LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGIPENGUJIAN EFEK
ANTIKOLINERGIKKELOMPOK 1(Selasa/07.00-10.00)Selasa, 15 Maret
2011/Putri Aryuni 260110100001(Pembahasan)
Hana Nopia260110100002(Pembahasan)
Sri Rahyu Evrilia 260110100003(Perhitungan dan Grafik)
Aprilya Eka Pratiwi 260110100004(Tujuan, Prinsip, Alat, Bahan,
Prosedur)
Veni Alviany 260110100005(Pembahasan)
Ahmad Hanif S.260110100006(Editor dan Kesimpulan)
Ulfa Tri Wahyunie260110100007(Teori dasar)
LABORATORIUM FARMAKOLOGIFAKULTAS FARMASIUNIVERSITAS
PADJADJARAN2012PENGUJIAN EFEK SISTEM SYARAF OTONOM
I. TUJUANSetelah menyelesaikan percobaan ini diharapkan
mahasiswa:1. Menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat
dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh2. Mengenal suatu
teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik pada
neoroefektor parasimpatikus
II. PRINSIP
III. TEORI DASAR1. Atropin Sulfat
Pemerian: Hablur tidak berwarna atau serbuk putih, tidak berbau,
sangat pahit, sangat beracunKelarutan: larut dalam kurang dari 1
bagian air dan dalam lebih kurang 3 bagian etanol. Sukar larut
dalam kloroform dan praktis tidak larut dalam eter dan
benzenPenyimpanan: dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari
cahayaKhasiat: parasimpatolitikumDM: sekali 1mg, sehari 3mg (Depkes
RI, 1979.)2. Pilokarpin Nitrat
Pemerian: Hablur, tidak berwarna atau serbuk putih, tidak
berbau, rasa pahit, sangat beracunKelarutan: Mudah larut dalam air,
agak sukar larut dalam etanol, praktis tidak larut dalam kloroform
dan eterPenyimpanan: wadah tertutup rapat, terlindung dari
cahayaKhasiat: ParasimpatomimetikDM: sekali 20mg, sehari 50mg
(Depkes RI. 1979)3. Obat Sistem Saraf OtonomObat otonom merupakan
obat yang berefek pada berbagai bagian susunan saraf otonom, mulai
dari sel saraf sampai sel efektor dan mempengaruhi secara spesifik
serta bekerja pada dosis kecil. Dapat mempengaruhi transmisi
neurohumoral dengan cara menghambat atau mengintensifkan. Terdapat
berbagai kemungkinan pengaruh obat pada transmisi sistem kolinergik
ataupun adrenergik yaitu penghambat pelepasan transmitter, penyebab
pelepasan transmitter, penghambat destruksi transmitter,
perangsangan atau penghambatan pasca sambungan (Noor, 1998.).
Menurut Efek Utamanya, maka obat sistem saraf otonom dapat dibagi
menjadi 5 golongan. Yaitu: 1. Parasimpatomimetik atau
kolinergik.Efeknya menyerupai aktivitas susunan saraf
parasimpatis.2. Simpatomimetik atau adrenergik. Efeknya menyerupai
aktivitas susunan saraf simpatis.3. Parasimpatolitik atau
penghambat kolinergik. Kerjanya menghambat timbulnya efek aktivitas
parasimpatis4. Simpatolitik atau penghambat adrenergik. Kerjanya
menghambat timbulnya efek aktivitas saraf simpatis5. Penghambat
ganglion, dengan kerja menghambat penerus impuls pada sinaps yang
terdapat dalam ganglion. (Noor, 1998.) 4. KolinergikKolinergik atau
Parasimpatomimetik adalah zat yang dapat menimbulkan efek yang sama
dengan dengan stimulasi susunan saraf parasimpatis (SP), karena
melepaskan neurohormon Asetilkolin di ujung-ujung neuronnya (Tjay,
2010).Efek kolinergis faal yang terpenting adalah sebagai
berikut:1. Stimulasi pencernaan2. Menghambat sirkulasi3.
Memperlambat pernafasan4. Penyempitan pupil5. Memperlancar
pengeluaran urin6. Dilatasi pembuluh7. Menekan SSP (Tjay,
2010).Pada praktikum kali ini, zat kolinergik yang digunakan yaitu
pilokarpin. Pilokarpin merupakan suatu alkaloid yang terdapat pada
daun tanaman Pilocarpus jaborandi. Daya kerjanya terutama
berkhasiat muskarin, efek nikotinnya ringan sekali. SSP permulaan
distimulasi, kemudian ditekan aktivitasnya. Penggunaan utamanya
adalah sebagai miotikum pada glaukoma. Efek miotisnya (dalam tetes
mata) dimulai setelah 10-30 menit dan bertahan selama 4-8 jam.
Toleransi dapat terjadi setelah digunakan untuk waktu yang lama
yang dapat ditanggulangi dengan menggunakan kolinergik lain untuk
beberapa waktu, misalnya karbachol atau neostigmin (Tjay,
2010).
Keracunan pilokarpin jarang terjadi, kecuali pada pengobatan
yang salah. Mungkin hal ini disebabkan oleh adanya hambatan
absorpsi pada pemakaian menahun atau adanya suatu toleransi dosis,
Dosis fatal untuk pilokarpin kira-kira 100 mg. (Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).Keracunan alkaloid
kolinergik diatasi dengan suntikan atropin dengan dosis yang cukup
untuk mencapai SSP, ditambah dengan berbagai alat bantu untuk
mendukung fungsi pernapasan dan kardiovaskular. Dosis 1-3 mg
disuntikkan IM setiap 30 menit. Sedangkan unruk anak-anak digunakan
dosis 0,04 mg/kgBB per kali. (Departemen Farmakologi dan Terapeutik
FKUI, 2007). 5. ANTIKOLINERGIKAntikolinergik atau simpatolitik
melawan khasiat asetilkolin dengan jalan menghambat terutama
reseptor-reseptor muskarin. Yang terdapat di SSP dan organ perifer.
Zat-zat ini tidak bekerja terhadap reseptor nikotin kecuali
golongan ammonium kuartener yang berdaya ringan terhadapnya (Milis,
2010).Kebanyakan antikolinergik tidak bekerja selektif bagi lima
subtipe reseptor-M, Berefek terhadap banyak organ tubuh seperti
mata, kelenjar eksokrin, paru-paru, jantung, saluran kemih, saluran
lambung-usus dan SSP (Milis, 2010).Efek antikolinergik terpenting
adalah sebagai berikut: Memperlebar pupil Mengurangi sekresi
kelenjar Mengurangi tonus dan motilitas saluran lambung-usus, juga
sekresi getah lambung. Dilatasi bronchi Meningkatkan frekuensi
jantung dan mempercepat penerusan impuls di berkas His Merelaksasi
otot detrusor yang menyebabkan pengosongan kandung kemih Merangsang
SSP dan pada dosis tinggi menekan SSP(Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FKUI, 2007).Antikolinergik digunakan dalam farmakoterapi
untuk bermacam-macam gangguan. Antara lain Sebagai midriatikum
Sebagai spasmolitikum Pada inkonsistensi urin Pada parkinsonisme
Pada asma dan bronchitis Sebagai pramedikasi, pra-bedah Sebagai
anti mabuk di perjalanan Pada hiperhidrosus Sebagai zat penawar
pada intoksikasi dengan zat penghambat kolinesterase(Tjay,
2010).Pada praktikum kali ini, zat antikolinergik yang digunakan
adalah atropin. Atropin berasal dari tumbuhan Atropa belladona. Zat
ini berkhasiat sebagai antikolinergik yang kuat dan merupakan
antagonis khusus dari efek muskarin ACh. Efek nikotinnya
diantagonir ringan sekali. Atropin juga memiliki daya kerja atas
SSP (antara lain sedatif) dan daya bronchodilatasi ringan. Zat ini
juga digunakan sebagai midriatikum kerja panjang yang juga
melumpuhkan akomodasi, juga sebagai spasmolitikum pada
kejang-kejang di saluran lambung-usus dan urogenital, sebagai
pramedikasi pada anastesi dan zat antidotum keracunan ACh dan
kolinergika lain (Tjay, 2010).
IV. ALAT DAN BAHANHewan Percobaan: 3 ekor Mencit jantan,
memiliki bobot badan antara 20-25g dipuasakan sebelum percobaan (6
jam)A. Alat : Papan berukuran 40cm x 30cm yang dibuat permukaannya
tidak rata dan sudah d berikan metilen blue Timbangan hewan Alat
suntik 1ml Alat sonde 1ml Stopwach Wadah penyimpan mencitB. Bahan:
Uretan (1,8 g/kg BB) Antropin 0,04% (1mg/kg BB) p.o. Pilocarpin
0,02% (2mg/kg BB) s.c. Gom Arab 3%
V. PROSEDURHal pertama yang dilakukan yaitu mencit ditimbang
untuk mengetahui berat badannya. Setelah itu, setiap mencit
dihitung berapa jumlah obat yang dapat diberikan secara peroral dan
intraperitonial dengan rumus
dan jumlah obat yang diberikan secara subkutan dengan rumus
Dengan X = berat badan mencit. Setelah itu, mencit ditandai dan
diberi semua uretan yang disuntikan pada interperitoneal dan dibagi
menjadi 3 kelompok. Setelah semua mencit diberikan uretan pada
mencit pertama langsung diberikan atropin peroral, mencit kedua
didiamkan dulu 15menit kemudian diberikan atropin subkutan, mencit
ketiga langsung diberikan gom arab. Tunggu selama 45menit baru
masing-masing mencit disuntikan pilokarpin dan disimpan diatas
papan tersebut selama 25menit. Setiap 5menit sekali mencit ditarik
dari papan agar bisa melihat saliva yang menetes pada kotak
tersebut. Diameter saliva yang menetes ditandai oleh spidol dan
diukur, kemudian data hasilnya dibuat grafik inhibisi per satuan
waktu.
VI. DATA PENGAMATAN DAN PERHITUNGANKel HewanWaktu pemberian
obat
015'45'
IAtropin poUretran ip-Pilokarpin sc
IIUretran ipAtropin scPilokarpin sc
IIIUretran ip-Pilokarpin sc
1) Kelompok SatuBerat Badan Mencit 1: 13,5gramDosis (Po &
Ip) : 13,5/20 x 0,5 ml = 0,3375 ml Dosis (Sc) : 13,5/20 x 0,25ml =
0,168mlBerat Badan Mencit 2: 17,2 gramDosis ( Po & Ip) :
17,2/20 x 0,5ml=0,43ml Dosis (Sc) : 17,2/20 x 0,25ml =0,215mlBerat
Badan Mencit 3 : 17,3 gramDosis (Po & Ip) : 17,3/20 x 0,5 ml =
0,43ml Dosis (Sc) : 17.3/20 x 0,25 = 0,216ml
waktuLuas saliva
IIIIII
50,7cm0,4cm1,6cm
100,6cm-0,3cm
151cm0,1cm-
200,9cm0,9cm-
250,8cm0,8cm-
Rata-rata0,8cm0,52cm0,38cm
% inhibisi atropin po = rata-rata saliva kontrol rata-rata
saliva uji X100% Rata-rata saliva kontrol = 0,38cm 0,8cm x 100% =
-100,52 % 0,38cm% inhibisi atropin sc= rata-rata saliva kontrol
rata-rata saliva uji X 100% Rata-rata saliva kontrol = 0,38cm-
0,52cmx 100%= -36,84% 0,38cm2) Kelompok DuaBerat Badan Mencit 1:
16,1gramDosis (Po & Ip) : 16,1/20 x 0,5 ml = 0,402ml Dosis (Sc)
: 16,1/20 x 0,25ml = 0,2mlBerat Badan Mencit 2 : 16,6 gramDosis (
Po & Ip) : 16,6/20 x 0,5ml=0,41ml Dosis (Sc) : 16,6/20 x 0,25ml
=0,2mlBerat Badan Mencit 3 : 19,6gramDosis (Po & Ip) : 19,620 x
0,5 ml = 0,49ml Dosis (Sc) : 19,6/20 x 0,25 = 0,246mlwaktuLuas
saliva
IIIIII
51cm0,4cm2,3cm
101,8cm0,7cm1,3cm
152,2cm0,5cm1,9cm
202,1cm0,6cm2,3cm
251,9cm0,8cm1,6cm
Rata-rata1,8cm0,6cm1,88cm
% inhibisi atropin po = rata-rata saliva kontrol rata-rata
saliva uji X100% Rata-rata saliva kontrol = 1,88 cm 0,6cm x 100% =
68,08 % 1,88cm% inhibisi atropin sc= rata-rata saliva kontrol
rata-rata saliva uji X 100% Rata-rata saliva kontrol = 1,88cm-
1,8cmx 100%= 4,52% 1,88cm
3) Kelompok TigaBerat Badan Mencit 1: 28,5gramDosis (Po &
Ip) : 28,5/20 x 0,5 ml = 0,7125ml Dosis (Sc) : 28,5/20 x 0,25ml =
0,356mlBerat Badan Mencit 2 : 13,2 gramDosis ( Po & Ip) :
13,2/20 x 0,5ml = 0,33ml Dosis (Sc) : 13,2/20 x 0,25ml =
0,165mlBerat Badan Mencit 3 : 16 gramDosis (Po & Ip) : 16x 0,5
ml = 0,11ml Dosis (Sc) : 16/20 x 0,25 = 0,2mlwaktuLuas saliva
IIIIII
52cm0,2cm1cm
101,5cm0,1cm0,9cm
151,5cm0,1cm1cm
203cm0,3cm1,1cm
251cm0,2cm1,6cm
Rata-rata1,8cm0,18cm1,12cm
% inhibisi atropin po = rata-rata saliva kontrol rata-rata
saliva uji X100% Rata-rata saliva kontrol = 1,12 cm1,8cm x 100% =
-60,71 % 1,12cm
% inhibisi atropin sc= rata-rata saliva kontrol rata-rata saliva
uji X 100% Rata-rata saliva kontrol =1,12cm- 0,18cmx 100% = 83,92%
1,12cm4) Kelompok Empat
Berat Badan Mencit 1: 19gram Dosis (Po & Ip) : 19 /20 x 0,5
ml = 0,475ml Dosis (Sc) : 19/20 x 0,25ml = 0,2mlBerat Badan Mencit
2 : 19 gramDosis ( Po & Ip) : 19/20 x 0,5ml = 0,475ml Dosis
(Sc) : 19/20 x 0,25ml = 0,475mlBerat Badan Mencit 3 : 13gram Dosis
(Po & Ip) : 13x 0,5 ml = 0,325ml Dosis (Sc) : 13/20 x 0,25 ml =
0,16mlwaktuLuas saliva
IIIIII
5---
10---
150,75cm--
201,8cm--
252cm0,74cm-
Rata-rata0,91cm0,14cm-
% inhibisi atropin po = rata-rata saliva kontrol rata-rata
saliva uji X100% Rata-rata saliva kontrol = 0,14 cm0,91cm x 100% =
-550 % 0,14cm% inhibisi atropin sc= rata-rata saliva kontrol
rata-rata saliva uji X 100% Rata-rata saliva kontrol = 0,14cm- 0cmx
100%= 100% 0,14cm Jumlah keseluruhan % inhibisi kelompok% inhibisi
atropin po = rata-rata saliva kontrol rata-rata saliva uji X100%
Rata-rata saliva kontrol = 0,88 cm1,33cm x 100% = -51,136 % 0,88cm%
inhibisi atropin sc= rata-rata saliva kontrol rata-rata saliva uji
X 100% Rata-rata saliva kontrol = 0,88cm- 0,325cmx 100%= 63,06%
0,88cm
VII. GRAFIKGrafik diameter saliva terhadap waktu (rata-rata
semua kelompok)
Diameter saliva (cm)grafik 2 sumbu X =, Y= rata-rata diameter
salivaGrafik perbandingan rata-rata diameter saliva
Diameter saliva per perlakuanrata-rata diameter saliva(cm)
VIII. PEMBAHASANSistem saraf otonom adalah sistem saraf yang
bekerja diluar kesadaran, contohnya detak jantung, mata berkedip,
kesadaran, pernafasan maupun pencernaan makanan. Menurut fungsinya,
sistem saraf otonom dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:1.Susunan saraf
simpatik (adrenergik dan adrenolitik).2.Susunan saraf parasimpatik
(kolinergik dan anti kolinergik).Pada umumnya kedua saraf ini
bekerja berlawanan, tetapi dalam beberapa hal khasiatnya berlainan
sekali atau bahkan bersifat sinergis. Rangsangan dari susunan saraf
pusat untuk sampai ke ganglion efektor memerlukan suatu penghantar
yang disebuttransmiter neurohormon atau neurotransmiter. Bila
rangsangan tersebut berasal dari saraf simpatis, maka neurohormon
yang bekerja adalahnoradrenalin
(adrenalin)ataunorepinephrin(epinefrin).Sebaliknya, apabila
rangsangan tersebut berasal dari saraf parasimpatis, maka
neurohormon yang bekerja adalah asetilkolin.Selain itu, didalam
sistem saraf otonom terdapat obat otonom. Obat otonomadalah obat
yang bekerja pada berbagai bagaian susunan saraf otonom, mulai dari
sel saraf sampai dengan sel efektor. Banyak obat dapat mempengaruhi
organ otonom, tetapi obat otonom mempengaruhinya secara spesifik
dan bekerja pada dosis kecil. Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi
penerusan impuls dalam susunan saraf otonom dengan jalan mengganggu
sintesa, penimbunan, pembebasan atau penguraian neurohormon
tersebut dan khasiatnya atas reseptor spesifik. Berdasarkan
macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat pada sistem
saraf otonom digolongkan menjadi : Obat yang berkhasiat terhadap
saraf simpatik, diantaranya sebagai berikut : Simpatomimetik atau
adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan dari saraf
simpatik(oleh noradrenalin). Contohnya, efedrin, isoprenalin, dan
lain-lain. Simpatolitik atau adrenolitik, yaituobat yang meniru
efek bila saraf parasimpatik ditekan atau melawan efek adrenergik,
contohnya alkaloida sekale, propanolol, dan lain-lain. Obat yang
berkhasiat terhadap saraf parasimpatik, yang diantaranya sebagai
berikut : Parasimpatomimetik atau kolinergik, yaitu obat yang
meniru perangsangan dari saraf parasimpatik oleh asetilkolin,
contohnya pilokarpin dan phisostigmin. Parasimpatolitik atau
antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf parasimpatik
ditekan atau melawan efek kolinergik, contohnya alkaloida
belladonna. Pada praktikum ini dilakukan pengamatan berbagai
pengaruh obat-obat sistem saraf otonom dalam pengendalian
fungsi-fungsi vegetatif tubuh, maka sistem saraf otonom yang
digunakan adalah sistem saraf parasimpatik. Obat-obat dari sistem
saraf otonom yang akan diamati adalah efek aktivitas obat
kolinergik dan antikolinergik pada mencit. Mencit digunakan sebagai
hewan percobaan karena di dalam penanganannya hewan mencit ini
lebih mudah ditangani dibandingkan hewan lainnya, seperti kelinci,
marmot, dan monyet. Setiap kelompok, disediakan 3 ekor mencit.
Masing-masing mencit ditimbang dan diberi tanda pengenalnya. Mencit
1 memiliki berat badan 13,5 gram, mencit 2 memiliki berat badan
17,2 gram dan mencit 3 memiliki berat badan 17,3 gram. Kemudian,
masing-masing mencit diberi perlakuan sebagai berikut :1.Mencit 1 :
diberi atropin (p.o), uretan, dan pilokarpin.2.Mencit 2 : diberi
atropin (s.c), uretan, dan pilokarpin. 3.Mencit 3 : diberi
aquadest, uretan dan pilokarpin (Kontrol negatif) Pemberian zat-zat
tersebut tidak secara bersamaan, tetapi bertahap. Pada waktu T=0,
mencit 1 diberi atropin secara p.o, setelah sebelumnya diberikan
uretan secara i.p. dan mencit 3 hanya diberikan aquadest dan uretan
dengan cara yang sama. Pada waktu T=15 menit, mencit 2 disuntikkan
atropin 0,015 mg/kg BB secara s.c. setelah sebelumnya diberikan
uretan secara i.p. Pada menit ke 45, semua mencit diberikan
pilokarpin secara sub kutan. Untuk obat-obat dari sistem saraf
parasimpatik seperti yang tertera di atas yang digunakan, yaitu
pilokarpin dan atropin. Tujuan pemberian uretan adalah sebagai obat
anestes agar mencit tersebut kehilangan kesadaran sehingga tidak
bergerak aktif dan lebih tenang. Atropin diberikan agar produksi
saliva mencit tersebut meningkat dan pilokarpin diberikan untuk
menghambat produksi saliva atau hipersalivasi. Selain itu,
pilokarpin merupakan salah satu kolinergik yang sering digunakan
dalam pengobatan glaukoma. Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin
tersier dan stabil dari hidrolisis oleh asetilkolenesterase.
Dibandingkan dengan asetilkolin dan turunannya, senyawa ini
ternyata sangat lemah. Pilokarpin menunjukkan aktivitas muskarinik
dan terutama digunakan untuk oftamologi. Penggunaan topikal pada
kornea dapat menimbulkan miosis dengan cepat dan kontraksi otot
siliaris. Pada mata akan terjadi suatu spasme akomodasi, dan
penglihatan akan terpaku pada jarak tertentu, sehingga sulit untuk
memfokus suatu objek. Pilokarpin juga merupakan salah satu pemacu
sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar keringat, air mata, dan
saliva. Pilokarpin adalah obat terpilih dalam keadaan gawat yang
dapat menurunkan tekanan bola mata baik glaukoma bersudut sempit
maupun bersudut lebar. Obat ini sangat efektif untuk membuka
anyaman trabekular di sekitar kanal Schlem, sehingga tekanan bola
mata turun dengan segera akibat cairan humor keluar dengan lancar.
Kerjanya ini dapat berlangsung sekitar sehari dan dapat diulang
kembali. Obat penyekat kolinesterase, seperti isoflurofat dan
ekotiofat, bekerja lebih lama lagi. Disamping kemampuannya dalam
mengobati glaukoma, pilokarpin juga mempunyai efek samping. Dimana
pilokarpin dapat mencapai otak dan menimbulkan gangguan SSP. Obat
ini merangsang keringat dan salivasi yang berlebihan. Berbeda
dengan pilokarpin,atropin adalah senyawa berbentuk kristal putih,
memilikirasa sangat pahit,titik lebur 115 dan terdiri dari amine
antimuscarinic tersier. Atropin merupakan antagonis reseptor
kolinergik yang diisolasi dariAtropa belladonaL.,Datura
stramoniumL.,dan tanaman lain dari family Solanaceae. Atropin
merupakan agen preanestesi yang digolongkan sebagai antikolinergik
atau parasimpatolitik. Atropin sebagai prototip antimuskarinik
mempunyai kerja menghambat efek asetilkolin pada syaraf
postganglionik kolinergik dan otot polos. Hambatan ini bersifat
reversible dan dapat diatasi dengan pemberian asetilkolin dalam
jumlah berlebihan atau pemberian antikolinesterase. Mekanisme
kerjaatropin memblok aksi kolinomimetik pada reseptor muskarinik
secara reversible (tergantung jumlahnya) yaitu, hambatan oleh
atropindalam dosis kecil dapat diatasi oleh asetilkolin atau agonis
muskarinik yang setara dalam dosis besar. Hal ini menunjukan adanya
kompetisi untuk memperebutkan tempat ikatan. Atropin dapat
menimbulkan beberapa efek, misalnya pada susunan syaraf pusat,
merangsang medulla oblongata dan pusat lain di otak, menghilangkan
tremor, perangsang respirasi akibat dilatasi bronkus, pada dosis
yang besar menyebabkan depresi nafas, eksitasi, halusinasi dan
lebih lanjut dapat menimbulkan depresi dan paralisa medulla
oblongata.Efek atropin pada mata menyebabkan midriasis dan
siklopegia. Pada saluran nafas, atropin dapat mengurangi sekresi
hidung, mulut dan bronkus. Efek atropin pada sistem kardiovaskuler
(jantung) bersifat bifasik, yaitu atropin tidak mempengaruhi
pembuluh darah maupun tekanan darah secara langsung dan menghambat
vasodilatasi oleh asetilkolin. Pada saluran pencernaan, atropin
sebagai antispasmodik, yaitu menghambat peristaltik usus dan
lambung, sedangkan pada otot polos atropin mendilatasi pada saluran
perkencingan sehingga menyebabkan retensi urin. Setelah diberikan
pilokarpin dan atropin, kemudian masing-masing mencit diletakkan di
atas kertas saring pada alat yang telah ditaburi metilen blue (1
mencit per kotak). Metil biru merupakan pewarna thiazine yang kerap
digunakan sebagai bakterisida dan fungsida pada akuarium.
Penempatan mencit haruslah sedemikian sehingga mulutnya berada
tepat di atas kertas, kemudian ekornya diikat dengan seutas tali
dan diberi beban sebagai penahan jika diperlukan. Tetapi karena
mencit tersebut sudah diberikan uretan sebagai obat anestesi
sehingga tidak perlu diberi beban lagi pada ekornya karena mencit
tersebut sudah tidak sadar.Setiap 5 menit mencit ditarik ke kotak
berikutnya yang letaknya lebih atas. Selanjutnya, diulangi hal yag
sama selama 25 menit sampai kotak paling atas. Kemudian, diamati
pengeluaran saliva/noda yang terbentuk di atas kertas lalu ditandai
dengan pencil batas noda yang terbentuk tersebut. Lalu di ukur
diameter bercak saliva pada mencit.Dari hasil pengamatan,pada menit
ke 5 diameter saliva dari mencit 1 adalah 0,7 kemudian mencit 2
sebesar 0,4 dan dan pada mencit 3 adalah 1,6. Kemudian pada waktu
10 menit diameter pada mencit 1 adalah 0,6, mencit 2 tidak
membentuk saliva dan mencit 3 adalah 0,3. Setelah 15 menit dihitung
kembali diameter mencit 1 adalah 1 cm, mencit 2 adalah 0,1 dan
mencit 3 tidak membentuk saliva. Selanjutya pada waktu 20 menit,
mencit 1 membentuk saliva berdiameter 0,9 cm, mencit 2 berdiameter
0,9 dan mencit ketiga tidak membentuk saliva. Dan yang terakhir
pada waktu 25 menit mencit 1 membentuk diameter saliva 0,8 cm,
mencit kedua 1,2 cm dan mencit ke tiga tidak membentuk saliva
kembali.Setelah diukur diameter bercak saliva pada kotak kemudian
dihitung %inhibisinya. Pada mencit 1 %inhibisinya sebesar -100,52 %
dan pada mencit 2 %inhibisinya sebesar -36,84%. Hal ini menunjukkan
pilokarpin yang diberikan tidak cukup untuk menghambat produksi
saliva yang disebabkan penambahan atropin. Pada pemberian subkutan
memberikan persen inhibisi yang lebih besar dibandingkan pemberian
secara peroral karena pada pemberian subkutan absorpsi biasanya
berjalan lambat dan konstan, sehingga efeknya bertahan lebih lama
sehingga Onset of action lebih cepat daripada sediaan suspensi,
determinan dari kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan
dimana terjadi penyerapan, menyebabkan konstriksi pembuluh darah
lokal sehingga difusi obat tertahan/diperlama Pada mencit 3 atau
kontrol pada menit ke 15 sudah tidak memberikan bercak atau tidak
mengeluarkan saliva, hal ini dapat disebabkan karena dosis yang
diberikan dan cara pemberian obat tersebut. Sehingga efek yang
diinginkan (keluarnya saliva) tidak terjadi. Seharusnya pada mencit
3 ini saliva yang terbentuk lebih banyak karena tidak diberikan
atropin sebagai inhibitor kerja atropin yang menyebabkan
hipersalivasi.
IX. KESIMPULAN1) Kolinergik atau Parasimpatomimetik adalah zat
yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan dengan stimulasi
susunan saraf parasimpatis (SP) dan antikolinergik atau
simpatolitik adalah zat yang dapat menimbulkan efek yang sama
dengan dengan stimulasi susunan saraf simpatis.2) Teknik untuk
mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik pada neoroefektor
parasimpatikus dengan menyuntikkan obat Kolinergik dan
antikolinergik untuk melihat responnya dalam tubuh hewan
percobaan.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik IndonesiaDepartemen Farmakologi dan
Terapeutik FK UI, 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Mili.
2010. Simpatomimetik. Available online at
http://milissehat.web.id/?p=1482 diakses tanggal 29 Maret 2012Noor,
Agus Fitrian. 1998. Pengaruh Tropikamid 1% dan Fenilefrin 1%
Terhadap Reaksi Pupil Penderita Diabetes Melitus. Available online
at http://eprints.undip.ac.id/14086/1/1998FK408.pdf diakses tanggal
29 Maret 2012Tjay, Tan Hoan. Kirana Rahardja. 2010. Obat-Obat
Penting. Jakarta: Elex Media Komputindo