1 Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif Antropologi Linguistik Abdullah 1 Darsita Suparno Pengelolaan hutan pinus yang getahnya disebut damar merupakan salah satu realitas kebudayaan para petani di pesisir barat Krui Lampung yang ditampilkan dalam berbagai kosa kata berbahasa Krui. Bagi orang Krui, pengetahuan tentang pengelolaan hutan pinus adalah peninggalan berharga dari para leluhur mereka yang bernilai budaya, sosial dan ekonomi yang tidak dapat dilupakan bahkan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka. Pengetahuan tentang tata kelola hutan yang diungkap dalam bahasa Krui secara lisan juga merupakan peranti komunikasi untuk menyampaikan beberapa hal seperti pengajaran, pendidikan, nasihat, penggambaran berbagai karakter manusia dan menginformasikan berbagai nilai dari generasi tua kepada generasi muda. Penelitian ini berfokus kepada kajian tentang medan makna ditinjau dari segi semantik, faktor-faktor yang berkaitan dengan budidaya damar, nilai-nilai budaya, dan sikap bahasa warga Krui terhadap bahasa yang mereka gunakan. Berbagai ungkapan bentuk dan makna kata yang terdapat dalam ujaran maupun sastra lisan menjadi objek panelitian ini, ungkapan itu masih dipakai oleh suku bangsa Krui yang hidup di pesisir pantai Samudra Hindia di kecamatan Wai Krui kabupaten Pesisir Barat Lampung Barat. Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian studi kasus yang menggunakan pendekatan yang menggabungkan teori-teori antropologi dan linguistik. Penelitian ini menggunakan metodologi hibrida yang menggabungkan metode natural dengan kuantitatif karena data diperoleh baik secara langsung maupun survei. Bentuk-bentuk bahasa dalam ujaran maupun sastra lisan itu diidentifikasi sebagai sebagai data. Peneliti dalam konteks ini dianggap sebagai instrumen. Data ujaran berupa percakapan lisan dikumpulkan dari ujaran-ujaran yang digunakan para penutur asli Krui ketika berkomunikasi dan ujaran-ujaran yang terdapat dalam sastra lisan itu. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa dalam percakapan warga Krui dan sastra lisan Krui terdapat beberapa makna yang secara semantis menggambarkan tentang tata cara pengelolaan hutan, adat istiadat, hubungan manusia dengan alam, pengetahuan lingkungan tumbuhan hutan dan hasil hutan. Kata Kunci: Krui, pinus, damar, pengelolaan hutan rakyat PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kehidupan petani di pesisir barat Krui di provinsi Lampung Barat memiliki sistem sumberdaya alam berkelanjutan yang khas. Dalam memelihara lingkungan hidup, suku Krui memiliki sistem pengelolaan sumberdaya alam yang diwariskan 1 Abdullah dan Darsita Suparno adalah dosen dan peneliti dari Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
35
Embed
Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui
Perspektif Antropologi Linguistik
Abdullah1
Darsita Suparno
Pengelolaan hutan pinus yang getahnya disebut damar merupakan salah satu realitas
kebudayaan para petani di pesisir barat Krui Lampung yang ditampilkan dalam berbagai kosa
kata berbahasa Krui. Bagi orang Krui, pengetahuan tentang pengelolaan hutan pinus adalah
peninggalan berharga dari para leluhur mereka yang bernilai budaya, sosial dan ekonomi yang
tidak dapat dilupakan bahkan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka. Pengetahuan
tentang tata kelola hutan yang diungkap dalam bahasa Krui secara lisan juga merupakan
peranti komunikasi untuk menyampaikan beberapa hal seperti pengajaran, pendidikan, nasihat,
penggambaran berbagai karakter manusia dan menginformasikan berbagai nilai dari generasi
tua kepada generasi muda. Penelitian ini berfokus kepada kajian tentang medan makna ditinjau
dari segi semantik, faktor-faktor yang berkaitan dengan budidaya damar, nilai-nilai budaya, dan
sikap bahasa warga Krui terhadap bahasa yang mereka gunakan. Berbagai ungkapan bentuk
dan makna kata yang terdapat dalam ujaran maupun sastra lisan menjadi objek panelitian ini,
ungkapan itu masih dipakai oleh suku bangsa Krui yang hidup di pesisir pantai Samudra Hindia
di kecamatan Wai Krui kabupaten Pesisir Barat Lampung Barat. Penelitian ini dikategorikan
sebagai penelitian studi kasus yang menggunakan pendekatan yang menggabungkan teori-teori
antropologi dan linguistik. Penelitian ini menggunakan metodologi hibrida yang
menggabungkan metode natural dengan kuantitatif karena data diperoleh baik secara langsung
maupun survei. Bentuk-bentuk bahasa dalam ujaran maupun sastra lisan itu diidentifikasi
sebagai sebagai data. Peneliti dalam konteks ini dianggap sebagai instrumen. Data ujaran
berupa percakapan lisan dikumpulkan dari ujaran-ujaran yang digunakan para penutur asli
Krui ketika berkomunikasi dan ujaran-ujaran yang terdapat dalam sastra lisan itu. Temuan
penelitian ini menunjukkan bahwa dalam percakapan warga Krui dan sastra lisan Krui terdapat
beberapa makna yang secara semantis menggambarkan tentang tata cara pengelolaan hutan,
adat istiadat, hubungan manusia dengan alam, pengetahuan lingkungan tumbuhan hutan dan
hasil hutan.
Kata Kunci: Krui, pinus, damar, pengelolaan hutan rakyat
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kehidupan petani di pesisir barat Krui di provinsi Lampung Barat memiliki
sistem sumberdaya alam berkelanjutan yang khas. Dalam memelihara lingkungan
hidup, suku Krui memiliki sistem pengelolaan sumberdaya alam yang diwariskan
1 Abdullah dan Darsita Suparno adalah dosen dan peneliti dari Fakultas Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2
secara turun-temurun menjadi dasar bagi tetap terpeliharanya tutupan hutan buatan
yang disebut dalam bahasa Krui dengan istilah repong damar. Pengelolaan hutan
dengan model wanatani repong damar untuk menghasilkan damar2 telah dilakukan
oleh suku bangsa Krui selama lebih dari seratus tahun. Praktek itu sekarang diakui
sebagai sebuah model pengelolaan sumber daya hutan berbasis komunitas yang
sangat arif, dan teknik pengelolaan hutan yang bisa bertahan hingga kini, karena
pengetahuan pribumi (indigenous knowledge) masih tetap dipertahankan.
Tetapi khasanah pengetahuan yang sangat arif bagi kelestarian lingkungan
itu dapat saja segera musnah sejalan dengan adanya bencana alam, kerusakan oleh
ulah manusia atau menipis hingga habis sumber daya alam itu sendiri. Penelitian ini
memberikan peringatan bahwa pelestarian pengetahuan pribumi dalam mengelola
sumber daya alam sangat penting dibandingkan usaha-usaha pelestarian cagar
budaya. Pelestarian cagar budaya dapat dilakukan melalui upaya rekonstruksi fisik,
tetapi penyelamatan pengetahuan lokal yang sudah terlanjur musnah karena bencana
alam atau kerusakan lingkungan alam dapat diprediksikan akan mustahil untuk
diselamatkan.
Dalam wilayah Propinsi Lampung Barat terdapat beberapa suku bangsa dengan
masing-masing bahasa daerahnya, yaitu suku bangsa Sukau berbahasa Sukau, suku
bangsa Krui berbahasa Krui, suku bangsa Abung berbahasa Abung, suku bangsa Sungkai
berbahasa Sungkai, suku bangsa Mesuji berbahasa Mesuji, suku bangsa Belalau
berbahasa Belalau, suku bangsa Komering Ilir berbahasa Komering, suku bangsa Pubian
berbahasa Pubian, dan dan suku bangsa Semende berbahasa Semende. Di antara bahasa
itu, jika dibandingkan dengan bahasa daerah lain, penutur bahasa Krui merupakan
minoritas dengan wilayah penyebaran yang sempit pula. Sebagai bahasa minoritas, di
Kabupaten Pesisir Barat, bahasa ini dituturkan hanya di beberapa kecamatan di
kabupaten Pesisir Barat, yaitu: di kecamatan pesisir utara, pesisir tengah, persisir selatan,
Way Krui, dan Krui Selatan. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa
Krui bukan hanya berfungsi sebagai lambang kebanggaan daerah, atau lambang identitas
daerah dan alat komonikasi dalam keluarga dan masyarakat, melainkan juga berfungsi
sebagai pendukung bahasa nasional dan bahasa pengantar di sekolah dasar di pedesaan
pada tingkat permulaan serta alat pengembang dan pendukung kebudayaan daerah di
2 Poerwadarminto, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2010), hal
356. Dammar adalah getah pohon yang dapat membeku menjadi batu berwarna merah yang bernilai ekonomis. Damar juga bermakna buah kemiri.
3
wilayah pakai bahasa itu. Saat ini, jika ditinjau dari fungsinya, bahasa Krui merupakan
alat komunikasi utama dalam masyarakat pemakai bahasa Krui. Bahasa ini digunakan
dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat berbahasa ibu bahasa Krui.
Bahasa ini berfungsi sebagai alat komunikasi dalam keluarga, pergaulan sehari-hari,
keagamaan, peradatan, pendidikan dan pengajaran, pemerintah, perdagangan, sapa-
menyapa antara anggota keluarga satu dan keluarga lain serta kebudayaan. Bahasa Krui
sebagai alat komunikasi, terutama komunikasi lisan memiliki kaidah sendiri. Suku
bangsa Krui adalah penduduk asli Lampung yang hidup dari pertanian. Meskipun tinggal
di pesisir pantai, namun mereka boleh dikatakan tidak mengenal budaya maritim. Bagian
terbesar dari proses interaksi mereka dengan alam justru berlangsung di hutan.
Pemukiman penduduk umumnya berbatas dengan pantai di satu sisi dan sekaligus
dengan hutan pada sisi lainnya. Hutan itu adalah hutan buatan yang dibangun masyarakat
Krui, melalui proses bertahap selama puluhan hingga ratusan tahun.
Hutan buatan itu dalam istilah setempat dinamakan repong damar. Ia
merupakan perpaduan yang kohesif antara pertanian (agriculture) dan kehutanan
(silviculture). Pada masa sekarang, lahan penduduk yang bernama repong damar
tersebut mencakup areal kurang lebih 10.000 Ha, menyebar di tiga kecamatan bagian
pesisir (Kec. Pesisir Utara, Pesisir Tengah dan Pesisir Selatan). Hutan damar itu
dibangun di atas tanah ulayat yang secara tradisional dikuasai oleh kelompok-kelompok
marga (clan-teritorial). Menurut catatan sejarah, proses pembukaan lahan hutan menjadi
repong damar sudah berlangsung sejak abad ke-18, dimulai dari kawasan yang
berdekatan dengan pemukiman, seterusnya berkembang makin ke pedalaman hingga
sekarang telah sampai ke batas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ( selanjutnya
disingkat TNBBS). Pihak instansi kehutanan kemudian mendefinisikan dan menetapkan
lahan repong damar milik penduduk tersebut sebagai kawasan penyangga (bufferzone)
bagi TNBBS. Secara fisik tampilan repong damar tidak ubahnya seperti hutan alam.
Menurut hasil penelitian tingkat keragaman biota yang hidup di dalam hutan damar
kurang lebih 75-85% sama dengan hutan perawan. Hampir semua jenis flora dan fauna
yang ada di TNBBS yang disangganya terdapat di repong dammar. Jenis tanaman
alternatif selain damar, yang terdapat di repong damar antara lain adalah:
pangghula ‘hutan untuk dijadikan kebun’, daghak ‘hutan dijadikan ladang’, ghepong
‘hutan buatan’ menunjukkan konfigurasi jenis-jenis tanaman yang tumbuh di hutan,
terdapat pada data 1-16. Fakta ini menunjukkan bahwa orang Krui memelihara hutan dan
mereka sangat dekat dengan hutan, hal itu dibuktikan dengan banyaknya kosa kata yang
digunakan untuk menyebut hutan. Artinya orang Krui melestarikan hutan. Ditinjau dari
16
lingkungan hidup hutan yang dilestarikan oleh orang Krui yang disebut dalam erbagai
istilah itu menunjukkan hutan memegang peranan penting bagi kehidupan mereka. Hutan
itu menjadi kawasan yang berfungsi sebagai resapan air, penyeimbang iklim, dan sebagai
tempat hidup berbagai jenis hewan dan tumbuhan. Ditinjau dari segi ekosistem, hutan
yang diperlihara oleh orang Krui dapat dianggap sebagai ekosistem buatan. Hal ini
sejalah dengan konsep yang dikemukakan oleh Johnson (2005) tentang ekosistem buatan
yakni ekosistem yang dibuat oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, hutan
tanaman produksi seperti jati dan pinus.5
(v) Pengetahuan tentang Jenis Lahan Dalam Hutan
Masyarakat Krui membedakan adanya dua tipe lahan hutan untuk menanam
damar, yaitu: 1) pulan tuha ‘hutan rimba saat pertama kali dibuka oleh para leluhur’, dan
2) pulan ngura ‘hutan yang sudah dikelola menjadi lahan untuk ditanami’. Pulan tuha
menjadi sasaran pertama dalam pemilihan lahan ketika seorang petani paa jaman dahulu
berniat membuka hutan untuk kegiatan pertanian. Ini disebabkan oleh adanya anggapan
bahwa lahan demikian masih memiliki kesuburan yang tinggi. Pengelolaan lahan hutan
hutan rimba menjadi pulan ngura hutan buatan berlangsung dalam proses sekitar 20 – 30
tahun. Tradisi pembukaan lahan hutan yang dilakukan orang Krui dibedakan atas tiga
ruang, yaitu (1) daghak, (2) pangghula, dan (3) ghepong. Ketiga ruang itu terdapat di
hutan alam yang sama. Menurut pengetahuan orang Krui hutan itu berbeda-beda ruang.
Hal itu berkaitan dengan definisi, konsepsi dan harapan-harapan yang mereka tempatkan
pada masing-masing ruang pengelolaan tumbuhan yan gada di situ. Perbedaan itu secara
jelas diwujudkan dalam bentuk kerja pengelolaan lahan. Ruang pertama atau panghula
dimulai ketika petani sudah selesai mempersiapkan lahan siap tanam yang membutuhkan
waktu sekitar 2-3 bulan. Lahan ini akan ditanami padi padang, dan palawija. Ruang
kedua disebut daghak ‘ladang’, di ruang ini ditanami jagung, terung, labu, kelapa, coklat
dan cengkeh. Daghak dapat ditanami setelah 3-5 tahun pembukaan lahan. Ruang ketiga
adalah ghepong, yang ditanami berbagai tanaman damar. lada, kopi, duku, durian,
nangka, jengkol atau cengkeh.
(vi) Interaksi Sosial
Interaksi sosial merujuk kepada pengertian saling melakukan aksi, berhubungan,
dan mempengaruhi. 6 konsep ni mengisayratkan bahwa hubungan sosial yang dinamis
5 Johnson, K. Biology (Oxford: Oxford University Press, 2005) p. 215 6 Soerjono, Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta: Raja Gafindo, 1990), hal 50
17
antar menyangkut hubungan antarindividu, individu dan kelompok, atau antarkelompok.
Bagi masyarakat Krui melakukan budidaya damar dapat dijadikan peranti untuk bekerja
sama. Bekerja sama dalam penelitian ini diartikan sebagai suatu upaya bersama antar
individu atau kelompok untuk mencapat tujua bersama. Data no 1, 2, dan 13
menunjukkan bahwa masyarakat Krui saling bekerja sama satu sama lain. Ungkapan data
no 9 tentang:
Kapankah pagi ghani, nelayan
nininggeghan
‘Waktu pagi hari, nelayan sudah
berlayar ke lautan’
Ngusung iwak wai ghe huhang
mengunduh kenikmatan
‘Membawa ikan banyak untuk
kebutuhan, demikian lah mereka
mendapat kenikmatan’
Di kanan di kiri ni ghang layang
sabah jutaan hektagh sabah jak
ghepong tandani kemakughan
Lampung Pesisigh Baghat
‘Di kanan dan kiri tempat tinggal kami
terdapat jutaan hektar sawah dan kebun
sebagai tanda kemakmuran Lampung
Pesisir Barat’
Kutipan data no 9 menunjukkan bahwa masyarakat Krui menyadari memiliki
kepentingan dan tujuan yang sama memanfaatkan sumber daya alam bagi dirinya sendiri
dan orang lain. Kerja sama itu timbul karena orientasi orang perorangan terhadap
kelompoknya dan kelompok lainnya.
(vii) Psikis
Ada lima faktor psikis yang menjadi penyebab orang Krui melestarikan pohon damar,
keterpaduan pohon damar denga agro-ekosistem lain dalam satu sistem sumberdaya; (5)
keanekaragaman hayati hampir menyamai hutan alam; (6) tataniaga damar relatif
berkembang dan mapan; (7) input modal berupa biaya dan tenaga kerja relatif rendah; (8)
pemilikan repong damar merupakan simbol status sosial.
Selain mengemukakan kekuatan petani damar, Wijayanto (2002) mengemukakan
juga aspek kelemahan. Peubah-peubah unsur kelemahan dan nilai pengaruh itu sebagai
berikut: (1) organisasi masyarakat petani damar belum berkembang; (2) lembaga adat
masyarakat petani damar terdegradasi oleh kebijakan–kebijakan pemerintah; (3) belum
10 Rangkuti, F. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis: Reorientasi Konsep Perencanaan
Strategis Untuk Menghadapi Abad 21. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal 41 11 Saaty, T.L. “Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin: Proses Hierarki Analitik untuk
Pengambilan Keputusan dalam Situasi Kompleks. “Jurnal Seri Manajemen No. 134. (Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1993), hal 41
24
ada lembaga ekonomi masyarakat petani di Krui; (4) keterbatasan modal dan aksesnya;
(5) keterbatasan informasi dan akses; (6) teknologi pasca panen belum ada; (7)
ketergantungan yang besar terhadap pedagang atau penampung damar; (8) petani tidak
memiliki rencana yang bersifat strategis; (9) tidak ada strategi dan jaringan pemasaran
damar yang dibangun untuk kepentingan petani. Berlainan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Wijayanto (2002) tentang delapan aspek kekuatan repong damar, dan
sembilan aspek kelemahan petani damar di Krui, penelitian ini memberi kontribusi
beberapa beberapa faktor penyebab tradisi kekuatan pengelolaan repong damar dilihat
dari tataran budaya khususnya penggunaan bahasa yang berkaitan erat dengan
pengelolaan, nilai, norma serta keyakinan tentang damar maupun repong damar.
Penelitian ini telah mengembangkan aspek ketiga dari penelitian Wijayanto (2002)
tentang “pengetahuan turun temurun menyangkut pengelolaan repong damar”. Penelitian
ini telah mengembangkan sembilan faktor penyebab pengetahuan turun temurun
menyangkut pengelolaan repong damar masih tepat belangsung sejak ratusan tahun yang
lalu yaitu faktor: (1) warisan adat; (2) kearifan lokal tentang budidaya damar; (3) potensi
alam; (4) pengetahuan tentang pelestarian hutan yang diwariskan secara turun temurun;
(5) pengetahuan tentang jenis lahan dalam hutan; (6) interaksi sosial; (7) psikis; (8)
kebudayaan daerah setempat yang terdiri dari pengalihan pesan secara intrinsic dan
terpeliharanya ikatan kekerabatan; (9) tradisi pengelolaan hutan. Sembilan faktor ini
dianggap dapat memberi gambaran bahwa kebudayaan petani damar di pesisir barat Krui
Lampung.
(4) Nilai-Nilai Budaya dalam Repong Damar
Nilai-nilai budaya suku asli Krui yang masih hidup dalam repong damar dapat
ditelusuri melalui bahasa lisan yang mereka gunakan. Penelitian ini mengambil sampel
desa itu antara lain, desa Pahmongan, Labuan Mandi, gunung Kemala. Literatur-literatur
yang membahas tentang nilai budaya Krui sudah dilakukan oleh beberapa namun dibahas
hanya sekilas dan tidak bertolak dari sudut pandang bahasa yang digunakan oleh orang
Krui itu. Hasil kajian pustaka tersebut selanjutnya dikonformasi dengan hasil wawancara
mendalam dengan para informan kunci yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat,
tertutrama yang mengelola repong damar terutama yang duduk dalam lembaga adat suku
Krui yang ada di beberapa desa tersebut di atas. Berikut ini adalah uraian tentang nilai-
nilai budaya suku Krui yang hidup dan berkembang dalam pengelolaan damar.
25
1) Nilai-Nilai Budaya Kepedulian Terhadap Lingkungan Hidup
Secara umum kepedulian warga Krui dalam kaitannya dengan kepedulian
terhadap lingkungan hidup. Kepedulian terhadap lingkungan hidup ini dapat dibagi
menjadi dua, yaitu : (1) kepedulian terhadap lingkungan hidup dalam arti fisik; (2)
kepedulian terhadap lingkungan hidup dalam arti sosial.
Ruang lingkup lingkungan hidup dalam arti fisik di daerah Krui terkait dalam
lima batas ghang ‘tempat’, yaitu : (1) lawo ‘laut’; (2) pulan ‘hutan’; (3) daghak ‘kebun’;
(4) pangghula ‘ladang’; (5) sabah ‘sawah’; (6) ghepong ‘hutan buatan’ . Dalam berbagai
hal, kelima ghang ini telah membangun kesepakatan bersama terutama dalam menangani
masalah lingkungan. Ini didasarkan karena keenam ghang ini memiliki kepentingan yang
sama untuk menjaga kepentingan distribusi air, untuk kepentingan pertanian, kehutanan,
perikanan, kelestarian hutan, keindahan alam kelautan, keamanan, dan adat tamong
kajong tumbai ‘warisan adat’. Keenam ghang ‘tempat’ ini menggunakan seorang
peghatin ‘pemimpin wilayah’ yang sama untuk mengatur kepentingan distribusi air
untuk usaha pertanian dan merawat hutan untuk lokasi penyimpan dan penadah air,
menjaga kebersihan laut untuk sumber makanan ikan dan nelayan. Untuk kelestarian
hutan dan pencegahan terjadinya erosi. Keenam ghang ‘tempat’, warga Krui itu
bersepakat untuk melarang dan memberikan sanksi penebangan kayu di hutan dan di
sepanjang ghang pekon ’tempat di sekitar desa’. Bila ada yang melanggar maka
sanksinya adalah denda berupa ngakuk gitoh damagh ’ambil getah damar’ hasil jualnya
untuk keperluan banyak warga desa, atau pitit ‘dikucilkan dari desa’. Kesepakatan ini
sangat ditaati oleh warga; dan dijaga dengan ketat oleh peghatin ‘kepala desa’ yang ada
di setiap desa. Hal itu dapat disimak pada data 2.
Untuk menjaga lingkungan keamanan lingkungan hutan dan lingkungan
sekitarnya masyarakat juga dilarang membuang sampah atau limbah rumah tangga di
sungai, got atau selokan. Pelarangan ini juga ditaati oleh para warga Krui, walaupun
tidak ada sanksi yang disampaikan secara eksplisit. Kepedulian masyarakat terhadap
lingkungan hutan dan kebersihan tampaknya ada, dengan konsep yang mereka sebut:
adat muli meghanai setekuk ghek sebambangan yang bermakna ‘rasa kebersamaan dan
senasib sepenanggungan antar warga’.
Selain kepedulian warga terhdap lingkungan fisik, warga Krui di pesisir barat
juga sangat peduli terhadap lingkungan sosialnya, seperti dalam menghadapi warga yang
sedang mengalami musibah (baik musibah kedukaan, kekurangan air karena irigasi
sawah) atau sedang menghadapi berbagai acara tertentu, seperti perkawinan, khitanan,
26
aqiqah, dan sebagainya: semua warga Krui ikut berpartisipasi, baik tenaga, barang atau
dengan uang. Sampai saat ini peran repong damat Krui sangat menonjol terutama sebagai
shorea javanicus area ‘kawasan pohon damar pinus’, yang getahnya dikenal penghasil
getah damar yang disebut dengan eye cat sap atau eye of cat sap ‘getah mata kucing’.
Pengelolaan ghepong damagh ‘hutan buatan’ bahkan semakin terorganisir. Dalam
pemberian bantuan antar sesame warga, tidak melihat status warga yang bersangkutan,
sesame warga yang merasa sebagai anggota masyarakat Krui memiliki hak dan
kewajiban yang sama.
2) Nilai Budaya Tentang Toleransi
Suku Krui dalam bergaul dengan suku, agama, dan bangsa lain bersifat
terbuka. Dalam hal bergaul, mereka sangat memperhatikan kepada siapa mereka
bertutur, kapan, di mana. Situasi ini terlihat jelas dengan lebih banyak menggunakan
bahasa Krui untuk sesama warga Krui, atau warga lain yang sudah lama tinggal di Krui.
Bila dengan orang yang belum dikenal mereka akan menggunakan bahasa Indonesia.
Penggunaan bahasa Krui diberbagai ranah, seperti keluarga, tetangga, pertemanan, di
pasar, situasi di luar sekolah, di luar ranah pemerintahan, dan disekolah pada tingkat
sekolah dasar kelas satu hingga kelas tiga. Keadaan ini banyak orang mau belajar bahasa
Krui. Dengan kata lain, bahasa Krui digunakan di mana saja mereka berada dan ketemu
dengan orang sesukunya langsung menggunakan bahasa Krui.
Di lain pihak, orang Krui memiliki sifat megelu ‘cekatan dan konsisten’. Mereka
menyatakan secara langsung apa yang dirasakan dan sangat memegang janji. Wat pi’il
pesinggighi ‘berjiwa besar, mempunyai malu dan menghargai diri sendiri, ramah suka
bergaul. Pengolahan damar dianggap sebagai pekerjaan besar, yang dianyatakan dengan
sakai sambayan meliputi pengertian yang luas di dalamnya tercakup kerja ‘mengolah
bersama pekerjaan besar, dan tolong menolong, bahu membahu dan saling member
segala sesuatu yang diperlukan bagi pihak lain, bukan hanya yang bersifat materi saja
melainkan juga dalam arti moral dan pemikiran’. Sifat orang Krui yang terbuka dan suka
bergotong royong membantu orang lain menyebabkan orang lain suku, agama senang
tinggal di pantai pesisir barat ini. bahkan fakta menunjukkan penghargaan terhadap suku
lain dapat dilihat dari orang suku Jawa yang datang dari Jawa tidak punya pekerjaan
dapat bekerja menjadi buruh mengambil damar di hutan repong damar. Damar tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Krui, sebagian besar penduduk Krui terlibat
dalam produksi damar. Produksi yang besar dapat diperoleh dalam waktu mingguan, satu
27
bulanan, sampai tiga bulanan. Produksi yang tidak pernah henti itu menyebabkan warga
Krui membuka kesempatan kepada warga suku lain untuk bekerja sebagai pengambil
getah, kuli angkut, buruh sortir getah dan sebagainya. Penghargaan kepada orang luar
desa atau orang luar suku sangat tinggi. Misalnya dalam tradisi nemui nyimah
‘kemurahan hati, ramah tamah terhadap semua pihak, baik orang dalam sekeluarga, atau
orang lain.’ Bagi mereka nemui nyimah meliputi bermurah hati dengan memberikan
segala sesuatu yang ada, juga bermurah hati dalam tutur kata dan sopan santun, ramah
tamah terhadap tamu mereka.
Tingkat toleransi yang tinggi masyarakat desa-desa Krui juga diperlihatkan pada
saat ada keramaian, pekanan, atau pasaran yang diadakan setiap hari Sabtu. Hampir
semua pedagang yang datang pada saat pasaran berasal dari luar desa, luar kecamatan
bahkan luar kabupaten yang berasal dari berbagai suku dan agama; namun keamanan
desa ini tetap terjaga, tidak ada yang berperilaku jahat dengan melihat kemajuan orang
lain. Terhadap bangsa lain, toleransi masyarakat Krui juga sangat tinggi karena desa ini
sering dikunjungi bangsa asing. Desa-desa di sepanjang pesisir barat Krui merupakan
tempat wisata yang ideal untuk berselancar karena ombak laut mencapai dua meter setiap
harinya. Ditinjau dari pola pergaulan masyarakat yang bersifat terbuka diperkirakan
masyarakat akan menerimanya dengan baik selam kehadiran itu tidak mengganggu ada
istiadat dan kepercayaan atau agama yang dianut masyarakat.
(5) Sikap Bahasa Warga Krui
Berdasarkan hasil sikap bahasa warga Krui (Lihat Bab V bagian A) sebagai
temuan penelitian ini, teori yang mengatakan bahwa sikap positif dapat memberikan
petunjuk ke arah keberlangsungan sebuah bahasa dan kebudayaan yang selama ini
berterima sebagai sebuah teori kini, teori itu telah dapat dibuktikan. Sikap positif warga
Krui terhadap bahasa Krui tercermin dari hasil hitung persentase pernyataan pancingan
yang diajukan membentang antara 80%-90% yang berarti positif. Temuan ini
memperkuat temuan penelitian Zulkilfi (1989) dan Wijayanto (2002) mengenai tradisi
pengelolaan damar di repong damar di Krui yang masih lestari. Baik Zulkifli (1989)
maupun Wijayanto (2002) menggunakan paradigma sistem agroforestri, tidak
menggunakan sikap bahasa dalam melihat pelestarian pengelolaan damar di repong
damar. Penelitian ini menggunakan sudut pandang sikap bahasa untuk mengetahui
adanya pelestarian pengelolaan damar di repong damar.
28
Apabila ditelaah berdasarkan teori sikap dari Anderson (1974) yang mengatakan
bahwa ada hubungan sikap dengan perilaku sosial budaya, ataupun perilaku berbahasa.12
Pernyataan ini telah ditunjukkan oleh warga Krui bahwa sikap dan perilaku sosial
budaya termasuk bahasa saling berhubungan eratr. Teori itu mengatakan bahwa sikap
seseorang terhadap sebuah objek atau suatu tindakan dapat diperhitungkan dari
sekumpulan kepercayaannya yang bersifat evaluatif yang dapat dilihat pada objek atau
tindakan tersebut. Teori itu lantas dihubungkan dengan penelitian ini, sikap bahasa
responden ditunjukkan melalui tindakannya dalam menggunakan bahasanya yang dalam
koneks kajian ini dilihat melalui skor pemakaian bahasa yang positif. Hal ini sesuai
dengan temuan penelitian Suparno (2011) yang meneliti tentang sikap positif warga
guyub tutur bahasa Ranau terhadap bahasa ibu mereka yaitu bahasa Ranau yang
dikorelasikan dengan situasi pemertahanan bahasa Ranau13, dan Wilian (2006) yang
meneliti sikap positif warga Sumbawa yang dikaitkan dengan pemertahanan bahasa
Sumbawa di Lombok14.
Temuan penelitian ini, sesuai pula dengan temuan Suhardi (1996) yang meneliti
sikap dan pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa ibu para mahasiswa dan sarjana di
Jakarta. Meskipun kajiannya itu tidak dikaitkan dengan kebudayaan masyarakat petani
pesisir, ia menyimpulkan bahwa sikap bahasa berhubungan dengan kegiatan dan
kesadaran berbahasa serta ikatan emosional dengan bahasa ibu. Makin tinggi kegiatan
berbahasa dan makin tinggi kesadaran berbahasa, semakin positif sikap bahasa
sesseorang15. Temuan penelitian ini berbeda dengan hasil kajian Siregar, dkk (1998)
tentang sikap bahasa kasus masyarakat di Medan. Temuan Siregar itu memaparkan
bahwa sikap bahasa responden terhadap bahasa daerahnya tidak selalu diikuti oleh
pelaku penggunaan bahasa daerahnya.16
1) Implikasi Sikap Bahasa yang Positif: Terjadi Pengalihan Bahasa Krui
12 Anderson, E.A. Language Attitude Beliefs and Values: A Study in Linguistics Cognitive
Frameworks. (Washington DC: An Arbor Press, 1974), p. 4 13 Suparno, Darsita. “Situasi Pemertahanan Bahasa Ranau”. (Manado: Disertasi Program
Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Program Studi Linguistik Universitas Sam Ratulangi, belum diterbitkan, 2011, 310 halaman
14 Wilian, Sudirman. “Pemertahanan Bahasa dan Pergeseran Identitas Etnis: Kajian Atas Dwibahasawan Sumbawa-Sasak di Lombok (Depok: Disertasi Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 311 halaman.
15 Suhardi, B. 1996. Sikap Bahasa: Suatu Telaah Eksploratif atas Sekelompok Sarjana dan Mahasiswa di Jakarta. (Jakarta: FSUI), hal 165-166
16 SIregar, Bahren Umar. Pemertahanan Bahasa dan Sikap Bahasa Kasus Masyrakat Bilingual di Medan. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa),
29
Pertanyaan yang dapat diajukan: Apa sesungguhnya yang menyebabkan
kecenderungan warga Krui bersikap positif yang akhirnya memperlihatkan kebudayaan
petani damar itu? Dilihat dari perolehan skor tiap-tiap pernyataan yang diajukan kepada
responden “Saya merasa senang jika orang menggunakan bahasa Krui kepaa saya”
dengan persentase (87%) dan pernyataan responden “Saya merasa bangga bisa berbahasa
Krui” dengan persentase (89%). Hal ini menunjukkan bahwa warga Krui ingin
menggunakan dan melestarikan bahasa Krui di wilayah pakai bahasa itu. Sikap positif
mereka itu muncul dari lubuk hati para responden ketika menjawab pertanyaan yang
diajukan dalam kuesioner ini. Gejala itu dipahami bahwa sikap positif mereka itu benar-
benar timbul karena faktor sosial psikologis responden yang menggambarkan
penggunaan bahasa Krui yang stabil.
Sikap positif warga Krui dapat diartikan pula bahwa para para warga Krui itu
mempunyai dukungan penuh terhadap bahasa mereka sendiri yang ditunjukkan melalui
pemakaian bahasa sehari-hari di rumah, dengan tetangga, teman di lingkungan tetangga,
sekolah sekitar kantor kepala desa dan saat ceramah. Pemakaian bahasa Krui ini
memiliki fungsi antara lain sebagai:1) pamarkah identitas; 2) melestarikan warisan
leluhur; 3) penunjuk rasa kearaban dan kebersamaan di antara sesame kelompok sosial.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa sikap positif warga Krui terhadap
bahasa Krui di dasarkan atas dasar unsur kesetiaan bahasa (language loyality). Kesetiaan
bahasa warga Krui terhadap bahasanya dapat diartikan pengalihan bahasa Krui atu
pengalihan kebudayaan Krui dapat berjalan dengan baik dan teratur sehingga
memancarkan situasi pemakaian bahasa Krui yang masih dapat disaksikan hingga
sekarang ini. Warga Krui menggunakan bahasa Krui dalam menjalankan kegiatan sehari-
hari maupun dalam merepresentasikan kebudayaannya. Didukung hasil pengamatan
pengalihan bahasa Krui di dalam pelaksanaannya unsur setia bahasa itu dijalankan
melalui saluran-saluran tertentu. Saluran-saluran tersebut banyak sekali, akan tetapi
penelitian ini hanya membatasi diri pada dua saluran yaitu:
(1) Pengalihan Bahasa Krui Melalui Saluran Tradisional
Saluran tradisional yaitu saluran yang dikenal warga Krui dengan baik.
Dengan cara memberi istilah kepada pohon damar, hutan damar maupun getah damar
dengan menggunakan istilah yang berlaku di kalangan warga Krui, orang tua sebagai
pemegang tiang utama pengalihan bahasa Krui dengan tradisi menyebut yang
menggunakan istilah-istilah yang penamaan dalam bahasa Krui yang didasarkan pada
taksonomi yang dipahami dalam sistem pengetahuan mereka, maka pengalihan bahasa
30
Krui maupun kebudayaan yang berkaitan dengan pendamaran dapat berjalan dengan
lancar. Fakta bahwa istilah penamaan yang berkaitan dengan seluk beluk damar
digunakan setiap hari dalam menjalankan kegitan sehari-hari, menjadikan istilah itu
meresap dalam jiwa warga Krui. Model seperti itu, pengalihan bahasa Krui antara
kelompok warga berusia tua dan usia muda terdapat titik temu, sehingga pengalihan
kebudayaan pertanian damar dapat berjalan lancar. Situasi itu dapat diartikan bahwa
kebudayaan pertanian damar dapat terus berlangsung dan secara otomatis mencegah
kemerosotan penggunaan bahasa yang berkaitan dengan kebudayaan milik mereka.
(2) Pengalihan Melalui Saluran Ideologi
Saluran ideologi warga Krui dalam penelitian ini diamati melalui penggunaan
bahasa antara orang tua kepada anak. Data nomor 1-18 menjadi rujukan untuk
mengetahui perilaku pengalihan ideologi dari orang tua kepada anak mereka. Sering
orang-orang dalam hal ini warga Krui menyampaikan serangkaian ajaran yang bertujuan
untuk menerangkan dan sekaligus memberi dasar pembenaran bagi pelaksanaan
kegiatannya.
Misalnya dengan adanya serangkaian kegiatan berbahasa seperti pemahaman
prosa narasi tentang “Perjuangan Pahlawan Raden Intan” tertera data nomor 19,
nyanyian “Bumi Pesisir Barat Krui nan Helau” tertera pada data nomor 9, Sagata atau
adi-adi bahasa Krui data nomor 16, dan rangkaian kegiatan adat seperti ungkapan: sai
bai makai sigogh jak ghanga makai setanggai, sai bakas makai kupiyah emas ‘pengantin
perempuan memakai sigor dan tangan memakai hiasan kuku panjang’; lapah gham
meghwatin di balai adat ‘mari kita musyawarah di balai adat’; masigit ’mesjid’; lamban