BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Lima tahun terakhir negara Indonesia banyak sekali ditimpa musibah salah satunya transportasi udara. Dimana transportasi udara ini sangat dibutuhkan oleh rakyat Indonesia disamping cepat juga menghemat waktu. Disamping itu transportasi udara dalam penerbangannya membutuhkan adanya informasi cuaca yang diberikan oleh petugas meteorologi. Sebagai contoh : Kejadian kecelakaan di Bandara Adi Soemarmo, Solo pada tanggal 30 November 2004, kejadian kecelakaan di Bandara Ahmad Yani, Semarang pada tanggal 11 Februari 2005, dan baru-baru ini terjadi kecelakaan di Bandara Juanda, Surabaya yaitu pada tanggal 21 Februari 2007. Pada saat kejadian kecelakaan pesawat di tiga Bandara tersebut umumnya serupa yakni dalam kondisi cuaca buruk. Dalam operasi penerbangan, sebuah pesawat akan menempuh tiga fase penting, pertama, fase tinggal landas (Take off), kedua, fase menjelajah (cruissing) dan yang ketiga, fase pendaratan (Landing). Dari catatan yang dirangkum dari berbagai sumber, pada 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Lima tahun terakhir negara Indonesia banyak sekali ditimpa musibah
salah satunya transportasi udara. Dimana transportasi udara ini sangat dibutuhkan
oleh rakyat Indonesia disamping cepat juga menghemat waktu. Disamping itu
transportasi udara dalam penerbangannya membutuhkan adanya informasi cuaca
yang diberikan oleh petugas meteorologi. Sebagai contoh : Kejadian kecelakaan di
Bandara Adi Soemarmo, Solo pada tanggal 30 November 2004, kejadian
kecelakaan di Bandara Ahmad Yani, Semarang pada tanggal 11 Februari 2005,
dan baru-baru ini terjadi kecelakaan di Bandara Juanda, Surabaya yaitu pada
tanggal 21 Februari 2007. Pada saat kejadian kecelakaan pesawat di tiga Bandara
tersebut umumnya serupa yakni dalam kondisi cuaca buruk.
Dalam operasi penerbangan, sebuah pesawat akan menempuh tiga fase
penting, pertama, fase tinggal landas (Take off), kedua, fase menjelajah
(cruissing) dan yang ketiga, fase pendaratan (Landing). Dari catatan yang
dirangkum dari berbagai sumber, pada sejumlah musibah kecelakaan pesawat
udara, fase pendaratan merupakan fase yang sangat rawan untuk terjadinya
kecelakaan, yakni mencapai 81-87 persen. Disusul kemudian fase tinggal landas
13-19 persen dan baru fase menjelajah, mendekati 0 persen [Joko Siswanto,
2007].
Sehingga yang menjadi latar belakang penulisan ini adalah pentingnya
mempelajari pengaruh cuaca, yang sangat besar pengaruhnya terhadap aktifitas
kelancaran penerbangan.
I.2. MAKSUD DAN TUJUAN
Penulis bermaksud membahas sejauh mana pengaruh cuaca yang
menyebabkan kecelakaan pesawat di Bandara Adi Soemarmo, Bandara Ahmad
1
Yani dan Bandara Juanda dengan menganalisis cuaca disekitar Bandara pada
sebelum, saat dan sesudah kejadian.
I.3. RUANG LINGKUP
Sebagai bahan penulisan dan untuk mendapatkan data yang akurat maka
penulis mengambil data cuaca Real Time di stasiun meteorologi penerbangan
Bandara Adi Soemarmo, Bandara Ahmad Yani, dan Bandara Juanda, serta sebagai
pelengkap untuk mengetahui distribusi awan digunakan, data citra satelit, dan
radar cuaca. Pembahasan kali ini dititik beratkan sejauh mana pengaruh cuaca
pada saat terjadi kecelakaan, sehingga dapat diketahui penyebab tergelincirnya
pesawat Lion Air, Mandala Airlines serta Adam Air.
I.4. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan terdiri dari :
BAB I. PENDAHULUAN
Pada bab ini akan diuraikan tentang latar belakang, maksud dan tujuan,
ruang lingkup penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II. LANDASAN TEORI DAN METODE PENELITIAN
Pada bab ini akan menjelaskan tentang faktor-faktor cuaca yang
mempengaruhi operasi penerbangan khususnya pada saat mengudara maupun
pada saat mendarat serta dapat diketahui juga penggunaan metode penelitian yang
dipakai.
BAB III. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisikan mengenai hasil-hasil analisis dan pembahasannya pada
sebelum, saat dan sesudah kejadian di Bandara Adi Soemarmo, Bandara Ahmad
Yani, dan Bandara Juanda berdasarkan data unsur-unsur meteorologi dan
didukung dengan data citra satelit cuaca serta data radar cuaca.
BAB IV. KESIMPULAN
Pada bab ini berisikan kesimpulan dari hasil analisis dan pembahasan yang
ditarik dari pokok permasalahan yang dibahas.
2
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. ANGIN PERMUKAAN (Lokal)
Angin yang bertiup disuatu daerah terbatas, kurang dari 100 km, dan
disebabkan oleh kondisi lokal atau angin yang untuk beberapa lama memperoleh
ciri-ciri khusus yang disebabkan oleh kondisi lokal. Di berbagai daerah tropis
angin lokal ini sering terjadi dan berlangsung teratur [Prawirowardoyo S, 1996].
Dimana angin dapat terjadi ” jika pada suatu saat terjadi perbedaan tekanan udara
pada dua lokasi dalam arah mendatar, maka akan terjadi gerakan perpindahan
massa udara. Perpindahan ini terjadi dari tempat yang memiliki tekanan udara
relatif tinggi ke tempat yang memiliki tekanan udara relatif rendah ”. Gerakan
perpindahan massa udara pada arah mendatar tersebut biasa disebut dengan angin
[Soepangkat, 1994].
II.1.1. Satuan Arah Angin Permukaan
Arah angin adalah ”arah darimana angin berhembus atau darimana arus
angin datang dan dinyatakan dalam derajat yang diukur searah perputaran jarum
jam dan dimulai dari titik utara bumi dengan kata lain sesuai titik
kompas”[Soejitno, 1975].
Arah angin yang diamati adalah arah rata-rata selama 10 menit sebelum
sampai dengan waktu peramatan. Arah angin pada umumnya tetap dari suatu arah
tertentu untuk waktu yang agak lama. Kadang-kadang arah angin yang tetap ini,
kemudian berubah baik secara berangsur-angsur maupun secara tiba-tiba atau
mendadak.
II.1.2. Satuan Kecepatan Angin Permukaan
Kecepatan angin adalah ”kecepatan dari menjalarnya arus angin dan
dinyatakan dalam knots atau kilometer per jam maupun dalam meter per detik
3
”[Soepangkat, 1994]. 1 knots sama dengan 1 mile laut per jam, atau sama dengan
0,51 meter per detik. (Mile laut biasa disebut nautical mile atau disingkat n.m)
[Soejitno, 1975]. Karena kecepatan angin umumnya berubah-ubah, maka dalam
menentukan kecepatan angin diambil kecepatan rata-rata dalam periode waktu
selama 10 menit dengan dibulatkan dalam harga satuan knots yang terdekat.
Keadaan ditentukan sebagai angin teduh (calm) jika kecepatan kurang dari satu
knots. Angin permukaan (lokal) salah satunya dapat dibagi menjadi dua golongan,
yaitu pertama, angin darat dan angin laut, kedua, angin gunung dan angin lembah.
II.1.3. Angin darat dan Angin laut
Angin darat dan angin laut dapat terjadi karena disebabkan oleh perbedaan
sifat termal antara permukaan daratan dan permukaan air seperti lautan dan danau.
Oleh karenanya terjadi reaksi atau tanggapan yang berbeda terhadap radiasi
matahari yang jatuh kepadanya.
Angin darat terjadi pada malam hari terjadi pendinginan sebagai akibat
pemancaran radiasi gelombang panjang dari permukaan lautan dan daratan.
Dimana angin darat terjadi sekitar dua jam setelah matahari terbenam. Ketebalan
dan kecepatran angin darat lebih kecil daripada ketebalan dan kecepatan angin
laut, yaitu ketebalannya dapat mencapai 100 m dan kecepatannya 2 m/dtk.
Meskipun angin darat kekuatannya kecil daripada angin laut, dapat menimbulkan
gejala atmosfer yang dahsyat berupa sederetan awan Cb dengan disertai badai
guntur.
Angin laut mulai berhembus beberapa jam setelah matahari terbit dan
mencapai maksimalnya pada waktu lewat tengah hari. Kekuatan angin laut
bertambah dengan bertambah kuatnya penyinaran matahari. Efek angin laut
kadang-kadang dapat dirasakan sampai 50 km ke arah pedalaman. Oleh karena itu
angin laut berkembang paling baik pada musim kering di daerah tropis dan pada
musim panas di daerah lintang tinggi. Angin laut dapat menimbulkan
pembentukan awan cumulus, tetapi awan ini jarang cukup berkembang untuk
menghasilkan hujan. Angin laut dapat mencapai ketebalan atau tinggi 1 km dan
kecepatan antara 4-7 m/dtk. Setelah angin melemah mulailah angin darat
berhembus dalam arah kebalikannya [Prawirowardoyo S, 1996].
4
II.1.4. Angin Gunung dan Angin Lembah
Angin ini serupa dengan angin darat dan angin laut, mempunyai periode 1
hari. Pada siang hari, angin bertiup mendaki gunung dan disebut ”angin lembah”.
Sebaliknya pada malam hari, angin turun dari gunung dan disebut ”angin
gunung”.
Angin lembah terutama terjadi di pegunungan yang mempunyai lembah
yang dalam dan luas. Di daerah pegunungan yang biasa hanya terdapat angin
lereng yang naik dan yang turun. Meskipun terjemahannya kurang tepat, namun
sampai sekarang masih dipakai istilah angin lembah dan angin gunung.
Pada siang hari angin lembah berhembus kira-kira jam 10.00 pagi sampai
matahari terbenam, sesudah itu berhembus angin kebalikannya yaitu angin
gunung. Cuaca dan iklim di daerah pegunungan sebagian besar dipengaruhi oleh
angin-angin lokal ini [Bayong, 1991].
II.2. VISIBILITI (Jarak pandang mendatar)
Yang dimaksud visibiliti didalam meteorologi adalah jarak terjauh suatu
objek atau benda dapat dilihat dengan jelas oleh mata normal atau tingkat
kejernihan (transparansi) pada atmosfer, sehubungan dengan penglihatan manusia
yang dinyatakan dalam satuan jarak. Dengan demikian visibiliti dapat ditentukan
dalam segala arah. Visibiliti yang diamati untuk berita meteorologi adalah
visibiliti yang pada arah mendatar. Pada umumnya visibiliti adalah berbeda untuk
setiap arah yang berlainan perlu diketahui pula bahwa visibiliti yang diperoleh
dari pesawat terbang adalah lain daripada horizontal visibility
(penglihatan mendatar) yang diamati oleh pengamat meteorologi didekat
permukaan bumi.
Proses utama yang sangat mengurangi penglihatan ini adalah proses
pemancaran (scattering), didalam keadaan kabur, berdebu maka sebagian terbesar
sinar yang terpencar dari suatu sumber cahaya dipancarkan oleh partikel-partikel
di udara sebelum sinar tersebut mencapai mata pengamat. Pada ketinggian
serendah 100 kaki maka penglihatan menyerong akan berbeda-beda tergantung
dari posisi pesawat terbang. Biasanya dipengaruhi oleh adanya kabut, halimun,
hujan, awan rendah atau udara kabur [Soejitno & Soeharsono, 1981].
5
Dalam istilah penerbangan untuk penglihatan dapat diberi batasan sebagai
berikut :
1. Runway Visual Range : Jarak maksimum dalam arah dimana landasan
dapat dilihat dari suatu ketinggian diatas garis tengah (katakan 16 kaki
diatas landasan). Ketinggian mata penerbang pada saat touch down
kira-kira 5 meter. RVR yang biasa diamati dalam meteorologi berjarak
1 km atau kurang.
2. Approach visibility : Jarak darimana penerbang dapat melihat alat
pembantu mendarat diambang landasan.
3. Approach Light Contact Light : Ketinggian sepanjang alat menuntun
dimana penerbang pertama-tama dapat melihat deretan lampu
sepanjang 500 kaki.
II.3. SUHU UDARA
Temperatur adalah suatu ukuran untuk tingkat panas dari suatu benda.
Dalam hal ini suatu temperaturnya akan naik apabila benda tersebut diberikan
sejumlah panas. Energi yang utama di bumi adalah energi matahari, energi
matahari inilah yang akan menyebabkan permukaan bumi ini menjadi panas
akibat radiasi yang diserap bumi. Segala bentuk perubahan yang terjadi di
atmosfer dipengaruhi radiasi matahari. Suhu udara merupakan salah satu unsur
dari beberapa unsur yang mempengaruhi terhadap perubahan cuaca [Soepangkat,
1994].
Didalam dunia penerbangan cuaca sangatlah penting, salah satu unsur
cuaca itu adalah suhu udara. Semakin tinggi suhu udara maka akan semakin
rendah kerapatan udara yang akan berpengaruh pada saat akan mengudara
maupun mendarat. Jika kerapatan berkurang, maka daya dorong/daya angkat
pesawat akan berkurang, sehingga power harus diperbesar.
Suhu udara dilapangan terbang mempunyai 2 peranan penting dalam
operasi penerbangan, yaitu :
a. Atas dasar suhu dan tekanan, penerbang dapat
memperhitungkan beban dan panjang landasan pada waktu
mengudara dan mendarat.
6
b. Penerbang bisa menentukan density heigtnya atau kerapatan
ketinggian udaranya, sehingga kesalahan 1ºC dapat
menyebabkan kesalahan perhitungan ketinggian 120 feet atau
kurang lebih 36 meter [Soejitno & Soeharsono, 1981].
II.4. TEKANAN UDARA
Tekanan udara pada suatu permukaan adalah gaya persatuan luas yang
diakibatkan oleh udara yang berada diatas permukaan tersebut. Dengan demikian
dapat dikatakan pula bahwa tekanan udara adalah sama dengan berat sekolom
udara dalam satuan luas yang menjulang vertikal keatas sampai atas atmosfer
bumi. Udara merupakan gabungan dari beberapa jenis gas yang memiliki massa
dan volume. Udara juga termasuk zat yang dapat mengalir atau yang biasa dikenal
dengan nama fluida. Udara yang menyelimuti bumi hingga batas ketinggian
tertentu dikenal dengan nama atmosfer. Semakin jauh dari permukaan bumi maka
rapat massa udara berkurang [Soepangkat, 1994].
Tekanan udara bersama-sama dengan suhunya akan menentukan
kerapatannya dan selanjutnya menentukan kemampuan daya angkat pesawat
terbang. Seperti halnya kerapatan dan tekanan udara yang tergantung dari suhunya
maka penentuan ketinggian harus juga diperhitungkan.[Soejitno & Soeharsono,
1981].
II.5. THUNDERSTROM
Badai guntur (thunderstorm) yang merupakan ciri khas awan
cumulonimbus merupakan salah satu fenomena cuaca yang dapat mengakibatkan
kerusakan pada pesawat yang sedang terbang dan juga kerusakan dimuka bumi.
Thunderstorm adalah pelepasan muatan listrik yang mendadak ditandai dengan
adanya kilat dan guntur. Thunderstorm terjadi dalam awan konvektif yang
biasanya disertai dengan hembusan angin kencang, hujan, butir-butir es dan hail
(rambun), tetapi hail umumnya meleleh sebelum mencapai permukaan tanah. Dan
guntur ini dapat didengar sampai pada jarak sekitar 20 km [Soepangkat, 1994].
7
II.5.1. Sirkulasi Thunderstorm
Karena thunderstorm bersumber dari awan konvektif (Cb) maka awan
cumulunimbus beserta segala aspek cuaca yang menyertainya sering disebut
thunderstorm. Oleh sebab itu siklus thunderstorm dibagi tiga tahapan yaitu :
a. Tahap Tumbuh (Beginning Stage)
Tahap ini adalah gerakan udara didalam sel awan seluruhnya vertical
keatas (up draft) berlangsungnya selama 10-15 menit [Bureau of Meteorology,
1966]. Arus keatas (up draft) makin keatas makin kuat, dan maksimum pada
puncak awan. Kecepatan udara naik 50 feet per second (3000 feet per menit),
kecepatan extrim mencapai 100 feet per second (6000 feet per menit) [Oxford
Training School]. Rata-rata pertumbuhan awan mencapai 3000 feet per menit
[FAA and NOAA, 1975]. Pada tahap tumbuh ini endapan belum tampak, karena
tetes-tetes air tertahan oleh adanya konvergensi dari sekelilingnya, menyebabkan
terjadinya mixing. Sehingga tetes air belum mencapai permukaan tanah akan
menguap lagi. Pada tahap ini peluang hujan sangat kecil dapat terjadi dan petir
jarang terjadi [Byers, 1959].
b. Tahap Dewasa (Mature Stage)
Dalam tahap ini jumlah serta ukuran tetes-tetes air maupun kristal-kristal
es telah sedemikian besarnya menyebabkan tidak tertahan lagi oleh arus ke atas
(up draft) didalam awan. Pada daerah kering umumnya kristal-kristal es telah
berubah menjadi tetes-tetes air pada saat mencapai tanah. Dari jatuhnya
hydrometeor tersebut, maka timbul gaya-gaya gesekan yang akhirnya merubah
arus udara keatas menjadi arus udara kebawah dibeberapa bagian awan.
Sedangkan arus udara keatas masih terus berlangsung. Pada tempat itu arus keatas
(up draft) kecepatannya mungkin melebihi 80 feet per sec [Byers, 1959]. Dalam
tahap dewasa ini, awan (Cumulunimbus) umumnya dapat mencapai ketinggian
lebih dari 12 km. Bahkan sering dapat mencapai 18 km dalam kondisi
pertumbuhan yang kuat [Nieuwolt, 1978]. Tinggi dasar awan bisa kurang dari 2
km. Puncak awan bersuhu sekitar -50oC. Suhu dasar awan berkisar antara 10oC.
Freezing level mencapai ketinggian sekitar 6 km [Nagle, 2000]. Diameter dasar
awan bisa kurang dari 10 km. Pada tahap dewasa ini berlangsungnya 15-30 menit.
8
Sel thunderstorm mencapai luasan maximum vertical 30.000-60.000 feet (di
Tropis).
Pada tahap ini, merupakan kondisi yang paling membahayakan terutama
pada penerbangan, khususnya pada saat pesawat sedang mengudara maupun pada
saat mendarat, oleh karena itu dalam tahap dewasa dari sel badai guntur ini
disertai kejadian-kejadian yang hebat didekat permukaan bumi seperti halnya:
Arus angin turun yang kuat dan dingin, squall, turbulensi, hujan lebat, dan
kadang-kadang terjadi hail [Soejitno, 1975].
Arus angin turun yang kuat ini biasanya disebut dengan Gusty dan Squall
dimana perbedaannya terletak pada faktor waktu. Gusty adalah perubahan arah
dan kecepatan angin secara mendadak dan berlangsungnya mungkin hanya
beberapa detik, akan tetapi squall adalah perubahan arah dan kecepatan angin
yang mendadak yang biasanya berlangsung beberapa menit kemudian menurun
kembali. Oleh karena itu, squall sehubungan pula dengan arus udara turun dari
sel-sel badai guntur yang terjadinya disertai dengan kilat dan guntur. Badai guntur
dapat menimbulkan terjadinya “garis squall” dan ditandai dengan adanya awan
bergulung membujur sepanjang formasi awan. Dengan demikian adanya barisan
sel-sel squall mungkin disertai adanya tanda penurunan suhu udara. Hal ini
merupakan sifat daripada “squall awan dan hujan”. Daerah squall merupakan
daerah dengan labilitas udara yang extrim dengan turbulensi hebat. Oleh karena
itu merupakan keadaan yang sangat berbahaya untuk tahap pendaratan atau
mengudara. Turbulensi dalam arus udara turun dapat mengakibatkan pesawat
yang sedang akan mendarat atau mengudara menjadi tidak dapat dikuasai lagi
[Soejitno, Soeharsono, 1981].
c. Tahap Mati (Dissipating Stage)
Dalam tahap ini gerak udara keatas berkurang sedangkan aliran kebawah
(down draft) meluas di seluruh sel awan dan kondensasi akan segera berhenti.
Selama berlangsungnya hujan, arus kebawah masih terus terjadi, maka seluruh sel
menjadi lebih dingin dari udara sekitarnya. Dalam fase ini basis awan semakin
rendah, hanya beberapa puluh meter diatas permukaan bumi. Puncaknya sudah
mencapai tinggi maksimum dan pecah menyebar kesegala arah tergantung angin
yang membawahnya. Arus kebawah makin lama makin melemah, hujan pun
9
makin berkurang. Pada saat badai berhenti suhu di dalam sel berada dalam
keadaan sama dari suhu sekitarnya, dan pada saat ini berakhirlah masa hidup
badai guntur dengan meninggalkan beberapa jenis statiform [Soejitno, 1975].
II.5.2. Pengaruh Thunderstorm Terhadap Penerbangan
Dalam dunia penerbangan Thunderstorm sangat besar pengaruhnya baik
pada saat pesawat sedang mengudara maupun pada saat mendarat. Awan
cumulonimbus yang juga disebut awan guntur sangat ditakuti oleh para penerbang
karena didalamnya terjadi kegiatan-kegiatan yang membahayakan penerbangan
antara lain :
II.5.2.1. Turbulensi
Turbulensi udara dapat diartikan sebagai gerakan udara vertikal yang
kecepatannya dan arahnya tidak teratur, disuatu bagian arahnya kebawah dan
dibagian lain arahnya keatas atau naik. Atau dibagian lain kecepatannya besar
sedangkan dibagian lain kecil. Turbulensi udara sering terjadi terutama dalam
masa udara yang tidak stabil, dengan intensitasnya mulai dari yang ringan hingga
hebat. Turbulensi dapat juga terjadi dalam keadaan cuaca baik atau dalam keadaan
cuaca buruk.
II.5.2.1.1. Jenis Jenis Turbulensi
Jenis-jenis turbulensi yaitu :
a. Turbulensi Arus Konveksi
Turbulensi jenis ini terjadi pada siang hari terutama terjadi karena
penyinaran matahari terhadap permukaan bumi yang tidak seragam. Yang paling
kuat arus konvektif ini banyak terjadi didalam dan dibawah awan cumulonimbus
dan berkurang pada awan cumulus lainnya. Apabila terjadi disekitar bandara dapat
menyebabkan pendaratan menjadi overshoot atau undershoot.
b. Turbulensi Arus Konveksi Pada Massa Udara
Pada siang hari atau malam hari turbulensi jenis ini dapat terjadi dalam
massa udara yang labil. Di Indonesia pada malam hari sering terjadi didaerah
dekat pantai pada sekitar tengah malam sampai pagi karena angin darat yang
10
dingin menyebabkan udara panas di sekitar pantai menjadi labil sehingga
terbentuk awan awan konvektif (Cu/Cb) karena akan terjadi up draft dan down
draft yang tidak sama kuat.
c. Turbulensi Wind Shear
Wind shear merupakan fenomena alam yang didefinisikan sebagai suatu
perubahan baik arah maupun kecepatan angin dalam jarak yang pendek atau
waktu yang cepat. Perubahan ini dapat terjadi pada arah mendatar maupun
vertikal atau keduanya sekaligus. Perubahan ini mempunyai efek menggunting
atau menyobek, sehingga harus diwaspadai oleh pilot. Wind shear apabila terjadi
pada bidang horisontal di antara dua lapisan yang berbeda dapat menyebabkan
konvergensi, konvergensi ini akan menyebabkan lift atau konveksi yang pada
akhirnya menimbulkan turbulensi.
Menurut [Eddy Budi Setyawan, 2006] masalah yang dialami oleh pesawat
terbang dengan adanya wind shear terjadi ketika terbang dengan kecepatan hanya
sedikit di atas kecepatan stall (kecepatan minimum yang diperlukan supaya dapat
terbang). Hal ini terjadi pada waktu pesawat yang tengah take off (lepas landas)
dan landing (mendarat). Dalam fase take off dan landing ini, perubahan kecepatan
angin yang besar dapat mengubah secara signifikan besarnya gaya angkat pesawat
terbang.
Pada dasarnya, pesawat terbang dapat lepas landas karena adanya gaya
angkat yang dihasilkan oleh salah satunya komponen kecepatan relatif antara
kecepatan pesawat terbang dengan kecepatan angin pada lintasan terbangnya.
Ketika pesawat terbang mendapat headwind (angin dari arah depan), maka
pesawat terbang akan mendapat gaya angkat tambahan yang ditimbulkan oleh
komponen kecepatan angin. (Ketika pesawat terbang akan mendarat, biasanya
dikompensasikan dengan mengurangi tenaga mesin). Demikian sebaliknya bila
mendapat tailwind, pesawat terbang akan mendapat pengurangan gaya angkat.
Apabila hal ini terjadi pada kondisi wind shear, besar kemungkinan pesawat
terbang akan stall atau kehilangan gaya angkat, yang akibatnya juga akan
kehilangan ketinggian terbang. Ada tiga hal vital apakah pesawat terbang akan
selamat ketika mengalami wind shear yang ekstrem, yakni ketinggian pesawat,
pengalaman pilot, dan jenis pesawat.
11
d. Turbulensi Karena Hambatan
Hambatan terhadap arus angin dapat berasal dari permukaan bumi
(bangunan, pegunungan, dan sebagainya) dan dapat pula dari angin lain yang arah
dan kecepatan kedua-duanya berbeda (konvergen). Hambatan pegunungan
terhadap arus angin menimbulkan turbulensi di depan dan terutama di belakang
pegunungan. Turbulensi dibagian belakang sering dinamakan ”mountain waves”.
Oleh sebab itu penerbang yang akan melintasi diatas puncak atau punggung
gunung, terutama yang menyongsong angin, sebaiknya pesawat mempunyai
sparasi ketinggian yang cukup jauh diatas ketinggian puncak atau punggung
gunung, selain menghindari mountain waves juga untuk menghindari kecelakaan
akibat kesalahan penunjukan altimeter setting, terutama dalam visibiliti yang
buruk. Turbulensi karena hambatan bangunan sering terjadi pada lapisan rendah
seperti didaerah landasan di atas kota kota. Turbulensi karena hambatan juga
dapat menimbulkan gusty karena kecepatan angin yang tidak konstan dalam
selang waktu yang relatif singkat. Fluktuasi dari gusty biasanya dapat dilihat dari
anemograp record [Alaka, 1959].
e. Turbulensi pada thunderstorm [Byers dan Broham, 1949]
Awan cumulonimbus yang aktif disertai thunderstorm sampai mencapai
ketinggian 9-13 km dan selalu lebih tinggi untuk daerah tropis. Untuk awan
cumulonimbus yang terjadi diatas lautan akibat udara dingin yang bergerak
biasanya mencapai 5-7 km.
Arus vertikal yang terdapat didalam awan akan menyebabkan pesawat
terbang tidak dapat bebas dari pengaruh turbulensi, baik yang terbang didalam
maupun dibawah awan. Biasanya arus naik dapat mencapai 2/3 tebal awan dan
kekuatannya didekat dasar awan, dibawah awan dan dipuncak awan agak lemah
dibandingkan dengan bagian tengah.
Kejanggalan yang tidak jarang terjadi bahwa turbulensi hebat pada bagian
bawah dan puncak awan, dekat diluar awan atau permukaan. Turbulensi diluar
awan yang menggantung dan penyebab lain adalah adanya gerakan dari daerah
awan. Turbulensi jenis ini dinamakan bad weather turbulensi, terjadi selain karena
adanya arus udara naik dan arus udara turun yang kuat juga karena adanya
loncatan-loncatan listrik udara didalam dan diluar awan serta karena front gusty.
12
Badai guntur hebat berkaitan dengan konveksi yang kuat, sering
menghasilkan gerak kebawah (down draft) yang kuat disertai hujan lebat. Udara
yang bergerak turun dingin dan rapat serta menyebar sampai ke permukaan bumi.
Bagian ujung dari udara dingin tersebut disebut front gusty, pesawat terbang yang
terbang melintasi sebuah front gusty dapat mengalami kenaikan (lifting) sehingga
pesawat akan terangkat atau slope (kemiringan) akan bergeser dari touch down
zone yang sebenarnya.
II.5.2.2. Kilat
Kilat adalah loncatan bunga api listrik yang kuat yang terjadi antara
muatan listrik didalam awan, atau antara awan dengan awan dan tanah. Dimana
kecepatan cahayanya sekitar 300.000 km per second. Sedangkan guntur adalah
suara yang terjadi karena gangguan atmosfer yang ditimbulkan oleh nyala kilat.
Dimana kecepatan suaranya sekitar 346 m per second.
Kecenderungan untuk mengalami sambaran petir bilamana pesawat sedang
terbang didekat badai guntur dan sekitar freezing level (ketinggian titik beku),
serta pesawat yang melewati badai ini tentu sangat sulit untuk diterbangkan,
karena pesawat terbang akan mengalami goncangan hebat dan kehilangan kontrol
arah [Soejitno & Soeharsono,1981]. Selain itu, kilat dapat merusak instrument
yang ada didalam pesawat.
II.6. Metode Penelitian
Dalam penulisan laporan kerja ini data yang digunakan berupa data unsur-
unsur cuaca yng berpengaruh terhadap penerbangan khususnya pada waktu
mengudara maupun mendarat. Untuk itu penulis harus dapat mengumpulkan data
yang diperlukan dan penulis harus mengadakan penelitian secara teliti, cermat,
terarah demi untuk tercapainya hasil yang bermutu.
Adapun penelitian dalam pengumpulan data penulis menggunakan dengan
cara :
1. Penelitian Perpustakaan
Dalam hal ini penulis mengumpulkan data yang ada kaitannya dengan
pengaruh cuaca terhadap penerbangan. Penelitian melalui bahan perpustakaan
13
seperti, media cetak, media elektronik maupun literatur-literatur lain yang
dapat dipergunakan sebagai landasan dalam pelaksanaan pembuatan laporan
kerja.
2. Penelitian Lapangan
Didalam melakukan penelitian lapangan penulis untuk mendapatkan data
dengan terjun langsung ke stasiun meteorologi penerbangan Bandara Adi
Soemarmo, Bandara Ahmad Yani serta Bandara Juanda, Sehingga data yang
diperoleh memiliki keabsahan dan keakuratan.
Sedangkan dalam pengolahan dan pembahasan penulis menggunakan
dengan cara menganalisis cuaca disekitar Bandara. Disamping itu masih
didukung oleh teori-teori yang ada dan bahan lain yang didapat selama
mengikuti pendidikan di Akademi Meteorologi dan Geofisika di Jakarta.
14
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
III.1. BANDARA ADI SOEMARMO, SOLO
III.1.1. Kondisi Cuaca Umum
III.1.1.1. Sirkulasi Angin
Secara umum, pola angin permukaan Jawa Tengah khususnya di stasiun
meteorologi Bandara Adi Soemarmo, Solo pada tanggal 30 November 2004
menunjukan dominasi pola angin barat laut dan utara, adanya pusaran angin yang
disebabkan oleh tekanan rendah (low pressure area) di sekitar 09º LS dan 112º
BT (diselatan pulau jawa), yang mengakibatkan terjadinya pertumbuhan awan
yang berpotensi menimbulkan hujan disertai badai guntur secara meluas. Kondisi
demikian sebagaimana ditunjukan analisis angin permukaan pada pengamatan jam
07.00 dan 19.00 wib.
III.1.1.2. Peta Citra Satelit
Berdasarkan pantauan citra satelit tanggal 30 November 2004 jam 17.00
dan 19.00 wib menunjukkan adanya konsentrasi awan-awan hujan cukup
sighnificant diatas pulau jawa, kondisi demikian memberikan indikasi terjadinya
hujan sedang sampai lebat disertai badai guntur secara meluas (Awan-awan Cu
dan Awan Cb), khususnya wilayah Bandara Adi Soemarmo Solo.
III.1.1.3. Radar Cuaca
Dari rekaman radar jam 18.00 wib terlihat bahwa sebagian besar wilayah
jawa tengah tampak diselimuti oleh awan yang didominasi awan cumulonimbus.
Awan tinggi menjulang (towering cloud) terdapat disepanjang pulau pantai utara
jawa tengah bagian timur hingga Purwodadi. Pada daerah Kudus sampai ke Blora
dan ke selatan sampai Boyolali terjadi perkembangan hebat awannya cukup padat
dan tinggi, memungkinkan terjadi intensitas hujan yang tinggi. Awan di daerah ini
di dominasi awan towering cumulus dan cumulonimbus dengan tinggi dasar 1500
15
– 2000 feet dan ketinggian puncak awan mencapai 37.000 feet dan di beberapa
tempat dapat mencapai 53.000 feet.
III.1.2. Laporan Keadaan Cuaca di Bandara Adi Soemarmo, Solo
Berdasarkan data synoptik tanggal 30 November 2004 yang diamati
stasiun meteorologi penerbangan Bandara Adi Soemarmo pada jam 16.00-20.00
wib sebagai berikut :
III.1.2.1. Kondisi Cuaca
Secara lokal keadaan cuaca pada tanggal 30 November 2004 pada jam
16.00 wib hujan dengan intensitas sedang sampai lebat disertai guntur (TSRA)
keadaan cuaca seperti ini bertahan hingga jam 20.00 wib.
III.1.2.2. Keadaan Angin
Berdasarkan data synoptik pada jam 16.00 wib keadaan angin bertiup dari
barat daya dengan kecepatan berkisar 8 knots. Sedangkan pada periode jam 17.00-
18:00 keadaan angin bertiup dari Utara dengan kecepatan berkisar antara 8-13
knots. Dan pada jam 19.00-20.00 wib keadaan angin calm. Dan pada jam 18.00
wib keadaan angin pada saat itu berhembus dari utara dengan kecepatan berkisar 8
knots pilot saat itu untuk memutuskan mendarat pada runway 26. Dalam hal
memutuskan atau wewenang pendaratan ada di tangan pilot, pihak meteorologi
tidak berwenang.
III.1.2.3. Keadaan Visibiliti
Dari laporan cuaca (synoptik) dua jam sebelum dan dua jam sesudah yaitu
pada jam 16.00, 17.00, 18.00, 19.00, dan jam 20.00 wib keadaan visibiliti
berturut-turut dilaporkan 4, 1, 2, 1, dan 1 kilometer. Disini dapat kita lihat
bahwasanya keadaan visibiliti saat kejadian lebih bagus daripada jam sebelum dan
sesudah kejadian.
III.1.2.4. Keadaan Awan
16
Berdasarkan dari data synop jam 16.00 – 18.00 wib keadaan awan pada
(TSRA), pada jam 19.00 wib keadaan awan masih berada diatas landasan dengan
tinggi dasar awan (cumulonimbus) lebih rendah dari satu jam sebelumnya yaitu
berkisar 1200 feet dan pada jam 20.00 wib awan cumulonimbus berada di sebelah
timur dengan tinggi dasar berkisar 1300 feet.
Dengan keadaan awan (cumulunimbus) seperti ini yang biasanya
memungkinkan akan menimbulkan downburst atau berupa outflow energi dari
adanya up draft dan down draft dari awan tersebut. Sementara dari permukaan
akan adanya inflow energi berupa udara naik keatas sebagai keseimbangan energi
dengan adanya perbedaan arah dari dua arus tadi akan menimbulkan ruang atau
kolom turbulensi atau front gusty disekitar bandara, jika pesawat melewati zona
itu akan mengganggu proses landing, yang mengakibatkan pesawat over shoot /
miss approuch ke tengah landasan atau runway.
Walaupun sebelumnya pilot sudah menyatakan runway in side dan
memutuskan untuk touch down di ujung landasan tetapi dimungkinkan karena
pesawat terkena front gusty dan masuk dalam kolom turbulensi sehingga pesawat
akan terangkat dan akan terjadi miss approuch. Pada akhirnya pesawat
menggunakan sisa panjang landasan yang ada.
Pada jam 16.00 wib sampai jam kejadian keadaan landasan sudah diguyur
hujan disertai guntur sehingga landasan dalam keadaan basah. Berdasarkan dari
keterangan beberapa saksi bahwa kondisi landasan terdapat beberapa ruas yang
tergenang air. Sehingga mengakibatkan landasan licin karena genangan air,
kemungkinan kondisi demikian juga yang mengakibatkan pesawat tergelincir
beberapa ratus meter keluar landasan. Sebagai catatan hujan selama 24 jam pada
tanggal 30 November 2004 adalah 122,4 mm.
III.2. BANDARA AHMAD YANI, SEMARANG
17
III.2.1. Keadaan Cuaca Umum
III.2.1.1. Sirkulasi Angin
Secara umum, pola angin permukaan di stasiun meteorologi penerbangan
Bandara Ahmad Yani Semarang, pada tanggal 11 Februari 2005. Menunjukkan
dominasi pola angin baratan, sehingga mengakibatkan kecenderungan angin
berhembus dari barat daya-barat laut. Kondisi demikian sebagaimana ditunjukkan
analysis angin permukaan pada pengamatan jam 07.00 dan 19.00 wib. Dan pada
bulan Februari tersebut sedang terjadi klimaks hujan dalam periode tahun musim,
dimana mengakibatkan hujan terjadi hampir setiap hari.
III.2.1.2. Peta Citra Satelit
Berdasarkan pantauan citra satelit pada tanggal 11 Februari 2005 pada sore
hari jam 16.00-19.00 wib, menunjukan adanya konsentrasi awan hujan cukup
sighnificant, kondisi demikian memberikan indikasi terjadinya hujan ringan
sampai sedang diwilayah Semarang, khususnya wilayah Bandara Ahmad Yani.
III.2.2. Laporan Keadaan Cuaca di Bandara Ahmad Yani, Semarang
III.2.2.1. Kondisi angin
Berdasarkan data synoptik kondisi angin yang bertiup pada jam 17.00 wib
yaitu 030 derajat dengan kecepatan 05 knot. Dari data speci jam 17.01 wib terjadi
perubahan arah dan kecepatan angin yaitu 320 derajat dengan kecepatan 11 knot,
pada jam 17.27 wib pesawat saat itu mendarat dari arah barat menuju ke timur
(Sektor P) padahal kita sama-sama ketahui bahwa pesawat mengudara maupun
mendarat itu harus berlawanan arah angin agar memperoleh daya hambat maupun
daya angkat. Dan setelah kejadian jam 18.00 wib kondisi angin bertiup dari 330
derajat dengan kecepatan 10 knot.
III.2.2.2. Keadaan Visibility
Dari data synoptik diketahui untuk jarak pandang sebelum kejadian yaitu
pada jam 17.00 wib adalah 1000 meter, dimana ini merupakan jarak pandang yang
penuh resiko pada saat pesawat akan mendarat. Dan seharusnya demi keamanan
18
memang pesawat dianjurkan untuk beralih ke bandara alternatif atau menunggu
sampai visibiliti bagus. Namun perlu ditegaskan sekali lagi bahwa kewenangan
pendaratan sepenuhnya tetap berada di pihak pilot yang memutuskan akan
mendarat atau tidak. Tetapi dari beberapa keterangan saksi yang penulis peroleh
pada saat kejadian visibiliti berubah lebih baik dari sebelumnya yaitu sekitar
3000 – 4000 meter dan setelah kejadian yaitu pada jam 18.00 wib visibilitinya
5000 meter.
Untuk diketahui bahwa pesawat yang dilengkapi ILS (Instrument Landing
System) memiliki kemampuan untuk dapat mendarat dengan jarak pandang
minimal 2000 meter, namun untuk pesawat yang tidak memiliki ILS hanya
memiliki batasan sampai 5000 meter. Namun dalam mengambil keputusan sangat
terbatas pada wewenang pihak meteorologi, sedangkan kewenangan sepenuhnya
untuk mendarat jika kondisi landasan dibawah batasan tersebut diserahkan kepada
pilot sepenuhnya.
III.2.2.3. Keadaan Awan
Berdasarkan data synop jam 17.00 wib keadaan awan pada saat itu adalah
adanya awan cumulus (2) berjumlah 7 oktas dengan tinggi dasar 1800 feet,
menunjukan bahwa landasan sedang ditutupi awan rendah yang luas dengan
sedikit celah saja. Dari data laporan cuaca take off and landing (speci) satu menit
kemudian yaitu pada jam 17.01 wib ada perubahan arah dan kecepatan angin,
jenis awan dan kondisi cuaca, yang mana jam 17.00 wib keadaan awan jenis
Cumulus berubah menjadi awan cumulonimbus berjumlah 2 oktas dengan tinggi
dasar 1500 feet, dilaporkan juga awan cumulunimbus berada di barat laut (NW)
keadaan awan seperti ini bertahan hingga jam 18.00 wib hanya ada perubahan
tinggi dasar awan cumulunimbus yaitu dari 1500 feet menjadi 1200 feet. Pada
periode jam 17.01-18.00 wib menunjukan cuaca saat itu hujan ringan disertai
guntur. Kondisi cuaca yang demikian dimungkinkan bisa terjadi angin kencang
secara tiba-tiba (Gusty wind) didaerah tersebut (durasinya pendek, kurang dari 1
menit dengan kecepatan angin diatas 30 knots (< 54 km/jam)). Pada jam 19.00
wib kondisi cuaca saat itu kejadian guntur berhenti Namun hujan ringan masih
19
bertahan hingga jam 20.00 wib dengan keadaan awan saat itu masih ada awan
cumulunimbus Namun ketinggian dasar lebih tinggi yaitu 1700 feet.
Keadaan landasan pada saat kejadian yaitu landasan yang basah karena
sudah diguyur hujan semenjak pukul 15.00 wib (Inter SLRA) hingga pada jam
18.00 wib, dan pada saat terjadi kecelakaan cuacanya hujan disertai guntur.
Sehingga dapat diketahui bahwa landasan terdapat genangan air dibeberapa ruas
yang mengakibatkan landasan licin. Dan kemungkinan kondisi ini juga yang
memperkuat dugaan bahwa pesawat tergelincir karena tidak dapat mengerem
dengan optimal yang disebabkan oleh landasan yang licin. Sebagai catatan hujan
pada jam 14.00 – 18.00 wib untuk tanggal 11 Februari 2005 adalah 79.2 mm.
20
III.3. BANDARA JUANDA, SURABAYA
III.3.1. Kondisi Cuaca Umum
Berdasarkan data synoptik yang diamati stasiun meteorologi Juanda,
Surabaya pada tanggal 21 Februari 2007 menunjukan bahwa kondisi cuaca
umumnya pada aerodrome adalah Mist pada jam 07.00-08.00 wib, Haze pada jam
09.00-10.00 wib, Berawan pada periode jam 11.00-13.00 wib, ReRa pada jam
14.00 wib, Berawan pada jam 15.00 wib, TSRA pada jam 16.00 wib, SLRA pada
jam 17.00 wib, ReTS pada jam 18.00 wib, Haze pada jam 19.00-22.00 wib, dan
terjadi Mist pada jam 23.00 wib.
Dari data synoptik tersebut diatas dapat diketahui bahwa keadaan cuaca
kecenderungan sebelum terjadinya kecelakaan adalah kekaburan pada pagi hari
dan hujan ringan pada siang hari serta adanya guntur pada sore hari.
III.3.1.1. Peta Citra Satelit
Berdasarkan pantauan citra satelit pada tanggal 21 Februari 2007
menunjukkan bahwa keadaan cuaca berawan banyak yang berpeluang hujan
disertai guntur, dengan puncak awan diperkirakan berkisar antara minus 27ºC
sampai minus 47ºC. Kondisi demikian sebagaimana ditunjukan peta citra satelit
cuaca pada jam 13.00 wib dan pada jam 14.00 wib.
III.3.2. Laporan Keadaan Cuaca di Bandara Juanda, Surabaya
III.3.2.1 Kondisi Angin
Berdasarkan data synoptik tanggal 21 Februari 2007 keadaan angin di
Bandara Juanda cenderung angin baratan atau angin berhembus dari barat. Bila
dilihat dari data dua jam sebelum dan dua jam sesudah kejadian angin masih
didominasi angin dari barat. Pada jam 15.00 wib angin bertiup dari 220º dengan
kecepatan 9 knots, keadaan angin ada perubahan pada jam 15.11 wib yaitu angin
bertiup dari 260º dengan kecepatan 6 knots. Pesawat mendarat saat itu pada
runway 10 sekitar jam 15.24 wib. Apabila arah dan kecepatan angin pada jam
15.11 wib ini tidak mengalami perubahan, maka pesawat Adam Air tidak terlalu
21
membahayakan untuk pendaratan. Dan setelah kejadian yaitu pada jam 15.30 wib
angin bertiup dari 240º dengan kecepatan 3 knot.
III.3.2.2. Keadaan Visibility
Dari data diketahui untuk jarak pandang mendatar sebelum kejadian pada
jam 15.00 wib adalah 10 km di Runway 10, dimana kondisi demikian itu cukup
baik untuk pendaratan. Pada jam 15.11 wib jarak pandang berubah, dengan selang
waktu hanya 11 menit perubahan ini sangat cepat (drastis) yaitu 2200 meter.
Untuk pesawat yang dilengkapi ILS (Instrument Landing System) menemui
keadaan jarak pandang seperti diatas masih layak untuk pendaratan. Dan pada jam
setelah kejadian yaitu pada jam 15.30 wib jarak pandang membaik menjadi 4500
meter lebih cerah dari jam sebelumnya, hanya dengan selang waktu 1 menit yaitu
jam 15.31 wib jarak pandang berubah sangat cepat yaitu 1900 meter lebih jelek
dari jam sebelum terjadi kecelakaan.
III.3.2.3. Keadaan Awan dan Vertikal Visibility
Pada jam 15.00 wib keadaan awan saat itu ada pertumbuhan awan
cumulunimbus di sebelah barat berjumlah 1-2 oktas dengan tinggi dasar 1500 feet
dan juga ada awan lainnya berjumlah 5-7 oktas dengan tinggi dasar 1900 feet.
Kondisi demikian menunjukkan bahwa landasan sedang ditutupi awan rendah
yang luas dengan sedikit celah saja. Dari laporan cuaca khusus jam 15.11 wib
menunjukkan ada perubahan keadaan awan yaitu tidak bisa dilihat karena
kekaburan (OBSC) yang dimungkinkan dipengaruhi oleh keadaan cuaca saat itu.
Dimana cuaca saat itu hujan sedang disertai guntur dan terekam juga dari alat
(AWOS) di runway 10 terdapat jarak pandang keatas (vertikal visibility) yaitu
1100 feet. Dengan keadaan awan seperti ini dimungkinkan sangat berpotensi
terjadinya down burst meskipun biasanya waktunya berlangsung relatif singkat,
apabila peristiwa fenomena alam tersebut berlangsungnya bersamaan dengan
pendaratan maka perlu juga diwaspadai bagi setiap penerbang. Dan pada jam
setelah kejadian keadaan awan membaik yaitu tinggi dasar awan cumulunimbus
2000 feet berjumlah 1-2 oktas dan awan jenis lainnya lebih rendah dengan tinggi
1800 feet, tetapi hanya selang waktu 1 menit yaitu pada jam 15.31 wib keadaan
22
awan lebih jelek dari jam sebelum kejadian yang mana kondisinya tidak dapat
dilihat karena kekaburan (OBSC) serta jarak pandang keatas lebih rendah yaitu
1000 feet
III.3.2.4. Keadaan Tekanan Udara
Untuk tekanan udara hanya bisa ditinjau dari satu sisi pelaporan yaitu dari
stasiun meteorologi Juanda saja. Pada jam 15.11 wib tekanan udara saat itu 1007
mb data tekanan udara ini digunakan untuk menyetel altimeter yang indikatornya
dibaca diruang kokpit pilot. Apabila altimeter dalam keadaan baik maka pada saat
roda pesawat menyentuh landasan indikator menunjukan angka 0 meter. Akan
tetapi jika altimeter mengalami kerusakan bisa jadi angka 0 meter atau telah
mencapai landasan tetapi nyatanya masih berada diatas landasan atau bahkan
berada diatas landasan. Bila keadaan ini terjadi pada pendaratan pesawat tersebut
dapat mengalami peristiwa seperti jatuh bebas atau terbanting. Kemungkinan
pesawat Adam Air yang mendarat di bandara juanda pada jam 15.24 wib ada
kesalahan instrument altimeter. Namun keakuratan altimeter tersebut sepenuhnya
dipercayakan kepada hasil rekaman kotak hitam.
23
BAB IV
KESIMPULAN
IV.1. PENYEBAB KECELAKAAN DI BANDARA ADI SOEMARMO
Dari hasil analisis diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a. Saat tergelincirnya pesawat Lion Air, kondisi cuaca di sepanjang
penerbangan Jakarta – Solo, maupun di sekitar Bandara Adi Soemarmo
dalam kondisi cuaca buruk.
b. Telah terjadi miss approach pada kejadian tersebut yang mungkin
diakibatkan oleh adanya turbulensi dan front gusty di sekitar Bandara,
serta diperparah dengan adanya genangan air di landasan.
IV.2. PENYEBAB KECELAKAAN DI BANDARA AHMAD YANI
Dari hasil analisis diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a. Pesawat mendarat searah dengan arah angin (tailwind) yang mungkin
diakibatkan adanya awan cumulonimbus di sebelah barat laut
b. Kondisi landasan pada saat terjadi kecelakaan dalam kondisi ada genangan
air sehingga landasan basah dan licin yang mempengaruhi pesawat saat
mendarat dan ketika pengereman dilakukan tidak optimal membuat
pesawat meluncur sampai ujung landasan. Sehingga pesawat terperosok di
sebelah timur (Sektor P).
IV.3. PENYEBAB KECELAKAAN DI BANDARA JUANDA
Dari hasil Analisis diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a. Berdasarkan data citra awan dari citra satelit (IR) jam 13.00-14.00 wib
menunjukkan bahwa pertumbuhan awan disekitar Bandara berpotensi
menimbulkan hujan disertai guntur.
b. Informasi tinggi dasar awan, jarak pandang, dan curah hujan saat itu cukup
aman untuk pendaratan (landing) pesawat Adam Air.
24
c. Ada pemikiran bahwa pada saat pesawat akan landing mendapat angin
turun (down brust) bisa saja kemungkinan itu terjadi, hanya saja dalam
analysis tidak dapat menerangkan karena tidak ada data untuk perihal
tersebut.
d. Kecelakaan pesawat terbang milik maskapai penerbangan Adam Air jenis
Boeing 737-400, tanggal 21 februari 2007 yang mendarat di Bandara
Juanda Surabaya pukul 15.24 wib dugaan sementara disebabkan karena
kesalahan instrumen altimeter yang tidak sesuai dengan data tekanan
udara, sehingga pada saat roda menyentuh landasan altimeter tidak
menunjuk harga 0 meter, perihal inilah yang patut dicurigai, atau
kesalahan pilot pada saat melakukan pendaratan kurang cermat. Untuk
mengetahui secara pasti tinggal menunggu analisis kotak hitam tim
KNKT.
25
DAFTAR ACUAN
[1] Alaka, M.A. 1958, ’’ Aviation aspect of Mountain Waves ’’ dalam WMO Technical Note No 69.TP 26