Top Banner
Universitas Pertahanan Indonesia | 1 Kebijakan dan Strategi Kontrainsurjensi 1. Pendahuluan Gerakan insurjensi gerakan terorganisir yang berusaha menggulingkan pemerintahan yang sah dari suatu negara, umumnya dengan menggunakan pemberontakan atau konflik bersenjata merupakan bentuk peperangan yang sering ditemui akhir-akhir ini. Menurut Asian Military Review, hingga akhir tahun 2012 terdapat 80 gerakan insurjensi yang berlangsung di seluruh wilayah dunia 1 . Sejak kejatuhan rezim pemerintahan Saddam Hussein di Irak, insurjensi beserta kontrainsurjensi menjadi topik yang kerap diangkat oleh para analis pertahanan baik dari kalangan sipil maupun militer. Taktik kontrainsurjensi kembali diperbincangkan dan dianalisa setelah lama tidak tersentuh sejak kegagalan AS dalam menghadapi taktik gerilya yang dilakukan vietcong di perang Vietnam. Kini, penanganan insurjensi yang dilakukan oleh berbagai negara beragam, sesuai dengan karakter negara serta insurjen yang dihadapi maupun kondisi negara tempat insurjensi tersebut terjadi. Dalam mengatasi gerakan insurjensi yang timbul, pendekatan militer maupun sipil kerap dilakukan beriringan secara bersamaan. Sejarah menunjukkan gerakan insurjensi ber-evolusi seiring dengan perkembangan zaman. Motif, strategi maupun taktik insurjensi semakin berkembang dan bahkan semakin mutakhir. Insurjensi yang awalnya merupakan perjuangan ideologi dan pemikiran yang berwujud pada perjuangan fisik, kini sudah jauh berkembang dan lebih canggih dalam pemanfaatan teknologi. Medan pertempuran pun bergeser dari yang dulunya menggunakan taktik gerilya di wilayah hutan belantara atau pelosok daerah pedesaan kini mulai berpindah ke wilayah perkotaan dan di dunia maya. Hal ini berdampak pada berkembang dan beragamnya kebijakan dan strategi penanganan insurjensi yang dilakukan oleh 1 http://www.asianmilitaryreview.com/airpoweraroletoplayincounterinsurgencies/ , diakses 16 Juni 2015
19

Kebijakan & Strategi Kontrainsurjensi : Studi Kasus Pemberontakan DI/TII Jawa Barat

May 03, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Kebijakan & Strategi Kontrainsurjensi : Studi Kasus Pemberontakan DI/TII Jawa Barat

Universitas Pertahanan Indonesia | 1

Kebijakan dan Strategi Kontrainsurjensi

1. Pendahuluan

Gerakan insurjensi – gerakan terorganisir yang berusaha

menggulingkan pemerintahan yang sah dari suatu negara, umumnya

dengan menggunakan pemberontakan atau konflik bersenjata –

merupakan bentuk peperangan yang sering ditemui akhir-akhir ini.

Menurut Asian Military Review, hingga akhir tahun 2012 terdapat 80

gerakan insurjensi yang berlangsung di seluruh wilayah dunia1. Sejak

kejatuhan rezim pemerintahan Saddam Hussein di Irak, insurjensi beserta

kontrainsurjensi menjadi topik yang kerap diangkat oleh para analis

pertahanan baik dari kalangan sipil maupun militer. Taktik kontrainsurjensi

kembali diperbincangkan dan dianalisa setelah lama tidak tersentuh sejak

kegagalan AS dalam menghadapi taktik gerilya yang dilakukan vietcong di

perang Vietnam. Kini, penanganan insurjensi yang dilakukan oleh

berbagai negara beragam, sesuai dengan karakter negara serta insurjen

yang dihadapi maupun kondisi negara tempat insurjensi tersebut terjadi.

Dalam mengatasi gerakan insurjensi yang timbul, pendekatan militer

maupun sipil kerap dilakukan beriringan secara bersamaan.

Sejarah menunjukkan gerakan insurjensi ber-evolusi seiring

dengan perkembangan zaman. Motif, strategi maupun taktik insurjensi

semakin berkembang dan bahkan semakin mutakhir. Insurjensi yang

awalnya merupakan perjuangan ideologi dan pemikiran yang berwujud

pada perjuangan fisik, kini sudah jauh berkembang dan lebih canggih

dalam pemanfaatan teknologi. Medan pertempuran pun bergeser dari

yang dulunya menggunakan taktik gerilya di wilayah hutan belantara atau

pelosok daerah pedesaan kini mulai berpindah ke wilayah perkotaan dan

di dunia maya. Hal ini berdampak pada berkembang dan beragamnya

kebijakan dan strategi penanganan insurjensi yang dilakukan oleh

1 http://www.asianmilitaryreview.com/airpoweraroletoplayincounterinsurgencies/, diakses 16 Juni 2015

Page 2: Kebijakan & Strategi Kontrainsurjensi : Studi Kasus Pemberontakan DI/TII Jawa Barat

Universitas Pertahanan Indonesia | 2

berbagai negara, disesuaikan dengan kekuatan dan karakter negara serta

karakter insurjen yang dihadapi maupun kondisi negara tempat gerakan

insurjensi tersebut terjadi.

Perkembangan insurjensi yang berdampak pada pergeseran motif,

pola maupun taktik insurjensi ini perlu diperhatikan untuk kemudian dicari

pemecahannya (kontrainsurjensi) dan bahkan lebih jauh lagi antisipasinya.

Tulisan ini ditekankan pada analisa untuk memformulasikan kebijakan dan

strategi kontrainsurjensi dari studi kasus gerakan insurjensi berupa

pemberontakan DI/TII di wilayah Jawa Barat.

2. Insurjensi & Kontrainsurjensi Terdapat banyak definisi tentang insurjensi yang menjadi dasar

analisa akademis, diantaranya adalah definisi-definisi dibawah ini :

Galula (1964), mendefinisikan Insurjensi sebagai “the pursuit of the policy

of a party, inside a country, by every means” (usaha melaksanakan

kebijakan suatu pihak, dalam suatu negara, dengan menggunakan segala

cara).

Menurut British Army Field Manual Volume 1 Part 10 (2009), Insurjensi

didefinisikan sebagai :

“an organised, violent subversion used to effect or prevent political

control, as a challenge to established authority”

(Sebuah pemberontakan dengan kekerasan yang terorganisir untuk

mempengaruhi atau mencegah kendali politik, sebagai sebuah

tantangan bagi otoritas yang sah).

Menurut US Government Guide to The Analysis of Insurgency (2009),

Insurjensi didefinisikan sebagai :

“a protracted political-military activity directed toward completely or

partially controlling the resources of a country through the use of

irregular military forces and illegal political organizations”

(Sebuah aktivitas politik-militer berkepanjangan yang bertujuan untuk

menguasasi seluruh atau sebagaian sumber daya suatu negara

Page 3: Kebijakan & Strategi Kontrainsurjensi : Studi Kasus Pemberontakan DI/TII Jawa Barat

Universitas Pertahanan Indonesia | 3

dengan menggunakan kekuatan militer non reguler dan organisasi

politik tidak sah).

Sementara itu, menurut beberapa publikasi yang dikeluarkan oleh pihak

militer Amerika Serikat, yaitu US Department of Defense Dictionary of

Military and Associated Terms (Joint Publication 1-02) (2015), US Joint

Chief of Staffs Joint Publication 3-24 (2013), US Army Field Manual 3-24

(2014) & US Marine Corps Warfighting Publication 3-33.5 (2014),

Insurjensi adalah :

“the organized use of subversion and violence to seize, nullify, or

challenge political control of a region. Insurgency can also refer to the

group itself”

(Pemberontakan dan kekerasan terstruktur untuk mengambil alih,

menggagalkan atau menentang kendali politik atas suatu wilayah.

Sebutan insurjensi bisa juga ditujukan kepada suatu kelompok yang

melakukan hal tersebut).

Dari beberapa definisi diatas, dapat disintesakan bahwa insurjensi pada

intinya merupakan sebuah kegiatan yang melibatkan aktivitas politik

maupun militer untuk mengambil alih pengendalian politik atas suatu

wilayah atau negara dengan tujuan untuk menguasai sumber daya

wilayah atau negara tersebut dengan menggunakan cara apapun yang

diperlukan.

Dalam operasionalisasinya, terdapat tiga pihak yang terlibat dalam

gerakan insurjensi tersebut, yaitu negara atau pemerintahan yang sah,

rakyat atau yang sering disebut populasi dan pihak insurjen atau yang

sering disebut pemberontak. Pihak negara maupun insurjen sama-sama

berusaha mengambil alih simpati serta dukungan dari populasi sehingga

berbagai cara apapun akan ditempuh untuk mendapatkan simpati serta

dukungan tersebut dengan tujuan akhir yaitu pengendalian atas suatu

wilayah.

Pada sisi lain, dalam usaha untuk mengatasi gerakan insurjensi

tersebut, negara atau pemerintahan yang sah melancarkan gerakan atau

Page 4: Kebijakan & Strategi Kontrainsurjensi : Studi Kasus Pemberontakan DI/TII Jawa Barat

Universitas Pertahanan Indonesia | 4

operasi kontrainsurjensi (counterinsurgency). Seperti halnya insurjensi,

terdapat berbagai definisi tentang kontrainsurjensi yang dijadikan dasar

analisa. Adapun beberapa definisi tersebut adalah sebagai berikut :

Galula (1964) menyatakan dengan lugas dan sederhana bahwa

“counterinsurgency is only an effect of insurgency” (kontrainsurjensi

adalah hasil/reaksi dari insurjensi), dimana Galula menyatakan bahwa

dalam segala situasi terdapat dua sisi yang saling berlawanan, seperti

pada satu sisi terdapat “insurjen” dan gerakannya yaitu “insurjensi”, dan

pada saat yang sama di sisi lain yang berlawanan terdapat “kontra

insurjen” yang melancarkan operasi “kontrainsurjensi”.2

British Army Field Manual Volume 1 Part 10 (2009), mendefinisikan

kontrainsurjensi sebagai :

“Those military, law enforcement, political, economic, psychological

and civic actions taken to defeat insurgency, while addressing the root

causes”

(Tindakan militer, penegakan hukum, politik, ekonomi, psikologi dan

kemasyarakatan yang dilakukan untuk mengalahkan insurjensi,

dimana pada saat yang sama juga mencari akar penyebabnya).

Menurut definisi US Government Guide to The Analysis of Insurgency

(2012),

“Counterinsurgency - frequently reffered by the acronim COIN - is the

combination of measures undertaken by a government to defeat an

(insurgency”.

(Kontrainsurjensi – sering disingkat dengan COIN – adalah kombinasi

tindakan yang diambil pemerintah untuk mengalahkan sebuah gerakan

insurjensi)

Sementara itu, menurut beberapa publikasi yang dikeluarkan oleh pihak

militer Amerika Serikat, yaitu US Department of Defense Dictionary of

Military and Associated Terms (Joint Publication 1-02) (2015), US Joint

Chief of Staffs Joint Publication 3-24 (2013), US Army Field Manual 3-24 2 Galula, David. Counter-insurgency Warfare : Theory and Practice (1964). p.xii

Page 5: Kebijakan & Strategi Kontrainsurjensi : Studi Kasus Pemberontakan DI/TII Jawa Barat

Universitas Pertahanan Indonesia | 5

(2014) & US Marine Corps Warfighting Publication 3-33.5 (2014),

Kontrainsurjensi didefinisikan sebagai berikut :

“Counterinsurgency (COIN) is a comprehensive civilian and military

effort designed to simultaneously defeat and contain insurgency and

address its root causes”

(Kontrainsurjensi (COIN) adalah usaha menyeluruh dari sipil dan militer

yang dirancang untuk secara simultan mengalahkan dan menekan

insurjensi dan menyelesaikan akar permasalahannya).

Dari beberapa definisi diatas, dapat disintesakan bahwa pada dasarnya

kontrainsurjensi adalah usaha terpadu dari pemerintah dalam berbagai

aspek secara komprehensif untuk mengatasi gerakan insurjensi dan

menyelesaikan akar permasalahannya.

Sesuai batasan yang disebutkan sebelumnya, tulisan ini ditekankan pada

analisa untuk memformulasikan kebijakan dan strategi kontrainsurjensi

dengan mengambil contoh kasus gerakan insurjensi berupa

pemberontakan DI/TII di wilayah Jawa Barat yang dipimpin oleh

Kartosoewirjo.

3. Studi Kasus : Pemberontakan DI/TII Kartosoewirjo Darul Islam (juga dikenal dengan nama DI) adalah sebuah gerakan

kelompok insurjen berbasis agama Islam di Indonesia oleh sekelompok

milisi yang dipimpin oleh seorang politisi muslim radikal karismatik,

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (S.M. Kartosoewirjo) di Desa

Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya,

Jawa Barat dengan tujuan untuk membentuk negara Islam di Indonesia

(Negara Islam Indonesia disingkat NII). NII diproklamirkan pada 7 Agustus

1949. Kelompok ini mengakui syariat islam sebagai dasar negara dan

sumber hukum.

Gerakan DI ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat

itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya sebagai negara teokrasi

dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa

Page 6: Kebijakan & Strategi Kontrainsurjensi : Studi Kasus Pemberontakan DI/TII Jawa Barat

Universitas Pertahanan Indonesia | 6

“Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum

Islam”, dan lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa

“Negara berdasarkan Islam” dan “Hukum yang tertinggi adalah Al Quran

dan Hadits", proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas

menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang

berlandaskan syariat Islam, sekaligus menyatakan penolakan keras

terhadap ideologi selain Al Qur'an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut

sebagai “hukum kafir". Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di

beberapa wilayah, terutama Jawa Barat (berikut daerah-daerah yang

berbatasan dengan Jawa Tengah), Sulawesi Selatan, Aceh dan

Kalimantan.

Momentum bersejarah yang memicu gerakan insurjensi yang

dilancarkan DI adalah adanya Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948,

yang salah satu isinya mengharuskan tentara dan pasukan bersenjata

mundur ke belakang garis Van Mook. Kantong-kantong wilayah berisi

pasukan bersenjata di dalam garis itu harus dikosongkan. Ketika itu Divisi

Siliwangi yang menjadi kebanggaan rakyat Jawa Barat “hijrah” ke

Yogyakarta. Para pejuang Islam kecewa terhadap Perjanjian Renville itu.

Mereka menganggap pemerintah dan tentara Indonesia tak hanya

menunjukkan sikap kompromistis terhadap Belanda, tapi juga membiarkan

rakyat Jawa Barat tak terlindungi. Saat itu, Sabilillah (laskar yang awalnya

dibentuk oleh Partai Masyumi) dan milisi Hizbullah menolak perintah

pengosongan karena anggota Hizbullah dan Sabilillah yang hijrah akan

dilucuti senjatanya sama halnya dengan tentara resmi yang tidak mundur

juga diwajibkan menyerahkan senjata. Aksi kelompok Hizbullah dan

Sabilillah ini memicu ketegangan.

Melihat keadaan itu, Raden Oni (saat itu Wakil Ketua Masyumi

daerah Priangan yang juga merangkap Ketua Bagian Pertahanan

Hizbullah/Sabilillah) dan S.M. Kartosoewirjo (saat itu sebagai Wakil

Pengurus Masyumi Jawa Barat) sepakat segera menggelar konferensi

pemimpin umat Islam se-Jawa Barat. Konferensi itu digelar di Desa

Page 7: Kebijakan & Strategi Kontrainsurjensi : Studi Kasus Pemberontakan DI/TII Jawa Barat

Universitas Pertahanan Indonesia | 7

Pamedusan, Cisayong, Tasikmalaya pada Februari 1948 dengan acara

pokok yang dibahas adalah : (1) menentukan sikap terhadap persetujuan

Renville dan (2) cara-cara meneruskan perjuangan selanjutnya.

Konferensi dihadiri 160 perwakilan organisasi Islam. Dalam konferensi itu

terlihat adanya keinginan golongan radikal yang berniat membelokkan

arah perjuangan mempertahankan Republik Indonesia ke arah usaha

membentuk negara Islam. Pada akhirnya, keinginan kelompok radikal

tersebut memperoleh kemenangan dan salah satu keputusan konferensi

itu adalah semua organisasi Islam melebur menjadi Majelis Islam Pusat,

menunjuk Kartosoewirjo sebagai imam umat Islam di Jawa sebelah Barat

dan menunjuk Raden Oni sebagai pemimpin pasukan Tentara Islam

Indonesia.

Untuk mematangkan rencana pendirian NII, S.M. Kartosoewirjo

melakukan serangkaian pertemuan dan konferensi lanjutan. Dua bulan

setelah konferensi pertama, mereka menggelar Konferensi Cipeundeuy,

Bantarujeg, Cirebon. Konferensi itu meminta pemerintah Indonesia

membatalkan sejumlah perundingan dengan Belanda. Jika tidak berhasil,

pemerintah RI diminta membubarkan diri atau membentuk pemerintah

baru. Konferensi juga memutuskan mengadakan persiapan negara Islam

untuk menandingi negara Pasundan bentukan Belanda. Persiapan itu

meliputi pembuatan aturan-aturan ala Islam. Setelah di Cipeundeuy,

konferensi lain digelar di Cijoho, Kuningan, yang membahas secara

mendalam bentuk-bentuk ketatanegaraan. Dalam pertemuan ini terbentuk

Dewan Imamah (Dewan Menteri), Dewan Fatwa (Dewan Pertimbangan

Agung), dan penyusunan Kanun Azazi atau Undang-Undang Dasar.

Di tengah persiapan pembentukan NII, pada akhir 1948, ibu kota

Yogyakarta diserang Belanda. Para pemimpin nasional ditawan, termasuk

Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Peristiwa ini

dimanfaatkan S.M.Kartosoewirjo sebagai propaganda tamatnya riwayat

Republik Indonesia dimana melalui Maklumat Nomor 6, Kartosoewirjo

mengumumkan kejatuhan Negara RI dan lahirnya Negara Islam Indonesia

Page 8: Kebijakan & Strategi Kontrainsurjensi : Studi Kasus Pemberontakan DI/TII Jawa Barat

Universitas Pertahanan Indonesia | 8

serta menganggap Jawa Barat sebagai daerah de facto NII, sehingga

setiap pasukan dan kekuatan lain yang melewati wilayah ini dianggap

melanggar kedaulatan. Mereka harus bergabung dengan TII atau dilucuti.

Ketika itulah NII mulai menyerukan jihad fisabilillah.

Pada saat bersamaan, Divisi Siliwangi yang hijrah ke Jawa Tengah

telah kembali ke Jawa Barat dengan melakukan long march. Masuknya

kembali tentara Siliwangi ke daerah yang dikuasai pasukan TII

menimbulkan gesekan, dan mengakibatkan perang segitiga TII-TNI-

Belanda. Perang tersebut baru meredup setelah digelarnya Perjanjian

Roem-Royen. Kartosoewirjo mengecam hasil perjanjian itu dan menuding

Mohammad Roem, wakil Masyumi yang memimpin perundingan itu, telah

menjual negara. Perjanjian itu dinilainya menimbulkan kekosongan

kekuasaan di Indonesia. Dalam kondisi vakum itu, menurut dia, tidak ada

kekuasaan dan pemerintahan yang bertanggung jawab. Keadaan itu

digunakan oleh Kartosoewirjo untuk memproklamasikan berdirinya Negara

Islam Indonesia pada 7 Agustus 1949.

Gerakan DI/TII awalnya banyak mendapat simpati dan dukungan

rakyat karena lihai melakukan propaganda dengan memanfaatkan simbol-

simbol Islam. Hal ini cukup berhasil karena karakter rakyat Jawa Barat

yang saat itu sangat agamis namun masih kurang teredukasi dengan baik,

sehingga sangat mudah dipengaruhi. Seiring berjalannya waktu gerkan

DI/TII mulai bergerak ke arah yang ekstrim. Wilayah-wilayah atau desa-

desa yang tidak mau membayar pajak NII dan bekerja sama akan

diserang, dijarah dan dibumihanguskan. Kelompok pengajian maupun

pesantren yang dinilai memihak Republik Indonesia juga turut diserang.

Tindakan DI/TII mulai berubah menjadi brutal dan menebar teror, sepak

terjang mereka di daerah Jawa Barat menjadi momok yang menakutkan.

Menurut catatan statistik yang dikeluarkan oleh Kodam IV/Siliwangi,

selama periode 1955-1960 kerugian yang ditimbulkan oleh gerombolan

DI/TII adalah korban jiwa mencapai 22.985 orang tewas, 115.822 rumah

Page 9: Kebijakan & Strategi Kontrainsurjensi : Studi Kasus Pemberontakan DI/TII Jawa Barat

Universitas Pertahanan Indonesia | 9

penduduk hangus terbakar, sedangkan kerugian materiil mencapai

Rp.647.554.900,-3.

Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menghentikan

Kartosoewirjo mendirikan Negara Islam Indonesia dan memadamkan

gerakan insurjensi DI/TII. Pada awalnya pemerintah berusaha

menyelesaikan masalah DI/TII dengan jalan musyawarah, namun tidak

berhasil, sehingga akhirnya ditempuhlah jalan berupa operasi militer.

Pada awal pemberontakan Tentara Islam, pasukan Siliwangi belum

menemukan taktik yang jitu. Pasukan Siliwangi kurang mampu

menghadang pasukan Kartosoewirjo karena sebagian warga Jawa Barat

yang mendukung Kartosoewirjo memberikan tempat persembunyian bagi

Tentara Islam. Terlihat bahwa pihak lawan menguasai medan dan

didukung sebagian rakyat. Setelah dilihat, dianalisa dan dipelajari oleh

para perwira TNI, akhirnya diterapkanlah strategi anti gerilya. Pasukannya

Siliwangi pun dilatih taktik anti gerilya. Strategi inilah yang akhirnya

mematahkan perlawanan Tentara Islam.

Operasi militer yang dilakukan TNI dimulai dengan mengambil

simpati rakyat, khususnya rakyat yang masih mendukung Republik

Indonesia dan korban-korban keganasan DI/TII. Pada saat yang

bersamaan, TNI juga mendekati para ulama dan tokoh masyarakat. Hal ini

mempersempit ruang gerak pasukan DI/TII karena wilayah-wilayah yang

dikuasai TNI semakin luas, selain itu karena TNI menerapkan strategi

perang semesta dengan taktik “Pagar Betis”, yang semakin membatasi

ruang gerak para insurjen dan memutus jalur logistik mereka. Berbagai

operasi digelar secara terus menerus oleh TNI bersama rakyat dan

Kepolisian Republik Indonesia, hingga pada akhirnya, tanggal 4 Juni

1962, S.M. Kartosoewirjo beserta para pengikutnya berhasil ditangkap di

Gunung Geber, Majalaya dan berakhirlah gerakan insurjensi berupa

pemberontakan DI/TII di Jawa Barat beserta Negara Islam Indonesia.

3 Pinardi, Sekarmadji Maridjan Katosuwirjo (1964). p.177-179

Page 10: Kebijakan & Strategi Kontrainsurjensi : Studi Kasus Pemberontakan DI/TII Jawa Barat

Universitas Pertahanan Indonesia | 10

4. Analisa dan Pembahasan

Apabila dikaji, pemberontakan DI/TII di wilayah Jawa Barat

merupakan salah satu pemberontakan terpanjang dalam sejarah Republik

Indonesia, karena berlangsung dari tahun 1949-1962 (13 tahun). Melihat

proses pembentukan Negara Islam Indonesia, Kartosoewirjo dinilai tidak

memiliki landasan ideologi yang kuat. Kekecewaan Kartosoewirjo

terhadap Perjanjian Renville pada 1949 dan perjanjian-perjanjian

berikutnya yang dianggap merugikan kepentingan Indonesia dinilai

sebagai faktor yang lebih menentukan pemberontakannya.

Peneliti Cornelis van Dijk memiliki sejumlah teori mengapa perlawanan

Tentara Islam Indonesia bisa bertahan lama, bahkan jauh lebih lama

dibanding Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Permesta,

yang digerakkan sejumlah tokoh politik dan perwira militer.

Dukungan rakyat terhadap Darul Islam memang lebih kuat apabila

dibandingkan dengan respon masyarakat terhadap PRRI. Harus diakui pula

bahwa Kartosoewirjo lihai menarik simpati masyarakat dengan simbol Islam

yang digunakannya.

Terdapat banyak variabel, komponen serta pertimbangan dalam

menentukan strategi dan kebijakan kontrainsurjensi. Menurut Moore

(2007), dalam menentukan strategi dan kebijakan kontrainsurjensi, hal

yang pertama-tama perlu diketahui adalah penyebab (cause) dari

timbulnya gerakan insurjensi tersebut4. Adapun di dalam JP 3-24 (2013)

penyebab dasar timbulnya gerakan insurjensi terbagi menjadi tiga, yaitu

kondisi-kondisi apa yang mendukung timbulnya gerakan insurjensi

tersebut (opportunity), tujuan yang hendak dicapai oleh gerakan insurjensi

tersebut (motive) dan cara-cara yang ditempuh (means). Kasus

pemberontakan DI/TII yang dijelaskan sebelumnya menunjukkan ketiga

hal tersebut. Kondisi yang ada pada saat itu adalah saat kekosongan

kekuasaan akibat adanya Perjanjian Renville, ditambah dengan tujuan

mendirikan negara berdasarkan azas Islam, dan pada awalnya

4 Moore, R.Scott. The Basics of Counterinsurgency (2007). p.6-8

Page 11: Kebijakan & Strategi Kontrainsurjensi : Studi Kasus Pemberontakan DI/TII Jawa Barat

Universitas Pertahanan Indonesia | 11

dilaksanakan dengan mengadakan konferensi-konferensi untuk

melegalkan niatan tersebut dan kemudian dengan membentuk kekuatan

militer sendiri (TII) serta memproklamirkan niatan tersebut dengan

mendirikan NII.

Setelah menemukan penyebab timbulnya gerakan insurjensi

tersebut, perlu dipetakan modal yang dimiliki oleh negara, yaitu dalam hal

(1) kemampuan militer, (2) kapabilitas politik dan diplomatik, serta (3)

kemampuan intelijen. Hal ini perlu dipetakan karena insurjensi bukan

semata-mata merupakan masalah keamanan yang memerlukan

pendekatan militer semata, namun juga memiliki dimensi politik dan sosial-

ekonomi.

Gambar 1. Pendekatan Komprehensif Kontrainsurjensi Sumber : JP 3-24 Counterinsurgency

Gambar diatas menjelaskan bahwa dalam melaksanakan kontrainsurjensi,

selain pendekatan keamanan (security), perlu juga adanya pendekatan

ekonomi dan informasi yang diramu menjadi satu melalui kebijakan politik

untuk dapat mengendalikan situasi. Kebijakan keamanan disini adalah

perlu adanya pendekatan keamanan, baik dari sisi militer maupun

kepolisian selain untuk menjaga kedaulatan negara juga untuk melindungi

keselamatan warganegara. Pendekatan ekonomi perlu dilakukan,

Page 12: Kebijakan & Strategi Kontrainsurjensi : Studi Kasus Pemberontakan DI/TII Jawa Barat

Universitas Pertahanan Indonesia | 12

khususnya apabila terdapat ketidakpuasan akibat ketimpangan ekonomi

yang ada, kemudian informasi diperlukan bagi rakyat/populasi untuk

mengetahui apa yang sebenarnya terjadi sekaligus sebagai “corong”

propaganda pemerintah agar rakyat tidak mendukung gerakan insurjensi.

Apabila telah diketahui penyebab terjadinya insurjensi dan telah

dipetakan modal apa saja yang dimiliki oleh negara, maka saatnya untuk

diimplementasikan perwujudan kebijakan dan strategi kontrainsurjensi.

Dalam implementasi kebijakan kontrainsurjensi, terdapat variabel-variabel

yang perlu diperhatikan, yaitu :

1. Pengutamaan tujuan politis

Pengutamaan tujuan politis disini merupakan perwujudan legitimasi

serta kedaulatan pemerintahan yang sah. Penumpasan gerakan

insurjensi bukan semata-mata hanya “membasmi” para pemberontak,

namun lebih kepada pengaktualisasian kewibawaan pemerintah. Dari

studi kasus DI/TII yang dijelaskan sebelumnya, hal ini terlihat saat

penangkapan S.M. Kartosoewrijo, dimana TNI tetap memperlakukan

Kartosoewirjo dengan hormat dan tetap memberi kesempatan kepada

pengikutnya untuk menyerah secara baik-baik. Hal ini menunjukkan

kewibawaan pemerintah RI yang sekaligus memberikan kesan bahwa

pemimpin-pemimpin pemerintah RI memang layak untuk diikuti.

2. Penyatuan usaha

Mengingat kontrainsurjensi merupakan masalah yang perlu

pemecahan komprehensif, maka kerjasama penyatuan usaha perlu di-

sinergikan menjadi suatu usaha yang komprehensif dan terintegrasi,

dimana kesatuan usaha tersebut meliputi bidang keamanan, politik,

maupun ekonomi didukung dengan pasokan informasi yang cepat,

tepat dan akurat5. Termasuk dalam hal ini adalah implementasi

pemanfaatan intelijen sebagai sumber informasi serta media sebagai

“corong” informasi.

5 Kilcullen, David J. Three Pillars of Counterinsurgency (2006). p.4

Page 13: Kebijakan & Strategi Kontrainsurjensi : Studi Kasus Pemberontakan DI/TII Jawa Barat

Universitas Pertahanan Indonesia | 13

Gambar 2. Pendekatan Komprehensif Kontrainsurjensi

Sumber : Kilcullen, Three Pillars of Counterinsurgency (2006)

3. Memahami karakter manusia serta lingkungan sosiokulturnya

Dalam memenangkan “hearts and minds” dari populasi, pemahaman

karakter manusia serta lingkungan sosiokulturnya dirasa sangat

penting. Pemahaman akan sosiokultur insurjen maupun populasi ini

penting karena pengetahuan akan karakter insurjen dapat menentukan

taktik bahkan manuver apa yang diperlukan dalam mengatasi gerakan

mereka, sementara pengetahuan akan karakter populasi/rakyat akan

dapat menentukan perolehan simpati/dukungan bagi usaha

kontrainsurjensi. Dari studi kasus DI/TII yang dijelaskan sebelumnya,

hal ini terlihat saat TNI melakukan pendekatan kepada para ulama dan

tokoh masyarakat setempat sebagai usaha untuk mengambil simpati

rakyat Jawa Barat. Hal ini sesuai dengan karakter masyarakat Jawa

Barat yang sangat agamis sekaligus menjunjung tinggi adat setempat,

sehingga mereka pasti akan menuruti dan mengikuti himbauan para

ulama dan tokoh-tokoh masyarakat yang mereka hormati.

Page 14: Kebijakan & Strategi Kontrainsurjensi : Studi Kasus Pemberontakan DI/TII Jawa Barat

Universitas Pertahanan Indonesia | 14

4. Bersiap untuk konflik jangka panjang

Operasi kontrainsurjensi adalah operasi jangka panjang. Hal ini

mengingat walaupun pasukan pemebrontak telah berhasil dinetralisir,

namun ide-ide pemikiran mereka belum tentu lenyap seketika. Perlu

waktu, selain untuk menyembuhkan trauma para korban, juga untuk

mengikis sisa-sisa ide maupun pendukung insurjensi yang ada. Satu

hal yang perlu diperhatikan juga adalah konflik jangka panjang

memerlukan biaya (baik moril maupun materiil) yang tidak sedikit.

Logistik maupun mental pasukan kontrainsurjensi perlu dipersiapkan

sedemikian rupa agar tidak cepat menyerah di tenga perjuangan.

5. Beroperasi sesuai koridor hukum yang berlaku

Dalam pelaksanaan operasi kontrainsurjensi tak jarang terdapat tindak

kekerasan yang terjadi. Hal ini walaupun relatif sering terjadi di medan

operasi, namun perlu ditekan jumlahnya sedemikian rupa karena hal

ini sedikit banyak mempengaruhi dukungan populasi terhadap

pemerintah dan lebih jauh lagi dapat mempengaruhi kewibawaan

pemerintah yang sah sebagai kounterinsurjen. Dari studi kasus DI/TII

yang dijelaskan sebelumnya, hal ini terlihat saat penangkapan S.M.

Kartosoewrijo, dimana TNI tetap memperlakukan Kartosoewirjo

dengan hormat dan tetap dilaksanakannya pengadilan terhadap

Kartosoewirjo sebagai upaya meberikan keadilan yang menjadi hak

setiap warga negara.

6. Belajar dan beradaptasi

Kontrainsurjensi adalah operasi yang kompleks. Terdapat banyak

variabel, komponen serta pertimbangan dalam implementasi strategi

dan kebijakan kontrainsurjensi. Adaptasi diperlukan pada setiap level

operasional dan dalam setiap tahapan. Bahkan adaptasi juga

diperlukan untuk mengimbangi taktik insurjen. Dari studi kasus DI/TII

yang dijelaskan sebelumnya, hal ini terlihat saat TNI juga melakukan

pendekatan kepada para ulama dan pesantren, dimana TNI

melakukan pemanfaatan simbol-simbol Islam untuk menarik simpati

Page 15: Kebijakan & Strategi Kontrainsurjensi : Studi Kasus Pemberontakan DI/TII Jawa Barat

Universitas Pertahanan Indonesia | 15

dan dukungan rakyat Jawa Barat yang sangat agamis. Hal ini

sebenarnya juga sudah terlebih dahulu digunakan oleh DI untuk

mencari dukungan populasi, yaitu dengan memanfaatakn simbol-

simbol Islam. Hal lain yang berkaitan dengan adaptasi adalah

penerapan strategi anti gerilya oleh TNI sebagai strategi untuk

menghadapi perlawanan gerilya yang dilakukan oleh TII.

7. Rekonstruksi pasca operasi

Ada satu hal yang banyak dilupakan oleh para analis, yaitu

rekonstruksi pasca operasi kontrainsurjensi. Hal ini penting mengingat

porak porandanya wilayah operasi setelahadanya gerakan insurujensi.

Adapun rekonstruksi pasca operasi ini meliputi re-ideologisasi,

pendidikan politik, pembangunan ekonomi, pembangunan sarana dan

prasarana sosial an budaya serta pendidikan nasioanlisme

kebangsaan. Adapun hal-hal tersebut bertujuan untuk meminimalisir

atau menekan tumbuhnya bibit-bibit baru gerakan insurjensi.

Perlu diingatkan bahwa penerapan kebijakan dan strategi kontrainsurjensi

yang telah dijelaskan diatas masih perlu disesuaikan dengan karakter

gerakan insurjensi itu sendiri, kondisi populasi, wilayah serta negara

tempat insurjensi itu terjadi dan bahkan cara pandang negara terhadap

gerakan insurjensi itu sendiri.

Satu hal yang tidak boleh dilupakan, kebijakan dan strategi

kontrainsurjensi ini perlu dikaji ulang terus menerus apakah masih relevan

dalam menghadapi perkembangan motif, strategi maupun taktik insurjensi

semakin berkembang dan bahkan semakin mutakhir. Perlu dilakukan

adaptasi maupun pengembangan berkesinambungan sebagai perbaikan

terus-menerus bagi kebijakan dan strategi kontrainsurjensi ini.

5. Kesimpulan Insurjensi bukan semata-mata merupakan masalah

keamanan/militer semata, namun juga melibatkan politik, dan sosio-

Page 16: Kebijakan & Strategi Kontrainsurjensi : Studi Kasus Pemberontakan DI/TII Jawa Barat

Universitas Pertahanan Indonesia | 16

ekonomi karena itu terdapat banyak variabel, komponen serta

pertimbangan dalam menentukan strategi dan kebijakan kontrainsurjensi.

Dalam menentukan strategi dan kebijakan kontrainsurjensi, hal

yang pertama-tama perlu diketahui adalah penyebab (cause) dari

timbulnya gerakan insurjensi tersebut. Setelah menemukan penyebab

timbulnya gerakan insurjensi tersebut, perlu dipetakan modal yang dimiliki

oleh negara, yaitu dalam hal (1) kemampuan militer, (2) kapabilitas politik

dan diplomatik, serta (3) kemampuan intelijen. Apabila telah diketahui

penyebab terjadinya insurjensi dan telah dipetakan modal apa saja yang

dimiliki oleh negara, maka saatnya untuk diimplementasikan perwujudan

kebijakan dan strategi kontrainsurjensi, yaitu :

1. Pengutamaan tujuan politis

2. Penyatuan usaha

3. Memahami karakter manusia serta lingkungan sosiokulturnya

4. Bersiap untuk konflik jangka panjang

5. Beroperasi sesuai koridor hukum yang berlaku

6. Belajar dan beradaptasi

7. Rekonstruksi pasca operasi

Dan yang tidak boleh dilupakan adalah kebijakan dan strategi

kontrainsurjensi ini perlu dikaji ulang terus menerus apakah masih relevan

dalam menghadapi perkembangan motif, strategi maupun taktik insurjensi

semakin berkembang dan bahkan semakin mutakhir.

6. Rekomendasi Dalam menetapkan kebijakan dan strategi kontrainsurjensi, perlu

disesuaikan dengan karakter gerakan insurjensi itu sendiri, kondisi

populasi, wilayah serta negara tempat insurjensi itu terjadi dan bahkan

cara pandang negara terhadap gerakan insurjensi itu sendiri. Setiap

gerakan insurjensi adalah unik sehingga bukan tidak mungkin satu

kebijakan atau strategi kontrainsurjensi hanya dapat diterapkan pada satu

Page 17: Kebijakan & Strategi Kontrainsurjensi : Studi Kasus Pemberontakan DI/TII Jawa Barat

Universitas Pertahanan Indonesia | 17

gerakan insurjensi saja di satu wilayah atau negara dan pada satu waktu

saja.

Dalam tulisan ini, penulis merekomendasikan formulasi kebijakan

dan strategi kontrainsurjensi harus dimulai pertama-tama dari diketahui

penyebab timbulnya gerakan insurjensi tersebut, kemudian memeetakan

modal yang dimiliki oleh negara dalam menghadapi gerakan insurjensi

tersebut dan kemudian diimplementasikan perwujudan kebijakan dan

strategi kontrainsurjensi yang ditetapkan yaitu :

8. Pengutamaan tujuan politis

9. Penyatuan usaha

10. Memahami karakter manusia serta lingkungan sosiokulturnya

11. Bersiap untuk konflik jangka panjang

12. Beroperasi sesuai koridor hukum yang berlaku

13. Belajar dan beradaptasi

14. Rekonstruksi pasca operasi

Adapun penulis juga mengingatkan bahwa ada hal yang tidak boleh

dilupakan yaitu kebijakan dan strategi kontrainsurjensi ini perlu dikaji ulang

terus menerus apakah masih relevan dalam menghadapi perkembangan

motif, strategi maupun taktik insurjensi semakin berkembang dan bahkan

semakin mutakhir sehingga negara dapat membuat kebijakan dan strategi

kontrainsurjensi yang tepat dalam mengatasi gerakan insurjensi yang

terjadi.

Page 18: Kebijakan & Strategi Kontrainsurjensi : Studi Kasus Pemberontakan DI/TII Jawa Barat

Universitas Pertahanan Indonesia | 18

Referensi

Anwar, Syaiful. (2015). Materi Kuliah Dynamics of Insurgency. Universitas Pertahanan Indonesia

British Army Field Manual Volume 1 Part 10. (2009). Countering Insurgency. Warmister, BA: Ministry of Defence

Galula, David. (1964). Counter-Insurgency Warfare Theory and Practice. New York: Frederick A. Praeger

Gompert, David C, et.al. (2008). War by Other Means : Building Complete and Balanced Capabilities for Counterinsurgency. Santa Monica, CA: RAND Corporation Joint Chief of Staffs. (2013). Joint Publication 3-24. Counterinsurgency. Joint Chief of Staffs. (2015). Joint Publication 1-02. Department of Defense Dictionary of Military and Associated Terms.

Kilcullen, David J. (2006) Three Pillars of Counterinsurgency. Washington DC: US Government Counterinsurgency Conference. Metz, Steven & Millen, Raymond. (2004). Insurgency and Counterinsurgency in the 21st Century: Reconceptualizing Threat and Response. Carlisle, PA: U.S.Army War College. Moore, R. Scott. (2007). The Basics of Counterinsurgency. By Author. Muradi. (2015). Materi Kuliah Dynamics of Counter Insurgency. Universitas Pertahanan Indonesia Paul, Christopher., Clarke, Collin P., Grill, Beth & Dunigan, Molly. (2013). Paths to Victory : Lessons from Modern Insurgencies. Santa Monica, CA: RAND Corporation Pinardi. Sekarmadji Maridjan Kartosuwijo. (1964). Jakarta: Aryaguna Pusat Sejarah TNI. (2012). Sejarah Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dan Penumpasannya. Jakarta: CV Tapasuma Ratu Agung Thornton, Rod. (2007). Asymmetric Warfare. Cambridge: Polity Press

Page 19: Kebijakan & Strategi Kontrainsurjensi : Studi Kasus Pemberontakan DI/TII Jawa Barat

Universitas Pertahanan Indonesia | 19

US Army/US Marine Corps. (2014). Field Manual 3-24/Marine Corps Warfighting Publication 3-33.5 Insurgencies and Countering Insurgencies. Washington DC US Government. (2009). Guide to the Analysis of Insurgency

US Government. (2012). Guide to the Analysis of Insurgency Van Dijk,Cornelis (1983). Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. Jakarta: Grafiti Pers Wardoyo, Broto. (2015). Materi Kuliah Counter Insurgency Policy and Strategy. Universitas Pertahanan Indonesia http://www.asianmilitaryreview.com/airpoweraroletoplayincounterinsurgencies/, diakses 16 Juni 2015