Jurnal Hukum & Pembangunan 49 No. 1 (2019): 1-43 ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online) Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol49.no1.1908 KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO JUSTICE DALAM KASUS-KASUS PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH/WAKIL KEPALA DAERAH DI INDONESIA Arasy Pradana A Azis * * Mahasiswa Magister Hukum, Konsentrasi Hukum Kenegaraan, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Korespondensi: [email protected]Naskah dikirim: 14 Maret 2018 Naskah diterima untuk diterbitkan: 28 Juni 2018 Abstract Law Number 23 Year 2014 on Regional Government (Law No. 23/2014) provides that the Regional Head or Deputy Regional Head may be dismissed in the middle of his term by certain reasons. The law also regulates a strict process, including the involment of the Supreme Court (MA) in it. MA provides a judicial test of the opinion of the Regional House of Representatives (DPRD) as the initiator of the dismissal processl. The involvement of the Supreme Court is a consequence of the strengthening of the legitimacy of the Head of Region/Deputy Head of Region, which is now elected directly by the people. Therefore, dismissal of Head of Region/Deputy Head of Region is designed difficult. However there is a problem of access to justice in the judicial process in MA, mainly due to the blur of procedural law. The concept of access to justice has been interpreted in a limited way, solely as access to legal assistance for the poor and marginalized. Keywords: Dismissal of Head of Region/Deputy Head of Region, Procedural Law, Procedural Justice, Access to Justice Abstrak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 23/2014) mengatur bahwa Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dapat diberhentikan di tengah masa jabatannya oleh sebab-sebab tertentu. Undang- undang tersebut juga mengatur prosesnya secara baku, termasuk melibatkan Mahkamah Agung (MA) di dalamnya. MA befungsi untuk memberikan menguji secara yuridis pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai insiator proses pemberhentian. Pelibatan MA merupakan konsekuensi dari menguatnya legitimasi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang kini dipilih oleh rakyat. Oleh karena itu, pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dirancang sulit. Namun terdapat masalah access to justice dalam proses peradilan di MA ini, terutama disebabkan oleh hukum acara yang kabur. Konsep access to justice selama ini dimaknai secara terbatas semata-mata sebagai akses pendampingan hukum bagi masyarakat miskin dan termarjinalkan. Kata Kunci: Pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Hukum Acara, Keadilan Prosedural, Access to Justice.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Law Number 23 Year 2014 on Regional Government (Law No. 23/2014) provides
that the Regional Head or Deputy Regional Head may be dismissed in the middle
of his term by certain reasons. The law also regulates a strict process, including
the involment of the Supreme Court (MA) in it. MA provides a judicial test of the
opinion of the Regional House of Representatives (DPRD) as the initiator of the
dismissal processl. The involvement of the Supreme Court is a consequence of the
strengthening of the legitimacy of the Head of Region/Deputy Head of Region,
which is now elected directly by the people. Therefore, dismissal of Head of
Region/Deputy Head of Region is designed difficult. However there is a problem
of access to justice in the judicial process in MA, mainly due to the blur of
procedural law. The concept of access to justice has been interpreted in a limited
way, solely as access to legal assistance for the poor and marginalized. Keywords: Dismissal of Head of Region/Deputy Head of Region, Procedural Law,
Procedural Justice, Access to Justice
Abstrak
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU No.
23/2014) mengatur bahwa Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dapat
diberhentikan di tengah masa jabatannya oleh sebab-sebab tertentu. Undang-
undang tersebut juga mengatur prosesnya secara baku, termasuk melibatkan
Mahkamah Agung (MA) di dalamnya. MA befungsi untuk memberikan menguji
secara yuridis pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai
insiator proses pemberhentian. Pelibatan MA merupakan konsekuensi dari
menguatnya legitimasi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang kini dipilih oleh
rakyat. Oleh karena itu, pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
dirancang sulit. Namun terdapat masalah access to justice dalam proses peradilan
di MA ini, terutama disebabkan oleh hukum acara yang kabur. Konsep access to
justice selama ini dimaknai secara terbatas semata-mata sebagai akses
pendampingan hukum bagi masyarakat miskin dan termarjinalkan. Kata Kunci: Pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Hukum Acara,
Keadilan Prosedural, Access to Justice.
2 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019
I. Pendahuluan
Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 23/2014), Kepala Daerah atau Wakil
Kepala Daerah dapat diberhentikan di tengah masa jabatannya oleh sebab-sebab
tertentu. Undang-undang tersebut telah mengatur prosesnya secara baku, termasuk
melibatkan Mahkamah Agung (MA) di dalamnya. MA befungsi untuk
memberikan legitimasi yuridis terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) sebagai insiator proses pemberhentian. Namun terdapat masalah
access to justice dalam proses peradilan di MA ini, terutama disebabkan oleh
hukum acara yang kabur.
Sejak Undang-Undang 32 Tahun 2004 (UU No. 32/2014), dan dilanjutkan
oleh UU No. 23/2014 yang sama-sama mengatur perihal pemerintahan daerah,
Indonesia menggunakan sistem baru bagi upaya pemberhentian Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang kini
dipilih langsung oleh rakyat tak lagi dapat dengan mudah diberhentikan oleh
DPRD sebagaimana dianut dalam rezim hukum sebelumnya. Hal ini mengingat,
di masa lalu presumsi dasar bagi pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah sepenuhnya berada di tangan DPRD: DPRD menjadi satu-satunya pihak
yang berhak menilai dugaan pelanggaran Kepala Daerah dan memutuskan
pemberhentiannya, sementara kapasitas Presiden semata-mata mengesahkan
keputusan DPRD tersebut. 1 Sistem yang memberikan wewenang sangat besar
pada DPRD ini notabene merupakan konsekuensi dari otonomi luas bagi daerah
yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (UU No. 22/1999),2
yang mendapat basis teleologisnya dari tuntutan-tuntutan Reformasi. 3 Karena
Kepala Daerah masih dipilih oleh DPRD, maka DPRD relatif memegang
kekuasaan dan menjadi sumber legitimasi politik yang signifikan di daerah.
Namun situasi ini hanya berlangsung 5 tahun. UU No. 32/2004 diundangkan
dengan semangat mengurangi signifikansi kewenangan daerah yang dinilai negara
terlalu berlebihan. Pengurangan itu dikemas dalam bahasa:
penyelenggaraan otonomi daerah … harus menjamin keserasian hubungan
antara Daerah dengan Daerah lainnya, artinya mampu membangun
kerjasama antar Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan
mencegah ketimpangan antar Daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya
bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi
antar Daerah dengan Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan
menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.4
1 Indonesia, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal
49. 2 Norpan Mufti, “Otonomi dan Kebijakan Pemerintah,” dalam Antonius Simanjuntak (Ed.),
Otonomi Daerah, Etnonasionalisme, dan Masa Depan Indonesia: Berapa Persen Lagi Tanah dan
Air Nusantara Milik Rakyat, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hal. 119-120; Fatmawati,
Otonomi Daerah dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor
5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, “Jurnal Hukum dan Pembangunan,
No. 1, 2000, hal. 40 3 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik, (Jakarta: PSHTN FH UI,
2015), hal. 264-265. 4 Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Bagian Penjelasan Umum Sub Bagian Dasar Pemikiran huruf b.
Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 3
DPRD pun semakin kehilangan kekuasan karena Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah kini tidak lagi dipilih oleh mereka, melainkan secara langsung oleh
rakyat. 5 Artinya, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah memiliki sumber
legitimasi yang lebih kuat dan perlu mendapatkan perlindungan yang lebih kuat
dari upaya pemberhentian di tengah masa jabatan.
Sistem baru pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah kemudian
dirancang lebih rumit, dengan melibatkan lebih banyak pihak, untuk menegaskan
fungsi check and balances antara berbagai elemen kekuasaan yang
berkepentingan di daerah. Terobosan penting dan mencolok dalam sistem
pemberhentian kepala daerah yang baru ini diantaranya adalah keterlibatan
kekuasaan yudisial. Tak tanggung-tanggung, pembentuk undang-undang
memberikan wewenang intervensi ini kepada MA sebagai salah satu pemuncak
kekuasaan kehakiman di Indonesia. Keterlibatan Mahkamah Agung (MA) dalam
proses pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah ini termasuk bagian
yang tidak diubah ketika UU No. 23/2014 diundangkan sebagai pengganti UU
No. 32/2004.
Perlu dicatat bahwa UU No. 23/2014 sejatinya mengatur beberapa model
pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang disesuaikan dengan
alasan-alasan pemberhentiannya.6 MA terlibat hanya pada salah satu modelnya,
ketika pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah tersebut didasarkan
pada dugaan pelanggaran sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban,
melanggar larangan-larangan tertentu, dan melakukan perbuatan tercela.7 Dalam
model ini, DPRD mengadakan sidang paripurna untuk menyatakan pendapat
(yang umumnya didahului pelaksanaan angket8) mengenai adanya pelanggaran
sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban, melanggar larangan-
larangan tertentu, dan melakukan perbuatan tercela yang dilakukan Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah.9 Pendapat tersebut harus diputuskan dalam Rapat
Paripurna yang dihadiri sejumlah minimal 3/4 keseluruhan anggota DPRD dan
putusan diambil dengan persetujuan oleh paling sedikit 2/3 anggota DPRD yang
hadir dalam paripurna.10 Pendapat tersebut kemudian diajukan kepada MA untuk
diperiksa, diadili dan diputus dalam kurun waktu 30 hari. Apabila MA
5 Ibid., Pasal 56 ayat (1). 6 Semisal ketika Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah meninggal dunia, mengundurkan
diri, berakhir masa jabatannya, atau tak dapat melaksanakan tugas selama 6 bulan berturut-turut,
DPRD melaksanakan rapat paripurna dan menyampaikan usulan pemberhentian kepada Presiden
atau Menteri untuk mendapatkan penetapan pemberhentian. Proses ini tidak membutuhkan
legitimasi yudisial dari MA. Lihat Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, Pasal 79 ayat (1). Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah juga dapat
diberhentikan tanpa usulan DPRD apabila terbukti bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap. Lihat Ibid., Pasal 83 ayat (5). 7 Ibid., Pasal 80 ayat (1) huruf a. 8 Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, salah satu fungsi hak menyatakan pendapat adalah sebagai wahana
tindak lanjut dari hak angket. Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 322 ayat (4) (DPRD Provinsi) dan Pasal 371 ayat (4) (DPRD
Kabupaten/Kota). Hubungan antara angket dan pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah akan tampak pada analisis tentang putusan-putusan MA pada bagian selanjutnya. 9 Indonesia, UU No. 23/2014, Pasal 80 ayat (1) huruf a. 10 Ibid., Pasal 80 ayat (1) huruf b.
4 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019
menyatakan bahwa Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah terbukti melakukan hal-
hal yang dituduhkan oleh DPRD, maka DPRD menyampaikan usul
pemberhentian kepada Menteri atau Presiden. Kedua pranata yang disebut
belakangan berkewajiban untuk memberhentikan Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah dalam waktu 30 hari sejak usulan DPRD diterima.11 Sepanjang tahun 2017, MA menerima 3 permohonan uji pendapat DPRD
tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah di berbagai daerah di
Indonesia. Jumlah ini relatif signifikan sejak UU No. 23/2014 diundangkan,
mengingat pada tahun 2015 dan 2016 MA tidak menerima satu pun permohonan
sejenis.12 Kasus pertama terjadi di ujung timur Indonesia, tepatnya di kabupaten
Mimika, Papua. Kasus ini sesungguhnya dimulai sejak tahun 2016, dimana DPRD
Mimika menerima aduan dari DPP Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Se-
Indonesia dan surat dukungan dari Lembaga Adat Musyawarah Adat Suku
Kamoro tentang sejumlah pelanggaran yang dilakukan Bupati Mimika.13 Bupati
Mimika dituding telah menggunakan ijazah palsu guna memenuhi syarat
pencalonannya pada pemilihan kepala daerah (pilkada) Mimika 2014, bepergian
ke luar negeri tanpa izin menteri, dan melanggar sumpah/janji jabatan sebagai
Kepala Daerah.14 Setelah melalui proses angket, seluruh anggota DPR Mimika
kemudian bersepakat bahwa yang bersangkutan terbukti melakukan pelanggaran-
pelanggaran yang dituduhkan. Pendapat tersebut dituangkan dalam Keputusan
DPRD Mimika Nomor 4 Tahun 2016, sebelum diajukan kepada MA untuk
memperoleh legitimasi yuridis.15
Kasus kedua terjadi di provinsi yang berbeda, tepatnya di Katingan,
Kalimantan Tengah. Pada awal Januari 2017, Bupati Katingan tertangkap tangan
tengah berduaan dengan wanita yang bukan istrinya di sebuah rumah kontrakan.16
Namun Bupati berdalih bahwa keduanya sejatinya telah melangsungkan
pernikahan siri di Jakarta.17 DPRD Katingan pun membentuk panitia angket, yang
menghasilkan keputusan bahwa yang bersangkutan melanggar sumpah/janji
jabatan, tidak melaksanakan kewajiban Kepala Daerah, melakukan perbuatan
tercela dan melanggar sejumlah undang-undang, terutama Undang-Undang
11 Ibid., Pasal 80 ayat (1) huruf e dan f. 12 Mahkamah Agung, “Direktori Putusan Tahun 2015”,
MA, Putusan No. 03 P/KHS/2017, hal. 23. 27 Indonesia, UU No. 23/2014, Pasal 80 ayat (1) huruf c. 28 Admin Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Mahkamah Agung, “Peraturan
=46&func=select&id=521, diakses pada 24 Februari 2018; Administrator Pusat Data
Hukumonline, “Peraturan Mahkamah Agung,”
http://www.hukumonline.com/pusatdata/view/nprt/648, diakses pada 24 Februari 2018. 29 Daniel S Lev, Politik dan Hukum di indonesia: Kesinambungan dan Perubahan,
(Jakarta: LP3ES, 2013), hal. 111-112. 30 Joao Marcos Prado Garcia, Due Process of Law, (Santa Catarina: Clube de Autores,
Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, (Jakarta:
Kencana, 2012), hal. 119; Sidharta, “Kajian Sosiologis tentang Pendekatan Ekonomi terhadap
Hukum,” dalam Antonius Cahyadi dan Donny Danardono (Eds.), Sosiologi Hukum dalam
Perubahan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas
Indonesia, 2009), hal. 249. 34 Achmad Ali berargumen bahwa akar dari keadilan sebagai tujuan hukum adalah filsafat
etis. Sementara di sisi lain, tujuan kemanfaatan terbentuk dalam ruang diskursus filsafat utilitarian,
dan tujuan kepastian dipengaruhi filsafat hukum normatif-dogmatik. Ali, Menguak, hal. 88. 35 Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hal. 109. 36 Ali, Menguak, hal. 94-95.
Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 9
Titik berat pada proses ini juga diamini dalam konsep keadilan menurut
Jürgen Habermas. Menurut Habermas, perdebatan tentang keadilan pada dasarnya
merupakan diskusi yang bersifat politis dan sebangun dengan proses evaluasi atas
pernyataan empiris tertentu. 37 Karena bersifat politis, penelusuran keadilan
meniscayakan adanya subyek-subyek yang mejemuk. Keadilan menurut
Habermas hanya dapat ditemukan di dalam ruang sosial, melalui dialog antara dua
individu atau lebih, dan karenanya bersifat politis.
Selain itu, proses menemukan keadilan juga membutuhkan pengorbanan
diskursif. 38 Yang dimaksud sebagai “pengorbanan diskursif” adalah kerelaan
subyek untuk mendudukkan diri secara setara dengan subyek yang lain, sebagai
prasyarat agar proses diskursus dapat berjalan. Para subyek harus memosisikan
diri untuk siap mendengar argumen masing-masing, dan menerima kemungkinan
adanya kebenaran dalam setiap pendapat. Apabila salah satu pihak memosisikan
dirinya lebih superior, proses interaksi akan terjatuh pada tindakan strategis yang
berlandaskan pemaksaan kehendak sepihak. Dalam kerangka ini, nilai keadilan
tidak akan pernah tercapai.
Hal ini kemudian menunjukkan bahwa keadilan di dalam kerangka
Habermas memiliki dimensi validitas atau keabsahan. 39 Proses menemukan
keadilan mensyaratkan adanya partisipasi aktif dari seluruh subyek yang
berkepentingan terhadap keadilan itu sendiri, melalui proses dialog dan pertukaran
argumentasi. Adu argumentasi ini akan menjamin seluruh pihak mengambil
bagian secara sederajat dan bebas tekanan. Proses ini bertujuan untuk menguji
keabsahan norma-norma yang kontroversial, alih-alih menunjukkan secara
gamblang “keadilan” itu sendiri.40 Suatu klaim keadilan, pada akhirnya, hanya
tercapai berdasarkan persetujuan dari seluruh pihak yang berkepentingan, tanpa
terkecuali.
Konsepsi Habermas ini merupakan salah satu kunci dalam memahami apa
yang disebut sebagai keadilan prosedural (procedural justice). 41 Dengan
menisbatkan keadilan pada klaim keabsahan, maka terdapat prosedur yang harus
ditempuh untuk mencapainya, yaitu melalui diskursus. Keadilan yang prosedural
ini mensyaratkan adanya ketidakberpihakan, dilaksanakan secara jujur, dan
berdasarkan standar-standar tertentu. 42 Eksistensi mengatasi sekat-sekat antara
kategori-kategori subyektif status sosial.43 Dalam pandangan rawlasian, hal ini
37 Philip Pettit, Habermas on Truth and Justice, “Royal Institute of Philosophy
Supplement,” Vol. 14, 1982, hal. 217. 38 Ibid. 39 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas Dua
Teori Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 131. 40 Ibid., hlm 132. 41 Ibid., hal. 50. 42 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
prudence): Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legis prudence), Volume 1: Pemahaman
Awal, (Jakarta: Kencana, 2017), hal. 185. 43 Di Indonesia sendiri terdapat kecenderungan memandang negatif keadilan prosedural,
khususnya ketika disandingkan dengan apa yang disebut sebagai “keadilan substantif”. Keduanya
bahkan cenderung dipertentangkan. Menurut Achmad Ali, “menjadi masalah besar, dan hal itu
telihat dalam realitas hukum di Indonesia saat ini, adalah ketika prosedur itu dijadikan tujuan.”
Ibid. Adapun Satjipto Rahardjo memandang “(d)i kalangan hukum masih sering prosedur
diunggulkan di atas substansi. Ini didalihkan sebagai bagian dari usaha melindungi hak asasi
manusia dan menjunjung supremasi hukum. Secara empirik kita saksikan, bahwa
ketidakberhasilan memberikan keadilan di negeri kita lebih terletak pada kekalahan prosedur, yaitu
10 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019
tercermin dalam konsep keadilan prosedural murni. Keadilan hanya akan tercapai
apabila seluruh prosedur dilaksanakan dan dipatuhi secara fair. 44 Kondisi ini
hanya akan tercapai apabila dalam sistem yang adil telah terlebih dahulu eksis.
“(H)anya dengan latar-belakang struktur dasar yang adil, termasuk konstitusi
politik dan lembaga-lembaga ekonomi dan sosial yang terasa adil, orang dapat
berkata perangkat prosedur adil itu ada.”45 Kriteria dasar ini dapat ditambahkan
dengan konsistensi, kualitas keputusan, kemungkinan koreksi, pengawasan,
ketidakberpihakan dan penghormatan atas etika, sebagaimana diajukan Makkai
dan Braithwaite.46
Dari konsep keadilan prosedural inilah lahir konsep access to justice. Akan
segera tampak kesebangunan antara prasyarat keadilan prosedural dengan tujuan-
tujuan akses terhadap keadilan itu sendiri. Menurut Gary Blasi, sebagaimana
dikutip Vickrey, et.al., pengertian tradisional dari konsep “access to justice”
umumnya terbatas pada akses masyarakat terhadap bantuan hukum dalam
perkara-perkara di pengadilan.47 Konsep ini menjadi identik dengan pemenuhan
keadilan bagi masyarakat fakir, miskin, dan termarginalkan. Mereka dianggap
tidak memiliki modal yang cukup untuk beracara di pengadilan, sehingga perlu
diberikan kanal melalui pranata bantuan hukum yang umumnya gratis.48 Sejalan
dengan visi kesetaraan, orang-orang miskin dan termarginalkan perlu memperoleh
asistensi demi mewujudkan acara peradilan yang benar-benar fair.
Access to justice mengupayakan mekanisme itu agar efektif dan akuntabel,
serta memberikan perlindungan hak, kontrol atas pelampauan kekuasaan dan
kekalahan dalam perang yang sifatnya lebih prosedural daripada substansial.” Satjipto Rahardjo,
Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003), hal. 28. 44 Rasuanto, Keadilan., hal. 51. 45 Ibid., hal. 52. 46 Penjelasan masing-masing adalah, “(c)onsistency … mean consistency across time, its
important meaning in the domain of business regulation is consistent treatment of different
businesses. This is the sense in which consistency is used in this article. While consistency equates
with the scientific conception of reliability, decision accu- racy or quality equates with validity. It
means doing what is necessary to get decision right ... Correctability means being able to
complain about fairness by a law enforcer to some "agency or organization" … Control was
partitioned … into process control and cision control, while Leventhal … combines them in his
notion of representation. Impartiality means absence of bias. The most important forms of
prevention of favouritism or external bias in Australian society are the elimination of bias the
basis of race, sex, age, nationality or other characteristics of persons. Ethicality is the most
vaguely defined of the procedural justice facets. … (D)efines as "the degree to which the decision-
making process accords with general standards of fairness and morality.” Toni Makkai dan John
Barithwaite, Procedural Justice and Regulatory Compliance “Law and Human Behavior,” Vol. 20,
No. 1, 1996, hal. 84. 47 William C Vickrey, Joseph L Dunn, dan J Clark Kelso, Access to Justice: A Broader
Perspective, “Loyola Los Angeles Law Review,” Vol. 42, No. 4, 2009, hal. 1153. 48 Contoh dari kecenderungan paradigmatik ini tampak dalam proyek Strengthening
Access to Justice (SAJI) gelaran United Nations Development Programme (UNDP), Menurut
UNDP, hanya sekitar 17 persen dari populasi masyarakat miskin di Indonesia yang memperoleh
kemewahan access to justice dalam perkara-perkara hukum. SAJI kemudian dirancang untuk
“improve the access and the delivery of justice especially to the poor, women and diffable
groups of the communities. … (T)he project focusing on the policy, legal and regulatory
reforms and strengthening the capacity of government and non-government service
providers to implement Indonesia’s National Strategy on Access to Justice (NSA2J)
throughout the National and Subnational levels.” Penekanan-penekanan ini menegaskan
subyek-subyek utama dalam konsep “access to justice” adalah masyarakat miskin.
Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 11
penyelesaian konflik.49 Lebih lanjut menurut Bedner, sebagaimana dikutip World
Bank, access to justice juga mencakup kemampuan setiap orang untuk mencari
dan mempertahankan diri dari sistem formal atau informal yang tidak adil, dan
kemampuan untuk memengaruhi proses dan institusi pembentuk dan
pengimplementasi hukum. Dengan membentuk pranata khusus untuk mengatasi
masalah-masalah ini, potensi tercapainya keadilan bagi orang-orang terpinggirkan
ini diharapkan dapat dimaksimalkan, sehingga kesetaraan di hadapan hukum
(equality before the law) dapat tercapai. 50 Di dalamnya, adanya jaminan
pendampingan dari advokat atau pengacara menjadi prasyarat utama.51
Pada titik inilah, posisi keadilan prosedural sebagai ibu dari konsep akses
terhadap keadilan semakin tegas. Apabila bercermin pada teori Rawls atau
Habermas tentang keadilan, prasyarat-prasyarat dasar yang menjadi bagian dari
diktum keduanya juga menjadi tujuan yang hendak dicapai pranata access to
justice, yaitu menyetarakan semua pihak, khususnya mereka yang termarjinalkan,
di hadapan hukum. Secara konseptual, kunci bagi tercapainya keadilan prosedural
murni, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, adalah subyek-subyek yang
terlibat di dalamnya harus duduk dalam posisi yang setara. Rawls mengajukan
tesis tentang posisi asali (original position) dan selubung ketidaktahuan (veil of
ignorance). Dalam posisi asali, orang-orang dibayangkan dapat bertindak secara
bebas dengan menerima adanya kesamaan (equality) antara satu dengan yang
lain.52 Sebagai prasyarat bagi kondisi ini adalah adanya selubung ketidaktahuan
(veil of ignorance), dengan membunuh sementara “konflik kepentingan …
sehingga membuat pemilihan secara aklamasi konsepsi keadilan tertentu menjadi
mungkin.”53 Adapun proyek penyetaraan Habermas dilaksanakan melalui proses
pengorbanan diskursif.
Manariknya, konsep access to justice sesungguhnya masih memiliki
dimensi yang luas dan dapat terus digali. Bagi Vickrey, et.al., access to justice
sekurang-kurangnya mencakup:
(a) available access to competent and impartial judges and court personnel
who promote trust and confidence in the judiciary; (b) safe court facilities
sufficient in capacity to handle caseloads; (c) basic dispute resolution
services from the courts (such as case management services to keep cases
moving or an adequate number of jurors for cases that go to trial); (d) court
interpreters to assist … diverse population in overcoming language
barriers; (e) legal provisions allowing fees to be waived for indigent
persons who cannot otherwise afford access to court; and (f) technologies
now commonly used by counsel and parties in presenting cases.54
(Terjemahan bebas: (a) tersedianya akses kepada hakim-hakim dan personel
pengadilan yang kompeten dan tidak memihak, yang mempromosikan
49 World Bank, “A Framework for Strengthening Access to Justice in Indonesia,”
Kekerasan dalam Rumah Tangga dari Perspektif Pluralisme Hukum,” dalam Sulistyowati Irianto
(Ed), Perempuan dalam Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hal. 318; Rianto Adi, Sosiologi Hukum: Kajian Hukum
Secara Sosiologis, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2012), hal. 65.
14 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019
perdamaian abadi dan keadilan sosial.”62 Karena kedudukannya yang termaktub di
dalam pembukaan konstitusi, konsep keadilan serta merta harus dijadikan sebagai
salah satu asas mendasar dalam penyusunan sistem ketatanegaraan Indonesia.63
Hal ini sejalan dengan kedudukan pembukaan konstitusi an sich sebagai sebuah a
priori hukum. Yudi Latif menilai bahwa dalam kedudukan ini, aturan hukum yang
tidak sejalan dengan materi muatannya tidak dapat dikategorikan sebagai
hukum.64 Dengan kata lain, perundang-undangan yang bertentangan itu niscaya
menjadi batal demi hukum.
Dengan pencantumannya di dalam konstitusi, khususnya pada bagian
pembukaan, maka keadilan secara otomatis menjadi salah satu nilai fundamental
(fundamental value) bernegara. Susunan sistem ketatanegaraan Indonesia haruslah
dijiwai oleh nilai ini. Di dalam konstitusi, pranata yang secara langsung terpapar
nilai keadilan, bahkan dibentuk sebagai wahana penegakannya secara independen,
adalah kekuasaan kehakiman. 65 Kekuasaan itu terdiri atas Mahkamah Agung
beserta institusi-institusi peradilan di bawahnya dan Mahkamah Konstitusi.66
UUD NRI 1945 mengatur setidaknya tiga wewenang MA, yaitu mengadili
pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang
diberikan oleh undang-undang. 67 Pada tingkat kasasi, MA berwenang untuk
melakukan evaluasi terhadap penerapan hukum dalam perkara-perkara yang
diujikan pada badan-badan peradilan di bawahnya, baik di tingkat pertama atau
kedua. 68 Adapun koridor pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang selaras dengan prasyarat dari negara
hukum, yaitu adanya pranata judicial review. 69 Pranata judicial review, atau
peninjauan yudisial, adalah bentuk check and balances antar lembaga negara,
dimana pranata pengadilan melakukan pengawasan terhadap peraturan perundang-
undangan sebagai produk dengan kekuasaan eksekutif maupun legislatif. 70
Wewenang ini juga melengkapi pranata pengujian undang-undang terhadap
konstitusi yang menjadi wewenang MK.71 Apabila pengujian a la MK meninjau
konstitusionalitas sebuah undang-undang, maka pengujian oleh MA meninjau
legalitas peraturan di bawah undang-undang, sebagaimana didalilkan Jimly
Asshiddiqie.72
62 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bagian
Pembukaan. 63 Hal ini mengingat sifat konstitusi sebagai pegangan dalam penyelenggaraan suatu
negara. Asshiddiqie, Konstitusi, hal. 29. 64 Yudi Latif, Pembukaan Undang-Undang Dasar sebagai Cita Negara dan Cita Hukum,
Jurnal Ketatanegaraan, Vol. 001, 2016, hal. 141. 65 Indonesia, UUD NRI 1945, Pasal 24 ayat (1). 66 Ibid., Pasal 24 ayat (2). 67 Ibid., Pasal 24A ayat (1). 68 Hery Shietra, “Permohonan Kasasi, Alasan di Balik Kasasi, Pertimbangan Hukum
Hakim Agung, Penafsiran dan Kontradiksinya,” http://www.hukum-
hukum.com/2015/01/permohonan-kasasi-alasan-dibalik-kasasi.html, diakses pada 1 Maret 2018. 69 Bachtiar, Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi pada Pengujian
UU terhadap UUD, (Jakarta: Penebar Swadaya Grup, 2015), hal. 129. 70 Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 8. 71 Indonesia, UUD NRI 1945, Pasal 24C ayat (1). 72 Asshiddiqie, Konstitusi, hal. 128.
Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 15
Para perumus konstitusi agaknya merasa perlu untuk memberikan
kemungkinan kewenangan-kewenangan baru bagi MA di masa depan atau
mempertahankan praktik yang sudah mapan diatur di dalam undang-undang,
selain mengadili perkara kasasi dan judicial review. 73 Celah itu kemudian
diberikan dengan membentuk norma yang bersifat open legal policy. Artinya,
klausul jenis ini memberikan ruang bagi pembentuk undang-undang untuk
menafsirkan dan mengisi kekosongan pengaturan berdasarkan amanat konstitusi.74
Kebijakan ini berwujud dalam klausul “mempunyai wewenang lainnya yang
diberikan oleh undang-undang.”75
Salah satu bentuk wewenang nonkonstitusional yang dimiliki MA adalah
memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada
lembaga negara dan lembaga pemerintahan, 76 baik diminta maupun tidak. 77
Wewenang ini relatif telah lama disandang oleh MA, sekalipun dinilai tidak
memiliki kekuatan hukum yang mengikat.78 Wewenang lain yang bersifat atributif
dari undang-undang adalah mengurus organisasi, administrasi, dan finansial MA
dan badan peradilan yang berada di bawahnya.79 Dalam Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985, MA juga dianugerahi wewenang tambahan, semisal untuk
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan di bawahnya, 80
mengentaskan sengketa kewenangan mengadili antar lingkungan peradilan
(absolut) maupun antara pengadilan dalam satu lingkungan dengan wilayah
hukum berbeda (relatif),81 menyelesaikan sengketa perampasan kapal asing oleh
73 Simak pendapat Agun Gunanjar dalam pembahasan perubahan ketiga UUD 1945
berikut sebagai contoh. Ia menilai bahwa MA sejatinya dapat mengambil 5 peran dalam jalannya
negara demokrasi modern, yaitu peran ideologis, peran politis, peran yudikatif, peran sosiologis,
dan peran administratif. Pernyataan ini adalah respon Agun atas usulan tim perumus bentukan
PAH I BP MPR 2000 terkait norma yang mengatur wewenang Mahkamah Agung. Tim Penyusun,
Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku VI: Kekuasaan
Kehakiman, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hal.
394. Adapun indikasi mempertahankan praktik yang sudah mapan semisal tampak dalam pendapat
Patrialis Akbar, yang menyatakan “kekuasaan Mahkamah Agung kami usulkan sesuai dengan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 antara lain, pertama adalah Peradilan Kasasi; yang kedua,
sengketa tentang kewenangan mengadili; yang ketiga permohonan peninjauan kembali.Yang
keempat, memberikan pertimbangan hukum untuk memberikan grasi dan rehabilitasi, karena ini
sudah ada dalam amendemen kita. Yang kelima, adalah Fungsi Pengawasan, ini perlu kita
cantumkan di sini yaitu fungsi pengawasan dalam hal teknis peradilan, pelanggaran-pelanggaran
peradilan serta tingkah laku hakim, sehingga ke depan tidak ada lagi fungsi pengawasan terhadap
teknis peradilan.” Ibid., hal. 396. 74 Mardian Wibowo, Menakar Konstitusionalitas Sebuah Kebijakan Hukum Terbuka
dalam Pengujian Undang-Undang, “Jurnal Konstitusi,” Vol. 12 No. 2, 2015, hal. 212. 75 Indonesia, UUD NRI 1945, Pasal 24A ayat (1). 76 Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
Pasal 22 ayat (1). 77 Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Pasal
37. Patut diingat bahwa UU MA ini masih berlaku sekalipun telah terjadi amandemen konstitusi.
UU MA sendiri telah sekali diubah melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. 78 Agus Sahbani, “Menelusuri Jejak dan Daya Ikat Fatwa MA”,
Berdasarkan Asas Demokrasi dan Nilai-Nilai Pancasila, “Jurnal Ilmiah Civis,” Vol. 5 No. 1, 2015,
hal. 682-683.
Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 17
Perubahan yang cukup mencolok adalah dengan adanya pelibatan kekuasaan
yudisial dalam sistem ini. Pelibatan lengan kekuasaan yudisial sejatinya telah
dianut dalam sistem pemberhentian Presiden di dalam konstitusi. Sebagaimana
dalam sistem pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, pelibatan ini
adalah buah dari penguatannya legitimasi Presiden pasca reformasi, melalui
pemilihan langsung.91 Hal ini sangat berbeda dibanding era sebelum reformasi,
dimana Presiden dipilih dan diberhentikan oleh MPR. Hal ini mengingat MPR
berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara sekaligus penjelmaan kedaulatan
rakyat, sementara Presiden berperan semata-mata sebagai mandataris MPR.92
Dalam proses pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden, intervensi
yudisial itu berada di tangan MK. Apabila Presiden diduga melanggar sejumlah
larangan yang diatur di dalam konstitusi atau tak dapat lagi melaksanakan
tugasnya,93 maka Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat meminta kepada MK
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.94
MK kemudian diwajibkan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dengan
seadil-adilnya pendapat DPR tersebut paling lama 90 setelah permintaan DPR
diterima.95 Apabila MK memutus bahwa Presiden atau Wakil Presiden terbukti
melakukan pelanggaran atau tidak dapat lagi melaksanakan jabatannya, maka
usulan pemberhentian oleh DPR dapat diteruskan kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR).96
Model yang hampir serupa kemudian diadopsi dalam mekanisme
pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sejak UU No. 32/2004.
Di dalam undang-undang ini, Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dapat
berhenti apabila meninggal dunia, permintaan sendiri,97 atau diberhentikan karena
91 Semisal, Suwoto dalam proses pembahasan amandemen konstitusi yang berpendapat
bahwa “kalau seorang Presiden itu dipilih dengan suara atau hasil dari proses suara mayoritas
maka untuk mengajukan impeachment saya kira pertimbangannya adalah cukup berat, begitu ya.
Kesalahan kecil saja bisa diajukan suatu impeachment. Kemudian keputusan final, ini yang saya
katakan tadi, ini yang penyimpangan yang dilakukan oleh MPR, saya kira, tidak bisa kita
mendasarkan suatu pemberhentian berdasarkan putusan peradilan, berdasarkan peradilan. Karena
apa? Karena pembuktian menurut logika politik, itu mempunyai suatu dalil-dalil yang memang
berbeda dengan proses pembuktian di pengadilan. Seseorang yang dinyatakan salah secara politik,
dan kemudian tepat untuk bisa diberi hukuman pemberhentian, itu memang belum tentu nanti
salah, kalau dibuktikan melalui suatu proses peradilan, setelah berhenti dari jabatannya. Dan
kalaupun itu terjadi, putusan politik itu masih tetap sah.” Tim Penyusun, Naskah Komprehensif
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang,
Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku IV Kekuasaan Pemerintah Negara Jilid I , hal.
328. 92 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Bagian Penjelasan Sistem Pemerintahan
Negara. 93 Larangan tersebut terdiri atas melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun
apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Indonesia,
UUD NRI 1945, Pasal 7A. 94 Ibid., Pasal 7B ayat (1). 95 Ibid., Pasal 7B ayat (4). 96 Ibid., Pasal 7B ayat (5). 97 Indonesia, UU No. 32/2004, Pasal 29 ayat (1) huruf a dan b.
18 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019
alasan-alasan berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru, tidak
dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara
berturut-turut selama 6 (enam) bulan, tidak lagi memenuhi syarat sebagai Kepala
Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah; dinyatakan melanggar sumpah/janji
jabatan, tidak melaksanakan kewajiban, serta melanggar larangan bagi Kepala
Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah.98
Lebih lanjut undang-undang mengatur bahwa tidak semua kategori
larangan-larangan yang dapat berakibat pemberhentian itu membutuhkan
pertimbangan hukum MA. Yurisdiksi MA terbatas pada usulan pemberhentian
berdasarkan pendapat DPRD bahwa Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala
Daerah dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan dan atau tidak melaksanakan
kewajiban Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. 99 Setelah menerima
permintaan DPRD untuk mengadili pendapatnya, MA berkewajiban untuk
memeriksa, mengadili dan memutus dalam 30 hari, dengan putusan yang bersifat
final. 100 Apabila putusan MA menyatakan Kepala Daerah terbukti melanggar
sumpah/janji jabatan atau tidak melaksanakan kewajibannya, maka DPRD
menyelenggarakan rapat paripurna untuk memutuskan usul pemberhentian kepada
Presiden.101
Pada saat ini, UU No. 32/2004 tak lagi berlaku. Kedudukannya sebagai
hukum positif pemerintahan daerah telah digantikan oleh undang-undang yang
lebih baru, yaitu UU No. 23/2014. Sekalipun melakukan perombakan terhadap
banyak aspek pemerintahan daerah, 102 namun undang-undang ini
mempertahankan wewenang MA dalam memberikan intervensi yuridis terhadap
upaya pemberhentian Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah. 103 Namun,
terdapat sedikit perbedaan kali ini. Undang-undang yang baru telah memperluas
yurisdiksi MA terhadap bentuk pelanggaran apa saja yang dapat menjadi alasan
gugatan DPRD ke pranata ini.
Kini MA tidak hanya berwenang mengadili pendapat DPRD terhadap
pelanggaran sumpah/janji jabatan dan/atau ketiadaan pelaksanaan kewajiban oleh
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, melainkan juga dapat mengadili dugaan
pelanggaran larangan bagi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan adanya
perbuatan tercela.104 Larangan-larangan tersebut mencakup:
membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan pribadi,
keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;105 … membuat kebijakan yang
merugikan kepentingan umum dan meresahkan sekelompok masyarakat atau
mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 106 …
menyalahgunakan wewenang yang menguntungkan diri sendiri dan/atau
98 Ibid., Pasal 29 ayat (2). 99 Ibid., Pasal 29 ayat (4) huruf a. 100 Ibid., Pasal 29 ayat (4) huruf c. 101 Ibid., Pasal 29 ayat (4) huruf d. 102 Agus Kusnadi, Re-Evaluasi Hubungan Pengawasan Pusat dan Daerah Setelah
Berlakunya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, “Arena Hukum,” Vol. 10, No.
1, 2017, hal. 62. 103 Indonesia, UU No.23/2014, Pasal 80. 104 Ibid., Pasal 80 ayat (1) huruf a. 105 Ibid., Pasal 76 ayat (1) huruf a. 106 Ibid., Pasal 76 ayat (1) huruf b.
Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 19
merugikan Daerah yang dipimpin, melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta
menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi
keputusan atau tindakan yang akan dilakukan;107 … menyalahgunakan wewenang
dan melanggar sumpah/janji jabatannya;108 ... merangkap jabatan sebagai pejabat
negara lainnya sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan.109
Kepala Daerah juga dapat diberhentikan apabila menjadi advokat atau kuasa
hukum dalam suatu perkara di pengadilan, kecuali dalam rangka mewakili
daerahnya.110 Sementara yang dimaksud undang-undang sebagai perbuatan tercela
mencakup perjudian, meminum minuman keras, menggunakan atau mengedarkan
narkoba, dan bentuk-bentuk pelanggaran kesusilaan lain.111 Klausul-klausul dalam
UU No. 23/2014 inilah yang menjadi landasan hukum positif wewenang absolut
MA untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan uji pendapat DPRD
tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah.
IV. Kekosongan Hukum Acara sebagai Indikasi Krisis Access to Justice
dalam Putusan-Putusan Mahkamah Agung terhadap Permohonan Uji
Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Pemberhentian
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Tahun 2017
Sekalipun telah dirancang dan diidealkan sebagai sistem yang paripurna,
namun sistem pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang dianut
UU No. 23/2014 masih menyisakan masalah, khususnya berkaitan dengan peran
MA dalam sistem itu. Dalam kerangka access to justice, masalah-masalah tersebut
akan dianalisis berdasarkan indikator-indikator berikut:
1. Prosedur penegakan hukum (hukum acara) yang jelas, terbuka, fair,
konsisten, dan terukur;
2. Prosedur tersebut memungkinkan adanya ruang diskursus dan
perdebatan antara para pihak berkepentingan secara setara;
3. Terdapat kanal bagi bantuan hukum bagi siapapun yang
membutuhkannya, untuk menjamin proses penegakan hukum yang fair;
4. Aparat penegak hukum yang profesional, kompeten dan
bertanggungjawab; dan
107 Ibid., Pasal 76 ayat (1) huruf d. 108 Ibid., Pasal 76 ayat (1) huruf g. 109 Ibid., Pasal 76 ayat (1) huruf h. Diluar kesemuanya, undang-undang mengatur beberapa
jenis larangan lain bagi kepala daearh, namun secara eksplisit mengecualikannya sebagai alasan
bagi pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Larangan tersebut mencakup menjadi
pengurus suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara/daerah atau pengurus yayasan
bidang apa pun, melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa izin dari Menteri, dan meninggalkan
tugas dan wilayah kerja lebih dari 7 (tujuh) hari berturut-turut atau tidak berturut-turut dalam
waktu 1 (satu) bulan tanpa izin menteri untuk gubernur dan wakil gubernur serta tanpa izin
gubernur untuk bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota, sebagai alasan
pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah. Lihat Ibid., Pasal 78 ayat (2) huruf e. 110 Ibid., Pasal 76 ayat (1) huruf f. Klausul ini sejatinya berbunyi “menjadi advokat atau
kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat
(1) huruf e.” Pasal 65 ayat (1) huruf e sendiri membolehkan Kepala Daerah “mewakili Daerahnya
di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Penulis memilih menuliskan kedua klausul ini
secara sekaligus demi kesinambungan dan keseluruhan narasi. 111 Ibid., Penjelasan Pasal 78 ayat (1) huruf f.
20 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019
5. Akses untuk memengaruhi proses pembentukan hukum di seluruh
cabang kekuasaan.
4.1. Ketiadaan Hukum Acara yang Jelas, Terbuka, Fair, Konsisten, dan
Terukur
Akar utama dari seluruh krisis access to justice dalam kasus-kasus
pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah di Indonesia sejatinya adalah
kekosongan hukum acara yang mengatur mekanisme baku peradilan pengujian
pendapat DPRD tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah.
Dengan kata lain, tidak ada prosedur penegakan hukum (hukum acara) yang jelas,
terbuka, fair, konsisten, dan terukur. Ketentuan ini sama sekali tidak diatur di
dalam UU No. 23/2014.
Di dalam UU No. 23/2014, satu-satunya aspek formal yang diatur adalah
tenggat waktu pelaksanaan peradilan, yaitu selama 30 hari. Dalam kurun waktu
tersebut, MA harus memeriksa, mengadili, dan memutus usulan DPRD. 112 MA
sendiri tidak berinisiatif untuk mengisi kekosongan hukum tersebut. MA tidak
membentuk PERMA untuk mengatur peradilan pengujian pendapat DPRD
tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Padahal Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 (UU No. 12/2011) memungkinkan hal tersebut
dilakukan oleh MA karena kewenangannya.113 Satu-satunya acuan hukum formal
dalam jenis perkara ini adalah dengan memberikan kesempatan kepada termohon
untuk memberikan jawaban secara tertulis.114
Apabila terus-menerus diabaikan, hal ini dapat membuat legitimasi putusan-
putusan MA dipertanyakan. Pengaturan mengenai hukum acara penting di dalam
sebuah Negara Hukum. Ia berkaitan dengan sarana-sarana pranata sosial dan
pengelolaan perselisihan (conflict management). Ia menjadi landasan kultural
sistem hukum dan membantu menentukan ruang sistem (system space) yang
diberikan kepada lembaga hukum, politik, agama atau lembaga lainnya dalam
sejarah masyarakat.115 Ini sejalan dengan fungsi penting hukum acara menurut
para sarjana dari berbagai cabang ilmu hukum, baik pidana, perdata, ataupun
administrasi negara, yaitu sebagai instrumen yang harus ada bagi penegakan
hukum material, dalam upaya menemukan kebenaran yang substantif.116 Adanya
hukum acara akan menjamin adanya ketertiban dalam proses itu dan keputusan-
keputusan yang dihasilkan berdasarkan keadilan.
Dalam hal ini, MA perlu belajar kepada MK. Sebelum MA menyandang
wewenang yudisial untuk mengintervensi proses pemberhentian Kepala
112 Indonesia, UU No. 23/2014, Pasal 80 ayat (1) huruf c. 113 Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
MA, Putusan No. 03 P/KHS/2017, hal. 3. 115 Lev, Politik, hal. 111-112. 116 R Atang Ranoemihardja, Hukum Acara Pidana, (bandung: Tarsito, 1980), hal. 14; Lilik
Mulyadi, Hukum Acara Pidana: Suatu Tinjauan Khusus terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan
Putusan Pengadilan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), Bambang Poernomo, Pola Dasar
Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty,
1993), hal. 10; hal. 29; I Rubini, Pengantar Hukum Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 1974), hal.
9; Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, (Jakarta: Pustaka
Kartini, 1988), hal. 6; Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata
dalam Teori dan Praktik, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hal. 1; Rozali Abdullah, Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1992), hal. 2.
Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 21
Daerah/Wakil Kepala Daerah, MK telah dibebani tanggung jawab serupa terlebih
dahulu. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan konstitusi mengenai proses
pemberhentian Presiden/Wakil Presiden. Konstitusi memberikan MK kewajiban
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.117
Hukum acara bagi jenis gugatan tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut di
dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.118
Namun demikian, pengaturan hukum acara tentang tidak berhenti di level
konstitusi maupun undang-undang semata. MK kemudian mengambil inisiatif
untuk membentuk Peraturan MK untuk mengatur acara pengujian pendapat DPR
terhadap dugaan pelanggaran oleh Presiden/Wakil Presiden. Ketentuan tersebut
dituangkan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009. Di
dalamnya dengan tegas MK menyatakan bahwa “ketentuan hukum acara untuk
melaksanakan kewajiban … belum lengkap” dan “perlu mengatur hal-hal yang
diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan wewenangnya.”119 Pun apabila terdapat
hal yang terlewatkan untuk diatur, MK menegaskan bahwa asas-asas hukum acara
yang terkait berlaku secara mutatis mutandis.120 Penegasan-penegasan ini penting
untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum. MK tetap mengatur mengenai
hal tersebut, sekalipun hingga saat ini belum ada satupun upaya pemberhentian
yang diajukan kepadanya.
Melalui peraturan tersebut, MK memberikan pembatasan-pembatasan
terhadap hal-hal yang masih kabur dan belum terjelaskan, baik di dalam konstitusi
maupun UU No. 24/2003. Semisal, tindak pidana berat yang didefiniskan sebagai
“tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.”121
Adapun perbuatan tercela berkaitan dengan “perbuatan yang dapat merendahkan
martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.”122 MA juga menegaskan kembali
subyek-subyek yang berkepentingan dalam jenis kasus ini: DPR sebagai
pemohon, dan Presiden/Wakil Presiden sebagai termohon. Kedua pihak berhak
untuk didampingi oleh kuasa hukum.123
Setiap permohonan pengujian pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran
oleh Presiden/Wakil Presiden harus menguraikan dengan jelas alasan permohonan
itu, baik terkait adanya pelanggaran hukum atau Presiden/Wakil Presiden yang
tidak lagi memenuhi syarat untuk menjabat. 124 Apabila permohonan tersebut
didasarkan pada dugaan pelanggaran hukum, pemohon harus menguraikan dengan
rinci jenis, waktu dan tempat terjadinya pelanggaran. 125 Sementara terhadap
117 Indonesia, UUD NRI 1945, Pasal 7B ayat (1). 118 Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal
28-49, Pasal 80-85. 119 Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang
Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan
Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, Bagian Menimbang huruf b dan c. 120 Ibid., Pasal 21. 121 Ibid., Pasal 1 angka 10. 122 Ibid., Pasal 1 angka 11. 123 Ibid., Pasal 2 ayat (1). 124 Ibid., Pasal 3 ayat (3). 125 Ibid., Pasal 4 ayat (1).
22 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019
permohonan dengan dalil ketidakmampuan melaksanakan kewajiban, uraian harus
merinci syarat-syarat yang tak lagi dapat dipenuhi Presiden/Wakil Presiden.126
Setiap permohonan dilengkapi oleh alat bukti tertentu.127
Lebih lanjut MK mengatur agar proses persidangan memutus pendapat DPR
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden/Wakil Presiden dibagi enam tahap.
Persidangan dimulai dengan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan, tanggapan oleh
termohon, pembuktian oleh pemohon, pembuktian oleh termohon, kesimpulan
dari kedua pihak, dan pengucapan putusan.128 Setelah semua tahapan terlampaui,
MK kemudian mengucapkan putusan dalam tiga jenis amar, yaitu permohonan
tidak dapat diterima, permohonan ditolak, atau membenarkan pendapat DPR.129
Putusan MK bersifat final secara yuridis dan mengikat bagi DPR.130
Dengan adanya hukum acara yang ketat, MK menegaskan marwah dan
kekuasaannya dalam memberikan intervensi yuridis terhadap proses
pemberhentian Presiden/Wakil Presiden. Kedudukan MK menjadi kontekstual dan
sejalan dengan semangat untuk semakin menguatkan kedudukan Presiden dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia. Dengan demikian, kuatnya unsur politis dalam
proses pemberhentian Presiden dapat ditekan dan diminimalisasi. 131 Dengan
hukum acara yang ketat itu, MK bahkan tampak menihilkan sama sekali hasil-
hasil yang telah dicapai dalam paripurna DPR. Indikatornya, baik pemohon atau
termohon tetap berkewajiban untuk melaksanakan proses pembuktian di hadapan
pengadilan, dalam suatu sidang yang terbuka. Pemohon maupun termohon pun
memiliki akses untuk memeriksa bukti-bukti satu sama lain.132
Inisiatif-inisiatif MK inilah yang perlu diadopsi oleh MA dalam penanganan
pengujian pendapat DPRD tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah. Secara yuridis dalam konteks pengujian ini, MA memiliki kedudukan
yang kongkruen dan sebangun dengan peran MK dalam pengujian pendapat DPR
terhadap dugaan pelanggaran Presiden/Wakil Presiden. Keduanya berfungsi
sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir, dengan keputusan yang final
secara yuridis dan mengikat bagi pemohonnya (DPR atau DPRD). Karena
berfungsi sebagai pengadilan tingkat pertama, MA perlu menggeser atau
menegaskan perannya dari sekadar judex iure menjadi judex factie. Dengan kata
lain, MA harus menilai kualitas formal dan material pemohon dan termohon
(sejak pengajuan permohonan, jawaban termohon, pembuktian, hingga
simpulan),133 dan tidak memercayai hasil pemeriksaan angket DPRD dengan serta
merta. Karena menilai pembuktian, maka pemohon dan termohon perlu diberikan
kesempatan untuk mengakses alat bukti secara terbuka, demi membangun
126 Ibid., Pasal 4 ayat (2). 127 Alat bukti tersebut terdiri atas risalah pengambilan keputusan yang membuktikan bahwa
pendapat DPR didukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR dalam sidang
paripurna yang dihadiri oleh 2/3 anggota DPR, dokumen pelaksanaan fungsi pengawasan yang
berkenaan dengan permohonan, risalah rapat, dan alat bukti lain yang relevan. Ibid., Pasal 5. 128 Ibid., Pasal 9 ayat (3). Perincian dari masing-masing tahap dijabarkan dalam Pasal 10-
19. 129 Ibid., Pasal 19 ayat (3). 130 Ibid., Pasal 19 ayat (5). 131 Muhammad Fauzan, Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Proses Impeachment
Presiden Menurut Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, “Jurnal Dinamika Hukum,” Vol. 11