Seri Kertas Kerja JSPDL KELAS MENENGAH SAKAI DAN GERAKAN CIVIL SOCIETY Muhammad Ansor No. 4 April 2007 Jaringan Studi Pemberdayaan Demokrasi Lokal Jl. Kutilang sakti Blok B No 21 Panam Pekanbaru 0761-7771863 [email protected]
Seri Kertas Kerja JSPDL
KELAS MENENGAH SAKAI DAN GERAKAN CIVIL SOCIETY
Muhammad Ansor
No. 4 April 2007
Jaringan Studi Pemberdayaan Demokrasi Lokal Jl. Kutilang sakti Blok B No 21 Panam Pekanbaru 0761-7771863 [email protected]
1
Kelas Menengah Sakai dan Gerakan Civil Society
Muhammad Ansor
No. 4 April 2007
Jaringan Studi Pemberdayaan Demokrasi Lokal
JSPDL Jl. Kutilang Sakti Blok B No 21 Panam Pekanbaru
0761-7771863 [email protected]
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang. Anda diperbolehkan mengutip isi dalam tulisan ini sejauh dilakukan berdasarkan kaidah-
kaidah pengutipan secara akademis.
Editor Seri Kertas Kerja JSPDL Muhammad Darwis
Pandangan dan analisa yang dikemukakan dalam seri kertas kerja JSPDL ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan lembaga.
2
KELAS MENENGAH SAKAI DAN GERAKAN
CIVIL SOCIETY
Muhammad Ansor
Saya ingin jelaskan bahwa Sakai sudah maju. Sudah ada anak Sakai yang bekerja di perusahaan asing. Ada pula yang menjadi anggota dewan dan camat. Sakai tidak lagi terbelakang seperti dibayangkan
banyak orang. Memang ada yang masih terbelakang, tetapi juga ada yang sudah modern.
Suhardi, Ketua Umum IPSR, 15/10/2005.
Pendahuluan
Tulisan berikut membahas gerakan civil society dalam komunitas Sakai dengan meneropong
aktivisme anggota kelas menengah mereka. Pemaparan dibagi ke dalam tiga sub-pembahasan
utama. Bagian pertama memaparkan diskursus kelas menengah dalam hubungannya dengan
gerakan civil society. Berbagai pandangan tentang konsepsi kelas menengah yang
dikembangkan di sini menekankan perlunya memotret gerakan kelas menengah di pedesaan
atau komunitas yang dipersepsikan marjinal. Teoritisasi konsep kelas menengah diarahkan
membangun argumentasi bahwa poin mendasar bagi kategorisasi kelas menengah adalah
aktivisme di ruang publik dalam memperjuangkan hak-hak kelas atau kepentingan komunitas
masing-masing. Bagian kedua, akan memaparkan profil perkumpulan yang memiliki peranan
signifikan bagi pertumbuhan gerakan kelas menengah Sakai (selanjutnya disingkat: KMS),
yakni Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Sakai (HPPMS), Ikatan Pemuda Sakai Riau
(IPSR), dan Lembaga Adat Melayu Sakai Riau (LAMSR). Selanjutnya, di pembahasan bagian
ketiga, penulis akan memaparkan bagaimana KMS, melalui perkumpulan-perkumpulan
tersebut, merespon isu-isu sosial-politik yang terkait dengan kepentingan mereka. Sedikitnya
3
tiga masalah akan dibahas guna memotret dinamika gerakan KMS secara detail, yakni respon
mereka dalam menangkap peluang politik baru, peningkatan kualitas pendidikan dan
lapangan pekerjaan, serta gerakan penguatan identitas kultural dan budaya Sakai.
Sepintas terkesan bahwa mempersandingkan terminologi “kelas menengah”, “Sakai”
dan “civil society” merupakan sebentuk penyimpangan atau menyalahi kelaziman. Terminologi
“Sakai”, dalam persepsi pemikiran banyak orang terlanjur dipersepsikan sebagai komunitas
terbelakang dan berbasis pedalaman. Sementara, kelas menengah merupakan kategorisasi
sosial yang digunakan untuk menggambarkan strata sosial dalam masyarakat modern,
bahkan dalam batas tertentu cenderung bersifat urban community (komunitas perkotaan).
Kesan penyimpangan dari kelaziman bertambah ketika kedua kategorisasi tersebut
dikombinasikan dengan terminologi gerakan civil society. Hal ini agaknya pula dikarenakan
istilah civil society sudah terlanjur digunakan untuk menganalisa gerakan sosial di komunitas
perkotaan atau modern. Maka dapat dimengerti apabila sementara orang akan menilai judul
artikel di atas sebagai rumusan yang kurang lazim digunakan.
Tetapi, pada saat melakukan penelitian mengenai Respon Orang Sakai, Talang Mamak
dan Duano Terhadap Program Pemerintah Tentang Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil
(KAT) di Propinsi Riau, penulis mendapatkan pembenaran bagi penggunaan rumusan judul di
atas. Betapa tidak, sepanjang pengambilan data lapangan selama bulan Oktober 2005 yang
sebagian besar menjadi bahan penulisan artikel berikut, penulis mendapati fenomena
mencengangkan dan berbeda dari narasi dominan seperti ditemukan di hampir semua buku
yang membicarakan konstruksi identitas komunitas Sakai.
4
Masyarakat Sakai yang bagi banyak orang dipersepsikan marjinal, terpencil, tidak
berpendidikan dan streotip-streotip sejenis, faktanya tidaklah bersifat monolitik. Suhardi,
Ketua Umum IPSR, menggambarkan masyarakat Sakai “ada yang masih terbelakang, tetapi
ada juga yang sudah modern” (Wawancara Suhardi, 14/10/2005) Tidak dapat menerima
dengan konstruksi identitas yang dicangkokkan kepada komunitas mereka, sebagian orang
Sakai, terutama seperti dimotori KMS mengartikulasikan penolakan mereka dengan
membentuk perkumpulan-perkumpulan yang belakangan melahirkan gerakan masyarakat
sipil. Tujuan mereka, mengkonstruksi citra baru Sakai yang modern dan mendekonstruksi
narasi dominan yang dilekatkan pihak luar terhadap komunitas mereka. Secara nominal,
populasi KMS memang diperkirakan hanya di bawah satu persen dari total anggota
komunitas Sakai. Tetapi, posisi strategis ditambah kemampuan mereka tampil di ruang
publik, menjadikan KSM memiliki posisi penting, tidak saja di internal komunitas Sakai
sendiri, melainkan pula di hadapan pemerintah daerah atau pihak-pihak di luar mereka.
Diskursus Tentang Kelas Menengah dan Civil society
Membaca gerakan kelas menengah bukan perkara mudah. Terlebih apabila dipertautkan
dengan gerakan civil society. Terkait dengan kelas menengah, kesulitan muncul barangkali
lantaran definisi tentang kelas menengah merupakan kategorisasi sosial yang dinamis dan
tidak bermakna tunggal. Menurut Ariel Heryanto, kelas menengah merupakan kategorisasi
sosial yang dipahami secara bervariasi, bahkan acapkali saling berlawanan. Heryanto
menegaskan, beberapa pandangan yang saling berlawanan terlanjur dominan dalam kajian
kelas menengah Indonesia. Ada yang berpendapat bahwa kelas menengah dalam masyarakat
5
ini (seharusnya) secara moral hebat dan progresif. Sejumlah pengamat lain menolak
pandangan semacam itu dan secara esensial menganggap kelas ini konservatif dan sangat
oportunis. (Heryanto, 2004:50-52)
Terlepas dari pertentangan antara dua kutub pandangan tersebut, sesungguhnya
terdapat keserupaan antara keduanya dalam mengidentifikasi siapa kelompok kelas
menengah. Menurut Heryanto, yang lazim sama dalam semua ragam kelas menengah (tanpa
kesamaan ini mereka tidak dapat disebut sebagai kelas menengah) adalah kiblat atau ikatan
mereka pada gabungan beberapa hal berikut ini: tinggal di perkotaan; pekerjaan dan
pendidikan modern; dan selera budaya, yang tampil secara mencolok, tetapi tidak semata-
mata, dalam konsumsi gaya hidup. Hal lain yang mempersamakan kedua kutub tersebut
adalah bahwa secara ekonomi, orang-orang dalam kelas menengah menduduki posisi yang
jelas berbeda, dari mereka yang lazim disebut kelas pekerja. Mereka juga berbeda dari
kelompok yang paling diuntungkan dalam tatanan sosial yang ada berkat kekuasaan ekonomi
atau birokratis mereka yang besar. (Heryanto, 2004:54)
Menurut Joel Kahn, memiliki gaji, kekayaan, pekerjaan, keterampilan, pengetahuan atau
kepakaran tertentu, tidak secara otomatis membuat seseorang menjadi anggota kelas
menengah. Namun hemat kami, demikian Kahn melanjutkan, apa yang membuat seseorang
menjadi anggota kelas menengah adalah aspek penampilan penggunaan pengetahuan dan
keterampilan semacam itu dalam lingkungan publik tertentu yang berwibawa secara moral
bagi tindakan dan pelaku tindakan semacam itu (Lihat, Kahn, 1996:12-33). Seseorang
dikelompokkan ke dalam kelas menengah bukan karena kategorisasi ekonomi semata. Paralel
dengan Kahn, Heryanto mengingatkan bahwa dimensi ekonomi penting, namun tidak cukup
6
sebagai satu-satunya tolok ukur sifat kelas menengah, terutama untuk unsur-unsur
menengah yang secara politik lebih aktif (Heryanto, 2004:54-55).
Pandangan Heryanto yang secara ketat mempersyaratkan kelas menengah mesti
berbasis urban (perkotaan) hemat kami menafikan kemungkinam kehadiran kelompok kelas
menengah berbasis pedesaan. Berbeda dengan Heryanto, Kuntowijoyo menyatakan
kemungkinan kehadiran kelompok kelas menengah berbasis pedesaan, terutama dari para
pemilik tanah dalam skala besar. Juga berbeda dengan Heryanto, Kuntowijoyo
mengelompokkan kalangan birokrat dan pegawai pemerintah sebagai kelas menengah,
terlepas dari artikulasi mereka di ruang publik. (Lihat, Kuntowijoyo, 1985:36) Sebab itu,
kategorisasi kelas menengah sesungguhnya tidak memiliki pembedaan yang tegas apabila
dilihat lokus geografis desa-kota dan pemerintah-non pemerintah. Mereka bisa saja hadir
dari salah satu elemen dari kedua kutub tersebut, atau bahkan tidak dari keduanya.
Paralel dengan hal tersebut, pemaparan berikut secara kategoris lebih cenderung
sepandangan dengan konseptualisasi Kuntowijoyo dalam mengidentifikasi kelas menengah.
Kelompok kelas menengah tidak mesti berbasis perkotaan, tetapi juga kadang-kadang
muncul dari lingkungan pedesaan atau kelompok marjinal. Meminjam kerangka pemikiran
Gramsci tentang konsepsi intelektual organik yang merupakan perwakilan (representasi)
dari kelas (Gramsci, 1996:3-23), penulis hendak mengatakan bahwa kelompok kelas
menengah pun merupakan representasi dari kelas atau komunitas mereka masing-masing.
Kelompok kelas menengah di perkotaan sangat boleh jadi memiliki basis ekonomi,
keterampilan, kompetensi intelektual, yang berbeda dengan konfigurasi kelas menengah di
pedesaan.
7
Singkatnya, kelas menengah tidak semata hadir dari kelompok wartawan, mahasiswa,
dosen, intelektual publik, seniman, pengacara, atau aktivis partai politik atau organisasi-
organisasi non-pemerintah yang tinggal di perkotaan, melainkan pula hadir dari lembaga-
lembaga adat maupun aktivis sosial di kampung atau pedesaan. Alasannya, kategorisasi dan
definisi kelas menengah yang bias urban community tersebut tidak banyak membantu dalam
menjelaskan fenomena kelas menengah dalam kasus Sakai. Sehingga, acuan mendasar yang
digunakan dalam mengidentifikasi kelas menengah Sakai seperti dimaksud tulisan berikut
adalah aktivisme di ruang publik dalam memperjuangkan kepentingan kelompoknya,
sehingga memungkinkan mereka menikmati status sosial yang lebih tinggi dari mayoritas
anggota masyarakat lain dalam komunitas mereka. Aktivisme KMS tersebut diekspresikan
melalui gerakan masyarakat sipil (civil society), baik melalui perkumpulan atau organisasi non-
pemerintah, LSM, ikatan, paguyuban maupun instrumen gerakan sosial lain.
Brief Review Perkumpulan KMS
Berbasis pemukiman di wilayah administratif Kabupaten Bengkalis, Riau, tepatnya di dua
Kecamatan yakni Mandau dan Pinggir, Sakai merupakan salah satu suku asli (indegeneous
people) di Riau yang dengan populasi diperkirakan mencapai hampir lima ribu jiwa. Telah
disinggung bahwa selama berabad-abad orang-orang Sakai dipersepsikan sebagai komunitas
marjinal. Bahkan berdasarkan terminologi resmi negara, mereka dikelompokkan ke dalam
salah satu Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Indonesia (SK Mensos RI, Jakarta, 1999:2).
Parsudi Suparlan mencatat bahwa sebelum wilayah Daratan Riau berkembang karena adanya
pembangunan ekonomi yang dilaksanakan pemerintah, dan sebelum kota Duri yang sekarang
8
menjadi ibu kota Kecamatan Mandau itu berkembang karena meningkatnya kegiatan
eksplorasi minyak di Riau oleh PT. CPI di permulaan tahun 1970-an, orang-orang Sakai
hidup secara terpencar-pencar di wilayah tersebut (Suparlan, 1995:69-71).
Informan yang kami wawancarai menceritakan bahwa wilayah yang sekarang dikenal
sebagai Duri, ibu kota Mandau dahulu merupakan salah pusat pemukiman orang-orang
Sakai. Namun, ketika Duri mulai dibangun dan dikembangkan, orang-orang Sakai yang
menghuni wilayah-wilayah di sekitar kota tersebut diminta pergi dan diberi pesangon ala
kadarnya sebagai kompensasi atas tanah dan pepohonan serta tanam-tanaman yang ada di
ladang mereka. Tak pelak, orang-orang Sakai semakin tergusur. Mereka berpindah ke daerah
yang lebih pedalaman, menjalani kehidupan secara marjinal dan terbelakang secara sosial,
ekonomi dan politik (Wawancara Yatim, 12/10/2005).
Hampir dipastikan tidak semua orang Sakai merelakan diri menjalani kehidupan dengan
kondisi demikian. Meski tidak banyak dari mereka yang mampu melawan konstruksi sosial
yang mengakibatkan kondisi mereka menjadi demikian. Sebab itu, adalah fenomena menarik
ketika dewasa ini kita mulai menyaksikan kegairahan orang-orang Sakai memperjuangkan
aspirasi mereka melepaskan diri dari telikungan keterbelakang, terlebih hal tersebut
dilakukan melalui kerja-kerja organisasi dan gerakan sosial yang sistematis. (Acuan
kekhususan waktu [dewasa ini] menjadi penting karena kita tidak ingin memotret KMS
secara ahistoris dan abstrak). Mobilisator gerakan adalah kelompok kelas menengah mereka.
Sekadar tambahan, dengan mendasarkan pada perbincangan teoritis sebelumnya, terminologi
kelas menengah digunakan di sini untuk merujuk pada orang-orang Sakai yang akibat
aktivisme mereka di ruang publik, menjadikan mereka memiliki status sosial lebih tinggi
dibanding mayoritas anggota masyarakat. Jadi, status sosial tersebut didapatkan berkat
9
aktivisme yang dilakukan di ruang publik terutama dalam memperjuangkan kepentingan
kelas atau kelompok mereka, baik melalui organisasi sipil maupun gerakan individual.
Terkait dengan gerakan KMS yang dilakukan melalui pembentukan perkumpulan atau
organisasi, antara lain kita menyaksikan HPPMS, IPSR, dan LAMSR. Melalui organisasi-
organisasi tersebut, mereka menyuarakan aspirasi sosial, politik, ekonomi maupun budaya
kelompok mereka baik kepada pemerintah daerah, atau perusahaan-perusahaan yang
beroperasi di sekitar wilayah mereka. Di luar perkumpulan yang telah disebutkan, disaksikan
pula aktivisme anggota KMS di ruang publik dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat
mereka, tetapi dilakukan secara individul. Meski demikian, perlu segera disusulkan
betapapun aktivisme kelompok kedua tersebut sesungguhnya tidak sepenuhnya individual.
Sebab, biasanya mereka ditopang basis lembaga tertentu, tetapi bukan oleh perkumpulan
yang berbasis primodialisme etnisitas atau kesukuan.
Satu-satunya perkumpulan yang memediasi aktivisme pemuda pelajar, dan mahasiswa
Sakai adalah HPPMS. Berpusat di Pekanbaru semenjak didirikan pada 28 Oktober 2000,
HPPMS merupakan hasil pergumulan berbagai isu dan peristiwa dalam komunitas mereka,
yang melahirkan keperihatinan dan kepedulian para pemuda, pelajar dan mahasiswa yang
belakangan memupuk semangat solidaritas melalui pembentukan perkumpulan. Inisitif
pembentukan perkumpulan, seperti disebutkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga, lebih dari sekedar membangun silaturrahmi antara para anggotanya, melainkan
yang lebih mendasar adalah menggalang solideritas anggota guna peningkatan sumber daya
generasi muda dan pelestarian otentitias adat budaya Sakai.
10
Inisiator pembentukan perkumpulan HPPMS adalah Sahrir, seorang pemuda asal desa
Pematang Pudu, mahasiswa program Pascasarjana UNRI dan anggota DPRD Bengkalis.
Sebelum terpilih menjadi anggota DPRD melalui pemilu 2004, Sahrir dikenal luas di
Pekanbaru sebagai aktivis gerakan mahasiswa yang terlibat aktif dalam gerakan reformasi
tahun 1998. Berkat aktivismenya dalam gerakan mahasiswa selama menempuh pendidikan
sarjana di sebuah Perguruan Tinggi Swasta di Pekanbaru atas sponsor dari perusahaan
swasta terbesar yang bergerak di bidang perminyakan berbasis di Riau; tidak mengejutkan
apabila Sahrir memiliki jaringan luas di kalangan elit politik Riau dan utamanya Bengkalis
sehingga memungkinkan dirinya bergabung dengan partai Golkar, yang kemudian
menghantarkan dirinya menjadi anggota legislatif. Menjadi Ketua Umum HPPMS untuk
periode pertama kali, Sahrir mencerminkan profil sedikit dari anggota masyarakat Sakai yang
mengenyam berpendidikan hingga tingkat sarjana dan berhasil berkat kompetensi
kecendikiawanan tersebut.
HPPMS bukanlah organisasi mahasiswa dengan basis massa melimpah, setidaknya
dikarenakan secara faktual anggota masyarakat Sakai yang hingga dewasa ini mengenyam
pendidikan masih relatif sedikit. Berdasarkan wawancara Sahrir dengan reporter sebuah
koran lokal di Riau, disebutkan bahwa sekitar 52 anak Sakai sekarang sedang menempuh
studi di pelbagai Perguruan Tinggi di Pekanbaru (Dumai Pos, 3/10/2005:9-10). Para
mahasiswa tersebut sebagian besar merupakan pegiat sekaligus lokomotif HPPMS.
Betapapun perkumpulan ini melingkupi pemuda non-mahasiswa dan pelajar tingkat SMU
atau di bawahnya, namun tidak banyak eksponen kedua kelompok ini yang aktif dalam
kepengurusan HPPMS.
11
Telah dijelaskan sebelumnya, misi dan cita-cita perkumpulan adalah menggalang
solideritas kebangkitan masyarakat Sakai. Solideritas atas nama kebangkitan dinilai relevan
mengingat konstruksi tentang Sakai selama ini sebagai komunitas terbelakang perlu dilawan
dengan menciptakan konstruksi identitas tandingan: sebagai kelompok terdidik dan aktif
dalam gerakan sosial. Sejauh pengamatan kami, aktivisme HPPMS masih sederhana: mencari
dan mengelola dana beasiswa bagi anak-anak Sakai yang menempuh studi Perguruan Tinggi,
memfasilitas pertemuan-pertemuan terutama yang menyangkut penguatan identitas budaya
mereka.
Telah disinggung, betapapun HPPMS mencantumkan kata “Pemuda” dalam identitas
resmi perkumpulan, namun secara faktual sayap pemuda non-kampus tidak mendapat ruang
memadai. Sebagian mereka dilibatkan terutama pada saat-saat pelaksanaan kegiatan tertentu,
tetapi tidak pada saat-saat perancanaan. Sekretariat HPPMS yang berada di Pekanbaru juga
menyulitkan kelompok Sakai pemuda di Duri untuk terlibat aktif dalam setiap aktivitas
organisasi. Merasa tidak banyak tempat untuk terlibat dalam penentuan arus kegiatan
organisasi, ditambah dengan persepsi bahwa aspirasi yang tidak tersalurkan melalui HPPMS,
beberapa anggota dari sayap pemuda Sakai di Duri belakangan mendeklarasikan
perkumpulan baru: IPSR.
Didirikan pada 2001 dengan basis kegiatan di Duri, IPSR mulanya bergerak di bidang
ketenaga-kerjaan. Visi dan misi IPSR difokuskan untuk memperjuangkan agar anak-anak
Sakai dapat dipekerjakan di perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah Duri.
“Memang belum banyak yang dapat kita lakukan”, demikian menurut Suhardi, “tapi dengan
IPSR kita menjadi lebih diperhitungkan. Melalui oganisasi, keberadaan anak-anak Sakai
diakui”. Selain di bidang ketenaga-kerjaan, IPSR kegiatan berfokus pada peningkatan SDM,
12
dengan cara mencari bantuan beasiswa bagi anak-anak Sakai. Untuk kepentingan
peningkatan SDM tersebut, IPSR sering memfasilitasi pelatihan-pelatihan bagi anak-anak
Sakai, guna menyiapkan agar mampu menangkap kesempatan-kesempatan kerja di
perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak di sektor industri dan pertambangan yang
beroperasi di lingkungan mereka. (Wawancara Suhardi, 15/10/2005).
Lokomotif sekaligus Ketua Umum pertama IPSR adalah Suhardi. Seperti halnya Sahrir,
Suhardi merupakan potret generasi muda Sakai yang sudah mengalami modernisasi.
Menyelesaikan sarjana di Perguruan Tinggi Swasta di Jogyakarta, Suhardi kini bekerja
sebagai karyawan tetap di kelompok perusahaan Pertamina pada bagian Enginering dan pada
saat-saat tertentu diminta menjadi Humas Perusahaan (public relation) utamanya apabila
berhubungan dengan masyarkat Sakai. Juga seperti halnya Sahrir, Suhardi pernah menjadi
calon anggota legislatif pada pemilu 2004 dari wilayah pemilihan Kecamatan Pinggir meski
dirinya tidak seberuntung Sahrir yang kini duduk dilegislatif. Suhardi kalah dalam pesta
demokrasi 2004, karena, sebagaimana pengakuannya, “basis utama dukungan untuk saya ada
di Mandau, tapi saya ditempatkan untuk pemilihan daerah Pinggir” (Wawancara Suhardi,
15/10/2005).
Tetapi agaknya yang membedakan Suhardi dengan Sahrir adalah lingkungan keluarga
Suhardi yang merupakan kelompok elite adat Sakai dan tuan tanah di Duri. Ini tampaknya
menjadikannya tidak begitu sulit untuk mengenyam pendidikan hingga Perguruan Tinggi.
Kakek Suhardi, Ujang Ganti, merupakan Batin Tertinggi Sakai dengan gelar Batin Betuah,
sementara bapaknya, Abdul Karim adalah mantan karyawan tetap Pertamina, yang kini
menjadi kontraktor di Duri. Suhardi berasal dari lingkungan KMS yang tidak hanya
berpengaruh di komunitas Sakai, melainkan pula terhadap pemerintah daerah Bengkalis.
13
Keluarga Suhardi memiliki posisi berpengaruh di Duri, terlihat bagaimana pendapat mereka
dipertimbangkan dalam penentuan jabatan-jabatan publik di Bengkalis, setidaknya di wilayah
yang menyangkut kepentingan komunitas Sakai.
Melalui IPSR, Suhardi telah mempelopori modernisasi dan mempraktikkan pola-pola
masyarakat modern dalam menyuarakan kepentingan-kepentingan sosial-politik dan
ekonomi mereka. Agaknya menarik dicatat, dalam menyalurkan aspirasi mereka, Suhardi
tampaknya tidak begitu antusias menyampaikan aspirasi melalui aksi-aksi demontrasi di
lapangan. Berdasarkan wawancara, Suhardi lebih cenderung memilih menyampaikan aspirasi
masyarakat Sakai melalui pola-pola diplomasi dan diskusi. Tetapi, demikian Suhardi
menuturkan, kalau pendekatan demikian sudah tidak dapat membuahkan hasil, maka “aksi-
aksi lapangan melalui demonstrasi baru boleh digunakan” (Wawancara Suhardi,
15/10/2005)..
Institusi civil society berikutnya adalah LAMSR. Didirikan pada tahun 1999, LAMSR
merupakan lembaga adat dengan basis kegiatan di Duri yang merupakan rerpresentasi
pimpinan adat masyarakat Sakai. Visi LAMSR adalah melakukan penguatan identitas
kultural masyarakat adat Sakai guna membela dan mendapatkan hak-hak sosial-politik dan
ekonomi komunitas yang ditujukan untuk mengurangi ‘keterbelakangan’ dan kemiskinan
yang dialami masyarakat Sakai. Didirikannya kembali LAMSR setelah dalam waktu yang
lama kelembagaan adat Sakai mengalami kevakuman memiliki tujuan utama untuk
membantu komunitas Sakai menjadi modern agar mampu berpartisipasi dalam proses-proses
modernisasi di satu pihak, sembari tetap mempertahankan otentititas identitas kultural
mereka di pihak lain.
14
Lokomotif yang sekaligus Ketua Umum LAMSR, Muhammad Yatim merupakan potret
figur kharismatik yang selalu diterpa kegelisahan mendalam atas kondisi yang dialami
masyarakat Sakai. Meskipun hanya sempat mengeyang pendidikan Sekolah Rakyat (SR),
setingkat Sekolah Dasar (SD) pada masa sekarang, kecermelangan pikiran-pikiran Yatim
menjadikannya sempat puluhan tahun berkerja di perusahaan internasional yang bergerak di
bidang perminyakan, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengambil pensiun dini. Selain
memiliki keluasan wawasan terhadap segala pernik menyangkut identitas kultural
masyarakat adat Sakai, Yatim juga memiliki kemampuan retorika dan artikulasi lisan yang
sistematis sehingga dirinya acapkali menjadi rujukan utama dalam setiap hal yang berkaitan
dengan masyarakat Sakai.
Selama wawancara terungkap gagasan menggebu-gebu Yatim atas sebuah proyek
kebangkitan Sakai. “Alasan mengambil pensiun dini”, demikian dia mengisahkan, “adalah
agar memiliki waktu lebih banyak untuk mencurahkan perhatian kepada masyarakat”. Yatim
menuturkan, “pengalaman saya berkunjung di beberapa daerah di Indonesia, saya
menyaksikan orang-orang lain maju, dan saya ingin berbuat sesuatu agar masyarakat saya
dapat maju seperti mereka”. Atas alasan tersebutlah, bersama elite adat Sakai lainnya, Yatim
mengambil inisiatif merevitalisasi lembaga adat Sakai dengan membentuk LAMSR.
Dinamika gerakan civil society masyarakat adat Sakai sesungguhnya tidak hanya
dihadirkan KMS di Duri. Masyarakat adat Sakai yang hidup di kampung juga
memperlihatkan geliat menggembirakan. Hal ini tampak terutama pada saat mereka tidak
lagi dapat bersabar dalam menghadapi penyerobotan lahan yang dilakukan pihak luar,
mereka menggalang solideritas dengan aksi-aksi demonstrasi. Berdemontrasi di DPRD II
atau bahkan DPRD I untuk menyampaikan aspirasi merupakan hal sering dilakukan.
15
Demonstrasi sebagian besar dipicu kasus konflik pertanahan, menuntut pelibatan tenaga
kerja tempatan untuk bekerja di perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sekitar desa
mereka, atau kasus-kasus lain yang menyangkut pemenuhan kepentingan komunitas mereka.
Pada bagian berikut akan dipaparkan bagaimana artikulasi gerakan civil society KMS dalam
memperjuangkan kepentingan sosial-politik, pendidikan dan lapangan pekerjaan, serta
penguatan identitas kultural mereka.
Agenda dan Artikulasi Pemikiran KMS
Menangkap Peluang Politik Baru
Peluang politik baru terbuka bagi KMS untuk meningkatkan posisi tawar mereka dalam
peristiwa politik lokal menyusul berakhirnya pemerintahan Orde Baru dan diberlakukannya
otonomi daerah. Melalui pembahasan berikut, kami hendak memperlihatkan bagaimana
anggota KMS menanggapi situasi yang berkembang, dan, melalui perkumpulan-
perkumpulan primordial atau instrumen civil society, mereka berusaha meningkatkan
partisipasi dalam arena perpolitikan daerah. Ini membawa sebuah dimensi baru bagi
konstruksi publik menyangkut identitas Sakai, sebuah konstruksi yang mencoba menyoroti
Sakai sebagai kelompok berpendidikan, maju dan peka terhadap perkembangan politik.
Untuk menganalisa masalah ini, kami akan menyoroti bagaimana para anggota KMS dan
perkumpulan-perkumpulan sipil menangkap peluang untuk memperluas partisipasi politik
mereka dalam arena politik lokal.
Betapapun tidak secara tegas menyatakan sebagai gerakan politik, kehadiran organisasi
masyarakat sipil (civil society) yang dimotori kelompok KMS tidak otomatis apolitis. Mereka
16
acapkali menampilkan diri sebagai kelompok penekan (pressure group). Meskipun dalam skala
relatif terbatas, apa yang mereka lakukan cukup mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik
pemerintah di daerah. Terpilihnya Nurcahaya, perempuan Sakai menjadi camat pertama
Kecamatan Pinggir pada 2004 memperlihatkan bagaimana para anggota KMS menangkap
peluang dalam kontestasi politik guna meningkatkan partisipasi mereka di lingkungan
pemerintahan daerah saat pergantian camat Mandau dan Pinggir. Negosisi-negosiasi antara
perwakilan KMS, baik yang menggunakan bendera LAMSR, aliansi para Batin Sakai,
perkumpulan pemuda, maupun dukungan terbuka yang disampaikan oleh beberapa anggota
KMS melalui dukungan resmi yang disampaikan kepada Bupati atau stateman dukungan
tokoh pemuda Sakai di koran-koran lokal; memperlihatkan bahwa terpilihnya representasi
orang Sakai untuk menduduki jabatan publik tersebut, bukan tanpa melewati perjuangan
keras.
Nurcahaya menggambarkan kepada penulis bahwa proses terpilihnya dia sebagai camat
Pinggir “melewati proses panjang dan berliku” (Wawancara Nurcahaya, 13/10/2005).
Nurcahaya adalah mantan Lurah di desa berbasis Sakai yakni desa Balai Alam dan desa Gajah
Sakti. Kariernya di pemerintahan dimulai ketika dia terpilih sebagai pegawai rendahan di
lingkungan Kecamatan Mandau, beberapa saat setelah menyelesaikan pendidikan tingkat
diploma di APDN. Karier Nurcahaya di pemerintahan menanjak perlahan, dia pernah
menduduki semua jabatan kepala seksi di Kecamatan Mandau. Maka, tidak mengejutkan pada
saat masa kepemimpinan Ridwan Yazid sebagai Camat Mandau akan berakhir, beberapa
nama calon seperti Ridwan Yazid dan Khalid Yusuf menguat, tanpa terkecuali nama
Nurcahaya.
17
Menurut salah seorang informan, nama Nurcahaya dimunculkan sesaat setelah Bupati
Bengkalis, Samsyurizal menelpon beberapa tokoh Batin Sakai agar merekomendasikan nama
calon camat Mandau. Setelah melakukan rapat, para pimpinan adat Sakai bersepakat
mengusulkan Nurcahaya. Tidak sekedar itu, aliansi para Batin Sakai dibawah pimpinan
Muhammad Yatim juga menemui Bupati Syamsurizal guna menegaskan dukungan mereka
kepada Nurcahaya. Masih menurut informan yang sama, Bupati dikabarkan menyambut
positif rekomendasi para pimpinan adat Sakai tersebut. Namun, dukungan Bupati
Syamsurizal terhadap Nurcahaya menghilang sesaat setelah aliansi masyarakat dari
pendukung calon camat lain di Mandau juga menemui Bupati Syamsurizal dan menegaskan
dukungan terhadap calon mereka. (Wawancara Yatim, 13/10/2005, dan Suhardi,
15/10/2005)
Munculnya nama Nurcahaya sebagai calon Camat Mandau sempat memunculkan
kontroversi di lingkungan masyarakat Mandau. Seperti terungkap di koran lokal, persoalan
keperempuanan dan ke-Sakai-an menjadi alasan yang acapkali mengemuka guna menolak
pencalonan Nurcahaya. Para pendukung Nurcahaya baik dari tokoh-tokoh adat maupun
tokoh pemuda merespon statemen di koran, dengan mengemukakan alasan-alasan perlunya
wakil dari orang Sakai memimpin Mandau. Namun saat optimisme merekomendasikan
Nurcahaya sebagai Camat Mandau mulai memudar, para aktivis KMS bersepakat
mengalihkan dukungan mereka kepada Nurcahaya dari sebagai calon camat untuk Mandau
menjadi calon camat Pinggir, sebuah kecamatan yang baru dimekarkan dari Mandau. Setelah
melewati negosiasi ketat, akhirnya Bupati Syamsurizal menetapkan Nurcahaya sebagai camat
Pinggir. (Wawancara Yatim, 13/10/2005, dan Suhardi, 15/10/2005)
18
Negosiasi-negosiasi politik sebagaimana dipaparkan di atas menggambarkan bahwa
orang-orang Sakai sangat adaptif terhadap peluang-peluang politik baru. Hal ini, demikian
dipaparkan Suhardi, merupakan gaya orang (kelas menengah, red.) Sakai dalam
mendekonstruksi narasi dominan yang dicangkokkan pihak luar terhadap identitas
komunitas mereka. Sakai tidak tampil sebagai komunitas yang silent (diam) dan menghindar
dari kerumunan orang-orang luar sebagaimana dicitrakan banyak orang (Lihat, Tabrani,
2002:43-48), melainkan peka, bahkan dalam membaca momentum politik tertentu.
Konstruksi tentang identitas KMS sebagai komunitas yang peka membaca peluang-
peluang politik baru, diperkuat dengan terpilihnya dua anggota masyarakat Sakai: Sahrir dan
Amril Mukminin, sebagai anggota legislatif Bengkalis pada pemilu 2004. Sahrir,
sebagaimana dipaparkan sebelumnya, adalah mantan aktivis mahasiswa di Pekanbaru pada
masa gerakan reformasi tahun 1998. Pergaulannya yang luas dengan elit politik lokal di
Pekanbaru dan Bengkalis, ditambah dengan basis massa yang solid, tidak mengejutkan ketika
berhasil menghantarkannya sebagai anggota legislatif Bengkalis dari Partai Golkar.
Demikian pula Amril Mukminin, mantan kepala Desa Muara Basung yang terpilih sebagai
anggota legislatif Bengkalis dari partai yang sama. Terpilihnya Amirul Mukminin sebagai
anggota legislatif, seperti diceritakan istrinya, Kasmiyati, tidak lepas dari aliansi longgar dan
dukungan beberapa kepala desa berdarah Sakai di wilayah pemilihan Pinggir (Wawancara
Kasmiyati, 13/10/2005).
Pada masa pemerintahan Orde Baru, orang-orang Sakai sama sekali terpinggirkan
dalam pemerintahan daerah. Mereka juga tidak memiliki kesempatan untuk menyuarakan
hak-hak sosial-politik, budaya dan ekonomi mereka. Bersuara atau melakukan protes atas
lepasnya lahan mereka yang diambil secara paksa oleh pihak luar, mengakibatkan mereka
19
harus berurusan dengan kepolisian dan dipenjarakan dalam waktu relatif lama (Wawancara
Yatim, 13/10/2005). Sekarang, di saat era keterbukaan dan kebebasan berpendapat
mendapat tempat, mengadakan rapat-rapat dimana pesertanya dapat berbagi gagasan dan
informasi menjadi cara yang efektif tidak hanya memperkuat rasa persatuan di antara sesama
orang Sakai, tetapi juga untuk mengeksplorasi cara-cara mencapai keterwakilan yang lebih
besar di lingkungan pemerintahan. Suhardi menceritakan kepada penulis bahwa guna
meningkatkan keterwakilan orang-orang Sakai yang bergiat di institusi pemerintahan,
perkumpulan yang dipimpinnya akan lebih intensif melakukan pendekatan dengan
pemerintah supaya para sarjana Sakai mendapat perioritas dalam setiap momentum
rekruitmen PNS di daerah (Suhardi, 12/10/2005)
Suatu hal yang dapat dipetik dari pemaparan di atas adalah kebangkitan kesadaran
KMS dalam memperebutkan jabatan-jabatan publik atau posisi politik tertentu di daerah,
bahkan sebagian di antaranya didapatkan berkat aktivisme mereka sebelumnya dalam
gerakan civil society. Memiliki wakil sebagai Camat Pinggir dan dua orang lainnya sebagai
anggota legislatif di Bengkalis membawa kemungkinan-kemungkinan baru bagi orang-orang
Sakai untuk berpartisipasi dalam politik lokal dalam skala yang lebih signifikan dan
menentukan. Tentu saja hal demikian akan membangkitkan harapan-harapan baru bagi KMS
untuk memperbaiki kondisi masyarakat mereka.
Pendidikan dan Lapangan Pekerjaan
Pendidikan dan lapangan pekerjaan merupakan faktor-faktor yang kritis dan menentukan
tingkat partisipasi orang-orang Sakai dalam politik lokal dan lapangan pekerjaan baik di
20
institusi pemerintahan maupun sektor-sektor industri atau lainnya. Hampir semua informan
menceritakan kepada peneliti betapa sulitnya orang-orang Sakai untuk melanjutkan
pendidikan. Hal ini pada gilirannya ikut menentukan rendahnya tingkat partisipasi mereka
dalam setiap lapangan pekerjaan.
Berdasarkan wawancara dengan Ketua Umum IPSR, Suhardi, terungkap bahwa dua isu
utama komunitas Sakai yang membutuhkan penyelesaian mendesak adalah persoalan
pendidikan dan lapangan pekerjaan. Mengingat basis pendidikan merupakan modalitas bagi
terwujudnya transformasi sosial-ekonomi, sementara tingkat pendidikan mayoritas anggota
masyarakat Sakai masih rendah, IPSR mendesak pemerintah agar memberikan kuota khusus
dari APBD atau APBN di setiap tahunnya untuk dialokasikan guna kepentingan pendidikan
anak-anak Sakai hingga tingkat Perguruan Tinggi. IPSR juga meminta dispensasi
Perguruan Tinggi Negeri setidaknya di Pekanbaru agar memberikan kuota khusus bagi
beberapa orang anak-anak Sakai untuk diterima tanpa melalui jalur Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru (SPMB) (Wawancara Suhardi, 15/10/2005).
Senada dengan Suhardi, Yatim berpandangan bahwa “Jika kita menunggu anak-anak
kami untuk lulus SPMB, atau mendapatkan beasiswa berdasarkan prestasi, anak-anak Sakai
tidak akan pernah mendapatkan tempat di Perguruan Tinggi Negeri”. Yatim dengan nada
kritis mengatakan :
Anak-anak kami yang di sekolah mulai dari SD sampai SMP, kalau main bola kaki saja pun tidak tahu bolanya. Kami cuma tahu bola ojol. Jadi, dalam hal ini, pemerintah memberikan dana bantuan beasiswa dengan memakai kriteria berprestasi. Padahal, kita berprestasi apa? Untuk olah raga saja pakai bola kaki dari ojol, karena tidak ada perlengkapan olah raga. Kalau fasilitas pendidikan di tempat sekolah anak-anak Sakai begini terus, sampai kapan pun anak Sakai tidak akan mendapatkan kesempatan beasiswa, bila pemerintah memakai kriteria berprestasi. (Wawancara Yatim, 12/10/2005)
21
Alih-alih menyelesaikan pendidikan hingga sarjana, mayoritas anak-anak Sakai hanya
menyelesaikan pendidikan tingkat sekolah dasar atau tidak sekolah. Selama melakukan
pemantauan di lapangan, kami mendapati sebagian besar anak-anak di Desa Kuala Penaso
tidak mampu menyelesaikan sekolah Dasar. Muhammad Afar, seorang informan yang
sekaligus ketua RW di dusun tersebut menyatakan saat ini di dusun Jiat Kramat hanya ada
dua orang anak Sakai yang sedang sekolah di tingkat menengah pertama (SLTP).
Pemandangan tragis peneliti temukan di sebuah dusun pemukiman Sakai di pinggir jalan
yang merupakan wilayah Kecamatan Pinggir. Anak-anak dari 12 kepala keluarga Sakai yang
tinggal di situ, hanya dua orang yang saat ini bersekolah di tingkat dasar. Belasan anak usia
SD lainnya, tidak bersekolah, meskipun lokasi pemukiman mereka hanya berjarak 200 meter
dari jalan lintas Duri-Pekanbaru.
Hingga saat sekarang, memang sudah ditemukan beberapa anggota KMS yang berhasil
berkat pendidikan yang mereka tempuh hingga tingkat Perguruan Tinggi. Nurcahaya,
Sahrir, dan Suhardi mewakili sedikit di antara mereka. Nurcahaya, Camat Pinggir
menceritakan betapa sulitnya dia menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SMA, sebelum
akhirnya terpilih sebagai peserta program Departemen Sosial tentang peningkatan SDM
Sakai untuk dikuliahkan di APDN. Demikian pula Sahrir, anggota dewan di DPRD
Bengkalis yang menyelesaikan pendidikan sarjananya karena program dari perusahaan
swasta di Duri yang bergerak di bidang perminyakan. Hal serupa juga dialami Suhardi.
Suhardi mendapatkan bantuan PT. CPI, lantaran orang tuanya, Abdul Karim merupakan
sedikit diantara orang Sakai yang menjadi karyawan tetap di perusahaan tersebut. Di luar
ketiga nama tersebut, perlu disebutkan pula nama Muhammad Aghar, orang Sakai yang
sekarang sedang menempuh pendidikan tingkat doktoral di salah satu Perguruan Tinggi di
22
Jerman, berkat fasilitasi peneliti asal Jerman, Hans Kalipke. Sekedar tambahan, perlu
dikemukakan bahwa saat ini tercatat sekitar 52 anak Sakai sedang menempuh pendidikan di
bangku perkuliahan. Hingga saat ini, mereka mewakili tidak lebih dari satu persen anak-anak
Sakai yang berkesempatan merasakan pendidikan sampai tingkat Perguruan Tinggi.
Realitas pendidikan SDM Sakai yang masih rendah tentu saja menyulitkan anak-anak
Sakai untuk dapat mengakses lapangan pekerjaan di pemerintahan maupun sektor swasta.
Nurcahaya mengungkapkan kepada peneliti bahwa dengan posisinya sebagai orang nomor
satu di Kecamatan Pinggir sesungguhnya merupakan momentum strategis untuk
memasukkan anak-anak Sakai bekerja di lembaga pemerintahan. Namun, demikian
Nurcahaya menimpali, rendahnya tingkat pendidikan anak-anak Sakai menjadikannya sulit
merekomendasikan mereka untuk menjadi pegawai negeri di instansi yang dipimpinannya.
Dia mengaku hanya dapat memasukkan beberapa anak-anak Sakai untuk menjadi tenaga
honorer pada Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Alih-alih ada yang menjadi PNS di
pemerintahan tingkat I ataupun tingkat II, Nurcahaya dengan potret pendidikan anak-anak
Sakai yang demikian ini di merasa tidak dapat berbuat apa-apa (Wawancara, 13/10/2005).
Mengekpresikan perasaan frustasi masyarakatnya, seorang aktivis pemuda Sakai di
Kusumbo Ampai, Muhammad Naim mengatakan bahwa “sejak kecil saya ingin berubah, kami
tidak ingin seperti orang tua kami, miskin dan tidak tahu baca-tulis. Kami ingin menjadi
orang pintar dan berilmu”. Tapi, demikian Naim melanjutkan, “kami tidak melihat seorang
pun yang sungguh-sungguh memberi perhatian terhadap persoalan orang-orang Sakai”.
Lebih lanjut, dia merasa bahwa komunitas lain di luar mereka, termasuk di dalamnya orang-
orang Melayu, “memandang orang-orang Sakai sebagai kelas yang rendah” (Naim,
11/10/2005).
23
Pararel dengan Naim, Suhardi mempercayai bahwa persoalan-persoalan yang melanda
masyarakat Sakai dapat diselesaikan dengan membentuk perkumpulan-perkumpulan guna
melakukan gerakan yang sistematis dan terorganisasi. Perjuangan untuk kebangkitan Sakai
hanya akan muncul dari kalangan orang-orang Sakai sendiri. “Kami tidak ingin masa depan
anak-anak Sakai bernasib seperti mayoritas anak-anak segenerasi dengan kami atau generasi
orang tua kami”, demikian kata Suhardi bersemangat (Suhardi, 15/10/2005). Seorang
pengurus HPPMS di Pekanbaru yang kami temui dalam sebuah kesempatan seminar tentang
Sakai beberapa waktu lalu mempercayai bahwa aktivisme mereka dalam kegiatan-kegiatan
yang dilakukan perkumpulan HPPMS akan berdampak positif. “Dengan berorganisasi kami
akan merubah cara pandang masyarakat kami, sehingga mereka akan mempertimbangkan
pentingnya pendidikan. Sekarang, sudah mulai banyak anak-anak Sakai yang memandang
pendidikan sebagai hal yang penting. Mereka juga aktif dalam kegiatan-kegiatan HPPMS”
(Mahasiswa Sakai, 27/12/2005).
Kegelisahan atas kondisi pendidikan anak-anak Sakai menjadi alasan mendasar bagi
Yatim mengambil pensiun dini dari pekerjaan di Pertamina. Tujuannya, agar dia dapat
memberikan perhatian lebih banyak terhadap kondisi orang-orang Sakai. Menurut Yatim
keterbelakangan anak-anak Sakai dalam hal pendidikan dan peluang pekerjaan merupakan
akibat dari minimnya perhatian dan keseriusan pemerintah terhadap program peningkatan
kualitas SDM anak-anak Sakai. “Kalau pemerintah serius hendak memperhatian peningkatan
SDM Sakai, maka berikan kepada setiap orang-orang Sakai lahan sawit atau sejenisnya
masing-masing 3-4 hektar untuk setiap kepala keluarga”. Dengan modal perkebunan sawit
tersebut, Yatim percaya bahwa kondisi ekonomi orang-orang Sakai dipastikan akan membaik
sehingga mereka dapat memberi perhatian terhadap peningkatan kualitas SDM anak-anak
24
mereka. “Berbekal pendidikan”, demikian Suhardi menambahkan, “otomatis anak-anak Sakai
dapat memanfaatkan peluang-pelung pekerjaan baik di institusi pemerintahan maupun
perusahaan-perusahaan swasta atau sektor-sektor industri lainnya” (Suhardi, 15/10/2005).
Penguatan Identitas Kultural
Kekuatan ekonomi kapitalis bukan satu-satunya yang menyerbu dan memarjinalkan orang-
orang Sakai. Lainnya, adalah kekuatan politik baru bernama negara. Tempo dulu, orang
Sakai memiliki perbatinan berikut wilayah sendiri-sendiri. Mereka hidup secara harmoni dan
satu sama lain saling menghargai batas wilayah masing-masing (Wawancara Yatim,
12/10/2005). Harus diakui, masyarakat Sakai sangat kokoh dalam memegang adat istiadat
dan tradisi leluhur mereka. Melalui kelembagaan adat pula mereka melestarikan
kepemimpinan tradisional dalam satuan wilayah mereka masing-masing, yang kadangkala
jauh memiliki wibawa dibandingkan dengan kepemimpinan formal-negara.
Konsep satuan wilayah pemukiman demikian kemudian diporak-porandakan ketika
pemerintah pusat melalui UU No. 5/1979 memberlakukan sistem pemerintahan desa. Batas-
batas wilayah perbatinan yang pada masa sebelumnya ditetapkan secara alamiah berdasarkan
batas sungai di pisah-pisah menjadi satuan wilayah desa, dan beberapa klan disatukan
menjadi satuan wilayah kecamatan. Akibatnya, “kampung yang sebelumnya dipimpin seorang
batin”, demikian Yatim menyatakan, “kini dipimpin seorang kepala desa yang tidak tahu-
menahu masalah adat”. (Wawancara Yatim, 12/10/2005) Tak pelak, lembaga perbatinan
yang sebelumnya memiliki otoritas tertinggi dalam mengatur persoalan adat dan sosial-
politik dalam komunitas Sakai, menjadi kehilangan otoritas sama-sekali. Lembaga adat
25
mengalami domestifikasi dan tidak lagi memiliki peranan dan kekuasaan dalam mengatur
komunitas adat mereka sendiri.
Penyeragaman (uniformity) yang dipompakan dari satu mesin birokrasi raksasa dari
pemerintah pusat hingga ke tingkat desa telah menafikan keserba-ragaman (diversity).
Padahal bagi komunitas Sakai, keserbaragaman justru yang selama ini menjadi salah satu
pilar utama terbangunnya pola hubungan harmonis antara berbagai kelompok dalam
komunitas mereka. Maka, setelah mengalami marjinalisasi sumbu-sumbu perekonomian
meraka akibat kapitalisasi, sistem perbatinan dan adat mereka pun didomestifikasi. Apabila
hal ini tidak dilakukan revitalisasi, tidak mustahil generasi muda Sakai akan mendapati
bahwa sistem perbatinan yang mereka bangggakan tidak lebih dari sekadar legenda dan
nyanyian sebelum tidur, tidak lagi menyejarah. (wawancara Suhardi, 15/10/2005)
Atas alasan-alasan tersebut, KMS utamanya para aktivis adat seperti Yatim dan Bosniar
berinisiatif merevitaslisasi kelembagaan adat Sakai melalui pembentukan LAMSR. Inisiatif
ini mencerminkan penilaian kembali dan penegasan kembali yang mereka lakukan atas
‘tradisi’ mereka sendiri. Bagi KMS yang terlibat, ditegaskan dan dihidupkannya kembali
hukum adat penting artinya bagi penegakan marwah orang-orang Sakai. Dihidupkannya
kembali LAMSR juga dipandang kritis bagi hak-hak orang Sakai. Secara khusus para aktivis
LAMSR yang diwawancarai menyatakan bahwa LAMSR akan mencegah terjadinya
eksploitasi orang-orang Sakai orang pemerintah dan perusahaan kapitalis, yang sudah sering
menyerobot tanah mereka atas nama pembangunan. Pegiat KMS yang terlibat dalam
revitalisasi kelembagaan adat percaya bahwa mereka perlu menyatukan pandangan sehingga
mereka akan memiliki satu suara yang lebih kuat untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
26
Kemampuan untuk berbicara atas nama orang Sakai adalah kekuasaan paling penting
bagi LAMSR. Namun, kehadiran LAMSR berikut klaim sebagai lembagai adat tertinggi atas
nama komunitas Sakai memang sempat memantik kontroversi dari beberapa pucuk pimpinan
batin di Sakai. Abdul Karim, pemuka adat dari Batin Betuah, merupakan orang yang paling
menampakkan pertentangan dengan pembentukan LAMSR. Menurutnya, pembentukan
LAMSR tidak lepas dari kepentingan pribadi beberapa orang tertentu. Mereka mengklaim
diri sebagai Batin, dan menguasai lahan-lahan masyarakat Sakai untuk dijual. Karim juga
mengkritik pembangunan Balai Adat Sakai di Duri. Menurutnya, pembentukan Rumah Adat
tersebut selain tidak pernah dikenal dalam sistem peradatan Sakai, juga mengundang
pertanyaan karena dibangun di pinggir kota Duri, di wilayah yang sepi dan jauh dari basis
tempat tinggal orang-orang Sakai (Wawancara Karim, 15/10/2005).
Tapi terlepas dari kontroversi tersebut, keberadaan LAMSR sejauh pengamatan di
lapangan memperlihatkan efektifitas utamanya dalam peranannya sebagai mediator antara
kepentingan masyarakat adat Sakai dengan pemerintah maupun perusahaan-perusahaan yang
beroperasi di daerah wilayah perkampungan Sakai. Bertolak belakang dengan pandangan
Abdul Karim, Yatim menilai LAMSR merupakan intitusi yang cukup representatif dalam
menyuarakan aspirasi masyarakat Sakai, setelah institusi ini kehilangan peranan sama-sekali
dalam waktu lama akibat diterapkannya sistem pemerintahan desa pada masa awal
pemerintahan Soeharto.
Terkait dengan persoalan bahwa kelembagaan adat pada masa Sakai klasik merupakan
lembaga tertinggi yang kemudian hilang menyusul diberlakukannya UU No. 5/1979 tentang
sistem pemerintahan desa; para elit adat tampaknya tidak berniat menegasikan eksistensi
kepala desa dalam stuktur sosial mereka. Tidak sedikit kepala desa di wilayah pemukiman
27
Sakai sekarang berasal dari komunitas Sakai. Sebab itu, menurut para Batin yang
diwawancarai, yang lebih penting adalah bagaimana agar para Batin dan para kepala desa
memiliki posisi setara dan membentuk kerjasama menuju tujuan-tujuan yang sama. Harapan
orang-orang Sakai adalah bahwa kebanggaan menjadi orang Sakai akan pulih dengan
memperkuat peran lembaga adat. Penanda identitas Sakai yang penting adalah memiliki
Batin yang otoritatif, yang pada gilirannya dapat mewujudkan kebudayaan orang Sakai yang
tertata dan bernilai tinggi serta otonomi bagi masyarakat Sakai.
Agenda jangka pendek perkumpulan ini antara lain sebagaimana diceritakan Yatim
adalah penguatan eksistensi LAMSR. Melalui LAMSR, Yatim sedang bergulat untuk
mewujudkan program pembangunan rumah adat Sakai di Duri, dan mewujudkan
terbentuknya desa Pariwisata Sakai, yang terletak di Kusumbo Ampai. Hal lain yang
menurut LAMSR merupakan latar belakang bagi kehadiran kembali perkumpulan ini adalah
tidak adanya pengakuan pemerintah atas tanah dan hak-hak tanah lainnya yang menjadi
milik masyarakat Sakai. Sebab itu, berjuang untuk mendapatkan pengakuan pemerintah atas
hak-hak pertanahan mereka yang sebelumnya dirampas secara paksa oleh pihak luar
merupakan agenda utama LAMSR (Wawancara Yatim, 12/10/2005). Memang apa yang
sedang dipikirkan Yatim masih menyisakan perdebatan di lingkungan elite perbatinan Sakai,
tetapi betapapun hal tersebut merupakan gagasan besar yang penting tidak saja untuk
didiskusikan melainkan didukung berbagai pihak sehingga dapat menghasilkan output
berupa penguatan identitas kultural masyarakat adat Sakai di masa mendatang.
Bertolak dari pemaparan di atas, menjadi jelas bahwa KMS menginginkan agar
komunitas mereka diperlakukan secara lebih terhormat sebagai kelompok masyarakat yang
memiliki adat istiadat yang kuat dan bernilai tinggi. Para informan dari KMS yang
28
diwawancarai berniat melawan kategorisasi Sakai sebagai kelompok ‘primitif’ dan
‘terbelakang’ yang berkerja untuk menjustifikasi kurangnya partisipasi politik mereka dan
marjinalisasi ekonomi yang mereka alami. Memiliki lembaga adat yang diakui, disamping
memperbaiki tingkat pendidikan dan porsi orang-orang Sakai yang bekerja di pemerintahan
dan lapangan kerja profesional lainnya, dipandang sebagai suatu yang substansial dalam
menentang streotip-streotip negatif tersebut.
Di sini kita temukan sebuah upaya dari kalangan KMS untuk mengkontrusi narasi
tentang diri mereka sendiri. Memiliki sebuah lembaga adat tampaknya merupakan salah satu
cara untuk menunjukkan bahwa KMS benar-benar memiliki struktur yang ‘modern’ untuk
menghadapi pelbagai masalah mereka dewasa ini. Hukum tradisional mereka yang sudah
ditemukan kembali itu tentu tidak sama persis dengan yang ada dulu. Hukum ini merupakan
sebuah kreasi yang relatif baru, —sebuah respon terhadap modernisasi yang kerapkali
mengabaikan adat istiadat lama mereka. Melalui usaha keras LAMSR, kami membayangkan
citra Sakai di masa mendatang akan berbeda, dalam hal bahwa orang-orang Sakai akan hadir
dalam varian yang ‘modern’ sekaligus setia terhadap otentitias kultural mereka.
Kesimpulan
Pemaparan di atas menggaris-bawahi bahwa gerakan kelas menengah tidak mesti
ditampilkan aktor-aktor yang hebat sehingga menimbulkan getaran pada struktur politik-
kebangsaan. Barangkali konfigurasi KMS tidak seratus persen taat pada konseptualisasi
teoritikus sosial kebanyakan saat mendefinisikan terminologi kelas menengah. Hal ini
sesungguhnya bukan sesuatu yang patut dirisaukan. Sebab, melansir pandangan Heryanto,
29
tidak ada istilah semacam kelas menengah yang mungkin dapat menunjukkan suatu
kenyataan yang statis dan memiliki batasan yang jelas dan nyata (Heryanto:54). Terkadang,
gerakan kelas menengah, setidaknya seperti dipresentasikan komunitas Sakai, muncul dari
kalangan berbasis ekonomi sederhana dan bergerak dilingkup yang terbatas, tetapi
mengingat perjuangan mereka yang sepi pamrih dalam membela hak-hak komunitas,
menjadikan kelompok tersebut menikmati status sosial yang relatif lebih tinggi dari
mayoritas anggota masyarakat umumnya.
Meski secara nominal merupakan kelompok terbatas, KMS telah melakukan hal-hal
yang sepintas sederhana, tetapi menghadirkan akibat-akibat signifikan bagi konstruksi
identitas masyarakat mereka secara luas. Menggalang pengumpulan dana beasiswa untuk
anggota, menjadi fasilitator atas perayaan-perayaan adat, atau mengadakan pertemuan
berkala sembari berdiskusi dengan tema-tema yang tidak berfokus seperti ditampilkan
HPPMS; menyelenggarakan pelatihan-pelatihan guna membekali keterampilan anak-anak
Sakai sehingga dapat dipekerjakan di perusahaan swasta seperti dilakukan IPSR; atau
memperjuangkan penguatan peranan lembaga perbatinan sebagaimana dilakukan LAMSR,
sesungguhnya merupakan aktivitas yang sepintas sederhana tetapi telah membidani
kelahiran narasi baru tentang identitas Sakai.
Tidak berhenti di situ, anggota KMS pun setia membaca peluang politik yang
memungkinkan mereka berpartisipasi dalam proses-proses kebangsaan secara lebih
signifikan. Tulisan di atas memperlihatkan, terpilihnya Nurcahaya sebagai camat Pinggir
semenjak 2004, tidak lepas dari perjuangan anggota kelas menengah mereka, baik melalui
lembaga adat atau perbatinan, organisasi pemuda, —dan dalam batas-batas tertentu
mahasiswa Sakai— maupun partisipasi anggota komunitas secara individual. Demikian pula,
30
naiknya Sahrir dan Amril Mukminin; dua anggota komunitas, sebagai anggota legislatif di
Bengkalis memang disadari tidak melulu berkat dukungan dari orang-orang Sakai semata.
Tetapi, kemampuan tampil di ruang publik dan meyakinkan masyarakat luas akan
kompetensi orang Sakai menjadi pemimpin, merupakan bagian kecil dari agenda besar
mereka dalam mendefinisikan kembali konstruksi identitas Sakai di hadapan publik.
Apa yang menjadi agenda gerakan KMS agar dapat berpartisipasi dalam proses-proses
kebangsaan dengan mendorong sebanyak mungkin pelibatan anggota mereka sebagai salah
satu penentu kebijakan politik-kenegaraan, dengan menjadi camat, anggota legislatif, kepala
desa ataupun sekedar menjadi pekerja di lembaga pemerintahan atau pun di sektor-sektor
swasta, merupakan penanda bagi kehadiran babak baru konstruksi identitas Sakai. Jadi,
betapapun secara kuantitatif aktivisme mereka memiliki spektrum terbatas, tidak
disangsikan, resonansi akibat gerakan tersebut telah meruntuhkan narasi dominan perihal
konstruk identitas Sakai sebagai komunitas yang monolitik: terbelakang, terpencil dan
streotip-streotip sejenisnya. Adalah sulit memungkiri bahwa gerakan civil society sebagaimana
dipelopori KMS telah memberikan konstribusi berharga bagi proses penciptaan kembali
sebuah narasi tandingan tentang identitas Sakai yang telah mengalami modernisasi. [][]
31
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Hikmat (ed.), Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia, (Jakarta: Tifa dan Interseksi Foundation, 2005)
Dumai Pos, 3 Oktober 2005.
Embong, Abdul Rahman, “The Culture and Practice of Pluralism in Postcolonial Malaysia”, dalam The Politics of Multiculturalism: Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore and Indonesia, Robert W. Hefner (ed.), (United States of America: University of Hawai’i Press, 2001), h. 59-85
Fauzan, Muhammad Uzair, “Politik Representasi dan wacana Multikulturalisme dalam Praktek Program Komunitas Adat Terpencil Kasus Komunitas Sedulur Sikep Bombong-Bacem, dalam Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia, Budiman, Hikmat (ed.), (Jakarta: Tifa dan Interseksi Foundation, 2005), h. 67-106
Foucault, Michel, Discipline and Punish: The Birt of the Prison, terj. Alan Sheridan, (New York: Pantheon, 1977)
Ghee, Lim Teck Ghee dan Alberto G. Gomes (ed.), Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993)
Gilbert, Bart Moore, Postcolonial Theory: Contexts, Practices, Politics, (New York and London: Verso, 2000)
Gramsci, Antonio, Selection from the Prison Notebooks, (New Delhi: Orient Longman, 1996)
Heryanto, Ariel, “Intelektual Publik, Media dan Demokratisasi: Politik Budaya Kelas-Menengah di Indonesia”, dalam Menggungat Otoritarianisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan antara Indonesia dan Malaysia, Ariel Heryanto dan Sumit K. mandal (ed.), (Jakarta: Kompas, 2004), h. 47-116.
Http://www.katcenter.info/
Kahn, Joel S., Culture, Multiculture, Postculture, (London: Sage Publication, 1995)
____, “The Middle Class as a field of ethnological study” dalam Malaysia: Critical Perspektives: Essys in Honour of Syed Husin Ali, M.I. Said and Z. Emby (ed.), (Petaling Jaya: Malaysian Social Science Association, 1996), h. 12-33
Kang, Yoonhee, Untaian Kata Leluhur: Marjinalitas, Emosi dan Kuasa Kata-kata Magi di Kalangan Orang Petalangan Riau, Seri Monograf Pusat Penelitian dan Kebudayaan UNRI, Pekanbaru, 2005.
Kuntowidjoyo, “Muslim Kelas Menengah Indonesia dalam Mencari Identitas: 1910-1950”, dalam Jurnal Prisma, 11/1985, h. 35-51.
Maunanti, Yekti, Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, (Yogyakarta: LkiS, 2004).
Nicholas, Colin, “Demi Orang Semai? Negara dan Masyarakat Semai di Semenanjung Malaysia”, dalam Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara, Lim Teck Ghee dan Alberto G. Gomes (ed.), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), h. 109-141
32
Picard, Michel, “Cultural Tourism, Nation-Building and Regional Culture: The Making of a Balinese Identity”, dalam Tourisme, Etnicity, and the State in Asian and Pacific Societes, Michel Picard and Robert E. Wood (ed.), (Honahulu: University of Hawai Press, 1997)
Rab, Tabrani, Nasib Suku Asli di Riau, (Pekanbaru: Riau Cultural Institute, 2002)
Said, Edward, Orientalism, (New York: Pinguin Book, 1978)
Suparlan, Parsudi, Orang Sakai: di Riau: Masyarakat Terasing dalam Masyarakat di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995)
Topatimasang, Roem (ed.), Orang-orang Kalah, (Yogyakarta: Insist, 2004)
Vickers, Adrian, Bali: A paradise Created, (Australia: Pinguin Books, 1989)
Walia, Shelley, Edward Said dan Penulisan Sejarah, (Yogyakarta: Jendela, 2003)
Wawancara Abdul Karim (39), Pemuka Adat/Anak Batin Betuah, Duri, 15/10/2005.
Wawancara Anita, (33), Pjs. Kepala Desa Kusumbo Ampai, Kusumbo Ampai, 11/10/2005.
Wawancara Bosniar, (37), Tokoh Adat dan Ketua Batin Penaso, Jiat Kramat, 12/10/2005.
Wawancara Kasmiati, (32), Kasi PMD Kecamatan Pinggir, Pinggir, 13/10/2005.
Wawancara Muhammad Yatim, (65), Ketua LAMSR, Kusumbo Ampai, 11/10/2005.
Wawancara Muhammad Afar (54), Ketua RW di Dusun Jiat Kramat, Jiat Kramat, 12/10/2005.
Wawancara Muhammad Naim, (27), Tokoh Pemuda, Kusumbo Ampai, 11/10/2005.
Wawancara Nurcahaya (48), Tokoh Sakai dan Camat Pinggir, Pinggir, 13/10/2005.
Wawancara Suhardi, (35), Ketua Umum Ikatan Pemuda Sakai Riau (IPSR), Duri, 14-15/10/2005.
33
Tentang Penulis
Muhammad Ansor adalah mahasiswa pascasarjana (doktoral) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, program studi Pemikiran Islam. Lahir di Topang, Bengkalis pada 13 Juli 1976.
Selain sebagai Peneliti JSPDL dan Direktur Riset The Riau Institute, aktif pula sebagai
Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Majlis Sinergi Kalam (Masika) ICMI
(2006-2011). Karyanya antara lain Menakar Jiwa Suci: Perjalanan Sufistik Ibn Arabi,
(penerjemah karya Ibn Arabi), (Jakarta: Hikmah, 2003); Catur Ilahi: Taktik dan Strategi
Memenangkan Pergulatan Hidup, (penerjemah karya Ibn Arabi) (Jakarta: Hikmah, 2003);
Rethingking Paradigma Kepemimpinan Riau, (co. editor), (Jakarta: KMPRJ, 2003); Politik
Pelembagaan Syariat: Strategi dan Argumentasi PPP, PBB dan PKS di Sidang Tahunan MPR
1999-2000, dimuat dalam Jurnal Ulumuna, IAIN Mataram, Volume IX, Edisi 16, Juli-
Desember 2005; Membangkitkan Otonomi Lokal: Dari Sejarah Pembentukan Kabupaten Rokan
Hilir Hingga Implementasi Otonomi Daerah, (Pekanbaru: JSPDL, 2006).