KEPENTINGAN DIPLOMASI SAWIT INDONESIA DALAM UPAYA MEMPERKENALKAN INDONESIAN SUSTAINABLE PALM OIL (ISPO) PERIODE 2016- 2018 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh : Anugrah Majid Harahap 11151130000005 PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KEPENTINGAN DIPLOMASI SAWIT INDONESIA DALAM
UPAYA MEMPERKENALKAN INDONESIAN SUSTAINABLE
PALM OIL (ISPO) PERIODE 2016- 2018
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Anugrah Majid Harahap
11151130000005
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama
: Anugrah Majid Harahap
NIM
: 11151130000005
Program Studi
: Ilmu Hubungan Internasional
Telah menyelesaikan penulisan Skripsi dengan judul:
KEPENTINGAN DIPLOMASI SAWIT INDONESIA DALAM UPAYA
MEMPEKENALKAN INDONESIAN SUSTAINABLE PALM OIL (ISPO) PERIODE 2016-
2018
dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta,
Mengetahui,
Menyutujui,
Ketua Program Studi
Pembimbing
Muhamad Adian Firnas, S.IP, M.Si.
NIP.
Dr. Rahmi Fitriyanti,S.sos.,M.Si
NIP. 19770914201101200
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
Kepentingan Diplomasi Sawit Indonesia Dalam Upaya Memperkenalkan
Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) Periode 2016-2018
Oleh
Anugrah Majid Harahap
11151130000005
telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 Oktober
2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Sosial (S.Sos.) pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional.
1. Joint Study ISPO- RSPO .................................................................. 67 2. Joint Communique Indonesia dan Malaysia dalam Memprakarsai
Terbentuknya Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC)..71 3. Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership
B. Diplomasi Ekonomi : Terbukanya Pasar Baru ................................................. 103
C. ISPO sebagai Wujud Komitmen Indonesia dalam Penerapan Sustainable
Development Goals (SDGs)................................................................................... 108
BAB V PENUTUP ...................................................................................................................... 112
A. Kesimpulan ................................................................................................................ 112 B. Saran ........................................................................................................................... 115
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ xvi
Berkelanjutan – Tuntutan atau Realitas? : Potensi dan Keterbatasan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)”, Bread for the World Protestant Development Service Protestant Agency for Diaconia and Develpment Caroline Michaelis Straße 1 10115 Berlin, Germany , hal 6.
4 Iga Rolesa Putri, 2017, “Kerjasama Ekspor Crude Palm Oil (CPO) Indonesia Ke Negara
Vietnam Pada Tahun 2012-2015”, JOM FISIP UNRI Volume 4. No. 2 Oktober, hal 2.
2
Indonesia sebesar 5,67% hingga 7,70%. Pada tahun 2016, produksi mengalami
peningkatan sekitar 5,32 % dari tahun 2015, dan pada tahun 2017 peningkatan
dari produksi sawit Indonesia mencapai 9,46%. Selain itu, untuk volume ekspor
minyak kelapa sawit Indonesia pada tahun 2013-2015 juga mengalami
peningkatan sebesar 9,44% hingga 16,06%. Meskipun sempat mengalami
penurunan pada tahun 2016 sebesar 13,69% , namun, pada tahun 2017 ekspor
Indonesia mengalami peningkatan sebesar 19,45% dengan total 29,07 juta ton
dengan perkiraan nilai sebesar 20,72 milliar USD. Negara tujuan utama ekspor
kelapa sawit Indonesia adalah India, dan negara-negara Uni Eropa.5
Senada dengan diatas, bagi Indonesia, minyak kelapa sawit merupakan komoditas
penting. Selain sebagai penyumbang devisi yang besar, sektor kelapa sawit juga
menyerap banyak tenaga kerja, diperkirakan setiap tahunnya sektor kelapa sawit
menyerap 6.000 tenaga kerja baru. Kelapa sawit juga merupakan sumber penghasilan
bagi sekitar 2,3 juta petani kecil, dan sumber mata pencarian bagi 4,6 juta tenaga
kerja yang terbagi di sektor langsung kelapa sawit dan indutsri yang berkaitan, seperti
industri makanan dan produk kebutuhan sehari- hari. Luas lahan kelapa sawit di
Indonesia mencapai 14,03 juta hektar dan 41 % diantaranya adalah milik
smallholders atau petani kecil yang berbasis kerakyatan.6
5 Kemenlu, 2019, “Kajian Mandiri : Peran Diplomasi dalam Mendukung Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan: Tinjauan terhadap Pengelolaan Industri Minyak Nabati”, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Multilateral Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia , ISBN 978-602-51358-4-2, Hal 8.
6 BPPK Kemenlu, 2019, “Kajian Mandiri : Peran Diplomasi dalam Mendukung Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan: Tinjauan terhadap Pengelolaan Industri Minyak Nabati”, Pusat
3
Kelapa sawit Indonesia terus mengalami peningkatan yang positif khususnya dari
segi ekspor dan produksi. Namun, trend positif komoditas kelapa sawit Indonesia yang
terus meningkat ini tidak sejalan dengan dengan image di mata global. Ada banyak
tantangan yang dihadapi kelapa sawit Indonesia. Tantangan yang dihadapi Kelapa
sawit Indonesia yang terus berkembang dan memperluas ekspansi lahannya
diantaranya, kelapa sawit Indonesia dianggap memberikan dampak buruk bagi
lingkungan, menyumbang emisi gas, maraknya deforestasi, dan kebakaran hutan, serta
banyaknya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Terlebih dari itu semua isu yang
dilempar adalah bahwa kelapa sawit Indonesia tidak memiliki standar sertifikasi
sehingga kelapa sawit Indonesia jauh dari prinsip keberlanjutan.7
Dalam hal ini, Indonesia sadar dan tidak ingin mengabaikan substansi negatif
yang dihasilkan dari perkembangan kelapa sawit. Indonesia mulai mengatur dan
menerapkan tata kelola kelapa sawit yang baik dengan berpegang pada prinsip-
prinsip berkelanjutan. Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan citra yang lebih
positif terhadap kelapa sawit Indonesia. Selain itu, adanya desakan konsumen
terutama kosnumen di pasar Uni Eropa agar kelapa sawit yang masuk ke kawasan
tersebut diberikan sertifikasi.
Maka, salah satu langkah yang diambil oleh Pemerintah Indonesia adalah
membentuk serta mengeluarkan sebuah kebijakan kelapa sawit yang berprinsip pada
Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Multilateral Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia , ISBN 978-602-51358-4-2, Hal 9.
7 Fachry Hadyn, 2017, “Kepentingan Ekonomi Indonesia Dalam Memprekarsai CPOPC Tahun 2015”, Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta, hal 14.
4
tata kelola sawit yang berkelanjutan, yaitu, Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
ISPO adalah sebagai sebuah aturan mengenai tata kelola sawit, dan diharapkan dapat
menepis tekanan dan tantangan yang dihadapi, serta isu yang tidak baik mengenai
komoditas kelapa sawit.8 ISPO merupakan kebijakan pemerintah Republik Indonesia
yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian Republik Indonesia (KEMENTAN)
melalui Permentan No. 11 2011 Juncto Tahun 2015.9
ISPO secara umum merupakan kebijakan yang berbentuk sertifikasi produk
sawit dari pemerintah yang dikembangkan selaku wujud tata kelola industri minyak
kelapa sawit yang lebih berkelanjutan. ISPO diklaim dapat meningkatkan daya
saing minyak sawit Indonesia di pasar global serta berkontribusi dalam kurangi
dampak gas rumah kaca. ISPO juga memberi perhatian terhadap masalah
lingkungan serta turut mengakomodasi isu- isu kemiskinan yang dirasakan
kelompok petani kecil (Smallholders).10
ISPO juga merupakan komitmen Indonesia dalam mewujudkan Sustainable
Development Goals (SDGs), yaitu, dengan mengadopsi prinsip-prinsip yang ada
Sawit Indonesia, Kiat- kiat menghadapi Kampanye negatif Kelapa Sawit”, Warta Ekspor, Edisi Juni 2011, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, hal 7-8.
9 Pasal 2 ayat (1) Permentan 11/2015. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No 11/ Permentan/ ot. 140/ 3/ 2015 Tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System/ ISPO)
10 BPPK Kemenlu, 2019, “Kajian Mandiri : Peran Diplomasi dalam Mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan: Tinjauan terhadap Pengelolaan Industri Minyak Nabati”, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Multilateral Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia , ISBN 978-602-51358-4-2, Hal 9.
5
dan pencapaian kesejahteraan bagi semua.11
Kebijakan ini juga dikeluarkan untuk
dapat berpartisipasi dalam rangka memenuhi komitmen Presiden Republik Indonesia
efek gas rumah kaca yang disebabkan oleh industri dan produksi kelapa sawit. 12
Pada penelitian ini, penulis berusaha menghadirkan tantangan keberlanjutan
yang dihadapi kelapa sawit Indonesia dan desakan diwajibkannya sertifikasi. Pada
penelitian ini, penulis juga akan menghadirkan diplomasi sawitnya sebelum adanya
ISPO. Indonesia, demi melindungi permintaan konsumen di kawasan Uni Eropa
serta melindungi kelapa sawit, salah satu usahanya adalah Indonesia bergabung
serta mengikuti kaidah-kaidah yang ada di dalam Roundtable Sustainable Palm Oil
(RSPO).
Indonesia sendiri bergabung dengan RSPO sejak pertama kali didirikan. RSPO
didirikan dengan tujuan mempromosikan produksi minyak sawit berkelanjutan
yang diharap dapat mengurangi deforestasi, melestarikan keanekaragaman hayati,
dan menghargai kehidupan masyarakat kecil penghasil minyak sawit. Untuk
mencapai tujuan tersebut, RSPO mengadopsi Millenium Development Goals
(MDGs) yang terkait dengan 3P yaitu People, Profit, and Planet di dalam Prinsip
dan Kriteria RSPO. 13
11 Kedutaan Besar Republik Indonesia, Republik Polandia, “Indonesian Sustainable Palm Oil : Mekanisme Untuk Mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) 2030” , diakses pada 09 Februari 2020, melalui website resmi Kementerian luar Negeri Republik Indonesia, https://kemlu.go.id/warsaw/id/news/1050/indonesian-sustainable-palm-oil-ispo-mekanisme-untuk-mencapai-sustainable-development-goals-sdgs-2030.
12 Hesti Indah Kresnarini, 2011, “Kampanye Negatif Kelapa Sawit Indonesia, Potensi Kelapa Sawit Indonesia, Kiat- kiat menghadapi Kampanye negatif Kelapa Sawit”, Warta Ekspor, Edisi Juni 2011, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, hal 44-45.
13 BPPK Kemenlu, 2019, “Kajian Mandiri : Peran Diplomasi dalam Mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan: Tinjauan terhadap Pengelolaan Industri Minyak Nabati”, Pusat
Hadirnya RSPO dengan semangat untuk menerapkan konsep berkelanjutan,
membuat Indonesia sebagai produsen kelapa sawit terbesar dunia merasa perlu
mengikuti kaidah-kaidah yang ada di dalam RSPO. Indonesia pada awalnya merasa
bahwa RSPO dapat memberikan standarisasi yang tepat untuk membantu pengelolaan
industri kelapa sawit Indonesia agar berpegang pada prinsip berkelanjutan sehingga
produk kelapa sawit yang dihasilkan mempunyai predikat yang baik, dan tentu hal ini
akan meningkatan daya saing kelapa sawit Indonesia di lingkup global.14
Sejumlah
konsumen kelapa sawit di pasar Eropa dan Amerika Utara kini hanya menggunakan
kelapa sawit yang telah memiliki sertifikat dari RSPO.15
Meskipun pada dasarnya tujuan RSPO adalah demi mewujudkan kelapa sawit
berkelanjutan. Namun, dalam perkembangan dan praktek di lapangan, banyaknya
aturan yang terdapat pada RSPO dianggap hanya mengutamakan konsumen semata,
yaitu pasar Eropa, sementara kepentingan produsen tidak diperhatikan sama sekali.
Perkembangan lainnya juga terlihat pada timbulnya pemikiran bahwa
pengembangan kelapa sawit di Indonesia yang selalu berpedoman pada peraturan
luar negeri yang terkadang tidak sesuai dengan kondisi di Indonesia.
16
Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Multilateral Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia , ISBN 978-602-51358-4-2, Hal 22.
14 Saqira Yunda Imansari, 2011, “Penetapan Kebijakan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) Pada Tahun 2011”, e Jurnal, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Jember, Hal 8.
Sawit Indonesia, Kiat- kiat menghadapi Kampanye negatif Kelapa Sawit”, Warta Ekspor, Edisi Juni 2011, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, hal 47.
20 Republika.co.id, 2018, “Sertifikasi ISPO Belum Cukup untuk Ekspor Sawit ke Eropa”,Diakses pada 11 Mei 2020 melalui https://www.republika.co.idberita/ekonomi/pertanian18/12/05/pj8o6f368-sertifikat-ispo-belum-cukup-untuk-ekspor-sawit-ke-eropa
27 Nicholas Bayne dan Stephen Woolcock, 2017, “The New Economy Diplomacy DecicionMaking and Negotiation in International Relations”, New York: Routledge, Hal.4.
28 Bayne dan Woolcock, “The New Economy Diplomacy”, Hal.61.
Seluruh langkah dalam upaya diplomasi ini juga digunakan sebagai strategi
Indonesia dalam meningkatkan nilai perdagangan internasionalnya di sektor
kelapa sawit. Tentunya juga dalam aktivitas diplomasi memperkenalkan
Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), setiap langkah dalam aktivitas
diplomasinya tidak luput dari komponen-komponen ekonomi. Terlebih, kelapa
sawit adalah komoditas penting bagi perekonomian Indonesia.
3. Konsep Sustainable Development
Konsep selanjutnya, selain menggunakan konsep kepentingan nasional,
dan konsep diplomasi ekonomi, penelitian ini juga menggunakan konsep
sustainable development atau pembangunan berkelanjutan.
Menurut Emil Salim, pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan dan
aspirasi manusia. Pembangunan yang berkelanjutan pada hakekatnya ditujukan
untuk mencari pemerataan pembangunan antar generasi pada masa kini maupun
masa mendatang. 29
Sedangkan menurut Kementerian Lingkungan Hidup RI (KLHRI),
pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan (yang pada dasarnya lebih
berorientasi ekonomi) dapat diukur keberlanjutannya berdasarkan tiga kriteria
29 Askar Jaya, 2004, “Konsep Pembangunan Berkelanjutan”, Program S3 Institut Pertanian Bogor, Hal 2.
22
yaitu : (1) Tidak ada pemborosan penggunaan sumber daya alam atau depletion
of natural resources; (2) Tidak ada polusi dan dampak lingkungan lainnya; (3)
Kegiatannya harus dapat meningkatkan useable resources ataupun replaceable
resource.30
Dalam lingkup global, sustainable development atau pembangunan
berkelanjutan merupakan sebuah konsep yang hadir akibat terjadinya
permasalahan yang diakibatkan oleh perbuatan manusia dan dirasakan pada saat
itu. Permasalahan yang dimaksud adalah meningkatnya keprihatinan terhadap
eksploitasi sumber daya alam (SDA) demi pembangunan ekonomi dengan
megorbankan kualitas lingkungan. Dengan semakin menguatnya keprihatinan
ini, dibentuklah suatu badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang
diberi nama United nations World Commissiom on Environtment and
Development (UNWCED).31
Pembentukan badan ini dimaksudkan untuk membahas lebih jauh
mengenai pembangunan berkelanjutan. Dalam “Our Common Future”yang
dipublikasikan oleh WCED pada tahun 1987. Dalam WCED, pembangunan
berkelanjutan adalah pembangunan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
30 Askar Jaya, 2004, “Konsep Pembangunan Berkelanjutan”, Program S3 Institut
Pertanian Bogor, Hal 2.
31 Wina Sumiati, 2018, “Upaya Southeast Asian Ministers of Education (SEAMEO) Dalam Mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) Poin 4.2 Periode 2017-201”8, Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidatullah Jakarta, hal 25.
23
saat ini tanpa harus mengorbankan generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri.32
Dari pengertian tersebut, tersirat pesan agar proses pembangunan
berkelanjutan dapat tercapai, tidak hanya hak generasi sekatang saja yang perlu
dipenuhi kebutuhannya tetapi juga generasi mendatang, termasuk didlamnya
perihal perolehan sumber daya alam. Hal ini lah kemudian yang menjadi konsep
penting dalam pembangunan berkelanjutan.
Upaya diplomasi yang dilakukan Indonesia dalam memperkenalkan
ISPO adalah salah satu bentuk komitmen Indonesia dalam tata kelola kelapa
sawit yang berorientasi pada prinsip pembangunan berkelanjutan. Oleh karena
itu, konsep sustainable development sangat tepat untuk dijadikan sebagai alat
analisis dalam skripsi ini guna untuk mempermudah mengetahui kepentingan
Indonesia dalam upaya memperkenalkan ISPO sebagai komitmen kelapa sawit
berkelanjutan Indonesia.
F. Metode Penelitian
Secara umum, metode penelitian merupakan rencana atau gambaran dari suatu
kegiatan yang disusun secra sistematis dan terperinci dengan pada akhirnya akan
diikuti dengan realisasi kegiatan itu sendiri.33
Selain itu, menurut Sugiyono, metode
32 World Commissionon Environtment and Development, “Our common Future”, Diakses pada
24 Agustus 2020 melalui www.un-documents.net/our-common-future.pdf. 33 “Defenisi Metodologi penelitian”, diakses melalui https://idtesis.com/metode-penelitian2.
people, planet, profit (3P) terkait Prinsip dan Kriteria (P&C) pembudidayaan
tanaman kelapa sawit berkelanjutan.39
Data 2014, RSPO mempunyai 1439 anggota, diantaranya 911 adalah anggota
biasa, 427 disebut sebagai anggota rantai pasokan dan 101 sebagai anggota afilias.
Sselain perusahaan-perusahaan besar pelaku industri makanan seperti, Unilever,
Ferrero, P & G dan Nestle, terdapat juga anggota dari Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) seperti WWF, Solidaridad dan Oxfam. Namun jumlah mereka
hanya sebagian kecil dari jumlah total keanggotaan. Para anggotanya ada berasal dari
berbagai negara di seluruh dunia.40
Indonesia sendiri telah bergabung dengan RSPO sejak berdirinya lembaga
tersbut hal ini demi mengamnkan posisinya dalam perdagangan kelapa sawit.
Meskipun bersifat sukarela namun dengan bergabung memberikan daya tawar
menarik bagi pasar kelapa sawit Indonesia terutama pasar eropa yang rata- rata
menggunakan menggunakan skema sertifikasi RSPO.
Dari Jerman bergabung 190 anggota yang merupakan jumlah tertinggi untuk satu
negara. Perusahaan Jerman menempati posisi pertama dalam pemerolehan lisensi untuk
menggunakan segel dan label RSPO, saat ini ada 20 perusahaan Jerman yang
39
http://www.id.undp.org/content/indonesia/en/home/library/environtment_energy/study-bersama-persamaan-dan-perbedaan-sistem-sertifikasi-ispo-da.html, diases pada 16 Oktober 2019, pukul 15:19 WIB.
40 World Growth, 2009, “Palm Oil- The Sustainable Oil, A Report by World Growth”, September
telah mendapatkan lisensi tersebut dan dengan demikian mereka diperbolehkan
menggunakan segel tersebut, jikalau mereka ingin menggunakanya. 41
Anggota RSPO berkewajiban untuk memenuhi prinsip-prinsip RSPO yang
pematuhannya diverifikasi melalui kontrol. Namun demikian, pada awal
keanggotaanya dalam RSPO, sebuah perusahaan tidak harus langsung hanya
memproduksi minyak kelapa sawit yang bersertifikat, tetapi hal ini dapat dilakukan
secara bertahap hingga produksinya dapat beralih menjadi 100 persen sesuai dengan
jadwal yang ditetapkan. Selama masa transisi, mereka boleh menjual minyak kelapa
sawit bersertifikat, selama minyak tersebut diperoleh dari perkebunan yang telah
bersertifikat. Pada bulan Juli 2013, terdapat 44 dari 126 produsen minyak sawit yang
semuanya anggota RSPO yang sudah memiliki seritifikat.42
Dalam RSPO sendiri ada tiga jenis keanggotaan. Pertama anggota biasa.
Mereka dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari tujuh pemangku kepentingan
sektor minyak sawit, walalupun mereka aktif dalam beberapa bidang lainnya. Kedua,
anggota afiliasi yang bukan merupakan lembaga-lembaga dalam bidang
pengembangan dan penelitian. Tugas mereka adalah memantau aktivitas dan tujuan
RSPO.43
Dengan demikian mereka dapat mengikuti perkembangan dalam rapat umum
anggota, tanpa memiliki hak suara. Ketiga, terdapat kemungkinan menjadi anggota
41 World Growth, 2009, “Palm Oil- The Sustainable Oil, A Report by World Growth”, September
2009. 42 Yoan Angelika, 2015, “Kebijakan Pemerintah Pasca Keluar dari Roundtable on Sustainable
Palm Oil (RSPO)”, Universitas Riau : Jurnal Fisip Volume 2 No.2, Oktober, hal 4.
43 Yoan Angelika, 2015, “Kebijakan Pemerintah Pasca Keluar dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)”, Universitas Riau : Jurnal Fisip Volume 2 No.2, Oktober, hal 5.
32
rantai pasokan RSPO. Mereka adalah perusahan-perusahaan yang memproduksi
minyak kelapa sawit atau turunannya yang jumlah kurang dari 500 ton per tahun.
Semua anggota adalah bagian dari Majelis Umum, yang diwakili oleh Dewan
Eksekutif masing-masing. Dewan eksekutif ini terdiri dari 16 orang yang berasal dari
tujuh sektor. Setiap sektor mengrimkan dua orang wakilnya, terkecuali sektor
produsen minyak sawit yang diwakili oleh empat orang.44
Dalam hal ini juga pada RSPO pastiya memiliki prisip serta aturan yang
berlaku. Aturan yang harus dipatuhi oleh para anggota RSPO ada terangkum dalam
panduan prinsip-prinsip dan kriteria RSPO, yang disusun pada tahun 2007 dan
kemudian direvisi pada tahun 2013. Aturan-aturan tersebut harus disesuaikan dengan
hukum nasional dan kondisi lokal seperti upah minimum stempat.45
Oleh karna itu, rinciannya dapat bervariasi dari satu negara ke negara lain,
untuk menjadi anggota RSPO, produsen, pengolah dan pedagang minyak sawit harus
memnuhi delapan prinsip yaitu : 46
a. “Kewajiban terhadap transparansi
b. Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku
c. Komitmen terhadap vitabilitas keuangan dan ekonomis jangka panjang
d. Penerapan praktik-praktik terbaik dan tepat oleh pengusaha perkebunan
dan pabrik minyak sawit
44 Angelika, Yoan. “Kebijakan Pemerintah Indonesia Pasca Keluar dari Roundtable on
Sustainable Palm Oil (RSPO)”. Universitas Riau: Jurnal FISIP Volume 2 No. 2, Oktober, hal 5.
45 Angelika Yoan, “ Kebijakan Pemerintah Indonesia Pasca Keluar dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)”, Universitas Riau: Jurnal FISIP Volume 2 No. 2, Oktober, 2015, hal 5
46 RSPO, “RSPO: Principles and Criteria for the Production of Sustainable Palm Oil”. Diakses melaui http://www.rspo.org/file/PnC_RSPO_Rev1.pdf. Diakses pada 10 Januari 2020.
e. Tanggung jawab lingkungan dan konversi sumber daya dan
keanekaragaman hayati
f. Pertimbangan bertanggung jawab atas pekerja, individu dan komunitas
yang terpengaruh oleh kegiatan pengusaha perkebunan dan pabrik minyak
kelapa sawit
g. Pengembangan penanaman baru secara bertanggung jawab
h. Komitmen untuk perbaikan terus menerus dalam area-area kegiatan
utama”.
Sebagaimana sudah dijelaskan di atas. Keanggotaan RSPO adalah bersifat
sukarela, namun dalam langkah upaya diplomasinya sebelum adanya ISPO,
Indonesia bergabung RSPO . Hal ini dilakukan agar memenuhi permintaan pasar dan
kosumen tyang berkaitan dengan komoditas kelapa sawit.
2. Indonesia- Malaysia Palm Oil Group (IMPOG)
Produksi minyak sawit dunia didominasi oleh Indonesia dan Malaysia. Kedua
negara ini secara total menghasilkan sekitar 85-90% dari total produksi minyak sawit
dunia. Dalam jangka panjang, permintaan dunia akan minyak sawit menunjukkan
kecenderungan meningkat sejalan dengan jumlah populasi dunia yang bertumbuh
dan karenanya meningkatkan konsumsi produk-produk dengan bahan baku minyak
sawit seperti produk makanan dan kosmetik. 47
47 Indonesian Investment, 2017, “Minyak Kelapa Sawit”, diakses melalui https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-sawit/item166? , diakses pada 05 Februari 2020.
Pada perjalananya kontribusi produksi minyak sawit Indonesia terus
meningkat dari masa ke masa, dari 14% tahun 1965 menjadi 15% tahun 1980 dan
54% pada tahun 2016. Peranan produksi minyak sawit Indonesia, terus mengalahkan
kontribusi produski minyak sawit Malaysia, yaitu 15% pada tahun 1965, meningkat
55% tahun 1980, namun berkurang hanya menjadi 32% pada tahun 2016. Meskipun
adanya persaingan yang sengit, kedua negara tetap melakukan kerjasama dalam
menangkal hal- hal yang mengganggu mereka sebagai produsen terbesar komoditas
minyak kelapa sawit.
Kontribusi produksi komoditas minyak sawit Indonesia dan Malaysia
terhadap penyediaan minyak nabati dunia, yang terus meningkat, menjadikan kedua
negara menjadi sasaran kampanye negatif yang terus menyudutkan produk minyak
kelapa sawit kedua negara. Sebagaimana kita ketahui Minyak kelapa sawit
merupakan kontributor terbesar terhadap penyediaan minyak nabati dunia. Dalam
menghadapi banyaknya tantangan tersebut, kedua negara produsen Indonesia dan
Malaysia, berunding bersama menghadapi ancaman kampanye hitam yang dilakukan
oleh banyak pihak seperti NGO lokal, nasional, dan transnasional di Eropa.
Kerja sama itu diformalkan dalam bentuk kesepakatan bersama, Memorandum of
Understanding (Mou) yang dilakukan antara pemerintah Indonesia dan Malaysia yang
bertujuan untuk menjamin usaha bersama dan posisi antarnegara produsen sawit. MoU
ini di tandatangani pada 2006 dan terus berulang sampai 2013. Kerja sama antara
Indonesia dan Malaysia ini lahir karena adanya saling ketergantungan dalam masalah
modal (investasi) dan tenaga kerja. Dari sudut modal, Malaysia memiliki kepentingan
35
menjaga investasi terbesar kedua negara dalam perkebunan sawit di Indonesia atau
menguasai 26% lahan sawit di Indonesia. 48
Bahkan, kini pemodal Malaysia justru ditarik pemerintah Indonesia untuk
menanamkan modalnya, terutama dalam industri pengolahan sawit yang lebih maju
daripada di Indonesia. Sebaliknya, keberhasilan bisnis sawit Malaysia juga bergantung
pada suplai tenaga kerja dari Indonesia yang masuk secara resmi ataupun tidak resrmi.
Misalnya pada tahun 2014, sekitar 80% tenaga kerja perkebunan kelapa sawit
Malaysia berasal dari Indonesia. 49
Untuk Indonesia sendiri, hadirnya pengusaha sawit Malaysia jelas memberi
sumbangan terhadap pendapatan negara. Selin itu, rekrutmen tenaga kerja Indonesia
di perkebunan kelapa sawit Malaysia akan mengurangi tingkat pengangguran di
Indonesia. Saling ketergantungan ini disebut sangat menguntungkan, hal tersebut
diungkapkan Wakil Perdana Menteri Malaysia Najib Razak pada penandatangan MoU
tersebut :50
“Indonesia dan Malaysia melakukan kesepakatan dalam bentuk penetapan jumlah
output yang akan diproduksi karena Indonesia di sini merasa khawatir jika Malaysia
mencabut investasinya, yang pada akhirnya akan mengurangi volume produksi kelapa
sawit yang dihasilkan dan akan menyebabkan menurunnya keuntungan Indonesia. Hal
ini juga berlaku untuk Malaysia, karena Malaysia juga memiliki kendala dalam
keterbatasan lahan dan keterbatasan tenaga kerja. Kita telah sepakat untuk
48
Erman E, 2017, “Di Balik Keberlanjutan Sawit : Aktor, Aliansi Dalam Ekonomi Politik Sertifikasi Uni Eropa”, Jurnal Masyarakat Indonesia, Vol 43 No 1, Juni 2017, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), hal 6.
50
Erman E, 2017, “Di Balik Keberlanjutan Sawit : Aktor, Aliansi Dalam Ekonomi Politik Sertifikasi Uni Eropa”, Jurnal Masyarakat Indonesia, Vol 43 No 1, Juni 2017, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), hal 6. .
36
meningkatkan produksi dan pemasaran CPO dengan membentuk aliansi strategi.”(Pidato Najib saat penandatanganan MoU, 25 Mei 2006).
Adanya kesepakatan resmi dari kedua negara ini menjadi jalan masuk untuk
merancang berbagai kegiatan yang bertujuan menghadapi tantangan perdagangan
minyak sawit ke Eropa. Kesepakatan ini dinamai Indonesia-Malaysia Palm Oil
Group (IMPOG), yang merupakan wadah antar produsen kelapa sawit Indonesia dan
Malaysia untuk menyusun program kerja sama, research and development (R&D),
komunikasi, dan strategi agar mempunyai persepsi yang sama dalam upaya
menghadapi tekanan asing atas kedua negara produsen utama sawit. 51
Di dalam IMPOG ini sendiri berisi dan beranggotakan enam asosiasi yang fokus
di bidang minyak kelapa sawit, yaitu Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia
(GAPKI), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Malaysian Palm
Oil Association (MPOA), Asosiasi Pemilik Perkebunan Minyak Sawit Serawak
(SOPPOA), Federal Land Development Authority (FELDA), dan Asosiasi Investor
Perkebunan Malaysia di Indonesia (APMI). Pertemuan kedua negara tersebut
berlangsung di Kuching, Malaysia, pada 2010. Kesepakatan bersama antara
Indonesia dan Malaysia telah melahirkan sikap yang sama sekali tidak bergantung
pada negara konsumen Uni Eropa.
Sikap ini tecermin dari usaha-usaha, pertama, pembentukan sertifikasi sebagai
respons terhadap sertifikasi sawit global yaitu RSPO yang dinilai tidak efektif.
Pembentukan badan sertifikasi oleh kedua negara ini merupakan bukti peranan negara-
51 Erman E, 2017, “Di Balik Keberlanjutan Sawit : Aktor, Aliansi Dalam Ekonomi Politik
Sertifikasi Uni Eropa”, Jurnal Masyarakat Indonesia, Vol 43 No 1, Juni 2017, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), hal 6 .
37
negara berkembang, yang selama ini dianggap lemah dan bergantung pada negara
maju, ternyata cukup kuat dalam bernegosiasi dengan negara-negara maju seperti uni
Eropa. Kedua, negara produsen ini membentuk kekuatan yang lebih besar dengan
menarik negara-negara produsen sawit lain menghadapi negara konsumen Uni
Eropa. Ketiga, aktor-aktor di kedua negara melakukan diplomasi dagang tingkat
tinggi dengan Uni Eropa .52
Dengan dibentuknya IMPOG merupakan salah satu wujud upaya diplomasi yang
dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia dibidang kelapa sawit demi melindungi
komoditas kelapa sawit beserta turunannya. Selain itu, sebagaimana dijelaskan diatas
salah satu tujuan kedua negara membentuk wadah ini adalah ingin membentuk
sertifikasi kelapa sawit yang tentunya lebih berpihak kepada kedua negara. Dan bagi
Indonesia sendiri kesepakatan IMPOG tersebut merupakan wujud dan cikal bakal
dari dibentuknya kebijakan Indonesian Sustainale Palm Oil (ISPO), sedangkan bagi
Malaysia ini merupakan wujud cikal bakal dari kebijakan Malaysian Sustainable
Palm Oil (MSPO).
52
Erman E, 2017, “Di Balik Keberlanjutan Sawit : Aktor, Aliansi Dalam Ekonomi Politik Sertifikasi Uni Eropa”, Jurnal Masyarakat Indonesia, Vol 43 No 1, Juni 2017, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), hal 7.
38
B. Tantangan Keberlanjutan Kelapa Sawit Indonesia
1. Kebijakan Renewable Energi Directive I (RED I) dan Trilogue Renewable
Energi Directive II (RED II) oleh Komisi Eropa
Komisi Eropa menerapkan kebijakan subsidi untuk mencapa target jangka
panjang dalam mengurangi ketergantungan terhadap minyak fosil. Kebijakan ini
merupakan penerapan dari keputusan komite Eropa yang mewajibkan penggunaan
2% biofuel pada sarana transportasi. Sebagian besar minyak nabati yang diproduksi
oleh Uni Eropa adalah minyak nabati yang berasal dari minyak rapeseed yang
berjumlah 90%, sementara minyak lainnya yang di produksi oleh Uni Eropa berasal
dari bunga matahari, kelapa sawit dan kedelai. Dari segi produktivitas minyak kelapa
sawit menghasilkan energi yang lebih tinggi dan menggunakan lahan yang lebih
sedikit dibandungkan dengan minyak rapeseed yang diproduksi oleh Uni Eropa.53
Kebijakan ini ada di dalam Directives 2001/77/ dan EC 2003/30/EC kemudian
diperbaharui dalam Directive 2009/2008/EC of The European Parliament And Of The
Council Of 23 April 2009, yang kemudian dikenal Renewable Energy Directive (RED).
Dalam kebijakan RED Uni Eropa menerapkan target penggunaan energi terbarukan pada
listrik, Heating and cooling dan Biofuel sebesar 20% pada tahun 2020. Kebijakan ini
mengikat secara hukum dan harus dilakukan oleh negara anggota. 54
53 Frederick Erickson, 2009, “Green Protectionism in the European Union: How Europe’s
Biofuels Policy and the Renewable Energy Directive Violate WTO Commitments", ECIPE OCCASIONAL Paper No.1/2009.
54 Intan Tiara Kartika, 2016, “Interaksi Kebijakan Renewable Energy Directive dan Kebijakan Indonseian Sustainable Palm Oil Terhadap Ekspor kelapa sawit Indonesia ke Uni Eropa”, Skripsi, Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin Makassar, hal 33.
39
RED adalah sebuah kebijakan yang memiliki tiga tujuan utama yaitu,
memastikan pasokan aman, berdaya saing, dan berkesinambungan.55
Ini dibentuk
untuk menekankan keinginan Uni Eropa dalam mengatasi masalah lingkungan
dengan menggunakan sumber energi terbarukan. Adapun yang dimaksud dengan
sumber energi terbarukan menurut Uni Eropa adalah angin, energi matahari,
hidrotermal dan energi laut, tenaga air, biomassa, gas landfill, limbah gas pabrik
pengolahan biogas seperti yang tercantum pada pasal 2 point (a), “energy from
renewable sources’ means energy from renewable non-fossil sources, namely wind,
solar, aerothermal, geothermal, hydrothermal and ocean energy, hydropower,
biomass, landfill gas, sewage treatment plant gas and biogases”.56
RED menerapkan persyaratan bagi 27 negara anggota Uni Eropa dan tiga nega
lain yang termasuk dalam area ekonomi Eropa (Iceland, Lichtenstein, dan Norwegia)
untuk mengadopsi target wajib nasional yaitu’ 20-20-20’. Target ini dibentuk untuk
memastikan yang harus dicapai melaului efisiensi energi 2020.
Perhitungan akhir konsumsi energi terbarukan yang 20% ini mengacu pada jumlah
total energi yang dikonsumsi oleh setiap negara anggota dari berbagai sektor Tidak
hanya itu, dalam RED diatur pula sasaran 10% untuk penggunaan
55 Intan Tiara Kartika, 2016, “Interaksi Kebijakan Renewable Energy Directive dan Kebijakan
Indonseian Sustainable Palm Oil Terhadap Ekspor kelapa sawit Indonesia ke Uni Eropa”, Skripsi, Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin Makassar, hal 33.
56 Renewable Energy Directive 2009/28/EC hal 27 diakses melalui https://www.eea.europa.eu/policy-documents/2009-28-ec . Diakses pada 17 Januari 2020.
57 T Wyns, “EU Governance of Renewable Energy Post-2020”, hal 4, diakses melalui https://eu.boell.org/sites/default/files/eu_renewable_energy_governance_post_2020.pdf. Diakses pada 17 Januari 2020.
energi terbarukan pada bidang transportasi. Energi terbarukan bisa berasal dari
berbagai sumber, tetapi sumber utama transportasi harus berasal dari biofuel. RED
menetapkan sasaran ini untuk meningkatkan konsumsi yang lebih besar dalam
penggunaan biofuel Uni Eropa.58
RED tersebut dibentuk atas dasar pandangan
berkelanjutan (sustainable). Karakterisitik berkelnjutan untuk biofuel dapat dilihat
pada pasal 17 dalam Renewable Energy Directives, yaitu penghematan emisi gas
rumah kaca dan persyaratan penggunaan lahan. Biofuel ini harus bersifat
berkelanjutan untuk dapat mendukung target wajib dari energi terbarukan dan agar
dapat memenuhi syarat untuk mendukung ekonomi Uni Eropa.59
Selain itu untuk dapat memenuhi kriteria berkelanjutan (sustainable) emisi gas
rumah kaca harus berada di ambang batas tertentu, dimana batas minimumnya adalah
35%. RED menjabarkan metode untuk menghitung jumlah emisi gas dilihat dari (1)
ekstraksi dan budidaya bahan baku, (2) perubahan penggunaan lahan, (3) pengolahan
dan (4) distribusi dan tranportasi. Selain itu, penghematan emisi dapat ditingkatkan
melalui manajemen pertanian dan proses pengangkapan karbon. Jumlah emisi yang
menggunakan metode RED kemudian dibandingkan dengan emisi dari bahan bakar
fosil, kemudian dijumlahkan untuk menghitung total tingkat penghematan emisi.60
58 Intan Tiara Kartika, “Interaksi Kebijakan Renewable Energy Directive dan Kebijakan
Indonesian Sustanaible Palm Oil Terhadap Ekspor kelapa sawit Indonesia Ke Uni Eropa”, Skripsi, Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin Makassar, 2016, hal 35.
59 Taufan Ardiansyah, CNBC News, “Tak Disangka, Gara-gara Ini Uni Eropa Hantam Sawit
RI!”, diakses melalui https://www.cnbcindonesia.com/news/20190822140737-4-93924/tak-disangka-gara-gara-ini-uni-eropa-hantam-sawit-ri . Diakses pada 22 Maret 2020.
60 Andreas Lendle and Malorie Schaus, “Sustainability Criteria In The EU Renewable Energy Directive:Consistent With WTO rules”, ICSTD Project on WTO Juripundence and Sustinable Development 202, hal 3.
Kebijakan RED juga mengatur nilai default untuk berbagai macam biofuel yang
digunakan sebagai alternatif dari kasus ke kasus. Produsen diberikan pilihan untuk
memilih antara nilai default dan nilai penghematan emisi yang sebenarnya, dimana
apabila nilai default emisi terlampau tinggi untuk biofuel dalam artian tingkat
penyimpanan terlalu rendah, mereka bisa menghitung nilai yang sesungguhnya.61
Selain masalah Greenhouse Gas (GHG), RED juga menyoroti masalah
penggunaan lahan. Dijelaskan lebih lanjut pada paal 17 (3)-(5) dari EU RED berisi
tiga kriteria penggunaan lahan yang digunakan untuk menghasilkan bahan baku 38
biofuel yaitu : tanah dengan keanekaragaman hayati, tanah dengan karbon tinggi, dan
tanah gambut.62
Pada pasal 17 ayat 3 – 5 dijelaskan bahwa biofuel tidak boleh berasal dari bahan
mentah yang ditanam pada lahan yang mengandung nilai keanekaragaman yang
tinggi, dimana termasuk didalamnya hutan dan lahan berpohon, area yang diciptakan
untuk perlindungan alam, spesies langka, terancam dan membahayakan, serta padang
rumput yang dengan keanekaragaman hayati.63
Kedua, biofuel tidak boleh dibenuk
dari lahan dengan jumlah karbon yang tinggi, seperti tanah yang subur dan hutan. 64
61 Intan Tiara Kartika, “Interaksi Kebijakan Renewable Energy Directive dan Kebijakan
Indonesian Sustanaible Palm Oil Terhadap Ekspor kelapa sawit Indonesia Ke Uni Eropa”, Skripsi, Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin Makassar, 2016, hal 36.
62 Renewable Energy Directive 2009/28/EC hal 3 diakses melalui
https://www.eea.europa.eu/policy-documents/2009-28-ec . Diakses pada 17 Januari 2020. 63
Renewable Energy Directive 2009/28/EC hal 3 diakses melalui https://www.eea.europa.eu/policy-documents/2009-28-ec . Diakses pada 17 Januari 2020.
64 Intan Tiara Kartika, “Interaksi Kebijakan Renewable Energy Directive dan Kebijakan
Indonesian Sustanaible Palm Oil Terhadap Ekspor kelapa sawit Indonesia Ke Uni Eropa”, Skripsi, Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin Makassar, 2016, hal 38.
Pada Tahun 2011”, e Jurnal, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Jember, Hal 8 67 Taufan Ardiansyah, CNBC News, “Tak Disangka, Gara-gara Ini Uni Eropa Hantam Sawit
RI!”, diakses melalui https://www.cnbcindonesia.com/news/20190822140737-4-93924/tak-disangka-gara-gara-ini-uni-eropa-hantam-sawit-ri . Diakses pada 22 Maret 2020.
khusunya Indonesia, industri sawit merupakan lapangan usaha bagi banyak petani
kecil. Kala ekspor terhambat dengan aturan non tarif tersebut, maka akan ada banyak
petani kecil yang terdampak. Pemerintah Indonesia saat ini sedang menyiapkan
gugatan untuk Uni Eropa terkait diskriminasi sawit. Gugatan akan dilakukan melalui
World Trade Organization (WTO) .68
Keluarnya RED I dan RED II membuat posisi kelapa sawit Indonesia menjadi
terancam. Kelapa sawit Indonesia mulai diberi batasan dengan berbagai standar yang
ditetapkan oleh Uni Eropa salah satunya melalui kebijakan RED tersebut. Selain itu,
minyak sawit yang masuk ke Uni Eropa juga harus melalui proses sertifikasi yang
berbelit, salah satu yang diakui dikawasan tersebut yaitu, Roundatable Sustainable
Palm Oil (RSPO). Hal ini tentunya membuat Indonesia tidak tinggal diam yaitu
dengan masif memperkenalkan sertifikasi kelapa sawit berkelanjutannya yaitu
Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
2. Resolusi Parlemen Uni Eropa Palm Oil and Deforestation of The Rainforest
Pada 4 April 2017, Parlemen Uni Eropa mengeluarkan Resolusi 2016/2222, yang
dinamakan dengan Palm Oil Deforestation of The Rainforest (Kelapa Sawit dan
Deforestasi Hutan Huhan) diajukan berdasarkan pada tudingan bahwa pengembangan
kelapa sawit dan industrinya menjadi penyebab utama deforestasi dan perubahan iklim.
Selain itu, resolusi tersebut juga bertujuan akhir agar minyak sawit tidak
68 Taufan Ardiansyah, CNBC News, “Tak Disangka, Gara-gara Ini Uni Eropa Hantam Sawit
RI!”, diakses melalui https://www.cnbcindonesia.com/news/20190822140737-4-93924/tak-disangka-gara-gara-ini-uni-eropa-hantam-sawit-ri . Diakses pada 22 Maret 2020.
dimasukkan sebagai bahan baku program biodiesel Uni Eropa mulaitahun 2020.
Industri minyak kelapa sawit dianggap sebagai pemicu utama deforestasi.69
Keluarnya Resolusi tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi produk kelapa
sawit Indonesia, terutama yang akan memasuki pasar Uni Eropa. Data statistik
menyebutkan bahwa Uni Eropa merupakan tujuan ekspor terbesar kedua minyak
kelapa sawit Indonesia, setelah India, yang berkontribusi terhadap nilai ekspor kelapa
sawit Indonesia. Besaran nilai ekspor kelapa sawit Indonesia pada tahun 2016
merupakan yang terbesar dibandingkan dengan ekspor Indonesia di sektor non-migas
lainnya. Dengan posisi strategis tersebut, isu ini menjadi perhatian bagi seluruh pihak
terkait di Indonesia karena terganggunya ekspor kelapa sawit Indonesia ke UE akan
berdampak pada perekonomian Indonesia secara keseluruhan. 70
Begitupun bagi negara- negara Asia Tenggara (ASEAN) lainnya, yang
merupakan pelaku perkebunan komoditi tersebut, bagi negara dikawasan ASEAN
Resolusi tersebut berisi dua proposal yang sangat kontroversial. Yang pertama adalah
pengembangan skema sertifikasi tunggal baru untuk produk minyak sawit dan kelapa
sawit yang dimulai pada tahun 2020. Yang kedua adalah penghapusan bertahap dan
penggantian minyak sawit yang digunakan dalam biofuel dengan minyak nabati yang
ditanam di Uni Eropa, juga dimulai pada tahun 2020.71
69 Edhy Prabowo, Kompas.com, 2017, ”Resolusi Sawit Parlemen Eropa yang Merugikan Indonesia”, Diakses pada melalui 5 Desember 2019 melalui https://ekonomi.kompas.com/read/2017/12/05/155319126/resolusi-sawit-parlemen-eropa-yang-merugikan-indonesia.
70 Dr. Windratmo Suwarno,2017,“Diplomasi Indonesia Menghadapi Kampanye Negatif Kelapa Sawit Di Uni Eropa”, Staf Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri.
71 Singapore Institute Of International Affairs (SIIA),” Why does the EU’s recent Resolution on Palm Oil matter to ASEAN?”, Diakses melalui http://www.siiaonline.org/why-does-the-eus-recent-resolution-on-palm-oil-matter-to-asean/. Diakses pada 16 Mei 2019.
Jika ditegakkan, Resolusi tersebut mengancam untuk menutup sebagian besar
industri minyak sawit ASEAN dari pasar UE yang menguntungkan. Pasar minyak
sawit UE bernilai sekitar S $ 8,3 miliar dan menyumbang 17 persen (4,37 juta ton)
dari Indonesia dan 13 persen (2,09 juta ton) dari ekspor minyak sawit Malaysia,
masing-masing. Kehilangan akses ke pasar ini akan berdampak negatif pada banyak
komunitas sawit di Indonesia dan di kawasan ASEAN lainnya, yang bergantung pada
minyak sawit untuk mata pencaharian mereka.
Di Indonesia, keluarnya resolusi sawit Parlemen Eropa menuai berbagai kritik
dari aktor-aktor negara. Bukan hanya dari aktor-aktor negara yang berkepentingan
mengurusi sawit, seperti Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, dan Menteri
Lingkungan Hidup, protes terhadap resolusi tersebut juga datang dari Presiden dan
Wakil Presiden. Pendapat yang mengemuka adalah bahwa resolusi itu merupakan
bentuk politik diskriminatif terhadap minyak nabati. Sebab, resolusi itu akan
mendorong Uni Eropa menghilangkan penggunaan minyak sawit dan secara
terselubung menghambat perdagangan sawit Indonesia ke negara kawasan Eropa.72
3. Kampanye dan Aksi Aktor non Negara terhadap Kelapa sawit Indonesia
Organisasi internasional dalam hubungan internasional peranannya saat ini telah
diakui karena keberhasilannya dalam memecahkan berbagai persoalan serta
permasalahan yang dihadapi oleh sebuah negara. Pada saat ini, bahkan organiasi
internasional dianggap dapat mempengaruhi pola perilaku negara secara langsung dan
72 Erman E, 2017, “Di Balik Keberlanjutan Sawit : Aktor, Aliansi Dalam Ekonomi Politik
Sertifikasi Uni Eropa”, Jurnal Masyarakat Indonesia, Vol 43 No 1, Juni 2017, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), hal 7
47
tidak langsung. Hadirnya organisasi internasional mencerminkan keutuhan manusia
untuk saling bekerja sama, sekaligus sebagai tempat dalam menangani persoalan
yang ada.
Ada beberapa kategori organisasi internasional yatu, organisasi antar pemerintah
atau yang sering disebut inter-Govermental Organizations (IGO), yaitu yang
anggotanya terdiri dari perwakilan resmi pemerintah negara-negara. Contohnya
seperti Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), World Trade Organizations (WTO) dan
lainnya. Selain itu ada organisasi non-Pemerintah atau Non govermental
Organizations (NGO), terdiri dari kelompok swasta bidang keilmuan, keagamaan,
kebudayaan, ekonomi, lingkungan, dan sebagainya. Contohnya seperti Greenpeace,
World wide fund (WWF).73
Berdasarkan dengan penjelasan di atas, tantangan dan hambatan dari minyak
kelapa sawit Indonesia tidak datang hanya dari Uni Eropa, melainkan terdapat
beberapa Non Goverment Operations (NGO) yang fokus terhadap isu yang sama
dengan Uni Eropa. Sebagian besar protes dari NGO diantaranya berasal dari
Greenpeace dan World wide Fund (WWF) yang bereperan sebagai NGO
internasional yang perhatian penuh terhadap isu lingkungan hidup.
3.1 . Greenpeace
Greenpeace sejak lama telah melakukan penelitian dan kajian- kajian
mengenai kelapa sawit Indonesia terutama tentang deforestasi dan
73 DR.Anak Agung Banyu Parwita dan DR. Yanyan Mochammad Yani, 2014, “Pengantar Ilmu
Hubungan Internasional”, PT. Remaja Rosdakarya : Bandung, Hal 92-93.
48
pengrusakan yang terjadi di hutan Indonesia. Adapun aksi yang dilakukan
Greenpeace ini salah satu diantaranya bertujuan untuk mengakhiri
deforestasi yang disebabkan perkebunan kelapa sawit di seluruh pasokan
perusahaan merek-merek terbesar yang memasok kebutuhan rumah tangga
dan pembeli minyak kelapa sawit di dunia.
Greenpeace adalah salah satu NGO yang sering dianggap melakukan
kampanye negatif terhadap produk minyak kelapa sawit Indonesia dengan
cara menekan para produsen serta mengajak para konsumen untuk
memboikot produk minyak kelapa sawit Indonesia. Greenpeace melihat
penyebaran perkebunan kelapa sawit merusak lingkungan dan melanggar
batas habitat spesies yang dianggap langka seperti harimau, gajah, dan
orang utan di kawasan Sumatera dan Kalimantan. Greenpeace mengklaim
20% emisi global disebabkan oleh deforestasi, dan perekbunan kelapa sawit
dianggap sebagai penyebab utama rusaknya hutan hujan tropis Indonesia. 74
Selain melakukan kampanye negatif dengan cara yang telah telah
dijelaskan, Greenpeace juga secara terus menerus memberikan tekanan
kepada perusahan-perusahaan dan pemerintah di Uni Eropa sebagai pihak
yang menggunakan kelapa sawit sebagai bahan produksi. Greenpeace
meminta pemerintah Uni Eropa untuk tidak menggunakan atau mengurangi
konsumsi dan impor minyak kelapa sawit dari negara-negara yang diklaim
74 Adelita Sukma Kusumanigtyas, 2017, “Upaya Hambatan Non-Tarif Oleh Uni Eropa
Terhadap Minyak Kelapa Sawit Indonesia”, Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 6 No. 2 , september, Departemen Hubungan Internasional, Universitas Airlangga, Hal 157.
49
sebagai pelaku pengrusakan lingkungan karena akibat dari perluasan lahan
kebun kelapa sawit seperti Indonesia dan Malaysia. 75
Selain itu, Greenpeace meminta Uni Eropa sebagai negara konsumen
minyak kelapa sawit untuk berpartisipasi dalam mengatasi deforestasi dan
mendukung minyak kelapa sawit berkelanjutan. Hal itu diutarakan oleh
Direktur Kebijakan Hutan Greenpeace :
“The Parliament is right to recognise the hugh responsibility that the UE
has to stop deforestations, and how important this is for climate action and
sustainable development. We are at one minute to midnight the European
Commission must not lose more time in putting forward an EU action plan
to make Europe a deforestation- free economy and turn the tide on global
forest destruction”.76
Tekanan-tekanan yang diberikan oleh Greenpece terhadap pemerintah Uni
Eropa nampaknya mendapat tanggapan positif dari pemerintah Uni Eropa.
Hal ini dibuktikan dengan beberapa langkah yang dilakukan oleh pemerintah
Uni Eropa yang berkaitan dengan dampak deforestasi akibat produksi minyak
kelapa sawit. Hal ini juga menunjukkan bagaimana aktor non negara berperan
dalam pengambilan keputusan seperti beberapa kebijakan yang dikeluarkan
oleh Uni Eropa. Beberapa kebijakan dikeluarkan akibat adanya tekanan-
tekanan yang dilakukan oleh Greenpece.
3.2. World Wide Fund (WWF)
75 Adelita Sukma Kusumanigtyas, 2017, “Upaya Hambatan Non-Tarif Oleh Uni Eropa
Terhadap Minyak Kelapa Sawit Indonesia”, Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 6 No. 2 , september, Departemen Hubungan Internasional, Universitas Airlangga, Hal 157.
76 Adelita Sukma Kusumanigtyas, 2017, “Upaya Hambatan Non-Tarif Oleh Uni Eropa Terhadap Minyak Kelapa Sawit Indonesia”, Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 6 No. 2 , september, Departemen Hubungan Internasional, Universitas Airlangga, Hal 157.
50
Selain Greenpeace yang fokus terhadap isu tersebut adalah World
Wide Fund (WWF). WWF juga merupakan salah satu NGO yang memiliki
perhatian lebih pada isu deforestasi terutama di Indonesia. Berbeda halnya
dengan Greenpeace yang menggunakan aksi langsung sebagai upaya
melakukan kampanye negatif terhadap minyak kelapa sawit Indonesia, cara
yang digunakan WWF dapat dikatakan tidak terlalu ekstrim. Hal ini
pandangan WWF terhadap aksi negatif, perwakilan WWf dari Jerman
mengatakan : “Switching from palm oil to other oils is no solutions to tackle
enviromental degradation caused by unsustainable palm oil production “.77
Terlihat bahwa pandangan WWF terhadap minyak kelapa sawit adalah
bahwa terdapat alternatif berkelanjutan untuk kelapa sawit yaitu dengan
dibentuknya sertifikasi yang kredibel untuk minyak kelapa sawit.
Mengganti minyak sawit dengan minyak nabati lain tidak menjamin bahwa
minyak nabati selain minyak kelapa sawit lebih baik dalam hal melindungi
lingkungan. 78
WWF melihat bahwa untuk membuat minyak kelapa sawit yang
sustainable dengan cara memberikan sertifikasi yang kompeten, hal ini
mendorong WWF untuk membentuk RSPO bersama Uni Eropa (sebagai
konsumen minyak kelapa sawit) dan Malaysian Palm Oil Association (
77 Adelita Sukma Kusumanigtyas, 2017, “Upaya Hambatan Non-Tarif Oleh Uni Eropa Terhadap Minyak Kelapa Sawit Indonesia”, Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 6 No. 2 , september, Departemen Hubungan Internasional, Universitas Airlangga, Hal 157.
78 Adelita Sukma Kusumanigtyas, 2017, “Upaya Hambatan Non-Tarif Oleh Uni Eropa Terhadap Minyak Kelapa Sawit Indonesia”, Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 6 No. 2 , september, Departemen Hubungan Internasional, Universitas Airlangga, Hal 157.
51
sebagai produsen minyak kelapa sawit) untuk membentuk suatu asosiasi
yang bertujuan untuk mempromosikan praktik kelapa sawit berkelanjutan
guna membantu mencegah deforestasi yang berlebihan, melestarikan
kenaekaragaman hayati, dan senantiasa memperhatikan kehidupan
masyarakat pedesaaan di negara produsen kelapa sawit.79
Dalam mengupayakan hal tersebut, langkah yang dilakukan WWF
adalah menginsiasi pembentukan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO)
pada tahun 2001, WWF mulai melihat kemungkinan minyak kelapa sawit
berkelanjutan. Pengematan yang dibuat WWF disebut sebagai inisiatif kunci
yaitu WWF Forest Conversion Initiative (WWF FCI) yang telah disusun
sejak 2001. Tujuan WWF FCI adalah untuk mengurangi konversi hutan
berlebih akibat dari perluasan lahan kelapa sawit.80
Demi mencapai langkah ini WWF juga menggunakan gabungan
pendekatan seperti pengembangan pengelolaaan terbaik dari para pelaku
pasar sepanjang rantai persediaan persediaan minyak kelapa sawit dan
memperngaruhi kebijakan investasi bagi pembangunan perkebunan. Fokus
perhatian WWF adalah kekhawatiran penebangan hutan, dampak dari
ekspansi lainnya yaitu kehilangan keanekaragaman hayati serta konflik
sosial dan tanah.
79 Adelita Sukma Kusumanigtyas, 2017, “Upaya Hambatan Non-Tarif Oleh Uni Eropa
Terhadap Minyak Kelapa Sawit Indonesia”, Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 6 No. 2 , september, Departemen Hubungan Internasional, Universitas Airlangga, Hal 157.
80 Bambang Drajat, “Overcoming Black Campaign on Palm Oil and Devloping Future Strategy”, Lembaga Riset Perkebunan Nusantara, Hal 282.
52
Selanjutnya secara perlahan WWF meyakinkan Uni Eropa dengan
cara membentuk pemikiran masyarakat Uni Eropa, bahwa industri minyak
kelapa sawit telah merusak habitat dari spesies-spesies yang dilindungi
seperti Orang Utan, Harimau, dan Gajah. Hal tersebut dilakukan dengan
memasang poster-poster yang biasanya terdapat gambar yang berkaitan
dengan hewan atau spesies yang telah kehilagan habitat akibat dari
perluasan kelapa sawit.
53
BAB III
INDONESIAN SUSTAINABLE PALM OIL (ISPO) DAN UPAYA
DIPLOMASI SAWIT INDONESIA DALAM MEMPERKENALKAN
ISPO PERIODE 2016- 2018
Pada bab ini akan membahas tentang gambaran umum Indonesian Sustainable
Palm Oil (ISPO). Serta upaya langkah-langkah diplomasi Indonesia di bidang
kelapa sawit, yaitu upaya yang dilakukan Indonesia dalam memperkenalkan
kebijakan kelapa sawit berkelanjutan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) pada
periode 2016-2018. Adanya isu yang menyatakan bahwa minyak sawit asal
Indonesia tidak ramah lingkungan, mendorong timbulnya tuntutan agar Indonesia
melaksanakan praktik industri kelapa sawit secara berkelanjutan.
Setelah hadir dan terbit, ISPO dianggap merupakan salah satu komponen
kebijakan penting bagi diplomasi kelapa sawit Indonesia. ISPO juga merupakan
gambaran komitmen global Indonesia dalam praktik kelapa sawit berkelanjutan.
Sebagai kebijakan yang penting, pemerintah Indonesia dalam hal ini tentunya perlu
memperkenalkannya ke lingkup yang lebih luas, agar dapat diterima dan demi
kelapa sawit yang lebih dipandang positif, serta meminimalisir pandangan negatif
terhadap kelapa sawit Indonesia yang selama ini banyak dihadapi.
54
A. Gambaran Umum ISPO
1. Keluarnya Indonesia dari Roundtable and Sustainable Palm Oil (RSPO)
Roundtable and Sustainable Palm Oil (RSPO) didirikan dengan tujuan
memperkenalkan praktik kelapa sawit berkelanjutan yang membantu mengurangi
deforestasi, melestarikan keanekaragaman hayati, dan menghargai kehidupan
masyarakat adat di negara produsen minyak sawit. RSPO menjamin bahwa tidak
ada hutan primer baru atau kawasan bernilai konservasi tinggi lainnya yang
dikorbankan untuk perkebunan kelapa sawit, bahwa perkebunan menerapkan
praktik terbaik yang dapat diterima, dan bahwa hak-hak dasar dan kondisi hidup
jutaan perkebunan, petani kecil, dam masyarakat asli dihargai sepenuhnya..81
Meskipun demikian RSPO dalam setiap kebijakannya banyak menunjukkan
titik-titik lemah. Sejumlah laporan dan studi dari berbagai organisasi non
pemerintah baik lokal maupun internasional membuktikan contoh-contoh
pelanggaran serius terhadap kriteria-kriteria tersebut. Selain itu juga terdapat
banyak masalah dalam pelaksanaan prosedur pengaduan.
Meskipun pada dasarnya tujuan RSPO adalah demi mewujudkan kelapa sawit
berkelanjutan. Namun, dalam perkembangan dan praktek di lapangan, banyaknya
aturan yang terdapat pada RSPO dianggap hanya mengutamakan konsumen semata,
yaitu pasar Eropa, sementara kepentingan produsen tidak diperhatikan sama sekali.
Perkembangan lainnya juga terlihat pada timbulnya
81 Yoan Angelika.2015, “Kebijakan Pemerintah Indonesia Pasca Keluar Dari Roundtable And
Pada Tahun 2011”, e Jurnal, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Jember, Hal 8.
83 Saqira Yunda Imansari, 2011, “Penetapan Kebijakan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) Pada Tahun 2011”, e Jurnal, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Jember, Hal 8
84 “Legitimasi RSPO diuji: belajar dari 3 kasus”,dikses pada 12 April 2020 melalui http:bakumsu.or.id/news/index.php .
56
B. LSM lingkungan dan sosial yang terlibat di RSPO terlalu
“Enviromentalist’’ yaitu masalah lingkungan hanya menjadi
persoalan bagi kaum aktivis lingkungan, justru masalah yang
berkaitan erat dengan ketidakadilan sosial tidak dipandang.
Akibatnya kampanye orangutan, gajah, harimau, dan hewan
lainnya lebih mengemuka daripada kampanye terhadap
kemiskinan dan kelaparan yang dialami masyarakat lokal dan
buruh perkebunan sawit itu sendiri.
C. Tujuh kali Roundtable Meetings (RTM) masih seputar penguatan
lembaga, penerimaan dan pengesahan anggota baru, penetapan
prinsip, kriteria, dan indikator, serta sertifikasi. Sementara
percepatan penghancuran hutan terus terjadi di lapangan belum
ada contoh yang bisa ditunjukkan selain hanya bermain kepada
kesepakatan-kesepakatan tanpa implementasi.
D. Isu yang melibatkan petani kecil di RSPO merupakan topik krusial.
Namun, belum ada defenisi dan ukuran yang jelas tentang petani
kecil perkebunan sawit. Sementara, keterlibatan mereka dalam
diskusi, lobi-lobi, dan negosiasi yang memerlukan keahlian adalah
seperti mimpi dan tidk mungkin terjadi, baik dari segi kapasitas
sumber daya dan pembiayaan.
Pada awalnya pembentukan RSPO adalah dengan tujuan yang baik, yaitu
demi kelapa sawit yang berkelanjutan. Tetapi pada kenyataannya, segala tujuan
57
RSPO yang tertuang dalam visi dan misinya dianggap bagi sebagian anggotanya
tidak tersalurkan kepada mereka yang mempunyai usaha dibidang kelapa sawit.
Maka, atas dasar inilah Indonesia sebagai salah satu produsen kelapa sawit
terbesar dunia mengeluarkan sebuah kebijakan dengan tujuan untuk melindungi
para petani, pengolah, dan perusahaan sawit serta guna melindungi produksi
dalam negeri untuk memutuskan keluar dari anggota RSPO.85
Akhirnya secara
kelembagaan Indonesia keluar pada tahun 2011, dikarenakan aturan yang
diberlakukan rezim RSPO memunculkan banyak perdebatan. 86
Keluarnya Indonesia dari RSPO karna adanya beberapa hal didalam RSPO
yang tidak sejalan dengan apa yang diinginkan Indonesia. Selain itu dengan
keluarnya Indonesia dari RSPO merupakan langkah awal bagi Indonesia untuk
membentuk sertifikasi yang lebih dapat memangku kepentingan para pelaku
industri minyak kelapa sawit di dalam negeri sendiri. Dan pada tahun 2011
Indonesia mulai mengenalkan ISPO sebagai standar kelapa sawit
berkelanjutannya yang diharapkan dapat diterima oleh dunia global.
2. Pasca Keluarnya Indonesia dari RSPO
Pasca memutuskan untuk keluar dari RSPO banyak ada banyak tantangan
yang dihadapi kelapa sawit Indonesia. Diantaranya adalah kelapa sawit Indonesia
disebut sebagai kelapa sawit tidak ramah lingkungan serta tidak berkelanjutan
85 ‘Legitimasi RSPO diuji: belajar dari 3 kasus”,Diakses pada 12 April 2020 melalui
http:bakumsu.or.id/news/index.php 86 Saqira Yunda Imansari, 2018, “The Establishment of Indonesian Sustainable Palm Oil” (ISPO) in
2011, e-Journal Ilmu Hubungan Internasional, Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universtas Jember, Hal 8.
58
(sustainable). Selain itu berhembus isu bahwa Indonesia merupakan salah satu
yang paling terbanyak menyumbang kerusakan lingkungan akibat produksi
perkebunan sawit. Pelaku industri kelapa sawit dalam negeri menganggap isu
yang kerap dihembuskan oleh negara-negara maju pada pengembangan kelapa
sawit Indonesia juga masih belum jelas, apakah memang benar-benar untuk
melindungi dunia dari ancaman perubahan iklim atau sekedar untuk
mempertahankan kepentingan negara-negara tersebut.87
Tantangan kelapa sawit Indonesia yang sering dimunculkan ini juga sangat
berpotensi untuk menimbulkan efek domino diantaranya mematikan perkembangan
kemitraan perusahaan perkebunan kelapa sawit Indonesia di tingkat global, dan hal
tersebut akan berimbas kepada pelaku industri komoditas kelapa sawit dalam negeri
terutama para petani yang termasuk kategori smallholders. Bila sampai hal itu terjadi
maka ini akan berdampak terutama bagi yang mengandalkan kelapa sawit sebagai
mata pencariannya, karena otomatis kesempatan masyarakat untuk memperluas
penanaman pohon kelapa sawit mungkin tertutup.
Oleh karena itu, langkah yang diambil pemerintah adalah dengan
membentuk namun juga intensif memperkenalkan Indonesia Sustainable Palm Oil
(ISPO), sebagai sebuah aturan yang perlu ditegakkan, yang diharapkan dapat
memberikan solusi tantangan yang dihadapi dari dunia global terhadap komoditas
Kelapa Sawit Indonesia, Kiat- kiat menghadapi Kampanye negatif Kelapa Sawit”, Warta Ekspor, Edisi Juni 2011, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, hal 9.
59
Bila semua isu positif tentang budidaya dan pengelolaan sistem perkebunan
kelapa sawit diinformasikan ke seluruh dunia, maka tantangan yang dihadapi
kelapa sawit Indonesia akan dapat ditepis, dan semua kalangan dapat merasakan
manfaat dari hasil perkebunan kelapa sawit nasional. Komoditas kelapa sawit
Indonesia terbukti memberikan kontribusi yang sangat besar bagi perekonomian
Indonesia, serta menjadi sektor yang mampu mengangkat taraf kehidupan
masyarakat Indonesia.
3. Terbentuk dan Keluarnya ISPO
Aturan yang diberlakukan oleh RSPO memunculkan banyak perdebatan dari
sejumlah LSM, pengusaha perkebunan sawit dan sejumlah lembaga pemerintahan.
Ada yang pro terhadap RSPO dan ada pula yang kontra. Proses perdebatan ini
merupakan proses yang di alami Pemerintah Indonesia hingga memutuskan untuk
menetapkan kebijakan ISPO. Dimulai pada tahun 2009, Indonesia memulai
membicarakan hingga tahun 2011 meresmikan Indonesian Substainable Palm
Oil/ISPO di Medan. ISPO diperkenalkan sebagai sebuah Sistem Sertifikasi yang
diterapkan di Indonesia sebagai standar dan ketentuan dalam menjalankan industri
kelapa sawit yang lebih sehat. Isu ini menjadi sangat penting bagi Indonesia
sebagai produsen terbesar komoditas tersebut.88
ISPO awalnya adalah ambisi Indonesia untuk menjadi tandingan dari skema
sertifikasi internasional seperti RSPO. Pada perjalananya ISPO belum diakui di
Kelapa Sawit Indonesia, Kiat- kiat menghadapi Kampanye negatif Kelapa Sawit”, Warta Ekspor, Edisi Juni 2011, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, hal 7-8.
60
pasar kelapa sawit internasional. Namun demikian, skema ISPO tetap fokus
utamanya adalah untuk mempromosikan produksi minyak sawit berkelanjutan.
Meskipun ISPO diperkenalkan pada tahun 2011, dasar hukum penguatan,
penyempurnaan serta penerapan ISPO baru dikeluarkan pada tahun 2015, yaitu
dengan keluarnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Permentan/OT/3/2015
tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia .89
Selain itu di negara-negara konsumen seperti Uni Eropa isu mengenai
sertifikasi ini telah menjadi isu publik baik pemerintah, parlemen maupun
masyarakat. Demi mendorong terciptanya sistem yang mendukung pembangunan
berkelanjutan dalam sektor minyak kelapa sawit. Pada tanggal 25 September 2015
lalu, dalam sidang Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang dihadiri 193 anggota
termasuk Indonesia, telah resmi diberlakukannya platform pembangunan global
2015-2030 yang dikenal dengan Sustainable Development Goals 2030 (SDGs 2030).
Forum tersebut telah menyepakati 17 tujuan dan 169 target yang diharapkan dipenuhi
oleh masing-masing negara anggota PBB baik melalui kerjasama, pembangunan
berbagai sektor dalam negeri, daerah, dimana jika dikelompokkan 17 tujuan akan
menjadi 3 kelompok yakni ekonomi sosial dan lingkungan hidup.90
ISPO merupakan sebuah regulasi yang wajib untuk diterapkan oleh
perusahaan perkebunan kelapa sawit yang sesuai dengan prinsip pembangunan
89 Tobias Schleicher and Inga Hilbert, 2019, “Production of Palm Oil in Indonesia”, Project-ID: 031B0235B, Oeko-Institut e.V, Freiburg Germany, Hal 19.
90 Maya Bonita, 2018, “Strategi Indonesia Dalam Menanggapi Resolusi Parlemen Uni Eropa
No. P8_TA(2017)0098 Tentang Palm Oil and Deforestations of The Rainforest 2017”, JOM FISIP Vol.
5: Edisi II Juli – Desember 2018, Hal 6.
61
berkelanjutan. Sistem sertifikasi ISPO adalah serangkaian persyaratan yang terdiri
dari tujuh prinsip, 34 kriteria dan 141 indikator yang mencakup isu hukum,
ekonomi, lingkungan dan sosial, sebagaimana tertuang dalam Permentan No
11/2015, untuk perusahaan kelapa sawit yang terintegrasi kebun dan pengolahan.
Hal tersebut dilakukan Indonesia untuk mencapai pembangunan perkebunan yang
berkelanjutan.91
ISPO bersifat wajib (Mandatory) dan setiap pelanggaran akan ditindak.
ISPO bertujuan untuk melindungi dan melestarikan kelapa sawit di pasar global.
Dalam penerapannya berupa sertifikasi perkebunan milik perusahaan besar swasta
dan BUMN serta perkebunan rakyat, sehingga perlu adanya dukungan semua
pihak dalam penerapanya. Menteri Pertanian RI berkeyakinan pengembangan
kelapa sawit di Indonesia selama ini sudah taat azas atau telah sesuai dengan
peraturan yang berlaku di lingkup nasional maupun internasional.92
Dalam perkembangannya, terutama sejak adanya ISPO tersebut dan
terbitnya berbagai peraturan terkait dengan berkelanjutan pembangunan
Perkebunan, serta di undangkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014
tentang Perkebunan yang harus diadopsi oleh persyaratan ISPO, permintaan pasar
terhadap minyak yang bersertifikat ISPO yang mulai bermunculan, mengharuskan
perlunya persyaratan ISPO untuk direvisi.
91 Maya Bonita, 2018, “Strategi Indonesia Dalam Menanggapi Resolusi Parlemen Uni Eropa
No. P8_TA(2017)0098 Tentang Palm Oil and Deforestations of The Rainforest 2017”, JOM FISIP Vol.
5: Edisi II Juli – Desember 2018, Hal 6. 92 Amelia, D, 2017,“Penolakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perubahan Tarif Pajak Cpo
(Crude Palm Oil) Oleh Perancis 2016”. Jom Fisip Vol. 4 No. 2 – Oktober 2017, Hal 5-4.
62
Penyempurnaan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 11/Permentan/OT/3/2015 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit
Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO), bertujuan
untuk lebih memberikan petunjuk yang lebih jelas bagi Pelaku Usaha Perkebunan
dan para auditor. Secara garis besar, pedoman ISPO didasarkan pada 4 hal, yaitu
kepatuhan hukum, kelayakan usaha, pengelolaan lingkungan dan hubungan sosial
yang dirumuskan dalam prinsip- prinsip sebagai berikut: 93
1. “Sistem perijinan dan manajemen perkebunan;
2. Penerapan pedoman teknis budi daya dan pengolahan kelapa sawit;
3. Pengelolaan dan pemantauan lingkungan;
4. Tanggungjawab terhadap pekerja;
5. Tanggung jawa sosial dan komunitas;
6. Pemberdayaan ekonomi masyarakat;
7. Peningkatan usaha secara berkelanjutan.”
Ketujuh prinsip itu dirinci ke dalam 27 kriteria dan 117 indikator yang
lengkapnya dapat dilihat pada Permentan No 19/2011. Tahap pertama dari
pelaksanaan sertifikasi ISPO adalah klasifikasi. Klasifikasi ini sesuai dengan
Peraturan Menteri Pertanian 07 Tahun 2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha
Perkebunan sedangkan sertifikasi merupakan tuntutan perdagangan internasional
93 Dharmawan, A. H, 2019, “Kesiapan Petani Kelapa Sawit Swadaya Dalam Implementasi Ispo:
Persoalan Lingkungan Hidup, Legalitas Dan Keberlanjutan”. Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Diponegoro, Hal 305
63
yang dilaksanakan sesuai ketentuan internasional yang antara lain memenuhi
kaedah International Standard Organization (ISO).94
Dengan adanya ketepan ISPO, bertujuan untuk meningkatkan kepedulian akan
pentingnya memproduksi kelapa sawit berkelanjutan serta meningkatkan daya saing
minyak kelapa sawit Indonesia di pasar internasional. Karena ISPO didasarkan
kepada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, maka ketentuan ini
merupakan mandatory yang harus dilaksanakan bagi pelaku usaha kelapa sawit di
Indonesia. Perusahaan perkebunan sawit yang dapat mengajukan permohonan
sertifkasi ISPO harus memenuhi beberapa persyaratan. Misalnya, sudah mendapat
penilaian sebagai kebun kelas 1, kelas 2, dan kelas 3. Penilaian ini sesuai dengan
Permentan No.7 Tahun 2009 tentang pedoman Usaha Perkebunan.
Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) intinya menerapkan seluruh paket
ketentuan terkait yang berlaku di Indonesia, untuk dipatuhi penerapannya dalam
pengembangan kelapa sawit. Oleh sebab itu kepatuhan penerapannya bersifat
mandatory, artinya wajib, sehingga akan dilakukan penindakan bagi yang
melanggar. Penerapan ISPO ini cukup strategis, dalam arti memberikan kejelasan
dan ketegasan Prinsip dan Kriteria yang harus dianut pada pelaksanaan
pengembangan kelapa sawit di Indonesia, sekaligus menjadi landasan untuk
penegakan hukum bagi yang tidak mentaatinya.95
94 Dharmawan, A. H, 2019,“Kesiapan Petani Kelapa Sawit Swadaya Dalam Implementasi Ispo:
Persoalan Lingkungan Hidup, Legalitas Dan Keberlanjutan”. Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Diponegoro, Hal 305.
95 Sulistyanto, A. I., & Akyuwen, R, 2010,“Dinamika Produksi dan Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia”, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah MadaYogyakarta
64
Sebagai sebuah negara salah satu penghasil minyak kelapa sawit terbesar di
dunia, sudah sepatutnya Indonesia memiliki peraturan perundangan undangan dan
kebijakan mengenai kelapa sawit. Tentu saja kebijakan yang harus ada adalah
kebijakan yang hanya fokus pada satu sektor perkebunan saja, seperti contohnya
hanya berpusat pada sektor kelapa sawit saja. Didasari pada tuntutan yang harus
membuat pihak pemerintahan dan stakeholder kelapa sawit untuk lebih peduli dan
memprioritaskan perkebunan kelapa sawit untuk diterbitkan suatu bentuk prinsip
dan kriteria maupun kebijakan kelapa sawit secara lestari atau secara ramah
lingkungan.96
Untuk memenuhi tuntutan pembangunan berkelanjutan global, Kementrian
Pertanian menyiapkan Sistem Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia
Berkelanjutan yang disebut Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) merupakan
“guidance” pembangunan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia yang didasarkan
pada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Sehingga ketentuan ini
bersifat mandatory atau kewajiban yang harus dilaksanakan bagi pelaku usaha
perkebunan di Indonesia. Dengan demikian, ISPO adalah bukti kepatuhan pelaku
usaha perkebunan untuk melakukan usaha sesuai dengan ketentuan perundangan
yang berlaku di Indonesia. Di samping itu juga sebagai komitmen pelaku usaha
perkebunan untuk menerapkan pembangunan kelapa sawit berkelanjutan.97
96 Indonesian Oil Palm Research Institute, 2006, “ Tinjauan Ekonomi Kelapa Sawit”, Medan.
97 Direktorat jenderal Perkebunan (Kementerian Pertanian), Diakses pada 12 April 2020 melalui http://ditjenbun.deptan.go.id/index.php/component/content/article/36-news/204-wamentan-pimpin-pertemuan-persiapan-uji-lapang-konsep-sertifikasi-ispo.html.
B. Diplomasi Sawit Indonesia dalam Upaya Memperkenalkan ISPO Periode
2016-2018
Melalui ISPO Indonesia merupakan negara terdepan yang memiliki kebijakan
mandatory dan implementasi tata kelola kelapa sawit berkelanjutan. Dimulai Pada
tahun 2011, Pemerintah Indonesia mulai memperkenalkan platform keberlanjutan
nasional yang berstandar global yaitu Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Sejak itu, sertifikasi ISPO wajib dimiliki oleh pabrik, perkebunan, dan pemasok
kelapa sawit nasional. ISPO adalah bukti komitmen Indonesia untuk mewujudkan
pembangunan berkelanjutan.
Oleh karena itu, ISPO sebagai suatu kebijakan tatakelola sawit berkelanjutan
nasional perlu diperkenalkan serta dipromosikan Pemerintah ke lingkup global.
Kebijakan ISPO tersebut juga perlu dijadikan sebagai bagian dari diplomasi
perdagangan minyak sawit Indonesia secara internasional. Dengan adanya ISPO
berarti merupakan langkah yang baik Pemerintah Indonesia demi meyakinkan
masyarakat global bahwa minyak sawit Indonesia dihasilkan dengan
mengimplementasikan prinsip-prinsip tatakelola kebun sawit yang berkelanjutan.
Indonesia melalui ISPO memainkan peran penting dalam peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan menunjukkan komitmen demi tercapainya
pembangunan berkelanjutan melalui kebijakan tersebut. Pengaruh kelapa sawit di
Indonesia sulit tergantikan, karena inilah Pemerintah Indonesia melakukan berbagai
upaya memperkenalkan ISPO demi mendorong dan memperkuat industri kelapa
sawit nasional. serta dalam upaya tersebut, mengedepankan usaha-usaha diplomasi
66
untuk mendorong industri kelapa sawit nasional, membuka peluang pasar baru bagi
produk kelapa sawit, melakukan counter atas tantangan yang dihadapi kelapa sawit
dan memperkenalkan, sekaligus mempromosikan kelapa sawit berkelanjutan
Indonesia di tingkat internasional.
ISPO adalah alat diplomasi Indonesia dibidang ekonomi khususnya pada tata
kelola kelapa sawit beserta industri turunanya. Mengupayakan agar lebih
dikenalnya ISPO sangat penting dilakukan, selain agar tantangan mengenai kelapa
sawit bisa di hadapi, hal tersebut juga dilakukan agar tidak adanya kendala bagi
pengembangan kelapa sawit Indonesia di masa depan.
Diplomasi sawit Indonesia dalam hal ini diperlukan untuk memperkenalkan
minyak sawit Indonesia yang sudah lengkap dengan ISPO. Diplomasi sawit yang
dilakukan dibeberapa negara tersebut diharapkan bisa menjadi upaya efektif
Pemerintah Indonesia demi komitmen kelapa sawit yang berkelanjutan dan demi
menghasilkan citra kelapa sawit positif di lingkup global. Adapun upaya – upaya
diplomasi sawit yang dilakukan oleh Indonesia dalam mengenalkan ISPO pada
periode tahun 2016 – 2018 ialah sebagai berikut :
1. Joint Study ISPO-RSPO
Pada tulisan ini, upaya diplomasi sawit Indonesia yang pertama dalam
memperkenalkan ISPO pada periode 2016- 2018, adalah dengan melakukan Joint
Study atau studi bersama dengan Roundatable Sustainable Palm Oil (RSPO).
Meskipun pada awalnya aturan yang diberlakukan oleh RSPO memunculkan
banyak perdebatan terutama bagi kalangan industri kelapa sawit dalam negeri.
67
Namun hampir di seluruh negara dunia terutama Uni Eropa masih pro terhadap
RSPO, dan menggunakan sertifikasi RSPO sebagai standar kelapa sawit
berkelanjutan mereka. Hal itu tentunya membuat Pemerintah Indonesia berupaya
menggandeng RSPO demi mempromosikan ISPO serta melakukan harmonisasi
standar kelapa sawit berkelanjutan.
Joint Study atau studi bersama ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat
bagaimana sebenarnya sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan yang diterima oleh
negara- negara global terutama Uni Eropa.98
Studi bersama ini dilaksanakan di
Jakarta, pada 17 Februari 2016. Studi bersama ini dilakukan dengan tujuan
mencari persamaan dan perbedaan antara sertifikasi Indonesian Sustainable
Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Studi
bersama tersebut ini merupakan wujud pencapaian nyata dari kerjasama yang
efektif antara standar sawit berkelanjutan Indonesia dan dunia.99
Studi bersama tentang Persamaan dan Perbedaan Sistem Sertifikasi ISPO
dan RSPO ini diprakarsai oleh RSPO dan ISPO, dan didukung oleh pemerintah
melalui Kementerian Pertanian dan PT. Mutu Agung Lestari, sebagai lembaga
sertifikasi independen yang memiliki kompentensi dalam melakukan audit untuk
RSPO dan ISPO, ditunjuk sebagai pelaksana studi. Selain itu studi bersama ini
98 Kementrian luar Negeri Republik Indonesia, 2019, “Video Resmi Perlkenalan ISPO : A Story
of Indonesian Palm Oil: Economic Welfare and Environmental Sustainability”, Diakses pada 20 April 2020 melalui https://www.youtube.com/watch?v=WeDkSkiuG80&t=76s
99 Roundatale Susatinable Palm Oil (RSPO), 2016, “ Studi Bersama ISPO-RSPO Sebuah Pencapaian Penting dalam Kerjasama Mewujudkan Minyak Sawit Berkelanjutan di Indonesia”, Diakses pada 20 April 2020 melalui https://rspo.org/news-and-events/news/studi-bersama-isporspo-sebuah-pencapaian-penting-dalam-kerjasama-mewujudkan-minyak-sawit-berkelanjutan-di-indonesia .
juga difasilitasi oleh United Nations Development Programme (UNDP), studi ini
merupakan pencapaian nyata atas kerjasama antara kedua sistem standarisasi
berkelanjutan dan menjadi salah satu langkah penting dalam upaya mencapai
efisiensi proses sertifikasi sektor minyak sawit di Indonesia.100
Dalam pidatonya di acara peluncuran studi bersama, Herdradjat
Natawidjaja, Kepala Sekretariat ISPO mengatakan bahwa : 101
“ Studi ini menandai titik balik dalam upaya mengajak masyarakat
internasional untuk mendukung, dan bekerjasama dengan hukum dan peraturan Indonesia yang berkaitan dengan sektor minyak sawit. Pemerintah akan terus
berupaya untuk memperkuat standar sertifikasi ISPO dan meningkatkan akses pasar bagi industri sawit Indonesia”.
Temuan utama dari studi ini menunjukkan bahwa ISPO dan RSPO
memiliki kesamaan tujuan yaitu untuk menekan berkurangnya tutupan hutan,
mengurangi emisi gas rumah kaca dari perubahan fungsi lahan serta kepatuhan
terhadap persyaratan hukum. Namun, studi ini juga menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan dari unsur yang terkandung dalam persyaratan kedua standar tersebut.
Perbedaan yang mendasar menyangkut kawasan lindung dan konsep Nilai
Konservasi Tinggi, prosedur pemindahan hak lahan perkebunan sawit
100 Roundatale Susatinable Palm Oil (RSPO), 2016, “Studi Bersama ISPO-RSPO Sebuah
Pencapaian Penting dalam Kerjasama Mewujudkan Minyak Sawit Berkelanjutan di Indonesia”, Diakses pada 20 April 2020 melalui https://rspo.org/news-and-events/news/studi-bersama-isporspo-sebuah-pencapaian-penting-dalam-kerjasama-mewujudkan-minyak-sawit-berkelanjutan-di-indonesia .
101 Roundatale Susatinable Palm Oil (RSPO), 2016, “Studi Bersama ISPO-RSPO Sebuah Pencapaian
Penting dalam Kerjasama Mewujudkan Minyak Sawit Berkelanjutan di Indonesia”, Diakses pada 20 April 2020
melalui https://rspo.org/news-and-events/news/studi-bersama-isporspo-sebuah-pencapaian-penting-dalam-
berdasarkan ketentuan perundangan di Indonesia dan pelaksanaan Free Prior
Informed Consent (FPIC) dalam RSPO, serta prosedur untuk penanaman baru.102
Salah satu rekomendasi utama yang dihasilkan oleh studi ini adalah untuk
memanfaatkan sebanyak mungkin persamaan dari kedua sistem sertifikasi sebagai
dasar untuk melakukan joint audit sertifikasi ISPO dan RSPO dapat menjadi lebih
efisien. Dalam rekomendasi tersebut juga disampaikan bahwa joint audit tersebut
harus dilakukan oleh auditor yang memahami kedua sistem ISPO dan RSPO. Hasil
temuan studi bersama ini menunjukkan bagaimana ISPO dan RSPO dapat saling
melengkapi dan dengan bersama dapat menawarkan solusi yang lebih besar untuk
para pemangku kepentingan dari apa yang dapat dicapai oleh masing-masing.
Secara spesifik, tujuan studi bersama antara RSPO dan ISPO ini adalah untuk :103
A. Mengkaji persamaan dan perbedaan elemen yang terkandung di dalam
persyaratan dan sistem sertifikasi ISPO dengan RSPO.
B. Dicapainya efisiensi waktu kegiatan pelaksanaan audit dan sertifikasi
melalui kemungkinan dilakukannya combined audit ISPO dan RSPO.
C. Menyusun rekomendasi kerjasama ke depan antara sistem sertifikasi
ISPO dan RSPO.
102 Roundatale Susatinable Palm Oil (RSPO), 2016, “Studi Bersama ISPO-RSPO Sebuah Pencapaian Penting dalam Kerjasama Mewujudkan Minyak Sawit Berkelanjutan di Indonesia”, Diakses pada 20 April 2020 melalui https://rspo.org/news-and-events/news/studi-bersama-isporspo-sebuah-pencapaian-penting-dalam-kerjasama-mewujudkan-minyak-sawit-berkelanjutan-di-indonesia .
103 Ringkasan Eksekutif : “Studi Bersama Persamaan dan Perbedaan Sistem Sertifikasi ISPO dan
RSPO”, Diakses pada 20 April 2020, melalui https://docplayer.info/31198120-Ringkasan-eksekutif-studi-bersama-persamaan-dan-perbedaan-sistem-sertifikasi-ispo-dan-rspo.html
Dengan adanya studi bersama ini, tentunya merupakan sebuah langkah
awal yang penting untuk meningkatkan kerjasama yang diperlukan untuk
memastikan bahwa berkelanjutan sawit di Indonesia yaitu ISPO dapat di kenal,
serta hal ini merupakan contoh yang baik dalam merespon tuntutan global dalam
tata kelola kelapa sawit berkelanjutan. Pembentukan ISPO berawal dari niat baik
pemerintah untuk melindungi petani kecil dari dampak perdagangan global.
Studi ini juga merupakan langkah pemerintah melalui Kementerian Pertanian
untuk mengenalkan ISPO serta mendapatkan pengakuan dari lembaga sertifikasi
mainstream seperti RSPO.
2. Joint Communique Indonesia dan Malaysia dalam Memprakarsai
Terbentuknya Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC)
Selanjutnya dalam upaya diplomasi sawit Pemerintah Indonesia
memperkenalkan kebijakan Standar kelapa sawit berkelanjutan Indonesian
Sustainable Palm Oil (ISPO) pada periode 2016- 2018, upaya yang selanjutnya
dilakukan Indonesia adalah bersama dengan Malaysia memprakarsai
terbentuknya sebuah wadah bagi negara- negara penghasil minyak kelapa sawit,
yaitu Council Palm Oil Producing Industries Countries (CPOPC). Terbentuknya
CPOPC juga merupakan kelanjutan kerjasama Indonesia- Malaysia terdahulu
yaitu Indonesian Malaysian Palm Oil Group atau IMPOG.
Awal pembentukannya IMPOG disepakati merupakan salah satu wujud
upaya diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia dibidang kelapa
sawit dengan tujuan melindungi komoditas kelapa sawit beserta turunannya.
Selain itu, salah satu tujuan kedua negara membentuk wadah ini adalah adanya
71
rencana ingin membentuk sertifikasi kelapa sawit yang tentunya lebih berpihak
kepada kedua negara. Bagi Indonesia kesepakatan IMPOG tersebut merupakan
wujud dan cikal bakal dari dibentuknya kebijakan Indonesian Sustainale Palm
Oil (ISPO), sedangkan bagi Malaysia ini merupakan wujud cikal bakal dari
kebijakan Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO).
Gambar III.1. Produksi Minyak Sawit Indonesia dan
Malaysia terhadap Produksi Minyak Sawit Dunia Periode
1965- 2016 (%)
Sumber : Direktorat Jendral perkebunan
Pada diagram di atas terlihat bahwa kontribusi produksi minyak sawit
Indonesia terus meningkat, dari 14% tahun 1965 menjadi 15% tahun 1980 dan
54% pada tahun 2016. Meskipun produksi minyak sawit Indonesia, terus
mengalahkan kontribusi produksi minyak sawit Malaysia, yaitu sebesar 15%
pada tahun 1965, meningkat menjadi 55% tahun 1980, namun berkurang
menjadi hanya 32% pada tahun 2016.104
Namun, kontribusi produksi minyak sawit kedua negara terhadap
penyediaan minyak nabati dunia, yang terus meningkat, dan hal tersebut
104 Direktorat Jenderal Perkebunan, 2017. “Peran Pemerintah dalam Pengembangan Budidaya
Kelapa Sawit dengan Skala Industri”.
72
menjadikan Indonesia dan Malaysia sebagai sasaran kampanye negatif sehingga
mendapatkan beberapa kendala.
Indonesia dan Malaysia dalam perjalanannya mempunyai kendala-kendala
dalam mengembangkan komoditas serta membuka pasar minyak kelapa sawit
yang lebih luas. Selama ini pasar produk utama kelapa sawit yaitu CPO di dunia
lebih banyak ditentukan oleh para importir. Para impotir dalam hal ini bukan
saja mematok harga, tetapi juga mengatur soal kualitas, tata cara budidaya
kelapa sawit, dan sebagainya. Hal tersebut dirasakan tidak adil oleh negara-
negara produsen minyak kelapa sawit. Dengan kondisi yang tidak
menguntungkan terebut maka perlu adanya langkah-langkah nyata untuk
menjadikan negara-negara produsen minyak kelapa sawit memiliki daya saing
dan daya kuat di pasar minyak nabati internasional.105
Bedasarkan latar belakang tersebut Indonesia dan Malaysia
menandatangani piagam pendirian Dewan Negara-negara Penghasil Minyak
Sawit The Council of Palm Oil Producing Countires (CPOPC).106
CPOPC dibentuk oleh dua negara penggagas, yaitu Indonesia- Malaysia
dengan tujuan mengendalikan harga minyak kelapa sawit global serta menangkal
pandangan negatif terhadap kelapa sawit dan turunannya. Lewat Dewan ini, daya
105
Fachri Hadyn, 2017, “Kepentingan Ekonomi Indonesia Dalam Meprakarsai Berdirinya Council Of Palm Oil Producing Countries (Cpopc) Tahun 2015”, Skripsi, Ilmu Hubungan Intersional, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (UIN JAKARTA), Hal 42.
106 Suherno Gunawan, 2018, “Motivasi Indonesia Bekerjasama Dengan Malaysia Dalam
Membentuk The Council Of Palm Oil Producing Countries (Cpopc) Tahun 2015”, Jom Fisip Vol. 5: Edisi Ii Juli – Desember 2018.
73
saing dan harga CPO Indonesia-Malaysia di pasar internasional diharapkan akan
lebih baik. Dengan demikian, diharapkan kondisi perekonomian di bidang
perkebunan akan semakin maju dan meningkat, dan tidak hanya itu nasib dan
kesejahteraan petani pun akan semakin terjamin.
Indonesia dan Malaysia menandatangani piagam pendirian Dewan Negara-
negara Penghasil Minyak Sawit The Council of Palm Oil Producing Countires
(CPOPC) di Kuala Lumpur, Malaysia pada 21 November 2015. Penandatanganan
tersebut dilakukan oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya
Republik Indonesia Rizal Ramli dan Yang Mulia Datuk Amar Douglas Uggah
Embas, Menteri Industri Perkebunan dan Komoditas Malaysia.107
Acara penandatanganan ini disaksikan Presiden Republik Indonesia Joko
Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Yang Mulia Dato' Sri Mohd bin Tun
Abdul Razak. CPOPC didirikan dengan tujuan mendorong, mengembangkan
dan meningkatkan kerja sama industri minyak sawit di antara negara-negara
anggotanya. Hal ini akan semakin memastikan kalau industri minyak sawit
berkontribusi terhadap pengembangan ekonomi dan kesejahteraan seluruh
masyarakat.
Demi menempatkan posisi serta memperkuat pengesahan tersebut.
Pemerintah Indonesia memperkuat kebijakan tersebut melalui Peraturan
Presiden (PERPRES) No. 42 tahun 2016 tentang Pengesahan Charter Of The
107
Suherno Gunawan, 2018, Motivasi Indonesia Bekerjasama Dengan Malaysia Dalam Membentuk The Council Of Palm Oil Producing Countries (Cpopc) Tahun 2015.JOM Fisip Vol. 5: Edisi Ii Juli – Desember.
74
Establishment Of The Council Of Palm Oil Producing Countries/Cpopc (Piagam
Pembentukan Dewan Negara-Negara Produsen Minyak Sawit), yang
dikeluarkan pada 04 Mei 2016.108
Tujuan dari CPOPC antara lain mendorong komunikasi di dalam
pengembangan industri minyak sawit di antara para pemangku kepentingan di
negara-negara pembudidaya kelapa sawit, meningkatkan kesejahteraan petani
kelapa sawit skala kecil, membangun dan membentuk sebuah kerangka prinsip-
prinsip industri minyak sawit yang berkelanjutan di lingkup global.109
Sebagaimana tujuan dari pendirian CPOPC adalah menujukkan komitmen
berkelanjutan di tata kelola kelapa sawit, kedua negara sepakat mempromosikan
serta mengenalkan standarisasi sawit yang dianggap lebih baik daripada standar
yang ada sebelumnya. Pada pertemuan ini Indonesia secara tegas memperkenalkan
Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai standarisasi sawit berkelanjutan
mereka, sedangkan Malaysia memperkenalkan standarisasi pengelolaan kelapa
sawit mereka yaitu Malaysia Sustainable Palm Oil
(MSPO).110
108
Peraturan Presiden (PERPRES) No. 42 Tahun 2016, Tentang Pengesahan Charter Of The Establishment Of The Council Of Palm Oil Producing Countries/Cpopc (Piagam Pembentukan Dewan Negara-Negara Produsen Minyak Sawit), Diakses pada 27 Maret 2020, melalui https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/40361/perpres-no-42-tahun-2016 .
109 Suherno Gunawan, 2018, “Motivasi Indonesia Bekerjasama Dengan Malaysia Dalam
Membentuk The Council Of Palm Oil Producing Countries (Cpopc) Tahun 2015”, Jom Fisip Vol. 5: Edisi Ii Juli – Desember 2018.
110 BPPK Kemenlu, 2019, “Kajian Mandiri : Peran Diplomasi dalam Mendukung Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan: Tinjauan terhadap Pengelolaan Industri Minyak Nabati”, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Multilateral Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia , ISBN 978-602-51358-4-2, Hal 24.
Di CPOPC mereka menekankan bahwa dibandingkan dengan minyak
nabati, minyak sawit adalah yang paling berkelanjutan dan tanpa minyak sawit,
konservasi lahan di masa depan akan jauh lebih besar, terutama semakin
tingginya permintaan global saat ini untuk penggunaan minyak nabati. Selain
itu, minyak nabati lainnya akan membutuhkan lebih banyak konservasi lahan.
Dengan adanya wadah ini mereka berharap agar masalah dengan Uni Eropa
yang selama ini banyak terjadi mengenai minyak kelapa sawit lebih mudah di
seleseikan kedepannya, Indonesia dengan anggota CPOPC akan bekerja bersama
memastikan minyak kelapa sawit berkelanjutan, yakni dengan memastikan
berjalannya ISPO dan MSPO.111
Bagi Indonesia sendiri CPOPC adalah sebagai sarana menghadirkan
serta memperkenalkan ISPO, dengan dibentuknya CPOPC Indonesia akan
melakukan harmonisasi standar minyak sawit berkelanjutan. Indonesia
membentuk standar kelapa sawit yakni ISPO. Standar ISPO dianggap sudah
mengadopsi prinsip E+Pop atau yang lebih dikenal dengan Familiar Ecologiy
Welfare Palm Oil Producing Country. Standar yang ada didalam ISPO dianggap
standar yang pro lingkungan hidup, sustainbility dan memihak kepada petani
kecil baik di Indonesia maupun di negara produsen sawit lainnya.112
111 Bustanul Arifin, Komang Audina Permana Putri, 2019, “Indonesian Government Strategies On Obtaining Crude Palm Oil (CPO) Market Access To European Union Countries Over The EU Parliament Resolution On Palm Oil And Deforestation Of Rainforest “,Andalas Journal of International
Studies Vol VIII No 2 Nov 2019, Hal 214.
112 Fachri Hadyn, 2017, “ Kepentingan Ekonomi Indonesia Dalam Meprakarsai Berdirinya
Council Of Palm Oil Producing Countries (Cpopc) Tahun 2015”, Skripsi, Ilmu Hubungan Intersional,
Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (UIN JAKARTA), Hal 52.
76
Dengan diperkenalkannya ISPO melalui CPOPC diharapkan dapat
bersaing dengan standar yang diterapkan oleh Uni Eropa yang selama ini
menjadi hegemoni di pasar kelapa sawit mereka yaitu RSPO. Standar baru ISPO
nantinya akan diusahakan bisa menjadi standar baru yang berlaku pada industri
minyak kelapa sawit global. Karena selama ini RSPO dinilai menyulitkan
banyak petani terutama di dalam negeri, banyak kriteria di dalamnya yang
dinilai kurang pro petani kecil.113
Oleh karenanya, CPOPC merupakan wadah bagi Pemerintah Indonesia dan
Malaysia untuk memperkenalkan standar dan kebijakan kelapa sawit berkelanjutan
baru yang lebih berpihak kepada para petani kecil serta menerapkan standar yang
dianggap lebih baik dan bisa menyaingi standar- standar yang ada sebelumnya yang
di anggap terlalu dominan serta tidak memihak bagi pelaku industri kelapa sawit di
dalam negeri kedua negara tersebut.
Selain itu sebagai produsen sawit tentunya Indonesia diuntungkan
dengan adanya CPOPC, selain mempermudah Indonesia dalam mengenalkan
ISPO, dan mempermudah Malaysia mengenalkan MSPO ke negara- negara
produsen, CPOPC juga dibentuk menangkal segala kondisi yang tidak
menguntungkan bagi industri kelapa sawit kedua negara tersebut.
3. Indonesia European Union Comprehensive Economic Partnership
Agreement (IEU- CEPA)
113
Fachri Hadyn, 2017, “ Kepentingan Ekonomi Indonesia Dalam Meprakarsai Berdirinya Council Of Palm Oil Producing Countries (Cpopc) Tahun 2015”, Skripsi, Ilmu Hubungan Intersional, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (UIN JAKARTA), Hal 52.
77
Industri sawit nasional memiliki potensi berperan sebagai aktor untuk
mewujudkan pencapaian Sustainable Developement Goals (SDGs) baik pada
level daerah, nasional hingga global. Peran tersebut dapat tercapai jika
implementasi ISPO on the right track dilakukan oleh para pelaku industri sawit.
Hal ini dikarenakan adanya kesamaan antara ISPO dan SDGs dimana kedua
platform ini menggunakan tiga prinsip utama yakni keberlanjutan lingkungan,
keberlanjutan sosial dan keberlanjutan ekonomi. Selain itu, mengintegrasikan
ISPO ke dalam SDGs juga menjadi salah satu strategi dalam rangka membawa
ISPO ke level dunia sekaligus meningkatkan keberterimaan minyak sawit
dipasar dunia.114
Adanya CPOPC merupakan langkah yang baik bagi Indonesia. Indonesia
diuntungkan dalam memperkenalkan ISPO ke negara-negara produsen. CPOPC
memang dibentuk untuk menangkal segala kondisi yang kurang menguntungkan
bagi industri kelapa sawit. Namun, upaya melalui CPOPC juga belum cukup
efektif dalam memperkenalkan ISPO sebagai sertifikasi keberlanjutan minyak
sawit Indonesia. Terkonfirmasi dari masih banyaknya black campaign menyerang
sawit dengan isu lingkungan, sosial dan ekonomi. Artinya tujuan implementasi
kebijakan ISPO adalah sebagai counter isu tersebut. Belum efektifnya Indonesia
dalam memperkenalkan ISPO di negara tujuan ekspor maupun pasar dunia, dapat
dilihat juga dari rendahnya tingkat keberterimaan pasar global. 115
ISPO kurang dikenal dikawasan Uni Eropa (UE). Duta Besar UE untuk Indonesia,
Vincent Guerend mengatakan ;
“Sertifikat ISPO belum cukup diakui untuk ekspor minyak kelapa sawit ke
Eropa. Sebagai importir terbesar kedua minyak sawit Indonesia setelah India, UE
mendorong negara produsen untuk memberlakukan standar yang kredibel, kuat,
dan dihargai oleh konsumen. Standar ISPO belum dianggap standar umum dunia
dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) memang lebih diakui dikawasan
UE serta diakui secara global.”117
IEU- CEPA merupakan perjanjian kemitraan dagang antara Indonesia dan
Uni Eropa. Perjanjian ini diresmikan pada tahun 2016, dengan salah satu yang
menjadi isi perjanjian adalah pengembangan dan keberlanjutan perdagangan terkait
minyak kelapa sawit. CEPA memiliki prinsip umum yakni kerja sama yang
komprehensif, saling menguntungkan dan saling menghormati. Sejak disepakati
perjanjian CEPA, segala hambatan atau permasalahan perdagangan yang dihadapi
oleh UE dan Indonesia akan dibahas secara bersama – sama, mengingat UE
merupakan mitra terbesar keempat untuk ekspor komoditas pertanian, sedangkan
Indonesia menjadi mitra dagang terbesar kelima bagi UE.118
Diskusi IEU-CEPA diadakan pada 11-15 September 2017 di Brussels, diskusi
ini merupakan diskusi ketiga yang dilakukan setelah diskusi sebelumnya hanya
berfokus kepada permasalahan ekonomi yang mainstream dan belum terlalu fokus
117 REPUBLIKA.CO.ID, 2018, “Sertifikat ISPO Belum Cukup untuk Ekspor Sawit ke Eropa”,
Diakes pada 11 Mei 2020 melalui https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/pertanian/18/12/05/pj8o6f368-sertifikat-ispo-belum-cukup-untuk-ekspor-sawit-ke-eropa.
118 Bustanul Arifin1, Komang Audina Permana Putri, 2019, “Indonesian Government Strategies On
Obtaining Crude Palm Oil (CPO) Market Access To European Union Countries Over The EU Parliament
Resolution On Palm Oil And Deforestation Of Rainforest”, Andalas Journal of International Studies| Vol VIII No 2
Milliar USD pada tahun 2013 dan terus mengalami peningkatan menjadi sebesar
4,90 Milliar USD pada tahun 2017.
Hal tersebut membuat ekspor CPO Indonesia ke India jauh meninggalkan
ekspor ke pasar negara lainnya seperti Uni Eropa, China, Pakistan dan
Bangladesh. Di karnakan besarnya nilai ekspor ke pasar India tersebutlah yang
membuat Indonesia melakukan Joint Commitment untuk memperkenalkan ISPO
dengan kerangka berkelanjutan kelapa sawit India, langkah ini adalah penegasan
bahwa kelapa sawit yang masuk ke pasar India merupakan kelapa sawit yang
dihasilkan dari prinsip berkelanjutan.
Indian Palm Oil Sustainbiity Framework (IPOS) merupakan kerangka
keberlanjutan kelapa sawit India. Kerangka ini berisi seperangkat kriteria
lingkungan dan sosial yang berlaku di India dengan tujuan untuk memproduksi
minyak sawit berkelanjutan. Kerangka kerja ini diluncurkan dan mulai
dikembangkan pada 13 September 2017 oleh Pemerintah India bersama Solvent
Extractors' Association of India (SEA), dan lembaga penelitian India Solidaridad
and Society for Promotion of Oil Palm Research and Development under the
Indian Institute of Oil Palm Research (IIOPR). Pemerintah India mengklaim
dalam meluncurkan IPOS mereka sudah melalui konsultasi dengan para
pemangku kepentingan utama kelapa sawit di seluruh India.121
121 BussinesWireIndia, 2017, “India's National Palm Oil Sustainability Framework (IPOS)
Launched”, diakses pada 20 April 2020 melalui https://www.businesswireindia.com/indias-national-palm-oil-sustainability-framework-ipos-launched-54950.html.
Kerangka kerja IPOS berisi prinsip-prinsip dan praktik standar yang layak
secara ekonomi, sesuai lingkungan, dan bermanfaat secara sosial serta
diselaraskan dengan perundang-undangan nasional dan peraturan yang berlaku di
dunia internasional. IPOS akan meningkatkan praktik keberlanjutan pemangku
kepentingan rantai pasokan dan juga membantu mereka dalam mencapai
kepatuhan terhadap peraturan nasional dan internasional yang berlaku serta kode
sukarela. IPOS juga bertujuanuntuk menciptakan harmonisasi untuk keberlanjutan
di sektor minyak kelapa sawit di negara-negara Asia lainnya.122
ISPO merupakan salah satu alat pemerintah membuktikan Indonesia sudah
mengelola sawit dengan memenuhi prinsip-prinsip kelestarian lingkungan,
transparansi, dan pelibatan para pihak serta lain-lain, maka dari itu pemerintah
Indonesia mengomunikasikan penguatan standar ini kepada negara-negara
pengimpor sawit, salah satunya India sebagai pengimpor terbesar kelapa sawit
Indonesia. Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Solvent Extractors
Association (SEA) India, dan SolidaridadNetwork Asia Limited (SNAL)
menandatangani nota kesepahaman Memorandum of Understanding (MOU)
dalam pertemuan tingkat tinggi di kantor Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian di Jakarta pada Rabu 19 Desember 2018. 123
122 BussinesWireIndia, 2017,”India's National Palm Oil Sustainability Framework (IPOS) Launched”, diakses pada 20 April 2020 melalui https://www.businesswireindia.com/indias-national-palm-oil-sustainability-framework-ipos-launched-54950.html.
123 Sawit Indonesia, 2018, “Indonesia-India Sepakat Promosikan ISPO dan IPOS”, Diakses pada 29 April 2020 melalui https://sawitindonesia.com/indonesia-india-sepakat-promosikan-ispo-dan-ipos/.
Ada pun point hasil dari pertemuan ini antara lain:124
1. Minyak kelapa sawit berkelanjutan di pasar India melalui kampanye
tentang standarisasi ISPO dan IPOS.
2. Membentuk komite kerja bersama Indonesia – India untuk memfasilitasi
dan berkolaborasi dengan pemerintah kedua negara dalam rangka
pengayaan kerjasama terkait perdagangan.
3. Meningkatkan partisipasi petani mandiri dalam pelaksanaan praktik
pertanian kelapa sawit berkelanjutan (ISPO dan IPOS).
MoU ini menegaskan keberadaan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO)
dan India National Palm Oil Sustainability Framework (IPOS) sebagai kerangka
keberlanjutan dalam produksi dan perdagangan minyak sawit antara kedua negara.
Selain penandatanganan MoU, para delegasi juga mendiskusikan sejumlah isu
terkait masalah perdagangan Minyak Sawit Indonesia-India, sinergi Kerangka
Keberlanjutan ISPO dengan IPOS, serta pengembangan roadmap kerja sama ke
depannya.125
Kerja sama ini menunjukkan bahwa India sebagai pasar terbesar kelapa sawit
Indonesia menerima dan meyakini bahwa kelapa sawit yang berasal dari Indonesia
merupakan kelapa sawit yang berdasarkan prinsip berkelanjutan, selain itu, langkah
124 Sawit Indonesia, 2018,”Indonesia-India Sepakat Promosikan ISPO dan IPOS”, Diakses pada 29 April 2020 melalui https://sawitindonesia.com/indonesia-india-sepakat-promosikan-ispo-dan-ipos/.
125 CNN Indonesia, 2018, “Industri Sawit Indonesia dan India Bahas Kerja Sama Dagang”,https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180716134402-92-314495/industri-sawit-indonesia-dan-india-bahas-kerja-sama-dagang
ini menunjukkan sikap Indonesia yang tidak bergantung pada Uni Eropa sebagai
pasar ekspor Kelapa Sawit.
India merupakan konsumen terbesar minyak kelapa sawit dunia. Dukungan
India dalam penerapan ISPO telah mengindikasikan bahwa adanya pengakuan
dari negara lain atas sertifikasi tata kelola perkebunan kelapa sawit yang
berkelanjutan. Kerja sama ini membawa keuntungan bagi perekonomian
Indonesia dengan terbukanya kerja sama ekonomi serta menciptakan kesadaran
dan manfaat dari industri Kelapa Sawit.
87
BAB IV
KEPENTINGAN DIPLOMASI SAWIT INDONESIA DALAM UPAYA MEMPERKENALKAN
INDONESIAN SUSTAINABLE PALM OIL (ISPO)
PERIODE 2016-2018
Pada Bab IV ini akan membahas tentang jawaban dari pertanyaan peneltian
“Mengapa Indonesia melakukan diplomasi dalam upaya memperkenalkan
Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) periode 2016- 2018 ?”. Bab ini akan
menjelaskan kepentingan Indonesia melakukan diplomasi sawit tersebut. Upaya
diplomasi dalam memperkenalkan ISPO dilakukan karena adanya kepentingan
Indonesia dalam memperkenalkan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Diplomasi di bidang kelapa sawit yang dilakukan tersebut dianggap upaya efektif
Pemerintah Indonesia demi komitmen kelapa sawit yang berkelanjutan.
Adapun kepentingan diplomasi sawit yang dilakukan oleh Indonesia dalam
upaya mengenalkan ISPO pada periode tahun 2016 – 2018, ialah sebagai berikut,
88
A. Kepentingan Nasional Indonesia Dalam Upaya Memperkenalkan Indonesian
Sustainable Palm Oil (ISPO) Periode 2016-2018
Tabel IV.1 Cara Penentuan Intensitas Suatu Negara terkait
Penentuan Kepentingan Nasional
Indonesia Kepentingan Diplomasi Dalam Upaya
Memperkenalkan Indonesian Sustainable Palm
Oil (ISPO) Periode 2016-2018
Basic Interest Intensity of Interest
Involved
Survival Vital Major Peripheral
Defence X
Economic X
World Order X
Ideological X
Sumber : Donald E. Nuechterlein
Berdasarkan tabel penentuan intensitas kepentingan nasional suatu
negara di atas, maka suatu negara dapat memilih faktor dan aspek mana yang
menjadi prioritas utama dalam kepentingan nasionalnya. Sehingga suatu negara
dapat memfokuskan diri terhadap aspek dan faktor yang paling penting, dan
dianggap sejalan dengan kepentingan nasionalnya.
Kepentingan diplomasi sawit Indonesia dalam upaya memperkenalkan
Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) Periode 2016-2018, penulis melihat bahwa
tujuan kepentingan nasional Indonesia dalam hal ini, adalah dengan tujuan
kepentingan nasional di bidang ekonomi (economic Interest) dan kepentingan
nasional di bidang tata kelola internasional (world order interest). Dengan
89
intensitas kepentingan nasional major. Sedangakan untuk kepentingan nasional
bidang pertahanan (defence interest) dan ideologi (ideological interest) dengan
intensitas peripheral, atau tidak berhubungan sama sekali.
Kelapa sawit dalam hal ini dianggap major, karena merupakan salah satu
komponen penting bagi perokonomian Indonesia di sektor perkebunan. Kelapa
sawit, selain memberikan devisa negara, kelapa sawit juga berperan
mengentaskan kemiskinan, dan memberikan lapangan pekerjaan bagi
masyarakat Indonesia. Maka dari itu, tentunya hal-hal baik terkait kelapa sawit
harus diperkenalkan seperti halnya ISPO yang merupakan komitmen Indonesia
terkait pengelolaan kelapa sawit yang baik serta berkelanjutan.
Selain itu, ISPO diharapkan dapat menjadi alat Indonesia dalam
mencapai kepentingan nasionalnya di bidang ekonomi khususnya yang terkait
mengenai kelapa sawit. Maka dari itu ISPO perlu didukung dan diperkenalkan
ke lebih banyak negara- negara demi keterimaan serta pengakuaan terhadap
kelapa sawit Indonesia yang lebih positif.
1. Kepentingan Nasional bidang Ekonomi (Economic Interest) :
Menjaga Pasar dan Komoditas Kelapa Sawit Indonesia
Berdasarkan Donald E Nuechterlein, penulis melihat kepentingan
nasional Indonesia dalam memperkenalkan ISPO, adalah dengan tujuan
kepentingan nasional di bidang ekonomi (economic Interest). Berdasarkan
tabel IV.1 tentang intensitas kepentingan nasional suatu negara, penulis
melihat intensitas kepentingan Indonesia termasuk kategori major, hal ini
90
dikarenakan kelapa sawit merupakan salah satu komponen penting bagi
perekonomian Indonesia di sektor perkebunan. Kelapa sawit, selain
memberikan devisa negara, kelapa sawit juga berperan mengentaskan
kemiskinan, dan memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat
Indonesia.
Minyak kelapa sawit juga menjadi komoditas penting bagi
perdagangan internasional, terutama Indonesia karena menjadi sumber
daya alternatif menggantikan beberapa varian produk yang tidak dapat
diperbaharui, seperti halnya produk ekstraksi dari binatang ataupun
tumbuhan yang sudah langka dan tidak ramah lingkungan. 126
Kelapa sawit Indonesia, meenurut data Badan Pusat Statistik (BPS),
kelapa sawit Indonesia menunjukkan trend positif setiap tahun. Pada tahun
2013-2015, peningkatan minyak kelapa sawit Indonesia sebesar 5,67% hingga
7,70%. Pada tahun 2016, produksi mengalami peningkatan sekitar 5,32 % dari
tahun 2015, dan pada tahun 2017 peningkatan dari produksi sawit Indonesia
mencapai 9,46%. Selain itu, untuk volume ekspor minyak kelapa sawit
Indonesia pada tahun 2013-2015 juga mengalami peningkatan sebesar 9,44%
hingga 16,06%. Meskipun sempat mengalami penurunan pada tahun 2016
sebesar 13,69% , namun, pada tahun 2017 ekspor Indonesia mengalami
peningkatan sebesar 19,45% dengan total 29,07 juta ton dengan
126 Iga Rolesa Putri, 2017, “KERJASAMA EKSPOR CRUDE PALM OIL (CPO) INDONESIA KE
NEGARA VIETNAM PADA TAHUN 2012-2015”, JOM FISIP Volume 4. No. 2 (Oktober 2017), Hal 2.
91
perkiraan nilai sebesar 20,72 milliar USD. Negara tujuan utama ekspor
kelapa sawit Indonesia adalah India, dan negara-negara Uni Eropa.127
Selain sebagai penyumbang devisi yang besar, sektor kelapa sawit
juga menyerap banyak tenaga kerja, diperkirakan setiap tahunnya sektor
kelapa sawit menyerap 6.000 tenaga kerja baru. Kelapa sawit juga
merupakan sumber penghasilan bagi sekitar 2,3 juta petani kecil, dan
sumber mata pencarian bagi 4,6 juta tenaga kerja yang terbagi di sektor
langsung kelapa sawit dan indutsri yang berkaitan, seperti industri
makanan dan produk kebutuhan sehari- hari. Luas lahan kelapa sawit di
Indonesia mencapai 14,03 juta hektar dan 41 % diantaranya adalah milik
smallholders atau petani kecil yang berbasis kerakyatan.128
Namun dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan peningkatan
pendapatan, konsumen di pasar dunia khususnya negara maju di kawasan
Eropa, Amerika, dan sebagian Asia, memiliki berbagai macam atribut
produk yang mempengaruhi preferensinya untuk mengkonsumsi suatu
produk, khususnya produk pertanian atau agribisnis. Dahulu hanya atribut
harga dan kualitas, keamanan pangan yang mempengaruhi keputusan
127
Kemenlu, 2019, “Kajian Mandiri : Peran Diplomasi dalam Mendukung Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan: Tinjauan terhadap Pengelolaan Industri Minyak Nabati”, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Multilateral Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia , ISBN 978-602-51358-4-2, Hal 8.
128 BPPK Kemenlu, 2019, “Kajian Mandiri : Peran Diplomasi dalam Mendukung Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan: Tinjauan terhadap Pengelolaan Industri Minyak Nabati”, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Multilateral Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia , ISBN 978-602-51358-4-2, Hal 9.
92
konsumen. Namun, referensi konsumen untuk konsumsi produk saat ini
juga dipengaruhi atribut lainnya seperti atribut lingkungan dan atribut
kemanusian.129
Artinya, konsumen akan membeli produk yang tidak hanya mampu
memenuhi keinginannya, namun di sepanjang supply chain (produksi
hingga sampai ditangan konsumen), produk yang dibeli oleh konsumen
tersebut tidak merugikan masyarakat secara sosial maupun ekonomi dan
tetap menjaga lingkungan atau tidak merusak lingkungan. 130
Dalam hal ini, sebagaimana sudah dijelaskan di atas Indonesia
merupakan negara penghasil serta pengekspor kelapa sawit terbesar di
pasar global. Untuk mempertahankan kedudukan tersebut, maka
pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan serta melakukan diplomasi
sawit dan berbagai langkah untuk menghadapi tantangan minyak kelapa
sawit, salah satunya dengan mulai memperkenalkan Indonesian
Sustainable Palm Oil (ISPO).
Untuk mengakomodasi tuntutan pasar atau konsumen, maka
pemerintah Indonesia membentuk ISPO sebagai suatu standar sertifikasi
keberlanjutan produksi minyak sawit yang telah memenuhi standar
pertanian, sekaligus memenuhi prinsip keberlanjutan pada aspek
lingkungan, sosial, dan ekonomi. Dengan demikian, minyak sawit yang
129 Wawancara daring dengan Direktur Eksekutif PASPI, Ir. Tungkot Sipayung
130 Wawancara daring dengan Direktur Eksekutif PASPI, Ir. Tungkot Sipayung
93
telah tersertifikasi ISPO dapat memenuhi tuntutan konsumen global
sehingga daya saing minyak sawit di pasar dunia dapat meningkat serta
tetap terjaga.131
ISPO merupakan sistem sertifikasi produk sawit tunggal dari
pemerintah yang dikembangkan sebagai bentuk tata kelola industri minyak
kelapa sawit yang lebih berkelanjutan. ISPO merupakan alat diplomasi
sawit Indonesia dalam menjawab kampanye negatif minyak kelapa sawit
di pasar global terutama Uni Eropa yang merupakan pasar ekspor kedua
terbesar kelapa sawit Indonesia (Lihat tabel III.2).
ISPO sebagai alat diplomasi menunjukkan gagasan mengenai
minyak sawit yang diekspor Indonesia adalah minyak sawit sustainable
yang dihasilkan melalui proses yang sustain sehingga diharapkan dapat
meningkatkan akses dan mempetahankan pasar minyak sawit khususnya di
negara maju yang menjunjung tinggi prinsip keberlanjutan. Selain itu,
ISPO juga dapat menjadi “senjata” untuk menghadapi tantangan yang
dihadapi kelapa sawit Indonesia yang berasal dari oknum LSM dan negara
barat yang di mana tantangan teresebut berupa isu berkelanjutan
lingkungan, ekonomi maupun sosial masyarakat.132
Dengan pendekatan melalui ISPO yang dilakukan pemerintah
Indonesia diharapkan dapat mendorong terwujudnya sistem yang
131 Wawancara daring dengan Direktur Eksekutif PASPI, Ir. Tungkot Sipayung 132 Wawancara daring dengan Direktur Eksekutif PASPI, Ir. Tungkot Sipayung
94
mendukung keberlanjutan. Sehingga, dengan adanya ISPO ini, Indonesia
bisa menjamin minyak kelapa sawit yang diperdagangkan memiliki nilai-
nilai dan prinsip yang mengutamakan keberlanjutan. Selain itu, dengan
adanya ISPO, pasar global harus melihat sawit secara fair karena sawit
bukan semata untuk memenuhi pasar Eropa saja, namun juga pasar dunia
yang akan tumbuh terus seiring dengan pertumbuhan populasi umat
manusia. Kebutuhan akan minyak nabati tersebut harus direspon dengan
minyak nabati yang berkelanjutan.133
ISPO dapat dikatakan sebagai bentuk kepentingan nasional Indonesia di
bidang ekonomi, karena ISPO tidak hanya sebagai alat untuk
mempertahankan kedudukan minyak sawit Indonesia di pasar global,
melainkan juga pasar domestik. Saat ini, pasar minyak sawit terbesar dunia
adalah Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia adalah konsumen sekaligus
produsen terbesar, maka kebutuhan dalam negeri harus dipenuhi dengan
baik. 134
Dalam beberapa tahun ke depan, mayoritas sawit yang dihasilkan akan
terserap di dalam negeri dan sisanya ataupun turunannya akan diekspor.135
Sehingga ISPO tidak hanya untuk menjawab isu atau kampanye hitam
133 L.Gora Kunjana, 2019, “Wamenlu: Pemerintah Perkuat Diplomasi Sawit”, Diakses melalui 20 April
2020 https://www.beritasatu.com/ekonomi/583073-wamenlu-pemerintah-perkuat-diplomasi-sawit. 134 L.Gora Kunjana, 2019, ”Wamenlu: Pemerintah Perkuat Diplomasi Sawit”, Diakses pada 20
April 2020 melalui https://www.beritasatu.com/ekonomi/583073-wamenlu-pemerintah-perkuat-diplomasi-sawit.
135 L.Gora Kunjana, 2019, ”Wamenlu: Pemerintah Perkuat Diplomasi Sawit”, Diakses pada 20
April 2020 melalui https://www.beritasatu.com/ekonomi/583073-wamenlu-pemerintah-perkuat-diplomasi-sawit.
minyak sawit, ISPO juga sebagai kebijakan nasional yang harus dilakukan
oleh pelaku industri sawit nasional di Indonesia. Mengingat tujuan ISPO
adalah untuk tata kelola perkebunan sawit secara nasional, yang pada
akhirnya diharapkan menyelesaikan permasalahan minyak sawit secara
global. 136
Dalam hal ini, upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia
melalui pendekatan ISPO adalah untuk menyatakan serta lebih menekankan
tentang kemajuan yang sedang berlangsung melalui kebijakan tersebut.
Strategi diplomasi sawit Indonesia melalui ISPO diharapkan dapat
memperkuat pandangan yang jauh lebih baik tentang pengembangan produk
kelapa sawit Indonesia beserta turunannya yang lebih berkelanjutan.
Dengan ini, diharapkan juga dapat mempertahankan akses pasar
perdagangan produk kelapa sawit, karena masalah mempertahankan pasar
dan komoditas minyak kelapa sawit adalah salah satu yang sangat penting
untuk kepentingan nasional pemerintah Indonesia. Adanya ISPO ini
merupakan cara Indonesia untuk bidang mempertahankan kepentingan
nasionalnya di bidang kelapa sawit. Hal tersebut juga penting, karna
banyak masyarakat Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada
komoditas kelapa sawit.
2. Kepentingan Nasional bidang Tatanan Internasional (World Order
Interest) : Alat Indonesia dalam Menghadapi Tantangan yang
Dihadapi Kelapa Sawit
136 Wawancara daring dengan Direktur Eksekutif PASPI, Ir. Tungkot Sipayung.
96
Menurut Donald E Nuchterlein, sistem ekonomi dan politik
internasional saling berhubungan satu sama lain yang dimana pada
prakteknya setiap negara juga berusaha untuk mempengaruhi satu sama lain.
Kepentingan nasional dalam bidang tatanan internasional (world order
interest), hingga saat ini masih dipengaruhi oleh negara-negara maju,
sehinga negara yang tidak memiliki pengaruh pada tatanan internasional
menyesuaikan kepentingan nasional mereka dengan negara yang memiliki
bergaining position. Bagi suatu negara jika bisa menguasai kepentingan
pada tatanan internasional tersebut, maka secara tidak langsung akan
mengangkat bergaining position negara tersebut.
Kaitannya dalam hal ini adalah seritifikasi kelapa sawit yang diterapkan
di dunia global, memiliki bergaining position, serta diterima terutama di
negara-negara maju saat ini adalah Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO).
Indonesia pada awalnya bergabung dalam RSPO sebagai wujud diplomasinya
di bidang kelapa sawit. Namun, dalam perjalananya ada hal-hal yang tak
sejalan dengan Indonesia, sehingga Indonesia memutuskan keluar dari RSPO.
Dan mulai membuat kebijakan sertifikasi kelapa sawit berkelanjutannya sendiri
yaitu Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Meskipun sudah membuat kebijakan tersebut, ternyata ISPO masih
kurang dikenal, hal itu terlihat masih banyaknya tantangan yang datang
dihadapi, salah satunya kelapa sawit Indonesia dihasilkan melalui sertifikasi
yang tidak kredibel. Maka demi kepentingan melindungi kelapa sawitnya
97
Indonesia berupaya memperkenalkan ISPO ke lingkup yang lebih luas, serta
mulai melakukan harmonisasi standar yang diterima di lingkup global.
Melihat penerapan kepentingan nasional Donald E Nuchterlein
tersebut, kepentingan nasional Indonesia dalam upaya memperkenalkan
ISPO sebenarnya bukan hanya pada kepentingan ekonomi (economic
Interest). Upaya dalam memperkenalkan ISPO juga bagian dari upaya
Indonesia dalam harmonisasi standar global dalam produksi minyak kelapa
sawit berkelanjutan, dan ini merupakan bagian dari kepentingan nasional
Indonesia di bidang tata internasional (world Order Interest).
Hal ini juga terlihat dari upaya Indonesia melakukan Joint Study
dengan RSPO. Meskipun pada awalnya standar yang diterapkan RSPO tidak
didukung dan menimbulkan perdebatan, namun, demi penerapkan standar
berkelanjutan ISPO tetap menggandeng, serta melakukan harmonisasi
dengan RSPO. Dengan harapan ISPO memiliki bergaining position dalam
pasar kelapa sawit internasional, dan bisa menampilkan citra positif kelapa
sawit Indonesia yang berkelanjutan dan diterima secara global .
Selain itu, menurut Tungkot Sipayung, kepentingan nasional Indonesia
melalui ISPO dapat dijelaskan bahwa kebijakan sertifikasi yang dibentuk oleh
pemerintah Indonesia adalah untuk mewujudkan tata kelola yang baik, melalui
harmonisasi yang diterapkan oleh standar tata kelola kelapa sawit internasional.
Selain itu juga juga harus dipromosikan kepada berbagai negara–negara
terutama di kawasan Uni Eropa, serta negara- negara maju
98
lainnya demi memenuhi tuntutan pasar global. Hal ini juga demi
memperoleh pengakuan global yang lebih baik sehingga dapat menghapus
banyak citra serta kampanye negatif yang terjadi selama ini terhadap
komoditas kelapa sawit Indonesia. Sertifikasi ISPO juga merupakan upaya
Indonesia memenuhi tuntutan pasar serta diharapkan dapat menjadi solusi
terhadap tantangan yang dihadapi kelapa sawit Indonesia ke depannya. 137
Industri kelapa sawit merupakan komoditas ekspor andalan Indonesia
di sektor non migas. Dengan ketersediaan lahan dan iklim yang mendukung,
membuat Indonesia menguasai pasar industri kelapa sawit dunia sebagai
produsen utama. Fokus Indonesia dalam memproduksi kelapa sawit
terganggu oleh tantangan yang datang, dan disuarakan oleh negara-negara
barat. Tantangan yang dihadapi kelapa sawit terutama kelapa sawit
Indonesia sudah cukup lama, terutama tantangan yang dihadapi datang dari
kawasan Uni Eropa. 138
Tantangan yang dihadapi kelapa sawit Indonesia yang baru-baru ini
datang berupa resolusi, yang dapat menghambat aktivitas kelapa sawit dan
turunannya. Isu yang diangkat paling banyak mengenai kelapa sawit adalah
komoditas tersebut dianggap banyak melanggar prinsip-prinsip
berkelanjutan. Hal itu terjadi karena kelapa sawit di Indonesia dianggap
137 Wawancara daring dengan Direktur Eksekutif PASPI, Ir. Tungkot Sipayung.
138 Muhammad Edi Irfandianto, 2019, “Membuat Indonesia Melawan Kampanye Hitam Kelapa
Sawit”, Diakses pada 20 April 2020 melalui ,https://www.kompasiana.com/edirfandianto/5cc145e8cc5283427f0a08e5/membuat-indonesia-melawan-kampanye-hitam-kelapa-sawit .
sering mengesampingkan lingkungan sehingga marak terjadinya deforestasi
di hutan Indonesia. Isu deforetasi sebagai isu utama dijelaskan di dalam
kebijakan Renewable Energy Directive I, II (RED I dan II).
Dalam RED disebutkan bahwa Indonesia sebagai negara pemasok
utama kelapa sawit menjadi ancaman karena peningkatan permintaan kelapa
sawit bisa mengakibatkan hutan ditebang dan dialihfungsikan menjadi
perkebunan kelapa sawit. Ini tentu akan mengarah pada krisis lingkungan
hidup. RED ini dibentuk tidak terlepas dari tuntutan pemerhati lingkungan
dan ilmuwan dunia. Menurut mereka, Protokol Kyoto membuat kesalahan
dengan mengasumsikan bahan bakar non minyak tidak menghasilkan
karbon sebagai efek samping. Padahal, bahan bakar non minyak juga
menyumbang emisi gas rumah kaca ke atmosfer bumi melalui proses
produksi bahan bakar tersebut, di mana setiap tahunnya sekitar 180 juta ton
karbondioksida (CO2) diemisikan ke udara sebagai hasil pembakaran lahan
gambut untuk membuka perkebunan di Indonesia dan Malaysia. 139
Belum selesai masalah RED I, mulai tahun 2016 Uni Eropa merancang
target dan rencana baru dalam kebijakan energi terbarukan, yang dikenal
Renewable Energy Directive (RED II). RED II menetapkan bahwa target
penggunaan energi terbarukan pada tahun 2030 naik menjadi 32% dari
semulanya 27%. Beberapa kategori biofuel juga diatur kontribusinya menjadi
139 Intan Tiara Kartika, 2016, “Interaksi Kebijakan Renewable Energy Directive dan Kebijakan
Indonesian Sustanaible Palm Oil Terhadap Ekspor kelapa sawit Indonesia Ke Uni Eropa”, Skripsi, Departemen
Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin Makassar, Hal 39
100
beberapa kategori sehingga tidak melebihi konsumsi tahun 2019. Kategori
yang dimaksud adalah yang memiliki resiko tinggi terhadap perubahan
penggunaan lahan secara tidak langsung Indirect Land Use Change (ILUC),
serta tanaman yang mengalami ekspansi area produksi secara signifikan.140
Bahkan dalam aturan RED disebutkan bahwa minyak kelapa sawit
dikategorikan sebagai bahan yang tidak berkelanjutan, sehingga tidak dapat
digunakan sebagai bahan dalam pembuatan biofuel. Penggunaan sawit akan
dikurangi secara bertahap hingga sama sekali tidak akan digunakan pada
tahun 2030. Hal itulah yang membuat Indonesia dan Malaysia terganggu,
khusunya di Indonesia, industri kelapa sawit merupakan lapangan usaha
bagi banyak pihak. Apabila ekspor terhambat maka akan banyak pihak yang
merasakan kerugian terutama para petani kecil.
Senada dengan di atas, belum selesai mengenai RED I dan RED II,
Indonesia kembali menghadapi masalah baru. Pada 4 April 2017, Parlemen Uni
Eropa mengeluarkan Resolusi 2016/2222, yang dinamakan dengan Palm Oil
and Deforestation of the Rainforests (Kelapa Sawit dan Deforestasi Hutan
Hujan) diajukan didasarkan pada tudingan bahwa pengembangan industri
kelapa sawit menjadi penyebab utama deforestasi dan perubahan iklim. Selain
itu, resolusi tersebut juga bertujuan akhir agar minyak sawit tidak dimasukkan
140 Taufan Ardiansyah, CNBC News, “Tak Disangka, Gara-gara Ini Uni Eropa Hantam Sawit
RI!”, Diakses pada 22 Maret 2020 melalui https://www.cnbcindonesia.com/news/20190822140737-4-93924/tak-disangka-gara-gara-ini-uni-eropa-hantam-sawit-ri.
sebagai bahan baku program biodiesel Uni Eropa mulai tahun 2020. Industri
minyak kelapa sawit dianggap sebagai pemicu utama deforestasi.141
Keluarnya Resolusi tersebut juga menjadi tantangan tersendiri bagi
produk kelapa sawit Indonesia, terutama yang akan memasuki pasar Uni
Eropa. Data menyebutkan bahwa Uni Eropa merupakan tujuan ekspor
terbesar kedua minyak kelapa sawit Indonesia setelah India, yang
berkontribusi terhadap nilai ekspor kelapa sawit Indonesia. Besaran nilai
ekspor kelapa sawit Indonesia pada tahun 2016 merupakan yang terbesar
dibandingkan dengan ekspor Indonesia di sektor non-migas lainnya.
Dengan posisi strategis tersebut, isu ini menjadi perhatian bagi seluruh
pihak terkait di Indonesia karena terganggunya ekspor kelapa sawit
Indonesia ke UE akan berdampak pada perekonomian Indonesia secara
keseluruhan. 142
Resolusi tersebut juga tidak mengakui skema sertifikasi
yang sudah ada di kawasan ini, seperti Malaysian Sustainable Palm Oil
(MSPO), dan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Menurut Menteri Pertanian RI Amran Sulaiman, ISPO adalah solusi jitu
untuk menghadapi tantangan yang dihadapi kelapa sawit Indonesia, yang
datang dari pasar global terhadap komoditas primadona perkebunan itu.
Adapun tantangan yang dihadapi adalah isu yang seputar deforestasi, dan isu
141 Edhy Prabowo,”Resolusi Sawit Parlemen Eropa yang Merugikan Indonesia”, Diakses pada 5
Desember 2019 melaluihttps://ekonomi.kompas.com/read/2017/12/05/155319126/resolusi-sawit-parlemen-eropa-yang-merugikan-indonesia.
142 Dr. Windratmo Suwarno,2017,“Diplomasi Indonesia Menghadapi Kampanye Negatif Kelapa Sawit Di Uni Eropa”, Staf Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri.
berkelanjutan lainnya. Menurut sulaiman daripada para pelaku usaha dan
petani berpolemik tentang rumitnya mendapatkan ISPO, sebaiknya semua
pemangku kepentingan bekerjasama agar mandatori itu dapat terealisasi
100% pada 2020. ISPO adalah penyadaran supaya kita menyelesaikan
perkebunan kelapa sawit dengan tata kelola yang benar sehingga mereka
akan kesulitan menyerang Indonesia.143
Dengan ISPO, Indonesia juga dapat merespon secara konstruktif
fakta-fakta terhadap isu dan tantangan yang dihadapi sehingga bisa menjadi
bahan evaluasi dan introspeksi. Untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan
misalnya, pemerintah perlu menggencarkan langkah-langkah pencegahan
yang kongkrit sehingga dapat meyakinkan pandangan negara-negara
terutama mengenai isu yang sering datang di kawasan Eropa.144
B. Diplomasi Ekonomi : Terbukanya Pasar Baru
ISPO menjelaskan kepada dunia bahwa Indonesia memiliki visi menjadi
negara penghasil minyak kelapa sawit yang berkelanjutan. Penerapan tata kelola
yang berkelanjutan bertujuan untuk meningkatkan keberterimaan pasar dan daya
saing produk kelapa sawit Indonesia, serta mengurangi emisi Gas Rumah Kaca
sehingga menjadikannya bagian dari kebijakan iklim Indonesia.145
Selain itu,
143 Pandu Gumilar, 2018, “Kementan: ISPO adalah Senjata Lawan Kampanye Negatif Sawit”, Diakses pada 25 April melalui https://ekonomi.bisnis.com/read/20180918/99/839697/kementan-ispo-adalah-senjata-lawan-kampanye-negatif-sawit .
145 Info Sawit, 2020, “Berikut Beberapa Point Baru Pada Minyak Sawit Berkelanjutan ISPO.Info Sawit Jakarta”, Diakses pada 25 April 2020 melalui https://www.infosawit.com/news/9805/berikut-beberapa-point-baru-pada-minyak-sawit-berkelanjutan-ispo
yang dicampur dengan minyak nabati lainnya. Meski tingkat konsumsi minyak
sawit masyarakat India masih rendah, peluang daya serap minyak sawit masih
sangat terbuka.151
Untuk kawasan lainnya seperti kawasan Afrika, Indonesia mengandalkan
ISPO dalam membuka pasar ke negara seperti Nigeria. Demi memenuhi standar
produk yang diterapkan oleh Nigeria terhadpa kelapa sawit Indonesia, Indonesia
telah memiliki sistem tersendiri tentang pembangunan kelapa sawit beserta
olahannya yang sesuai prinsip berkelanjutan yang berwawasan lingkungan yakni
Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). ISPO adalah langkah yang diambil oleh
pemerintah Indonesia untuk mengurangi citra buruk terhadap kelapa sawit beserta
turunanya. Dalam hal ini ISPO bertujuan meningkatkan daya saing kelapa sawit
Indonesia di pasar dunia maupun pasar non tradisional seperti Nigeria. 152
ISPO adalah alat promosi, advokasi, dan kampanye publik untuk meningkatkan
daya saing kelapa sawit Indonesia di Nigeria. Dan hal ini telah menjawab
kekhawatiran terkait kelapa sawit Indonesia yang tidak ramah lingkungan tersebut,
dan memperkuat posisi tawar kelapa sawit Indonesia di pasar global. Selanjutnya
dengan terbentuk dan diterapkannya ISPO, diharapkan bisa memudahkan upaya
Indonesia memperluas pasar ekspor kelapa sawit, yang di mana
151 Oke Finance, 2016, “Biodiesel Dinilai Jadi Pasar Potensial Minyak Sawit”, Diakses pada 27 April 2020 melalui https://economy.okezone.com/read/2016/11/25/320/1551636/biodiesel-dinilai-jadi-pasar-potensial-minyak-sawit
152 Firanty Maulidani Ansori, 2019, “Upaya Indonesia Dalam Peningkatan Ekspor Crude Palm Oil Ke Nigeria”, e Jurnal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 7, Nomor 1 2019:029-042, Hal 39.
penambahan keanggotaan ini diharapkan akan meningkat posisi CPOPC di mata
dunia. PM Malaysia menyatakan persetujuannya terhadap langkah penyatuan standar
keberlangsungan kelapa sawit, sehingga sinergitas program antara Indonesia dan
Malaysia semakin baik dan daya saing pekebun meningkat. Pada akhir diskusi, kedua
pihak sepakat untuk meningkatkan kerjasama dalam membangun strategi dalam
upaya memperbaiki harga pada level yang lebih baik.156
Dapat dijelaskan bahwa ISPO merupakan merupakan alat diplomasi
ekonomi, dimana pemerintah Indonesia mengeluarkan sebuah kebijakan untuk
memberi pengaruh dalam negosiasi internasional dengan tujuan meningkatkan
kesejahteraan ekonomi dalam skala nasional dan menggunakan cara–cara
ekonomi untuk meningkatkan stabilitas ekonomi nasional, khususnya di bidang
kelapa sawit. Melalui ISPO, Indonesia terus mempromosikan minyak sawit yang
berkelanjutan di berbagai negara.
C. ISPO sebagai Wujud Komitmen Indonesia dalam Penerapan Sustainable
Developement Goals (SDGs)
Perkebunan kelapa sawit memiliki multifungsi, yakni, fungsi ekonomi,
sosial, dan lingkungan yang tidak dimiliki sektor-sektor lain di luar pertanian.
Dengan multifungsi tersebut, perkebunan kelapa sawit memberikan kontribusi baik
secara ekonomi, sosial, maupun lingkungan bagi pencapaian SDGs tersebut. Secara
empiris, kontribusi industri minyak sawit dalam ekonomi antara lain mendorong
pertumbuhan ekonomi di tingkat nasional dan daerah, sumber devisa, pendapatan
156 BUMN, 2019, “Dongkrak Harga Sawit, Indonesia Ajak Malaysia Implementasikan Program
B30”, Diakses pada 30 April 2020 melalui http://www.bumn.go.id/ptpn5/berita/1-Dongkrak-Harga-Sawit-Indonesia-Ajak-Malaysia-Implementasikan-Program-B30.