Top Banner
Jurnal Hukum & Pembangunan 49 No. 1 (2019): 1-43 ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online) Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol49.no1.1908 KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO JUSTICE DALAM KASUS-KASUS PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH/WAKIL KEPALA DAERAH DI INDONESIA Arasy Pradana A Azis * * Mahasiswa Magister Hukum, Konsentrasi Hukum Kenegaraan, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Korespondensi: [email protected] Naskah dikirim: 14 Maret 2018 Naskah diterima untuk diterbitkan: 28 Juni 2018 Abstract Law Number 23 Year 2014 on Regional Government (Law No. 23/2014) provides that the Regional Head or Deputy Regional Head may be dismissed in the middle of his term by certain reasons. The law also regulates a strict process, including the involment of the Supreme Court (MA) in it. MA provides a judicial test of the opinion of the Regional House of Representatives (DPRD) as the initiator of the dismissal processl. The involvement of the Supreme Court is a consequence of the strengthening of the legitimacy of the Head of Region/Deputy Head of Region, which is now elected directly by the people. Therefore, dismissal of Head of Region/Deputy Head of Region is designed difficult. However there is a problem of access to justice in the judicial process in MA, mainly due to the blur of procedural law. The concept of access to justice has been interpreted in a limited way, solely as access to legal assistance for the poor and marginalized. Keywords: Dismissal of Head of Region/Deputy Head of Region, Procedural Law, Procedural Justice, Access to Justice Abstrak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 23/2014) mengatur bahwa Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dapat diberhentikan di tengah masa jabatannya oleh sebab-sebab tertentu. Undang- undang tersebut juga mengatur prosesnya secara baku, termasuk melibatkan Mahkamah Agung (MA) di dalamnya. MA befungsi untuk memberikan menguji secara yuridis pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai insiator proses pemberhentian. Pelibatan MA merupakan konsekuensi dari menguatnya legitimasi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang kini dipilih oleh rakyat. Oleh karena itu, pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dirancang sulit. Namun terdapat masalah access to justice dalam proses peradilan di MA ini, terutama disebabkan oleh hukum acara yang kabur. Konsep access to justice selama ini dimaknai secara terbatas semata-mata sebagai akses pendampingan hukum bagi masyarakat miskin dan termarjinalkan. Kata Kunci: Pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Hukum Acara, Keadilan Prosedural, Access to Justice.
43

KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

Nov 20, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

Jurnal Hukum & Pembangunan 49 No. 1 (2019): 1-43

ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online)

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id

DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol49.no1.1908

KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO JUSTICE

DALAM KASUS-KASUS PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH/WAKIL

KEPALA DAERAH DI INDONESIA

Arasy Pradana A Azis *

* Mahasiswa Magister Hukum, Konsentrasi Hukum Kenegaraan, Program Pasca Sarjana Fakultas

Hukum Universitas Indonesia

Korespondensi: [email protected]

Naskah dikirim: 14 Maret 2018

Naskah diterima untuk diterbitkan: 28 Juni 2018

Abstract

Law Number 23 Year 2014 on Regional Government (Law No. 23/2014) provides

that the Regional Head or Deputy Regional Head may be dismissed in the middle

of his term by certain reasons. The law also regulates a strict process, including

the involment of the Supreme Court (MA) in it. MA provides a judicial test of the

opinion of the Regional House of Representatives (DPRD) as the initiator of the

dismissal processl. The involvement of the Supreme Court is a consequence of the

strengthening of the legitimacy of the Head of Region/Deputy Head of Region,

which is now elected directly by the people. Therefore, dismissal of Head of

Region/Deputy Head of Region is designed difficult. However there is a problem

of access to justice in the judicial process in MA, mainly due to the blur of

procedural law. The concept of access to justice has been interpreted in a limited

way, solely as access to legal assistance for the poor and marginalized. Keywords: Dismissal of Head of Region/Deputy Head of Region, Procedural Law,

Procedural Justice, Access to Justice

Abstrak

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU No.

23/2014) mengatur bahwa Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dapat

diberhentikan di tengah masa jabatannya oleh sebab-sebab tertentu. Undang-

undang tersebut juga mengatur prosesnya secara baku, termasuk melibatkan

Mahkamah Agung (MA) di dalamnya. MA befungsi untuk memberikan menguji

secara yuridis pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai

insiator proses pemberhentian. Pelibatan MA merupakan konsekuensi dari

menguatnya legitimasi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang kini dipilih oleh

rakyat. Oleh karena itu, pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah

dirancang sulit. Namun terdapat masalah access to justice dalam proses peradilan

di MA ini, terutama disebabkan oleh hukum acara yang kabur. Konsep access to

justice selama ini dimaknai secara terbatas semata-mata sebagai akses

pendampingan hukum bagi masyarakat miskin dan termarjinalkan. Kata Kunci: Pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Hukum Acara,

Keadilan Prosedural, Access to Justice.

Page 2: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

2 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

I. Pendahuluan

Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 23/2014), Kepala Daerah atau Wakil

Kepala Daerah dapat diberhentikan di tengah masa jabatannya oleh sebab-sebab

tertentu. Undang-undang tersebut telah mengatur prosesnya secara baku, termasuk

melibatkan Mahkamah Agung (MA) di dalamnya. MA befungsi untuk

memberikan legitimasi yuridis terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) sebagai insiator proses pemberhentian. Namun terdapat masalah

access to justice dalam proses peradilan di MA ini, terutama disebabkan oleh

hukum acara yang kabur.

Sejak Undang-Undang 32 Tahun 2004 (UU No. 32/2014), dan dilanjutkan

oleh UU No. 23/2014 yang sama-sama mengatur perihal pemerintahan daerah,

Indonesia menggunakan sistem baru bagi upaya pemberhentian Kepala

Daerah/Wakil Kepala Daerah. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang kini

dipilih langsung oleh rakyat tak lagi dapat dengan mudah diberhentikan oleh

DPRD sebagaimana dianut dalam rezim hukum sebelumnya. Hal ini mengingat,

di masa lalu presumsi dasar bagi pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala

Daerah sepenuhnya berada di tangan DPRD: DPRD menjadi satu-satunya pihak

yang berhak menilai dugaan pelanggaran Kepala Daerah dan memutuskan

pemberhentiannya, sementara kapasitas Presiden semata-mata mengesahkan

keputusan DPRD tersebut. 1 Sistem yang memberikan wewenang sangat besar

pada DPRD ini notabene merupakan konsekuensi dari otonomi luas bagi daerah

yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (UU No. 22/1999),2

yang mendapat basis teleologisnya dari tuntutan-tuntutan Reformasi. 3 Karena

Kepala Daerah masih dipilih oleh DPRD, maka DPRD relatif memegang

kekuasaan dan menjadi sumber legitimasi politik yang signifikan di daerah.

Namun situasi ini hanya berlangsung 5 tahun. UU No. 32/2004 diundangkan

dengan semangat mengurangi signifikansi kewenangan daerah yang dinilai negara

terlalu berlebihan. Pengurangan itu dikemas dalam bahasa:

penyelenggaraan otonomi daerah … harus menjamin keserasian hubungan

antara Daerah dengan Daerah lainnya, artinya mampu membangun

kerjasama antar Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan

mencegah ketimpangan antar Daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya

bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi

antar Daerah dengan Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan

menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan

Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.4

1 Indonesia, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal

49. 2 Norpan Mufti, “Otonomi dan Kebijakan Pemerintah,” dalam Antonius Simanjuntak (Ed.),

Otonomi Daerah, Etnonasionalisme, dan Masa Depan Indonesia: Berapa Persen Lagi Tanah dan

Air Nusantara Milik Rakyat, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hal. 119-120; Fatmawati,

Otonomi Daerah dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor

5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, “Jurnal Hukum dan Pembangunan,

No. 1, 2000, hal. 40 3 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik, (Jakarta: PSHTN FH UI,

2015), hal. 264-265. 4 Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

Bagian Penjelasan Umum Sub Bagian Dasar Pemikiran huruf b.

Page 3: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 3

DPRD pun semakin kehilangan kekuasan karena Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah kini tidak lagi dipilih oleh mereka, melainkan secara langsung oleh

rakyat. 5 Artinya, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah memiliki sumber

legitimasi yang lebih kuat dan perlu mendapatkan perlindungan yang lebih kuat

dari upaya pemberhentian di tengah masa jabatan.

Sistem baru pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah kemudian

dirancang lebih rumit, dengan melibatkan lebih banyak pihak, untuk menegaskan

fungsi check and balances antara berbagai elemen kekuasaan yang

berkepentingan di daerah. Terobosan penting dan mencolok dalam sistem

pemberhentian kepala daerah yang baru ini diantaranya adalah keterlibatan

kekuasaan yudisial. Tak tanggung-tanggung, pembentuk undang-undang

memberikan wewenang intervensi ini kepada MA sebagai salah satu pemuncak

kekuasaan kehakiman di Indonesia. Keterlibatan Mahkamah Agung (MA) dalam

proses pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah ini termasuk bagian

yang tidak diubah ketika UU No. 23/2014 diundangkan sebagai pengganti UU

No. 32/2004.

Perlu dicatat bahwa UU No. 23/2014 sejatinya mengatur beberapa model

pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang disesuaikan dengan

alasan-alasan pemberhentiannya.6 MA terlibat hanya pada salah satu modelnya,

ketika pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah tersebut didasarkan

pada dugaan pelanggaran sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban,

melanggar larangan-larangan tertentu, dan melakukan perbuatan tercela.7 Dalam

model ini, DPRD mengadakan sidang paripurna untuk menyatakan pendapat

(yang umumnya didahului pelaksanaan angket8) mengenai adanya pelanggaran

sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban, melanggar larangan-

larangan tertentu, dan melakukan perbuatan tercela yang dilakukan Kepala

Daerah/Wakil Kepala Daerah.9 Pendapat tersebut harus diputuskan dalam Rapat

Paripurna yang dihadiri sejumlah minimal 3/4 keseluruhan anggota DPRD dan

putusan diambil dengan persetujuan oleh paling sedikit 2/3 anggota DPRD yang

hadir dalam paripurna.10 Pendapat tersebut kemudian diajukan kepada MA untuk

diperiksa, diadili dan diputus dalam kurun waktu 30 hari. Apabila MA

5 Ibid., Pasal 56 ayat (1). 6 Semisal ketika Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah meninggal dunia, mengundurkan

diri, berakhir masa jabatannya, atau tak dapat melaksanakan tugas selama 6 bulan berturut-turut,

DPRD melaksanakan rapat paripurna dan menyampaikan usulan pemberhentian kepada Presiden

atau Menteri untuk mendapatkan penetapan pemberhentian. Proses ini tidak membutuhkan

legitimasi yudisial dari MA. Lihat Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, Pasal 79 ayat (1). Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah juga dapat

diberhentikan tanpa usulan DPRD apabila terbukti bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang

berkekuatan hukum tetap. Lihat Ibid., Pasal 83 ayat (5). 7 Ibid., Pasal 80 ayat (1) huruf a. 8 Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, salah satu fungsi hak menyatakan pendapat adalah sebagai wahana

tindak lanjut dari hak angket. Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 322 ayat (4) (DPRD Provinsi) dan Pasal 371 ayat (4) (DPRD

Kabupaten/Kota). Hubungan antara angket dan pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala

Daerah akan tampak pada analisis tentang putusan-putusan MA pada bagian selanjutnya. 9 Indonesia, UU No. 23/2014, Pasal 80 ayat (1) huruf a. 10 Ibid., Pasal 80 ayat (1) huruf b.

Page 4: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

4 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

menyatakan bahwa Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah terbukti melakukan hal-

hal yang dituduhkan oleh DPRD, maka DPRD menyampaikan usul

pemberhentian kepada Menteri atau Presiden. Kedua pranata yang disebut

belakangan berkewajiban untuk memberhentikan Kepala Daerah/Wakil Kepala

Daerah dalam waktu 30 hari sejak usulan DPRD diterima.11 Sepanjang tahun 2017, MA menerima 3 permohonan uji pendapat DPRD

tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah di berbagai daerah di

Indonesia. Jumlah ini relatif signifikan sejak UU No. 23/2014 diundangkan,

mengingat pada tahun 2015 dan 2016 MA tidak menerima satu pun permohonan

sejenis.12 Kasus pertama terjadi di ujung timur Indonesia, tepatnya di kabupaten

Mimika, Papua. Kasus ini sesungguhnya dimulai sejak tahun 2016, dimana DPRD

Mimika menerima aduan dari DPP Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Se-

Indonesia dan surat dukungan dari Lembaga Adat Musyawarah Adat Suku

Kamoro tentang sejumlah pelanggaran yang dilakukan Bupati Mimika.13 Bupati

Mimika dituding telah menggunakan ijazah palsu guna memenuhi syarat

pencalonannya pada pemilihan kepala daerah (pilkada) Mimika 2014, bepergian

ke luar negeri tanpa izin menteri, dan melanggar sumpah/janji jabatan sebagai

Kepala Daerah.14 Setelah melalui proses angket, seluruh anggota DPR Mimika

kemudian bersepakat bahwa yang bersangkutan terbukti melakukan pelanggaran-

pelanggaran yang dituduhkan. Pendapat tersebut dituangkan dalam Keputusan

DPRD Mimika Nomor 4 Tahun 2016, sebelum diajukan kepada MA untuk

memperoleh legitimasi yuridis.15

Kasus kedua terjadi di provinsi yang berbeda, tepatnya di Katingan,

Kalimantan Tengah. Pada awal Januari 2017, Bupati Katingan tertangkap tangan

tengah berduaan dengan wanita yang bukan istrinya di sebuah rumah kontrakan.16

Namun Bupati berdalih bahwa keduanya sejatinya telah melangsungkan

pernikahan siri di Jakarta.17 DPRD Katingan pun membentuk panitia angket, yang

menghasilkan keputusan bahwa yang bersangkutan melanggar sumpah/janji

jabatan, tidak melaksanakan kewajiban Kepala Daerah, melakukan perbuatan

tercela dan melanggar sejumlah undang-undang, terutama Undang-Undang

11 Ibid., Pasal 80 ayat (1) huruf e dan f. 12 Mahkamah Agung, “Direktori Putusan Tahun 2015”,

https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/mahkamah-agung/periode/putus/2015, diakses

pada 23 Februari 2017; Mahkamah Agung, “Direktori Putusan Tahun 2016,”

https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/mahkamahagung/periode/putus/2016/index.html

, diakses pada 23 Februari 2016. Namun statistik ini tidak dapat menjadi acuan cerminan umum

bahwa tidak ada sama sekali kasus pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Sebagai

contoh, KPK mencatat bahwa terjadi 60 kasus korupsi yang melibatkan Bupati, Walikota, Wakil

Bupati, atau Wakil Walikota, dan 17 kasus korupsi yang melibatkan Gubernur atau Wakil

Gubernur. Ant, “Statistik KPK: Pelaku Korupsi terbanyak dari Swasta, Disusul Pejabat dan

Anggota DPR,” https://news.okezone.com/read/2017/10/05/337/1789432/statistik -kpk-

pelaku-korupsi-terbanyak-dari-swasta-disusul-pejabat-dan-anggota-dpr, diakses pada 23

Februari 2018. Kasus-kasus ini dapat saja berujung pada pemberhentian langsung oleh

Presiden/Menteri tanpa persetujuan DPRD. 13 Mahkamah Agung, Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 P/KHS/2017, hal. 5. 14 Ibid., hal. 5-7. 15 Ibid., hal. 11. 16 Chaidir Anwar Tanjung, “Awal Terbongkarnya Selingkuh Bupati Katingan dengan Istri

Polisi” https://news.detik.com/berita/d-3388714/awal-terbongkarnya-selingkuh-bupati-katingan-

dengan-istri-polisi, diakses pada 24 Februari 2018. 17 Mahkamah Agung, Putusan Mahkamah Agung Nomor 02 P/KHS/2017, hal. 2.

Page 5: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 5

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU No. 1/1974). 18 Upaya

pemberhentian ini berlangsung beriringan dengan aduan perzinahan yang

dilakukan suami sang wanita kepada polisi, yang belakangan dicabut.19

Kasus ketiga terjadi di Sulawesi, tepatnya di Kabupaten Gorontalo, dengan

Wakil Bupati Gorontalo sebagai obyeknya. Upaya pemberhentian Wakil Bupati

Gorontalo berawal dari laporan adanya pertemuan rahasia antara dirinya dengan

seseorang bernama Arfan Akurama sebagai perwakilan salah satu peserta lelang

proyek infrastruktur. 20 Tanpa sepengetahuan sang Wakil Bupati, percakapan

tersebut rupanya direkam, yang membeberkan adanya permintaan fee dengan

presentase tertentu apabila tamunya memenangkan lelang. Permintaan Wakil

Bupati ini ditolak Arfan, sehingga disinyalir menjadi alasan kekalahannya dalam

lelang tersebut.21 Bukti rekaman yang dimilikinya kemudian menjadi dasar bagi

laporannya kepada DPRD Kabupaten Gorontalo, dan ditindaklanjuti dengan

pembentukan panitia angket terhadap Wakil Bupati Gorontalo. Pada sidang

paripurna tanggal 22 September 2017, DPRD menyatakan Wakil Bupati terbukti

melanggar sumpah jabatan, tidak melaksanakan kewajibannya, dan melakukan

perbuatan tercela.22 Pendapat ini kemudian diteruskan ke MA untuk diperiksa,

diadili dan diputus.

Baik pada kasus pertama, kedua, atau ketiga, MA menghasilkan putusan

yang relatif sama, yaitu mengabulkan permohonan DPRD dan menyatakan

permohonannya berdasarkan hukum. 23 Karena bersifat final, maka putusan ini

dapat menjadi landasan untuk melanjutkan proses pemberhentian Kepala

Daerah/Wakil Kepala Daerah. Dengan adanya putusan MA ini, pemberhentian

Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah menjadi niscaya secara yuridis. Sesuai

undang-undang, DPRD seharusnya menyelenggarakan sidang paripurna untuk

merumuskan usulan pemberhentian kepada Menteri atau Presiden setelah putusan

MA diterima.24 Apabila setelah 14 hari pimpinan DPRD tidak menyampaikan

usulan tersebut, Presiden atau Menteri memiliki hak atributif untuk memutuskan

pemberhentian.25

Namun demikian, ada masalah yang tersamar dalam putusan-putusan ini,

yang apabila dipertimbangkan lebih lanjut akan membuat keabsahan dan

legitimasi putusan-putusan tersebut layak ditinjau kembali. Hal ini berkaitan

dengan hukum acara yang digunakan MA dalam memutus permohonan uji

pendapat DPRD tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah.

Didalam putusan-putusannya, MA semata-mata menautkan proses pemeriksaan

18 Ibid., hal. 6-8. 19 Nathania Riris Michicho, “Kenapa Suami FY Cabut Laporan Dugaan Perzinaan Bupati

Katingan?” https://news.detik.com/berita/d-3400482/kenapa-suami-fy-cabut-laporan-dugaan-

perzinaan -bupati-katingan, diakses pada 24 Februari 2017. 20 Dalam eksepsinya, Wakil Bupati Gorontalo menyebut Arfan Akurama sebagai calo

proyek. Mahkamah Agung, Putusan Mahkamah Agung Nomor 3 P/KHS 2017, hal. 17. 21 Arifuddin, “Wakil Bupati Gorontalo di Ujung Tanduk, Simak!”

http://hargo.co.id/berita/wakil-bupati-gorontalo-fadli-hasan-di-ujung-tanduk-simak.html, diakses

pada 24 Februari 2018. 22 Arifuddin, “Posisi Wakl Bupati Gorontalo Di Ujung Tanduk, DPRD Usulkan

Pemberhentian,” http://hargo.co.id/berita/posisi-wakil-bupati-gorontalo-diujung-tanduk-dprd-

usulkan-pemberhentian.html, diakses pada 24 Februari 2018. 23 MA, Putusan No. 01 P/KHS/2017, hal. 16; MA, Putusan No. 02 P/KHS/2017, hal. 19. 24 Indonesia, UU No. 23/2014, Pasal 80 ayat (1) huruf e dan f. 25 Ibid., Pasal 80 ayat (2) dan (3).

Page 6: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

6 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

dan pengadilan terhadap jenis perkara ini pada UU No. 23/2014. 26 Sebagai

pengingat, undang-undang tersebut semata-mata mengatur wewenang MA dalam

memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan uji pendapat DPRD tentang

pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Satu-satunya aspek hukum

formal dalam UU No. 23/2014 yang bersinggungan dengan wewenang ini adalah

bahwa proses peradilan tersebut berlangsung selama 30 hari.27

Kekosongan hukum acara ini pun terkesan diabaikan. MA sendiri tidak

menindaklanjutinya dengan membentuk Peraturan MA (PERMA) yang mengatur

mekanisme dan proses tribunal bagi perkara-perkara uji pendapat DPRD tentang

pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. 28 Padahal sebagaimana

didalilkan Daniel S Lev, hukum acara merupakan pranata penting dalam sebuah

sistem yang menjadikan hukum sebagai panglima. Hukum acara berkaitan dengan

sarana-sarana pranata sosial dan pengelolaan perselisihan (conflict management).

Ia menjadi landasan kultural sistem hukum dan membantu menentukan ruang

sistem (system space) yang diberikan kepada lembaga hukum, politik, agama atau

lembaga lainnya dalam sejarah masyarakat.29 Dengan kata lain, adanya hukum

acara merupakan representasi bagi ruang perdebatan antar-nilai. Ia memberikan

legitimasi bagi luaran dan produk tindakan-tindakan organ negara, khususnya

lembaga pengadilan. Dalil ini sebangun dengan prinsip due process of law yang

menjadi salah satu episentrum Negara Hukum dan konstitusionalisme, bahkan

sejak era Magna Charta.30

Ketika hukum acara tiada, maka aspek-aspek keadilan lainnya yang

notabene menjadi prasyarat tercapainya keadilan prosedural tidak dapat dipenuhi.

Salah satunya berkenaan dengan akses kepada keadilan (access to justice) yang

menjadi isyu utama dalam artikel ini. Konsep access to justice memang lebih

dikenal sebagai wahana yang menitik beratkan pada pemenuhan keadilan bagi

masyarakat miskin dan termarginalisasi. 31 Namun apabila diletakkan dalam

perspektif yang lebih luas, konsep ini juga dapat dimaknai sebagai wadah bagi

siapapun untuk mendapatkan bantuan hukum yang layak, demi membentuk proses

peradilan yang fair.

Untuk memberi ruang bagi pemenuhan access to justice, aturan main yang

baku dan terang harus ditetapkan terlebih dahulu. Aturan tersebut diantaranya

harus menjabarkan bagaimana gugatan diajukan, bagaimana termohon dapat

membela diri, atau bagaimana advokat dapat terlibat di dalamnya, baik di sisi

pemohon maupun termohon. Apabila aturan main tidak ada, maka siapa saja pihak

yang dapat berpartisipasi dan bagaimana mereka dapat berperan menjadi kabur.

26 MA, Putusan No. 01 P/KHS/2017, hal. 15; MA, Putusan No. 02 P/KHS/2017, hal. 16;

MA, Putusan No. 03 P/KHS/2017, hal. 23. 27 Indonesia, UU No. 23/2014, Pasal 80 ayat (1) huruf c. 28 Admin Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Mahkamah Agung, “Peraturan

MahkamahAgung,”https://jdih.mahkamahagung.go.id/index.php?option=com_remository&Itemid

=46&func=select&id=521, diakses pada 24 Februari 2018; Administrator Pusat Data

Hukumonline, “Peraturan Mahkamah Agung,”

http://www.hukumonline.com/pusatdata/view/nprt/648, diakses pada 24 Februari 2018. 29 Daniel S Lev, Politik dan Hukum di indonesia: Kesinambungan dan Perubahan,

(Jakarta: LP3ES, 2013), hal. 111-112. 30 Joao Marcos Prado Garcia, Due Process of Law, (Santa Catarina: Clube de Autores,

2006), hal. 7. 31 Andi Fariana, “Access to Justice,” https://dosen.perbanas.id/access-to-justice/, diakses

pada 1 Maret 2018.

Page 7: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 7

Dalam kasus-kasus uji pendapat DPRD tentang pemberhentian Kepala

Daerah/Wakil Kepala Daerah sepanjang tahun 2017, masalah ini tampak cukup

mencolok. Sebagai contoh, dari 3 kasus sejenis yang masuk ke MA, hanya pada

kasus DPRD Kabupaten Gorontalo vs Wakil Bupati Gorontalo sang termohon

didampingi pengacara secara formal dan tercatat di dalam putusan.32

Inkonsistensi pola pendampingan hukum dalam kasus-kasus uji pendapat

DPRD tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah hanyalah

salah satu isyu yang diangkat dalam artikel ini. Dalam kerangka yang lebih

menyeluruh, artikel ini akan membedah lebih lanjut bagaimana kekosongan

hukum acara dapat membawa krisis access to justice dalam kasus-kasus

pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah di Indonesia. Pembedahan

itu dilaksanakan melalui kritik atas putusan-putusan Mahkamah Agung terhadap

permohonan uji pendapat DPRD tentang Pemberhentian Kepala Daerah/Wakil

Kepala Daerah, sepanjang tahun 2017. Di dalamnya, indikasi-indisikasi

ketidakterpenuhan access to justice, tentu saja dalam pengertian yang lebih luas,

akan dibedah.

Secara garis besar, pembahasan dalam artikel ini akan dibagi dalam tiga

bagian. Pada bagian pertama, konsep access to justice perlu didadarkan terlebih

dahulu. Akan ditunjukkan bagaimana definisi aslinya, dan bagaimana dalam

situasi kontemporer definisi itu perlu diperluas, terutama dalam segi subyek-

subyek yang terlibat dalam pergumulan konsep ini. Dengan kata lain, analisis ini

memperluas konteks keberlakuan access to justice. Pada bagian kedua,

pembahasan akan berpusat pada aspek legal-historis dari kewenangan absolut MA

dalam menguji pendapat DPRD tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil

Kepala Daerah. Penjabaran dimulai sejak UU No. 22/1999, UU No. 32/2004,

hingga UU No. 23/2014. Dengan membedahnya, akan ditemukan bagaimana ratio

legis dari pelibatan kekuasaan yuridis dalam pranata pemberhentian Kepala

Daerah/Wakil Kepala Daerah. Sari pati dari dua pembahasan tersebut kemudian

menjadi landasan kritik atas putusan-putusan Mahkamah Agung terhadap

permohonan uji pendapat DPRD tentang Pemberhentian Kepala Daerah/Wakil

Kepala Daerah, sepanjang tahun 2017, sebagai pembahasan ketiga. Di dalamnya

dirumuskan indikasi-indikasi adanya krisis terhadap access to justice akibat

kekosongan hukum acara, sembari merumuskan solusi konstruktif demi

memenuhi nilai keadilan yang notabene merupakan mahkota badan peradilan.

II. Access to Justice dalam Hukum Acara: Garis Besar Teoritis dan

Perluasan Konseptualnya

Sejak semula, isyu yang akan diketengahkan dalam artikel ini adalah

mengenai kekosongan hukum acara dan krisis access to justice dalam kasus-kasus

pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah di Indonesia. Isyu ini

mengandaikan adanya masalah-masalah dalam proses penegakan keadilan dalam

perkara-perkara permohonan uji pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah di Mahkamah

Agung, khususnya yang berlangsung pada tahun 2017. Diasumsikan bahwa krisis

dimulai sejak di level akses kepada keadilan itu sendiri, yang sejatinya menjadi

salah satu elemen yang menjamin terpenuhinya keadilan prosedural, disebabkan

oleh hukum acara yang kabur. Oleh karena itu, sebelum lebih lanjut masuk ke

32 MA, Putusan No. 03 P/KHS/2017, hlm 1.

Page 8: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

8 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

dalam pembahasan mengenai topik tersebut, maka konsep access to justice perlu

diperbincangkan terlebih dahulu.

Para sarjana hukum di Indonesia umumnya bersepakat bahwa terdapat tiga

tujuan utama dari adanya hukum, yaitu kepastian hukum, keadilan, dan

kemanfaatan.33 Masing-masing tujuan ini dirumuskan dengan dilatari diskursus

filosofis yang berbeda-beda. 34 Perihal keadilan sendiri, para yuris banyak

mengacu pada diversifikasi keadilan menurut Aristoteles, filsuf kesohor dari era

Yunani Kuna. Dalam Ethics, Aristoteles membagi keadilan dalam dua kategori.

Kategori pertama disebutnya sebagai keadilan distributif. Sesuatu dikatakan adil

secara distributif apabila terdapat proporsionalitas antara pekerjaan seseorang

dengan apa yang selayaknya ia dapatkan. Kategori keadilan yang kedua adalah

keadilan korektif, yang berusaha mengentaskan situasi ketidakadilan, dengan

menyamaratakan perolehan setiap orang tanpa membeda-bedakan status, jabatan

dan kedudukan sosial.35

Namun demikian, situasi dunia hari ini yang semakin kompleks menuntut

pula adanya pembaruan dalam konsep keadilan. Keadilan tak dapat lagi berdiri

sendiri sebagai sebuah tujuan hukum yang tunggal. Menurut Achmad Ali, ia perlu

ditegakkan bersamaan dengan kemanfaatan sebagai tujuan prioritas bagi adanya

hukum. Bagi Ali, perkawinan berfaedah antara keduanya tampak dalam teori

keadilan John Rawls. Ia berargumen bahwa:

(s)emua teori keadilan merupakan teori tentang cara untuk menyatukan

kepentingan yang berbeda dari semua anggota masyarakat. Seperti Anda

ketahui, menurut konsep keadilan utilitis, cara yang adil mempersatukan

kepentingan-kepentingan manusia yang berbeda ialah dengan selalu

mencoba memperbesar kebahagiaan. Menurut Rawls, bagaimanapun juga,

cara yang adil untuk mempersatukan berbagai kepentingan yang berbeda

adalah melalui keseimbangan kepentingan-kepentingan tersebut, tanpa

memberikan perhatian istimewa terhadap kepentingan itu sendiri.36

Dengan kata lain, keadilan tercapai apabila sebuah tatanan dapat menjembatani

kepentingan yang majemuk di dalam masyarakat.

Dibanding konsep keadilan aristotelian yang relatif abstrak, konsep keadilan

utilitarian tampak lebih aplikatif. Selangkah lebih maju, konsep-konsep ini

menawarkan prasyarat-prasyarat operasional bagi tercapainya keadilan, yaitu

adanya proses yang berusaha menjembatani kepentingan-kepentingan demi

kebahagiaan bersama. Dengan demikian, keadilan tak lagi sekadar gagasan

idealis, melainkan sesuatu yang dapat dicapai dengan mengikuti tahapan-tahapan

tertentu.

33 Bandingkan Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta: Kencana, 2015), hal. 87;

Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, (Jakarta:

Kencana, 2012), hal. 119; Sidharta, “Kajian Sosiologis tentang Pendekatan Ekonomi terhadap

Hukum,” dalam Antonius Cahyadi dan Donny Danardono (Eds.), Sosiologi Hukum dalam

Perubahan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas

Indonesia, 2009), hal. 249. 34 Achmad Ali berargumen bahwa akar dari keadilan sebagai tujuan hukum adalah filsafat

etis. Sementara di sisi lain, tujuan kemanfaatan terbentuk dalam ruang diskursus filsafat utilitarian,

dan tujuan kepastian dipengaruhi filsafat hukum normatif-dogmatik. Ali, Menguak, hal. 88. 35 Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hal. 109. 36 Ali, Menguak, hal. 94-95.

Page 9: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 9

Titik berat pada proses ini juga diamini dalam konsep keadilan menurut

Jürgen Habermas. Menurut Habermas, perdebatan tentang keadilan pada dasarnya

merupakan diskusi yang bersifat politis dan sebangun dengan proses evaluasi atas

pernyataan empiris tertentu. 37 Karena bersifat politis, penelusuran keadilan

meniscayakan adanya subyek-subyek yang mejemuk. Keadilan menurut

Habermas hanya dapat ditemukan di dalam ruang sosial, melalui dialog antara dua

individu atau lebih, dan karenanya bersifat politis.

Selain itu, proses menemukan keadilan juga membutuhkan pengorbanan

diskursif. 38 Yang dimaksud sebagai “pengorbanan diskursif” adalah kerelaan

subyek untuk mendudukkan diri secara setara dengan subyek yang lain, sebagai

prasyarat agar proses diskursus dapat berjalan. Para subyek harus memosisikan

diri untuk siap mendengar argumen masing-masing, dan menerima kemungkinan

adanya kebenaran dalam setiap pendapat. Apabila salah satu pihak memosisikan

dirinya lebih superior, proses interaksi akan terjatuh pada tindakan strategis yang

berlandaskan pemaksaan kehendak sepihak. Dalam kerangka ini, nilai keadilan

tidak akan pernah tercapai.

Hal ini kemudian menunjukkan bahwa keadilan di dalam kerangka

Habermas memiliki dimensi validitas atau keabsahan. 39 Proses menemukan

keadilan mensyaratkan adanya partisipasi aktif dari seluruh subyek yang

berkepentingan terhadap keadilan itu sendiri, melalui proses dialog dan pertukaran

argumentasi. Adu argumentasi ini akan menjamin seluruh pihak mengambil

bagian secara sederajat dan bebas tekanan. Proses ini bertujuan untuk menguji

keabsahan norma-norma yang kontroversial, alih-alih menunjukkan secara

gamblang “keadilan” itu sendiri.40 Suatu klaim keadilan, pada akhirnya, hanya

tercapai berdasarkan persetujuan dari seluruh pihak yang berkepentingan, tanpa

terkecuali.

Konsepsi Habermas ini merupakan salah satu kunci dalam memahami apa

yang disebut sebagai keadilan prosedural (procedural justice). 41 Dengan

menisbatkan keadilan pada klaim keabsahan, maka terdapat prosedur yang harus

ditempuh untuk mencapainya, yaitu melalui diskursus. Keadilan yang prosedural

ini mensyaratkan adanya ketidakberpihakan, dilaksanakan secara jujur, dan

berdasarkan standar-standar tertentu. 42 Eksistensi mengatasi sekat-sekat antara

kategori-kategori subyektif status sosial.43 Dalam pandangan rawlasian, hal ini

37 Philip Pettit, Habermas on Truth and Justice, “Royal Institute of Philosophy

Supplement,” Vol. 14, 1982, hal. 217. 38 Ibid. 39 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas Dua

Teori Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 131. 40 Ibid., hlm 132. 41 Ibid., hal. 50. 42 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial

prudence): Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legis prudence), Volume 1: Pemahaman

Awal, (Jakarta: Kencana, 2017), hal. 185. 43 Di Indonesia sendiri terdapat kecenderungan memandang negatif keadilan prosedural,

khususnya ketika disandingkan dengan apa yang disebut sebagai “keadilan substantif”. Keduanya

bahkan cenderung dipertentangkan. Menurut Achmad Ali, “menjadi masalah besar, dan hal itu

telihat dalam realitas hukum di Indonesia saat ini, adalah ketika prosedur itu dijadikan tujuan.”

Ibid. Adapun Satjipto Rahardjo memandang “(d)i kalangan hukum masih sering prosedur

diunggulkan di atas substansi. Ini didalihkan sebagai bagian dari usaha melindungi hak asasi

manusia dan menjunjung supremasi hukum. Secara empirik kita saksikan, bahwa

ketidakberhasilan memberikan keadilan di negeri kita lebih terletak pada kekalahan prosedur, yaitu

Page 10: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

10 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

tercermin dalam konsep keadilan prosedural murni. Keadilan hanya akan tercapai

apabila seluruh prosedur dilaksanakan dan dipatuhi secara fair. 44 Kondisi ini

hanya akan tercapai apabila dalam sistem yang adil telah terlebih dahulu eksis.

“(H)anya dengan latar-belakang struktur dasar yang adil, termasuk konstitusi

politik dan lembaga-lembaga ekonomi dan sosial yang terasa adil, orang dapat

berkata perangkat prosedur adil itu ada.”45 Kriteria dasar ini dapat ditambahkan

dengan konsistensi, kualitas keputusan, kemungkinan koreksi, pengawasan,

ketidakberpihakan dan penghormatan atas etika, sebagaimana diajukan Makkai

dan Braithwaite.46

Dari konsep keadilan prosedural inilah lahir konsep access to justice. Akan

segera tampak kesebangunan antara prasyarat keadilan prosedural dengan tujuan-

tujuan akses terhadap keadilan itu sendiri. Menurut Gary Blasi, sebagaimana

dikutip Vickrey, et.al., pengertian tradisional dari konsep “access to justice”

umumnya terbatas pada akses masyarakat terhadap bantuan hukum dalam

perkara-perkara di pengadilan.47 Konsep ini menjadi identik dengan pemenuhan

keadilan bagi masyarakat fakir, miskin, dan termarginalkan. Mereka dianggap

tidak memiliki modal yang cukup untuk beracara di pengadilan, sehingga perlu

diberikan kanal melalui pranata bantuan hukum yang umumnya gratis.48 Sejalan

dengan visi kesetaraan, orang-orang miskin dan termarginalkan perlu memperoleh

asistensi demi mewujudkan acara peradilan yang benar-benar fair.

Access to justice mengupayakan mekanisme itu agar efektif dan akuntabel,

serta memberikan perlindungan hak, kontrol atas pelampauan kekuasaan dan

kekalahan dalam perang yang sifatnya lebih prosedural daripada substansial.” Satjipto Rahardjo,

Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003), hal. 28. 44 Rasuanto, Keadilan., hal. 51. 45 Ibid., hal. 52. 46 Penjelasan masing-masing adalah, “(c)onsistency … mean consistency across time, its

important meaning in the domain of business regulation is consistent treatment of different

businesses. This is the sense in which consistency is used in this article. While consistency equates

with the scientific conception of reliability, decision accu- racy or quality equates with validity. It

means doing what is necessary to get decision right ... Correctability means being able to

complain about fairness by a law enforcer to some "agency or organization" … Control was

partitioned … into process control and cision control, while Leventhal … combines them in his

notion of representation. Impartiality means absence of bias. The most important forms of

prevention of favouritism or external bias in Australian society are the elimination of bias the

basis of race, sex, age, nationality or other characteristics of persons. Ethicality is the most

vaguely defined of the procedural justice facets. … (D)efines as "the degree to which the decision-

making process accords with general standards of fairness and morality.” Toni Makkai dan John

Barithwaite, Procedural Justice and Regulatory Compliance “Law and Human Behavior,” Vol. 20,

No. 1, 1996, hal. 84. 47 William C Vickrey, Joseph L Dunn, dan J Clark Kelso, Access to Justice: A Broader

Perspective, “Loyola Los Angeles Law Review,” Vol. 42, No. 4, 2009, hal. 1153. 48 Contoh dari kecenderungan paradigmatik ini tampak dalam proyek Strengthening

Access to Justice (SAJI) gelaran United Nations Development Programme (UNDP), Menurut

UNDP, hanya sekitar 17 persen dari populasi masyarakat miskin di Indonesia yang memperoleh

kemewahan access to justice dalam perkara-perkara hukum. SAJI kemudian dirancang untuk

“improve the access and the delivery of justice especially to the poor, women and diffable

groups of the communities. … (T)he project focusing on the policy, legal and regulatory

reforms and strengthening the capacity of government and non-government service

providers to implement Indonesia’s National Strategy on Access to Justice (NSA2J)

throughout the National and Subnational levels.” Penekanan-penekanan ini menegaskan

subyek-subyek utama dalam konsep “access to justice” adalah masyarakat miskin.

Page 11: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 11

penyelesaian konflik.49 Lebih lanjut menurut Bedner, sebagaimana dikutip World

Bank, access to justice juga mencakup kemampuan setiap orang untuk mencari

dan mempertahankan diri dari sistem formal atau informal yang tidak adil, dan

kemampuan untuk memengaruhi proses dan institusi pembentuk dan

pengimplementasi hukum. Dengan membentuk pranata khusus untuk mengatasi

masalah-masalah ini, potensi tercapainya keadilan bagi orang-orang terpinggirkan

ini diharapkan dapat dimaksimalkan, sehingga kesetaraan di hadapan hukum

(equality before the law) dapat tercapai. 50 Di dalamnya, adanya jaminan

pendampingan dari advokat atau pengacara menjadi prasyarat utama.51

Pada titik inilah, posisi keadilan prosedural sebagai ibu dari konsep akses

terhadap keadilan semakin tegas. Apabila bercermin pada teori Rawls atau

Habermas tentang keadilan, prasyarat-prasyarat dasar yang menjadi bagian dari

diktum keduanya juga menjadi tujuan yang hendak dicapai pranata access to

justice, yaitu menyetarakan semua pihak, khususnya mereka yang termarjinalkan,

di hadapan hukum. Secara konseptual, kunci bagi tercapainya keadilan prosedural

murni, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, adalah subyek-subyek yang

terlibat di dalamnya harus duduk dalam posisi yang setara. Rawls mengajukan

tesis tentang posisi asali (original position) dan selubung ketidaktahuan (veil of

ignorance). Dalam posisi asali, orang-orang dibayangkan dapat bertindak secara

bebas dengan menerima adanya kesamaan (equality) antara satu dengan yang

lain.52 Sebagai prasyarat bagi kondisi ini adalah adanya selubung ketidaktahuan

(veil of ignorance), dengan membunuh sementara “konflik kepentingan …

sehingga membuat pemilihan secara aklamasi konsepsi keadilan tertentu menjadi

mungkin.”53 Adapun proyek penyetaraan Habermas dilaksanakan melalui proses

pengorbanan diskursif.

Manariknya, konsep access to justice sesungguhnya masih memiliki

dimensi yang luas dan dapat terus digali. Bagi Vickrey, et.al., access to justice

sekurang-kurangnya mencakup:

(a) available access to competent and impartial judges and court personnel

who promote trust and confidence in the judiciary; (b) safe court facilities

sufficient in capacity to handle caseloads; (c) basic dispute resolution

services from the courts (such as case management services to keep cases

moving or an adequate number of jurors for cases that go to trial); (d) court

interpreters to assist … diverse population in overcoming language

barriers; (e) legal provisions allowing fees to be waived for indigent

persons who cannot otherwise afford access to court; and (f) technologies

now commonly used by counsel and parties in presenting cases.54

(Terjemahan bebas: (a) tersedianya akses kepada hakim-hakim dan personel

pengadilan yang kompeten dan tidak memihak, yang mempromosikan

49 World Bank, “A Framework for Strengthening Access to Justice in Indonesia,”

http://site resources.worldbank.org/INTJUSFORPOOR/Resources/A2JFrameworkEnglish.pdf,

diunduh pada 28 Februari 2018. 50 Mustika Prabaningrum Kusumawati, Peranan dan Kedudukan Lembaga Bantuan

Hukum sebagai Access to Justice bagi Orang Miskin, “Arena Hukum,” Vol. 9 No. 2, 2016, hal.

194. 51 Fariana, Access. 52 Rasuanto, Keadilan, hal. 53. 53 Ibid., hal. 56-57. 54 Vickrey, Dunn, dan Kelso, Access, hal. 1154.

Page 12: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

12 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

kepercayaan dan kepercayaan diri di pengadilan; (b) fasilitas pengadilan

yang aman dan memadai untuk menangani beban perkara; (c) layanan

penyelesaian sengketa yang mendasar (seperti layanan manajemen perkara

untuk menjaga kasus tetap berjalan dan jumlah juri yang sebangun bagi

kasus-kasus yang disidangkan); (d) penerjemah untuk menangani kendala

bahasa dalam masyarakat yang majemuk; (e) ketentuan hukum yang

memungkinkan pembebasan biaya bagi orang miskin yang tidak dapat

mengakses pengadilan; dan (f) teknologi yang sekarang umum digunakan

oleh pengacara dan pihak dalam mempresentasikan kasus.)

Proposal perluasan makna access to justice tidak hanya diajukan oleh

Vickrey, et.al. Bagi Tom Cornford, access to justice memiliki dua dimensi yang

berkelindan, yaitu deskriptif dan normatif. Yang telah dikemukakan sebelumnya

lebih memenuhi kriteria deskriptif access to justice. Access to justice

memungkinkan “citizens are able to gain access to the legal services necessary to

protect and vindicate their legal rights.”55 Definisi ini sejalan dengan pemahaman

jamak yang telah dikemukan sebelumnya, yaitu bagaimana memberikan akses

keadilan kepada kaum miskin dan termarginalkan. Namun Cornford segera

menambahkan kategori normatif akses terhadap keadilan, yaitu kondisi dimana

setiap anggota masyarakat dapat mempertahankan hak-hak legalnya secara

setara.56 Cornford berargumen, perluasan makna ini berupaya mengatasi bias-bias

makna keadilan dalam konsep access to justice yang deskriptif.

Bagi Cornford, terdapat dua modalitas dasar yang dapat mengondisikan

kesetaraan yang dicita-citakan pranata access to justice itu. Pertama, yaitu doktrin

negara hukum (rule of law). Konsep negara hukum memberikan prasyarat agar

hukum diterapkan dalam segala hal sesuai dengan ketentuan yang diatur di

dalamnya.57 Garis besar ini sejalan dengan salah satu prinsip terpenting dalam

negara hukum, yaitu prinsip due process of law. Prinsip due process of law

dibentuk dengan tujuan memberikan platform yang ketat bagi pelaksanaan tata

pemerintahan.58 Seluruh tindakan pemerintahan haruslah berdasarkan hukum dan

proses yang terukur. Sedangkan modalitas kedua, yang sejatinya masih sejalan

dengan konsep negara hukum, adalah konsep kewargaan. Di bawah negara

hukum, setiap individu memiliki kedudukan hukum dan marwah yang setara.59

Sementara itu menurut Andi Fariana, mengutip Ro’fah Setyowati, terdapat

setidaknya enam syarat yang dapat memperluas akses terhadap keadilan: 1) aparat

penegak hukum yang profesional; 2) sistem informasi terpadu yang mudah

diakses; 3) institusi penegak hukum terpercaya; 4) layanan hukum yang dapat

dipertanggungjawabkan; 5) kesadaran professional bagi penegak hukum sebagai

officium nobile; 6) jaminan perlindungan hukum bagi penegak hukum. 60

55 Terjemahan bebas: warga dapat memperoleh layanan hukum yang pantas untuk

melindungi dan mempertahankan hak-hak mereka. Tom Cornford, “The Meaning of Access to

Justice,” dalam Ellie Palmer, et.al. (Eds.), Access to Justice: Beyond the Policies and Politics of

Austerity, (Oxford dan Portland: Hart Publishing, 2016), hal. 28. 56 Ibid. 57 Ibid. 58 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konpress,

2009), hal. 135. 59 Cornford, The Meaning, hal. 29. 60 Fariana, Access.

Page 13: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 13

Dibanding sebelumnya, kriteria ini tampak lebih menitiberatkan prasyarat access

to justice pada institusi penegak hukum.

Dengan demikian, bertentangan dengan pemahaman umum, konsep access

to justice perlu dimaknai dalam pengertian yang lebih luas. Ia tak lagi semata-

mata menjadi wahana bagi penyediaan akses bantuan hukum kepada masyarakat

miskin dan termarjinalkan. Access to justice harus dipahami secara sistemik,

menyeluruh dan komprehensif, dengan melibatkan seluruh komponen sistem

hukum, baik kultur, struktur, dan substansi hukum.61 Dengan menimbang prinsip

keadilan prosedural yang melatarbelakanginya, maka komponen-komponen

access to justice setidaknya terdiri atas:

1. Prosedur penegakan hukum (hukum acara) yang jelas, terbuka, fair,

konsisten, dan terukur;

2. Prosedur tersebut memungkinkan adanya ruang diskursus dan

perdebatan antara para pihak berkepentingan secara setara;

3. Terdapat kanal bagi bantuan hukum bagi siapapun yang

membutuhkannya, untuk menjamin proses penegakan hukum yang fair;

4. Aparat penegak hukum yang profesional, kompeten dan

bertanggungjawab; dan

5. Akses untuk memengaruhi proses pembentukan hukum di seluruh

cabang kekuasaan;

Kelima kriteria inilah yang akan digunakan untuk menilai proses penanganan

kasus-kasus pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah di Indonesia,

melalui putusan-putusan MA terhadap permohonan uji pendapat DPRD tentang

pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, sepanjang tahun 2017.

Sebagaimana akan terlihat nantinya, akses terhadap keadilan dalam penanganan

jenis perkara ini relatif minim, bahkan dapat dikategorikan dalam keadaan kritis.

III. Perspektif Legal-Historis Peran Mahkamah Agung dalam Proses

Pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah

Sejak di level norma tertinggi, yaitu konstitusi, sistem hukum Indonesia

telah mengadopsi nilai keadilan dan menjadikannya sebagai salah satu tujuan

bernegara. Di dalamnya didalilkan bahwa tujuan pembentukan negara Indonesia

adalah guna “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

61 Tiga komponen sistem hukum ini dikemukakan oleh Lawrence M Friedman, dan

banyak dianut oleh sarjana Indonesia. Struktur berkenaan dengan “institutional body of the

system”, atau pranata-pranata yang menaungi sebuah sistem. Adapun kultur adalah sikap manusia

terhadap hukum. Sementara substansi adalah materi muatan hukum itu sendiri. Lihat Achmad Ali,

Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom & Artikel Pilihan dalam Bidang Hukum, (Jakarta:

Kencana, 2008), hal. 9-10. Pemahaman ini cenderung diadopsi oleh banyak sarjana Indonesia

dengan berbagai latar belakang kepakaran hukum. Bandingkan A Patra M Zen dan Daniel

Hutagalung (Ed.), Panduan Bantuan Hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan

Menyelesaikan Masalah Hukum, (Jakarta: YLBHI, 2007), hal. 5; Sulistyowati Irianto, “Isu

Kekerasan dalam Rumah Tangga dari Perspektif Pluralisme Hukum,” dalam Sulistyowati Irianto

(Ed), Perempuan dalam Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan,

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hal. 318; Rianto Adi, Sosiologi Hukum: Kajian Hukum

Secara Sosiologis, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2012), hal. 65.

Page 14: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

14 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

perdamaian abadi dan keadilan sosial.”62 Karena kedudukannya yang termaktub di

dalam pembukaan konstitusi, konsep keadilan serta merta harus dijadikan sebagai

salah satu asas mendasar dalam penyusunan sistem ketatanegaraan Indonesia.63

Hal ini sejalan dengan kedudukan pembukaan konstitusi an sich sebagai sebuah a

priori hukum. Yudi Latif menilai bahwa dalam kedudukan ini, aturan hukum yang

tidak sejalan dengan materi muatannya tidak dapat dikategorikan sebagai

hukum.64 Dengan kata lain, perundang-undangan yang bertentangan itu niscaya

menjadi batal demi hukum.

Dengan pencantumannya di dalam konstitusi, khususnya pada bagian

pembukaan, maka keadilan secara otomatis menjadi salah satu nilai fundamental

(fundamental value) bernegara. Susunan sistem ketatanegaraan Indonesia haruslah

dijiwai oleh nilai ini. Di dalam konstitusi, pranata yang secara langsung terpapar

nilai keadilan, bahkan dibentuk sebagai wahana penegakannya secara independen,

adalah kekuasaan kehakiman. 65 Kekuasaan itu terdiri atas Mahkamah Agung

beserta institusi-institusi peradilan di bawahnya dan Mahkamah Konstitusi.66

UUD NRI 1945 mengatur setidaknya tiga wewenang MA, yaitu mengadili

pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-

undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang

diberikan oleh undang-undang. 67 Pada tingkat kasasi, MA berwenang untuk

melakukan evaluasi terhadap penerapan hukum dalam perkara-perkara yang

diujikan pada badan-badan peradilan di bawahnya, baik di tingkat pertama atau

kedua. 68 Adapun koridor pengujian peraturan perundang-undangan di bawah

undang-undang terhadap undang-undang selaras dengan prasyarat dari negara

hukum, yaitu adanya pranata judicial review. 69 Pranata judicial review, atau

peninjauan yudisial, adalah bentuk check and balances antar lembaga negara,

dimana pranata pengadilan melakukan pengawasan terhadap peraturan perundang-

undangan sebagai produk dengan kekuasaan eksekutif maupun legislatif. 70

Wewenang ini juga melengkapi pranata pengujian undang-undang terhadap

konstitusi yang menjadi wewenang MK.71 Apabila pengujian a la MK meninjau

konstitusionalitas sebuah undang-undang, maka pengujian oleh MA meninjau

legalitas peraturan di bawah undang-undang, sebagaimana didalilkan Jimly

Asshiddiqie.72

62 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bagian

Pembukaan. 63 Hal ini mengingat sifat konstitusi sebagai pegangan dalam penyelenggaraan suatu

negara. Asshiddiqie, Konstitusi, hal. 29. 64 Yudi Latif, Pembukaan Undang-Undang Dasar sebagai Cita Negara dan Cita Hukum,

Jurnal Ketatanegaraan, Vol. 001, 2016, hal. 141. 65 Indonesia, UUD NRI 1945, Pasal 24 ayat (1). 66 Ibid., Pasal 24 ayat (2). 67 Ibid., Pasal 24A ayat (1). 68 Hery Shietra, “Permohonan Kasasi, Alasan di Balik Kasasi, Pertimbangan Hukum

Hakim Agung, Penafsiran dan Kontradiksinya,” http://www.hukum-

hukum.com/2015/01/permohonan-kasasi-alasan-dibalik-kasasi.html, diakses pada 1 Maret 2018. 69 Bachtiar, Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi pada Pengujian

UU terhadap UUD, (Jakarta: Penebar Swadaya Grup, 2015), hal. 129. 70 Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem

Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 8. 71 Indonesia, UUD NRI 1945, Pasal 24C ayat (1). 72 Asshiddiqie, Konstitusi, hal. 128.

Page 15: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 15

Para perumus konstitusi agaknya merasa perlu untuk memberikan

kemungkinan kewenangan-kewenangan baru bagi MA di masa depan atau

mempertahankan praktik yang sudah mapan diatur di dalam undang-undang,

selain mengadili perkara kasasi dan judicial review. 73 Celah itu kemudian

diberikan dengan membentuk norma yang bersifat open legal policy. Artinya,

klausul jenis ini memberikan ruang bagi pembentuk undang-undang untuk

menafsirkan dan mengisi kekosongan pengaturan berdasarkan amanat konstitusi.74

Kebijakan ini berwujud dalam klausul “mempunyai wewenang lainnya yang

diberikan oleh undang-undang.”75

Salah satu bentuk wewenang nonkonstitusional yang dimiliki MA adalah

memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada

lembaga negara dan lembaga pemerintahan, 76 baik diminta maupun tidak. 77

Wewenang ini relatif telah lama disandang oleh MA, sekalipun dinilai tidak

memiliki kekuatan hukum yang mengikat.78 Wewenang lain yang bersifat atributif

dari undang-undang adalah mengurus organisasi, administrasi, dan finansial MA

dan badan peradilan yang berada di bawahnya.79 Dalam Undang-Undang Nomor

14 Tahun 1985, MA juga dianugerahi wewenang tambahan, semisal untuk

melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan di bawahnya, 80

mengentaskan sengketa kewenangan mengadili antar lingkungan peradilan

(absolut) maupun antara pengadilan dalam satu lingkungan dengan wilayah

hukum berbeda (relatif),81 menyelesaikan sengketa perampasan kapal asing oleh

73 Simak pendapat Agun Gunanjar dalam pembahasan perubahan ketiga UUD 1945

berikut sebagai contoh. Ia menilai bahwa MA sejatinya dapat mengambil 5 peran dalam jalannya

negara demokrasi modern, yaitu peran ideologis, peran politis, peran yudikatif, peran sosiologis,

dan peran administratif. Pernyataan ini adalah respon Agun atas usulan tim perumus bentukan

PAH I BP MPR 2000 terkait norma yang mengatur wewenang Mahkamah Agung. Tim Penyusun,

Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku VI: Kekuasaan

Kehakiman, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hal.

394. Adapun indikasi mempertahankan praktik yang sudah mapan semisal tampak dalam pendapat

Patrialis Akbar, yang menyatakan “kekuasaan Mahkamah Agung kami usulkan sesuai dengan

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 antara lain, pertama adalah Peradilan Kasasi; yang kedua,

sengketa tentang kewenangan mengadili; yang ketiga permohonan peninjauan kembali.Yang

keempat, memberikan pertimbangan hukum untuk memberikan grasi dan rehabilitasi, karena ini

sudah ada dalam amendemen kita. Yang kelima, adalah Fungsi Pengawasan, ini perlu kita

cantumkan di sini yaitu fungsi pengawasan dalam hal teknis peradilan, pelanggaran-pelanggaran

peradilan serta tingkah laku hakim, sehingga ke depan tidak ada lagi fungsi pengawasan terhadap

teknis peradilan.” Ibid., hal. 396. 74 Mardian Wibowo, Menakar Konstitusionalitas Sebuah Kebijakan Hukum Terbuka

dalam Pengujian Undang-Undang, “Jurnal Konstitusi,” Vol. 12 No. 2, 2015, hal. 212. 75 Indonesia, UUD NRI 1945, Pasal 24A ayat (1). 76 Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,

Pasal 22 ayat (1). 77 Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Pasal

37. Patut diingat bahwa UU MA ini masih berlaku sekalipun telah terjadi amandemen konstitusi.

UU MA sendiri telah sekali diubah melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. 78 Agus Sahbani, “Menelusuri Jejak dan Daya Ikat Fatwa MA”,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58a2d918b273a/menelusuri-jejak-dan-daya-ikat-fatwa-

ma, diakses pada 1 Maret 2018; Tri Jata Ayu Pramesti, “Sifat Fatwa Mahkamah Agung”,

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1586/sifat-fatwa-mahkamah-agung-, diakses pada 1

Maret 2018. 79 Indonesia, UU No. 48/2009, Pasal 21 ayat (1). 80 Indonesia, UU No. 14/1985, Pasal 32 ayat (1). 81 Ibid., Pasal 33 ayat (1).

Page 16: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

16 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

kapal perang Indonesia,82 serta mengadili peninjauan kembali putusan pengadilan

yang telah berkekuatan hukum tetap.83

Yang baru ditambahkan belakangan adalah wewenang MA untuk mengadili

permohonan uji pendapat DPRD tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil

Kepala Daerah, yang notabene merupakan episentrum pembahasan artikel ini.

Dibanding wewenang-wewenang yang lahir dari rezim open legal policy yang

telah disebutkan sebelumnya, wewenang ini merupakan wewenang yang relatif

baru. Pranata ini lahir seiring dengan pelembagaan sistem pemilihan kepala

daerah secara langsung oleh rakyat, alih-alih oleh DPRD yang sempat

dipertahankan pada era pasca reformasi.

Pada masa UU No. 22/1999, pemberhentian kepala daerah merupakan

keputusan yang murni bersifat politis. Seorang kepala daerah dapat berhenti atau

diberhentikan sewaktu-waktu apabila meninggal dunia, mengajukan berhenti atas

permintaan sendiri, berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru,

tidak lagi memenuhi syarat seorang kepala daerah, melanggar sumpah/janji

jabatan, melanggar ketentuan larangan bagi kepala daerah, dan mengalami krisis

kepercayaan publik yang luas akibat kasus yang melibatkan tanggung jawabnya,

dan keterangannya atas kasus itu ditolak oleh DPRD. 84 Pemberhentian ini

ditetapkan melalui Keputusan DPRD dan disahkan oleh Presiden.85 Keputusan

DPRD hanya dapat diambil di dalam forum yang dihadiri oleh sekurang-

kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan

persetujuan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota yang hadir.86

Selain itu, Presiden dapat memberhentikan Kepala Daerah tanpa persetujuan

DPRD apabila yang bersangkutan melakukan tindak pidana kejahatan yang

diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih, atau diancam dengan hukuman

mati sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, 87

serta melakukan makar.88

MA baru dilibatkan dalam proses pemberhentian Kepala Daerah/Wakil

Kepala Daerah 5 tahun setelahnya, melalui pengundangan UU No. 32/2004. Di

dalam undang-undang ini juga, pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah secara langsung oleh rakyat sebagai satu pasangan diatur untuk pertama

kalinya. 89 Peralihan model pemilihan ini dinilai sebagai bentuk demokratisasi

dalam pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.90 Konsekuensinya,

penilaian kinerja dan pertanggungjawaban Kepala Daerah pun turut berada di

tangan rakyat secara langsung. Karena Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

memiliki basis legitimasi yang lebih kuat, maka pranata pemberhentiannya

dirancang lebih rumit.

82 Ibid., Pasal 33 ayat (2). 83 Ibid., Pasal 34. 84 Indonesia, UU No. 22/1999, Pasal 49. 85 Ibid., Pasal 50 ayat (1). 86 Ibid., Pasal 50 ayat (2). 87 Ibid., Pasal 51. 88 Ibid., Pasal 52. 89 Indonesia, UU No. 32/2004, Pasal 56 ayat (1). 90 Bungasan Hutapea, Dinamika Hukum Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia, “Jurnal

Rechtsvinding,” Vol. 4, No. 1, hal. 2015, hal. 17; Wahyu Widodo, Pelaksanaan Pilkada

Berdasarkan Asas Demokrasi dan Nilai-Nilai Pancasila, “Jurnal Ilmiah Civis,” Vol. 5 No. 1, 2015,

hal. 682-683.

Page 17: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 17

Perubahan yang cukup mencolok adalah dengan adanya pelibatan kekuasaan

yudisial dalam sistem ini. Pelibatan lengan kekuasaan yudisial sejatinya telah

dianut dalam sistem pemberhentian Presiden di dalam konstitusi. Sebagaimana

dalam sistem pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, pelibatan ini

adalah buah dari penguatannya legitimasi Presiden pasca reformasi, melalui

pemilihan langsung.91 Hal ini sangat berbeda dibanding era sebelum reformasi,

dimana Presiden dipilih dan diberhentikan oleh MPR. Hal ini mengingat MPR

berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara sekaligus penjelmaan kedaulatan

rakyat, sementara Presiden berperan semata-mata sebagai mandataris MPR.92

Dalam proses pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden, intervensi

yudisial itu berada di tangan MK. Apabila Presiden diduga melanggar sejumlah

larangan yang diatur di dalam konstitusi atau tak dapat lagi melaksanakan

tugasnya,93 maka Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat meminta kepada MK

untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden

dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa

pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,

atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil

Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.94

MK kemudian diwajibkan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dengan

seadil-adilnya pendapat DPR tersebut paling lama 90 setelah permintaan DPR

diterima.95 Apabila MK memutus bahwa Presiden atau Wakil Presiden terbukti

melakukan pelanggaran atau tidak dapat lagi melaksanakan jabatannya, maka

usulan pemberhentian oleh DPR dapat diteruskan kepada Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR).96

Model yang hampir serupa kemudian diadopsi dalam mekanisme

pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sejak UU No. 32/2004.

Di dalam undang-undang ini, Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dapat

berhenti apabila meninggal dunia, permintaan sendiri,97 atau diberhentikan karena

91 Semisal, Suwoto dalam proses pembahasan amandemen konstitusi yang berpendapat

bahwa “kalau seorang Presiden itu dipilih dengan suara atau hasil dari proses suara mayoritas

maka untuk mengajukan impeachment saya kira pertimbangannya adalah cukup berat, begitu ya.

Kesalahan kecil saja bisa diajukan suatu impeachment. Kemudian keputusan final, ini yang saya

katakan tadi, ini yang penyimpangan yang dilakukan oleh MPR, saya kira, tidak bisa kita

mendasarkan suatu pemberhentian berdasarkan putusan peradilan, berdasarkan peradilan. Karena

apa? Karena pembuktian menurut logika politik, itu mempunyai suatu dalil-dalil yang memang

berbeda dengan proses pembuktian di pengadilan. Seseorang yang dinyatakan salah secara politik,

dan kemudian tepat untuk bisa diberi hukuman pemberhentian, itu memang belum tentu nanti

salah, kalau dibuktikan melalui suatu proses peradilan, setelah berhenti dari jabatannya. Dan

kalaupun itu terjadi, putusan politik itu masih tetap sah.” Tim Penyusun, Naskah Komprehensif

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang,

Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku IV Kekuasaan Pemerintah Negara Jilid I , hal.

328. 92 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Bagian Penjelasan Sistem Pemerintahan

Negara. 93 Larangan tersebut terdiri atas melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan

terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun

apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Indonesia,

UUD NRI 1945, Pasal 7A. 94 Ibid., Pasal 7B ayat (1). 95 Ibid., Pasal 7B ayat (4). 96 Ibid., Pasal 7B ayat (5). 97 Indonesia, UU No. 32/2004, Pasal 29 ayat (1) huruf a dan b.

Page 18: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

18 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

alasan-alasan berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru, tidak

dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara

berturut-turut selama 6 (enam) bulan, tidak lagi memenuhi syarat sebagai Kepala

Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah; dinyatakan melanggar sumpah/janji

jabatan, tidak melaksanakan kewajiban, serta melanggar larangan bagi Kepala

Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah.98

Lebih lanjut undang-undang mengatur bahwa tidak semua kategori

larangan-larangan yang dapat berakibat pemberhentian itu membutuhkan

pertimbangan hukum MA. Yurisdiksi MA terbatas pada usulan pemberhentian

berdasarkan pendapat DPRD bahwa Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala

Daerah dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan dan atau tidak melaksanakan

kewajiban Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. 99 Setelah menerima

permintaan DPRD untuk mengadili pendapatnya, MA berkewajiban untuk

memeriksa, mengadili dan memutus dalam 30 hari, dengan putusan yang bersifat

final. 100 Apabila putusan MA menyatakan Kepala Daerah terbukti melanggar

sumpah/janji jabatan atau tidak melaksanakan kewajibannya, maka DPRD

menyelenggarakan rapat paripurna untuk memutuskan usul pemberhentian kepada

Presiden.101

Pada saat ini, UU No. 32/2004 tak lagi berlaku. Kedudukannya sebagai

hukum positif pemerintahan daerah telah digantikan oleh undang-undang yang

lebih baru, yaitu UU No. 23/2014. Sekalipun melakukan perombakan terhadap

banyak aspek pemerintahan daerah, 102 namun undang-undang ini

mempertahankan wewenang MA dalam memberikan intervensi yuridis terhadap

upaya pemberhentian Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah. 103 Namun,

terdapat sedikit perbedaan kali ini. Undang-undang yang baru telah memperluas

yurisdiksi MA terhadap bentuk pelanggaran apa saja yang dapat menjadi alasan

gugatan DPRD ke pranata ini.

Kini MA tidak hanya berwenang mengadili pendapat DPRD terhadap

pelanggaran sumpah/janji jabatan dan/atau ketiadaan pelaksanaan kewajiban oleh

Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, melainkan juga dapat mengadili dugaan

pelanggaran larangan bagi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan adanya

perbuatan tercela.104 Larangan-larangan tersebut mencakup:

membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan pribadi,

keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;105 … membuat kebijakan yang

merugikan kepentingan umum dan meresahkan sekelompok masyarakat atau

mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain yang

bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 106 …

menyalahgunakan wewenang yang menguntungkan diri sendiri dan/atau

98 Ibid., Pasal 29 ayat (2). 99 Ibid., Pasal 29 ayat (4) huruf a. 100 Ibid., Pasal 29 ayat (4) huruf c. 101 Ibid., Pasal 29 ayat (4) huruf d. 102 Agus Kusnadi, Re-Evaluasi Hubungan Pengawasan Pusat dan Daerah Setelah

Berlakunya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, “Arena Hukum,” Vol. 10, No.

1, 2017, hal. 62. 103 Indonesia, UU No.23/2014, Pasal 80. 104 Ibid., Pasal 80 ayat (1) huruf a. 105 Ibid., Pasal 76 ayat (1) huruf a. 106 Ibid., Pasal 76 ayat (1) huruf b.

Page 19: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 19

merugikan Daerah yang dipimpin, melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta

menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi

keputusan atau tindakan yang akan dilakukan;107 … menyalahgunakan wewenang

dan melanggar sumpah/janji jabatannya;108 ... merangkap jabatan sebagai pejabat

negara lainnya sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan.109

Kepala Daerah juga dapat diberhentikan apabila menjadi advokat atau kuasa

hukum dalam suatu perkara di pengadilan, kecuali dalam rangka mewakili

daerahnya.110 Sementara yang dimaksud undang-undang sebagai perbuatan tercela

mencakup perjudian, meminum minuman keras, menggunakan atau mengedarkan

narkoba, dan bentuk-bentuk pelanggaran kesusilaan lain.111 Klausul-klausul dalam

UU No. 23/2014 inilah yang menjadi landasan hukum positif wewenang absolut

MA untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan uji pendapat DPRD

tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah.

IV. Kekosongan Hukum Acara sebagai Indikasi Krisis Access to Justice

dalam Putusan-Putusan Mahkamah Agung terhadap Permohonan Uji

Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Pemberhentian

Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Tahun 2017

Sekalipun telah dirancang dan diidealkan sebagai sistem yang paripurna,

namun sistem pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang dianut

UU No. 23/2014 masih menyisakan masalah, khususnya berkaitan dengan peran

MA dalam sistem itu. Dalam kerangka access to justice, masalah-masalah tersebut

akan dianalisis berdasarkan indikator-indikator berikut:

1. Prosedur penegakan hukum (hukum acara) yang jelas, terbuka, fair,

konsisten, dan terukur;

2. Prosedur tersebut memungkinkan adanya ruang diskursus dan

perdebatan antara para pihak berkepentingan secara setara;

3. Terdapat kanal bagi bantuan hukum bagi siapapun yang

membutuhkannya, untuk menjamin proses penegakan hukum yang fair;

4. Aparat penegak hukum yang profesional, kompeten dan

bertanggungjawab; dan

107 Ibid., Pasal 76 ayat (1) huruf d. 108 Ibid., Pasal 76 ayat (1) huruf g. 109 Ibid., Pasal 76 ayat (1) huruf h. Diluar kesemuanya, undang-undang mengatur beberapa

jenis larangan lain bagi kepala daearh, namun secara eksplisit mengecualikannya sebagai alasan

bagi pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Larangan tersebut mencakup menjadi

pengurus suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara/daerah atau pengurus yayasan

bidang apa pun, melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa izin dari Menteri, dan meninggalkan

tugas dan wilayah kerja lebih dari 7 (tujuh) hari berturut-turut atau tidak berturut-turut dalam

waktu 1 (satu) bulan tanpa izin menteri untuk gubernur dan wakil gubernur serta tanpa izin

gubernur untuk bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota, sebagai alasan

pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah. Lihat Ibid., Pasal 78 ayat (2) huruf e. 110 Ibid., Pasal 76 ayat (1) huruf f. Klausul ini sejatinya berbunyi “menjadi advokat atau

kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat

(1) huruf e.” Pasal 65 ayat (1) huruf e sendiri membolehkan Kepala Daerah “mewakili Daerahnya

di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Penulis memilih menuliskan kedua klausul ini

secara sekaligus demi kesinambungan dan keseluruhan narasi. 111 Ibid., Penjelasan Pasal 78 ayat (1) huruf f.

Page 20: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

20 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

5. Akses untuk memengaruhi proses pembentukan hukum di seluruh

cabang kekuasaan.

4.1. Ketiadaan Hukum Acara yang Jelas, Terbuka, Fair, Konsisten, dan

Terukur

Akar utama dari seluruh krisis access to justice dalam kasus-kasus

pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah di Indonesia sejatinya adalah

kekosongan hukum acara yang mengatur mekanisme baku peradilan pengujian

pendapat DPRD tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah.

Dengan kata lain, tidak ada prosedur penegakan hukum (hukum acara) yang jelas,

terbuka, fair, konsisten, dan terukur. Ketentuan ini sama sekali tidak diatur di

dalam UU No. 23/2014.

Di dalam UU No. 23/2014, satu-satunya aspek formal yang diatur adalah

tenggat waktu pelaksanaan peradilan, yaitu selama 30 hari. Dalam kurun waktu

tersebut, MA harus memeriksa, mengadili, dan memutus usulan DPRD. 112 MA

sendiri tidak berinisiatif untuk mengisi kekosongan hukum tersebut. MA tidak

membentuk PERMA untuk mengatur peradilan pengujian pendapat DPRD

tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Padahal Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 (UU No. 12/2011) memungkinkan hal tersebut

dilakukan oleh MA karena kewenangannya.113 Satu-satunya acuan hukum formal

dalam jenis perkara ini adalah dengan memberikan kesempatan kepada termohon

untuk memberikan jawaban secara tertulis.114

Apabila terus-menerus diabaikan, hal ini dapat membuat legitimasi putusan-

putusan MA dipertanyakan. Pengaturan mengenai hukum acara penting di dalam

sebuah Negara Hukum. Ia berkaitan dengan sarana-sarana pranata sosial dan

pengelolaan perselisihan (conflict management). Ia menjadi landasan kultural

sistem hukum dan membantu menentukan ruang sistem (system space) yang

diberikan kepada lembaga hukum, politik, agama atau lembaga lainnya dalam

sejarah masyarakat.115 Ini sejalan dengan fungsi penting hukum acara menurut

para sarjana dari berbagai cabang ilmu hukum, baik pidana, perdata, ataupun

administrasi negara, yaitu sebagai instrumen yang harus ada bagi penegakan

hukum material, dalam upaya menemukan kebenaran yang substantif.116 Adanya

hukum acara akan menjamin adanya ketertiban dalam proses itu dan keputusan-

keputusan yang dihasilkan berdasarkan keadilan.

Dalam hal ini, MA perlu belajar kepada MK. Sebelum MA menyandang

wewenang yudisial untuk mengintervensi proses pemberhentian Kepala

112 Indonesia, UU No. 23/2014, Pasal 80 ayat (1) huruf c. 113 Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, Pasal 7 ayat (2). 114 MA, Putusan No. 01 P/KHS/2017, hal. 15; MA, Putusan No. 02 P/KHS/2017, hal. 8;

MA, Putusan No. 03 P/KHS/2017, hal. 3. 115 Lev, Politik, hal. 111-112. 116 R Atang Ranoemihardja, Hukum Acara Pidana, (bandung: Tarsito, 1980), hal. 14; Lilik

Mulyadi, Hukum Acara Pidana: Suatu Tinjauan Khusus terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan

Putusan Pengadilan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), Bambang Poernomo, Pola Dasar

Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty,

1993), hal. 10; hal. 29; I Rubini, Pengantar Hukum Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 1974), hal.

9; Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, (Jakarta: Pustaka

Kartini, 1988), hal. 6; Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata

dalam Teori dan Praktik, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hal. 1; Rozali Abdullah, Hukum Acara

Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1992), hal. 2.

Page 21: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 21

Daerah/Wakil Kepala Daerah, MK telah dibebani tanggung jawab serupa terlebih

dahulu. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan konstitusi mengenai proses

pemberhentian Presiden/Wakil Presiden. Konstitusi memberikan MK kewajiban

untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden

dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa

pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,

atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil

Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.117

Hukum acara bagi jenis gugatan tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut di

dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.118

Namun demikian, pengaturan hukum acara tentang tidak berhenti di level

konstitusi maupun undang-undang semata. MK kemudian mengambil inisiatif

untuk membentuk Peraturan MK untuk mengatur acara pengujian pendapat DPR

terhadap dugaan pelanggaran oleh Presiden/Wakil Presiden. Ketentuan tersebut

dituangkan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009. Di

dalamnya dengan tegas MK menyatakan bahwa “ketentuan hukum acara untuk

melaksanakan kewajiban … belum lengkap” dan “perlu mengatur hal-hal yang

diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan wewenangnya.”119 Pun apabila terdapat

hal yang terlewatkan untuk diatur, MK menegaskan bahwa asas-asas hukum acara

yang terkait berlaku secara mutatis mutandis.120 Penegasan-penegasan ini penting

untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum. MK tetap mengatur mengenai

hal tersebut, sekalipun hingga saat ini belum ada satupun upaya pemberhentian

yang diajukan kepadanya.

Melalui peraturan tersebut, MK memberikan pembatasan-pembatasan

terhadap hal-hal yang masih kabur dan belum terjelaskan, baik di dalam konstitusi

maupun UU No. 24/2003. Semisal, tindak pidana berat yang didefiniskan sebagai

“tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.”121

Adapun perbuatan tercela berkaitan dengan “perbuatan yang dapat merendahkan

martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.”122 MA juga menegaskan kembali

subyek-subyek yang berkepentingan dalam jenis kasus ini: DPR sebagai

pemohon, dan Presiden/Wakil Presiden sebagai termohon. Kedua pihak berhak

untuk didampingi oleh kuasa hukum.123

Setiap permohonan pengujian pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran

oleh Presiden/Wakil Presiden harus menguraikan dengan jelas alasan permohonan

itu, baik terkait adanya pelanggaran hukum atau Presiden/Wakil Presiden yang

tidak lagi memenuhi syarat untuk menjabat. 124 Apabila permohonan tersebut

didasarkan pada dugaan pelanggaran hukum, pemohon harus menguraikan dengan

rinci jenis, waktu dan tempat terjadinya pelanggaran. 125 Sementara terhadap

117 Indonesia, UUD NRI 1945, Pasal 7B ayat (1). 118 Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal

28-49, Pasal 80-85. 119 Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang

Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan

Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, Bagian Menimbang huruf b dan c. 120 Ibid., Pasal 21. 121 Ibid., Pasal 1 angka 10. 122 Ibid., Pasal 1 angka 11. 123 Ibid., Pasal 2 ayat (1). 124 Ibid., Pasal 3 ayat (3). 125 Ibid., Pasal 4 ayat (1).

Page 22: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

22 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

permohonan dengan dalil ketidakmampuan melaksanakan kewajiban, uraian harus

merinci syarat-syarat yang tak lagi dapat dipenuhi Presiden/Wakil Presiden.126

Setiap permohonan dilengkapi oleh alat bukti tertentu.127

Lebih lanjut MK mengatur agar proses persidangan memutus pendapat DPR

mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden/Wakil Presiden dibagi enam tahap.

Persidangan dimulai dengan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan, tanggapan oleh

termohon, pembuktian oleh pemohon, pembuktian oleh termohon, kesimpulan

dari kedua pihak, dan pengucapan putusan.128 Setelah semua tahapan terlampaui,

MK kemudian mengucapkan putusan dalam tiga jenis amar, yaitu permohonan

tidak dapat diterima, permohonan ditolak, atau membenarkan pendapat DPR.129

Putusan MK bersifat final secara yuridis dan mengikat bagi DPR.130

Dengan adanya hukum acara yang ketat, MK menegaskan marwah dan

kekuasaannya dalam memberikan intervensi yuridis terhadap proses

pemberhentian Presiden/Wakil Presiden. Kedudukan MK menjadi kontekstual dan

sejalan dengan semangat untuk semakin menguatkan kedudukan Presiden dalam

sistem ketatanegaraan Indonesia. Dengan demikian, kuatnya unsur politis dalam

proses pemberhentian Presiden dapat ditekan dan diminimalisasi. 131 Dengan

hukum acara yang ketat itu, MK bahkan tampak menihilkan sama sekali hasil-

hasil yang telah dicapai dalam paripurna DPR. Indikatornya, baik pemohon atau

termohon tetap berkewajiban untuk melaksanakan proses pembuktian di hadapan

pengadilan, dalam suatu sidang yang terbuka. Pemohon maupun termohon pun

memiliki akses untuk memeriksa bukti-bukti satu sama lain.132

Inisiatif-inisiatif MK inilah yang perlu diadopsi oleh MA dalam penanganan

pengujian pendapat DPRD tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala

Daerah. Secara yuridis dalam konteks pengujian ini, MA memiliki kedudukan

yang kongkruen dan sebangun dengan peran MK dalam pengujian pendapat DPR

terhadap dugaan pelanggaran Presiden/Wakil Presiden. Keduanya berfungsi

sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir, dengan keputusan yang final

secara yuridis dan mengikat bagi pemohonnya (DPR atau DPRD). Karena

berfungsi sebagai pengadilan tingkat pertama, MA perlu menggeser atau

menegaskan perannya dari sekadar judex iure menjadi judex factie. Dengan kata

lain, MA harus menilai kualitas formal dan material pemohon dan termohon

(sejak pengajuan permohonan, jawaban termohon, pembuktian, hingga

simpulan),133 dan tidak memercayai hasil pemeriksaan angket DPRD dengan serta

merta. Karena menilai pembuktian, maka pemohon dan termohon perlu diberikan

kesempatan untuk mengakses alat bukti secara terbuka, demi membangun

126 Ibid., Pasal 4 ayat (2). 127 Alat bukti tersebut terdiri atas risalah pengambilan keputusan yang membuktikan bahwa

pendapat DPR didukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR dalam sidang

paripurna yang dihadiri oleh 2/3 anggota DPR, dokumen pelaksanaan fungsi pengawasan yang

berkenaan dengan permohonan, risalah rapat, dan alat bukti lain yang relevan. Ibid., Pasal 5. 128 Ibid., Pasal 9 ayat (3). Perincian dari masing-masing tahap dijabarkan dalam Pasal 10-

19. 129 Ibid., Pasal 19 ayat (3). 130 Ibid., Pasal 19 ayat (5). 131 Muhammad Fauzan, Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Proses Impeachment

Presiden Menurut Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, “Jurnal Dinamika Hukum,” Vol. 11

No. 1, 2011, hal. 78. 132 MK, PMK No. 21/2009, Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 15 ayat (4). 133 Shietra, “Permohonan.”

Page 23: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 23

argumentasi hukum yang berbobot, alih-alih sekadar memberikan jawaban tertulis

berdasarkan fakta-fakta yang kabur dari pihak lawannya.

Satu-satunya cara mengondisikan ini adalah dengan membentuk PERMA

tersendiri tentang acara pengujian pendapat DPRD tentang pemberhentian Kepala

Daerah/Wakil Kepala Daerah. Pembentukan PERMA adalah alternatif paling

realistis, mengingat mengubah undang-undang membutuhkan komitmen politik

dan proses yang panjang.134 Saat ini, sebagian besar hukum acara MA tercantum

di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,

yang telah sekali diubah melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Undang-

undang lain yang juga relevan dalam jenis kasus ini adalah UU No. 23/2014 itu

sendiri. Adanya PERMA setidaknya dapat mengodifikasi hukum acara yang

tersebar dalam beragam peraturan itu, mengisi kekosongan hukum yang masih

tersisa, dan menegaskan asas-asas apa yang dapat digunakan sebagai landasan

beracara.

Hukum acara yang lebih ketat juga akan semakin menguatkan posisi tawar

Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dihadapan pranata pemberhentian. Kondisi

ini sebangun dengan besarnya legitimasi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah di

dalam rezim pemerintahan daerah saat ini, mengingat keduanya dipilih secara

langsung oleh rakyat. Sebagaimana DPRD, keduanya adalah representasi dari

daulat rakyat daerah itu sendiri. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan itu pun dapat

memperoleh parameter yang lebih kongkrit dalam mengevaluasi jalannya proses

yudisial pemberhentian pemimpin-pemimpin mereka.

4.2. Akses Pendampingan Hukum oleh Advokat

Pendampingan oleh pengacara adalah salah satu elemen penting dalam

setiap hukum acara. Karena profesinya, advokat dapat menjamin

“terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum

bagi pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak

asasi manusia.”135 Negara mengakui kedudukannya sebagai salah satu elemen

penting negara hukum yang bertiti berat pada supremasi hukum, bersisian dengan

aparat penegak hukum lain. Dalam kerangka itu, advokat menyediakan layanan

bagi para pencari keadilan, memberdayakan masyarakat, dan mengadvokasi

pemenuhan hak-hak fundamental mereka di hadapan hukum.136 Konsep access to

justice dalam arti sempit pun sejatinya dirancang agar masyarakat miskin dan

termarginalkan dapat memperoleh akses terhadap layanan ini.

Dalam kasus-kasus pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah,

peran advokat dalam hukum acara yang terang semakin mendesak. Harus diingat

bahwa proses ajudikasi di MA merupakan tahap kedua dalam sistem

pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah secara keseluruhan. Sebelum

itu, sang Kepala Dearah/Wakil Kepala Daerah harus menghadapi proses

134 Sesuai ketentuan di dalam konstitusi, undang-undang di Indonesia dibentuk oleh DPR

dengan persetujuan Presiden. Artinya, kedua lengan kekuasaan negara tersebut perlu memiliki

persepsi subyektif yang sama agar sebuah undang-undang dapat dibentuk. RE Elson, The Idea of

Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan [The Idea of Indonesia: A History], diterjemahkan

oleh Zia Anshor, (Jakarta: Serambi, 2009), hal. 441. 135 Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Bagian

Menimbang huruf b. 136 Ibid., Bagian Penjelasan Sub Bagian Umum.

Page 24: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

24 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

pemeriksaan di DPRD yang kental dengan nuansa politis.137 Dalam tahap ini,

Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah harus membela dirinya sendiri di hadapan

aturan main politik yang didasari pada negosiasi dan konsensus.

Intervensi yudisial dalam sistem ini harusnya dapat menetralisasi segi

negatif dari proses politik tersebut. Pelibatan advokat merupakan elemen penting

agar peradilan dapat berlangsung adil dan berimbang. Hal ini butuh ditegaskan di

dalam hukum acara yang kongkrit, agar advokat dapat menjalankan perannya

secara maksimal. Hukum acara tersebut perlu mengatur kedudukan, hak dan

kewajiban advokat. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, akan terjadi potensi

inkonsistensi dalam pola pendampingan hukum: bisa jadi pada suatu kasus

terdapat pendampingan, namun pada kasus yang lain tidak ada pendampingan

sama sekali. Ketika termohon tidak mendapatkan pendampingan yang layak dan

tepat, hak-hak fundamentalnya rentan diabaikan dan tercederai. Ujungnya, timbul

keraguan terhadap nilai keadilan dari putusan yang dihasilkan proses tersebut.

Masalah inkonsistensi inilah yang mengemuka dalam putusan-putusan MA

dalam pengujian pendapat DPRD tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil

Kepala Daerah sepanjang tahun 2014. Dalam tiga putusan, terdapat tiga model

pendampingan hukum yang berbeda pula, baik dari sisi pemohon maupun

termohon. Pada kasus DPRD Kabupaten Mimika vs Bupati Mimika, DPRD

selaku pihak pemohon diwakili oleh 4 orang kuasa hukum dari Kantor Hukum A.

Dwi Harsana Saputra, S.H., & Associates.138 Adapun Bupati Mimika sama sekali

tidak didampingi kuasa hukum. Ia bahkan tidak mengajukan jawaban terhadap

permohonan pihak DPRD.139 Dengan kata lain, yang bersangkutan tidak membela

diri di hadapan pengadilan atas tuduhan-tuduhan yang menimpanya. Pada kasus

DPRD Kabupaten Katingan vs Bupati Katingan, baik pihak DPRD sebagai

pemohon maupun Bupati sebagai termohon tidak didampingi kuasa hukum.140

Sementara pada kasus DPRD Kabupaten Gorontalo vs Wakil Bupati Gorontalo,

DPRD sebagai pemohon tidak didampingi kuasa hukum, sementara Wakil Bupati

Gorontalo didampingi oleh 4 kuasa hukum dari Bahtin R Tomayahu & Rekan

Law Offices.141 Pada titik ini, para pihak, terutama termohon yang harus membela

diri, telah berada pada posisi yang tidak setara dan asimetris.

4.3. Minimalitas Ruang Diskursus: Muatan Permohonan, Pembelaan dan

Pembuktian

Keadilan yang bersifat prosedural, sebagaimana didalilkan oleh Habermas,

hanya dapat tercapai melalui proses diskursus yang juga adil. Para pihak yang

terlibat dalam suatu proses harus diberikan kesempatan untuk mempertahankan

argumennya dengan dalil-dalil yang kuat. Untuk itu, mereka harus didudukkan

dalam posisi yang setara, melalui pengorbanan diskursif untuk mendengarkan

argumen satu sama lain. Aturan main inilah yang idealnya diadopsi di dalam suatu

sistem peradilan manapun, khususnya dalam konteks peradilan uji pendapat

137 Problem politisasi ini sebangun dengan masalah yang ditimbulkan akibat pola

pemberhentian Presiden yang dianut pada masa sebelum amandemen UUD 1945, dimana

pemberhentian tersebut menjadi hak prerogative MPR sepenuhnya. Fauzan, “Kewenangan,” hal.

77. 138 MA, Putusan No. 01 P/KHS/2017, hal. 1. 139 Ibid., hal. 15. 140 MA, Putusan No. 02 P/KHS/2017, hal. 1. 141 MA, Putusan No. 03 P/KHS/2017, hal. 1.

Page 25: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 25

DPRD terhadap pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Namun

demikian, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Ketiadaan aturan hukum acara

yang baku menimbulkan implikasi-implikasi lebih lanjut terhadap posisi para

pihak yang menjadi asimetris. Karena asimetris, argumentasi-argumentasi hukum

yang dikemukakan para pihak menjadi tidak berimbang di hadapan hakim.

Akibatnya, nilai keadilan suatu putusan justru menjadi meragukan.

Rantai masalah diskursif ini setidaknya tampak pada materi permohonan,

pembelaan dan pembuktian para pihak. Dari permohonan dan pembelaan, refleksi

atas proses diskursus itu sendiri dapat tercermin. Permohonan dan pembelaan

dapat menunjukkan kualitas argumentasi dan posisi asal dari para pihak yang

terlibat. Apakah keduanya mendapatkan akses yang setara atau timpang sebelah.

Adapun alat bukti akan memvalidasi proses diskursus itu. Ketika alat bukti

memiliki indikator yang jelas, maka kesempatan para pihak membangun argumen

yang kuat juga semakin besar. Namun, terdapat inkonsistensi ketiga elemen ini di

dalam tiga kasus pengujian pendapat DPRD terhadap pemberhentian Kepala

Daerah/Wakil Kepala Daerah. Inkonsistensi dalam permohonan dan pembelaan

berkaitan dengan hal-hal apa saja yang perlu diuraikan oleh kedua belah pihak.

Sementara inkonsitensi dalam pembuktian berkaitan dengan alat bukti apa saja

yang diajukan para pihak.

4.3.1. Muatan Permohonan

Dalam kasus DPRD Kabupaten Mimika vs Bupati Mimika, permohonan

yang diajukan DPRD Mimika kepada MA guna menguji pendapat tentang

pemberhentian Bupati Mimika secara umum dibagi ke dalam 6 bagian, yaitu

penjabaran terhadap obyek permohonan, wewenang MA, kedudukan hukum

pemohon, kedudukan hukum termohon, posita permohonan, dan petitum.

DPRD mengajukan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten Mimika Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pembentukan Panitia Khusus

Hak Angket DPRD Mimika, Laporan Panitia Khusus DPRD Kabupaten Mimika

tanggal 24 November 2016, dan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten Mimika Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pendapat DPRD Kabupaten

Mimika terhadap Dugaan Penggunaan Ijazah Palsu pada waktu mencalonkan diri

sebagai Bupati Mimika, Pelanggaran Sumpah dan Janji Jabatan, dan Pelanggaran

Perundang-undangan. 142 Hal ini menarik karena berarti DPRD tidak hanya

mengajukan pengujian pendapat tentang pemberhentian Bupati Mimika,

melainkan juga keputusan pembentukan panitia angket itu sendiri. Apabila bagian

ini dipertimbangkan secara serius, MA artinya diminta mengadili keseluruhan

proses pemberhentian sejak tahap pertama hingga terakhir. Namun di dalam

putusannya, MA membatasi proses pemeriksaan persidangan hanya terhadap

Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Mimika Nomor 4 Tahun

2016.143

Permohonan ini semakin menarik, karena DPRD secara sadar mendasarkan

argumen tentang wewenang MA tidak hanya kepada UU No. 23/2014, melainkan

juga pada PERMA Nomor 5 Tanun 2015 tentang Pedoman Beracara untuk

Memperoleh Putusan atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan

Keputusan Dan/Atau Tindakan Badan Atau Pejabat Pemerintahan. 144 Padahal

142 MA, Putusan No. 01 P/KHS/2017, hal. 2. 143 Ibid., hal. 15. 144 Ibid., hal. 2

Page 26: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

26 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

pembentukan PERMA ini ditujukan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 53

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.145

Dalam PERMA ini, obyek gugatan adalah badan atau pejabat negara yang tidak

menetapkan keputusan atau tindakan tertentu. 146 Isinya sama sekali tidak

berhubungan dengan ketentuan dalam Pasal 80 UU No. 23/2014. Keganjilan ini

semakin menegaskan pentingnya pengaturan hukum acara tersendiri bagi

pengujian pendapat DPRD dalam pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala

Daerah.

Di dalam posita, DPRD selaku pihak pemohon kemudian menguraikan

alasan-alasan di balik permohonan pengujian pendapat kepada MA. Terdapat

sejumlah poin penting yang layak digaris bawahi. Pertama, bahwa upaya

pemberhentian tersebut didasarkan oleh laporan masyarakat terkait dugaan

penggunaan ijazah palsu, bepergian ke luar negeri tanpa izin, dan pelanggaran

sumpah/janji jabatan. 147 DPRD Kabupaten Mimika kemudian menindaklanjuti

laporan tersebut dengan membentuk Panitia Khusus Hak Angket (Pansus) yang

terdiri atas seluruh fraksi di DPRD.148

Pansus tersebut kemudian mulai melakukan penyelidikan terhadap dugaan

penggunaan ijazah palsu dan perjalanan ke luar negeri tanpa izin menteri. Dugaan

penggunaan ijazah palsu ditelusuri dengan memeriksa mantan Ketua KPU

Kabupaten Mimika periode 2008-2014, mantan Ketua dan satu Anggota KPU

Kabupaten Mimika periode 2014-2019. Panitia Angket juga mengungi Kepala

Dinas Pendidikan Provinsi Papua, Kepala Tata Usaha SMAN 1 Sentani dan

Kepala SMP Yapend 45 Jayapura. Adapun Bupati Mimika dan mantan Sekretaris

KPU Kabupaten Mimika yang sekarang menjabati Kepala Dinas Perindustrian

Kabupaten Mimika tak pernah hadir ketika diundang.149 Pansus berkesimpulan

bahwa Bupati terbukti dengan meyakinkan telah menggunakan ijazah palsu, dan

karenanya harus dikenai sanksi pemberhentian tetap.150 Adapun terhadap dugaan

bepergian ke luar negeri tanpa izin, Pansus bersurat dengan Direktur Jenderal

Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, yang menyatakan tidak pernah

memberikan izin bepergian ke luar negeri kepada Bupati.151 Sementara terhadap

bentuk kongkrit pelanggaran sumpah/janji jabatan, DPRD tidak menjabarkan

lebih lanjut di dalam permohonannya dan semata menisbatkan pada kedua dugaan

pelanggaran lain yang telah diselidiki.

Susunan permohonan yang berbeda akan ditemukan dalam kasus DPRD

Kabupaten Katingan vs Bupati Katingan. Berbeda dengan kasus sebelumnya,

DPRD selaku pemohon langsung masuk kepada uraian pokok permohonan dan

tidak menjabarkan obyek sengketa, ataupun kedudukan hukum pemohon.

Permohonan ini didasarkan pada persitiwa tangkap tangan Bupati Katingan yang

melakukan hubungan di luar nikah dengan wanita yang bukan istri sahnya. Karena

peristiwa ini, sang Bupati dinilai melakukan perbuatan tercela, tidak menjaga

145 Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tanun 2015 tentang

Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan atas Penerimaan Permohonan Guna

Mendapatkan Keputusan Dan/Atau Tindakan Badan Atau Pejabat Pemerintahan, Bagian

Menimbang huruf a. 146 Ibid., Pasal 1 angka 1. 147 MA, Putusan No. 01 P/KHS/2017, hal. 5-6. 148 Ibid., hal. 7. 149 Ibid. 150 Ibid., hal. 10. 151 Ibid.

Page 27: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 27

etika dan norma dalam menjalankan pemerintahan, dan menyalahgunakan

wewenang serta janji jabatan.152 Pembelaan Bupati yang menyakatan bahwa dia

dan sang wanita telah menikah di bawah tangan pun dianggap sebagai bentuk

pelanggaran terhadap sejumlah ketentuan dalam UU No. 1/1974.153 Pada kasus

DPRD Kabupaten Gorontalo vs Wakil Bupati Gorontalo, permohonan DPRD

bahkan lebih ringkas. DPRD sebagai pemohon hanya menguraikan bahwa telah

dilaksanakan angket dan Wakil Bupati terbukti melakukan hal-hal yang

dituduhkan kepadanya.154

Perbedaan-perbedaan dalam cara menguraikan ini disebabkan ketiadaan

acuan mengenai muatan permohonan. Bandingkan dengan pengaturan MK terkait

topik serupa, dimana permohonan harus memuat dan menguraikan dengan jelas

alasan permohonan itu, baik terkait adanya pelanggaran hukum atau

Presiden/Wakil Presiden yang tidak lagi memenuhi syarat untuk menjabat. 155

Apabila permohonan tersebut didasarkan pada dugaan pelanggaran hukum,

pemohon harus menguraikan dengan rinci jenis, waktu dan tempat terjadinya

pelanggaran.156 Sementara terhadap permohonan dengan dalil ketidakmampuan

melaksanakan kewajiban, uraian harus merinci syarat-syarat yang tak lagi dapat

dipenuhi Presiden/Wakil Presiden.157

4.3.2. Muatan Pembelaan

Sebagaimana permohonan, materi dan format pembelaan dalam kasus-kasus

pengujian pendapat DPRD tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala

Daerah pun berbeda-beda. Masalah ini pun berakar dari problem yang sama, yaitu

ketiadaan peraturan hukum acara yang padu yang mengatur muatan dan format

nota pembelaan dalam kasus-kasus ini.

Dalam kasus DPRD Kabupaten Mimika vs Bupati Mimika, sang Bupati

sama sekali tidak mengajukan jawaban ataupun membela diri dari tuduhan-

tuduhan yang dilayangkan kepadanya. 158 Dalam kasus DPRD Kabupaten

Katingan vs Bupati Katingan, sang Bupati menyampaikan jawaban yang terdiri

atas 5 bagian: uraian kronologis peristiwa, komentar atas landasan hukum yang

digunakan DPRD dalam memeriksa dugaan perbuatan tercela, komentar terhadap

pelanggaran hukum yang dianggap terbukti dilakukan oleh Bupati, dan

kesimpulan. Sang Bupati menegaskan bahwa ia dan wanita yang bersamanya telah

menikah di bawah tangan secara Islam di Jakarta.159

Terhadap dalil-dalil hukum yang menjadi dasar bagi pembentukan panitia

khusus guna pengusutan perbuatan tercela yang dilakukannya, Bupati Katingan

menyanggahnya. Ia menilai, perbuatan zina yang dilakukannya merupakan delik

aduan absolut, sehingga hanya dapat diproses hukum apabila terdapat pihak yang

berkepentingan membuat laporan. 160 Ia kemudian menegaskan agar DPRD

152 MA, Putusan No. 02 P/KHS/2017, hal. 2-3. 153 Ibid., hal. 3-4. 154 MA, Putusan No. 03 P/KHS/2017, hal. 1-2. 155 MK, PMK No. 21/2009, Pasal 3 ayat (3). 156 Ibid., Pasal 4 ayat (1). 157 Ibid., Pasal 4 ayat (2). 158 MA, Putusan No. 01 P/KHS/2017, hal. 15. 159 MA, Putusan No. 02 P/KHS/2017, hal. 9. 160 Ibid., hal. 11.

Page 28: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

28 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

seharusnya menghormati proses hukum pidana yang dilakukan suami sang wanita,

dan menghormati pencabutan laporan yang dilakukannya kemudian.161

Bupati Katingan juga turut mengomentari pelanggaran yang dianggap

terbukti dan menjadi dasar usulan pemberhentian. Terkait perbuatan tercela, ia

menilai substansinya saling tumpang tindih dengan proses pidana berdasarkan

aduan suami wanita yang bersamanya. Pengaduan tersebut juga telah dicabut,

sehingga “secara yuridis proses hukum kasus dugaan tindak pidana perzinaan

(perbuatan tercela) dimaksud telah berakhir dan tidak dapat dibuktikan secara

sah.” 162 Hasil pemeriksaan panitia khusus DPRD pun dinilainya gagal

membuktikan aspek perbuatan tercela ini.163 Sementara terkait pelanggaran etika,

menurutnya merupakan “alasan yang dibuat-buat, sangat tidak jelas bentuk

perbuatannya serta sama sekali tidak pernah dibuktikan secara sah.”164 Masalah

ini dinilainya merupakan urusan privat yang tidak berhubungan dengan

jabatannya sebagai Bupati Katingan. Alasan sebangun digunakan untuk

membantah tudingan melanggar sumpah/janji jabatan. Ia menilai pelanggaran

tersebut haruslah berkaitan secara langsung dengan tugas dan wewenang Bupati,

dan harus dibuktikan melalui putusan pengadilan yang inkracht.165

Dalam kasus ketiga (DPRD Kabupaten Gorontalo vs Wakil Bupati

Gorontalo), dimana Wakil Bupati Gorontalo sebagai termohon didampingi kuasa

hukum secara formal, pembelaan termohon tampak lebih lengkap dan berusaha

menjangkau lebih banyak aspek. Sorotan pertama ditujukan kepada permohonan

DPRD Kabupaten Gorontalo sebagai pemohon yang dinilai telah daluwarsa.

Dalam Pasal 23 ayat (1) Peraturan DPRD Kabupaten Gorontalo Nomor 1 Tahun

2014 tentang Tata Tetib DPRD Kabupaten Gorontalo (Tatib DPRD) disebutkan

bahwa DPRD harus menidaklanjuti keputusan yang dibuatnya dalam kurun 3 hari,

termasuk mengajukan uji pendapat kepada MA terkait pendapat pemberhentian

Wakil Bupati Gorontalo.166 Namun pengajuan uji pendapat melampaui tenggat

waktu tersebut.167 DPRD Kabupaten Gorontalo juga dinilai melanggar tatibnya

sendiri, karena penanganan terhadap pengaduan dugaan pelanggaran Wakil Bupati

Gorontalo tidak melewati sejumlah tahap.168

Terhadap substansi permohonan, termohon juga menilai bahwa tuduhan

korupsi seharusnya diselesaikan melalui proses peradilan pidana. Apabila telah

terdapat putusan inkracht yang menyatakan termohon terbukti secara hukum

melakukan pidana korupsi, barulah yang bersangkutan dapat diberhentikan.169

Selain itu, termohon mengklaim tidak dapat mempengaruhi hasil tender karena

hal tersebut diluar wewenang administratif dan tanggungjawabnya.170 Termohon

juga menuding bahwa ia dijebak, dimana pelapor telah berniat dan merencanakan

perekaman percakapannya dengan Wakil Bupati, yang menjadi landasan

pelaporannya.171 Pemohon juga dinilai tidak mematuhi urut-urutan pelaksanaan

161 Ibid. 162 Ibid., hal. 12. 163 Ibid., hlm 12-13. 164 Ibid., hal. 13. 165 Ibid., hal. 14. 166 MA, Putusan No. 01 P/KHS/2017, hal. 3. 167 Ibid., hal. 5. 168 Ibid., hal. 6. 169 Ibid., hal. 7. 170 Ibid., hal. 8-9. 171 Ibid., hal. 12.

Page 29: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 29

hak menyatakan pendapat. Menurut termohon, hak tersebut seharusnya

dilaksanakan secara kumulatif, dimulai dengan pelaksanaan hak interpelasi

kemudian hak angket. Dalam hal ini, “pemohon … setelah menerima aduan dari

masyarakat sama sekali tidak menggunakan Hak Interpelasi namun langsung

menggunakan Hak Angket.”172

4.3.3. Pembuktian

Ketiadaan ketentuan mengenai hukum acara juga berimbas pada bukti-bukti

yang diajukan para pihak dalam perkara uji pendapat DPRD tentang

pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Terdapat perbedaan antara

satu kasus dengan kasus yang lain. Pada kasus DPRD Kabupaten Mimika vs

Bupati Mimika, DPRD Kabupaten Mimika selaku pemohon mengajukan 29 alat

bukti, yang terdiri atas:173

1. Fotokopi KTP atas nama Elminus B. Mom;

2. Fotokopi Keputusan Gubernur Papua Nomor 155.2/385/Tahun 2015

tentang Peresmian Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten Mimika Periode Tahun 2014-2019;

3. Fotokopi Keputusan Gubernur Papua Nomor 155/37/Tahun 2016,

tentang Peresmian Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten Mimika Periode Tahun 2014-2019;

4. Fotokopi Surat Kementrian Dalam Negeri Nomor 903/047/OTDA,

tanggal 5 Januari 2017 kepada Gubernur Papua mengenai Penetapan

Perda tentang Pembetukan dan Susunan Perangkat Daerah dan Perda

tentang APBD Tahun 2017 Kabupaten Mimika;

5. Fotokopi Surat Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Mahasiswa

Pegunungan tengah Papua se-Indonesia Nomor 38/B/A1/J-1/2016,

tanggal 4 Oktober 2016 mengenai Permohonan Tindak Lanjut Dugaan

Penggunaan Ijazah Palsu Bupati Timika;

6. Fotokopi Surat Rekomendasi Lembaga Musyawarah Adat Suku

Kamoro (Lemasko) Nomor 2037/DPA-Lemasko/D.I-II/X/2016, tanggal

3 Oktober 2016, mengenai Dukungan Kepada Tim Hak Angket DPRD

Kabupaten Mimika;

7. Fotokopi Surat Tanda Tamat Belajar Sekolah Menengah Umum

Tingkat Pertama atas nama Eltinus Omaleng tanggal 30 Mei 1991;

8. Fotokopi Surat Tanda Tamat Belajar Sekolah Menengah Umum

Tingkat Atas atas nama Eltinus Omaleng tanggal 23 Mei 1995;

9. Fotokopi Surat Komisi Pemilihan Umum mengenai Data Calon Bupati

Kabupaten Mimika Nomor Urut 9 atas Nama Eltinus Omaleng, S.E.;

10. Fotokopi Surat Pernyataan Komisioner Komisi Pemilihan Umum

Kabupaten Mimika atas nama Michael Beanal, tanggal 24 Oktober

2016;

11. Fotokopi Surat Pernyataan Komisioner Komisi Pemilihan Umum

Kabupaten Mimika atas nama Yohanes Kemong, S.IP., M.Si, tanggal

25 Oktober 2016;

12. Fotokopi Surat Kementrian Hukum dan HAM RI, Kantor Wilayah

Papua Nomor W30-FE.GR.04.02-532, tanggal 21 September 2016,

172 Ibid., hal. 10. 173 Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 P/KHS/2017, hal. 12-14.

Page 30: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

30 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

tentang Permintaan Nama PNS Kabupaten Mimika yang Keluar Negeri

dengan lampiran Daftar Nama PNS Kabupaten Mimika yang Keluar

Negeri;

13. Fotokopi Surat Rapat Pleno Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten Mimika, tanggal 27 September 2016, tentang Hak Angket

Tahun 2016;

14. Fotokopi Daftar Hadir Rapat Pleno Hak Angket Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Kabupaten Mimika, tanggal 27 September Tahun 2016;

15. Fotokopi Surat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Mimika

Nomor 002/PA/DPRD-MMK/IX/2016 tanggal 29 September 2016

kepada Kepala Sekolah Yayasan Pendidikan 45 Jayapura, mengenai

Permohonan Penjelasan Ijazah Nomor 180-OA ob 0074657 a.n. Eltinus

Omaleng;

16. Fotokopi Surat Keterangan Yayasan Pendidikan 45 Jayapura tanggal 1

Oktober 2016, menanggapi Surat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten Mimika Nomor 002/PA/DPRD-MMK/IX/2016, tanggal 29

September 2016;

17. Fotokopi Surat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Mimika

Nomor 003/PA/DPRD-MMK/IX/2016 tanggal 29 September 2016

kepada Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Sentani Jayapura, mengenai

Permohonan Penjelasan Ijazah Nomor 18 OB oc 0806410 a.n. Eltinus

Omaleng;

18. Fotokopi Surat Keterangan SMA Negeri 1 Sentani tanpa tanggal bulan

Juni 2016, menanggapi Surat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten Mimika Nomor 003/PA/DPRD-MMK/IX/2016, tanggal 29

September 2016;

19. Fotokopi Surat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Mimika

Nomor 004/PA/DPRD-MMK/IX/2016, tanggal 29 September 2016

kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua,

mengenai Permohonan Penjelasan Ijazah SLTP Nomor 180-OA ob

0074657 dan SLTA Nomor 18 OB oc 0806410 a.n. Eltinus Omaleng;

20. Fotokopi Surat Keterangan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi

Papua Nomor 420/1323, tanggal 3 Oktober 2016, menanggapi Surat

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Mimika Nomor

004/PA/DPRDMMK/IX/2016, tanggal 29 September 2016;

21. Fotokopi Surat Panggilan Kepolisian Negara RI Daerah Papua Nomor

S.Pgl/141/III/2016/Dit Reskrimum, tanggal 7 Maret 2016 kepada

Eltinus Omaleng;

22. Fotokopi Surat Kementerian Dalam Negeri RI Nomor 356/9513/OTDA,

tanggal 28 November 2016 kepada Gubernur Papua;

23. Fotokopi Laporan Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten Mimika dalam Rangka Pembahasan serta Tindak Lanjut

Aspirasi Masyarakat atas Dugaan Penggunaan Ijazah Palsu dan

Pelanggaran yang terhadap Sumpah dan Janji yang Dilakukan oleh

Bupati Kabupaten Mimika, tanggal 24 November 2016;

24. Fotokopi Pengantar Rapat Paripurna Khusus Terbatas DPRD

Kabupaten Mimika Masa Sidang Tahun Sidang 2016 dalam Laporan

Panitia Khusus Hak Angket sebagai Tindak Lanjut Aspirasi Masyarakat

atas Dugaan Pelanggaran Ijazah Palsu Bupati Eltinus Omaleng dan

Page 31: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 31

Pelanggaran Peraturan Perundang-undangan yang dilakukan oleh

Bupati Kabupaten Mimika, tanggal 24 November 2016;

25. Fotokopi Keputusan DPRD Kabupaten Mimika Nomor 4 Tahun 2016,

tanggal 24 November 2016 tentang Pendapat DPRD Kabupaten

Mimika Terhadap Dugaan Ijazah Palsu, Pelanggaran Sumpah/Janji

Jabatan dan Peraturan Perundang-undangan yang Dilakukan oleh

Saudara Eltimus Omaleng, S.E., sebagai Bupati Mimika;

26. Fotokopi Surat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Mimika

Nomor 029/PANS/DPRD-MMK/X/2016, tanggal 25 Oktober 2016

kepada Menteri Dalam Negeri RI, mengenai Klarifikasi Tamuan Pansus

DPRD Kabupaten Mimika;

27. Fotokopi Surat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Mimika

Nomor 030/PANS/DPRD-MMK/X/2016, tanggal 25 Oktober 2016

kepada Kepala Kepolisian Polda Papua;

28. Fotokopi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura Nomor

34/G/2015/PTUN.JPR, tanggal 6 Juni 2016; dan

29. Fotokopi Surat Bukti Tanda Terima Surat Keluar Panitia Hak Angket

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Mimika Tahun 2016.

Sementara pihak Bupati Mimika selaku termohon tidak mengajukan satupun alat

bukti.174

Dalam kasus DPRD Kabupaten Katingan vs Bupati Katingan, pihak

pemohon hanya mengajukan alat bukti berupa:175

1. Fotokopi Surat Keputusan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten Katingan Nomor: 172/42/DPRD-KAT/II/2017, tanggal 14

Februari 2017, Perihal Penyampaian Keputusan DPRD Kabupaten

Katingan Nomor 7 Tahun 2017;

2. Fotokopi Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten

Katingan Nomor 7 Tahun 2017, tanggal 13 Februari 2017, tentang

Pendapat DPRD Kabupaten Katingan atas Dugaan Perbuatan Tercela,

Melanggar Etika dan Melanggar Peraturan Perundang-undangan yang

Dilakukan oleh Bupati Katingan;

3. Fotokopi Hasil Kerja Panitia Khusus DPRD Kabupaten Katingan,

Membahas dan Tindak Lanjut Dugaan Perbuatan Tercela, Melanggar

Etika dan Melanggar Peraturan Perundang-undangan yang Dilakukan

oleh Bupati Katingan, tanggal 08 Februari 2017, beserta lampiran-

lampirannya yang terdiri dari Lampiran 1 sampai dengan Lampiran 21,

dan Lampiran Tambahan); dan

4. Fotokopi Risalah Rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten

Katingan Masa Persidangan II Tahun Sidang 2017 Bulan Januari

Sampai Dengan Februari 2017 tentang Dugaan Perbuatan Tercela,

Melanggar Etika dan Melanggar Peraturan Perundang-undangan yang

Dilakukan oleh Bupati Katingan.

Sementara dari pihak Bupati Katingan selaku termohon membalasnya dengan

mengajukan alat bukti berupa:176

174 Ibid., hal. 15. 175 MA, Putusan No. 02 P/KHS/2017, hal. 8. 176 Ibid., hal. 15-16.

Page 32: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

32 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

1. Fotokopi Surat Kesepakatan Bersama yang dibuat Sulis Heri Suyanto

dengan Farida Yeni, A.Md.Gizi, tanpa tanggal, bulan, dan tahun;

2. Fotokopi Surat H. Ikhsan Fauzi tanggal 13 Januari 2017 yang ditujukan

kepada saudari Farida Yeni beserta lampirannya;

3. Fotokopi Surat Pernyataan H. Ikhsan Fauzi tanggal 09 Januari 2017

beserta lampirannya;

4. Fotokopi Berita Sampit Online Kamis, 19 Januari 2017 beserta

lampirannya;

5. Fotokopi Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten

Katingan Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pembentukan Panitia Khusus

(Pansus) Dugaan Perbuatan Tercela Bupati Katingan;

6. Fotokopi Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten

Katingan Nomor 6 Tahun 2017 tentang Perubahan Keputusan DPRD

Kabupaten Katingan Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pembentukan

Panitia Khusus (Pansus) Dugaan Perbuatan Tercela Bupati Katingan;

7. Fotokopi Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten

Katingan Nomor 7 Tahun 2017, tanggal 13 Februari 2017, tentang

Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Katingan atas

Dugaan Perbuatan Tercela, Melanggar Etika dan Melanggar Peraturan

Perundang-undangan yang Dilakukan oleh Bupati Katingan;

8. Fotokopi Surat Koordinator Gerakan Aksi Damai 162, tanggal 16

Februari 2017, yang ditujukan kepada Pimpinan dan Anggota DPRD

Kabupaten Katingan beserta lampirannya; dan

9. Fotokopi surat Ahmad Yantenglie, S.E., tanggal 27 Februari 2017,

perihal Nota Pembelaan/Pledoi.

Dalam kasus DPRD Kabupaten Gorontalo vs Bupati Gorontalo, pihak

DPRD Kabupaten Gorontalo sebagai pemohon mengajukan alat bukti sebagai

berikut:177

1. Fotokopi Surat Keputusan DPRD Kabupaten Gorontalo Nomor

29/KEP/DPRD/IX/2017, tanggal 22 September 2017, tentang

Pernyataan Pendapat;

2. Fotokopi Surat Keputusan DPRD Kabupaten Gorontalo Nomor

28/KEP/DPRD/IX/2017, tanggal 22 September 2017, tentang

Penetapan Hasil Penyelidikan oleh Panitia Angket;

3. Fotokopi Risalah Rapat Paripurna ke-24 DPRD Kabupaten Gorontalo,

tanggal 22 September 2017;

4. Fotokopi Risalah Rapat Paripurna ke-23 DPRD Kabupaten Gorontalo,

tanggal 22 September 2017;

5. Fotokopi Daftar Hadir Paripurna DPRD Kabupaten Gorontalo, tanggal

22 September 2017;

6. Fotokopi Risalah Rapat Paripurna ke-20 DPRD Kabupaten Gorontalo,

tanggal 16 Agustus 2017;

7. Fotokopi Hasil Penyelidikan Panitia Angket DPRD Kabupaten

Gorontalo;

177 MA, Putusan No. 03 P/KHS/2017, hal. 2-3.

Page 33: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 33

8. Fotokopi Surat Keputusan DPRD Kabupaten Gorontalo Nomor

23/KEP/DPRD/VIII/2017, tanggal 16 Agustus 2017, tentang

Pembentukan Panitia Angket; dan

9. Fotokopi Pendapat Hukum (legal opinion) dari Prof. Dr. Moh. Mahfud

MD.

Sementara Wakil Bupati Gorontalo sebagai termohon mengajukan alat bukti

berupa:178

1. Fotokopi Surat Resi Pos;

2. Fotokopi Pemberitahuan & Penyerahan Surat Permohonan Uji Pendapat;

3. Fotokopi Surat Permohona Uji Pendapat;

4. Fotokopi Surat Penerimaan dan Registrasi berkas permohonan Hak Uji

Pendapat;

5. Fotokopi Tata Tertib DPRD Kabupaten Gorontalo Nomor 1 Tahun

2004;

6. Fotokopi Keputusan DPRD Nomor 29 tentang Hak Menyatakan

Pendapat;

7. Fotokopi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah;

8. Fotokopi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3;

9. Fotokopi Surat Penetapan Pemenang;

10. Fotokopi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 juncto Undang-

Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;

11. Fotokopi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Negara;

12. Fotokopi Surat Panggilan Pertama;

13. Fotokopi Surat Perintah Perjalana Dinas (SPPD);

14. Fotokopi Surat Panggilan Kedua;

15. Fotokopi Surat Keberatan;

16. Fotokopi Tanda Terima Surat;

17. Fotokopi Surat Keputusan DPRD Kabupaten Gorontalo Nomor

23/KEP/DPRD/VIII/2017;

18. Fotokopi Surat Panggilan Ketiga;

19. Fotokopi Undang-Undang Dasar 1945;

20. Fotokopi Putusan MK Nomor 006/2003;

21. Fotokopi Putusan MK Nomor 005/2010;

22. Fotokopi Putusan MK Nomor 20/2010;

23. Fotokopi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 juncto Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi Teknoloni Elektronik;

24. Fotokopi Surat Pernyataan Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN)

DPRD Kabupaten Gorontalo;

25. Fotokopi SK Pengangkatan Wakil Bupati Kabupaten Gorontalo;

26. Fotokopi Surat Pernyataan Unit Layanan Pengadaan;

27. Fotokopi Surat Pernyataan Budiyanto Biya;

28. Fotokopi Laporan Polisi;

29. Fotokopi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas;

178 Ibid., hal. 23.

Page 34: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

34 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

30. Fotokopi Akta Pendirian PT Asana Citra Yasa;

31. Fotokopi Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK);

32. Fotokopi Perma Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara

dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang;

33. Fotokopi Fatwa Lembaga Adat Kab. Gorontalo;

34. Fotokopi Keterangan Ahli Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H.;

35. Fotokopi Hasil Uji LBH PAHAM; dan

36. Fotokopi Kliping Koran.

Uraian-uraian di atas menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan terhadap

alat-alat bukti yang diajukan para pihak dalam pengujian pendapat DPRD

terhadap pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Pada kasus DPRD

Kabupaten Mimika vs Bupati Mimika, DPRD Kabupaten Mimika sebagai

pemohon mengajukan secara lengkap, termasuk alat-alat bukti yang diperiksa di

dalam proses angket di internal DPRD sendiri. Sementara pada dua kasus lain,

yaitu DPRD Kabupaten Katingan vs Bupati Katingan dan DPRD Kabupaten

Gorontalo vs Wakil Bupati Gorontalo, para pemohon semata-mata mengajukan

produk-produk dan luaran yang dihasilkan dari proses angket, baik berbentuk

laporan maupun keputusan-keputusan. Sekalipun juga menyertakan lampiran-

lampiran, muatan dari lampiran-lampiran tersebut tidak benar-benar diuraikan.

Bahkan dalam kasus DPRD Kabupaten Gorontalo vs Wakil Bupati Gorontalo,

rekaman yang menunjukkan adanya pelanggaran hukum oleh Wakil Bupati

Gorontalo tampak tidak disertakan. Nantinya hal ini pun rupanya tidak menjadi

pertimbangan bagi hakim dalam memutus perkara ini. Perbedaan-perbedaan

serupa juga terdapat dalam bukti yang diajukan termohon untuk membela diri.

Perbedaan-perbedaan ini tidak sekadar menjadikan proses diskursus menjadi

minimal dan sulit diterima keabsahannya. Perbedaan-perbedaan juga menjadikan

posisi MA dalam kasus ini menjadi kabur: apakah ia berperan sebagai judex facti

yang memeriksa bukti-bukti dan fakta-fakta yang berkenaan dengan kasus,179 atau

sekadar sebagai judex iure. Dengan alat bukti yang diajukan pemohon dalam

kasus DPRD Kabupaten Mimika vs Bupati Mimika, MA dpat berperan sebagai

judex facti. Sementara dalam dua kasus lainnya, dimana alat bukti yang diajukan

hanyalah luaran proses angket, peran MA menjadi terbatas sebagai judex iure.

Dengan kata lain, MA hanya memeriksa penerapan hukum dalam proses angket

yang berujung usulan pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah itu

sendiri. Padahal dalam kasus seperti ini, dengan mempertimbangkan aspek

historis-teleologis sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, MA harusnya

mengambil peran judex facti dan tidak begitu saja memercayai hasil angket

DPRD. 180 Pilihan sebaliknya justru kontraproduktif dengan semangat

pengintegrasian kekuasaan kehakiman dalam proses pemberhentian Kepala

Daerah/Wakil Kepala Daerah. Kekaburan kedudukan MA akan semakin kontras

dalam ulasan mengenai pertimbangan hakim MA berikut.

4.4. Cermin Kualitas Aparat Penegak Hukum dalam Pertimbangan-

Pertimbangan Hukum Hakim

179 Henri Gunarto, The Impact of US Law Propositions on Indonesian Commercial Law,

“Loyola of Los Angeles Law Review,” Vol. 29, 1996, hal. 1050. 180 Lihat kembali pembahasan dalam Bab IV Sub Bab 4.1. artikel ini.

Page 35: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 35

Puncak dari segala penelusuran mengenai kegalatan access to justice dalam

kasus-kasus pengujian pendapat DPRD tentang pemberhentian Kepala

Daerah/Wakil Kepala Daerah terletak pada bagian pertimbangan hukum hakim

(ratio decidendi) dan putusan yang dihasilkannya. Sebagaimana didalilkan Umar

Haris Sanjaya, “(p)ertimbangan hakim yang baik adalah pertimbangan yang disitu

terdapat tata hukum dan memperhatikan nilai keadilan.”181 Rekonstruksi hakim

terhadap jalannya persidangan dengan mempertimbangkan argumen-argumen

pemohon maupun termohonlah yang menjadi landasan bagi perumusan putusan.

Hakim harus jeli mengidentifikasi acuan hukum dalam “belantara” perundang-

undangan Indonesia, dan bagaimana aturan tersebut relevan terhadap suatu kasus.

Di masa depan, suatu pertimbangan hukum kerap kali menjadi

yurisprudensi dan sumber hukum yang berkelanjutan. Penggunaan ratio decidendi

sebagai sumber hukum utama terutama dianut di negara-negara yang menganut

sistem hukum Anglo-Saxon. Di negara-negara ini berlaku asas the binding force

of precedent, dimana hakim terikat pada putusan-putusan di masa lalu dalam

perkara serupa yang dihadapinya. 182 Namun demikian, diskursus ilmu hukum

Indonesia pun umumnya menerima yurispirudensi sebagai sumber hukum.183 Di

Indonesia, yurispirudensi diterima dengan daya ikat yang bersifat persuasif.184

Oleh karena itu, pertimbangan tesebut harus bersifat komprehensif, menyeluruh,

bijaksana, dan adil. Dari sini, kualitas dan kapasitas individual seorang hakim

dapat dinilai.

Sekalipun menghasilkan putusan yang serupa, masing-masing kasus

pengujian pendapat DPRD tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala

Daerah pada tahun 2017 memiliki pertimbangan-pertimbangan yang endemik. Hal

ini terlepas dari alasan permohonan yang memang berbeda-beda. Keunikan

tersebut tampak argumentasi hukum yang dibangun oleh hakim dalam membuat

putusan. Beberapa argumentasi pada satu kasus tampak cukup progresif, namun

pada kasus lain juga menimbulkan pertanyaan mengenai kompetensi hakim.

Pada kasus pertama (DPRD Kabupaten Mimika vs Bupati Mimika), hakim

membuat pernyataan penting dengan mempertimbangkan hal yang justru tidak

diuraikan dan menjadi bagian dari permohonan pemohon. Dalam

pertimbangannya hakim menyatakan bahwa

(t)ermohon telah membiarkan lembaga legislatif daerah kosong selama

kurang lebih satu tahun, setidak-tidaknya sejak November 2014 sampai

dengan Desember 2015, sehingga pelaksanaan pemerintahan daerah berjalan

tanpa kontrol dari lembaga legislatif. Semua pengambilan keputusan dan

kebijakan penting di daerah terpusat pada Termohon.185

Bagi hakim, inilah yang menjadi bentuk pelanggaran Bupati Mimika terhadap

sumpah/janji jabatannya untuk menjalankan peraturan perundang-undangan

dengan lurus. Padahal dalam permohonan pemohon, hal ini tidak disinggung

181 Umar Haris Sanjaya, Keadilan Hukum dalam Pertimbangan Hakim dalam Memutus

Hak Asuh Anak, “Yuridika,” Vol. 30 No. 2, 2015, hal. 356. 182 Ali, Menguak, hal. 143. 183 Muhammad Sadi Is, Pengantar Ilmu Hukum, Edisi Pertama, (Jakarta: Kencana, 2017),

hal. 112; Soedikno Mertokoesoemo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,

2008), hal. 111-112. 184 Ibid., hal. 115. 185 MA, Putusan No. 01 P/KHS/2017, hal. 15.

Page 36: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

36 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

sebagai alasan pemberhentian Bupati Mimika. Pemohon hanya menguraikan

bahwa termohon telah melanggar sumpah/janji jabatan, tanpa menguraikan bentuk

pelanggaran yang kongkrit.186 Kekosongan DPRD Mimika sendiri memang benar-

benar terjadi, akibat perbedaan pembatalan keputusan pengangkatan anggota

DPRD Kabupaten Mimika oleh Bupati Mimika secara sepihak.187

Hal menarik lain adalah hakim juga tidak membuat argumentasi lebih lanjut

mengenai kewenangan mengadili berdasarkan landasan permohonan DPRD.188

Sejak semula, permohonan DPRD diajukan berdasarkan tuduhan bahwa Bupati

Mimika telah menggunakan ijazah palsu dan kerap bepergian ke luar negeri tanpa

izin.189 Sesuai dengan UU No. 23/2014, kedua hal tersebut memang dapat menjadi

alasan pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Namun masing-

masing memiliki mekanisme pemberhentian tersendiri yang tidak melibatkan MA.

Apabila seorang Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah terbukti menggunakan

dokumen palsu melalui proses angket, DPRD dapat secara langsung mengajukan

usulan pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah kepada Menteri atau

Presiden.190 Sementara apabila Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah bepergian ke

luar negeri tanpa izin, yang bersangkutan dapat diberhentikan sementara selama 3

bulan.191

Dengan kata lain, pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah

berdasarkan alasan penggunaan ijazah palsu atau bepergian ke luar negeri tanpa

izin berada diluar yurisdiksi dan kompetensi absolut MA. Pemberhentian Kepala

Daerah/Wakil Kepala Daerah berdasarkan kedua alasan itu dapat diproses tanpa

intervensi yuridis MA. Namun demikian, MA berkilah bahwa:

(s)ebagai seorang Pejabat Publik, Termohon telah ternyata bertindak tidak

jujur, dan Termohon tidak pernah melakukan klarifikasi terhadap masalah

ini, sehingga akan melekat sampai masa jabatan berakhir. Seharusnya

integritas Pejabat Publik menjadi jaminan atas jabatannya tersebut dan suri

tauladan bagi masyarakatnya.192

Masalah kompetensi dan wewenang mengadili juga sejatinya mengemuka

dalam kasus DPRD Kabupaten Gorontalo vs Bupati Gorontalo. Dalam

pertimbangan hukumnya, majelis hakim mengomentari argumen termohon yang

menilai bahwa permohonan DPRD telah daluwarsa karena diajukan lebih dari tiga

hari setelah diputuskan.193 Argumen termohon didasari pada Tata tertib DPRD

yang mengatur mengenai mekanisme tindak lanjut pernyataan pendapat DPRD.

Namun majelis berpendapat bahwa:

ketentuan tersebut tidak mengatur akibat hukum dari berlakunya suatu

keputusan apabila tenggang waktu itu terlampaui. Artinya dengan

terlampauinya tenggang waktu tersebut tidak secara serta merta

mengakibatkan dugaan pelanggaran termohon itu gugur. Maka tidak adil

186 Ibid., hal. 6. 187 Anonim, “35 Anggota Tak Kunjung Dilantik, DPRD Kab Mimika Kosong,” http://

korankota.co.id/index.php/web/berita/NUSANTARA/13429/35-anggota-tak-kunjung-dilantik-

dprd-kab-mimika-kosong, diakses pada 9 Maret 2018. 188 MA, Putusan No. 01 P/KHS/2017, hal. 15. 189 Ibid., hal. 3-4. 190 Indonesia, UU No. 23/2014, Pasal 82 ayat (2). 191 Ibid., Pasal 77 ayat (2). 192 MA, Putusan No. 01 P/KHS/2017, hal. 16. 193 MA, Putusan No. 03 P/KHS/2017, hal. 24.

Page 37: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 37

apabila kesalahan formal Pemohon dalam pengajuan permohonan yang

melampaui tenggang waktu 3 (tiga) hari kerja itu menyebabkan Termohon

terbebas dari kesalahan dan pertanggungjawaban hukum atas dugaan

pelanggaran sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban Wakil

Kepala Daerah, larangan bagi Wakil Kepala Daerah, melakukan perbuatan

tercela.194

Adapun terhadap pokok permohonan, majelis hanya memberikan persetujuan

penuh terhadap argumen pemohon tanpa memberikan pertimbangan hukum yang

memadai. 195 Hakim tidak menguraikan secara rinci bagaimana pelanggaran-

pelanggaran yang dilakukan sang Wakil Bupati adalah bentuk pelanggaran

sumpah/janji jabatan dan perbuatan tercela, ataupun peraturan perundang-

undangan apa saja yang telah dicederai pelaksanaannya secara lurus.

Padahal, terdapat hal-hal yang perlu diluruskan dalam kasus tersebut,

berkaitan dengan kompetensi individual majelis hakim maupun kompetensi

absolut MA dalam menangani aduan DPRD. Di level individual, para hakim

harusnya perlu membuktikan bahwa mereka memiliki kualifikasi untuk

memeriksa permohonan pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah

karena dugaan korupsi. Di satu sisi, hal ini bersinggungan dengan masalah hukum

pidana. Di dalam putusannya pun majelis mengakui bahwa latar belakang

pemberhentian Wakil Bupati Gorontalo adalah dugaan tindak pidana korupsi.196

Dengan kata lain, kasus sejenis harusnya diperiksa oleh hakim-hakim yang

memiliki kualifikasi dan keahlian hukum pidana.

Namun pada kenyataannya, perkara ini justru ditangani oleh hakim-hakim di

bidang Tata Usaha Negara (TUN). Ketua majelis dijabat oleh Dr. H. Supandi,

S.H., M.Hum., yang menjabat sebagai Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan

Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.197 Sementara dua hakim anggota, yaitu

Dr. Yosran, S.H., M.Hum. dan Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S. pun

memiliki latar belakang karier dalam bidang TUN. 198 Perkara-perkara

pemberhentian pun selalu diregistrasi ke dalam kamar TUN, yang berarti

dianggap sebagai masalah administrasi negara semata.199 Padahal, kasus DPRD

Kabupaten Gorontalo vs Bupati Gorontalo justru menjadi contoh yang

berkebalikan dari praanggapan itu. Kasus ini menegaskan bahwa pemberhentian

Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah tidak melulu menjadi masalah administrasi

negara semata, dana dapat bersinggungan dengan elemen hukum pidana. Oleh

194 Ibid. 195 Ibid., hal. 24-25. 196 Ibid., hal. 25. 197 Ibid. 198 Admin, “Ada Tambahan 6 Orang, Kini Hakim Agung Berjumlah 53,” http://www.pn-

denpasar.go.id/?content=detail&mode=f7efa4c06093a9cd054b2496973b2f1a, diakses pada 13

Maret 2018. 199 Sistem kamar diterapkan di MA sejak tahun 2011. Dalam sistem ini, para hakim MA

dibagi ke dalam 5 kamar, yaitu pidana, perdata, agama, tata usaha negara, dan militer. Masing-

masing hanya mengadili perkara sesuai dengan bidangnya dan kamar tempat ia bernaung. Para

hakim pun dituntut untuk menjadi ahli dan spesialis dalam bidang tersebut. Takdir Rahmadi,

“Sistem Kamar dalam Mahkamah Agung: Upaya Membangun Kesatuan Hukum,”

https://www.mahkamahagung.go.id/id/artikel/2141/sistem-kamar-dalam-mahkamah-agung-upaya-

membangun-kesatuan-hukum-profdrtakdir-rahmadi-sh-llm, diakses pada 13 Maret 2018.

Page 38: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

38 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

karena itu, penanganannya pun harusnya diintervensi oleh hakim yang juga ahli di

bidang pidana.

Masalah laten di dalam internal MA ini sejatinya telah memiliki antisipasi di

dalam UU No. 23/2014 itu sendiri. Undang-undang tersebut mengatur mekanisme

pemberhentian tersendiri yang disebabkan karena Kepala Daerah/Wakil Kepala

Daerah berurusan dengan dugaan tindak pidana. UU No. 23/2014 mengatur

bahwa Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara tanpa

melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang

diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana

korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara,

dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik

Indonesia.200

Apabila Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah kemudian terbukti melakukan

tindak pidana berdasarkan putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap, maka ia

pun diberhentikan secara tetap dari jabatannya. Mekanisme ini tidak

membutuhkan usulan dari DPRD.201 Fungsi ajudikasi dan sifat intervensi yudisial

MA dalam sistem sebelumnya pun digantikan oleh proses peradilan pidana.

Pemberhentian-pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah

berdasarkan tuduhan yang bersifat pidana harusnya secara konsisten diselesaikan

melalui mekanisme dalam Pasal 83 UU No. 23/2014 tersebut, alih-alih melalui

proses politik di DPRD dan intervensi MA yang terreduksi di dalam kamar TUN.

Keunggulannya, dugaan dan tuduhan-tuduhan tindak pidana yang diduga

dilakukan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dapat dibuktikan oleh hakim-

hakim yang memang berkapasitas pada bidang pidana sendiri. Pemeriksaan unsur-

unsur obyektif dan subyektif tindakan tersebut secara pidana meminimalisasi

kemungkinan kelalaian hakim dalam menerapkan hukum, yang kontraproduktif

dengan semangat dasar kelembagaan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah pasca

reformasi. Dengan demikian, keadilan yang benar-benar sejati diharapkan dapat

tercapai.

V. Penutup

Krisis access to justice dalam kasus-kasus pemberhentian Kepala

Daerah/Wakil Kepala Daerah di Indonesia, dapat disimpulkan, tercermin dalam

empat bentuk. Akar utamanya adalah ketiadaan hukum acara yang jelas, terbuka,

fair, konsisten, dan terukur, yang kemudian menurunkan masalah-masalah lain:

minimnya akses pendampingan hukum oleh advokat, tidak maksimalnya proses

diskursus, dan kualitas dan kompetensi hakim yang problematis. Indikasi-indikasi

itu tampak dalam putusan-putusan pengujian pendapat DPRD tentang

pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah di tiga daerah di Indonesia.

Akibatnya, nilai keadilan yang diharapkan muncul dalam putusan ini patut

diragukan.

Pengentasan masalah tersebut harus dimulai dari akar masalah itu sendiri.

MA selaku penyandang wewenang intervensi yudisial dalam sistem

pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah perlu segera merumuskan

hukum acara yang mengatur wewenang tersebut. Pengaturannya dapat dituangkan

200 Indonesia, UU No. 23/2014, Pasal 83 ayat (1). 201 Ibid., Pasal 83 ayat (4).

Page 39: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 39

dalam bentuk PERMA, sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan

yang diakui dalam sistem hukum Indonesia.

Pengaturan ini bersifat mendesak, demi mengembalikan kembali sistem

pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah kepada semangat dasarnya,

yang notabene dirancang rumit sebagai apresiasi atas sumber legitimasi mereka

yang semakin kuat pasca reformasi. Pembentukan hukum acara akan

meminimalisasi nilai politis dari proses-proses pemberhentian Kepala

Daerah/Wakil Kepala Daerah. Apabila kekosongan hukum ini dibiarkan, bukan

tidak mungkin hal ini justru dijadikan senjata untuk melengserkan Kepala

Daerah/Wakil Kepala Daerah yang berkualitas, namun memiliki dukungan politik

yang minim di DPRD. Sekali lagi, sudah menjadi tugas MA untuk mencegah hal

tersebut terjadi dan menegakkan marwah hukum sebagai panglima dalam

kehidupan bernegara di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Buku Abdullah, Rozali. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 1992).

Adi, Rianto. Sosiologi Hukum: Kajian Hukum Secara Sosiologis. (Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 2012).

Ali, Achmad. Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom & Artikel Pilihan dalam

Bidang Hukum. (Jakarta: Kencana, 2008).

___________. Menguak Tabir Hukum. (Jakarta: Kencana, 2015).

___________. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judicialprudence): Termasuk Interpretasi Undang-Undang

(Legisprudence), Volume 1: Pemahaman Awal. (Jakarta: Kencana, 2017).

Arinanto, Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik. (Jakarta: PSHTN FH

UI, 2015).

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. (Jakarta:

Konpress, 2009).

Bachtiar. Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi pada

Pengujian UU terhadap UUD. (Jakarta: Penebar Swadaya Grup, 2015).

Cornford, Tom. “The Meaning of Access to Justice.” Dalam Ellie Palmer, et.al.

(Eds.). Access to Justice: Beyond the Policies and Politics of Austerity.

(Oxford dan Portland: Hart Publishing, 2016).

Elson, RE. The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan [The Idea of

Indonesia: A History]. Diterjemahkan oleh Zia Anshor. (Jakarta: Serambi,

2009).

Fuady, Munir. Dinamika Teori Hukum. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010).

Garcia, Joao Marcos Prado. Due Process of Law. (Santa Catarina: Clube de

Autores, 2006).

Irianto, Sulistyowati. “Isu Kekerasan dalam Rumah Tangga dari Perspektif

Pluralisme Hukum.” Dalam Sulistyowati Irianto (Ed). Perempuan dalam

Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan.

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006).

Is, Muhammad Sadi. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta: Kencana, 2017).

Page 40: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

40 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

Lev, Daniel S. Politik dan Hukum di indonesia: Kesinambungan dan Perubahan.

(Jakarta: LP3ES, 2013).

Mertokoesoemo, Soedikno. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. (Yogyakarta:

Liberty, 2008).

Mufti, Norpan. “Otonomi dan Kebijakan Pemerintah.” Dalam Antonius

Simanjuntak (Ed.). Otonomi Daerah, Etnonasionalisme, dan Masa Depan

Indonesia: Berapa Persen Lagi Tanah dan Air Nusantara Milik Rakyat.

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010). Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Pidana: Suatu Tinjauan Khusus terhadap Surat

Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Pengadilan. (Bandung: Citra Aditya Bakti,

1996).

Pettit, Philip. Habermas on Truth and Justice. “Royal Institute of Philosophy

Supplement.” Vol. 14. 1982: 217.

Poernomo, Bambang. Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana dan

Penegakan Hukum Pidana. (Yogyakarta: Liberty, 1993).

Rahardjo, Satjipto. Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia. (Jakarta: Penerbit

Buku Kompas, 2003).

Ranoemihardja, R Atang. Hukum Acara Pidana. (Bandung: Tarsito, 1980).

Rasuanto, Bur. Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas

Dua Teori Filsafat Modern. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005).

Rubini, I. Pengantar Hukum Acara Perdata. (Bandung: Alumni, 1974).

Sidharta. “Kajian Sosiologis tentang Pendekatan Ekonomi terhadap Hukum.”

Dalam Antonius Cahyadi dan Donny Danardono (Eds.). Sosiologi Hukum

dalam Perubahan. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Pusat Kajian

Wanita dan Jender Universitas Indonesia, 2009).

Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata

dalam Teori dan Praktik. (Bandung: Mandar Maju, 2005).

Syahrani, Riduan. Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum.

(Jakarta: Pustaka Kartini, 1988).

Syamsudin. Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif.

(Jakarta: Kencana, 2012).

Thalib, Abdul Rasyid. Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam

Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,

2006).

Tim Penyusun. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil

Pembahasan 1999-2002, Buku VI: Kekuasaan Kehakiman. (Jakarta:

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010).

____________. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil

Pembahasan 1999-2002, Buku IV Kekuasaan Pemerintah Negara Jilid I.

(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,

2010)

Zen, A Patra M dan Daniel Hutagalung (Ed.). Panduan Bantuan Hukum di

Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum.

(Jakarta: YLBHI, 2007).

Artikel Ilmiah

Page 41: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 41

Fatmawati. Otonomi Daerah dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok

Pemerintahan di Daerah. “Jurnal Hukum dan Pembangunan.” No. 1. 2000:

40.

Fauzan, Muhammad. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Proses

Impeachment Presiden Menurut Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.

“Jurnal Dinamika Hukum.” Vol. 11. No. 1. 2011: 78.

Gunarto, Henri. The Impact of US Law Propositions on Indonesian Commercial

Law. “Loyola of Los Angeles Law Review.” Vol. 29. 1996: 1050.

Hutapea, Bungasan. Dinamika Hukum Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia.

“Jurnal Rechtsvinding.” Vol. 4. No. 1. 2015: 17.

Kusnadi, Agus. Re-Evaluasi Hubungan Pengawasan Pusat dan Daerah Setelah

Berlakunya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. “Arena

Hukum.” Vol. 10. No. 1. 2017: 62.

Kusumawati, Mustika Prabaningrum. Peranan dan Kedudukan Lembaga Bantuan

Hukum sebagai Access to Justice bagi Orang Miskin. “Arena Hukum.” Vol.

9. No. 2. 2016: 194.

Latif, Yudi. Pembukaan Undang-Undang Dasar sebagai Cita Negara dan Cita

Hukum. Jurnal Ketatanegaraan. Vol. 001. 2016: 141.

Makkai, Toni dan John Barithwaite. Procedural Justice and Regulatory

Compliance. “Law and Human Behavior.” Vol. 20. No. 1. 1996: 84.

Sanjaya, Umar Haris. Keadilan Hukum dalam Pertimbangan Hakim dalam

Memutus Hak Asuh Anak. “Yuridika.” Vol. 30. No. 2. 2015: 356.

Vickrey, William C, Joseph L Dunn, dan J Clark Kelso. Access to Justice: A

Broader Perspective. “Loyola Los Angeles Law Review.” Vol. 42. No. 4.

2009: 1153.

Wibowo, Mardian. Menakar Konstitusionalitas Sebuah Kebijakan Hukum

Terbuka dalam Pengujian Undang-Undang. “Jurnal Konstitusi.” Vol. 12.

No. 2. 2015: 212.

Widodo, Wahyu. Pelaksanaan Pilkada Berdasarkan Asas Demokrasi dan Nilai-

Nilai Pancasila. “Jurnal Ilmiah Civis.” Vol. 5. No. 1. 2015: 682-683.

Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945.

Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah.,

Indonesia. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman.Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan.

Page 42: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

42 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019

Indonesia. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Mahkamah Konstitusi. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009

tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan

Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil

Presiden.

Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tanun 2015 tentang

Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan atas Penerimaan

Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan Dan/Atau Tindakan Badan

Atau Pejabat Pemerintahan.

Putusan Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 P/KHS/2017.

Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung Nomor 02 P/KHS/2017.

Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung Nomor 03 P/KHS 2017.

Internet Admin Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Mahkamah Agung.

“Peraturan Mahkamah Agung.”

https://jdih.mahkamahagung.go.id/index.php?option=com_remository&Item

id =46&func=select&id=521. Diakses pada 24 Februari 2018.

Admin Mahkamah Agung. “Direktori Putusan Tahun 2015.”

https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/mahkamah-

agung/periode/putus/2015. Diakses pada 23 Februari 2017.

Admin Mahkamah Agung. “Direktori Putusan Tahun 2016.”

https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/mahkamah-

agung/periode/putus/2016/index.html, diakses pada 23 Februari 2016.

Admin. “Ada Tambahan 6 Orang, Kini Hakim Agung Berjumlah 53.”

http://www.pndenpasar.go.id/?content=detail&mode=f7efa4c06093a9cd054

b2496973b2f1a. Diakses pada 13 Maret 2018.

Administrator Pusat Data Hukumonline. “Peraturan Mahkamah Agung.”

http://www.hukumonline.com/pusatdata/view/nprt/648. Diakses pada 24

Februari 2018.

Agus Sahbani. “Menelusuri Jejak dan Daya Ikat Fatwa MA.”

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58a2d918b273a/menelusuri-

jejak-dan-daya-ikat-fatwa-ma. Diakses pada 1 Maret 2018.

Andi Fariana. “Access to Justice.” https://dosen.perbanas.id/access-to-justice/.

Diakses pada 1 Maret 2018.

Anonim. “35 Anggota Tak Kunjung Dilantik, DPRD Kab Mimika Kosong.”

http://korankota.co.id/index.php/web/berita/NUSANTARA/13429/35-

anggota-tak-kunjung-dilantik-dprd-kab-mimika-kosong. Diakses pada 9

Maret 2018.

Ant. “Statistik KPK: Pelaku Korupsi Terbanyak dari Swasta, Disusul Pejabat dan

Anggota DPR.”

https://news.okezone.com/read/2017/10/05/337/1789432/statistik-kpk-

pelaku-korupsi-terbanyak-dari-swasta-disusul-pejabat-dan-anggota-dpr.

Diakses pada 23 Februari 2018.

Page 43: KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO …

Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 43

Arifuddin. “Posisi Wakl Bupati Gorontalo Di Ujung Tanduk, DPRD Usulkan

Pemberhentian.” http://hargo.co.id/berita/posisi-wakil-bupati-gorontalo-

diujung-tanduk-dprd-usulkan-pemberhentian.html. Diakses pada 24

Februari 2018.

Arifuddin. “Wakil Bupati Gorontalo di Ujung Tanduk, Simak!”

http://hargo.co.id/berita/wakil-bupati-gorontalo-fadli-hasan-di-ujung-

tanduk-simak.html. Diakses pada 24 Februari 2018.

Chaidir Anwar Tanjung. “Awal Terbongkarnya Selingkuh Bupati Katingan

dengan Istri Polisi.” https://news.detik.com/berita/d-3388714/awal-

terbongkarnya-selingkuh-bupati-katingan-dengan-istri-polisi., Diakses pada

24 Februari 2018.

Hery Shietra. “Permohonan Kasasi, Alasan di Balik Kasasi, Pertimbangan Hukum

Hakim Agung, Penafsiran dan Kontradiksinya.” http://www.hukum-

hukum.com/2015/01/permohonan-kasasi-alasan-dibalik-kasasi.html.

Diakses pada 1 Maret 2018.

Nathania Riris Michicho. “Kenapa Suami FY Cabut Laporan Dugaan Perzinaan

Bupati Katingan?” https://news.detik.com/berita/d-3400482/kenapa-suami-

fy-cabut-laporan-dugaan-perzinaan-bupati-katingan. Diakses pada 24

Februari 2017.

Takdir Rahmadi. “Sistem Kamar dalam Mahkamah Agung: Upaya Membangun

Kesatuan Hukum.” https://www.mahkamahagung.go.id/

id/artikel/2141/sistem-kamar-dalam-mahkamah-agung-upaya-membangun-

kesatuan-hukum-profdrtakdir-rahmadi-sh-llm. Diakses pada 13 Maret 2018.

Tri Jata Ayu Pramesti. “Sifat Fatwa Mahkamah Agung.”

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1586/sifat-fatwa-mahkamah-

agung-. Diakses pada 1 Maret 2018.

World Bank. “A Framework for Strengthening Access to Justice in Indonesia.”

http://siteresources.worldbank.org/INTJUSFORPOOR/Resources/A2JFrame

workEnglish.pdf. Diunduh pada 28 Februari 2018.