KEBIJAKAN LUAR NEGERI QATAR DALAM MEMBERIKAN DUKUNGAN TERHADAP NATIONAL TRANSITIONAL COUNCIL (NTC) TERKAIT KRISIS POLITIK DI LIBYA (2011-2012) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Rahmi Kamilah 1110113000050 PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA JAKARTA 2014
114
Embed
KEBIJAKAN LUAR NEGERI QATAR DALAM MEMBERIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27428/1/RAHMI... · kebijakan luar negeri qatar dalam memberikan dukungan terhadap
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KEBIJAKAN LUAR NEGERI QATAR DALAM
MEMBERIKAN DUKUNGAN TERHADAP NATIONAL
TRANSITIONAL COUNCIL (NTC) TERKAIT KRISIS
POLITIK DI LIBYA
(2011-2012)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Rahmi Kamilah
1110113000050
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
JAKARTA
2014
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
KEBIJAKAN LUAR NEGERI QATAR DALAM MEMBERIKAN
DUKUNGAN TERHADAP PIHAK NATIONAL TRANSITIONAL COUNCIL
(NTC) TERKAIT KRISIS POLITIK DI LIBYA (2011-2012)
1. Merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 23 Oktober 2014
Rahmi Kamilah
iii
iv
v
ABSTRAKSI
Skripsi ini menganalisa tentang kebijakan luar negeri Qatar terkait krisis
politik di Libya pada periode 2011-2012. Skripsi ini bertujuan untuk melihat
faktor apa saja yang mendorong Qatar untuk memberikan dukungan kepada pihak
oposisi dalam krisis politik di Libya. Sumber data yang diperoleh untuk
melengkapi penulisan skripsi ini ialah melalui pengumpulan studi kepustakaan.
Dalam skripsi ini ditemukan bahwa fenomena Arab Spring yang terjadi di
Timur Tengah berdampak luas terhadap perpolitikan kawasan tersebut. Salah satu
faktor utama yang mendorong gerakan revolusi ialah permasalahan ekonomi.
Qatar, sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi salah
satu negara kawasan yang tidak mengalami revolusi tersebut. Selain itu, terdapat
responsibility to protect (r2p) bagi Qatar sebagai negara anggota PBB untuk
membantu meredam konflik yang didalamnya terdapat pelanggaran HAM, salah
satunya ialah krisis politik di Libya.
Konsep intervensi yang digunakan dalam penelitian ini berguna untuk
menjelaskan pentingnya sebuah intervensi dilakukan oleh negara-negara di dunia
demi mengurangi dampak kemanusiaan yang dihasilkan dari sebuah revolusi
politik. Selain itu, teori kebijakan luar negeri juga digunakan untuk menganalisa
faktor apa saja yang memengaruhi Qatar dalam menerapkan kebijakan luar negeri
terkait krisis di Libya. Faktor tersebut dapat dilihat dari dua sisi, yakni faktor
internal dan faktor eksternal.
Melalui analisa kebijakan luar negeri yang digunakan dalam penelitian ini,
maka akan ditemukan faktor dominan apa yang paling memengaruhi kebijakan
Qatar terkait krisis politik di Libya. Dalam menganalisa faktor-faktor tersebut
akan ditemukan bahwa pertumbuhan ekonomi Qatar menjadi pendorong utama
bagi Qatar untuk menerapkan kebijakan intervensi. Selain itu, kebijakan intervensi
tersebut juga didorong oleh keinginan Qatar untuk menjadi aktor dominan di
kawasan Timur Tengah.
Kata Kunci: Qatar, Libya, Timur Tengah, Arab Spring, intervensi.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil’alamin
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik
serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang
berjudul “Kebijakan Luar Negeri Qatar dalam Memberikan Dukungan Terhadap
Pihak National Transitional Council (NTC) terkait Krisis Politik di Libya (2011-
2012)” dengan baik.
Adapun tujuan penyusunan skripsi ini ialah untuk memenuhi tugas akhir
dan untuk memenuhi syarat wajib kelulusan bagi mahasiswa/i Program Studi
Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dengan keterbatasan kemampuan yang dimiliki penulis, penyusunan
skripsi ini tidak akan mampu diselesaikan tanpa bantuan dan bimbingan pihak
lainnya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini izinkan penulis untuk mengucapkan
banyak terima kasih kepada:
1. Allah SWT dengan segala rahmat, ridha dan kasih sayang-Nya dan masih
memberikan saya kesempatan untuk mampu menyelesaikan sekolah saya
hingga sarjana.
2. Yang tersayang, Ibu dan Ayah (Atin M. Murlim dan Rasum Shaleh) yang
selalu memanjatkan do’a bagi anak-anaknya. Perjuangan untuk
menghidupkan dan menyukseskan kami tidak akan mampu kami bayar
hingga kapanpun. Semoga kami cukup mampu membuat kalian bangga. Ami
sayang Ibu dan Ayah.
3. Yang terhormat, Bapak A. Fuad Fanani, selaku dosen pembimbing selama
penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas waktu dan ilmu yang diberikan
selama proses bimbingan berlangsung.
4. Yang terhormat, Ibu Debbie Affianty Lubis, selaku Kepala Prodi HI serta
seluruh dosen dan karyawan FISIP UIN untuk segala bantuannya selama
masa perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.
5. Yang tersayang, Kakak dan Teteh (Dzaki Abdul Rahman dan
Dzakiatussa’adah) atas kasih sayang dan dukungannya.
6. Riko Febrian Eltari yang banyak membantu dan menemani dalam proses
penyelesaian skripsi ini, terima kasih atas waktunya.
Dara Amalia, M. Hafied Noval, Sauri Susanto, Dimas Ardhiyanto, Thufeil
Izharruddin, Rifqi Fauzan, Wildan Ramadhan, Sabana Putra Maka, Ray Putra
Mahardika, Novian Dwi Chayo, M. Faisal Akbar atas segala bantuan,
dukungan, dan kenangan selama masa kuliah.
vii
8. Shofia Nida dan Airin Aisyah beserta seluruh teman-teman HI-B yang tidak
pernah gagal memberikan kesan dan pesan semasa kuliah. Semoga kita semua
mampu mencapai kesuksesan di masa mendatang.
9. Dan kepada seluruh orang terdekat yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Terimakasih atas dukungan dan motivasi untuk saya menyelesaikan skripsi
ini dengan baik.
Mengingat seluruh keterbatasan, penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan. Meskipun demikian, penulis harap skripsi ini
dapat memberikan manfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkannya.
Jakarta, 23 Oktober 2014
Rahmi Kamilah
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK……………………………………………………………… v
KATA PENGANTAR………………………………………………….. vi
DAFTAR ISI……………………………………………………………. viii
DAFTAR TABEL………………………………………………………. x
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………… xi
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………. xii
DAFTAR SINGKATAN……………………………………………….. xiii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………. 1
A. Latar Belakang Masalah……………………………………. 1
B. Pertanyaan Penelitian………………………………………. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................ 5
D. Tinjauan Pustaka.................................................................. 5
E. Kerangka Teori..................................................................... 9
1. Teori Kebijakan Luar Negeri....................................... 9
a. Faktor Internal.................................................. 13
b. Faktor Eksternal............................................... 14
2. Konsep Intervensi........................................................ 15
F. Metodologi Penelitian........................................................... 17
G. Sistematika Penulisan........................................................... 18
BAB II KRISIS POLITIK YANG TERJADI DI LIBYA...................... 20
A. Awal Mula terjadinya Krisis Politik di Libya....................... 20
1. Arab Spring sebagai Fenomena Politik
di Timur Tengah………………………………………. 20
2. Arab Spring di Libya (Libya Spring)…………………. 25
B. Pihak Oposisi dalam Krisis Politik di Libya......................... 29
1. Lahirnya Kelompok Oposisi di Libya pada
Masa Rezim Qaddafi.................................................... 29
2. NTC sebagai Perwakilan Resmi Rakyat Libya
pada Masa Krisis………………………………………. 32
BAB III PERAN QATAR DALAM KRISIS POLITIK DI LIBYA…….. 35
A. Kedudukan Qatar di Timur Tengah………………………… 35
1. Kedudukan Qatar di Timur Tengah
sebelum Krisis Politik…………………………………. 38
ix
2. Kedudukan Qatar di Timur Tengah
pada Masa Krisis Politik……………………………… 41
B. Hubungan Bilateral Qatar dan Libya………………………. 43
1. Hubungan Qatar dan Libya
sebelum Krisis Politik………………………………… 44
2. Hubungan Qatar dan Libya
pada Masa Krisis Politik……………………………… 45
C. Bentuk Dukungan Qatar terhadap Pihak NTC..................... 47
BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG QATAR UNTUK
MEMBERIKAN DUKUNGAN TERHADAP NTC................ 50
A. Dukungan Qatar terhadap NTC
sebagai Bentuk Intervensi.................................................... 50
B. Faktor-Faktor yang mendorong Kebijakan Qatar
terhadap NTC....................................................................... 54
1. Faktor Internal………………………………………… 55
a. Atribut Ekonomi:
Pertumbuhan Ekonomi Qatar………………… 55
b. Kepentingan Ekonomi:
Peluang Kerjasama Qatar dan NTC................ 58
2. Faktor Eksternal………………………………………. 60
a. Struktur dalam Sistem Internasional:
Kawasan Timur Tengah………………………. 61
b. Aliansi:
Hubungan Qatar dengan AS………………….. 63
BAB V PENUTUP……………………………………………………… 67
Kesimpulan……………………………………………………... 67
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. xiv
LAMPIRAN-LAMPIRAN………………………………………………. xx
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Indeks Perdamaian Global Tahun 2011………………… 43
Tabel 2. Daftar Negara Terkaya di Dunia 2011-2012……………. 56
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta Qatar di Timur Tengah………………………… 35
Gambar 2. Definisi Intervensi…………………………………… 16
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Resolusi PBB 1970………………………………… xx
Lampiran 2. Resolusi PBB 1973………………………………… xxxii
xiii
DAFTAR SINGKATAN
DK PBB : Dewan Keamanan PBB
GCC : Gulf Cooperation Council
HAM : Hak Asasi Manusia
ICC : International Criminal Court
ICISS :International Commission on Intervention and State
Sovereignty
JEM : Justice and Equality Movement
LCG : Libya Contact Group
LIFG : Libyan Islamist Fight Group
LNG : Liquefied Natural Gas
MoU : Memorandum of Understanding
NATO : North Atlantic Treaty Organization
NTC : National Transitional Council
OKI : Organisasi Konferensi Islam
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
RCC : Revolutionary Command Council
UNSMIL : United Nations Support Mission in Libya
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Desember 2010, merupakan bulan yang mengawali gejolak politik di
Timur Tengah, yang disebut dengan Arab Spring. Berawal di Tunisia, aksi protes
terhadap pemerintah melahirkan bentuk-bentuk protes di negara Arab lain sebagai
ekspresi ketidakpuasan terhadap pemerintahan yang ada di negara-negara Timur
Tengah. Aksi protes ini juga terjadi di Mesir pada Januari 2011 untuk
menurunkan rezim Husni Mubarak. Protes tersebut berhasil menurunkan rezim
Mubarak turun dari kursi pemerintahan. Fenomena Arab Spring ini juga menyebar
ke negara Timur Tengah lainnya, seperti Suriah, Yaman, Aljazair, Yordania,
Oman, Maroko, termasuk Libya.1
Di Libya, aksi protes diawali pada bulan Februari 2011 yang
menginginkan mundurnya rezim Muammar Qaddafi dari kursi pemerintahan
Libya.2 Aksi ini menimbulkan perang saudara antara pemerintahan dengan para
pemberontak yang menginginkan kemunduran Qaddafi. Kerasnya sikap Qaddafi
dalam menghadapi para pemberontak mendorong Uni Eropa dan PBB bersikap
1 Cedric Dupont dan Florence Passy, “The Arab Spring or How to Explain those Revolutionary
Episodes?”Swiis Political Science Association: SPSR, 2037 (Oktober 2011): 1. 2 Dr. Bruce St. John, Libyan Myths and Realities, (Copenhagen: Royal Danish Defense College,
2011), 4.
2
tegas melalui embargo serta penarikan Libya dari keanggotaan U.N. Human Right
Council.3
Selain Uni Eropa dan PBB yang memberikan respon terhadap revolusi
politik di Libya, negara-negara Arab seperti Qatar turut memberikan respon
terkait krisis tersebut. Pada Maret 2011, Qatar menjadi negara Arab pertama yang
mengakui National Transitional Council (NTC) sebagai perwakilan resmi rakyat
Libya.4 NTC merupakan badan yang dibentuk oleh pihak oposisi dalam
menghadapi rezim Qaddafi yang kemudian diresmikan sebagai perwakilan bagi
rakyat Libya.5
NTC memperoleh legitimasi melalui dewan-dewan lokal yang telah
dibentuk oleh pihak pemberontak. Selain dari dewan lokal, negara-negara dunia
seperti Perancis, Jerman, Italia, Tiongkok, Rusia, Yordania, Kuwait, Uni Emirat
Arab, termasuk Qatar turut memberikan pengakuan terhadap pemerintahan
sementara NTC sebagai perwakilan resmi rakyat Libya.6
Qatar, selain memberikan dukungan terhadap pihak NTC, juga
memberikan dukungan militer seperti pengiriman senjata, seragam, amunisi dan
transportasi perang serta bantuan keuangan dalam membantu pihak pemberontak
baik secara unilateral maupun dalam kerangka kerjasama Liga Arab dan
kampanye NATO.7 Qatar juga memfasilitasi kapal perang di Al-Udeid, yang
3 “TIMELINE-Libya's uprising against Muammar Gaddafi”. Reuters, 30 Maret 2011, tersedia di
<http://www.reuters.com/article/2011/03/30/libya-idUSLDE72K0KK20110330> diakses pada 9
Maret 2014.pukul 15. 32. 4 Lina Khatib, “Qatar’s Foreign Policy: The Limits of Pragmatism”, International Affairs 89: 2
(2013): 421. 5 Bruce St. John, “Libyan Myths and Realities” Royal Danish Defense College, Research Paper,
seperti di Yaman, Libanon, dan Sudan.12 Peran mediasi yang dilakukan Qatar di
negara-negara tersebut ialah dengan mengupayakan penyelesaian konflik melalui
perundingan perdamaian beserta penyediaan dana bantuan.13 Peran tersebut
menjadikan Qatar dikenal sebagai negara netral atau tidak memihak dalam upaya
penyelesaian konflik.14
Peran Qatar dalam menghadapi krisis politik di Libya menunjukkan
adanya perubahan pola kebijakan luar negeri Qatar jika dibandingkan dengan
peran mediasi dalam menghadapi isu-isu di kawasan sebelum Arab Spring.
Intervensi Qatar dalam menghadapi krisis di Libya tersebut tidak lagi mewakili
reputasi netral yang dimiliki Qatar sebelumnya. Selain itu, Qatar sebagai negara
kecil, berdasarkan ukuran geografisnya, dengan kebijakan intervensi akan
membentuk citra negatif bagi Qatar diantara negara-negara tetangganya.15
Dengan adanya perubahan kebijakan yang lebih aktif melalui dukungan
yang diberikan Qatar terhadap NTC, menjadi menarik untuk dibahas faktor apa
saja yang mendorong Qatar untuk memberikan dukungan bagi pihak NTC terkait
krisis politik di Libya tahun 2011-2012. Pemilihan periode ini didasarkan pada
awal terjadinya revolusi di Libya serta peran yang dilakukan Qatar dalam
menghadapi isu di Libya dengan melihat perkembangan kebijakannya selama
setahun kedepan.
12 Barakat, “The Qatari Spring”, 13. 13 Khatib.“Qatar’s Foreign Policy”, 418. 14 Barakat, “The Qatari Spring”, 2. 15 Kristian Coates Ulrichsen, “Small States with a Big Role: Qatar and The Unites Arab Emirates
in The Wake of Arab Spring”, HH Sheikh Nasser al-Mohammad al-Sabbah, Publication Series
3(Oktober, 2012): 18.
5
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan kasus yang dibahas dalam tulisan ini, maka dapat
dirumuskan pertanyaan untuk penelitian ini, yakni:
“Faktor apa saja yang mendorong Qatar untuk memberikan dukungan terhadap
pihak NTC terkait krisis politik di Libya tahun 2011?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui permasalahan Arab Spring khususnya di Libya.
2. Menjelaskan kebijakan-kebijakan Qatar melalui intervensi di Libya.
3. Menganalisa faktor-faktor yang mendorong Qatar melakukan intervensi
dalam krisis politik di Libya.
Adapun manfaat yang dapat dihasilkan dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan pengetahuan mengenai kebijakan Qatar terhadap krisis
politik di Libya.
2. Untuk menambah wawasan bagi para penstudi Hubungan Internasional
mengenai kasus yang menjadi topik penelitian.
3. Sebagai bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya dengan bahasan
yang sama.
D. Tinjauan Pustaka
Silvia Colombo, menulis jurnal yang berjudul “The GCC Countries and
The Arab Spring: Between Outreach, Patronage, and Repression”. Jurnal yang
6
diterbitkan oleh Instituto Affari Internazionali Vol. 12, No. 09 pada tahun 2012 ini
menuliskan tentang fenomena Arab Spring yang terjadi di Timur Tengah dan
bagaimana gejolak politik yang terjadi memengaruhi negara-negara Teluk yang
tergabung dalam Gulf Cooperation Council (GCC).
Dalam tulisan tersebut menggambarkan bahwa Arab Spring
memengaruhi kondisi internal mereka, terutama dalam hal politik dan ekonomi.
Secara regional, GCC ini harus menerapkan kebijakan intervensi serta
memberikan bantuan-bantuan bagi rakyat yang terkena dampak revolusi seperti
yang terjadi di Suriah dan Libya. Tulisan ini menjelaskan bagaimana negara-
negara Teluk yang tergabung dalam GCC ini memberikan respon terhadap isu
regional yang sedang terjadi.16
Perbedaan jurnal tersebut dengan penelitian yang akan dibahas adalah
subjek penelitian. Meskipun Qatar merupakan negara anggota GCC, namun
penelitian ini tidak membahas respon GCC secara keseluruhan tetapi lebih
memfokuskan pada peran Qatar secara unilateral dalam mengahadapi gejolak
politik yang terjadi di Libya. Selain itu, objek dari penelitian ini juga
memfokuskan pada isu Arab Spring yang terjadi di Libya saja. Berbeda dengan
penelitian yang dituliskan dalam jurnal di atas yang membahas mengenai Arab
Spring secara keseluruhan dan dampaknya terhadap regional.
Pada tahun 2013, European Scientific Journal menerbitkan tulisan dalam
Vol. 12 yang berjudul “The Rise of Qatar as a Soft Power and The Challenges”.
Jurnal yang dituliskan oleh Osman Antwi-Boateng ini menjelaskan tentang
16 Silvia Colombo, “The GCC Countries and The Arab Spring: Between Outreach, Patronage, and
Repression”, Instituto Affari Internazionali, 12: 09 (2012).
7
kebijakan soft-power yang diterapkan oleh Qatar dalam isu-isu kawasan yang
merupakan daya tarik bagi Qatar. Daya tarik ini terlihat dari stabilitas politik,
pertumbuhan ekonomi melalui redistribusi pendapatan yang efektif serta sistem
pendidikan yang progresif. Selain itu, penyebaran pengaruh melalui Al-Jazeera,
investasi dalam bidang olahraga dan kebijakan dalam memberikan bantuan yang
tidak memberatkan.17
Perbedaan jurnal tersebut dengan penelitian ini terletak pada isu yang
dibahas. Jurnal tersebut tidak memfokuskan pada isu yang terjadi di Arab spring
seperti halnya penelitian ini. Selain itu, adanya keterlibatan Qatar dalam intervensi
militer menggambarkan bahwa penelitian ini mencakupi kebijakan hard-power,
bukan hanya soft-power seperti jurnal tersebut.
“Saving Strangers in Libya: Traditional and Alternative Discourses on
Humanitarian Intervention” merupakan thesis yang ditulis oleh Sorana-Christina
Jude untuk memperoleh gelar Master di Eurpoean Institute. Thesis yang
diselesaikan pada tahun 2012 ini menuliskan tentang intervensi yang dilakukan
banyak pihak terkait proses demokratisasi yang terjadi di Libya pada tahun 2011.
Tulisan ini melihat bagaimana intervensi yang dilakukan negara-negara dunia
terhadap Libya dari pendekatan-pendekatan Hubungan Internasional baik
pendekatan tradisional maupun pendekatan alternatif. Tulisan ini juga melihat
bagaimana intervensi yang tersebut menggambarkan kewajiban negara-negara
untuk membantu mengatasi konflik yang terjadi. Di lain pihak, tulisan ini juga
17 Osman Antwi-Boateng, “The Rise of Qatar as a Soft Power and The Challenges”, European
Scientific Journal, 12 (2013).
8
mencoba melihat intervensi yang telah dipolitisasi berdasarkan kepentingan
nasional negara yang terlibat.18
Perbedaan penelitian ini dengan thesis tersebut ialah bahwa penelitian ini
mencoba melihat faktor-faktor yang memengaruhi Qatar melakukan intervensi di
Libya. Selain itu, penelitian ini tidak menjabarkan segala bentuk intervensi yang
dilakukan oleh negara dunia terhadap proses demokratisasi di Libya melainkan
terfokus pada intervensi yang dilakukan Qatar untuk menghadapi krisis di Libya.
Maya Savitri, pada tahun 2013 menulis skripsi yang berjudul “Alasan
NATO (North Atlantic Treaty Organization) Dalam Krisis Politik di Libya Tahun
2011” untuk memperoleh gelar sarjana S.Sos di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dalam penelitian tersebut dijelaskan mengenai peran NATO
sebagai organisasi internasional dengan aktifitas yang didasarkan pada
kepentingan negara anggotanya. Penelitian ini juga membahas mengenai
intervensi yang dilakukan oleh NATO dengan menjabarkan maksud dan tujuan
NATO dalam misi tersebut.19
Dalam penelitian di atas membahas mengenai peran NATO dalam
intervensi terhadap krisis yang terjadi di Libya. Subjek penelitian difokuskan pada
peran NATO sebagai organisasi internasional dalam menghadapi krisis politik di
Libya. Dengan demikian, perbedaan penelitian ini terletak pada subjek yang lebih
memfokuskan pada peran Qatar meskipun terhadap kasus yang sama, yakni krisis
politik di Libya.
18 Sorana-Christina Jude, “Saving Strangers in Libya: Traditional and Alternative Discourses on
Humanitarian Intervention”, Eurpoean Institute, (Thesis: 2012). 19 Maya Savitri, “Alasan NATO (North Atlantic Treaty Organization) Dalam Krisis Politik di
Libya Tahun 2011”, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, (Skripsi: 2013).
9
E. Kerangka Teori
1. Teori Kebijakan Luar Negeri
Dalam penelitian ini, teori yang akan digunakan adalah teori kebijakan
luar negeri untuk melihat dasar pertimbangan kebijakan Qatar terhadap Libya.
Kebijakan luar negeri, bagi Marijke Breuning, merupakan hasil dari interaksi
negara dengan lingkungan diluar batasnya.20 Alex Mintz dan Karl DeRouen
merumuskan pembuatan kebijakan luar negeri sebagai sekumpulan pilihan yang
diputuskan oleh individu, kelompok, atau koalisi dan akan memengaruhi tindakan
negaranya dalam lingkungan internasional. Dalam kebijakan luar negeri tersebut
terdapat seperangkat karakter yang lekat dengan pembuatan keputusan, yakni
ketidakpastian dan resiko.21
Secara tradisional, keputusan yang diambil dalam proses pembuatan
kebijakan luar negeri didasari pada kepentingan nasional yang tidak lepas dari
alasan untuk mempertahankan dan melindungi kekuasaan dan keamanan.
Terutama ketika masa perang, suatu negara dihadapkan pada pilihan untuk terlibat
perang demi melindungi integritas wilayahnya. Namun, dalam perkembangan
yang terjadi di sistem internasional, terutama paska Perang Dingin, fenomena
globalisasi yang ada memengaruhi perpolitikan dunia yang membuat negara lebih
memfokuskan perhatiannya dalam sektor ekonomi, meskipun tidak melepaskan
diri seutuhnya dari unsur-unsur militer. Negara menjadikan ekonomi sebagai
20 Marijke Breuning, Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction, (New York: Palgrave
Macmillan, 2007), 5. 21 Alex Mintz dan Karl DeRouen Jr., Understanding Foreign Policy Decision Making,
(Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 3.
10
prioritas utama, terlebih lagi semenjak dibentuknya berbagai macam organisasi
kerjasama ekonomi antar internasional.22
Kebijakan luar negeri merupakan unsur penting dalam membentuk
sebuah fenomena internasional. Sebab, sebuah kebijakan yang diterapkan suatu
negara akan menciptakan sebuah interaksi. Beberapa kebijakan dikalkulasikan
secara cermat dan kebijakan lainnya dapat pula diterapkan hanya dengan
mengandalkan intuisi.23 Kalkulasi sebuah kebijakan menandakan bahwa isu-isu
domestik dapat menentukan bagaimana sebuah kebijakan ditetapkan. Nilai-nilai
yang telah melekat dalam lingkungan domestik mampu memengaruhi bagaimana
pola politik internal dan membentuk tindakan terhadap lingkungan eksternal.24
Dalam memahami proses pembentukan kebijakan luar negeri, elemen
utama yang paling penting ialah pemimpin. Namun, proses pembuatan kebijakan
suatu negara tidak hanya dapat dilihat dari faktor pemimpin saja, tetapi juga
melihat proses birokrasi dalam pembuatan kebijakan yang sekaligus melihat
peranan aktor-aktor lain dalam birokrasi tersebut. Selain aktor-aktor politik,
publik juga memiliki peran dalam memengaruhi keputusan suatu kebijakan, baik
itu masyarakat, pers, bahkan aktor-aktor politik dari negara lain.25
Terdapat empat unsur dalam proses pembuatan kebijakan, yakni
pilihan, keputusan, tindakan, dan hasil. Pilihan merupakan beberapa kemungkinan
yang dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pembuat keputusan untuk
menetapkan kebijakan. Keputusan merupakan pilihan yang telah ditetapkan.
serta mengumpulkan pilihan-pilihan yang didasarkan pada situasi saat itu. Faktor-
faktor yang memengaruhi suatu kebijakan luar negeri merupakan satu kunci
dalam menjelaskan proses pembuatan kebijakan. Kontribusi dalam menganalisa
proses pembuatan kebijakan ialah untuk mengetahui poin penting apa saja yang
menjadi penentu utama bagi suatu negara untuk bertindak yang biasanya didasari
oleh faktor materi dan ide.31
Adapun faktor-faktor yang dapat digunakan untuk menganalisa suatu
kebijakan ialah melalui faktor objektif dengan melihat kondisi lingkungan
28 Breuning, Foreign Policy Analysis, 13. 29Valerie M. Hudson dan Christopher S. Vore, “Foreign Policy Analysis Yesterday, Today, and
Tomorrow. Mershon International”, Mershon International Study Review: The International
Studies Association, 39: 2 (Oktober,1995): 210. 30 Valerie M. Hudson, “Foreign Policy Analysis: Actor-Specific Theory and the Ground of
International Relations”, International Studies Association: Blackwell Publishing, 1 (2005): 2. 31 Hudson, “Foreign Policy Analysis”, 2-3.
13
domestik dan juga lingkungan internasional yang memengaruhi keputusan sebuah
kebijakan.32 Adapun faktor-faktor tersebut ialah:
a. Faktor Internal:
1. Atribut Ekonomi
Perekonomian suatu negara merupakan salah satu faktor yang
dipertimbangkan negara dalam menerapkan sebuah kebijakan. Tingkat
pertumbuhan ekonomi suatu negara merupakan karakteristik ekonomi yang
mampu memengaruhi proses perumusan kebijakan. Sebuah negara dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi cenderung lebih aktif dalam menghadapi isu-
isu internasional. Tingkat kekayaan suatu negara juga dapat memosisikan negara
sebagai pemberi atau penerima bantuan asing.33
2. Kepentingan Ekonomi
Berbeda dengan faktor atribut ekonomi yang menekankan pada
kemampuan ekonomi suatu negara, faktor kepentingan ekonomi ini lebih
menekankan pada kebutuhan ekonomi yang dikejar oleh suatu negara.
Kepentingan nasional merupakan dasar negara untuk menerapkan sebuah
kebijakan. Kepentingan nasional yang paling berpengaruh ialah kepentingan
ekonomi. Ketika akses terhadap sumber daya alam terancam, suatu negara akan
menerapkan sebuah kebijakan yang mampu mengamankan akses terhadap sumber
daya yang menjadi sektor penting dalam menjalankan perekonomian negaranya.34
32 Peter A. Toma dan Robert F. Gorman, International Relations: Understanding Global Issues,
(California: Brooks/Cole Publishing Company, 1991), 129. 33 Frederic S. Pearson dan J. Martin Rochester, International Relations: The Global Condition in
195.Twenty-First Century, (New York: The McGraw-Hill Companies, Inc: 1998), 195. 34Mintz dan DeRouen Jr, Understanding Foreign Policy Decision Making, 130-131.
14
Dengan demikian, kepentingan ekonomi menjadi faktor penentu kebijakan suatu
negara.
b. Faktor Eksternal:
1. Struktur dalam Sistem Internasional
Struktur yang ada dalam sistem internasional dapat memengaruhi
kebijakan luar negeri suatu negara. Struktur tersebut dapat berupa unipolar,
bipolar, ataupun multipolar. Dalam melihat dominasi suatu negara di sistem
internasional harus juga memahami bahwa struktur dalam sistem internasional
dapat berubah. Secara umum, perubahan ini didorong oleh masalah ekonomi
ketika peran sebagai negara hegemon tidak lagi mampu untuk terakomodasi. Hal
tersebut akan mendorong negara lain untuk menggantikan peran tersebut.35
2. Aliansi
Aliansi merupakan salah satu faktor eksternal yang memengaruhi
kebijakan suatu negara. Keinginan suatu negara untuk menerapkan kebijakan
tertentu dapat dipengaruhi oleh aliansi yang dijalin dengan negara atau organisasi
lain. Aliansi militer, salah satu bentuk aliansi, dapat memengaruhi suatu negara
untuk mempertimbangkan pentingnya melakukan agresi atau intervensi militer
terhadap negara lain. Dapat juga kebijakan yang dibuat berupa ajakan suatu
negara untuk bergabung dengan koalisi yang dibentuk atau kebijakan untuk
menerima atau menolak ajakan dari negara lain.36
35 Pearson dan Rochester, International Relations, 188 36Mintz dan DeRouen Jr., Understanding Foreign Policy Decision Making, 126.
15
2. Konsep Intervensi
Konsep intervensi atau yang dikenal dengan intervensi kemanusiaan
dapat dipahami sebagai tindakan oleh negara atau sekelompok negara untuk
mencegah atau membatasi dampak dari ancaman atau penggunaan kekerasan
terhadap manusia tanpa seizin dari negara yang dituju.37 Konsep intervensi yang
lama dapat ditekankan pada kewajiban negara dalam melindungi populasinya
sendiri. Namun, bagi Alex Bellamy, konsep intervensi ini sudah meluas dengan
adanya peran bantuan dari negara-negara dunia untuk menanggapi genosida dan
kejahatan massa.38
Bagi Martha Finnemore, intervensi kemanusiaan merupakan intervensi
dengan menggunakan militer yang tujuannya untuk melindungi rakyat sipil.39
James N. Rosenau melihat bahwa intervensi merupakan instrumen dari sebuah
tindakan, bukan merupakan tujuan akhir. Nilai moralitas sebuah tindakan
intervensi tergantung dari hasil akhir yang dituju.40 Dengan demikian, intervensi
dapat dipahami sebagai aksi yang dilakukan negara terhadap negara lain dengan
maksud melindungi warga sipil dalam kondisi perang. Tetapi, aksi intervensi ini
bertentangan dengan kedaulatan suatu negara. Hal tersebut menjadi perdebatan
mengenai legitimasi sebuah intervensi.41
37 J. L. Holzgrefe dan Robert O. Keohane, Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and
Political Dilemmas, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 18. 38 Alex J. Bellamy, “The Responsibility to Protect: The Five Years On”, Ethics and International
Affairs 24:2 (2010), 143. 39 Martha Finnemore (1996) dalam Saban Kardas, “Humanitarian Intervention: The Evolution of
The Idea and Practice”, Journal of International Affairs, 6: 2 (Juli, 2001): 1. 40 James N. Rosenau, The Scientific Study of Foreign Policy, (London: Frances Printer,1980) 342. 41 Gareth Evans, “From Humanitarian Intervention to The Responsibility to Protect”, Wisconsin
International Law Journal , 23: 3, 704.
16
Gambar 2. Definisi Intervensi
Sumber42: Joshep S. Nye Jr. (1991).
Joseph Nye menjelaskan bahwa bentuk intervensi memiliki beberapa
tahapan dari low coercion yang berupa pernyataan suatu negara terhadap negara
lain hingga high coercion yang berupa invasi militer.43 Penjelasan mengenai
intervensi ini menggambarkan bahwa intervensi dapat dilihat dari berbagai
bentuk, baik itu dari pidato kenegaraan, bantuan ekonomi, blokade hingga invasi
militer.
International Commission on Intervention and State Sovereignty
(ICISS) melihat bahwa konsep intervensi harus dilihat dari segi responsibility
(tanggung jawab), yakni tanggung jawab untuk melindungi rakyat atau dapat
dipahami juga sebagai responsibility to protect (r2p). R2p merupakan salah satu
bentuk upaya internasional dalam melakukan pencegahan terhadap genosida dan
42 Joshep S. Nye, Jr., Understanding International Conflict: An Introduction to Theory and
History, (New York: Longman, 1991), 162. 43 Nye, Understanding International Conflict, 162.
17
kejahatan massa serta upaya perlindungan terhadap rakyat sipil dari kejahatan
tersebut.44
Terdapat tiga bentuk responsibility, yang pertama adalah responsibility
to prevent (tanggung jawab untuk mencegah). Bentuk pencegahan ini ditujukan
kepada penyebab apa saja yang menimbulkan krisis yang mengancam manusia.
Yang kedua ialah responsibility to react (tanggung jawab untuk bereaksi), yakni
memberikan respon terhadap situasi yang mengancam manusia, seperti pemberian
sanksi dan intervensi militer. Yang ketiga ialah responsibility to rebuild (tanggung
jawab untuk membangun kembali) melalui penyediaan bantuan untuk proses
pemulihan, rekonstruksi dan rekonsiliasi.45
F. Metodologi Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif. Dalam
penelitian kualitatif, bekal yang utama bagi peneliti ialah pengalaman, yakni
pengalaman dalam menganalisa data. Pengalaman dalam menganalisa data ini
kemudian dapat digunakan untuk menyusun pertanyaan penelitian dari sebuah
studi kasus. Penyusunan pertanyaan penelitian dari studi kasus berguna untuk
menentukan fokus isu dalam proses pengumpulan data.46
Sumber data yang akan digunakan untuk melengkapi informasi yang
dibutuhkan dalam penelitian ini menggunakan data-data yang diperoleh dari buku,
jurnal, artikel, dan website. Teknik yang digunakan dalam memperoleh sumber
44 Bellamy, “The Responsibility to Protect”, 143. 45 International Commission on Intervention and State Sovereignty, The Responsibility to Protect
(2110) dalam Evans, “From Humanitarian Intervention”, 707-709. 46 Robert E. Stake, The Art of Case Study Research, (CA: Sage Publications, 1995), 50
18
data adalah dengan studi kepustakaan atau literatur. Teknik ini digunakan dengan
mengumpulkan sumber-sumber kepustakaan yang berkaitan dengan topik yang
dibahas serta menghubungkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan
terdahulu. Perolehan data ini akan dilakukan dengan mengunjungi perpustakan di
beberapa universitas, seperti Universitas Islam Negeri Jakarta dan Universitas
Indonesia, serta Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian yang membahas mengenai kebijakan luar negeri Qatar
dalam memberikan dukungan terhadap pihak NTC di Libya ini akan terdiri dari
lima bab. Pada bab I, yakni pendahuluan, akan dijelaskan mengenai latar belakang
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Selain itu, bab ini juga akan
memberikan informasi mengenai pertanyaan penelitian serta kerangka teori yang
akan digunakan untuk menganalisa permasalahan yang ada.
Selanjutnya, pada bab II akan dijelaskan mengenai krisis politik di Libya.
Penjelasan tersebut akan diawali dengan menceritakan awal terjadinya fenomena
Arab Spring di Timur Tengah serta menceritakan sedikit tentang beberapa negara
lain yang juga mengalami krisis politik tersebut. Kemudian pada bab ini akan
dijelaskan mengenai krisis politik di Libya secara lebih mendalam beserta
penjelasan mengenai kelompok-kelompok oposisi di Libya. Pada bab ini juga
akan dijelaskan mengenai NTC sebagai perwakilan resmi rakyat Libya pada masa
krisis.
Dalam bab III, penelitian ini akan memasuki peran yang dilakukan Qatar
dalam menghadapi krisis di Libya. Sebelum menjelaskan peran Qatar, penelitian
19
ini memberikan informasi terlebih dahulu mengenai perpolitikan Qatar di kawasan
baik sebelum terjadinya Arab Spring ataupun pada masa Arab Spring
berlangsung. Untuk melihat peran Qatar di Libya, penelitian ini juga memberikan
informasi terlebih dahulu mengenai hubungan bilateral kedua negara tersebut.
Setelah itu pada bagian terakhir dalam bab ini akan dijelaskan mengenai bentuk-
bentuk dukungan yang diberikan Qatar terhadap pihak NTC.
Pada bab IV, penelitian ini akan memasuki bagian analisa. Bagian ini
akan menjawab permasalahan yang menjadi pertanyaan penelitian. Dalam
menjawab pnelitian ini, teori serta konsep yang dijelaskan pada bab I akan
diaplikasikan beserta data-data yang telah dikumpulkan. Konsep intervensi akan
dijelaskan untuk membantu penulis membuktikan bahwa dukungan yang
diberikan Qatar merupakan salah satu bentuk intervensi. Selain konsep intervensi,
pada bab IV terdapat faktor subjektif dan faktor objektif yang digunakan penulis
untuk melihat faktor apa saja yang memengaruhi Qatar untuk memberikan
dukungan terhadap pihak NTC.
Dan bagian terakhir ialah bab V. Bagian terakhir ini akan menjadi bagian
penutup yang berisi kesimpulan penelitian. Kesimpulan ini akan menjabarkan
kembali penelitian yang telah disusun secara keseluruhan. Selain itu juga pada
bagian ini akan mempertegas kembali jawaban penelitian yang didapat dari hasil
penelitian.
20
BAB II
KRISIS POLITIK YANG TERJADI DI LIBYA
Krisis politik yang terjadi di Libya merupakan salah satu dampak dari
fenomena Arab Spring yang melanda kawasan Timur Tengah. Pada Bab ini akan
dijelaskan mengenai awal mula terjadinya Arab Spring hingga berdampak pada
perpolitikan di negara-negara Timur Tengah yang salah satunya adalah Libya.
Selain itu juga akan dijelaskan bagaimana pihak oposisi di Libya menghadapi
krisis politik tersebut.
A. Awal Mula Terjadinya Krisis Politik di Libya
Krisis politik di Libya, seperti yang telah dijelaskan di atas, merupakan
dampak dari fenomena Arab Spring yang menyebabkan krisis politik di beberapa
negara di Timur Tengah.
1. Arab Spring sebagai Fenomena Politik di Timur Tengah
Arab Spring merupakan istilah yang digunakan oleh masyarakat Barat
untuk menggambarkan revolusi politik yang terjadi di Timur Tengah. Terdapat
juga istilah Arab Uprising yang diartikan sebagai pemberontakan Arab untuk
menyebutkan gerakan revolusi tersebut. Orang Arab sendiri lebih memilih
menggunakan Arab Awakening atau kebangkitan Arab untuk menggambarkan
21
fenomena yang lekat dengan reformasi sosial, nasional, konstitusional, dan
gerakan Islamis modern.47
Revolusi yang terjadi di dunia Arab ini diawali di Tunisia. Pada 17
Desember 2010, Muhammad Bouazizi melakukan protes melalui pembakaran diri.
Aksi pembakaran diri yang dilakukan oleh Bouazizi mendorong para pemuda
Tunisia untuk melakukan protes terhadap pemerintah. Aksi protes tersebut
merupakan ekspresi dari ketidakpuasan terhadap isu-isu sosial yang melanda
Tunisia, seperti pengangguran, korupsi, inflasi makanan, dan juga tidak adanya
kebebasan dalam berpolitik. Dalam waktu yang singkat, tepatnya pada 14 Januari
2011, protes yang dilakukan masyarakat Tunisa berhasil mendorong presiden
Zaenal Abidin Ben Ali yang telah memimpin selama 23 tahun untuk turun dari
kursi kepemimpinan.48
Di bawah pemerintahan Ben Ali, kebebasan pers terutama melalui internet,
berada di bawah kontrol sang diktator. Halaman wikipedia mengenai profil
dirinya, blog dan twitter dari pihak oposisi, serta artikel berita yang bersifat kritis
tidak dapat diakses oleh pengguna internet karena telah di blok. Diskusi mengenai
sang diktator, Ben Ali, juga tidak dapat dilakukan secara bebas terutama bahasan
yang bersifat mengkritisi dikarenakan adanya ketakutan terhadap polisi-polisi
rahasia yang dapat menangkap dan memenjarakan rakyat sipil.49
47 Eugene Rogan, “The Arab Spring: Implications for British Policy”, Conservative Middle East
Council, (Oktober, 2011): 4. 48 Alasdair MacKay, “The Arab Spring of Discontent”, E-International Relations, (2011): 4 49 Sami Ben Hassine, We Finally have Revolution on our Minds, dalam Guardian News and
Media, The Arab Spring, (London: Guardian Books, 2012), 215.
22
Informasi mengenai revolusi yang terjadi menyebar secara cepat melalui
media. Protes yang pada awalnya merupakan ekspresi terhadap banyaknya
penangguran, tingginya harga makanan, dan keterbatasan pers menjalar ke isu
yang lebih berat seperti keinginan masyarakat untuk menurunkan Ben Ali dari
kursi pemerintahan. Gerakan yang diawali oleh Bouazizi tersebut mendorong
rakyat Tunisia untuk berani berekspresi.50 Meskipun Tunisia mengalami beberapa
perkembangan dalam isu sosial seperti tingkat pendidikan yang tinggi dan jumlah
masyarakat kelas menengah yang juga tinggi, adanya pembagian kelas sosial tidak
dapat dihindarkan. Pembagian kelas sosial dan juga gerakan buruh menjadi pilar
utama pemicu revolusi di Tunisia.51
Aksi pembakaran diri yang dilakukan oleh Bouazizi tidak hanya
berdampak secara lokal, yakni mendorong masyarakat Tunisia untuk melakukan
protes terhadap pemerintahan Ben Ali, tetapi juga berdampak pada negara Arab
lainnya, salah satunya adalah Mesir. Mundurnya Ben Ali dari kepemimpinan di
Tunisia pada 14 Januari 2011 memberikan pencerahan bagi rakyat Mesir yang
berusaha untuk menjatuhkan kepemimpinan Hosni Mubarak.52
Tidak jauh berbeda dengan aksi yang dilakukan Bouazizi, protes di Mesir
juga diawali dengan aksi pembakaran diri oleh Abdou Abdel-Monaam Hamadah
yang merupakan seorang pemilik restoran yang putus asa dengan kondisi ekonomi
di Mesir. Meskipun aksi tersebut tidak memperoleh perhatian langsung yang
50 Alyssa Alfano, “A Personal Perspective on Tunisian Revolution”, dalam Alasdair MacKay, :The
Arab Spring of Discontent”, E-International Relations, (2011): 7. 51 Jason William Boose, “Democratization and Civil Society: Libya, Tunisia, and The Arab
Spring”, International Journal of Social Science and Humanity, 2:4 (Juli, 2012): 314. 52 Hamid Dabashi, “The Arab Spring: The End of Postcolonialism”, (London: Zed Books, 2012),
18.
23
signifikan selayaknya yang terjadi di Tunisia, tetapi aksi tersebut mampu memicu
aksi protes yang lebih besar melalui “Day of Rage” pada 25 Januari 2011 untuk
menurunkan rezim Mubarak.53
Pada akhir Januari 2011, ribuan rakyat Mesir berkumpul di Tahrir Square
masih dengan agenda yang sama, meminta mundurnya Mubarak dari kursi
kepemimpinan. Mubarak menolak untuk mundur, namun berjanji akan
memberikan reformasi demokratis serta tidak akan mencalonkan diri kembali
dalam pemilu berikutnya. Rakyat tetap memaksa Mubarak untuk turun melalui
aksi protes lainnya pada 1 Februari 2011 di lokasi yang sama, Tahrir Square. Aksi
protes masih berlanjut pada 4 Februari 2011 melalui “Day of Departure”. Aksi
tersebut mendapatkan respon dari Omar Suleiman selaku Perdana Menteri untuk
melakukan negosiasi dengan pihak oposisi, termasuk Muslim Brotherhood. Sang
presiden masih menolak untuk mengundurkan diri. Pada 11 Februari, Omar
Suleiman yang baru saja diangkat menjadi wakil presiden menyatakan
pengunduran diri Hosni Mubarak dan dengan demikian kekuasaan sementara
berada di tangan militer.54
Selanjutnya, aksi protes menyebar di negara lainnya seperti Yaman,
Bahrain, hingga Suriah. Tidak berbeda dengan negara-negara sebelumnya, rakyat
Yaman juga menginginkan kemunduran sang presiden, Ali Abdullah Saleh.
Presiden Saleh yang telah menjabat sejak tahun 1990 merespon aksi protes dengan
menyatakan bahwa dirinya tidak akan melakukan re-eleksi pada pemilu yang akan
datang dan hanya akan menjabat hingga masa kepemimpinannya berakhir pada
53 Dabashi, The Arab Spring, 18. 54 Dabashi, The Arab Spring, 18-19.
24
2013. Namun, rakyat Yaman tetap melanjutkan aksi protes melalui “Day of rage”
pada 3 Februari 2011.55
Selama proses demonstrasi yang terjadi, tokoh militer dan beberapa
menteri beralih memberikan dukungan kepada para demonstran, berbeda dengan
sang Presiden yang masih mempertahankan kepemimpinannya. Aksi demonstrasi
ini masih terus berlanjut hingga Mei 2011 yang menimbulkan banyak korban jiwa
akibat bentroknya militer pemerintah dengan pihak oposisi. Pada bulan Juni 2011,
Presiden Saleh terkena tembakan roket di kediaman kepresidenan dan
diterbangkan ke Arab Saudi.56
Aksi protes dengan menggunakan istilah “Day of Rage” tidak hanya
dilakukan oleh para protestan di Mesir dan Yaman, rakyat Bahrain juga
melakukan aksi yang sama pada 14 Februari 2011. Namun, aksi protes di Bahrain
ini dikatakan berbeda dengan Arab Spring karena dipicu oleh perbedaan Sunni-
Siah yang ada dalam struktur sosial Bahrain. Meskipun demikian, pemicu lainnya
tidak dapat dilepaskan dari hal-hal ekonomi yakni adanya tindak korupsi oleh para
elit politik. Aksi protes yang dilakukan di Pearl Square menelan korban jiwa dan
mendorong sang pemimpin, Hamad bin Isa Al Khalifa yang telah menjabat sejak
1942, melepaskan beberapa tahanan politik sebagai langkah damai dengan pihak
oposisi.57
Di Suriah, aksi protes pertama terjadi di bagian selatan Suriah, tepatnya di
kota Dera’a pada 18 Maret 2011. Pada aksi protes awal yang terjadi di Suriah
55 Dabashi, The Arab Spring, 20. 56 Dabashi, The Arab Spring, 21 57 Dabashi, The Arab Spring, 21.
25
tersebut, rezim Bashar Al Assad langsung merespon protes tersebut secara militer.
Semakin banyak para protestan yang mempertahankan diri dengan persenjataan,
semakin banyak kekerasan yang dilakukan oleh rezim Assad. Dalam krisis politik
di Suriah, rezim Assad memperoleh bantuan, baik secara militer maupun finansial,
dari negara-negara besar seperti Rusia dan Tiongkok. Dalam menghadapi krisis
tersebut, rezim Assad juga memperbaharui beberapa aturan dalam negeri seperti
memodifikasi manajemen hubungan regional dan internasional untuk mengurangi
sanksi diplomatik dan ekonomi.58
2. Arab Spring di Libya (Libya Spring)
Arab Spring yang terjadi di Libya atau dapat dikatakan sebagai Libya
Spring merupakan krisis politik yang terjadi di Libya. Pada 15 Februari 2011,
kerusuhan mulai terjadi di Libya tepatnya di depan markas besar kepolisian di
Benghazi. Kerusuhan tersebut semakin menyebar hingga pada 17 Februari terjadi
aksi protes di kota besar Libya, Benghazi dan Tripoli.59 Ratusan rakyat Libya
menjadi korban jiwa hanya dalam hitungan hari dari awal kerusuhan terjadi.
Berbeda dengan kepala pemerintah lain yang berupaya untuk melakukan negosiasi
dengan rakyat atau setidaknya menawarkan perubahan, Moammar Qaddafi dan
juga anaknya Saif al-Islam menyatakan sikap keras terhadap pihak oposisi melalui
ancaman penyerangan.60
58 Steven Heydemann, “Tracking The Arab Spring: Syria and The Futur of Authoritarianism”,
Journal of Democracy 24:4 (Oktober, 2013): 62-63. 59 Simon Adams, “Libya and the Responsibility to Protect”, Global Center for Responsibility to
Protect: Occasional Paper Series, 3 (Oktober, 2012): 5. 60 Adams, “Libya and the Responsibility to Protect”, 5.
26
Kerusuhan yang terjadi di Libya diawali oleh aksi seorang individu yang
diketahui tidak memperoleh akses pendidikan dan informasi. Organisasi
masyarakat di Libya tidak dibenarkan keberadaannya di bawah kepemimpinan
Qaddafi dan sektor swasta juga memiliki andil yang lemah. Ekonomi menjadi
pemicu dari kerusuhan yang terjadi, seperti isu pengangguran, pendapatan yang
rendah, dan ketimpangan sosial.61
Meskipun memiliki dasar yang sama dengan krisis di negara Arab lain,
kerusuhan di Libya berlangsung lebih lama dan menelan lebih banyak korban
jiwa. Hal ini dikarenakan cara dan sikap Qaddafi dalam menghadapi para
protestan, yakni dengan menggunakan kekerasan. Semakin banyaknya korban
jiwa semakin banyak pula elit-elit pemerintah yang membelot dan memutuskan
untuk bergabung dengan rakyat Libya. Akibatnya, bentrokan yang terjadi antara
militer Qaddafi dan rakyat Libya semakin sulit untuk ditangguhkan. Pembentukan
badan perwakilan rakyat Libya atau NTC semakin menguatkan pihak oposisi,
meskipun tidak membuat Qaddafi menyerah dan memutuskan untuk mundur dari
kepemimpinannya.62
Jumlah korban jiwa yang dihasilkan pada awal krisis di Libya mendorong
banyak pihak untuk memberikan respon terkait krisis tersebut. Sejak tanggal 15
Februari hingga 22 Februari 2011 terdapat 200 korban jiwa yang tercatat oleh
Dewan HAM PBB (UN Human Right Council) dan 500-700 korban jiwa yang
tercatat oleh Pengadilan Internasional (International Criminal Court, ICC).
61 Wolfram Lacher, “The Libyan Revolution: Old Elites and New Political Forces”, dalam Muriel
Asseburg, “Protest, Revolt and Regime Change in The Arab World”, German Institute for
International and Security Affairs, Research Paper 6 (Februari, 2012): 11. 62 Asseburg, “Protest, Revolt and Regime Change in The Arab World”, 11.
27
Organisasi-organisasi seperti PBB, Uni Afrika, Liga Arab, Organisasi Konferensi
Islam (OKI) turut memberikan respon terhadap krisis yang menelan ratusan
korban jiwa tersebut.63
Ban Ki-Moon, selaku Sekertaris-Jenderal PBB, pada 20 Februari 2011
melakukan negosiasi dengan Qaddafi melalui telepon untuk mengajak sang
diktator menghentikan kekerasan terhadap rakyat Libya secepatnya. Sikap
Qaddafi yang menolak ajakan tersebut mendorong para elit politik di Libya untuk
memihak kepada sipil. Dua hari berikutnya, Komisaris PBB untuk HAM, Navi
Pillay, menyatakan kepada otoritas Libya untuk menghentikan kekerasan terhadap
HAM dan menggambarkan situasi di Libya sebagai “kejahatan terhadap manusia”
atau “crimes against humanity”.64
Dalam merespon perang saudara di Libya, Dewan Keamanan PBB (DK-
PBB) pada 26 Februari 2011 menetapkan Resolusi 1970 mengenai “tanggung
jawab otoritas Libya dalam melindungi populasinya”. Dalam resolusi tersebut
ditetapkan embargo senjata, pembekuan aset, pelarangan bepergian dan
menyerahkan situasi krisis ke pihak ICC. Eskalasi kekerasan terhadap sipil
mendorong DK-PBB untuk mengadopsi Resolusi 1973 pada 17 Maret 2011 dan
disetujui oleh 10 dari 15 anggota DK-PBB. Resolusi 1973 lebih menekankan pada
upaya gencatan senjata untuk menghentikan penyerangan terhadap sipil serta
63 Adams, “Libya and the Responsibility to Protect”, 5-6. 64 Adams, “Libya and the Responsibility to Protect”, 6.
28
upaya intensif untuk mencari solusi atas krisis termasuk di dalamnya aksi
militer.65
Selain dari pihak PBB, organisasi internasional lain seperti Liga Arab, Uni
Afrika dan OKI, masing-masing memberikan respon terhadap krisis yang
dihadapi rakyat Libya. Pada 22 Februari 2011, Uni Afrika dan OKI sama-sama
memberikan pernyataan tegas terhadap otoritas Libya untuk segera menyudahi
penyerangan terhadap rakyat sipil. Liga Arab melarang Libya untuk menghadiri
pertemuan yang dilakukan oleh organisasi tersebut. Pada 14 Maret 2011, Dewan
Keamanan dan Perdamaian Uni Afrika membentuk Komisi Tingkat Tinggi.66
18 Maret 2011, DK-PBB memberikan izin terhadap NATO untuk
menerapkan no-fly zone di Libya.67 Kebijakan tersebut dilakukan juga oleh negara
koalisi NATO seperti Swedia, Yordania, Qatar dan Uni Emirat Arab. Pada 29
Maret, NATO secara resmi mengambil alih seluruh operasi militer di Libya
melalui “Operations Unified Protector”. Koalisi yang dilakukan negara-negara
tersebut juga memberikan bantuan langsung terhadap pihak oposisi yang
bermarkas di Benghazi, Misrata, Tripoli, dan juga di Sirte.68
Meskipun telah banyak keterlibatan pihak asing beserta sanksi terhadap
Libya, tidak membuat sikap Qaddafi melunak. Sikap keras Qaddafi mendorong
NATO untuk melakukan penyerangan terhadap lokasi-lokasi ditempat sang
65 “10 anggota DK PBB yang menyetujui Resolusi 1973: Bosnia-Herzegovina, Kolombia,
Perancis, Gabon, Libanon, Nigeria, Portugal, Afrika Selatan, Inggris dan Amerika Serikat; dan 5
anggota DK PBB yang tidak memberikan suara: Brasil, Cina, Jerman, India dan Rusia”.
Simon Adams, “Libya and the Responsibility to Protect”, 6. 66 Adams, “Libya and the Responsibility to Protect”, 6. 67 Dabashi, The Arab Spring, 20. 68Marianne Mosegaard Madsen dan Simone Sophie Wittstrøm Selsbæk, “The Responsibility to
Protect and the intervention in Libya”, Roskilde University:Department of Society and
Globalisatio, (Desember, 2012): 17.
29
diktator berada. Bom yang sempat diluncurkan di Tripoli dan Misrata tidak
berhasil mengenai Qaddafi melainkan salah satu anaknya dan tiga orang
cucunya.69
Banyaknya kekerasan yang dilakukan oleh Qaddafi, pada bulan Agustus,
ICC menyatakan bahwa Qaddafi dan anaknya serta kepala intelijen Libya
dinyatakan sebagai pidana atas kejahatan yang diperbuat. Otoritas Libya
kemudian diserahkan kepada pihak oposisi NTC. Pada 24 Oktober 2011, NTC
menyatakan berakhirnya perang saudara diikuti dengan tewasnya Qaddafi dan
anaknya pada 20 Oktober 2011. Selanjutnya, pada 26 Oktober 2011 kebijakan no-
fly zone berakhir diikuti dengan misi NATO di Libya pada 31 Oktober 2011.70
B. Pihak Oposisi dalam Krisis Politik di Libya
NTC merupakan perwakilan rakyat Libya yang dibentuk oleh pihak-pihak
yang melawan pemerintahan Qaddafi terkait krisis politik yang terjadi pada tahun
2011. Pihak-pihak oposisi ini tidak begitu saja lahir ketika fenomena Arab Spring
terjadi, melainkan telah ikut berpartisipasi dalam revolusi-revolusi sebelumnya.
1. Lahirnya Kelompok Oposisi di Libya Pada Masa Rezim Qaddafi
Muammar Qaddafi memperoleh kepemimpinannya melalui “revolusi
Libya” pada tahun 1969 melalui kudeta militer terhadap pemimpin sebelumnya,
69 Madsen dan Selsbæk, “The Responsibility to Protect”, 17. 70 Madsen dan Selsbæk, “The Responsibility to Protect”, 18
30
Raja Idris.71 Kudeta militer tersebut dilakukan melalui kepemimpinannya dalam
Revolutionary Command Council (RCC) dan atas keberhasilan dalam aksi kudeta
membuat Qaddafi diangkat sebagai pemimpin bagi rezim yang baru. Libya di
bawah kepemimpinan Qaddafi memperoleh bentuk baru yang mana hukum-
hukum lama dihapuskan oleh sang pemimpin, serta pada tahun 1973 Qaddafi
menghapuskan pemerintahan Libya dan mendeklarasikan bentuk Libya yang baru,
yakni Jamahiriya atau Negara Rakyat.72
Meskipun Qaddafi telah mendeklarasikan Libya sebagai Negara Rakyat,
dalam prakteknya rakyat tidak diberikan ruang untuk berekspresi. Tidak adanya
partai politik, persatuan perdagangan, dan organisasi umum lainnya
menggambarkan bentuk pembatasan terhadap kebebasan rakyat sipil. Beberapa
organisasi sipil diakui keberadannya, seperti Boy Scouts dan Red Crescent, untuk
menghindari amukan rakyat sipil.73
Pada tahun 1959, Libya menemukan sumber cadangan minyak yang
berhasil memberikan keuntungan bagi negara tersebut. Namun, ketika Qaddafi
menduduki kursi kepemimpinan, keuntungan dari penjualan minyak tersebut lebih
ditujukan untuk kepentingan rezim, agar rezim Qaddafi tetap menduduki
kekuasaan. Meskipun sebagian keuntungan disisihkan untuk subsidi, hal tersebut
dilakukan semata-mata untuk “menutup mulut” rakyat agar tidak membelot.74
71 Rosan Smith, et.al., “Revolution and Its Discontents: Stae, Factions, and Violence in The New
Libya”, Netherland Institute of International Relations, (September, 2013): 11. 72 David Seddon, A Political and Economic Dictionary of The Middle East: An Essential Guide to
the Politics and Economics of the Middle East, (London: Taylor and Francis Group, 2004), 408. 73 Bruce St. John, “Libyan Myths and Realities”, Copenhagen: Royal Danish Defense College.,
(Agustus, 2011): 6. 74 Smith, et.al., “Revolution and Its Discontents”, 8.
31
Aksi kecurangan yang dilakukan rezim tersebut mendorong rakyat Libya untuk
membentuk gerakan oposisi bahkan sejak awal kepemimpinan Qaddafi.
Gerakan oposisi di Libya telah muncul pada tahun 70-an, yakni tidak lama
setelah Qaddafi berhasil menduduki pemerintahan Libya. Wilayah Timur Libya
merupakan wilayah dimana pihak oposisi terkuat berada. Pada tahun 1970-an
gerakan oposisi terbentuk oleh pihak militer dan para pelajar. Pada tahun 1980-an
gerakan oposisi didominasi oleh aktor-aktor yang diasingkan. Pada tahun 1990-an
terbentuk oposisi yang terinspirasi dari nilai-nilai Islam.75
Sebelum krisis politik yang terjadi pada tahun 2011 lalu, upaya
menurunkan rezim Qaddafi telah beberapa kali dilakukan oleh rakyat Libya. Pada
tahun 1976, rezim Qaddafi menekan sebuah kelompok mahasiswa, Libyan
Student Union, yang sempat melakukan pemberontakan dan mengeksekusi
pemimpin dari kelompok tersebut serta menyiksa beberapa mahasiswa.
Pemberontakan kembali dilakukan pada tahun 1980-an ketika kelompok oposisi
dari pihak-pihak yang diasingkan melalui Libyan Salvation Front melakukan aksi
protes. Dan pada tahun 1990 kembali terjadi aksi pemberontakan yang dilakukan
oleh kelompok Islamis seperti Libyan Islamist Fighting Group (LIFG) yang
berasal dari wilayah Timur Libya. Aksi-aksi pemerontakan tersebut menghasilkan
10.000 rakyat Libya diasingkan oleh rezim Qaddafi.76
75 Ali Abdullatif Ahmida, “The Libyan National Transitional Council: Social Bases, Membership,
and Political Trends”, Aljazeera Center for Studies: Reports, (Oktober, 2011): 3. 76 Ahmida, “The Libyan National Transitional Council”, 3.
32
2. NTC sebagai Perwakilan Resmi Rakyat Libya
Kelompok-kelompok oposisi Libya yang telah terbentuk sejak tahun 70-an
tersebut memberikan respon terhadap Arab Spring yang terjadi di Libya melalui
pembentukan badan revolusi yang dinamakan NTC.77 Peresmian badan
pemerintahan sementara Libya ini dideklarasikan setelah meninggalnya sang
pemimpin dan berakhirnya perang sipil pada 24 Oktober 2011. Perdana Menteri
Abdurrahim al Kib mengetuai kabinet sementara NTC hingga badan tersebut
terbentuk secara utuh.78
Meskipun baru dinyatakan secara resmi sebagai pemerintahan sementara
Libya, NTC telah terbentuk sejak awal krisis politik Libya terjadi, yakni pada 17
Februari 2011. NTC memiliki dua kelompok utama di dalamnya, yakni
perwakilan dari seluruh wilayah Libya serta dewan lokal dari wilayah bagian
Timur Laut. Anggota-anggota dari NTC terdiri dari pihak-pihak yang membelot
rezim Qaddafi, reformis, teknokrat, pejuang oposisi keturunan aristokrat dan
keluarga bangsawan pada zaman Monarki Libya, pengacara, professor, hingga
pebisnis yang diasingkan dari wilayah Barat. Pembentukan NTC ini juga
didukung oleh salah satu kelompok Islamis, Muslim Brotherhood.79
Pembentukan badan NTC ini bertujuan untuk mengarahkan Libya selama
periode transisi. NTC yang telah terbentuk sejak awal revolusi ini mewakili
77 Ahmida, “The Libyan National Transitional Council”, 4. 78 Susan Power, “The Role of the NTC in the Economic Reconstruction of Libya”, Socio-Legal
Studies Review, 1 (2012): 115. 79 Power, “The Role of The NTC”, 117
33
seluruh kota yang ada di Libya dan memperoleh legitimasi dari dewan lokal yang
dibuat oleh rakyat Libya yang terlibat dalam revolusi.80
NTC dapat dikatakan sebagai badan yang dibuat oleh pihak lokal Libya
untuk menghadapi krisis politik. Dari dunia internasional, terdapat Libya Contact
Group81 (LCG) sebagai upaya dunia internasional dalam membantu menangani
krisis di Libya yang dibuat pada 29 Maret 2011. Dalam upaya untuk mewujudkan
Libya yang bebas dan demokratis, LCG memberikan pengakuannya terhadap
NTC sebagai otoritas yang sah bagi rakyat Libya pada 15 Juli 2011.82 Selain
LCG, beberapa negara seperti Perancis, Jerman, Italia, Tiongkok, Rusia, Jordania,
Kuwait, Uni Emirat Arab, termasuk Qatar turut memberikan pengakuan terhadap
NTC sebagai perwakilan resmi rakyat Libya.83
Meskipun telah memperoleh legitimasi dari level domestik maupun
internasional, peran NTC dilihat dari statusnya sebagai pemerintah “sementara”
menjadikan peranannya terbatas. Dalam Resolusi DK-PBB 2022, pembentukan
NTC dilakukan untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi implementasi
mandat PBB untuk Libya (UNSMIL). Tetapi, NTC tetap memperoleh haknya
untuk menerima kembali aset-aset negara yang sebelumnya dibekukan. Dalam
Resolusi DK-PBB 2009, NTC harus mengembalikan dan mengalokasikan dana
Libya secara terbuka dan transparan. Dengan adanya pengembalian aset tersebut,
80 Power, “The Role of The NTC”, 118. 81 “LCG merupakan kelompok yang mengupayakan dukungan bagi rakyat Libya dari pihak
internasional seperti Liga Arab, Uni Afrika, NATO, GCC, OKI serta negara-negara seperti
Australia, Bahrain, Denmark, Jerman, Kanada, Inggris, dan AS”. dalam Power, “The Role of The
NTC”, 118. 82 Power, “The Role of The NTC”, 118. 83 John, “Libyan Myths and Realities”, 10.
34
NTC diharapkan dapat memainkan peran penting dalam upaya merekonstruksi
Libya.84
84 Power, “The Role of The NTC”, 125.
35
BAB III
PERAN QATAR DALAM KRISIS POLITIK DI LIBYA
Fenomena Arab Spring, termasuk krisis politik yang terjadi di Libya,
mengundang respon-respon dari dunia internasional, baik dari organisasi
internasional, organisasi regional, maupun negara secara individu. Salah satu
negara Arab yang memberikan respon terhadap krisis politik di Libya ialah Qatar.
Dalam melihat respon Qatar terhadap krisis tersebut, ada baiknya untuk
menjelaskan terlebih dahulu kedudukan Qatar secara regional di Timur Tengah.
A. Kedudukan Qatar di Timur Tengah
Gambar 1. Peta Qatar di Timur Tengah
Sumber85: CIA: The World Factbook
Qatar merupakan negara kecil di kawasan Timur Tengah yang memiliki
luas wilayah 11.586 km2 dengan populasi sebanyak 2.123.160 jiwa (untuk
85 “The World Factbook: Qatar”, CIA, tersedia di <https://www.cia.gov/library/publications/the-
world-factbook/geos/qa.html> diakses pada 18 Agustus 2014, pukul 20.15.
perhitungan bulan Juli 2014). Meskipun dengan wilayah yang kecil, kesediaan
sumber minyak dan gas memosisikan Qatar menjadi negara dengan tingkat
pendapatan per kapita tertinggi di dunia pada tahun 2007.86 Tingkat kekayaan
ekonomi Qatar tersebut menjadikan Qatar tidak terkena dampak Arab Spring
dilihat dari pemicu fenomena tersebut yang umumnya mengenai permasalahan
ekonomi. Selain menjadi salah satu negara terkaya di dunia, pada tahun 2007
Qatar mampu memainkan peran di dunia internasional sebagai salah satu anggota
tidak tetap DK-PBB.87
Qatar memperoleh kemerdekaannya dari Britania Raya pada tahun 1971.
Namun, pada awal kemerdekaan, Qatar merupakan negara kecil dengan populasi
yang sedikit dan menjadi negara yang terabaikan. Meskipun pada tahun 80-an
produksi minyak Qatar meningkat, namun Qatar belum cukup menarik perhatian
investor asing untuk bekerjasama dalam sektor energi. Situasi ini berubah ketika
Sheikh Hamad bin Khalifa Al-Thani melakukan kudeta terhadap ayahnya, Emir
Khalifa bin Hamad Al-Thani. Kepemimpinan Emir Hamad mampu membawa
Qatar menjadi negara yang lebih dikenal di dunia internasional.88
Qatar, di bawah kepemimpinan Emir yang baru, mencapai perubahan
positif negara tersebut melalui beberapa strategi yang baru pula. Kemajuan yang
diperoleh Qatar ini tercapai melalui tiga strategi utama, yakni liberalisasi
ekonomi, proyek kebijakan luar negeri dan “state branding”. Ketiga strategi
kunci ini mendorong Qatar untuk menjadi negara yang kaya, netral dan visioner 86 “The World Factbook: Qatar”, CIA, tersedia di <https://www.cia.gov/library/publications/the-
world-factbook/geos/qa.html> diakses pada 23 Juli 2014, pukul 23.15. 87 Barakat, “The Qatari Spring”, 4. 88 J.E. Peterson, “Qatar’s International Role: Branding, Investment, and Policy Projection”,
Norwegian Peacebuilding Resource Centre, Policy Brief (February, 2013): 1.
dilakukan oleh Qatar terhadap pihak-pihak tersebut mendapat kritikan dari
menteri keuangan dan minyak sementara di Libya, Ali Tarhouni. Kritikan
tersebut menegaskan untuk pihak-pihak yang ingin memberikan bantuan kepada
Libya agar memberikannya secara langsung kepada pemerintah yang berwenang.
Ia menyatakan bahwa119:
“It’s time we publicly declare that anyone who wants
to come to our house has to knock on our front door
first.”
“Ini saatnya kami nyatakan secara terbuka bahwa
siapapun yang ingin datang ke rumah kami harus
mengetuk pintu depan.”
Kritikan tersebut dilakukan dalam upaya menegaskan bahwa pemberian
bantuan kepada pihak-pihak khusus tanpa sepengetahuan pihak yang berwenang
melanggar kedaulatan sebuah negara. Terlebih lagi pemberian bantuan berupa
senjata dan uang diberikan kepada pihak yang berpotensi menimbulkan isu
kemanan.120
119 Ulrichsen, “Small States with a Big Role”, 15. 120 Ulrichsen, “Small States with a Big Role”, 16.
50
BAB IV
FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG QATAR UNTUK
MEMBERIKAN DUKUNGAN TERHADAP NTC
Fenomena Arab Spring yang terjadi di Timur Tengah, termasuk Libya,
memicu dunia internasional untuk membantu menghadapi krisis yang dialami
oleh negara-negara yang terkena krisis politik. Qatar merupakan salah satu negara
yang aktif melibatkan diri dalam proses penyelesaian konflik tersebut. Di Libya,
peran Qatar merupakan peran yang paling signifikan dalam membantu meredam
konflik dibandingkan negara-negara Arab lainnya. Salah satu upaya Qatar dalam
meredam konflik di Libya ialah dengan memberikan dukungan terhadap pihak
oposisi Libya yakni NTC. Beberapa dukungan yang diberikan Qatar terhadap
NTC di Libya tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah intervensi Qatar
terhadap Libya.
A. Dukungan Qatar terhadap NTC sebagai Bentuk Intervensi
Sebuah tindakan intervensi, bagi Finnemore dapat diterapkan dengan
menggunakan atribut militer yang memiliki tujuan kemanusiaan, yakni
melindungi rakyat sipil dari pelanggaran kemanusiaan.121 Berdasarkan
pemahaman mengenai intervensi tersebut, maka tindakan yang dilakukan Qatar
melalui bantuan-bantuan secara militer dalam krisis politik yang terjadi di Libya
dapat dikategorikan sebagai sebuah intervensi. Knudsen menyatakan bahwa
121 Martha Finnemore (1996) dalam Kardas, “Humanitarian Intervention”, 1.
51
sebuah intervensi merupakan tindakan campur tangan yang dilakukan secara
paksa terhadap negara yang berdaulat dengan didasarkan pada kepedulian
terhadap manusia.122
Intervensi pada dasarnya merupakan upaya untuk menerapkan tanggung
jawab negara-negara dunia dalam isu kemanusiaan atau yang dikenal dengan
responsibility to protect. Seperti yang dinyatakan oleh PBB123:
“… authorizing military intervention as a last resort, in the event of
genocide and other large-scale killing, ethnic cleansing or serious
violations of humanitarian law …” (United Nations High-Level
Panel on Threats, Challenges and Changes, 2005)
“… mengesahkan intervensi militer sebagai upaya terakhir, saat
terjadi genosida dan pembunuhan skala besar lainnya, pemusnahan
etnis atau pelanggaran berat terhadap hukum kemanusiaan…”
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa PBB memberikan izin sebuah intervensi
militer sebagai upaya terakhir untuk menghentikan genosida dan pembunuhan
skala tinggi, pemusnahan etnis, atau pelanggaran terhadap hukum kemanusiaan
lainnya. Intervensi ini dapat diterapkan ketika negara yang bersangkutan tidak
mampu atau tidak berupaya untuk menghentikan pelanggaran-pelanggaran yang
terjadi.
Qatar dan negara lain yang melakukan intervensi dalam krisis politik yang
terjadi di Libya pada tahun 2011 lalu merupakan sebuah upaya untuk
122 Tonny Brems Knudsen (1997) dalam Kardas, “Humanitarian Intervention”, 1. 123 “norm that there is a collective international responsibility to protect…civilians from the effect
of war and human right abuses… This responsibility is exersicable by the Security Council,
authorizing military intervention as a last resort, in the event of genocide and other large-scale
killing, ethnic cleansing or serious violations of humanitarian law which sovereign Governments
have proved powerless or unwilling to prevent” (United Nations High-Level Panel on Threats,
Challenges and Changes, 2005) dalam Joshep S. Nye, Jr., Understanding International Conflict:
An Introduction to Theory and History, (New York: Longman, 1991), 161.
52
menghentikan atau meredam pelanggaran kemanusiaan akibat krisis. Sejak awal
krisis, yakni 15 Februari hingga 22 Februari, telah terdata sebanyak 500-700
korban jiwa akibat kerusuhan yang terjadi di Libya.124 Kerusuhan yang terjadi
tanpa adanya keinginan pemerintah untuk meredam konflik mendorong negara-
negara lain untuk melakukan intervensi.
Intervensi yang dilakukan oleh Qatar dalam menanggapi krisis politik di
Libya merupakan otoritas yang diberikan oleh DK-PBB dalam resolusi 1973
tahun 2011.125 Dalam resolusi tersebut dinyatakan bahwa DK-PBB memberikan
izin kepada seluruh negara anggota PBB untuk melakukan segala upaya
perlindungan terhadap masyarakat sipil di Libya. Tindakan tersebut dapat
dilakukan secara nasional maupun tindakan di bawah kerangka organisasi
regional tertentu.
Qatar sebagai salah satu negara Arab yang aktif dalam memberikan respon
di Libya telah menerapkan beberapa langkah intervensi yang berbeda. Joseph Nye
menjelaskan bahwa bentuk intervensi memiliki beberapa tahapan dari low
coercion yang berupa pernyataan suatu negara terhadap negara lain hingga high
coercion yang berupa invasi militer.126 Qatar memulai intervensi di Libya dengan
pernyataan yang mengutuk tindakan kekerasan dalam aksi protes di Libya hingga
aksi militer untuk menjatuhkan rezim Qaddafi.
124 Adams, “Libya and the Responsibility to Protect”, 5-6. 125 “Authorizes Member States that have notified the Secretary-General, acting nationally or
through regional organizations or arrangements, and acting in cooperation with the Secretary-
General, to take all necessary measures, notwithstanding paragraph 9 of resolution 1970 (2011),
to protect civilians and civilian populated areas under threat of attack in the Libyan Arab
Jamahiriya, including Benghazi…”, S/RES/1973 (2011) 126 Nye, Understanding International Conflict, 162.
53
Pernyataan pemerintah Qatar yang mengutuk aksi kekerasan yang terjadi
dalam revolusi 17 Februari 2011 di Libya merupakan langkah awal tindakan
intervensi Qatar.127 Sebab, sebuah pernyataan resmi oleh otoritas sebuah negara
merupakan bentuk terendah dalam intervensi. Nye menyatakan bahwa sebuah
intervensi dapat dilakukan melalui sebuah pidato kenegaraan yang bertujuan
untuk memengaruhi politik domestik negara lain.128 Dalam hal ini, pernyataan
yang diajukan Qatar dilakukan untuk membujuk otoritas Libya agar menghentikan
pelanggaran HAM yang terjadi.
Bentuk intervensi lainnya yang dilakukan oleh Qatar ialah melalui bantuan
ekonomi. Bantuan ekonomi Qatar di Libya menghabiskan dana hingga 400 juta
dollar AS.129 Bantuan ekonomi juga dapat memengaruhi politik domestik di
Libya.130 Dengan memberikan bantuan kepada pihak NTC, Qatar membantu
meningkatkan posisi NTC sebagai otoritas sementara Libya dalam menjalankan
aktifitas kenegaraan.
Intervensi yang paling tinggi yang dilakukan oleh Qatar terhadap krisis
politik di Libya ialah berupa bantuan militer. Intervensi dalam bentuk militer ini
berupa bantuan perlengkapan dan pasukan militer. Bantuan militer menjadi
intervensi tertinggi bagi Qatar dalam membantu pihak NTC, sebab bantuan militer
tersebut juga memperkuat kemampuan militer NTC dalam menjatuhkan rezim
Qaddafi dari kursi pemerintahan Libya.
127 Peter Hutchison, et.al., “Libya Protest: As It Happened Feb 22”, The Telegraph, 23 Februari
Intervensi Qatar dalam krisis politik di Libya didasarkan oleh beberapa
faktor. Dalam melihat peran Qatar tersebut ada baiknya untuk melihat faktor apa
saja yang mendorong Qatar untuk memberikan dukungan terhadap pihak NTC.
Kebijakan luar negeri ini akan dianalisa melalui dua faktor utama, yakni faktor
subjektif yang terdiri dari faktor idiosyncratic dan faktor objektif yang terdiri dari
faktor internal dan eksternal.
B. Faktor-Faktor yang mendorong Kebijakan Qatar terhadap NTC
Bentuk-bentuk dukungan yang diberikan Qatar terhadap NTC terkait krisis
politik di Libya pada tahun 2011 merupakan sebuah bentuk kebijakan luar negeri.
Hal ini didasarkan pada pernyataan Breuning mengenai kebijakan luar negeri
yang merupakan hasil dari interaksi negara dengan lingkungan diluar batasnya.131
Meskipun Arab Spring tidak terjadi di Qatar, namun fenomena tersebut terjadi
diluar batas negaranya. Sehingga, respon yang Qatar berikan terhadap krisis
politik di Libya merupakan sebuah bentuk interaksi Qatar dengan lingkungan
eksternalnya.
Interaksi dilakukan negara sebagai bentuk kebijakan luar negeri yang
berupa tindakan terhadap negara lain untuk mencapai sebuah tujuan nasional.132
Kebijakan yang diterapkan Qatar terhadap NTC merupakan sebuah tindakan yang
di dalamnya terdapat tujuan nasional Qatar, yakni ingin membesarkan nama Qatar
di lingkungan internasional. Dalam menganalisa kebijakan luar negeri, terdapat
faktor-faktor yang melatarbelakangi kebijakan tersebut.
131 Breuning, Foreign Policy Analysis, 5. 132 Holsti, International Politics: A Framework for Analysis, 116.
55
1. Faktor Internal
Dalam melihat faktor yang memegaruhi Qatar dalam memberikan
dukungan terhadap pihak NTC dapat dilihat dari faktor internal Qatar. Faktor
internal dalam hal ini dimaksudkan sebagai kondisi lingkungan domestik Qatar
dalam menetapkan sebuah kebijakan.133 Dengan demikian, kondisi perekonomian
serta kepentingan ekonomi akan menjadi faktor yang memengaruhi Qatar dalam
membantu pihak NTC.
a. Atribut Ekonomi
Salah satu faktor internal atau atribut nasional yang memengaruhi
kebijakan luar negeri sebuah negara ialah atribut ekonomi. Karakteristik ekonomi
dapat memengaruhi kebijakan luar negeri terutama jika dilihat dari tingkat
pertumbuhan atau kekayaan ekonomi sebuah negara.134 Dengan demikian,
kekayaan dan tingkat pertumbuhan ekonomi Qatar memberikan pengaruh bagi
kebijakan luar negeri Qatar dalam memberikan bantuan kepada pihak NTC.
Sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
Qatar mampu memainkan peran aktif dalam krisis politik di Libya. Pertumbuhan
ekonomi ini dapat dilihat dari kapasitas gas alam cair atau Liquefied Natural Gas
(LNG) yang tinggi yang dimiliki oleh Qatar. Sektor gas ini menjadi salah satu
penunjang pertumbuhan ekonomi Qatar yang paling signifikan, yakni melalui
investasi besar dan peningkatan kapasitas produksi dalam sektor LNG. Selain itu,
133 Toma dan Gorman, International Relations: Understanding Global Issues, 124. 134 Toma dan Gorman, International Relations: Understanding Global Issues, 126.
56
dukungan penuh dari pemerintah terhadap sistem perbankan di negara tersebut
juga menjadi pendorong tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi Qatar.135
Pertumbuhan ekonomi Qatar yang tinggi ini dapat terlihat dari Pendapatan
Domestik Bruto (PDB) dalam negerinya yang mencapai total 185 miliar dollar AS
tahun 2012. Pendapatan dari sektor minyak dan gas menjadi pemicu tingginya
pertumbuhan ekonomi Qatar sejak tahun 2008 hingga 2012, yakni sebanyak
75%.136 Tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut menjadikan Qatar
sebagai salah satu negara terkaya didunia.
Tabel 2. Daftar Negara Terkaya di Dunia 2011-2012
No. Negara PDB per Kapita
1. Qatar US$ 88.222
2. Luxemburg US$ 81.466
3. Singapura US$ 56.694
4. Norwegia US$ 51. 959
5. Brunei Darussalam US$ 48. 333
Sumber137: Forbes: “The World’s Richest Country”.
Toma dan Gorman menyatakan bahwa negara yang memiliki tingkat
kekayaan yang tinggi akan cenderung terlibat dalam perpolitikan dunia.138 Sebab,
135 “Qatar Economic Statistics at a Glance”, Qatar Statistic Authority, 2012, tersedia di
stics%20at%20Glance.pdf> diakses pada 14 September 2014, pukul 15.15. 136 Paul Rivlin, “Qatar: The Economics and The Politics”, The Moshe Dayan Center for Middle
Eastern and African Studies: Tel Aviv University, 3:4 (April, 2013): 2. 137 “The World’s Richest Country”, Forbes tersedia di
keterlibatan tersebut membutuhkan biaya, terutama dalam urusan pemberian
bantuan luar negeri. Dengan kemampuan ekonominya yang tinggi tersebut
mendorong Qatar untuk mampu memberikan bantuan baik finansial maupun
logistik kepada pihak oposisi Libya.
Tingkat kekayaan sebuah negara dapat menentukan posisi negara tersebut
sebagai penerima atau pendonor bantuan.139 Hal ini menggambarkan bahwa
tingkat kekayaan yang dimiliki oleh Qatar memosisikan negara tersebut untuk
mampu menjadi pendonor yang aktif dalam menghadapi konflik kawasan. Sebab,
negara yang kaya akan mampu untuk membiayai kebutuhan untuk berpartisipasi
dalam interaksi global, seperti responsif dalam menghadapi isu dan juga dalam
kerjasama internasional. 140
Dengan demikian, atribut ekonomi Qatar menjadi salah satu faktor utama
yang mendorong Qatar untuk memberikan dukungan terhadap pihak NTC dalam
menghadapi krisis politik di Libya. Status yang dimiliki oleh Qatar sebagai negara
dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi memberikan Qatar kemampuan untuk
dapat mengakomodasikan kebijakan intervensi dalam perpolitikan negara lain.
Hal ini menjadi bukti bahwa negara dengan perekonomian yang tinggi akan
bertindak lebih aktif dalam menghadapi isu-isu kawasan maupun global.
Namun demikian, tingkat kekayaan sebuah negara tidak menjadikan
negara tersebut hanya mengandalkan sumber pendapatan yang sudah ada.
Melainkan sebuah negara akan berusaha untuk memperluas peluang kerjasama
demi mempertahankan perekonomiannya. Seperti yang terjadi pada tahun 2011
139 Pearson dan Rochester, International Relations: The Global Condition in 21st Century, 195. 140 Pearson dan Rochester, International Relations: The Global Condition in 21st Century, 195.
58
ketika terjadi lonjakan harga minyak yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi
Qatar yang hanya meningkat sebanyak 13%. Hal ini juga dikarenakan adanya
perubahan kebijakan terhadap sektor gas dengan menangguhkan pengembangan
produksi.141 Dengan demikian, Qatar membutuhkan sektor lain sebagai sumber
pendapatan selain dari sektor non-oil.
Perluasan kerjasama dalam sektor non-oil dibutuhkan oleh Qatar dilihat
dari sumber daya energi merupakan sumber daya terbatas yang tidak dapat
diperbaharui. Meskipun Qatar memiliki tingkat persediaan minyak yang tinggi,
yakni sebanyak 25.4 miliar barel, namun Qatar menjadi negara produsen utama
dengan persediaan yang rendah dibandingkan negara lainnya seperti Kuwait, Irak,
dan Arab Saudi. Persediaan ini akan berkurang dari tahun ke tahun dan
mendorong Qatar untuk mengalokasikan sumber pendapatan utama di sektor non-
oil.142 Dengan demikian, dukungan yang diberikan Qatar kepada pihak NTC tidak
terlepas dari kepentingan ekonomi negara tersebut.
b. Kepentingan Ekonomi
Faktor berikutnya yang memengaruhi kebijakan luar negeri Qatar terhadap
krisis politik di Libya ialah dengan melihat kepentingan ekonomi Qatar.
Kepentingan ekonomi merupakan faktor dominan yang mendorong sebuah negara
untuk menetapkan sebuah kebijakan. Kepentingan ekonomi ini dapat berupa
pencarian lapangan pekerjaan, pencarian sumber energi, atau mengenai keamanan
141 Rivlin, “Qatar: The Economics and The Politics”, 2. 142 Rivlin, “Qatar: The Economics and The Politics”, 3.
59
akses ekonomi.143 Dalam hal ini, kepentingan ekonomi yang dikejar oleh Qatar
ialah kesempatan untuk bekerjasama dengan pihak Libya yang tidak hanya dalam
sektor energi.
Meskipun Qatar dan Libya merupakan dua negara Timur Tengah dengan
sumber kekayaan minyak yang tinggi, kedua negara tersebut tidak memiliki
jalinan kerjasama dalam sektor minyak ketika Libya masih berada di bawah
kepemimpinan Qaddafi. Namun, ketika krisis politik terjadi di Libya dan terdapat
pembentukan NTC di Libya, Qatar memiliki celah untuk menjalin kerjasama
tersebut melalui pihak NTC. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
salah satu bentuk bantuan Qatar dalam krisis politik di Libya ialah membantu
NTC memasarkan minyak mentah Libya dan bantuan tersebut menjadi salah satu
jalan bagi Qatar untuk membuka peluang kerjasama dengan pemerintah Libya
yang baru.144
Meskipun sumber minyak yang dimiliki Qatar melimpah, namun sumber
daya tersebut tidak dapat diperbaharui. Upaya Qatar untuk menghadapi
permasalahan tersebut ialah membuka peluang kerjasama energi seluas-luasnya
dan juga mengandalkan pemasukan ekonomi dalam negeri yang tidak hanya
berasal dari sektor energi. Dalam mencari peluang kerjasama di sektor energi,
Qatar berhasil mendapatkan peluang kerjasama dengan pihak NTC dalam menjual
minyak Libya. Selain itu, Qatar juga berhasil mendapatkan kerjasama dibidang
non-energi seperti dalam sektor infrastruktur145 dan juga perbankan.146
143 Mintz dan DeRouen Jr., Understanding Foreign Policy Decision Making, 130. 144 Mustafa El Labbad dalam Jenan Amin, et.al., “Qatar: Aspirations and Realities”, Heinrich Böll
Kepentingan ekonomi yang dikejar Qatar dalam keterlibatannya di Libya
dapat terlihat dalam kerjasama ekonomi. Paska kepemimpinan Qaddafi, investasi
Qatar di Libya diketahui mencapai 10 miliar dollar AS. Selain itu terdapat
beberapa proyek kerjasama infrastruktur yang dikembangkan seperti
pembangunan hotel, komplek perumahan dan fasilitas hiburan. Proyek
pembangunan ini dijalankan dibawah kerjasama antara perusahaan Qatar – Barwa
Real Estate Company, dan perusahaan negara Libya – Libyan Development and
Investment Company.147
Masih dalam proyek infrastruktur, ALAQ juga membangun usaha
komplek perumahan mewah bernama “The Waterfront”. Selain itu, dalam sektor
penerbangan, Qatar Airways telah mengaktifkan operasi penerbangan Doha-
Benghazi sebanyak empat kali dalam seminggu.148 Jalinan kerjasama tersebut
menjadi bukti eratnya hubungan bilateral antara Qatar dengan pemerintah Libya.
2. Faktor Eksternal
Selain faktor internal terdapat juga faktor eksternal yang mampu
memengaruhi kebijakan luar negeri Qatar. Faktor eksternal ini dapat dilihat dari
lingkungan internasional sebuah negara.149 Adapun faktor eksternal yang
memengaruhi kebijakan luar negeri Qatar ialah struktur dalam sistem
internasional. Selain itu aliansi juga menjadi faktor yang memengaruhi Qatar
untuk memberikan bantuan kepada pihak NTC dalam krisis politik Libya.
146 Dominic Dudley, “A Force for Change”, 2011. Dalam Sara Pulliam, “Qatar’s Foreign Policy:
Building International Image”, Cairo: American University in Cairo, (Juni, 2013), 8. 147 Ward, “Amid “Divorce” Talk”, 4. 148 Ward, “Amid “Divorece” Talk”, 4. 149 Toma dan Gorman, International Relations: Understanding Global Issues, 121.
61
a. Struktur Sistem Internasional
Faktor eksternal pertama yang memengaruhi kebijakan luar negeri Qatar
ialah dengan melihat struktur dalam sistem internasional. Struktur sistem
internasional ini dapat dilihat tidak hanya dari tingkat global, tetapi juga dapat
dilihat secara regional.150 Dalam hal ini, struktur yang akan dilihat ialah struktur
yang terdapat dalam sistem regional, kawasan Timur Tengah.
Struktur dalam sistem internasional mengalami tranformasi yang membuat
kekuatan politik dalam sistem tersebut dapat berubah-ubah. Perubahan ini dapat
dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi negara hegemon yang melemah dan tidak
mampu lagi menunjang kebutuhan sebagai negara yang dominan. Hal ini akan
membuka peluang bagi negara-negara lain dengan perekonomian yang lebih
tinggi untuk menggantikan posisi tersebut.151
Struktur yang dapat berubah ini membuka kesempatan bagi negara kecil
untuk bersaing dalam meningkatkan kekuatan dan pengaruh dalam sistem
internasional. Kesempatan ini dapat terbuka lebar ketika negara dengan ukuran
geografis yang kecil memiliki sumber energi yang melimpah.152 Qatar menjadi
salah satu contoh negara yang berupaya untuk memanfaatkan kekayaan energinya
untuk meningkatkan kekuatan secara politik di kawasan.
Dalam hal ini, struktur multipolar yang ada dalam kawasan Timur Tengah
mendorong Qatar untuk mengejar keinginannya menjadi negara yang tidak hanya
kuat dalam ekonomi, tetapi juga dalam politik. Sebab, pola kekuatan Negara
dalam sistem internasional dapat berubah-ubah. Kemampuan ekonomi Qatar
150 Toma dan Gorman, International Relations: Understanding Global Issues, 122. 151 Pearson dan Rochester, Internastional Relations: The Global Condition in 21st Century, 188. 152 Ulrichsen, “Small States with a Big Role”, 10.
62
mendorong negara tersebut untuk mampu mengakomodasikan kebijakan-
kebijakan yang diterapkan.
Upaya Qatar untuk mencapai posisi dominan dalam perpolitikan kawasan
dapat terlihat sejak Qatar memosisikan diri sebagai mediator dalam konflik-
konflik kawasan seperti di Yaman, Lebanon, dan Sudan. Selanjutnya, strategi
politik luar negeri Qatar di kawasan dilanjutkan dalam intervensi di Libya.
Perubahan arah kebijakan ini menjadi bekal bagi Qatar untuk menunjukkan
kemampuannya dalam penyelesaian konflik-konflik di kawasan. Upaya tersebut
merupakan salah satu strategi state-branding Qatar dalam menerapkan kebijakan
luar negeri.
Keinginan Qatar untuk menjadi pemain dominan di kawasan juga dipicu
oleh posisi Qatar dalam sistem internasional pada tahun 1990an. Pada periode
tersebut, Qatar merupakan negara yang tidak cukup dikenal di dunia. Terdapat
istilah seperti “tempat yang paling membosankan di Teluk” dan “negara yang
tidak dikenal” untuk menggambarkan posisi Qatar pada saat itu. Hal ini didasari
pada posisi Qatar yang tidak aktif dalam berhubungan dengan negara-negara lain
dan memilih untuk berada di bawah kedudukan Arab Saudi.153
Namun, posisi Arab Saudi dalam upaya penyelesaian konflik semakin
pasif dan menyediakan celah bagi kepemimpinan di kawasan.154 Hal ini menjadi
kesempatan bagi Qatar sebagai negara dengan perekonomian yang maju untuk
mengisi celah tersebut dengan memainkan peran sebagai negara yang aktif dalam
upaya penyelesaian konflik-konflik kawasan.
153 David B. Roberts, “The Arab World’s Unlikely Leader: Embracing Qatar’s Expanding Role in
the Region”, Project on Middle East Democracy (Maret, 2012): 1. 154 Khatib, “Qatar’s Foreign Policy”, 419.
63
Posisi Qatar yang sempat menjadi negara yang tidak dikenal mendorong
negara tersebut untuk memiliki peran penting dalam sistem internasional di
kawasan. Pola kepemimpinan Arab Saudi di kawasan yang mulai melemah
membuka jalan bagi Qatar untuk menjadi salah satu negara yang dominan dalam
perpolitikan di Timur Tengah. Ambisi Qatar tersebut diupayakan dengan menjadi
mediator dan pemberi bantuan dalam konflik-konflik kawasan.
b. Aliansi
Faktor terakhir yang memengaruhi Qatar dalam memberikan dukungan
terhadap NTC ialah aliansi yang dibangun oleh Qatar dengan negara-negara Barat,
terutama AS. Bagi Mintz dan DeRouen, keinginan suatu negara untuk
menerapkan kebijakan tertentu harus juga mempertimbangkan aliansi yang dijalin
dengan negara atau organisasi lain. Aliansi militer dapat memengaruhi suatu
negara untuk mempertimbangkan pentingnya melakukan agresi atau intervensi
militer terhadap negara lain.155
Bentuk intervensi yang dilakukan oleh Qatar dalam krisis politik di Libya
salah satunya ialah melalui bantuan militer. Dalam memberikan dukungan
terhadap pihak NTC selama masa krisis, Qatar memberikan peralatan militer
seperti pesawat tempur dan rudal. Selain peralatan militer, Qatar juga membantu
mengirimkan pasukan militernya beserta penasihat militer dalam membantu pihak