Top Banner
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan RINGKASAN EKSEKUTIF Pertama – tama, kami mengucapkan puji dan syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT atas semua taufik, hidayah dan karunia yang kami terima selama ini terutama dalam rangka menyelesaikan kegiatan penelitian dan penulisan laporan ini. Laporan penelitian ini yang berjudul “Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Dalam Rangka Meningkatkan Usaha Ketenagalistrikan” diselesaikan dalam rangka kerjasama penelitian antara Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional, Departemen Keuangan RI dengan Center for Energy and Power Studies, PT. PLN (Persero). Dan secara garis besar laporan ini menyampaikan tentang hal – hal sebagai berikut : 1. Energi listrik merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan untuk menggerakkan roda perekonomian, baik bagi sektor rumah tangga untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, sektor industri untuk kegiatan produksi dan investasi, maupun sektor pemerintah untuk mendorong terciptanya kesejahteraan masyarakat. Kebutuhan energi listrik tersebut akan meningkat terus sejalan dengan perkembangan teknologi, sebab aktivitas para pelaku ekonomi dan penggunaan sarana kehidupan yang membutuhkan energi listrik. 2. Namun karena pasokan energi listrik saat ini belum mampu mengimbangi kebutuhan (permintaan) energi listrik, maka menimbulkan permasalahan kesenjangan (gap) antara jumlah pasokan lebih rendah dari pada jumlah permintaan energi listrik. Kesenjangan tersebut tidak akan pernah bisa ditutup apabila hanya mengandalkan dari tingkat pertumbuhan alamiah penyediaan listrik. Sementara itu, kepastian ketersediaan energi listrik merupakan prasyarat pokok bagi tumbuhnya investasi dan perkembangan perekonomian. i.1
144

Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Jun 26, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pertama – tama, kami mengucapkan puji dan syukur Alhamdulillah kepada

Allah SWT atas semua taufik, hidayah dan karunia yang kami terima selama ini

terutama dalam rangka menyelesaikan kegiatan penelitian dan penulisan laporan

ini.

Laporan penelitian ini yang berjudul “Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Dalam

Rangka Meningkatkan Usaha Ketenagalistrikan” diselesaikan dalam rangka

kerjasama penelitian antara Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama

Internasional, Departemen Keuangan RI dengan Center for Energy and Power Studies,

PT. PLN (Persero).

Dan secara garis besar laporan ini menyampaikan tentang hal – hal sebagai

berikut :

1. Energi listrik merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan untuk

menggerakkan roda perekonomian, baik bagi sektor rumah tangga untuk

pemenuhan kebutuhan sehari-hari, sektor industri untuk kegiatan produksi

dan investasi, maupun sektor pemerintah untuk mendorong terciptanya

kesejahteraan masyarakat. Kebutuhan energi listrik tersebut akan meningkat

terus sejalan dengan perkembangan teknologi, sebab aktivitas para pelaku

ekonomi dan penggunaan sarana kehidupan yang membutuhkan energi listrik.

2. Namun karena pasokan energi listrik saat ini belum mampu mengimbangi

kebutuhan (permintaan) energi listrik, maka menimbulkan permasalahan

kesenjangan (gap) antara jumlah pasokan lebih rendah dari pada jumlah

permintaan energi listrik. Kesenjangan tersebut tidak akan pernah bisa ditutup

apabila hanya mengandalkan dari tingkat pertumbuhan alamiah penyediaan

listrik. Sementara itu, kepastian ketersediaan energi listrik merupakan

prasyarat pokok bagi tumbuhnya investasi dan perkembangan perekonomian.

i.1

Page 2: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

3. Sehubungan dengan itu, diperlukan suatu langkah – langkah untuk (i)

menutup kesenjangan (gap) energi listrik yang terjadi saat ini, (ii) mencegah

terjadinya kesenjangan (gap) yang semakin besar dalam tahun-tahun

mendatang, dan (iii) meningkatkan sarana & prasarana untuk menutup

kesejangan (gap) energi listrik tersebut.

4. Untuk mensukseskan langkah - langkah tersebut maka dibutuhkan

ketersediaan dana atau investasi di sektor ketenagalistrikan. Mengingat saat ini,

kemampuan keuangan Pemerintah maupun PT. PLN sendiri belum

memungkinkan, maka wajar diperlukan peranan swasta baru (dalam negeri

maupun luar negeri) untuk berinvestasi di sektor tersebut.

5. Sampai saat sekarang, minat para swasta tersebut untuk berinvestasi dalam

proyek ketenagalistrikan masih rendah, utamanya karena keuntungan yang

diharapkan (expected rate of return) dari usaha tersebut relatif rendah.

Rendahnya keuntungan tersebut diperkirakan karena beberapa hal : (i) tarif

dasar listrik (TDL) yang belum kompetitif (rendah dan pemberlakuan uniform

rate khusus pelanggan rumahtangga) yang menyebabkan rendahnya kepastian

usaha listrik, dan (ii) biaya usaha yang kurang kompetitif dibanding usaha lain

di dalam negeri atau usaha yang sama di negara lain.

6. Dibutuhkan peran Pemerintah dalam menciptakan kondisi dan suasana

investasi yang dapat menarik swasta baru di sektor ketenagalistrikan. Salah

satu upaya Pemerintah adalah melakukan efisiensi dalam biaya usaha agar

harga jual dapat relatif rendah. Sehingga, kebijakan yang dilakukan untuk

mendorong usaha ketenagalistrikan harus terkait dengan dua hal, antara lain :

a) menciptakan kondisi dan suasana yang kondusif bagi investasi di sektor

kelistrikan, dan b) Penurunan dan efisiensi biaya produksi energi listrik di

semua tahapan proses produksi listrik.

7. Untuk diperlukan upaya Pemerintah untuk menghasilkan kebijakan ekonomi

yang dapat meningkatkan iklim dan realisasi investasi melalui : (i)

penyederhanaan prosedur perijinan, (ii) peninjau ulang insentif fiskal agar

i.2

Page 3: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

tepat sasaran, (iii) pengurangan tumpang – tindih kebijakan Pemerintah Pusat

& Daerah serta antra sektor, (iv) merevisi peraturan – peraturan yang kurang

mendorong kegiatan di ketenagalistrikan, (v) reformasi kelembagaan

penanaman modal, dan (vi) penanganan masalah – masalah investasi secara

tepat dan akurat.

8. Bentuk usulan insentif fiskal (hasil studi ini) yang diharapkan dapat

meningkatkan iklim investasi di bidang usaha ketenagalistrikan, antara lain : (i)

di bidang PPh : a) insentif REGIONAL dengan pembebasan PPh ≤ 60% dari

pendapatan untuk pengembangan usaha ketenagalistrikan; b) insentif

SEKTORAL bagi perusahaan bidang usaha strategis dan atau prioritas

pembangunan (termasuk ketenagalistrikan) dengan pembebasan PPh ≤ 10%

selama 5 – 10 tahun; c) insentif EKSPOR dan DAERAH PERDAGANGAN

BEBAS dengan pajak final ≤ 5% dari penghasilan bruto dengan komposisi : 3%

Pemerintah Pusat, 1% Pemerintah Daerah dan 1% untuk Dana Pembangunan,

dan d) pembebasan PPh atas keuntungan EKSPOR ≤ 30% selama 5 tahun untuk

mendorong ekspor dan daerah perdagangan bebas; (ii) di bidang PPN : a)

usaha ketenagalistrikan dapat ditetapkan sebagai BKP tertentu yang atas

penyerahannya DIBEBASKAN dari pengenaan PPN, b) barang modal berupa

mesin dan peralan pabrik untuk menghasilkan BKP tertentu yang bersifat

strategis atas impor dan atau penyerahannya DIBEBASKAN dari pengenaan

PPN; dan (iii) di bidang Kepabeanan : a) menggunakan mekanisme PP Nomor

42 Tahun 1995 : Pembebasan / Keringanan BM atas Impor; b) menggunakan

Pasal 26 Ayat 1 huruf j UU Nomor 10 Tahun 1995 : Barang oleh Pemerintah

Pusat dan Pemda ditujukan untuk kepentingan umum; c) merevisi PMK

47/PMK.04/2005 dengan menambah / memasukan industri ketegalistrikan ke

dalam daftar industri jasa yang mendapatkan fasilitas keringanan BM; d)

memberikan fasilitas BM khusus untuk usaha ketenagalistrikan; dan e)

menurunkan tarif BM barang modal untuk industri ketenagalistrikan dengan

memasukan harmonisasi tarif.

i.3

Page 4: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

9. Usulan bentuk – bentuk insentif fiskal untuk pemanfaatan sumber energi

terbarukan, yaitu : a) penurunan bea masuk; b) pemakaian muatan lokal; c)

penghapusan subsidi terhadap harga energi tidak terbarukan, dan d)

memasukkan harga lingkungan pada komponen biaya energi yang berasal dari

sumber daya tidak terbarukan.

Akhir kata, kami menyadari sepenuhnya bahwa setiap karya manusia tidak

luput dari kekhilafan (tidak ada gading yang tidak retak), sehingga kami selalu

terbuka dan tulus ikhlas menerima saran – saran maupun kritikan yang bersifat

kontrukstif guna perbaikan laporan ini.

Selanjutnya, kepada semua pihak yang berperan dalam mensukseskan

penulisan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih. Semoga hasil penelitian ini

dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi bangsa dan negara yang kita

cintai bersama.

Jakarta, Oktober 2005

Ketua Tim Penelitian dan Penulisan Laporan Purwiyanto

i.4

Page 5: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i.1

DAFTAR ISI i

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1

1.1 Latar Belakang Masalah 1.1

1.2 Tujuan Studi 1.6

1.3 Metodologi Penelitian 1.6

1.4 Output 1.7

BAB II LANDASAN TEORI : KESENJANGAN (GAP) ANTARA

PENYEDIAAN DENGAN PERMINTAAN PASAR

2.1

2.1 Kegagalan Pasar dan Kebijakan Insentif Dalam Rangka

Penyediaan Usaha Ketenagalistrikan

2.3

2.2 Penyediaan dan Permintaan Energi Listrik 2.4

2.2.1 Efek Subsidi Pemerintah 2.7

2.3 Insentif Fiskal dalam Rangka Mendorong Usaha

Ketenagalistrikan

2.8

2.3.1 Pengenaan Pajak (Misal : PPN) 2.9

2.3.2 Dampak Insentif Pemerintah terhadap Penurunan

Biaya Produksi

2.12

BAB III GAMBARAN UMUM KETENAGALISTRIKAN DI

INDONESIA

3.1

3.1 Profil Ketenagalistrikan 3.1

3.2 Produksi Listrik dan Pengunaan Bahan Bakar Sektor Listrik 3.3

3.3 Proyeksi Permintaan dan Penawaran Listrik 3.4

3.3.1 Potret Permintaan Tenaga Listrik 3.6

i

Page 6: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

3.3.2 Penawaran Tenaga Listrik 3.7

3.3.3 Transmisi Tenaga Listrik di Jawa-Bali 3.11

3.3.4 Transmisi Tenaga Listrik di luar Wilayah Jawa-Bali 3.12

3.4 Peluang dan Kendala Investasi di Bidang Ketenagalistrikan 3.12

BAB IV EXISTING FISCAL INSENTIF DAN KEBIJAKAN FISKAL KE

DEPAN DALAM MENDUKUNG INVESTASI

INFRASTRUKTUR KELISTRIKAN

4.1

4.1 Peluang Sumber Dana yang Dapat Dimanfaatkan Untuk

Investasi Kelistrikan Melalui Penerusan Pinjaman

(Subsidiary Loan Agreement)

4.1

4.2 Insentif Kebijakan Fiskal yang Masih Berlaku Sampai

dengan Tahun 2000

4.4

4.3 Fasilitas Insentif Kebijakan Fiskal yang Dapat Dimanfaatkan

oleh Investor Swasta di Bidang Kelistrikan Sampai dengan

Tahun 2000

4.9

4.4 Insentif Kebijakan Fiskal yang Diberlakukan Untuk

Investasi di Sektor Kelistrikan

4.10

4.5 Insentif Kebijakan Fiskal Berupa Fasilitas Pajak Penghasilan

(PPh) Untuk Mendorong Usaha dan Investasi Kelistrikan

Setelah Tahun 2001

4.14

4.5.1 Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu

dan atau di Daerah-Daerah Tertentu

4.15

4.5.2 Restrukturisasi Utang Usaha Melalui Lembaga

Khusus yang dibentuk Pemerintah

4.17

4.5.3 Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu(KAPET) 4.18

4.5.4 Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah (PPh

DTP) atas Hibah dan Pinjaman Luar Negeri

4.20

4.5.5 Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Pegawai 4.23

4.5.6 Restukturisasi Perusahaan 4.25

4.5.7 Penyusutan dan atau Pembebanan Biaya atas Biaya 4.27

ii

Page 7: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Pemakaian Telepon Seluler dan Kendaraan

Perusahaan

4.5.8 Angsuran Pembayaran PPh atas Selisih Lebih

Penilaian Kembali Aktiva Tetap

4.28

4.5.9 Pengecualian Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal

22 Impor

4.29

4.6 Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam Rangka

Meningkatkan Usaha dan Investasi Ketenagalistrikan

4.3.2

4.6.1 Fasilitas PPN yang diberlakukan oleh Pemerintah

Pada Periode Sebelum 1 Januari 2001

4.3.3

4.6.2 Fasilitas PPN yang diberlakukan oleh Pemerintah

Pada Periode Setelah 1 Januari 2001 sampai Dengan

Sekarang

4.3.4

4.6.3 Ketenagalistrikan dalam Rangka Proyek Pemerintah

yang dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman

Luar Negeri

4.3.5

4.6.4 Rencana Kebijakan Pemerintah dalam Rangka

Meningkatkan Usaha dan Investasi Ketenagalistrikan

4.3.6

BAB V KEBIJAKAN INSENTIF FISKAL & RENEWABLE RESOURCES

BIDANG KETENAGALISTRIKAN DI NEGARA-NEGARA

ASEAN

5.1

5.1 Kebijakan Insentif Fiskal di Beberapa Negara 5.1

5.2 Kebijakan Insentif Fiskal di Malaysia 5.1

5.2.1 Kebijakan Insentif Regional 5.1

5.2.2 Kebijakan Insentif Sektoral 5.2

5.2.3 Kebijakan Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan

Bebas

5.3

5.2.4 Kebijakan Insentif Lainnya 5.3

5.3 Kebijakan Insentif Fiskal di Filipina 5.4

5.3.1 Kebijakan Insentif Regional 5.4

iii

Page 8: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.3.2 Kebijakan Insentif Sektoral 5.5

5.3.3 Kebijakan Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan

Bebas

5.5

5.3.4 Kebijakan Insentif Lainnya 5.6

5.4 Kebijakan Insentif Fiskal di Singapura 5.6

5.4.1 Insentif Sektoral 5.6

5.4.2 Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan Bebas 5.8

5.4.3 Insentif Lainnya 5.8

5.5 Kebijakan Insentif Fiskal Thailand 5.9

5.5.1 Insentif Regional 5.9

5.5.2 Insentif Sektoral 5.11

5.5.3 Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan Bebas 5.11

5.5.4 Insentif Lainnya 5.12

5.6 Kebijakan Perlistrikan di Thailand 5.12

5.7 Kebijakan Perlistrikan di Vietnam 5.13

5.8 Kebijakan Perlistrikan di Malaysia 5.14

5.9 Kebijakan Perlistrikan di Filipina 5.15

5.10 Kebijakan Perlistrikan di India 5.17

5.11 Insentif Fiskal untuk Sumber Daya Terbarukan 5.28

5.11.1 Pendahuluan 5.28

5.11.2 Kondisi Indonesia 5.29

5.11.3 Energi Terbarukan sebagai Penggerak Roda

Ekonomi

5.31

BAB VI ANALISIS KEBUTUHAN INSENTIF FISKAL DI SEKTOR

KETENAGALISTRIKAN

6.1

6.1 Program Penyediaan Tenaga Listrik Periode 2004-2013

6.1.1 Rencana Pengembangan Pembangkit di Jawa,

Madura dan Bali

6.1

6.1.2 Rencana Pengembangan Pembangkit di Luar Jawa,

Madura dan Bali

6.1

iv

Page 9: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

6.1.3 Rencana Pengembangan Penyaluran di Jawa,

Madura dan Bali

6.1

6.1.4 Rencana Pengembangan Penyaluran di Luar Jawa,

Madura dan Bali

6.2

6.1.5 Rencana Pengembangan Distribusi di Jawa, Madura

dan Bali

6.2

6.1.6 Rencana Pengembangan Distribusi di Luar Jawa,

Madura dan Bali

6.3

6.2 Kebutuhan Dana dan Sumber Dana Investasi 6.3

6.2.1 Kebutuhan Dana Investasi di Jawa, Madura dan Bali 6.3

6.2.2 Kebutuhan Dana Investasi di Luar Jawa, Madura

dan Bali

6.4

6.3 Insentif fiskal yang Berlaku Saat Ini Bagi Industri

Ketenagalistrikan dan Kebutuhan ke Depan

6.4

6.3.1 Kebijakan Insentif Pajak yang Berlaku Saat Ini 6.5

6.4 Kebutuhan Dana Investasi Tahun 2004-2007 6.14

6.5 Dampak Pemberian Fasilitas Investasi Ketenagalistrikan 6.15

6.5.1 Potential Loss Terhadap Penerimaan Negara 6.15

6.5.2 Kenaikan pendapatan Domestik Bruto (PDB) 6.16

6.5.3 Kenaikan Kesejahteraan Masyarakat 6.16

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1

7.1 Kesimpulan 7.1

7.2 Saran dan Rekomendasi 7.6

7.2.1 Usulan Insentif Fiskal Untuk Investasi Infrastuktur

Ketenagalistrikan

7.6

7.2.2 Usulan Insentif Fiskal Untuk Pengembangan Energi

Terbarukan

7.7

v

Page 10: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Proyeksi Penawaran Energi Listrik yang Disesuaikan

dengan Capacity Factor 1990-2010 (Juta Gigajoules) 1.2

Tabel 3.1 Angka ROR Tahun 2000-2007 3.13

Tabel 3.2 Pelanggan PT. PLN Tahun 2000-2004 3.16

Tabel 4.1 Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap 4.5

Tabel 5.1 Kebijakan Insentif Fiskal : Bidang Ketenagalistrikan di

Negara-Negara ASEAN 5.18

Tabel 5.2 Kebijakan Insentif Fiskal : Bidang Ketenagalistrikan di

Negara-Negara ASEAN 5.20

Tabel 5.3 Kebijakan Insentif Fiskal : Bidang Ketenagalistrikan di

Negara-Negara ASEAN 5.21

Tabel 5.4 Kebijakan Insentif Fiskal : Bidang Ketenagalistrikan di

Negara-Negara ASEAN 5.23

Tabel 5.5 Kebijakan Insentif Fiskal : Bidang Ketenagalistrikan di

Negara-Negara ASEAN 5.24

Tabel 5.6 Fiscal Incentives for Renewable Resources Based Electricity 5.31

Tabel 6.1 Kebutuhan Dana Investasi Tahun 2003-2007

(Fixed Asset-US$ Juta) 6.15

Tabel 6.2 Potential Loss Sektor Pajak Yang Ditanggung Pemerintah

Selama Lima Tahun 6.15

Tabel 7.1 Usulan Bentuk-Bentuk Insentif Fiskal Untuk Pemanfaatan

Sumber Daya Terbarukan 7.10

vi

Page 11: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Subsidi dalam Rangka Penyediaan Energi Listrik 2.5

Gambar 2.2 Kasus Permintaan Elastis 2.9

Gambar 2.3 Kasus Permintaan Tidak Elastis 2.10

Gambar 2.4 Biaya Produksi dan Pasar Energi Listrik 2.14

Gambar 3.1 Profil Kebutuhan Tenaga Listrik Tahun 2001-2013 3.1

Gambar 3.2 Profil Kebutuhan Listrik Per Wilayah Tahun 2004-2010 3.2

Gambar 3.3 Diversifikasi Bahan Bakar Sektor Listrik 3.3

Gambar 3.4 Pertumbuhan Permintaan dan Penawaran Tenaga Listrik 3.5

Gambar 4.1 Perbandingan Tarif Efektif PPh Badan di Beberapa Negara

Pada Berbagai Tingkat Pendapatan 4.5

vii

Page 12: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Tambahan Kapasitas Pembangkit IPP / Pemda

Lampiran 2 Tambahan Kapasitas Pembangkit Proyek PLN

Lampiran 3 Parameter Kandidat Pembangkit

Lampiran 4 Asumsi Harga Bahan Bakar

Lampiran 5 PLN & Private Projects Committed

Lampiran 6 On Going Projects : Proyek Pembangkit PLN / IPP / Pemda

Lampiran 7 Kapasitas Terpasang

Lampiran 8 Proyeksi Kebutuhan Bahan Bakar

Lampiran 9 Komposisi Produksi Menurut Jenis Energi Primer

Lampiran 10 Regional Balance Tahun 2008

Lampiran 11 Kebutuhan Investasi Untuk Fasilitas Pembangkit, Penyaluran

Dan Distribusi

Lampiran 12 Rencana Penambahan Kapasitas

Lampiran 13 Pokok – pokok Pikiran Narasi Gabungan Perubahan

UU Perpajakan

Lampiran 14 Pokok – pokok Pikiran Perubahan UU PPh

Lampiran 15 Pokok – pokok Pikiran Perubahan UU PPN & PPNBM

Lampiran 16 Keputusan Menteri ESDM Nomor : 0002 Tahun 2004 Tentang

Kebijakan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi (Pengembangan

Energi hijau)

Lampiran 17 Keputusan Menteri ESDM Nomor : 1122K/30/MEM/2002 Tentang

Pedoman Pengusahaan Pembangkit Tenaga Listrik Skala Kecil

Tersebar

Lampiran 18 Kebijaksanaan, Peraturan & Prosedur : Tata cara Perencanaan,

Pelaksanaan / Penatausahaan, Dan Pemantauan Pinjaman / Hibah

Luar negeri Dalam Rangka Pelaksanaan APBN

vii

Page 13: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

BAB I

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan

Energi listrik merupakan salah satu unsur yang sangat diperlukan bagi

jalannya roda perekonomian, baik bagi sektor rumah tangga untuk pemenuhan

kebutuhan sehari-hari, perusahaan untuk kegiatan produksi dan investasi, maupun

bagi pemerintah untuk mendorong terciptanya kesejahteraan masyarakat. Keperluan

tersebut meningkat sejalan dengan perkembangan teknologi, karena banyaknya

kegiatan produksi dan penggunaan sarana kehidupan berteknologi tinggi yang

menggunakan listrik.

Dari hasil studi Arsyad (1994) mengenai hubungan kausalitas antara

pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi di Indonesia terlihat bahwa aktifitas

ekonomi akan mempengaruhi tingkat konsumsi energi, namun tidak sebaliknya.

Dengan demikian, mengingat kebutuhan akan pertumbuhan ekonomi bersifat terus

menerus, maka scarcity problem akan berlaku secara alamiah dalam usaha

ketenagalistrikan. Konsekuensi dari kondisi tersebut adalah terdapatnya gap atau

kesenjangan antara penyediaan energi listrik dengan kebutuhan yang cukup besar

dan cenderung membesar di masa depan, yang dapat menyebabkan melemahnya

aselerasi perkembangan ekonomi, sehingga tidak tercapainya tingkat pertumbuhan

ekonomi yang sustainable pada tingkat 6% per tahun.

Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan, secara garis besar dapat

disimpulkan bahwa dalam tahun-tahun mendatang akan terjadi krisis energi listrik,

karena pasokan energi listrik tidak mampu mengimbangi permintaan energi listrik.

Selisih antara pasokan dan permintaan energi listrik (kesenjangan) tersebut tidak

pernah bisa dipenuhi kalau hanya mengandalkan tingkat pertumbuhan alamiah dari

penyediaan tenaga listrik. Sementara itu, kepastian ketersediaan energi listrik

merupakan prasyarat pokok bagi tumbuhnya investasi dan perkembangan

perekonomian. Sehubungan dengan itu, diperlukan suatu langkah besar untuk (i)

menutup kesenjangan pasokan energi listrik yang terjadi saat ini, dan (ii) mencegah

1.1

Page 14: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

terjadinya kesenjangan yang semakin besar dalam tahun-tahun mendatang (lihat

Tabel 1.1).

Penentu utama dari suksesnya langkah besar untuk mengatasi kesenjangan

penyediaan energi listrik adalah ketersediaan dana investasi di sektor pembangkitt

tenaga listrik. Namun demikian, kemampuan keuangan negara maupun PT. PLN

untuk berinvestasi di sektor ketenagalistrikan tidak mencukupi sehingga diperlukan

peran investor swasta baru dari dalam maupun luar negeri.

Tabel 1.1 :

Proyeksi Penawaran Energi Listrik Yang Disesuaikan Dengan Capacity Factor 1990 – 2010 (Juta Gwh)

Tahun No Uraian 1995 2000 2005 2010*

1 Diesel 11,12 12,91 14,88 15,29 2 Uap 56,53 65,61 75,63 77,70 3 Air 18,02 20,91 24,10 24,76 4 Gas turbin 2,63 3,05 3,52 3,62 5 Panas Bumi 4,19 4,87 5,61 5,76 6 Gas Uap 20,98 24,34 28,06 28,83 7 Total Supply 114,04 132,34 152,56 156,72** 8 Energy Demand 249,40 289,42 333,63 382,71** 9 Perkiraan Kesenjangan 135,36 157,08 181,07 225,99

Sumber : Ismalina, 1997, diolah. * RUPTL Tahun 2004 – 2013 Jawa, Madura, Bali. ** PLTU + Captive

Di sisi lain, minat investor swasta untuk menanamkan dananya dalam proyek

pengembangan ketenagalistrikan masih rendah, utamanya karena keuntungan yang

diharapkan (expected rate of return) dari kegiatan tersebut relatif rendah. Rendahnya

keuntungan tersebut utamanya terkait dengan hal-hal, antara lain : (i) tarif dasar

listrik (TDL) yang belum kompetitif (rendah dan pemberlakuan uniform rate) yang

menyebabkan rendahnya kepastian usaha listrik, dan (ii) biaya usaha yang kurang

kompetitif dibanding usaha lain di dalam negeri atau usaha yang sama di negara

lain.

Untuk itu, diharapkan peran Pemerintah untuk menciptakan kondisi dan

suasana investasi yang dapat menarik investor baru di bidang ketenagalistrikan.

Salah satu upaya untuk menarik investor baru tersebut adalah melakukan efisiensi

1.2

Page 15: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

dalam biaya usaha agar harga jual dapat relatif rendah. Dengan demikian, langkah

kebijakan yang dilakukan untuk mendorong usaha di bidang ketenagalistrikan harus

terkait dengan dua hal, antara lain : a) menciptakan kondisi dan suasana yang

kondusif bagi investasi di sektor kelistrikan, dan b) Penurunan dan efisiensi biaya

produksi energi listrik di semua tahapan proses produksi listrik.

Tarif dasar listrik (TDL) pada dasarnya merupakan instrumen yang bisa

mempengaruhi sisi permintaan dan penawaran listrik. Dari sisi permintaan akan

listrik, TDL yang menguntungkan bagi masyarakat pada umumnya adalah tarif yang

murah. Sementara dari sisi penawaran akan listrik, TDL yang menguntungkan bagi

produsen listrik adalah tarif yang dapat memberikan keuntungan yang layak. Dalam

rangka mempertemukan (mengakomodir) kedua kepentingan tersebut maka sejak

awal krisis ekonomi hingga tahun 2005 ini, Pemerintah bersama PT. PLN (dengan

persetujuan DPR Pusat) telah beberapa kali melakukan penyesuaian terhadap TDL

per kelompok pelanggan.

Namun demikian, kebijakan penyesuaian terhadap besarnya TDL yang berlaku

sampai saat ini nampaknya belum mencerminkan tarif listrik yang kompetitif.

Karena sejauh ini, besarnya TDL yang diberlakukan oleh PT. PLN masih relatif

rendah apabila dikonversikan dengan mata uang dolar AS. Besarnya TDL rata-rata

yang ditetapkan pemerintah pada masa sebelum terjadinya krisis ekonomi dan

moneter sudah mencapai sekitar US$3 sen/kWh. Sejalan dengan depresiasi mata

uang rupiah terhadap dolar AS, maka besarnya TDL rata-rata tersebut merosot

menjadi sekitar US$7 sen/kWh. Berkenaan dengan kenaikan TDL pada tahun 2000

dan 2001, besarnya TDL rata-rata pada tahun 2001 naik menjadi US$3,31 sen/kWh.

Namun, besarnya harga jual rata-rata tetap di bawah harga pokok penjualan (HPP),

yang mencapai US$4.03 sen/kWh. Hal tersebut menyebabkan kepercayaan investor

ketenagalistrikan menjadi rendah, kerena TDL yang lebih rendah dari HPP pada

dasarnya akan mempersulit keuangan PT. PLN. Sementara itu, output investor

ketenagalistrikan harus dijual kepada PT. PLN yang kondisinya kurang

menguntungkan tersebut.

1.3

Page 16: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Di samping masalah besarnya TDL yang hanya sekitar 25% dari biaya

recoverynya, masalah lain yang masih dihadapi oleh PT. PLN adalah diterapkannya

sistem tarif uniform rate khusus pelanggan rumahtangga untuk semua jam

pemakaian listrik, sehingga tidak ada pembedaan besarnya TDL untuk pemakaian

pada waktu beban puncak (peak load) dan pemakaian pada waktu di luar beban

puncak (siang hari). Padahal sudah bisa diduga bahwa pada masa beban puncak,

biaya operasional yang harus ditanggung oleh PT. PLN akan jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan biaya operasional pada masa bukan beban puncak. Oleh sebab

itu, besarnya TDL yang diberlakukan tersebut juga merupakan salah satu faktor

kurang menariknya investasi di sektor kelistrikan.

Faktor penyebab lainnya adalah masih terjadinya in efisiensi dalam proses

produksi listrik karena high cost economy, yang artinya biaya yang diperlukan untuk

kegiatan produksi cenderung tinggi secara alamiah, dan pada akhirnya dapat

menciptakan kondisi dan suasana investasi menjadi tidak kondusif. Padahal,

investor swasta baru memerlukan kondisi dan suasana yang kondusif guna

mendukung kegiatan investasi tersebut1.

Dari dua sumber permasalahan tersebut, nampaknya tarif harga jual listrik

yang rendah relatif sulit untuk diselesaikan dalam jangka pendek, mengingat tarif

harga jual listrik sejauh ini dianggap sebagai barang strategis yang mempunyai

pengaruh sosial-politis terhadap masyarakat. Permasalahan yang lebih berpeluang

untuk dicari solusinya adalah relatif tingginya biaya. Oleh sebab itu, faktor penting

yang diperlukan untuk menarik investor swasta baru di sektor kelistrikan adalah

pandangan Pemerintah terhadap strategisnya persoalan kelistrikan di masa depan,

serta goodwill Pemerintah untuk mendorong perkembangan kondisi dan suasana

investasi menjadi kondusif. Hal tersebut menjadi makin penting sejalan dengan

adanya kenyataan bahwa keuangan PLN tidak akan mampu mendukung

pembiayaan penyediaan listrik yang mencapai sekitar US$ 750 juta/ tahun (World

Bank).

1Hasil studi BAF – CEPS 2004, dan laporan Bank Dunia dalam CGI meeting secara eksplisit menyampaikan bahwa daya saing iklim investasi di Indonesai ermasuk yang terendah.

1.4

Page 17: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Mengingat, untuk saat ini kebutuhan dana investasi di sektor ketenagalistrikan

lebih banyak diharapkan dari investor swasta, maka daya saing ekonomi dari usaha

ketenagalistrikan tersebut harus dikembangkan. Hal tersebut terkait dengan hasil

studi Badan Analisa Fiskal (BAF) Departemen Keuangan dan CEPS tahun 2004, yang

menyatakan bahwa daya saing dunia usaha dalam negeri sudah tidak kompetitif lagi

apabila dibandingkan dengan kondisi di negara-negara lain. Pengertian

“competitiveness” mengandung arti yang sangat luas, yaitu sesuatu yang berkaitan

dengan usaha suatu negara menciptakan dan memelihara daya saing dunia usaha

dalam negeri (World Competitiveness Yearbook, 2003)2. Secara umum terdapat empat

faktor yang mempengaruhi daya saing dalam suatu bangsa, yaitu : (i) kinerja

perekonomian, (ii) efisiensi pemerintah, (iii) efisiensi dunia usaha, dan (iv) kondisi

infrastruktur3.

Salah satu langkah penting yang memungkinkan dilaksanakan pemerintah

untuk memperbaiki daya saing iklim investasi di Indonesia adalah memberikan

insentif bagi usaha ketenagalistrikan, sehingga masalah dan potensi masalah yang

mungkin timbul dapat diminimalisir. Insentif tersebut dapat dilakukan melalui

berbagai instrumen kebijakan yang diambil Pemerintah, misalnya kebijakan sektor

riil melalui berbagai kemudahan ekspor-impor, sektor moneter melalui penetapan

tingkat bunga yang bersaing, maupun melalui berbagai kebijakan fiskal, baik sisi

belanja, pendapatan, maupun pembiayaan. Namun demikian, sifat investasi di

sektor ketenagalistrikan merupakan investasi bernilai besar dan berjangka waktu

panjang, maka campur tangan pemerintah melalui kebijakan fiskal dapat lebih

efektif, di samping penerapan kebijakan lain. Kebijakan fiskal yang bisa dilakukan

dalam hal ini tidak terbatas pada instrumen perpajakan saja, namun, berupa

kebijakan fiskal dalam arti yang lebih luas seperti privatisasi dan/atau kebijakan

penyertaan modal negara pada sisi belanja negara.

Selanjutnya, permasalahan penting dalam studi ini adalah :

a. Apa saja kebijakan fiskal yang dapat mendorong investasi, khususnya untuk

tenaga listrik sesuai peraturan perundangan yang berlaku,

2Institute for Management Development, 2003. 3Idem.

1.5

Page 18: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

b. Benefit cost analysis kebijakan fiskal untuk mendorong investasi tenaga listrik,

c. Pengaruh kebijakan yang dipilih terhadap perkembangan pasokan,

d. Apa rekomendasi kebijakan fiskal yang dapat mendorong investasi

ketenagalistrikan yang minimal dead weight loss-nya

I.2. Tujuan Studi

Kajian mengenai alternatif kebijakan fiskal untuk mendorong investasi di

sektor ketenagalistrikan bertujuan, antara lain untuk :

(1) Menginventarisir kebijakan fiskal yang dapat mendorong investasi, khususnya

investasi di sektor ketenagalistrikan;

(2) Menganalisis dan mengevaluasi (benefit cost analysis) kebijakan fiskal untuk

mendorong investasi di sektor tenaga listrik; dan

(3) Memberikan rekomendasi pilihan kebijakan fiskal yang dapat mendorong

investasi di sektor ketenagalistrikan tanpa menyebabkan misalokasi sumber

daya (minimal dead weight loss).

I.3. Metodologi Penelitian

Studi ini akan dilakukan melalui metodologi kuantitatif dan kualitatif-

deskriptif, yaitu dalam bentuk studi pustaka maupun pengolahan data kuantitatif.

Kajian kualitatif tersebut antara lain berupa review kebijakan ketenagalistrikan, dan

kajian perundang-undangan, seperti review undang-undang perpajakan dan

undang-undang ketenagalistrikan, beserta peraturan pelaksanannya. Selanjutnya,

kajian kuantitatif dan analisis data dilakukan untuk memperkirakan kebutuhan

tenaga listrik dan penawaran tenaga listrik di waktu mendatang, mengkaji dampak

kebijakan perpajakan pada biaya investasi ketenagalistrikan, dan dampak makro

dari kebijakan fiskal tersebut.

Kajian pustaka akan memberikan landasan teori bagi analisis kuantitatif,

sekaligus membandingkan fakta empiris yang telah diterapkan di negara lain.

Sementara itu, review perundang-undangan memberikan landasan hukum (legal

standing) bagi berbagai alternatif dan rekomendasi kebijakan. Peraturan

perundangan yang terkait dalam hal ini antara lain undang-undang keuangan

1.6

Page 19: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

negara, undang-undang ketenagalistrikan, undang-undang tentang investasi, dan

undang-undang tentang perpajakan, beserta peraturan pelaksanaannya.

Sementara itu, analisis data kuantitatif akan memberikan simulasi dampak

kebijakan yang akan diambil. Dengan menggunakan data-data tentang

ketenagalistrikan, seperti statistik ketenagalistrikan, dan statistik PLN, maupun data-

data dari luar negeri, dengan dibantu model-model statistik, persamaan simultan,

maupun keseimbangan umum, diharapkan dapat memprediksikan dampak

kebijakan-kebijakan tersebut terhadap perekonomian. Dengan demikian, alternatif

kebijakan yang direkomendasikan sudah merupakan alternatif-alternatif yang

optimal, baik dari sisi fiskal, pertumbuhan ekonomi nasional maupun sektoral, dan

kepentingan masyarakat secara umum.

Tahap analisis yang akan dilakukan adalah:

1) Melakukan evaluasi penyebab terjadinya kesenjangan,

2) Memperkirakan berapa biaya yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan

sebagaimana yang diharapkan,

3) Alternatif peluang yang paling mungkin untuk menutup kekurangan biaya

tersebut, dan

4) Bentuk insentif apa yang bisa diberikan sesuai dengan peraturan yang berlaku,

atau insentif baru seperti di negara lain.

I.4. Output

Dari studi ini diharapkan dapat dihasilkan output, yaitu dalam bentuk:

a. Dampak kebijakan fiskal pada biaya investasi ketenagalistrikan?

b. Analisis dan evaluasi kebijakan fiskal untuk mendorong investasi di sektor

tenaga listrik berdasarkan benefit cost analysis

c. Rekomendasi terhadap bentuk-bentuk kebijakan fiskal yang dapat mendorong

mendorong investasi dengan meminimalisir misalokasi sumber daya (minimal

dead weight loss), terutama di bidang (i) perpajakan, (ii) penyertaan modal

negara (government investment), dan (iii) privatisasi.

1.7

Page 20: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

BAB II

LANDASAN TEORI : KESENJANGAN (GAP) ANTARA PENYEDIAAN

DENGAN PERMINTAAN LISTRIK

Energi / tenaga listrik di jaman sekarang termasuk dalam kebutuhan primer

bagi masyarakat luas (konsumen), mengingat hampir semua peralatan yang

dipergunakan dalam rumahtangga telah menggunakan energi listrik. Oleh karena

itu, penyediaan energi listrik mutlah diperlukan dalam rangka menjamin

tercapainya sasaran pertumbuhan ekonomi dan mencapai kesejahteraan masyarakat.

Di beberapa negara, mati listrik bahkan sudah dianggap sebagai bencana nasional,

mengingat besarnya kerugian yang ditimbulkannya.

Selain itu, sebagian besar kegiatan ekonomi sangat tergantung pada

penyediaan energi listrik, misalnya industri manufaktur, industri jasa, industri

transportasi, perdagangan, pendidikan, dan sebagainya. Menurut Arsyad (1994),

terdapat hubungan kausalitas antara pertumbuhan ekonomi dengan konsumsi

energi (khususnya listrik), yang artinya semakin tinggi pertumbuhan ekonomi yang

dicapai, semakin tinggi pula tingkat kebutuhan energi listrik. Sejalan dengan hal itu,

Pusat Informasi Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (2003)

menyatakan bahwa peningkatan PDB yang sustainable sebesar 6 persen/tahun

dalam 10 tahun ke depan akan meningkatkan pertumbuhan kebutuhan energi listrik

sebesar 9% per tahun.

Namun permasalahan yang terjadi saat adalah penyediaan (daya terpasang)

energi listrik dan pertumbuhannya belum mampu memenuhi kebutuhan

(permintaan) masyarakat sehingga menimbulkan kesenjangan (gap) antara

penyediaan dan permintaan energi listrik yang semakin besar di tahun mendatang.

Hal tersebut pernah disampaikan dalam hasil penelitian Badan Analisa Fiskal

Departemen Keuangan (2001) bahwa wilayah Jawa – Bali mengalami krisis listrik

karena tingkat cadangan (reserve margin) yang baru mencapai 24,8%, padahal

seharusnya sebesar 30% untuk tingkat cadangan yang aman.

2.1

Page 21: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Dengan kata lain, terdapatnya gap antara penyediaan dengan permintaan

tenaga listrik merupakan masalah penting sekarang dan di masa depan. Masalah

kesenjangan tersebut disebabkan oleh adanya kendala dan atau hambatan -- yang

salah satunya -- adalah kekurangan investasi di bidang kelistrikan. Menurut

informasi yang dapat dikumpulkan bahwa terhambatnya kegiatan investasi di sektor

ketenagalistrikan di Indonesia saat ini antara lain disebabkan :

1. Rendahnya kemampuan keuangan negara maupun PT. Perusahaan Listrik

Negara (PLN) Persero untuk meningkatkan usaha ketenagalistrikan (seperti

usaha penyediaan pembangkit tenaga listrik maupun usaha – usaha penunjang

tenaga listrik); dan

2. Rendahnya minat investor (swasta) untuk berinvestasi dalam usaha kelistrikan

karena faktor ekspektasi keuntungan investasi yang rendah. Ekspektasi

tersebut dikarenakan penjualan listrik di Indonesia kepada konsumen oleh PLN

belum bisa didasarkan pada harga pasar, tetapi didasarkan pada SDL yang

diatur oleh pemerintah. Selain itu TDL yang berlaku masih menggunakan

sistem uniform rate untuk semua jam pemakaian listrik sehingga penentuan tarif

dasar listrik (TDL) belum mencerminkan harga pasar dan biaya. Sementara dari

sisi yang lain, biaya investasi usaha ketenagalistrikan yang masih kurang

kompetitif (high cost economy).

Oleh karena itu, pilihan yang memungkinkan untuk dilaksanakan saat ini

adalah memperbaiki iklim investasi di Indonesia dan bila perlu memberikan insentif

fiskal bagi usaha ketenagalistrikan. Berbagai insentif yang dapat diberikan

pemerintah bagi investor di sektor usaha ketenagalistrikan melalui kebijakan di

sektor riil seperti kemudahan melakukan ekspor – impor, kebijakan disektor moneter

seperti penetapan suku bunga yang kompetitif serta kebijakan fiskal melalui

instrumen di bidang perpajakan, non perpajakan dan bea masuk. Mekanisme lain

saat ini sedang diperkenalkan oleh Bank Dunia (World Bank) adalah Penjamin

Penerimaan (Revenue Guaranteed).

2.2

Page 22: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

2.1. Kegagalan Pasar dan Kebijakan Insentif Dalam Rangka Penyediaan Usaha

Ketenagalistrikan

Pasar dapat melakukan alokasi sumber daya secara efisien, apabila semua

asumsi-asumsinya terpenuhi, antara lain : para pelaku ekonomi (produsen) bersifat

rasional, memiliki informasi sempurna, barang (output) bersifat privat, pasar

bersaing sempurna dan proses pertukaran tidak dibatasi oleh waktu dan tempat.

Namun dalam kenyataannya, asumsi-asumsi tersebut tidak dapat dipenuhi

terutama dalam hal penyediaan listrik di Indonesia sehingga terjadi kegagalan pasar

dalam usaha kelistrikan. Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya

kegagalan pasar dalam usaha penyediaan tenaga listrik, antara lain :

1. Informasi tidak sempurna karena ketidak-tahuan tentang jumlah dan kualitas

barang (tenaga listrik) yang digunakan oleh konsumen sehingga untuk

mendapatkan informasi tersebut yang detail perlu tambahan biaya;

2. Terdapat persaingan yang tidak sempurna (Inperfect Competition) dalam

penyediaan tenaga listrik (sesuai dengan UU masih menunjuk PT PLN) sebagai

pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan dan pemegang ijin usaha

ketenagalistrikan. Jadi, produsen tenaga listrik (PT. PLN) merupakan satu-

satunya perusahaan yang ditetapkan pemerintah dengan UU untuk memasok

tenaga listrik sehingga BUMN tersebut seharusnya sangat mampu

mempengaruhi pasar dengan menentukan tingkat harga (dalam bentuk TDL).

3. Namun, tenaga listrik di dalam negeri dikategorikan sebagai barang semi public good,

sehingga Pemerintah memberikan subsidi untuk pengadaan tenaga listrik. Seharusnya

tenaga listrik merupakan barang private, artinya setiap masyarakat yang menggunakan

tenaga listrik harus membayar (ada pengorbanan) sesuai dengan harga pasar yang

mencerminkan harga pokok produksi dan manfaatnya.

4. Kegagalan pasar dalam penyediaan listrik ini menuntut intervensi pemerintah untuk

menyediakannya. Akan tetapi, karena keterbatasan kondisi keuangan negara, maka

intervensi tersebut diwujudkan dalam bentuk pemberian insentif yang dapat

memberikan rangsangan ataupun penciptaan iklim usaha yang kondusif di bidang

investasi penyediaan listrik.

2.3

Page 23: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Didalam teori ekonomi dikenal dengan konsep insentif dengan konotasi

posistif berupa reward maupun konotasi negatif berupa cost / penalty / disincentive

yang dapat mempengaruhi masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya baik

sebagai pelaku ekonomi maupun sebagai pengelola impact and incident atas

perilakunya.

Keputusan para pelaku ekonomi pada umumnya ditentukan oleh net expected

incetives yang akan diterimanya, baik yang sifatnya material maupun non material,

sehingga keputusan para pelaku ekonomi dapat berubah apabila terdapat perubahan

insentif. Untuk itu, setiap kebijakan pemerintah / ekonomi / pembangunan perlu

memperhitungkan unsur insentif yang secara rasional dapat mengarahkan perilaku

masyarakat sesuai tujuan yang diinginkan.

Dengan demikian, kesenjangan antara penyediaan dan permintaan masyarakat

akan listrik dapat diselesaikan melalui penambahan investasi di sektor listrik

sepanjang sistem insentif yang diharapkan para pelaku ekonomi dapat melampaui

net expected incentives. Dalam hal ini, kesenjangan (gap) listrik dapat diminimalisir

melalui pembangunan infrastruktur atau investasi di sektor pembangkit listrik.

2.2. Penyediaan dan Permintaan Energi Listrik

Energi listrik termasuk barang ekonomis yang mengikuti hukum permintaan

dan penawaran. Namun yang perlu mendapat perhatian bahwa listrik merupakan

salah satu barang yang termasuk dalam kategori ”administered price”, yaitu barang

yang harganya diatur oleh kebijakan pemerintah, bukan oleh produsen sepenuhnya.

Misalnya, harga jual energi listrik per unit ditetapkan lebih rendah daripada biaya

produksi per unitnya. Oleh karena itu, untuk menghindari kerugian serta

mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan (PT. PLN) maka Pemerintah

mempunyai kewajiban untuk memberikan subsidi kepada produsen. Subsidi

merupakan salah satu bentuk transfer pendapatan dari Pemerintah kepada produsen

maupun konsumen (masyarakat), sebagai akibat adanya perbedaan harga jual

barang dan jasa yang lebih rendah di pasar dibandingkan dengan biaya

produksinya.

2.4

Page 24: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Kurva permintaan pada gambar 2.1 menjelaskan bagaimana keinginan

konsumen untuk membeli pada berbagai tingkat harga yang dipengaruhi oleh

pendapatan per kapita dan harga barang itu sendiri, sehingga bentuk kurva

permintaan miring dari kiri atas ke kanan bawah. Kemiringan tersebut mengikuti

”hukum permintaan” dimana konsumen biasanya akan membeli lebih banyak jika

harganya lebih murah dan akan membeli lebih sedikit apabila harga lebih mahal.

Gambar 2.1.

Subsidi Dalam Rangka Penyediaan Energi Listrik

0 Q2 QPasar QSubsidi

ESubsidi

EPasarSubsidi

S1

S0

S0

D

D

TDL

PPasar

P2 S1

Qt

Keterangan : P0 = Harga keseimbangan pasar TDL < P0 sehingga terdapat Gap (shortage) sebesar Q2Q1. Langkah yang bisa ditempuh adalah menetapkan TDL ≥ P0 atau subsidi untuk menggeser kurva supply S0 ke S1

Kurva penawaran pada gambar 2.1 menjelaskan keinginan produsen untuk

menjual barang pada berbagai tingkat harga. Bentuk kurva penawaran miring dari

kiri bawah ke kanan atas menunjukkan bahwa semakin tinggi harga barang tersebut

maka semakin tinggi keinginan produsen untuk memproduksi dan menjual

barangnya. Kenaikan harga suatu barang akan berkecenderungan untuk

meningkatkan produksi barang tersebut. Dalam jangka pendek adalah dengan

peningkatan penggunaan kapasitas melalui penggunaan tenaga kerja tambahan

atau dengan menambah jam kerja, sedang dalam jangka panjang dapat dilakukan

dengan memperluas skala pabrik. Tingginya harga juga akan menarik perusahaan

2.5

Page 25: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

untuk masuk ke pasar sehingga jumlah penjual bertambah dan barang yang

ditawarkan meningkat.

Dalam kondisi keseimbangan pada gambar 2.1., menunjukkan kedua kurva

permintaan dan penawaran akan berpotongan pada suatu titik tertentu, yaitu pada

titik E yang merupakan titik keseimbangan dimana harga keseimbangan adalah P0,

dan jumlah barang keseimbangan sebesar Q0. Dalam kondisi tersebut, tingkat harga

dan kuantitas yang berlaku sesuai dengan harga pasar, dimana tingkat harga telah

mencerminkan harga pokok produksi dan benefit dari konsumsi. Mekanisme pasar

adalah kecenderungan dalam pasar dimana harga barang terus berubah sampai

tercapai posisi keseimbangan (jumlah barang yang diminta = jumlah barang yang

ditawarkan). Pada kondisi keseimbangan (di titik E0), tidak terjadi kelebihan

maupun kekurangan barang sehingga tidak ada tekanan pada harga untuk berubah

lagi.

Namun sesuai dengan kondisi yang ada, harga jual listrik ditentukan oleh

Pemerintah melaui penetapan TDL (harga adalah P1). Pada harga P1 produsen

menghasilkan output sebesar Q2 lebih rendah dari yang dibutuhkan oleh konsumen

Q1. Dalam kondisi tersebut terjadi kekurangan penyediaan barang (excess demand

shortage). Untuk itu, biasanya Pemerintah menempuh kebijakan harga tertinggi

(ceiling price) pada P1. Kebijakan ini bertujuan agar harga listrik dapat terjangkau oleh

masyarakat luas. Namun dengan dipilihnya kebijakan tersebut, Pemerintah

menyadari dampak yang akan terjadi adalah excess demand. Guna menghindari

kerugiaan yang besar dan atau untuk mempertahankan kelangsungan hidup

produsen maka Pemerintah menempuh kebijakan subsidi (negative tax). Besarnya

subsidi listrik yang diberikan oleh Pemerintah kepada produsen (PT. PLN)

diharapkan mampu menambah suplai dari Q2 menjadi Q1 (gambar 2.1.). Pemberian

subsidi ini akan menggeser kurva penawaran dari S0 ke S1 dan keseimbangan terjadi

pada titik E1.

Selain kebijakan subsidi, kebijakan lain yang dapat ditempuh Pemerintah

berupa pemberian insentif kepada pelaku ekonomi, yang berupa insentif fiskal

maupun insentif non fiskal, dengan tujuan untuk menumbuhkan minat investasi

2.6

Page 26: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

terutama untuk sektor kelistrikan serta untuk menjamin ketersediaan penyediaan

listrik bagi masyarakat. Pemberian insentif fiskal tersebut akan berpengaruh

terhadap jumlah penawaran listrik. Besarnya perubahan penawaran listrik akibat

pemberian insentif fiskal sangat tergantung pada elastisitas harga penawaran listrik.

Pada saat ini, penawaran listrik dalm kondisi tidak elastis (℮s<1) karena kurang

investasi dan pemberlakuan TDL.

Gambar 2.1 menunjukkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi

penawaran adalah biaya produksi. Kenaikan penawaran listrik hanya dapat

dilakukan dengan mengeluarkan biaya yang sangat tinggi. Dan salah satu faktor

yang penting dalam menganalisis pertambahan biaya produksi adalah tingkat

penggunaan kapasitas perusahaan. Apabila penggunaan kapasitas telah mencapai

tingkat yang tinggi, maka investasi baru haruslah dilakukan untuk menambah

produksi.

Gambar 2.1 menyatakan bahwa pada saat jumlah penawaran mengalami

peningkatan, maka garis penawaran bergeser dari S0 menjadi S1. Pada kondisi ini

kurva permintaan tidak mengalami perubahan yaitu pada D0, sehingga kuantitas

meningkat dari Q0 menjadi Q1. Namun, harga (P1) tidak mengalami kenaikan

ataupun penurunan, karena harga listrik adalah tetap untuk jangka waktu tertentu

(administered price), sehingga titik keseimbangan baru tercapai pada E2.

2.2.1. Efek Subsidi Pemerintah

Filosopi pelaksanaan subsidi adalah pemberian transfer dari Pemerintah

kepada produsen dan atau konsumen dalam rangka menciptakan harga yang relatif

murah dan terjangkau semua lapisan konsumen serta mempertahankan

kelangsungan hidup produsen. Dengan demikian, pemberian subsidi dapat

memberikan manfaat ekonomi kepada konsumen maupun produsen.

Efek pemberian subsidi tersebut sangat tergantung pada besarnya masing-

masing elastisitas kurva. Apabila elastisitas kurva penawaran lebih elastis dari pada

kurva permintaannya, maka sebagian besar bagian dari subsidi yang dapat

2.7

Page 27: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

dinikmati oleh produsen serta makin besar pertambahan jumlah barang yang dapat

ditawarkan oleh produsen.

Atau sebaliknya, apabila kurva permintaan adalah lebih elastis dari pada

kurva penawarannya, maka makin besar bagian dari subsidi yang dapat dinikmati

oleh konsumen serta makin kecil pertambahan jumlah barang yang dapat

ditawarkan oleh produsen. Berdasarkan uraian tersebut, maka pasar energi listrik

mempunyai kurva permintaan yang cenderung in elastis (<1) karena : a)

ketergantungan konsumen terhadap listrik relatif tinggi setelah BBM dalam

menjalankan aktivitas ekonomi, dan b) kemampuan bargaining position konsumen

terhadap harga listrik sangat lemah. Oleh sebab itu, pemberian subsidi terhadap

listrik sangat membantu masyarakat, akan tetapi juga membawa dampak negatif,

yaitu kenaikan permintaan listrik yang sangat tinggi.

Sedang bentuk kurva penawaran energi listrik cenderung lebih elastis

sehingga bagian subsidi yang diperoleh produsen makin kecil, namun produsen

harus menyediakan pertambahan jumlah barang yang lebih banyak. Dengan

demikian, pasar energi listrik mempunyai kurva permintaan yang relatif inelastis dan

kurva penawaran yang relatif elastis. Oleh karena itu, kondisi pasar listrik yang

demikian ini akan cenderung menyebabkan terjadinya kesenjangan (gap) antara

penyediaan listrik dan permintaan listrik. Untuk itu, dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan masyarakat maka Pemerintah masih perlu memberikan insentif

kepada produsen listrik dengan harapan bahwa ketersediaan energi listrik dapat

ditingkatkan mengikuti kenaikkan permintaan listrik.

2.3. Insentif Fiskal Dalam Rangka Mendorong Usaha Ketenagalistrikan

Ditinjau dari satu sisi, pengenaan pajak memang memberatkan karena dapat

menyebabkan harga barang menjadi lebih mahal. Namun dari sisi lain, pajak sangat

dibutuhkan untuk menjadi sumber penerimaan negara guna membiayai fungsi-

fungsinya (redistribusi pendapatan dan sebagai alat stabilisasi ekonomi) serta untuk

mengatur jumlah konsumsi barang yang menyebabkan dampak negatif. Hanya saja

kebijakan penentuan pajak harus mempertimbangkan elastisitas permintaan dan

penawaran, dan apabila tidak, maka tujuan pengenaan pajak tidak dapat tercapai.

2.8

Page 28: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

2.3.1. Pengenaan Pajak (Misal : PPN)

Secara konseptual, PPN adalah pajak yang dikenakan oleh pemerintah dan

dibayar pada waktu terjadi transaksi jual – beli barang atau jasa kena pajak. Pada

umumnya, PPN dikenakan dalam bentuk suatu persentase tertentu dari hasil

penjualan, misalnya PPN ditetapkan sebesar 10% dari harga atau hasil penjualan.

Pungutan PPN ini akan menyebabkan konsumen harus membayar lebih

tinggi untuk dapat mengkonsumsi/memperoleh barang/jasa tersebut. Namun

dalam kenyataan, beban pembayaran PPN tersebut tidak seluruhnya harus dibayar

atau ditanggung konsumen, akan tetapi sebagian beban PPN juga ditanggung oleh

produsen. Pembagian beban pajak diantara konsumen dan produsen biasanya

dinamakan dengan insiden pajak (tax incidence). Untuk menganalisis insiden pajak

perlu dilihat proporsi beban pajak di antara konsumen dengan produsen masing-

masing tergantung pada elastisitas permintaan dan penawaran yang berbeda atas

beban pajak.

P S1 S0

D0 E1 Tax P1

P0 E0 Gambar 2.2. Kasus Permintaan Elastis P2

0 Q1 Q0 Qt

Pada gambar 2.2 menggambarkan pada kondisi sebelum kena pajak, kurva

permintaan dan penawaran adalah D0 dan S0. Dan keseimbangan awal terjadi pada

titik E0, maka harga keseimbangan terjadi pada tingkat P0 dan keseimbangan jumlah

barang pada Q0. Kemudian pemerintah mengenakan pajak (PPN) kepada produsen

sebesar T%. Akibatnya pengenaan PPN tersebut adalah berkurangnya jumlah barang

yang ditawarkan sehingga kurva penawaran bergeser ke kiri dari S0 menjadi S1.

Pergeseran kurva penawaran ini akan menggeser titik keseimbangan dari E0 menjadi

2.9

Page 29: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

E1. Dalam kondisi ini, terjadi perbedaan antara harga yang dibayar konsumen

dengan harga yang diterima produsen, yaitu sebesar beban pajak. Harga

keseimbangan berubah dari P0 naik menjadi P1 dan jumlah barang yang

ditransaksikan mengalami penurunan dari Q0 menjadi Q1 sebagai akibat pengenaan

PPN sebesar T%.

Apabila dibandingkan antara harga sebelum dengan sesudah PPN, terlihat

bahwa beban pajak yang harus ditanggung oleh konsumen sebesar P0P1 dan

sebaliknya (T - P0P1) atau P0P2 yang harus ditanggung oleh produsen (PT. PLN).

P S1 S0

E1 P1 Tax P0 E0 Gambar 2.3. Kasus Permintaan Tidak Elastis P2 D0 0 Q1 Q0 Qt

Gambar 2.3 menunjukkan pemerintah mengenakan PPN dalam kasus

permintaan in elastis. Sebelum pemerintah memungut pajak (PPN) sebesar T%,

kurva penawaran barang adalah S0 dan kurva permintaan konsumen adalah D0.

Pertemuan penawaran dan permintaan menghasilkan keseimbangan pasar pada titik

E0 dengan tingkat harga P0 dan tingkat kuantitas Q0.

Setelah pemerintah memungut PPN sebesar T% yang membawa dampak

bergesernya kurva penawaran barang ke atas dari S0 menjadi S1, artinya produsen

mengurangi jumlah produksi barang sebagai akibat adanya pemungutan PPN

tersebut. Dengan kurva pemintaan barang yang sama, maka keseimbangan pasar

terjadi pergeseran dari titik E0 menjadi titik E1 dengan jumlah barang sebesar Q1.

Pemungutan PPN tersebut menyebabkan kenaikan harga barang yang harus dibayar

2.10

Page 30: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

konsumen, penurunan harga yang diterima produsen dan penurunan jumlah barang

di pasar.

Pada kurva permintaan yang in elastis ini, beban yang harus ditanggung atau

dibayar oleh konsumen sebesar P0P1 dan produsen menanggung sebesar P0P2.

Bentuk kurva permintaan yang in elastis tersebut menyebabkan jumlah beban pajak

yang harus ditanggung konsumen jauh lebih besar dari pada beban yang harus

ditanggung oleh produsen (lihat gambar 3) yang ditunjukkan dengan P0P1 > P0P2.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pasar energi listrik di Indonesia

mempunyai bentuk kurva permintaan yang in elastis yang mempunyai arti bahwa

ketergantungan konsumen terhadap energi listrik sangat tinggi dan tidak

mempunyai alternatif energi selain listrik sehingga pada tingkat harga berapapun

yang terjadi konsumen harus membayar (mampu atau tidak mampu) besarannya

energi listrik yang dikonsumsinya. Karena kurva permintaan energi listrik yang in

elastis tersebut, adanya pemungutan PPN tidak banyak menurunkan jumlah barang

yang ditunjukkan oleh Q0Q1.

Di sisi lain, pasar energi listrik di Indonesia mempunyai bentuk kurva

penawaran barang yang elastis, artinya produsen energi listrik sangat peka terhadap

gangguan produksi (seperti : kebijakan pemerintah, inflasi, depresiasi nilai tukar, dll)

sehingga jumlah penurunan produksi barang akan seiring dengan besarnya

gangguan produksi tersebut. Dengan kurva penawaran yang elastis tersebut,

produsen energi listrik berkemampuan besar untuk menggeser beban gangguan

produksi tersebut kepada konsumen, misalnya pengenaan PPN terhadap

penggunaan energi listrik maka konsumen harus memikul beban pajak tersebut

yang lebih besar dari beban yang ditanggung produsen.

Dengan kata lain, produsen energi listrik berkemampuan besar untuk

menggeser beban PPN kepada konsumen sehingga konsumen yang mendapat

kerugian ganda, yaitu harga menjadi lebih mahal namun jumlah barang ditawarkan

di pasar lebih sedikit. Berdasarkan gambar 2.4. menunjukan bahwa bentuk pasar

energi listrik mempunyai kurva permintaan yang in elastis dan kurva penawaran

yang elastis, sehingga untuk menciptakan harga yang dapat dijangkau seluruh

2.11

Page 31: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

lapisan masyarakat dan menjamin pertambahan produksi yang mencukupi

kebutuhan maka kebijakan subsidi dan/atau kebijakan ekonomi untuk mendorong

investasi di sektor usaha ketenagalistrikan sangat masih diperlukan.

2.3.2. Dampak Insentif Pemerintah Terhadap Penurunan Biaya Produksi

Gambar 2.4. berikut ini menunjukkan proses penetapan harga jual

berdasarkan biaya produksi. Pada gambar tersebut menunjukkan total biaya

produksi listrik sebelum mendapat insentif dari Pemerintah, yang diperlihatkan oleh

kurva TC0 dan kurva TC1 merupakan kurva total biaya produksi listrik yang sudah

mendapat insentif dari Pemerintah, sedangkan kurva TR menggambarkan

penerimaan total perusahaan listrik.

Selain itu, gambar 2.4. tersebut juga menunjukkan kondisi perusahaan

sebelum dan sesudah diberikan insentif oleh Pemerintah. Pertama, kondisi sebelum

mendapat insentif, dimana diperlihatkan oleh kurva TC0 menunjukkan tiga kondisi

perusahaan, yaitu : a) Tahap I dimana perusahaan mengalami kerugian karena total

biaya produksi lebih tinggi dari total penerimaan (TC > TR), b) Tahap II dimana

perusahaan mengalami keuntungan maksimum karena total penerimaan lebih besar

dari total biaya produksi (TR > TC), dan c) Tahap III dimana perusahaan mengalami

break event point karena total penerimaan sama dengan total biaya produksi (TR =

TC).

Kondisi sebelum mendapat insentif Pemerintah, pada awalnya perusahaan

menderita rugi (karena AC0 > AR1 = MR1) karena harga jual output yang rendah (0P1)

dibawah harga keseimbangan (OP*). Pada tingkat harga 0P1 tersebut terjadi dua hal,

yaitu : a) produsen hanya menawarkan output sebesar 0Q2 dengan kurva penawaran

adalah S0, dan b) permintaan listrik masyarakat sebesar 0Q1 (karena berlaku hukum

permintaan) dengan kurva pemintaan adalah D, sehingga akibatnya terjadi

kelebihan permintaan (excess demand) sebesar selisih antara jumlah listrik yang

ditawarkan produsen (S0) dengan jumlah permintaan listrik masyarakat (D) sebesar

Q1Q2.

2.12

Page 32: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Selanjutnya, perusahaan mendapat keuntungan maksimum dimana TR > TC0

yang disebabkan oleh meningkatnya harga jual mencapai 0P* (harga ini terjadi

karena mekanisme pasar yaitu bertemunya permintaan dan penawaran akan listrik)

dan ouput keseimbangan pada 0Q*. Kemudian karena biaya variabel (maintenance

cost) untuk memproduksi listrik meningkat terus dan terjadi in efisiensi dalam

perusahaan maka kemampuan produsen untuk menghasilkan laba akan semakin

berkurang dan pada periode selanjutnya perusahaan kembali pada posisi titik impas

(break event) yang diperlihatkan oleh TR = TC0.

Dan apabila dibiarkan kondisi tersebut, besar kemungkinan perusahaan akan

mengalami kerugian dan mendorong harga listrik semakin tinggi karena untuk

mengurangi kerugian perusahaan. Untuk itu, Pemerintah perlu memberikan campur

tangan dengan tujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan dan

menciptakan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Kemudian Pemerintah

memutuskan bentuk campur tangannya berupa insentif (sebesar selisih antara TC0

dengan TC1) kepada perusahaan.

Kondisi perusahaan setelah mendapat insentif dari Pemerintah, sehingga total

biaya produksi menjadi lebih murah yang diperlihatkan oleh turunnya kurva TC

dari TC0 menjadi TC1. Penurunan total biaya produksi tersebut diikuti dengan

meningkatnya penawaran output sehingga menggeser kurva penawaran dari S0

menjadi S1. Dengan demikian, terjadi pergeseran keseimbangan pasar dari pada titik

E0 menjadi E1 dan perubahan harga keseimbangan dari 0P* menjadi 0P1 serta diikuti

dengan penambahan output dari 0Q* menjadi 0Q1. Besarnya selisih antara harga per

unit (yaitu antara 0P* dengan 0P1) menunjukkan besarnya insentif per unit yang

diberikan oleh Pemerintah kepada perusahaan. Oleh karena itu, tujuan utama

Pemerintah memberikan insentif kepada perusahaan terutama listrik adalah harga

jual yang dapat terjangkau oleh masyarakat, jumlah output mencukupi kebutuhan

masyarakat dan mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka

panjang. Dengan demikian, pemberian insentif oleh Pemerintah ini seharusnya

dapat dinikmati oleh seluruh lapisan (komponen) masyarakat bukan hanya segilintir

golongan tertentu saja.

2.13

Page 33: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

2.14

Tingkat Harga Pasar

0

P

TDL

Qt

AC0

QSubsidiQPasarQ2

TR, TC

0 Qt

QSubsidiQPasarQ2

S0

EPasar

D

S1Subsidi

ESubsidi

TDL

MR1

MC0

MC1

AC1

P, MR, AC, MC

0 Q2

AVC

QPasar QSubsidi Qt

EPasarTingkat Harga Pasar

TR TC0 TC1

Π0Π1

Gambar 2.4. Biaya Produksi dan Pasar

Energi Listrik

Page 34: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

BAB III

Gambaran Umum Ketenagalistrikan di Indonesia

3.1. Profil Ketenagalistrikan

Konsumsi listrik merupakan faktor penting untuk menunjang aktivitas

perekonomian nasional, sehingga semakin tinggi aktivitas perekonomian akan

menimbulkan konsumsi listrik yang semakin tinggi pula. Konsumsi listrik ini

menunjukan pola peningkatan seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi

maupun pertumbuhan penduduk Indonesia. Data menunjukkan bahwa kebutuhan

tenaga listrik secara nasional mencapai 88 TWh tahun 2000, dan meningkat mencapai

99 TWh tahun 2004. Untuk tahun 2010 diperkirakan konsumsi listrik secara nasional

meningkat mencapai 145 TWh atau rata-rata per tahun naik sebesar 7,74%.

Gambar 3.1.

Profil Kebutuhan Tenaga Listrik Tahun 2001 - 2013

0

20.000

40.000

60.000

80.000

100.000

120.000

140.000

160.000

180.000

200.000

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Indonesia Jawa-Bali Wilayah Lain

Berdasarkan regional atau wilayah, jumlah konsumsi listrik terbesar terdapat

di Jawa – Bali yang mencapai 79,7 TWh tahun 2004 atau 80,5% dari konsumsi listrik

nasional. Hal ini wajar karena dari 33 juta konsumen listrik di seluruh Indonesia,

sebanyak 22,6 juta konsumen listrik atau 68.48% berada di Jawa – Bali. Jumlah

3.1

Page 35: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

konsumsi listrik di Sumatera sebesar 11,6 TWh tahun 2004 atau 11,7% dari konsumsi

listrik nasional, dengan jumlah konsumen sebesar 5,9 juta pelanggan atau 17,9% dari

total pelanggan.

Untuk wilayah lainnya (Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara – Irian

Jaya) pada umumnya konsumsi listrik masih relatif kecil (kurang dari 5 TWh) tahun

2004. Pada tahun 2004 konsumsi listrik untuk Jawa – Bali mencapai 79,7 TWh dan

tahun 2010 diperkirakan meningkat menjadi 125,9 TWh. Di Sumatera konsumsi

listrik pada tahun 2004 mencapai 11,6 TWh dan tahun 2010 diperkirakan meningkat

16,3 TWh (lihat Gambar 3.2).

Gambar 3.2

Profil Kebutuhan Listrik Per Wilayah Tahun 2004 – 2010

79,7

11,63,2 3,1 1,3

125,9

16,34,5 4,4 5,3

0

20

40

60

80

100

120

140

Jawa - Bali Sumatera Kalimantan Sulawesi LainnyaTahun 2004 Tahun 2010

Tingkat electrification ratio, yaitu jumlah orang pemakai listrik terhadap total

penduduk Indonesia, menyatakan bahwa semakin tinggi angka electrification ratio

maka semakin banyak jumlah orang yang dapat mengkonsumsi dan menggunakan

energi listrik untuk membantu melakukan aktivitasnya.

Pada tahun 2004, angka electrification ratio secara nasional baru mencapai

54,8% dan di tahun 2010 diperkirakankan mencapai 70%. Tahun 2004 angka

electrification ratio tertinggi adalah di wilayah Jawa & Bali yang mencapai 59,42%,

disusul Sumatera 53,1%, Sulawesi 47,2%, Kalimantan 46,6% dan wilayah lainnya

mencapai 33%. Dari data tersebut menunjukkan bahwa angka electrification ratio

3.2

Page 36: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

terbesar berada di Pulau Jawa & Bali, artinya lebih dari 59% penduduk Indonesia

yang berada di Pulau Jawa & Bali sudah menikmati dan menggunakan listrik dalam

menunjang aktivitasnya.

Apabila dibandingkan dengan negara-negara lain, angka electrification ratio di

Indonesia masih jauh ketinggalan, misalnya dengan Armenia, Azerbaijan, Brunai

Darussalam, Iran, China dan Singapura, dimana angka electrification ratio mencapai

100%. Rendahnya angka electrification ratio di Indonesia tersebut dalam jangka

panjang akan berdampak pada rendahnya kemampuan Pemerintah terutama dalam

mendorong atau memacu pertumbuhan ekonomi.

3.2. Produksi Listrik dan Penggunaan Bahan Bakar Sektor Listrik

Dari sisi kapasitas tenaga listrik, pada tahun 2004 produksi listrik baru

mencapai sebesar 24,3 GW, dimana 10,8% adalah hasil listrik swasta dan selebihnya

oleh PT. PLN (Persero). Untuk meningkatkan angka electrification ratio menjadi 70%

tahun 2010 maka kapasitas produksi listrik diharapkan naik sebesar 37,9 GW.

Gambar 3.3.

Diversifikasi Bahan Bakar Sektor Listrik

0 20000 40000 60000 80000

100000 120000 140000 160000 180000

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

GW

h

10% 4%

34%

46%

5,7%

5% 9,6%

30%

49%

5,9%

Oil

Hydro

Gas

Geo

Coal

5%

18%

9,7%

24%

43%

3.3

Page 37: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Berdasarkan fuel diversification plan Indonesian electricity sector 2004 - 2010,

menunjukkan bahwa untuk menghasilkan energi listrik sebesar 24,3 GW tahun 2004

diperlukan bahan bakar dengan komposisi 43% dari bahan bakar batubara, 24% dari

gas, 9,7% dari hydro dan 18% dari bahan bakar minyak. Komposisi produksi listrik

berdasarkan jenis pengggunaan bahan bakar ini masih belum efisien.

3.3. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Listrik

Tenaga listrik merupakan unsur vital dalam perencanaan dan pelaksanaan

pembangunan, khususnya di bidang ekonomi. Oleh karenanya, ketersediaan tenaga

listrik membawa outcome positif berupa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.

Akan halnya persoalan-persoalan ketenagalistrikan menimbulkan dimensi dampak

yang meluas, tidak sebatas pada aspek ekonomi. Mengingat perannya yang esensial,

maka pengelolaan ketenagalistrikan harus ditopang oleh kebijakan yang tepat.

Nyatanya, persoalan demi persoalan ketenagalistrikan terus bergulir di negeri

ini. Hal itu merefleksikan bahwa kebijakan energi (pada umumnya) dan

ketenagalistrikan (pada khususnya) belum mendukung dihasilkannya pasokan

tenaga listrik yang cukup dari segi jumlah, mutu, dan keandalannya, juga dengan

harga yang terjangkau oleh masyarakat. Pemadaman listrik secara bergilir di

wilayah Jawa dan Bali menjelang pertengahan tahun 2005 menimbulkan kegelisahan

di kalangan masyarakat yang menduga telah terjadi kekurangan pasokan listrik.

Dugaan tersebut disangkal oleh PT. PLN (Persero) yang dalam siaran persnya

tanggal 2 Juni 2005 menyatakan kemampuan pasokan tenaga listrik untuk wilayah

Jawa – Bali cukup dan terus ditambah.

“ … Daya terpasang Pusat Listrik yang dimiliki oleh PLN di Pulau Jawa – Bali

adalah 16.261 MW, dengan Daya Mampu Netto 15.099 MW. Sedangkan pembangkit

terpasang yang dimiliki oleh Swasta adalah sebesar 3.255 MW, sehingga total daya terpasang

pembangkit di sistem Jawa – Bali 19.516 MW dengan Daya Mampu Pasok pada tanggal 2

Juni 2005 sebesar 14.625 MW. Beban puncak tertinggi Pulau Jawa – Bali terjadi pada

tanggal 29 April 2005 sebesar 14.821 MW, dimana beban puncak tanggal 2 Juni 2005

sebesar 14.575 MW...” (Siaran Pers PT. PLN tanggal 2 Juni 2005.

3.4

Page 38: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Namun, padamnya aliran listrik PLN (black-out) secara mendadak di sebagian

wilayah Jawa dan Bali seperti yang terjadi tahun 1997, 1999, 2000 dan 2002 silam,

kembali terulang pada 18 Agustus 2005. Kejadian tersebut memperkuat dugaan

adanya ketidakberesan dalam sistem ketenagalistrikan, sehingga kemudian menuai

pertanyaan; apa yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kondisi ketenagalistrikan

tersebut?

Gambar 3.4. Pertumbuhan Permintaan dan Penawaran Tenaga Listrik

0

10

20

30

40

50

60

70

80

2003 2004 2005 2006 2007 2008

Tahun

Jumlah Tenaga Listrik (MW)

Permintaan Penawaran

Untuk memberikan gambaran tentang kondisi ketenagalistrikan, tulisan ini

akan menyarikan beberapa kajian pengamat ketenagalistrikan maupun penjelasan

pihak PT. PLN menyangkut kondisi permintaan dan penawaran tenaga listrik saat

ini, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Berbagai kajian tersebut

menghasilkan konklusi bahwa meski saat ini pasokan tenaga listrik diberitakan

masih berada pada tingkat yang relatif aman (sedikit melebihi tingkat

permintaannya), namun jika tidak ada improvement kebijakan ketenagalistrikan dapat

dipastikan dalam waktu dekat pasokan tenaga listrik tidak akan mampu lagi mengimbangi

pertumbuhan permintaannya yang akan jauh melesat (Gambar 3.4).

Dengan demikian, kebijakan di sektor ketenagalistrikan perlu segera dibenahi,

termasuk di dalamnya insentif fiskal yang diperlukan mendorong investasi guna

memacu peningkatan pasokan tenaga listrik. Berangkat dari gambaran kondisi

ketenagalistrikan yang dikemukakan, dapat diidentifikasi aktivitas dalam sektor

ketenagalistrikan yang masih perlu mendapatkan insentif fiskal. Selanjutnya pada

bagian akhir tulisan ini dibangun metodologi dalam rangka mencari bentuk insentif

3.5

Page 39: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

fiskal sesuai dengan kebutuhan yaitu; meningkatkan jumlah pasokan, efisiensi dan

keandalan tenaga listrik.

3.3.1. Potret Permintaan Tenaga Listrik

Saat ini, permintaan tenaga listrik masih terkonsentrasi di wilayah Jawa – Bali

yang menyerap sekitar 77 persen kebutuhan listrik. Jumlah permintaan tenaga dapat

dilihat dari besarnya penggunaan pada saat beban puncak. Menurut catatan PLN,

beban puncak di wilayah Jawa – Bali pada tanggal 2 Juni 2005 sebesar 14.575 MW,

dan diperkirakan bulan Oktober 2005 akan mencapai 15.245 MW.

Permintaan tenaga listrik dipastikan akan terus meningkat pesat sebesar 6 - 7

persen/tahun. Sedikitnya ada tiga faktor yang mendorong peningkatan tersebut,

yakni; pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, peralihan penggunaan

listrik non-PLN ke listrik PLN, serta adanya kecenderungan masyarakat

menggunakan listrik secara boros.

a. Pertambahan Penduduk dan Pertumbuhan Ekonomi

Jumlah penduduk Indonesia sebanyak 220 juta dan pertambahannya rata-rata

sebesar 1,5 persen/tahun, serta tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 3

persen/tahun dalam lima tahun terakhir berimplikasi pada tingginya konsumsi

tenaga listrik. Tenaga listrik digunakan masyarakat untuk mendukung aktivitas

dalam rumah tangga maupun menjalankan usaha (bisnis dan industri). Pada fase

awal, pembangunan infrastruktur (termasuk tenaga listrik) akan sangat

mempengaruhi perkembangan ekonomi. Dalam perkembangannya, terbentuk

struktur korelasi dua arah pada saat multiplier effect dari pertumbuhan ekonomi

menuntut ketersediaan tenaga listrik dalam jumlah yang mencukupi, andal, dan

efisien.

b. Peralihan Penggunaan Listrik Non-PLN ke Listrik PLN

Peningkatan harga BBM yang terus terjadi sejak bulan Maret 2005 menyebabkan

banyak industri yang semula membangkitkan listrik sendiri dengan

menggunakan genset kemudian beralih ke listrik PLN yang menjadi relatif lebih

murah. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya lonjakan penggunaan tenaga

3.6

Page 40: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

listrik melebihi jumlah pasokannya. Lonjakan ini terlihat pada tanggal 29 April

2005 yang dilaporkan sebagai beban puncak tertinggi Pulau Jawa – Bali yaitu

sebesar 14.821 MW.

c. Kecenderungan Masyarakat Menggunakan Listrik Secara Boros

Perilaku konsumsi tenaga listrik oleh masyarakat cenderung boros. Di kalangan

rumah tangga hal ini ditandai oleh penggunaan jumlah lampu hemat energi yang

masih terbatas, karena alasan harga jenis lampu tersebut yang dirasa mahal.

Masyarakat umumnya tidak memperhitungkan bahwa penghematan

pengeluaran dari penghematan listrik karena penggunaan jenis lampu tersebut

akan lebih besar. Sedangkan di kalangan industri, misalnya industri tekstil,

masih banyak dijumpai penggunaan mesin-mesin tua yang masih dipertahankan

oleh pengusaha padahal produktivitasnya sudah berkurang dan menuntut

penggunaan listrik yang lebih besar per satuan produksi. Namun demikian,

Pemerintah terhitung berhasil dalam mengkampanyekan penghematan listrik di

malam hari pada kelompok pelanggan rumah tangga yang diserukan melalui

Keppres Nomor 10 Tahun 2005, buktinya terjadi penurunan beban puncak, dari

posisi tertinggi pada tanggal 29 April 2005 sebesar 14.821 MW, menjadi 14.575

MW pada tanggal 2 Juni 2005.

3.3.2. Penawaran Tenaga Listrik1

Sebagaimana tercantum dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005 –

2025 Departemen ESDM2, dari total kapasitas pembangkit sebesar 24.000 MW, 13

persen tersebar di wilayah Sumatera, 77 persen di Jawa - Bali, 3 persen di

Kalimantan, dan 2,7 persen di Sulawesi. Trend pembangunan sistem

ketenagalistrikan masih terpusat di wilayah Jawa – Bali. Bagi kontraktor listrik

swasta, kedua wilayah tersebut dinilai lebih tidak beresiko, karena selain pasarnya

besar dan berkembang pesat, infrastruktur pendukung sudah tersedia.

1 Terminologi penawaran tenaga listrik yang digunakan dalam kajian ini dikenal dengan istilah

penyediaan tenaga listrik dalam perundangan ketenagalistrikan, yang meliputi tiga aktivitas, yakni; pembangkitan, transmisi dan distribusi tenaga listrik.

2 Dikutip dari artikel Kompas 20 Agustus 2005 berjudul “Interkoneksi untuk Atasi Listrik.”

3.7

Page 41: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Dengan pola pengembangan sistem ketenagalistrikan seperti dikemukakan di

atas, kesenjangan antara wilayah Jawa – Bali dengan wilayah lainnya semakin besar,

padahal pembangunan di wilayah Indonesia Timur khususnya sangat tergantung

salah satunya pada keberadaan tenaga listrik yang andal. Pengembangan pola

KAPET oleh Pemerintah yang dimaksudkan untuk menarik investasi di sektor

ketenagalistrikan dan industri penggunanya secara bersamaan belum membawa

perubahan yang signifikan terhadap pembangunan di wilayah Luar Jawa – Bali.

Secara umum, pertumbuhan penawaran tenaga listrik relatif lambat

dibandingkan tingkat permintaannya. Sampai dengan tahun 1996, tingkat

elektrifikasi -yaitu prosentase listrik terpasang dibandingkan kebutuhan- hanya

sekitar 40 persen (Elektro Indonesia, 1997)3. Kondisi ini tidak terlepas dari persoalan-

persoalan yang menyelimuti aktivitas penyediaan tenaga listrik.

a. Pembangkitan Tenaga Listrik

Dari segi pembangkitan tenaga listrik, terdapat dua hal yang memicu rendahnya

pertumbuhan penawaran tenaga listrik, yaitu; (i) adanya gap antara daya

terpasang, daya mampu netto, dan daya mampu pasok pada seluruh pembangkit

tenaga listrik yang ada saat ini (existing), serta (ii) lambatnya penambahan jumlah

pembangkit tenaga listrik baru.

b. Pembangkit Tenaga Listrik Existing.

Pada seluruh pembangkit tenaga listrik yang ada, umumnya terjadi perbedaan

(gap) antara daya terpasang, daya mampu netto, dan daya mampu pasok. Hal itu

antara lain disebabkan oleh:

i. Berkurangnya umur teknis peralatan pembangkit. Berkurangnya umur teknis

peralatan menyebabkan penurunan kemampuan pembangkitan (derating),

apalagi selama ini setiap pembangkit selalu dioperasikan secara maksimal

mengingat keterbatasan jumlah pembangkit.

3 Elektro Indonesia, Edisi Kedelapan, Juli 1997, “Kerjasama Tenaga Listrik Sektor Swasta ASEAN di

Daerah Perbatasan Kalimantan.”

3.8

Page 42: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

ii. Kegiatan pemeliharaan peralatan pembangkit. Beberapa pembangkit sedang

dalam pemeliharaan sesuai dengan jadwal pemeliharaan masing-masing

pembangkit.

iii. Variasi musim mengganggu operasionalisasi pembangkit. Pembangkit Listrik

Tenaga Air (PLTA) adalah jenis pembangkit yang operasionalisasinya

tergantung pada musim. Saat kemarau, tenaga listrik yang dihasilkan oleh

pembangkit jenis ini banyak berkurang.

iv. Sebanyak 4 – 6 persen produksi tenaga listrik digunakan untuk keperluan operasional

pembangkit.

v. Ketersediaan bahan bakar. Tenaga listrik sebagai bentuk energi sekunder

tergantung pada ketersediaan bahan bakar. Melambungnya harga BBM yang

terjadi saat ini membebani keuangan negara karena anggaran subsidi listrik

membengkak, yang kemudian membawa efek beruntun pada cashflow PT.

PLN, pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), sehingga

jumlah pasokan listrik berkurang.

Sementara itu, pengoperasian pembangkit listrik dengan energi lainnya

seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas

(PLTG) terkendala oleh jumlah pasokan bahan bakar. Tingginya harga batubara dan

gas, membuat produsennya lebih banyak menjual ke pasar ekspor. Ketua Umum

Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia mengakui dari 131,72 ton produksi

nasional sekitar 70 persen hasil batubara diekspor, sisanya dipakai untuk kebutuhan

dalam negeri4. Sedangkan untuk gas bumi, dari produksi nasional sebesar 8,35

miliar kaki kubik (BSCF) per hari di tahun 2004, sekitar 58,4 persen diekspor dan

sisanya untuk kebutuhan domestik. Akibatnya, banyak pembangkit listrik yang

tidak dapat beroperasi secara optimal.

c. Lambatnya Penambahan Jumlah Pembangkit Tenaga Listrik Baru.

Pesatnya laju peningkatan permintaan tenaga listrik seharusnya diimbangi

oleh peningkatan produksinya. Namun, realisasi pertumbuhan pembangkit yang

4 Kompas, 22 Juli 2005, “Batubara: Kebutuhan Domestik Harus Diutamakan.”

3.9

Page 43: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

dilakukan oleh kontraktor listrik swasta (independent power producers) tidak

mengalami kemajuan berarti dalam tiga tahun terakhir5. Beberapa hambatan yang

mengganjal investor masuk ke bisnis pembangkitan listrik antara lain:

• Beban pajak yang dikenakan oleh Pemerintah sangat besar. Pajak tersebut bahkan

sudah mulai dikenakan pada saat eksplorasi. Pada kasus pembangunan PLTGU

Cilegon yang dimulai tahun 2004 dan masih berlangsung hingga saat dengan

dana pinjaman dari Jepang, dari total biaya sebesar USD 431,3 juta, 8,8 persen

diantaranya untuk membayar pajak dan 6,6 persen untuk membayar bunga

pinjaman dan biaya-biaya pinjaman lainnya.

• Pajak yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah semakin beragam. Kepentingan Pemda

untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan menerbitkan

berbagai jenis pajak dan retribusi baru. Contohnya di Sulawesi Utara, air untuk

pembangkit listrik dikenakan pajak. Peraturan itu berdampak pada perhitungan

keuntungan, sementara kontraktor tidak bisa menaikkan harga jual listrik yang

penetapannya menjadi wewenang PT. PLN. Hal tersebut menyebabkan banyak

kontraktor listrik swasta menghentikan proyeknya untuk sementara.

• Tidak ada lagi surat jaminan Pemerintah bagi kontraktor listrik swasta. Ini merupakan

kebijakan baru Pemerintah yang diberlakukan sejak tahun 2002. Dengan tidak

adanya jaminan tersebut, maka kontraktor harus menanggung sendiri semua

resiko kegagalan proyek.

• Pengembangan energi alternatif sebagai bahan bakar pembangkit listrik terganjal oleh

kebijakan lingkungan hidup. Baku mutu emisi adalah salah satu aturan yang harus

dipenuhi dalam rencana pengembangan pembangkit listrik berbahan bakar

batubara. Batubara memang sangat rentan terhadap polusi karbon di atmosfer.

Profesor Smalley menyebut efek dari polusi batubara ini sebagai efek gigaton

carbon pada atmosfer yang sangat berbahaya bagi kelangsungan bumi itu

sendiri6. Sementara itu di Bedugul – Bali yang merupakan daerah resapan air,

rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) yang

5 Kompas, 30 Juli 2005, “Investasi Listrik Swasta Mandek: Pemerintah Belum Beri Kemudahan.” 6 Kompas, 18 Agustus 2005, “Teknologi Nano: Solusi Kebutuhan Energi Masa Depan”

3.10

Page 44: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

sudah sampai tahap melakukan pengeboran tiga sumur di kawasan hutan

lindung tidak berjalan mulus karena dikhawatirkan oleh masyarakat setempat

akan menyebabkan krisis air.

• Jaminan ketersediaan bahan bakar pembangkit. Lambatnya pertumbuhan

pembangkit tenaga listrik tidak terlepas dari kebijakan pengelolaan energi

nasional. Salah satunya adalah masalah pengelolaan gas bumi, yang

cadangannya berada di luar Jawa, dalam hal ini Sumatera dan Kalimantan,

sementara pasar utamanya ada di Jawa. Kontraktor penghasil gas enggan

mengeksploitasi karena infrastruktur distribusi gas ke Jawa tidak disediakan

Pemerintah7.

• Mahalnya teknologi pembangkit dengan bahan bakar yang tergolong energi terbarukan.

Peningkatan harga BBM membuat banyak pihak mulai mempertimbangkan

diversifikasi energi dengan memanfaatkan energi terbarukan (seperti hidro, solar

dan angin). Namun demikian, saat ini teknologi untuk kegiatan

pengembangannya masih terhitung mahal karena belum banyak dikuasai oleh

sumberdaya manusia di dalam negeri, sehingga untuk pengadaan teknologi

tersebut perlu mengimpor.

• Kondisi infrastruktur (jalan, pelabuhan, dan lainnya) yang ada saat ini sudah tidak lagi

memadai.

3.3.3. Transmisi Tenaga Listrik Di Jawa – Bali.

Ketergantungan yang sangat besar atas transmisi 500KV di bagian utara Jawa

yang merupakan satu-satunya jaringan penghubung daya dari PLTU Paiton di Jawa

Timur ke Jawa Barat. Hal itu membuat pasokan listrik untuk interkoneksi Jawa –

Bali sangat rentan mengalami gangguan karena tidak ada alternatif jaringan

transmisi. Selain itu, kondisi sistem interkoneksi tersebut sudah tua, dibangun tahun

1984 bersamaan dengan beroperasinya PLTU Suralaya. Sementara itu,

pembangunan jaringan baru di sepanjang selatan Jawa terhambat persoalan

pembebasan lahan.

7 Kompas, 20 Agustus 2005, “Kelangkaan Gas Sekarang Ini, Salah Siapa?”

3.11

Page 45: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Meskipun keberadaan jaringan transmisi alternatif di sepanjang selatan Jawa

diperlukan, tapi menurut Robert Blohm hal tersebut bukan merupakan solusi

mendasar terhadap persoalan ketenagalistrikan yang melanda Jawa – Bali saat ini.

Seharusnya PT. PLN membatasi tambahan permintaan listrik di Jawa Barat sebelum

terjadi pemadaman. Interkoneksi Jawa – Bali dapat beroperasi dengan baik jika

didasarkan atas harga pasar yang sesuai dengan biaya dan lokasi. Pemerintah harus

mengenakan pajak pendapatan umum terpisah untuk mengurangi tarif listrik di

wilayah yang masih memerlukan pembangunan sehingga mendorong indutsri

untuk berpindah ke sana8.

3.3.4. Transmisi Tenaga Listrik Di Luar Wilayah Jawa – Bali.

Jaringan transmisi relatif pendek (terutama di Kalimantan dan Sulawesi),

terbatas pada tegangan tinggi 70 kV dan 150 kV, rata-rata pertumbuhannya rendah.

Di luar Jawa, jaringan distribusi tenaga listrik banyak yang belum tersambung.

Karena alasan itulah, investor yang ingin membangun pembangkit.

memprioritaskan pembangunan pembangkit tenaga listrik di wilayah Jawa – Bali

yang sistem pendukungnya sudah tersedia.

3.4. Peluang dan Kendala Investasi di Bidang Ketenagalistrikan

Pada saat ini kebutuhan energi listrik masyarakat sudah demikian tinggi

mencapai 99 TWh dibandingkan dengan kapasitas produksi energi listrik yang

hanya 87 TWh, sehingga diperlukan tambahan produksi energi listrik sebesar 13.000

MW. Kebutuhan kapasitas tambahan tersebut diharapkan 8.000 MW dipenuhi oleh

PT. PLN dan sisanya 5.000 MW diperoleh dari IPP-swasta. Kekurangan pasokan

listrik ini mencerminkan bahwa PT. PLN sangat membutuhkan sumber pasokan

listrik khususnya pembangunan infrastruktur listrik, yaitu untuk pembangkit dan

transmission line.

8Kompas, 29 Agustus 2005, “Masalah Listrik Perlu Institusi Masyarakat: Dipisahkan antara Operasional Pasar dan Kebijakan Sosial.”

3.12

Page 46: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Hal tersebut diperkuat lagi dengan kondisi, antara lain : a) rasio elektrisasi9

masih kurang dari 60%, b) harga jual – beli yang disetujui antara PT. PLN dengan

IPP masih proposional, c) cadangan energi selain bahan bakar minyak (BBM) masih

relatif besar dengan harga masih terjangkau (seperti batubara, gas alam, air dan

panas bumi) dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap konsumsi BBM, d)

rendahnya reserve margin sistem kelistrikan yang kurang dari 30%, dan e) belum

berjalannya jaringan interkoneksi jawa – sumatera melalui kabel laut. Dengan

demikian, untuk memenuhi hal tersebut maka PT. PLN masih perlu pembangunan

(investasi) infrastruktur ketenagalistrikan khususnya di sektor pembangkit,

distribusi dan transmission line.

Tabel 3.1.

Angka ROR Tahun 2000 – 2007

No Tahun Angka ROR Aktual (%)

Angka ROR Menurut Cofenant Bank Dunia

(%) 1 2000 - 7,70 8,00 2 2001 - 5,20 8,00 3 2002 - 5,76 8,00 4 2003 - 1,10 8,00 5 2004 2,80 8,00 6 2005 8,00 8,00 7 2006 8,00 8,00 8 2007 8,00 8,00

Sumber : Reinstra PT. PLN (Persero) Tahun 2003 – 2007.

Guna memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur tersebut, maka

diperlukan pendanaan yang sangat besar. Total kebutuhan dana investasi seluruh

wilayah di Indonesia selama periode tahun 2003 – 2007 (constant disbursement)

sebesar US$ 6,617.3 juta dan US$ 5,779 juta (fixed asset). Namun dalam kondisi saat

ini, pendanaan investasi tersebut tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada PT. PLN.

Sejak tahun 2000 PT. PLN mengalami ketidakseimbangan finansial perusahaan yang

dicerminkan oleh ROR yang negatif (Reinstra PT. PLN, 2003 – 2007) sehingga

9Merupakan proses listrik terpasang dibandingkan dengan kebutuhan listrik yang masih rendah (yaitu 40% tahun 1996) sehingga kebutuhan pasokan listrik akan terus meningkat untuk mengejar ketinggalan dengan kebutuhan listrik masyarakat akan kegiatan ekonomi dan pembangunan.

3.13

Page 47: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

menyulitkan PT. PLN untuk melakukan investasi sendiri. Padahal angka ROR yang

disyaratkan oleh cofenant Bank Dunia sebesar 8%. Selain itu, semenjak tahun 1997

perusahaan ini tidak pernah menerima pinjaman baru dengan pola pendanaan

concessional loan dari lembaga-lembaga keuangan luar negeri sebagai sumber dana

investasi.

Untuk itu, PT. PLN mengharapkan adanya dukungan pemerintah terutama

kebijakan insentif fiskal dalam rangka kerjasama dengan investor swasta untuk

memenuhi kebutuhan dana investasi tersebut. Dukungan Pemerintah yang

diharapkan PT. PLN adalah untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif

terutama melalui insentif fiskal guna menggairahkan dan mendorong investasi

sektor kelistrikan di dalam negeri.

Kesulitan dalam penyediaan dana investasi untuk pembangungan

infrastruktur tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : a) Harga jual

rata-rata menjadi lebih rendah dari harga pokok penjualan (HPP) akibat depresiasi

rupiah terhadap dollar AS, b) fluktuasi kurs valuta asing mempunyai pengaruh

terhadap meningkatnya biaya produksi listrik terutama komponen biaya pembelian

gas alam, listrik swasta, uap panas bumi, batubara, suku cadang dan beban pinjaman

termasuk selisih kurs yang sebagian besar diperhitungkan dengan menggunakan

valuta asing, dan c) dampak UU Otonomi Daerah yang menyulitkan bagi aktivitas

PT. PLN karena dapat dijadikan sumber pendapatan bagi Pemda terutama pajak

daerah dan retribusi daerah yang diberlakukan mulai dari hilir sampai hulu.

Dalam menunjang iklim investasi yang kondusif di sektor kelistrikan,

Pemerintah telah memberikan dukungan agar pembangunan infrastruktur

ketenagalistrikan dapat diciptakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun

2005 beserta petunjuk teknis adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya

Mineral (ESDM) Nomor 9 Tahun 2005 tentang Prosedur Lelang dan Penunjukkan

Langsung Pembelian Tenaga Listrik, serta Keputusan Menteri ESDM Nomor 10

Tahun 2005 tentang Perijinan Dalam Bidang Ketenagalistrikan.

Berdasarkan peraturan tersebut PT. PLN telah mengundang investor

domestik dalam lelang di 24 lokasi tersebar di luar Jawa, dengan kapasitas total 1.134

3.14

Page 48: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

MW dan diikuti sebanyak 59 investor (qualified bidder), dan proses lelang saat ini

masih berlangsung.

Oleh karena itu, PT. PLN mengharapkan bentuk dukungan Pemerintah

Indonesia dalam rangka menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk

pembangunan infrastruktur kelistrikan, antara lain : a) insentif fiskal meliputi

keringanan maupun penundaan pembayaran PPh dan atau PPN, b) kemudahan

ekspor – Impor, c) pengenaan tingkat bunga bersaing, dan d) kemudahan dan

keringan pengenaan bea – masuk.

Menurut PT. PLN bahwa dukungan Pemerintah tersebut sangat diperlukan

untuk pembangunan kelistrikan di sektor pembangkit yang diproduksi di dalam

negeri sehingga perlu dipertimbangkan adanya pembebasan terutama untuk bea –

masuk, PPN impor, dan untuk impor barang raw material dan sub sistem equipment

yang diperlukan bagi fabrikasi perlatanan yang diproduksi di dalam negeri.

Dukungan Pemerintah tersebut diharapkan dapat menciptakan biaya produksi

peralatan yang dapat lebih bersaing dengan peralatan impor langsung dari luar

negeri.

Untuk menarik minat investor swasta (dari dalam maupun luar negeri) dalam

usaha penyediaan listrik perlu ditawarkan beberapa hal-hal, yaitu iklim investasi

yang kondusif dan atau kemudahan-kemudahan yang dapat diberikan kepada

investor. Untuk itu, Pemerintah perlu melakukan kegiatan yang dapat

menggairahkan investasi di sektor kelistrikan, meliputi :

a. Menciptakan stabilitas politik dan keamanan diseluruh tanah air, karena hal ini

merupakan prasyarat utama bagi keberhasilan investasi.

b. Menciptakan dan menyempurnakan semua peraturan perundang-undangan

yang berlaku (baik yang baru maupun lama) agar transparan dan mendukung

usaha penanaman modal.

c. Menyempurnakan prosedur pelayanan investasi serta mempercepat

pengeluaran perijinan (baru dan lama).

d. Memberikan kemudahan tata cara memperoleh / penggunaan tanah.

e. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM).

3.15

Page 49: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

f. Menjamin ketersediaan sumber energi primer dengan menyediakan sarana

penyaluran dan penyimpanan, seperti batubara, air dan gas alam.

g. Mempercepat pembangunan infrastruktur yang memadai, seperti jalan,

pelabuhan, transportasi, dan lain-lain.

Untuk pembangunan infrastruktur listrik diperkirakan memerlukan dana

investasi sebesar Rp 60,3 triliun dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 3,93% per

tahun (Media Indonesia, 5 September 2005). Jumlah dana investasi tersebut

digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi listrik di Indonesia dimana konsumsi

tenaga listrik terbesar berada di Pulau Jawa dan Bali sebesar 83,6 TWh atau 80% dari

keseluruhan konsumsi listrik di Indonesia.

Apabila dicermati, konsumen (pelanggan) listrik terbesar adalah kelompok

rumahtangga sebanyak 31 juta pelanggan atau 93% dari total 33,2 juta pelanggan

(PT. PLN, 2004). Kemudian disusul oleh kelompok sektor bisnis yang mencapai 1,4

juta pelanggan (4%), dan kelompok sosial sebesar 691 ribu pelanggan atau 2% (lihat

tabel 3.3.).

Besarnya konsumsi listrik di Pulau Jawa – Bali saat ini ternyata menjadi salah

satu permasalahan yang krusial dalam kebijakan energi di Indonesia. Pada kondisi

beban puncak, jumlah daya yang dibutuhkan mencapai 14.800 MW. Tingginya

kebutuhan listrik tersebut karena Pulau Jawa – Bali merupakan konsentrasi

penduduk terbesar dan tempat didirikan industri.

Tabel 3.2.

Pelanggan PT. PLN Tahun 2000 – 2004

Kelompok Pelanggan 2000 2001 2002 2003 2004 Share

(%) Rumah tangga 26.796.675 27.885.612 28.903.325 29.997.554 30.957.613 93.2

Industri 44.337 46.014 46.824 46.818 46.343 0.1 Bisnis 1.062.955 1.172.247 1.245.709 1.310.686 1.357.114 4.1 Sosial 582.811 608.713 633.114 659.034 690.989 2.1 Perkanto-ran 102.627 115.142 124.947 137.324 160.466 0.5

Total 28.589.405 29.827.728 30.953.919 32.151.416 33.212.525 100.0 Growth 3.9% 4.3% 3.8% 3.9% 3.3%

3.16

Page 50: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Sumber : Media Indonesia, 06 September 2005.

Berdasarkan uraian di atas, sudah saatnya PT. PLN melakukan pembangunan

infrastruktur ketenagalistrikan dengan sumber dana dengan investasi sebesar Rp

60,3 triliun yang diharapkan dari investor swasta di dalam maupun luar negeri,

meskipun tidak seluruhnya. Dampak dari kesulitan dana investasi tersebut

menyebabkan PT. PLN tidak bisa melakukan investasi penambahan penyediaan

tenaga listrik sehingga banyak daerah yang mengalami krisis pasokan tenaga listrik.

Sejalan dengan hal tersebut, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat

(LPEM) – FEUI telah melakukan simulasi model ekonometrik makroekonomi yang

menghasilkan angka elastisitas untuk mengukur tingkat kepekaan (sensitivitas)

pembangunan infrastruktur listrik terhadap pertumbuhan ekonomi nasional sebesar

0,84. Hasil simulasi tersebut menyatakan apabila jumlah stok listrik (MVA)

dinaikkan sebesar 1% maka pertumbuhan ekonomi nasional meningkat sebesar

0,84% (Media Indonesia, 5 September 2005). Dan apabila dibedakan berdasarkan

wilayah, maka kenaikan jumlah stok listrik (MVA) yang sama akan menghasilakn

angka kepekaan sebesar 0,64 untuk Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan untuk

Kawasan Timur Indonesia sebesar 0,20. Berdasarkan uraian tersebut, maka prioritas

utama pembangunan infrastruktur listrik adalah di wilayah KBI terutama di Jawa –

Bali guna menunjang pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

3.17

Page 51: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

BAB IV

EXISTING FISCAL INSENTIF DAN KEBIJAKAN FISKAL KE DEPAN DALAM MENDUKUNG INVESTASI INFRASTRUKTUR KELISTRIKAN

Dalam rangka mendorong pertumbuhan investasi infrastruktur kelistrikan,

Pemerintah telah memberikan berbagai kemudahan kepada PT. PLN (Persero) baik

dalam bentuk penerusan pinjaman (subsidiary loan agreement-SLA) maupun kebijakan

dalam perpajakan. Pemberian insentif kebijakan fiskal tidak membedakan satus

perusahaan, karena baik perusahaan milik negara maupun investor swasta juga

diberikan insentif terutama yang bergerak dalam usaha penyediaan listrik untuk

kepentingan umum.

4.1. Peluang Sumber Dana Yang Dapat Dimanfaatkan Untuk Investasi

Kelistrikan Melalui Penerusan Pinjaman (Subsidiary Loan Agreement)

Dalam rangka memperlancar pelaksanaan pinjaman dan/atau hibah luar

negeri Pemerintah telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan

dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Nomor:

1995/5//031.1995/03./185

KetKepKMK tanggal 5 Mei 1995 yang mengatur tentang Tata Cara

Perencanaan, Pelaksanaan/Penatausahaan, dan Pemantauan Pinjaman/Hibah Luar

Negeri dalam rangka pelaksanaan APBN.

Selanjutnya sebagai upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan

proyek yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dengan pinjaman/hibah luar negeri,

telah diterbitkan ketentuan baru sebagai penyempurnaan SKB tersebut, yaitu SKB

Menteri Keuangan dan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas Nomor:

1999/09//2641999/03./459

KETKEPKMK tanggal 29 September 1999 tentang Perubahan Atas SKB

Menteri Keuangan dan Menteri Negara PPN/Ketua Bappenas No.

185/KMK.03/1995 dan No. KEP.031/KET/5/1995 tentang Tata Cara Perencanaan,

Pelaksanaan/Penatausahaan dan Pemantauan Pinjaman/Hibah Luar Negeri dalam

rangka Pelaksanaan APBN.

4.1

Page 52: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Dana pinjaman dan hibah luar negeri (PHLN) yang tercantum dalam APBN

adalah merupakan bagian dari APBN, sehingga pelaksanaan pencairan dana PHLN

harus mengikuti ketentuan dan mekanisme APBN yang berlaku. Oleh karena itu,

dalam pengelolaan dan penerusan dana PHLN harus berpedoman pada peraturan

dan ketentuan pokok tersebut di atas.

Selain peraturan tersebut di atas, maka pengelolaan dan penerusan dan PHLN

harus berpedoman pula pada :

a) UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara,

b) UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara,

c) UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah,

d) UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah,

e) PP No. 42/1995 perihal Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan

Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan dalam

rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana

Pinjaman Luar Negeri;

f) PP No. 25/2001,

g) SE DJA No. SE-80/A/71/0696 tanggal 6 Juni 1996,

h) SE DJA No. SE-106/A.6/2001 tanggal 6 Agustus 2001 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Pemungutan PPN, PPN-BM dan PPh Proyek Pemerintah yang

dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri, serta

i) Keputusan Menteri Keuangan No. 259/KMK.017/1993 tentang Penerusan

Pinjaman.

Hal – hal penting yang diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri

Keuangan dengan Menteri Negara PPN (Ketua Bappenas) Nomor 459/KMK.03/1999

dan Nomor Keputusan 264/KET/09/1999 tentang Tata Cara Perencanaan,

Pelaksanaan (Penatausahaan) dan Pemantauan Pinjaman/Hibah Luar Negeri

(PHLN) terutama dalam Pasal 9 menyebutkan bahwa:

4.2

Page 53: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

1. Jumlah atau bagian dari jumlah PHLN yang dimuat dalam Naskah Perjanjian

Pinjaman/Hibah Luar Negeri (NPPHLN) dituangkan dalam Daftar Isian

Proyek (DIP) atau dokumen lain yang dipersamakan dengan DIP.

2. Dalam hal PHLN akan diteruspinjamkan sebagai pinjaman, maka calon

penerima penerusan pinjaman mengajukan usul penerusan pinjaman kepada

Menteri Keuangan dengan tembusan kepada Menteri Negara PPN/Kepala

Bappenas.

3. Menteri Keuangan atau kuasanya (dalam hal ini Direktorat Penerusan Pinjaman,

Direktorat Jenderal Perbendaharaan) menetapkan persyaratan penerusan

pinjaman dan menandatangani Naskah Perjanjian Penerusan Pinjaman (NPPP

atau SLA) dengan Penerima Penerusan Pinjaman (PPP) yang bersangkutan.

4. Rekanan NPPP yang telah ditandatangani oleh Menteri Keuangan atau

kuasanya dengan PPP tersebut disampaikan kepada Bappenas, Bank Indonesia,

dan BPKP.

Apabila dana PHLN yang tercantum dalam NPPHLN, sebagian atau

seluruhnya disediakan untuk membiayai proyek-proyek BUMN/BUMD atau Pemda,

maka dalam hal ini dana PHLN tersebut diteruspinjamkan kepada BUMN/BUMD

atau Pemda.

Dalam pelaksanaannya dilakukan melalui Perjanjian Penerusan Pinjaman

(PPP) atau disebut juga dengan two-step loan. SLA/PPP adalah subsidiary loan

agreement/perjanjian penerusan pinjaman, yaitu perjanjian penerusan pinjaman luar

negeri untuk pembiayaan proyek Pemda/BUMN/BUMD ditandatangani oleh

Menkeu dan pihak Pemda/BUMN/BUMD. Ketentuan mengenai prosedur

penerusan pinjaman luar negeri diatur melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor

35/KMK.07/2003 tanggal 22 Januari 2003 tentang Perencanaan, Pelaksanaan/

Penatausahaan, dan Pemantauan Penerusan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah

kepada Daerah. Sedangkan penerusan pinjaman luar negeri kepada BUMN belum

diatur secara spesifik.

4.3

Page 54: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

4.2 Insentif Kebijakan Fiskal Yang Masih Berlaku Sampai Dengan Tahun 2000

Sebagai unit usaha, industri listrik mempunyai kewajiban untuk membayar

pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang

mewah (PPN dan PPNBM), pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas

tanah dan bangunan (BPHTB), pajak lainnya (bea meterai), dan bea masuk. Di

samping itu, dengan adanya otonomi daerah, industri listrik juga diwajibkan untuk

membayar retribusi kepada daerah atas aktivitas yang dilakukannya.

Namun, untuk mengurangi beban pajak, Pemerintah telah memberikan

beberapa fasilitas perpajakan pada industri listrik sesuai dengan UU Perpajakan

dengan mengacu pada prinsip-prinsip dasar perpajakan (simplicity, fairness, certainty,

and competitiveness). Di samping itu, berbagai langkah pembaharuan yang telah

dilakukan Pemerintah, baik di bidang administrasi maupun kebijakan perpajakan

sejak tahun 1983 mempunyai andil dalam mengurangi beban pajak bagi wajib pajak

pada umumnya dan industri listrik pada khususnya.

Pembaharuan kebijakan perpajakan yang tertuang dalam UU Perpajakan

telah dilakukan 3 kali berturut-turut, yaitu tahun 1983, 1994, dan 2000. Saat ini

sedang diproses amandemen UU Perpajakan yang keempat kalinya. Perubahan

kebijakan perpajakan yang mendasar terjadi pada tahun 1983, yaitu dari sistem

penghitungan pajak government assessment menjadi self assessment, dan dari pajak

penjualan menjadi pajak pertambahan nilai.

Sistem self assessment mengatur perubahan perilaku aparat pajak sehingga

menjadi lebih melayani wajib pajak, sedangkan perubahan pajak penjualan menjadi

PPN telah mengurangi pajak ganda, sehingga beban pajak berkurang. Pemberlakuan

PPN mengakibatkan pengenaan pajak hanya pada pertambahan nilai yang telah

terjadi pada proses produksi, sehingga dikenal adanya pajak masukan dan pajak

keluaran (PM-PK). Tarif PPN sebesar 10 persen relatif masih kompetitif

dibandingkan dengan negara-negara lain yang pengenaan tarif PPN bervariasi

sekitar 10 persen. Di samping itu, dilakukan penyederhanaan tarif dan lapisan tarif

pajak, serta peningkatan penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Secara berturut-turut

tarif PPh Badan yang berlaku dapat dilihat pada Tabel berikut.

4.4

Page 55: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Tabel 4.1

Wajib pajak Badan Dalam Negeri Dan Bentuk Usaha Tetap

Tarif Pajak Lapisan Penghasilan Kena Pajak

1983 1991 1994 2000

S/d Rp 10 juta 15% 15% - -

Di atas Rp 10 juta s/d Rp 50 juta 25% 25% - -

Di atas Rp 50 juta 35% 35% - -

S/d Rp 25 juta - - 10% -

Di atas Rp 25 juta s/d Rp 50 juta - - 15% -

Di atas Rp 50 juta - - 30% -

S/d Rp 50 juta - - - 10%

Di atas Rp 50 juta s/d RP 100 juta - - - 15%

Di atas Rp 100 juta - - 30%

Tabel 4.1. memperlihatkan beban pajak untuk PPh Badan mengalami

penurunan yang mencolok di tahun 1994 – 2000. Perubahan tersebut (tax reform)

pada akhirnya membuat pengenaan pajak menjadi lebih sederhana, adil dan

kompetitif. Hasil kajian Tim Kebijakan Perpajakan - BAF (2001), menyebutkan tarif

efektif PPh badan di Indonesia secara umum bisa dikatakan kompetitif

dibandingkan dengan tarif efektif PPh Badan negara-negara ASEAN dan sekitarnya.

G ra fik 2 .7P erb a n d in g an T arif E fek tif P P h B ad a n d i B eb e rap a N eg ara

B erb a g a i T in g k at P en d a p ap a d a tan

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

35%

2.0004.000

10.000

20.000

30.000

40.000

50.000

60.000

70.000

80.000

90.000

100.000

110.000

120.000

200.000

P e n g h a s ila n (d a la m U S $ )

Tarif

Efe

ktif

Indones ia M a lays ia T ha iland P h ilip inesC h ina V ie tnam C am bod ia

Grafik 4.1. Perbandingan Tarif Efektif PPh Badan di beberapa Negara pada berbagai tingkat pendapatan

4.5

Page 56: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Pada tingkat pendapatan (profit) perusahaan di bawah US$25.000 tarif efektif

PPh badan di Indonesia lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lain, namun

pada tingkat pendapatan (profit) di atas US$25.000 tarif efektif PPh badan di

Indonesia kalah dibandingkan Kamboja dan Malaysia. Untuk lebih detilnya lihat

Grafik.

Selain kebijakan umum perpajakan yang mendorong sistem perpajakan

Indonesia menjadi lebih kompetitif sehingga beban pajak yang ditanggung

perusahaan di Indonesia secara umum tidak lebih berat daripada beban pajak di

negara lain, Pemerintah juga telah memberikan berbagai fasilitas kepada industri

listrik secara khusus sebagai berikut :

1. PPh Badan Pasal 25/29 merupakan pajak atas penghasilan (profit) perusahaan

dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri setiap bulan sebesar PPh yang

terutang menurut SPT PPh tahun lalu dan pajak terutang dalam satu tahun.

PPh tersebut dikenakan pada penghasilan kena pajak (PKP) perusahaan, yang

merupakan selisih antara pendapatan operasi perusahaan dikurangi dengan

biaya operasi perusahaan yang menurut peraturan bisa dikurangkan.

Pendapatan operasi perusahaan listrik meliputi antara lain penjualan tenaga

listrik dan biaya penyambungan. Sedangkan, biaya operasi perusahaan

meliputi antara lain pembelian tenaga listrik, bahan bakar dan minyak pelumas,

pemeliharaan, kepegawaian, dan penyusutan aktiva tetap. Untuk mengurangi

beban PPh Pasal 25/29 Badan tersebut, Pemerintah telah memberikan fasilitas

perpajakan untuk penerimaan atas biaya penyambungan listrik yang diterima

PT PLN pada periode Januari – Desember 1976 dengan menganggap bahwa

penerimaan tersebut sudah dilaporkan pada SPT PT PLN. Sedangkan, periode 1

Januari 1977 – 31 Desember 1995 penerimaan atas biaya penyambungan listrik

belum diakui sebagai penghasilan dan belum dikenakan PPh, sehingga terutang

PPh namun pengenaannya dibagi rata selama 5 tahun terhitung sejak tahun

1996 sampai dengan tahun 2000. Setelah itu, mulai tahun 1996 semua

penerimaan atas biaya penyambungan listrik merupakan penghasilan tahun

bersangkutan dan wajib dikenakan PPh.

4.6

Page 57: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

2. PPh Pasal 22 Impor adalah pajak yang dipungut oleh badan tertentu (BUMN)

berkenaan dengan kegiatan di bidang impor yang dibiayai oleh APBN atau

APBD.

Apabila industri listrik tersebut adalah BUMN, maka perusahaan tersebut

berkewajiban memungut PPh pasal 22 impor atas kegiatan di bidang impor

yang dibiayai oleh APBN atau APBD. Namun, pajak ini dapat dikreditkan pada

SPT akhir tahun dan merupakan beban kontraktor.

Untuk mengurangi beban PPh pasal 22 Impor, Pemerintah telah memberikan

fasilitas perpajakan tidak dipungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal

22 UU PPh. Dengan demikian, khusus untuk industri listrik tidak dikenakan

PPh pasal 22 impor.

3. PPh Pasal 26 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang bersumber

dari Indonesia yang diterima oleh WP luar negeri selain badan usaha tetap

(BUT).

Pajak ini dikenakan atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, sewa,

hadiah, penghargaan, imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan

kegiatan, serta pensiun dan pembayaran berkala lainnya yang diterima oleh WP

luar negeri.

Untuk mengurangi beban PPh pasal 26 ini Pemerintah telah memberikan

fasilitas perpajakan berupa pembebasan dari PPh untuk konsultan,

kontraktor/supplier semua proyek PLN yang dibiayai dengan pinjaman luar

negeri.

4. PPN adalah pajak yang dikenakan pada nilai tambah dari barang dan jasa yang

diperjualbelikan. Dalam PPN dikenal adanya pajak masukan dan pajak

keluaran, sehingga tidak terjadi pajak berganda. Pada dasarnya pajak ini

merupakan beban konsumen.

Untuk mengurangi beban PPN terutama cash flow industri listrik, Pemerintah

memberikan beberapa fasilitas PPN sebagai berikut :

a. Perusahaan PLN sebagai BUMN diperbolehkan memungut PPN dari

supplier barang dan jasa atau kontraktor utama pelaksana proyek.

4.7

Page 58: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Sehingga PLN tidak mengalami kesulitan cash flow, karena pajak

masukannya sudah dipotong terlebih dahulu.

b. Proyek-proyek PLN yang dibiayai dengan dana pinjaman luar negeri

dibebaskan dari PPN.

c. Penyerahan jasa persewaan kapal laut, kapal sungai, kapal danau, dan

segala jenis kapal yang digunakan untuk kegiatan usaha perusahaan

pelayaran niaga nasional, PPN yang terutang ditanggung Pemerintah.

Oleh karena itu, penyerahan jasa persewaan kapal laut untuk

pengangkutan BBM PLN, PPN-nya ditanggung Pemerintah.

d. PPN untuk penyerahan jasa tenaga listrik dibawah 6600 Watt bebas PPN.

Sehingga harga jual listrik di bawah kategori 6600 Watt tidak menjadi lebih

mahal.

e. Jasa penagihan rekening listrik dan telepon yang dilakukan oleh bank,

tidak terutang PPN. Sehingga premi penerimaan pembayaran rekening

listrik bulanan yang diterima oleh bank-bank dari PLN, tidak terutang

PPN.

f. Atas impor barang modal dalam rangka usaha penyediaan tenaga listrik

oleh swasta diberi fasilitas PPN yang terutang ditangguhkan.

5. PPNBM adalah Pajak penjualan barang mewah dikenakan pada pembelian

barang-barang tertentu yang tergolong mewah. Pajak ini tidak dapat

dikreditkan sehingga merupakan beban bagi pembelinya (PLN, perusahaan

listrik lainnya atau konsumen).

Untuk mengurangi beban PPNBM industri listrik, Pemerintah telah

memberikan fasilitas perpajakan PPNBM yang terutang ditangguhkan atas

impor barang modal dalam rangka usaha penyediaan tenaga listrik oleh swasta.

6. Pajak Lainnya, terutama bea meterai, adalah pelunasan bea meterai yang

dikenakan pada kuitansi listrik dengan tagihan diatas Rp250 ribu. Bea meterai

ini merupakan bukti sahnya pembayaran kuitansi transaksi, dan merupakan

beban konsumen pengguna listrik.

4.8

Page 59: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Untuk penyederhanaan prosedur ijin pelunasan bea meterai atas kuitansi

rekening listrik dan pelaporannya, Pemerintah telah memberikan fasilitas

pemberian ijin pencetakan tanda “Lunas Bea Meterai” bisa dilakukan oleh

Kepala KPP setempat atas kuitansi rekening listrik dengan menggunakan mesin

pengolah data (komputer) pada tiap kantor unit/cabang PLN.

7. Bea Masuk adalah pajak yang dikenakan atas lalu lintas keluar masuk barang

ke daerah pabean. Untuk mengurangi beban bea masuk industri listrik,

Pemerintah telah memberikan fasilitas perpajakan pembebasan bea masuk atas

impor barang modal dalam rangka usaha penyediaan tenaga listrik oleh swasta.

4.3. Fasilitas Insentif Kebijakan Fiskal yang Dapat Dimanfaatkan oleh Investor

Swasta di Bidang Kelistrikan Sampai Dengan Tahun 2000

Dalam rangka mendorong partisipasi investor swasta dalam penyediaan

tenaga listrik, Pemerintah melalui Keputusan Presiden No. 37 Tahun 1992 tentang

Usaha Penyediaan Tenaga Listrik oleh Swasta, telah memberikan beberapa

kemudahan baik dalam bentuk pembebasan atas pembayaran bea masuk, pajak

tidak dipungut sebagaimana diatur adalam Pasal 22 Undang-undang Pajak

Penghasilan 1984, dan pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan barang mewah

(PPN dan PPNBM) yang terutang ditangguhkan.

Berdasarkan Pasal 2 ayat 2 dan 3 dalam Kepres tersebut, penyediaan tenaga

listrik oleh swasta diutamakan pada pola pelaksanaan “membangun, memiliki dan

mengoperasionalkan”. Disamping itu dapat pula dipertimbangkan kemungkinan

penggunaan pola pelaksanaan lain yang menguntungkan bagi negara. Selanjutnya

dalam Pasal 3 ayat 3 disebutkan bahwa tenaga listrik yang dihasilkan oleh usaha

swasta dapat dijual kepada PT. PLN (Persero) atau kepada pihak lain.

Pembangunan pembangkit tenaga listrik oleh swasta dilaksanakan sesuai

dengan kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang energi dan didasarkan atas

ketersediaan sumber energi primer yang diperlukan serta pertimbangan

keekonomian usaha tersebut dan dengan memperhatikan pertimbangan-

pertimbangan pelestarian lingkungan hidup. Untuk itu usaha pembangkitan tenaga

4.9

Page 60: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

listrik oleh swasta diutamakan penggunaan sumber energi primer di luar minyak

bumi, kecuali apabila di lokasi proyek pembangkitan yang diusulkan tidak tersedia

atau atas dasar keekonomian tidak mungkin digunakan sumber energi primer di

luar minyak bumi.

4.4. Insentif Kebijakan Fiskal Yang Diberlakukan Untuk Investasi di Sektor

Kelistrikan

Berdasarkan jenis kegiatannya, investasi di bidang ketenagalistrikan pada

dasarnya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu : a) investasi pada pembangkitan

tenaga listrik, b) investasi pada transmisi tenaga listrik dan c) investasi pada

distribusi tenaga listrik. Dalam konteks dengan insentif fiskal yang diberikan oleh

Pemerintah, nampaknya baru kegiatan investasi di bidang pembangkit dan

distribusi tenaga listrik yang telah tersentuh.

Di bidang pembangkit tenaga listrik, Pemerintah telah memberikan insentif

fiskal dalam bentuk penerusan pinjaman, pembebasan PPh, PPN maupun PPnBM.

Sedang untuk kegiatan distribusi, Pemerintah telah membebaskan konsumen dari

PPN khususnya untuk pelanggan dengan daya kurang dari 6.600 VA. Dengan

insentif ini diharapkan PT. PLN mampu menjual tenaga listrik dengan harga yang

kompetitif.

Di bidang ketenagalistrikan, terdapat dua permasalahan pokok yang dihadapi

Pemerintah, yaitu :

a. Secara nasional pertumbuhan permintaan tenaga listrik baru berkisar antara 7%

– 9% per tahun. Sementara itu, rasio elektrisifikasi saat ini baru mencapai 65%

dan di tahun 2010 diharapkan naik menjadi 70%. Peningkatan rasio ini

membutuhkan penambahan daya listrik dalam jumlah yang besar. Untuk itu

diperlukan penambahan investasi baru dalam pembangkitan tenaga listrik.

Dalam konteks ini Pemerintah perlu mendorong pengembangan investasi baru

di bidang kelistrikan. Sejalan dengan PP Nomor 3 tahun 2005 tentang

Perubahan Atas PP Nomor 10 tahun 1989 tentang Penyediaan dan pemanfaatan

Tenaga Listrik, investasi baru di bidang kelistrikan diprioritaskan penggunaan

4.10

Page 61: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

energi setempat dengan kewajiban mengutamakan penggunaan sumber energi

terbarukan karena pertimbangan keekonomian usaha dan dengan

memperhatikan pertimbangan pelestarian lingkungan hidup. Di Indonesia,

sumber energi kebanyakan terdapat di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi

dan Papua. Dari keekonomian usaha, pembangkitan tenaga listrik baru akan

efisien apabila dilakukan di daerah penghasil sumber energi seperti batubara

dan gas alam.

b. Berdasarkan pertimbangan efisiensi usaha dalam pembangkitan tenaga listrik,

maka investasi untuk transmisi tenaga listrik dari daerah yang penghasil tenaga

listrik (luar Jawa) ke daerah yang kekurangan tenaga listrik, khususnya Jawa

dan Bali yang tidak memiliki sumber energi primer. Untuk itu diperlukan

insentif fiskal dalam bidang investasi transmisi tenaga listrik.

Dalam kaitannya dengan kedua permasalahan di atas, maka yang perlu

dipikirkan Pemerintah adalah bagaimana menciptakan kebijakan fiskal yang mampu

memberikan insentif baik bagi pembangkit untuk meningkatkan produksi maupun

transmisi tenaga listrik. Salah satu upaya adalah meningkatkan daya saing

perekonomian Indonesia melalui berbagai langkah perbaikan sistem perpajakan,

sehingga mampu berperan menjadi daya tarik (insentif) bagi kegiatan investasi.

Dengan demikian, penyempurnaan sistem perpajakan harus terus dilanjutkan,

baik di bidang kebijakan maupun administrasi pajak (tax policy and administration

reform). Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan sistem perpajakan yang sehat dan

kompetitif dalam rangka mendorong kegiatan investasi di Indonesia.

Penyempurnaan sistem perpajakan tersebut tidak boleh meninggalkan

prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman untuk menciptakan sistem perpajakan

yang sehat dan kompetitif, yaitu :

1. Netral dan tidak distorsif terhadap pola perilaku ekonomi masyarakat;

2. Keadilan dalam pembebanan pajak (fairness);

3. Kesederhanaan dalam pengadministrasian (simplicity) dan compliant costnya

rendah;

4.11

Page 62: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

4. Stabil dan mudah diprediksi sehingga pembayar pajak dapat melakukan

kalkulasi bisnis yang rasional;

5. Transparansi dan peraturan pelaksanaan yang tegas sehingga dapat

menghilangkan ketidakpastian.

Mengacu kepada prinsip-prinsip dasar tersebut, maka kebijakan untuk

memberikan fasilitas khusus pada satu atau dua sektor industri akan menimbulkan

ketidakadilan dan ketidakefisienan pada sektor tersebut. Dengan demikian, fasilitas-

fasilitas tersebut justru harus dihapuskan, agar tidak menimbulkan distorsi. Oleh

karena itu, insentif pajak tersebut harus diberikan dalam bentuk lain, yaitu fasilitas

pajak yang dapat dinikmati secara umum.

Pada dasarnya, penyempurnaan sistem dan prosedur pajak juga merupakan

insentif pajak, karena hal ini dapat berdampak pada penurunan beban pajak dan

peningkatan daya saing. Reformasi Kebijakan Perpajakan yang akan dilakukan oleh

Pemerintah pada dasarnya berkaitan dengan upaya perbaikan lebih lanjut sistem

perpajakan, sehingga diharapkan lebih mampu berperan menjadi daya tarik

(insentif) bagi kegiatan investasi di Indonesia, termasuk investasi di bidang

ketenagalistrikan.

Pemberian fasilitas perpajakan dimaksudkan untuk mendorong kegiatan

investasi langsung di Indonesia, baik melalui penanaman modal asing maupun

modal dalam negeri di bidang-bidang tertentu dan daerah-daerah tertentu yang

mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional, khususnya penggalakan ekspor.

Bentuk fasilitas tersebut antara lain diperbolehkannya depresiasi dipercepat,

kompensasi kerugian yang lebih lama tapi tidak boleh lebih dari 10 tahun,

pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30 persen dari jumlah penanaman

modal yang dilakukan selama 6 tahun, dan pajak ditanggung Pemerintah untuk

BUMN dan PSO untuk hal-hal yang sangat mendesak dan penting.

Amandemen UU PPh pada intinya mencakup ketentuan sebagai berikut :

1. Untuk mendorong investasi dan menyesuaikan dengan perkembangan tarif

pajak di negara-negara tetangga, lapisan tarif PPh bagi Wajib Pajak (WP) Badan

ditetapkan tarif tunggal. Tarif umum yang akan ditetapkan atas PKP WP

4.12

Page 63: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Badan adalah 30%. Tarif ini akan diturunkan menjadi 28% pada tahun 2007 dan

25% pada tahun 2010.

2. Kepada WP yang akan melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha

tertentu atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam

skala nasional, dapat diberikan fasilitas perpajakan.

3. Untuk mengembangkan usaha mikro, kecil dan menengah dapat diberikan

fasilitas perpajakan khusus yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

4. Keuntungan/kerugian selisih kurs diakui sesuai dengan Standar Akuntansi

Keuangan yang berlaku di Indonesia,

5. Pemupukan dana cadangan, biaya beasiswa, biaya sumbangan

penanggulangan bencana nasional, sumbangan dalam rangka litbang, biaya

pengembangan masyarakat dan sosial, dan sumbangan fasilitas pendidikan

termasuk sebagai pengurang penghasilan bruto,

6. Perluasan dan pemotongan/pemungutan PPh dan perbedaan tarif pemotongan

antara WP yang ber-NPWP dan non-NPWP.

Sedangkan pokok-pokok amandemen UU PPN dan PPnBM antara lain adalah

sebagai berikut :

1. Pengalihan BKP dalam rangka merger tidak dikenakan PPN, dengan syarat

semua perusahaan yang terlibat telah terdaftar sebagai PKP,

2. Pemberian ijin pemusatan tempat pajak terutang berdasarkan penelitian,

3. PPN atas penyerahan JKP yang tidak sepenuhnya dilakukan atau dimanfaatkan

tetapi sudah sepenuhnya dipungut dapat dikembalikan.

Pokok-pokok amandemen undang-undang kepabeanan antara lain meliputi:

1. Menangkal penyelundupan dengan penajaman pada ketentuan pidana dan

pemberatan sanksi,

2. Pengawasan pengangkutan barang tertentu dengan memberikan kewenangan

pada DJBC untuk melakukan pengawasan atas pengangkutan barang tertentu

dalam daerah pabean,

3. Mencegah pelanggaran kepabeanan berupa pemberatan sanksi administrasi,

registrasi kepabeanan, audit kepabeanan, dan pemeriksaan jabatan,

4.13

Page 64: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

4. Fasilitasi perdagangan dan industri dengan antara lain memberikan jalur

prioritas dan perluasan fungsi tempat penimbunan berikat,

5. Perlindungan perdagangan dan insustri yaitu memberikan kesempatan untuk

mengajukan keberatan selain tarif dan/atau nilai pabean, penetapan bea masuk

tindakan pengamanan, dan penegasan tarif pembalasan (retaliatie).

Untuk mewujudkan terciptanya keadilan dan efisiensi pajak, saat ini

pemberian fasilitas khusus untuk industri-industri tertentu telah dikurangi dan

diganti dengan fasilitas-fasilitas yang dapat dinikmati secara umum.

Namun, di dalam pemberian fasilitas tersebut tetap harus memegang teguh

prinsip perpajakan, yaitu diberlakukan dan diterapkan perlakuan yang sama

terhadap semua wajib pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan

yang hakekatnya sama. Karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan

harus mengacu pada kaidah di atas.

Pemberian fasilitas perpajakan dimaksudkan untuk mendorong kegiatan

investasi langsung di Indonesia, baik melalui penanaman modal asing maupun

modal dalam negeri di bidang-bidang tertentu dan daerah-daerah tertentu yang

mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional, khususnya penggalakan ekspor.

Bentuk fasilitas tersebut antara lain diperbolehkannya depresiasi dipercepat,

kompensasi kerugian yang lebih lama tapi tidak boleh lebih dari 10 tahun,

pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% dari jumlah penanaman modal

yang dilakukan selama 6 tahun, dan pajak ditanggung Pemerintah untuk BUMN dan

PSO untuk hal-hal yang sangat mendesak dan penting.

4.5. Insentif Kebijakan Fiskal Berupa Fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) Untuk

Mendorong Usaha Dan Investasi Kelistrikan Setelah Tahun 2001

Uraian berikut ini merupakan hasil workshop1 (tanggal 21 – 22 September 2005)

yang telah dilakukan dalam rangka memperjelas insentif fiskal yang masih

1Hasil kerjasama penelitian antara PT. PLN (Persero) dengan Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional – Departemen Keuangan.

4.14

Page 65: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

diberlakukan oleh Pemerintah untuk mendorong usaha dan investasi

ketenagalistrikan.

Mengingat, saat ini terdapat kesenjangan antara kebutuhan dengan suplai

tenaga listrik sehingga menimbulkan persoalan kelangkaan energi listrik. Selain itu,

bahwa energi listrik saat ini termasuk dalam kategori komoditi atau barang strategis

bagi perekonomian nasional, sebab pertumbuhan ekonomi sangat tergantung

dengan ketersediaan energi terutama listrik. Dengan kata lain, kelangsungan suplai

energi listrik dapat menggerakan roda perekonomian nasional sehingga diperlukan

upaya untuk menjamin kelangsung ketersediaan energi listrik. Untuk itu,

Pemerintah dalam hal ini perlu menciptakan iklim yang kondusif bagi peningkatan

investasi baru di bidang infrastruktur energi listrik terutama untuk pembangkit,

transmisi dan distribusi.

4.5.1. Penanaman Modal Di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan atau Di Daerah-

daerah Tertentu

Pasal 31A di dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak

Penghasilan telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, yang

menyatakan bahwa wajib pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-

bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu dapat diberikan fasilitas

PPh dalam bentuk, antara lain :

a. Pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari

jumlah penanaman modal yang dilakukan;

b. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;

c. Kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh)

tahun;

d. Pengenaan Pajak Penghasilan atas deviden sebesar 10% (sepuluh persen),

kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan

lebih rendah.

Fasilitas pajak penghasilan (PPh) tersebut diatur lebih lanjut dalam PP, antara

lain :

4.15

Page 66: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

a. PP Nomor 147 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah

Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan

Pengembangan Ekonomi Terpadu.

b. PP Nomor 148 Tahun 2000 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk

Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan atau di Daerah-

daerah Tertentu.

c. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 571/KMK.04/2000 tentang Tata Cara

Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan kepada Wajib Pajak yang Melakukan

Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan atau di Daerah-

daerah Tertentu.

PP tersebut mulai diberlakukan oleh Pemerintah pada tanggal 1 Januari 2001,

terutama tentang fasilitas pajak penghasilan (PPh) berupa pengurangan penghasilan

neto, penyusutan dan amortisasi dipercepat, kompensasi kerugian yang lebih lama,

pajak penghasilan atas deviden sebesar 10%.

Kepada Wajib Pajak badan dalam negeri terutama yang berbentuk Perseroan

Terbatas (PT) yang melakukan penanaman modal baru atau perluasan di bidang-

bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu dapat diberikan fasilitas

pajak penghasilan (PPh) berdasarkan Keputusan Presiden. Fasilitas pajak

penghasilan tersebut adalah :

1. Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari jumlah penanaman modal

yang dilakukan;

2. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;

3. Kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih lama dari 10 tahun;

4. Pengenaan Pajak Penghasilan atas deviden yang dibayarkan kepada Subyek

Pajak luar negeri sebesar 10% atau tarif yang lebih rendah menurut P3B yang

berlaku.

Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas perpajakan atas kegiatan usaha di

Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) berdasarkan PP Nomor 20

Tahun 2000 tidak lagi diberikan fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud dalam

PP ini yang diberlakukan oleh Pemerintah pada tanggal 1 Januari 2001.

4.16

Page 67: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

4.5.2. Restrukturisasi Utang Usaha Melalui Lembaga Khusus Yang Dibentuk

Pemerintah

Pasal 31B Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, yang menyatakan

bahwa wajib pajak yang melakukan restrukturisasi utang usaha melalui lembaga

khusus yang dibentuk Pemerintah dapat memperoleh fasilitas pajak yang bersifat

terbatas baik dalam jangka waktu maupun jenisnya berupa keringanan PPh yang

terutang atas :

a. Pembebasan utang.

b. Pengalihan harta kepada kreditur untuk penyelesaian utang.

c. Perubahan utang menjadi penyertaan modal.

Ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah terutama yang

menyatakan bahwa keringanan pajak penghasilan kepada wajib pajak yang

melakukan restrukturisasi utang usaha, antara lain :

1. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2001 tentang Pemberian Keringanan

Pajak Penghasilan kepada Wajib Pajak yang melakukan restrukturisasi utang

usaha melalui lembaga khusus yang dibentuk Pemerintah.

2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 113/KMK.03/2001 tentang Pemberian

Keringanan Pajak Penghasilan kepada Wajib Pajak yang melakukan

restrukturisasi Utang Usaha melalui Lembaga Khusus yang dibentuk

Pemerintah.

Kepada Debitur yang telah menyelesaikan restrukturisasi utang usaha dalam

tahun 2000, 2001 atau 2002 dapat diberikan fasilitas keringanan pajak penghasilan

yang bersifat terbatas berdasarkan rekomendasi Ketua Komite Kebijaksanaan Sektor

Keuangan (KKSK), antara lain :

1. Pajak Penghasilan yang terutang atas keuntungan karena pembebasan utang

(hair cut) yang diperoleh debitur dibebaskan sebesar 30%;

4.17

Page 68: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

2. Pajak Penghasilan yang terutang atas keuntungan yang diperoleh debitur atau

pihak ketiga karena pengalihan harta kepada kreditur (debt to asset swap)

dibebaskan sepanjang pengalihan harta tersebut dinilai sebesar nilai buku harta

pihak yang mengalihkan;

Pajak Penghasilan yang terutang atas keuntungan yang diperoleh debitur atau

kreditur karena perubahan utang menjadi penyertaan modal kreditur pada

perusahan debitur (debt to equity swap) baik langsung maupun melalui pihak ketiga

dibebaskan sepanjang penyertaan modal tersebut dinilai sebesar nilai buku utang

pihak debitur. Merupakan aturan pelaksanaan Pasal 31B Undang-undang Pajak

Penghasilan 2000. Ketentuan ini mulai berlaku tanggal 14 Februari 2001.

4.5.3. Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET)

Fasilitas pajak penghasilan yang diberikan dalam Kapet telah diatur dalam

Peraturan Pemerintah, antara lain :

a. PP Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan

Pengembangan Ekonomi Terpadu.

b. KMK Nomor: 200/KMK.04/2000 tentang Perlakuan Perpajakan dan

Kepabeanan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu.

c. SE-04/PJ.32/2000 tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan Pengembangan

Ekonomi Terpadu.

Mulai 7 April 2000 sampai dengan 1 Januari 2001, kepada pengusaha yang

melakukan kegiatan usaha di dalam KAPET diberikan fasilitas Pajak Penghasilan

sebagai berikut :

1. Pilihan untuk menerapkan penyusutan dan atau amortisasi yang dipercepat;

2. Kompensasi kerugian fiskal, mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut

sampai paling lama 10 tahun;

3. Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Deviden sebesar 10%.

Sebelum 7 April 2000, terhadap pengusaha di KAPET berlaku Keppres Nomor

89 Tahun 1996 tentang Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET)

4.18

Page 69: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

sebagaimana diubah dengan Keppres Nomor 9 Tahuan 1998 dengan memberikan

fasilitas, antara lain :

1. Pembebasan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang modal, bahan baku

dan peralatan lain yang berhubungan lansung dengan kegiatan produksi.

2. Penyusutan dan/atau amortisasi yang dipercepat.

3. Kompensasi kerugian, mulai tahun pajak berikutnya berturut turut s/d paling

lambat 10 tahun.

4. Pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Deviden sebesar 50% dari jumlah

yang seharusnya dibayar.

5. Pengurangan sebagai biaya produksi:

a. Kenikmatan berupa natura yang diperoleh karyawan dan untuk

diperhitungkan sebagai penghasilan bagi karyawan;

b. Biaya pembangunan dan pengembangan daerah setempat yang

mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha yang fungsinya

dapat dinikmati umum.

Sejak 1 Januari 2001 bagi pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di dalam

Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) diberikan perlakuan di bidang

PPh sebagai berikut :

a. Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari jumlah penanaman modal

yang dilakukan;

b. Pilihan untuk menerapkan penyusutan dan/atau amortisasi yang dipercepat;

c. Kompensasi kerugian fiskal, mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut

sampai paling lama 10 tahun;

d. Pajak Penghasilan atas deviden yang dibayarkan kepada Subyek Pajak luar

negeri sebesar 10% atau tarif yang lebih rendah menurut P3B yang berlaku.

Ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah terutama yang

menyatakan bahwa keringanan pajak penghasilan kepada wajib pajak yang

melakukan kegiatan usaha di dalam Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu

(KAPET), antara lain :

4.19

Page 70: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

a. PP Nomor 147 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah

Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan

Pengembangan Ekonomi Terpadu.

b. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 11/KMK.04/2001 tentang Perubahan

atas KMK Nomor 200/KMK.04/2000 tentang Perlakuan Perpajakan dan

Kepabeanan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu.

Fasilitas Pajak Penghasilan sesuai dengan Pasal 31A Undang-undang Pajak

Penghasilan Tahun 1994, yang menyatakan bahwa pengusaha yang melakukan

kegiatan usaha di dalam KAPET yang telah ditetapkan, antara lain :

1. KAPET Natuna (Keppres Nomor 71 Th 1996 stdtd Keppres 117 Th 1999);

2. KAPET Biak (Keppres Nomor 90 Th 1996 sebagaimana diubah dengan Keppres

Nomor 10 Th 1998);

3. KAPET Batulicin ( Keppres Nomor 11 Th 1998);

4. KAPET Sasamba (Keppres Nomor 12 Th 1998);

5. KAPET Sanggau (Keppres Nomor 13 Th 1998);

6. KAPET Manado Bitung (Keppres 14 Th 1998);

7. KAPET Mbay (Keppres Nomor 15 Th 1998);

8. KAPET Pare-pare (Keppres Nomor 164 Th 1998);

9. KAPET Seram (Keppres Nomor 165 Th 1998);

10. KAPET Bima (Keppres Nomor 166 Tahun 1998);

11. KAPET Batui (Keppres Nomor 167 Th 1998);

12. KAPET Bukari (Keppres Nomor 168 Th 1998);

13. KAPET Betano, Natarbora dan Viqueque (Keppres Nomor 169 Th 1998);

14. KAPET Das Kakab (Keppres 170 Th 1998);

15. KAPET Sabang ( Keppres Nomor 171 Th 1998).

Fasilitas Pajak Penghasilan sesuai Pasal 31A Undang-undang Pajak

Penghasilan tahun 2000. PP tersebut mulai diberlakukan oleh Pemerintah pada

tanggal 1 Januari 2001.

4.20

Page 71: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

4.5.4. Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah (PPh DTP) atas Hibah dan

Pinjaman Luar Negeri

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk

Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan

Pajak Penghasilan Dalam rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang Dibiayai

dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri.

Sejak tanggal 1 April 1995, Pajak Penghasilan yang terutang oleh kontraktor,

konsultan dan pemasok (supplier) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh

karena pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek Pemerintah

yang dibiayai degan hibah atau dana pinjaman luar negeri ditanggung oleh

Pemerintah. Peraturan Pemerintah ini berlaku surut sejak tanggal 1 April 1995.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 239/KMK.01/1996. Sejak 1 April 1995,

Pajak Penghasilan yang terutang oleh kontraktor utama atas penghasilan yang

diterima atau diperoleh karena pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan

proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri

ditanggung oleh Pemerintah.

Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1998 tentang perubahan atas

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995, menyatakan bahwa Pajak Penghasilan

ditanggung Pemerintah atas penghasilan yang diterima atau diperoleh karena

pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek Pemerintah yang

dibiayai dengan hibah atau pinjaman luar negeri, antara lain :

a. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang oleh karyawan asing yang bekerja

pada kontraktor, konsultan dan pemasok (supplier) utama;

b. Pajak Penghasilan yang terutang oleh kontraktor, konsultan dan pemasok

lapisan kedua. Peraturan Pemerintah ini diberlakukan olah Pemerintah sejak

tanggal 23 Juni 1998.

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2000 tentang perubahan Kedua atas

PP Nomor 42 Tahun 1995, menyatakan Pajak Penghasilan yang terutang oleh

kontraktor, konsultan dan pemasok Utama atas penghasilan yang diterima atau

4.21

Page 72: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

diperloleh dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan Proyek

Pemerintah yang dibiayai dengan hibah luar negeri ditanggung Pemerintah.

Mengubah ketentuan mengenai PPh DTP pada PP Nomor 42 Tahun 1995

stdtd PP Nomor 63 Th 1998. Keputusan ini diberlakukan oleh Pemerintah sejak

tanggal 23 Juni 2000.

Ketentuan lebih lanjut diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan terutama

yang menyatakan bahwa Pajak Penghasilan yang terutang oleh kontraktor,

konsultan dan pemasok Utama atas penghasilan yang diterima atau diperloleh dari

pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan Proyek Pemerintah yang

dibiayai dengan hibah luar negeri ditanggung Pemerintah, antara lain :

a. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.04/2000 tentang perubahan

Kedua Keputusan Menteri Keuangan Nomor 239/KMK.01/1996.

b. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-526/PJ./2000 tanggal 7

Desember 2000.

c. Surat Edaran Nomor SE-05/PJ.42/2001 tentang Penegasan masa transisi

berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2000. Perlakuan Pajak

Penghasilan ditanggung Pemerintah sebagaimana diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 stdtd Peraturan Pemerintah Nomor 63

Tahun 1998 berkenaan dengan proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana

pinjaman luar negeri berlaku juga terhadap kontrak pekerjaan/pengadaan

yang ditandatangani setelah tanggal 23 Juni 2000, sepanjang loan aggrement

yang telah ditandatangani oleh Pemerintah sebelum tanggal 23 Juni 2000

memuat klausul bahwa Pajak Penghasilan yang terutang oleh kontraktor,

konsultan dan pemasok ditanggung Pemerintah.

d. Keputusan Menteri Keuangan ini berlaku sejak tanggal 23 Juni 2000 dan untuk

pertama kalinya diberlakukan untuk proyek-proyek Pemerintah yang

kontraknya ditandatangani setelah tanggal 22 Juni 2000.

e. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2001 tentang perubahan ketiga atas

peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995. Pajak Penghasilan yang terutang

atas penghasilan yang diterima atau diperoleh kontraktor, konsultan dan

4.22

Page 73: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

pemasok utama dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan

proyek-proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana hibah dan atau dana

pinjaman luar negeri, ditanggung Pemerintah.

f. Mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 stdtd Peraturan

Pemerintah Nomor 43 Tahun 2000. Keputusan ini diberlakukan Pemerintah

sejak tanggal 18 Mei 2001.

Ketentuan lebih lanjut diatur dalam peraturan mengenai BUT yang

menanamkan kembali labanya di Indonesia dibebaskan dari PPh Pasal 26 sebesar

20%, antara lain dalam :

a. Pasal 26 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah

terakhir dengan UU No. 17 Tahun 2000;

b. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 113/KMK.03/2002 tanggal 28 Maret

2002 tentang perlakuan perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah

dikurangi pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap.

Pajak Penghasilan sebesar 20% dari Penghasilan Kena Pajak sesudah

dikurangi Pajak atas BUT tidak dikenakan jika atas penghasilan tersebut ditanamkan

kembali di Indonesia, dengan syarat :

1. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh Penghasilan Kena Pajak setelah

dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru

didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;

2. Penanaman kembali dilakukan dalam tahun Pajak berjalan atau selambat-

lambatnya tahun Pajak berikutnya dari tahun Pajak diterima atau diperolehnya

penghasilan tersebut; dan

3. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling sedikit

dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman

dilakukan produksi komersial.

Dengan berlakunya Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 113/KMK.03/2002

tentang perlakuaan perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak

dari suatu Bentuk Usaha Tetap, maka Keputusan Menteri Keuangan Nomor

4.23

Page 74: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

602/KMK. 04/2002 tentang perlakuan perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak

sesudah Bentuk Usaha Tetap dinyatakan tidak berlaku.

4.5.5. Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Pegawai

Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK Nomor 466/KMK. 04/2000

tentang Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai dan

Pengggantian atau Imbalan Sehubungan Dengan Pekerjaan atau Jasa yang Diberikan

Dalam Bentuk Natura Dan Kenikmatan di Daerah Tertentu serta yang Berkaitan

Dengan Pelaksanaan Pekerjaan Yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto

Pemberi Kerja.

Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-213/PJ./2001 tentang

Perlakuan Perpajakan atas Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Seluruh

Pegawai dan Pengggantian atau Imbalan Sehubungan dengan Pekerjaan atau Jasa

yang Diberikan Dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan di Daerah Tertentu serta

yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan yang dapat Dikurangkan dari

Penghasilan Bruto Pemberi Kerja.

Pengeluaran untuk penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai

dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja atau perusahaan dan bukan

merupakan penghasilan bagi pegawai.

Pemberian kepada pegawai dalam bentuk natura dan kenikmatan yang

merupakan keharusan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan, keamanan dan

keselamatan kerja atau yang berkenaan dengan situasi lingkungan kerja, dapat

dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan

penghasilan bagi pegawai walaupun diberikan bukan di daerah terpencil.

Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan

dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu yang dapat dikurangkan

dari penghasilan bruto adalah sarana dan fasilitas di lokasi bekerja untuk :

a. Tempat tinggal, termasuk perumahan bagi pegawai dan keluarganya,

sepanjang di lokasi bekerja tersebut tidak ada tempat tinggal yang dapat

disewa;

4.24

Page 75: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

b. Pelayanan kesehatan, sepanjang di lokasi bekerja tersebut tidak ada sarana

kesehatan;

c. Pendidikan bagi pegawai di lokasi bekerja, sepanjang di lokasi bekerja tersebut

tidak ada sarana pendidikan yang setara;

d. Pengangkutan bagi pegawai di lokasi bekerja, sedangkan pengangkutan

anggota keluarga dari pegawai yang bersangkutan terbatas pada pengangkutan

sehubungan dengan kedatangan pertama ke lokasi bekerja dan kepergian

pegawai dan keluarganya karena terhentinya hubungan kerja;

e. Olahraga bagi pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, boating dan

pacuan kuda, sepanjang di lokasi bekerja tersebut tidak tersedia sarana

dimaksud.

Pengeluaran-pengeluaran dalam bentuk natura dan kenikmatan tersebut

bukan merupakan penghasilan bagi pegawai dan dapat dibebankan sebagai biaya

bagi pemberi kerja pada tahun Pajak dibayarnya atau terutangnya pengeluaran

tersebut. Keputusan Dirjen Pajak ini mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2001.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-14/PJ.31/2003 tentang

Penyediaan Makanan dan Minuman oleh Pemberi Kerja Bagi Seluruh Pegawai di

Tempat kerja. Penyediaan makanan dan minumam bagi pegawai perusahaan di

tempat kerja tidak mutlak harus “seluruh pegawai perusahaan termasuk dewan

direksi dan dewan komisaris makan dan minum di tempat kerja”.

Apabila terdapat sejumlah pegawai yang tidak dapat memanfaatkan atau

tidak memperoleh fasilitas in-natura tersebut di tempat kerja karena sifat

pekerjaannya tidak memungkinkan (seperti para pegawai bagian pemasaran, bagian

transportasi dan dinas luar lainnya), maka adanya hal tersebut saja tidak

membatalkan pemenuhan persyaratan sesuai prinsip tersebut diatas.

4.5.7. Restrukturisasi Perusahaan

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-23/PJ.42/1999 tentang Buku

Panduan Tentang Perlakuan Perpajakan Restrukturisasi Perusahaan. Perlakuan

perpajakan atas Restrukturisasi Perusahaan adalah :

4.25

Page 76: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

1. Penggabungan dan peleburan usaha :

a. Pengalihan harta dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha

dengan menggunakan nilai buku fiskal menurut badan usaha yang

mengalihkan.

b. Badan usaha yang mengalihkan harta tidak memperoleh keuntungan atau

kerugian atas pengalihan harta tersebut. Oleh karena itu, badan usaha

yang melakukan pengalihan harta tidak terutang PPh, termasuk PPh

sebesar 5% atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan dan menerima

pengalihan harta tidak memperoleh keuntungan atau kerugian sebagai

akibat dari Pengalihan harta.

c. Badan usaha yang menerima pengalihan harta tidak memperoleh

keuntungan atau kerugian sebagai akibat penerimaan harta.

d. apabila sebelum dilakukan penggabungan atau peleburan usaha, antara

badan usaha yang mengalihkan harta dan yang menerima pengalihan

harta mempunyai hubungan utang-piutang, maka tidak ada penghasilan

maupun biaya yang timbul sebagai akibat kompensasi timbal-balik atas

utang-piutang tersebut.

2. Pemekaran usaha :

a. Pengalihan harta dalam rangka pemekaran usaha dengan menggunakan

nilai buku fiskal menurut induk perusahaan.

b. Induk perusahaan tidak memperoleh keuntungan atau kerugian atas

pengalihan hartanya. Oleh karenanya, Induk perusahaan tidak terutang

PPh dari pengalihan harta, termasuk PPh sebesar 5% atas pengalihan hak

atas tanah dan bangunan.

c. Anak perusahaan tidak memperoleh keuntungan atau kerugian dari

perolehan harta induk perusahaan dalam rangka pemekaran usaha.

Sesuai Pasal 4 ayat (1) huruf d dalam SE tersebut beserta penjelasannya

menyatakan bahwa :

4.26

Page 77: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

- Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta karena likuidasi,

penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengalihan usaha

termasuk objek Pajak.

- Selisih lebih antara harga pasar dengan nilai sisa buku dalam hal terjadi

penggabungan, peleburan, pemekaran, dan pengambilalihan usaha merupakan

penghasilan.

4.5.8. Penyusutan Dan Atau Pembebanan Sebagai Biaya Atas Biaya Pemakaian

Telepon Seluler Dan Kendaraan Perusahaan

Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-220/PJ./2002 tentang

Perlakuan Pajak Penghasilan atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler dan Kendaraan

Perusahaan.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/2002 tanggal 17 Mei

2002 tentang perlakuan pemakaian telepon seluler dan kendaraan perusahaan,

antara lain :

1. Atas biaya perolehan atau pembelian Ponsel yang dipergunakan oleh pegawai

tertentu dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% dari jumlah

biaya perolehan melalui penyusutan Aktiva Tetap Kelompok I.

2. Atas biaya berlangganan/isi ulang atau perbaikan ponsel tersebut diatas dapat

dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% dari jumlah biaya dalam

tahun Pajak yang bersangkutan.

3. Atas biaya perolehan atau perbaikan besar kendaraan yang dimiliki dan

dipergunakan perusahan untuk antar jemput karyawan dapat dibebankan

seluruhnya sebagai biaya perusahaan melalui penyusutan aktiva tetap

kelompok II.

4. Atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaran tersebut diatas dapat

dibebankan seluruhnya sebagai biaya perusahaan dalam tahun Pajak yang

bersangkutan.

5. Atas biaya perolehan atau pembelian sedan/sejenis yang dipergunakan oleh

pegawai tertenu dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% dari

jumlah biaya perolehan melalui penyusutan aktiva tetap kelompok II.

4.27

Page 78: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

6. Atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan tersebut diatas dapat

dibebankan sebagai biaya perusahaan 50% dari jumlah biaya dalam tahun

Pajak yang bersangkutan. Pengelompokan Aktiva Tetap yang disusutkan

sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor

138/KMK.03/2002.

4.5.9. Angsuran Pembayaran PPh Atas Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2002 tentang Penilaian

Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk tujuan perpajakan, antara lain :

1. Atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap dikenakan PPh yang bersifat

final sebesar 10% setelah dikompensasikan terlebih dahulu dengan sisa

kerugian fiscal tahun-tahun sebelumnya berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2)

UU PPh yang berlaku.

2. Wajib Pajak yang karena kondisi keuangannya tidak memungkinkan untuk

melunasi sekaligus PPh yang terutang sebagaimana dimaksud diatas dapat

mengajukan permohonan untuk membayar secara angsuran sampai dengan

paling lama 5 (lima) tahun untuk PPh yang terutang sesuai dengan ketentuan

sebagai berikut :

Diatas Rp 2.000.000.000.000,- s/d Rp 4.000.000.000.000, masa angsuran s/d

2 (dua) tahun.

Diatas Rp 4.000.000.000.000,- s/d Rp 6.000.000.000.000, masa angsuran s/d

3 (tiga) tahun.

Diatas Rp 6.000.000.000.000 s/d Rp 8.000.000.000.000, masa angsuran s/d 4

(empat) tahun.

Diatas Rp 8.000.000.000.000,- masa angsuran s/d 5 (lima) tahun.

3. Dalam hal Wajib Pajak melakukan pengalihan Aktiva Tetap perusahaan yang

telah memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum berakhirnya masa

manfaat baru, maka atas pengalihan tersebut dikenakan tambahan PPh yang

bersifat final sebesar 20% dari selisih lebih penilaian kembali diatas nilai sisa

4.28

Page 79: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

buku fiskal semula tanpa dikompensasikan dengan sisa kerugian fiskal tahun-

tahun sebelumnya, kecuali atas:

Pengalihan yang bersifat Force Majeur berdasarkan keputusan atau

kebijakan Pemerintah atau keputusan Pengadilan atau;

Pengalihan, peleburan, atau pemekaran usaha untuk tujuan perpajakan

atau;

Penarikan aktiva tetap perusahaan dari penggunaan karena mengalami

kerusakan berat yang tidak dapat di perbaiki lagi. Keputusan Menteri

Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal 28 Nopember 2002. Dengan

berlakunya Keputusan Menteri Keuangan ini, maka Keputusan Menteri

Keuangan Nomor : 384/KMk.04/1998 Tentang Penilaian Kembali Aktiva

Tetap Perusahaan dinyatakan tidak berlaku. Keputusan Direktur Jenderal

Pajak Nomor KEP-519/PJ./2002 tentang Tata Cara dan Prosedur

Pelaksanaan Penilaian Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan.

4. Wajib Pajak yang melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk

tujuan perpajakan wajib mendapatkan persetujuan Ka Kanwil yang

membawahi KPP tempat Wajib Pajak terdaftar paling lambat 30 hari kerja

setelah tanggal dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap dengan

menggunakan formulir yang telah ditentukan.

5. Apabila menurut penelitian permohonan Wajib Pajak telah memenuhi

persyaratan formal maupun material, maka Ka Kanwil wajib menerbitkan surat

persetujuan paling lambat 30 hari kerja setelah tanggal diterimanya

permohonan WP.

6. Apabilan setelah lewat batas waktu tersebut diatas Ka Kanwil belum

menerbitkan surat keputusan diterima/ditolak, maka permohonan WP tersebut

dianggap diterima dan wajib diterbitkan surat keputusan paling lambat 3 hari

sejak tanggal berakhirnya batas waktu tersebut diatas.

4.5.10. Pengecualian Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 tanggal 30 April

2001 tentang Penunjukkan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya

4.29

Page 80: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Pungutan serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya sebagaimana telah diubah

terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 236/KMK.03/2003 tanggal 3

Juni 2003.

Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-417/PJ/2001 tanggal 27 Juni

2001 tentang Petunjuk Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya

Pungutan, serta Tata Cara penyetoran dan Pelaporannya. Dikecualikan dari

pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah :

1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan

perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan;

2. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak

Pertambahan Nilai :

a. Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di

Indonesia berdasarkan asas timbal balik;

b. Barang untuk keperluan badan internasional yang diakui dan terdaftar

pada Pemerintah Indonesia beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia

dan tidak memegang paspor Indonesia;

c. Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial atau

kebudayaan.

d. Barang untuk keperluan museum, kebun binatang dan tempat lain

semacam itu yang terbuka untuk umum;

e. Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu

pengetahuan;

f. Barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat

lainnya;

g. Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;

h. Barang pindahan;

i. Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan

barag kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan;

4.30

Page 81: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

j. Barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Daerah yang ditujukan

untuk kepentingan umum;

k. Persenjataan, amunisi dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang

yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;

l. Barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi

keperluan petahanan dan keamanan negara;

m. Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi

Nasional (PIN);

n. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku-buku pelajaran agama;

o. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal

angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap

ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran

atau alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh

Perusahaan Pelayaran Niaga Nasonal atau perusahaan penangkapan ikan

nasional;

p. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau

alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan

yang diimpor dan digunakan oleh perusahaan Angkutan Udara Niaga

Nasional;

q. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau

pemeliharaan serta prasarana yag diimpor dan digunakan oleh PT Kereta

Api Indonesia;

r. Peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batas dan photo udara

wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara

Nasional Indonesia.

3. Dalam hal impor sementara jika pada waktu impornya nyata-nyata

dimaksudkan untuk diekspor kembali;

4. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)

dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;

5. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum,

PDAM dan benda-benda pos;

4.31

Page 82: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

6. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari

emas untuk tujuan ekspor;

7. Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) oleh Kantor

Perbendaharaan dan Kas Negara;

8. Impor kembali (reimpor) yang meliputi barang-barang yang telah diekspor

untuk keperluan perbaikan pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi

syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

4.6. Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Rangka Meningkatkan

Usaha Dan Investasi Ketenagalistrikan

4.6.1. Fasilitas PPN yang diberlakukan oleh Pemerintah Pada Periode Sebelum 1

Januari 2001

Sesuai ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 3, serta Pasal 4A ayat (2)

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan

Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah telah diubah dengan Undang-undang

Nomor 18 Tahun 2000, yang menyatakan bahwa semua barang merupakan Barang

Kena Pajak, kecuali barang-barang tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan

Pemerintah sebagai jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Pada periode berlakunya Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994, yaitu sejak 1

Januari 1995 sampai dengan 31 Desember 2000, listrik (kecuali untuk perumahan

dengan daya di atas 6.600 watt) ditetapkan sebagai jenis barang yang tidak

dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994 tentang

Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai

Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah diubah dengan

Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 59 Tahun 1999. Dengan demikian, dalam periode ini, Pajak

Pertambahan Nilai hanya dikenakan atas penyerahan listrik untuk perumahan

dengan daya di atas 6.600 watt.

4.32

Page 83: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

4.6.2. Fasilitas PPN yang diberlakukan oleh Pemerintah Pada Periode Setelah 1

Januari 2001 sampai dengan Sekarang

Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 yang berlaku

sejak 1 Januari 2001, listrik tidak lagi ditetapkan sebagai jenis barang yang tidak

dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, sehingga sejak 1 Januari 2001 listrik merupakan

Barang Kena Pajak.

Namun demikian, dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001

tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat

Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (berlaku sejak 1

Januari 2001) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 46 Tahun 2003, listrik (kecuali untuk perumahan dengan daya di

atas 6.600 watt) ditetapkan sebagai Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis

yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Di samping penetapan listrik (kecuali untuk perumahan dengan daya di atas

6.600 watt) sebagai Barang Kena Pajak tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan

dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, ditetapkan juga dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 bahwa barang modal berupa mesin dan peralatan

pabrik (baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku

cadang) yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena

Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut

merupakan Barang Kena Pajak tertentu yang atas impor dan atau penyerahannya

dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Dengan penetapan ini, maka atas impor dan atau penyerahan barang modal

berupa mesin dan atau peralatan pabrik yang diperlukan secara langsung dalam

proses menghasilkan Barang Kena Pajak berupa listrik, dibebaskan dari pengenaan

Pajak Pertambahan Nilai.

Dalam perkembangannya, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 telah

diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2002 tentang Impor dan atau

Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan

4.33

Page 84: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, barang modal dimaksud tidak lagi

ditetapkan sebagai Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang atas impor dan

atau penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Ketentuan ini mulai diberlakukan sejak 2 Agustus 2002, sehingga atas impor dan

atau penyerahan barang modal untuk industri ketenagalistrikan yang dilakukan

sejak 2 Agustus 2002 terutang Pajak Pertambahan Nilai.

Namun demikian, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2002 ini

listrik (kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 watt) masih ditetapkan

sebagai Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang atas penyerahannya

dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Pada tahun berikutnya, tepatnya sejak 13 Agustus 2003, diterbitkan dan

diberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2003 tentang Perubahan

Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau

Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan

dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Penetapan dalam Peraturan Pemerintah ini kembali sebagaimana penetapan

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001, dimana listrik (kecuali untuk

perumahan dengan daya di atas 6.600 watt) ditetapkan sebagai Barang Kena Pajak

tertentu yang bersifat strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan

Pajak Pertambahan Nilai, dan barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik

yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena Pajak

berupa listrik dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

4.6.3. Ketenagalistrikan dalam Rangka Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan

Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri

Di samping fasilitas perpajakan di atas, proyek-proyek ketenagalistrikan yang

dilakukan dalam rangka Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah dan atau

dana pinjaman luar negeri diberikan fasilitas tidak dipungut Pajak Pertambahan

Nilai dan atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

4.34

Page 85: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Fasilitas tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995

tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak

Penjualan atas Barang Mewah, dan Pajak Penghasilan dalam Rangka Proyek

Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2001 jo.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 239/KMK.01/1996 tentang Pelaksanaan

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk

Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan

Pajak Penghasilan dalam Rangka Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah

atau Dana Pinjaman Luar Negeri, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir

dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.04/2000.

Fasilitas di bidang Pajak Pertambahan Nilai yang diberikan atas Proyek

Pemerintah tersebut berupa tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak

Penjualan atas Barang Mewah atas:

a. Impor Barang Kena Pajak;

b. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;

c. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean;

d. Penyerahan Barang Kena Pajak; dan atau

e. Penyerahan Jasa Kena Pajak, oleh Kontraktor Utama dalam Proyek Pemerintah

yang seluruh dananya dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri.

Dalam hal Proyek Pemerintah tersebut hanya sebagian saja yang dibiayai

dengan dana atau pinjaman luar negeri, maka fasilitas tidak dipungut Pajak

Pertambahan Nilai dan atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah tersebut hanya

berlaku atas bagian dari Proyek Pemerintah yang dananya dibiayai dengan hibah

atau dana pinjaman luar negeri.

4.6.4. Rencana Kebijakan Pemerintah Dalam Rangka Dalam Rangka Meningkatkan

Usaha Dan Investasi Ketenagalistrikan

Dalam Rancangan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, apabila

diperlukan, atas listrik dapat diberikan fasilitas di bidang Pajak Pertambahan Nilai

4.35

Page 86: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

dengan menggolongkannya sebagai Barang Kena Pajak tertentu yang atas

penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Demikian juga atas barang modal yang digunakan untuk menghasilkan

Barang Kena Pajak berupa listrik, apabila diperlukan, dapat dikategorikan sebagai

Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis yang atas impor dan atau

penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Berdasarkan uraian di atas, maka insentif perpajakan, khususnya di bidang

Pajak Pertambahan Nilai, yang diberikan atas kegiatan industri ketenagalistrikan

dapat dikatakan telah cukup memadai, baik insentif untuk kepentingan investor

yang melakukan kegiatan di bidang ketenagalistrikan maupun kepada konsumen

atau pengguna tenaga listrik (kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600

watt).

4.36

Page 87: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

BAB V :

KEBIJAKAN INSENTIF FISKAL & RENEWABLE RESOURCES BIDANG KETENAGALISTRIKAN DI NEGARA - NEGARA ASEAN

5.1. Kebijakan Insentif Fiskal Di Beberapa Negara

Insentif mengenai ketenagalistrikan di beberapa negara sangat bervariatif sesuai

dengan kondisi perekonomian negara-negara tersebut. Namun secara umum pemberian

insentif sektor ketenagalistrikan di beberapa negara dapat dikelompokkan dalam

bentuk insentif daerah, sektoral, ekspor dan daerah perdagangan bebas, serta dalam

bentuk insentif lainnya.

5.2. Kebijakan Insentif Fiskal Di Malaysia

Secara umum, insentif fiscal di sector ketenagalistrikan di Malaysia dikelompokan

menjadi empat macam insentif, yaitu insentif regional, insentif sektoral, insentif ekspor

dan daerah perdagangan bebas dan insentif lainnya.

5.2.1. Kebijakan Insentif Regional

Insentif regional di Malaysia diberikan kepada wilayah-wilayah tertentu yang

memiliki keunggulan komparatif ataupun wilayah yang menjadi prioritas

pembangunan. Salah satu contoh pemberian insentif regional diberikan pada pusat

keuangan internasional di pulau Labuan. Sebagai pusat keuangan internasional,

wilayah ini memberi tax rate kepada perusahaan perdagangan sebesar 3 persen dari

profit atau pada jumlah yang tetap, yaitu sebesar 20.000 ringgit. Perusahaan yang

melakukan kegiatan di luar perdagangan seperti perusahaan pembangkitan listrik

diberi insentif pembebasan pajak.

Perusahaan berstatus pionir terutama di sector ketenagalistrikan diberi insentif

perpajakan secara khusus, yaitu 70 persen dari income-nya dibebaskan dari pajak (untuk

proyek-proyek di bagian timur Semenanjung Malaysia, Sabah, dan Sarawak diberikan

sebesar 85 persen) yang merupakan daerah prioritas pembangunan. Setelah itu, neraca

5.1

Page 88: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

keuangannya dikenakan tax rate pendapatan perusahaan. Status pionir ini diberikan

kepada perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha dan menghasilkan produk yang

sedang dipromosikan oleh pemerintah.

Keringanan pajak investasi (Investment Tax Allowance atau ITA) sebesar 60 persen

dapat diperoleh perusahaan yang memenuhi kualifikasi dalam pengeluaran modalnya

selama 5 tahun terhitung sejak disetujuinya keringanan pajak investasi (untuk proyek-

proyek di bagian timur Semenanjung Malaysia, Sabah, dan Sarawak diberikan sebesar

80 persen), salah satunya proyek pembangkit listrik hydro power Bakun di Sarawak.

ITA dapat diberikan sebesar 70 persen dari pendapatan dalam tahun perhitungan pajak.

5.2.2. Kebijakan Insentif Sektoral

Untuk insentif sektoral diberikan bagi perusahaan yang bergerak di sector-sektor

tertentu yang strategis dan menjadi prioritas pembangunan pemerintah. Salah satu

prioritas adalah di sector ketenagalistrikan. Perusahaan yang menetapkan kantor pusat-

nya di Malaysia akan memperoleh pembebasan pajak sebesar 10 persen selama 5 hingga

10 tahun terhadap pendapatan yang diperoleh dari kegiatan perusahaan yang terkait

dengan kantor atau perusahaan di luar Malaysia.

Insentif juga diberikan kepada proyek-proyek public service seperti tenaga listrik,

transportasi, komunikasi, dan proyek lain yang disetujui oleh Menteri Keuangan

(Approved Service Projects atau ASPs). Insentif yang diberikan berupa pembebasan pajak

penghasilan sebesar 70 hingga 100 persen selama 5 hingga 10 tahun atau bantuan dana

investasi yang nilainya sama dengan 60 hingga 100 persen dari nilai pengeluaran modal

dalam lima tahun sejak disetujui. Bantuan investasi ini nilainya kurang lebih sama

dengan 70 hingga 100 persen dari pendapatan yang resmi.

Perusahaan foreign fund management juga memperoleh pengurangan sebesar 10

persen dari tax rate terhadap penghasilan kena pajak yang dihitung dari jasa yang

diberikan kepada investor asing.

5.2

Page 89: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Pemberian insentif berupa pembebasan pajak penghasilan kepada perusahaan

venture capital (Venture Capital Company atau VCC) bertujuan untuk meningkatkan

keuntungan mereka yang diperoleh dari pembagian atas saham yang dimiliki. Hal ini

didasari bahwa perusahaan venture capital merupakan perusahaan yang terlibat dalam

usaha beresiko tinggi dan bergerak di bidang teknologi baru termasuk teknologi di

bidang ketenagalistrikan yang dapat meningkatkan pembangunan ekonomi dan

teknologi di dalam negeri.

5.2.3. Kebijakan Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan Bebas

Pemerintah Malaysia sedang giat-giatnya meningkatkan ekspor. Termasuk pula

di sektor ketenagalistrikan yang berencana mengekspor kelebihan pasokan tenaga

listriknya dari Malaysia Bagian Timur (Sabah Sarawak) ke Brunei dan Indonesia

(Kalimantan) ataupun dari Malaysia Bagian Barat ke Singapura. Pemberian

pengurangan pajak berganda ditujukan untuk pengeluaran promosi ekspor yang telah

disetujui. Perusahaan-perusahaan dalam negeri dapat meminta pengurangan pajak

berganda ini untuk semua pengeluaran yang terjadi dalam meningkatkan ekspor.

Insentif lain yang dapat diberikan sesuai dengan Undang-undang Peningkatan

Investasi tahun 1986 (Promotion of Investment Act atau POIA) adalah insentif bagi hotel,

industri, infrastruktur termasuk di sektor ketenagalistrikan, ekspor, pendapatan ekspor,

dan pendapatan yang disesuaikan.

5.2.4. Kebijakan Insentif Lainnya

Semua perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur atau kegiatan pertanian

dan belum memperoleh insentif dalam bentuk apapun atas pengeluaran modalnya

sesuai dengan POIA, dapat menerima Reinvestment Allowance (RA) sebesar 60 persen

dari pengeluaran modal yang digunakan untuk pabrik, mesin, bangunan industri

dengan tujuan ekspansi, modernisasi atau diversifikasi.

5.3

Page 90: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Seperti halnya ITA, RA memberi keringanan pajak sebesar 70 persen dari

pendapatan perusahaan. Setiap RA yang tidak terserap dapat digunakan untuk tahun-

tahun yang akan datang sampai dapat digunakan secara penuh. Proyek-proyek

berkualifikasi yang terletak di daerah promosi di bagian timur Semenanjung Malaysia,

Sabah, dan Sarawak memperoleh RA hingga 100 persen dari pendapatannya.

5.3. Kebijakan Insentif Fiskal Di Filipina

Sama seperti halnya Malaysia, secara umum insentif fiskal di sector

ketenagalistrikan di Filipina dikelompokan menjadi empat macam insentif, yaitu

insentif regional, insentif sektoral, insentif ekspor dan daerah perdagangan bebas dan

insentif lainnya.

5.3.1. Kebijakan Insentif Regional

Insentif diberikan kepada perusahaan ketenagalistrikan yang berlokasi di daerah

kurang berkembang atau wilayah ekonomi khusus serta menempatkan kantor pusat

dan gudang penyimpanannya di Filipina.

Dewan investasi (Board of Investment atau BOI) menggunakan paket insentif dari

Executive Order 226 untuk mendorong perusahaan-perusahaan menempatkan

ketenagalistrikan kegiatan utamanya di daerah-daerah kurang berkembang. Perusahaan

dengan status pionir memperoleh income tax holiday selama 6 tahun, sedangkan yang

tidak berstatus pionir selama 4 tahun.

Perusahaan ketenagalistrikan yang menempatkan kegiatan utamanya di daerah

kurang berkembang memperoleh income tax holiday selama 6 tahun tanpa

memperhatikan statusnya sebagai perusahaan pionir atau tidak, dan jenis proyeknya,

mendapat tambahan pengurangan pajak pendapatan yang nilainya sama dengan

pengeluaran untuk pembangunan fasilitas infrastruktur utama.

Perusahaan ketenagalistrikan yang berlokasi di luar kawasan ibu kota dan

terdaftar pada atau sebelum tanggal 31 Desember 1994 akan memperoleh insentif jika

5.4

Page 91: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

perusahaan tersebut membeli barang modal di dalam negeri. Insentif yang didapat

yaitu tax credit yang nilainya sama dengan pajak pertambahan nilai dan bea masuk yang

dibayar atas impor barang modal. Selain itu juga diberikan tax credit dan duty credit atas

bahan mentah yang digunakan dalam produksi barang ekspor.

Perusahaan tersebut memperoleh pembebasan pajak pertambahan nilai dan bea

masuk atas suku cadang yang diimpor serta pengapalan dan pembongkaran di

pelabuhan, termasuk biaya lain-lainnya.

5.3.2. Kebijakan Insentif Sektoral

Insentif sektoral diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang menjalankan

operasinya di sektor-sektor yang menjadi prioritas pemerintah terutama perusahaan di

bidang infrastruktur termasuk perusahaan ketenagalistrikan. Kesepakatan internasional

dan peraturan-peraturan khusus menyediakan insentif tertentu terhadap kegiatan-

kegiatan khusus, seperti eksplorasi sumber mineral dengan menggunakan teknologi

modern; pembangunan infrastruktur termasuk ketenagalistrikan, penambangan,

penggalian, dan pemrosesan mineral, besi baja, produksi pipa tanpa sambungan,

industri pertanian, publikasi, dan konstruksi. Peraturan-peraturan tersebut memberi

pilihan tarif dari 0 hingga 5 persen.

5.3.3. Kebijakan Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan Bebas

Untuk insentif ekspor bagi perusahaan ketenagalistrikan diberikan antara lain

kepada perusahaan-perusahaan yang terdaftar pada Philippines Economic Zone Authority

(PEZA). Perusahaan-perusahaan tersebut dibebaskan dari pajak-pajak pusat dan

daerah. Sebagai penggantinya, mereka dikenakan pajak final sebesar 5 persen dari

penghasilan bruto yang didistribusikan sebagai berikut : 3 persen kepada pemerintah

pusat, 1 persen kepada pemerintah daerah, dan 1 persen kepada dana pembangunan

khusus (Special Development Fund).

5.5

Page 92: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Penghasilan bruto yang dikenakan pajak sebesar 5 persen tidak termasuk biaya-

biaya untuk pembayaran administrasi, manajemen perusahaan, pemasaran, interest dan

financial charges pada barang modal, kerugian akibat transaksi valuta asing, kerugian

akibat penurunan nilai aset, iklan, asuransi, dan biaya pengadaan lain-lain.

5.3.4. Kebijakan Insentif Lainnya

Pemegang hak cipta memperoleh pembebasan bea masuk dan pengenaan biaya

atas impor mesin, perlengkapan dan suku cadang; serta pembebasan pajak penghasilan,

pajak pertambahan nilai, dan cukai terhadap komersialisasi produk-produk yang

diciptakan.

Tenaga kerja asing yang bekerja di kantor perwakilan daerah perusahaan-

perusahaan multinasional dikenakan pajak penghasilan sebesar 15 persen atas

penghasilan bruto mereka. Kantor perwakilan daerah perusahaan multinasional yang

tidak memperoleh pendapatan di Filipina tidak dikenakan pajak penghasilan, ijin lokal,

bea masuk impor, dan pajak pertambahan nilai.

5.4. Kebijakan Insentif Fiskal Di Singapura

Sama seperti halnya negara lain, secara umum insentif fiskal di sector

ketenagalistrikan di Singapura dikelompokan menjadi beberapa macam insentif, yaitu :

insentif sektoral, insentif ekspor dan daerah perdagangan bebas dan insentif lainnya.

5.4.1. Insentif Sektoral

Keringanan tax investment diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang

bergerak di bidang manufaktur atau konstruksi, perusahaan ketenagalistrikan,

penyediaan jasa teknik, kegiatan riset dan pengembangan, pengoperasian proyek

pengurangan konsumsi air minum, atau kegiatan jasa bagi perusahaan berstatus pionir.

Insentif ini diberikan sebagai pengurangan atas pendapatan yang dikenakan pajak

hingga 100 persen dari pengeluaran modal atas bangunan pabrik dan peralatan baru

yang digunakan di dalam negeri. Besarnya keringanan tax investment dapat

5.6

Page 93: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

dinegosiasikan, dan pengeluaran modal harus terjadi dalam 5 tahun sejak sertifikat

keringanan investasi disahkan oleh Economic Development Board (EDB).

Perusahaan dengan status pionir dapat memperoleh pembebasan pajak

pendapatan selama 5 tahun, dan maksimum hingga 10 tahun untuk kasus-kasus

tertentu yang dapat dinegosiasikan. Pada akhir masa pembebasan pajak tersebut,

perusahaan pionir yang bergerak di bidang jasa dan manufaktur dapat mengajukan

permohonan post-pioneer company incentive. Insentif ini dapat diperpanjang pada

kegiatan usaha yang lain dengan persetujuan Kementerian Perdagangan dan Industri.

Perusahaan yang mengeluarkan modal sedikitnya 10 juta dollar Singapura untuk

aset baru yang produktif dapat mengajukan insentif pengembangan perusahaan

(expanding enterprise incentive). Perusahaan-perusahaan jasa yang berstatus pionir juga

dapat mengajukan insentif ini jika mereka bermaksud meningkatkan jumlah kegiatan

usaha jasanya, tanpa harus mengeluarkan modal untuk aset yang produktif sebesar 10

juta dollar Singapura. Dengan insentif ini, keuntungan dari pengeluaran modal yang

baru dibebaskan dari pajak hingga maksimum 20 tahun.

Pengurangan income tax rate sebesar 10 persen ditawarkan kepada perusahaan

jasa keuangan internasional, termasuk di dalamnya adalah : kantor pusat operasi

kegiatan internasional, pusat perbendaharaan dan keuangan, perusahaan perdagangan

komoditas internasional yang disetujui, perusahaan pelayaran internasional yang

disetujui, perdagangan minyak yang disetujui, dan asuransi internasional.

Pendapatan yang diperoleh dari kegiatan-kegiatan berikut juga diberikan

keringanan pajak sebesar 10 persen :

• Kegiatan tertentu dari Asian Currency Unit (ACU);

• Kegiatan tertentu dari fund manager yang disetujui;

• Kegiatan tertentu dari security company yang disetujui;

• Leasing internasional pada pabrik dan mesin oleh perusahaan leasing;

5.7

Page 94: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

• Transaksi surat-surat berharga tertentu pada pasar uang yang telah ditentukan

dengan pihak-pihak tertentu oleh anggota dari bursa perdagangan surat-surat

berharga yang telah ditentukan;

• Jasa-jasa tertentu yang disediakan oleh agen pemeringkat kredit yang telah

disetujui;

• Perdagangan surat-surat hutang selama periode tertentu.

5.4.2. Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan Bebas

Dengan insentif ekspor, 90 persen keuntungan ekspor dibebaskan dari pajak.

Masa pembebasan pajak adalah selama 10 tahun, dan dapat diperpanjang dengan

persetujuan Kementerian Perdagangan dan Industri.

Perusahaan yang melakukan ekspor dari Singapura lebih dari 10 juta dollar

Singapura untuk produk pabrikan atau lebih dari 20 juta dollar Singapura untuk

komoditi tertentu dapat mengajukan international trade incentive. Dengan insentif ini, 50

persen keuntungan ekspor dibebaskan dari pajak, dan biasanya selama 5 tahun.

Warehouse companies yang menambah pengeluaran sebesar 2 juta dollar

Singapura atau lebih untuk fasilitas penyimpanan dan distribusi barang-barang

pabrikan dengan tujuan ekspor dapat memperoleh pembebasan pajak sebesar 50 persen

dari pendapatan ekspor mereka. Meskipun masa pembebasan pajak dapat

diperpanjang dengan persetujuan EDB, namun tidak dapat melebihi 20 tahun.

5.4.3. Insentif Lainnya

Perusahaan yang menyediakan jasa-jasa tertentu dapat mengajukan

pengurangan pajak berganda terhadap pengeluaran untuk kegiatan riset dan

pengembangan (R&D). Dalam menentukan apakah suatu pengeluaran dapat

memperoleh insentif ini atau tidak, EDB mempertimbangkan beberapa hal, yaitu :

besarnya pengeluaran untuk kegiatan riset dan pengembangan (R&D), tingkat keahlian

dan kualifikasi dari peneliti, serta tingkat kesulitan dari proyek penelitian.

5.8

Page 95: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.5. Kebijakan Insentif Fiskal Thailand

Sama seperti halnya di negara lain, secara umum insentif fiskal di sector

ketenagalistrikan di Thailand dikelompokan menjadi empat macam insentif, yaitu

insentif regional, insentif sektoral, insentif ekspor dan daerah perdagangan bebas dan

insentif lainnya.

5.5.1. Insentif Regional

Insentif regional terhadap perusahaan ketenagalistrikan di Thailand diberikan

berdasarkan zone regional yang sesuai dengan prioritas pembangunan pemerintah.

Dewan investasi (Board of Investment atau BOI) bertanggungjawab terhadap pemberian

insentif perpajakan dan memiliki wewenang untuk menentukan pihak-pihak yang

dapat diberi insentif tersebut. BOI memberi beberapa persyaratan bagi industri maupun

proyek yang dapat memperoleh insentif. BOI membagi 3 wilayah pengembangan, yaitu

:

1. Zone 1 yang meliputi 6 propinsi di sekitar Bangkok.

2. Zone 2 yang meliputi 10 propinsi di sekitar Zone 1.

3. Zone 3 yang meliputi propinsi-propinsi lain di wilayah utara, timur laut, dan

selatan Thailand, termasuk Laem Chabang Industrial Estate. Zone 3 dirancang

sebagai Investment Promotion Zone.

Untuk mendorong proyek-proyek ketenagalistrikan di propinsi yang kurang

berkembang, proyek-proyek yang berlokasi di Zone 1 menerima hak-hak istimewa

berupa keringanan pajak yang paling sedikit. Sementara untuk proyek-proyek di Zone 3

menerima hak-hak tersebut paling besar. BOI juga memberikan tambahan insentif bagi

realokasi pabrik-pabrik ke dalam Zone 2 dan 3.

Insentif di Zone 1 :

• Pembebasan pajak pendapatan perusahaan selama 3 tahun bagi

perusahaan-perusahaan yang memiliki proyek ekspor tidak kurang dari 80

5.9

Page 96: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

persen total penjualannnya, serta menempatkan pabrik-pabriknya di

kawasan industri atau promoted industrial zones.

• Pembebasan bea masuk impor mesin-mesin yang digunakan untuk proyek-

proyek baru diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang memiliki

proyek ekspor tidak kurang dari 80 persen total penjualannnya, serta

menempatkan pabrik-pabriknya di kawasan industri atau promoted

industrial zones.

• Pembebasan bea masuk impor bahan-bahan mentah yang digunakan untuk

produk-produk ekspor selama 1 tahun kepada perusahaan-perusahaan

yang menjual 30 persen produknya ke luar negeri.

Insentif di Zone 2 :

• Pembebasan pajak perusahaan selama 3 tahun dan dapat diperpanjang

hingga 7 tahun bagi perusahaan-perusahaan yang menempatkan pabrik-

pabriknya di kawasan industri atau promoted industrial zones.

• Pengurangan bea masuk impor sebesar 50 persen untuk mesin-mesin yang

digunakan oleh pabrik-pabrik yang ditempatkan di kawasan industri atau

promoted industrial zones.

• Pembebasan bea masuk impor bahan-bahan mentah yang digunakan untuk

produk-produk ekspor selama 1 tahun kepada perusahaan-perusahaan

yang menjual 30 persen produknya ke luar negeri.

Insentif di Zone 3 :

• Pembebasan pajak perusahaan selama 8 tahun, dengan perpanjangan

selama 5 tahun dimana selama masa perpanjangan tersebut diberikan

pengurangan pajak pendapatan perusahaan sebesar 50 persen.

• Pembebasan bea masuk impor mesin-mesin yang digunakan untuk proyek-

proyek yang ditempatkan di kawasan industri atau promoted industrial zones.

5.10

Page 97: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

• Pembebasan bea masuk impor bahan-bahan mentah yang digunakan untuk

produk-produk ekspor selama 5 tahun diberikan kepada perusahaan-

perusahaan yang menjual 30 persen produknya ke luar negeri.

• Pengurangan bea masuk impor bahan-bahan mentah untuk produk yang

dijual di dalam negeri sebesar 75 persen.

• Pengurangan pajak berganda untuk biaya-biaya air, listrik, dan transportasi

selama 10 tahun terhitung sejak tanggal penjualan pertama.

• Tambahan pengurangan sebesar 25 persen untuk biaya-biaya yang

berhubungan dengan pengembangan fasilitas infrastruktur tertentu yang

terkait dengan proyek-proyek yang ditempatkan di kawasan industri atau

promoted industrial zones.

5.5.2. Insentif Sektoral

BOI (Dewan Investasi) mengidentifikasi proyek-proyek tertentu yang

diprioritaskan, yaitu sistem transportasi utama, fasilitas pelayanan public, sektor

ketenagalistrikan, konservasi dan perlindungan alam, pengembangan teknologi, dan

industri-industri utama. Proyek-proyek tersebut akan diberi insenstif sebagai berikut :

• Pembebasan pajak pendapatan perusahaan selama 8 tahun tanpa memperhatikan

lokasi proyeknya.

• Pengurangan bea masuk impor mesin-mesin di Zone 1 dan 2 sebesar 50 persen.

• Pembebasan bea masuk impor mesin untuk proyek-proyek di Zone 3.

5.5.3. Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan Bebas

Selain BOI, Industrial Estate Authority memberi insentif kepada proyek-proyek

yang berlokasi di Export Processing Zones (EPZs). Insentif yang diberikan berupa :

• Pembebasan bea masuk impor mesin-mesin dan peralatan lainnya.

• Pembebasan bea masuk impor seluruh bahan-bahan mentah.

• Pembebasan pajak pertambahan nilai, cukai, dan biaya-biaya tambahan lainnya.

5.11

Page 98: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.5.4. Insentif Lainnya

BOI memberi insentif untuk produk-produk yang dikembangkan melalui

kegiatan riset dan pengembangan (R&D) termasuk riset di bidang ketenagalistrikan.

Tambahan insentif termasuk perpanjangan pembebasan pajak pendapatan perusahaan

selama 3 tahun. Undang-undang Pendapatan (Revenue Code) juga memberi pembebasan

pajak pendapatan perusahaan yang nilainya sama dengan besarnya biaya pengeluaran

untuk kegiatan riset dan pengembangan (R&D).

5.6. Kebijakan Perlistrikan di Thailand

Thailand memiliki 23 Gigawatts kapasitas tenaga listrik pada bulan Januari 2002

yang menghasilkan listrik sekitar 102 juta kwh. Penurunan perekonomian Thailand

sebagai akibat krisis ekonomi yang menimpa beberapa negara di Asia pada tahun 1997

menyebabkan pula penurunan permintaan listrik domestik di Thailand hingga 3 juta

kwh pada tahun 1998. Situasi ini membuat perusahaan listrik milik pemerintah

Thailand (EGAT) merevisi proyeksi permintaan listriknya. EGAT juga menunda

beberapa proyek listrik termasuk pembangunan pembangkit listrik Ratcaburi sebesar

300 MW hingga tahun 2004 (world energy, org).

Sebagai akibat dari pemulihan ekonomi Thailand yang menyebabkan

pertumbuhan ekonomi yang kembali meningkat sehingga permintaan akan listrik juga

meningkat, maka EGAT memutuskan untuk mengurangi cadangan kapasitas listriknya

dari 25 persen menjadi 15 persen pada tahun 2004. Dan sekarangpun pemerintah

Thailand telah kembali melanjutkan proyek-proyek pembangunan pembangkit

listriknya yang tertunda akibat krisis (world energy, org).

Kebijakan pemerintah Thailand dalam ketenaga listrikan antara lain dengan

melakukan privatisasi dan penjualan beberapa pembangkitnya dari EGAT kepada

pihak swasta. Selain itu juga dengan membuka kesempatan bagi Independent Power

5.12

Page 99: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Producer (IPP) untuk membangun pembangkit listrik. Salah satunya adalah Tri Energy

yang memulai beroperasi pada tahun 2000 dengan kapasitas 700 MW di Ratchaburi.

Selain itu, untuk terus meningkatkan pemenuhan kebutuhan listrik bagi

warganya, pemerintah Thailand memberikan persetujuan kepada pihak swasta untuk

membangun beberapa pembangkit yang prospektif di seluruh negeri, antara lain Thai

Oil yang membangun pembangkit bertenaga gas di Sri Racha yang berkapasitas 1400

MW. Sedangkan EGAT berencana membangun 4 pembangkit baru pada tahun 2008

antara lain 2 pembangkit di sekitar Bangkok, 1 pembangkit di Chachoengsao di

propinsi sebelah utara Thailand dan 1 pembangkit di Songkla propinsi di sebelah

selatan.

Kebijakan lain yang ditempuh pemerintah Thailand untuk mereformasi sektor

kelistrikannya antara lain dengan rencana pemerintah Thailand untuk memprivatisasi

EGAT (Perusahaan Listrik milik pemerintah) yang masih dalam tahap studi dalam

proses restrukturisasi dan privatisasi. Karena rencana privatisasi awal pada tahun 2004

ditunda karena ada penolakan dari serikat pekerja.

5.7. Kebijakan Perlistrikan di Vietnam

Meskipun tingkat perkapita konsumsi listrik di Vietnam termasuk yang terendah

diantara negara Asia, namun kenaikan permintaan terhadap listrik terus meningkat

dalam beberapa tahun belakangan ini, yang berakibat pada terbatasnya kapasitas

pembangkit di Vietnam. Hal ini disebabkan pertumbuhan yang pesat di sektor industri,

migrasi penduduk ke kota-kota besar, dan peningkatan standar hidup yang

menyebabkan pertumbuhan yang pesat terhadap permintaan listrik. Pada tahun 2002,

kapasitas pembangkit di Vietnam mencapai 8,3 GW yang mengahislkan sekitar 34,5 juta

kwh. Dari total listrik di Vietnam, 60 persennya menggunakan tenaga air (hydropower)

(world energy, org).

Permintaan akan listrik di Vietnam diperkirakan tumbuh 15 hingga 16 persen

pertahun hingga tahun 2010. Saat ini untuk mengatasi kekurangan pasokannya,

5.13

Page 100: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Vietnam membeli listrik dari China untuk Vietnam sebelah utara dan berencana pula

untuk membeli listrik dari Laos pada tahun 2008. Pada Desember 2004, pemerintah

Vietnam telah membuat persetujuan untuk membeli listrikdari China sebesar 100 juta

Kwh untuk mengatasi kenaikan permintaan listrik pada tahun 2005.

Kebijakan perlistrikan di Vietnam saat ini adalah berusaha untuk mengurangi

ketergantungan pasokan dari luar negeri terutama dari China dengan terus

membangun pembangkit-pembangkit baru. Antara lain mulai dibangunnya 32 power

stations yang menghasilkan listrik sekitar 7.547 MW sebelum 2010. Selain itu

perusahaan listrik milik pemerintah Vietnam EVN (Electricite of Vietnam) berencana

untuk mentenderkan 16 pembangkit listrik tenaga air pada tahun 2010 dan tambahan 8

pembangkit listrik batubara. Sebagai akibatnya, EVN mengumumkan bahwa pada

tahun 2005, produksi listrik di Vietnam meningkat hampir 20 persen atau sekitar 11.400

MW. Selain itu Vietnam mendapatkan pinjaman dari Bank Dunia sebesar 220 juta US$

dalam proyek yang bernama Rural Energy yang dirancang untuk menyediakan tenaga

listrik bagi 2,5 juta rumah tangga.

Kebijakan perlistrikan lain di Vietnam untuk terus meningkatkan produksi

listriknya antara lain dengan mengundang investor asing selebar-lebarnya dalam

pembangunan pembangkit listrik. Antara lain dengan sistem Build-Operate-Transfer

(BOT). Proyek BOT tersebut yang sekarang sedang berjalan antara lain kerjasama EVN

dengan Tokyo Electric Power (TEPCO), Sumitomo dan Electricite de France (EdF).

Proyek BOT tersebut dimulai dengan pembangunan konstruksi pembangkit di delta

sungai Mekong yang berkapasitas 715 MW. Untuk menarik investor asing tersebut,

pemerintah Vietnam memberikan kemudahan-kenudahan fasilitas antara lain dengan

sistem BOT dan kerjasama dengan EVN.

5.8. Kebijakan Perlistrikan di Malaysia

Malaysia pada saat ini memiliki sekitar 14 gigawatts kapasitas generator listrik.

86 persen nya merupakan thermal dan 14 persennya merupakan tenaga air. Pada tahun

5.14

Page 101: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

2002, Malaysia menambah kapasitas tenaga listriknya sekitar 67 juta kwh. Pemerintah

Malaysia berharap tambahan investasi sekitar 9.7 juta $ dalam sektor listrik hingga

tahun 2010. Sebagian besar menggunakan energi batubara. Hal ini sejalan dengan

kebijakan pemerintah Malaysia yang berusaha mengurangi kapasitas tenaga listrik

menggunakan gas alam dengan meningkatkan penggunaan batubara hingga 30 persen

pada tahun 2006 (world energy, org).

Pembangunan proyek listrik panas bumi terbesar di Malaysia adalah proyek

listrik bertenaga batubara sebesar 2100 MW di propinsi Johor. Sedangkan untuk proyek

pembangunan listrik tenaga air terbesar adalah di Sarawak dengan kapasitas 2.4 GW ,

dan 70 persennya akan didistribusikan ke Kuala Lumpur dan sekitarnya dengan

membangun konstruksi kabel sejauh 415 mil di Malaysia Timur, 400 mil kabel bawah

laut dan 285 mil kabel distribusi de semenanjung Malaysia.

Kebijakan perlistrikan di Malaysia antara lain dengan mendivestasi beberapa

unit pembangkit listrik. Tenaga Nasional (perusahaan listrik milikpemerintah Malaysia)

sejak tahun 1999 mulai mendivestasi sejumlah unit pembangkitnya kepada pihak

swasta. Pemerintah Malaysia berharap dapat mencapai pasar listrik yang kompetitif

baik dalam sektor pembangkit, distribusi ataupun transmisi. Tetapi reformasi sistem

kelistrikan di Malaysia masih berada dalam tahap awal, dan proses transisi menuju

pasar kompetitif belum diputuskan. Isu-isu tersebut masih dalam tahap studi karena

masih banyak perbedaan dalam menderegulasi sistem yang berhubungan dengan

kepentingan publik (world energy, org).

5.9. Kebijakan Perlistrikan Filipina

Produksi energi di Filipina terkonsentrasi di sector kelistrikan. Energi panas

bumi masih merupakan sumber listrik terbesar, diikuti oleh tenaga air, gas alam, batu

bara dan minyak. Pemerintah Filipina telah membuat kebijakan mengurangi

ketergantungan terhadap impor minyak dengan merubah sumber energi listriknya dari

minyak menjadi gas alam (ESCAP, United Nations, NY, 2005).

5.15

Page 102: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Peristiwa yang paling signifikan dalam industri energi di Filipina pada tahun

belakangan ini adalah penerbitan undang-undang kelistrikan atau Electric Power

Industry Reform Act (EPIRA) pada tahun 2001. Undang-undang ini memiliki 3 fungsi

utama : 1) untuk mengembangkan sumberdaya kelistrikan 2) untuk memangkas biaya

tinggi dari tenaga listrik di Filipina dan 3) untuk meningkatkan investasi asing di

bidang ketenaga listrikan. Langkah yang diambil antara lain dengan mengeluarkan

deregulasi dibidang kelistrikan dan privatisasi dari perusahaan Negara (BUMN) di

sector kelistrikan.

EPIRA mengharuskan National Power Corporation (Napocor) membagi asset-

asetnya yang terintegrasi kedalam sub-sub sector kecil seperti pembangkit, transmisi

dan distribusi dalam rangka mempersiapkan diti untuk diprivatisasi. Hasilnya adalah

dibentuk 2 perusahaan baru yaitu National Transmission Corporation (Transco) dan

Power Sector Assets and Liabilities Management (PSALMco) yang siap untuk

diprivatisasi.

Napocor perlu mentransfer kewajiban untuk membeli tenaga listrik yang telah

ada ke distributor swasta dan juga menegosiasi ulang kontrak-kontrak berharga tinggi.

Karena faktanya bahwa distributor swasta tidak ingin melakukan perjanjian jika tenaga

listrik berada diatas harga pasar. Selain itu Napocor juga memperoleh insentif keuangan

dari pemerintah. Napocor saat ini memiliki utang sebesar 23 miliar US$ dan 9 miliar

US$ perjanjian pembelian tenaga listrik, sehingga pemerintah harus menyediakan dana

hingga 300 juta US$ per tahun untuk terus membuat Napocor beroperasi (world energy,

org).

Dalam rangka membuat penjualan Napocor lebih menarik bagi investor,

pemerintah telah menyerap sebagian utang Napocor dalam jumlah yang signifikan.

Selain itu juga perjanjian pembelian listrik sebesar 9 miliar US$ dengan IPP juga akan

dilepas. Sistem transmisi telah ditransfer ke perusahaan independent (Transco) yang

kemudian akan diprivatisasi. Sesuai dengan undang-undang deregulasi, tidak ada

pembeli potensial tunggal yang diizinkan untuk memiliki lebih dari 30% dari asset

5.16

Page 103: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

pembangkit di Filipina. Privatisasi Transco ditunda hingga mencapai proposal harga

yang dapat diterima. Permintaan listrik di Filipina diharapkan tumbuh sekitar 9 persen

per tahun selama 10 tahun terakhir ini. Sedangkan pertambahan kapasitas baru listrik

hanya mencapai 10.000 MW sehingga terus memerlukan penambahan kapasitas tenaga

listrik.

5.10. Kebijakan Perlistrikan di India

India sedang berusaha untuk terus meningkatkan pemenuhan kapasitas

listriknya, dimana saat ini penyediaan tenaga listrik masih dibawah jumlah permintaan

atas tenaga listrik. Meskipun hampir sekitar 80 persen penduduk India telah memiliki

akses terhadap listrik, namun keterjaminan pasokan listrik di India masih belum cukup

sebagai akibat peningkatan pembangunan ekonomi di seluruh negeri.

Kebijakan perlistrikan di India dalam rangka meningkatkan kapasitas

penyediaan tenaga listriknya adalah dengan melakukan liberalisasi terhadap investor

asing di sektor kelistrikan terutama dalam membangun Independent Power Producers

(IPP). Sebagai akibat liberalisasi yang di mulai pada tahun 1990an tersebut, maka telah

disetujui puluhan proyek pembangunan kelistrikan.

Namun sebagian proyek-proyek besar masih terganjal persetujuan regulasi

karena kehati-hatian dalam sumber pendanaan. Otoritas listrik di India yaitu Dewan

Listrik India (India State Electricity Board/SEB) masih sangat kurang dalam hal

pendanaan, keuangan dan likuiditas. Hal ini salah satu penyebabnya adalah adanya

penjualan listrik dengan tarif subsidi yang rendah yang tidak menutupi biaya terutama

di sektor pertanian. Selain itu masih besarnya kehilangan distribusi, transmisi tegangan

tinggi dan pencurian listrik membuat SEB berada dalam kesulitan finansial. Namun

sejak SEB menjadi pembeli utama dari proyek=proyek IPP, kesulitan keuangan semakin

dapat diatasi sehingga menjamin ketersediaan pasokan listrik di India.

Kebijakan lain yang tidak kalah menarik adalah pada Juli 1998, pemerintah India

mengumumkan kemudahan peraturan dalam penanaman investasi asing di sektor

5.17

Page 104: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

listrik. Proposal investasi hingga 15 miliar rupee atau sekitar 350 juta US$ dapat

persetujuan secara otomatis. Namun persetujuan otomatis tersebut hanya berlaku bagi

sektor listrik bertenaga air, batubara, minyak dan gas. Sedangkan untuk tenaga nuklir

harus ada persetujuan lain. Kebijakan tersebut membuat banyak investor menanamkan

modalnya di sektor kelistrikan yang membuat pasokan listrik di India terus meningkat.

Sehingga pemerintah India menetapkan target peningkatan kapasitas sebesar total

100.000 MW selama 10 tahun kedepan (Renewable Resources Based Electricity in Asia, Amit

Kumar, TERI, INDIA).

5.18

Page 105: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.19

Page 106: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.20

Page 107: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.21

Page 108: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.22

Page 109: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.23

Page 110: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.24

Page 111: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.25

Page 112: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.26

Page 113: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.27

Page 114: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.1.1. Insentif Fiskal untuk Sumber Daya Terbarukan1

5.11.a. Pendahuluan

Trend industri listrik di negara berkembang dewasa ini mengalami perubahan

signifikan akibat peningkatan konsumsi. Seiring dengan meningkatnya harga bahan

bakar minyak, maka alternatif lain yang mulai ditempuh adalah penggunaan energi

panas bumi. Pemakaian energi panas bumi atau yang sering disebut "energi hijau",

memberi penghematan pengeluaran bagi negara berkembang.

Dewasa ini sebanyak 71 negara di dunia sudah memanfaatkan energi panas

bumi. Data tersebut menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan dari penggunaan

energi terbarukan tersebut. Pada tahun 1995 hanya 28 negara yang memakai energi

panas bumi dan kemudian bertambah menjadi 58 negara pada tahun 2000.

Diperkirakan kapasitas terpasang dari pemakaian energi panas bumi di seluruh

dunia hingga akhir tahun 2004, mencapai 27.825 Mega Watt Thermal (MWT). Sejak

tahun 2000 tercatat pertumbuhan kapasitas terpasang dari penggunaan panas bumi

mencapai 12,9 persen per tahun, sehingga pada tahun 2004 meningkat hampir dua kali

lipat dibandingkan pada tahun 2000.

Trend penggunaan energi panas bumi yang berkembang pada saat ini,

merupakan isyarat bagi Indonesia mengenai ketatnya persaingan untuk mendapatkan

investasi asing. Indonesia harus berusaha keras agar tak ketinggalan dalam menarik

investor untuk mengeksplorasi cadangan panas bumi yang ada, sebab setiap negara

berkembang berlomba menarik perhatian investor asing.

Partisipasi swasta memang sangat dibutuhkan, karena biaya eksploitasi dan

eksplorasi energi panas bumi tidak murah. Risiko investasi yang sangat tinggi,

membuat para investor membutuhkan iklim investasi yang kondusif dan jaminan harga

penjualan energi yang relatif menguntungkan.

1 Disarikan oleh Makmun dari berbagai sumber.

5.28

Page 115: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Negara yang saat ini sangat agresif untuk menarik investasi dalam mengelola

panas bumi, antara lain negara China dan Filipina. Kedua negara tersebut, memberikan

insentif yang relatif menarik bagi investor dalam mengembangkan pemanfaatan energi

panas bumi. China yang saat ini sedang bersemangat mengembangkan pemanfaatan

energi panas bumi untuk pembangkit listrik, memberikan insentif pembebasan pajak

hingga delapan tahun dan dihitung setelah lapangan panas bumi sudah mulai

berproduksi. Sementara negara Filipina membebaskan pajak bagi investor panas bumi

hingga enam tahun. Pembebasan pajak itu membuat pemanfaatan energi panas bumi

untuk pembangkit listrik cukup berkembang di Filipina hingga 1.930,89 Mega Watt

energi (MWe).

Sementara kondisi di Indonesia, pajak untuk pengembangan lapangan panas

bumi jika ditotal bisa mencapai 43 persen. Selain itu, pajak sudah berlaku sejak investor

sudah melakukan kegiatan eksplorasi. Masalah iklim investasi di Indonesia juga tidak

menarik, karena harga energi panas bumi tidak kompetitif dengan BBM yang

bersubsidi, dan rendah dukungan politik untuk penggunaan energi terbarukan di

Indonesia.

Apabila Indonesia tidak melakukan perbaikan terhadap iklim investasi di sektor

pengembangan panas bumi, maka dipastikan akan kesulitan untuk bersaing dalam

merebut investasi panas bumi. Hal itu karena perusahaan yang bermain di sektor panas

bumi tidak banyak dan dengan dana yang terbatas, sehingga setiap negara harus saling

berebut.

5.11.b. Kondisi Indonesia

Indonesia merupakan negara yang memiliki cadangan panas bumi terbesar di

dunia, yakni setara dengan 27.000 Megawatt (MW) atau 40 persen dari cadangan panas

bumi dunia. Tetapi pemanfaatan cadangan panas bumi Indonesia masih sangat minim,

yakni hanya 800 MW atau sekitar empat persen dari total cadangan 20.000 MW. Bahkan,

target pemerintah untuk pemanfaatan energi panas bumi hingga tahun 2006

5.29

Page 116: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

diperkirakan hanya akan bertambah 200 MW menjadi 1.000 MW. Sementara target

hingga tahun 2020 hanya akan meningkat menjadi 6.000 MW.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro optimis,

investor sudah mulai memberikan perhatian serius kepada pengembangan

pemanfaatan energi panas bumi di Indonesia. Hal itu terkait dengan kebijakan harga

BBM di Indonesia yang telah membuat harga listrik dari pembangkit listrik tenaga

panas bumi menjadi lebih kompetitif dibandingkan dengan pembangkit listrik yang

menggunakan BBM.

Rencana pengembangan energi panas bumi di Indonesia, sejalan dengan

kebijakan energi nasional untuk mengembangkan energi terbarukan. Indonesia

memiliki cadangan energi panas bumi yang cukup besar. Namun hingga kini belum

banyak investor yang melirik untuk memanfaatkan energi terbarukan ini. Untuk itu

pemerintah perlu kiranya memberikan insentif yang menarik. Perhatian komunitas

panas bumi internasional sebenarnya sudah sangat besar terhadap Indonesia. Hal itu

terbukti dengan terpilihnya Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan World

Geothermal Congress 2010 dengan menyisihkan negara Iceland sebagai produsen energi

panas bumi terbesar di dunia pada saat ini.

Di Indonesia, sumberdaya energi sebagai pendorong kesejahteraan masyarakat

dicapai melalui dua peran, yaitu fungsinya sebagai sumber energi pendorong

pembangunan dan industrialisasi serta fungsinya sebagai sumber devisa. Dengan

demikian, keberlanjutan peran sumberdaya energi sebagai pendorong kesejahteraan

masyarakat diukur dari keberlanjutan perannya sebagai sumber energi dan sebagai

penghasil devisa.

Kebijakan ”energi hijau” yang dicanangkan Pemerintah melalui Departemen

Energi dan Sumberdaya Mineral akhir Desember 2003 menunjukkan bahwa energi

alternatif, khususnya energi terbarukan, merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dalam perencanaan dan pengembangan energi nasional. Sehingga dalam perjalanannya

5.30

Page 117: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

peran energi terbarukan diarahkan untuk dapat berfungsi sebagai penggerak roda

ekonomi dan penghasil devisa.

5.11.c. Energi terbarukan sebagai penggerak roda ekonomi

Pembangunan sektor energi dengan tugas utama sebagai alat untuk

menanggulangi kemiskinan tidak hanya diamanatkan oleh KTT Bumi (WSSD) di satu

sisi, di sisi lainnya merupakan hal utama bagi Indonesia karena alasan pemerataan

pembangunan dan memajukan desa-desa sebagai kekuatan baru bagi ekonomi nasional.

Hal yang patut disyukuri oleh Bangsa Indonesia adalah potensi energi terbarukan yang

melimpah dan tersebar seperti mikro hidro, tenaga angin, tenaga surya, dan biomassa,

umumnya berada di pedesaan atau bahkan daerah terpencil, di seluruh kepulauan

nusantara.

Beberapa alasan mendasar bagi penyediaan energi terbarukan bagi masyarakat

pedesaan dan daerah terpencil antara lain karena (a) lokasi sumberdaya energi

terbarukan umumnya berada di pedesaan dan desa terpencil, (b) penyediaan energi

konvensional di daerah ini memerlukan biaya tinggi (terutama karena biaya distribusi

yang relatif tinggi), (c) mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, dan (d)

pemanfaatan energi terbarukan tidak hanya untuk menyediakan energi bagi keperluan

rumah tangga akan tetapi juga untuk menambah penghasilan rumah tangga dengan

memperkenalkan dan mengimplementasikan kegiatan-kegiatan atau usaha untuk

menambah penghasilan.

Melimpahnya sumberdaya energi terbarukan selain memiliki fungsi strategis

sebagai security of supply karena keterbatasan sumberdaya energi primer yang berasal

dari fossil, juga akan berfungsi sebagai precursor bagi kegiatan ekonomi pedesaan.

Dengan arahan yang tepat bagi pemanfaatan energi di desa maka diharapkan banyak

usaha atau kegiatan produktif yang muncul guna meningkatkan perekonomian rumah

tangga dan desa.

5.31

Page 118: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Tabel 5.6. :

Fiscal Incentives for Renewable Resources Based Electricity

No Negara Insentif Fiskal

1 Thailand

• Income tax exemption from 3-5 years • Accelerated depreciation of the cost of installing or

constructing facilities • Approval for remittance of money in foreign

currency • Exemption from reduction of import duties on

equipment and machinery

2 Philippines

• Pembebasan pajak hinggan 6 tahun • Income tax holidays • Exemption from taxes and duties on imported spare

parts • Exemption from wharfage dues and export tax,

duty, import and fees

3 India

• Exemption from excise duty • Low import tariffs for capital equipment and most of

the materials and components • Depreciation allowances for capital equipment

4 China • Pembebasan pajak sampai dengan 8 tahun. • Pengenaan pajak dihitung setelah berproduksi

Sources : Amit Kumar “ Renewable Resources Based Electricity in Asia” TERI, India, 2004.

5.32

Page 119: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

BAB VI

ANALISIS KEBUTUHAN INSENTIF FISKAL DI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN

6.1 . Program Penyediaan Tenaga Listrik Periode 2004-2013 6.1.1. Rencana Pengembangan Pembangkit Di Jawa, Madura dan Bali

Perencanaan sistem pembangkit Jawa, Madura dan Bali (Jamali) disusun

dengan menggunakan program WASP yang bertujuan untuk mendapatkan

konfigurasi pengembangan pembangkit yang memenuhi kriteria kenadalan tertentu

dengan total biaya pengembangan termurah dalam suatu kurun waktu periode

perencanaan. Adapun jenis pembangkit yang dipertimbangkan untuk rencana

pengembangan adalah PLTU Batubara 600 MW, PLTGU LNG 750 MW, PLTG BBM

200 MW dan PLTA Pumped Storage unit 250 MW.

Berdasarkan Rencana Penyediaan Tenaga Listrik 2004-2013 Jawa, Madura

dan Bali, komposisi produksi energi listrik menurut jenis energi primer, pangsa

batubara tetap mendominasi energi primer lainnya, yaitu 48% pada tahun 2013.

Panas bumi dan air mengalami penurunan secara perlahan peranannya. Sedangkan

produksi energi listrik dari gas bumi mengalami peningkatan.

6.1.2. Rencana Pengembangan Pembangkit Di Luar Jawa, Madura dan Bali

Untuk memenuhi kebutuhan sampai tahun 2013, diperlukan tmabahan

kapasitas pembangkit sekitar 6.161 MW (termasuk commited dan on going project)

dengan perincian 5.338 MW proyek PLN dan 823 MW proyek swasta dan

Pemerintah daerah (Pemda).

Tambahan kapasitas pembangkit rata-rata per tahun mencapai 600MW,

sementara pertambahan kebutuhan beban puncak sekitar 420 MW (beban puncak

pada tahun 2003 adalah sebesar 4.237 MW dan tahun 2013 diperkirakan beban

puncak sekitar 8.391 MW atau pertambahan beban puncak sekitar 4.200 MW).

6.1.3. Rencana Pengembangan Penyaluran di Jawa, Madura dan Bali

6.1

Page 120: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Dalam periode 2004-2013,pengembangan sistem penyaluran di sistem Jamali

berpedoman pada pengembangan dengan sistem tegangan 500 kV dan 150 kV.

Sedangkan sistem tegangan 70 kV diusahakan untuk tidak dikembangkan lagi atau

tetap dipertahankan pada sistem yang pertumbuhan listriknya tidak lagi begitu

pesat.

Pada dasarnya pengembangan sistem penyaluran dapat dikelompokkan

menjadi beberapa kelompok pengembangan, antara lain kelompok sistem growth,

realibility, improvement dan debottlenecking serta kelompok sistem penyaluran terkait

dengan pembangkit baru.

Pengembangan sistem penyaluran di sistem Jamali untuk 10 tahun ke depan

tidak banyakbmerubah teknologi jaringan yang merupakan hasil dari program yang

sdeang berjalan saat ini. Pengembangan sistem penyaluran terutama disebabkan

oleh kelompok sistem growth dan debottlenecking. Khususnya pengembangan sistem

500 kV di Jawa-Bali, tidak ada perubahan yang berarti sesuah beroperasinya jalur 500

kV bagian selatan. Dalam periode 2004-2013 diperlukan tambahan fasilitas transmisi

dan gardu listrik sebanyak 5.837 Kms dan 31.826 MVA.

6.1.4. Rencana Pengembangan Penyaluran di Luar Jawa, Madura dan Bali

Secara umum pengembangan sistem penyaluran hingga tahun 2013 tidak

akan banyak mengubah topologi jaringan. Pengembangan lebih banyak dilakukan

untuk ememenuhi pertumbuhan dalam bentuk penambahan kapasitas trafo.

Pengembangan untuk meningkatkan reliability dan debottlenecking hanya terdapat

pada beberapa sistem, antara lain rencana pembangunann sirkit kedua pada

beberapa ruas trasmisi di sistem Sumbagut, sistem Kaltim Suluttenggo dan Kalsel.

Rencana pengembangan sistem penyaluran hingga tahun 2013

diproyeksikan sebesar 5.352 MVA untuk pengembangan Gardu Induk (150 kV dan

70 kV) serta 4.184 kmr pengembangan jaringan transmisi.

6.1.5. Rencana Pengembangan Distribusi di Jawa, Madura dan Bali

Kebutuhan fisik distribusi untuk mengantisipasi perubahan penjualan energi

listrik dapat diproyeksikan sampai tahun 2013 membutuhkan tambahan jaringan

6.2

Page 121: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

tegangan menengah 51.702 Kms, regangan rendah 78.712 Kms dan kapasitas trafo

distribusi 11.681 MVA.

6.1.5. Rencana Pengembangan Distribusi di Luar Jawa, Madura dan Bali

Perkiranaan kebutuhan fisik dapat diukelompokkan dalam beberapa jensis,

yaitu: 1) kebutuhan fisik perluasan sistem distribusi untuk mengantisipasi

pertumbuhan sales, 2) kebutuhan fisik untuk mempertahankan atau meningkatkan

kehandalan (realibility), 3) kebutuhan fisik untuk meningkatkan kualitas pelayanan

tenaga listrik pada pelanggan (power quality), 4) kebutuhan fisik untuk reahabilitasi

jaringan, 5) kebutuhan fisik untuk menurunkan susut teknis jaringan, dan 6)

kebutuhan fisik untuk perbaikan sarana pelayanan.

Dengan pendekatan seperti di atas, kebutuhan fisik sistem distribusi seluruh

PLN luar Jawa hingga tahun 2013 adalah sebesar 47.812 kms jaringan tegangan

menengah, 52.624 kms jaringan tegangan rendah. Disamping itu juga terdapat

tambahan kebutuhan trafo distribusi sebesar 4.343 MVA.

6.2. Kebutuhan Dana dan Sumber Dana Investasi

Sejalan dengan Rencana Penyediaan Tenaga Listrik 2004-2013, kebutuhan

dana untuk penyediaan tenaga listrik dibedakan antara Jawa, Madura dan Bali dan

luar Jawa, Madura dan Bali.

6.2.1. Kebutuhan Dana Investasi di Jawa, Madura dan Bali

Kebutuhan investasi dibedakan menjadi tiga, yaitu untuk pembangkitkan,

sistem penyaluran dan sistem distribusi, al :

a. Untuk memenuhi kebutuhan investasi di sisi pembangkit sampai dengan tahun

2013 diperkirakan mencapai US$ 6.513,8 juta. Kebutuhan pendanaan ini diluar

pembangkit yang akan dibangun oleh swasta, yaitu PLTU Tanjung Jati dan

PLTU Cilacap.

b. Untuk sistem penyaluran dari tahun 2004-2013 pendanaan yang diperlukan

adalah US$ 2.321,8 juta (tidak termasuk SCADA dan Telekomunikasi)

c. Untuk rencana pengembangan distribusi untuk perluasan jaringan tegangan

menengah dan tegangan rendah, namanbah travo distribusi dansambungan

6.3

Page 122: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

pelanggan baru, dalam waktu yang sama diperkirakan dibutuhkan pendanaan

sebesar US$ 3.808,9 juta.

6.2.1. Kebutuhan Dana Investasi di Luar Jawa, Madura dan bali

Kebutuhan investasi pembangkit, sistem penyaluran dan distribusi untuk luar

Jawa, Madura dan Bali dalam periode 2004-2013 diperkirakan mencapai US$ 5.796

juta atau rata-rata per tahun mencapai US$ 600 juta selama sepuluh tahun.

Kebutuhan investasi ini tidak termasuk on going dan committed project pembangkit.

On going didefinisikan sebagai projek PLN/IPP dalam pelaksanaan, sedangkan

committed project adalah proyek PLN yang sudah memperoleh pendanaan dan

proyek IPP yang sudah memperoleh PPA.

Persentase biaya pembangkit, penyaluran dan distribusi masing-masing

adalah 61%, 15% dan 24%. Artinya system masih bertumbuh, belum mengalami

kejenuhan, karena cirri system yang sudah jenuh adalah biaya distribusi jauh lebih

besar dari pembangkit dan tranmisi.

6.3. Insentif fiskal yang berlaku saat ini Bagi Industri Ketenagalistrikan dan

Kebutuhan Ke Depan

Seperti halnya jenis industri lain, industri listrik mempunyai kewajiban untuk

membayar berbagai jenis pajak dalam melakukan aktivitasnya, baik berupa pajak

pusat maupun pajak/retribusi daerah seiring dengan bergulirnya era otonomi

daerah. Jenis pajak yang harus dibayar, antara lain pajak penghasilan (PPh), pajak

pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM), pajak

bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB),

pajak lainnya (bea meterai), dan bea masuk.

Peranan industri listrik dalam mendukung pembangunan nasional sangatlah

besar karena listrik bisa dikatakan sebagai salah satu kebutuhan dasar bagi

keberlangsungan terciptanya output produksi yang pada akhirnya akan bermuara

pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dalam rangka meningkatkan

perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing industri di Indonesia,

Pemerintah telah memberikan beberapa fasilitas perpajakan bagi industri

ketenagalistrikan, baik berupa fasilitas penangguhan maupun pembebasan pajak,

6.4

Page 123: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

mulai dari sisi pembangkit hingga penjualan. Fasilitas tersebut disesuaikan dengan

UU Perpajakan dengan mengacu pada prinsip-prinsip dasar perpajakan (simplicity,

fairness, certainty, and competitiveness).

6.3.1. Kebijakan Insentif Pajak Yang Berlaku Saat Ini

Dalam subbab ini pembahasan akan dijabarkan dalam rangkaian tiap jenis

pajak dengan mengacu pada dasar hukum yang masih berlaku, yaitu PPN/PPnBM

dan PPh.

A. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)

PPN adalah pajak yang dikenakan pada nilai tambah dari barang dan jasa yang

diperjualbelikan. Dasar hukum yang masih berlaku hingga saat ini, antara lain :

(i) Undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2000, (ii) Peraturan Pemerintah (PP)

Nomor 46 Tahun 2003, (iii) PP Nomor 25 tahun 2001, (iv) Keputusan Menteri

Keuangan (KMK) Nomor 371/ KMK.03/2003, dan (v) KMK Nomor 486/

KMK.04/2000.

1. UU Nomor 18 Tahun 2000

Menurut UU ini pada dasarnya semua barang merupakan Barang Kena

Pajak, kecuali barang-barang tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan

Pemerintah sebagai jenis barang yang tidak dikenakan PPN.

Didalam pasal 4 yang termasuk obyek PPN adalah :

- Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) didalam Daerah Pabean (DP) yang

dilakukan oleh pengusaha

- Impor BKP

- Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) didalam DP yang dilakukan oleh

pengusaha

- Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar DP didalam DP

- Ekspor BKP oleh Pengusaha Kena Pajak

Sementara itu dalam pasal 4A ayat 2 jo PP Nomor 144 Tahun 2000 pasal 1,

disebutkan jenis barang yang tidak dikenakan PPN, yaitu :

- barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil

langsung dari sumbernya

6.5

Page 124: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

- barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat

banyak (beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam)

- makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,

warung, dan sejenisnya, dan

- uang, emas batangan, dan surat-surat berharga

2. PP Nomor 46 Tahun 2003

PP ini merupakan perubahan kedua atas PP Nomor 12 Tahun 2001 tentang

Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang Bersifat

Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan PPN, dimana listrik (kecuali

untuk perumahan dengan daya diatas 6600 watt) ditetapkan sebagai barang

kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang atas penyerahannya

dibebaskan dari pengenaan PPN, dan barang modal berupa mesin dan

peralatan pabrik yang diperlukan secara langsung dalam proses

menghasilkan barang berupa listrik dibebaskan dari pengenaan PPN

(dalam pasal 1 dan 2).

Pengusaha Kena Pajak yang mengimpor dan/atau menerima penyerahan

Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis diwajibkan mempunyai

Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai yang diterbitkan oleh

Direktur Jenderal Pajak (KMK Nomor 371/KMK.03/2003 pasal 5 ayat 1).

Fasilitas ini dimaksudkan untuk mendorong perkembangan dunia usaha

dan meningkatkan daya saing dengan menjamin tersedianya barang-barang

yang bersifat strategis. Fasilitas ini ditujukan kepada industri

ketenagalistrikan yang bergerak di bidang pembangkit.

3. PP Nomor 25 tahun 2001 jo KMK Nomor 239/ KMK.01/1996 (diubah dengan

KMK Nomor 486/ KMK.04/2000)

Peraturan ini merupakan pelaksanaan dari PP Nomor 42 Tahun 1995

tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan

Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Pajak Penghasilan dalam Rangka

Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar

Negeri. Fasilitas yang diberikan berupa tidak dipungut PPN/PPnBM atas

6.6

Page 125: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

- Impor barang kena pajak,

- Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean,

- Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah

pabean,

- Penyerahan barang kena pajak, dan atau

- Penyerahan jasa kena pajak.

Fasilitas tersebut diberikan kepada investor ketenagalistrikan yang

bertindak sebagai kontraktor utama dalam proyek pemerintah yang

dananya dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri, sementara

apabila hanya sebagian saja yang dibiayai maka fasilitas tersebut hanya

berlaku atas bagian dari proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah

atau dana pinjaman luar negeri.

Yang termasuk proyek pemerintah adalah proyek yang tercantum dalam

DIP atau dokumen yang dipersamakan dengan DIP termasuk proyek yang

dibiayai dengan Perjanjian Penerusan Pinjaman (PPP)/Subsidiary Loan

Agreement (SLA). Sedangkan kontraktor utama adalah kontraktor,

konsultan, dan pemasok (supplier) yang berdasarkan kontrak melaksanakan

proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar

negeri, termasuk tenaga ahli dan tenaga pelatih yang dibiayai dengan hibah

luar negeri.

Jadi dalam fasilitas ini terdapat 2 kategori yaitu (i) dibebaskan dari pengenaan

PPN berupa penyerahan listrik dan impor atau penyerahan barang modal

untuk menghasilkan listrik dan atau BKP lainnya, dan (ii) tidak dipungut

PPN/PPnBM (impor BKP, pemanfaatan JKP/BKP tidak berwujud dari luar DP,

penyerahan BKP/JKP).

Dalam RUU Perpajakan apabila diperlukan maka akan dimasukkan ketentuan

bahwa : listrik ditetapkan sebagai BKP tertentu yang atas penyerahannya

dibebaskan dari pengenaan PPN, dan barang modal berupa mesin dan

peralatan pabrik untuk menghasilkan BKP tertentu yang bersifat strategis yang

atas impor dan atau penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN.

6.7

Page 126: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

B. Pajak Penghasilan (PPh)

Fasilitas pajak penghasilan yang diberikan tidak secara spesifik menyebutkan

untuk industri tertentu (misalnya industri ketenagalistrikan). Fasilitas yang

diberikan antara lain :

1. UU Nomor 17 tahun 2000

Didalam pasal 31A ayat 1 kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman

modal di bidang-bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu

dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk :

a. Pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen)

dari jumlah penanaman yang dilakukan;

b. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;

c. Kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh)

tahun; dan

d. Pengenaan pajak penghasilan atas dividen sebesar 10% (sepuluh persen),

kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku

menetapkan lebih rendah;

Didalam pasal 31B ayat 1 dinyatakan bahwa Wajib Pajak yang melakukan

restrukturisasi utang usaha melalui lembaga khusus yang dibentuk

Pemerintah dapat memperoleh fasilitas pajak yang bersifat terbatas baik

dalam jangka waktu maupun jenisnya berupa keringanan Pajak Penghasilan

yang terutang atas : (a) pembebasan utang; (b) pengalihan harta kepada

kreditur untuk penyelesaian utang; dan (c) perubahan utang menjadi

penyertaan modal;

2. PP Nomor 148 Tahun 2000 tentang Fasilitas PPh untuk Penanaman Modal di

Bidang-bidang Usaha Tertentu dan atau di Daerah-daerah Tertentu.

PP ini merupakan penegasan dari UU Nomor 17 tahun 2000. Yang

dimaksud dengan bidang-bidang usaha tertentu adalah bidang-bidang

usaha di sektor-sektor kegiatan ekonomi yang mendapat prioritas tinggi

dalam skala nasional khususnya dalam rangka peningkatan ekspor.

6.8

Page 127: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Sedangkan daerah-daerah tertentu adalah daerah terpencil yaitu daerah

yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi

keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai dan sulit

dijangkau oleh transportasi umum, termasuk daerah perairan laut yang

mempunyai kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya

memiliki cadangan mineral termasuk gas bumi.

Bagi wajib pajak yang telah memperoleh fasilitas atas kegiatan usaha di

Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) tidak lagi diberikan

fasilitas ini.

3. KMK Nomor 571/KMK.04/2000

Bagi wajib pajak badan dalam negeri berbentuk Perseroan Terbatas yang

melakukan penanaman modal baru atau perluasan di bidang-bidang usaha

tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu dapat diberikan fasilitas Pajak

Penghasilan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.

Untuk memperoleh fasilitas ini, wajib pajak wajib menyampaikan

permohonan kepada Menteri Keuangan dengan dilampiri Surat Persetujuan

Penanaman Modal dan setelah mendapatkan keputusan dari Menteri

Keuangan, wajib menyampaikan Laporan Keuangan Tahunan dan

Triwulanan Realisasi Penanaman Modal yang telah diaudit.

4. PP Nomor 7 Tahun 2001 tentang Pemberian Keringanan Pajak Penghasilan kepada

Wajib Pajak yang Melakukan Restrukturisasi Utang Usaha Melalui Lembaga

Khusus yang Dibentuk Pemerintah.

Restrukturisasi utang usaha yang dimaksud adalah :

a. Pembebasan utang (hair cut); Pajak Penghasilan yang terutang atas

keuntungan karena pembebasan utang (hair cut) yang diperoleh debitur

dibebaskan sebesar 30%

b. Pengalihan harta kepada kreditur untuk penyelesaian utang (debt to

asset swap); Pajak Penghasilan yang terutang atas keuntungan yang

diperoleh debitur atau pihak ketiga karena pengalihan harta kepada

kreditur (debt to asset swap) untuk penyelesaian utang dibebaskan

6.9

Page 128: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

sepanjang pengalihan harta tersebut dinilai sebesar nilai buku harta

pihak yang mengalihkan.

c. Perubahan utang menjadi penyertaan modal (debt to equity swap); Pajak

Penghasilan yang terutang atas keuntungan yang diperoleh debitur atau

kreditur karena perubahan utang menjadi penyertaan modal kreditur

pada perusahaan debitur (debt to equity swap) baik langsung maupun

melalui pihak ketiga, dibebaskan sepanjang penyertaan modal tersebut

dinilai sebesar nilai buku utang pihak debitur

Fasilitas ini diberikan untuk debitur yang telah menyelesaikan

restrukturisasi utang usaha dalam tahun pajak 2000, 2001, 2002 dan

berdasarkan rekomendasi Ketua Komite Kebijaksanaan Sektor Keuangan

(KMK Nomor 113/KMK.03/2001).

5. PP Nomor 147 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan

Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET).

Menurut pasal 1disebutkan bahwa pengusaha yang melakukan kegiatan

usaha di dalam KAPET diberikan perlakukan PPh yaitu :

a. Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari

jumlah penanaman modal yang dilakukan;

b. Pilihan untuk menerapkan penyusutan dan atau amortisasi yang

dipercepat

c. Kompensasi kerugian fiskal, mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut

sampai paling lama 10 (sepuluh) tahun;

d. Pengenaan Pajak Penghasilan atas Dividen yang dibayarkan kepada

Subyek Pajak luar negeri sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang

lebih rendah menurut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang

berlaku.

Pemberian fasilitas ini diperkuat dengan KMK Nomor 11/KMK.04/2001

6. PP Nomor 25 Tahun 2001

Didalam pasal 3 disebutkan bahwa Pajak Penghasilan yang terhutang atas

penghasilan yang diterima atau diperoleh kontraktor, konsultan dan

6.10

Page 129: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

pemasok (supplier) utama dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka

pelaksanaan proyek-proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana hibah

dan atau dana pinjaman luar negeri, ditanggung oleh Pemerintah.Fasilitas

ini diberikan dalam rangka untuk mempercepat pemulihan ekonomi.

7. KMK Nomor 486/KMK.04/2000 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak

Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Dan Pajak

Penghasilan Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah Yang Dibiayai Dengan

Hibah Atau Dana Pinjaman Luar Negeri

Berdasarkan pasal 4 ayat 2 Pajak Penghasilan yang terutang oleh Kontraktor,

Konsultan dan Pemasok Utama atas penghasilan yang diterima atau

diperoleh dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan Proyek

Pemerintah yang dibiayai dengan hibah luar negeri, ditanggung oleh

Pemerintah

8. KMK Nomor 113/KMK.03/2002 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan

Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap

PPh sebesar 20% dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak atas

Bentuk Usaha Tetap tidak dikenakan terhadap penghasilan apabila

penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, dengan syarat:

a. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak

setelah dikurangi Pajak Penghasilan dalam bentuk penyertaan modal

pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia

sebagai pendiri atau peserta pendiri;

b. Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau

selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima

atau diperolehnya penghasilan tersebut; dan

c. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling

sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat

penanaman dilakukan berproduksi komersial.

Apabila penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak

BUT dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final, maka dasar

pengenaannya adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan

6.11

Page 130: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi dengan Pajak

Penghasilan yang bersifat final

9. KMK Nomor 466/KMK.04/2000 jo Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-

213/PJ./2001

Pengeluaran untuk penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh

pegawai di tempat kerja dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi

kerja atau perusahaan dan bukan merupakan penghasilan bagi pegawai.

Pemberian kepada pegawai dalam bentuk natura dan kenikmatan yang

merupakan keharusan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan, keamanan

dan keselamatan kerja atau yang berkenaan dengan situasi lingkungan

kerja, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan

merupakan penghasilan bagi pegawai walaupun diberikan bukan di

daerah terpencil

Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang

diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu yang

dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sarana dan fasilitas di

Iokasi bekerja untuk :

a. Tempat tinggal, termasuk perumahan bagi pegawai dan keluarganya,

sepanjang di Iokasi bekerja tersebut tidak ada tempat tinggal yang

dapat disewa;

b. Pelayanan kesehatan, sepanjang dilokasi bekerja tersebut tidak ada

sarana kesehatan;

c. Pendidikan bagi pegawai dan keluarganya, sepanjang di lokasi bekerja

tersebut tidak ada sarana pendidikan yang setara;

d. Pengangkutan bagi pegawai di Iokasi bekerja, sedangkan

pengangkutan anggota keluarga dari pegawai yang bersangkutan

terbatas pada pengangkutan sehubungan dengan kedatangan pertama

ke Iokasi bekerja dan kepergian pegawai dan keluarganya karena

terhentinya hubungan kerja;

6.12

Page 131: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

e. Olahraga bagi pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, boating

dan pacuan kuda, sepanjang di Iokasi bekerja tersebut tidak tersedia

sarana dimaksud.

10. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-220/PJ./2002 tentang Perlakuan Pajak

Penghasilan Atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler Dan Kendaraan Perusahaan.

Biaya-biaya tersebut antara lain :

a. Biaya perolehan atau pembelian telepon seluler yang dimiliki dan

dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau

pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50%

(lima puluh persen) dari jumlah biaya perolehan atau pembelian melalui

penyusutan aktiva tetap kelompok I

b. Biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan telepon

seluler yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai

tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai

biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah biaya

berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan dalam tahun

pajak yang bersangkutan.

c. Biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan bus,

minibus, atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan

untuk antar jemput para pegawai, dapat dibebankan seluruhnya sebagai

biaya perusahaan melalui penyusutan aktiva tetap kelompok II

d. Biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan bus, minibus, atau

yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk antar

jemput para pegawai, dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya

perusahaan dalam tahun pajak yang bersangkutan.

e. Biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan sedan

atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk

pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan

sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah

biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar melalui

penyusutan aktiva tetap kelompok II

6.13

Page 132: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

f. Biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan yang dimiliki dan

dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau

pekerjaannya dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50%

(lima puluh persen) dari jumlah biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin

dalam tahun pajak yang bersangkutan.

Biaya-biaya tersebut diatas tidak merupakan penghasilan bagi para pegawai

perusahaan yang bersangkutan.

11. KMK Nomor 236/KMK.03/2003 tentang Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan

Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan Serta Tata Cara Penyetoran dan

Pelaporannya

Didalam pasal 3 ayat 1a, yang dikecualikan dari pemungutan PPh pasal 22

adalah impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan

6.4. Kebutuhan Dana Investasi Tahun 2004 - 2007

Selama ini PT. PLN mengandalkan sumber dana Investasi dari concessional

loan yaitu berasal dari lenders lembaga-lembaga keuangan dunia (baik lembaga

bilateral maupun multilateral) berupa penerusan pinjaman luar negeri Pemerintah

kepada PT. PLN.

Namun pola pendanaan tersebut sudah tidak banyak diharapkan pada masa

yang akan datang khususnya untuk pengembangan pembangkit berskala besar,

karena adanya keterbatasan dalam liability Pemerintah dalam membuat pinjaman

baru dan atau adanya perubahan kebijakan pada lenders.

Berdasarkan hasil studi kapasitas pinjaman baru yang disusun oleh PT. PLN

(2002), telah menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menyerap pinjaman

baru masih relatif besar, yakni dapat mencapai ± Rp 80,0 triliun untuk periode waktu

5 tahun ke depan dengan tingkat debt service yang cukup. Meskipun demikian,

kondisi tersebut belum membawa dampak positif bagi datangnya investasi baru

kepada PT. PLN.

6.14

Page 133: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Berdasarkan perhitungan, kebutuhan dana investasi untuk memenuhi

permintaan tenaga listrik di sistem Jawa – Bali dan sistem luar Jawa – Bali selama

lima tahun dengan skenario terbatas adalah US$ 5,779 juta (fixed asset). Kebutuhan

dana investasi tersebut dipergunakan untuk pembangungan sarana pembangkitan,

transmisi dan distribusi.

Tabel 6.1. :

Kebutuhan Dana Investasi Tahun 2003 – 2007 (Fixed Asset – US$ Juta)

No Uraian 2003 2004 2005 2006 2007 Jumlah

1 Jamali 239.1 647.7 635.9 613.1 1,471.1 3,606.9

2 Luar Jamali 282.6 576.9 478.4 469.7 364.5 2,172.1

Indonesia 521.7 1,124.6 1,114.3 1,082.8 1,835.6 5,779.0

Sumber : RKAP PT. PLN (Persero). 6.5. Dampak Pemberian Fasilitas Investasi Ketenagalistrikan

6.5.1. Potensial Loss Terhadap Penerimaan Negara

Fasiltas investasi yang diberikan kepada kegiatan investasi di sektor tenaga

listrik utamanya berupa pembebasan PPN, PPh Pasal 22 atas impor dan bea masuk.

Dengan anggapan bahwa tarif PPN adalah 10 persen, tarif PPh Pasal 22 atas impor

sebesar 2,5 persen dan tarif bea masuk sebesar 5 persen, maka untuk investasi

sebesar Rp 80,6 triliun selama lima tahun. Bersadarkan kondisi tersebut, secara bruto

potensial loss yang akan ditanggung Pemerintah dari pajak :

Tabel 6.2. :

Potensial Loss Sektor Pajak Yang Ditanggung Pemerintah Selama Lima Tahun

No Sektor Pajak Tarif (%)

Nilai Investasi (Rp Triliun)

Potensial Loss (Rp Triliun)

1 PPN 10,0 84,63 8,46 2 PPh Pasal 22 2,5 84,63 2,12 3 Bea Masuk 5,0 80,60 4,03

Jumlah 14,61

6.15

Page 134: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Namun potensial loss aktual yang ditanggung Pemerintah sebesar Rp 12,49

triliun (Rp 14,61 – Rp 2,12 triliun), karena pengenaan pajak untuk PPh Pasal 22 dapat

dikreditkan pada akhir tahun pajak dan tidak dicatat sebagai potensial loss.

6.5.2. Kenaikan Pendapatan Domestik Bruto (PDB)

Kenaikan PDB disebabkan oleh meningkatnya investasi dan kelangsungan

produksi ekonomi sebagai akibat tidak matinya listrik. Dari beberapa studi diperoleh

gambaran bahwa setiap kenaikan pasokan listrik sebesar 1 persen akan membawa

kenaikan PDB sebesar 0,67 persen. Kenaikan PDB tersebut, selain sebagai dampak

meningkatnya investasi di bidang ketenagalistrikan itu sendiri, dan juga sebagai

akibat dari meluasnya kegiatan usaha karena mudahnya mendapatkan tenaga listrik.

Dengan demikian, terpenuhinya kebutuhan tenaga listrik pada akhirnya akan

membawa peningkatan pendapatan masyarakat.

Terkait dengan produk nasional perlu kiranya disampaikan bahwa

dibeberapa negara, tenaga listrik digolongkan sebagai jasa kebutuhan nasional,

sehingga matinya aliran listrik dikategorikan sebagai bencana nasional. Hal tersebut

tidak mengherankan, apabila matinya aliran listrik dapat mengganggu kelancaran

proses produksi. Selain itu, tidak kontinyu aliran listrik dapat merupakan alasan

pokok bagi investor untuk tidak menanamkan investasinya di suatu negara.

6.5.3. Kenaikan Kesejahteraan Masyarakat

Ketersediaan lisrik yang semakin terjamin akan meningkatkan kesejahteraan

masyarakat (sosial welfare). Ketersediaan jasa tenaga listrik yang bisa diperoleh secara

mudah akan berdampak pada meningkatnya kemudahan pemenuhan berbagai

kebutuhan yang memerlukan tenaga listrik. Hal tersebut bermuara pada naiknya

tingkat kepuasan pelanggan maupun masyarakat luas.

6.16

Page 135: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan

Dewasa ini penggunaan energi, khususnya listrik, di dalam perekonomian

nasional mengalami peningkatan sangat pesat yang tercermin dari jumlah

permintaan total masyarakat Indonesia akan energi listrik sebesar 24,3 GW tahun

2004 dan diproyeksikan sebesar 37,9 GW tahun 2010 dengan tingkat pertumbuhan

permintaan akan listrik sebesar 8 – 10% per tahun.

Namun, produksi listrik dari PT. PLN belum dapat mengimbangi tingginya

permintaan masyarakat akan listrik tersebut. Jumlah pasokan energi listrik yang

diproduksi PT. PLN hanya 18,0 GW tahun 2004 sehingga dalam tahun tersebut

terjadi kekurangan (gap) pasokan listrik sebesar 6,3 GW. Dengan kata lain, kondisi

permintaan lebih besar dari pada pasokan listrik tersebut dapat mengakibatkan

krisis energi listrik di tanah air.

Munculnya gap pasokan listrik ini sebesarnya menandakan suatu kondisi

dimana tidak berkembangnya kegiatan investasi di bidang infrastruktur

ketenagalistrikan, yaitu di sektor pembangkitan, transmisi dan distribusi. Karena

secara umum sejak krisis ekonomi mulai berlangsung tahun 1997, telah

menunjukkan penurunan realisasi investasi mencapai 50% bahkan nilai persetujuan

proyek PMA merosot 96% dibandingkan PMDN selama tahun 2001, meskipun dari

segi jumlah proyek naik 50%. Dan tidak ada foreign direct investment (FDI) yang

masuk ke Indonesia semenjak tahun 1997 sehingga Pemerintah masih membutuhkan

pinjamanan luar negeri untuk mendanai proyek – proyek ketenagalistrikan.

Beberapa faktor yang dituding sebagai penyebab terjadinya penurunan

investasi di dalam negeri sehingga menurunkan minat investor untuk menanamkan

modal, antara lain :

a. Instabilitas politik dan keamanan yang disebabkan oleh perseteruan di antara elit

politik, kerusuhan atau kekerasan yang berbau SARA, timbulnya aspirasi ke

arah disintegrasi bangsa, dan meningkatnya tingkat kriminalitas.

7.1

Page 136: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

b. Banyaknya kasus demonstrasi / pemogokan di bidang perburuhan atau

ketenagakerjaan yang disebabkan meningkatnya kesadaran mengenai hak-hak

buruh, masih rendahnya pendapatan buruh, kesejahteraan dan keselamatan

kerja belum memadai.

c. Pemahaman yang keliru terhadap pelaksanaan UU Otonomi Daerah yang

disebabkan belum lengkap dan jelasnya pedoman menyangkut tatacara

pelaksanaan otonomi daerah sehingga menimbulkan bentuk-bentuk pungutan

dan atau retribusi yang kurang jelas dasar hukumnya.

d. Kurangnya jaminan kepastian hukum, misalnya dengan dilakukan pembatalan

secara sepihak terhadap pemenang tender dan tidak diberikan kompensasi yang

layak, demikian dengan pembatalan dan atau perubahan terhadap isi kebijakan

(kontrak di bidang ketenagalistrikan seperti power purchase agreement / energy

contract.

e. Lemahnya pelaksanaan penegakan hukum (law enforcement) terutama

menyangkut lembaga-lembaga peradilan maupun lembaga-lembaga arbitrase,

baik asing (ICC/ICSID) maupun lokal (BANI) yang menyebabkan rendahnya

kepercayaan investor terhadap tatacara / proses penyelesaian sengketa dan atau

penegakan hukum.

f. Kurangnya jaminan atau perlindungan investasi sehingga investor merasa tidak

aman dan nyaman karena masih saja terjadi tindakan – tindakan penjarahan dan

atau pengambil alihan secara melawan hukum terhadap aset –aset investor tanpa

dapat dicegah oleh Pemerintah.

g. Masih kurang menariknya insentif fiskal khususnya perpajakan yang diberikan

oleh Pemerintah dibandingkan dengan insentif fiskal yang diberikan oleh

Pemerintah negara – negara tetangga di ASEAN, seperti Thailand, Malaysia,

Philipina dan Singapura, yang pada akhirnya dapat mendorong investor untuk

merelokasi investasinya dari Indonesia kepada negara – negara tersebut.

h. Masih rendahnya kualitas sumber daya manusia karena belum tersedianya

sumber daya manusia yang memadai baik secara kualitatif dan kuantitatif untuk

memenuhi kebutuhan industri.

7.2

Page 137: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

i. Masih berjalannya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang

menguntungkan pihak – pihak tertentu meskipun telah dikeluarkannya UU

Pemberantasan KKN dan UU Pembalikan Beban Pembuktian serta pembentukan

Komisis Pemberantasan Korupsi (KPK) namun tetap saja tidak mampu

mengurangi dan atau memberantas praktek KKN.

j. Tidak ada kejelasan dalam kebijakan investasi yang dicerminkan dengan tinggi

risiko (country risk) sehingga biaya financial dari projek ketenagalistrikan

menjadi mahal dan pada akhirnya berakibat harga jual (TDL) juga mahal.

k. Terjadi penundaan beberapa proyek yang dapat menurunkan manfaat ekonomi

dan keuangan (karena penundaan pendapatan PT. PLN dan penundaan

kesempatan konsumen menikmati jasa kelistrikan) sehingga dapat meningkat

biaya investasi, misalnya apabila perusahaan listrik mendapat pinjaman dari

lembaga-lembaga multilateral (World Bank, ADB, etc.) maka Pemerintah

Indonesia harus membayar commitment fee dan penundaan dapat meningkatkan

biaya investasi.

Melihat faktor – faktor tersebut, kiranya dapat disimpulkan bahwa kondisi

perekonomian nasional nampaknya sudah kurang menarik minat investasi di bidang

infrastruktur khususnya di sektor ketenagalistrikan. Karena selama ini investasi

infrastruktur di sektor ketenagalistrik kurang mendapat perhatian atau fasilitas yang

memadai dari Pemerintah terutama dalam penggunaan input yang akan menghasil

energi listrik (setrum). Akibatnya, ke depan dapat terjadi krisis energi listrik karena

tidak ada penambahan kapasitas baru dan atau kapasitas yang lama sudah mulai

menurun kinerjanya.

Selain itu, terjadi perbedaan sudut pandang antara Pemerintah dengan para

pelaku ekonomi khususnya di sektor ketenagalistrikan. Karena menurut para pelaku

ekonomi bahwa kegiatan dalam industri ketenagalistrikan pada umumnya

dibedakan antara kegiatan di sektor hulu (pembangkitan, transmisi dan distribusi)

dan hilir (penjualan listrik). Dan selama ini yang sering mendapat insentif fiskal

adalah di sektor hilirnya, akan tetapi di sektor hulunya masih belum banyak

tersentuh insentif fiskal. Sedangkan dari sudut pandang Pemerintah dalam

pengenaan pajak tidak membedakan barang berdasarkan sektor hulu dan hilir,

7.3

Page 138: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

sehingga berakibat tidak pernah dapat menuntaskan permasalahan yang dihadapi

oleh para pelaku ekonomi.

Pengaruh pungutan pajak terhadap beban perusahaan dan penyediaan energi

listrik sangat besar, sehingga dapat memberatkan kelangsungan usaha

ketenagalistrikan, misalnya pajak yang dipungut pada tingkat operasional perusahaan

antara lain :

BBM & Pelumas Impor Suku Cadang Pemeliharaan

(Jasa) Pajak – Pajak

Lainnya a. PPN 10% a. Bea Masuk 5 – 20% a. PPN 10% a. Pajak air permukaan b. PPh 0,3% b. PPN Impor 10% b. Pajak air bawah tanah

c. PPh Impor 2,5% c. Pajak penerangan jalan d. Ijin gangguan gardu induk e. Ijin gangguan pembangkit f. IMB Tower

g. PBB Sumber : PT. PLN (Persero), 2005.

Pajak yang dipungut Pemerintah atas pekerjaan kontruksi yang dilakukan pada

proyek – proyek usaha ketenagalistrikan, antara lain :

Survai Pembebasan Tanah E / D Impor Peralatan Kontruksi

a. PPN 10% a. PPh Psl 25 5% a. PPN 10% a. Bea Masuk 5 - 20% a. PPN 10% b. BPHTB 5% b. PPN Impor 10%

c. PPh Impor 2,5%

Sumber : PT. PLN (Persero), 2005.

Selain itu, beberapa negara di kawasan ASEAN sudah banyak memberikan

insentif fiskal kepada proyek – proyek strategis dan sesuai dengan prioritas

pembangunan termasuk proyek ketenagalistrikan. Pemberian insentif tersebut lebih

banyak ditujukan untuk menarik minat (sweatener) investor dalam menanamkan

modal ke negara – negara tersebut. Namun, proyek – proyek ketenagalistrikan di

tanah air belum banyak mendapat insentif fiskal terutama pada bidang infrastruktur

(pembangkitan, transmisi dan distribusi). Untuk itu, perlu ditinjau kembali jenis –

jenis insentif fiskal kepada proyek – proyek ketenagalistrikan agar investasi tidak ke

luar kawasan Indonesia (capital flight).

7.4

Page 139: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Untuk itu, secara serius Pemerintah saat ini berupaya untuk mendorong

investasi baik asing maupun dalam negeri melalui perbaikan berbagai kebijakan

ekonomi dan non ekonomi dalam rangka menciptakan iklim yang kondusif agar

perekonomian diharapkan tumbuh rata – rata 6,6% per tahun melalui peningkatan

peranan swasta dalam pembangunan. Tekad Pemerintah tersebut telah diwujudkan

dalam agenda prioritas pembangunan melalui program peningkatan investasi,

yaitu :

1. Kebijakan peningkatan iklim dan realisasi investasi dengan langkah – langkah :

a. Penyederhanaan prosedur birokrasi dan perijinan

b. Penyusunan insentif investasi yang tepat sasaran

c. Pengurangan tumpang tindih kebijakan pusat – daerah dan antar sektor

d. Penanganan masalah – masalah investasi secara tepat

e. Reformasi kelembagaan penanaman modal

2. Reformasi bidang perpajakan dan kepabeanan, melalui :

a. Amandemen UU Perpajakan

b. Reformasi administrasi sengketa pajak

c. Fasilitasi perdagangan dan pemberantasan penyelundupan

3. Peningkatan daya saing industri manufaktur melalui upaya :

a. Peningkatan utilisasi kapasitas dan memperluas basis industri untuk

memperkuat struktur yang ada

b. Pengembangan investasi strategis secara fungsional dalam aspek

pengembangan teknologi industri, informasi pasar serta prasarana – sarana

pengendalian mutu

c. Fasilitas pengembangan sub sektor industri sesuai dengan masalah yang

dihadapi, difokuskan (diprioritaskan) pada sub-sub sektor yang menyerap

tenaga kerja, mengolah sumber daya alam (SDA) dalam negeri, memenuhi

kebutuhan pasar dalam negeri dan memiliki potensi pengembangan ekspor

ke depan.

Dengan demikian, sektor ketenagalistrikan telah memenuhi kriteria dalam

pengembangan industri strategis yang perlu mendapat dukungan Pemerintah

terutama dalam investasi infrastrukturnya (bidang pembangkitan, transmisi dan

7.5

Page 140: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

distribusi). Sehingga, perlu kesamaan pandang antara Pemerintah (baik di Pusat dan

Daerah) dengan pelaku – pelaku sektor ketenagalistrikan agar pemberian dukungan

tersebut dapat menghasilkan nilai tambah (multiplier effect) yang lebih besar dari

pada potensial loss akibat pemberian dukungan atau fasilitas tersebut.

7.2. Saran dan Rekomendasi 7.2.1. Usulan Insentif Fiskal Untuk Investasi Infrastruktur Ketenagalistrikan

Berdasarkan hasil studi ini dengan memperhatikan berbagai dampak

pemberian insentif fiskal termasuk potensial loss penerimaan Pemerintah atas proyek

– proyek ketenagalistrikan, maka usulan insentif fiskal untuk yang kiranya

dibutuhkan dan untuk mendukung peningkatan investasi infrastruktur

(pembangkitan, transmisi dan distribusi) di bagi dalam dua jenis insentif (pajak dan

kepabeanan), antara lain :

a. Bidang Pajak Penghasilan (PPh)

1. Menerapkan insentif REGIONAL dengan memberikan PEMBEBASAN

PPh ≤ 60% dari pendapatan untuk pengembangan industri ketenaga-

listrikan;

2. Menerapkan insentif SEKTORAL untuk perusahaan yang bergerak pada

usaha Strategis dan atau prioritas pembangunan (termasuk tenaga

listrik) dengan memberikan pembebasan PPH ≈ 10% selama 5 – 10

tahun;

3. Menerapkan Insentif EKSPOR & DAERAH PERDAGANGAN BEBAS

dengan mengenakan Pajak Final ≈ 5% dari penghasilan bruto dengan

komposisi : 3% Pemerintah Pusat, 1% Pemerintah Daerah & 1% untuk

Dana Pembangunan;

4. Pembebasan PPh atas keuntungan EKSPOR ≈ 30% selama 5 tahun dalam

mendorong Insentif EKSPOR & DAERAH PERDAGANGAN BEBAS.

b. Bidang Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

1. LISTRIK dapat ditetapkan sebagai BKP tertentu yang atas penyerah-

annya DIBEBASKAN dari penge-naan PPN;

7.6

Page 141: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

2. BARANG MODAL berupa mesin dan peralatan pabrik untuk

menghasilkan BKP tertentu yang bersifat strategis atas impor dan atau

penyerahannya DIBEBASKAN dari pengenaan PPN.

c. Kepabeanan

1. Menggunakan mekanisme PP 42 Tahun 1995 : Pembebasan / Keringan

BM dapat diberikan atas Impor;

2. Menggunakan Pasal 26 ayat (1) huruf j UU 10 Tahun 1995 : Barang oleh

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ditujukan untuk Kepentingan

Umum;

3. MEREVISI PMK 47/PMK.04/2005 dengan menambah / memasukkan

industri ketenagalistrikan ke dalam daftar industri jasa yang

mendapatkan fasilitas keringan BM;

4. Memberikan FASILITAS BM KHUSUS untuk PT. PLN (Persero);

5. Menurunkan TARIF BM BARANG MODAL untuk industri

ketenagalistrikan dengan memasukkan Harmonisasi Tarif.

7.2.2. Usulan Insentif Fiskal Untuk Pengembangan Energi Terbarukan

Faktor utama penghambat pengembangan energi terbarukan adalah harga

energi yang dihasilkannya tidak dapat berkompetisi dengan harga energi yang

berasal dari fosil yang masih disubsidi, maka penghapusan subsidi dalam bentuk

harga energi fosil mutlak dilakukan. Penghapusan subsidi pada harga energi fosil

tidak hanya akan memberi ruang yang lebih kompetitif bagi pengembangan energi

terbarukan, juga akan berdampak kepada berkurangnya beban keuangan negara

yang selama ini digunakan untuk menutupi subsidi.

Kebijakan penghapusan subsidi yang tidak populis pada akhirnya bermuara

pada pertanyaan: Lalu bagaimana fungsi sosial pemerintah sebagai akibat dari

kebijakan penghapusan subsidi? Hal tersebut disebabkan bahwa secara umum

masyarakat pengguna energi adalah mereka yang "dhuafa" dengan kemampuan

membeli yang secara umum sangat rendah (lower purchasing power).

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka diusulkan agar pemerintah

memberikan subsidi langsung maupun tidak langsung (direct and indirect subsidy)

7.7

Page 142: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

kepada yang benar-benar membutuhkan. Subsidi langsung dapat dilakukan pada

jenis energi untuk pelanggan yang tercatat dengan baik seperti PLN. Sedangkan

subsidi tidak langsung dapat diberikan untuk pelanggan bahan bakar cair seperti

pelanggan minyak tanah. Bentuk subsidi tidak langsung ditujukan untuk

menstimulir (mendorong) kegiatan-kegiatan pada asyarakat yang ditargetkan guna

mendapatkan tambahan pendapatan (income generating activities) melalui subsidi

biaya pendidikan, pendanaan mikro melalui revolving fund atau skema pendanaan

mikro lainnya, dan juga subsidi biaya kesehatan sehingga masyarakat dapat

menjalankan kegiatan dan berkehidupan yang lebih baik.

Berkaitan dengan skema pendanaan mikro dalam mendorong upaya

pemanfaatan energi terbarukan, maka Pemerintah perlu membuat

regulasi/peraturan perbankan khusus untuk mengakomodasi dan memberikan

kemudahan skema pendanaan yang lebih berpihak kepada masyarakat kecil. Ini bisa

membantu mengakhiri paradigma pendanaan yang saat ini memberi perhatian lebih

kepada daerah pinggiran kota karena rendahnya daya beli masyarakat kecil di desa

akibat keadaan ekonomi mereka pas-pasan bahkan di bawah garis kemiskinan (under

poverty line). Sebaiknya bantuan kredit diberikan agar masyarakat bisa melakukan

kegiatan-kegiatan untuk menambah penghasilan mereka, sehingga pada akhirnya

daya beli mereka dapat meningkat.

Kebijakan insentif lainnya yang diharapkan mampu menurunkan biaya

pembangkitan energi terbarukan yaitu melalui penurunan bea masuk (import tax).

Bea masuk yang selama ini dikenakan pada energi terbarukan adalah tidak tepat dan

harus ditinjau kembali dan diusulkan untuk dikurangi, tetapi tidak dihilangkan

karena menganggap barang atau peralatan energi terbarukan sebagai pajak barang

mewah.

Kebijakan insentif juga seharusnya diberikan kepada pemain lokal, seperti

perusahaan manufaktur yang menunjang kegiatan energi terbarukan. Hal tersebut

ditujukan karena selama ini muatan impor yang masih dominan (high import content)

pada beberapa teknologi energi terbarukan seperti photovoltaik, gasifikasi dan

kogenerasi biomasa, bahan bakar berbasis tumbuh-tumbuhan (bio-disel dan bio-

7.8

Page 143: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

etanol), dan konverter untuk tenaga angin, menyebabkan harga energi terbarukan

yang dihasilkan menjadi relatif mahal.

Selain itu pada beberapa kasus kerusakan membutuhkan waktu yang relatif

lama karena menunggu pengiriman (impor). Dengan demikian diharapkan

menambah muatan lokal (local content) dapat secara signifikan mengurangi biaya

investasi dan mengurangi biaya produksi energi terbarukan, sehigga pada akhirnya

dapat menciptakan iklim yang lebih kompetitif bagi energi terbarukan untuk

bersaing dengan energi fosil.

Memasukkan harga lingkungan (internalize the externalities) pada komponen

biaya energi yang berasal dari fosil (tak terbarukan). Hal tersebut perlu dilakukan

mengingat dampak yang sangat buruk dari penggunaan energi tak terbarukan bagi

lingkungan baik lokal maupun global dan dapat menurunkan kualitas kesehatan

manusia. Untuk itu penerapan biaya lingkungan tidak hanya ditujukan untuk

memberikan harga energi terbarukan yang lebih kompetitif, tetapi juga akan

digunakan untuk usaha atau kegiatan untuk pemulihan lingkungan yang

diakibatkan oleh penggunaan energi tak terbarukan.

Rencana penyediaan dana (depletion premium) atas menyusutnya minyak bumi

dan juga dampak buruk terhadap lingkungan yang dihasilkan akibat pemanfaatan

minyak bumi yang selama ini hanya menjadi wacana sebaiknya dapat direalisasikan.

Dengan adanya alokasi dana bagi pengembangan energi terbarukan yang berasal

dari depletion premium, diharapkan tidak hanya menggugah kepedulian dari

Pertamina terhadap pentingnya pemanfaatan energi terbarukan untuk menjawab

kelangkaan pasokan minyak, juga diharapkan akan memberikan kesadaran bagi

Pertamina untuk melirik bisnis energi terbarukan dalam ekspansi perusahaannya

seperti yang dilakukan oleh perusahan minyak besar di dunia.

Memberikan keringanan pembebasan pajak sementara (tax holiday) yang

ditujukan untuk menstimulasi kegiatan investasi bagi pengembangan energi

terbarukan untuk daerah-daerah yang selama ini terlupakan atau tertinggal seperti

Indonesia bagian timur atau daerah terpencil pedesaan lainnya di Indonesia.

7.9

Page 144: Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Insentif fiskal sangat diperlukan sebagi upaya untuk mengeembangkan energi

terbarukan. Hal tersebut sebagai terobosan guna merangsang investor untuk

mengembangkan energi ramah lingkungan. Disadari, rasio elektrifikasi masih

terbilang rendah, sekitar 80 juta rakyat belum menikmati pelayanan listrik. Isentif

fiskal paling tidak akan merangsang para investor baik Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk membangun sejumlah

proyek listrik yang ramah lingkungan.

Tabel 7.1. : Usulan Bentuk - Bentuk Insentif Fiskal Untuk Pemanftaan

Sumber Daya Terbarukan

No Bentuk Insentif Tujuan

1 Penurunan bea masuk

Bea masuk yang selama ini dikenakan pada energi terbarukan adalah tidak tepat dan harus ditinjau kembali karena menganggap barang atau peralatan energi terbarukan sebagai pajak barang mewah

2 Pemakaian muatan lokal

mengurangi biaya investasi dan mengurangi biaya produksi energi terbarukan, sehigga pada akhirnya dapat menciptakan iklim yang lebih kompetitif bagi energi terbarukan untuk bersaing dengan tidak terbarukan.

3 Penghapusan subsidi terhapa harga energi tidak terbaharukan

a. memberi ruang yang lebih kompetitif bagi pengembangan energi terbarukan,

b. berkurangnya beban keuangan negara yang selama ini digunakan untuk menutupi subsidi.

4

Memasukkan harga lingkungan pada komponen biaya energi yang berasal dari sumber daya tak terbarukan.

a. untuk memberikan harga energi terbarukan yang lebih kompetitif,

b. untuk pemulihan lingkungan yang diakibatkan oleh penggunaan energi tak terbarukan

7.10