Universitas Pertahanan Indonesia | 1 Kebijakan dan Strategi Kontrainsurjensi 1. Pendahuluan Gerakan insurjensi – gerakan terorganisir yang berusaha menggulingkan pemerintahan yang sah dari suatu negara, umumnya dengan menggunakan pemberontakan atau konflik bersenjata – merupakan bentuk peperangan yang sering ditemui akhir-akhir ini. Menurut Asian Military Review, hingga akhir tahun 2012 terdapat 80 gerakan insurjensi yang berlangsung di seluruh wilayah dunia 1 . Sejak kejatuhan rezim pemerintahan Saddam Hussein di Irak, insurjensi beserta kontrainsurjensi menjadi topik yang kerap diangkat oleh para analis pertahanan baik dari kalangan sipil maupun militer. Taktik kontrainsurjensi kembali diperbincangkan dan dianalisa setelah lama tidak tersentuh sejak kegagalan AS dalam menghadapi taktik gerilya yang dilakukan vietcong di perang Vietnam. Kini, penanganan insurjensi yang dilakukan oleh berbagai negara beragam, sesuai dengan karakter negara serta insurjen yang dihadapi maupun kondisi negara tempat insurjensi tersebut terjadi. Dalam mengatasi gerakan insurjensi yang timbul, pendekatan militer maupun sipil kerap dilakukan beriringan secara bersamaan. Sejarah menunjukkan gerakan insurjensi ber-evolusi seiring dengan perkembangan zaman. Motif, strategi maupun taktik insurjensi semakin berkembang dan bahkan semakin mutakhir. Insurjensi yang awalnya merupakan perjuangan ideologi dan pemikiran yang berwujud pada perjuangan fisik, kini sudah jauh berkembang dan lebih canggih dalam pemanfaatan teknologi. Medan pertempuran pun bergeser dari yang dulunya menggunakan taktik gerilya di wilayah hutan belantara atau pelosok daerah pedesaan kini mulai berpindah ke wilayah perkotaan dan di dunia maya. Hal ini berdampak pada berkembang dan beragamnya kebijakan dan strategi penanganan insurjensi yang dilakukan oleh 1 http://www.asianmilitaryreview.com/airpoweraroletoplayincounterinsurgencies/ , diakses 16 Juni 2015
19
Embed
Kebijakan & Strategi Kontrainsurjensi : Studi Kasus Pemberontakan DI/TII Jawa Barat
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Universitas Pertahanan Indonesia | 1
Kebijakan dan Strategi Kontrainsurjensi
1. Pendahuluan
Gerakan insurjensi – gerakan terorganisir yang berusaha
menggulingkan pemerintahan yang sah dari suatu negara, umumnya
dengan menggunakan pemberontakan atau konflik bersenjata –
merupakan bentuk peperangan yang sering ditemui akhir-akhir ini.
Menurut Asian Military Review, hingga akhir tahun 2012 terdapat 80
gerakan insurjensi yang berlangsung di seluruh wilayah dunia1. Sejak
kejatuhan rezim pemerintahan Saddam Hussein di Irak, insurjensi beserta
kontrainsurjensi menjadi topik yang kerap diangkat oleh para analis
pertahanan baik dari kalangan sipil maupun militer. Taktik kontrainsurjensi
kembali diperbincangkan dan dianalisa setelah lama tidak tersentuh sejak
kegagalan AS dalam menghadapi taktik gerilya yang dilakukan vietcong di
perang Vietnam. Kini, penanganan insurjensi yang dilakukan oleh
berbagai negara beragam, sesuai dengan karakter negara serta insurjen
yang dihadapi maupun kondisi negara tempat insurjensi tersebut terjadi.
Dalam mengatasi gerakan insurjensi yang timbul, pendekatan militer
maupun sipil kerap dilakukan beriringan secara bersamaan.
Sejarah menunjukkan gerakan insurjensi ber-evolusi seiring
dengan perkembangan zaman. Motif, strategi maupun taktik insurjensi
semakin berkembang dan bahkan semakin mutakhir. Insurjensi yang
awalnya merupakan perjuangan ideologi dan pemikiran yang berwujud
pada perjuangan fisik, kini sudah jauh berkembang dan lebih canggih
dalam pemanfaatan teknologi. Medan pertempuran pun bergeser dari
yang dulunya menggunakan taktik gerilya di wilayah hutan belantara atau
pelosok daerah pedesaan kini mulai berpindah ke wilayah perkotaan dan
di dunia maya. Hal ini berdampak pada berkembang dan beragamnya
kebijakan dan strategi penanganan insurjensi yang dilakukan oleh
1 http://www.asianmilitaryreview.com/airpoweraroletoplayincounterinsurgencies/, diakses 16 Juni 2015
berbagai negara, disesuaikan dengan kekuatan dan karakter negara serta
karakter insurjen yang dihadapi maupun kondisi negara tempat gerakan
insurjensi tersebut terjadi.
Perkembangan insurjensi yang berdampak pada pergeseran motif,
pola maupun taktik insurjensi ini perlu diperhatikan untuk kemudian dicari
pemecahannya (kontrainsurjensi) dan bahkan lebih jauh lagi antisipasinya.
Tulisan ini ditekankan pada analisa untuk memformulasikan kebijakan dan
strategi kontrainsurjensi dari studi kasus gerakan insurjensi berupa
pemberontakan DI/TII di wilayah Jawa Barat.
2. Insurjensi & Kontrainsurjensi Terdapat banyak definisi tentang insurjensi yang menjadi dasar
analisa akademis, diantaranya adalah definisi-definisi dibawah ini :
Galula (1964), mendefinisikan Insurjensi sebagai “the pursuit of the policy
of a party, inside a country, by every means” (usaha melaksanakan
kebijakan suatu pihak, dalam suatu negara, dengan menggunakan segala
cara).
Menurut British Army Field Manual Volume 1 Part 10 (2009), Insurjensi
didefinisikan sebagai :
“an organised, violent subversion used to effect or prevent political
control, as a challenge to established authority”
(Sebuah pemberontakan dengan kekerasan yang terorganisir untuk
mempengaruhi atau mencegah kendali politik, sebagai sebuah
tantangan bagi otoritas yang sah).
Menurut US Government Guide to The Analysis of Insurgency (2009),
Insurjensi didefinisikan sebagai :
“a protracted political-military activity directed toward completely or
partially controlling the resources of a country through the use of
irregular military forces and illegal political organizations”
(Sebuah aktivitas politik-militer berkepanjangan yang bertujuan untuk
menguasasi seluruh atau sebagaian sumber daya suatu negara
Universitas Pertahanan Indonesia | 3
dengan menggunakan kekuatan militer non reguler dan organisasi
politik tidak sah).
Sementara itu, menurut beberapa publikasi yang dikeluarkan oleh pihak
militer Amerika Serikat, yaitu US Department of Defense Dictionary of
Military and Associated Terms (Joint Publication 1-02) (2015), US Joint
Chief of Staffs Joint Publication 3-24 (2013), US Army Field Manual 3-24
(2014) & US Marine Corps Warfighting Publication 3-33.5 (2014),
Insurjensi adalah :
“the organized use of subversion and violence to seize, nullify, or
challenge political control of a region. Insurgency can also refer to the
group itself”
(Pemberontakan dan kekerasan terstruktur untuk mengambil alih,
menggagalkan atau menentang kendali politik atas suatu wilayah.
Sebutan insurjensi bisa juga ditujukan kepada suatu kelompok yang
melakukan hal tersebut).
Dari beberapa definisi diatas, dapat disintesakan bahwa insurjensi pada
intinya merupakan sebuah kegiatan yang melibatkan aktivitas politik
maupun militer untuk mengambil alih pengendalian politik atas suatu
wilayah atau negara dengan tujuan untuk menguasai sumber daya
wilayah atau negara tersebut dengan menggunakan cara apapun yang
diperlukan.
Dalam operasionalisasinya, terdapat tiga pihak yang terlibat dalam
gerakan insurjensi tersebut, yaitu negara atau pemerintahan yang sah,
rakyat atau yang sering disebut populasi dan pihak insurjen atau yang
sering disebut pemberontak. Pihak negara maupun insurjen sama-sama
berusaha mengambil alih simpati serta dukungan dari populasi sehingga
berbagai cara apapun akan ditempuh untuk mendapatkan simpati serta
dukungan tersebut dengan tujuan akhir yaitu pengendalian atas suatu
wilayah.
Pada sisi lain, dalam usaha untuk mengatasi gerakan insurjensi
tersebut, negara atau pemerintahan yang sah melancarkan gerakan atau
Universitas Pertahanan Indonesia | 4
operasi kontrainsurjensi (counterinsurgency). Seperti halnya insurjensi,
terdapat berbagai definisi tentang kontrainsurjensi yang dijadikan dasar
analisa. Adapun beberapa definisi tersebut adalah sebagai berikut :
Galula (1964) menyatakan dengan lugas dan sederhana bahwa
“counterinsurgency is only an effect of insurgency” (kontrainsurjensi
adalah hasil/reaksi dari insurjensi), dimana Galula menyatakan bahwa
dalam segala situasi terdapat dua sisi yang saling berlawanan, seperti
pada satu sisi terdapat “insurjen” dan gerakannya yaitu “insurjensi”, dan
pada saat yang sama di sisi lain yang berlawanan terdapat “kontra
insurjen” yang melancarkan operasi “kontrainsurjensi”.2
British Army Field Manual Volume 1 Part 10 (2009), mendefinisikan
kontrainsurjensi sebagai :
“Those military, law enforcement, political, economic, psychological
and civic actions taken to defeat insurgency, while addressing the root
causes”
(Tindakan militer, penegakan hukum, politik, ekonomi, psikologi dan
kemasyarakatan yang dilakukan untuk mengalahkan insurjensi,
dimana pada saat yang sama juga mencari akar penyebabnya).
Menurut definisi US Government Guide to The Analysis of Insurgency
(2012),
“Counterinsurgency - frequently reffered by the acronim COIN - is the
combination of measures undertaken by a government to defeat an
(insurgency”.
(Kontrainsurjensi – sering disingkat dengan COIN – adalah kombinasi
tindakan yang diambil pemerintah untuk mengalahkan sebuah gerakan
insurjensi)
Sementara itu, menurut beberapa publikasi yang dikeluarkan oleh pihak
militer Amerika Serikat, yaitu US Department of Defense Dictionary of
Military and Associated Terms (Joint Publication 1-02) (2015), US Joint
Chief of Staffs Joint Publication 3-24 (2013), US Army Field Manual 3-24 2 Galula, David. Counter-insurgency Warfare : Theory and Practice (1964). p.xii
Universitas Pertahanan Indonesia | 5
(2014) & US Marine Corps Warfighting Publication 3-33.5 (2014),
Kontrainsurjensi didefinisikan sebagai berikut :
“Counterinsurgency (COIN) is a comprehensive civilian and military
effort designed to simultaneously defeat and contain insurgency and
address its root causes”
(Kontrainsurjensi (COIN) adalah usaha menyeluruh dari sipil dan militer
yang dirancang untuk secara simultan mengalahkan dan menekan
insurjensi dan menyelesaikan akar permasalahannya).
Dari beberapa definisi diatas, dapat disintesakan bahwa pada dasarnya
kontrainsurjensi adalah usaha terpadu dari pemerintah dalam berbagai
aspek secara komprehensif untuk mengatasi gerakan insurjensi dan
menyelesaikan akar permasalahannya.
Sesuai batasan yang disebutkan sebelumnya, tulisan ini ditekankan pada
analisa untuk memformulasikan kebijakan dan strategi kontrainsurjensi
dengan mengambil contoh kasus gerakan insurjensi berupa
pemberontakan DI/TII di wilayah Jawa Barat yang dipimpin oleh
Kartosoewirjo.
3. Studi Kasus : Pemberontakan DI/TII Kartosoewirjo Darul Islam (juga dikenal dengan nama DI) adalah sebuah gerakan
kelompok insurjen berbasis agama Islam di Indonesia oleh sekelompok
milisi yang dipimpin oleh seorang politisi muslim radikal karismatik,
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (S.M. Kartosoewirjo) di Desa
Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya,
Jawa Barat dengan tujuan untuk membentuk negara Islam di Indonesia
(Negara Islam Indonesia disingkat NII). NII diproklamirkan pada 7 Agustus
1949. Kelompok ini mengakui syariat islam sebagai dasar negara dan
sumber hukum.
Gerakan DI ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat
itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya sebagai negara teokrasi
dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa
Universitas Pertahanan Indonesia | 6
“Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum
Islam”, dan lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa
“Negara berdasarkan Islam” dan “Hukum yang tertinggi adalah Al Quran
dan Hadits", proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas
menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang
berlandaskan syariat Islam, sekaligus menyatakan penolakan keras
terhadap ideologi selain Al Qur'an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut
sebagai “hukum kafir". Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di
beberapa wilayah, terutama Jawa Barat (berikut daerah-daerah yang
berbatasan dengan Jawa Tengah), Sulawesi Selatan, Aceh dan
Kalimantan.
Momentum bersejarah yang memicu gerakan insurjensi yang
dilancarkan DI adalah adanya Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948,
yang salah satu isinya mengharuskan tentara dan pasukan bersenjata
mundur ke belakang garis Van Mook. Kantong-kantong wilayah berisi
pasukan bersenjata di dalam garis itu harus dikosongkan. Ketika itu Divisi
Siliwangi yang menjadi kebanggaan rakyat Jawa Barat “hijrah” ke
Yogyakarta. Para pejuang Islam kecewa terhadap Perjanjian Renville itu.
Mereka menganggap pemerintah dan tentara Indonesia tak hanya
menunjukkan sikap kompromistis terhadap Belanda, tapi juga membiarkan
rakyat Jawa Barat tak terlindungi. Saat itu, Sabilillah (laskar yang awalnya
dibentuk oleh Partai Masyumi) dan milisi Hizbullah menolak perintah
pengosongan karena anggota Hizbullah dan Sabilillah yang hijrah akan
dilucuti senjatanya sama halnya dengan tentara resmi yang tidak mundur
juga diwajibkan menyerahkan senjata. Aksi kelompok Hizbullah dan
Sabilillah ini memicu ketegangan.
Melihat keadaan itu, Raden Oni (saat itu Wakil Ketua Masyumi
daerah Priangan yang juga merangkap Ketua Bagian Pertahanan
Hizbullah/Sabilillah) dan S.M. Kartosoewirjo (saat itu sebagai Wakil
Pengurus Masyumi Jawa Barat) sepakat segera menggelar konferensi
pemimpin umat Islam se-Jawa Barat. Konferensi itu digelar di Desa
Universitas Pertahanan Indonesia | 7
Pamedusan, Cisayong, Tasikmalaya pada Februari 1948 dengan acara
pokok yang dibahas adalah : (1) menentukan sikap terhadap persetujuan
Renville dan (2) cara-cara meneruskan perjuangan selanjutnya.
Konferensi dihadiri 160 perwakilan organisasi Islam. Dalam konferensi itu
terlihat adanya keinginan golongan radikal yang berniat membelokkan
arah perjuangan mempertahankan Republik Indonesia ke arah usaha
membentuk negara Islam. Pada akhirnya, keinginan kelompok radikal
tersebut memperoleh kemenangan dan salah satu keputusan konferensi
itu adalah semua organisasi Islam melebur menjadi Majelis Islam Pusat,
menunjuk Kartosoewirjo sebagai imam umat Islam di Jawa sebelah Barat
dan menunjuk Raden Oni sebagai pemimpin pasukan Tentara Islam
Indonesia.
Untuk mematangkan rencana pendirian NII, S.M. Kartosoewirjo
melakukan serangkaian pertemuan dan konferensi lanjutan. Dua bulan
setelah konferensi pertama, mereka menggelar Konferensi Cipeundeuy,
Bantarujeg, Cirebon. Konferensi itu meminta pemerintah Indonesia
membatalkan sejumlah perundingan dengan Belanda. Jika tidak berhasil,
pemerintah RI diminta membubarkan diri atau membentuk pemerintah
baru. Konferensi juga memutuskan mengadakan persiapan negara Islam
untuk menandingi negara Pasundan bentukan Belanda. Persiapan itu
meliputi pembuatan aturan-aturan ala Islam. Setelah di Cipeundeuy,
konferensi lain digelar di Cijoho, Kuningan, yang membahas secara
mendalam bentuk-bentuk ketatanegaraan. Dalam pertemuan ini terbentuk
Dewan Imamah (Dewan Menteri), Dewan Fatwa (Dewan Pertimbangan
Agung), dan penyusunan Kanun Azazi atau Undang-Undang Dasar.
Di tengah persiapan pembentukan NII, pada akhir 1948, ibu kota
Yogyakarta diserang Belanda. Para pemimpin nasional ditawan, termasuk
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Peristiwa ini
dimanfaatkan S.M.Kartosoewirjo sebagai propaganda tamatnya riwayat
Republik Indonesia dimana melalui Maklumat Nomor 6, Kartosoewirjo
mengumumkan kejatuhan Negara RI dan lahirnya Negara Islam Indonesia
Universitas Pertahanan Indonesia | 8
serta menganggap Jawa Barat sebagai daerah de facto NII, sehingga
setiap pasukan dan kekuatan lain yang melewati wilayah ini dianggap
melanggar kedaulatan. Mereka harus bergabung dengan TII atau dilucuti.
Ketika itulah NII mulai menyerukan jihad fisabilillah.
Pada saat bersamaan, Divisi Siliwangi yang hijrah ke Jawa Tengah
telah kembali ke Jawa Barat dengan melakukan long march. Masuknya
kembali tentara Siliwangi ke daerah yang dikuasai pasukan TII
menimbulkan gesekan, dan mengakibatkan perang segitiga TII-TNI-
Belanda. Perang tersebut baru meredup setelah digelarnya Perjanjian
Roem-Royen. Kartosoewirjo mengecam hasil perjanjian itu dan menuding
Mohammad Roem, wakil Masyumi yang memimpin perundingan itu, telah
menjual negara. Perjanjian itu dinilainya menimbulkan kekosongan
kekuasaan di Indonesia. Dalam kondisi vakum itu, menurut dia, tidak ada
kekuasaan dan pemerintahan yang bertanggung jawab. Keadaan itu
digunakan oleh Kartosoewirjo untuk memproklamasikan berdirinya Negara
Islam Indonesia pada 7 Agustus 1949.
Gerakan DI/TII awalnya banyak mendapat simpati dan dukungan
rakyat karena lihai melakukan propaganda dengan memanfaatkan simbol-
simbol Islam. Hal ini cukup berhasil karena karakter rakyat Jawa Barat
yang saat itu sangat agamis namun masih kurang teredukasi dengan baik,
sehingga sangat mudah dipengaruhi. Seiring berjalannya waktu gerkan
DI/TII mulai bergerak ke arah yang ekstrim. Wilayah-wilayah atau desa-
desa yang tidak mau membayar pajak NII dan bekerja sama akan
diserang, dijarah dan dibumihanguskan. Kelompok pengajian maupun
pesantren yang dinilai memihak Republik Indonesia juga turut diserang.
Tindakan DI/TII mulai berubah menjadi brutal dan menebar teror, sepak
terjang mereka di daerah Jawa Barat menjadi momok yang menakutkan.
Menurut catatan statistik yang dikeluarkan oleh Kodam IV/Siliwangi,
selama periode 1955-1960 kerugian yang ditimbulkan oleh gerombolan
DI/TII adalah korban jiwa mencapai 22.985 orang tewas, 115.822 rumah
Universitas Pertahanan Indonesia | 9
penduduk hangus terbakar, sedangkan kerugian materiil mencapai
Rp.647.554.900,-3.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menghentikan
Kartosoewirjo mendirikan Negara Islam Indonesia dan memadamkan
gerakan insurjensi DI/TII. Pada awalnya pemerintah berusaha
menyelesaikan masalah DI/TII dengan jalan musyawarah, namun tidak
berhasil, sehingga akhirnya ditempuhlah jalan berupa operasi militer.
Pada awal pemberontakan Tentara Islam, pasukan Siliwangi belum
menemukan taktik yang jitu. Pasukan Siliwangi kurang mampu
menghadang pasukan Kartosoewirjo karena sebagian warga Jawa Barat
yang mendukung Kartosoewirjo memberikan tempat persembunyian bagi
Tentara Islam. Terlihat bahwa pihak lawan menguasai medan dan
didukung sebagian rakyat. Setelah dilihat, dianalisa dan dipelajari oleh
para perwira TNI, akhirnya diterapkanlah strategi anti gerilya. Pasukannya
Siliwangi pun dilatih taktik anti gerilya. Strategi inilah yang akhirnya
mematahkan perlawanan Tentara Islam.
Operasi militer yang dilakukan TNI dimulai dengan mengambil
simpati rakyat, khususnya rakyat yang masih mendukung Republik
Indonesia dan korban-korban keganasan DI/TII. Pada saat yang
bersamaan, TNI juga mendekati para ulama dan tokoh masyarakat. Hal ini
mempersempit ruang gerak pasukan DI/TII karena wilayah-wilayah yang
dikuasai TNI semakin luas, selain itu karena TNI menerapkan strategi
perang semesta dengan taktik “Pagar Betis”, yang semakin membatasi
ruang gerak para insurjen dan memutus jalur logistik mereka. Berbagai
operasi digelar secara terus menerus oleh TNI bersama rakyat dan
Kepolisian Republik Indonesia, hingga pada akhirnya, tanggal 4 Juni
1962, S.M. Kartosoewirjo beserta para pengikutnya berhasil ditangkap di
Gunung Geber, Majalaya dan berakhirlah gerakan insurjensi berupa
pemberontakan DI/TII di Jawa Barat beserta Negara Islam Indonesia.
Apabila dikaji, pemberontakan DI/TII di wilayah Jawa Barat
merupakan salah satu pemberontakan terpanjang dalam sejarah Republik
Indonesia, karena berlangsung dari tahun 1949-1962 (13 tahun). Melihat
proses pembentukan Negara Islam Indonesia, Kartosoewirjo dinilai tidak
memiliki landasan ideologi yang kuat. Kekecewaan Kartosoewirjo
terhadap Perjanjian Renville pada 1949 dan perjanjian-perjanjian
berikutnya yang dianggap merugikan kepentingan Indonesia dinilai
sebagai faktor yang lebih menentukan pemberontakannya.
Peneliti Cornelis van Dijk memiliki sejumlah teori mengapa perlawanan
Tentara Islam Indonesia bisa bertahan lama, bahkan jauh lebih lama
dibanding Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Permesta,
yang digerakkan sejumlah tokoh politik dan perwira militer.
Dukungan rakyat terhadap Darul Islam memang lebih kuat apabila
dibandingkan dengan respon masyarakat terhadap PRRI. Harus diakui pula
bahwa Kartosoewirjo lihai menarik simpati masyarakat dengan simbol Islam
yang digunakannya.
Terdapat banyak variabel, komponen serta pertimbangan dalam
menentukan strategi dan kebijakan kontrainsurjensi. Menurut Moore
(2007), dalam menentukan strategi dan kebijakan kontrainsurjensi, hal
yang pertama-tama perlu diketahui adalah penyebab (cause) dari
timbulnya gerakan insurjensi tersebut4. Adapun di dalam JP 3-24 (2013)
penyebab dasar timbulnya gerakan insurjensi terbagi menjadi tiga, yaitu
kondisi-kondisi apa yang mendukung timbulnya gerakan insurjensi
tersebut (opportunity), tujuan yang hendak dicapai oleh gerakan insurjensi
tersebut (motive) dan cara-cara yang ditempuh (means). Kasus
pemberontakan DI/TII yang dijelaskan sebelumnya menunjukkan ketiga
hal tersebut. Kondisi yang ada pada saat itu adalah saat kekosongan
kekuasaan akibat adanya Perjanjian Renville, ditambah dengan tujuan
mendirikan negara berdasarkan azas Islam, dan pada awalnya
4 Moore, R.Scott. The Basics of Counterinsurgency (2007). p.6-8
Universitas Pertahanan Indonesia | 11
dilaksanakan dengan mengadakan konferensi-konferensi untuk
melegalkan niatan tersebut dan kemudian dengan membentuk kekuatan
militer sendiri (TII) serta memproklamirkan niatan tersebut dengan
mendirikan NII.
Setelah menemukan penyebab timbulnya gerakan insurjensi
tersebut, perlu dipetakan modal yang dimiliki oleh negara, yaitu dalam hal
(1) kemampuan militer, (2) kapabilitas politik dan diplomatik, serta (3)
kemampuan intelijen. Hal ini perlu dipetakan karena insurjensi bukan
semata-mata merupakan masalah keamanan yang memerlukan
pendekatan militer semata, namun juga memiliki dimensi politik dan sosial-
ekonomi.
Gambar 1. Pendekatan Komprehensif Kontrainsurjensi Sumber : JP 3-24 Counterinsurgency
Gambar diatas menjelaskan bahwa dalam melaksanakan kontrainsurjensi,
selain pendekatan keamanan (security), perlu juga adanya pendekatan
ekonomi dan informasi yang diramu menjadi satu melalui kebijakan politik
untuk dapat mengendalikan situasi. Kebijakan keamanan disini adalah
perlu adanya pendekatan keamanan, baik dari sisi militer maupun
kepolisian selain untuk menjaga kedaulatan negara juga untuk melindungi
keselamatan warganegara. Pendekatan ekonomi perlu dilakukan,
Universitas Pertahanan Indonesia | 12
khususnya apabila terdapat ketidakpuasan akibat ketimpangan ekonomi
yang ada, kemudian informasi diperlukan bagi rakyat/populasi untuk
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi sekaligus sebagai “corong”
propaganda pemerintah agar rakyat tidak mendukung gerakan insurjensi.
Apabila telah diketahui penyebab terjadinya insurjensi dan telah
dipetakan modal apa saja yang dimiliki oleh negara, maka saatnya untuk
diimplementasikan perwujudan kebijakan dan strategi kontrainsurjensi.
Dalam implementasi kebijakan kontrainsurjensi, terdapat variabel-variabel
yang perlu diperhatikan, yaitu :
1. Pengutamaan tujuan politis
Pengutamaan tujuan politis disini merupakan perwujudan legitimasi
serta kedaulatan pemerintahan yang sah. Penumpasan gerakan
insurjensi bukan semata-mata hanya “membasmi” para pemberontak,
namun lebih kepada pengaktualisasian kewibawaan pemerintah. Dari
studi kasus DI/TII yang dijelaskan sebelumnya, hal ini terlihat saat
penangkapan S.M. Kartosoewrijo, dimana TNI tetap memperlakukan
Kartosoewirjo dengan hormat dan tetap memberi kesempatan kepada
pengikutnya untuk menyerah secara baik-baik. Hal ini menunjukkan
kewibawaan pemerintah RI yang sekaligus memberikan kesan bahwa
pemimpin-pemimpin pemerintah RI memang layak untuk diikuti.
2. Penyatuan usaha
Mengingat kontrainsurjensi merupakan masalah yang perlu
pemecahan komprehensif, maka kerjasama penyatuan usaha perlu di-
sinergikan menjadi suatu usaha yang komprehensif dan terintegrasi,
dimana kesatuan usaha tersebut meliputi bidang keamanan, politik,
maupun ekonomi didukung dengan pasokan informasi yang cepat,
tepat dan akurat5. Termasuk dalam hal ini adalah implementasi
pemanfaatan intelijen sebagai sumber informasi serta media sebagai
“corong” informasi.
5 Kilcullen, David J. Three Pillars of Counterinsurgency (2006). p.4
Universitas Pertahanan Indonesia | 13
Gambar 2. Pendekatan Komprehensif Kontrainsurjensi
Sumber : Kilcullen, Three Pillars of Counterinsurgency (2006)
3. Memahami karakter manusia serta lingkungan sosiokulturnya
Dalam memenangkan “hearts and minds” dari populasi, pemahaman
karakter manusia serta lingkungan sosiokulturnya dirasa sangat
penting. Pemahaman akan sosiokultur insurjen maupun populasi ini
penting karena pengetahuan akan karakter insurjen dapat menentukan
taktik bahkan manuver apa yang diperlukan dalam mengatasi gerakan
mereka, sementara pengetahuan akan karakter populasi/rakyat akan
dapat menentukan perolehan simpati/dukungan bagi usaha
kontrainsurjensi. Dari studi kasus DI/TII yang dijelaskan sebelumnya,
hal ini terlihat saat TNI melakukan pendekatan kepada para ulama dan
tokoh masyarakat setempat sebagai usaha untuk mengambil simpati
rakyat Jawa Barat. Hal ini sesuai dengan karakter masyarakat Jawa
Barat yang sangat agamis sekaligus menjunjung tinggi adat setempat,
sehingga mereka pasti akan menuruti dan mengikuti himbauan para
ulama dan tokoh-tokoh masyarakat yang mereka hormati.
Universitas Pertahanan Indonesia | 14
4. Bersiap untuk konflik jangka panjang
Operasi kontrainsurjensi adalah operasi jangka panjang. Hal ini
mengingat walaupun pasukan pemebrontak telah berhasil dinetralisir,
namun ide-ide pemikiran mereka belum tentu lenyap seketika. Perlu
waktu, selain untuk menyembuhkan trauma para korban, juga untuk
mengikis sisa-sisa ide maupun pendukung insurjensi yang ada. Satu
hal yang perlu diperhatikan juga adalah konflik jangka panjang
memerlukan biaya (baik moril maupun materiil) yang tidak sedikit.
Logistik maupun mental pasukan kontrainsurjensi perlu dipersiapkan
sedemikian rupa agar tidak cepat menyerah di tenga perjuangan.
5. Beroperasi sesuai koridor hukum yang berlaku
Dalam pelaksanaan operasi kontrainsurjensi tak jarang terdapat tindak
kekerasan yang terjadi. Hal ini walaupun relatif sering terjadi di medan
operasi, namun perlu ditekan jumlahnya sedemikian rupa karena hal
ini sedikit banyak mempengaruhi dukungan populasi terhadap
pemerintah dan lebih jauh lagi dapat mempengaruhi kewibawaan
pemerintah yang sah sebagai kounterinsurjen. Dari studi kasus DI/TII
yang dijelaskan sebelumnya, hal ini terlihat saat penangkapan S.M.
Kartosoewrijo, dimana TNI tetap memperlakukan Kartosoewirjo
dengan hormat dan tetap dilaksanakannya pengadilan terhadap
Kartosoewirjo sebagai upaya meberikan keadilan yang menjadi hak
setiap warga negara.
6. Belajar dan beradaptasi
Kontrainsurjensi adalah operasi yang kompleks. Terdapat banyak
variabel, komponen serta pertimbangan dalam implementasi strategi
dan kebijakan kontrainsurjensi. Adaptasi diperlukan pada setiap level
operasional dan dalam setiap tahapan. Bahkan adaptasi juga
diperlukan untuk mengimbangi taktik insurjen. Dari studi kasus DI/TII
yang dijelaskan sebelumnya, hal ini terlihat saat TNI juga melakukan
pendekatan kepada para ulama dan pesantren, dimana TNI
melakukan pemanfaatan simbol-simbol Islam untuk menarik simpati
Universitas Pertahanan Indonesia | 15
dan dukungan rakyat Jawa Barat yang sangat agamis. Hal ini
sebenarnya juga sudah terlebih dahulu digunakan oleh DI untuk
mencari dukungan populasi, yaitu dengan memanfaatakn simbol-
simbol Islam. Hal lain yang berkaitan dengan adaptasi adalah
penerapan strategi anti gerilya oleh TNI sebagai strategi untuk
menghadapi perlawanan gerilya yang dilakukan oleh TII.
7. Rekonstruksi pasca operasi
Ada satu hal yang banyak dilupakan oleh para analis, yaitu
rekonstruksi pasca operasi kontrainsurjensi. Hal ini penting mengingat
porak porandanya wilayah operasi setelahadanya gerakan insurujensi.
Adapun rekonstruksi pasca operasi ini meliputi re-ideologisasi,
pendidikan politik, pembangunan ekonomi, pembangunan sarana dan
prasarana sosial an budaya serta pendidikan nasioanlisme
kebangsaan. Adapun hal-hal tersebut bertujuan untuk meminimalisir
atau menekan tumbuhnya bibit-bibit baru gerakan insurjensi.
Perlu diingatkan bahwa penerapan kebijakan dan strategi kontrainsurjensi
yang telah dijelaskan diatas masih perlu disesuaikan dengan karakter
gerakan insurjensi itu sendiri, kondisi populasi, wilayah serta negara
tempat insurjensi itu terjadi dan bahkan cara pandang negara terhadap
gerakan insurjensi itu sendiri.
Satu hal yang tidak boleh dilupakan, kebijakan dan strategi
kontrainsurjensi ini perlu dikaji ulang terus menerus apakah masih relevan
dalam menghadapi perkembangan motif, strategi maupun taktik insurjensi
semakin berkembang dan bahkan semakin mutakhir. Perlu dilakukan
adaptasi maupun pengembangan berkesinambungan sebagai perbaikan
terus-menerus bagi kebijakan dan strategi kontrainsurjensi ini.
5. Kesimpulan Insurjensi bukan semata-mata merupakan masalah
keamanan/militer semata, namun juga melibatkan politik, dan sosio-
Universitas Pertahanan Indonesia | 16
ekonomi karena itu terdapat banyak variabel, komponen serta
pertimbangan dalam menentukan strategi dan kebijakan kontrainsurjensi.
Dalam menentukan strategi dan kebijakan kontrainsurjensi, hal
yang pertama-tama perlu diketahui adalah penyebab (cause) dari
timbulnya gerakan insurjensi tersebut. Setelah menemukan penyebab
timbulnya gerakan insurjensi tersebut, perlu dipetakan modal yang dimiliki
oleh negara, yaitu dalam hal (1) kemampuan militer, (2) kapabilitas politik
dan diplomatik, serta (3) kemampuan intelijen. Apabila telah diketahui
penyebab terjadinya insurjensi dan telah dipetakan modal apa saja yang
dimiliki oleh negara, maka saatnya untuk diimplementasikan perwujudan
kebijakan dan strategi kontrainsurjensi, yaitu :
1. Pengutamaan tujuan politis
2. Penyatuan usaha
3. Memahami karakter manusia serta lingkungan sosiokulturnya
4. Bersiap untuk konflik jangka panjang
5. Beroperasi sesuai koridor hukum yang berlaku
6. Belajar dan beradaptasi
7. Rekonstruksi pasca operasi
Dan yang tidak boleh dilupakan adalah kebijakan dan strategi
kontrainsurjensi ini perlu dikaji ulang terus menerus apakah masih relevan
dalam menghadapi perkembangan motif, strategi maupun taktik insurjensi
semakin berkembang dan bahkan semakin mutakhir.
6. Rekomendasi Dalam menetapkan kebijakan dan strategi kontrainsurjensi, perlu
disesuaikan dengan karakter gerakan insurjensi itu sendiri, kondisi
populasi, wilayah serta negara tempat insurjensi itu terjadi dan bahkan
cara pandang negara terhadap gerakan insurjensi itu sendiri. Setiap
gerakan insurjensi adalah unik sehingga bukan tidak mungkin satu
kebijakan atau strategi kontrainsurjensi hanya dapat diterapkan pada satu
Universitas Pertahanan Indonesia | 17
gerakan insurjensi saja di satu wilayah atau negara dan pada satu waktu
saja.
Dalam tulisan ini, penulis merekomendasikan formulasi kebijakan
dan strategi kontrainsurjensi harus dimulai pertama-tama dari diketahui
penyebab timbulnya gerakan insurjensi tersebut, kemudian memeetakan
modal yang dimiliki oleh negara dalam menghadapi gerakan insurjensi
tersebut dan kemudian diimplementasikan perwujudan kebijakan dan
strategi kontrainsurjensi yang ditetapkan yaitu :
8. Pengutamaan tujuan politis
9. Penyatuan usaha
10. Memahami karakter manusia serta lingkungan sosiokulturnya
11. Bersiap untuk konflik jangka panjang
12. Beroperasi sesuai koridor hukum yang berlaku
13. Belajar dan beradaptasi
14. Rekonstruksi pasca operasi
Adapun penulis juga mengingatkan bahwa ada hal yang tidak boleh
dilupakan yaitu kebijakan dan strategi kontrainsurjensi ini perlu dikaji ulang
terus menerus apakah masih relevan dalam menghadapi perkembangan
motif, strategi maupun taktik insurjensi semakin berkembang dan bahkan
semakin mutakhir sehingga negara dapat membuat kebijakan dan strategi
kontrainsurjensi yang tepat dalam mengatasi gerakan insurjensi yang
terjadi.
Universitas Pertahanan Indonesia | 18
Referensi
Anwar, Syaiful. (2015). Materi Kuliah Dynamics of Insurgency. Universitas Pertahanan Indonesia
British Army Field Manual Volume 1 Part 10. (2009). Countering Insurgency. Warmister, BA: Ministry of Defence
Galula, David. (1964). Counter-Insurgency Warfare Theory and Practice. New York: Frederick A. Praeger
Gompert, David C, et.al. (2008). War by Other Means : Building Complete and Balanced Capabilities for Counterinsurgency. Santa Monica, CA: RAND Corporation Joint Chief of Staffs. (2013). Joint Publication 3-24. Counterinsurgency. Joint Chief of Staffs. (2015). Joint Publication 1-02. Department of Defense Dictionary of Military and Associated Terms.
Kilcullen, David J. (2006) Three Pillars of Counterinsurgency. Washington DC: US Government Counterinsurgency Conference. Metz, Steven & Millen, Raymond. (2004). Insurgency and Counterinsurgency in the 21st Century: Reconceptualizing Threat and Response. Carlisle, PA: U.S.Army War College. Moore, R. Scott. (2007). The Basics of Counterinsurgency. By Author. Muradi. (2015). Materi Kuliah Dynamics of Counter Insurgency. Universitas Pertahanan Indonesia Paul, Christopher., Clarke, Collin P., Grill, Beth & Dunigan, Molly. (2013). Paths to Victory : Lessons from Modern Insurgencies. Santa Monica, CA: RAND Corporation Pinardi. Sekarmadji Maridjan Kartosuwijo. (1964). Jakarta: Aryaguna Pusat Sejarah TNI. (2012). Sejarah Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dan Penumpasannya. Jakarta: CV Tapasuma Ratu Agung Thornton, Rod. (2007). Asymmetric Warfare. Cambridge: Polity Press
Universitas Pertahanan Indonesia | 19
US Army/US Marine Corps. (2014). Field Manual 3-24/Marine Corps Warfighting Publication 3-33.5 Insurgencies and Countering Insurgencies. Washington DC US Government. (2009). Guide to the Analysis of Insurgency
US Government. (2012). Guide to the Analysis of Insurgency Van Dijk,Cornelis (1983). Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. Jakarta: Grafiti Pers Wardoyo, Broto. (2015). Materi Kuliah Counter Insurgency Policy and Strategy. Universitas Pertahanan Indonesia http://www.asianmilitaryreview.com/airpoweraroletoplayincounterinsurgencies/, diakses 16 Juni 2015