FARMASI FORENSIK
TUPOKSI (TUGAS POKOK FUNGSI) APOTEKER DI UNIT FARMASI
KOMUNITAS/APOTEK (PRAKTEK PENGGUNAAN OBAT YANG RASIONAL PADA SISTEM
KESEHATAN BPJS (BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL)-KESEHATAN
2014
KELOMPOK 23
Luh Putu Verryani Ayu Savitri(1308515023)
A.A.Ayu Putri Kusuma Dewi(1308515049)
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
JURUSAN FARMASI
UNIVERSITAS UDAYANA
2013BAB I
TUPOKSI APOTEKER DI KOMUNITAS/APOTEK1.1 Tinjauan per-UU yang
Mengatur Tupoksi Pada Unit Farmasi Komunitas/Apotek
Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur tupoksi Apoteker di
bidang ini adalah sebagai berikut :
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 34 ayat (2):
Pemerintah wajib tingkatkan kesejahteraan masyarakat dan kembangkan
sistem jaminan sosial.
Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 Pasal 28H ayat (2): Setiap
warga negara berhak mendapatkan jaminan sosial.
Konvensi ILO (International Labour Office) No. 102 Tahun 1952
Tentang (Standar Minimal) Jaminan Sosial, menyebutkan Sembilan
perlindungan dasar: kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari
tua, meninggal, pensiun, tunjangan keluarga dan pengangguran.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 Tentang
Usaha Perasuransian. Undang-Undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Undang-Undang No. 24 tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional Undang-Undang
No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Peraturan Presiden Republik Indonesia No.12 tahun 2013 tentang
jaminan kesehatan PP No.72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan PP No.51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian PerMenkes No. 1027/MenKes/SK/IX Tahun 2004 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. PerMenKes No.922 Tahun
1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik
Permenkes No.918/Menkes/PER/X/1993 tentang Pedagang Besar
Farmasi
KepMenKes No. 1332 Tahun 2002 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pemberian Izin Apotek. KepMenKes No. 280 tahun 1981 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pengelolaan Apotek Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (SK nomor
1027/Menkes/SK/IX/2004). Surat Edaran Direktur Jendral Pengawasan
Obat dan Makanan Depkes RI No. 336/E/SE/77 tentang salinan resep
narkotika.1.2 Pharmaceutical Sciences Sebagai Landasan UU yang
Mengatur Tupoksi Pada Unit Farmasi Komunitas/ApotekAdapun
pharmaceutical sciences sebagai landasan UU yang diuraikan di atas
yang mengatur tupoksi pada unit farmasi komunitas/apotek pada
sistem BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial)-Kesehatan 2014
adalah sebagai berikut.
a. Farmasi Forensik dan pemahaman perundang-undangan.
Seluruh undang-undang yang mendasari tupoksi apoteker dalam
bidang farmasi komunitas dilandasi oleh pemahaman bidang ilmu
farmasi forensik dan pemahaman hukum serta perundang-undangan.b.
Farmakoterapi dan Farmakologi-Toksikologi
Dalam penerapan undang-undang berkaitan kesehatan, penggunaan
obat-obat yang rasional yang memerlukan aturan perundang-undangan
seperti narkotika dan psikotropika, diperlukan landasan ilmu di
bidang farmakoterapi dan farmakologi-toksikologi.
c. Compounding and Dispensing serta Komunikasi dan Konseling.
Dalam penerapan undang-undang berkaitan pelayanan kefarmasian,
mencakup penyerahan obat maupun sediaan farmasi kepada pasien
berdasarkan pengobatan yang rasional, hingga usaha untuk
meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani terapi dan tahap
promosi dan edukasi serta pelayanan residensial, diperlukan
pemahaman bidang ilmu Compounding and Dispensing dan komunikasi dan
konseling.
d. Farmasetika dan Teknologi Sediaan Non-Steril.
Dalam penerapan undang-undang berkaitan pelayanan kefarmasian,
untuk dapat memformulasi sediaan khusus seperti pembuatan sirup,
puyer, salep dan lain-lain untuk mendukung terapi pengobatan yang
rasional, diperlukan pemahaman terhadap bidang ilmu Farmasetika dan
Teknologi Sediaan Non-Steril.e. Manajemen Farmasi dan
Kewirausahaan.Dalam penerapan undang-undang berkitan pengelolaan
apotek, izin pendirian apotek, pengelolaan sediaan farmasi dan alat
kesehatan, sumber daya manusia, serta perbekalan kesehatan
memerlukan pemahaman mengenai bidang ilmu Manajemen Farmasi dan
Kewirausahaan.f. Farmasi Klinik dan Pharmaceutical CareDalam
penerapan perundang-undangan berkaitan pelayanan kefarmasian,
terutama mencakup monitoring terapi untuk mencapai terapi yang
maksimal pada pasien, pelayanan residensial diperlukan pemahaman
farmasi klinik dan pharmaceutical care.1.3 Tupoksi Apoteker
Mencakup Uraian UU yang MendasariDalam PP No. 51 tahun 2009, apotek
merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek
kefarmasian oleh apoteker. Peraturan tersebut juga menyebutkan
pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, dan pelayanan
informasi obat merupakan salah satu pekerjaan kefarmasian di
apotek. Pada UU No. 24 tahun 2011, disebutkan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) adalah badan hukum yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan sosial. BPJS-Kesehatan bertujuan
untuk menyelenggarakan program jaminan sosial di bidang kesehatan.
Adapun dasar ditujuknya PT. Askes (Persero) sebagai BPJS Kesehatan
oleh pemerintah adalah:a) Undang-undang No. 40 tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem jaminan sosial
nasional (SJSN), merupakan suatu tata cara penyelenggaraan program
jaminan sosial oleh beberapa Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial
(BPJS).b) Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Nasional. c) Peraturan Presiden Republik Indonesia
No.12 tahun 2013 tentang jaminan kesehatan. Jaminan kesehatan
berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat
pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan
dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah
membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.Dalam
pelayanan kefarmasian di komunitas/apotek berdasarkan PP No. 51
tahun 2009 dan berkaitan dengan sistem kesehatan BPJS-Kesehatan,
apoteker memiliki dua peranan penting yang meliputi professional
dan manajemen.
1.1 Peran Apoteker Sebagai Profesional
Menurut PerMenkes No.1027 tahun 2004, pelayanan kefarmasian pada
saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang
mengacu kepada Pharmaceutical Care atau asuhan kefarmasian.
Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada
pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang
komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari
pasien. Hal inilah yang menjadi cerminan program BPJS-Kesehatan
sebagai program jaminan sosial di bidang kesehatan. Peran utama
apoteker di apotek adalah sebagai seorang profesional untuk
melaksanakan kegiatan Pharmaceutical Care atau asuhan kefarmasian.
Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek disusun:
a. Sebagai pedoman praktik apoteker dalam menjalankan
profesi.
b. Untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak
profesional
c. Melindungi profesi dalam menjalankan praktik
kefarmasianBerdasarkan KepMenKes No. 1027 tahun 2004, jenis
pelayanan yang dilakukan di apotek meliputi pelayanan resep,
promosi dan edukasi serta pelayanan residensial. Penyerahan sediaan
farmasi dan alat kesehatan untuk digunakan dalam pelayanan
kesehatan dilakukan berdasarkan resep dokter dan tanpa resep
dokter, hal ini sesuai dengan PP No. 72 Tahun 1998, pasal 16 ayat
(2).1.1.1 Pelayanan Resep
Berdasarkan sistem BPJS-Kesehatan, setelah mendapatkan pelayanan
dari poliklinik atau rumah sakit, pasien harus mendapatkan
pelayanan obat dengan membawa resep dan atau protokol terapi/surat
keterangan lain ke loket Askes Center untuk dilegalisir, kemudian
untuk pelayanan obat dilakukan oleh apoteker di apotek. Bila
peserta mendapat resep obat biasa maka peserta harus menyerahkan
resep, menyerahkan SJP (Surat Jaminan Pelayanan) lembar kedua,
menunjukan kartu Askes yang asli. Apoteker memverifikasi resep,
kartu Askes dan SJP lembar kedua serta persyaratan lain yang
diperlukan, serta menulis nomor SJP- RJTL pada lembar resep (PT
Askes a, 2011).Menurut KepMenKes No. 1027 tahun 2004, resep adalah
permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada
apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai
peraturan perundangan yang berlaku. Beberapa pasal yang berhubungan
dengan pelayanan resep dalam KepMenKes No. 1332 tahun 2002 antara
lain :
Pasal 14 : 1) Apotek wajib melayani resep dokter, dokter gigi
dan dokter hewan.2) Pelayanan resep dimaksud dalam ayat (1)
sepenuhnya atas tanggung jawab Apoteker Pengelola Apotek.Pasal 15
:
1) Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab
dan keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan
masyarakat.
2) Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generik yg
ditulis didalam resep dengan obat paten.
3) Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis dalam
resep, Apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan
obat yang lebih tepat.
4) Apoteker wajib memberikan informasi :
a. yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada
pasien.
b. penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan
masyarakat.
Pasal 16 :
1) Apabila Apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat
kekeliruan atau penulisan resep yang tidak tepat, Apoteker harus
memberitahukan kepada dokter penulis resep.
2) Apabila dalam hal dimaksud ayat (1) karena pertimbangan
tertentu dokter penulis resep tetap pada pendiriannya, dokter wajib
menyatakannya secara tertulis atau membubuhkan ttd yang lazim di
atas resep.
Pelayanan resep yang dilakukan meliputi pelayanan non
narkotika/psikotropika dan pelayanan resep narkotika/psikotropika.
Berdasarkan KepMenKes No. 1027 tahun 2004, pelayanan resep terdiri
dari tahap skrining (administratif, kesesuaian farmasetik, dan
pertimbangan klinis), penyiapan dan penyerahan obat, serta
pemberian informasi atau KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi), dan
konseling. 1) Pelayanan Resep Non narkotika/psikotropika
a. Medication Record
Medication Record merupakan catatan pengobatan pasien yang harus
dibuat oleh seorang apoteker dalam memberikan suatu pelayanan
kefarmasian. Hal ini dikarenakan medication record digunakan
sebagai pengawasan dan monitoring terhadap pasien dalam rangka
menjamin kepastian mengenai penggunaan obat yang benar kepada
pasien. Selain itu pembuatan catatan pengobatan pasien juga
dimaksudkan untuk memastikan bahwa informasi yang dikandung di
dalamnya akan ditinjau ulang oleh apoteker dengan cara yang
konsisten dengan praktek profesional dan legal setiap saat resep
ditebus. Oleh karena itu pada pelayanan kefarmasian di apotek,
pembuatan medication record merupakan tahapan awal yang harus
dilakukan oleh seorang apoteker. Adapun hal-hal yang harus
dicantumkan oleh apoteker pada pembuatan medication record awal
adalah sebagai berikut : Nama pasien Umur pasien Alamat pasien
Identitas personal dari pasien Identitas personal dari penulis
resep atau dokter Pencatatan identitas personal baik pasien maupun
dokter, merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh seorang
apoteker pada awal pemberian pelayanan kefarmasian. Hal ini
dikarenakan identitas personal tersebut akan sangat diperlukan
untuk memudahkan penelusuran jika terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan dalam jangka panjang kedepannya.
b. Skrining Resep
Dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor
1027/Menkes/SK/IX/2004 disebutkan bahwa apoteker harus memahami dan
menyadari kemungkinan terjadi kesalahan pengobatan (medication
eror). Oleh karena itu tahapan skrining resep perlu dilakukan oleh
seorang apoteker untuk mencegah terjadinya medication eror. Adapun
skrining resep yang dilakukan oleh seorang apoteker adalah sebagai
berikut :
Persyaratan Administratif
Berguna untuk menghindari kesalahan penulisan resep maupun
pemalsuan resep. Yang dianalisis dalam skrining ini antara lain ada
tidaknya maupun keaslian dari :
Nama, SIP dan alamat dokter
Tanggal penulisan resep
Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep
Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien
Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang diminta
Cara pemakaian yang jelas
Informasi lainnya
Kesesuaian Farmasetik
Bentuk sediaan
Dosis
Potensi
Stabilitas
Inkompatibilitas
Cara Pemberian
Lama pemberian
Pertimbangan Klinis
Adanya alergi
Efek samping
Interaksi kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat, dll)
c. Anamnese Farmasi
Anamnese kefarmasian adalah kegiatan apoteker dalam menganalisa
indikasi masing-masing obat yang diresepkan oleh dokter, dan
menerjemahkannya ke dalam suatu dugaan diagnose apa yang telah
ditegakkan oleh dokter atau sakit apa yang diderita oleh pasien.
Ketepatan dari anamnese kefarmasian yang dihasilkan tergantung dari
kecakapan yang dimiliki oleh masing-masing apoteker.
d. Cross Check dengan PasienSetelah melakukan anamnese
kefarmasian, seorang apoteker harus melakukan crosscheck kepada
pasien untuk memastikan ketepatan dari anamnese tersebut.
Crosscheck kepada pasien dilakukan dengan menanyakan keluhan apa
yang disampaikan oleh pasien kepada dokter dengan mengajukan 3
prime question, yaitu (1) Apa yang telah dokter katakan mengenai
obat ini, cara pemakaian, (2) Bagaimanan dokter menerangkan cara
pemakaian, dan (3) Apa yang diharapkan dalam pengobatan ini. Selain
itu Apoteker juga dapat menanyakan langsung diagnose dari pasien
melalui komunikasi dengan dokter penulis resep.
e. Analisa Penggunaan Obat yang Rasional
Penggunaan obat dinyatakan rasional apabila pasien menerima
pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang
sesuai dengan kebutuhan, dalam periode waktu yang adequate dan
dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat banyak (Bahaudin, tt).
Analisa penggunaan obat yang rasional dapat dilakukan dengan
melakukan penilaian terhadap parameter 4 T (tepat pasien, tepat
indikasi, tepat dosis, tepat obat dan pemakaian) dan 1 W (waspada
efek samping obat).
Tepat Pasien
Analisa tepat pasien berkaitan dengan pemilihan obat yang sesuai
untuk kondisi spesifik pasien. Umumnya lebih ditekankan perlunya
perhatian khusus untuk pasien yang termasuk dalam populasi khusus
seperti pasien pediatrik, geriatrik, ibu hamil, gangguan ginjal,
gangguan hati, dan sebagainya.
Tepat Indikasi
Berkaitan dengan penentuan perlu tidaknya suatu obat diberikan
pada kasus tertentu dan disesuaikan dengan indikasi medis dari
pasien tersebut.
Tepat Dosis
Berkaitan dengan penilaian terhadap penentuan dosis (termasuk
frekuensi dan durasi pengobatan) apakah telah tepat dan disesuaikan
dengan kondisi masingmasing pasien.
Tepat Obat
Berkaitan dengan pemilihan kelas terapi dan jenis obat
berdasarkan pertimbangan manfaat, keamanan, mutu dan harga. Selain
itu juga disesuaikan dengan kondisi spesifik dari pasien seperti
kemampuan untuk mengkonsumsi obat tersebut sesuai dengan rute
pemberian yang dianjurkan, serta pertimbangan adanya reaksi alergi
pasien terhadap obat tertentu. Waspada Efek Samping Obat
Seorang apoteker hendaknya mencatat efek samping obat (adverse
drug reaction) atau interaksi obat yang mungkin ditimbulkan.
Seorang apoteker diharapkan dapat melihat kemungkinan terjadinya
interaksi obat, baik pada fase farmasetik (peracikan),
farmakokinetik (adsorpsi, distribusi, dan eliminasi), dan fase
farmakodinamik. Jika terjadi interaksi apoteker diharapkan dapat
mengkomunikasikan kepada pasien.
Berdasarkan analisa apoteker tersebut, apabila terdapat
ketidaktepatan dalam pemilihan obat oleh dokter dalam tujuan
pengobatan, apoteker diharuskan melakukan komunikasi kepada dokter
penulis resep untuk menanyakan tujuan dokter dalam menuliskan obat
dalam resep tersebut.
f. Analisa Farmakoekonomi (Reduce Cost)
Farmakoekonomi adalah ilmu yang mengukur biaya dan hasil yang
diperoleh dihubungkan dengan penggunaan obat dalam perawatan
kesehatan (Orion, 1997). Farmakoekonomi juga didefenisikan sebagai
deskripsi dan analisis dari biaya terapi dalam suatu sistem
pelayanan kesehatan. Lebih spesifik lagi adalah sebuah penelitian
tentang proses identifikasi, mengukur dan membandingkan biaya,
resiko dan keuntungan dari suatu program, pelayanan dan terapi
(Vogenberg, 2001).
Tujuan farmakoekonomi adalah membandingkan obat yang berbeda
untuk pengobatan pada kondisi yang sama. Selain itu juga
membandingkan pengobatan yang berbeda pada kondisi yang berbeda
(Vogenberg, 2001). Dimana hasilnya bisa dijadikan informasi yang
dapat membantu para pembuat kebijakan dalam menentukan pilihan atas
alternatif-alternatif pengobatan yang tersedia agar pelayanan
kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis. Informasi
farmakoekonomi saat ini dianggap sama pentingnya dengan informasi
khasiat dan keamanan obat dalam menentukan pilihan obat mana yang
akan digunakan. Farmakoekonomi dapat diaplikasikan baik dalam skala
mikro maupun dalam skala makro.
Farmakoekonomi diperlukan karena adanya sumber daya yang
terbatas, dimana hal yang terpenting adalah bagaimana memberikan
obat yang efektif dengan dana yang tersedia, pengalokasian sumber
daya yang tersedia secara efisien, kebutuhan pasien dimana dari
sudut pandang pasien adalah biaya yang seminimal mungkin
(Vogenberg, 2001).
g. Medication RecordSeperti yang dijelaskan sebelumnya,
medication record merupakan catatan pengobatan pasien yang harus
dibuat oleh seorang apoteker dalam memberikan suatu pelayanan
kefarmasian. Tidak hanya nama pasien, umur pasien, alamat pasien,
identitas personal dari pasien, dan identitas personal dari penulis
resep atau dokter, dalam medication record tahap ini, diperlukan
pencatatan waktu/tanggal pengambilan resep; nama, kekuatan, bentuk,
dan jumlah dosis obat; aturan penggunaan obat; perintah pengulangan
dari penulisan resep; identifikasi siapa yang melayani obat; dan
alergi setiap pasien, keanehan, atau kondisi kronis yang mungkin
berhubungan dengan penggunaan obat (Windarti dkk, tt).Dalam hal ini
menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor
1027/Menkes/SK/IX/2004, sangat diutamakan pemantauan penggunaan
obat untuk pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC,
asthma, dan penyakit lainnya. Apoteker sebagai care giver juga
dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan
rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan
penyakit kronis lainnya. Sehingga untuk mendukung aktifitas ini
apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan
(medication record) seperti yang dijelaskan sebelumnya.h.
Compounding and DispensingCompounding melibatkan pembuatan
(preparation), pencampuran (mixing), pemasangan (asembling),
pembungkusan (packaging), dan pemberian label (labelling) dari obat
atau alat sesuai dengan resep dokter yang berlisensi atas inisiatif
yang didasarkan atas hubungan dokter/pasien/ farmasis/compounder
dalam praktek profesional (USP, 2004).Dispensing adalah salah satu
unsur vital dari penggunaan obat secara rasional. Di dalam program
penggunaan obat secara rasional, upaya sering kali dikonsentrasikan
pada pemastian kebiasaan penulisan secara rasional, dan sering
melupakan dispensing dan penggunaan obat yang sebenarnya dari
penderita. Praktik dispensing yang baik adalah suatu proses praktik
yang memastikan bahwa suatu bentuk yang efektif dari obat yang
benar dihantarkan kepada penderita yang benar, dalam dosis dan
kuantitas yang tertulis, dengan instruksi yang jelas, dan dalam
suatu kemasan yang memelihara potensi obat (Siregar, dkk,
2004).Penyiapan Obat Peracikan
Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas
dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat
harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis
dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.
Etiket
Etiket harus jelas dan dapat dibaca
Kemasan obat yang diserahkan
Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok
sehingga terjaga kualitasnya.
Penyerahan Obat
Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan
akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat
dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan
konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.i. Informasi Obat
Selain penekanan dosis, frekuensi, lama pengobatan, dan rute
pemberian, prioritas adalah memberikan pasien informasi yang akan
memaksimalkan efek pengobatan. Oleh karena itu, informasi perlu
dikonsentrasikan pada :
a) Kapan obat digunakan/dikonsumsi (terutama berkaitan dengan
makanan dan obat-obat lain).b) Cara obat digunakan (dikunyah,
ditelan seluruhnya, tidak boleh digerus, dikocok dulu, dikonsumsi
dengan banyak air minum, dan sebagainya.c) Cara menyimpan dan
memelihara obat.d) Peringatan tentang kemungkinan aktivitas,
makanan minuman yang harus dihindari selama terapi, dan efek
samping. Efek samping yang umum, tetapi tidak berbahaya (mual,
diare ringan, perubahan warna urin) perlu dberitahukan guna
mencegah pasien yang takut dari penghentian pengobatan.Menurut
Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004,
seorang apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas, dan
mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini.
Apoteker juga sebaiknya memperagakan dan menjelaskan mengenai
pemakaian obat-obat tertentu (inhaler, supositoria, dan lain-lain),
serta melakukan verifikasi akhir meliputi: Mengecek pemahaman
pasien
Mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang berhubungan
dengan cara penggunaan obat untuk mengoptimalkan tujuan terapi j.
Konseling
Apoteker juga harus memberikan konseling, mengenai sediaan
farmasi, pengobatan dan berbekalan kesehatan lainnya, sehingga
dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan
terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan
farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit
tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan
penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara
berkelanjutan, sehingga diperlukan pencatatan alamat dan nomor
telepon pasien. Selain itu juga dalam rangka pemberdayaan
masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam
promosi dan edukasi untuk membantu diseminasi informasi, antara
lain penyebaran leaflet/brosur, poster, penyuluhan, dan
lain-lain.k. Monitoring Penggunaan Obat
Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus
melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien
tertentu cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis
lainnya.
2) Resep yang Mengandung Narkotika dan Psikotropika
a) Narkotika
Berdasarkan UU No. 35 tahun 2009, disebutkan bahwa :Pasal 14
(1) Narkotika yang berada dalam penguasaan industri farmasi,
pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi
pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai
pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib disimpan
secara khusus.
(2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan
sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan
masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan
wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai
pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika yang berada dalam
penguasaannya.Pasal 43
(2) Apotek hanya dapat menyerahkan natkotika kepada : rumah
sakit, pusat kesehatan masyarakat, apotek lainnya, balai
pengobatan, dokter, dan pasien.(3) Rumah sakit, apotek, pusat
kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat menyerahkan
Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.b)
Psikotropika
Berdasarkan undang-undang No. 5 tahun 1997
Pasal 14
(2) Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan
kepada apotek lainnya, RS, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan
pengguna/pasien.
(4) Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas,
dan balai pengobatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan berdasarkan resep dokter
(5)Penyerahan psikotropika oleh dokter sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilaksanakan dalam hal :
a. menjalankan praktik terapi dan diberikan melalui
suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat;
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada
apotek.
(6) Psikotropika yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) hanya dapat diperoleh dari apotek
Pasal 33 ayat (1)
Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan
farmasi Pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai
pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan,
wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan masing-masing
yang berhubungan dengan psikotropika.1.1.2 Pelayanan
Non-ResepPelayanan Non-resep berhubungan dengan kegiatan pengobatan
sendiri (swamedikasi) dengan menggunakan obat bebas dan obat bebas
terbatas yang dilakukan secara tepat guna dan bertanggung jawab.
Obat yang dapat diserahkan tanpa resep harus memenuhi kriteria yang
dicantumkan dalam PerMenKes No. 919 tahun 1993 tentang kriteria
obat yang dapat diserahkan tanpa resep yaitu :
1) Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil,
anak dibawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
2) Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan
risiko pada kelanjutan penyakit
3) Tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan
4) Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya
tinggi di Indonesia
5) Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri
Namun dalam pelayanan obat di apotek dalam sistem BPJS-Kesehatan
ini, tidak menerima pelayanan swamedikasi. Hal ini karena
berdasarkan sistem BPJS-Kesehatan, pasien-pasien merupakan rujukan
dari rumah sakit atau puskesmas.1.1.3 Promosi dan
EdukasiBerdasarkan KepMenKes No. 1027 tahun 2004, dalam rangka
pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif
dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi
informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet / brosur, poster,
penyuluhan, dan lain lainnya.
1.1.4 Pelayanan Residensial (Home Care)Apoteker sebagai care
giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang
bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan
pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas
ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan
(medication record).
Dari penjelasan di atas dapat diketahui tupoksi apoteker sebagai
seorang profesional adalah sebagai berikut.Pada Pelayanan Resep Non
Narkotika dan Psikotropika: Prosedur Tetap Skrining Resep a)
Melakukan pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan resep yaitu nama
dokter, nomor ijin praktek, alamat, tanggal penulisan resep, tanda
tangan atau paraf dokter serta nama, alamat, umur, jenis kelamin
dan berat badan pasien.
b) Melakukan pemeriksaan kesesuaian farmasetik yaitu: bentuk
sediaan, dosis, frekuensi, kekuatan, stabilitas, inkompatibilitas,
cara dan lama pemberian obat.
c) Mengkaji aspek klinis yaitu : adanya alergi, efek samping,
interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan kondisi
khusus lainnya). Membuatkan kartu pengobatan pasien (medication
record).
d) Mengkonsultasikan ke dokter tentang masalah resep apabila
diperlukan
Prosedur Tetap Penyiapan Sediaan Farmasi dan Perbekalan
Kesehatan
a) Menyiapkan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan sesuai
dengan permintaan pada resep
b) Menghitung kesesuaian dosis dan tidak melebihi dosis
maksimum.
c) Mengambil obat dengan menggunakan sarung tangan / alat /
spatula/sendok
d) Menutup kembali wadah obat setelah pengambilan dan
mengembalikan ke tempat semula.
e) Meracik obat (timbang, campur, kemas)
f) Mengencerkan sirup kering sesuai takaran dengan air yang
layak minum
g) Menyiapkan etiket (warna putih untuk obat dalam, warna biru
untuk obat luar, dan etiket lainnya seperti label kocok dahulu
untuk sediaan cair)
h) Menulis nama dan cara pemakaian obat pada etiket sesuai
dengan permintaan dalam resep. Prosedur Tetap Penyerahan Obat
a) Melakukan pemeriksaan akhir kesesuaian antara penulisan
etiket dengan resep sebelum dilakukan penyerahan
b) Memanggil nama dan nomor tunggu pasien
c) Mengecek identitas dan alamat pasien yang berhak menerima
d) Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat
e) Menanyakan dan menuliskan alamat/nomor telepon pasien dibalik
resep
f) Menyimpan resep pada tempatnya dan mendokumentasikannya
Prosedur Tetap Pelayanan Informasi Obat a) Memberikan informasi
obat kepada pasien berdasarkan resep atau kartu pengobatan pasien
(medication record) atau kondisi kesehatan pasien baik lisan maupun
tertulis
b) Melakukan penelusuran literatur bila diperlukan, secara
sistematis untuk memberikan informasi
c) Menjawab pertanyaan pasien dengan jelas dan mudah dimengerti,
tidak bias, etis dan bijaksana baik secara lisan maupun
tertulis
d) Mendisplai brosur, leaflet, poster atau majalah kesehatan
untuk informasi pasien.
e) Mendokumentasikan setiap kegiatan pelayanan informasi
obat
Prosedur Tetap Konseling :
a) Melakukan konseling sesuai dengan kondisi penyakit pasien
b) Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien/keluarga
pasien
c) Menanyakan tiga pertanyaan kunci menyangkut obat yang
dikatakan oleh dokter kepada pasien dengan metode open-ended
question :
a. Apa yang telah dokter katakan mengenai obat ini
b. Cara pemakaian, bagaimanan dokter menerangkan cara
pemakaian
c. Apa yang diharapkan dalam pengobatan ini
d) Memperagakan dan menjelaskan mengenai pemakaian obat-obat
tertentu (inhaler, supositoria, dll)
e) Melakukan verifikasi akhir meliputi: Mengecek pemahaman
pasien
Mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang berhubungan
dengan cara penggunaan obat untuk mengoptimalkan tujuan terapi
f) Melakukan pencatatan konseling yang dilakukan pada kartu
pengobatanPada Pelayanan Resep Narkotika dan Psikotropika
Prosedur Tetap Skrining resep
a) Melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan administrasi
b) Melakukan pemeriksaan kesesuaian farmaseutik yaitu : bentuk
sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan
lama pemberian
c) Mengkaji pertimbangan klinis yaitu : adanya alergi, efek
samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan
lain-lain).
d) Narkotik hanya dapat diserahkan atas dasar resep asli rumah
sakit, puskesmas, apotek lainnya, balai pengobatan, dokter. Salinan
resep narkotika dalam tulisan iter tidak boleh dilayani sama
sekali
e) Salinan resep narkotik yang baru dilayani sebagian atau yang
belum dilayani sama sekali hanya boleh dilayani oleh apotek yang
menyimpan resep asli.
f) Mengkonsultasikan ke dokter tentang masalah resep apabila
diperlukan.
Prosedur Tetap Penyiapan Resep
a) Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan pada resepb) Untuk
obat racikan apoteker menyiapkan obat jadi yang mengandung
narkotika atau menimbang bahan baku narkotika
c) Menutup dan mengembalikan wadah obat pada tempatnya
d) Menulis nama dan cara pemakaian obat pada etiket sesuai
dengan permintaan dalam resep
e) Obat diberi wadah yang sesuai dan diperiksa kembali jenis dan
jumlah obat sesuai permintaan dalam resep
Prosedur Tetap Penyerahan Obat
g) Melakukan pemeriksaan akhir kesesuaian antara penulisan
etiket dengan resep sebelum dilakukan penyerahan
h) Memanggil nama dan nomor tunggu pasien
i) Mengecek identitas dan alamat pasien yang berhak menerima
j) Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat
k) Menanyakan dan menuliskan alamat/nomor telepon pasien dibalik
resep
l) Menyimpan resep pada tempatnya dan mendokumentasikannya
Pelayanan Residensial
Tupoksi Apoteker dalam Pelayanan Residensial meliputi :a)
Menyeleksi pasien melalui kartu pengobatanb) Menawarkan pelayanan
residensial
c) Mempelajari riwayat pengobatan pasien
d) Menyepakati jadwal kunjungan
e) Melakukan kunjungan ke rumah pasien
f) Melakukan tindak lanjut dg memanfaatkan sarana komunikasi
yang ada atau kunjungan berikutnya, secara berkesinambungan
g) Melakukan pencatatan dan evaluasi pengobatan1.2 Peran
Apoteker Sebagai Manajerial
Manajemen secara umum merupakan suatu proses yang menyatukan
sumber daya dan mempersatukan mereka sedemikian rupa sehingga,
secara kolektif, untuk mencapai tujuan dengan cara yang efisien.
Menurut Ricky W. Griffin dalam Syahruddin, (2011), manajemen
merupakan sebuah proses perencanaan, pengorganisasian,
pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai
sasaran (goals) secara efektif dan efesien (Desselle and Zgarrick,
2009). Berdasarkan pada BAB II KepMenKes No. 1027 tahun 2004, bahwa
pengelolaan sumber daya di apotek meliputi:
1.2.1 Pengelolaan Sumber Daya Manusia
a. Apoteker yang profesionalDi apotek, Apoteketer dapat bertugas
sebagai:
1) Apoteker Pengelola Apotek (Apoteker Pengelola Apotek) adalah
Apoteker yang telah diberi Surat Ijin Apotek (SIA). Setiap satu
apotek harus ada 1 Apoteker Pengelola Apotek dan seorang Apoteker
hanya bisa menjadi Apoteker Pengelola Apotek di satu apotek saja.
Untuk menjadi Apoteker Pengelola Apotek harus memenuhi persyaratan
sesuai dalam pasal 5 PerMenKes No.922 tahun 1993 yaitu sebagai
berikut : Ijasahnya telah terdaftar pada Departemen Kesehatan.
Telah mengucapkan sumpah/janji sebagai Apoteker. Memiliki Surat
Izin dari Menteri. Memenuhi syarat-syarat kesehatan fisik dan
mental untuk melaksanakan tugasnya sebagai Apoteker. Tidak bekerja
di suatu perusahaan farmasi dan tidak menjadi Apoteker Pengelola
Apotek di Apotek lain.
(Hartini dan Sulasmono, 2008; MenKes RI, 1993)2) Apoteker
Pendamping adalah apoteker yang bekerja di apotek di samping
Apoteker Pengelola Apotek dan/atau menggantikannya pada jam-jam
tertentu pada hari buka apotek. Menurut KepMenKes No. 1332 tahun
2002 pasal 19 ayat 1 Apoteker Pengelola Apotek bila Apoteker
Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka
Apotek, Apoteker Pengelola Apotek harus menunjuk Apoteker
pendamping. Syarat menjadi apoteker pendamping sama dengan syarat
menjadi Apoteker Pengelola Apotek sesuai dalam pasal 5 PerMenKes
No.922 tahun 1993
(Hartini dan Sulasmono, 2008; MenKes RI, 1993; MenKes RI,
2002).
3) Apoteker pengganti adalah apoteker yang menggantikan Apoteker
Pengelola Apotek Selama Apoteker Pengelola Apotek dan Apoteker
Pendamping karena hal-hal tertentu berhalangan melakukan tugasnya.
Ini sesuai dengan KepMenKes No. 1332 tahun 2002 pasal 19 ayat 2
yaitu Apabila Apoteker Pengelola Apotek dan Apoteker Pendamping
karena hal-hal tertentu berhalangan meiakukan tugasnya, Apoteker
Pengelola Apotek menunjuk Apoteker Pengganti. Apoteker Pengganti
harus memnuhi persyaratan pada pasal 5 PerMenKes No.922 tahun 1993
(MenKes RI, 1993; MenKes RI, 2002)b. Tenaga Teknis Kefarmasian
Menurut Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009, Tenaga Teknis
Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani
Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli
Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten
Apoteker. Dalam pasal 26 dan pasal 47 PP No. 51 disebutkan bahwa
untuk melaksanakan tugasnya di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e dilaksanakan oleh
Tenaga Teknis Kefarmasian yang memiliki STRTTK sesuai dengan tugas
dan fungsinya. Berdasarkan PP No. 51 tahun 2009, tenaga Teknis
Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK mempunyai wewenang untuk
melakukan Pekerjaan Kefarmasian dibawah bimbingan dan pengawasan
Apoteker yang telah memiliki STRA sesuai dengan pendidikan dan
keterampilan yang dimilikinya.
c. Pemilik Sarana Apotek
Pemilik Sarana Apotek tidak harus seorang Apoteker, namun
seorang Apoteker Pengelola Apotek dapat bekerjasama dengan Pemilik
Sarana Apotek apa diperlukan saja, misal karena Apoteker Pengelola
Apotek belum memiliki cukup modal untuk pengadaan sarana apotek.
Dalam PerMenKes No.922 tahun 1993 pasal 8 ayat 2 menyebutkan bahwa
Pemilik sarana dimaksud ayat (1) harus memenuhi persyaratan tidak
pernah terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di
bidang obat sebagaimana dinyatakan dalam Surat Pernyataan yang
bersangkutan (Hartini dan Sulasmono, 2008, MenKes RI, 1993).
2.2.2 Sarana dan PrasaranaSarana adalah suatu tempat
dilakukannya pekerjaan kefarmasian sedangkan prasarana apotek
meliputi perlengkapan, peralatan dan fasilitas apotek yang memadai
untuk mendukung pelayanan kefarmasian yang berkualitas. Dalam upaya
mendukung operasional pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan
sistem BPJS-Kesehatan, diperlukan sarana dan prasarana yang memadai
untuk meningkatkan kualitas pelayanan terhadap pasien, mulai dari
tempat, peralatan sampai dengan kelengkapan administrasi yang
berhubungan dengan pengobatan.
Peran apoteker sebagai manajerial di apotek dimulai dari
pengurusan izin untuk membuka apotek. Pengurusan izin apotek diatur
dalam PerMenKes No. 922 Tahun 1993 dan KepMenKes No. 1332 Tahun
2002. Beberapa pasal yang mengatur tentang perizinan apotek antara
lain :
Pasal 4 : 1) Izin Apotek diberikan oleh Menteri
2) Menteri melimpahkan wewenang pemberian izin apotek kepada
kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
3) Kepala dinas kesehatan kabupaten/kota wajib melaporkan
pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin, dan
pencabutan izin apotek sekali setahun kepada Menteri dan tembusan
disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
Pasal 6 : Persyaratan Apotek
1) Untuk mendapatkan izin Apotek, Apoteker atau Apoteker yang
bekerjasama dengan pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan
harus siap dengan tempat, perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan
perbekalan lainnya yang merupakan milik sendiri atau milik pihak
lain.2) Sarana Apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan
kegiatan pelayanan komoditi lainnya diluar sediaan farmasi.
3) Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya
diluar sediaan farmasi.
Gambar 2.1. Skema Pemberian Izin Apotek
Persyaratan bangunan apotek tertera pada Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Sk Nomor
1027/Menkes/Sk/Ix/2004 yng berisi yaitu Apotek berlokasi pada
daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat; pada halaman
terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek
apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat;
pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah
dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya; hal ini
berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta
mengurangi resiko kesalahan penyerahan; masyarakat harus diberi
akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk memperoleh
informasi dan konseling. Lingkungan apotek harus dijaga
kebersihannya. Apotek harus bebas dari hewan pengerat, serangga.
Apotek memiliki suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari
pendingin. Apotek harus memiliki:
1) Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien.
2) Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk
penempatan brosur/materi informasi.
3) Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien. Untuk
melaksanakan konseling, perlu disediakan fasilitas maupun sarana
dan prasarana yang memadai sehingga memudahkan apoteker untuk
memberikan informasi dan menjaga kerahasiaan pasien. Diperlukan
juga lemari untuk menyimpan catatan pengobatan pasien. Ada sumber
informasi dan literature yang memadai dan up to date seperti
Farmakope Indonesia, Informasi Spesialite Obat (ISO) dan Informasi
Obat Nasional Indonesia (IONI), Martindale The Extra Pharmacopeae,
AHFS Drug Information, Internet, artikel dan jurnal ilmiah, United
State Pharmacopeae Drug Information (USPDI), British National
Formulary (BNF )
4) Ruang racikan untuk melaksanakan peracikan obat yang memadai
serta dilengkapi peralatan peracikan yang sesuai dengan peraturan
dan kebutuhan.
5) Ruang/tempat penyerahan obat. Penyerahan obat dilakukan pada
tempat yang memadai, sehingga memudahkan untuk melakukan pelayanan
informasi obat.
6) Ruang/tempat penyimpanan sediaan farmasi dan perbekalan
kesehatan lainnya. Di tempat ini terdapat serangkaian kegiatan yang
meliputi: penerimaan,penyimpanan, pengawasan, pengendalian
persediaan dan pengeluaran obat. Apoteker harus memastikan bahwa
kondisi penyimpanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan
lainnya sesuai dengan persyaratan masing-masing produk disertai
dengan label yang jelas. Selain itu perlu didukung dengan catatan
penyimpanan yang akurat untuk mengontrol sediaan farmasi baik
secara manual (misalnya dengan menyediakan kartu stok untuk
masingmasing barang) maupun komputerisasi sehingga efektivitas
rotasi persediaan dan pengawasan tanggal kadaluarsa berjalan dengan
baik.
7) Tempat pencucian alat.
8) Peralatan penunjang kebersihan Apotek.
(MenKes RI, 2002; DepKes RI, 2006; DepKes Ri, 2008).
2.2.3 Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan
Lainnya
Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan adalah
suatu proses yang merupakan suatu siklus kegiatan yang dimulai dari
perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan dan penyerahan.
Tujuannya adalah agar tersedianya perbekalan farmasi yang bermutu
serta jumlah, jenis dan waktu yang tepat (DepKes RI, 2008).
Berdasarkan KepMenKes No. 1027 tahun 2004 Pengelolaan persediaan
farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan
perundangan yang berlaku meliputi: perencanaan, pengadaan,
penyimpanan dan pelayanan. Pengeluaran obat memakai sistim FIFO
(first in first out) dan FEFO (first expire first out).Beberapa
peraturan terkait pengadaan sediaan farmasi adalah sebagai
berikut:
1. Apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan, dan menyerahkan
sediaan farmasi yang bermutu baik dan yang keabsahannya terjamin
(KepMenKes No.1332 tahun 2002).
2. Pabrik Farmasi dapat menyalurkan hasil produksinya langsung
ke PBF, Apotek, Toko Obat dan sarana pelayanan kesehatan lainnya
(PerMenKes No.918 tahun 1993).
3. Apotek dilarang membeli atau menerima bahan baku obat selain
dari PBF Penyalur Bahan Baku Obat PT. Kimia Farma dan PBF yang akan
ditetapkan kemudian. (PerMenKes No. 287 tahun 1976 tentang
pengimporan, penyimpanan, dan penyaluran bahan baku obat).
(Hartini dan Sulasmono, 2008; DepKes RI, 2006; DepKes RI,
2008)
Kegiatan pengelolaan sediaan farmasi di apotek dapat
dikelompokkan menjadi tiga yaitu:a) Perencanaan
Perencanaan merupakan suatu proses kegiatan seleksi sediaan
farmasi dan perbekalan kesehatan untuk menentukan sediaan farmasi
dan perbekalan kesehatan sesuai dengan jumlah, jenis, harga dan
waktu yang tepat. Kegiatan perencanaan bertujuan untuk mendapatkan
jenis dan jumlah sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan yang
sesuai kebutuhan serta untuk menghindari terjadinya kekosongan
obat/ penumpukan obat (Hartini dan Sulasmono, 2008; DepKes RI,
2006; DepKes RI, 2008).
Sesuai dengan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek Sk Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004, maka dalam
membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu
memperhatikan:
a. Pola penyakit. Perlu memperhatikan dan mencermati pola
penyakit yang timbul di sekitar masyarakat sehingga apotek dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat tentang obat-obat untuk penyakit
tersebut.
b. Kemampuan/daya beli masyarakat. Tingkat ekonomi masyarakat di
sekitar apotek juga akan mempengaruhi daya beli terhadap
obat-obatan.
c. Budaya masyarakat (kebiasaan masyarakat setempat). Pandangan
masyarakat terhadap obat, pabrik obat, bahkan iklan obat dapat
mempengaruhi dalam hal pemilihan obat-obatan khususnya obat-obat
tanpa resep.
d. Pola penggunaan obat yang lalu (Hartini dan Sulasmono, 2008;
DepKes RI, 2008).
b) Pengadaan
Pengadaan merupakan suatu proses kegiatan yang bertujuan agar
tersedianya sediaan farmasi dengan jumlah dan jenis yang cukup
sesuai dengan kebutuhan pelayanan. Untuk menjamin kualitas
pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui
jalur resmi sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku (DepKes
RI, 2006; DepKes RI, 2008).
Pengadaan barang meliputi proses pemesanan, pembelian, dan
penerimaan barang. Ada tiga macam pengadaan yang biasa dilakukan di
apotek, yaitu:
a. Pengadaan dalam jumlah terbatas yang dimaksudkan untuk
pembelian barang apabila persediaan barang yang dalam hal ini
adalah obat sudah menipis.
b. Pengadaan secara berencana adalah pembelian obat berdasarkan
penjualan perminggu atau perbulan. Sitem ini dilakukan pendataan
obat-obat mana yang laku banyak dan tergantung pula pada kondisi
cuaca.
c. Pengadaan secara spekulatif dilakukan apabila aka nada
kenaikan harga serta bonus yang ditawarkan (Hartini dan Sulasmono,
2008).
c) Penyimpanan
Penyimpanan adalah kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara
menempatkan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan yang diterima
pada tempat yang aman dan dapat menjamin mutunya. Obat dan bahan
obat harus disimpan dalam wadah yang cocok dan harus memenuhi
ketentuan pembungkusan dan penandaan sesua dengan ketentuan yang
berlaku. Obat yang disimpan harus terhindar dari cemaran dan
peruraian, terhindar dari pengaruh udara, kelembaban, panas, dan
cahaya. Berdasarkan DepKes RI, (2006) dan DepKes RI, (2008), hal
hal yang harus dilakukan dalam penyimpanan adalah :
Pemeriksaan organoleptik.
Pemeriksaan kesesuaian antara surat pesanan dan faktur.
Kegiatan administrasi penyimpanan sediaan farmasi dan perbekalan
kesehatan.
Menyimpan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan pada tempat
yang dapat menjamin mutu (bila ditaruh dilantai harus di atas
palet, ditata rapi diatas rak, lemari khusus untuk narkotika dan
psikotropik).
Berdasarkan KepMenKes 1027 tahun 2004, pengeluaran barang di
apotek menggunakan system FIFO (First In First Out), demikian pula
halnya untuk obat-obat yang mempunyai waktu kadarluarsa lebih
singkat disimpan paling depan yang memungkinkan untuk diambil
terlebih dahulu (First Expire First Out) atau FEFO.
Berikut ini adalah prosedur tetap penyimpanan sediaan farmasi
dan perbekalan kesehatan :
1. Memeriksa kesesuaiaan nama dan jumlah sediaan farmasi dan
perbekalan kesehatan yang tertera pada faktur, kondisi fisik serta
tanggal kadaluarsa.
2. Memberi paraf dan stempel pada faktur penerimaan barang.
3. Menulis tanggal kadaluarsa sediaan farmasi dan perbekalan
kesehatan pada kartu stok.
4. Menyimpan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan pada rak
yang sesuai, secara alfabetis menurut bentuk sediaan dan
memperhatikan sistem FIFO (first in first out) maupun FEFO (first
expired first out).
5. Memasukkan bahan baku obat ke dalam wadah yang sesuai,
memberi etiket yang memuat nama obat, nomor batch dan tanggal
kadaluarsa.
6. Menyimpan bahan obat pada kondisi yang sesuai, layak dan
menjamin stabilitasnya pada rak secara alfabetis.
7. Mengisi kartu stok setiap penambahan dan pengambilan.
8. Menjumlahkan setiap penerimaan dan pengeluaran pada akhir
bulan.
9. Menyimpan secara terpisah dan mendokumentasikan sediaan
farmasi dan perbekalan kesehatan yang rusak/kadaluarsa untuk
ditindaklanjuti.
(DepKes RI, 2008)
2.2.4 Administrasi
Administrasi adalah rangkaian aktivitas pencatatan dan
pengarsipan, penyiapan laporan dan penggunaan laporan untuk
mengelola sediaan farmasi. Berdasarkan DepKes RI, (2006) dan DepKes
RI, (2008), kegiatan administrasi yang dapat dilaksanakan
meliputi:
a) Administrasi Umum meliputi pencatatan, pengarsipan, pelaporan
narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
b) Administrasi Pelayanan meliputi pengarsipan resep,
pengarsipan catatan pengobatan pasien, pengarsipan hasil monitoring
penggunaan obat.
Kegiatan di apotek yang berhubungan dengan administrasi adalah
:
a) Pengelolaan resep.
Menurut DepKes RI (2008), prosedur tetap pengelolaan resep
meliputi : 1. Resep asli dikumpulkan berdasarkan tanggal yang sama
dan diurutkan sesuai nomor resep.
2. Resep yang berisi narkotika dipisahkan atau digaris bawah
dengan tinta merah.
3. Resep yang berisi psikotropika digaris bawah dengan tinta
biru.
4. Resep dibendel sesuai dengan kelompoknya.
5. Bendel resep ditulis tanggal, bulan dan tahun yang mudah
dibaca dan disimpan di tempat yang telah ditentukan.
6. Penyimpanan bendel resep dilakukan secara berurutan dan
teratur sehingga memudahkan untuk penelusuran resep.
7. Resep yang diambil dari bendel pada saat penelusuran harus
dikembalikan pada bendel semula tanpa merubah urutan.
8. Resep yang telah disimpan selama dari tiga tahun dapat
dimusnahkan sesuai tata cara pemusnahan.
b) Salinan resep
Berdasarkan PerMenKes No. 922 tahun 1993, pasal 17 menyebutkan
bahwa :
1) Salinan resep harus ditandatangani oleh Apoteker.
2) Resep harus dirahasiakan dan disimpan di Apotek dengan baik
dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun.
3) Resep atau salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada
dokter penulis resep atau yang merawat penderita, penderita yang
bersangkutan, petugas kesehatan atau petugas lain yang berwenang
menurut perundang-undangan yang berlaku.
c) Pemusnahan Resep
Berdasarkan KepMenKes No. 280 tahun 1981 pasal 7 menyebutkan
bahwa :
1) Apoteker pengelola apotek mengatur resep yang telah
dikerjakan menurut urutan tanggal dan nomor urut penerimaan resep
dan harus disimpan sekurang-kurangnya tiga tahun.
2) Resep yang mengandung narkotika harus dipisahkan dari resep
lainnya
3) Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu dimkasud ayat
(1), dapat dimusnahkan
4) Pemusnahan resep dimaksudkan ayat 3 pasal ini, dilakukan
dengan cara dibakar atau dengan cara lain yang memadai oleh
apoteker pengelola apotek bersama-sama dengan sekurangkurangnya
seorang petugas Apotek.
5) Pada pemusnahan resep, harus dibuat berita acara pemusnahan
sesuai dengan bentuk yang telah ditentukan dalam rangkap emapat dan
ditandatangani oleh mereka yang dimaksud pada ayat 4 pasal ini.
Berikut ini adalah prosedur tetap pemusnahan resep, meliputi
:
1. Memusnahkan resep yang telah disimpan tiga tahun atau
lebih.
2. Tata cara pemusnahan:
Resep narkotika dihitung lembarannya
Resep lain ditimbang
Resep dihancurkan, lalu dikubur atau dibakar
3. Membuat berita acara pemusnahan sesuai dengan format
terlampir.
d) Psikotropika
Pencatatan dan pelaporan terhadap pengelolaan psikotropika
diatur dalam pasal 33 UU no. 5 tahun 1997 yakni Pabrik obat,
pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi
Pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan,
dokter, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan, wajib
membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan masing-masing yang
berhubungan dengan psikotropika. Pada UU No.5 tahun 1997 pasal 53
ayat 1 disebutkan bahwa pemusnahan psikotropika dilaksanakan dalam
hal :
a. Berhubungan dengan tindak pidana;
b. Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang
berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi
psikotropika;
c. Kadaluwarsa;
d. Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan
kesehatan dan/atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Dalam UU No. 5 tahun 1997 ini tidak mengatur secara detail
tentang teknis pelaksanaan pemusnahan psikotropika. Dalam pasal 12
ayat 2 KepMenKes No.1332 tahun disebutkan bahwa : Sediaan Farmasi
yang karena sesuatu hal tidak dapat diigunakan lagi atau dilarang
digunakan, harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau
dengan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri. Sedangkan pasal 53
ayat 2 hanya menyebutkan tentang siapa yang memusnahkan
psikotropika.
e. NarkotikaPemusnahan narkotika diatur dalam pasal 60 dan pasal
61 UU No. 22 tahun 1997. Pasal 60menyebutkan bahwa pemusnahan
dilakukan dalam hal:
a. Diproduksi tanpa memenuhi standard an persyaratan yang
berlaku dan atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi.
b. Kadaluarsa
c. Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan
kesehatan dan atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan; atau
d. Berkaitan dengan tindak pidana.
Dan pada Pasal 61 disebutkan bahwa :
1) Pemusnahan narkotika sebagaiman dimaksud dalam pasal 60 ayat
a, b, c dilaksanakan oleh Pemerintah, orang, atau badan yang
bertanggung jawab atas produksi dan atau peredaran narkotika,
sarana kesehatan tertentu, serta lembaga ilmu pengetahuan tertentu
dengan disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk Menteri Kesehatan.
2) Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dengan
pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a. Nama jenis, sifat dan jumlah;
b. Keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun
dilakukan pemusnahan; dan
c. Tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat yang
menyaksikan pemusnahan.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatur
dengan Keputusan Menteri Kesehatan.2.5. Evaluasi Mutu Pelayanan
Apoteker Di ApotekMenurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia nomor 1027/2004 pada bab IV terdapat indikator untuk
mengevaluasi mutu pelayanan kefarmasian adalah :1.Tingkat kepuasan
konsumen : dilakukan dengan survei berupa angket atau wawancara
langsung.
2.Dimensi waktu : lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah
ditetapkan).
3.Prosedur Tetap (Protap) : Untuk menjamin mutu pelayanan sesuai
standar yang telah ditetapkan.
Disamping itu prosedur tetap bermanfaat untuk:
Memastikan bahwa praktik yang baik dapat tercapai setiap
saat;
Adanya pembagian tugas dan wewenang;
Memberikan pertimbangan dan panduan untuk tenaga kesehatan lain
yang bekerja di apotek;
Dapat digunakan sebagai alat untuk melatih staf baru;
Membantu proses audit.
BAB IITINJAUAN KOMPETENSI ATAU PHARMACEUTICAL SCIENCES
Adapun tinjauan pharmaceutical sciences yang diperlukan atau
yang mendasari agar apoteker dapat menjalankan tupoksi (tugas pokok
fungsi) apoteker di unit farmasi komunitas/apotek berkatian dengan
sistem kesehatan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial)-Kesehatan 2014 adalah sebagai berikut.a. Farmasi Forensik
dan pemahaman perundang-undangan.
Segala prosedur dalam pelayanan kefarmasian kepada pasien, tata
cara permohonan izin pendirian dan pengelolaan apotek, serta
kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi yang
dilakukan oleh seorang apoteker memerlukan pemahaman mengenai
farmasi forensik dan perundang-undangan.b. Farmakoterapi dan
Farmakologi-Toksikologi
Dalam menerapkan pengobatan yang rasional kepada pasien,
diperlukan pemahaman mengenai bidang Farmakoterapi dan
Farmakologi-Toksikologi. Hal ini untuk menghindari tejadinya
medication eror dalam pelayanan kefarmasian.
c. Compounding and Dispensing serta Komunikasi dan
Konseling.
Untuk dapat melakukan penyerahan obat maupun sediaan farmasi
kepada pasien berdasarkan pengobatan yang rasional, diperlukan
pemahaman bidang ilmu Compounding and Dispensing. Untuk
meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani terapi, pemahaman
apoteker dalam komunikasi dan konseling sangat diperlukan, terutama
dalam tahap promosi dan edukasi serta pelayanan residensial.
d. Farmasetika dan Teknologi Sediaan Non-Steril.
Untuk dapat memformulasi sediaan khusus seperti pembuatan sirup,
puyer, salep dan lain-lain untuk mendukung terapi pengobatan yang
rasional, diperlukan pemahaman terhadap bidang ilmu Farmasetika dan
Teknologi Sediaan Non-Steril.e. Manajemen Farmasi dan
Kewirausahaan.
Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan, sumber daya
manusia, serta perbekalan kesehatan memerlukan pemahaman mengenai
bidang ilmu Manajemen Farmasi dan Kewirausahaan. f. Farmasi Klinik
dan Pharmaceutical CareDalam penerapan perundang-undangan berkaitan
pelayanan kefarmasian, terutama mencakup monitoring terapi untuk
mencapai terapi yang maksimal pada pasien, pelayanan residensial
diperlukan pemahaman farmasi klinik dan pharmaceutical care.Dalam
KepMenKes No. 1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian
di Apotek, Apoteker di apotek senantiasa harus memiliki
kompetensi:
1. Menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik.
Melalui sistem BPJS-Kesehatan, Apoteker sebagai pengelola apotek
harus dapat memberikan pelayanan kefarmasian yang profesional.
Dalam memberikan pelayanan, apoteker harus dapat mengintegrasikan
pelayanannya dalam sistem pelayanan kesehatan kepada masyarakat
secara keseluruhan sehingga dihasilkan sistem pelayanan kesehatan
yang berkesinambungan.
2. Mengambil keputusan yang tepat.
Apoteker harus mampu mengambil keputusan yang tepat, berdasarkan
pada efikasi, efektifitas dan efisiensi terhadap penggunaan obat
dan alat kesehatan.
3. Kemampuan berkomunikasi antar profesi
Apoteker harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik
dengan pasien maupun dengan profesi kesehatan lainnya secara verbal
maupun nonverbal.
4. Menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi
multidispliner.
Apoteker harus mampu menjadi pemimpin yaitu mampu mengambil
keputusan yang tepat dan efektif, mampu mengkomunikasikannya dan
mampu mengelola hasil keputusan tersebut.
5. Mempunyai kemampuan dalam mengelola sumber daya secara
sefektif
Dalam mengelola sumber daya (manusia, fisik, anggaran) dan
informasi, juga harus dapat dipimpin dan memimpin orang lain dalam
tim kesehatan.
6. Selalu belajar sepanjang karier.
Apoteker harus selalu belajar baik pada jalur formal maupun
informal sepanjang kariernya, sehingga ilmu dan keterampilan yang
dipunyai selalu baru (up to date).
7. Membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk
meningkatkan pengetahuan.
Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk mendidik dan melatih
sumber daya yang ada, serta memberi kesempatan untuk memperoleh
pengalaman untuk meningkatkan keterampilan.
BAB III
RANGKUMAN TUPOKSI
Peran Apoteker Sebagai Profesional
Peran Apoteker Sebagai Manajerial
Rangkuman Kompetensi Apoteker
Menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik.
Mengambil keputusan yang tepat.
Kemampuan berkomunikasi antar profesi
Menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi
multidispliner.
Mempunyai kemampuan dalam mengelola sumber daya secara
sefektif
Selalu belajar sepanjang karier.
Membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk
meningkatkan pengetahuan.
Rangkuman Pharmaceutical Sciences Apoteker
DAFTAR PUSTAKA
Bahaudin, N. tt. Implementasi Kebijakan Penggunaan Obat Rasional
(POR) Di Indonesia. Jakarta : Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Desselle, S.P. and D.P. Zgarrick. 2009. Pharmacy Manajement
Essential For All Practice Setting 2nd ed. New York : Mc. GrawHill
Medical.
Hartini, Y.S. dan Sulasmono. 2008. Apotek Ulasan Beserta Naskah
Peraturan Perundang-Undangan Terkait Apotek Termasuk Naskah Dan
Ulasan Permenkes Tentang Apotek Rakyat. Yogyakarta : Universitas
Sanata Dharma.Orion. 1997. Pharmacoeconomics Primer and Guide
Introduction to Economic Evaluation. Virginia: Hoesch Marion
Rousell Incorporation.
Siregar, C. J. P., dan Lia A. 2004. Farmasi Rumah Sakit Teori
dan Penerapan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.Syahruddin.
2011. Manajemen Koperasi. Jakarta: Fakultas Ekonomi-Universitan
Persada Indonesia.
Vogenberg, F.R. 2001. Introduction To Applied Pharmacoeconomics.
USA: McGraw-Hill Companies.
Windarti, S., Sumiyatun., R.Puspita. tt. Pengembangan Patient
Medication Record System (PMR) Sebagai Alat Bantu Peningkatan
Kualitas Pelayanan Kefarmasian. Yogyakarta : STMIK AKAKOM
Yogyakarta.Peraturan Perundang-Undangan yang digunakan :
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Konvensi ILO
(International Labour Office) No. 102 Tahun 1952 Tentang (Standar
Minimal) Jaminan Sosial
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 Tentang
Usaha Perasuransian. Undang-Undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Undang-Undang No. 24 tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional Undang-Undang
No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Undang-Undang No.5 Tahun 1997
tentang Psikotropika Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang
Narkotika Peraturan Presiden Republik Indonesia No.12 tahun 2013
tentang jaminan kesehatan PP No.72 Tahun 1998 tentang Pengamanan
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan PP No.51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian PerMenkes No. 1027/MenKes/SK/IX Tahun 2004
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. PerMenKes No.
919/MenKes/Per/X/1993 tentang Kriteria Obat yang Dapat Diserahkan
Tanpa Resep. PerMenKes No.922 Tahun 1993 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pemberian Izin Apotik Permenkes No.918/Menkes/PER/X/1993
tentang Pedagang Besar Farmasi
KepMenKes No. 1332 Tahun 2002 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pemberian Izin Apotek. KepMenKes No. 280 tahun 1981 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pengelolaan Apotek Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (SK nomor
1027/Menkes/SK/IX/2004). Surat Edaran Direktur Jendral Pengawasan
Obat dan Makanan Depkes RI No. 336/E/SE/77 tentang salinan resep
narkotika.