1 | Page LAPORAN HASIL PENELITIAN KEMBALINYA MAHKAMAH KALKULATOR Evaluasi atas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pilkada Serentak 2015 KERJASAMA OLEH. KONSTITUSI DAN DEMOKRASI (KODE) INISIATIF DAN PERKUMPULAN UNTUK PEMILU DAN DEMOKRASI (PERLUDEM) DIDUKUNG OLEH INTERNATIONAL FOUNDATION FOR ELECTORAL SYSTEM (IFES) 2016
48
Embed
KEMBALINYA MAHKAMAH KALKULATOR - kodeinisiatif.org filepenyelenggara tingkat desa (11 kasus), dan KPU propinsi paling sedikit dari yang lainnya (2 kasus). Namun penting menjadi catatan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1 | P a g e
LAPORAN HASIL PENELITIAN
KEMBALINYA MAHKAMAH KALKULATOR
Evaluasi atas Penyelesaian Perselisihan Hasil
Pilkada Serentak 2015
KERJASAMA OLEH.
KONSTITUSI DAN DEMOKRASI (KODE) INISIATIF
DAN PERKUMPULAN UNTUK PEMILU DAN DEMOKRASI (PERLUDEM)
DIDUKUNG OLEH
INTERNATIONAL FOUNDATION FOR ELECTORAL SYSTEM (IFES)
2016
2 | P a g e
RINGKASAN
KEMBALINYA MAHKAMAH KALKULATOR Evaluasi atas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pilkada Serentak 2015
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota memerintahkan agar perkara perselisihan hasil
pilkada diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus. Akan tetapi aturan ini memberikan pengecualian agar sebelum terbentuknya peradilan
khusus, tetap diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Terkait ini, undang-undang mengatur beberapa hal baru khususnya soal kedudukan hukum pemohon yakni syarat selisih suara tertentu untuk bisa mengajukan
permohonan ke Mahkamah Konstitusi. Melaksanakan kewenangan itu, dalam Pilkada serentak 2015 MK
menerima permohonan sejumlah 147 daerah dari 264 daerah yang
menyelenggarakan pilkada. Daerah bersengketa itu terdiri dari 6 daerah provinsi, 115 daerah kabupaten, dan 11 daerah kota. Namun dalam
perjalanan, 5 daerah mencabut permohonannya. Berdasarkan permohonan tersebut, ada beberapa catatan penting
dalam proses penyelesaian sengketa. Pertama soal selisih pendapat tentang
syarat selisih suara. Undang-undang tidak menjelaskan tatacara menghitung selisih suara. Akibatnya muncul tafsir berbeda antara MK
dengan pemohon. MK menafsirkan cara penghitungan yang justru semakin mempersempit selisih suara sehingga banyak pemohon yang gugatannya gugur.
Kedua soal dalil permohonan yang banyak digunakan oleh pemohon. Dalil permohonan dari 147 kasus terbagi menjadi 7 kelompok yakni
kesalahan penghitungan suara (22 kasus), manupulasi DPT (12 kasus), ketidaknetralan penyelenggara pilkada (63 kasus), penambahan suara (5 kasus, masifnya politik uang (12 kasus) dan politisasi birokrasi (26 kasus).
Ketiga, penyelenggara yang banyak dipersoalkan paling banyak KPU Kabupaten/kota (81 kasus), KPPS (34 kasus), PPK (19 kasus), PPS/
penyelenggara tingkat desa (11 kasus), dan KPU propinsi paling sedikit dari yang lainnya (2 kasus). Namun penting menjadi catatan bahwa tinggi rendahnya angka itu terkait dengan tingkat penyelenggaraan. Mengingat
pilkada paling banyak di kabupaten/kota maka daerah ini yang paling banyak dipersoalkan.
Keempat, waktu pengajuan permohonan berlaku sangat terbatas yakni hanya 3 x 24 jam. Waktu pengajuan permohonan ini dinilai sangat terbatas sehingga mengakibatkan banyak daerah mengalami keterlambatan dalam
pengajuan permohonan. Keterlambatan itu umumnya disebabkan oleh kendala geografis, transportasi hingga masalah teknis diterbitkannya surat
keputusan KPU yang dijadikan objek pengajuan gugatan. Kelima, mekanisme pemeriksaan pendahuluan berjalan tidak
sebagaimana seharusnya. Esensi pemeriksaan pendahuluan ini adalah
untuk memberikan kesempatan bagi majelis hakim memberikan nasihat terhadap permohonan yang diajukan. Akan tetapi, pemohon tidak diberikan
kesempatan untuk memperbaiki permohonan berdasarkan nasihat majelis hakim. Mahkamah justru menjadikannya sebagai forum untuk pemeriksaan syarat selisih suara.
3 | P a g e
Keenam, proses pembuktian baik pemberian keterangan saksi, ahli maupun bukti berupa surat. Mahkamah dalam proses ini justru membatasi
jumlah saksi yakni maksimal 5 orang saksi. Akibatnya, tidak cukup ruang untuk menggali informasi mengingat masing-masing daerah mengajukan
persoalan jauh lebih banyak dari itu. Akibatnya, tidak setiap persoalan bisa dielaborasi secara mendalam. Sebagai proses peradilan yang mencari keadilan materil, sebaiknya tidak ada pembatasan saksi yang diharuskan
kepada pemohon. Selain itu, ditemukan banyak penyelenggara yang justru menjadi saksi para pihak bersengketa.
Berdasarkan beberapa catatan itu, telah menunjukkan bahwa langkah, gaya dan semangat yang diambil MK dalam menyelesaikan perkara perselisihan hasil pilkada kali ini sangat berbeda dengan sebelumnya.
Dimulai soal pandangan terhadap aturan syarat selisih suara yang sebenarnya tidak sinkron dengan beberapa hal. Pertama, jika memang
terjadi pelanggaran yang terstruktur, sistemtis dan masif, maka pasti akan menghasilkan jumlah selisih suara yang banyak. Sarat selisih suara yang ditentukan undang-undang dengan ketidakjelasan politik hukum yang
ingin dibangun semakin keruh dengan penafsiran MK dalam peraturannya yang membuat syarat selisih semakin kecil. Dengan demikian, ketika MK hanya menerima perkara dengan selisih suara kecil maka disadari atau
tidak, MK sedang mengabaikan pelanggaran besar. Kedua, jika MK memutuskan untuk memerintahkan pemungutan
suara ulang, maka sedikit saja pelanggaran atau kecurangan yang dilakukan pada pemungutan suara ulang dapat membuat pemohon memenangkan suara. Di sisi lain, bisa saja perolehan suara dari termohon
di beberapa TPS lain yang tidak dilakukan pemungutan suara ulang, juga terdapat kecurangan. Hukum Acara MK tidak dikenal mekanisme gugatan
rekonvensi, maka pihak terkait sulit untuk bisa membuktikan bahwa pemohon juga melakukan kecurangan di beberapa TPS lain. Hal ini paling hanya bisa diungkap dalam jawaban termohon atau pihak terkait.
Ketiga, syarat selisih suara yang diterapkan secara kaku oleh MK ini juga tidak sinkron dengan pertimbangan MK pada putusan-putusan yang
memerintahkan penghitungan suara ulang. MK mengeluarkan putusan tersebut berdasarkan pertimbangan pada pelanggaran di tahap proses. MK mendengarkan posita dan petitum pada pemohon yang notabene bisa saja
sama dengan posita dan petitum dari pemohon lain yang tidak dapat diterima perkaranya karena syarat selisih suara.
Berdasarkan hal itu, maka ada beberapa rekomendasi untuk perbaikan mekanisme penyelesaian sengketa hasil kedepannya, yakni sebagai berikut:
1. Rekomendasi Hukum Acara Perselisihan Hasil Pilkada a. Waktu pendaftaran permohonan
Dengan pertimbangan geografis, transportasi, cuaca, dan faktor
teknis penyiapan permohonan, maka idealnya waku pendaftaran permohonan diperpanjang menjadi 6 x 24 jam.
b. Pemeriksaan pendahuluan Proses ini mesti dikembalikan ke prinsip awal. Pemohon diberikan ruang bagi pemohon untuk mendengar masukan majelis hakim
terkait dengan permohonan yang disampaikannya. Proses ini
4 | P a g e
hendaknya tidak dijadikan ruang untuk menyatakan permohonan diterima atau tidak dapat diterima. Namun, menjadikan forum
untuk memeriksa kelengkapan permohonan, dan memberikan kesempatan bagi pemohon untuk melengkapinya sebelum diperiksa
ditingkat pleno. c. Syarat Selisih Suara
Ada dua alternatif pilihan soal ini yakni, Pertama, syarat selisih
suara dihapuskan sehingga kembali pada mekanisme lama. Kedua, syarat selisih suara ditingkatkan yakni dari 0,5% - 2% ditingkatkan
menjadi 10% suara. Namun, terkait dengan signifikansi suara apakah suatu permohonan layak dilanjutkan atau tidak, mesti dilihat MK dari bukti awal yang diajukan oleh pemohon. Ketentuan
ini tidak diformalkan di dalam regulasi, yang kemudian jadi dasar menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
d. Pembuktian Terkait dengan pembuktian, hukum acara MK mesti dinormakan secara jelas. Salah satu hal yang penting adalah, tidak boleh adanya
pembatasan saksi yang diajukan oleh para pihak. Namun, saksi yang diajukan mesti dilihat porto folio yang berkaitan dengan berpengaruh terhadap substansi perkara.
2. Rekomendasi Kelembagaan Penyelesaian Perselisihan Hasil Pilkada
a. Penyelesaian Perselisihan Tetap di Mahkamah Konstitusi Hendaknya penyelesaian sengketa pilkada tetap menjadi kewenangan MK. Sebab jika melihat proses yang berjalan, MK
merupakan lembaga yang tepat dan memiliki kesiapan lebih dibanding lembaga lain. MK memiliki sistem penyelesaian yang
terbuka. Proses perselisihan hasil pilkada yang membutuhkan suatu proses peradilan yang transparan dan akuntabel, karena merupakan “panggung” untuk memperebutkan jabatan politik daerah, MK telah
memenuhi syarat sebagai peradilan modern yang dapat menyelesaikan kewajiban tersebut. MK memiliki teknis persidangan yang cukup rapi, dan dukungan teknologi dan informasi yang
maksimal untuk mendukung tugas dan wewenangnya. Yang diperlukan MK hanya memperbaiki beberapa persoalan dalam
hukum acara seperti catatan di atas. b. Penyelesaian Perselisihan Hasil Pilkada
Jika merujuk penuh kepada ketentuan di dalam UU No. 8/2015,
maka pembentukan badan khusus penyelesai sengketa pilkada, maka fungsi yang dilakukan oleh MK hari ini, hanya
dipindahletakkan ke lembaga penyelesai sengketa. Kewenangannya hanya akan menyelesaikan perselisihan hasil pilkada. Namun, jika memang hendak membuat suatu badan khusus peradilan pemilu,
maka penting untuk didiskusikan lebih jauh, bagaimana lembaga ini akan dijalankan. Misalnya, untuk menyelesaikan sengketa pencalonan, penanganan pelanggaran administrasi pemilu, dan
pelanggaran pidana pemilu. Oleh karena itu, kedepan perlu ada kajian lebih mendalam untuk menyiapkan alternatif penyelesaian
sengketanya.
5 | P a g e
A. PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU KEPALA DAERAH DI
INDONESIA
Dalam sistem pemilu yang berkeadilan, mekanisme penyelesaian
sengketa merupakan bagian dari rangkaian kegiatan pemilu. Setiap warga
negara yang menjadi pemangku kepentingan dalam pemilu (penyelenggara,
bakal calon, calon dan pemilih) memiliki hak untuk menyampaikan
keberatan atau pelanggaran terhadap mekanisme dan hak-hak mereka
dalam pemilu. Hak-hak yang terdapat dalam rangkaian kegiatan pemilu
merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan demikian,
menjadi sebuah kewajiban negara untuk menyediakan saluran atau
mekanisme penyampaian dan penyelesaian keberatan tersebut. Negara
berusaha untuk memberikan kepercayaan pada setiap orang yang merasa
terlanggar haknya untuk dapat mengajukan complaint dan memprosesnya
secara hukum.
Keberatan terhadap proses, pelanggaran hak dan/atau perbedaan
pendapat terhadap hasil pemilu ini menjadi materi dari sengketa pemilu.
Sengketa pemilu secara harfiah mengandung pengertian yang luas. Hasil
penelitian Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA)
mendefinisikan sengketa pemilu (electoral dispute) adalah “any complaint,
challenge, claim or contest relating to any stage of electoral process.”1 Kata
“challenge”, dalam konteks “electoral challenge”, diartikan sebagai “a
complaint lodged by an electoral participant or stakeholder who believes that
his or her electoral right have been violated.”2 Selain itu, Srdjan Darmanovic
mengatakan bahwa “Electoral disputes emerge where and when one or more
electoral actors deny validation of the election process, or put under question
election results or their consequences.”3 Dengan demikian, dapat ditarik
pengertian bahwa sengketa pemilu adalah keluhan dan penentangan
terhadap sesuatu yang terjadi pada tahapan proses pemilu, yang
1 Jesús Orozco Henriquez, etc. Electoral Justice : The International IDEA Handbook, (Sweeden: Bulls Graphics,
2010), hlm. 199. 2 Ibid., hlm. 198.
3 Srdjan Darmanovic, “Electoral Disputes – Procedural Aspects”, Paper on Unidem Seminar “Supervising
Electoral Processes”, European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission) In Co-Operation With The Centre For Political And Constitutional Studies (Cepc), Madrid, Spain, 23 – 25 April 2009. www.venice.coe.int/docs/2009/CDL-UD(2009)008-e.pdf
dianggap telah mencederai hak, atau mempertanyakan hasil pemilu,
yang dapat diajukan oleh setiap pemangku kepentingan dalam pemilu.
Keluhan dan penentangan terhadap sesuatu yang terjadi pada tahapan
proses pemilu, yang dianggap telah mencederai hak ini dalam praktek tentu
saja banyak macamnya, dapat berupa pelanggaran administrasi, kode etik,
pidana, perselisihan antar calon, perselisihan antara peserta dan
penyelenggara, hingga perselisihan hasil. Lebih dari itu, secara harfiah,
sengketa juga berarti “perselisihan” , dengan demikian segala perselisihan
yang terjadi seharusnya masuk dalam pengertian sengketa.
Namun demikian, dalam peraturan perundangan tentang pemilu di
Indonesia, istilah sengketa masih dipisahkan sesuai jenis pelanggarannya
dan dipisahkan pula proses penyelesaiaanya. Mekanisme atau model
penyelesaian sengketa pemilu yang digunakan oleh suatu negara, turut
menentukan legitimasi dari pemilu itu sendiri, yang pada dasarnya penting
untuk membangun sistem politik yang stabil. Mekanisme penyelesaian
sengketa pemilu diterapkan dengan cara yang berbeda-beda di setiap
negara, demikian pula dengan lembaga yang berwenang melaksanakannya.
Di Indonesia, pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu diselesaikan oleh
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), pelanggaran administrasi
pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum, sengketa pemilu oleh Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu), tindak pidana pemilu oleh Pengadilan Negeri ,
sengketa tata usaha negara pemilu oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, dan
terakhir perselisihan hasil pemilu oleh Mahkamah Konstistusi (MK).
Pemilu sendiri di Indonesia juga berkembang jenisnya. Salah satu
bentuk semangat reformasi Indonesia ditunjukan dengan diterapkannya
pemilihan langsung dalam memilih pemimpin secara konsisten, dari tingkat
pusat hingga ke tingkat daerah. Kata “demokratis” dalam Pasal 18 ayat (3)
UUD 19454, ditafsirkan dalam bentuk pemilihan langsung. Meski masih
dapat diperdebatkan apakah hal ini merupakan bentuk penyelarasan dan
penafsiran yang tepat, namun melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun
4 Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 : “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan
daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”
7 | P a g e
2004 Tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 2004) telah dimuat
ketentuan mengenai Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) langsung.
Ketentuan mengenai Pilkada langsung ini juga diikuti dengan aturan
mengenai penyelesaian perselisihan hasil pilkada langsung. Berdasarkan
Pasal 106 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah, keberatan berkenaan dengan hasil
penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon,
diajukan ke Mahkamah Agung (MA). Kewenangan MA tersebut,
dicantumkan juga dalam Pasal 94 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Dalam perkembangannya, pilkada kemudian dimasukan dalam
pengertian “pemilu”. MK dalam Putusan Nomor 72-73/PUU-II/2004
menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) menjadi bagian dari
rezim pemilu. Melalui Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum barulah ditentukan;
“Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah
pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.” (cetak tebal Penulis)
Dalam Pasal 24C UUD 1945, memutus perselisisihan tentang hasil pemilu
merupakan kewenangan MK. Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 2008), dalam Pasal
236C menetapkan,
“Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi
paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak undang-undang ini diundangkan”
Pada tanggal 29 Oktober 2008, Ketua MA dan MK menandatangani Berita
Acara Pengalihan Wewenang Mengadili, sebagai pelaksanaan Pasal 236C
UU Pemda 2008. Setelah masuk ke MK, perkara pilkada disebut sebagai
“pemilukada” dengan kode perkara “PHPU.D”.
8 | P a g e
Hampir lima tahun MK menjalankan kewenangannya untuk
menyelesaikan perselisihan hasil pemilukada dengan sangat progresif,
hingga pada tahun 2013 MK menerima perkara pengujian UU 12 Tahun
2008 Tentang Pemda terkait kewenangan MK menyelesaikan perselisihan
hasil pemilukada. Melalui Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013, MK
menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah merupakan rezim
pemerintahan daerah yang artinya bukan kewenangan MK untuk
menyelesaikan perkara perselisihan hasilnya.
Selanjutnya di akhir tahun 2014 pemilihan kepala daerah diatur dalam
satu undang-undang tersendiri dengan mekanisme pemilihan tidak
langsung.5 Keganjilan dalam dunia ketatanegaraan kembali terjadi karena
undang-undang usulan Pemerintah yang telah disepakati oleh Pemerintah
dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini hanya berumur satu hari setelah
penetapan, karena langsung dicabut melalui Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu).6 DPR juga langsung menyetujui
Perppu tersebut dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Wali Kota. Undang-undang tersebut juga kemudian direvisi
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota
(UU Pilkada 2015).
Dua hal utama yang baru dalam UU Pilkada 2015 ini adalah pertama
pilkada dilakukan secara langsung dan serentak di seluruh Indonesia7,
kedua penyelesaian perselisihan hasil pemilu dilakukan oleh sebuah badan
peradilan khusus.8 Pilkada serentak akan dilakukan secara bertahap,
dalam tujuh tahap. Dimulai dari desember 2015, Februari 2017, Juni 2018,
2020, 2022, 2023 hingga di tahun 2027 direncanakan dapat dilaksanakan
secara keseluruhan. Badan peradilan khusus dibentuk sebelum
5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, mengatur bahwa
kepala daerah dipilih oleh DPRD. 6 Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota
7 Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
8 Pasal 157 ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 2015.
9 | P a g e
pelaksanaan pilkada serentak nasional. Sebelum badan tersebut terbentuk,
perkara perselisihan hasil pilkada dilakukan oleh MK. Kode perkara pilkada
serentak 2015 di MK menjadi PHP.GUB dan PHP. BUP/PHP.KOT. Berbeda
dengan kode sebelumnya yaitu PHPU.D yang artinya adalah Perselisihan
Hasil Pemilu Daerah, kali ini dengan hanya menggunakan kata “pemilihan
gubernur, bupati atau walikota. Hal ini untuk menegaskan bahwa pilkada
ini bukan merupakan rezim pemilu.
Pilkada serentak tahap pertama telah usai dilaksanakan pada
Desember 2015 lalu. MK juga telah melaksanakan tugasnya untuk
menyelesaikan perselisihan hasil. Berkenaan dengan kewenangan MK pada
Pilkada serentak 2015 ini terdapat beberapa pengaturan baru dalam
hukum acaranya. Dengan demikian menjadi penting untuk ditelaah
bagaimana praktek mekanisme penyelesaian perselisihan hasil, kemudian
menginventaris masalah yang muncul dan mengevaluasinya.
Tulisan ini merupakan hasil dari penelitian singkat yang dilakukan
pada proses penyelesaian perselisihan hasil pilkada serentak 2015.
Peneliatian dilakukan dengan melalui pengkajian terhadap semua perkara
perselisihan yang masuk ke MK dengan pendekatan deskriptif normatif
yang bertujuan untuk memotret proses penyelesaian perselisihan hasil dan
mengelvaluasinya.
B. HUKUM ACARA PILKADA SERENTAK
Di dalam Pasal 157 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2015 (Pilkada 2015)
mengatur “ perkara perselisihan hsil pemilihan diperiksa dan diadili oleh
badan peradilan khusus”. Kemudian pada ayat (2) “badan peradilan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan
pemilihan serentak nasional”. Kemudian pada ayat (3) “perkara perselisihan
penetapan suara hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah
Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus”.
Namun UU Pilkada 2015 belum lengkap dalam menyusun hukum
acara dari badan peradilan tersebut. Hukum acara yang digunakan masih
hukum acara MK dengan beberapa aturan baru. Dalam hal ini MK
membuat beberapa Peraturan Mahkmah Konstitusi (PMK) sebagai tindak
10 | P a g e
lanjut dari UU Pilkada 2015 . Terdapat delapan PMK mengenai hukum
acara pilkada serentak, yaitu ;
1. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota;
2. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2015 tentang
Tahapan, Kegiatan, dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan
Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota;
3. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2015 tentang
menunjukkan bahwa langkah, gaya dan semangat yang diambil oleh MK
dalam menyelesaikan perkara perselisihan hasil pilkada kali ini 100%
berbeda dengan sebelumnya. Padahal alasan perbedaan masa penggantian
hakim yang berbeda-beda di MK, salah-satunya adalah untuk menjaga
kestabilan sikap dari waktu ke waktu, sehingga tidak terjadi perubahan
yang terlalu ekstrim. Namun demikian perubahan sikap MK kali ini sangat
dirasakan.
Dimulai dengan sikap MK terhadap aturan syarat selisih suara yang
sebenarnya tidak sinkron dengan beberapa hal. Pertama, jika memang
terjadi pelanggaran yang terstruktur, sistemtis dan masif, maka pasti akan
menghasilkan jumlah suara yang banyak, yang artinya menjadi selisih
suara yang basar. Sarat selisih suara yang ditentukan undang-undang
dengan ketidak jelasan politik hukum yang ingin dibangun ini semakin
keruh dengan penafsiran MK dalam PMK yang membuat syarat selisih
tersebut semakin kecil. Dengan demikian, ketika MK hanya menerima
perkara dengan selisih suara kecil maka disadari atau tidak, bahwa MK
sedang mengabaikan pelanggaran besar.
Kedua, jika MK memutuskan untuk memerintahkan pemungutan
suara ulang, maka sedikit saja pelanggaran atau kecurangan yang
dilakukan pada pemungutan suara ulang dapat membuat pemohon
memenangkan suara. Di sisi lain, bisa saja perolehan suara dari termohon
di beberapa TPS lain yang tidak dilakukan pemungutan suara ulang, juga
terdapat kecurangan. Hukum Acara MK tidak dikenal mekanisme gugatan
rekonvensi, maka pihak terkait sulit untuk bisa membuktikan bahwa
pemohon juga melakukan kecurangan di beberapa TPS lain. Hal ini paling
hanya bisa diungkap dalam jawaban termohon atau pihak terkait.
Ketiga, syarat selisih suara yang diterapkan secara kaku oleh MK ini
juga tidak sinkron dengan pertimbangan MK pada putusan-putusan yang
memerintahkan penghitungan suara ulang. MK mengeluarkan putusan
tersebut berdasarkan pertimbangan pada pelanggaran di tahap proses. MK
mendengarkan posita dan petitum pada pemohon yang notabene bisa saja
sama dengan posita dan petitum dari pemohon lain yang tidak dapat
diterima perkaranya karena syarat selisih suara.
43 | P a g e
Perbedaan gaya, langkah dan reaksi MK pada penyelesaian perkara
pilkada serentak 2015 juga dirasakan pada sikap MK yang menghilangkan
esensi pemeriksaan pendahuluan hingga membatasi proses pembuktian.
Semoga ini bukan tanda hilangnya komitmen MK untuk menegakan
keadilan substantif dan selalu mengingat bahwa tujuan dari penyelesaian
sengketa pemilu itu adalah memberikan kepercayaan pada setiap orang
yang merasa terlanggar haknya untuk dapat mengajukan complaint dan
memprosesnya secara hukum.
Apa yang diterapkan MK menjalankan kewenangannya ini seharusnya
semata-mata demi tercapainya keadilan substantive dan tidak terpasung
oleh keadilan procedural. Terhadap hal seperti ini MK memang akan
berhadapan dengan “kepastian hukum”. Hal ini merupakah cobaan yang
berat bagi hakim. Di satu sisi hakim perlu menjaga kewibawaan dan
kepastian hukum dengan menghormati apa yang telah diatur dalam
undang-undang. Di sisi lain, hakim bertanggung jawab untuk memberikan
keadilan.
Dalam Putusan PHPU.D Jatim, MK mengutip pendapat Gustaf
Radbruch,16
Preference should be given to the rule of positive law, supported as it is by due enactment and state power, even when the rule is unjust and contrary to the general welfare, unless, the violation of justice reaches so intolerable a degree that the rule becomes in effect “lawlesslaw” and must therefore yield to justice.”
Pendapat Gustaf Radbruch ini menunjukan bahwa hakim memang harus
selalu mengacu pada hukum positif yang ada, namun tetap ada
pengecualian untuk kondisi tertentu. Hal ini juga dapat diartikan bahwa
memang harus selalu ada yang dipilih oleh hakim, seperti yang dikatakan
oleh Oliver Holmes :
”dalam perkara sering hakim menghadapi dua bahkan lebih
‘kebenaran’, yang seolah meminta kepastian mana yang ‘lebih unggul’ dalam konteks tertentu. Salah satu diantaranya, adalah kebenaran
versi aturan hukum. Sering kebenaran-kebenaran lain lebih unggul dari yang disodorkan aturan formal. Mereka lebih relevan, lebih tepat, dan bahkan lebih bermanfaat untuk suatu konteks riil, ketimbang
16
G. Radbruch, Rechtsphilosophie, 4th ed. page 353.Fuller’s translation of formula in Journal of Legal Education. hlm.,181 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008.
44 | P a g e
kebenaran yang ditawarkan aturan legal. Dalam hal inilah, seorang hakim mempertaruhkan kepekaan dan kearifannya. Ia harus
‘memenangkan’ kebenaran yang menurutnya lebih unggul, meski dengan resiko mengalahkan aturan resmi.”17
Disaat memang terdapat ruang kebebasan bagi hakim dalam mengambil
keputusan, namun tetap disesuaikan dengan tujuan hukum itu sendiri.
Kewibawaan hakim menurut Benjamin Cardozo, justru terletak pada
kesetiaannya menjunjung tujuan hukum itu.18
UU Pilkada 2015 memerintahkan untuk membuat lembaga peradilan
khusus namun tidak mengubah desain penyelesaian sengketa pemilunya,
sehingga seolah hanya memindahkan fungsi MK ke badan peradilan
khusus. Hal ini bukan langkah yang tepat, sebab persoalan ada pada
desain penyelesaian dimana pengertian sengketa masih terpisah-pisah dan
diselesaikan oleh lembaga yang terpisah pula, maka persoalan hasil
menjadi terpisah dari akarnya. Terdapat berbagai pilihan model antara lain
penyelesaian tersendiri melalui “electoral court” atau peradilan khusus
pemilu. Menarik untuk diteliti lebih lanjut mengenai eksistensi peradilan
khusus ini, atau setidaknya untuk memilih model yang tepat bagi
Indonesia.
Lebih dari 8 tahun MK menjalankan kewenangannya untuk
menyelesaiakan perkara perselisihan hasil ditengah desain model
penyelesaian sengketa yang belum jelas dan penuh ruang kosong. MK telah
berusaha mengisi kekosongan tersebut dengan bersikap tidak hanya
sebagai Mahkamah Kalkulator.19 Terlepas dari kontroversi progresivitas
dangan segala akibatnya, MK pernah menjadi pahlawan hak substative.
Apa yang telah dilakukan MK sebelum masa pilkada serentak 2015 ini
adalah seperti halnya indikator pelanggaran terstuktur sistematis dan masif
yang dibuat oleh MK. Perubahan hukum acara yang dihasilkan oleh MK,
ibaratnya sangat terstruktur sistematis dan masif. Maka dengan gaya
penyelesaian perselisihan hasil seperti yang terjadi saat ini, masyarakat
justru bertanya “kemana perginya pahlawan keadailan subtastive itu ?” dan
17
Bernard L Tanya, et al. Teori Hukum strategi tertib manusia lintas ruang dan generasi, (Yogyakarta, Genta Publishing,2010),hlm. 167 18
Bernard L Tanya, et al. Op. Cit., hlm. 168. 19
Veri Junaidi, Mahkamah Konstitusi Bukan Mahkamah Kalkulator, Themis Books, Depok, 2013, hlm.92.
45 | P a g e
apakah “MK sekarang justru sedang meneguhkan dirinya sebagai
Mahkamah Kalkulator ?”
E. REKOMENDASI
Berdasarkan uraian diatas, maka perihal perselisihan hasil pilkada
akan diberikan dua rekomendasi untuk dapat dijadikan pedoman dalam
perbaikan kedepan. Salah satu bagian yang terdekat adalah revisi UU
Pilkada. Untuk rekomendasi ini, akan dibagi ke dalam dua bagian, yaitu:
3. Rekomendasi Kelembagaan Penyelesaian Perselisihan Hasil Pilkada
a. Penyelesaian Perselisihan Tetap di Mahkamah Konstitusi
Melihat proses pelaksanaan perselisihan hasil pemilihan kepala
daerah yang sudah terjadi selama ini, MK adalah lembaga yang
paling ideal untuk tetap menyelesaikan perselisihan hasil
pilkada. Ada beberapa indikator yang bisa dilihat. Pertama,
secara kelembagaan dan supporting peradilan, MK adalah
lembaga yang dinilai jauh lebih siap dalam menyelesaikan
proses perselisihan hasil pilkada.
Kedua, setelah melihat kinerja MK selama lebih kurang 8 tahun
dan mengadili lebih 700 perselisihan hasil pilkada, MK cukup
terbuka dalam menyelenggarakan tugas dan fungsinya. Ketiga,
proses perselisihan hasil pilkada yang membutuhkan suatu
proses peradilan yang transparan dan akuntabel, karena
merupakan “panggungg” untuk memperebutkan jabatan politik
daerah, MK sangat memenuhi syarat sebagai peradilan modern
yang dapat menyelesaikan kewajiban tersebut. MK memiliki
teknis persidangan yang cukup rapi, dan dukungan teknologi
dan informasi yang maksimal untuk mendukung tugas dan
wewenangnya. Atas dasar itu, rekomendasi pertama untuk
kelembagaan, penyelesaian perselisihan hasil pilkada tetap
diselesaikan oleh MK. Hanya saja, benturan dengan
rekomendasi ini, UU No. 8/2015 memandatkan perselisihan
hasil pilkada diselesaikan oleh suatu badan khusus penyelesai
sengketa pilkada
46 | P a g e
b. Penyelesaian Perselisihan Hasil Pilkada
Jika merujuk penuh kepada ketentuan di dalam UU No.
8/2015, maka pembentukan badan khusus penyelesai
sengketa pilkada, maka fungsi yang dilakukan oleh MK hari ini,
hanya dipindahletakkan ke lembaga penyelesai sengketa.
Kewenangannya hanya akan menyelesaikan perselisihan hasil
pilkada. Hal ini tentu sangat mubazir untuk menyiapkan satu
lembaga baru, jika tugas dan fungsinya sudah dilaksanakan
dengan sangat baik oleh lembaga yang sudah ada saat ini,
yakni MK.
Namun, jika memang hendak membuat suatu badan khusus
peradilan pemilu, maka penting untuk didiskusikan lebih jauh,
bagaimana lembaga ini akan dijalankan. Misalnya, untuk