangkamemenuhikaidah-kaidahpengelolaankeuangan daerah
pemerintah daerah secara bertahapmeningkatkan
akuntabilitaspenggunaan belanjaperjalanandinasmelaluipenerapa
penganggaran danpelaksanaan perjalanandinasberdasarkan prinsip
kebutuhannyata(atcost) sekurang kurangnyauntukpertanggung-jawaban
biaya transport dan menghindari adanya penganggaran yang bersifat
paket. Standar satuan harga perjalanan dinas ditetapkan dengan
keputusan kepala daerah.Pendekatan perjalanan dinas berdasarkan
Permendagri Nomor 37 Tahun 2012 ini mengunakan sistem lumpsum
bertahap menujuat cost, dimana hanya satuan biaya transport (tiket
penerbangan dan transport darat menuju tempat tujuan dan kembali
ketempat kedudukan) menggunakan sistem at cost/biaya riil,
selebihnya menggunakan sistem lumpsum.Selanjutnya ketentuan ini
telah diubah dengan Permendagri Nomor 16 Tahun 2013 yang mengatur,
Dalam rangka memenuhi kaidah-kaidah pengelolaan keuangan daerah,
pertanggungjawaban atas komponen perjalanan dinas khusus untuk
hal-hal sebagai berikut dilakukan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur perjalanan dinas dalam negeri bagi
pejabat negara, pegawai negeri dan pegawai tidak tetap: a. sewa
kendaraan dalam kota dan biaya transport dibayarkan sesuai dengan
biaya riil;b. uang harian dan representasi dibayarkan secara
lumpsum dan merupakan batas tertinggi; c. biaya penginapan
dibayarkansesuai dengan biaya riil. Dalam hal pelaksanaan
perjalanan dinas tidak menggunakan fasilitas hotel atautempat
penginapan lainnya, kepada yang bersangkutan diberikan biaya
penginapan sebesar 30% (tiga puluh persen) dari tarif hotel dikota
tempat tujuan sesuai dengan tingkatan pelaksanaan perjalanan dinas
dan dibayarkan secara lumpsum.Pendekatan perjalanan dinas
berdasarkan Permendagri Nomor 16 Tahun 2013 menggunakan gabungan
sistemat costdan sistem lumpsum, dimana untuk: a. satuan biaya
penginapan dibayarkan sesuai dengan biaya riil/at cost, namun jika
yang bersangkutan tidak menggunakan hotel, misalnya yang
bersangkutan menggunakan hotel family maka satuan biaya penginapan
hanya dibayar sebesar 30% (tiga puluh persen) dari tarif hotel
dikota tempat tujuan sesuai dengan pagu atau batas tertingggi yang
ditetapkan dalam Keputusan Kepala Daerah tentang Standar Satuan
Harga/Biaya Perjalanan Dinas;
b. satuan biaya transport (tiket penerbangan dan transport darat
(menuju tempat tujuan dan kembali ketempat kedudukan misalnya ke
Kota Manado atau kota-kota lainnya di wilayah sulawesi dengan
menggunakan kendaraan roda empat atau mobl) dibayarkan sesuai
dengan biaya riil; c. satuan biaya transport bandara dari dan
bandarakehotel/tempat kegiatan, dan transport lokal/taxi atau sewa
kendaraan dalam kota selama pelaksanaan kegiatan misalnya dari
hotel ketempat kegiatan dan sebaliknya dibayarkan secaraat
costpula; sedangkan d. satuan biaya uang representasi dan uang
harian yang terdiri dari uang saku dan uang makan, dibayarkan
secara lumpsum. Untuk satuan biaya seperti penginapan yang tidak
menggunakan hotel (dibayarkan 30%); transport bandara dari dan
bandara ke hotel/tempat kegiatan; dan transport lokal/taxi atau
sewa kendaraan, maka pembuktiannya cukup menggunakan pernyataan
daftar penggunaan biaya riil berintegritas yang ditandatangani yang
bersangkutan dan disetujui/diketahui oleh PPTK.Pertanyaan yang
muncul adalah apakah standar satuan harga/biaya perjalanan dinas
oleh Pemerintah Daerah menggunakan standar biaya perjalanan dinas
yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang terbaru yaitu PMK
Nomor 113/PMK.05/2012 tanggal 3 Juli 2012 tentang Perjalanan Dinas
Dalam Negeri bagi Pejabat Negera, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak
Tetap?Yang saya pahami tentunya tidak, sebab pada pasal 41 PMK
tersebut disebutkan bahwa Ketentuan mengenai perjalanan dinas yang
dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang
diatur dalam Peraturan ini berlaku sepanjang belum diatur dalam
peraturan yang lebih tinggi. Dengan demikian bahwa PMK Nomor
113/PMK.05/2012 ini hanya berlaku atas pelaksanaan perjalanan dinas
yang dibiayai oleh APBN. Demikian pula didalam Permendagri Nomor 16
Tahun 2013 tersebut tidak menjelaskan bahwa standar satuan
harga/biaya perjalanan dinas pemerintah daerah harus mengacu ke PMK
tersebut. Jika Permendagri memberi rujukan kepada salah satu
regulasi misalnya ke PMK tersebut, maka secara jelas sudah
disebutkan didalam Permendagri Nomor 16 Tahun 2013, misalnya
sebagaimana yang diatur dalam Permendagri Nomor 37 Tahun 2012,
angka V. Hal-hal Khusus Lainnya
angka10.Dalamrangkamendukungefektivitasimplementasiprogrampenanggulangan
kemiskinan melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat(PNPM)
Pedesaan dan Perkotaan, pemerintah daerah harus menyediakan dana
pendamping yang bersumber dari APBD dan dianggarkan pada jenis
belanja bantuan social sesuaiPeraturan
MenteriKeuanganNomor168/PMK.07/2009tentangPedoman
PendanaanUrusanBersamaPusatdanDaerahUntuk Penanggulangan
Kemiskinan.Hal yang sama pula disampaikan pada acara Pembinaan
Administrasi Keuangan Daerah dan Sosialisasi Permendagri Nomor 16
Tahun 2013 angkatan IV di Hotel Millenium Jakarta,tanggal 27
Februari sampai dengan 2 Maret 2013 oleh Kementerian Dalam Negeri
RI, bahwa standar satuan harga/biaya perjalanan dinas oleh
Pemerintah Daerah tidak mengacu pada PMK. Sebagai catatan akhir
sebagaimana yang disampaikan dalam acara tersebut, maka sewa
kendaraan untuk satuan biaya transport hanya berlaku untuk pejabat
negara, sedangkan lainnya (pegawai negeri dan pegawai tidak tetap)
menggunakan transport lokal taxi. Selamat melaksanakan perjalanan
dinasat costgabungan lumpsum dengan integritas yang tinggi atas
penggunaan biaya riil.Selesai
DASAR HUKUM TUNTUTAN PERBENDAHARAAN & TUNTUTAN GANTI
RUGI
YUSRAN LAPANANDA, SH. MH Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan
Keuangan & Aset Daerah Kab. Gorontalo.Catatan saya mengenai
dasar hukum tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi bagian
4 ini merupakan lanjutan dari pembahasan dasar hukum tuntutan
perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah.Pasal-pasal yang mengatur tuntutan perbendaharaan dan
tuntutan ganti rugi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dimulai dari Pasal 136 ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 137 ayat (1), ayat (2) dan ayat
(3); Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 139 ayat (1) dan ayat
(2); Pasal 140 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 141; Pasal 142; Pasal
143; dan Pasal 144 yang secara substantif diakomodir dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
(Pasal 59 sampai dengan Pasal 67).Dari pasal-pasal yang ada, maka
hanya terdapat satu ayat yang berbeda atau merupakan tambahan frasa
dari yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara yaitu mengenai apa yang diatur dalam Pasal
136 ayat (3) Kepala SKPD dapat segera melakukan tuntutan gani rugi,
setelah mengetahui bahwa dalam SKPD yang bersangkutan terjadi
kerugan akibat perbuatan dari pihak manapun. Demikian pula apa yang
diatur dalam Pasal 144 Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara
tuntutan ganti kerugian daerah diatur dengan peraturan daerah dan
berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Pasal 144 ini hanya
merupakan penegasan atau frasa ini sebenarnya merupakan bagian dari
Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara Tata cara tuntutan ganti kerugian
negara/daerah diatur dengan peraturan pemerintah.Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan yaitu tanggal 9 Desember
2005 oleh Menteri Hukum dan HAM RI Yusril Ihza Mahendra dan telah
disahkan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 9
Desember 2005.5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.Dasar hukum tuntutan
perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi berikutnya adalah Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah. Pengaturan tuntutan perbendaharaan dan
tuntutan ganti rugi diatur dalam Bab XIV Kerugian Daerah, Pasal 315
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 316 ayat (1), ayat (2) dan
ayat (3); Pasal 317 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 318 ayat (1) dan
ayat (2); Pasal 319 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 320; Pasal 321
ayat (1) dan ayat (2); Pasal 322; dan Pasal 323.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah ditetapkan oleh Menteri dalam
Negeri RI H. Moh. Maruf, SE pada tanggal 15 Mei 2006.Jika dicermati
secara mendalam, maka keseluruhan pengaturan pasal-pasal yang ada
dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, merupakan copy paste atau sama
dengan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.6. Peraturan BPK Nomor 3 Tahun
2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara/Daerah
Terhadap Bendahara.Selanjutnya adalah dasar hokum tuntutan
perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi atau penyelesaian kerugian
negara/daerah yaitu Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata
Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara/Daerah Terhadap
Bendahara.Peraturan BPK ini merupakan tindak lanjut atau amanat
Pasal 22 ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan Negara Tata
cara penyelesaian ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara
ditetapkan oleh BPK setelah berkonsultasi dengan
pemerintah.Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 ini terdiri dari 15
(lima belas) Bab dan 45 (empat puluh lima) Pasal. Peraturan BPK
Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian
Negara/Daerah Terhadap Bendahara ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan yaitu tanggal 5 Desember 2007 oleh Menteri Hukum dan
HAM RI Andi Mattalata dan ditetapkan oleh Ketua Badan Pemeriksa
Keuangan RI pada tanggal 5 Desember 2005.Setelah dilakukan
penelusuran baik dalam pasal 1 yang mengatur pengertian yang diatur
dalam Peraturan BPK tersebut maupun di dalam pembahasan pasal demi
pasal dalam Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Penyelesaian Ganti Kerugian Negara/Daerah Terhadap Bendahara ini
tidak mengatur atau tdak memberi batasan atau pengertian atas
penyelesaian kerugian negara/daerah maupun pengertian tuntutan
perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi. Yang diatur hanyalah
pengertian kerugian negara yang frasanya sama dengan pengertian
kerugian negara yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang dibahas sebelumnya.7. Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1997 tentang Tuntutan Perbendaharaan dan
Tuntutan Ganti Rugi Keuangan dan Barang Daerah dan Instruksi
Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 1997 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1997
tentang Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi Keuangan
dan Barang Daerah.Dasar hukum tuntutan perbendaharaan dan tuntutan
ganti rugi berikutnya adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5
Tahun 1997 tentang Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi
Keuangan dan Barang Daerah dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor
21 Tahun 1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 5 Tahun 1997 tentang Tuntutan Perbendaharaan dan
Tuntutan Ganti Rugi Keuangan dan Barang Daerah.
DASAR HUKUM TUNTUTAN PERBENDAHARAAN & TUNTUTAN GANTI RUGI
(BAGIAN 2)
YUSRAN LAPANANDA, SH. MH Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan
Keuangan & Aset Daerah Kab. Gorontalo.Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara mengatur tuntutan
perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi, sebagaimana diatur dalam
Bab XI Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah mulai dari pasal 59,
pasal 60, pasal 61, pasal 62, pasal 63, pasal 64, pasal 65, pasal
66 dan pasal 67.Dari sembilan pasal yang mengatur tuntutan
perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi (TP-TGR), ada bebarapa pasal
dan ayat yang menjadi dasar hukum kewenangan pelaksanaan tuntutan
perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi yakni:a. Pasal 62 ayat (1)
Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara
ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan; dan ayat (3) Ketentuan
lebih lanjut tentang pengenaan ganti kerugian negara terhadap
bendahara diatur dalam undang-undang mengenai pemeriksaan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Pasal 62 ayat (1)
dan ayat (3) menegaskan bahwa pengaturan atas pengenaan ganti
kerugian negara/daerah terhadap bendahara akan diatur tersendiri
dengan undang-undang mengenai pemeriksaan pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara, sedangkan untuk penetapan atas pengenaan
ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh
Badan Pemeriksa Keuangan. Berdasarkan penegasan pasal 62 ayat (1)
dan ayat (3) ini maka pembentuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara memang telah berkehendak memilah
pengaturan pengenaan dan pengaturan ganti kerugian ke dalam
masing-masing peraturan perundang-undangan.b. Pasal 63 ayat (1)
Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri
bukan bendahara ditetapkan oleh menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota; dan ayat (2) Tata cara tuntutan
ganti kerugian negara/daerah diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 63 ayat (1) mempertegas bahwa pengenaan ganti kerugian
negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara ditetapkan
oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota. Dipahami
bahwa untuk pemerintah provinsi ditetapkan oleh gubernur melalui
Keputusan Gubernur atau naskah dinas lainnya, dan untuk pemerintah
kabupaten/kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan Keputusan
Bupati/Keputusan Walikota atau naskah dinas lainnya. Pasal 63 ayat
(2) mempertegas bahwa tata cara tuntutan ganti kerugian
negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara akan diatur
dengan peraturan pemerintah. Sampai dengan catatan ini saya rilis
Peraturan Pemerintah dimaksud belum ditetapkan dan masih dalam
bentuk rancangan.Jika kita kaji antara pasal 62 ayat (1) Pengenaan
ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh
Badan Pemeriksa Keuangan, dengan pasal 63 ayat (1) Pengenaan ganti
kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara
ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota,
maka kewenangan pengenaan ganti kerugian sudah dipilah oleh
pembentuk peraturan perundag-undangan, pengenaan ganti kerugian
negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan, sedangkan pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap
pegawai negeri bukan bendahara ditetapkan oleh menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota. Untuk mengkaji kedua pasal ini,
saya sangat tidak memahami apa alasan-pertimbangan filosofi
pembentuk peraturan perundag-undangan ini sehingga memisahkan
kewenangan pengenaan atas kerugian negara/daerah bendahara
ditetapkan oleh BPK dan pengenaan atas kerugian negara/daerah
pegawai negeri bukan bendahara ditetapkan oleh menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota. Saya memahami, semestinya
pengenaan atas kerugian negara/daerah baik terhadap bendahara
maupun pegawai negeri bukan bendahara ditetapkan oleh BPK
sebagaimana rujukan yang sudah dilaksanakan saat ini baik melalui
pemeriksaan belanja operasional maupun pemeriksaan atas Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah melalui kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan.
Saya mencoba untuk mendalami alasan-pertimbangan filosofi
pembentuk peraturan perundang-undangan sehingga memisahkan
kewenangan pengenaan kerugian negara/daerah ini ke dalam dua
kewenangan (BPK dan menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota), baik dalam penjelasan umum
maupun penjelasan pasal demi pasal dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Di dalam penjelasan umum
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara saya
tidak menemukan alasan-pertimbangan filosofi pembentuk peraturan
perundang-undangan memisahkan atau memilah kewenangan pengenaan
kerugian negara/daerah, yang saya temukan hanyalah penegasan
kembali atau mengulang kembali sebagaimana apa yang dimuat dalam
pasal 62 ayat (1) dan pasal 63 ayat (3) yakni : Sehubungan dengan
itu, setiap pimpinan kementerian negara/lembaga/kepala satuan kerja
perangkat daerah wajib segera melakukan tuntutan ganti rugi setelah
mengetahui bahwa dalam kementerian negara/lembaga/satuan kerja
perangkat daerah yang bersangkutan terjadi kerugian. Pengenaan
ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh
Badan Pemeriksa Keuangan, sedangkan pengenaan ganti kerugian
negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara ditetapkan
oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota. Demkian
pula, di dalam penjelasan pasal demi pasal saya tidak menemukan
alasan-pertimbangan filosofi pembentuk peraturan perundang-undangan
sehingga memisahkan pengenaan kerugian negara/daerah terhadap
bendahara dan pengenaan kerugian negara/daerah pegawai negeri bukan
bendahara, yang ada hanyalah penjelasan pasal cukup jelas.Demikian
pula atas pengaturan yang berkaitan dengan pasal 62 ayat (3)
Ketentuan lebih lanjut tentang pengenaan ganti kerugian negara
terhadap bendahara diatur dalam undang-undang mengenai pemeriksaan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dan pasal 63 ayat
(2) Tata cara tuntutan ganti kerugian negara/daerah diatur dengan
peraturan pemerintah. Pengaturan terhadap suatu materi yang berbeda
seperti ini dapat mempersulit kita untuk mempelajari dan
memahaminya.
DASAR HUKUM TUNTUTAN PERBENDAHARAAN & TUNTUTAN GANTI RUGI
(BAGIAN3)YUSRAN LAPANANDA, SH. MHKepala Dinas Pendapatan,
Pengelolaan Keuangan & Aset Daerah Kab. Gorontalo.
Sebelumnya telah dibahas dasar hukum tuntutan perbendaharaan dan
tuntutan ganti rugi (TP-TGR) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Berikut ini dasar hukum
TP-TGR lainnya:3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan
Negara.Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan Negara merupakan
undang-undang yang dirujuk oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara untuk mengatur pengenaan ganti
kerugian negara terhadap bendahara sebagaimana yang diatur dalam
pasal 62 ayat (3) yang menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut
tentang pengenaan ganti kerugian negara terhadap bendahara diatur
dalam undang-undang mengenai pemeriksaan pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara ini
mulai berlaku pada tanggal diundangkan yaitu tanggal 19 Juli 2004
oleh Sekretaris Negara RI Bambang Kesowo dan telah disahkan oleh
Presiden RI Megawati Soekarnoputri pada tanggal 19 Juli
2004.Pengaturan mengenai tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti
rugi di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara diatur dalam Bab V
Pengenaan Ganti Kerugian Negara, Pasal 22 ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (4) dan ayat (5) dan Pasal 23 ayat (1) dan ayat
(2).Pengaturan mengenai pengenaan ganti kerugian negara terhadap
bendahara yang yang dirujuk oleh Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara ke dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara,
ternyata hanya diatur dengan dua pasal. Saya pahami bahwa rujukan
ini sangat minim pengaturannya tidak sebanding dengan apa yang
menjadi keinginan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara. Semestinya pengaturan mengenai pengenaan
ganti kerugian negara terhadap bendahara diatur lebih luas dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.Yang perlu menjadi perhatian
dari kedua pasal ini adalah pasal 22 ayat (4) Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara Tata cara penyelesaian ganti kerugian negara/daerah
terhadap bendahara ditetapkan oleh BPK setelah berkonsultasi dengan
pemerintah.Dengan demikian maka memang benar bahwa pembentuk
Undang-Undang dengan sengaja memisahkan pengaturan atas tata cara
penyelesaian ganti kerugian negara/daerah ke dalam peraturan
perundang-undangan yang berbeda, dengan pengaturannya sebagai
berikut: pertama, tata cara penyelesaian ganti kerugian
negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh BPK sebagaimana
dimaksud pada pasal 22 ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara;
kedua, tata cara tuntutan ganti kerugian negara/daerah terhadap
pegawai negeri bukan bendahara diatur dengan peraturan pemerintah
sebagaimana diatur pada pasal 63 Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara.4. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.Dasar hukum mengenai tuntutan
perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi selanjutnya adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Setelah saya melakukan penelusuran terhadap pengaturan mengenai
tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,
maka pengaturan mengenai tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti
rugi telah diatur dalam Bab XIII Penyelesaian Kerugian Daerah,
Pasal 136 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 137 ayat (1),
ayat (2) dan ayat (3); Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 139
ayat (1) dan ayat (2); Pasal 140 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 141;
Pasal 142; Pasal 143; dan Pasal 144. Peraturan Pemerintah Nomor 58
Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan yaitu tanggal 9 Desember 2005 oleh
Sekretaris Negara RI Yusril Ihza Mahendra dan telah disahkan oleh
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 9 Desember
2005.Pengaturan tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah sudah lebih fokus pada pengaturan penyelesaian atau
tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi kerugian
daerah.Yang perlu menjadi perhatian adalah apa yang diatur di dalam
Pasal 139 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun
2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pasal 139 ayat (1)
Ketentuan penyelesaian kerugian daerah sebagaimana diatur dalam
peraturan pemerintah ini berlaku pula untuk uang dan/atau barang
bukan milik daerah, yang berada dalam penguasaan bendahara, pegawai
negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang digunakan dalam
penyelenggaraan tugas pemerintahan; dan ayat (2) Ketentuan
penyelesaian kerugian daerah dalam peraturan pemerintah ini berlaku
pula untuk pengelola perusahaan daerah dan badan-badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan keuangan daerah, sepanjang tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.Dari frasa
pasal 139 ayat (1) dan ayat (2), maka pengaturan penyelesaian atau
tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi lebih diperluas,
selain terhadap bendahara dan pegawai negeri bukan bendahara maka
berlaku pula terhadap pejabat lainnya. Selain itu penyelesaian atau
tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi berlaku pula untuk
pengelola perusahaan daerah dan badan-badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan keuangan daerah. DASAR HUKUM TUNTUTAN
PERBENDAHARAAN & TUNTUTAN GANTI RUGI (BAGIAN4) YUSRAN
LAPANANDA, SH. MHKepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan
& Aset Daerah Kab. Gorontalo.
Catatan saya mengenai dasar hukum tuntutan perbendaharaan dan
tuntutan ganti rugi bagian 4 ini merupakan lanjutan dari pembahasan
dasar hukum tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah.Pasal-pasal yang mengatur tuntutan
perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dimulai
dari Pasal 136 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 137 ayat
(1), ayat (2) dan ayat (3); Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2); Pasal
139 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 140 ayat (1) dan ayat (2); Pasal
141; Pasal 142; Pasal 143; dan Pasal 144 yang secara substantif
diakomodir dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (Pasal 59 sampai dengan Pasal 67).Dari
pasal-pasal yang ada, maka hanya terdapat satu ayat yang berbeda
atau merupakan tambahan frasa dari yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yaitu mengenai apa
yang diatur dalam Pasal 136 ayat (3) Kepala SKPD dapat segera
melakukan tuntutan gani rugi, setelah mengetahui bahwa dalam SKPD
yang bersangkutan terjadi kerugan akibat perbuatan dari pihak
manapun. Demikian pula apa yang diatur dalam Pasal 144 Ketentuan
lebih lanjut tentang tata cara tuntutan ganti kerugian daerah
diatur dengan peraturan daerah dan berpedoman pada peraturan
perundang-undangan. Pasal 144 ini hanya merupakan penegasan atau
frasa ini sebenarnya merupakan bagian dari Pasal 63 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Tata
cara tuntutan ganti kerugian negara/daerah diatur dengan peraturan
pemerintah.Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan yaitu tanggal 9 Desember 2005 oleh Menteri Hukum dan
HAM RI Yusril Ihza Mahendra dan telah disahkan oleh Presiden RI
Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 9 Desember 2005.5. Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah.Dasar hukum tuntutan perbendaharaan dan
tuntutan ganti rugi berikutnya adalah Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah. Pengaturan tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi
diatur dalam Bab XIV Kerugian Daerah, Pasal 315 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3); Pasal 316 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3); Pasal 317
ayat (1) dan ayat (2); Pasal 318 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 319
ayat (1) dan ayat (2); Pasal 320; Pasal 321 ayat (1) dan ayat (2);
Pasal 322; dan Pasal 323.Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah ditetapkan
oleh Menteri dalam Negeri RI H. Moh. Maruf, SE pada tanggal 15 Mei
2006.Jika dicermati secara mendalam, maka keseluruhan pengaturan
pasal-pasal yang ada dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, merupakan
copy paste atau sama dengan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.6.
Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian
Ganti Kerugian Negara/Daerah Terhadap Bendahara.Selanjutnya adalah
dasar hokum tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi atau
penyelesaian kerugian negara/daerah yaitu Peraturan BPK Nomor 3
Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian
Negara/Daerah Terhadap Bendahara.Peraturan BPK ini merupakan tindak
lanjut atau amanat Pasal 22 ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan
Negara Tata cara penyelesaian ganti kerugian negara/daerah terhadap
bendahara ditetapkan oleh BPK setelah berkonsultasi dengan
pemerintah.Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 ini terdiri dari 15
(lima belas) Bab dan 45 (empat puluh lima) Pasal. Peraturan BPK
Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian
Negara/Daerah Terhadap Bendahara ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan yaitu tanggal 5 Desember 2007 oleh Menteri Hukum dan
HAM RI Andi Mattalata dan ditetapkan oleh Ketua Badan Pemeriksa
Keuangan RI pada tanggal 5 Desember 2005.Setelah dilakukan
penelusuran baik dalam pasal 1 yang mengatur pengertian yang diatur
dalam Peraturan BPK tersebut maupun di dalam pembahasan pasal demi
pasal dalam Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Penyelesaian Ganti Kerugian Negara/Daerah Terhadap Bendahara ini
tidak mengatur atau tdak memberi batasan atau pengertian atas
penyelesaian kerugian negara/daerah maupun pengertian tuntutan
perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi. Yang diatur hanyalah
pengertian kerugian negara yang frasanya sama dengan pengertian
kerugian negara yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang dibahas sebelumnya.7. Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1997 tentang Tuntutan Perbendaharaan dan
Tuntutan Ganti Rugi Keuangan dan Barang Daerah dan Instruksi
Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 1997 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1997
tentang Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi Keuangan
dan Barang Daerah.Dasar hukum tuntutan perbendaharaan dan tuntutan
ganti rugi berikutnya adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5
Tahun 1997 tentang Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi
Keuangan dan Barang Daerah dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor
21 Tahun 1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 5 Tahun 1997 tentang Tuntutan Perbendaharaan dan
Tuntutan Ganti Rugi Keuangan dan Barang Daerah.
KENAIKAN GAJI PNS DANFITNAH25 April 2013 Yusran Lapananda Isyu
fitnah, gorontalo, hukum, KENAIKAN GAJI 7%, KENAIKAN GAJI PNS,
KENAIKAN GAJI PNS 2013, KENAIKAN GAJI PNS 7%, KENAIKAN GAJI PNS
KABUPATEN, KENAIKAN GAJI PNS KOTA, KENAIKAN GAJI PNS PROVINSI, KPPN
Tinggalkan Komentar ISYUYUSRAN LAPANANDA, SH. MHKepala Dinas
Pendapatan, Pengelolaan Keuangan & Aset Daerah Kab.
Gorontalo.
Di sore hari, Minggu 13 April 2013 saya mendapat SMS dari Bapak
Bupati Gorontalo. SMS tersebut merupakan terusan atas kiriman SMS
dari pemilik Nomor HP 081340875838. Adapun isi smsnya sebagai
berikut: assalamu all wr wb bapak bupati grtlo ytc,, pns di prov
gtlo sdh menerima gaji baru knaikan tujuh persen.. pns di kab gtlo
kpan bisa menimmati gaji baru.. slamat menjalankan ibadah umroh dan
trima ksih.. Wassalamu all ww...Setelah saya membaca SMS tersebut
saya langsung menghubungi Kepala Bidang Bina Anggaran dan Bina
Keuangan Daerah, Danial Ibrahim, SE., MM dan Kasubid Bina Evaluasi
Kabupaten/Kota, Lukman H. Ointu pada Badan Keuangan Daerah Provinsi
Gorontalo via handphone, menanyakan apakah Pemerintah Provinsi
Gorontalo sudah mendapatkan peraturan perundang-undangan yang
mengatur kenaikan gaji untuk tahun 2013, dan apakah Pemerintah
Provinsi Gorontalo sudah membayar kenaikan gaji untuk tahun ini?
Jawaban mereka adalah sampai saat ini kami belum mendapatkan
peraturan itu dan kami sampai saat belum membayar kenaikan gaji
2013 kepada seluruh PNS di Pemerintah Provinsi Gorontalo. Untuk
lebih validnya informasi tersebut, saya mencoba menghubungi
beberapa teman PNS di Pemerintah Provinsi Gorontalo yang berada dan
bekerja di beberapa SKPD lainnya. Jawabannya sama bahwa sampai saat
ini mereka belum menerima kenaikan gaji baru.Demikian pula
teman-teman staf di DPPKAD saya coba hubungi tentang sejauh mana
infomasi terkait kenaikan gaji. Saya coba menghubungi staf saya,
Kepala Seksi Pembiayaan pada DPPKAD Kabupaten Gorontalo, Marlen
Potale, SE dan menginformasikan tentang SMS yang dikirim oleh
pemilik Nomor 081340875838. Jawabannya, bahwa pada hari Sabtu
tanggal 12 April dan hari Minggu tanggal 13 April, saya biar libur
tetap masuk kantor memantau terbitnya peraturan perundang-undangan
yang mengatur kenaikan gaji, tapi sampai sore ini belum ada
pak.Dari informasi tersebut saya berkesimpulan sementara apa
sebenarnya keinginan pengirim SMS tersebut. Waham (Kamus Besar
Bahasa Indonesia Terbitan Gramedia, waham diartikan keyakinan atau
pikiran yang salah karena bertentangan dengan dunia nyata serta
dibangun atas unsur yang tidak berdasarkan logika, sangka, curiga)
saya mengatakan apakah ini bagian dari fitnah (Kamus Besar Bahasa
Indonesia Terbitan Gramedia, Fitnah diartikan perkataan bohong atau
tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud
menjelekkan orang (menodai nama baik, merugikan kehormatan orang)
atau oleh karena isyu murahan menjelang mutasi pejabat? Prinsipnya
saya hanya mengikuti waham saya. Waham saya pun berlanjut kira-kira
siapa pengirim SMS tersebut? Sejak hari minggu tanggal 13 April
sampai hari ini saya mencoba menghubungi nomor tersebut tapi yang
terdengar nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di
luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi.Waham saya mengatakan
bahwa nomor ini memang spesial digunakan untuk mengirim informasi
yang tidak benar atau bohong atau fitnah kepada Bapak Bupati.
Kemudian saya mencoba menganalisis melalui bunyi smsnya, dengan
mengkaji dari unsusr-unsur kata dan kalimat yang ada dalam SMS
tersebut. Pertama, selamat menjalankan ibadah umroh, dari kalimat
ini waham saya mempersempit penafsiran siapa-siapa saja yang
mengetahui Bapak Bupati menjalankan ibadah umroh; Kedua, bapak
bupati gtlo ytc. Dari kalimat ini, siapa saja yang sering
menggunakan kata-kata ytc (yang tercinta).Dari unsur-unsur ini
sebenarnya secara terang benderang saya sudah menerka siapa pemilik
Nomor 081340875838 dan/atau silahkan kepada anda untuk menebak
siapa pemilik Nomor 081340875838. Atau lebih mudah pasti diantara
anda mengetahui pemilik Nomor 081340875838. Jika anda tahu siapa
pemiliknya segera laporkan kepada saya dan saya akan beri imbalan
sebesar Rp. 1.000.000. (satu juta rupiah).Sebenarnya secara
emosional saya sudah ingin merilis catatan saya ini pada hari Senin
tanggal 15 April, namun saya masih mempertimbangkan akan terbitnya
peraturan perundang-undangan yang mengatur kenaikan gaji, sehingga
akan ketahuan antara tanggal SMS yang dikirim dengan tangggal
berapa ditetapkan dan diundangkannya peraturan perudang-undangan
yang mengatur kenaikan gaji PNS. Alhamdulillah tepatnya jam 08.30
hari Rabu tanggal 24 April 2013 saya mendapat infromasi dari Kepala
Seksi Pembiayaan pada DPPKAD Kabupaten Gorontalo, Marlen Potale, SE
bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur kenaikan gaji PNS
sudah dirilis melalui www.seputar-kppn.com.Setelah saya mengkaji
peraturan yang disampaikan tersebut, ternyata peraturan yang
ditunggu-tunggu adalah Peraturan Pemerintah RI Nomor 22 Tahun 2013
tentang Perubahan Kelima Belas atas Peraturan Pemerintah Nomor 7
Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil. Substansi
dari Peraturan Pemerintah ini; Pertama, Gaji PNS terjadi kenaikan
sebasar kurang lebih 7%; Kedua, Kenaikan gaji ini berlaku sejak
tanggal 1 Januari 2013; Ketiga, Peraturan Pemerintah ini ditetapkan
pada tanggal 11 April 2013 oleh Presiden RI DR. H. Susilo Bambang
Yudhoyono dan diundangkan pada tanggal 11 April 2013 oleh Menteri
Hukum dan HAM RI Amir Syamsudin.Dari tanggal penetapan dan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini tanggal 11 April 2013, maka
sangat jelas bahwa tidak mungkin Pemerintah Provinsi Gorontalo atau
daerah Kabupaten/Kota atau lembaga/kementerian telah membayar
kenaikan gaji PNS mulai bulan April. Sehingga dengan demikian maka
berdasarkan informasi yang sudah saya dapatkan dari PNS di
Pemerintah Provinsi Gorontalo dan berdasarkan tanggal penetapan dan
pengundangan tersebut maka sangat jelas SMS yang disampaikan oleh
pemilik Nomor 081340875838 adalah fitnah.Oleh karena dengan
demikian, berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 22 Tahun 2013
ini, maka Pemerintah Kabupaten Gorontalo akan merealisasikan
pembayaran gaji baru PNS ini mulai tanggal 1 Mei 2013, dan untuk
selisih gaji dari bulan Januari sampai dengan Bulan April
dibayarkan setelah pembayaran gaji Bulan Mei dilaksanakan.
Pemerintah Kabupaten Gorontalo telah menganggarkan kenaikan gaji
PNS, termasuk selisih gaji tersebut ke dalam APBD 2013.Selesai
PERKADA DANKEKADA SYARAT PEMBERIAN HIBAH DAN BANTUAN SOSIAL(1)
BANTUAN SOSIAL YANG DIRENCANAKAN DAN YANG TIDAKDIRENCANAKAN11
November 2012 YUSRAN LAPANANDA, SH. MHKepala Dinas Pendapatan,
Pengelolaan Keuangan & Aset Daerah Kab. Gorontalo.
Catatan kali ini sebenarnya merupakan catatan saya yang terakhir
dalam struktur catatan saya mengenai Syarat dan Kriteria Penerima
Hibah dan Bantuan Sosial, namun oleh karena saat ini hampir semua
pemerintah daerah sementara menyusun RAPBD yang salah satu struktur
belanjanya adalah belanja bantuan sosial, maka catatan ini saya
rilis lebih awal, oleh karena kebanyakan para pengelola keuangan
daerah termasuk TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) akan terjebak
pada penafsiran pasal 23A Permendagri Nomor 39 Tahun 2012. Untuk
itu ketentuan pasal baru ini (bantuan sosial yang direncanakan dan
yang tidak direncanakan sebelumnya) saya bahas sebagai
berikut:Ketentuan pasal ini merupakan ketentuan baru dalam
Permendagri Nomor 39 Tahun 2012, yang sebelumnya dalam Permendagri
Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan
Sosial yang Bersumber dari APBD tidak diatur sama sekali. Pasal ini
disisipkan di antara pasal 23 dan pasal 24, disisipkan 1 (satu)
pasal baru yaitu pasal 23A yang berbunyi sebagai berikut: (1)
Bantuan sosial berupa uang kepada individu dan/atau keluarga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a, terdiri dari bantuan
sosial kepada individu dan/atau keluarga yang direncanakan dan yang
tidak dapat direncanakan sebelumnya; (2) Bantuan sosial yang
direncanakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan kepada
individu dan/atau keluarga yang sudah jelas nama, alamat penerima
dan besarannya pada saat penyusunan APBD; (3) Bantuan sosial yang
tidak dapat direncanakan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dialokasikan untuk kebutuhan akibat resiko sosial yang tidak
dapat diperkirakan pada saat penyusunan APBD yang apabila ditunda
penanganannya akan menimbulkan resiko sosial yang lebih besar bagi
individu dan/atau keluarga yang bersangkutan; (4) Pagu alokasi
anggaran yang tidak dapat direncanakan sebelumnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak melebihi pagu alokasi anggaran yang
direncanakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).Ketentuan pasal 23A
ini lahir dan merupakan hasil tekanan atau desakan dari berbagai
kelompok organisasi pemerintah daerah maupun pemerintah daerah itu
sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena di dalam Permendagri Nomor
32 Tahun 2011, pemerintah daerah tidak diberi peluang lagi untuk
memberikan bantuan sosial secara dadakan, karena semua anggaran
bantuan sosial harus direncanakan lebih awal dalam tahun anggaran
sebelumnya setelah itu dapat dicairkan pada tahun berikutnya.Di
dalam ketentuan baru ini pasal 23A Permendagri Nomor 39 Tahun 2012,
telah diberi peluang bagi pemerintah daerah untuk memberikan
bantuan sosial baik bantuan sosial yang direncanakan dan bantuan
sosial yang tidak dapat direncanakan sebelumnya. Namun demikian
ketentuan pasal ini penuh dengan jebakan. Kenapa demikian? Dapat
saya pahami bahwa pasal 23A mengandung makna: (a) hanya bantuan
sosial berupa uang yang dapat diberikan kepada individu dan/atau
keluarga baik bantuan sosial yang direncanakan dan yang tidak dapat
direncanakan sebelumnya, sedangkan bantuan sosial berupa barang
tidak dapat dianggarkan untuk bantuan sosial yang tidak
direncanakan; (b) bantuan sosial yang tidak direncanakan hanya
kepada individu dan/atau keluarga dan bukan untuk lembaga non
pemerintahan bidang pendidikan, keagamaan, dan bidang lain yang
berperan untuk melindungi individu, kelompok, dan/atau masyarakat
dari kemungkinan terjadinya resiko sosial; (c) bantuan sosial yang
direncanakan hanya dialokasikan kepada individu dan/atau keluarga
yang sudah jelas nama, alamat penerima dan besarannya pada saat
penyusunan APBD; (d) bantuan sosial yang tidak dapat direncanakan
sebelumnya dialokasikan untuk kebutuhan akibat resiko sosial yang
tidak dapat diperkirakan pada saat penyusunan APBD yang apabila
ditunda penanganannya akan menimbulkan resiko sosial yang lebih
besar bagi individu dan/atau keluarga yang bersangkutan.Kemudian
jebakan yang paling mendasar dan harus dihindari adalah pagu
alokasi anggaran yang tidak dapat direncanakan sebelumnya, tidak
melebihi pagu alokasi anggaran yang direncanakan. Dengan pengertian
bahwa di dalam struktur APBD harus ada lebih dulu alokasi anggaran
yang direncanakan, kemudian bisa menganggarkan bantuan sosial yang
tidak direncanakan, dengan ketentuan bahwa pagu atau besaran
anggaran bantuan sosial yang tidak direncanakan tidak melebihi
pagu/besaran anggaran yang direncanakan. Dan terakhir adalah bahwa
anggaran bantuan sosial baik yang direncanakan maupun tidak
direncanakan masih dalam bingkai resiko sosial dan tidak boleh
untuk membiayai kegiatan-kegiatan antara lain kegiatan keagamaan,
pendidikan, olahraga, seni dan budaya, sosial, dan acara-acara
lainnya yang tidak dalam bingkai resiko sosial, apalagi untuk
membiayai perjalanan dinas perorangan atau kelompok masyarakat atau
organisasi kemasyarakatan untuk mengikuti rapat-rapat, musyawarah
atau dengan sebutan lainnya.Untuk itu, sangatlah dibutuhkan
penafsiran secara mendalam atas penerapan pasal 23A Permendagri
Nomor 39 Tahun 2012 ini, karena jika tidak, maka kita akan terjebak
ke dalamnya.Selesai
SYARAT DAN KRITERIA PENERIMA HIBAH DAN BANTUAN SOSIAL(1)YUSRAN
LAPANANDA, SH. MHKepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan
& Aset Daerah Kab. Gorontalo.
Pada catatan saya sebelumnya, telah diberi catatan mengenai
syarat-syarat pemberian hibah dan bantuan sosial yang dirilis dalam
dua bagian. Syarat pemberian hibah dan bantuan sosial merupakan
pedoman bagi TAPD dalam menyusun KUA/PPAS, menyusun RAPBD,
pembahasan antara TAPD dengan Badan Anggaran DPRD sampai dengan
pengesahan RAPBD menjadi APBD, demikian pula untuk penyusunan
KUA/PPAS Perubahan sampai dengan penyusunan APBD Perubahan.
Kemudian apa saja syarat-syarat penerima hibah dan bantuan sosial
yang bersumber dari APBD dari Pemerintah Daerah?HibahBerdasarkan
pasal 5 Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian
Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD, yang diubah
dengan Permendagri Nomor 39 Tahun 2012, maka hibah hanya dapat
diberikan secara limitatif atau penerima hibah telah diatur secara
limitatif artinya tidak dapat ditambah dan tidak dapat dikurangi
dari yang sudah ditentukan kepada: (a) pemerintah; (b) pemerintah
daerah lainnya; (c) perusahaan daerah; (d) masyarakat; (e)
organisasi kemasyarakatan.Selanjutnya dalam pasal 6 Permendagri
Nomor 32 Tahun 2011 dijelaskan bahwa:(a) hibah kepada Pemerintah
diberikan kepada satuan kerja dari kementerian/lembaga pemerintah
non kementerian yang wilayah kerjanya berada dalam daerah yang
bersangkutan; (b) hibah kepada pemerintah daerah lainnya diberikan
kepada daerah otonom baru hasil pemekaran daerah sebagaimana
diamanatkan peraturan perundang-undangan; (c) hibah kepada
perusahaan daerah diberikan kepada badan usaha milik daerah dalam
rangka penerusan hibah yang diterima pemerintah daerah dari
Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
(d) hibah kepada masyarakat diberikan kepada kelompok orang yang
memiliki kegiatan tertentu dalam bidang perekonomian, pendidikan,
kesehatan, keagamaan, kesenian, adat istiadat, dan keolahragaan
non-profesional; (e) hibah kepada organisasi kemasyarakatan
diberikan kepada organisasi kemasyarakatan yang dibentuk
berdasarkan peraturan perundang-undangan.Kemudian pasal 7
Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 menjelaskan bahwa: (1) hibah kepada
masyarakat diberikan dengan persyaratan paling sedikit: (a)
memiliki kepengurusan yang jelas; dan (b) berkedudukan dalam
wilayah administrasi pemerintah daerah yang bersangkutan; (2) hibah
kepada organisasi kemasyarakatan diberikan dengan persyaratan
paling sedikit: (a) telah terdaftar pada pemerintah daerah setempat
sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun, kecuali ditentukan lain oleh
peraturan perundang-undangan; (b) berkedudukan dalam wilayah
administrasi pemerintah daerah yang bersangkutan; dan (c) memiliki
sekretariat tetap.Selain itu siapa-siapa yang boleh menerima hibah
sesuai pasal 8 ayat (1) PP Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah
adalah sebagai berikut: (a) pemerintah; (b) pemerintah daerah lain;
(c) badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah;
dan/atau; (d) badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yang
berbadan hukum Indonesia. Dijelaskan dalam pasal 8 ayat (2) dan
ayat (3) bahwa hibah dari pemerintah daerah kepada pemerintah
dilakukan dengan ketentuan hibah dimaksud sebagai penerimaan negara
dan/atau hanya untuk mendanai kegiatan dan/atau penyediaan barang
dan jasa yang tidak dibiayai dari APBN. Sedangkan hibah dari
pemerintah daerah kepada pemerintah daerah lain, badan usaha milik
negara atau badan usaha milik daerah dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Frasa dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan inilah yang
dimaksudkan berpedoman pada Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 beserta
perubahannya.Dari penjelasan pasal-pasal yang mengatur tentang
siapa-siapa yang boleh menerima hibah dan apa-apa persyaratan
penerima hibah sesuai Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 dan PP Nomor
2 Tahun 2012, maka dapat dipahami atas beberapa hal sebagai
berikut: pertama, penerima hibah sudah diatur secara limitatif
yaitu pemerintah; pemerintah daerah lainnya; perusahaan daerah;
masyarakat; badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan; dan
badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah; kedua,
hibah kepada masyarakat diberikan dengan persyaratan harus memiliki
kepengurusan yang jelas; dan berkedudukan dalam wilayah
administrasi pemerintah daerah yang bersangkutan; Ketiga, hibah
dapat diberikan kepada organisasi kemasyarakatan dengan
persyaratan: (1) berbadan hukum Indonesia, artinya organisasi
kemasyarakatan tersebut berbadan hukum yang didirikan melalui akta
notaris dan disahkan oleh Menteri yang terkait; (2) telah terdaftar
pada pemerintah daerah setempat sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun,
artinya organisasi kemasyarakatan tersebut telah terdaftar pada
pemerintah daerah sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun melalui satuan
kerja perangkat daerah yang mengurusnya, kecuali ditentukan lain
oleh peraturan perundang-undangan.
SYARAT DAN KRITERIA PENERIMA HIBAH DAN BANTUAN SOSIAL(2)YUSRAN
LAPANANDA, SH. MHKepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan
& Aset Daerah Kab. Gorontalo.
Di akhir catatan saya sebelumnya Syarat dan Kriteria Penerima
Hibah dan Bantuan Sosial (1), telah diberi catatan mengenai hibah
dapat diberikan kepada organisasi kemasyarakatan dengan
persyaratan: (1) berbadan hukum Indonesia, artinya organisasi
kemasyarakatan tersebut berbadan hukum yang didirikan melalui akta
notaris dan disahkan oleh Menteri yang terkait; (2) telah terdaftar
pada pemerintah daerah setempat sekurang-kurangnya tiga (3) tahun,
artinya organisasi kemasyarakatan tersebut telah terdaftar pada
pemerintah daerah sekurang-kurangnya tiga (3) tahun melalui satuan
kerja perangkat daerah yang mengurusnya, kecuali ditentukan lain
oleh peraturan perundang-undangan; (3) berkedudukan dalam wilayah
administrasi pemerintah daerah yang bersangkutan. Dipahami bahwa
organisasi kemasyarakatan tersebut harus berkedudukan dalam wilayah
administrasi pemerintah daerah yang bersangkutan. Misalnya APBD
Kabupaten Gorontalo, maka penerimanya harus organisasi
kemasyarakatan yang berdomisili di wilayah hukum Kabupaten
Gorontalo. Tidak boleh APBD Kabupaten Gorontalo digunakan untuk
membiayai organisasi kemasyarakatan yang berada di Kota Gorontalo,
Kabupaten Bone Bolango dan daerah lainnya atau organisasi
kemasyarakatan di tingkat Provinsi Gorontalo, apalagi di luar
Provinsi Gorontalo; dan (4) memiliki sekretariat tetap, artinya
bahwa organisasi kemasyarakatan tersebut punya kantor tetap di
wilayah Kabupaten Gorontalo.Lebih lanjut jika kita kaji ketentuan
ini, maka siapa-siapa saja penerima hibah daerah sebagaimana yang
diatur dalam Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 dan Permendagri Nomor
39 Tahun 2012 serta PP Nomor 2 Tahun 2012? Akan ditemukan
terjadinya persamaan dan terjadi pula perbedaan. Persamaannya pada
penerima hibah adalah pemerintah dan pemerintah daerah lainnya.
Sedangkan yang lainnya terdapat perbedaan. Permendagri Nomor 32
Tahun 2011 menggunakan frasa perusahaan daerah, sedangkan PP Nomor
2 Tahun 2012 menggunakan frasa badan usaha milik negara atau badan
usaha milik daerah. Demikian pula Permendagri Nomor 32 Tahun 2011
mengunakan frasa organisasi kemasyarakatan yang dibentuk
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sedangkan PP Nomor 2
Tahun 2012 menggunakan frasa badan, lembaga, dan organisasi
kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia. Sebenarnya makna dari
frasa dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan dan frasa
yang berbadan hukum Indonesia adalah sama, oleh karena pada
akhirnya badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan haruslah
berbadan hukum. Pemahaman saya tentang berbadan hukum Indonesia
harus melalui pembuatan akta pendirian melalui notaris sampai
dengan pengesahan oleh Menteri yang terkait. Perbedaan yang berikut
adalah Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 mengenal salah satu penerima
adalah masyarakat, namun PP Nomor 2 Tahun 2012 tidak mengenal
masyarakat sebagai penerima hibah.Yang menjadi kajian kita bersama
adalah manakah regulasi yang kita gunakan? Apakah ketentuan yang
diatur dalam Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 atau PP Nomor 2 Tahun
2012. Beberapa saat yang lalu saya pernah mengkonsultasikan hal ini
ke pihak Kementerian Dalam Negeri, jawaban yang saya dapatkan
adalah Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 merupakan lex spesialis,
sedangkan PP Nomor 2 Tahun 2012 adalah lex generalis. Jawaban ini
sangatlah tidak meyakinkan saya, sebab di dalam Permendagri Nomor
39 Tahun 2012 yang merupakan bagian dan menjadi perubahan atas
Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 di dalam konsiderans mengingat
mencantumkan PP Nomor 2 Tahun 2012, yang berarti bahwa semestinya
seluruh syarat penerima hibah yang diatur dalam PP Nomor 2 Tahun
2012 harus terakomodir atau disesuaikan dalam perubahan Permendagri
Nomor 39 Tahun 2012 (baca Permendagri Nomor 32 Tahun 2011)
tersebut. Demikian pula dalam hirarki peraturan perundang-undangan.
Manakah yang lebih tinggi antara Peraturan Pemerintah dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri? Tentunya jawabannya adalah
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
(Permendagri Nomor 32 Tahun 2011) tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (PP Nomor
2 Tahun 2012).Bantuan SosialUntuk persyaratan penerima bantuan
sosial telah diatur dalam pasal 22 ayat (1) Permendagri Nomor 32
Tahun 2011, pemerintah daerah dapat memberikan bantuan sosial
kepada anggota/kelompok masyarakat sesuai kemampuan keuangan
daerah. Selanjutnya pasal 23 menjelaskan bahwa anggota/kelompok
masyarakat meliputi:a) individu, keluarga, dan/atau masyarakat yang
mengalami keadaan yang tidak stabil sebagai akibat dari krisis
sosial, ekonomi, politik, bencana, atau fenomena alam agar dapat
memenuhi kebutuhan hidup minimum; b) Lembaga non pemerintahan
bidang pendidikan, keagamaan, dan bidang lain yang berperan untuk
melindungi individu, kelompok, dan/atau masyarakat dari kemungkinan
terjadinya resiko sosial.Catatan ini Syarat dan Kriteria Penerima
Hibah dan Bantuan Sosial (2) bersambung ke bagian ketiga.