-
Kekejaman Herodes Agung
(Studi Sosio-politik terhadap Rivalitas Herodes Agung dengan
Mesias dalam Matius
2:1-18)
Oleh
Albert Josua Putra Maliogha
71 2009 038
Tugas Akhir
Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi
Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar
Sarjana Sains
Teologi
Program Studi Teologi
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga,
2015
-
ii
-
iii
-
iv
-
v
Kata Pengantar
Manakala kekuasaan dipegang oleh orang-orang bangsat selama
periode itu sinisme
cenderung tumbuh dengan cepat. - Bertrand Russell
Perkataan Russell yang penulis kutip pada titik tertentu
mencapai kebenaran. Teks
Matius yang penulis teliti melalui proses penafisran ternyata
menunjukan kebenaran itu.
Akan tetapi sinisme pada teks Matius tak hanya diam sebagai
sebuah -isme namun bergerak
menjadi sebuah seruan yang mendorong hadirnya praxis dalam
menentang kekuasaan yang
dipegang oleh orang-orang yang disebut Russell sebagai “para
bangsat.” Redaktur Matius
yang hidup dalam konteks tertentu dan dalam pergumulan yang khas
mencoba mengatakan
sesuatu hal yang penting dari apa-apa yang ia dan komunitasnya
alami.
Gaya berpikir sinis yang muncul dalam teks Matius bukan suatu
tindakan seseorang
atau kelompok orang kurang kerja. Sinisme yang muncul tersebut
tak datang begitu saja dari
ruang kosong. Ada dorongan yang khas dari konteks yang membuat
redaktur Matius memilih
sinisme sebagai caranya menanggapi kenyataan. Dalam tulisan ini
penulis mencoba
merekonstruksikan bagaimana sinisme itu coba diketengahkan oleh
redaktur Matius dalam
teks Matius 2:1-18.
Tulisan ini penulis ajukan bukan pertama-tama demi mencapai
gelar sarjana teologi –
suatu upaya melanggengkan pragmatisme- seperti yang dituliskan
dalam format administrasi
Universitas (nampak pada halaman cover tugas akhir ini). Akan
tetapi tulisan ini penulis
ajukan sebagai realisasi kecintaan terhadap studi hermeneutik
dan latihan diri. Maka tentu
tulisan ini memuat banyak kelemahan sebab ia adalah langkah awal
dari proses belajar.
Atas rampungnya tugas akhir ini maka puji syukur tak terbilang
penulis haturkan bagi
Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebab penulis sadar bila tanpa ijin-Nya
tentu tulisan ini tak akan
pernah terselesaikan dan bahkan ada sekalipun. Akan tetapi
penulis juga sadar bahwa
pencapaian ini dapat terwujud juga berkat bantuan banyak pihak.
Untuk itu penulis ingin
menghaturkan rasa terima kasih dan hormat kepada seluruh pihak
yang telah membantu dan
mendukung sehingga tugas akhir ini boleh terselesaikan. Kepada
Orang tua dan keluarga
yang rela menderita demi kebahagiaan yang sekarang penulis
rasakan, kepada merekalah rasa
terima kasih dan hormat terbesar penulis berikan. Kemudian, tak
kurang juga ungkapan
terima kasih penulis sampaikan kepada Pdt. Yusak Setyawan, Ph.D
yang ialah pembimbing
utama penulis dalam menyusun tugas akhir ini. Penulis
mengucapkan terima kasih atas
-
vi
dorongan Bapak yang membuat penulis bekerja keras dan sekaligus
melakukan dua proses
tafsir, yaitu menafsir keinginan Bapak sebagai pembimbing serta
menafsir teks Matius 2:1-18
sebagai bahan penelitian penulis. Ketiga, penulis memberikan
penghargaan kepada Ibu Ira D.
Mangililo, Ph.D dan Bapak Pdt. Dr. Eben Nuban Timo selaku
reviewer tugas akhir ini.
Terkhusus Ibu Ira Mangililo, Ph.D penulis haturkan terima kasih
yang sangat besar atas dua
poin kritik yang sangat substansial terhadap tugas akhir ini.
Kritik ibu tentang adanya gap
antara locus sosio-politik Komunitas Yahudi dan Komunitas Matius
dengan tafsir terhadap
resistensi Komunitas Matius terhadap Kubu Status Quo Sinanoge
dan Imperium Romanum,
serta kencederungan penulis yang anakronistik melakukan
simplifikasi terhadap konteks
Komunitas Matius dengan kondisi Indonesia dewasa ini sangat
membantu penulis
membenahi tulisan ini. Meski begitu dua kritik tersebut baru
akan penulis akomodir lebih
jauh dalam pengembangan tulisan ini sebab secara jujur harus
penulis kemukakan bahwa
waktu yang sempit dan energi yang tak lagi memadai membuat
penulis tak dapat mengubah
tulisan ini secara signifikan. Kepada kolega yang banyak
membantu membentuk saya dalam
mengarahkan diri pada hasrat episteme, ucapan terima kasih juga
penulis berikan. Kepada
kelompok diskusi Bona Fide, Ladies Club, mahasiswa kelas-kelas
Filsafat kepada kalian
semua penulis ucapkan terima kasih atas ruang diskusi dan
kesempatan untuk mengenal
berbagai pemikir-pemikir besar yang membantu penulis mengubah
cara memandang
kehidupan ini. Kepada mentor Filsafat penulis, Bapak Gusti
Menoh, M.Hum penulis
mengucapkan terima kasih atas diskusi dan keterbukaan untuk
mengajak penulis keluar dari
Goa sehingga penulis kembali memercayai Tuhan dan sekaligus
sadar bahwa Filsafat
Hermeneutik a la Schleiermacher dan Dilthey termasuk positivisme
Comte tak lagi pantas
untuk di- idola- kan oleh karena kelemahan epistemologi mereka
juga karena kenyataan
jaman terus berkembang tak pernah stagnan serta lebih-lebih
kesadaran untuk tak
memperlakukan ilmu apapun sebagai ideologi.
Semoga tulisan ini dapat berguna bagi mereka yang membacanya.
Kritik dan saran
dari siapapun yang membaca tulisan ini sangat penulis harapkan
guna perbaikan kualitas
penulisan. Tuhan kiranya memberkati kita.
Salatiga, 18 Februari 2015
Albert Josua Putra Maliogha
-
vii
Daftar Isi
Cover
Lembar Pengesahan
Pernyataan Tidak Plagiat
Persetujuan Akses
Kata Pengantar
Daftar Isi
Abstrak
1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah & Tujuan Penelitian
1.3 Metode & Teknik Pengumpulan Data
1.4 Manfaat Penelitian
1.5 Sistematika Penulisan
2 Injil Matius dalam Konteks Sosi-politiknya
2.1 Anthiokhia
2.2 Komunitas Sinagoge di Anthiokhia
3 Memahami Kembali Matius 2:1-18
3.1 Mesias yang selamat dari pembantaian adalah tanda penolakan
Tuhan
terhadap dominasi status quo
3.2 Revolusi yang berdarah-darah bukanlah pilihan ideal dari
perjuangan
melawan dominasi status quo
3.3 Penolakan Tuhan melalui diri Mesias terhadap kekuasaan
politik a la Status
Quo menubuh dalam sebuah pranata sosio-politik
4 Relevansi Narasi Rivalitas Herodes Agung dan Yesus Sang Mesias
bagi proses
Demokratisasi pasca Reformasi
4.1 Indonesia dalam 16 tahun Reformasi
4.2 Visi Sosial Mesianik sebagai dasar melawan Oligarki
bertopeng Demokrasi di
Indonesia
4.3 Landasan Biblis dalam hubungan sosio-politik dengan Sang
Liyan
5 Penutup
5.1 Kesimpulan
Daftar Pustaka
i
ii
iii
iv
vi
vii
1
1
3
3
4
4
4
5
7
10
10
16
21
24
24
26
28
29
29
31
-
viii
Abstrak
Injil Matius merupakan bentuk counter narrative terhadap
kekuasaan Imperium
Romanum dan Aristokrasi Sinagoge yang mempraktekan dominasi
dalam pranata sosio-
politik sebagai tujuan kekuasaan. Pax Romana yang universal
ialah yang terbaik menurut
Imperium Romanum. Teologi Sosial Millitary Messiah menjadi
penuntun pemberontakan
orang Yahudi melawan si kafir Romawi. Namun keduanya dituduh
secara sinis oleh
redaktur Matius sebagai model kekuasaan politik yang haus
dominasi, manipulatif,
menindas dan tak mencerminkan kehendak Allah, itulah mengapa
Herodes Agung
digambarkan ingin membunuh Mesias. Untuk itu pranata
sosio-politik Mesias Yang
Terselamatkan sebagai model yang visioner dan melawan arus utama
diajukan sebagai
ganti dua model pertama yang sama-sama palsu dan rentan
pelanggengan status quo.
Prinsip normatif sebagaimana yang diajukan redaktur Matius dalam
menyikapi
carut marut pranata sosio-politik dari awal abad pertama
ternyata menembus jauh hingga
masa Indonesia pasca reformasi. Sebagai negara yang baru lepas
dari otokrasi dan
bergerak lambat dalam demokrasi, Indonesia tengah terengah-engah
mengatasi
cengkraman oligarki (dekadensi aristokrasi) yang bertopeng
demokrasi. Melalui
pengalaman komunitas Matius yang mengajukan pranata sosial
Mesias Yang
Terselamatkan, rupanya demokrasi di Indonesia yang hampir
kehilangan daya dapat
diperkuat kembali sehingga mampu melawan oligark yang menguasai
dua preferensi
politik utama di Indonesia: fundamentalisme pasar dan
fundamantalisme agama. Pranata
Mesianik ini dapat menjadi basis moral religius bagi pembaca
Matius di Indonesia sebab
prinsip mesianik inheren dalam prinsip demokrasi. Pembaca Matius
di Indonesia dapat
menengok dasar biblis untuk mewujudkan gerakan Demokrasi yaitu
dari uncivil society
menjadi civil society yang dididam-idamkan.
Kata-kata Kunci: Herodes Agung, Mesias, Status Quo, Demokrasi,
Oligarki.
-
1
1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kitab-kitab injil dalam tradisi kekristenan umumnya diterima
sebagai sumber
primer serta terpercaya oleh orang Kristen guna memahami dan
mengetahui ragam hal
tentang Yesus Kristus. Meski demikian secara faktual injil-injil
tersebut kerap kali
menunjukan beberapa jejak yang justru menghadirkan persoalan
dalam upaya memahami
dan mengetahui perihal Sang Mesias. Secara khusus sebagai
contoh: kisah seputar
kelahiran Yesus dalam kaitan dengan upaya pembunuhan diri-Nya
oleh Herodes Agung
hanya ada pada injil Matius 2:1-18.
Mengenai ketiadaan kisah pembunuhan bayi-bayi pada injil lain
sebenarnya telah
mengundang berbagai tanggapan para ahli. Misalnya saja pendapat
Drewes yang
menyatakan bahwa merujuk teori 4 sumber maka kisah ini merupakan
cerita yang berasal
dari Sumber M, sehingga memang secara eksklusif hanya ada di
Matius saja.1 Stefan
Leeks pada satu bagian dalam bukunya menyatakan bahwa penulis
injil Matius ingin
menyampaikan suatu pesan tertentu melalui kisah yang
menghubungkan Raja Herodes
Agung dengan Yesus.2 Sedangkan, R.T. France secara meyakinkan
menulis bahwa kisah
pembunuhan anak-anak ditambahkan oleh redaktur Matius sebagai
bentuk folklore yang
umum dalam berbagai tradisi bahwa kelahiran seseorang yang hebat
sudah selalu diikuti
oleh ancaman karena kecemburuan para penguasa.3
Namun pendapat John Drane terhadap narasi Matius 2:1-18 ialah
yang paling
signifikan tetapi sekaligus melahirkan problem serius. Terkait
historisitas Matius 2:16,
Drane justru berpendapat bahwa tidak ada catatan sejarah dalam
dokumen-dokumen lain
tentang cerita ini, meskipun cerita ini bersesuaian dengan
tabiat kejam Herodes Agung.4
Artinya, John Drane meyakini bahwa kisah ini tak faktual secara
historis.
Surip Stanislaus menegaskan bahwa kisah itu tak perlu dilihat
dalam kerangka
historisnya sekalipun informasi-informasi dalam narasi tersebut
telah coba diuji secara
1 Stefan Leeks, Tafsir Injil Matius (Yogyakarta: Kanisius,
2007), 38
2 B. F. Drewes, Satu Injil Tiga Pekabar (Jakarta: Gunung
Mulia,2000), 32.
3France membandingkan Matius 2:13-18 dengan cerita masa
kanak-kanak Sargon, Gilgamesh, dan bahkan kisah
dua bersaudara pendiri Roma yaitu Romulus dan Remus, sebagai
bentuk folklore yang umum muncul dalam
masyarakat kala itu. Lih. R. T. France, “Herod and The Children
of Bethlehem,” Novum Testamentum VOL.
XXI No. 2 (1979), 98. 4 John Drane, Memahami Perjanjian Baru:
Pengantar Historis-Teologis (Jakarta: Gunung Mulia, 2005), 39.
Perihal tabiat Herodes Agung, ia adalah seorang raja sekaligus
politisi yang licik, hebat dalam pembangunan,
dan kejam. Herodes Agung ialah seorang paranoid yang selalu
curiga terhadap siapapun yang dianggapnya
mengancam kedudukanya sebagai raja. Hirkanus (mertuanya),
Mariame (istrinya) dan Aleksander, Aristobulus
dan Antipater (ketiga anaknya) dibunuh oleh Herodes Agung karena
dicurigai ingin mengkudeta kedudukanya.
Bnd. Jona Lendering, King Herod the Great: Acient Warfare
Magazine.
-
2
saintifik.5 Rekonstruksi yang melibatkan astronomi dalam
menyelidiki Matius 2 hanya
berhasil sampai pada kesimpulan yang tak determinan berkaitan
dengan historisitas
Matius 2:1-18. Pandangan semacam ini didukung kuat oleh ahli
lainya. Misalnya
menyebut bahwa penjelasan yang menyebut supernova Kepler, komet
Heley dan
hipotesis Konjugasi Planet-planet yang secara historis terjadi
berdekatan dengan masa
kelahiran Yesus dan kematian Herodes Agung, tetap saja
kesemuanya itu tak memiliki
relasi logis langsung dengan kisah pembunuhan anak-anak di bawah
usia dua tahun oleh
Herodes Agung.6
Keraguan tentang aspek historis dari Matius 2 membuat pernyataan
Leeks menjadi
kuat. Anjuran Leeks untuk memperlakukan kisah ini sebagai “yang
mewakili suatu
keadaan sebenarnya” jauh lebih masuk akal daripada menerima
narasi ini sebagai sebuah
laporan pandangan mata. Sebab perbedaan mencolok kisah kelahiran
Yesus dalam Matius
dan Lukas7 membuat logika internal dari ide bahwa kisah ini
ialah laporan pandangan
mata menjadi tak konsisten sehingga secara epistemologis runtuh
dengan sendirinya.
Antonhy Saldarini menulis satu esai menarik tentang ciri khas
Matius sebagai
sebuah kitab yang memperlihatkan banyak jejak konflik antara
kelompok Kristen dengan
Yahudi. Untuk itulah alasan mengapa Yesus berulang kali
digambarkan berada dalam
posisi tegang yang vis-a-vis dengan para penguasa termasuk sejak
kelahiran-Nya dalam
Matius 2:1-18. Bila saya mencoba menafsirkan kisah ini dalam
kerangka konflik antar
kelompok maka persoalan historisitas seperti apakah benar secara
faktual Herodes Agung
pernah menggerakan pasukanya untuk memburu bayi Yesus dan
membantai anak-anak
tak berdosa tak lagi bermasalah. Akan tetapi sebagai sebuah
narasi tentang konflik antar
kelompok maka pola konflik itu menjadi menarik untuk dibahas.
Fenomena ini
merupakan gesekan antara Komunitas Matius dengan Penguasa
Sinagoge yang oleh
Saldarini disebut sebagai upaya melawan Yudaisme demi sebuah
“Yudaisme Baru”
melalui perjuangan dalam nama Yesus.8
Selain teks ini bicara pada konteksnya tentu ia juga dapat
berbicara lintas waktu
bagi pembaca di masa kini. Dengan memperhatikan nuansa
sosio-politik yang kuat pada
teks Matius 2:13-18, baik berkaitan dengan konteks dalam teks
maupun konteks dari teks,
5 Surip Stanislaus, Rahasia di Balik Kisah Natal 1 (Yogyakarta:
Kanisius, 2012), 72-74.
6 Howard W. Clarke, The Gospel of Matthew and Its Reader: a
Historical Introduction to the First Gospel
(Indiana: Indiana University Press, 2008), 18. 7 Kesimpulan
bahwa Kisah Kelahiran Yesus berdasarkan Injil Sinoptik ialah
faktual secara induktif bermasalah.
Kedua Injil itu membuat kisah kelahiran yang bertolak belakang
(Matius 1:18-2:23 & Lukas 2:1-7) yang mana
tentu tak dapat diterima prinsip logika. Bnd. Stanislaus,
Rahasia, 29-30. 8 Anthony Saldarini, “The Gospel of Matthew and
Jewish-Christian Conflict,” dalam David Balch (eds.), Social
History of the Matthean Community: Cross Disciplinary Approaches
(Minneapolis: Fortress Press, 1995), 42-
43.
-
3
saya menduga bahwa gerakan pembaharuan dalam narasi Matius dapat
menjadi sangat
aktual bagi pembacanya di Indonesia. Konteks Indonesia yang
tengah dalam transisi
negara otoritarian a la orde baru kepada negara demokratis pasca
reformasi ternyata
masih diselubungi skandal oligarki9 sehingga sebuah gerakan
pembahuruan seperti
dengungan Revolusi Mental Jokowian sebagai model normatif yang
dikampanyekan
untuk mengubah mental bangsa muncul kuat. Menurut hemat saya
fenomena ini mungkin
dapat diteropong dari model perlawanan komunitas Matius pada
sistem lama yang tak
berjalan semestinya seperti apa yang coba ditulis dalam Matius
2:1-18.
1.2 Rumusan Masalah & Tujuan Penelitian
Dua rumusan masalah coba diketengahkan, yaitu: Pertama,
bagaimana kisah
pembantaian anak di bawah usia dua tahun yang dilakukan oleh
Herodes Agung dalam
Matius 2:1-18 ditinjau dari konteks sosio-politiknya? Kedua,
bagaimana benang merah
kisah pembantaian anak dibawah usia dua tahun yang dilakukan
oleh Herodes Agung
dalam Matius 2:1-18 dengan kehidupan pembacanya di Indonesia
pasca reformasi?
Tujuan dalam melakukan penelitian ini adalah: Pertama,
menjelaskan bagaimana
kisah pembantaian anak dibawah usia dua tahun yang dilakukan
oleh Herodes Agung
dalam Matius 2:1-18 ditinjau dari konteks sosio-politiknya.
Kemudian kedua,
menjelaskan bagaimana benang merah kisah pembantaian anak
dibawah usia dua tahun
yang dilakukan oleh Herodes Agung dalam Matius 2:1-18 dengan
kehidupan pembacanya
di Indonesia pasca reformasi.
1.3 Metode & Teknik Pengumpulan Data Penelitian
Dalam penelitian ini saya akan menggunakan metode hermeneutik
yang berfungsi
untuk menguak makna dari suatu teks.10
Metode ini digunakan dengan memperhatikan
nuansa sosio-politik dari teks. Melalui upaya ini penafsir
diandaikan dapat
merekonstruksi teks Matius 2:1-18 sehingga paling tidak tenunan
sosio-politiknya dapat
terurai kembali. Sementara itu, teknik pengumpulan data
dilakukan dengan cara studi
kepustakaan dan menafsirkan teks Matius 2:1-18. Baik hasil
tafsir teks Matius 2:1-18 dan
sumber-sumber pustaka relevan inilah yang menjadi data-data yang
kemudian saya
kelolah dan analisa. Hasil pengelolahan dan analisa terhadap
data tersebut diharapkan
mampu menjawab masalah yang diteliti.
9 Lih. Budi Hardiman, Di Dalam Moncong Oligark: Skandal
Demokrasi di Indonesia (Yogyakarta: Kanisius,
2014), 53.
10
Yusak B. Setyawan, Critical Approaches in New Testament
Hermeneutics: A Draft (Salatiga: Fakultas
Teologi UKSW, 2010), 4.
-
4
1.4 Manfaat Penelitian
Saya berharap tulisan pada akhirnya dapat digunakan guna
pengembangan ilmu
teologi yang mencakup terhadap studi Hermeneutik Perjanjian Baru
serta studi Agama
dan Politik bagi Fakultas Teologi UKSW secara khusus dan dunia
teologi di Indonesia
pada umumnya. Selain itu juga melalui studi terhadap Matius
2:1-18, saya berharap agar
penelitian ini dapat memberikan sumbangsih gagasan bagi paham
tentang kondisi
normatif kehidupan sosio-politik orang Kristen di Indonesia
dewasa ini.
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam kajian ini akan saya tulis dalam
lima bagian. Pada
bagian pertama berisikan pendahuluan. Bagian kedua dari tulisan
ini akan memuat
informasi terkait konteks sosio-politik Injil Matius.
Selanjutnya pada bagian ketiga saya
akan memberikan pemaparan tentang pemahaman ulang terhadap teks
Matius 2:1-18.
Bagian keempat berisi mengenai refleksi terhadap teks Matius
2:1-18 yaitu aktualisasinya
bagi kehidupan pembaca Matius di Indonesia. Terakhir, bagian
kelima akan memuat
penutup daripada tulisan ini.
2 Injil Matius dalam Konteks Sosio-Politiknya
Banyak ahli menduga kuat bahwa injil Matius ditulis di
Anthiokhia di wilayah
Siria. Injil Matius menunjukan nuansa-nuansa yang mendukung
pemahaman tersebut,
seperti: disebutkanya mata uang dirham (mata uang Siria);
diperlunaknya hukum tahir
dan najis (bagi non Yahudi), serta ada nuasa ketegangan antara
pimpinan Yahudi dengan
jemaat.11
Dugaan ini diperkuat melalui fakta bahwa naskah injil Matius
ditulis dalam
bahasa Yunani dengan menyertakan nuansa semitis pada berbagai
ungkapan yang kualitas
bahasanya bukan terjemaham dari bahasa Ibrani ataupun bahasa
Aram. Dengan
memperhatikan penggunaan bahasa semacam itu patut diduga bahwa
tujuan tulisan ini
untuk mereka yang menggunakan bahasa Yunani. Lagipula penggunaan
bahasa Yunani
berlaku luas terutama di kota-kota Romawi.
Penulis dan waktu penulisan injil Matius dipercayai dilakukan
oleh seseorang
dalam kurun waktu tahun 70-90 ZB. Perkiraan waktu tersebut
memberikan gambaran
penulisan Injil terjadi pasca penghancuran Bait Allah di
Yerusalem pada tahun 70 ZB.
Gambaran itu dipercayai oleh para ahli dinarasikan implisit
dalam bagian teks Matius
22:7. Meski begitu dugaan yang didasarkan menurut teks Matius
22:7 itu sendiri belum
menyelesaikan variasi pendapat para ahli tentang kapan persisnya
penulisan dilakukan.
11
C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru, (Yogyakarta:
Kanisius, 2006), 88-89.
-
5
Hal yang sama juga terjadi pada upaya untuk melacak identitas
asli dari penulis injil ini.
Siapa persisnya yang menulis tak dapat diketahui secara pasti.
Ada yang menyebutnya
sebagai seorang pembina jemaat, seorang Yahudi yang menjadi
Kristen yang berani
mengecam orang Yahudi yang tak mau mengikut Yesus, seorang
pelarian dari
Yerusalem, ataupun seorang dari generasi Kristen kedua yang
misioner yang berbahasa
Yunani.12
Tidak ada satupun dari pendapat tadi yang menegaskan secara
pasti siapa yang
menjadi penulis injil Matius. Akan tetapi pada saat yang sama
bermacam pendapat itu
juga tidak meneguhkan pandangan Papias bahwa penulis injil ini
ialah Matius salah satu
Rasul Yesus.13
Melalui upaya rekonstruksi yang cermat para ahli juga mencoba
merumuskan
tujuan penulisan injil Matius. Sama seperti analisis sebelumnya,
tujuan penulisan didapat
melalui telaah terhadap karakteristik dari teks itu sendiri.
Salah satu hasil telaah itu
dikemukakan oleh De Heer. Menurut De Heer, injil ini ada demi
tiga tujuan utama yaitu:
(1) Maksud Apologetis: menyatakan bahwa nubuatan di dalam
Perjanjian Lama telah
terpenuhi dan sekaligus membela status Yesus sebagai Mesias. (2)
Maksud Katekesis:
merujuk pada Grundmman bahwa injil ini bertujuan untuk
menyampaian pokok-pokok
ajaran Kristen agar dimengerti dan demi mengajarkanya kepada
orang lain. Hal itu
nampak dari begitu banyak teladan Yesus yang dimuat oleh penulis
injil. (3) Maksud
Parenetis: untuk menegur jemaat Matius di Siria yang yang hidup
tidak harmonis (kasih
diantara mereka telah dingin).14
2.1 Anthiokhia
Para ahli menduga cukup kuat bahwa teks Matius ditulis di
Anthiokhia. Kota ini
ialah ketiga terbesar di kekaisaran Romawi yang berpopulasi
lebih dari 500.000 jiwa
terdiri dari orang Siria, Yunani-Romawi, juga minoritas Yahudi
yang. Pada tahun 300
SZB Anthiokhia didirikan oleh Seleukus I di dekat sungai Orontes
(berada jauh dari laut
dan terlindungi benteng alami yaitu Gunung Silpius) untuk
menghormati ayahnya
sekaligus menampung para veteran perang Makedonia serta
berfungsi guna menguasai
12
Para ahli umumnya bersepakat bahwa sangat sulit mempercayai
Rasul Matius yang menulis injil ini. Alasan-
alasan yang dikemukakan seperti: Jika benar Matius yang menulis
maka ia tentu saksi mata lalu mengapa
seorang saksi mata perlu merujuk kepada teks Markus yang
penulisnya bukan saksi mata? Juga bahasa yang
Matius gunakan ialah Bahasa Aram bukan Bahasa Yunani padahal
injil ini ditulis dalam bahasa Yunani. Lih.
Drewes, Satu Injil, 176; Bnd. Drane, Memahami, 219; Rudolf
Schnackenburg, The Gospel of Matthew, (Wm. B.
Eerdmans Publishing Co: Michigan, 2007), 6-7. 13
Pandangan bahwa Matius sang Rasul sebagai penulis Injil Matius
baru muncul belakangan pada abad II
setelah injil Matius ditulis. Ialah Papias, seorang penulis dari
Hireapolis yang menyatakan hal ini. Lih. Jakob
van Bruggen, Kristus di Bumi: Penuturan kehidupan-Nya oleh
murid-murid dan oleh penulis-penulis sezaman,
(Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 63-65. 14
J. De Heer, Tafsir Alkitab Injil Matius Pasal 1-22, (Jakarta:
Gunung Mulia), 6-7.
-
6
jalur-jalur darat yang menghubungkan Asia Kecil, Mesir, tak
ketinggalan Eufrat.15
Dewi
Tikhe (Fortuna: Keberuntungan) dipercaya menguasai nasib semua
kerajaan Helenis,
menguasai kesuburan tanah, dan menguasai keamanan kota atas
banjir serta gempa,
dijadikan dewi kota oleh penduduk di sana. Anthiokhia ialah
pusat intelektual yang besar
serta menjadi pusat perjalanan dan perdagangan yang sangat
makmur serta merupakan
ibu kota Provinsi Romawi gabungan Suriah dan Kilikia sehingga
pada jaman Romawi
mendapat perlindungan langsung dari Kaisar.16
Seorang Gubernur Romawi menjadi perwakilan Kaisar memerintah
atas
Anthiokhia. Ia bertugas menegakan hukum dan memelihara
ketertiban umum masyarakat.
Namun ketertiban umum yang diupayakan berlangsung di Antiokhia
berada dalam
bayang-bayang: (1) tatanan masyarakat hirarkis17
dan (2) demografi penduduk yang
beragam budaya.18
Dua hal ini sebenarnya membawa ancaman persoalan sosial bagi
Gubernur Romawi di Antokhia. Pertama, potensi ancaman terletak
pada pola piramida
kekuasaan politik terpusat pada golongan elit yang jumlahnya
lebih sedikit dibanding
masyarakat kebanyakan yang berada di luar golongan itu. Golongan
elit itu menguasai
sendi-sendi ekonomi, hukum, dan mengatur kesejaterahaan yang
akibatnya sendi-sendi
itu (terutama politik) diatur menurut kepentingan mereka.19
Dalam hal ini tercipta suatu
tatanan sosial dalam bentuk kelas sosial yang tidak adil:
golongan elit dan golongan
nonelit. Persoalanya ialah kondisi sosial ini melahirkan rasa
saling benci antara kedua
kelas sosial itu. Kedua, sebagai kota yang mempertemukan beragam
identitas dan etnis,
Anthiokhia menyimpan potensi gesekan sosial manakala terjadi
pertemuan dua atau lebih
entitas yang saling bertolak belakang. Ner Dah mengutip Streeter
menyebut kondisi itu
sebagai “Antagonisme Etnis” yang mana kota itu diliputi ancaman
kejahatan dan konflik
akibat percampuran orang-orang dari latar belakang etnis
berbeda.20
Akan tetapi meski menyimpan potensi konflik rupaya gubernur
romawi mampu
mengatasi gesekan sosial tersebut. Piramid kekuasaan itu
menempatkan ia berada pada
puncak kelas sosial sedangkan dasar terendah ada pada golongan
kecil termasuk budak.
15
Peter Walker, In Steps of Saint Paul, (Yogyakarta: Kanisius,
2013), 43; Bnd. John Staumbaugh dan David
Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula, (Jakarta: Gunung
Mulia, 2008), 179. 16
Staumbaugh dan Balch, Dunia Sosial,180. Bnd. David J. Bosch,
Transformasi Misi Kristen: Sejarah teologi
misi yang mengubah dan berubah, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006),
67.; Robert Coote dan Mary Coote, Kuasa,
Politik & Proses pembuatan Alkitab: Suatu Pengantar,
(Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 164. 17
Warren Carter, Matthew & The Margnis: A Sociopolitical and
Religious Reading, (New York: Orbis Book,
2000), 20. 18
Staumbaugh dan Balch, Dunia Sosial,183. 19
Carter, Matthew & The Margins, 18. 20
Streeter, The Four Gospel, dalam Ner Dah, "Reading the Kingdom
Teaching of Matthew from the Context of
Myanmar," PhD diss., 2009. Menurut hemat saya, apa yang
dikemukakan Streeter tidak berlebihan sebab
masalah sosial itu kemudian termanifestasi dalam gerakan
pembasmian orang Yahudi di Diaspora.
-
7
Kekuasaan itu membuka peluang baginya untuk mendapatkan
“dukungan” dari golongan
di bawahnya demi tujuan yang ingin ia capai. Cara gubernur
romawi mengatasi
kerusuhan yang terjadi dikemudian hari khususnya berkaitan
dengan isu sektarian di
Anthiokhia menunjukan betapa “tangan besi” romawi efektif
meminimalisir konflik
terbuka.21
Bersama para pejabat romawi dan anggota senat, gubernur selain
memimpin
legiun juga mendapat dukungan dari para imam di kuil, para
pegawai kekaisaraan,
pengumpul pajak dll. dalam relasi patron-klien.22
Kenyataan itu menunjukan hubungan
transaksional yang sarat kepentingan politik sudah merupakan hal
lumrah terjadi di
golongan masyarakat atas di Antiokhia. Pola relasi yang sangat
rapuh karena didasarkan
pada loyalitas semu yang dapat dibeli oleh kekuasaan.
2.2 Komunitas Sinagoge di Anthiokhia
Orang Yahudi yang telah tinggal di Anthiokhia sama tuanya dengan
kota tersebut
hidup dalam situasi sosial masyarakat hirarkis. Menurut Warren
Carter argumen para ahli
menunjukan dimensi-dimensi penting yang menunjukan kelas sosial
orang Yahudi di kota
ini, seperti: (1) pendapat Kingsbury bahwa bahasa Yunani yang
digunakan penulis Matius
mengindikasikan masyarakat ini ialah komunitas urban, (2)
penggunaan kata Kota
dilakukan 26 kali dibandingkan Desa, (3) jemaat Matius
diasumsikan tidak asing dengan
kekayaan, hal itu ditunjukan oleh misalnya letak perbandingan
identitas Yusuf orang
Arimatea yang pada Markus dan Lukas ia dikenal sebagai anggota
dewan tinggi namun
pada Matius ia disebut sebagai Si Orang Kaya, (4) penggunaan
sebutan emas, perak dan
talenta dilakukan sebanyak 26 kali, lebih banyak jika
dibandingkan dengan Markus yang
hanya sekali menyebut perak dan Lukas hanya empat kali lebih
banyak dari Markus.23
Argumen-argumen itu menguatkan dugaan bahwa komunitas Matius
terdiri dari mereka
yang hidup kaya, artinya ada jejak dari mereka berada pada
golongan elit. Akan tetapi
sebagai ganti keengganan Carter untuk secara deterministik
menentukan kedudukan
orang Yahudi itu, ia memberi anjuran yang secara probabilistik
menempatkan orang
Yahudi ada di kedua kelas sosial (Cross section) sebab selain
karakteristik teks
menunjukan nuansa orang terdidik (golongan elit), teks ini juga
bernafaskan tindakan
untuk menjangkau orang-orang yang dimarjinalkan.24
21
Upaya untuk merayakan Perbedaan Kultur dan Toleransi pernah
dilakukan di Anthiokhia. Lih. Trudy Ring &
Robert Salkin (ed.), International Dictionary of Historic
Places, (London: WIPIDE, 1995), 40. 22
Carter, Matthew & The Margins, 19. 23
Carter, Matthew & The Margins, 25. 24
Carter, Matthew & The Margins, 26.
-
8
Dugaan Carter tentang Cross section itu dapat diperkuat melalui
laporan Josephus
bahwa orang Yahudi yang tinggal di Anthiokhia hidup tentram dan
secara ekonomi cukup
kaya.25
Menurut Staumbaugh dan Balch, kunjungan Herodes Agung beberapa
kali ke
Anthiokhia diduga kuat yang memicu naiknya gengsi, pengaruh dan
kedudukan orang
Yahudi di sana.26
Laporan betapa kayanya orang Yahudi di Anthiokhia nampaknya
bukan
hisapan jempol belaka. Sebab, berdasarkan catatan Josephus,
orang Yahudi di Anthiokhia
mampu mengirimkan persembahan yang mahal ke Yerusalem.27
Tidak hanya itu, pada
masa pemerintahan Klaudius tatkala Yudea dilanda kelaparan,
bantuan dari Anthiokhia
datang untuk menanggulangi bencana tersebut.28
Lalu bagaimana dapat diandaikan bahwa selain jejak keberadaan
orang Yahudi
dalam lingkaran elit, terdapat pula informasi yang menunjukan
bahwa ada orang Yahudi
hidup dalam kelas non elit? Hal itu dapat dijelaskan melalui
identifikasi pekerjaan
mereka. Orang Yaudi nonelit di Antiokhia ada yang hidup bekerja
sebagai tukang dan
budak yang mana secara kasat mata sudah cukup menunjukan bahwa
mereka ialah
golongan kecil yang dimarjinalkan.29
Mereka ialah kelompok yang hidup bekerja demi
memenuhi kesejaterahaan hidup para elit.
Kondisi kehidupan yang baik dalam aspek sosial, ekonomi,
religius, bahkan akses
politik terhadap kekuasaan memang dinikmati oleh sebagian orang
Yahudi di Anthiokhia
untuk kurun waktu yang cukup lama. Sisanya meski dipinggirkan
namun cukup untuk
melanjutkan kehidupan dengan bekerja bagi para elit. Kehidupan
yang tentram dan
mapan di Anthiokhia bahkan telah dinikmati orang Yahudi sejak
jaman Hasmonean yang
dipicu oleh banyaknya orang baru yang hidup menyatu dengan
penduduk tertarik masuk
ke dalam komunitas sinagoge.30
Selain bahwa pengaruh Hasmonean yang mendahului
kunjungan Herodes Agung yang berdampak signifikan itu, perilaku
sosio-politik orang
Yahudi yang menunjukan loyalitas membuat mereka mendapatkan
perlindungan.31
Akan tetapi keadaan berbalik dan semakin memburuk bagi mereka
sejak tahun 40
ZB. Mulai saat itu hubungan sosio-politik antara orang Yahudi
dengan orang Antiokhia
25
Josephus, Jewish War, 7.13. Bnd. Walker, In Steps, 44. 26
Nama besar Herodes Agung yang dikenal sebagai sekutu dekat
Kaisar Agustus dan juga sebagai The Great
Builder lewat pembangunan luar biasa misalnya: Bait Allah,
berbagai benteng hebat termasuk Masada, kota-
kota Helenis seperti Sebaste dan Kaisera yang terkenal dengan
pelabuhannya, tersiar ke luar Yudea bahkan
sampai Anthiokhia. Hal itu menempatkan Herodes Agung sebagai
orang yang cukup penting sehingga tidak
heran apabila kunjungan tersebut membawa keuntungan bagi
kedudukan sosio-politik orang Yahudi di
Anthiokhia. Lih. Staumbaugh dan Balch, Dunia Sosial, Bnd. F. F.
Bruce, New Testament History, (London:
Thomas Nelson & Sons Ltd, 1969). 27
Josephus, Jewish War, 7.45. 28
Walker, In Steps, 47. 29
Staumbaugh dan Balch, Dunia Sosial, 181. 30
Justin Taylor, Asal Usul Agama Kristen, (Yogyakarta: Kanisius,
2012), 156. 31
Staumbaugh dan Balch, Dunia Sosial,49-51.
-
9
berada dibawah ketegangan hebat. Permusuhan yang timbul bahkan
tidak bisa menahan
mereka untuk berhadapan dalam konflik terbuka yang
berdarah-darah. Sejak terjadi
pogrom32
dan dekrit Kaisar Kaligula yang memuat perintah penempatan
patung dirinya di
Bait Allah di Yerusalem, bentrok pecah di Antiokhia.33
Pembunuhan terhadap orang
Yahudi di Anthiokhia terjadi dan sinagoge-sinagoge mereka
dibakar. Mulai saat itu
sentimen anti semit kian meninggi dan tak berhenti hingga
kira-kira tahun 48 ZB. Puncak
konflik terjadi tatkala pemberontakan Yudea melawan Romawi
terjadi hingga tahun 70
ZB.
Konflik di Yudea turut menyeret keterlibatan Anthiokhia karena
kota itu menjadi
basis dukungan pasukan militer yang dikirim untuk menumpas
pemberontakan di
Yudea.34
Ketegangan perang itu merembes sampai ke Anthiokhia terutama
bagi orang
Yahudi di sana. Ikut terseretnya Antiokhia dalam tensi perang
Yudea membuat beberapa
orang Yahudi di sana tidak mampu menahan diri. Beberapa anggota
dari penguasa
Yahudi merencanakan perlawanan. Komunitas Yahudi di Anthiokhia
dituduh
merencanakan membakar kota. Akibatnya, Gubernur Romawi menyerang
mereka dan
mencabut hak-hak istimewa orang Yahudi.
Penaklukan Yudea membawa dampak tidak saja pada memburuknya
hubungan
sosial antara orang Yahudi dengan orang Anthiokhia dan sekaligus
melemahkan pengaruh
32
Sebab terjadinya Pogrom diduga karena muncul kecemburuan sosial
terhadap orang Yahudi yang melalui lobi
politik mendapat hak istimewa yang mana telah berlangsung sejak
jaman Koresh lalu terus menguat ketika
Romawi menjadi sekutu keluarga Hasmonean. Orang yahudi dibenci
oleh orang Yunani-Romawi sebab mereka
dapat mengakses fasilitas dan hidup layak sama seperti orang
Yunani-Romawi tanpa perlu melakukan
kewajiban yang sama. Ditambah dengan kecenderungan Kaisar-kaisar
Romawi yang meski berganti-ganti tetap
saja membela orang yahudi membuat kebencian orang yunani semakin
menjadi-jadi. Hak istimewa itu meliputi
diperbolehkan melaksanakan hukum Sabat, tidak melakukan
kegiataan keagamaan kekaisaraan, boleh
membayar pajak kepada Bait Allah di Yerusalem dan bahkan
mendapatkan otonomi terbatas untuk menegakan
hukum (politeuma) Yudaisme di Sinagoge. Lih. Staumbaugh dan
Balch, Dunia Sosial, 50-51.
33 Bentrokan ini terjadi jelas dalam dua aspek yang berkaitan
yaitu: Sosio-politik dan Sosio-religius.
Kecemburuan sosial nyata dalam pogrom dan resistensi keagamaan
nampak dalam perlawanan dekrit Kaligula
yang sangat “menyakiti” hati orang Yahudi. Menurut saya,
motivasi perlawanan terhadap pogrom yang jelas
muncul sebagai reaksi mempertahankan “pemberian Romawi” sebagai
keberhasilan lobi politik tentu berbeda
dengan perlawanan terhadap dekrit Kaligula. Identitas keagamaan
Yudaisme bukan “pemberian Romawi.”
Namun resistensi itu juga bukan hanya soal ortodoksi. Ia
merupakan peneguhan kemerdekaan politik secara
religius yang saya kategorikan sebagai Hak Milik. Mengapa hak
milik kemerdekaan politik secara religius
sangat penting? Sebab, orang Yahudi begitu percaya bahwa YHWH
tidak mengijinkan mereka dipimpin oleh
orang Kafir. Penjajahan atas mereka hanyalah teguran YHWH karena
mereka lalai menjalankan hukum Tuhan.
Dalam pada itu kemerdekaan religius berkaitan erat dengan
dinantikanya “Hari YHWH” atau datangnya Mesias
untuk membebaskan mereka dari teguran. Ortodoksi bukan tujuan
pada dirinya sebab jika mereka tidak mampu
menjaga kemerdekaan religius maka sama saja melepaskan peluang
hidup bebas untuk kembali mendirikan
kedigdayaan kerajaan Daud. Gagasan untuk menjaga ortodoksi
sebagai implikasi teguran YHWH itu sangat
ditekankan oleh golongan Parisi yang ternyata ialah pemimpin
sinagoge Anthiokhia Bnd. Jeffrey J. Butz, The
Secret Legacy of Jesus: the Judaic teachings that passed from
James the Just to the founding fathers,(Inner
Tradition/Bear & Co., 2009), 281; F. F. Bruce, History; Alan
Richardson, Political Christ, (Philadelpia:
Westminster Press, 1973). 34
Walker, In steps, 44.
-
10
mereka secara politik, tetapi juga memberikan pengaruh kepada
tatanan beragama dalam
komunitas mereka sendiri. Melalui kejatuhan dengan demikian
berakhir juga otoritas Bait
Allah di Yerusalem. Pasca penghancuran yang dilakukan oleh Titus
pada 70 ZB membuat
kekuasaan dalam urusan keagamaan komunitas Yahudi di diaspora
menjadi wewenang
sektoral di masing-masing Sinagoge.
Perlu dicatat bahwa pergeseran otoritas keagamaan ke sinagoge
sesungguhnya
secara terbatas membuat mereka tetap memiliki kekuasaanya
sendiri, meskipun pada
masyarakat kota Anthiokhia mereka tidak lagi menikmati
keleluasaan. Atas otoritas itu
perselisihan dengan orang Yunani-Romawi di Anthiokhia terus
berlanjut namun lebih
banyak terjadi di dalam sinagoge. Perselisihan tersebut nampak
ketika orang-orang
Yunani mulai masuk ke dalam komunitas. Terjadi perdebatan apakah
mereka harus
menjalankan hukum Yahudi terutama sunat dan makanan halal atau
tidak. Akan tetapi hal
terpenting dari pergeseran itu bukan terletak pada bagaimana
orang Yahudi mulai
menerapkan standar tegas terhadap hukum mereka, namun terletak
pada: apa motif dari
kekuasaan itu mereka pergunakan? Merujuk pada Groenen, ia
menegaskan bahwa akibat
dari bergesernya otoritas keagamaan tersebut membawa dampak yang
tidak
menyenangkan bagi orang Kristen di Antiokhia, yaitu penindasan
oleh Sinagoge terhadap
mereka.35
3 Memahami Kembali Matius 2:1-18
Melalui bantuan pendekatan hermeneutik yang secara khusus
menyoroti teks
dalam kerangka sosio-politiknya, maka narasi Matius 2:1-18
memberikan sekurang-
kurangnya tiga pemahaman teologis yang memperluas horizon
berpikir pembacanya.
3.1 Mesias yang selamat dari pembantaian adalah tanda penolakan
Tuhan terhadap
dominasi status quo.
Gelar Mesias yang redaktur Matius tempelkan pada mulut Herodes
di ayat ke-4
menjadi kata kunci yang menunjukan posisi komunitas Matius yang
berbeda dengan
kelompok status quo Yahudi. Teks secara eksplisit menunjukan
bahwa Para Majus
sebagai tokoh yang muncul pertama menyinggung perihal kelahiran
Yesus (ayat 1-3)
justeru tak sekalipun menyebut gelar Sang Bayi sebagai Mesias
(ayat 2). Sebutan dalam
ayat 2 yang para Majus berikan ialah “Raja Orang Yahudi itu: ὁ
βαζιλεὺ ς ηῶν
Ἰ οσδαί ων” (βαζιλεὺ ς menjadi penanda identitas khusus bayi
Yesus).36 Istilah Mesias
35
Groenen, Pengantar, 90. 36
Kalimat dalam ayat ini lengkapnya λέ γονηες· ποῦ ἐ ζηιν ὁ ηετθεὶ
ς βαζιλεὺ ς ηῶν Ἰ οσδαί ων; εἴ δομεν γὰ ρ αὐ ηοῦ ηὸ ν ἀ ζηέ ρα ἐ ν
ηῇ ἀ ναηολῇ καὶ ἤ λθομεν προζκσνῆ ζαι αὐ ηῷ. LAI nampaknya
keliru
-
11
sendiri baru kemudian muncul manakala Herodes menanyakan perihal
kelahiran Yesus
kepada pemuka agama Yahudi (ayat 4).
Pemilihan gelar ὁ βαζιλεὺ ς yang ditempelkan ke mulut Para Majus
oleh
redaktur Matius ialah jelas berbeda dengan ὁ τριζηὸ ς yang
ditempelkan ke mulut
Herodes Agung meskipun merujuk pada subjek yang sama, yaitu
Yesus. Terma ὁ
βαζιλεὺ ς ialah istilah Yunani bagi Raja tetapi tak memiliki
nuansa berarti dalam
kosmologi Yudaisme. Berkebalikan dari itu ὁ τριζηὸ ς37 justru
memiliki makna spesifik
dan sarat nuansa dalam Yudaisme. Ada hal penting yang coba
disampaikan oleh redaktur
Matius dari distingsi ini.
Yosephus memberikan catatan yang sangat berharga perihal gelar
“raja orang
Yahudi (ὁ βαζιλεὺ ς ηῶν Ἰ οσδαί ων).” Menurutnya gelar raja
orang Yahudi ialah tanda
yang diberikan oleh Senat Romawi kepada Herodes Agung ketika
mereka
mengangkatnya sebagai raja pada tahun 40 SZB.38
Craig Evans menafsirkan bahwa
tindakan para majus menyebut Yesus sebagai raja orang yahudi
(ayat 2) ialah tindakan
sewajarnya sebab mereka hanya ingin menanyakan perihal suksesi
Herodes Agung.39
Akan tetapi persoalan yang serius ialah narasi ini sulit
dipercayai sungguh-sungguh
faktual secara historis.40
Dengan memperhatikan distingsi antara gelar raja orang
yahudi
dengan gelar mesias yang muncul dalam tokoh-tokoh pada teks maka
saya justeru
melihat kencederungan lain. Redaktur Matius secara sengaja ingin
menunjukan bahwa
Herodes Agung bersama para Pemuka Agama Yahudi yang berhasil
merumuskan perihal
identitas Yesus secara tepat sebagai Mesias merupakan
personifikasi status quo Yahudi.
Tidak hanya menjadikan Herodes Agung dan Pemuka Agama Yahudi
sebagai
personifikasi kelompok status quo, melalui narasi ini penulis
Matius sekaligus
menyerang mereka.
Gelar raja orang Yahudi seharusnya milik Herodes Agung tetapi
dengan
munculnya gelar itu disebut oleh para majus maka hal ini menurut
saya jelas merupakan
sebuah sinisme. Hal tersebut saya argumentasikan sebab penulis
Matius menempatkan
Herodes Agung dalam posisi yang sangat ironis. Berdasarkan
tafsir Evans maka Herodes
lah yang jelas-jelas bergelar raja orang Yahudi sehingga
seharusnya ia dapat langsung
memberikan klarifikasi kepada para majus perihal suksesinya.
Tetapi yang nampak ialah
menerjemahkan λέ γονηες· dengan “bertanya-tanya.” Kata yang
sesuai dengan bahasa Yunani λέ γονηες· ialah “berkata (to speak).
Maka sebenarnya para majus lebih cenderung mendeklarasikan
kelahiran Raja Yahudi. 37
Dalam terjemahan Ibraninya yaitu Mesias (Massiah dari bentuk
Massah) keduanya berarti Yang Diurapi. 38
Yosephus, Jewish War, 1.282. 39
Craig Evans, Matthew, (New York: Cambridge University Press,
2012), 53. 40
R. T. France menegaskan bahwa tak ada laporan sekunder di luar
injil yang dapat mengkonfirmasikan
historisitas kunjungan itu. Lih. R. T. France, The Gospel of
Matthew (Michigan, Wm. B. Eerdmans Publishing
Co., 2012) Kindle Version.
-
12
justru Herodes Agung seperti seorang bodoh yang tak menyadari
bahwa dia sendiri yang
adalah raja orang Yahudi itu. Herodes Agung digambarkan seperti
tak punya petunjuk
apakah benar ada pengganti dirinya yang baru saja lahir.
Warren Carter mengajukan pendapat bahwa respon Herodes Agung
yang begitu
saja rela mencarikan informasi lebih jauh bagi para majus (ayat
1-6) perlu dilihat dalam
kerangka pikir bahwa para majus ialah astrolog yang biasa
diminta menjelaskan arti
kemunculan tanda alam (seperti bintang) dan relasinya dengan
kekuasaan.41
Pandangan
Carter itu bersesuaian dengan Craig Keneer yang secara eksplisit
berani mengatakan
bahwa para majus ialah astrolog kerajaan Persia yang memiliki
peran politik sangat
penting.42
Ada tafsiran yang menyebut para majus ialah raja-raja yang
bangsa kafir
sehingga dimengerti sebagai jalan soteriologi untuk menjangkau
bangsa-bangsa di luar
Yahudi. Namun tanda bahwa mereka melihat bintang ialah petunjuk
lebih jelas mengenai
tujuan disebutkannya tokoh ini oleh redaktur Matius.
Persoalanya apakah bintang raja orang Yahudi itu (ayat 2) ialah
bintang per se?
Anggapan tersebut dipersoalkan oleh Howard Clarke dengan
mengatakan bahwa jika
benar bintang tersebut muncul lalu tidak masuk akal jika Herodes
Agung tak
melihatnya.43
Umumnya para pakar memandang bahwa bintang (ηὸ ν ἀ ζηέ ρα, ayat
2)
dikutip redaktur Matius dari Bilangan 24:17 dan menautkan kisah
penglihatan Bileam
tentang bintang Daud pada kisah kelahiran Yesus. Hal ini
menunjukan indikasi bahwa
terjadi pemenuhan dari apa yang dikisahkan dalam perjanjian
lama.
Namun hal yang saya catat ialah redaktur Matius sedang dalam
perjuangan
mendapatkan pengaruh melawan pihak yang merasa secara yuridis
berwenang atas
penetapan ajaran Yudaisme. Pemenuhan kisah perjanjian lama dalam
rentang waktu
ketika komunitas Matius hidup baru dapat dikonfirmasikan bukan
oleh sekte ini tetapi
oleh otoritas Yahudi di Sinagoge yang notabene lawan
mereka.44
Maka dari itu saya
mengira bahwa redaktur Matius ingin menelanjangi posisi penguasa
Sinagoge yang tak
benar-benar paham tradisi Yudaisme melalui upaya menegaskan
status Yesus sebagai
Mesias.45
41
Warren Carter, Matthew and the Margins,74. 42
Craig S. Keener, A Commentary on the Gospel of Matthew
(Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Co.,
2013). 100. 43
Clarke, The Gospel of Matthew, 18. 44
Pasca penghancuran Bait Allah ketika terjadi penumpasan
pemberontakan Yerusalem otoritas Yudaisme
berpindah ke masing-masing Sinagoge. Akan tetapi Saldarini
menunjukan bahwa Komunitas Matius tidak
menerima otoritas itu bahkan menganggap bahwa model di
masing-masing Sinagoge perlu diatur ulang. Lih.
Saldarini, The Gospel, 52. 45
Masa pasca Bait Allah (Post Temple) ialah masa dimana para Rabi
Yahudi di Sinagoge-sinagoge mulai
menafsir ulang Yudaisme agar sesuai dengan kondisi kehidupan
mereka. Dalam paham itu saya menduga bahwa
Redaktur Matius sedang berupaya sekuat tenaga melawan tafsir
baru para Rabi (mungkin sekali dari Golonga
-
13
Dengan menautkan tradisi Yudaisme tentang kisah bintang Daud
seperti yang
para ahli katakan dan dengan menempelkan gelar raja orang yahudi
pada mulut para
majus maka apa yang saya sebut sebagai sinisme menjadi lebih
jelas. Redaktur Matius
menempatkan para majus yang ialah personifikasi komunitas Matius
sebagai pihak di
luar status quo Sinagoge yang justru lebih ketat dan peka
terhadap tradisi Yudaisme
dalam hal melihat pentingnya kehadiran Yesus yang sudah terjadi
di dunia.46
Perihal kelahiran Mesias ke bumi apabila merujuk pada teks
rupanya bukanlah
suatu kabar gembira bagi kelompok status quo. Pemilihan kata ἐ
ηαρά τθη47 yang
muncul di ayat ke-3 oleh redaktur memberikan kesan kuat bahwa
Yesus yang sudah lahir
ialah sebuah masalah bagi kelompok status quo. Anggapan bahwa
Yesus menimbulkan
masalah oleh kelompok status quo dipertegas melalui keengganan
mereka untuk
mengakui bahwa Mesias telah lahir. Redaktur Matius menggunakan
kata γεννᾶ ηαι48
yang menunjukan kelompok status quo tak setuju dengan klaim
kelompok Matius
tentang ke-mesias-an Yesus.
Ketidaksetujuan itu juga nampak dari disebutkannya Bethlehem
(ayat 1) sebagai
tempat kelahiran Yesus dan Yerusalem (ayat 3) sebagai tempat
yang menolak kelahiran
Yesus. Seisi Yerusalem menanggapi kabar bahwa Yesus Sang Mesias
sudah hadir di
dunia sebagai masalah. Yerusalem ialah pusat kekuasan atau dalam
hal ini menjadi
lambang sistem kekuasaan status quo yang mana enggan mengakui
bahwa Yesus benar
Mesias. Melalui pengecekan tradisi Yudaisme dalam diri Herodes
Agung dan para
pemuka agama Yahudi (4-6), redaktur Matius sekaligus menyerang
mereka sebagai
pemegang otoritas keagamaan yang tidak paham mengenai tradisi
Yudaisme itu sendiri.
Pharisi) untuk menjadi pegangan bersama Komunitas Yahudi di
Anthiokhia. Tradisi tentang Midrash membantu
membentuk pemahaman ini. Lih. Brian M. Nolan, The Roayal Son of
God: the Christology of Matthew 1-2 in
the Setting of the Gospel (Gottingen: Universtaries Fribourg,
1979), 52-58. Bnd. Robert M. Prince, New
Testament Narative as Old Testament Midrash dalam
http://www.robertmprice.mindvendor.com/art_midrash1.htm, diakses
8 November 2014. 46
γεννηθέ νηος ialah kata kerja aoris geniitif pasif yang tak
hanya menunjukan penegasan tetapi juga sekaligus menujukan tindakan
yang sudah pernah terjadi. Artinya penegasan bahwa Raja orang
Yahudi sudah pernah
dilahirkan. Kata ini juga menjadi penegasan tentang status
kemesiasan Yesus. 47
Kata ἐ ηαρά τθη dari bentuk kata ηαρά ζζω kurang tepat jika
diterjemahkan dengan “terkejut.” Kata itu berarti: meresahkan,
mengacaukan, menganggu, atau menakutkan. Terjemahan King James
Version (KJV)
“troubled (menyusahkan)” menurut saya jauh lebih memadai
dibandingkan terjemahan dalam TB-LAI. Untuk
keperluan tulisan ini maka saya menggunakan kata “mengganggu”
sebagai ganti kata “terkejut.” 48
Kata γεννᾶ ηαι (kata kerja present indikatif pasif untuk orang
ketiga tunggal dari bentuk γεννά ω) berarti “sedang dilahirkan.”
Dalam narasi Matius pasal 2 kata ini berbeda kasusnya dengan kata
yang sama di ayat 1.
Kata ini menunjukan pemahaman bahwa kegiatan Mesianik masa terus
berlangsung. Berbeda dengan kelompok
Matius yang percaya nubuatan mesianik sudah terjadi dalam diri
Yesus, kelompok Yahudi status quo
menunjukan bahwa mesias bukan seperti yang dipikirkan kelompok
matius. Saya menduga ini adalah jejak
tentang model kubu status quo mendukung teologi Millitary
Mesiah, sebab disekitar tahun 70-132 ZB model
Millitary Mesiah muncul kuat sebagai gerakan pemberontakan.
http://www.robertmprice.mindvendor.com/art_midrash1.htm
-
14
Dengan menempatkan berturut-turut gelar mesias di mulut Herodes
Agung,
kontras antara Bethlehem dengan Yerusalem, penyelidikan dan
afirmasi perihal kelahiran
Mesias dari tradisi Yudaisme di mulut para pemuka agama Yahudi
maka hal ini jelas
menunjukan apa yang saya sebut di atas sebagai ironi. Upaya ini
menunjukan bahwa
redaktur Matius menganggap kelompok status quo di Sinagoge tak
lagi memiliki
legitimasi. Hal tersebut didasarkan pada ironi kelompok status
quo yang tidak benar-
benar memahami isi ajaran Yudaisme manakala mereka tak mengakui
Yesus sebagai
Mesias padahal mereka ialah pemimpin agama.
Perseteruan antara kelompok Matius dengan kelompok status quo
tentang
pengakuan Yesus sebagai Mesias sebenarnya merupakan masalah yang
sentral. Bagi
kelompok status quo mengakui Yesus sebagai Mesias ialah sama
dengan memberi
pengakuan akan kehadiran kelompok Yahudi yang menyimpang
(Deviant Jews).49
Sedangkan pengkuan akan kelompok yang menyimpang ialah sama
dengan membuka
celah bagi perubahan yang radikal dalam diri komunitas Yahudi.
Artinya memberikan
ruang secara sosio-politik bagi komunitas Matius untuk hidup
ialah pilihan yang
membunuh kelompok status quo. Maka tentu konsekuensi logisnya
ialah dominasi atas
Yudaisme harus terus dilakukan.
Persoalan semakin rumit sebab komunitas Matius tidak merasa
dirinya ialah
bagian luar dari kelompok Yahudi. Mereka tetap yakin jika
dirinya merupakan bagian
dari kelompok itu. Dalam kesadaran semacam ini mereka
berpretensi melakukan
perubahan atas praktek lama yang tak benar. Anthony Saldarini
menegaskan apabila
komunitas Matius tidak sedang mencoba menciptakan sebuah
masyarakat Agama Baru
tetapi tengah berupaya medelegitimasi kelompok status quo dengan
membongkar
praktek Yudaisme mereka yang keliru.50
Kekeliruan kelompok status quo sebenarnya bukan semata berkaitan
dengan
persoalan perbedaan pandangan antara mereka dengan komunitas
Matius mengenai
status Yesus sebagai Mesias. Akan tetapi juga terletak pada
persengkongkolan kelompok
status quo untuk menghancurkan komunitas Matius. Sebab secara
sosio-politik kehadiran
komunitas Matius ibarat duri dalam daging. Maka daripada duri
itu terus melukai diri
sendiri lebih baik segera disingkirkan. Jejak ini muncul kuat
disepanjang ayat 4 dan 7
pada narasi. Tindakan Herodes Agung melakukan pertemuan terpisah
dengan pemuka
49
Perihal telaah tentang Deviant Jews lihat Kai Ericson, Wayward
Puritans: A Study in the Sociology of
Deviance (New York: Wiley, 1966) 3-5. 50
Saldarini, The Gospel, 46-47
-
15
yahudi dan lalu melaksanakan pertemuan rahasia51
dengan para majus ialah bentuk
persengkongkolan demi dominasi status quo. Poin yang redaktur
Matius angkat ialah
pendekatan kelompok status quo identik dengan sikap penguasa
yang manipulatif dan
menindas.
Para majus setelah ayat 7 digambarkan sebagai pihak yang awalnya
mengikuti
gerak manipulasi kekuasaan ala kelompok status quo dalam diri
Herodes Agung. Sang
raja yang seolah memberikan ruang pada para majus dan
mendengarkan pendapat
mereka sebenarnya hanya tindakan manipulasi untuk menggali
informasi guna
menghancurkan Yesus dan para majus sendiri. Richard T. France
menyebut peran para
majus dalam ayat 7-9 sebagai alat spionase sang raja.52
Artinya tujuan Herodes Agung
bertemu dengan para majus bukan pertama-tama demi mendengarkan
apa yang para
majus itu inginkan tetapi justru untuk memperalat mereka.
Ujaran Saldarini dan penjelasan France menurut saya sangat
penting dalam
memahami posisi komunitas Matius dalam konteks tidak ingin
mengganti Yudaisme
dengan suatu agama baru. Melalui kisah kelahiran Yesus,
komunitas Matius menegaskan
bahwa bentuk dominasi dalam kehidupan bersama tidak dapat
diterima. Mereka tidak
sedang bicara ortodoksi Agama Yahudi. Agama Yahudi yang dalam
hal ini hanya
menjadi locus bagi suatu kehidupan bersama atau menjadi arena
perebutan pengaruh.
Dengan ketiadaan tendensi membentuk locus baru maka komunitas
Matius sebenarnya
tengah mencoba mempertahankan diri sebagai bagian dari kesatuan
komunitas Yahudi
umunya. Akan tetapi dengan suatu harapan bahwa hidup bersama itu
dilakukan tidak
dalam penindasan.
Penolakan paham tentang dominasi ini menurut saya muncul dalam
suatu
pernyataan teologis di sepanjang ayat 10-12. Hal yang sangat
menarik ialah upaya
persekongkolan untuk memperalat para majus agar dominasi dapat
dilanggengkan justru
digagalkan oleh Tuhan melalui mimpi para majus dan penyataan
malaikat kepada Yusuf.
Dalam kepolosanya para majus terjebak pada permainan kekuasaan
Herodes Agung
tetapi permainan itu tidak sampai selesai sebab Tuhan
menggagalkannya di tengah jalan.
Pada titik ini saya menduga redaktur Matius menegaskan bahwa
Tuhan justru tidak
menghendaki model dominasi status quo yang menghalalkan praktek
kekuasaan
manipulatif seperti yang dipraktekan kelompok status quo dalam
diri Herodes Agung.
51
Ada dua kata kunci dalam pertemuan rahasia ini, yaitu “Secara
rahasia (λά θρᾳ )” dan “memastikan secara tepat (ἠ κρί βωζεν).”
Pertemuan ini terpisah dan tertutup bersifat rahasia antara Herodes
Agung dengan para majus. apa tujuan pertemuan ini? Untuk memastikan
dengan tepat apakah Yesus Mesias. Dalam hal ini untuk
memastikan dampak dari status Yesus sebagai Mesias. 52
Frnce, The Gospel, Kindle Version
-
16
Tidak kembalinya para majus ke istana Herodes Agung lalu
disambung pelarian
Yusuf yang membawa serta keluarganya ke Mesir (ayat 12-15)
menjadi indikasi redaktur
Matius ingin menyampaikan bahwa apa yang telah diupayakan oleh
kelompok status quo
mengalami kegagalan sebab tak dikehendaki oleh Tuhan. Sambil
memposisikan diri
sebagai komunitas yang mengupayakan tidak munculnya suatu locus
hidup bersama
yang baru, redaktur Matius mengetengahkan gagasan bahwa Tuhan
menghendaki suatu
penyelenggaraan kekuasaan yang tak di dominasi oleh kubu yang
tak lagi memahami
benar perintah Tuhan dan yang melakukan praktek memperalat
kekuasaanya untuk
mendominasi sekaligus membungkam pihak yang berbeda. Dengan
luputnya Yesus sang
Mesias dari cengkraman sang penguasa Herodes Agung maka hal ini
jelas ialah sindiran
redaktur Matius bahwa tidak ada basis moral religius lagi bagi
dominasi kelompok status
quo sebab rencana brilian mereka untuk menegaskan kekuasaan
telah digagalkan oleh
Tuhan sendiri.
Pada cerita pembantaian anak-anak oleh Herodes Agung (ayat
16-18) redaktur
Matius menunjukan bahwa praktek dominasi status quo tak kunjung
berakhir.
Pembunuhan anak-anak dibawah dua tahun seperti yang Herodes
Agung lakukan
merupakan tanda betapa sang raja tak siap memiliki rival dan
bertindak untuk
menyingkirkanya.53
Redaktur Matius dengan tepat meminjam tokoh Herodes Agung
yang memiliki karakter yang begitu cocok tentang ketidaksiapan
penguasa menerima
adanya rival yang mengganggu dominasi mereka.54
Tabiat Herodes Agung tersebut
benar-benar mewakili cibiran redaktur Matius terhadap sikap
bebal kelompok status quo
dengan tetap ingin dominan meski secara moral religius mereka
dinilai telah benar-benar
salah oleh redaktur Matius.
3.2 Revolusi yang berdarah-darah bukanlah pilihan ideal dari
perjuangan melawan
dominasi status quo.
Sentralnya topik tentang Mesias pada narasi ini juga menunjukan
bagaimana
gagasan tersebut digunakan dalam perjuangan kelompok Matius.
Ayat 15 dan 18 dalam
narasi merupakan kutipan dari Hosea 11:1 dan Yeremia 31:15.
Kutipan ini menurut saya
digunakan redaktur untuk mendramatisir teks yang sebenarnya
merupakan puncak dari
pengantar mengenai pertentangan kelompok Matius dengan kelompok
Status quo. Cara
pengutipan semacam ini begitu populer oleh komunitas Yahudi pada
masa pasca Bait
53
France, Herod, 105. 54
Jika saya membuat semacam tipologi maka ada dua Kelompok dalam
narasi ini: (1) Para Majus, Yesus dan
keluarga-Nya ialah personifikasi langsung dari komunitas Matius.
(2) Herodes Agung, para pemuka agama
yahudi dan pasukan yang membantai anak-anak ialah kelompok
status.
-
17
Allah untuk tujuan menggambarkan situasi hidup mereka yang kerap
kali dalam
kelompok Yahudi dikenal sebagai bentuk Midrash.55
Richard T. France yang secara spesifik meneliti narasi
pembantaian anak-anak
menyebut bahwa kisah itu tak lebih dari sebuah folklore.56
Cerita ini dikembangkan
terutama berada pada peran teks Yeremia 31:15 yang dikutip oleh
redaktur Matius.
Beberapa penafsir menjelaskan bahwa pengutipan teks Yeremia
31:15 ialah cara
menautkan Yesus dengan Musa. Akan tetapi France membantah
argumen tersebut. Ia
berpendapat jika memang upaya Kristologi semacam itu dapat
diterima maka ia
seharusnya juga muncul di injil lainya.57
Richard T. France sependapat dengan Jean
Dean Kingsbury, bahwa ada dua kemungkinan besar yang melahirkan
teks pembantaian
ini, yaitu: (1) alasan apologetis; dan (2) alasan polemik.58
Dengan memberi ruang kepada pendapat Saldarini tentang konflik
antara
kelompok Matius dengan kelompok status quo maka saya memandang
jika teks tentang
pembantaian anak-anak sebagai klimaks cerita antara rivalitas
Yesus Kristus dengan
Herodes Agung terutama ditempatkan dalam tipologi Polemik
seperti dalam teori France.
Kedudukan teks yang lahir dari situasi problematis dan penuh
polemik semacam itu
membuat peran sentral Mesias dalam narasi menjadi jelas. Sebab
jika tak begitu, saya
melihat implikasi dari sentralnya Mesias dalam tulisan redaktur
Matius sulit untuk
dipahami.
Sebagai cerita yang lahir dari polemik, alasan Herodes Agung
membunuh anak-
anak setelah intensinya tak tercapai menjadi penting untuk
ditelaah. Apabila diperhatikan
dari teks maka penyebab dibantainya anak-anak seolah-olah oleh
kemarahan Herodes
Agung karena diperdaya (ἐ νεπαί χθη) para majus (ayat 16).
Menurut saya melampaui
kemarahan seperti disebutkan teks sebenarnya tindakan brutal
Herodes Agung dipicu
bukan oleh “keterperdayaan” an sich melainkan tak tercapainya
kalkulasi politik tentang
Mesias. Meski Herodes Agung nampak begitu tertarik bahkan
disebutkan ingin
menyembah Mesias (ayat 8) namun intensinya terhadap bayi Yesus
sebenarnya ialah
jelas berkaitan dengan status Sang Bayi sebagai Mesias.
F. F. Bruce menjelaskan dengan baik perihal makna Mesias dalam
alam berpikir
orang Yahudi. Mesias bukan hanya persoalan gelar semata namun
melampui itu ia
adalah sebuah tanda pengharapan (the Messianic Hope) di mana
terpenuhinya Hari
55
Pendapat bahwa narasi Matius ialah Midrash datang dari McNeile
seperti dikutip Frederick D. Bruner,
Matthew A Commentary (Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Co.
2004), Kindle Version. 56
R. T. France menjelaskan kemungkinan narasi pembantaian diambil
dari model tradisi yang berkembang
umum dalam Komunitas Yahudi, yaitu: kisah hidup Musa, Abraham
dan Yakub. Lih. France, Herod, 105-108. 57
France, The Gospel, Kindle Version. 58
France, The Gospel,.
-
18
YHWH dan sekaligus kebangkitan kembali kedaulatan kerajaan
wangsa Daud.59
Ada
beberapa jenis Pengharapan Mesias namun yang paling banyak
berpengaruh di masa
penjajahan Romawi manakalah komunitas Matius diduga hidup ialah
Millitary
Messiah.60
Model Millitary Messiah banyak menginspirasi pemberontakan
kelompok
Yahudi terhadap kekuasaan Romawi dengan melalukan perlawanan
fisik (kerusuhan,
perampokan bahkan perang) yang oleh Imperium Romanum sering
dikategorikan sebagai
aksi teror. Dibawah panji Pax Romana maka aksi teror semacam ini
tidak akan
ditoleransi dan bahkan akan ditumpas habis melaui pedang
Legiun.61
Jika saya menganalisis narasi maka redaktur Matius cenderung
menolak model
Millitary Messiah. Saya menduga sebab penolakan itu karena
pemberontakan a la
Millitary Messiah nyata-nyata menemui kegagalan besar manakala
Yerusalem
dihancurkan oleh Jenderal Titus tahun 70 ZB. Harga yang harus
dibayar oleh bangsa
Yahudi atas pilihan untuk mendahulukan model Millitary Messiah
sangat mahal. Pasca
penghancuran Yerusalem beserta Bait Allah bangsa Yahudi diusir
dari tanah mereka
sendiri dan dampaknya bagi mereka yang berada di diaspora ialah
dicabutnya oleh
otoritas Romawi atas berbagai hak istimewa yang telah lama
dinikmati.
Munculnya Herodes Agung yang merasa Mesias ialah rivalnya
(sepanjang ayat 1-
18) dapat memberikan jejak bagi pemahaman di atas. Stefan Leeks
menafisrkan bahwa
gelar orang Yahudi yang disebut para majus ialah untuk
mengantipasi bahwa Yesus
Kritus tidak diterima penguasa.62
Mengenai nyawa Yesus yang diincar Herodes Agung
(ayat 13-15) Leeks memberikan komentar yang sangat baik. Ia
menilai bahwa introduksi
pada genealogi Yesus sebagai keturunan Daud memberikan
legitimasi kuat bahwa Ia
pewaris sah kerajaan Daud sehingga membuat Herodes Agung
panik.63
Artinya
mengikuti pola Messianic Hope maka Yesus ialah yang dapat
dipercaya sebagai Mesias
yang akan menegakan kembali supremasi kerajaan Daud dari tangan
Herodes Agung.
Secara sosio-politik ini adalah tanda akan terjadinya Revolusi
Mesias yang mana
membuat orang-orang Yahudi bangkit melawan Romawi melalui
kelahiran Yesus.
59
F. F. Bruce, New Testament, 116. 60
(1) Davidic Messiah (muncul pasca pendudukan Babilonia yang mana
berpusat pada janji bahwa kerajaan
Daud yang jatuh akan dibangun lagi dengan lebih hebat), (2)
High-priesthood Messiah (muncul pada jaman
Hasmonean), (3) Priestly-Royal Messiah (diajukan oleh Komunitas
Qumran), (4) Millitary Messiah (muncul
dan mendominasi sebagai ekstrim baru dari Davidic Messiah yang
begitu mengharapkan keturunan Daud
memimpin “pelepasan” umat Tuhan dari cengkraman Herodian atau
Gubernur Romawi) dan (5) Spiritual
Messiah (model yang menurut Bruce sebenarnya dipilih oleh Yesus
namun baru disadari pada abad pertama
Kekristenan). Lih. F. F. Bruce, New Testament, 116-127. 61
Benjamin Isaac, The Near East Under Roman Rules (Leiden:Brill,
1998), 377-379. 62
Leeks, Tafsir, 40. 63
Leeks, Tafsir, 50.
-
19
Akan tetapi fakta sejarah berkata berkebalikan: sampai Yesus
mati karena
disalibkan, Ia tak melakukan Revolusi dalam paham Millitary
Messiah. Saya sepakat
bahwa sosok Yesus Kristus dalam narasi tak diterima oleh
penguasa seperti yang Leeks
kemukakan. Akan tetapi konsekuensi lebih jauh dari dampak garis
keturunan Yesus
Putra Daud yang membuat penguasa Yahudi panik agaknya ahistoris.
Lagipula orang-
orang Yahudi ternyata tidak semua bersepakat atau satu suara
perihal memaknai
keterjajahan mereka oleh bangsa-bangsa kafir dan termasuk
memaknai perlawanan
terhadap penjajah.64
Agaknya Leeks tidak melihat kecenderungan redaktur Matius
sengaja membedakan sebutan untuk Yesus ini dalam diri Herodes
Agung dan para
majus. Maka mengenai rivalitas itu saya lebih memilih untuk
melihat peran terma Mesias
yang memiliki konsekuensi politik berkaitan dengan konteksnya
pada polemik
komunitas Matius.
Guna mengatasi celah historis terma Mesias dari rivalitas antara
Herodes Agung
dengan Yesus maka saya mengusulkan untuk mencoba memahami posisi
redaktur
Matius dalam perspektif penggunaan dua tokoh ini. Menurut saya
redaktur Matius ingin
mengecam tradisi dalam komunitas yahudi yang begitu fantatik
terhadap model Millitary
Messiah namun disisi lain menerima berbagai keistimewaan dari
penjajah. Padahal
keistimewaan itu malah menjamin komunitas Yahudi untuk tidak
menista Tuhan dengan
melanggar hukum mereka sendiri melalui kewajiban melakukan
praktek-praktek kafir
yang ditetapkan Imperium Romanum bagi setiap wilayah
kekaisaraan. Akan tetapi karena
fanatisme terhadap Millitary Messiah mereka justru kehilangan
dispensasi sosio-politik
itu.
Komunitas Yahudi di Anthiokhia ikut terhisap dalam situasi
perang di Yerusalem
yang akhirnya ditumpas tahun 70 ZB. Komunitas Yahudi di
Anthiokhia mengambil sikap
melakukan pembentorakan dan mengakibatkan kerusuhan. Akibatnya
Gubernur
Anthiokhia mengerahkan pasukan untuk membasmi kerusuhan itu.
Kecemburuan sosial
yang diterima orang Yahudi atas hak eksklusif mereka membuat
komunitas ini bukan
meredam konflik malah makin kukuh dalam resistensi Millitary
Messiah sehingga makin
menambah ketegangan dengan orang-orang kafir di Anthiokhia.
Padahal menurut redaktur Matius terbebasnya Yesus Sang Mesias
dari upaya
pembunuhan Herodes Agung yang takut kepada dampak Millitary
Mesiah (mengikuti
tafsir Leeks pada konteks dalam teks) ialah tanda bahwa model
itu bukan yang
64
Perihal perbedaan pandangan antar kelompok agama Yudaisme ini
telah dijelaskan dengan sangat baik oleh
Gerd Theissen dalam karyanya “Aku disuruh Pilatus.” Lih. Gerd
Theissen, Aku disuruh Pilatus: Kisah
penelusuran jejak Yesus dan masa-Nya (Jakarta:Gunung
Mulia,1990).
-
20
diharapkan. Herodes Agung secara faktual ialah kaki tangan
Romawi dan orang dekat
Kaisar. Dengan menempatkan seolah Yesus Sang Mesias ialah
pemberontak yang
mencoba melawan otoritas Herodes Agung yang didukung Kaisar,
redaktur Matius
kembali lagi menggunakan model sinisme untuk mengecam baik
Imperium Romanum
maupun kelompok Status quo Yahudi yang mendukung pemberontakan.
Dalam satu
pukulan redaktur Matius ingin menunjukan bahwa sosok Herodes
Agung yang ialah
mewakili dua kelompok penguasa itu telah salah kaprah mengenai
kehadiran Yesus
sebagai Mesias.
Sikap Romawi yang tak lagi ramah pada orang Yahudi merupakan
tindakan salah
kaprah bahwa seluruh kelompok Yahudi mendukung pemberontakan.
Redaktur Matius
ingin mengatakan bahwa Romawi salah memahami arti Mesias yaitu
terbatas pada dan
identik dengan Millitary Mesiah. Padahal model itu hanya ekstrim
dari salah satu bentuk
penafsiran tradisi Yudaisme. Dampak sosio-politik Millitary
Mesiah tentu merupakan
dua hal yang berbeda dari keyakinan kepada Mesianic Hope. Di
bagian lain dari narasi
mengikuti Lukas dan Markus redaktur Matius menunjukan bahwa
sikap umum kelompok
yahudi khususnya yang mengikuti ajaran Yesus ialah tak mendukung
pemberontakan
(bnd. Matius 22:21).
Sedangkan kelompok status quo di Antiokhia yang masih mendukung
paham
Mesias Sang Liberator disentil oleh redaktur sebagai penganut
paham ekstrim yang salah
kaprah. Yesus Kristus yang lolos dari pembantaian menunjukan
bahwa model
perlawanan dengan kekerasan ialah tak realistis. Bahkan Tuhan
sendiri tak menghendaki
model pemberontakan berdarah-darah itulah sebabnya Yesus luput
dari pembantaian.
Maka posisi pemimpin Sinagoge Antiokhia yang cenderung mendukung
agenda
pemberontakan di Yerusalem tengah dipersoalkan oleh redaktur
Matius.
Melalui teks pembantaian anak-anak (ayat 16-18) redaktur Matius
menegaskan
bahwa kekerasan hati untuk mendukung pemberontakan hanya
melahirkan pembunuhan
bagi orang Yahudi yang tak berdosa dan yang tak tahu menahu
perihal pilihan politik
para pemimpin Yahudi. Anak-anak yang dibantai oleh Herodes Agung
ialah gambaran
karena kecerobohan pemimpin Yahudi65
membuat Imperium Romanum yang juga adalah
patron pemuka Yahudi sendiri membunuh orang-orang Yahudi yang
tak bersalah dan
membawa kerugian bagi komunitas Sinagoge di Anthiokhia.
Pengutipan Yeremia 31:15 pada narasi pembantaian sebagai apa
yang disebut R.
T. France floklore bukan untuk mengatakan bahwa kisah Yesus sama
seperti Musa.
65
Anak Imam Sinagoge, yaitu M. Anthiokhus di Anthiokhia ialah
pemimpin kerusuhan yang akhirnya ditumpas
oleh Pasukan Gubernur Romawi. Lih. Staumbaugh & Balch, Dunia
Sosia, 181.
-
21
Namun lebih kepada teknik mirip Midrash yang mengungkapkan
penyelasan redaktur
Matius atas kehidupan komunitas Yahudi yang mana ia bagian dari
dalamnya yang
tengah menderita pasca Perang Yerusalem.
Penderitaan itu secara sosial jelas berat sebab dengan pilihan
politik melawan
Imperium Romanum maka apa yang Yosephus sebut sebagai kondisi
komunitas Yahudi
di Anthokhia hidup bahagia, mapan dan cukup kaya raya karena
mereka sebagian
merupakan anggota strata sosial tinggi tak lagi mereka nikmati
seperti saat sebelum
perang. Orang yahudi umumnya pasca perang Yerusalem dan
kerusuhan dimusuhi oleh
warga kota Antiokhia bahkan pernah muncul petisi untuk mengusir
mereka keluar dari
kota itu kepada Jenderal Titus manakala ia berkunjung ke sana
pasca perang Yerusalem.
Pada giliranya orang-orang Yahudi berada dalam pengawasan
Gubernur Romawi yang
mana kedudukan politik mereka yang semula cukup baik kini tak
ada nilai tawar lagi.
3.3 Penolakan Tuhan melalui diri Mesias terhadap kekuasaan
politik a la Status Quo
menubuh dalam sebuah pranata sosio-politik.
Penyingkiran ke Mesir seperti yang muncul pada ayat 13-15 dalam
narasi dapat
ditafsirkan sebagai sebuah alternatif atau jalan keluar.66
Setelah muncul nuanasa tegang
dan upaya dominasi kelompok status quo terhadap komunitas Matius
(ayat 1-12) lalu
kemudian adanya nada protes dan penyelasan atas sikap mendukung
pikiran ekstrimis,
maka redaktur Matius mencoba memberikan sebuah gagasan bagi
kelompok Yahudi di
Anthiokhia secara umum. Gagasan itu ialah sebuah pemahaman
tentang Mesias Baru
yang menggantikan cara pandang Millitary Mesiah yang telah cukup
membawa petaka
bagi seluruh orang Yahudi di Anthiokhia.
Upaya redaktur Matius ini ialah sebuah kewajaran sebab P. J.
Tierney
mengungkapkan bahwa pasca kejatuhan Yerusalem muncul upaya dalam
komunitas
Yahudi untuk mengubah paradigma tentang Mesias sang liberator
dengan menggesernya
dari model Mesias individual menjadi Mesias sebagai pranata
sosial.67
Menurut Tierney
jika sebelumnya sejak jaman Hasmonean hingga Yesus hidup
penekanan pada model
seorang pejuang akan memimpin perang menjadi primadona di antara
sebagian orang
Yahudi maka pasca Bait Allah para rabi menegaskan bahwa Mesias
ialah seluruh bangsa
Israel itu sendiri.68
Persoalanya apakah ide tentang mengembalikan kedigdayaan
wangsa
66
Mesir ialah lambang yang sangat tepat sebab dalam tradisi Yahudi
ia ialah tempat pelarian., Lih. Clarke, The
Gospel, 23-24. 67
P. J. Tierney, Theocracy: Can Democracy Survive Fundamentalism?:
Resolving the Conflict Between
Fundamentalism and Pluralism, (iUniverse, 2012), 111. 68
Tierney, Theocracy,. 112.
-
22
Daud menghilang dalam kesadaran yang baru itu? Sejarah
menunjukan hasrat untuk
kembali menjadi kerajaan tak kunjung hilang.69
Hal yang menjadi titik masalah umumnya orang-orang Yahudi masih
tak
berterima dengan kondisi kekalahan perang. Bahkan sejak perang
tahun 70 ZB hingga
Bar Kobha ditumpas tahun 132 ZB muncul terus-menerus
mesias-mesias yang
mengandalkan pemberontakan kepada Romawi. John Staumbaugh dan
David Balch
menulis bahwa pasca penghancuran Yerusalem, Romawi mengadakan
pengawasan ketat
terhadap potensi pemberontakan karena munculnya mesias-mesias
dan bahkan seluruh
keturunan Daud diperiksa dan dianiaya oleh legiun.70
Penolakan model pemberontakan terhadap pemerintah romawi oleh
redaktur
Matius tak berarti ia sepakat pada penjajahan Romawi. Ialah
Warren Carter seorang
pakar yang secara baik meneliti perihal pergulatan sosio-politik
redaktur Matius dan
responya terhadap imperialisme Romawi mengatakan bahwa ada
kaitan erat antara
model narasi dengan respon Matius terhadap kekuasaan imperialis.
Carter menunjukan
inkonsistensi mendasar dalam propaganda visi sosial Imperium
Romanum yang dilawan
oleh komunitas Matius.71
Namun poin yang paling penting ialah catatan Carter bahwa
komunitas Matius tak dapat mengandalkan pemuka agama di Sinagoge
sebab mereka
merupakan bagian dari struktur kekuasaan imperialis karena
mereka mempraktekan cara-
cara the Rulling Class72
yang kontradiktif dengan agenda visi sosial Imperium
Romanum.
Dalam hal ini Carter menunjukan bahwa tak ada beda antara
penjajah besar Romawi
dengan sikap para pemimpin agama Yahudi sebagai penjajah kecil
yaitu hidup dalam
karakter the Rulling Class.
Sebagai gantinya mengutip Michael Mann, Luke Johson serta Rodney
Stark,
Carter mengemukakan pola gerakan komunitas Matius yang melawan
arus.73
Warren
Carter menegaskan bahwa redaktur Matius pada titik tertentu
melalui ide utama
69
Hasrat untuk menegakan kembali kerajaan seperti masa Daud bahkan
bertahan hingga tahun 132 saat
pemberontakan Simon bar-Koshiba (Bar Kobha-Sang Putra Bintang)
ditumpas habis Legion. Lih. Staumbaugh
& Balch, Dunia Sosial, 22. 70
Staumbaugh & Balch, Dunia Sosial, 21. 71
Kekaisaran Romawi mengklaim universalisme dan kesederajatan
dibawah Romawi di satu sisi namun di sisi
lain struktur sosialnya hirarkis, eksklusif, dan menolak orang
dapat menjadi warga Romawi begitu saja. Warren
Carter, Matthew & Empire (London, T&T Clark, 2008) 50.
72
The Rulling Class di Antiokhia ialah kelompok Aristokrat yang
jumlahnya tak lebih dari 2% dari total
populasi. Kelas ini menguasai hukum, sumber produksi, hidup
hedonis namun tidak bekerja, sebab berkuasa
secara sosial, ekonomi, keagamaan, dan politik. Lih. Carter,
Matthew & Empire, 9-10, Bnd. Carter, Matthew &
the Margins, 19-23. 73
Kelompok Matius mengusung praktek hidup bersama yang egaliter,
univeral, mengalami desentralisasi,
perduli pada mereka yang teralienasi, kelaparan, tak memiliki
harta, dan menjadi komunitas inklusif. Lih.
Carter, Matthew & Empire, 50-51.
-
23
Kedaulatan Allah74
menolak cara-cara dominasi, penindasan, dan tirani dalam
struktur
hirarki sosio-politik Imperium Romanun dan kubu status quo
Sinagoge Anthiokhia.
Menurutnya redaktur Matius melawan visi sosial penuh dominasi
yang menubuh dalam
pranata Pax Romana dan Aristokrasi Sinagoge itu melalui dua
cara, yaitu: (1)
mengajukan visi sosial yang berbeda dengan mendasarkan diri pada
hubungan antar
sesama dan komunitas, (2) menentang model teologi status quo
yang digunakan untuk
membenarkan model perjuangan dan penindasan baru yang tak beda
dari hasrat berkuasa
serta menindas Romawi.75
Berkaitan dengan gagasan di atas maka dua tafsiran pakar
perjanjian baru
menjadi signifikan. Tafsir De Heer terhadap narasi Matius
2:13-15 menegaskan bahwa
cerita ini secara dramatis merupakan bentuk penting dari perang
antara kerajaan Allah
melawan kerajaan dunia yang mana penguasa dunia ingin
mempertahankan kemuliaan
mereka sedangkan Allah menegaskan kebenaran dalam diri
Mesias.76
Sedangkan Leeks
mengartikan narasi ini sebagai tautan dari bentuk keluaran
Israel baru seperti saat Israel
lama keluar dari Mesir. Sebab Mesias yang lolos dari pembunuhan
ialah model dari
pengalaman keluaran dari kondisi lama kepada keselamatan dalam
diri Mesias sang juru
selamat.77
Dua tafsiran ini begitu kuat mendukung distingsi antara model
kehidupan
dalam kekuasaan duniawi dengan hidup selamat yang dibawa dalam
kerajaan Allah
melalui diri Mesias.
Dua distingsi antara model hidup penguasa duniawi dengan
kekuasaan Allah
yang benar ialah tepat roh dari injil Matius. Warren Carter
menjelaskan bahwa ia sangat
yakin jika Matius ialah bentuk narasi yang melawan cara pikir
yang umumnya diterima
dalam sebuah kehidupan sosial. Alih-alih menyetujui imperalisme
dan dominasi status
quo, redaktur Matius justru mengajukan sebuah praksis hidup yang
didasarkan pada
semangat kehidupan sosial yang egaliter, adil, saling bermurah
hati, inklusif, dan saling
melayani satu sama lain sebab visi sosial semacam itulah yang
menunjukan Kedaulatan
Allah.78
Saya bersepakat dengan Leeks dan De Heer bahwa redaktur Matius
menunjukan
bahwa Allah memenangkan perang atas perlawanan kekuasaan dunia.
Akan tetapi posisi
74
Narasi Matius perlu dilihat dalam kerangka keseluruhan Kitab
bukan parsial pasal per pasal saja. Satu injil ini
membentuk suatu ide yang secara keseluruhan bertumpu pada
gagasan Kedaulatan Allah yang mana Allah
sebagai pusat kehidupan menghendaki kehidupan bersama yang tidak
didasarkan pada dominasi satu atas yang
lain (Bnd. Matius 417,18-22). Lih. Carter, Matthew & Empire,
51-53. 75
Carter, Matthew & Empire, 53. 76
De Heer, Tafsir Alkitab, 29. 77
Leeks, Tafsir Injil, 53. 78
Carter, Matthew & Empire, 52.
-
24
saya sama dengan Carter yaitu narasi ini tak semata-mata bicara
urusan religius79
tentang
keselamatan seperti umumnya dimaknai dalam soteriologi. Pelarian
ke Mesir dan
intervensi Allah atas rivalitas Herodes Agung dengan Yesus Sang
Mesias ialah sebuah
pengantar bagi keseluruhan kitab Matius tentang penolakan
terhadap imperialisme
Romawi dan dominasi pemuka agama Yahudi. Lebih jauh Mesias yang
lolos dari
pembantaian yang menunjukan kemenangan Allah atas kekuasaan
dunia ialah penegasan
redaktur Matius bahwa tak benar Millitary Messiah menjadi dasar
teologi sosial melawan
Romawi. Sedangkan praktek Pax Romana yang palsu karena
ketidakonsistenanya ialah
sebuah visi sosial omong kosong. Sebagai ganti keduanya maka
Mesias yang
terselamatkan ialah model pranata sosio-politik yang baru yang
menjadi alternatif visi
sosial dimana kesetaraan, kasih dan keterbukaan antar semua
manusia menjadi dasarnya.
Visi sosial dalam diri Mesias ala kelompok Matius ini ialah
sebuah pilihan berani
dan melawan arus utama. Dengan mengatakan kesetaraan maka
hirarki dalam
masyarakat Romawi harus diruntuhkan. Maka relasi patron-klien
yang berlaku umum
harus dihentikan. Melalu ide keterbukaan maka praktek
kepemilikan harta dan sumber-
sumber produksi yang secara curang dikuasai oleh the Rulling
Class juga harus
ditinggalkan. Model penyelenggaraan kekuasaan ala Aristokrasi
Sinagoge dan Romawi
yang sarat dominasi dan penindasan serta penyelenggaraan hukum
yang tak konsisten
tentu tak memadai dan tak sesuai dengan kasih yang Allah
harapkan nyata di antara
manusia. Lebih dari itu pilihan normatif ini juga tentu termasuk
visioner karena
melampaui jaman tetapi sekaligus menantang bagi diri kelompok
Matius sendiri (visi
sosial yang lama juga membawa kenikmatan bagi kelompok Matius
yang kaya).
4 Relevansi Narasi Rivalitas Herodes Agung dan Yesus Sang Mesias
bagi proses
Demokratisasi pasca Reformasi.
4.1 Indonesia dalam 16 tahun Reformasi
Pasca lengsernya Suharto secara paksa oleh gerakan mahasiswa 98’
muncul
angan-angan kuat akan fajar baru kehidupan bangsa Indonesia.
Akan tetapi kurun 16
tahun secara faktual tak banyak perubahan dicapai oleh bangsa
dan negara ini.80
Korupsi
kian menggurita, kisruh toleransi antar umat agama terus
terjadi, tak terungkapnya
79
Ada struktur kekuasaan politik yang menindas. Lih. Carter,
Matthew & Empire, 35. 80
Berdasarkan survey BPS, Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) pada
2013 mencapai angka 63,68 dari skala 0-
100 atau stuck di kategori 'sedang'. Dengan rincian, aspek
kebebasan sipil mencatat angka rata-rata nasional
79,00, naik 1,05 dibanding 2012. Aspek hak-hak politik tercatat
46,25 turun sedikit dibanding tahun 2012 46,33.
Aspek lembaga demokrasi 72,11 atau naik 2,83 poin dibanding
tahun 2012. Kenaikan yang lambat dan sedikit
semacam ini jauh dari kata idealu mengingat bukan baru kemarin
Demokrasi berlangsung. Lih. Republika, 4 Juli
2014.
-
25
pelanggaran HAM di masa lalu, ialah contoh-contoh lambanya
demokratisasi di
Indonesia.
Faktanya kondisi Indonesia 16 tahun belakangan kian kompleks
sehingga
menimbulkan kejenuhan. Akibatnya rakyat (demos) sebagai sendi
utama demokrasi
menjadi apatis terhadap demokratisasi negara di era pasca
Reformasi. Namun ada baiknya
menengok barang sebentar pandangan Claude Lefort agar geliat
pembaharuan hidup
berbangsa dan bernegara di era pasca reformasi ini tak hilang.
Claude Lefort mengatakan
bahwa dalam masyarakat demokratis locus kekuasan menjadi ruang
hampa sebab sosok
otokrat tak lagi memberi totalitas organis sehingga sesungguhnya
masyarakat demokratis
ialah masyarakat kompleks tanpa tubuh.81
Indonesia dewasa ini tengah bertumbuh
menjadi remaja pasca reformasi yang berada pada fase yang
disebut Lefort. Jika demikian
siapakah yang memberikan suatu totalitas organis bagi masyarakt
kompleks itu? Budi
Hardiman menjawab tegas itu adalah tugas demos (rakyat) yang
tidak sekedar menjadi
voters dalam demokrasi sehingga malah menghasilkan pemerintahan
yang Oligark.82
Celakanya proses demokratisasi yang berjalan selama 16 tahun
belakangan telah
tersandera oleh para oligark melalui dua skandal preferensi
politik, yaitu
fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama.83
Jeffrey Wintter dengan tegas
menuliskan bahwa Indonesia ialah contoh baik tentang bagaimana
demokrasi kriminal di
mana para oligark84
ikut teratur dalam PEMILU sambil menggunakan kekuataan
kekayaan-nya untuk mengalahkan sistem hukum melalui intimidasi
dan bujukan.85
Akibat
mengguritanya para oligark itu kehidupan demokrasi di Indonesia
hanya demi memenuhi
imperatif pasar sekaligus menjadi ajang pencapaian agenda pada
fundamentalis agama
untuk memaksakan satu ideologi yang mendasari kehidupan bersama
terwujud, yang
sialnya dua skandal itu kawin-mawin dibawah kekuataan modal para
oligark.
Tentu demokrasi pada dirinya te