FERMENTASI SUBSTRAT PADAT FERMENTASI KECAP
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI
Disusun oleh:Nama: Rehuel Safira SoebrotoNIM: 12.70.0054Kelompok
E4
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI
PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2015
Acara III
18
1. HASIL PENGAMATAN
Berikut merupakan hasil pengamatan uji sensori pada kecap yang
telah dilakukan pada praktikum ini. Pengamatan uji sensori dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengamatan Uji Sensori
KecapKelPerlakuanAromaRasaWarnaKekentalan
E1Kedelai hitam + 0,5% inokulum++++++
E2Kedelai putih + 0,75% inokulum+++++++++
E3Kedelai hitam + 0,75% inokulum+++++++
E4Kedelai putih + 1% inokulum++++++++
E5Kedelai hitam + 1% inokulum++++++++
Keterangan:17
Aroma :+: kurang kuat++: kuat+++: sangat kuatRasa :+: kurang
kuat++: kuat+++: sangat kuatWarna :+: kurang hitam++: hitam +++:
sangat hitamKekentalan :+: kurang kental++: kental+++: sangat
kental
Berdasarkan pada Tabel 1, dapat diketahui bahwa kecap yang
menggunakan kedelai putih memiliki aroma yang sangat kuat
dibandingkan dengan kedelai hitam. Rasa kecap terendah yaitu kurang
kuat pada kedelai putih ditambah 1% inokulum, sedangkan tertinggi
diperoleh pada kedelai hitam dengan penambahan 0,75% dan 1%
inokulum. Warna yang dihasilkan yaitu kurang hitam (kelompok E3 dan
E4) dan hitam (kelompok E1,S2 dan E5). Tingkat kekentalan tertinggi
diperoleh pada kelompok E4 dengan kedelai putih dan penambahan 1%
inokulum yaitu sangat kental; sedangkan nilai terendah yaitu kurang
kental pada penggunaan kedelai hitam dengan penambahan inokulum
0,5% dan 1%.
2. PEMBAHASAN
Kecap merupakan produk hasil fermentasi sari kedelai berupa
cairan berwarna coklat sampai hitam. Pembuatan kecap di Indonesia,
kebanyakan dilakukan secara traditional yaitu dengan membiarkan
kapang tumbuh secara spontan sehingga mutu kecap yang dihasilkan
akan menjadi berbeda-beda (Astawan & Astawan, 1991). Kapang
yang secara umum digunakan dalam proses fermentasi kecap merupakan
organisme yang terdapat secara alami (Rahman, 1992). Contoh kapang
yang sering digunakan antara lain Rhizopus sp dan Aspergillus sp.
Untuk memperoleh hasil yang optimal maka mikroorganisme tersebut
perlu ditumbuhkan pada media pemacu skala kecil yang disebut
starter pada kurun waktu 18-24 jam. Tujuan dari pembuatan starter
ini adalah untuk mengkondisikan mikroorganisme tersebut dalam fase
eksponensial sehingga waktu adaptasi dalam media dapat berlangsung
lebih cepat (Santoso, 1994).
Berdasarkan rasa dan kekentalannya, kecap dibedakan menjadi 2
yaitu kecap manis dan kecap asin. Secara tradisional kecap manis
dibuat dengan cara menyebarkan kacang kedelai yang sudah matang
dalam besek (bamboo tray) selama beberapa hari (kecap koji).
Kedelai yang telah ditumbuhi jamur atau kapang akan direndam dalam
20% larutan garam untuk dilanjutkan ke proses fermentasi kedua
selama 14 hingga 120 hari pada suhu ruangan. Kemudian larutan
tersebut difiltrasi untuk mendapatkan filtrat kecap. Untuk kecap
manis, filtrat dimasak dengan penambahan gula jawa dan bumbu-bumbu
lainnya selama 4 hingga 5 jam dan difiltrasi kembali (Steinkraus,
1995 dalam Sulistyo & Nikkuni, 2006). Menurut Judoamidjojo
(1986) dalam Sulistyo & Nikkuni (2006), kecap manis mengandung
26-65% karbohidrat; 0,1-0,3% total nitrogen dan 3-9% garam.
Mutu dari kecap manis yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh
jumlah atau kadar larutan garam yang digunakan untuk merendam,
lamanya proses fermentasi dalam larutan garam, proses pengolahan
yang dilakukan dan kemurnian biakan kapan (Astawan & Astawan,
1991). Komponen nitrogen pendukung yang dapat meningkatkan aroma
dan flavor pada kecap yaitu kadaverin, putresin, arginin, histidin
dan amonia (Tortora et al., 1995). Kandungan protein merupakan
parameter dari kualitas kecap manis (Direktorat Gizi Depkes RI,
1996 dalam Purwoko & handajani, 2007). Menurut standar Industri
Indonesia (SII) kecap manis dapat dikatakan memiliki kualitas
tinggi bila memiliki kandungan protein minimal 6% (Septiani, 2004
dalam Purwoko & handajani, 2007). Nilai nutrisi dari kecap
manis sangat ditentukan oleh jenis kapng pada saat proses
fermentasi koji.
Dalam praktikum pembuatan kecap manis, bahan yand digunakan
adalah kacang kedelai hitam (kelompok E1, E3 dan E5) dan kacang
kedelai putih (kelompok E2 dan E4). Pemilihan kacang kedelai ini
disebabkan karena kacang kedelai memiliki kandungan protein yang
tinggi yaitu sekitar 35%. Kandungan protein pada bahan baku yang
digunakan perlu diperhatikan sebab kadungan protein ini dapat pula
menentukan kualitas mutu dari kecap itu sendiri (Astawan &
Astawan, 1991). Kedelai yang tidak dihilangkan lemaknya akan
memiliki hasil yang lebih stabil, tetapi dapat membuat waktu
fermentasi dalam larutan garam akan semakin lama oleh karena asam
lemak akan menghambat pertumbuhan yeast (Kasmidjo, 1990).
Pertama-tama kedelai hitam maupun kedelai putih dilakukan perlakuan
pendahuluan terlebih dahulu. Kacang kedelai disortir terlebih
dahulu untuk memisahkan kedelai dari kotoran-kotoran dan kedelai
yang memiliki kualitas buruk. Kemudian direndam selama satu malam
dimana seluruh kedelai terendam seutuhnya. Perendaman ini memiliki
fungsi untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada kedelai
tersebut dan membuat kedelai menyerap air (hidrasi) serta untuk
mempermudah menghilangkan kulilt ari-nya (Peppler & Perlman,
1979). Setelah direndam selama satu malam, kedelai dicuci kembali
dan ditiriskan hingga kering. Setelah itu kedelai direbus sampai
setengah matang atau kedelai sampai sedikit empuk kemudian
ditiriskan kembali hingga benar-benar kering, seperti pada Gambar
1a dan 1b.
(a) (b) Gambar 1 (a) Proses Perebusan Kedelai, (b) Proses
Pengeringan KedelaiProses perebusan memiliki fungsi untuk merusak
protein inhibitor, menghilangkan bau langu, membunuh bakteri yang
tidak diinginkan dan menginaktifasikan zat-zat antinutrisi yang
terdapat pada kacang kedelai. Selain itu, dapat mempermudahkan
yeast atau kapang untuk tumbuh yang memiliki tekstur sedikit lunak
dan memudahkan yeast atau kapang untuk menggunakan protein yang
terdapat pada kedelai (Peppler & Perlman, 1979). Proses
pengeringan memiliki fungsi untuk mengoptimalkan pertumbuhan dari
yeast yang digunakan serta mengurangi jumlah kadar air pada
kedelai. Bila kadar air terlalu tinggi maka akan terjadi
kontaminasi oleh bakteri pembusuk seperti Bacillus subtilis yang
ditandai dengan tampaknya lendir di permukaan biji (Atlas, 1984).
Proses pengeringan ini dapat pula digunakan untuk mendinginkan
kedelai supaya yeast yang akan ditambahkan pada kedelai tidak mati
oleh karena suhu yang terlalu tinggi (Santoso, 1994).
Setelah itu, proses fermentasi tahap satu pembuatan kecap
dimulai yaitu pembuatan koji. Kedelai yang telah direbus dan
dikeringkan dimasukkan ke dalam besek yang sudah diberihkan dengan
alkohol serta telah dialasi dengan daun pisang yang sudah
dibersihkan pula. Kemudian ditambahkan inokulum komersial untuk
pembuatan tempe sebanyak 0,5% untuk kelompok E1; 0,75% untuk
kelompok E2 dan E3; 1% untuk kelompok E4 dan E5. Inokulum diaduk di
dalam besek supaya inokulum dapat tercampur rata pada kedelai.
Kemudian kedelai ditutup kembali menggunakan daun pisang dan besek
ditutup rapat untuk diinkubasi selama 3 hari pada suhu ruang
seperti pada Gambar 2.
(a) (b)Gambar 2. (a) Penambahan Inokulum Komersial; (b)Inkubasi
Kedelai
Proses inkubasi memiliki fungsi agar yeast dapat tumbuh secara
optimal. Proses fermentasi yeast tidak boleh terlalu cepat, hal ini
dapat menyebabkan berkurangnya komponen-komponen penting yang
dihasilkan pada proses fermentasi. Semakin lama waktu fermetasi
maka akan semakin banyak enzim atau komponen-komponen penting hasil
dari proses fermentasi. Serta selama proses inkubasi diperlukan
pengaturan kondisi yang tetap untuk menghindari kontaminasi dari
mikroorganisme lainnya seperti Mucor sp dan bakteri proteolitik
yang dapat mempengaruhi hasil akhir kecap. Keuntungan dari
penggunaan inokulum komersial yaitu dapat mempercepat proses
fermentasi koji sebanyak 3 hari pada suhu temperatur (Sulistyo
& Nikkuni, 2006).
Setelah inkubasi 3 hari, maka akan terbentuk miselia berwarna
putih yang menyelimuti kedelai yang telah difermentasi seperti pada
Gambar 3. Hal ini sesuai dengan pendapat Santoso (1994), bahwa
selama proses fermentasi koji yeast akan menghasilkan struktur
serabut dengan warna putih yang biasanya disebut dengan miselium.
Kedelai yang telah diselimuti miselia ini disebut denagan koji.
Beberapa contoh kapang yang sangat berperan dalam proses fermentasi
kecap adalah Aspergillus oryzae, Aspergillus flavus, Aspergilus
niger dan Rhizopus sp, sedangkan bakteri yang penting dalam
fermentasi kecap adalah Lactobacillus delbrueckii dan ragi
Hansenula sp (Astawan & Astawan, 1991).
E4 Gambar 3. Koji Kelompok E1-E5
Setelah koji diperoleh, maka proses kedua tahap fermentasi akan
berlangsung. Tahap kedua yaitu proses fermentasi dalam larutan
garam (Kasmidjo, 1990). Pada tahapan ini, koji yang telah
dihasilkan akan dipotong-potong menjadi bagian kecil kemudian dalam
sebuah tray seperti pada Gambar 4, kemudian dikeringkan dalam
dehumifier selama 4 jam dengan suhu ruang. Tujuan dari proses
pengeringan adalah untuk mempermudah menghilangkan kapang yang
melekat pada permukaan substrat (Rahayu et al., 1993). Serta
pengeringan dapat menurunkan kadar air pada kedelai sehingga dapat
membunuh yeast atau kapang, karena kapang tidak dapat hidup tanpa
air (Peppler & Perlman, 1979).
Gambar 4. Pengeringan Koji pada Dehumidifier
Setelah koji dikeringkan, koji direndam ke dalam toples yang
telah berisi dengan larutan garam 20% (100 gram garam dilarutkan
dengan 500 ml air). Tujuan dari penggunaan larutan garam dalam
pembuatan kecap adalah untuk: Mencegah pertumbuhan mikroorganisme
yang tidak dikehendaki, kecuali bakteri asam laktat halofilik yang
memiliki peran dalam pembentukan cita rasa dan aroma spesifik pada
kecap. Menghilangkan rasa pahit yang disebabkan oleh adanya
pemecahan protein oleh enzim protease Dapat digunakan sebagai
pengawet dna memberikan rasa asin pada kecap Terciptanya
bagian-bagian anaerobik pada media fermentasi (Ebine, 1979 dalam
Kurniawan, 2008).
Tingginya kadar larutan garam yang digunakan bertujuan agar
mikroorganisme alami yang tumbuh pada larutan garam yang berisi
kedelai dapat memanfaatkan nitrogen secara maksimal. Nitrogen
diperoleh dari pemecahan protein dalam fermentasi koji. Nitrogen
diekstrak oleh larutan garam untuk mempermudah mikroorganisme untuk
mencernanya (Astawan & Astawan, 1994). Selama proses perendaman
berlangsung selama satu minggu, rendaman perlu dijemur di bawah
sinar matahari selama satu jam dan rendaman perlu diaduk 15 menit
sekali (seperti pada Gambar 5).
(a) (b)Gambar 5. Proses Fermentasi Dalam Larutan Garam (a) Hari
Ke-1; (b) Hari ke-6
Selain itu, proses pengadukan memiliki fungsi untuk meratakan
larutan garam sehingga seluruh permukaan kedelai dapat terkena oleh
larutan garam tersebut dan juga memberikan udara (aerasi) untuk
meningkatkan pertumbuhan kapang dan bakteri selama proses
fermentasi berlangsung (Tortora et al., 1995). Aerasi diperlukan
karena oksigen merupakan salah satu faktor terpenting dalam
pembuatan kecap manis. Hal ini dikarenakan kapang secara umum tidak
dapat tumbuh pada saat proses fermentasi brine oleh karena
rendahnya kandungan oksigen di dalamnya (Sluis et al., 2001 dalam
Wu et al., 2010). Proses fermentasi dalam larutan garam atau dapat
disebut dengan brine fermentation, merupakan proses terpenting
dalam pembuatan kecap manis. Dalam proses ini, kandungan protein
secara dominan akan meingkat seiring dengan lamanya proses
fermentasi berlangsung. Hal ini dikarenakan protein yang
terpecahkan oleh bakteri asam laktat akan semakin banyak pula.
Tetapi peningkatan kadar protein tidak akan berlangsung secara
terus menerus, melainkan akan menjadi stasioner oleh karena protein
yang terpecah oleh bakteri Streptococcus lactis mulai berkurang (Wu
et al., 2010). Suhu inkubasi atau fermentasi juga perlu
diperhatikan dalam pembuatan kecap manis. Suhu yang diberikan
sebaiknya pada suhu ruang dan terkadang pada suhu yang tinggi pula.
Hal ini dikarenakan untuk mencegah terjadinya kontaminasi oleh
bakteri patogen yang dapat tumbuh pada kondisi lingkungan yang
ekstrim seperti contoh B. circulans yang dapat tumbuh pada suhu
yang tinggi seperti pada suhu pasteurisasi terutama pada sporanya
(Slepecky, 1992 dalam Sumague, 2008). Perubahan suhu dapat pula
mempengaruhi tingkat kematangan dan kualitas dari kecap manis.
Semakin tinggi suhu yang digunakan maka warna yang dihasilkan akan
menjadi lebih gelap setelah proses pematangan. (Wu et al.,
2009).
Setelah satu minggu, substrat yang dihasilkan dipress
menggunakan kain saring hingga diperoleh sebanyak 250 ml dan
ditambahkan air mineral sebanyak 750ml. Kemudian bumbu-bumbu
disiapkan terlebih dahulu untuk menambah cira rasa pada kecap.
Resep yang digunakan tiap kelompok hampir sama yaitu menggunakan 20
gram kayu manis, 3 gram ketumbar halus, 1 jentik laos yang telah
dikupas dan digeprek, 1 biji bunga pekak dan 1 kg gula jawa.
Perbedaannya yaitu untuk kelompok E1 dan E2 menggunakan 1 gram
cengkeng; kelompok E3 dan E4 menggunakan 1 buah daun sereh; serta
kelompok E5 menggunakan 1 buah pala (Gambar 6).
Gambar 6. Bumbu-Bumbu Kecap
Semua bumbu dimasukkan ke dalam filtrat kecap pada saat filtrat
hampir mendidih. Kemudian kecap dimasak sambi diaduk selama 30
menit sampai diperoleh kecap manis yang sedikit mengental. Kemudian
kecap disaring menggunakan penyaring untuk mendapatkan filtrat
kecap yang bersih dari bumbu yang tersisa, sehingga didapakan kecap
yang bersih untuk diuji secara organoleptik. Berikut merupakan foto
pemasakan kecap pada Gambar 7.
Gambar 7. Pemasakan Kecap
Gula jawa yang ditambahkan dalam pembuatan kecap manis tidak
hanya memiliki fungsi sebagai pemanis melainkan dapat memberikan
warna kecoklatan khas kecap akibat dari reaksi browning antara gula
pereduksi dengan gugus-gugus amino dari protein serta dapat
meningkatkan viskositasnya (kekentalan) (Kasmidjo, 1990). Setelah
proses penyaringan kecap, kecap tersebut dilakukan uji sensori yang
meliputi aroma, rasa, warna dan kekentalan kecap. Berikut pada
Gambar 8 merupakan hasil kecap yang diperoleh pada masing-masing
kelompok.
Gambar 8. Kecap Manis
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, proses pembuatan kecap
manis terdiri dari 2 tahap utama yaitu fermentasi koji dan
fermentasi dalam larutan garam (brine fermentation) (Astawan &
Astawan, 1991). Perbedaan dari proses fermentasi koji dan
fermentasi dalam larutan garam yaitu jenis kapang yang digunakan
serta proses fermentasi yang terjadi. Pada fermentasi koji
mengguanakan starter atau inokulum, sedangkan pada fermentasi dalam
larutan garam secara spontan atau tanpa penambahan inokulum lagi.
Hasil yang diperoleh juga berbeda, fermentasi koji menghasilkan
koji atau kedelai yang telah berjamur; sedangkan fermentasi dalam
larutan garam menghasilkan filtrat kecap (Tortora et al.,
1995).
Pada praktikum ini, inokulum dan jenis kedelai yang digunakan
pada tiap kelompok berbeda-beda. Untuk kelompok E1 menggunakan
kedelai hitam dengan penambahan inokulum 0,5%; kelompok E2 dengan
kedelai putih dan inokulum 0,75%; kelompok E3 dengan kedelai hitam
dan inokulum 0,75%; kelompok E4 dengan kedelai putih dan inokulum
1%; serta kelompok E5 dengan kedelai hitam dan inokulum 1%.
Berdasarkan pada Gambar 3, dapat diketahui bahwa pertumbuhan
miselia pada kedelai telah merata ke seluruh permukaan kedelai.
Tetapi untuk membedakan hasilnya tidak dapat dilakukan karena semua
perlakuan memiliki hasil yang sama yaitu miselia terbentuk secara
menyeluruh pada kedelai. Menurut Suprapti (2003), semakin banyak
yeast yang ditambahkan dalam kedelai, seharusnya semakin tebal pula
pertumbuhan kapang dan semakin lunak hasil yang diperoleh. Oleh
karena itu, seharusnya pada kelompok E4 dan E5 yang menggunakan
inokulum sebanyak 1% dapat memperoleh miselia yang tebal dan
menyeluruh.
Dari hasil pengamatan dapat dilihat pada Gambar 5, diketahui
bahwa semakin hari larutan garam semakin keruh. Hal ini menunjukkan
bahwa di dalam larurtan garam terjadi reaksi penguraian komponen
komponen nutrisi selanjutnya. Penguraian nutrisi ini berasal dari
penguraian senyawa yang sebelumnya terjadi pada tahap fermentasi
jamur oleh kapang. Hasil-hasil pemecahan komponen-komponen gizi
menjadi bagian yang lebih sederhana oleh enzim-enzim yang
dihasilkan kapang selama proses fermentasi (amilase, maltase,
lipase, proteinase, dan sebagainya) dapat mempengaruhi cita rasa
pada hasil akhir kecap yang diperoleh (Astawan & Astawan,
1991).
Untuk hasil fermentasi moromi atau fermentasi dalam larutan
garam, pada Gambar 5 dapat diketahui bahwa semakin hari larutan
garam akan semakin keruh dan air yang digunakan akan semakin
sedikit. Hal ini menandakan bahwa pada dalam larutan garam telah
terjadi reaksi penguraian komponen-komponen nutrisi yang diperoleh
dari proses fermentasi koji. Nutrisi ini dapat mempengaruhi cita
rasa pada hasil akhir kecap yang akan diperoleh (Astawan &
Astawan, 1991). Semakin tinggi inokulum yang digunakan dalam proses
fermentasi koji maka semakin banyak pula proses pemecahan nitrogen
di dalam kedelai yang akan meningkatkan cita rasa dari kecap manis
yang akan dihasilkan. Tetapi bila inokulum terlalu banyak akan
menyebabkan penurunan kualitas dari kecap oleh karena pemecahan
protein, karbohidrat dan lemak yang terlalu berlebihan (Astawan
& Astawan, 1991). Perbedaan yang diperoleh pada kedelai hitam
dan kedelai putih yaitu pada kedelai hitam masih terdapat sedikit
filtrat sehingga dapat mempermudah proses pemerasan filtrat kecap.
Sedangkan pada kedelai putih, filtrat yang dihasilkan sangatlah
sedikit sehingga praktikan sedikit kesusahan dalam memeras atau
mengambil filtrat dari fermentasi moromi ini.
Kemudian pengujian sensori kecap manis yang meliputi aroma, rasa
warna dan kekentalan kecap dilakukan oleh seorang panelis untuk
mendapatkan data yang konkret dan tepat. Berdasarkan pada Tabel 1,
dapat diketahui aroma yang paling atau sangat kuat yaitu pada
kelompok E2 dan E4 yang menggunakan kedelai putih. Sedangkan hasil
yang diperoleh pada kedelai hitam yaitu kurang kuat dan kuat. Maka
dapat disimpulkan bahwa kedelai putih dapat memberikan aroma yang
lebih kuat bila dibandingkan dengan kedelai hitam. Menurut Pusat
Penelitian dan Pengembangan Gizi (1985) dalam Sigit et al., (2010),
kedelai hitam memiliki kandungan asam glutamat yang sedikit lebih
tinggi daripada kedelai kuning. Asam glutamat merupakan salah satu
asam organik utama yang dapat meningkatkan cita rasa khas dari
kecap manis (Muangthai et al.,2007). Oleh karena itu, seharusnya
kecap kedelai hitam memiliki aroma yang lebih menonjol bila
dibandingkan dengan kecap kedelai putih. Sedangkan pengaruh
penambahan inokulum pada kedelai dapat diketahui bahwa semakin
tinggi inokulum yang diberikan kepada kedelai maka semakin kuat
pula aroma yang dihasilkan. Hal ini sedikit sesuai dengan pendapat
Rahayu et al., (1993) yang mengatakan bahwa jumlah inokulum yang
ditambahkan dapat mempengaruhi flavor kecap. Semakin banyak
inokulum yang ditambahkan maka semakin tinggi pula flav or yang
dihasilkan. Tetapi bila terlalu banyak maka akan menurunkan
kualitas dari kecap itu sendiri (Astawan & Astawan, 1991).
Untuk pengujian rasa kecap yang dihasilkan dapat diketahui
kedelai hitam memiliki tingkat rasa yang sangat kuat bila
dibandingkan dengan kedelai putih; sedangkan pada kedelai putih
dengan inokulum 1% memiliki nilai rasa terendah yaitu kurang kuat.
Hal ini sesuai dengan pendapat Pusat Penelitian dan Pengembangan
Gizi (1985) dalam Sigit et al., (2010), bahwa kedelai hitam
memiliki kandungan asam glutamat yang sedikit lebih tinggi daripada
kedelai kuning. Asam glutamat merupakan salah satu asam organik
utama yang dapat meningkatkan cita rasa khas dari kecap manis
(Muangthai et al.,2007). Rasa yang diperoleh dipengaruhi oleh
penggunaan bumbu-bumbu yang digunakan selama proses pemasakan kecap
serta aktivitas bakteri asam laktat yang tumbuh selama proses
fermentasi moromi. Bakteri asam laktat inilah yang akan
menghasilkan asam laktat, asam fosfat dan asam suksinat yang dapat
menurunkan pH kecap sehingga kapang yang memiliki peran dalam
pembentukan rasa kecap akan meningkat dengan baik (Astawan &
Astawan, 1991). Semakin lama proses fermentasi dalam larutan garam
maka protein yang terpecahkan oleh bakteri asam laktat akan semakin
banyak pula (Kurniawan, 2008).
Berdasarkan data yang diperoleh pada Tabel 1, dapat diketahui
perbedaan warna yang dihasilkan pada kecap kelompok E3 dan E4
memiliki warna yang kurang hitam; sedangkan kelompok E1, E2 dan E5
memiliki warna yang hitam. Perbedaan warna pada kecap disebabkan
oleh penambahan gula jawa pada proses pemasakan. Gula jawa berperan
dalam memberikan warna gelap pada kecap. Kualitas kecap dapat pula
ditentukan dari warnanya. Kecap yang memiliki warna kehitaman
merupakan kualitas kecap dengan kualitas yang baik (Suprapti,
2005). Warna kecoklatan kehitaman yang terjadi pada kecap
disebabkan karena adanya reaksi maillard dan karamelisasi gula jawa
pada saat proses pemasakan kecap (Judoamidjojo, 1987). Suhu
pemasakan dapat pula mempengaruhi warna dari kecap. Sebab, semakin
tinggi suhu pemasakan yang digunakan maka semakin mudah terjadi nya
reaksi maillard dan karamelisasi gula jawa serta semakin coklat
atau hitam kecap yang dihasilkan (Kasmidjo, 1990).
Pengujian sensoris terakhir yaitu pengujian kekentalan kecap.
Pada Tabel 1 diketahui kelompok E4 memiliki tingkat kekentalan yang
sangat kental bila dibandingkan dengan kelompok lainnya serta
kelompok E1 dan E5 memiliki tingkat kekentalan yang kurang kental.
Seharusnya, tingkat kekentalan yang dihasilkan tiap kelompok
memiliki tingkatan yang sama yaitu kental seperti pada kelompok E2
dan E3. Hal ini tidak sesuai dengan teori, karena konsentrasi gula
jawa yang diberikan pada masing-masing kelompok adalah sama yaitu 1
kg, serta perbedaan jenis kedelai yang berbeda tidak terlalu
berpengaruh terhadap kekentalan kecap (Peppler & Perlman,
1979). Gula jawa selain berfungsi sebagai pemanis dan pemberi
warna, dapat pula berfungsi sebagai pengental. Sebab, kecap yang
telah diberi gula jawa akan memiliki tingkat viskositas tinggi.
Faktor yang mempengaruhi tingkat kekentalan dari kecap yaitu suhu,
waktu dan konsentrasi gula (Santoso, 1993). Pada kelompok E4
diperoleh tingkat kekentalan yang paling kental, hal ini disebabkan
oleh karena pada saat proses pemanasan suhu yang digunakan terlalu
tinggi dan waktu pemasakan yang terlalu lama. Akhibatnya, kecap
menjadi sangat kental dan hampir mendekati kristalisasi (Santoso,
1993). Penyimpangan yang terjadi pada hasil pengamatan mengenai
tingkat kekentalan kecap yaitu mengenai penambahan inokulum pada
proses fermentasi. Seharusnya, semakin tinggi konsentrasi inokulum
yang digunakan maka semakin tinggi pula tingkat kekentalan dari
kecap. Hal ini dikarenakan, inokulum yang digunakan akan
menyebabkan keluarnya komponen-komponen dalam kedelai sehingga akan
membuat larutan kecap menjadi lebih kental (Liem et al., 2009).
Oleh karena itu, seharusnya kecap kelompok E4 dan E5 memiliki
tingkat kekentalan yang lebih kental bila dibandingkan dengan
kelompok lain karena E4 dan E5 menggunakan inokulum ragi sebanyak
1% (lebih tinggi dari kelompok lainnya).
3. KESIMPULAN
Dua tahap terpenting pembuatan kecap adalah proses fermentasi
koji dan fermentasi dalam larutan garam (moromi). Fermetasi koji
menghasilkan kedelai yang telah berjamur. Fermentasi dalam larutan
garam (moromi) menghasilkan filtrat kecap. Faktor yang mempengaruhi
proses fermentasi koji adalah jumlah inokulum yang digunakan.
Faktor yang mempengaruhi proses fermetnasi moromi adalah
konsentrasi larutan garam, waktu perendaman, suhu dan aerasi.
Proses fermentasi koji menggunakan inokulum sedangkan fermentasi
moromi secara spontan. Asam glutamat merupakan asam organik utama
yang menunjang flavor kecap. Inokulum yang diberikan sesuai dengan
takaran, karena dapat menurunkan kualitas dari kecap Rasa kecap
ditentukan oleh rempah-rempah yang digunakan dan kandungan asam
organik pada hasil fermentasi kecap. Warna dan kekentalan dari
kecap dipengaruhi oleh konsentrasi gula, suhu pemanasan dan waktu
pemanasan. Semakin tinggi kandungan inokulum maka flavor akan
semakin tinggi dan kekentalan kecap akan semakin kental.
Semarang, 25 Juni 2015
Praktikan
Rehuel Safira S12.70.0054Asisten Dosen Fresca Melia Abigail
Sharon
4. DAFTAR PUSTAKA
Astawan, M. & M. Wahyuni Astawan. (1991). Teknologi
Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Akadenika Pressindo.
Jakarta
Atlas, R. M. (1984). Microbiology Fundamental and Application.
Collier Mcmillan Inc. New York
Judoamidjojo, R.M. (1987). The Studies on Kecap - Indigenous
Seasoning of Indonesia. Thesis Doktor pada University of
Agriculture, Japan.
Kasmidjo, R.B. (1990). Tempe : mikrobiologi dan Biokimia
Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.
Kurniawan, Ronny. (2008). Pengaruh Konsentrasi Larutan Garam dan
Waktu Fermentasi Terhadap Kwalitas Kecap Ikan Lele. Jurnal Teknik
Kimia Vol.2,No.2 April 2008
Liem, J. Y.; Kim, J.J.;. Lee, D.S.; Kim, G.H.; Shim, J.Y.; Lee,
I. & Imm, J.Y. (2009). Physicochemical Characteristic and
Production of Whole Soymilk from Monascus Fermented Soybeans. Food
Chemistry.
Muangthai, Pornpimol., Upajak, Pakatheera., Patumpai, Wai.
(2007). Study of Protease Enzyme and Amino Acid Contents in Soy
Sauce Production from Peagion Pea and Soy Bean. KMITL Science
Technology Journal Vol.7 No.S2.
Peppler, H. J. & D. Perlman. (1979). Microbial Technology,
fermentation Technology. Academic Press. San Fransisco.
Purwoko, Tjahjadi & Noor Soesanti Handajani. (2007).
Kandungan Protein Kecap Manis Tanpa Fermentasi Moromi Hasil
Fermentasi Rhizopus oryzae dan R. oligosporus. BIODIVERSITAS Vol 8
No. 2 Hal: 223-227. ISSN: 1412-033X April 2007
Rahayu, E.; R. Indrati; T.utami; E. Harmayani & M.N.
Cahyanto. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi Food &
Nutition. Collection. PAU Pangan & Gizi. Yogyakarta.
Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. Penerbit Arcan.
Jakarta.
Santoso, H.B. (1994). Kecap dan Tauco kedelai. Kanisius.
Yogyakarta.
Sigit, Setiawati; Pradita Enggar; Hasutji Endah Narumi &
Suzanita Utama. (2010). Potensi Sari Kedelai hitam dan Sari Kedelai
Kuning Terhadap kadar Trigliserida Tikus (Rattus norvegicus) dengan
Diet Tinggi Lemak. Veterinaria Medika Vol. 3, No. 1, Pebruari
2010.
Sulistyo, Joko & Sayuki Nikkuni. (2006). Development of Pure
Culture Starter Using a White-Spored Mutant of Koji Mold, K-1A for
kecap, an Indoneisan Soy Sauce. JARQ 40 (2), 171-175 (2006)
http://www.jircas.affrc.go.jp
Sumague, Ma. Josie V.; Reynaldo C. Mabesa; Erlinda I. Dizon;
Ernesto V. Carpio & Ninfa P. Roxas. (2008). Predisposing
Factors Contributing to Spoilage of Soy Sauce by Bacillus
circulans. Philippine Journal of Science 137 (2): 105-114, December
2008 ISSN 0031 - 7683
Suprapti, M.Lies. (2003). Pembuatan Tempe. Kanisius.
Yogyakarta
Tortora, G.J., R. Funke & C.L. Case. (1995). Microbiology.
The Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.
Wu, Ta Yeong; Mun Seng Kan; lee Fong Siow & Lithnes
Kalaivani Palniandy. (2010). Effect of Temperature on Moromi
Fermentation of Soy Sauce with Intermittent Aeration. African
Journal of Biotechnology Vol. 9(5), pp. 702-706, 1 February, 2010
ISSN 16845315 2010 Academic Journals
http://www.academicjournals.org/AJB
5. LAMPIRAN
5.1. Laporan Sementara
5.2. Jurnal
5.3. Hasil Viper