“Kebijakan Pembatasan Impor Indonesia Pada Komoditas Hortikultura Terhadap Perdagangan Bebas World Trade Organization (WTO)” Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Ekonomi Politik Internasional Dosen: Leonard F. Hutabarat, Ph.D Imelda Sianipar, MA Oleh: Danita Pravinska 1170750006 UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA 1
31
Embed
Kebijakan Pembatasan Impor Indonesia Pada Komoditas Hortikultura Terhadap Perdagangan Bebas World Trade Organization (WTO)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
“Kebijakan Pembatasan Impor Indonesia Pada
Komoditas Hortikultura Terhadap Perdagangan Bebas
World Trade Organization (WTO)”
Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Akhir
Mata Kuliah Ekonomi Politik Internasional
Dosen:
Leonard F. Hutabarat, Ph.D
Imelda Sianipar, MA
Oleh:
Danita Pravinska
1170750006
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
1
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
JAKARTA, 30 Januari 2014
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang mempunyai
sumber daya alam yang melimpah dan juga memiliki
tanah yang subur. Ini terbukti dengan luasnya lahan
pertanian dan perkebunan di Indonesia yang juga
merupakan negara agraris menjadikan Indonesia
sebagai negara yang dinilai mampu bersaing dengan
negara – negara lain terutama dari bidang pertanian
maupun hortikultura. Indonesia yang dahulu pernah
mengalami masa kejayaannya melalui potensinya di
dalam sektor pertanian, membuat negara – negara
lain merasa tersaingi dan takut jika hasil
komoditas atau produksi pertanian maupun
hortikultura Indonesia lebih diminati masyarakatnya
dibandingkan dengan hasil produksi dalam negeri
negara tersebut.
2
Seiring berkembangnya zaman, dimana negara –
negara dituntut untuk dapat meningkatkan
kemampuannya di dunia internasional terutama pada
zaman saat ini globalisasi yang sudah menyebar ke
seluruh dunia membuat negara – negara di dunia
harus mampu bersaing baik negara besar, negara
berkembang, maupun negara miskin harus pintar –
pintar mengelola sumber daya alam yang dimiliki
agar dapat bersaing dengan negara lain demi
tercapainya dan terpenuhinya kebutuhan dalam
negerinya sehingga mampu untuk menyejahterakan
rakyat – rakyatnya. Indonesia sebagai salah satu
negara berkembang yang dulu kehadirannya selalu
diperhitungkan oleh negara lain, yang masih mampu
memenuhi kebutuhan pangannya dari hasil panen lahan
pertanian milik sendiri tapi kini Indonesia
terlihat tidak mampu lagi untuk memenuhi permintaan
masyarakat. Indonesia memang selalu berusaha untuk
dapat menghasilkan produk pertanian dan
hortikultura sebaik mungkin yang tidak kalah
kualitasnya dengan produksi dari negara – negara
lainnya, namun tetap saja pemerintah Indonesia
harus mengimpor kebutuhan pangan rakyatnya dari
negara lain.
Miris memang jika Indonesia yang dijuluki
sebagai negara agraris tetapi tidak mampu memenuhi
3
permintaan hasil pertanian ataupun hasil
hortikultura di dalam negerinya. Ini terbukti
dengan melihat fakta pada tahun 2010 impor
komoditas hortikultura mencapai 1,5 juta ton dengan
nilai US$ 1,2 miliar, dan meningkat menjadi 2,05
juta ton yang nilainya mencapai US$ 1,6 miliar pada
tahun 2011. Sementara pada tahun 2012 volume impor
menembus angka 2,2 juta ton dengan nilai
perdagangan mencapai US$ 1,8 miliar. Dan hal
tersebut menyebabkan neraca perdagangan
hortikultura Indonesia negatif yang pada tahun 2010
neraca volume dan nilai perdagangan defisit sebesar
1,1 juta ton dengan nilai US$ 902 juta. Sedangkan
pada 2011, defisit neraca volume dan nilai
perdagangan hortikultura mencapai 1,6 juta ton
dengan nilai mencapai US$ 1,1 miliar.1 Kebenaran
dari data tersebut membuktikan bahwa komoditas
hortikultura domestik mengalami kemunduran, dengan
melihat jumlah impor hortikultura yang dilakukan
Indonesia untuk memenuhi permintaan pasar nasional
terjawab sudah dengan semakin bertambahnya volume
impor Indonesia di setiap tahunnya.
Pada tahun 2012 pemerintah Indonesia melalui
Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan1 http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/13/12/27/mygq5k-kemendag-buka-kran-impor-hortikultura-600-ribu-ton (Diakses pada tanggal 31 Desember 2013 pukul 14.07 wib)
membuat satu kebijakan untuk menyelamatkan produksi
hortikultura dalam negeri dengan menerbitkan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60 Tahun 2012,
tentang rekomendasi impor hortikultura dan
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 60 Tahun 2012,
tentang ketentuan impor produk hortikultura. Dengan
dikeluarkannya kebijakan dari kedua Kementerian
tersebut mungkin akan membawa hasil hortikultura
Indonesia kembali berkembang dan dapat bersaing
dengan hasil produksi hortikultura negara lain,
sehingga permintaan pasar dalam negeri pun tidak
lagi harus bergantung dengan barang – barang impor
serta tingkat impor Indonesia kepada negara lain
bisa lebih diminimalisir lagi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas terdapat
beberapa rumusan masalah yaitu sebagai berikut:
1) Apa keuntungan yang diperoleh Indonesia dari
kebijakan pemerintah mengenai proteksionis
tersebut?
2) Bagaimana reaksi negara – negara anggota WTO
terhadap kebijakan pembatasan impor
hortikultura Indonesia?
1.3 Kerangka Teori
5
Untuk menjawab dan menganalisis rumusan masalah
di atas, maka kerangka teori yang akan digunakan
adalah sebagai berikut:
1.3.1 Proteksionisme
Proteksionisme adalah kebijakan ekonomi
yang membatasi perdagangan antar negara melalui
cara tata niaga, pemberlakuan tarif bea masuk
impor (tariff protection), jalan pembatasan kuota
(non-tariff protection), sistem kenaikan tarif dan
aturan berbagai upaya menekan impor bahkan
larangan impor.2 Apapun ancaman terhadap produk
lokal harus diminimalkan. Hal penting itu
menurut Murray N. Rothbard dalam proteksionis
yaitu, proteksionisme itu adalah hanya kekuatan
untuk mengekang perdagangan saja. Terlepas dari
apa yang pemerintahan inginkan demi tercapainya
kepentingan ekonomi mereka, proteksionisme bisa
digunakan atau ditinggalkan demi kepentingan
ekonominya.3
Proteksionisme merupakan kebijakan ekonomi
yang diwarisi dari sistem merkantilisme yang
berkembang sejak abad pertengahan. Alexander2 Jeffry Frieden and David Lake, (2000), International Political Economy: Perspective On Global Power and Wealth, New York: St. Martin’s Press, p. 306.3 M. N. Rothbard, (1986), Protectionism and The Destruction of Prosperity, Monograph: Ludwig Von Mises Institute, p.1-6.
6
Hamilton (1755-1804) dalam laporannya yang
berjudul Report On Manufactures (1791), Hamilton
mengemukakan bahwa negara harus berperan aktif
dalam mengembangkan sistem produksi sedemikian
rupa tidak saja dalam hal akumulasi kapital,
tetapi juga dalam mengatasi pelbagai hal di
dalam sistem perdagangan internasional yang
dapat merugikan kepentingan nasional.4 Bagi
Hamilton, kebijakan ekonomi suatu negara harus
diabdikan pada kepentingan nasional, dalam hal
ini adalah perlindungan industri domestik dari
ancaman pihak asing.
Fredich List (1789-1846), menyatakan bahwa
disiplin politik ekonomi harus dimulai dengan
pengakuan terhadap hakikat hubungan
internasional yang sarat dengan konflik
kepentingan, terutama antara negara – negara
industri maju dengan negara – negara miskin
yang berkonsentrasi pada produk pertanian dan
bahan mentah. Pemikiran List ini pada dasarnya
menyatakan bahwa kepentingan negara – negara
industri maju sangat sesuai dengan prinsip
perdagangan bebas yang mengharuskan negara lain
untuk berdagang dengan mereka.5 Kebijakan4 Bob Sugeng Hadiwinata, (2002), Politik Bisnis Internasional, Yogyakarta:Penerbit Kanisius, hal. 58.5 Ibid, hal. 59.
7
proteksionis biasanya diinginkan kelompok –
kelompok yang diuntungkan seperti produsen
barang – barang konsumsi yang mendapat saingan
dari produsen serupa dari negara lain seperti
bahan pangan, tekstil, pakaian, elektronik, dan
otomotif. Dukungan terhadap proteksi juga
datang dari para pekerja yang bekerja di sektor
– sektor tersebut. Maka, arah kebijakan suatu
negara ditentukan oleh kuat atau tidaknya lobi
kelompok – kelompok tersebut sehingga suatu
negara tidak bisa secara konsisten
memberlakukan proteksionisme atau sistem
perdagangan bebas.6
Menurut DR. Boediono, “Proteksi” berarti
perlindungan yang diberikan kepada suatu sektor
ekonomi atau industri di dalam negeri terhadap
persaingan dari luar negeri. Proteksi diberikan
karena tanpa itu sektor ekonomi tersebut tidak
bisa bersaing dengan barang – barang luar
negeri, karena misalnya barang – barang impor
harganya lebih murah atau kualitasnya lebih
baik atau penampilannya lebih menarik dan
banyak sebab lainnya.7 Proteksi bisa berbentuk:
6 Ibid, hal. 60.7 Boediono, (1990), Ekonomi Internasional, Yogyakarta: BPFE – Yogyakarta, hal. 161.
8
(a) pengenaan tarif; (b) pelanggaran impor; (c)
kuota impor; dan (d) subsidi.8
1.3.2 Perdagangan Bebas (Free Trade)
Teori perdagangan dunia mempunyai dasar
bahwa setiap negara mempunyai keunggulan
komparatif absolut dan relatif dalam
menghasilkan suatu komoditas dibandingkan
negara lain9. Suatu negara akan mengekspor
komoditas yang memiliki keungguan komparatif
tersebut dan mengimpor komoditas yang mempunyai
keunggulan komparatif yang lebih rendah.
Perdagangan antarnegara ini akan membawa dunia
pada penggunaan sumber daya langka secara lebih
efisien dan setiap negara dapat melakukan
perdagangan bebas yang menguntungkan dengan
melakukan spesialisasi sesuai dengan keunggulan
yang dimilikinya.
Pokok perdagangan bebas berpangkal pada
paham kebebasan individu yang bermula
dikembangkan oleh ekonom – ekonom Klasik (Laissez
Faire). Menuruti paham Laissez Faire kemakmuran
optimal yang terdapat pada jalur pendapat,8 Ibid, hal. 184.9 Daniel Trefler, (1993), Trade Liberalization and the Theory of Endogenous Protection: An Econometric Study of U.S Import Policy, Journal of Political Economy, 101, Chicago: University of Chicago Press, p. 138.
9
yaitu jalur perdagangan bebas akan tercapai
bila terdapat hal – hal berikut ini:
a. Pemerintah ataupun instansi – instansinya
tidak campur tangan dalam kegiatan
ekonomi.
b. Situasi pasar, baik pasar faktor maupun
pasar barang bebas (free competition),
sehingga harga faktor – faktor produksi
akan turun sampai pada produktivitas,
batasnya (prinsip marginalisme).
c. Doktrin perdagangan bebas dan doktrin
klasik menganggap bahwa full employment sebagi
suatu tingkat kegiatan ekonomi yang wajar
(normal).
d. Tingkat mobility faktor produksi yang
disebabkan oleh perbedaan – perbedaan riil
(real returns). Semakin besar tingkat
mobilitas pekerjaan (occupational mobility),
semakin besar pula keuntungan yang
diperoleh dari perdagangan bebas.
Sistem perdagangan yang bebas (free trade)
baik untuk perdagangan dalam negeri (domestik)
ataupun perdagangan luar negeri, akan menjadi
semakin besarlah kemungkinan – kemungkinan
untuk perkembangan ekonomi, perbaikan mutu
10
barang dan pekerjaan, serta penggunaan –
penggunaan faktor ekonomi ke arah yang lebih
efisien. Demikian pula arah perdagangan bebas,
menjadi semakin luas, tidak terikat ataupun
tertuju kepada satu negara. Dengan adanya
syarat (pasarnya kompetitif), maka barang –
barang yang diperdagangkan dalam sistem
perdagangan bebas akan bersaing satu sama lain.
Persaingan tesebut akan mendorong para
pengusaha untuk memperbaiki mutu barangnya,
agar dapat bersaing dan menang dalam persaingan
di pasar dengan persaingan yang bersifat
selektif.10
Setiap negara mempunyai dasar kondisi
ekonomi yang berbeda – beda, maka dengan begitu
disusunlah kebijakan – kebijakan ekonomi yang
bersifat nasional, untuk menjamin kepentingan
masing – masing negara. Misalnya dengan
peraturan – peraturan yang tampak membatasi
atau menghambat proses perdagangan bebas.
Prinsip persaingan dan perdagangan bebas akan
baik hasilnya bagi negara – negara yang sudah
maju industri dan perekonomiannya, tetapi
sebaliknya untuk negara – negara yang sedang
10 Sobri, (2001), Ekonomi Internasional: Teori, Masalah dan Kebijaksanaannya, Yogyakarta: BPFE UII – Yogyakarta, hal. 242-243.
11
berkembang perekonomiannya sangat memerlukan
pembatasan – pembatasan dan peraturan –
peraturan untuk melindungi diri sendiri dari
akibat – akibat persaingan bebas, misalnya
dengan perdagangan internasional yang bercorak
protektif.11
BAB 2
PEMBAHASAN11 Ibid, hal. 245.
12
2.1 Keuntungan Yang Diperoleh Indonesia Dari Kebijakan
Proteksionis Tersebut
Indonesia sebagai negara berkembang yang ingin
keberadaannya selalu diakui oleh dunia
internasional dengan kekhasannya yang tidak
dimiliki negara lain untuk membuktikan bahwa
Indonesia adalah negara yang tidak bisa dipandang
hanya dengan sebelah mata saja. Produk hortikultura
merupakan komoditi yang mempunyai potensi ekonomi
bagi masyarakat Indonesia, sehingga kegiatan
produksi, penyediaan, pengadaan dan distribusi
produk hortikultura menjadi sangat penting. Untuk
itu pemerintah dengan membuat suatu kebijakan bahwa
Indonesia bukan sebagai negara yang hanya
mengandalkan produk luar negeri untuk menjadi
konsumsi bagi rakyatnya.12 Dengan dikeluarkannya
kebijakan oleh pemerintah yakni Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 60 Tahun 2012, tentang rekomendasi
impor hortikultura dan Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 60 Tahun 2012, tentang ketentuan
impor produk hortikultura bertujuan untuk
12 http://www.scisi.co.id/scisi/commodity/index/28 (Diakses pada tanggal 3 Januari 2014 pukul 22.08 wib)
**) Angka Ramalan/PerkiraanSumber: Kementerian Pertanian (Diolah)
16
Dari data yang terdapat dalam tabel mengenai
hasil produksi beberapa komoditas yang dibatasi
impornya di atas terlihat bahwa dari periode tahun
2011, 2012, dan 2013 tingkat produksi tersebut di
atas walaupun untuk beberapa komoditas mengalami
peningkatan di setiap tahunnya dan ada pula yang
mengalami penurunan dimana ketidakstabilan dari
data tersebut bukan berarti Indonesia tidak sanggup
untuk memenuhi kebutuhan panggannya. Namun jika
dilihat dari jumlahnya, Indonesia masih mampu untuk
mengatasi kebutuhan pangan bagi masyarakatnya. Hal
ini sebagai bukti kalau negara Indonesia masih bisa
memproduksi komoditas hortikultura yang impornya
dibatasi dalam kebijakan pemerintah tersebut,
dengan jumlah produksinya yang cukup banyak maka
tidak ada salahnya jika kebijakan terhadap impor
komoditas hortikultura itu dibuat dan dikeluarkan
oleh pemerintah untuk mempertahankan kepentingan
nasional negara.
Dengan melihat Indonesia sebagai negara agraris
dan bertani merupakan mata pencaharian yang banyak
ditemukan hampir di seluruh Indonesia, dimana para
petani adalah pihak terpenting dalam membudidayakan
dan juga meningkatkan daya produksi pertanian di
Indonesia terutama komoditas hortikultura. Adanya
kebijakan pembatasan impor hortikultura dari
17
pemerintah, tidak hanya memberikan keuntungan bagi
negara saja tetapi keuntungan bagi masyarakat
Indonesia seperti petani – petani tanaman
hortikultura tersebut. Para petani dapat terus
menanam, memproduksi hasil dari ladangnya, serta
meningkatkan kualitas hasil pertaniannya untuk
terus dapat bersaing dengan hasil produksi
hortikultura negara lain. Walaupun terkadang hasil
komoditas hortikultura dalam negeri sering
dibanding – bandingkan dengan produk impor, mulai
dari harga, kualitas dan juga bentuknya tapi para
petani maupun pemerintah melalui Kementerian
Pertanian dan Kementerian Perdagangan pasti akan
selalu berusaha untuk dapat memenuhi kebutuhan
pangan masyarakat dan untuk menyaingi produk dari
negara lain dengan berbagai cara, agar kedepannya
Indonesia dapat mandiri dan dapat mengatasi
kebutuhan pangan dengan caranya sendiri tanpa harus
mengandalkan impor komoditas hortikultura.
2.2 Reaksi Negara Anggota WTO Terhadap Kebijakan
Proteksionis Indonesia
Indonesia sebagai salah satu negara anggota
World Trade Organization (WTO) yang sudah bergabung
selama 19 tahun masih dapat dikatakan sebagai
18
anggota yang masih muda yang berada di dalam
organisasi perdagangan dunia tersebut. WTO sebagai
sebuah rezim internasional yang mengatur
perdagangan negara – negara di dunia internasional,
dengan tujuan untuk membantu negara – negara
anggotanya untuk melakukan perdagangan dengan
lancar dan sebebas mungkin. Perdagangan bebas
tersebut terjalin dengan menghapus bea masuk (tariff)
dan tindakan seperti larangan impor atau kuota yang
selektif untuk membatasi jumlah (volume) impor.15
Dalam hal mengenai pedagangan bebas, World Trade
Organization (WTO) mempunyai aturan ataupun
kebijakan tentang perdagangan bebas (free trade).
Perjanjian perdagangan dalam WTO melingkupi
perdagangan yang berhubungan dengan pertanian,
tekstil dan pakaian, perbankan, telekomunikasi,
belanja pemerintah, standart industri dan kemanan
produk, peraturan sanitasi makanan, kekayaan
intelektual, dan sebagainya. Prinsip – prinsip
perdagangan internasional dalam WTO yang harus
dipatuhi oleh negara anggotanya menyangkut
perdagangan bebas, antara lain:16
A. Trade Without Discrimination
15 http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/who_we_are_e.htm (Diakses pada tanggal 5 Januari 2014 pukul 19.47 wib)16 http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/fact2_e.htm (Diakses pada tanggal 5 Januari 2014 pukul 21.11 wib)
konsultasi dalam kerangka Dispute Settlement Body atau
badan penyelesaian sengketa. Konsultasi yang
diminta oleh Amerika Serikat tersebut merupakan
tahap awal dalam menyelesaikan suatu sengketa,
dengan jangka waktu 60 hari. Namun upaya konsultasi
antara kedua negara tidak kunjung membuahkan hasil,
sehingga akibat kegagalan dari fase konsultasi itu
Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade
Organization/WTO) akhirnya membentuk panel yang
terdiri dari negara-negara anggotanya untuk
memberikan persetujuan atau penolakan tentang
kebijakan perdagangan Indonesia tersebut. Menurut
Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Bayu
Krisnamurti, dibentuknya panel tersebut bukan untuk
menentukan dan mencari siapa yang akan menjadi
pemenang dalam sengketa kedua negara itu, tetapi
yang dinilai adalah apakah kebijakan Indonesia
tersebut bertentangan dengan komitmen Indonesia di
WTO. Wamendag memastikan 150 negara anggota yang
memberi penilaian dalam panel itu nanti akan
objektif dan netral dengan menyampaikan pendapat
mereka terhadap kasus tersebut. Wamendag juga
memprediksi Indonesia akan mendapat dukungan dari
negara-negara yang melakukan praktik perdagangan
23
yang serupa dengan yang dilakukan Indonesia demi
melindungi kepentingan nasional mereka.18
Pada tahap kedua yaitu pembentukan panel
biasanya diberikan waktu maksimum 45 hari untuk
pembentukan panel ditambah waktu 6 bulan bagi panel
untuk menghasilkan putusan. Dan menurut aturan dari
WTO untuk penyelesaian sengketa, dengan total
jangka waktu penyelesaian satu tahun (tanpa
banding) dan satu tahun tiga bulan (dengan
banding).19 Sebenarnya kebijakan pembatasan impor
Indonesia hanya membatasi beberapa komoditas produk
hortikultura tertentu saja, karena untuk melindungi
produk lokal dan karena adanya peraturan terkait
kepelabuhanan juga. Di sisi lain, pemerintah akan
membawa bukti bahwa kebijakan membatasi pelabuhan
impor hortikultura tidak hanya ditujukan bagi
produk Amerika saja, tapi juga kepada negara –
negara lain. Sebab lain Amerika Serikat
memperkarakan Indonesia rupanya negeri adidaya itu
merasa disepelekan pemerintah Indonesia karena
produk sayur dan buah mereka kini harus diperiksa
berulang kali di pelabuhan. Menteri Perdagangan
18 http://bisnis.liputan6.com/read/550858/sengketa-hortikultura-as-versus-ri-diputuskan-oleh-150-negara-wto (Diakses pada tanggal 31 Desember 2013 pukul 21.48 wib)19 Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan Hak Kekayaan Intelektual, Sekilas WTO (World Trade Organization) Edisi Keempat(2006), Jakarta: Departemen Luar Negeri, hal. 49-50.
pemerintah Indonesia tersebut harus diterima pelaku
usaha di negara itu. Proteksionis dapat dilakukan
dan dijadikan sebagai kebijakan nasional suatu
negara dalam meningkatkan perekonomian negaranya.
Proteksionis tidak dapat dihindari, seperti yang
dilakukan Indonesia di dalam kebijakan
pemerintahnya dimana kebijakan itu dikeluarkan
untuk melindungi para petani agar terus memproduksi
serta melindungi produk domestik Indonesia.
Proteksi atau pembatasan memang tidak sesuai
dengan aturan dari WTO, namun dalam kasus seperti
yang dialami oleh Indonesia ini kebijakan
20 http://www.merdeka.com/uang/039perang039-indonesia-amerika-soal-impor-hortikultura-belum-mereda.html (Diakses pada tanggal 31Desember 2013 pukul 21.23 wib)