ANAMBAS- Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Kepulauan Anambas (KKA) akan menanam 958 titik rumpon (rumah ikan) di perairan daerah ini. Pembuatan rumpon ini dimaksudkan agar produksi nelayan KKA bisa terus meningkat. Jika program ini berjalan sesuai rencana, menurut Kepala DKP KKA, Zukhrin, pendapatan nelayan diperkirakan bisa meningkat secara drastis yakni mencapai Rp30 juta perhari. "Hal ini dapat terjadi apabila ikan-ikan terus bertambah dan terus dilestarikan dengan cara menanam rumpon. Dengan pembuatan rumpon, maka ikan tidak akan lari kemana- mana melainkan tetap berada di perairan Anambas yang berarti akan mempermudah nelayan untuk menangkapnya," kata Zukhrin, Senin (7/6). "Kita akan menggesa pelaksanaan sejumlah program DKP dan memaksimalkannya sebagai upaya membantu pertumbuhan pendapatan masyarakat nelayan di daerah ini. Dengan luas wilayah Anambas yang sekitar 98 persennya terdiri dari perairan, maka jika SDA (sumber daya alam) yang ada bisa benar-benar dimanfaatkan secara benar, kita yakin akan dapat menjadikan masyarakat Anambas lebih sejahtera dari sekarang," ujar dia lagi. Selain rumpon, lanjut Zukhrin, DKP juga sedang menggesa pembangunan Solar Paket Dealer Nelayan (SPDN) dan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN). Dengan SPDN dan SPBN ini, diharapkan, masyarakat nelayan bisa lebih mudah mendapatkan bahan bakar untuk keperluan mencari ikan. "DKP akan segera membangun SPDN dan SPBN untuk mempermudah nelayan mendapatkan bahan bakar. Dan yang terpenting adalah bisa meningkatkan pendapatan nelayan yang ada di daerah ini," katanya. (sm/yd)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ANAMBAS- Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Kepulauan Anambas (KKA) akan menanam 958 titik rumpon (rumah ikan) di perairan daerah ini. Pembuatan rumpon ini dimaksudkan agar produksi nelayan KKA bisa terus meningkat. Jika program ini berjalan sesuai rencana, menurut Kepala DKP KKA, Zukhrin, pendapatan nelayan diperkirakan bisa meningkat secara drastis yakni mencapai Rp30 juta perhari.
"Hal ini dapat terjadi apabila ikan-ikan terus bertambah dan terus dilestarikan dengan cara menanam rumpon. Dengan pembuatan rumpon, maka ikan tidak akan lari kemana- mana melainkan tetap berada di perairan Anambas yang berarti akan mempermudah nelayan untuk menangkapnya," kata Zukhrin, Senin (7/6).
"Kita akan menggesa pelaksanaan sejumlah program DKP dan memaksimalkannya sebagai upaya membantu pertumbuhan pendapatan masyarakat nelayan di daerah ini. Dengan luas wilayah Anambas yang sekitar 98 persennya terdiri dari perairan, maka jika SDA (sumber daya alam) yang ada bisa benar-benar dimanfaatkan secara benar, kita yakin akan dapat menjadikan masyarakat Anambas lebih sejahtera dari sekarang," ujar dia lagi.
Selain rumpon, lanjut Zukhrin, DKP juga sedang menggesa pembangunan Solar Paket Dealer Nelayan (SPDN) dan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN). Dengan SPDN dan SPBN ini, diharapkan, masyarakat nelayan bisa lebih mudah mendapatkan bahan bakar untuk keperluan mencari ikan.
"DKP akan segera membangun SPDN dan SPBN untuk mempermudah nelayan mendapatkan bahan bakar. Dan yang terpenting adalah bisa meningkatkan pendapatan nelayan yang ada di daerah ini," katanya. (sm/yd)
Analisa Penyebab Kemiskinan di Masyarakat
3 Votes
A. Pendahuluan
Salah satu masalah pembangunan yang dihadapi oleh negara yang sedang berkembang adalah kemiskinan. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang juga mengahadapi masalah yang sama. Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan klasik yang sudah ada sejak dulu kala. Sejak Pak Harto mendapat kepercayaan dan tanggung jawab memimpin pembangunan di Indonesia pada akhir tahun 1960-an, khususnya sejak Pelita I, disadari bahwa tingkat kemiskinan penduduk Indonesia sangat tinggi. Program-program utama pengentasan kemiskinan diprioritaskan pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar, utamanya kebutuhan sembilan bahan pokok. diarahkan pada sasaran-sasaran pertumbuhan ekonomi yang signifikan agar penyerapan tenaga kerja bisa maksimal.
Rendahnya pertumbuhan ekonomi mengakibatkan semakin rendah dan menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat serta munculnya berbagai permasalahan sosial yang mendasar. Indikator yang paling jelas adalah jumlah pengangguran yang semakin bertambah dan tingkat kemiskinan yang semakin tinggi. Sementara itu, kesejahteraan masyarakat sangat dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi untuk memenuhi kebutuhannya.Di dalam upaya mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur baik materiil maupun spiritual, pemerintah telah melakukan berbagai usaha pembangunan di berbagai bidang. Namun demikian, peningkatan kesejahteraan hidup tersebut belum dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Hal itu tercermin pada tahun 1999 diperkirakan 80.000.000 penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Hal itu menjadi tugas kita bersama untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan dengan berbagai upaya. Penduduk yang miskin tersebut pada umumnya banyak terdapat di perkotaan maupun di pedesaan di seluruh Indonesia. Akan tetapi jumlah penduduk miskin ini sebagian besar bertempat tinggal di desa. Kemiskinan tersebut pada umumnya ditandai oleh ketidak bekerjaan seseorang pada usia kerja karena sulitnya mendapatkan pekerjaan atau karena terkena pemutusan hubungan kerja akibat krisis ekonomi.
Masalah yang cukup serius dalam masyarakat pedesaan adalah masalah pengangguran dan kemiskinan. Masalah pengangguran dan kemiskinan terutama diakibatkan oleh tingginya pertambahan penduduk, sedangkan kesempatan kerja terbatas.Masalah penting lainnya adalah tingkat pendidikan pada masyarakat pedesaan. Angkatan kerja aktif di pedesaan pada umumnya hanya memiliki pendidikan SD ke bawah. Sebagian angkatan kerja itu menyandang buta huruf atau mereka yang sama sekali tidak pernah merasakan atau menempati bangku sekolah. Tingkat pendidikan yang rendah pada masyarakat desa ini tentu sangat mempengaruhi keadaan sosial ekonomi. Usaha-usaha untuk melakukan perubahan tingkat pendidikan ekonomi yang lebih baik sering terhambat karena sikap warga masyarakat desa yang belum terbuka terhadap hal-hal atau inovasi baru.
B. Penyebab Kemiskinan
Ada dua faktor utama mengapa orang menjadi miskin, yakni sebab kultural dan sebab struktural. Secara kultural, kemiskinan dipicu oleh lemahnya etos kerja, sikap hidup yang
fatalis dan salah dalam memahami makna rizki, malas berusaha termasuk malas mengembangkan kemampuan diri serta terperangkap pada budaya miskin itu sendiri.Secara struktural, kemiskinan dipicu oleh setting sosial yang individualistik. Yakni ketika orang yang mampu (kaya) dengan egonya merasa acuh dengan kehidupan kemiskinan yang ada di sekitarnya, termasuk tidak adannya kesadaran bahwa banyaknya orang yang ada di sekitarnya yang membutuhkan uluran tanganya. Ia sibuk dengan dirinya sendiri, berlomba-lomba memenuhi semua keinginanya (bukan kebutuhan) yang tidak terbatas, sedangkan orang yang ada disekitarnya sedang kesulitan mencari makan.Tetapi yang paling utama, kemiskinan adalah produk dari sitem ekonomi kapitalistik yang melahirkan pola distribusi kekayaan yang tidak adil. Mengapa distribusi sangat buruk? karena sistem dan kebijakan pengambil keputusanlah yang membuat itu semua. Sementara itu, kaum kaya dengan sejumlah modal yang dimilikinya mampu menambah kekayaannya dengan seenaknya, dan yang lebih parah lagi mereka mampu masuk kedalam jantung dan darah para pengambil kebijakan. Sehingga sebagian besar produk kebijakan yang diambil adalah pesanan dari mereka kaum kaya agar dapat memenuhi kebutuhan usahanya untuk menumpuk kekayaan yang dimilikinya. Ditambah lagi dengan miskinnya solidaritas dan budaya miskin diatas maka lengkaplah penyebab kemiskinan.
Mengingat analisa ini bersifat subjektif, diharapkan tidak ada prasangka buruk apabila menemui kondisi yang tujuannya berbeda atau memberi bobot yang berbeda pada tujuan yang sama atau menolak untuk menerima sudut pandang orang lain.
C. Pengentasan Kemiskinan
Masalah kemiskinan di Indonesia merupakan masalah yang menyesakkan dada bangsa ini, mengingat jumlah orang miskin di Indonesia semakin tahun semakin bertambah. Apabila dilihat dari penyebarannya, bahwa penduduk miskin di Indonesia lebih banyak dialami oleh orang-orang yang tinggal di pedesaan, wilayah kumuh perkotaan dan pesisir pantai, yang notabennya tingkat pendidikanya rendah dan memiliki produktifitas yang rendah, sehingga tidak mampu untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya yang layak. Kondisi tersebut terjadi sejak dekade 1997, yang merupakan warisan dari pemerintah masa lalu. Pengalami multi krisis yang dialami bangsa ini memberikan dampak yang memperihatinkan, seperti daya beli masyarakat yang rendah terhadap suatu barang, karena adanya inflasi bahan-bahan pokok, sedangkan masyarakat tidak memiliki sumber penghasilan yang memadai untuk membeli suatu barang.Dampak krisis ekonomi yang kita hadapi sejak dekade 1997, telah menimbulkan tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan terhadap masyarakat baik di wilayah perkotaan maupun di pedesaan. Dengan kata lain, bahwa multi krisis sebagai penyebab kemiskinan, sehingga negara mengalami kemunduran. Pengentasan kemiskinan masyarakat merupakan inti dari pemberdayaan masyarakat melalui perubahan sosial untuk mencapai kesejahteraan masyarakat yang di inginkan dengan bersandarkan pada norma dan etika yang berlaku, serta menjunjung tinggi kesejahteraan bersama sebagai warga negara.
Pengentasan kemiskinan secara keseluruhan sebetulnya inherent dengan perubahan sosial yang berlaku dalam masyarakat kita, dan setiap kali kita melakukan perubahan maka setiap kali itu kita akan menemukan fenomena yang baru, dimana adanya sikon baru yang harus dihadapi oleh bangsa ini. Dengan kata lain pilihan perubahan yang di kehendaki oleh bangsa kita saat ini dituntut untuk memberikan perubahan yang mendasar sehingga memberikan kesejahteraan bagi masyarakat bukan memberikan kemiskinan. Birokrasi merupakan institusi yang mendukung terjadinya perubahan untuk mengatasi kemiskinan, tetepi di Indonesia dan
di negara-negara dunia berkembang birokrasi merupakan sebagai sumber dan menjamurnya kemiskinan dan penindasan rakyatnya.
Program penangulangan kemiskinan bukan hanya pada tingkat perencanaan, tetepi harus adanya sasaran yang akan dicapai oleh pemerintah, baik di wilayah pedesaan maupun didaerah perkotaan dengan menyesuaikan karkteristik dari wilayah masing masing. Dalam rangka pembangunan masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera dan berkeadilan harus diupayakan oleh setiapa komponen dengan beroreantasi kepada kepentingan masyarakat secara keseluruhan sehingga pemerintah dapat berperan sebagai fasilitator untuk pengentasan kemiskinan masyarakat, dan masyarakat baik di pedesaan maupun di perkotaan mempunyai produktifitas yang tinggi dalam pengolahan sumber daya yang dimiliki sesuai dengan prinsip sustinable devlopment .
Dengan demikian ada benang merah yang jelas, bahwa peran pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah bukan seperti dilakukan selama ini dengan menimang bobo masyarakat dengan bahan-bahan sembako murah, tetapi pemerintah harus dapat memfasilitasi masyarakat dengan menciptakan produktifitas masyarakat melalui keterampilan dan pengetahuan. Hal ini bukan suatu usaha yang mudah, karena merupakan suatu paradigma yang baru yang harus diperankan oleh pemerintah untuk pengentasan kemiskinan.
Harus kita akui, bahwa perubahan paradigma serta peranan pemerintah dalam proses pengentasan kemiskinan masih jauh dari harapan. Namun dengan komitmen untuk meningkatkan dan mewujudkan masyarakat yang berdaya saing dalam pelaksanaan pembangunan, maka diperlukan langkah-langkan konkrit oleh pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah. Selain itu prinsip ekonomi kerakyatan merupak salah satu solusi yang tepat bagi pengentasan kemiskinan, karena dengan ekonomi kerakyatan maka pemerintah akan mengurangi jumlah masyarakat miskin di Indonesia, karena ekonomi kerakyatan lebih mengarah kepada peningkatan produktifitas masyakat secara keseluruhan. Ini berarti sektor usaha kecil menengah lebih diandalkan dengan beroreantasi pengembangan mikro ekonomi.
D. Upaya Pengentasan Kemiskinan
Pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah bagaimana mengidentifikasi kaum miskin yang membutuhkan pelayanan. Banyak kejadian yang dialami oleh lembaga-lembaga yang bergerak di bidang pengembangan masyarakat maupun pengembangan keuangan mikro bagi masyarakat miskin yang kurang atau bahkan tidak mampu menjangkau kaum miskin itu sendiri. Yang umum terjadi adalah bahwa kaum masyarakat termiskin sering menjadi eksponen paling akhir terjangkau oleh program-program pembangunan. Menilik dari pengalaman-pengalaman tersebut, dapat dilihat bahwa lembaga yang ingin melayani masyarakat miskin justru terjebak karena tidak dapat menjangkau sasaran yang tepat. Ini dikarenakan kekurang tepatan lembaga dalam melakukan identifikasi kemiskinan di masyarakat. Metode-metode yang jamak dilakukan dalam mengidentifikasi kemiskinan di masyarakat saat ini umumnya belum menjawab pertanyaan masyarakat mana yang akan dilayani.
Ketika sebuah identifikasi kemiskinan dilakukan tanpa melibatkan partisipasi warga masyarakat didalamnya lalu kemudian digulirkan sebuah program “bantuan” kepada orang-orang yang tergolong “miskin”, acap kali yang terjadi adalah kecemburuan sosial.Sebab dalam pandangan warga masyarakat setempat, warga yang memperoleh bantuan
bukanlah tergolong warga yang miskin di lingkungan tempat tinggal mereka. Masyarakat setempat memiliki pandangan atau konsep tersendiri mengenai kemiskinan di wilayah tinggal mereka. Inilah yang umum disebut sebagai “kearifan lokal”. Dalam mengidentifikasi kemiskinan di masyarakat, unsur kearifan lokal perlu dihargai. Masyarakatlah yang lebih mengetahui keadaan di wilayahnya daripada orang luar yang datang membawa seperangkat alat untuk melihat kemiskinan di wilayah mereka.
Bertolak dari kritik terhadap metode-metode identifikasi kemiskinan yang konservatif, telah dikembangkan metode-metode alternatif dalam melakukan kegiatan tersebut, yaitu CHI (Cashpoor House Index) dan PWR (Participatory Wealth Ranking). Kedua perangkat ini dipandang murah dan mudah diterapkan. CHI dilaksanakan dengan menguji rumah calon warga dampingan (calon penerima bantuan) untuk menentukan apakah keluarga itu tergolong miskin atau tidak.
Pengujian dilakukan dengan cara memeriksa ukuran, kualitas bangunan, dinding, dan atap setiap rumah serta menetapkan nilai-nilai tertentu pada setiap kondisi. Proses berikutnya dilakukan dengan tes aset sebagai cara untuk memverifikasi dan pemastian tingkat kemiskinan. PWR merupakan alternatif yang dipandang lebih partisipatif dengan mengedepankan partisipasi warga masyarakat dan kesetaraan gender. Metode ini diterapkan dengan melibatkan seluruh warga masyarakat di suatu dusun atau desa untuk terlibat didalamnya. Metode ini juga dipandang sebagai pengembangan mutakhir atas metode PRA (Participatory Rural Appraisal) yang selama ini banyak digunakan dalam memetakan permasalahan, potensi, dan kebutuhan masyarakat yang akan dilayani. Nilai lebih dari metode ini selain mengedepankan partisipasi dan kesetaraan gender adalah pengakuan dari 29 lembaga donor yang tergabung dalam CGAP (Consultative Group to Assist the Poorest). Ini menunjukkan bahwa lembaga-lembaga penting yang terlibat dalam pengambilan keputusan di tingkat dunia telah memandang penting adanya perangkat atau metode partisipatif untuk mengidentifikasi kemiskinan masyarakat.
E. Kesimpulan
Permasalahan kemiskinan di Indonesia harus segera ditangani. Beberapa ciri umum dari kondisi fisik masyarakat miskin adalah tidak memiliki akses terhadap prasarana dan sarana dasar lingkungan yang memadai, dengan kualitas perumahan dan pemukiman yang jauh di bawah stamdar kelayakan, serta mata pencaharian yang tidak menentu. Permasalahan ini disadari betul oleh pemerintah dan masyarakat yang terkadang juga menjadi kelompok masyarakat miskin. Oleh karena itu, banyak program untuk mengentaskan permasalahan ini, baik yang ditawarkan oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat.
Daftar Pustaka
———— Anjayani, Eni. 2007. Mengenal Beberapa Program Pembangunan. Klaten: Penerbit CEMPAKA PUTIH———— Haryanto, Tri. 2007. Menuju Masyarakat Swadaya dan Swakelola. Klaten: Penerbit CEMPAKA PUTIH———– Sudrajad. 2000. Kiat Mengentaskan Pengangguran melalui Wirausaha. Jakarta: Bumi Aksara———— www.darmawanachmad.blogspot.com———— www.antrounair.wordpress.com
masyarakat, peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM, perlindungan sosial, dan penataan
kemitraan global.
Menciptakan Program Pemerintah yang Memihak
Bahwa musim paceklik akan hadir dalam setiap tahunnya. Oleh karenanya berbagai strategi
adaptasi dilakukan masyarakat nelayan untuk bertahan hidup. Strategi adaptasi yang biasanya
dilakukan adalah memobilisasi peran perempuan (kaum istri) dan anak-anaknya untuk
mencari nafkah. Keterlibatan perempuan dalam mencari nafkah untuk keluarga di wilayah
pesisir atau desa-desa nelayan tidak terlepas dari sistem pembagian kerja secara seksual (the
division of labour by sex) yang berlaku pada masyarakat setempat.
Kaum perempuan biasanya terlibat penuh dalam kegiatan pranata-pranata sosial ekonomi
yang mereka bentuk, seperti arisan, kegiatan pengajian berdimensi kepentingan ekonomi,
simpan pinjam, dan jaringan sosial yang bisa mereka manfaatkan untuk menunjang
kelangsungan hidup keluarga. Hadirnya pranata-pranata tersebut merupakan strategi adaptasi
masyarakat nelayan dalam menghadapi kesulitan hidup yang dihadapinya. Strategi adaptasi
diartikan sebagai pilihan tindakan yang bersifat rasional dan efektif sesuai dengan konteks
lingkungan sosial, politik, ekonomi dan ekologi, dimana penduduk miskin itu hidup.
Sedangkan strategi adaptasi yang dilakukan para nelayan (kaum suami) adalah diversifikasi
pekerjaan untuk memperoleh sumber penghasilan baru. Bahkan, strategi adaptasi tersebut
diselingi dengan menjual barang-barang berharga yang ada dan berhutang. Namun, kedua
strategi ini pun tidak mudah didapat karena berbagai faktor telah membatasi akses mereka.
Dengan segala keterbatasan yang ada, masyarakat nelayan mengembangkan sistem jaringan
social yang merupakan pilihan strategi adaptasi yang sangat signifikan untuk dapat
mengakses sumberdaya ikan yang semakin langka. Jaringan sosial diartikan oleh Mitchell
sebagai seperangkat hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk di antara kelompok orang.
Oleh karena itu, diperlukan kebijakan pemerintah yang nyata dalam mengatasi masa pacaklik
ini, salah satunya jaminan sosial. Jaminan yang dibutuhkan masyarakat nelayan tidak muluk-
muluk, mereka hanya memerlukan tersedianya dana kesehatan dan dana paceklik. Sementara
itu, kebijakan tersebut harus disusun oleh struktur sosial budaya lokal, baik yang
berhubungan dengan masalah institusi maupun dengan sistem pembagian kerja yang berlaku
dalam masyarakat nelayan. Hal ini dikarenakan, pranata-pranata sosial budaya yang ada
merupakan potensi pembangunan masyarakat nelayan yang bisa dieksplorasi untuk mengatasi
kemiskinan dan kesulitas ekonomi lainnya.
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di sektor kelautan dan
perikanan yang saat ini digalakkan oleh pemerintah, diharapkan bisa menurunkan angka
kemiskinan nelayan di Indonesia. Melalui pengembangan kegiatan perekonomian masyarakat
yang berbasis pada sumber daya lokal, baik masyarakat maupun sumber daya alamnya, para
nelayan dapat mengembangkan usaha sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Dengan
demikian, diharapkan dapat memberantas kemiskinan, menciptakan lapangan kerja dan
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, khususnya di kalangan masyarakat nelayan.
Selain itu, pemerintah juga perlu mendorong sektor perbankan untuk membuka kantor kasnya
di setiap Tempat Pemasaran Ikan (TPI) yang bisa mengatasi kesulitan para bakul untuk
menutup tagihannya. Termasuk fungsi perbankan disini adalah menyediakan dana yang
diperlukan nelayan untuk berlayar. Sayangnya dengan kondisi kehidupan nelayan yang pas-
pasan, tampaknya sangat sulit bagi perbankan untuk menjalankan fungsi tersebut tanpa
adanya agunan yang memadai dari para nelayan.
Di sini bila dimungkinkan pemerintah bisa menyediakan dana khusus sebagai jaminan
kepada perbankan untuk menyalurkan dananya kepada nelayan. Kalaupun perbankan tidak
mampu memenuhi peran tersebut, pemerintah bisa menempatkan dananya sebagai penyertaan
modal kepada KUD-KUD pengelola TPI. Memang, nada miring tentang KUD seringkali kita
dengar sehingga pemerintah pun cenderung berhati-hati bila ingin memberdayakan KUD.
Namun, pendapat ini tidak bisa digeneralisasi secara membabi buta, karena masih cukup
banyak pengurus KUD yang mempunyai hati nurani seperti KUD-KUD pengelola TPI. Tidak
ada salahnya, mulai sekarang pemerintah mulai mencoba mengalokasikan dana retribusi dari
transaksi di TPI untuk diarahkan kepada penyediaan modal bagi nelayan. Dengan demikian
misalokasi anggaran diharapkan tidak akan banyak terjadi, karena dengan memberdayakan
KUD berarti pula mendorong bangkitnya kekuatan ekonomi nelayan.
Selain mengambil kebijakan yang memihak, hukum juga harus difungsikan sebagai sarana
perubahan social. Kita bisa ambil contoh kebijakan pemerintah di Malaysia yang sangat
memihak kepada pribumi, dalam hal ini etnis Melayu. dalam regulasinya, pemerintah
Malayasia mendorong agar 20 – 25 persen kepemilikan saham-saham perusahaan dikuasai
oleh etnis Melayu. Bahkan pada tahun 2020, Malaysia menargetkan kepemilihan saham etnis
Melayu bertambah menjadi 30 persen. Dalam hal ini, Hukum dapat difungsikan sebagai alat
rekayasa social untuk mensejahterakan para nelayan.
Penutup
Kemiskinan merupakan masalah yang multidimensional sehingga pendekatan untuk
mengentaskan kemiskinan juga harus multidimensional. Dalam hal mengatasi kemiskinan
kaum nelayan, Setidaknya perlu mengagas dan mewujudkan harapan akan perkuatan sektor
kelautan dari semua aspek. Mulai dari gazetteer pulau, pemetaan wilayah terbaru, penegasan
tapal batas, perkuatan armada pertahanan lautan (penambahan jumlah kapal patroli laut
sampai jumlah ideal), pengembangan dan kawal tetap pulau-pulau terluar, penertiban zona
tangkapan ikan dan aktivitas kelautan lain, sampai persoalan penyelamatan lingkungan
perairan. Ini juga termasuk perkuatan sektor perikanan, perjuangan nasib nelayan lokal
(dalam negeri), penegasan dan penegakan hukum perairan dan kelautan, sampai pemanfaatan
berkelanjutan potensi laut yang ramah lingkungan. Begitu banyak “pekerjaan rumah” yang
harus diselesaikan Indonesia untuk bisa tegar perkasa sebagai satu negara maritim terbesar
dunia.
Dengan demikian mengatasi kemiskinan nelayan sebaiknya harus diawali dengan adanya data
akurat statistik. Selanjutnya ditindaklanjuti mengenai apa penyebab dari kemiskinan tersebut,
apakah karena jeratan utang atau faktor lain. Kemudian cara atau metode untuk
menaggulanginya lebih terfokus, pada nelayan-nelayan yang berada pada subordinasi tokeh.
Bagaimanpun juga bahwa penyebab kemiskinan tidaklah sama disemua wilayah, bahkan
ukurannyapun bisa berbeda-beda atau tergantung kondisi setempat. Sehingga formula
pengentasan kemiskinanpun tidak bisa digeneralisir pada semua wilayah atau semua sektor.
Kemiskinan yang dialami oleh nelayan tidak bisa disamamakan dengan ukuran kemiskinan
buruh di perkotaan. Bahkan dalam suatu di kabupaten yang sama belum tentu bisa diratakan
ukuranya pada desa-desa pesisir yang ada. Program pengentasan kemiskinan nelayan
membutuhkan strategi khusus yang mampu menjawab realitas yang terjadi hari ini. Selain itu,
peranan hukum juga menjadi sangat penting untuk mensejahterakan para nelayan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Arumbiang, Kasihono. Kiat Mengentaskan Kemiskinan di Pedesaan Tanpa Menggunakan
Dana APBN. Aliansi Koperasi Pertanian Indonesia. Jakarta : Delima Rimbun, 2008.
Mulya Lubis, Todung. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktrural. Jakarta : LP3ES, 1986.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Cetakan 38. Jakarta : PT. Grafindo Persada,
2005.
Dr. Tellisa Aulia. F. “Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan dan Kemiskinan Aspek
Sosial Budaya”. Draft Laporan Final Hibah Multidisiplin UI. 2009.
Artikel :
Andini, Ayu. “Indonesia Gelar World Ocean Conference Pertama di Dunia”.
www.indofamilynet.com, 04-05-2009 18:43.
Bakara, Evin H. “Antara WOC dan Ruwetnya Persoalan Kelautan Indonesia”. www.harian-
global.com. 15-05-2009 10:39.
Himti, Ibrahim. “Wilayah Laut Indonesia”.
Marbun, Leonardo. “Kenaikan BBM dan Kemiskinan Nelayan”.
Samhadi, Sri Hartati., Ahmad Arif, dan Maria Hartiningsih. “Petani Berhadapan dengan
Kekuasaan”. Kompas, 11 April. 2008, 41.
Solihin, Akhmad. “Musim Paceklik Nelayan dan Jaminan Sosial“.
Solihin, Akhmad. “Mencermati Kontraversi HP3”. http://ikanbijak.wordpress.com. April 18,
2008.
Sudrajat, Ihwan. “Membangkitkan Kekuatan Ekonomi Nelayan”. Suara Merdeka, 13
Desember 2002.
____________.“Separuh Penduduk Masih Rentan Menjadi Miskin”, Kompas, 8 Desember
2006, halaman I.
____________. “Kepemilikan Saham untuk Etnis Melayu Ditingkatkan”. Kompas, 1 April
2006, halaman 8.
Soerjono Soekanto. “Sosiologi Suatu Pengantar”. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006). hal. 320.
Menurut Oscar Lewis (1966), kemiskinan bukanlah semata-mata kekurangan dalam ukuran ekonomi, tetapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran kebudayaan dan kejiwaan dan memberi corak tersendiri pada kebudayaan yang diwariskan dari generasi orang tua kepada anak melalui proses sosialisasi.
teori demikian disebut dengan teori cultural.
Dr. Tellisa Aulia. F. “Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan dan Kemiskinan dari Aspek Sosial Budaya”.
Todung M. Lubis, “Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktura”, (Jakarta: LP3ES, 1986). hal. 9.
Todung M. Lubis, “Pembangunan dan Hak-Hak Asasi Manusia” dalam Prisma, No. 12, Desember 1979, hal 11-20.
“Separuh Penduduk Masih Rentan Menjadi Miskin”, Kompas, 8 Desember 2006, hal. I.
Data Biro Pusat Statistik (BPS) per Maret 2008.
Ibid.
Berita Resmi Statistik No. 26/05/Th. XII, 1 Mei 2009
Ibid.
Leonardo Marbun. “Kenaikan BBM dan Kemiskinan Nelayan”.
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Luas wilayah lautan sekitar 5,8 juta km2 atau sekitar 70% dari luas total teritorial Indonesia serta memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sekitar 81 ribu km. Kondisi ini tentunya menjadi potensi yang besar bagi negeri ini untuk mensejahterakan rakyatnya.
Namun sayang, potensi yang begitu melimpah belum mampu menjadikan negeri ini menjelma menjadi bangsa bahari besar dan mandiri. Ini ditunjukkan dengan kehidupan masyarakat kita yang berprofesi sebagai nelayan masih cukup banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Kita tentu tidak bisa menutup mata bahwa di tengah potensi lautan yang begitu besar justru kantong-kantong kemiskinan banyak terletak di pemukiman nelayan. Banyak faktor yang menjadi penyebab kemiskinan masih mendera para nelayan baik secara struktural, kultural, bahkan secara alami.
Nelayan kita masih terjerat oleh terbatasnya kemampuan modal, manajemen yang lemah, cengkraman tengkulak serta keterbatasan teknologi yang mereka miliki. Kondisi ini dipersulit oleh situasi alamiah laut yang seringkali sukar diprediksi seperti gelombang tinggi, angin dan badai, serta rusaknya alam yang mengakibatkan hasil tangkapan semakin berkurang.
Di samping itu, faktor kultural juga bisa menjerumuskan nelayan semakin terkungkung dalam kemiskinan. Begitu besarnya, kekayaan laut kita tanpa disadari justru meninabobokan. Akibatnya, tercipta ketergantungan yang besar terhadap sumber daya laut sehingga berakibat kurangnya montivasi dalam usaha meningkatkan usaha peningkatan sumber daya manusia.
Inilah yang membuat faktor penyebab kemiskinan nelayan menjadi sangat kompleks. Karenannya, dibutuhkan strategi kebijakan pembangunan yang efektif dan komprehensif. Begitu kompleksnya pemasalahan yang menyelimuti kemiskinan nelayan sehingga tak jarang muncul pertanyaan mungkinkah kemiskinan nelayan dapat dituntaskan mengingat masalah yang ada laksana benang kusut yang susah diuraikan?
Oleh karena itu, kita harus belajar dari pengalaman masa lalu. Kegagalan program pengentasan kemiskinan nelayan dinilai terjadi karena hanya menggunakan satu pendekatan yang bersifat projec oriented. Pengembangan ekonomi masyarakat pesisir lebih diarahkan pada peningkatan hasil penangkapan namun kurang memperhatikan sumberdaya lokal baik dari segi sumber daya manusia maupun sumber daya alamnya.
Pemerintah sekarang sebenarnya telah melaksanakan beragam program pemberdayaan masyarakat nelayan. Salah satunya program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang dijalankan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Ada tiga program PEMP yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir yaitu program Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN)/Stasiun Pengisian Bahan Bakar Minyak Untuk Nelayan (SPBN), program kedai pesisir, dan program penguatan modal bagi masyarakat pesisir yang bekerjasama dengan lembaga keuangan. Di samping itu, dalam rangka menguatkan modal nelayan, PEMP bekerja sama dengan kalangan perbankan dan nonperbankan.
Untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan di kalangan nelayan dan masyarakat pesisir, maka pemerintah mulai tahun ini mengitegrasikan program-program pemberdayaan dilingkup DKP ke dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan (PNPM Mandiri KP).
Program ini telah diluncurkan di Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 17 Maret lalu. Sasaran program adalah masyarakat kelautan dan perikanan dengan skala usaha mikro. Melalui program ini diharapkan percepatan penanggulangan kemiskinan yang menimpa pada sekitar 32% dari 16,42 juta masyarakat pesisir dan nelayan bisa tercapai.
Untuk program ini pemerintah mengalokasikan Rp116 milyar, yang akan dialokasikan ke 120 kabupaten/kota. Dana tersebut akan dialokasikan sebagai Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dan sebagian untuk untuk dana sosialisasi, peningkatan kapasitas, termasuk pelatihan-pelatihan bagi masyarakat.
Dalam pelaksanaannya, PNPM Mandiri KP akan meliputi empat komponen yaitu pertama, perencanaan pembangunan wilayah dan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis desa. Kedua, pembangunan infrastruktur desa dan lingkungan. Ketiga, penguatan kapasitas sumberdaya manusia, kelembagaan dan keempat, pemberdayaan masyarakat.
Penutup
Beragam inisatif dalam memberdayakan masyarakat melalui PNPM Mandiri KP atau pun program lainnya merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menjadikan masyarakat yang sejahtera dan mandiri. Melalui program yang bersifat pemberdayaaan inilah diharapkan akan mampu mengurangi ketergartungan masyarakat terhadap bantuan pemerintah.
Keberadaan program PNPM Mandiri KP tentu dapat menjadi harapan besar bagi masyarakat nelayan dan pesisir untuk bisa membebaskan mereka dari kondisi kemiskinan. Di samping itu, program ini tentunya dapat memberikan manfaat terhadap terciptanya lapangan kerja serta mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di kalangan nelayan. Sehingga pada akhirnya, mampu menghilangkan stereotip sebagai masyarakat miskin yang mereka sandang selama ini. (dimuat di Majalah KOMITE edisi 1-15 Mei 2009)
Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), yang kini telah dilebur dalam PNPM Mandiri Perkotaan, diluncurkan pada tahun 2007 dan dilaksanakan hingga sekarang di Provinsi Bali. Dalam perjalanannya, memang timbul berbagai hambatan maupun kekhawatiran negatif yang berkembang terhadap keberhasilan pelaksanaan program ini. Kekhawatiran pertama adalah kesulitan dalam mencari relawan yang bersedia tidak dibayar dan mau berpartisipasi dalam pelaksanaan program di desa/kelurahan. Kekhawatiran kedua, kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyimpangan, baik menyangkut pengelolaan keuangan, ketepatan sasaran maupun penerima manfaat dari program tersebut. Jika penyimpangan terjadi, dikhawatirkan bukannya penduduk miskin yang menurun, malah akan semakin meningkat.
Dalam tiga tahun berpartisipasi dalam PNPM Mandiri Perkotaan, banyak hal positif yang sangat bermanfaat dirasakan oleh masyarakat. Adanya peningkatan kemandirian masyarakat dalam melaksanakan program, meningkatnya kepedulian warga lain terhadap penduduk miskin, meningkatnya partisipasi, serta tumbuhnya pemahaman masyarakat dalam merumuskan program pembangunan hingga turunnya anggaran untuk pelaksanaannya. Sehingga kini, kelompok masyarakat yang mendapatkan alokasi bantuan program ini telah beranggapan bahwa PNPM Mandiri Perkotaan merupakan program yang paling tepat dilaksanakan untuk memberdayakan masyarakat serta lebih kongkret dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Beberapa manfaat nyata yang dinikmati masyarakat dalam pelaksanaan program PNPM Mandiri Perkotaan adalah:
1. Berkembangnya infrastruktur. Infrastruktur lingkungan yang ada di pedesaan selama ini sangat jarang tersentuh oleh program-program pemerintah. Karena, tanggung jawab pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam pembangunan dan perbaikan infrastruktur masih dibatasi pelayanan yang lebih luas dan regional. Dengan demikian, skala pelayanan lingkungan yang kecil mendapat prioritas kedua dan seterusnya. Berkat adanya PNPM Mandiri Perkotaan ini, banyak infrastruktur lingkungan bagi masyarakat miskin yang dapat dibangun, baik menyangkut pengaspalan jalan, pembuatan drainase, air bersih, jamban keluarga, maupun kegiatan bedah rumah.
2. Memberikan kesejahteraan. Selama ini banyak proyek yang dikerjakan pemerintah, namun belum mampu secara langsung dapat memberikan tambahan penghasilan bagi masyarakat di sekitarnya. Hal ini disebabkan kontraktor menggunakan lebih banyak tenaga kerja dari luar dibandingkan dengan masyarakat lokal. Biaya tenaga kerja luar daerah yang lebih murah menjadi prioritas bagi kontraktor bersangkutan guna meraih keuntungan yang maksimal. Hal ini benar-benar menunjukkan sifat kapitalisme dan ketidakpedulian terhadap buruh lokal yang makin miskin.
Keberadaan PNPM telah mengubah paradigma tersebut dan kegiatan pembangunan fisik lingkungan yang ada di wilayah kini dapat dinikmati, dan masyarakat pun berharap agar kegiatan ini selalu berlanjut.
3. Tingginya partisipasi. Program yang bertumpu pada masyarakat ini makin dipercaya, baik di lingkungan masyarakatnya sendiri maupun para pengusaha yang ada di lingkungannya, sehingga keberadaan program ini mampu membangun partisipasi yang lebih luas. Rata-rata partisipasi (berupa swadaya) mencapai antara 50-80% dari total biaya yang dibutuhkan. Kemampuan Koordinator Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dalam memasarkan maupun membangun jaringan kemitraan (channeling) telah mendorong tumbuhnya partisipasi asing dalam pembiayaan program, sebagaimana terjadi di Ubud.
4. Kepedulian terhadap orang miskin.Mungkin orang peduli dan tidak peduli terhadap orang miskin seimbang. Yang tidak peduli akan asyik berkutat dalam kesibukannya sendiri, sedangkan yang peduli tidak mampu dari mana harus memulai dan bagaimana mengapresiasikannya. Akhirnya si miskin tetap tidak mampu mengangkat derajat kehidupannya. Kondisi ini sangat berebda setelah PNPM Mandiri Perkotaan masuk ke desa sasaran/binaannya. Apalagi setelah kegiatan bedah rumah bagi masyarakat miskin menjadi target para pengelolanya (BKM), ternyata banyak warga kita yang sangat peduli dan kasih terhadap warga yang tertinggal dalam segala bidang tersebut. Banyak warga yang rela memberikan bantuan material dan memperbaiki rumah mereka, serta mendorong mereka untuk memanfaatkan fasilitas modal PNPM guna mendongkrak penghasilan dan kesejahteraannya.
Hambatannya Tidak Kecil
Walau program ini cukup berhasil di daerah, pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan di tingkat kelurahan juga memiliki hambatan yang tidak kecil. Di antaranya:
1. Ketidaksabaran masyarakat dalam menjalankan siklus program. Siklus program yang wajib dilaksanakan di PNPM memang sangat luar biasa ruwet. Birokrasinya panjang, baik dari proses perencanaan di tingkat masyarakat maupun pada saat pelaksanaannya. Namun, sebenarnya di situlah letak pemberdayaannya. Sejatinya masyarakat disiapkan untuk menjadi pejuang yang lebih tangguh dalam memperjuangkan kepentingannya guna memperoleh program-program pemerintah, khususnya dalam menanggulangi kemiskinan.
Para pelaku PNPM di tingkat masyarakat harus menyadari bahwa dalam pelaksanaan pembangunan tidak ada yang serba instan. Tidak ada proses sehari dana sudah langsung bisa dicairkan. Warga yang duduk dalam kepengurusan BKM atau KSM harus memiliki kepedulian dan keikhlasan yang tinggi guna memperoleh hasil maksimal dalam mengentaskan masyarakat miskin di wilayahnya.
2. Masih ada yang belum peduli. Dalam kepengurusan BKM dan KSM di tingkat desa/kelurahan masih ditemukan beberapa yang belum peduli dan tidak memahami hakikat PNPM Mandiri Perkotaan dilaksanakan. Mereka tidak memahami PNPM tersebut diperuntukan untuk siapa. Akibatnya, dalam pelaksanaan program PNPM Mandiri Perkotaan, memang banyak infrastruktur lingkungan yang dibangun, namun target dan capaian sasaran masyarakat miskin secara maksimal.
Akibatnya, penurunan jumlah penduduk miskin di wilayah tersebut dipastikan tidak akan mengalami perubahan. Sehingga, bagi mereka yang duduk dalam kepengurusan BKM dan KSM dituntut perannya agar lebih memiliki kepedulian bagi masyarakat miskin, lebih arif dan bijaksana dalam menentukan prioritas program. Kadangkala pemerataan dalam pembagian anggaran di tingkat kelompok masyarakat bukan menjadi jaminan bagi sebuah keberhasilan dalam pelaksanaan program. Namun, penentuan pemilihan prioritas program dengan capaian manfaat yang lebih maksimal dapat menjadi alternatif pilihan.
Sebagai program yang baik dan bisa diterima segenap masyarakatnya, PNPM Mandiri Perkotaan dipastikan bukan merupakan program yang abadi dan dapat selalu memberikan dukungan dana bagi masyarakat di daerah. Mengingat sumber pendanaan ini juga berasal dari pinjaman Bank Dunia (World Bank) dan lembaga donor lainnya. Dipastikan, pelaksanaan program ini juga dibatasi target waktu penarikan pinjaman serta besaran nilai pinjaman yang dihibahkan bagi masyarakat.
Meski begitu, spirit dalam pemberdayaan masyarakat sangat luar biasa dan meningkatkan character building dengan mengedepankan pada kearifan lokal masyarakat. Sangat diharapkan pemprov dan kabupaten/ kota dapat mendukung kelanjutan program ini mengingat potensi yang dimiliki masyarakat telah dibangun kemandiriannya. Sehingga, mampu merealisasikan visi dan misi yang dimilikinya, baik dalam penyusunan program jangka menengah penanggulangan kemiskinan yang ada di wilayahnya maupun dalam merealisasikan perencanaan yang dimilikinya.
Yang tak kalah pentingnya dalam hal ini adalah membangun kemampuan channeling masyarakat dalam menggali sumber-sumber pendanaan. Sumber pendanaan pembangunan tidak hanya berasal dari pemerintah semata, tetapi juga dapat bersumber dari lembaga-lembaga donor yang memiliki komitmen tinggi dalam penanggulangan kemiskinan. Partisipasi swasta yang ada di wilayahnya maupun dukungan swadaya segenap masyarakat merupakan modal dasar dalam pembangunan di wilayah mereka sendiri.
Meski demikian, pemanfaatan anggaran pemerintah baik pusat, provinsi dan kabupaten memang harus diperjuangkan secara maksimal, karena hal tersebut merupakan hak segenap masyarakat untuk mendapatkannya. Untuk itu diperlukan kemampuan yang tinggi dari pelaku program di tingkat kelurahan, dalam meyakinkan pemerintah bahwa program pembangunan yang dimilikinya bermanfaat bagi masyarakat di wilayahnya, serta secara signifikan mampu mengentaskan masyarakat miskin, bukan program bagi segelintir orang atau orang-orang yang duduk sebagai pengurus atau pengelola program kerja. (I GNP Ariana, Kepala Satker PIP Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali/Tim CB OC-7 Provinsi Bali, PNPM Mandiri Perkotaan; Firstavina)
Catatan: - Penulis adalah PNS di Bappeda Gianyar, alumni MPKB UGM dan Satker PNPM Mandiri Perkotaan Kabupaten Gianyar.- Tulisan ini juga diterbitkan oleh media Suluh Indonesia (kelompok media Bali Post), edisi 25 Maret 2010.