KEDUDUKAN PENGADILAN PAJAK TERKAIT EKSISTENSINYA SEBAGAI LEMBAGA
YUDISIAL DI INDONESIA
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar BelakangPajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas
negara yang sangat potensial untuk pembiayaan penyelenggaraan
kegiatan pemerintahan, pertahanan dan pembangunan nasional dengan
tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu,
sektor pajak memegang peranan penting dalam perkembangan
kesejahteraan bangsa.Penting dan strategisnya peran sektor
perpajakan dalam penyelenggaraan pemerintah dapat dilihat pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Rancangan APBN
setiap tahun yang disampaikan pemerintah, yaitu terjadinya
peningkatan persentase sumbangan perolehan pajak bagi APBN dari
tahun ke tahun.[footnoteRef:2] [2: Wirawan B. Ilyas dan Richard
Burton, Hukum Pajak, (Jakarta: Salemba Empat, 2008), hal. 11.]
Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada
orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai
keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada
ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia,
secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 bahwa,
Segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan
undang-undang. Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan,
diperlukan asas-asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan
oleh negara untuk mengenakan pajak. Adam Smith (1723-1790) dalam
bukunya Wealth of Nations mengemukakan 4 (empat) asas pemungutan
pajak yang lazim dikenal dengan four canons taxation atau sering
disebut The Four Maxim dengan uraian sebagai
berikut:[footnoteRef:3] [3: C. Goedhart, Garis-garis Besar Ilmu
Keuangan Negara, Terjemahan : Ratmoko, Djembatan, 1973, hal 216.
Dalam H. Bohari, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2010), hal. 41-42. ]
1. Equality (asas persamaan)Asas ini menekankan bahwa pada warga
negara atau wajib pajak tiap negara seharusnya memberikan
sumbangannya kepada negara, sebanding dengan kemampuan mereka
masing-masing, yaitu sehubungan dengan keuntungan yang mereka
terima di bawah perlindugan negara. Yang dimaksud dengan keuntungan
di sini adalah besar kecilnya pendapatan yang diperoleh di bawah
perlindunga negara. Dalam asas equality ini tidak diperbolehkan
suatu negara mengadakan diskriminasi di antara wajib pajak.2.
Certainty (asas kepastian)Asas ini menekankan bahwa bagi wajib
pajak, harus jelas dan pasti tentang waktu, jumlah, dan cara
pembayaran pajak. Dalam asas ini kepastian hukum sangat
dipentingkan terutama mengenai subjek dan objek pajak.3.
Conveniency of Payment (asas menyenangkan)Pajak seharusnya dipungut
pada waktu dengan cara yang paling menyenangkan bagi wajib pajak,
misalnya : pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap para petani,
sebaiknya dipungut pada saat mereka memperoleh uang, yaitu pada
saat panen.4. Low Cost of Collection (asas efisiensi)Asas ini
menekankan bahwa biaya pemungutan pajak tidak boleh lebih dari
hasil pajak yang akan diterima. Pemungutan pajak disesuaikan dengan
kebutuhan Anggaran Belanja Negara.Walaupun pajak dipungut oleh
negara berdasarkan asas equality (asas keseimbangan dengan
kemampuan atau asas keadilan), pada kenyataannya sering kali masih
terjadi sengketa pajak. Terjadinya Sengketa Pajak atau Bea dan
Cukai diawali dengan adanya ketidaksamaan persepsi atau perbedaan
pendapat antara :[footnoteRef:4] [4: Atep Adya Barata, Memahami
Prosedur Beracara Di Pengadilan Pajak, (Jakarta: Sociadana,
LP3AB-IBTA 2002), hal. 5. ]
1. Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak (aparat Direktoral
Jenderal Pajak) atas penetapan Pajak terutang untuk Pajak-Pajak
Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak; atau2. Wajib
Pajak dengan Kepala Daerah/Kepala Dinas Pendapatan Daerah (aparat
Dinas Pendapatan Daerah) setempat (Propinsi/Kabupaten/Kota) atas
penetapan Pajak terutang untuk Pajak-Pajak daerah; atau 3. Orang
(perseorangan atau Badan Hukum)/Wajib Pajak dengan Direktur
Jenderal Bea dan Cukai (aparat Direktoral Jenderal Bea dan Cukai)
atas penetapan bea masuk, cukai, dan sanksi administrasinya, serta
Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor, Pajak Pertambahan Nilai Impor,
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Impor.
Prinsip pemungutan perpajakan yang dianut Indonesia adalah self
assessment, yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang, kepercayaan, tanggungjawab kepada wajib pajak untuk
menghitung, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang
harus dibayar. Prinsip ini memberikan kepercayaan penuh kepada
wajib pajak untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Pelaksanaan kewajiban perpajakan oleh wajib pajak dituangkan dalam
bentuk pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) di bidang pajak. Surat
Pemberitahuan Tahunan dibuat pada setiap akhir masa pajak atau
akhir tahun pajak, secara periodik. Atas dasar prinsip self
assessment tersebut petugas pajak mempunyai wewenang untuk meneliti
dan memeriksa kebenaran pemberitahuan yang disampaikan oleh wajib
pajak, seperti ditentukan dalam pasal 17 dan pasal 17A UU KUP.
Adapun hasil dari penelitian atau pemeriksaan yang bersifat
administratif, dapat diterbitkan Ketetapan/Keputusan dalam bentuk
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), dan Surat Tagihan Pajak
(STP).[footnoteRef:5] [5: Ibid., hal. 20-21. ]
Penerimaan negara dari sektor perpajakan merupakan salah satu
penerimaan negara yang perlu ditingkatkan dan dikelola secara bijak
dan adil, agar tercapai kemandirian pembiayaan bernegara dan
melepaskan diri dari keterikatan utang luar negeri. Akan tetapi,
pada kenyataannya upaya meningkatkan penerimaan negara dari sektor
perpajakan lebih mudah untuk dilaksanakan dibandingkan dengan upaya
meningkatkan keadilannya. Masyarakat selaku Wajib Pajak seringkali
merasakan bahwa peningkatan kewajiban perpajakan tidak memenuhi
asas keadilan, sehingga menimbulkan berbagai sengketa antara
pemerintah (instansi perpajakan) dengan pihak Wajib Pajak.
Perpajakan erat kaitannya dengan proses pembuatan keputusan, yang
mempunyai beberapa kemungkinan dan perkiraan/prediksi terhadap
konsekuensi-konsekuensi yang mempunyai banyak cabang. Hal ini
disebut sebagai evaluasi dan merupakan proses yang lebih kompleks.
Pembentukan suatu sistem peradilan pajak yang berkaitan dengan
sengketa/perselisihan (contentieus), akan didahului oleh penciptaan
sistem, paradigma atau proses desain sistem. Pada kenyataannya,
terdapat suatu perbedaan yang signifikan antara teori sistem dan
aplikasinya. Untuk menjembatani, diperlukan suatu pendekatan sistem
yang dapat digunakan sebagai alat dan teknik untuk mencapai tujuan
tersebut. Teori sistem berangkat dari pertanyaan-pertanyaan yang
berkaitan dengan struktur, proses, perilaku, interaksi, fungsi dan
lainnya dari institusi.[footnoteRef:6] [6: Luthan, Fred,
Organisational Behavior, McGrawiHill Inc. New York, 7th Edition,
1998, p. 464-498. Dalam Rukiah Komariah dan Ali Purwito, Pengadilan
Pajak (Proses Banding Sengketa Pajak, Pabean, dan Cukai), (Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006), hal.
9-10. ]
Namun, sebesar apapun usaha pemerintah untuk menyelaraskan beban
pajak yang harus dipikul oleh Wajib Pajak dengan keadilannya, tetap
saja terjadi sengketa di antara pemerintah (instansi perpajakan)
dengan Wajib Pajak. Untuk itu, diperlukan adanya suatu lembaga
penyelesaian perselisihan pajak di Indonesia.Saat ini, penyelesaian
permasalahan sengketa di bidang perpajakan telah memiliki sarana
dengan adanya Pengadilan Pajak. Sebelum Pengadilan Pajak berdiri,
media yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak
adalah Majelis Pertimbangan Pajak yang kemudian berkembang menjadi
Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Hadirnya Pengadilan Pajak
menimbulkan kerancuan mengingat obyek sengketa pajak adalah Surat
Ketetapan Pajak (SKP) yang masih merupakan lingkup obyek Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN). Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2002 tentang Pengadilan Pajak memang terkesan memunculkan dualisme
bahwa seolah-olah Pengadilan Pajak, yang hanya berkedudukan di
Jakarta, itu berada di luar kekuasaan kehakiman yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman baru
yang telah mencabut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman lama.Dalam pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009,
disebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi. Artinya, pengadilan pajak merupakan bagian
dari kekuasaan kehakiman dan berada di bawah Mahkamah Agung karena
menjalankan fungsi yudisial. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal
2 UU No. 14 Tahun 2002 yang menyebutkan bahwa Pengadilan Pajak
adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi
Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap
Sengketa Pajak.
Kemudian Pasal 21 UU No. 48 Tahun 2009 menegaskan bahwa :(1)
Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung. (2) Ketentuan mengenai organisasi, administrasi,
dan finansial badan peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang
sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan
masing-masing.Sedangkan dalam pasal 5 ayat (1) UU Nomor 14 tahun
2002 menjelaskan bahwa Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan
Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung. Selanjutnya ayat 2 menyebutkan
Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan
Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan. Dengan demikian,
Pengadilan Pajak memiliki dua Pembina yakni Mahkamah Agung dan
Departemen Keuangan. Artinya, terdapat perbedaan pengaturan
pembinaan antara norma yang dimaksud dalam UU No. 48 Tahun 2009
dengan UU No. 14 Tahun 2002. Penempatan pembinaan di dua lingkungan
institusi yang berbeda tersebut menimbulkan perdebatan secara
konseptual dan independensi pengadilan dipertanyakan. Hal ini juga
menimbulkan keraguan terhadap independensi hakim di lingkungan
pengadilan pajak. Sistem pembinaan yang mendua seperti itu kiranya
patut dicermati karena meskipun menurut sementara tidak mengurangi
kemandirian hakim dalam menjalankan fungsi peradilan, namun menurut
Yahya Harahap pendapat tersebut mengandung kekeliruan dan
ketidakbenaran dengan alasan:[footnoteRef:7] [7: M. Yahya Harahap,
Beberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 32. Dalam
bagian buku tersebut diajukan kritik mengenai sistem pembinaan yang
diatur dalam UU No. 14 Tahun 1970 yang mengandung dualism, seperti
juga yang terjadi dalam Pengadilan Pajak.]
1. Menempatkan badan peradilan di bawah eksekutif dalam hal ini
departemen meskipun yang ditempatkan di bawahnya hanya
organisatoris, administratif dan finansial, sistem seperti ini baik
langsung atau tidak langsung merupakan simbol pengakuan yurdis
bahwa badan peradilan berada di bawah departemen yang bersangkutan.
Lebih lanjut, simbol tersebut memberi aba-aba peringatan kepada
para hakim mengenai batas otonomi kebebasan mereka, bahwa dalam
menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan mereka berada di bawah
kontrol pihak departemen. Oleh karena itu, meskipun secara teoritis
yang dibina dan diawasi departemen hanya administratif, personal
dan finansial, namun daya pengaruh simbol yang terkandung di
dalamnya menimbulkan efek politik dan psikologis yang sangat luas
terhadap otonomi kemandirian kebebasan hakim, dan juga berdampak
luas terhadap nilai loyalitas para hakim itu sendiri, dalam bentuk
kebimbangan, apakah harus loyal kepada fungsi dan kewenangan
kekuasaan kehakiman atau mesti loyal kepada kebijaksanaan
departemen yang bersangkutan.2. Sistem dualisme yang ada sekarang
ini menimbulkan kesulitan dan hambatan terhadap upaya sumbangan
konsep dan program pengawasan dan pembinaan yang komprehensif dan
integratif.
B. Rumusan Masalah1. Bagaimanakah implikasi perbedaan pengaturan
pembinaan Pengadilan Pajak yang berada di lingkungan Mahkamah Agung
dan di lingkungan Kementerian Keuangan?2. Bagaimana independensi
Pengadilan Pajak dengan perbedaan pembinaan yang berada di
lingkungan Mahkamah Agung dan di lingkungan Kementerian
Keuangan?
C. Kerangka TeoriDalam menganalisa dualisme pembinaan di
pengadilan pajak ini, penulis hendak menggunakan teori pemisahan
kekuasaan (separation of powers) dengan check and balances dan the
principle of judicial independence. Hal ini untuk melihat letak
secara konseptual dari pengadilan pajak dan efek yang terjadi pada
organisasi dan kinerjanya.Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menentukan,
Negara Indonesia ialah negara hukum. Konsepsi negara hukum atau
rechtssaat, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam
dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun
ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa
Inggris untuk menyebut prinsip negara hukum adalah the rule of law,
not of man.[footnoteRef:8] [8: Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum
Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu
Populer, 2007), hal. 297. ]
Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebut dengan
istilah rechtsstaat itu mencakup empat elemen penting, yaitu
:[footnoteRef:9] [9: Ibid., hal. 304.]
1) Perlindungan hak asasi manusia;2) Pembagian kekuasaan;3)
Pemerintahan berdasarkan undang-undang;4) Peradilan tata usaha
negara.Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie, terdapat 13 pokok
negara hukum (rechtsstaat) yang berlaku di zaman modern sekarang,
sebagai pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu
negara modern sehingga dapat disebut sebagai negara hukum (the rule
of law, ataupun rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya, yaitu
:[footnoteRef:10] [10: Ibid., hal. 309-310.]
1) Supremasi hukum (supremacy of law);2) Persamaan dalam hukum
(equality before the law);3) Asas legalitas (due process of law);4)
Adanya pembatasan kekuasaan berdasarkan undang-undang dasar;5)
Berfungsinya organ-organ negara yang independen dan saling
mengendalikan;6) Prinsip peradilan bebas dan tidak memihak;7)
Tersedianya upaya peradilan Tata Usaha Negara;8) Tersedianya upaya
peradilan tata usaha negara (constitutional adjudication);9) Adanya
jaminan perlindungan hak asasi manusia;10) Bersifat demokratis
(democratic rule of law atau democratische rechsstaat) sehingga
pembentukan hukum yang bersifat demokratis dan partisipatoris dapat
terjamin;11) Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara
(welfare rechsstaat);12) Adanya pers yang bebas dan prinsip
pengelolaan kekuasaan negara yang transparan dan akuntabel dengan
efektifnya mekanisme kontrol sosial yang terbuka;13) Ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa.Dalam konsep bernegara yang berdasarkan hukum
(rechtsstaat), erat kaitannya dengan pembahasan mengenai prinsip
pemisahan negara (separation of power). Seperti yang ditulis dan
dikembangkan oleh Montesquieu yang dikenal dengan Teori Trias
Politica dalam buku The Spirit of the Laws yang merupakan
penyempurnaan dari ajaran John Locke dengan bukunya Lespirit de
droit atau kalau diterjemahkan menjadi jiwa
undang-undang.[footnoteRef:11] [11: Rukiah Komariah dan Ali
Purwito, Pengadilan Pajak (Proses Banding Sengketa Pajak, Pabean,
dan Cukai), (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2006) hal. 5.]
Untuk menghindari tindakan sewenang-wenang penguasa, kekuasaan
negara menurut Montesquieu dipisahkan dalam tiga kekuasaan, yaitu
:[footnoteRef:12] [12: Safri Nugraha, Hukum Administrasi Negara,
(Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2005), cet. I, hal. 23.]
1. Kekuasaan Legislatif, yaitu pembuat undang-undang (La
puissance leglistative);2. Kekuasaan Eksekutif, yaitu kekuasaan
untuk melaksanakan pemerintahan (La puissance executive);3.
Kekuasaan peradilan (La puissance de juge), kekuasaan
mempertahankan keadilan berdasarkan undang-undang. Dalam prinsip
ini terdapat pemisahan kekuasaan yang sangat ketat dan tegas yang
menyebabkan masing-masing pusat kekuasaan tersebut menjadi dominan
akan teritorial kekuasaannya. Sehingga muncul perkembangan terhadap
prinsip ini yang terjadi di Amerika Serikat yaitu, check and
balances. Menurut Charles O. Jones, sistem pemisahan kekuasaan
dengan prinsip checks and balances menggambarkan kenyataan yakni,
setiap kekuasaan saling mengontrol dan mengimbangi satu sama
lain.[footnoteRef:13] [13: Lihat Jimly Asshiddiqie, op.,cit,
hal.317.]
Jadi, prinsip pemisahan kekuasaan dengan checks and balances
dimaksudkan sebagai prinsip-prinsip yang dapat mencegah konsentrasi
kekuasaan di bawah satu tangan atau organ dan mencegah adanya
campur tangan antara badan/organ negara, sehingga masing-masing
dapat menjalankan tugas fungsinya sebagaimana yang diatur dalam
konstitusi negara yang bersangkutan.[footnoteRef:14] Setelah
perubahan pertama sampai dengan keempat, UUD 1945 telah resmi dan
tegas menganut prinsip pemisahan kekuasaan dengan checks and
balances. [14: Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review Di Mahkamah
Agung Republik Indonesia (Tiga Dekade Pengujian Peraturan
Perundang-undangan), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009),
hal. 72.]
Pemisahan kekuasaan juga terkait dengan independensi peradilan.
Prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) itu menghendaki
bahwa para hakim dapat bekerja secara independen dari pengaruh
kekuasaan eksekutif dan legislatif. Bahkan, dalam memahami dan
menafsirkan undang-undang dasar dan undang-undang, hakim harus
independen dari pendapat dan bahkan dari kehendak politik para
perumus undang-undang dasar dan undang-undang itu sendiri ketika
perumusan dilakukan. Meskipun anggota parlemen dan presiden yang
dipilih secara langsung oleh rakyat mencerminkan kedaulatan rakyat
dalam menentukan kebijakan kenegaraan, tetapi kata akhir dalam
memahaminya tetap berada di tangan para hakim.[footnoteRef:15] [15:
Jimly Asshiddiqie, op.,cit, hal. 523.]
Secara umum dapat dikemukakan ada dua prinsip yang biasa
dipandang sangat pokok dalam sistem peradilan (judicial system),
yaitu : (i) the principle of judicial independence, dan (ii) the
principle of judicial impartiality. Kedua prinsip ini diakui
sebagai prasyarat pokok sistem di semua negara yang disebut hukum
modern atau modern constitutional state.[footnoteRef:16] [16:
Ibid., hal. 530.]
Prinsip independensi itu sendiri antara lain harus diwujudkan
dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang
dihadapinya. Di samping itu, independensi juga tercermin dalam
berbagai pengaturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
pengangkatan, masa kerja, pengembangan karir, sistem penggajian,
dan pemberhentian para hakim.[footnoteRef:17] [17: Ibid.]
BAB IIPEMBAHASAN
A. Sejarah institusi Peradilan PajakSejarah institusi atau
lembaga yang berfungsi menyelesaikan sengketa perpajakan dimulai
dari Majelis Pertimbangan Pajak (selanjutnya disebut MPP), Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak (selanjutnya disebut BPSP) hingga ke
Pengadilan Pajak.Majelis Petimbangan Pajak (MPP) telah hadir sejak
adanya Staatsblad Nomor 707 tanggal 11 Desember 1915 tetapi masih
belum dapat dikatakan sebagai badan peradilan yang independen
karena berkedudukan langsung dibawah Gouverneur General di mana
ketuanya adalah Directeur van Financien (sama dengan Menteri
Keuangan). Demi terciptanya proses peradilan yang independen dalam
menyelesaikan sengketa perpajakan, maka pada tahun 1927 di
adakanlah perombakan dan penyempurnaan ordonansi sehingga lahirlah
Ordonnantietot Regeling van het Beroep in Belastingzaken, Stbld.
No. 29 Tahun 1927 dengan nama Raad van Beroep Voor Belastingzaken
atau biasa disebut Raad van Beroep. MPP adalah sebuah badan
peradilan administrasi bidang perpajakan, oleh karenanya
pengambilan sumpah oleh badan eksekutif dinilai tidak sesuai,
sehingga ordonansi mengenai pendirian MPP perlu diubah dengan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1959 (L.N No. 13 Tahun 1959) khususnya
pasal 4 di mana kata-kata Gouverneur der Provincie West Java
diganti dengan kata-kata Ketua Mahkamah Agung.[footnoteRef:18] [18:
Hadi Buana, Peradilan Pajak Sebagai Sistem Penyelesaian Sengketa
Pajak Di Indonesia, (Jakarta: IND HILL CO, 2012), hal. 122-123.
]
MPP diberikan wewenang untuk memeriksa dan memutus permohonan
banding atas keberatan yang diajukan oleh wajib pajak. Penyelesaian
sengketa pajak ini meliputi selain pajak-pajak negara (pemerintah
pusat), juga pajak-pajak daerah. Struktur organisasi MPP, telah
memenuhi sebagai suatu organisasi, yaitu dengan dibantu oleh
Sekretariat yang mengepalai kesekretariatan dan kegiatan
administrasi yuridis dan umum, seperti diatur dalam Keputusan
Presiden Nomor 20 Tahun 1986. Dengan adanya majelis tersebut,
banyak sengketa pajak yang telah dapat diselesaikan, sehingga
kebenaran, keadilan dan pengakan hukum di bidan perpajakan mulai
dirasakan oleh masyarakat, khususnya para pelaku
bisnis.[footnoteRef:19] [19: Rukiah Komariah dan Ali Purwito,
op.,cit, hal. 38.]
Untuk memberikan warna yang lebih jelas bagi institusi
penyelesaian sengketa pajak, melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun
1997, dibentuk suatu badan semacam peradilan yakni Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Badan ini mempunyai kewenangan
yang lebih luas dan dimaksudkan menggantikan kedudukan Majelis
Pertimbangan Pajak yakni selain memeriksa dan memutus masalah
sengketa pajak, juga pabean dan cukai. Meskipun bukan berbentuk
pengadilan, tetapi forum pemeriksaan dan pemutus sengketa, terdiri
atas Ketua dan anggota (berjumlah tiga orang), bertindak sebagai
hakim. Putusannya berbentuk putusan Ketua Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak atau BPSP. Dengan adanya perluasan peradilan
termaksud. Anggota-anggota BPSP selain berasal dari pajak, para
ahli perpajakan (konsultan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat),
pengusaha, juga ahli-ahli di bidang kepabeanan dan cukai. Hal ini
dilakukan sehubungan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan Undang-Undang Nomor 11 tentang
Cukai. Bidang sengketa di bidang pabean dan cukai selama ini
diselesaikan melalui dan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Keputusannya bersifat final dan segera dapat dilaksanakan.
Sedangkan upaya hukum ke tingka yang lebih tinggi, tidak
dimungkinkan, sehingga dirasakan bahwa kekuasaan birokrasi terlalu
luas dan orang yang melakukan kegiatan kepabeanan tidak mempunyai
hak untuk membela diri. Guna mendukung dan mengantisipasi timbulnya
sengketa di bidang ini, unsur kepabeanan dan cukai mulai dimasukkan
dalam peradilan pajak. Tentang kedudukan BPSP saat itu, ada yang
mengusulkan untuk disubordinasikan kepada Mahkamah Agung,
disebabkan BPSP sebagai lembaga peradilan, belum berpuncak kepada
Mahkamah Agung. Atas usulan ini, muncul pemikiran untuk memisahkan
antara putusan-putusan yang bersifat umum dan yang bersifat khusus
atau teknis tertentu. Masalah sengketa pajak yang mempunyai corak,
sifat, dan karakteristik sendiri dapat diserahkan kepada suatu
peradilan khusus. Sedangkan sengketa atas keputusan dalam lingkup
administrasi negara yang lain tetap diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan Tata Usaha Negara. Setelah melalui perbincangan dan
perdebatan yang sangat ketat baik di masyarakat, antara para pakar
maupun para wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat, akhirnya pada
tahun 2002 Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak dimuat dalam
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189 Tahun
2002.[footnoteRef:20] [20: Ibid., hal. 38-41.]
B. Pemikiran pembentukan Pengadilan PajakAdanya kebebasan bagi
wajib pajak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya dan Peradilan
Pajak merupakan suatu sarana atas kemungkinan penyelesaian sengketa
pajak yang adil berdasarkan kebenaran dengan prosedur yang cepat,
murah, dan sederhana.[footnoteRef:21] [21: Ibid., hal. 16.]
Pendekatan sistim dari perundang-undangan yang ada, seperti
sistim kenegaraan, administrasi negara (termasuk tata usaha
negara), Mahkamah Agung, serta kekuasaan kehakiman dan lainnya,
akan merupakan dasar filosofis dari sistim manajemen Pengadilan
Pajak Nasional, yang diharapkan akan dapat mengelola dengan baik
masalah-masalah yang ada dan pada akhirnya menghasilkan
solusi-solusi yang diperlukan.[footnoteRef:22] [22: Rukiah Komariah
dan Ali Purwito, op.,cit, hal. 12-13. ]
Idealnya sebuah Pengadilan Pajak memiliki visi penegak keadilan
berdasarkan Undang-undang. Karenanya ia sewajarnya mempunyai misi
menyelamatkan pungutan pajak yang diperintahkan Undang-undang dan
sebaliknya membersihkan kas negara pajak dari pungutan yang tidak
diperintahkan atau berdasarkan Undang-undang, singkatnya Pengadilan
Pajak itu sewajarnya memiliki misi to save the only legal tax
artinya hanya menyematkan pemungutan atau penerimaan pajak
sebagaimana yang diatur dengan Undang-undang dengan perkataan lain
tidak menolelir ada perampokan oleh Negara (robbery by the
state).Kekhususan dan karakteristik tersendiri dari pajak,
menyebabkan pemerintah berusaha memisahkan antara Kekuasaan
Peradilan Tata Usaha Negara dengan Peradilan khusus perpajakan yang
berfungsi untuk menjembatani hubungan antara publik (kebanyakan
dari dunia usaha) dan aparat perpajakan. Badan ini akan merupakan
tempat dimana para wajib pajak dapat memperoleh hak-haknya kembali
dan mendapatkan kebenaran dan keadilan. Sebagai realisasi dari
wacana tersebut, dibentuk suatu peradilan yang bertujuan untuk
menyelesaikan sengketa pajak yang terjadi dalam masyarakat dalam
lingkup pengadilan tata usaha negara.[footnoteRef:23] [23: Ibid.,
hal. 7. ]
Pola dasar pemikiran atas pembentukan Pengadilan pajak disusun
berlandaskan :[footnoteRef:24] [24: Ibid., hal. 24.]
a. Karakterisitik perpajakan, perpajakan mempunyai ciri dan
corak tersendiri dan berbeda dengan kasus-kasus dalam pengadilan
lainnya. Penekanan dalam pengadilan pajak adalah pada kepatuhan dan
keadilan bagi wajib pajak dalam mempertahankan apa yang menjadi
hak-haknya;b. Pandangan mikro, permasalahan pajak merupakan suatu
hal yang sifatnya mikro dan khusus/tertentu serta mempunyai bidang
tersendiri dalam suatu lingkup yang lebih besar (makro), yaitu
keuangan negara;c. Interdependensi, artinya terjadi keterkaitan dan
ketergantungan, yaitu antara pemungutan pajak yang merupakan
perwujudan pengabdian masyarakat dan tidak terlepas dari peran
serta wajib pajak di satu pihak. Di lain pihak, tanpa adanya wajib
pajak dan peran serta mereka untuk membayar pajak, pemungutan pajak
tidak akan terlaksana. Sifat interdependensi ini diwujudkan di
dalam sistem pengadilan pajak nasional yang bersifat pengabdian dan
pengawasan atas pelaksanaan keputusan yang diambil oleh
birokrat/eksekutif, dan berdasarkan keadilan dan kebenaran.
Dengan dibentuknya Pengadilan Pajak telah terjadi perubahan
mendasar dalam penyelesaian Sengketa Pajak dan merupakan babak baru
hukum positif di Indonesia yang melandasi keberadaan lembaga/badan
Peradilan Pajak di Indonesia. Babak baru tersebut bukan semata-mata
penggantian istilah lembaga Peradilan Pajak menjadi Pengadilan
Pajak, namun hal yang mendasar yaitu menyangkut acara
penyelenggaraan persidangan sengketa perpajakan yang merupakan
kekhususan dari Pengadilan Pajak, yaitu :1. Penyelesaian sengketa
perpajakan memerlukan tenaga-tenaga Hakim khusus yang mempunyai
keahlian di bidang perpajakan dan berijazah Sarjana Hukum atau
sarjana lain; 2. Sengketa yang diproses dalam Pengadilan Pajak
khusus menyangkut sengketa perpajakan; 3. Putusan Pengadilan Pajak
memuat penetapan besarnya Pajak Terutang dari Wajib Pajak, berupa
hitungan secara teknis perpajakan, sehingga Wajib Pajak langsung
memperoleh kepastian hukum tentang besarnya Pajak Terutang yang
dikenakan kepadanya. Sebagai akibatnya jenis putusan Pengadilan
Pajak, di samping jenis-jenis putusan yang umum diterapkan pada
peradilan umum, juga berupa mengabulkan sebagian, mengabulkan
seluruhnya, atau menambah jumlah pajak yang masih harus dibayar. Di
samping itu, terdapat beberapa faktor lain yang merupakan
kekhususan dari Pengadilan Pajak, antara lain sebagai berikut :1.
Pengadilan Pajak berkedudukan di Ibukota Negara; 2. Pembinaan
teknis peradilan dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedang pembinaan
organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Departemen
Keuangan; 3. Proses penyelesaian Sengketa Pajak melalui Pengadilan
Pajak dalam acara pemeriksaannya hanya mewajibkan kehadiran
Terbanding atau Tergugat, sedangkan Pemohon Banding atau Penggugat
dapat menghadiri persidangan atas kehendaknya sendiri, kecuali
apabila dipanggil oleh Hakim atas dasar alasan yang cukup jelas;4.
Proses seleksi penerimaan Hakim dilaksanakan oleh Departemen
Keuangan dengan melibatkan Mahkamah Agung; 5. Pengadilan Pajak
selain menjadi bagian integral dari kekuasaan kehakiman juga
merupakan bagian integral dari proses penerimaan negara yang
bermuara di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); 6.
Pengadilan Pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir
dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak; 7. Putusan Pengadilan
Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum
tetap.Pembentukan Pengadilan Pajak tunduk kepada Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002, dengan pertimbangan, antara lain disebutkan
bahwa :[footnoteRef:25] [25: Ibid., hal. 41-42.]
Peningkatan jumlah wajib pajak diimbangi dengan pemahaman para
wajib pajak akan hak dan kewajibannya dalam melaksanakan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Kesadaran dan pemahaman ini
menyebabkan tidak dapat dihindarkan timbulnya sengketa pajak.
Sebaliknya aparat fiskus yang semakin sadar akan pelaksanaan
pemerintahan yang baik dan bersih, teliti dan hati-hati (good
governance) dalam menjalankan tugasnya. Sengketa pajak memerlukan
suatu penyelesaian yang adil dengan prosedur dan proses yang cepat,
murah dan sederhana, oleh karena itu memerlukan wadah untuk
memfasilitasi sengketa yang terjadi. BPSP, meskipun sudah
komprehensif dan mempunyai cakupan lebih luas, tetapi belum
menunjukkan sebagai suatu badan peradilan yang dapat memeriksa dan
memutus sengketa yang mempunyai kekuatan hukum tetap.Mengingat
hal-hal di atas, dipandang perlu untuk membentuk suatu pengadilan
pajak yang selaras dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia
dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam
penyelesaian sengketa pajak. Sebagai negara berdasarkan atas hukum,
prinsip penting yang harus dilaksanakan secara murni dan konsekuen
ialah penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka.
Dibutuhkan suatu pengadilan yang sesuai dengan sistem kekuasaan
kehakiman Indonesia.Maka pada tahun 2002 lahirlah Undang-Undang 14
Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Undang-undang ini lah yang
menjadi dasar dari penyelesaian sengketa pajak melalui mekanisme
pengadilan. Pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak dimuat pengertian mengenai Pengadilan Pajak,
yaitu:Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang
mencari keadilan terhadap sengketa Pajak.Dalam pengertian di atas
terdapat unsur-unsur sebagai berikut :(1) Pengadilan Pajak adalah
suatu badan peradilan khusus, di mana kekhususan ini ditunjukkan
dengan bidang yang menjadi kewenangan untuk meemriksa dan
memutuskan, yakni mengenai sengketa perpajakan saja;(2)
Melaksanakan kekuasaan kehakiman, berarti setaraf dengan badan
peradilan lainnya yang telah ditentukan, sesuai dengan peraturan
perundang-unangan yang ada;(3) Pengadilan yang mempunyai
kekhususan, di bidang fiskal, karena mempunyai corak, sifat dan
karakteristik tersendiri. Meskipun demikian Pengadilan Pajak masih
dalam lingkup Pengadilan Tata Usaha Negara. C. Implikasi perbedaan
pengaturan pembinaan Pengadilan Pajak yang berada di lingkungan
Mahkamah Agung dan di lingkungan Kementerian Keuangan
Seiring adanya perubahan dalam ketatanegaraan yaitu
diamandemennya UUD 1945, tepatnya sejak amandemen pertama, UUD 1945
telah secara resmi dan tegas menganut prinsip pemisahan kekuasaan,
sehingga tidak ada lagi lembaga negara yang superior, tetapi justru
semua lembaga negara kedudukannya sederajat dan dibedakan pada
fungsi dan tugas sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Prinsip
pemisahan kekuasaan dimaksudkan untuk mencegah jangan sampai suatu
kekuasaan yang dijalankan memiliki kekuasaan yang melebihi badan
(organ) lainnya, tetapi harus seimbang dan saling mengawasi, jadi
dapat dibuat kerjasama antar lembaga kekuasaan negara, misalnya
antara parlemen dengan pemerintah (Presiden) dalam pembuatan suatu
undang-undang.Berdasarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak, pembinaan teknisnya berada di bawah Mahkamah
Agung sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangannya
menjadi tanggung jawab Kementerian Keuangan.Pasal 5 ayat (1) UU
Nomor 14 tahun 2002 menjelaskan bahwa Pembinaan teknis peradilan
bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung. Selanjutnya
ayat 2 menyebutkan Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan
bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan.
Kementrian KeuanganMahkamah Agung
Pengadilan Pajak
Perbedaan penempatan pembinaan ke dalam kedua institusi
sebagaimana disebutkan di atas, hendaknya perlu ditinjau dari
beberapan peraturan yang berkaitan dengan hal tersebut, beberapa
peraturan tersebut antara lain, UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, UU tentang Mahkamah Agung.Kemudian dalam pasal
21 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan
bahwa : (1) Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung. (2) Ketentuan mengenai organisasi,
administrasi, dan finansial badan peradilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam
undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan
masing-masing.Pasal 32 UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
disebutkan bahwa :(1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi
terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. (2)
Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah
Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas
administrasi dan keuangan. (3) Mahkamah Agung berwenang untuk
meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis
peradilan dari semua badan peradilan yang berada di bawahnya. (4)
Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan
kepada pengadilan di semua badan peradilan yang berada di
bawahnya.Dari beberapa peraturan di atas jelas terlihat terdapat
perbedaan pengaturan antara pasal 21 UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Pasal 32 UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah
Agung dengan UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Bahwa
UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung menyebutkan
organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung sedangkan UU Pengadilan Pajak menyebutkan berbeda
bahwa pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi
Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan (sekarang
disebut kementerian keuangan). Perbedaan pengaturan oleh kedua
peraturan di atas menunjukkan adanya ketidakselarasan untuk
pengaturan hal yang sama, dengan kata lain memunculkan suatu
konflik norma.[footnoteRef:26] Baik UU Kekuasan Kehakiman dan UU
Mahkamah Agung (perubahan II) merupakan hasil produk undang-undang
terbaru yang menggantikan undang-undang yang lama atau dibandingkan
dengan UU Pengadilan pajak yang belum direvisi kedua undang-undang
tersebut muncul belakangan. Kondisi inilah menurut penulis yang
memungkinkan adanya perbedaan pengaturan atau perbedaan makna yang
terdapat dalam kedua peraturan yang berbeda namun mengatur hal yang
sama. Baik UU Kekuasan Kehakiman, UU Mahkamah Agung, maupun UU
Pengadilan Pajak berdasarkan hirarki peraturan perundang-undangan
berada dalam strata yang sama atau setara kedudukannya, namun bila
dilihat dari karakteristik dari undang-undang ini menunjukkan
perbedaan yang jelas, bahwa UU Kekuasaan Kehakiman secara muatan
dan tujuan pengaturannya menjadi lebih tinggi dari UU Pengadilan
Pajak karena pengadilan pajak merupakan bagian dari penyelenggara
kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, dari kontruksi di atas
menunjukkan telah terjadi konflik norma yaitu, antara norma umum
dengan norma khusus. [26: Undang-undang merupakan produk lembaga
legislatif sebagai hasil dari kegiatan kristalisasi, formalisasi,
atau legislasi dari kehendak-kehendak politik yang saling
bersaingan baik melalui kompromi politik maupun melalui dominasi
oleh kekuatan politik mayoritas (Lihat dalam Mahfud MD, Politik
Hukum Di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, Ed. Revisi, Cet. III.
2010), hal. 5) Oleh kenyataan itu, menyebabkan tujuan hukum
tereduksi oleh kepentingan elit politik semata, sehingga
memunculkan norma yang saling bertentangan, tidak sesuai, tidak
selaras satu sama lain.]
Pada prinsipnya seluruh peraturan mulai dari peraturan yang
paling tinggi sampai peraturan yang terendah, antar peraturan yang
setara atau sederajat sekalipun merupakan satu kesatuan integral
yang saling mengisi dan tidak boleh bertentangan satu sama lain
atau bersifat hirarki komplementer.Terkait bahwa pengadilan pajak
merupakan penyelenggara kekuasaan kehakiman, perlu melihatnya juga
dari berbagai peraturan yang ada, yaitu :Pasal 24 ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 amandemen IV, yang berbunyi : Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan
Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan
Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.Pasal 18 UU
No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Kemudian dalam Pasal 25 ayat (1) nya, bahwa Badan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan
peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.Pasal 1 angka 8
nya juga menyebutkan bahwa Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang
mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara
tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan
badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur
dalam undang-undang.Selanjutnya dalam Pasal 27 nya disebutkan bahwa
:(1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25. (2) Ketentuan mengenai
pembentukan pengadilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam undang-undang. Dalam penjelasan ayat (1) Pasal ini
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan khusus antara lain
adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi
manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan
industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan
peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan
peradilan tata usaha negara.Pasal 1 UU No. 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung menyebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak menyatakan, bahwa : Pengadilan Pajak
adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi
Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap
Sengketa Pajak. Selain itu, Pasal 9A Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menyebutkan Di lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur
dengan undang-undang. Dalam penjelasannya dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan pengkhususan adalah diferensiasi atau spesialisasi
di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, misalnya Pengadilan
Pajak. Kemudian dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
menyatakan bahwa Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan
pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan
demikian sangat jelas bahwa ketiga undang-undang itu memasukan
Pengadilan Pajak dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.Dari
beberapa peraturan di atas jelas terlihat bahwa pengadilan pajak
merupakan bagian dari penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, juga
berada di bawah lingkungan Mahkamah Agung karena salah satu badan
peradilan yang berada di bawah lingkungan Mahkamah Agung adalah
Peradilan Tata Usaha Negara. Penempatan pembinaan pengadilan pajak
ke dalam dua institusi ditinjau pula dari sudut pandang prinsip
pemisahan kekuasaan (separation of power). Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya bahwa prinsip ini mencegah konsentrasi
kekuasaan di bawah satu tangan atau organ dan mencegah adanya
campur tangan antara badan/organ negara, sehingga masing-masing
dapat menjalankan tugas fungsinya sebagaimana yang diatur dalam
konstitusi negara yang bersangkutan. Pemisahan kekuasaan ini dibagi
ke dalam tiga, yaitu: kekuasaan eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Mahkamah Agung merupakan lembaga yudikatif sedangkan
kementrian keuangan merupakan lembaga eksekutif. Dilihat dari
fungsinya, UU Pengadilan Pajak merupakan penyelenggara kekuasaan
kehakiman. Kekuasaan kehakiman merupakan ranah atau wilayah
kekuasaan yudikatif. Artinya, secara konseptual pembinaan yang
ditempatkan di satu sisi di Mahkamah Agung sebagai lembaga
yudikatif dan di sisi lain pembinaan ditempatkan di Kementerian
Keuangan sebagai lembaga eksekutif tidak konsisten atau menciptakan
kontradiksi. Seharusnya berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan
terdapat pemisahan yang tegas antara lembaga yudikatif dan
eksekutif, dengan kata lain untuk seluruh pembinaan di pengadilan
pajak menjadi satu atap atau dilaksanakan oleh satu intitusi saja
dalam hal ini Mahkamah Agung. Indonesia sebagai negara hukum atau
rechsstaat, terdapat pemisahan kekuasaan yang tegas dan menjalankan
hukum secara konsekuen. Namun, dengan adanya pengaturan yang
berbeda atas penempatan pembinaan pengadilan pajak ke dalam dua
institusi perspektif tertentu, hal ini dapat dianggap
inkonstitusional sehingga membuka peluang untuk melakukan judicial
review[footnoteRef:27] di Mahkamah Konstitusi dan jika dinyatakan
bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi dalam hal ini
Undang-Undangan Dasar 1945 akan menghasilkan konsekuensi yuridis
timbulnya ketidakpastian hukum yang tentu saja merugikan masyarakat
banyak serta legalitas Pengadilan Pajak kemudian akan dipertanyakan
keabsahannya. Dampak selanjutnya adalah sengketa pajak menjadi
terbengkalai. [27: Mekanisme Judicial Review yang dikenal atau
berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia adalah : (1) Pengujian
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Agung (Pasal 20 ayat (2) UU
No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman, Pasal 31 UU No. 5
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung), (2) Pengujian undang-undang terhadap
undang-undang dasar 1945 (konstitusi) dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi (Pasal 29 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi). ]
D. Independensi Pengadilan Pajak dengan perbedaan pembinaan yang
berada di lingkungan Mahkamah Agung dan di lingkungan Kementerian
Keuangan
Sebagai sebuah lembaga peradilan, yang tujuannya adalah
menegakkan keadilan berdasarkan rule of law, sehingga perlu adanya
kemandirian dan ketidakberpihakan dalam memutus suatu perkara.
Namun, Pengadilan Pajak struktur dan kedudukannya dinilai tidak
independen.Kekuasaan kehakiman dan peradilan dalam pandangan Moh.
Mahfud M.D adalah Kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili serta
memberikan putusan atas perkara-perkara yang diserahkan kepadanya
untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan perundang-undangan.
Badan ini harus dapat bekerja dengan baik dalam tugas-tugasnya,
sehingga dihasilkan putusan-putusan yang objektif dan tidak memihak
dengan senantiasa menjunjung tinggi hukum dan keadilan. Oleh karena
itu, badan ini harus bebas dari pengaruh kekuasaan lain atau
kekuasaan pemerintah.[footnoteRef:28] [28: Iriyanto A. Baso Ence,
Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi,
Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi, ( Bandung: P.T.
Alumni, 2008), hal. 120.]
Pengadilan pajak sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman
seharusnya kaidah-kaidahnya menyesuaikan dengan UU Kekuasaan
Kehakiman.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan
ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum
adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang
merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Hal
ini termuat dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
amandemen IV, yang berbunyi : Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Berdasarkan Pasal 1 UU No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa Kekuasaan
Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.Lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman merupakan sebagai upaya untuk memperkuat
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan mewujudkan sistem peradilan
terpadu (integrated justice system).[footnoteRef:29] Yang
dimaksudkan disini juga terkait segala urusan mengenai peradilan
baik yang menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi,
administrasi, dan finansial berada di bawah satu atap yaitu
Mahkamah Agung. [29: Ketentuan Umum Penjelasan Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, LN Tahun 2009 Nomor 157,
TLN 5076.]
Prof. Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman
yang merdeka harus dipahami sebagai terbebas dari pengaruh
kekuasaan lain yakni, eksekutif dan legislatif, untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Hal
ini sebagai perwujudan dari prinsip pemisahan kekuasaan yang dianut
oleh negara hukum.[footnoteRef:30] [30: Lihat Jimly Asshddiqie
op.,cit, hal. 512.]
Pengadilan Pajak dua atap berimplikasi pada kinerja Pengadilan
Pajak itu sendiri dan menimbulkan beberapa permasalahan terkait
rekrutmen hakim, pengawasan dan pembinaan hakim dan sumber daya
pendukungnya, serta pengejawantahan prinsip transparansi dan
keterbukaan informasi publik. Dengan demikian, Pengadilan Pajak
seharusnya diperbaharui untuk menjadi institusi satu atap dan
mutlak sebagai lembaga peradilan yang independen, dimana pembinaan
teknis peradilan sekaligus organisasi, administrasi, dan keuangan
menjadi tanggung jawab Mahkamah Agung. Konstruksi Pengadilan Pajak
sebagai satu atap merujuk pada sebuah perancangan tersendiri
Pengadilan Pajak di bawah lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
sebagai pengadilan khusus.Peran pengawasan yang tumpang tindih
antara Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial,
berpotensi menimbulkan penolakan pengawasan pada setiap instansi
yang akan mengawasi atas dasar kewenangan instansi pengawasan.
Dengan beradanya pembinaan di satu sisi di Mahkamah Agung (sebagai
lembaga yudikatif) dan di sisi lain di Kementerian Keuangan
(sebagai lembaga eksekutif) akan mempengaruhi independen pengadilan
pajak karena di wilayah tersebut menimbulkan kotradiksi yakni,
Kementerian Keuangan yang menjalankan fungsi eksekutif dan ketika
terjadi sengketa pajak menjalankan fungsi yudikatif. Padahal kedua
lembaga tersebut seharusnya terpisah untuk menjalankan fungsi
saling mengontrol atau mengawasi. Dalam keadaan yang demikian
memunculkan kondisi untuk mengawasi institusi sendiri.Bahwa
terhadap seluruh pembinaan baik teknis maupun organisasi,
administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Mahkamah Agung. maka
Pengadilan Pajak sebagai badan yang menjalankan kewenangan
peradilan di bidang perpajakan harus disesuaikan dengan konstruksi
yuridis yang mengharuskan Pengadilan Pajak berada di bawah Mahkamah
Agung, baik dari segi pembinaan teknis yudisial maupun pembinaan
organisasi, administrasi dan keuangan. Hal ini juga selaras dengan
UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
BAB IIIPENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pada prinsipnya seluruh peraturan mulai dari peraturan yang
paling tinggi sampai peraturan yang terendah, antar peraturan yang
setara atau sederajat sekalipun merupakan satu kesatuan integral
yang saling mengisi dan tidak boleh bertentangan satu sama lain
atau bersifat hirarki komplementer. Perbedaan pengaturan antara
pasal 21 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 32
UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung yang menyebutkan bahwa
organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung dengan UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
yang menyebutkan berbeda bahwa pembinaan organisasi, administrasi,
dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Kementerian
Keuangan menunjukkan adanya ketidakselarasan untuk pengaturan hal
yang sama, dengan kata lain memunculkan suatu konflik norma.Dilihat
dari fungsinya, UU Pengadilan Pajak merupakan penyelenggara
kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman merupakan ranah atau
wilayah kekuasaan yudikatif. Artinya, secara konseptual pembinaan
yang ditempatkan di satu sisi di Mahkamah Agung sebagai lembaga
yudikatif dan di sisi lain pembinaan ditempatkan di Kementerian
Keuangan sebagai lembaga eksekutif tidak konsisten atau menciptakan
kontradiksi. Seharusnya berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan
terdapat pemisahan yang tegas antara lembaga yudikatif dan
eksekutif, dengan kata lain untuk seluruh pembinaan di pengadilan
pajak menjadi satu atap atau dilaksanakan oleh satu intitusi saja
dalam hal ini Mahkamah Agung.
2. Pengadilan Pajak struktur dan kedudukannya dinilai tidak
independen. Pengadilan Pajak dua atap berimplikasi pada kinerja
Pengadilan Pajak itu sendiri dan menimbulkan beberapa permasalahan
terkait rekrutmen hakim, pengawasan dan pembinaan hakim dan sumber
daya pendukungnya, serta pengejawantahan prinsip transparansi dan
keterbukaan informasi publik. Dengan demikian, Pengadilan Pajak
seharusnya diperbaharui untuk menjadi institusi satu atap dan
mutlak sebagai lembaga peradilan yang independen, dimana pembinaan
teknis peradilan sekaligus organisasi, administrasi, dan keuangan
menjadi tanggung jawab Mahkamah Agung.
B. SaranDalam menghindari konfilk norma dan mewujudkan prinsip
pemisahan kekuasaan dengan check and balance serta prinsip
independensi tersebut sudah seharusnya perlu diadakan revisi
terhadap UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan pajak guna
kepentingan keadilan dan kepastian hukum.
Daftar Pustaka
A. BukuAtep Adya Barata. Memahami Prosedur Beracara Di
Pengadilan Pajak. Jakarta: Sociadana, LP3AB-IBTA 2002. H. Bohari.
Pengantar Hukum Pajak. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010.Hadi
Buana. Peradilan Pajak Sebagai Sistem Penyelesaian Sengketa Pajak
Di Indonesia. Jakarta: IND HILL CO, 2012. Iriyanto A. Baso Ence.
Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi,
Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi. Bandung: P.T.
Alumni, 2008.Jimly Asshiddiqie. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara
Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2007.
M. Yahya Harahap. Beberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan dan
Penyelesaian Sengketa. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997.
Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers, Ed.
Revisi, Cet. III. 2010. Rukiah Komariah dan Ali Purwito. Pengadilan
Pajak (Proses Banding Sengketa Pajak, Pabean, dan Cukai). Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006.Safri
Nugraha. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.Wirawan B. Ilyas dan
Richard Burton. Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat, 2008.Zainal
Arifin Hoesein. Judicial Review Di Mahkamah Agung Republik
Indonesia (Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan).
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009.
B. Peraturan Perundang-UndanganUndang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, LN Tahun 2009 Nomor 157, TLN
5076.Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, LN
Tahun 1985 Nomor 73, TLN No. 3316.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung, LN Tahun 2004 Nomor 9, TLN Nomor 4359Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, LN Tahun 2009 Nomor 3, TLN
Nomor 4958.Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak, LN Tahun 2002 Nomor 27, TLN Nomor 4189.Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, LN Tahun 2003 Nomor 98,
TLN Nomor 4316.
11