1 Kajian Kritis Kedudukan Ketetapan MPR dan Gagasan Arah Materi Muatannya Di Masa Mendatang 1 Ali Rido 2 A. Pendahuluan Salah satu hasil perubahan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) adalah reformasi struktur ketatanegaaran di negara Indonesia yang menjadikan setaranya lembaga negara yang ada di dalam konstitusi, seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Maejleis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Khusus untuk MPR yang tidak lagi diposisikan sebagai lembaga tertinggi negara, telah berdampak pada aktivitas kelembagaannya dalam mengeluarkan produk hukum. Mengingat MPR tidak lagi diposisikan sebagai Lembaga Tertinggi Negara dan berubah menjadi Lembaga Tinggi Negara, dan juga tidak memiliki wewenang untuk membuat ketetapan (Tap) sebagai sumber hukum, maka timbul permasalahan dimana letak TAP MPR yang nyata-nyata masih berlaku di dalam susunan hirarki peraturan perundang-undangan Indonesia?. Sebagai respon atas hal tersebut, pada tahun 2003 MPR kemudian mengeluarkan TAP MPR RI Nomor 1/MPR/ 2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPR Sementara dan Ketetapan MPR Republik Indonesia tahun 1960 sampai dengan tahun 2002. 3 Salah satu kategori dari tinjauan tersebut, adalah masih terdapat TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang, yang mana di dalamnya memasukan Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber 1 Tulisan ini dipersiapkan untuk buku kompilasi (bunga rampai) “Konstitusi dan Tata Negara Indonesia” yang akan diterbitkan oleh Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. 2 Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi Universitas Islam Indonesia (PSHK UII) dan mahasiswa Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. 3 Munculnya TAP MPR No. 1 tahun 2003 ini merupakan pelaksanaan dari amanat Pasal 1 Aturan Tambahan UUD 1945 yang berbunyi: “Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara/Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003”. Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi ”Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi ”Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
Kajian Kritis Kedudukan Ketetapan MPR dan Gagasan Arah Materi
Muatannya Di Masa Mendatang1
Ali Rido2
A. Pendahuluan
Salah satu hasil perubahan Undang-undang Dasar 1945 (UUD
1945) adalah reformasi struktur ketatanegaaran di negara Indonesia
yang menjadikan setaranya lembaga negara yang ada di dalam
konstitusi, seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Maejleis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Khusus untuk MPR yang tidak lagi
diposisikan sebagai lembaga tertinggi negara, telah berdampak pada
aktivitas kelembagaannya dalam mengeluarkan produk hukum.
Mengingat MPR tidak lagi diposisikan sebagai Lembaga Tertinggi
Negara dan berubah menjadi Lembaga Tinggi Negara, dan juga tidak
memiliki wewenang untuk membuat ketetapan (Tap) sebagai sumber
hukum, maka timbul permasalahan dimana letak TAP MPR yang
nyata-nyata masih berlaku di dalam susunan hirarki peraturan
perundang-undangan Indonesia?.
Sebagai respon atas hal tersebut, pada tahun 2003 MPR
kemudian mengeluarkan TAP MPR RI Nomor 1/MPR/ 2003 tentang
Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPR
Sementara dan Ketetapan MPR Republik Indonesia tahun 1960 sampai
dengan tahun 2002.3 Salah satu kategori dari tinjauan tersebut,
adalah masih terdapat TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap
berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang, yang mana di
dalamnya memasukan Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber
1 Tulisan ini dipersiapkan untuk buku kompilasi (bunga rampai) “Konstitusi dan Tata
Negara Indonesia” yang akan diterbitkan oleh Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
2 Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi Universitas Islam Indonesia (PSHK UII) dan mahasiswa Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. 3 Munculnya TAP MPR No. 1 tahun 2003 ini merupakan pelaksanaan dari amanat Pasal 1 Aturan Tambahan UUD 1945 yang berbunyi: “Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara/Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003”. Pasal I Aturan
Peralihan UUD 1945 yang berbunyi ”Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi ”Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
2
Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai
ketetapan yang masuk dalam kategori tersebut. Di dalam Tap MPR No.
III/MPR/2000, kedudukan Tap MPR di bawah Undang-Undang Dasar
(UUD) dan di atas undang-undang.
Pada tahun 2004 terbentuklah Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, namun
menghilangkan Tap MPR dari hierarki Peraturan Perundang-undangan.
Selama hampir 6 (enam) tahun keberadaan Tap MPR tidak diakui
dalam hierarki peraturan perundang-undangan, oleh karena itu
banyak pihak yang memandang keberadaan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 perlu diganti karena dianggap tidak sempurna dengan
tidak memasukan Tap MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-
undangan.4 Atas mosi ketidaksmepurnaan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 itulah, kemudian lahir Undang-undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Poin
penting adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah
penempatan Tap MPR sebagai bagian dari hierarki peraturan
perundang-undangan.
4 Di dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentag Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (kini Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011) meneyebutkan, bahwa semangat dibentuknya UU No. 11 tahun 2012 dikarenakan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang telah disahkan pada kenyataannya jauh dari sempurna dan kiranya perlu dilakukan perbaikan sehingga nantinya materi-muatan undang-undang tersebut dapat meminimalisir kekurangan-kekurangan di berbagai pasal-pasalnya. Sehingga perlu pengkajian yang mendalam agar ditemukan konsepsi yang lebih baik terkait dengan pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Salah itu, yang dinilai menjadi problem dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 adalah ketentuan Pasal 7 ayat (1) yang tidak memasukan TAP MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan, sehingga telah membawa perubahan yang sangat krusial dan sangat berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam TAP MPR Nomor III/MPR/2000. berbagai kelemahan dalam materi muatan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 adalah muncul pula persoalan harmonisasi Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD yang substansinya membawa konsekuensi perubahan atau penyesuaian terhadap materi muatan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan prinsip perundang-undangan yaitu lex posteriori derogate legi priori, dimana prinsip ini mensyaratkan bahwa
undang-undang yang baru mengenyampingkan undang-undang yang lama yang artinya bahwa Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 harus menyesuaikan dan menselaraskan materi muatannya agar tidak tumpang tindih atau bertentangan dengan undang-undang lainnya. Karena pada dasarnya politik hukum pembaharuan peraturan perundang-undangan kita diarahkan menuju unifikasi hukum yang harmonis. Lihat Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jakarta: Badan Legislasi DPR RI, 2010, hlm. 38 dan 46.
3
Re-eksistensi Tap MPR menjadi bagian integral hierarki peraturan
perundang-undangan, setidaknya telah memicu dua pertanyaan.5
pertanyaan pertama, apakah secara teoritis penempatan tersebut tidak
bertentangan dengan teori hierarki perundang-undangan yang ada saat
ini?. Kedua, materi muatan apakah yang seharusnya menjadi
substansi di dalam Tap MPR tersebut?. Pertanyaan kedua ini layak
diajukan mengingat dengan eksisnya nomenklatur baru berupa Tap
MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan telah membuka
konsekuensi hukum sebagai berikut: 1). Lembaga MPR memiliki
legitimasi kuat untuk dapat membuat produk hukum berupa Tap MPR,
namun agar muatan materinya tidak mengkooptasi materi peraturan
perundang-undangan lain maka perlu dimunculkan arahan-arahan
muatan materinya; 2). Secara yuridis normatif, Tap MPR kembali
memperoleh pembenaran yang memiliki daya ikat, legalitas
pemberlakuan, dan memiliki konskeuensi hukum bagi yang melanggar.
B. Anantomi Akademik Tap MPR dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang
dilakukan dengan 4 tahap yaitu tahun 1999, 2000, 2001, 2002, telah
membawa Indonesia ke beberapa perubahan besar. Salah satu
perubahan mendasar yang memiliki pengaruh terhadap struktur
ketatanegaraan Indonesia adalah pergeseran kedudukan, tugas dan
wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pergeseran
kedudukan MPR tersebut secara langsung berpengaruh terhadap
produk hukum yang selama ini dikenal dengan Ketetapan MPR (Tap
MPR).
Sungguhpun telah terjadi perubahan secara radikal terhadap UUD
1945, bukan berarti MPR sebagai lembaga negara fungsi dan
wewenangnya dinihilkan secara total. Bahkan lambat laun, keberadaan
MPR berusaha diorbitkan kembali agar lebih kuat posisinya. Salah satu
5 Sesungguhnya bukan kali ini saja persoalan hierarki peraturan perundang-undangan menimbulkan perdebatan. Kritik selalu muncul seperti kritik terhadap Tap MPR No. III /MPR/2000 adalah bahwa menempatkan Perpu di bawah Undang-Undang adalah kerancuan. Bukankan Perpu dikeluarkan tatkala kebutuhan akan undang-undang sangat mendesak tetapi waktu dan proses tidak memungkinkan. Maka sesungguhnya posisi perpu adalah sederajat dengan undang-undang. Lihat selengkapnya dalam Ni‟matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, Yogyakarta: UII Press, 2005, hlm. 66.
4
bukti akan hal itu adalah dengan dimasukannya Tap MPR sebagai
bagian tak terpisahkan dari hierarki peraturan perundang-undangan
melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Pengorbitan Tap MPR
sebagaimana telah disinggung di atas, kemudian memunculkan
persoalan teoritis.
Beberapa begawan hukum memandang, bahwa pemosisian Tap
MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan merupakan
ketidaktepatan sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Maria Farida Indrati6 mengemukakan bahwa dalam sistem hukum
negara Republik Indonesia, norma-norma hukum yang berlaku berada
dalam suatu sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang
sekaligus berkelompok-kelompok, dimana suatu norma itu selalu
berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, dan
norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma
yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma
dasar negara (staatsfundamentalnorm) Republik Indonesia, yaitu
Pancasila.
Ketentuan tersebut, menurut Maria jika dikorelasikan dengan
keberadaan Tap MPR yang duduk pada sistem hierarki tidaklah tepat
karena Tap MPR kedudukannya sebagai aturan dasar.7 Disamping itu,
secara teori MPR juga memiliki kualitas (tugas) utama sebagai
„konstituante‟ (menetapkan UUD) untuk kemudian MPR mengikatkan
diri pada UUD yang ia bentuk tersebut, sehingga produknya
disetarakan dengan aturan dasar negara. Adanya pilihan memasukan
Tap MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan (wetgeving)
yang di bawah UUD, maka telah mengartikecilkan aturan dasar
6Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius, 1998, hlm. 39, dalam Ni‟matul Huda dan R. Nazriyah, Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Bandung: Nusamedia, 2011, hlm. 53.
7 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan…Op. Cit, hlm. 39, dalam Ni‟matul Huda dan R. Nazriyah, Teori... Op.Cit., hlm. 54. Lihat juga Sahlan Adiputra, “Kecelakaan Sistem Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia: TAP MPR Sebagai Salah Satu Peraturan Perundang-undangan dalam UU Nomor 12 tahun 2012”, Jurnal Konstitusi, Volume 1, Nomor 1, November 2012, hlm. 65.
5
negara/aturan pokok negara yang dimiliki oleh Indonesia.8 Alasannya
dikarenakan secara substansi Tap MPR selevel dengan UUD, sehingga
Tap MPR juga merupakan sumber dan dasar pembentukan peraturan
perundang-undangan yang seharusnya diposisikan selevel dengan
UUD.9
Bagir Manan juga berpendapat, dengan adanya perubahan
susunan lembaga negara pasca perubahan UUD 1945, dimana MPR
tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan perubahan badan
perwakilan menjadi sistem dua kamar yang terdiri dari Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maka
menurut Bagir Manan ketetapan MPR dengan sendirinya terhapus.10
Keterhapusan tersebut, dapat diartikan bahwa ke depan sudah tidak
akan ada lagi produk hukum yang dikeluarkan oleh MPR sehingga
akan sia-sia dengan penempatan tersebut.11
Moh. Mahfud MD secara tegas mengatakan bahwa TAP MPR oleh
karenanya tidak lagi dapat dikatakan sebagai peraturan perundang-
undangan. Moh. Mahfud mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 24C ayat
(1) UUD menggariskan bahwa ”Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar”.
Hal ini berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang langsung di
bawah UUD adalah UU. Jika ada TAP MPR di bawah UUD, maka
ketentuan pengujiannya akan berbunyi MK menguji TAP MPR terhadap
UUD dan/atau menguji UU terhadap TAP MPR.12
Terlepas dari kontra argumentasi di atas, memang secara de jure
MPR tidak lagi diposisikan sebagai lembaga tertinggi negara dan tidak
lagi menjalankan kedaulatan rakyat secar alangsung, namun secara
8 Delfina Gusman dan Andi Nova, “Kedudukan Ketetapan MPR Berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”, Jurnal Dinamika Hukum, FH Andalas, Vol. 12 No. 3 Septemebr 2012, hlm. 446. 9 Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan 1 (Dikembangkan dari Perkuliahan A. Hamid S. Attamimi), Yogyakarta: Kanisius, 2007, hlm. 13. 10 R. Nazriyah, “Status Hukum Ketetapan MPR/S setelah Perubahan UUD 1945”, Jurnal Hukum, Hukum Tata Negara, No. 28 Vol 12 Tahun 2005, hlm. 38.
11 Rachmani Puspitadewi, “Kedudukan dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Setelah Perubahan UUD RI Tahun 1945”, Jurnal Hukum Pro Justitia, Vol. 25 No. 04, Oktober 2007, hlm. 1. 12 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm. 41.
6
esensi kedudukan MPR sebagai lembaga negara yang menjalankan
kedaulatan rakyat sesungguhnya tetap ada hanya mengalami
perbedaan makna. Perbedaannya adalah ketika sebelum amandemen
kedaulatan rakyat dijalankan penuh oleh MPR, namun pasca
perubahan lembaga negara lain juga diberi bagian untuk menjalankan
kedaulatan rakyat alias tidak sepenuhnya di tangan MPR. Kerangka
berpikir untuk melihat potret tersebut, dapat disandarkan pada
structure of government yang digunakan Rosco J. Tresolini dan Martin
Shapiro sebagai berikut:
“....bahwa kedaulatan rakyat dilaksanakan yang merupakan kedaulatan politik yang dimiliki rakyat dilaksanakan oleh MPR. Lembaga pelaksana kedaulatan rakyat ini memiliki otoritas untuk
menetapkan UUD 1945 yang menimbulkan kedaulatan hukum, yang pada dataran lebih jauh diaktualisasikan oleh Presiden bersama DPR di bidang legislasi. Kedaulatan hukum ini menjadi dasar bagi MPR dan lembaga Negara lainnya untuk menyelenggarakan fungsi dan kekuasaan Negara sebagai pemegang kedaulatan”;13
Benang merah paparan di atas, adalah bahwa letak kedaulatan
rakyat yang kini dimiliki oleh MPR adalah masih melekatnya
kewenangan menetapkan UUD. Sebagaimana ditegaskan di dalam UUD
1945 hasil amandemen, kewenangan MPR antara lain:
Pasal 3 UUD 1945 (1) Majelis Permuyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan
menetapkan Undang-Undang Dasar. (2) Majelis Permuyawaratan Rakyat Melantik Presiden dan/atau
Wakil Presiden. (3) Majelis Permuyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.
Pasal 8 UUD 1945 (2) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya
dalam waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.
(3) Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti dan diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Peratahanan secara bersama-sama. Selambat-
13 Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif, Malang: UMM Pres, 2003, hlm. 50. Lihat juga Sri Soemantri, UUD dan Ketetapan MPR sebagai Produk MPR, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1987, hlm. 17.
7
lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majleis Permusyawaratan Rakyatmenyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden yang diusulkan oleh Partai Politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
Berdasarkan beberapa pasal di atas, maka funsgi dan wewenang
MPR menurut UUD 1945 hasil amandemen adalah :
1. Menetapkan dan mengubah Undang-Undang Dasar;
2. Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
3. Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar;
4. Memilih Wakil Presiden dalam hal teradi kekosongan jabatan
Wakil Presiden;
5. Memilih Presien dan Wakil Presiden dalam hal keduanya
mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan.
Membaca kewenagan MPR tersebut, secara de facto jika dilihat
dalam kerangka yang lebih luas sebenarnya MPR tetap saja menjadi
lembaga tertinggi. Tesis itu muncul karena kewenangan MPR yang
sangat besar dalam menentukan sistem hukum apa yang akan berlaku
di Indonesia sesuai yang terdapat dalam UUD, yaitu dengan dimilikinya
wewenang eksklusif berupa:
1. Kewenangan MPR untuk menetapkan dan mengubah UUD
adalah kewenangan yang sangat tinggi dalam struktur
kelembagaan negara. UUD terdiri dari Pembukaan dan Batang
Tubuh, memberi wewenang kepada MPR untuk menetapkan
dan mengubah UUD adalah sama saja memberikan
kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan yang bersifat
mendasar di Negara Republik Indonesia;
2. Kewenangan memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden -
walauapun dengan beberapa syarat-, dapat ditafsirkan bahwa
kedaulatan rakyat dijalankan langsung oleh MPR. Apabila
pada proses normal pemilihan Presidn dan Wakilnya harus
dipilih langsung oleh rakyat yang menandakan bahwa
8
kedaulatan rakyat diwadahi dengan baik dalam sistem
demokrasi,14 namun adanya kewenangan MPR pada saat
tertentu untuk memilih Presiden dan/atau Wakilnya membawa
dimensi pemahaman bahwa pada saat menjalankan
kewenangan tersebut ia sedang menjalankan keadauluatan
rakyat tersebut. Pada titik itulah, sesungguhnya MPR masih
memiliki legitimasi sebagai lembaga pengemban kedaulatan
rakyat, bahkan kewenangan ini jug atidak dimiliki oleh
lembaga negara lain di Indonesia.
Penempatan Tap MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan
yang berada pada tingkat kedua setelah UUD Negara RI Tahun 1945,
dapat dibenarkan apabila kita mengacu pada teori Stufentbauheori
yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, dengan alasan, ketentuan
tersebut dimaksudkan untuk mengurutkan tingkatan norma hukum
perundang-undangan, dimana norma yang di bawah tidak boleh
bertentangan dengan norma yang di atas. Dalam teori Kelsen
terkandung makna: a). peraturan yang lebih rendah harus mempunyai
sumber atau dasar pada peraturan yang lebih tinggi; a). peraturan
perundang-undangan merupakan sebuah tertib hukum (legal order);
dan c). peraturan perundang-undangan untuk menjamin tata urutan
itu dalam suatu sistem yang tertib.15 Artinya kebradaan Tap MPR
dalam hierarki peraturan perundang-undangan merupakan langkah
untuk memberikan ketertiban hukum (legal order) mengingat sejauh ini
masih terdapat Tap MPR yang relevan diberlakukan dan dijadikan
payung hukum.
Mahkamah Konstitusi juga menilai adanya ketetapan MPR dan
kedudukannya dalam hierarki peraturan perundang-undangan
dimaksudkan sebagai langkah sistematisasi peraturan dan guna
menghindari terjadinya kekosongan hukum, megingat sejauh ini
masih terdapat TAP MPR yang penting untuk dipertahankan sebagai
dasar yuridis peneyelnggaraan Negara.
14 Pasal 6A ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tegas menyebutkan bahwa: Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. 15 Bagir Manan, Arogansi MPR, Republika, 2000.
9
“……ada ketetapan-ketetapan MPR, misalnya mengenai reformasi agraria, mengenai dasar hukum atau perintah yang memerintahkan pemberantasan korupsi dan sebagainya itu masih
tetap berlaku. Kalau ini kemudian tidak dimasukkan dalam struktur peraturan perundangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b tadi, maka malah menimbulkan kekosongan
hukum…”16
Argumentasi tersebut setidaknya dapat menjadi gambaran bahwa
sesungguhnya semangat yang dibawa UU P3 adalah memberikan
tempat kepada Tap MPR agar memiliki legitimasi normatif seperti
halnya peraturan lain yang lebih dulu masuk dalam hierarki peraturan
perundang-undangan. Konsepsi Mahkamah tersebut, juga selaras
dengan argumentasi Ali Safa‟at yang memandang bahwa masuknya
Ketetapan MPR dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-
undangan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 hanya
merupakan penegasan semata, tidak ada konsekuensi hukum yang
lebih kuat lagi.17
Konstruksi di dalam Pasal 7 ayat (1) UU P3 sesungguhnya tidak
bisa dianggap seutuhnya salah, karena di dalam pasal tersebut
mengandung dua frasa yang memiliki makna berbeda. Frasa pertama
adalah berkenaan dengan jenis peraturan perundang-undangan. Pada
konteks ini, dapat dibaca bahwa di dalam pasal tersebut
mengelompokan jenis-jenis yang menjadi rumpun peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Frasa kedua adalah
berkenaan dengan hierarki peraturan perundang-undangan. Pada
ranah ini, dapat dibaca bahwa di dalam pasal tersebut disebutkan juga
susunan dan tingkatan keberlakuan sebuah peraturan perundang-
undangan di Indonesia.
Mendasarkan pada pemahaman kedua frasa dalam Pasal 7 ayat
(1) UU P3, maka frasa kedua pasal tersebut memiliki kebenaran
memposisikan Tap MPR di atasa undang-undang, sementara frasa
16 Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 86/PUU-XI/20, Acara
Pemeriksaan Pendahuluan Perihal Pengujian Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI, 2013, hlm. 11. 17 Muchamad Ali Safa‟at, “Kedudukan Ketetapan MPR dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia”, Artikel dalam Safaat.lecture.ub.ac.id/.../KEDUDUKAN-KETETAPAN, hlm. 6.
10
pertama yang memasukan Tap MPR ke dalam jenis peraturan
perundang-undangan tidak benar. Hal ini sebagaimana dijelaskan
Attamimi, bahwa menggolongkan Undang-Undang Dasar 1945 dan
Ketetapan MPR ke dalam jenis peraturan perundang-Undangan adalah
tidak benar, tetapi menempatkan keduanya di atas Undang-Undang
adalah benar. Karena UUD adalah sumber hukum tertinggi yang di
dalam UUD terdapat dua norma hukum yaitu norma fundamental
negara (staatsfundamentalnorm) dan aturan dasar/aturan pokok
negara yang tertulis dalam batang tubuh konstitusi
(staatsgrundgesetz).
Attamimi juga menggunakan pendapat dari Hans Nawiasky yang
juga dikutip oleh Maria Farida Indarti Soeprapto yang mengatakan
bahwa norma-norma hukum dalam suatu negara itu berjenjang dan
dikelompokkan ke dalam empat tingkatan yang terdiri atas :18
Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) Kelompok II : Staatsgrungesetz (Aturan dasar/Pokok Negara) Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-Undang Formal) Kelompok IV : Verordnung dan Autonome Satzung (Aturan Pelaksana dan aturan otonom)
Dalam hal Ketetapan MPR, Attamimi mengatakan bahwa
kedudukannya adalah sebagai norma hukum yang hakekatnya sama
dengan namun setingkat lebih rendah dari norma hukum UUD.
Sehingga ketetapan MPR merupakan aturan dasar/aturan pokok
negara (staatsgrundgesetz) dan tidak bisa disamakan dengan undang-
undang sebagai aturan formal.19
Melihat bahwa Tap MPR posisinya di atas undang-undang dan
muatan materinya berisi hal-hal pokok negara, maka ke depan perlu
dicarikan gagasan materi apa saja yang sekiranya layak masuk di
dalamnya. Arahan (guidance) muatan materi menjadi penting
dilakukan agar tidak menimbulkan tumpang tindih muatan materi
18Maria Farida Indarti Seoeprapto, Ilmu Perundang-Undangan....Op. Cit, hlm. 25.
19 Ni‟matul Huda, Negara Hukum....Op. Cit, hlm. 67. Lihat juga Eko Riyadi, “Reposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Implikasinya terhadap Kedudukan TAP MPR/S Pasca Amandemen UUD 1945”, Paper pada acara diskusi “Tinjuan terhadap Ketetapan MPRS/MPR” yang diselenggarakan oleh MPR RI dan Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia di Hotel Jogja Plaza, Yogyakarta pada Rabu, 25 Februari 2015.
11
antar satu peraturan dengan peraturan lainnya. Alasan lainnya, adalah
agar muatan materi Tap MPR memang betul-betul menjadi cermin
acuan bagi aturan di bawahnya sehingga legal order yang dicitakan
dapat terwujud.
C. Gagasan Arah Materi Muatan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Di Masa Mendatang
Sebelum membahas arah materi muatan ideala dalam sebuah Tap
MPR, nampaknya perlu sedikit diuraikan apakah MPR masih memiliki
kewenangan untuk membentuk Tap ?. Memang jika melihat teks UUD
Negara RI 1945, nyaris tidak akan menemukan satu pasal pun yang
secara tegas memberikan wewenang kepada MPR untuk membuat
Ketetapan MPR. Namun secara eksplisit, kewenangan MPR membuat
ketetapan itu dapat ditemukan dalam UUD Negara RI Tahun 1945 itu
sendiri, yaitu Pasal 2 ayat (3), Pasal 3 ayat (1), dan Pasal 3 ayat (3) UUD
Negara RI Tahun 1945.
Dasar kewenangan MPR dalam membentuk produk hukum, dapat
juga dilihat dalam pendapat Ridwan,20 bahwa secara teoretik negara
adalah organisasi jabatan (de staat is ambtenorganisatie). Jabatan
adalah lingkungan pekerjaan tetap (kring van vastewerkzaamheden)
yang dilekati tugas dan kewenangan. Tugas dan kewenangan yang
melekat pada jabatan itu dilaksanakan oleh fungsionaris. MPR
merupakan salah satu jabatan kenegaraan, yang dilekati wewenang
berdasarkan UUD. Kewenangan tersebut dilaksanakan dalam bentuk
tindakan-tindakan oleh pimpinan dan para anggota MPR selaku
fungsionaris jabatan MPR. Ketika tindakan-tindakan itu dituangkan
dalam bentuk tertulis, bentuknya dapat berupa peraturan, keputusan,
ataupun ketetapan MPR, yang semuanya harus ditetapkan dengan
suara terbanyak.
Materi muatan dalam setiap peraturan perundang-undnagan
merupakan bagian inti yang harus ada dalam peraturan perundang-
undangan. Tidak terkecuali bagi Tap MPR bilamana ke depan akan
dikeluarkan Tap baru oleh MPR. Sejalan dengan hal itu, maka arah
20 Ridwan, “Eksistensi dan Problematika Ketetapan MPR dalam Sistem Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia", Makalah disampaikan pada Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) “Tinjauan terhadap Ketetapan MPRS/MPR Menurut Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003” yang diselenggarakan Badan Pengkajian MPR RI, Rabu, 25 Februari 2015, di Hotel Santika Yogyakarta, hlm. 5.
12
materi muatan di dalam Tap MPR penting untuk diidentifikasi. Salah
satu alasannya adalah karena di dalam UU P3 itu sendiri sama sekali
tidak memberikan arahan muatan materi bagi Tap MPR. Di dalam UU
P3 hanya memberikan arahan materi muatan kepada; 1). undang-
undang;21 2). peraturan pemerintah pengganti undang-undang;22 3).
peraturan pemerintah;23 4). peraturan presiden;24 5). peraturan daerah
provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota.25
Sebelum perubahan UUD 1945, berdasarkan Tap MPRS RI No.
XX/MPRS/1966 tentang Tata Urutan Perundang-undangan yang
kemudian diganti dengan TAP MPR RI No. III/PR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, TAP MPR
ditempatkan dibawah UUD 1945 dan di atas Undang-undang.
Pemosisian tersebut memiliki makna bahwa TAP MPRS atau TAP MPR
akan mengatur secara langsung pokok-pokok aturan dalam UUD 1945,
sekaligus berkaitan langsung dengan penetapan haluan negara. Akan
tetapi, kini Garis Besar Haluan Negara (GBHN) telah ditiadakan
sehingga tidak perlu lagi mekanisme pengaturannya. Sementara,
berkaitan dengan pokok-pokok aturan dasar negara sejauh ini
dianggap final telah diatur seluruhnya di dalam UUD 1945 sehingga
tidak diperlukan lagi lembaga yang diminta untuk membuat aturan
tersebut.
21 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menyebutkan: (1) Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi: a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; c. pengesahan perjanjian internasional tertentu; d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. (2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.
22 Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan: Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang.
23 Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan: Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
24 Pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan: Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang
diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
25 Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan: Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi.
13
Sungguhpun demikian, adanya Mahkamah Konstitusi (MK)
sebenarnya menjadi babak baru dalam langkah maju sistem
ketatanegaraan Indonesia. Sebagai lembaga yang memiliki tugas
penafsir dan penjaga kontitusi (the guardian and interpreter of
constitution), putusan MK banyak mengandung substansi materi yang
erat kaitannya dengan pokok-pokok dasar negara yang seharusnya
dapat ditindaklanjuti. Namun dikarenakan masih minimnya kesadaran
moral pemegang kuasa di lembaga negara, maka menjadikan putusan
MK dibiarkan mengambang tanpa arah muara.26
Putusan MK yang bisa dijadikan muatan materi dalam Tap MPR
misalnya seperti putusan terhadap permohonan Pengujian Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang terdiri
dari 3 (tiga) nomor registrasi perkara, yaitu permohonan dengan Nomor
Registrasi 001/PUU-I/2003, 021/PUU-I/2003, dan 022/PUU-I/2003.
Model putusan tersebut secara umum dapat diuraikan bahwa dalam
hal pemaknaan Pasal 33 ayat (2) UUD Negara RI 1945 mengenai
dikuasai oleh negara harus dimaknai (diatur):
a. Yang harus dikuasai oleh negara adalah cabang-cabang
produksi yang dinilai penting bagi negara dan/atau yang
menguasai hajat hidup orang banyak, yaitu: (i) cabang produksi
yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak, (ii) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat
hidup orang banyak, atau (iii) tidak penting bagi negara tetapi
menguasai hajat hidup orang banyak.
b. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum
publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang
dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi
politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham
kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber,
pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam
26 Perlu diingat sungguhpun MK lembaga peradilan yang integral dengan dari
kekuasaan kehakiman, namun sifat putusan MK lebih kepada ikatan moral (moral binding) dalam pelaksanaannya, sehingga diperlukan kesadaran utuh pemangku kuasa negara untuk melaksnakan putusan tersebut. Hal ini berbeda dengan peradilan lain yang memiliki perangkat eksekutor pemaksa terhadap putusan yang lahirkannya, sehingga putusannya relatif banyak dapat ditindaklanjuti dengan baik. Namun demikian, penulis tidak menghendaki MK
memerlukan atau bahkan harus ada lembaga pemaksa yang memapu memaksakan pada siapa saja untuk mentaati putusan tersebut. MK tidak perlu ditambah perangkat lain karena secara teoritis putusan MK yang bersifat final and binding memiliki makna putusannya bersifat self executable (mengikat dengan sendirinya bagi siapa saja). Di samping itu, bagi penulis keberadaan MK adalah dimaksudkan untuk memberikan pembelajaran bagi bangsa Indonesia untuk bersikap dewasa dalam menyikapi putusan peradilan yang telah dinobatkan sebagai lembaga independen dan proses hukum akhir dalam setiap penyelesaian persoalan.
14
kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan
tertinggi tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik
oleh rakyat secara kolektif.
c. Tidak dapat diartikan hanya sebatas sebagai hak untuk
mengatur, karena hal dimaksud sudah dengan sendirinya
melekat dalam fungsi-fungsi negara tanpa harus disebut secara
khusus dalam undang-undang dasar. Sekiranyapun Pasal 33
tidak tercantum dalam UUD 1945, sebagaimana lazim di
banyak negara yang menganut paham ekonomi liberal yang
tidak mengatur norma-norma dasar perekonomian dalam
konstitusinya, sudah dengan sendirinya negara berwenang
melakukan fungsi pengaturan.
Adapun alasan yang relevan dan urgen untuk diakomodir ke
dalam Tap MPR berdasarkan jenis putusan MK seperti di atas yaitu;
pertama, sebagaimana telah banyak disinggung oleh banyak pihak,
bahwa muatan materi Tap MPR haruslah berisi dimensi pokok-pokok
aturan dalam konstitusi. Putusan MK yang merupakan tafsiran atas
pasal-pasal konstitusi jelas sangat terkait dengan pokok konstitusi
sebagaimana dimaksudkan tersebut sehingga ini menjadi relevan
untuk dapat diwadahi dalam bentuk Tap MPR, dibanding harus
mencari materi lain yang justru dikhawatirkan malah akan melenceng
dari pakem materi muatan yang ideal dari sebuah Tap MPR atau
bahkan mungkin justru akan mengkooptasi materi yang menjadi
lingkup undang-undang.
Sebagaimana ditegaskan di dalam sistem hierarki Pasal 7 ayat (1)
UU P3 bahwa Tap MPR ditempatkan di atas undang-undang dan di
bawah UUD Negara RI Tahun 1945. Dapat diartikan bahwa materi
muatan ketetapan MPR (yang sifatnya mengatur) itu haruslah selain
materi muatan UUD dan bukan materi muatan undang-undang. Jika
ketetapan MPR yang sifatnya mengatur itu berisi norma hukum yang
semestinya diatur dalam UUD atau undang-undang, jelas akan
menimbulkan kekacauan sistem peraturan perundang-undangan dan
mengaburkan berlakunya asas preferensi.27
27 Ridwan, “Eksistensi dan Problematika........” Op. Cit, hlm. 7.
15
Kedua, dalam praktek kekinian jenis putusan yang mengandung
pokok-pokok dasar negara yang merupakan hasil penafsiran pasal-
pasal konstitusi belum seutuhnya mendapatkan wadah hukumnya.
Memang ketentuan dalam Pasal 10 ayat (3) UU P3 menyebutkan bahwa
materi muatan undang-undang adalah tindaklanjut dari putusan MK,
namun sesungguhnya tindaklanjut tersebut lebih kepada materi yang
sifatnya teknis implementatif, seperti tindaklanjut terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang terhadap
UUD Negara RI Tahun 1945. Dengan demikian, putusan yang memiliki
kandungan pokok-pokok dasar negara sangat mungkin tidak ikut
diakomodir ke dalam materi muatan undang-undang, sehingga
keberadaannya dibiarkan menggantung tanpa tindak lanjut yang jelas.
Bersamaan dengan itu, maka pada bagian itulah MPR dapat
mengambil peran untuk menjadikannya sebagai materi muatan di
dalam ketetapan.
Tentu akan muncul pertanyaan bahwa esensi dari Tap MPR
bukankah penetapan yang bersifat konkret, final dan individual?,
sementara dalam hasil jenis putusan MK –khususnya yang terkait
pokok-pokok konstitusi- muaranya bersifat pengaturan yang sifatnya
mengikat secara umum. Hemat penulis, mengingat Tap MPR
dimasukan ke dalam UU P3 yang merupakan rezim tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan, maka secara tidak
langsung telah menunjukan bahwa produk hukum MPR yang dalam
bentuknya ketetapan juga telah dikategorisasikan sebagai jenis
peraturan. Kemudian, jika melihat pada sifat, isi dan materi Tap MPR
yang telah ada juga tidak sepenuhnya berupa penetapan. Sebagaimana
dijelaskan Bagir Manan bahwa TAP MPR/S ditinjau dari materi
muatannya maka dapat dikelompokan menjadi:28
28 Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Bandung:
Mandar Maju, 1995, hlm. 29.
16
1. Ketetapan mengenai kedudukan, tugas, dan tanggung jawab lembaga-lembaga negara;
2. Ketetapan yang berisi garis-garis kebijakan umum yang akan
dijalankan oleh negara melalui atau lembaga negara khususnya presiden;
3. Ketetapan yang berisi prinsip-prinsip tertentu dan tidak bersifat mengatur; dan
4. Ketetapan yang materinya langsung mengikat umum.
Sedangkan, ditinjau dari segi sifat isinya, TAP MPR/S dapat
digolongkan menjadi: (1). Ketetapan yang bersifat mengatur; (2).
Ketetapan yang bersifat penetapan/beschiking; (3). Ketetapan yang
bersifat deklaratur.29
Melihat pada dimensi penggolongan, dan dikorelasikan dengan
unsur-unsur suatu peraturan perundang-undangan di atas, maka
produk hukum MPR dalam bentuknya ketetapan dapat mewadahi jenis
putusan MK sebagaimana diuraikan di atas. Hal itu dikarenakan, Tap
MPR memiliki kualifikasi tersendiri berupa: a). TAP MPR isi/materi dan
sifanya bersifat tertulis, umum, dan dibentuk oleh lembaga yang
berwenang dan bersifat mengatur secara umum; dan b). TAP MPR
bukan yang dimaksudkan dalam bentuk penetapan yang memiliki
konsekuensi konkret-individual layaknya keputusan yang bersifat
penetapan (beshicking) seperti dalam keputusan administrasi negara.
Selanjutnya agar materi muatan ketetapan tidak seporadis
menindaklanjuti semua putusan MK, maka menjadi penting untuk
diberikan syarat-syarat untuk jenis putusan MK manakah yang layak
untuk ditindaklajuti ke dalam Tap MPR. Syarat ini menjadi penting
untuk menghindari terjadinya tumpang tindih kewenangan yang pada
akhirnya akan menyalahi asas kelembagaan atau pejabat pembentuk
yang tepat.30 Tidak kalah pentingnya, adanya persyaratan dimaksud
29 Sumali, Reduksi Kekuasaan.....Op. Cit, hlm. 21. Ilmu pengethaun perundang-
undnagan dapat dikatakan relative baru, yang awalnya berkembang di Eropa Barat. Ilmu ini bersifat interdisipliner yang berkaitan dengan ilmu politik dan sosiologi. Ilmu perundang-
undnagan ini menurut Burkhadrt Krems dpaat dibedakan atas teori perundang-undangan dan ilmu perundang-undangan yang mengkaji aspek pembentukan undang-undang. Ilmu perundang-undangan dapat dirinci lagi ke dalam proses perundang-undangan . adapun konsep undang-undang itu sendiri dapat bermakna: (i). proses pembentukan peraturan engara baik di tingkat daerah ataupun pusat. (ii). Segala peraturan negar ayang dihasilkan baik ditingkat derah ataupun puat. Lihat Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan......Op. Cit, hlm. 2-3.
30 Di dalam penjelasan Pasal 5 huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud asas “asas kelembagaan atau
17
maka diharapkan tidak akan menimbulkan kerancuan dan kesamaan
materi hukum dengan undang-undang, karena sesuai dengan Pasal 10
ayat (2) UU P3 tindak lanjut atas putusan MK juga dapat diakomodir ke
dalam materi muatan undang-undang.
Adapun syarat dimaksud adalah sebagai berikut: 1). Jenis
putusan MK yang layak dijadikan materi Tap MPR hanya jenis putusan
MK yang mengandung pokok-pokok aturan dasar negara; 2). Putusan
MK tersebut bukan jenis putusan yang sifatnya teknis implementatif
melainkan jenis putusan yang sifatnya arahan/pandangan umum
(global view) yang erat kaitannya dengan substansi pokok dasar negara
(konstitusi); dan 3). Putusan MK dimaksud harus mencerminkan
semangat Pancasila dan UUD Negara RI yang minimal mengakomodir
asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan,
kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan
dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum.
D. Penutup
Sebagaimana diamanatkan oleh UUD Negara RI Tahun 1945, MPR
secara eksplisit memiliki wewenang ekslusif yang tidak dimiliki oleh
lembaga negara lain dalam sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini.
Oleh kerana itu, kelembagaan MPR patut diberikan penguatan agar
mampu menjalankan kewenangannya secara proporsional. Adanya
langkah hukum yang memasukan produk hukumnya berupa Tap MPR
ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan telah memberi
konsekuensi bukan hanya pada benar tidaknya penempatan tersebut.
Akan tetapi telah membuka pintu bagi MPR untuk dapat mengeluarkan
produk hukum sejenis.
Mengingat konstruksi dalam sistem hierarki menempatkan Tap
MPR dibawah UUD dan di atas undang-undang, maka berimplikasi
pada aspek materi muatan peraturannya. Materi muatan di dalam Tap
MPR idealnya adalah berkenaan dengan pokok-pokok dasar negara
(konstitusi), atau berkenaan materi yang bukan menjadi domain materi
pejabat pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.
18
muatan dalam undang-undang. Dalam menyikapi hal itu, maka adanya
jenis putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak jarang bermuatan
pokok-pokk dasar negara yang didasarkan atas penafsiran dari pasal-
pasal UUD, seyogianya dapat dijadikan materi muatan Tap MPR
tersebut.
Daftar Pustaka
Buku-buku
Huda, Ni‟matul, 2005, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review,
Yogyakarta: UII Press.
Huda, Ni‟matul dan R. Nazriyah, 2011, Teori dan Pengujian Peraturan
Perundang-undangan, Bandung: Nusamedia.
Mahfud MD, Moh., 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca
Amandemen Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers.
Manan, Bagir, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu
Negara, Bandung: Mandar Maju.
Soeprapto, Maria Farida Indrati, 1998, Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-
Dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius.
__________________________, 2007, Ilmu Perundang-Undangan 1 (Dikembangkan dari Perkuliahan A. Hamid S. Attamimi), Yogyakarta:
Kanisius.
Sumali, 2003, Reduksi Kekuasaan Eksekutif, Malang: UMM Pres.
Jurnal, Hasil Penelitian dan Makalah
Adiputra, Sahlan, 2012, Kecelakaan Sistem Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia: TAP MPR Sebagai Salah Satu Peraturan Perundang-undangan dalam UU Nomor 12 Tahun 2012, Jurnal
Konstitusi, Volume 1, Nomor 1, November.
Gusman, Delfina dan Andi Nova, 2012, Kedudukan Ketetapan MPR Berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jurnal Dinamika Hukum, FH Andalas, Vol. 12
No. 3 Septemebr 2012.
Puspitadewi, Rachmani, 2007, Kedudukan dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Setelah Perubahan UUD RI Tahun 1945,
Jurnal Hukum Pro Justitia, Vol. 25 No. 04, Oktober.
Ridwan, 2015, Eksistensi dan Problematika Ketetapan MPR dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, Makalah disampaikan pada Kegiatan Focus Group Discussion(FGD) “Tinjauan terhadap Ketetapan MPRS/MPR Menurut Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003” yang diselenggarakan Badan Pengkajian MPR RI, di Hotel Santika Yogyakarta, Rabu, 25 Februari.
Riyadi, Eko, 2015, Reposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Implikasinya terhadap Kedudukan TAP MPR/S Pasca Amandemen UUD 1945, Paper pada acara diskusi “Tinjuan terhadap Ketetapan MPRS/MPR” yang diselenggarakan oleh MPR RI dan Pusat Studi
19
Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia di
Hotel Jogja Plaza, Yogyakarta pada Rabu, 25 Februari.
Soemantri, Sri, 1987, UUD dan Ketetapan MPR sebagai Produk MPR, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara, Universitas
Padjadjaran, Bandung.
Tim Penyusun, 2010, Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jakarta: Badan
Legislasi DPR RI.
Media
Manan, Bagir, 2000, Arogansi MPR, Republika.
Safa‟at, Muchamad Ali, Kedudukan Ketetapan MPR dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Artikel dalam Safaat.lecture.ub.ac.id/.../KEDUDUKAN-KETETAPAN, diakses 01 September 2015.
Peraturan Perundang-undangan dan Risalah Sidang Peradilan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor 1 Tahun 2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Republik Indonesia. Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 86/PUU-XI/20, Acara Pemeriksaan Pendahuluan perihal pengujian Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Mahkamah