Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan RINGKASAN EKSEKUTIF Pertama – tama, kami mengucapkan puji dan syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT atas semua taufik, hidayah dan karunia yang kami terima selama ini terutama dalam rangka menyelesaikan kegiatan penelitian dan penulisan laporan ini. Laporan penelitian ini yang berjudul “Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Dalam Rangka Meningkatkan Usaha Ketenagalistrikan” diselesaikan dalam rangka kerjasama penelitian antara Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional, Departemen Keuangan RI dengan Center for Energy and Power Studies, PT. PLN (Persero). Dan secara garis besar laporan ini menyampaikan tentang hal – hal sebagai berikut : 1. Energi listrik merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan untuk menggerakkan roda perekonomian, baik bagi sektor rumah tangga untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, sektor industri untuk kegiatan produksi dan investasi, maupun sektor pemerintah untuk mendorong terciptanya kesejahteraan masyarakat. Kebutuhan energi listrik tersebut akan meningkat terus sejalan dengan perkembangan teknologi, sebab aktivitas para pelaku ekonomi dan penggunaan sarana kehidupan yang membutuhkan energi listrik. 2. Namun karena pasokan energi listrik saat ini belum mampu mengimbangi kebutuhan (permintaan) energi listrik, maka menimbulkan permasalahan kesenjangan (gap) antara jumlah pasokan lebih rendah dari pada jumlah permintaan energi listrik. Kesenjangan tersebut tidak akan pernah bisa ditutup apabila hanya mengandalkan dari tingkat pertumbuhan alamiah penyediaan listrik. Sementara itu, kepastian ketersediaan energi listrik merupakan prasyarat pokok bagi tumbuhnya investasi dan perkembangan perekonomian. i.1
144
Embed
Kebijakan Insentif Fiskal Di Industri Ketenagalistrikan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
RINGKASAN EKSEKUTIF
Pertama – tama, kami mengucapkan puji dan syukur Alhamdulillah kepada
Allah SWT atas semua taufik, hidayah dan karunia yang kami terima selama ini
terutama dalam rangka menyelesaikan kegiatan penelitian dan penulisan laporan
ini.
Laporan penelitian ini yang berjudul “Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Dalam
Rangka Meningkatkan Usaha Ketenagalistrikan” diselesaikan dalam rangka
kerjasama penelitian antara Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama
Internasional, Departemen Keuangan RI dengan Center for Energy and Power Studies,
PT. PLN (Persero).
Dan secara garis besar laporan ini menyampaikan tentang hal – hal sebagai
berikut :
1. Energi listrik merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan untuk
menggerakkan roda perekonomian, baik bagi sektor rumah tangga untuk
pemenuhan kebutuhan sehari-hari, sektor industri untuk kegiatan produksi
dan investasi, maupun sektor pemerintah untuk mendorong terciptanya
kesejahteraan masyarakat. Kebutuhan energi listrik tersebut akan meningkat
terus sejalan dengan perkembangan teknologi, sebab aktivitas para pelaku
ekonomi dan penggunaan sarana kehidupan yang membutuhkan energi listrik.
2. Namun karena pasokan energi listrik saat ini belum mampu mengimbangi
kebutuhan (permintaan) energi listrik, maka menimbulkan permasalahan
kesenjangan (gap) antara jumlah pasokan lebih rendah dari pada jumlah
permintaan energi listrik. Kesenjangan tersebut tidak akan pernah bisa ditutup
apabila hanya mengandalkan dari tingkat pertumbuhan alamiah penyediaan
listrik. Sementara itu, kepastian ketersediaan energi listrik merupakan
prasyarat pokok bagi tumbuhnya investasi dan perkembangan perekonomian.
i.1
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
3. Sehubungan dengan itu, diperlukan suatu langkah – langkah untuk (i)
menutup kesenjangan (gap) energi listrik yang terjadi saat ini, (ii) mencegah
terjadinya kesenjangan (gap) yang semakin besar dalam tahun-tahun
mendatang, dan (iii) meningkatkan sarana & prasarana untuk menutup
kesejangan (gap) energi listrik tersebut.
4. Untuk mensukseskan langkah - langkah tersebut maka dibutuhkan
ketersediaan dana atau investasi di sektor ketenagalistrikan. Mengingat saat ini,
kemampuan keuangan Pemerintah maupun PT. PLN sendiri belum
memungkinkan, maka wajar diperlukan peranan swasta baru (dalam negeri
maupun luar negeri) untuk berinvestasi di sektor tersebut.
5. Sampai saat sekarang, minat para swasta tersebut untuk berinvestasi dalam
proyek ketenagalistrikan masih rendah, utamanya karena keuntungan yang
diharapkan (expected rate of return) dari usaha tersebut relatif rendah.
Rendahnya keuntungan tersebut diperkirakan karena beberapa hal : (i) tarif
dasar listrik (TDL) yang belum kompetitif (rendah dan pemberlakuan uniform
rate khusus pelanggan rumahtangga) yang menyebabkan rendahnya kepastian
usaha listrik, dan (ii) biaya usaha yang kurang kompetitif dibanding usaha lain
di dalam negeri atau usaha yang sama di negara lain.
6. Dibutuhkan peran Pemerintah dalam menciptakan kondisi dan suasana
investasi yang dapat menarik swasta baru di sektor ketenagalistrikan. Salah
satu upaya Pemerintah adalah melakukan efisiensi dalam biaya usaha agar
harga jual dapat relatif rendah. Sehingga, kebijakan yang dilakukan untuk
mendorong usaha ketenagalistrikan harus terkait dengan dua hal, antara lain :
a) menciptakan kondisi dan suasana yang kondusif bagi investasi di sektor
kelistrikan, dan b) Penurunan dan efisiensi biaya produksi energi listrik di
semua tahapan proses produksi listrik.
7. Untuk diperlukan upaya Pemerintah untuk menghasilkan kebijakan ekonomi
yang dapat meningkatkan iklim dan realisasi investasi melalui : (i)
penyederhanaan prosedur perijinan, (ii) peninjau ulang insentif fiskal agar
i.2
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
tepat sasaran, (iii) pengurangan tumpang – tindih kebijakan Pemerintah Pusat
& Daerah serta antra sektor, (iv) merevisi peraturan – peraturan yang kurang
mendorong kegiatan di ketenagalistrikan, (v) reformasi kelembagaan
penanaman modal, dan (vi) penanganan masalah – masalah investasi secara
tepat dan akurat.
8. Bentuk usulan insentif fiskal (hasil studi ini) yang diharapkan dapat
meningkatkan iklim investasi di bidang usaha ketenagalistrikan, antara lain : (i)
di bidang PPh : a) insentif REGIONAL dengan pembebasan PPh ≤ 60% dari
pendapatan untuk pengembangan usaha ketenagalistrikan; b) insentif
SEKTORAL bagi perusahaan bidang usaha strategis dan atau prioritas
pembangunan (termasuk ketenagalistrikan) dengan pembebasan PPh ≤ 10%
selama 5 – 10 tahun; c) insentif EKSPOR dan DAERAH PERDAGANGAN
BEBAS dengan pajak final ≤ 5% dari penghasilan bruto dengan komposisi : 3%
Pemerintah Pusat, 1% Pemerintah Daerah dan 1% untuk Dana Pembangunan,
dan d) pembebasan PPh atas keuntungan EKSPOR ≤ 30% selama 5 tahun untuk
mendorong ekspor dan daerah perdagangan bebas; (ii) di bidang PPN : a)
usaha ketenagalistrikan dapat ditetapkan sebagai BKP tertentu yang atas
penyerahannya DIBEBASKAN dari pengenaan PPN, b) barang modal berupa
mesin dan peralan pabrik untuk menghasilkan BKP tertentu yang bersifat
strategis atas impor dan atau penyerahannya DIBEBASKAN dari pengenaan
PPN; dan (iii) di bidang Kepabeanan : a) menggunakan mekanisme PP Nomor
42 Tahun 1995 : Pembebasan / Keringanan BM atas Impor; b) menggunakan
Pasal 26 Ayat 1 huruf j UU Nomor 10 Tahun 1995 : Barang oleh Pemerintah
Pusat dan Pemda ditujukan untuk kepentingan umum; c) merevisi PMK
47/PMK.04/2005 dengan menambah / memasukan industri ketegalistrikan ke
dalam daftar industri jasa yang mendapatkan fasilitas keringanan BM; d)
memberikan fasilitas BM khusus untuk usaha ketenagalistrikan; dan e)
menurunkan tarif BM barang modal untuk industri ketenagalistrikan dengan
memasukan harmonisasi tarif.
i.3
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
9. Usulan bentuk – bentuk insentif fiskal untuk pemanfaatan sumber energi
terbarukan, yaitu : a) penurunan bea masuk; b) pemakaian muatan lokal; c)
penghapusan subsidi terhadap harga energi tidak terbarukan, dan d)
memasukkan harga lingkungan pada komponen biaya energi yang berasal dari
sumber daya tidak terbarukan.
Akhir kata, kami menyadari sepenuhnya bahwa setiap karya manusia tidak
luput dari kekhilafan (tidak ada gading yang tidak retak), sehingga kami selalu
terbuka dan tulus ikhlas menerima saran – saran maupun kritikan yang bersifat
kontrukstif guna perbaikan laporan ini.
Selanjutnya, kepada semua pihak yang berperan dalam mensukseskan
penulisan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih. Semoga hasil penelitian ini
dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi bangsa dan negara yang kita
cintai bersama.
Jakarta, Oktober 2005
Ketua Tim Penelitian dan Penulisan Laporan Purwiyanto
i.4
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i.1
DAFTAR ISI i
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
BAB I PENDAHULUAN 1.1
1.1 Latar Belakang Masalah 1.1
1.2 Tujuan Studi 1.6
1.3 Metodologi Penelitian 1.6
1.4 Output 1.7
BAB II LANDASAN TEORI : KESENJANGAN (GAP) ANTARA
PENYEDIAAN DENGAN PERMINTAAN PASAR
2.1
2.1 Kegagalan Pasar dan Kebijakan Insentif Dalam Rangka
Penyediaan Usaha Ketenagalistrikan
2.3
2.2 Penyediaan dan Permintaan Energi Listrik 2.4
2.2.1 Efek Subsidi Pemerintah 2.7
2.3 Insentif Fiskal dalam Rangka Mendorong Usaha
Ketenagalistrikan
2.8
2.3.1 Pengenaan Pajak (Misal : PPN) 2.9
2.3.2 Dampak Insentif Pemerintah terhadap Penurunan
Biaya Produksi
2.12
BAB III GAMBARAN UMUM KETENAGALISTRIKAN DI
INDONESIA
3.1
3.1 Profil Ketenagalistrikan 3.1
3.2 Produksi Listrik dan Pengunaan Bahan Bakar Sektor Listrik 3.3
3.3 Proyeksi Permintaan dan Penawaran Listrik 3.4
3.3.1 Potret Permintaan Tenaga Listrik 3.6
i
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
3.3.2 Penawaran Tenaga Listrik 3.7
3.3.3 Transmisi Tenaga Listrik di Jawa-Bali 3.11
3.3.4 Transmisi Tenaga Listrik di luar Wilayah Jawa-Bali 3.12
3.4 Peluang dan Kendala Investasi di Bidang Ketenagalistrikan 3.12
BAB IV EXISTING FISCAL INSENTIF DAN KEBIJAKAN FISKAL KE
DEPAN DALAM MENDUKUNG INVESTASI
INFRASTRUKTUR KELISTRIKAN
4.1
4.1 Peluang Sumber Dana yang Dapat Dimanfaatkan Untuk
Investasi Kelistrikan Melalui Penerusan Pinjaman
(Subsidiary Loan Agreement)
4.1
4.2 Insentif Kebijakan Fiskal yang Masih Berlaku Sampai
dengan Tahun 2000
4.4
4.3 Fasilitas Insentif Kebijakan Fiskal yang Dapat Dimanfaatkan
oleh Investor Swasta di Bidang Kelistrikan Sampai dengan
Tahun 2000
4.9
4.4 Insentif Kebijakan Fiskal yang Diberlakukan Untuk
Investasi di Sektor Kelistrikan
4.10
4.5 Insentif Kebijakan Fiskal Berupa Fasilitas Pajak Penghasilan
(PPh) Untuk Mendorong Usaha dan Investasi Kelistrikan
Setelah Tahun 2001
4.14
4.5.1 Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu
dan atau di Daerah-Daerah Tertentu
4.15
4.5.2 Restrukturisasi Utang Usaha Melalui Lembaga
Khusus yang dibentuk Pemerintah
4.17
4.5.3 Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu(KAPET) 4.18
4.5.4 Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah (PPh
DTP) atas Hibah dan Pinjaman Luar Negeri
4.20
4.5.5 Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Pegawai 4.23
4.5.6 Restukturisasi Perusahaan 4.25
4.5.7 Penyusutan dan atau Pembebanan Biaya atas Biaya 4.27
ii
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Lampiran 9 Komposisi Produksi Menurut Jenis Energi Primer
Lampiran 10 Regional Balance Tahun 2008
Lampiran 11 Kebutuhan Investasi Untuk Fasilitas Pembangkit, Penyaluran
Dan Distribusi
Lampiran 12 Rencana Penambahan Kapasitas
Lampiran 13 Pokok – pokok Pikiran Narasi Gabungan Perubahan
UU Perpajakan
Lampiran 14 Pokok – pokok Pikiran Perubahan UU PPh
Lampiran 15 Pokok – pokok Pikiran Perubahan UU PPN & PPNBM
Lampiran 16 Keputusan Menteri ESDM Nomor : 0002 Tahun 2004 Tentang
Kebijakan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi (Pengembangan
Energi hijau)
Lampiran 17 Keputusan Menteri ESDM Nomor : 1122K/30/MEM/2002 Tentang
Pedoman Pengusahaan Pembangkit Tenaga Listrik Skala Kecil
Tersebar
Lampiran 18 Kebijaksanaan, Peraturan & Prosedur : Tata cara Perencanaan,
Pelaksanaan / Penatausahaan, Dan Pemantauan Pinjaman / Hibah
Luar negeri Dalam Rangka Pelaksanaan APBN
vii
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
BAB I
PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan
Energi listrik merupakan salah satu unsur yang sangat diperlukan bagi
jalannya roda perekonomian, baik bagi sektor rumah tangga untuk pemenuhan
kebutuhan sehari-hari, perusahaan untuk kegiatan produksi dan investasi, maupun
bagi pemerintah untuk mendorong terciptanya kesejahteraan masyarakat. Keperluan
tersebut meningkat sejalan dengan perkembangan teknologi, karena banyaknya
kegiatan produksi dan penggunaan sarana kehidupan berteknologi tinggi yang
menggunakan listrik.
Dari hasil studi Arsyad (1994) mengenai hubungan kausalitas antara
pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi di Indonesia terlihat bahwa aktifitas
ekonomi akan mempengaruhi tingkat konsumsi energi, namun tidak sebaliknya.
Dengan demikian, mengingat kebutuhan akan pertumbuhan ekonomi bersifat terus
menerus, maka scarcity problem akan berlaku secara alamiah dalam usaha
ketenagalistrikan. Konsekuensi dari kondisi tersebut adalah terdapatnya gap atau
kesenjangan antara penyediaan energi listrik dengan kebutuhan yang cukup besar
dan cenderung membesar di masa depan, yang dapat menyebabkan melemahnya
aselerasi perkembangan ekonomi, sehingga tidak tercapainya tingkat pertumbuhan
ekonomi yang sustainable pada tingkat 6% per tahun.
Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan, secara garis besar dapat
disimpulkan bahwa dalam tahun-tahun mendatang akan terjadi krisis energi listrik,
karena pasokan energi listrik tidak mampu mengimbangi permintaan energi listrik.
Selisih antara pasokan dan permintaan energi listrik (kesenjangan) tersebut tidak
pernah bisa dipenuhi kalau hanya mengandalkan tingkat pertumbuhan alamiah dari
penyediaan tenaga listrik. Sementara itu, kepastian ketersediaan energi listrik
merupakan prasyarat pokok bagi tumbuhnya investasi dan perkembangan
perekonomian. Sehubungan dengan itu, diperlukan suatu langkah besar untuk (i)
menutup kesenjangan pasokan energi listrik yang terjadi saat ini, dan (ii) mencegah
1.1
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
terjadinya kesenjangan yang semakin besar dalam tahun-tahun mendatang (lihat
Tabel 1.1).
Penentu utama dari suksesnya langkah besar untuk mengatasi kesenjangan
penyediaan energi listrik adalah ketersediaan dana investasi di sektor pembangkitt
tenaga listrik. Namun demikian, kemampuan keuangan negara maupun PT. PLN
untuk berinvestasi di sektor ketenagalistrikan tidak mencukupi sehingga diperlukan
peran investor swasta baru dari dalam maupun luar negeri.
Tabel 1.1 :
Proyeksi Penawaran Energi Listrik Yang Disesuaikan Dengan Capacity Factor 1990 – 2010 (Juta Gwh)
Tahun No Uraian 1995 2000 2005 2010*
1 Diesel 11,12 12,91 14,88 15,29 2 Uap 56,53 65,61 75,63 77,70 3 Air 18,02 20,91 24,10 24,76 4 Gas turbin 2,63 3,05 3,52 3,62 5 Panas Bumi 4,19 4,87 5,61 5,76 6 Gas Uap 20,98 24,34 28,06 28,83 7 Total Supply 114,04 132,34 152,56 156,72** 8 Energy Demand 249,40 289,42 333,63 382,71** 9 Perkiraan Kesenjangan 135,36 157,08 181,07 225,99
Sumber : Ismalina, 1997, diolah. * RUPTL Tahun 2004 – 2013 Jawa, Madura, Bali. ** PLTU + Captive
Di sisi lain, minat investor swasta untuk menanamkan dananya dalam proyek
pengembangan ketenagalistrikan masih rendah, utamanya karena keuntungan yang
diharapkan (expected rate of return) dari kegiatan tersebut relatif rendah. Rendahnya
keuntungan tersebut utamanya terkait dengan hal-hal, antara lain : (i) tarif dasar
listrik (TDL) yang belum kompetitif (rendah dan pemberlakuan uniform rate) yang
menyebabkan rendahnya kepastian usaha listrik, dan (ii) biaya usaha yang kurang
kompetitif dibanding usaha lain di dalam negeri atau usaha yang sama di negara
lain.
Untuk itu, diharapkan peran Pemerintah untuk menciptakan kondisi dan
suasana investasi yang dapat menarik investor baru di bidang ketenagalistrikan.
Salah satu upaya untuk menarik investor baru tersebut adalah melakukan efisiensi
1.2
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
dalam biaya usaha agar harga jual dapat relatif rendah. Dengan demikian, langkah
kebijakan yang dilakukan untuk mendorong usaha di bidang ketenagalistrikan harus
terkait dengan dua hal, antara lain : a) menciptakan kondisi dan suasana yang
kondusif bagi investasi di sektor kelistrikan, dan b) Penurunan dan efisiensi biaya
produksi energi listrik di semua tahapan proses produksi listrik.
Tarif dasar listrik (TDL) pada dasarnya merupakan instrumen yang bisa
mempengaruhi sisi permintaan dan penawaran listrik. Dari sisi permintaan akan
listrik, TDL yang menguntungkan bagi masyarakat pada umumnya adalah tarif yang
murah. Sementara dari sisi penawaran akan listrik, TDL yang menguntungkan bagi
produsen listrik adalah tarif yang dapat memberikan keuntungan yang layak. Dalam
rangka mempertemukan (mengakomodir) kedua kepentingan tersebut maka sejak
awal krisis ekonomi hingga tahun 2005 ini, Pemerintah bersama PT. PLN (dengan
persetujuan DPR Pusat) telah beberapa kali melakukan penyesuaian terhadap TDL
per kelompok pelanggan.
Namun demikian, kebijakan penyesuaian terhadap besarnya TDL yang berlaku
sampai saat ini nampaknya belum mencerminkan tarif listrik yang kompetitif.
Karena sejauh ini, besarnya TDL yang diberlakukan oleh PT. PLN masih relatif
rendah apabila dikonversikan dengan mata uang dolar AS. Besarnya TDL rata-rata
yang ditetapkan pemerintah pada masa sebelum terjadinya krisis ekonomi dan
moneter sudah mencapai sekitar US$3 sen/kWh. Sejalan dengan depresiasi mata
uang rupiah terhadap dolar AS, maka besarnya TDL rata-rata tersebut merosot
menjadi sekitar US$7 sen/kWh. Berkenaan dengan kenaikan TDL pada tahun 2000
dan 2001, besarnya TDL rata-rata pada tahun 2001 naik menjadi US$3,31 sen/kWh.
Namun, besarnya harga jual rata-rata tetap di bawah harga pokok penjualan (HPP),
yang mencapai US$4.03 sen/kWh. Hal tersebut menyebabkan kepercayaan investor
ketenagalistrikan menjadi rendah, kerena TDL yang lebih rendah dari HPP pada
dasarnya akan mempersulit keuangan PT. PLN. Sementara itu, output investor
ketenagalistrikan harus dijual kepada PT. PLN yang kondisinya kurang
menguntungkan tersebut.
1.3
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Di samping masalah besarnya TDL yang hanya sekitar 25% dari biaya
recoverynya, masalah lain yang masih dihadapi oleh PT. PLN adalah diterapkannya
sistem tarif uniform rate khusus pelanggan rumahtangga untuk semua jam
pemakaian listrik, sehingga tidak ada pembedaan besarnya TDL untuk pemakaian
pada waktu beban puncak (peak load) dan pemakaian pada waktu di luar beban
puncak (siang hari). Padahal sudah bisa diduga bahwa pada masa beban puncak,
biaya operasional yang harus ditanggung oleh PT. PLN akan jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan biaya operasional pada masa bukan beban puncak. Oleh sebab
itu, besarnya TDL yang diberlakukan tersebut juga merupakan salah satu faktor
kurang menariknya investasi di sektor kelistrikan.
Faktor penyebab lainnya adalah masih terjadinya in efisiensi dalam proses
produksi listrik karena high cost economy, yang artinya biaya yang diperlukan untuk
kegiatan produksi cenderung tinggi secara alamiah, dan pada akhirnya dapat
menciptakan kondisi dan suasana investasi menjadi tidak kondusif. Padahal,
investor swasta baru memerlukan kondisi dan suasana yang kondusif guna
mendukung kegiatan investasi tersebut1.
Dari dua sumber permasalahan tersebut, nampaknya tarif harga jual listrik
yang rendah relatif sulit untuk diselesaikan dalam jangka pendek, mengingat tarif
harga jual listrik sejauh ini dianggap sebagai barang strategis yang mempunyai
pengaruh sosial-politis terhadap masyarakat. Permasalahan yang lebih berpeluang
untuk dicari solusinya adalah relatif tingginya biaya. Oleh sebab itu, faktor penting
yang diperlukan untuk menarik investor swasta baru di sektor kelistrikan adalah
pandangan Pemerintah terhadap strategisnya persoalan kelistrikan di masa depan,
serta goodwill Pemerintah untuk mendorong perkembangan kondisi dan suasana
investasi menjadi kondusif. Hal tersebut menjadi makin penting sejalan dengan
adanya kenyataan bahwa keuangan PLN tidak akan mampu mendukung
pembiayaan penyediaan listrik yang mencapai sekitar US$ 750 juta/ tahun (World
Bank).
1Hasil studi BAF – CEPS 2004, dan laporan Bank Dunia dalam CGI meeting secara eksplisit menyampaikan bahwa daya saing iklim investasi di Indonesai ermasuk yang terendah.
1.4
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Mengingat, untuk saat ini kebutuhan dana investasi di sektor ketenagalistrikan
lebih banyak diharapkan dari investor swasta, maka daya saing ekonomi dari usaha
ketenagalistrikan tersebut harus dikembangkan. Hal tersebut terkait dengan hasil
studi Badan Analisa Fiskal (BAF) Departemen Keuangan dan CEPS tahun 2004, yang
menyatakan bahwa daya saing dunia usaha dalam negeri sudah tidak kompetitif lagi
apabila dibandingkan dengan kondisi di negara-negara lain. Pengertian
“competitiveness” mengandung arti yang sangat luas, yaitu sesuatu yang berkaitan
dengan usaha suatu negara menciptakan dan memelihara daya saing dunia usaha
dalam negeri (World Competitiveness Yearbook, 2003)2. Secara umum terdapat empat
faktor yang mempengaruhi daya saing dalam suatu bangsa, yaitu : (i) kinerja
perekonomian, (ii) efisiensi pemerintah, (iii) efisiensi dunia usaha, dan (iv) kondisi
infrastruktur3.
Salah satu langkah penting yang memungkinkan dilaksanakan pemerintah
untuk memperbaiki daya saing iklim investasi di Indonesia adalah memberikan
insentif bagi usaha ketenagalistrikan, sehingga masalah dan potensi masalah yang
mungkin timbul dapat diminimalisir. Insentif tersebut dapat dilakukan melalui
berbagai instrumen kebijakan yang diambil Pemerintah, misalnya kebijakan sektor
riil melalui berbagai kemudahan ekspor-impor, sektor moneter melalui penetapan
tingkat bunga yang bersaing, maupun melalui berbagai kebijakan fiskal, baik sisi
belanja, pendapatan, maupun pembiayaan. Namun demikian, sifat investasi di
sektor ketenagalistrikan merupakan investasi bernilai besar dan berjangka waktu
panjang, maka campur tangan pemerintah melalui kebijakan fiskal dapat lebih
efektif, di samping penerapan kebijakan lain. Kebijakan fiskal yang bisa dilakukan
dalam hal ini tidak terbatas pada instrumen perpajakan saja, namun, berupa
kebijakan fiskal dalam arti yang lebih luas seperti privatisasi dan/atau kebijakan
penyertaan modal negara pada sisi belanja negara.
Selanjutnya, permasalahan penting dalam studi ini adalah :
a. Apa saja kebijakan fiskal yang dapat mendorong investasi, khususnya untuk
tenaga listrik sesuai peraturan perundangan yang berlaku,
2Institute for Management Development, 2003. 3Idem.
1.5
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
b. Benefit cost analysis kebijakan fiskal untuk mendorong investasi tenaga listrik,
c. Pengaruh kebijakan yang dipilih terhadap perkembangan pasokan,
d. Apa rekomendasi kebijakan fiskal yang dapat mendorong investasi
ketenagalistrikan yang minimal dead weight loss-nya
I.2. Tujuan Studi
Kajian mengenai alternatif kebijakan fiskal untuk mendorong investasi di
sektor ketenagalistrikan bertujuan, antara lain untuk :
(1) Menginventarisir kebijakan fiskal yang dapat mendorong investasi, khususnya
investasi di sektor ketenagalistrikan;
(2) Menganalisis dan mengevaluasi (benefit cost analysis) kebijakan fiskal untuk
mendorong investasi di sektor tenaga listrik; dan
(3) Memberikan rekomendasi pilihan kebijakan fiskal yang dapat mendorong
investasi di sektor ketenagalistrikan tanpa menyebabkan misalokasi sumber
daya (minimal dead weight loss).
I.3. Metodologi Penelitian
Studi ini akan dilakukan melalui metodologi kuantitatif dan kualitatif-
deskriptif, yaitu dalam bentuk studi pustaka maupun pengolahan data kuantitatif.
Kajian kualitatif tersebut antara lain berupa review kebijakan ketenagalistrikan, dan
kajian perundang-undangan, seperti review undang-undang perpajakan dan
undang-undang ketenagalistrikan, beserta peraturan pelaksanannya. Selanjutnya,
kajian kuantitatif dan analisis data dilakukan untuk memperkirakan kebutuhan
tenaga listrik dan penawaran tenaga listrik di waktu mendatang, mengkaji dampak
kebijakan perpajakan pada biaya investasi ketenagalistrikan, dan dampak makro
dari kebijakan fiskal tersebut.
Kajian pustaka akan memberikan landasan teori bagi analisis kuantitatif,
sekaligus membandingkan fakta empiris yang telah diterapkan di negara lain.
Sementara itu, review perundang-undangan memberikan landasan hukum (legal
standing) bagi berbagai alternatif dan rekomendasi kebijakan. Peraturan
perundangan yang terkait dalam hal ini antara lain undang-undang keuangan
1.6
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
negara, undang-undang ketenagalistrikan, undang-undang tentang investasi, dan
undang-undang tentang perpajakan, beserta peraturan pelaksanaannya.
Sementara itu, analisis data kuantitatif akan memberikan simulasi dampak
kebijakan yang akan diambil. Dengan menggunakan data-data tentang
ketenagalistrikan, seperti statistik ketenagalistrikan, dan statistik PLN, maupun data-
data dari luar negeri, dengan dibantu model-model statistik, persamaan simultan,
maupun keseimbangan umum, diharapkan dapat memprediksikan dampak
kebijakan-kebijakan tersebut terhadap perekonomian. Dengan demikian, alternatif
kebijakan yang direkomendasikan sudah merupakan alternatif-alternatif yang
optimal, baik dari sisi fiskal, pertumbuhan ekonomi nasional maupun sektoral, dan
kepentingan masyarakat secara umum.
Tahap analisis yang akan dilakukan adalah:
1) Melakukan evaluasi penyebab terjadinya kesenjangan,
2) Memperkirakan berapa biaya yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan
sebagaimana yang diharapkan,
3) Alternatif peluang yang paling mungkin untuk menutup kekurangan biaya
tersebut, dan
4) Bentuk insentif apa yang bisa diberikan sesuai dengan peraturan yang berlaku,
atau insentif baru seperti di negara lain.
I.4. Output
Dari studi ini diharapkan dapat dihasilkan output, yaitu dalam bentuk:
a. Dampak kebijakan fiskal pada biaya investasi ketenagalistrikan?
b. Analisis dan evaluasi kebijakan fiskal untuk mendorong investasi di sektor
tenaga listrik berdasarkan benefit cost analysis
c. Rekomendasi terhadap bentuk-bentuk kebijakan fiskal yang dapat mendorong
mendorong investasi dengan meminimalisir misalokasi sumber daya (minimal
dead weight loss), terutama di bidang (i) perpajakan, (ii) penyertaan modal
negara (government investment), dan (iii) privatisasi.
1.7
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
BAB II
LANDASAN TEORI : KESENJANGAN (GAP) ANTARA PENYEDIAAN
DENGAN PERMINTAAN LISTRIK
Energi / tenaga listrik di jaman sekarang termasuk dalam kebutuhan primer
bagi masyarakat luas (konsumen), mengingat hampir semua peralatan yang
dipergunakan dalam rumahtangga telah menggunakan energi listrik. Oleh karena
itu, penyediaan energi listrik mutlah diperlukan dalam rangka menjamin
tercapainya sasaran pertumbuhan ekonomi dan mencapai kesejahteraan masyarakat.
Di beberapa negara, mati listrik bahkan sudah dianggap sebagai bencana nasional,
mengingat besarnya kerugian yang ditimbulkannya.
Selain itu, sebagian besar kegiatan ekonomi sangat tergantung pada
penyediaan energi listrik, misalnya industri manufaktur, industri jasa, industri
transportasi, perdagangan, pendidikan, dan sebagainya. Menurut Arsyad (1994),
terdapat hubungan kausalitas antara pertumbuhan ekonomi dengan konsumsi
energi (khususnya listrik), yang artinya semakin tinggi pertumbuhan ekonomi yang
dicapai, semakin tinggi pula tingkat kebutuhan energi listrik. Sejalan dengan hal itu,
Pusat Informasi Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (2003)
menyatakan bahwa peningkatan PDB yang sustainable sebesar 6 persen/tahun
dalam 10 tahun ke depan akan meningkatkan pertumbuhan kebutuhan energi listrik
sebesar 9% per tahun.
Namun permasalahan yang terjadi saat adalah penyediaan (daya terpasang)
energi listrik dan pertumbuhannya belum mampu memenuhi kebutuhan
(permintaan) masyarakat sehingga menimbulkan kesenjangan (gap) antara
penyediaan dan permintaan energi listrik yang semakin besar di tahun mendatang.
Hal tersebut pernah disampaikan dalam hasil penelitian Badan Analisa Fiskal
Departemen Keuangan (2001) bahwa wilayah Jawa – Bali mengalami krisis listrik
karena tingkat cadangan (reserve margin) yang baru mencapai 24,8%, padahal
seharusnya sebesar 30% untuk tingkat cadangan yang aman.
2.1
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Dengan kata lain, terdapatnya gap antara penyediaan dengan permintaan
tenaga listrik merupakan masalah penting sekarang dan di masa depan. Masalah
kesenjangan tersebut disebabkan oleh adanya kendala dan atau hambatan -- yang
salah satunya -- adalah kekurangan investasi di bidang kelistrikan. Menurut
informasi yang dapat dikumpulkan bahwa terhambatnya kegiatan investasi di sektor
ketenagalistrikan di Indonesia saat ini antara lain disebabkan :
1. Rendahnya kemampuan keuangan negara maupun PT. Perusahaan Listrik
Negara (PLN) Persero untuk meningkatkan usaha ketenagalistrikan (seperti
usaha penyediaan pembangkit tenaga listrik maupun usaha – usaha penunjang
tenaga listrik); dan
2. Rendahnya minat investor (swasta) untuk berinvestasi dalam usaha kelistrikan
karena faktor ekspektasi keuntungan investasi yang rendah. Ekspektasi
tersebut dikarenakan penjualan listrik di Indonesia kepada konsumen oleh PLN
belum bisa didasarkan pada harga pasar, tetapi didasarkan pada SDL yang
diatur oleh pemerintah. Selain itu TDL yang berlaku masih menggunakan
sistem uniform rate untuk semua jam pemakaian listrik sehingga penentuan tarif
dasar listrik (TDL) belum mencerminkan harga pasar dan biaya. Sementara dari
sisi yang lain, biaya investasi usaha ketenagalistrikan yang masih kurang
kompetitif (high cost economy).
Oleh karena itu, pilihan yang memungkinkan untuk dilaksanakan saat ini
adalah memperbaiki iklim investasi di Indonesia dan bila perlu memberikan insentif
fiskal bagi usaha ketenagalistrikan. Berbagai insentif yang dapat diberikan
pemerintah bagi investor di sektor usaha ketenagalistrikan melalui kebijakan di
sektor riil seperti kemudahan melakukan ekspor – impor, kebijakan disektor moneter
seperti penetapan suku bunga yang kompetitif serta kebijakan fiskal melalui
instrumen di bidang perpajakan, non perpajakan dan bea masuk. Mekanisme lain
saat ini sedang diperkenalkan oleh Bank Dunia (World Bank) adalah Penjamin
Penerimaan (Revenue Guaranteed).
2.2
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
2.1. Kegagalan Pasar dan Kebijakan Insentif Dalam Rangka Penyediaan Usaha
Ketenagalistrikan
Pasar dapat melakukan alokasi sumber daya secara efisien, apabila semua
asumsi-asumsinya terpenuhi, antara lain : para pelaku ekonomi (produsen) bersifat
rasional, memiliki informasi sempurna, barang (output) bersifat privat, pasar
bersaing sempurna dan proses pertukaran tidak dibatasi oleh waktu dan tempat.
Namun dalam kenyataannya, asumsi-asumsi tersebut tidak dapat dipenuhi
terutama dalam hal penyediaan listrik di Indonesia sehingga terjadi kegagalan pasar
dalam usaha kelistrikan. Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya
kegagalan pasar dalam usaha penyediaan tenaga listrik, antara lain :
1. Informasi tidak sempurna karena ketidak-tahuan tentang jumlah dan kualitas
barang (tenaga listrik) yang digunakan oleh konsumen sehingga untuk
mendapatkan informasi tersebut yang detail perlu tambahan biaya;
2. Terdapat persaingan yang tidak sempurna (Inperfect Competition) dalam
penyediaan tenaga listrik (sesuai dengan UU masih menunjuk PT PLN) sebagai
pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan dan pemegang ijin usaha
ketenagalistrikan. Jadi, produsen tenaga listrik (PT. PLN) merupakan satu-
satunya perusahaan yang ditetapkan pemerintah dengan UU untuk memasok
tenaga listrik sehingga BUMN tersebut seharusnya sangat mampu
mempengaruhi pasar dengan menentukan tingkat harga (dalam bentuk TDL).
3. Namun, tenaga listrik di dalam negeri dikategorikan sebagai barang semi public good,
sehingga Pemerintah memberikan subsidi untuk pengadaan tenaga listrik. Seharusnya
tenaga listrik merupakan barang private, artinya setiap masyarakat yang menggunakan
tenaga listrik harus membayar (ada pengorbanan) sesuai dengan harga pasar yang
mencerminkan harga pokok produksi dan manfaatnya.
4. Kegagalan pasar dalam penyediaan listrik ini menuntut intervensi pemerintah untuk
menyediakannya. Akan tetapi, karena keterbatasan kondisi keuangan negara, maka
intervensi tersebut diwujudkan dalam bentuk pemberian insentif yang dapat
memberikan rangsangan ataupun penciptaan iklim usaha yang kondusif di bidang
investasi penyediaan listrik.
2.3
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Didalam teori ekonomi dikenal dengan konsep insentif dengan konotasi
posistif berupa reward maupun konotasi negatif berupa cost / penalty / disincentive
yang dapat mempengaruhi masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya baik
sebagai pelaku ekonomi maupun sebagai pengelola impact and incident atas
perilakunya.
Keputusan para pelaku ekonomi pada umumnya ditentukan oleh net expected
incetives yang akan diterimanya, baik yang sifatnya material maupun non material,
sehingga keputusan para pelaku ekonomi dapat berubah apabila terdapat perubahan
insentif. Untuk itu, setiap kebijakan pemerintah / ekonomi / pembangunan perlu
memperhitungkan unsur insentif yang secara rasional dapat mengarahkan perilaku
masyarakat sesuai tujuan yang diinginkan.
Dengan demikian, kesenjangan antara penyediaan dan permintaan masyarakat
akan listrik dapat diselesaikan melalui penambahan investasi di sektor listrik
sepanjang sistem insentif yang diharapkan para pelaku ekonomi dapat melampaui
net expected incentives. Dalam hal ini, kesenjangan (gap) listrik dapat diminimalisir
melalui pembangunan infrastruktur atau investasi di sektor pembangkit listrik.
2.2. Penyediaan dan Permintaan Energi Listrik
Energi listrik termasuk barang ekonomis yang mengikuti hukum permintaan
dan penawaran. Namun yang perlu mendapat perhatian bahwa listrik merupakan
salah satu barang yang termasuk dalam kategori ”administered price”, yaitu barang
yang harganya diatur oleh kebijakan pemerintah, bukan oleh produsen sepenuhnya.
Misalnya, harga jual energi listrik per unit ditetapkan lebih rendah daripada biaya
produksi per unitnya. Oleh karena itu, untuk menghindari kerugian serta
mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan (PT. PLN) maka Pemerintah
mempunyai kewajiban untuk memberikan subsidi kepada produsen. Subsidi
merupakan salah satu bentuk transfer pendapatan dari Pemerintah kepada produsen
maupun konsumen (masyarakat), sebagai akibat adanya perbedaan harga jual
barang dan jasa yang lebih rendah di pasar dibandingkan dengan biaya
produksinya.
2.4
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Kurva permintaan pada gambar 2.1 menjelaskan bagaimana keinginan
konsumen untuk membeli pada berbagai tingkat harga yang dipengaruhi oleh
pendapatan per kapita dan harga barang itu sendiri, sehingga bentuk kurva
permintaan miring dari kiri atas ke kanan bawah. Kemiringan tersebut mengikuti
”hukum permintaan” dimana konsumen biasanya akan membeli lebih banyak jika
harganya lebih murah dan akan membeli lebih sedikit apabila harga lebih mahal.
Gambar 2.1.
Subsidi Dalam Rangka Penyediaan Energi Listrik
0 Q2 QPasar QSubsidi
ESubsidi
EPasarSubsidi
S1
S0
S0
D
D
TDL
PPasar
P2 S1
Qt
Keterangan : P0 = Harga keseimbangan pasar TDL < P0 sehingga terdapat Gap (shortage) sebesar Q2Q1. Langkah yang bisa ditempuh adalah menetapkan TDL ≥ P0 atau subsidi untuk menggeser kurva supply S0 ke S1
Kurva penawaran pada gambar 2.1 menjelaskan keinginan produsen untuk
menjual barang pada berbagai tingkat harga. Bentuk kurva penawaran miring dari
kiri bawah ke kanan atas menunjukkan bahwa semakin tinggi harga barang tersebut
maka semakin tinggi keinginan produsen untuk memproduksi dan menjual
barangnya. Kenaikan harga suatu barang akan berkecenderungan untuk
meningkatkan produksi barang tersebut. Dalam jangka pendek adalah dengan
peningkatan penggunaan kapasitas melalui penggunaan tenaga kerja tambahan
atau dengan menambah jam kerja, sedang dalam jangka panjang dapat dilakukan
dengan memperluas skala pabrik. Tingginya harga juga akan menarik perusahaan
2.5
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
untuk masuk ke pasar sehingga jumlah penjual bertambah dan barang yang
ditawarkan meningkat.
Dalam kondisi keseimbangan pada gambar 2.1., menunjukkan kedua kurva
permintaan dan penawaran akan berpotongan pada suatu titik tertentu, yaitu pada
titik E yang merupakan titik keseimbangan dimana harga keseimbangan adalah P0,
dan jumlah barang keseimbangan sebesar Q0. Dalam kondisi tersebut, tingkat harga
dan kuantitas yang berlaku sesuai dengan harga pasar, dimana tingkat harga telah
mencerminkan harga pokok produksi dan benefit dari konsumsi. Mekanisme pasar
adalah kecenderungan dalam pasar dimana harga barang terus berubah sampai
tercapai posisi keseimbangan (jumlah barang yang diminta = jumlah barang yang
ditawarkan). Pada kondisi keseimbangan (di titik E0), tidak terjadi kelebihan
maupun kekurangan barang sehingga tidak ada tekanan pada harga untuk berubah
lagi.
Namun sesuai dengan kondisi yang ada, harga jual listrik ditentukan oleh
Pemerintah melaui penetapan TDL (harga adalah P1). Pada harga P1 produsen
menghasilkan output sebesar Q2 lebih rendah dari yang dibutuhkan oleh konsumen
Q1. Dalam kondisi tersebut terjadi kekurangan penyediaan barang (excess demand
shortage). Untuk itu, biasanya Pemerintah menempuh kebijakan harga tertinggi
(ceiling price) pada P1. Kebijakan ini bertujuan agar harga listrik dapat terjangkau oleh
masyarakat luas. Namun dengan dipilihnya kebijakan tersebut, Pemerintah
menyadari dampak yang akan terjadi adalah excess demand. Guna menghindari
kerugiaan yang besar dan atau untuk mempertahankan kelangsungan hidup
produsen maka Pemerintah menempuh kebijakan subsidi (negative tax). Besarnya
subsidi listrik yang diberikan oleh Pemerintah kepada produsen (PT. PLN)
diharapkan mampu menambah suplai dari Q2 menjadi Q1 (gambar 2.1.). Pemberian
subsidi ini akan menggeser kurva penawaran dari S0 ke S1 dan keseimbangan terjadi
pada titik E1.
Selain kebijakan subsidi, kebijakan lain yang dapat ditempuh Pemerintah
berupa pemberian insentif kepada pelaku ekonomi, yang berupa insentif fiskal
maupun insentif non fiskal, dengan tujuan untuk menumbuhkan minat investasi
2.6
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
terutama untuk sektor kelistrikan serta untuk menjamin ketersediaan penyediaan
listrik bagi masyarakat. Pemberian insentif fiskal tersebut akan berpengaruh
terhadap jumlah penawaran listrik. Besarnya perubahan penawaran listrik akibat
pemberian insentif fiskal sangat tergantung pada elastisitas harga penawaran listrik.
Pada saat ini, penawaran listrik dalm kondisi tidak elastis (℮s<1) karena kurang
investasi dan pemberlakuan TDL.
Gambar 2.1 menunjukkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi
penawaran adalah biaya produksi. Kenaikan penawaran listrik hanya dapat
dilakukan dengan mengeluarkan biaya yang sangat tinggi. Dan salah satu faktor
yang penting dalam menganalisis pertambahan biaya produksi adalah tingkat
penggunaan kapasitas perusahaan. Apabila penggunaan kapasitas telah mencapai
tingkat yang tinggi, maka investasi baru haruslah dilakukan untuk menambah
produksi.
Gambar 2.1 menyatakan bahwa pada saat jumlah penawaran mengalami
peningkatan, maka garis penawaran bergeser dari S0 menjadi S1. Pada kondisi ini
kurva permintaan tidak mengalami perubahan yaitu pada D0, sehingga kuantitas
meningkat dari Q0 menjadi Q1. Namun, harga (P1) tidak mengalami kenaikan
ataupun penurunan, karena harga listrik adalah tetap untuk jangka waktu tertentu
(administered price), sehingga titik keseimbangan baru tercapai pada E2.
2.2.1. Efek Subsidi Pemerintah
Filosopi pelaksanaan subsidi adalah pemberian transfer dari Pemerintah
kepada produsen dan atau konsumen dalam rangka menciptakan harga yang relatif
murah dan terjangkau semua lapisan konsumen serta mempertahankan
kelangsungan hidup produsen. Dengan demikian, pemberian subsidi dapat
memberikan manfaat ekonomi kepada konsumen maupun produsen.
Efek pemberian subsidi tersebut sangat tergantung pada besarnya masing-
masing elastisitas kurva. Apabila elastisitas kurva penawaran lebih elastis dari pada
kurva permintaannya, maka sebagian besar bagian dari subsidi yang dapat
2.7
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
dinikmati oleh produsen serta makin besar pertambahan jumlah barang yang dapat
ditawarkan oleh produsen.
Atau sebaliknya, apabila kurva permintaan adalah lebih elastis dari pada
kurva penawarannya, maka makin besar bagian dari subsidi yang dapat dinikmati
oleh konsumen serta makin kecil pertambahan jumlah barang yang dapat
ditawarkan oleh produsen. Berdasarkan uraian tersebut, maka pasar energi listrik
mempunyai kurva permintaan yang cenderung in elastis (<1) karena : a)
ketergantungan konsumen terhadap listrik relatif tinggi setelah BBM dalam
menjalankan aktivitas ekonomi, dan b) kemampuan bargaining position konsumen
terhadap harga listrik sangat lemah. Oleh sebab itu, pemberian subsidi terhadap
listrik sangat membantu masyarakat, akan tetapi juga membawa dampak negatif,
yaitu kenaikan permintaan listrik yang sangat tinggi.
Sedang bentuk kurva penawaran energi listrik cenderung lebih elastis
sehingga bagian subsidi yang diperoleh produsen makin kecil, namun produsen
harus menyediakan pertambahan jumlah barang yang lebih banyak. Dengan
demikian, pasar energi listrik mempunyai kurva permintaan yang relatif inelastis dan
kurva penawaran yang relatif elastis. Oleh karena itu, kondisi pasar listrik yang
demikian ini akan cenderung menyebabkan terjadinya kesenjangan (gap) antara
penyediaan listrik dan permintaan listrik. Untuk itu, dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat maka Pemerintah masih perlu memberikan insentif
kepada produsen listrik dengan harapan bahwa ketersediaan energi listrik dapat
ditingkatkan mengikuti kenaikkan permintaan listrik.
2.3. Insentif Fiskal Dalam Rangka Mendorong Usaha Ketenagalistrikan
Ditinjau dari satu sisi, pengenaan pajak memang memberatkan karena dapat
menyebabkan harga barang menjadi lebih mahal. Namun dari sisi lain, pajak sangat
dibutuhkan untuk menjadi sumber penerimaan negara guna membiayai fungsi-
fungsinya (redistribusi pendapatan dan sebagai alat stabilisasi ekonomi) serta untuk
mengatur jumlah konsumsi barang yang menyebabkan dampak negatif. Hanya saja
kebijakan penentuan pajak harus mempertimbangkan elastisitas permintaan dan
penawaran, dan apabila tidak, maka tujuan pengenaan pajak tidak dapat tercapai.
2.8
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
2.3.1. Pengenaan Pajak (Misal : PPN)
Secara konseptual, PPN adalah pajak yang dikenakan oleh pemerintah dan
dibayar pada waktu terjadi transaksi jual – beli barang atau jasa kena pajak. Pada
umumnya, PPN dikenakan dalam bentuk suatu persentase tertentu dari hasil
penjualan, misalnya PPN ditetapkan sebesar 10% dari harga atau hasil penjualan.
Pungutan PPN ini akan menyebabkan konsumen harus membayar lebih
tinggi untuk dapat mengkonsumsi/memperoleh barang/jasa tersebut. Namun
dalam kenyataan, beban pembayaran PPN tersebut tidak seluruhnya harus dibayar
atau ditanggung konsumen, akan tetapi sebagian beban PPN juga ditanggung oleh
produsen. Pembagian beban pajak diantara konsumen dan produsen biasanya
dinamakan dengan insiden pajak (tax incidence). Untuk menganalisis insiden pajak
perlu dilihat proporsi beban pajak di antara konsumen dengan produsen masing-
masing tergantung pada elastisitas permintaan dan penawaran yang berbeda atas
beban pajak.
P S1 S0
D0 E1 Tax P1
P0 E0 Gambar 2.2. Kasus Permintaan Elastis P2
0 Q1 Q0 Qt
Pada gambar 2.2 menggambarkan pada kondisi sebelum kena pajak, kurva
permintaan dan penawaran adalah D0 dan S0. Dan keseimbangan awal terjadi pada
titik E0, maka harga keseimbangan terjadi pada tingkat P0 dan keseimbangan jumlah
barang pada Q0. Kemudian pemerintah mengenakan pajak (PPN) kepada produsen
sebesar T%. Akibatnya pengenaan PPN tersebut adalah berkurangnya jumlah barang
yang ditawarkan sehingga kurva penawaran bergeser ke kiri dari S0 menjadi S1.
Pergeseran kurva penawaran ini akan menggeser titik keseimbangan dari E0 menjadi
2.9
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
E1. Dalam kondisi ini, terjadi perbedaan antara harga yang dibayar konsumen
dengan harga yang diterima produsen, yaitu sebesar beban pajak. Harga
keseimbangan berubah dari P0 naik menjadi P1 dan jumlah barang yang
ditransaksikan mengalami penurunan dari Q0 menjadi Q1 sebagai akibat pengenaan
PPN sebesar T%.
Apabila dibandingkan antara harga sebelum dengan sesudah PPN, terlihat
bahwa beban pajak yang harus ditanggung oleh konsumen sebesar P0P1 dan
sebaliknya (T - P0P1) atau P0P2 yang harus ditanggung oleh produsen (PT. PLN).
P S1 S0
E1 P1 Tax P0 E0 Gambar 2.3. Kasus Permintaan Tidak Elastis P2 D0 0 Q1 Q0 Qt
Gambar 2.3 menunjukkan pemerintah mengenakan PPN dalam kasus
permintaan in elastis. Sebelum pemerintah memungut pajak (PPN) sebesar T%,
kurva penawaran barang adalah S0 dan kurva permintaan konsumen adalah D0.
Pertemuan penawaran dan permintaan menghasilkan keseimbangan pasar pada titik
E0 dengan tingkat harga P0 dan tingkat kuantitas Q0.
Setelah pemerintah memungut PPN sebesar T% yang membawa dampak
bergesernya kurva penawaran barang ke atas dari S0 menjadi S1, artinya produsen
mengurangi jumlah produksi barang sebagai akibat adanya pemungutan PPN
tersebut. Dengan kurva pemintaan barang yang sama, maka keseimbangan pasar
terjadi pergeseran dari titik E0 menjadi titik E1 dengan jumlah barang sebesar Q1.
Pemungutan PPN tersebut menyebabkan kenaikan harga barang yang harus dibayar
2.10
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
konsumen, penurunan harga yang diterima produsen dan penurunan jumlah barang
di pasar.
Pada kurva permintaan yang in elastis ini, beban yang harus ditanggung atau
dibayar oleh konsumen sebesar P0P1 dan produsen menanggung sebesar P0P2.
Bentuk kurva permintaan yang in elastis tersebut menyebabkan jumlah beban pajak
yang harus ditanggung konsumen jauh lebih besar dari pada beban yang harus
ditanggung oleh produsen (lihat gambar 3) yang ditunjukkan dengan P0P1 > P0P2.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pasar energi listrik di Indonesia
mempunyai bentuk kurva permintaan yang in elastis yang mempunyai arti bahwa
ketergantungan konsumen terhadap energi listrik sangat tinggi dan tidak
mempunyai alternatif energi selain listrik sehingga pada tingkat harga berapapun
yang terjadi konsumen harus membayar (mampu atau tidak mampu) besarannya
energi listrik yang dikonsumsinya. Karena kurva permintaan energi listrik yang in
elastis tersebut, adanya pemungutan PPN tidak banyak menurunkan jumlah barang
yang ditunjukkan oleh Q0Q1.
Di sisi lain, pasar energi listrik di Indonesia mempunyai bentuk kurva
penawaran barang yang elastis, artinya produsen energi listrik sangat peka terhadap
gangguan produksi (seperti : kebijakan pemerintah, inflasi, depresiasi nilai tukar, dll)
sehingga jumlah penurunan produksi barang akan seiring dengan besarnya
gangguan produksi tersebut. Dengan kurva penawaran yang elastis tersebut,
produsen energi listrik berkemampuan besar untuk menggeser beban gangguan
produksi tersebut kepada konsumen, misalnya pengenaan PPN terhadap
penggunaan energi listrik maka konsumen harus memikul beban pajak tersebut
yang lebih besar dari beban yang ditanggung produsen.
Dengan kata lain, produsen energi listrik berkemampuan besar untuk
menggeser beban PPN kepada konsumen sehingga konsumen yang mendapat
kerugian ganda, yaitu harga menjadi lebih mahal namun jumlah barang ditawarkan
di pasar lebih sedikit. Berdasarkan gambar 2.4. menunjukan bahwa bentuk pasar
energi listrik mempunyai kurva permintaan yang in elastis dan kurva penawaran
yang elastis, sehingga untuk menciptakan harga yang dapat dijangkau seluruh
2.11
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
lapisan masyarakat dan menjamin pertambahan produksi yang mencukupi
kebutuhan maka kebijakan subsidi dan/atau kebijakan ekonomi untuk mendorong
investasi di sektor usaha ketenagalistrikan sangat masih diperlukan.
2.3.2. Dampak Insentif Pemerintah Terhadap Penurunan Biaya Produksi
Gambar 2.4. berikut ini menunjukkan proses penetapan harga jual
berdasarkan biaya produksi. Pada gambar tersebut menunjukkan total biaya
produksi listrik sebelum mendapat insentif dari Pemerintah, yang diperlihatkan oleh
kurva TC0 dan kurva TC1 merupakan kurva total biaya produksi listrik yang sudah
mendapat insentif dari Pemerintah, sedangkan kurva TR menggambarkan
penerimaan total perusahaan listrik.
Selain itu, gambar 2.4. tersebut juga menunjukkan kondisi perusahaan
sebelum dan sesudah diberikan insentif oleh Pemerintah. Pertama, kondisi sebelum
mendapat insentif, dimana diperlihatkan oleh kurva TC0 menunjukkan tiga kondisi
perusahaan, yaitu : a) Tahap I dimana perusahaan mengalami kerugian karena total
biaya produksi lebih tinggi dari total penerimaan (TC > TR), b) Tahap II dimana
perusahaan mengalami keuntungan maksimum karena total penerimaan lebih besar
dari total biaya produksi (TR > TC), dan c) Tahap III dimana perusahaan mengalami
break event point karena total penerimaan sama dengan total biaya produksi (TR =
TC).
Kondisi sebelum mendapat insentif Pemerintah, pada awalnya perusahaan
menderita rugi (karena AC0 > AR1 = MR1) karena harga jual output yang rendah (0P1)
dibawah harga keseimbangan (OP*). Pada tingkat harga 0P1 tersebut terjadi dua hal,
yaitu : a) produsen hanya menawarkan output sebesar 0Q2 dengan kurva penawaran
adalah S0, dan b) permintaan listrik masyarakat sebesar 0Q1 (karena berlaku hukum
permintaan) dengan kurva pemintaan adalah D, sehingga akibatnya terjadi
kelebihan permintaan (excess demand) sebesar selisih antara jumlah listrik yang
ditawarkan produsen (S0) dengan jumlah permintaan listrik masyarakat (D) sebesar
Q1Q2.
2.12
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Selanjutnya, perusahaan mendapat keuntungan maksimum dimana TR > TC0
yang disebabkan oleh meningkatnya harga jual mencapai 0P* (harga ini terjadi
karena mekanisme pasar yaitu bertemunya permintaan dan penawaran akan listrik)
dan ouput keseimbangan pada 0Q*. Kemudian karena biaya variabel (maintenance
cost) untuk memproduksi listrik meningkat terus dan terjadi in efisiensi dalam
perusahaan maka kemampuan produsen untuk menghasilkan laba akan semakin
berkurang dan pada periode selanjutnya perusahaan kembali pada posisi titik impas
(break event) yang diperlihatkan oleh TR = TC0.
Dan apabila dibiarkan kondisi tersebut, besar kemungkinan perusahaan akan
mengalami kerugian dan mendorong harga listrik semakin tinggi karena untuk
mengurangi kerugian perusahaan. Untuk itu, Pemerintah perlu memberikan campur
tangan dengan tujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan dan
menciptakan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Kemudian Pemerintah
memutuskan bentuk campur tangannya berupa insentif (sebesar selisih antara TC0
dengan TC1) kepada perusahaan.
Kondisi perusahaan setelah mendapat insentif dari Pemerintah, sehingga total
biaya produksi menjadi lebih murah yang diperlihatkan oleh turunnya kurva TC
dari TC0 menjadi TC1. Penurunan total biaya produksi tersebut diikuti dengan
meningkatnya penawaran output sehingga menggeser kurva penawaran dari S0
menjadi S1. Dengan demikian, terjadi pergeseran keseimbangan pasar dari pada titik
E0 menjadi E1 dan perubahan harga keseimbangan dari 0P* menjadi 0P1 serta diikuti
dengan penambahan output dari 0Q* menjadi 0Q1. Besarnya selisih antara harga per
unit (yaitu antara 0P* dengan 0P1) menunjukkan besarnya insentif per unit yang
diberikan oleh Pemerintah kepada perusahaan. Oleh karena itu, tujuan utama
Pemerintah memberikan insentif kepada perusahaan terutama listrik adalah harga
jual yang dapat terjangkau oleh masyarakat, jumlah output mencukupi kebutuhan
masyarakat dan mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka
panjang. Dengan demikian, pemberian insentif oleh Pemerintah ini seharusnya
dapat dinikmati oleh seluruh lapisan (komponen) masyarakat bukan hanya segilintir
golongan tertentu saja.
2.13
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
2.14
Tingkat Harga Pasar
0
P
TDL
Qt
AC0
QSubsidiQPasarQ2
TR, TC
0 Qt
QSubsidiQPasarQ2
S0
EPasar
D
S1Subsidi
ESubsidi
TDL
MR1
MC0
MC1
AC1
P, MR, AC, MC
0 Q2
AVC
QPasar QSubsidi Qt
EPasarTingkat Harga Pasar
TR TC0 TC1
Π0Π1
Gambar 2.4. Biaya Produksi dan Pasar
Energi Listrik
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
BAB III
Gambaran Umum Ketenagalistrikan di Indonesia
3.1. Profil Ketenagalistrikan
Konsumsi listrik merupakan faktor penting untuk menunjang aktivitas
perekonomian nasional, sehingga semakin tinggi aktivitas perekonomian akan
menimbulkan konsumsi listrik yang semakin tinggi pula. Konsumsi listrik ini
menunjukan pola peningkatan seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi
maupun pertumbuhan penduduk Indonesia. Data menunjukkan bahwa kebutuhan
tenaga listrik secara nasional mencapai 88 TWh tahun 2000, dan meningkat mencapai
99 TWh tahun 2004. Untuk tahun 2010 diperkirakan konsumsi listrik secara nasional
meningkat mencapai 145 TWh atau rata-rata per tahun naik sebesar 7,74%.
Berdasarkan regional atau wilayah, jumlah konsumsi listrik terbesar terdapat
di Jawa – Bali yang mencapai 79,7 TWh tahun 2004 atau 80,5% dari konsumsi listrik
nasional. Hal ini wajar karena dari 33 juta konsumen listrik di seluruh Indonesia,
sebanyak 22,6 juta konsumen listrik atau 68.48% berada di Jawa – Bali. Jumlah
3.1
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
konsumsi listrik di Sumatera sebesar 11,6 TWh tahun 2004 atau 11,7% dari konsumsi
listrik nasional, dengan jumlah konsumen sebesar 5,9 juta pelanggan atau 17,9% dari
total pelanggan.
Untuk wilayah lainnya (Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara – Irian
Jaya) pada umumnya konsumsi listrik masih relatif kecil (kurang dari 5 TWh) tahun
2004. Pada tahun 2004 konsumsi listrik untuk Jawa – Bali mencapai 79,7 TWh dan
tahun 2010 diperkirakan meningkat menjadi 125,9 TWh. Di Sumatera konsumsi
listrik pada tahun 2004 mencapai 11,6 TWh dan tahun 2010 diperkirakan meningkat
16,3 TWh (lihat Gambar 3.2).
Gambar 3.2
Profil Kebutuhan Listrik Per Wilayah Tahun 2004 – 2010
79,7
11,63,2 3,1 1,3
125,9
16,34,5 4,4 5,3
0
20
40
60
80
100
120
140
Jawa - Bali Sumatera Kalimantan Sulawesi LainnyaTahun 2004 Tahun 2010
Tingkat electrification ratio, yaitu jumlah orang pemakai listrik terhadap total
penduduk Indonesia, menyatakan bahwa semakin tinggi angka electrification ratio
maka semakin banyak jumlah orang yang dapat mengkonsumsi dan menggunakan
energi listrik untuk membantu melakukan aktivitasnya.
Pada tahun 2004, angka electrification ratio secara nasional baru mencapai
54,8% dan di tahun 2010 diperkirakankan mencapai 70%. Tahun 2004 angka
electrification ratio tertinggi adalah di wilayah Jawa & Bali yang mencapai 59,42%,
disusul Sumatera 53,1%, Sulawesi 47,2%, Kalimantan 46,6% dan wilayah lainnya
mencapai 33%. Dari data tersebut menunjukkan bahwa angka electrification ratio
3.2
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
terbesar berada di Pulau Jawa & Bali, artinya lebih dari 59% penduduk Indonesia
yang berada di Pulau Jawa & Bali sudah menikmati dan menggunakan listrik dalam
menunjang aktivitasnya.
Apabila dibandingkan dengan negara-negara lain, angka electrification ratio di
Indonesia masih jauh ketinggalan, misalnya dengan Armenia, Azerbaijan, Brunai
Darussalam, Iran, China dan Singapura, dimana angka electrification ratio mencapai
100%. Rendahnya angka electrification ratio di Indonesia tersebut dalam jangka
panjang akan berdampak pada rendahnya kemampuan Pemerintah terutama dalam
mendorong atau memacu pertumbuhan ekonomi.
3.2. Produksi Listrik dan Penggunaan Bahan Bakar Sektor Listrik
Dari sisi kapasitas tenaga listrik, pada tahun 2004 produksi listrik baru
mencapai sebesar 24,3 GW, dimana 10,8% adalah hasil listrik swasta dan selebihnya
oleh PT. PLN (Persero). Untuk meningkatkan angka electrification ratio menjadi 70%
tahun 2010 maka kapasitas produksi listrik diharapkan naik sebesar 37,9 GW.
Gambar 3.3.
Diversifikasi Bahan Bakar Sektor Listrik
0 20000 40000 60000 80000
100000 120000 140000 160000 180000
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
GW
h
10% 4%
34%
46%
5,7%
5% 9,6%
30%
49%
5,9%
Oil
Hydro
Gas
Geo
Coal
5%
18%
9,7%
24%
43%
3.3
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Berdasarkan fuel diversification plan Indonesian electricity sector 2004 - 2010,
menunjukkan bahwa untuk menghasilkan energi listrik sebesar 24,3 GW tahun 2004
diperlukan bahan bakar dengan komposisi 43% dari bahan bakar batubara, 24% dari
gas, 9,7% dari hydro dan 18% dari bahan bakar minyak. Komposisi produksi listrik
berdasarkan jenis pengggunaan bahan bakar ini masih belum efisien.
3.3. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Listrik
Tenaga listrik merupakan unsur vital dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan, khususnya di bidang ekonomi. Oleh karenanya, ketersediaan tenaga
listrik membawa outcome positif berupa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
Akan halnya persoalan-persoalan ketenagalistrikan menimbulkan dimensi dampak
yang meluas, tidak sebatas pada aspek ekonomi. Mengingat perannya yang esensial,
maka pengelolaan ketenagalistrikan harus ditopang oleh kebijakan yang tepat.
Nyatanya, persoalan demi persoalan ketenagalistrikan terus bergulir di negeri
ini. Hal itu merefleksikan bahwa kebijakan energi (pada umumnya) dan
ketenagalistrikan (pada khususnya) belum mendukung dihasilkannya pasokan
tenaga listrik yang cukup dari segi jumlah, mutu, dan keandalannya, juga dengan
harga yang terjangkau oleh masyarakat. Pemadaman listrik secara bergilir di
wilayah Jawa dan Bali menjelang pertengahan tahun 2005 menimbulkan kegelisahan
di kalangan masyarakat yang menduga telah terjadi kekurangan pasokan listrik.
Dugaan tersebut disangkal oleh PT. PLN (Persero) yang dalam siaran persnya
tanggal 2 Juni 2005 menyatakan kemampuan pasokan tenaga listrik untuk wilayah
Jawa – Bali cukup dan terus ditambah.
“ … Daya terpasang Pusat Listrik yang dimiliki oleh PLN di Pulau Jawa – Bali
adalah 16.261 MW, dengan Daya Mampu Netto 15.099 MW. Sedangkan pembangkit
terpasang yang dimiliki oleh Swasta adalah sebesar 3.255 MW, sehingga total daya terpasang
pembangkit di sistem Jawa – Bali 19.516 MW dengan Daya Mampu Pasok pada tanggal 2
Juni 2005 sebesar 14.625 MW. Beban puncak tertinggi Pulau Jawa – Bali terjadi pada
tanggal 29 April 2005 sebesar 14.821 MW, dimana beban puncak tanggal 2 Juni 2005
sebesar 14.575 MW...” (Siaran Pers PT. PLN tanggal 2 Juni 2005.
3.4
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Namun, padamnya aliran listrik PLN (black-out) secara mendadak di sebagian
wilayah Jawa dan Bali seperti yang terjadi tahun 1997, 1999, 2000 dan 2002 silam,
kembali terulang pada 18 Agustus 2005. Kejadian tersebut memperkuat dugaan
adanya ketidakberesan dalam sistem ketenagalistrikan, sehingga kemudian menuai
pertanyaan; apa yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kondisi ketenagalistrikan
tersebut?
Gambar 3.4. Pertumbuhan Permintaan dan Penawaran Tenaga Listrik
0
10
20
30
40
50
60
70
80
2003 2004 2005 2006 2007 2008
Tahun
Jumlah Tenaga Listrik (MW)
Permintaan Penawaran
Untuk memberikan gambaran tentang kondisi ketenagalistrikan, tulisan ini
akan menyarikan beberapa kajian pengamat ketenagalistrikan maupun penjelasan
pihak PT. PLN menyangkut kondisi permintaan dan penawaran tenaga listrik saat
ini, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Berbagai kajian tersebut
menghasilkan konklusi bahwa meski saat ini pasokan tenaga listrik diberitakan
masih berada pada tingkat yang relatif aman (sedikit melebihi tingkat
permintaannya), namun jika tidak ada improvement kebijakan ketenagalistrikan dapat
dipastikan dalam waktu dekat pasokan tenaga listrik tidak akan mampu lagi mengimbangi
pertumbuhan permintaannya yang akan jauh melesat (Gambar 3.4).
Dengan demikian, kebijakan di sektor ketenagalistrikan perlu segera dibenahi,
termasuk di dalamnya insentif fiskal yang diperlukan mendorong investasi guna
memacu peningkatan pasokan tenaga listrik. Berangkat dari gambaran kondisi
ketenagalistrikan yang dikemukakan, dapat diidentifikasi aktivitas dalam sektor
ketenagalistrikan yang masih perlu mendapatkan insentif fiskal. Selanjutnya pada
bagian akhir tulisan ini dibangun metodologi dalam rangka mencari bentuk insentif
3.5
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
fiskal sesuai dengan kebutuhan yaitu; meningkatkan jumlah pasokan, efisiensi dan
keandalan tenaga listrik.
3.3.1. Potret Permintaan Tenaga Listrik
Saat ini, permintaan tenaga listrik masih terkonsentrasi di wilayah Jawa – Bali
yang menyerap sekitar 77 persen kebutuhan listrik. Jumlah permintaan tenaga dapat
dilihat dari besarnya penggunaan pada saat beban puncak. Menurut catatan PLN,
beban puncak di wilayah Jawa – Bali pada tanggal 2 Juni 2005 sebesar 14.575 MW,
dan diperkirakan bulan Oktober 2005 akan mencapai 15.245 MW.
Permintaan tenaga listrik dipastikan akan terus meningkat pesat sebesar 6 - 7
persen/tahun. Sedikitnya ada tiga faktor yang mendorong peningkatan tersebut,
yakni; pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, peralihan penggunaan
listrik non-PLN ke listrik PLN, serta adanya kecenderungan masyarakat
menggunakan listrik secara boros.
a. Pertambahan Penduduk dan Pertumbuhan Ekonomi
Jumlah penduduk Indonesia sebanyak 220 juta dan pertambahannya rata-rata
sebesar 1,5 persen/tahun, serta tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 3
persen/tahun dalam lima tahun terakhir berimplikasi pada tingginya konsumsi
tenaga listrik. Tenaga listrik digunakan masyarakat untuk mendukung aktivitas
dalam rumah tangga maupun menjalankan usaha (bisnis dan industri). Pada fase
awal, pembangunan infrastruktur (termasuk tenaga listrik) akan sangat
mempengaruhi perkembangan ekonomi. Dalam perkembangannya, terbentuk
struktur korelasi dua arah pada saat multiplier effect dari pertumbuhan ekonomi
menuntut ketersediaan tenaga listrik dalam jumlah yang mencukupi, andal, dan
efisien.
b. Peralihan Penggunaan Listrik Non-PLN ke Listrik PLN
Peningkatan harga BBM yang terus terjadi sejak bulan Maret 2005 menyebabkan
banyak industri yang semula membangkitkan listrik sendiri dengan
menggunakan genset kemudian beralih ke listrik PLN yang menjadi relatif lebih
murah. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya lonjakan penggunaan tenaga
3.6
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
listrik melebihi jumlah pasokannya. Lonjakan ini terlihat pada tanggal 29 April
2005 yang dilaporkan sebagai beban puncak tertinggi Pulau Jawa – Bali yaitu
sebesar 14.821 MW.
c. Kecenderungan Masyarakat Menggunakan Listrik Secara Boros
Perilaku konsumsi tenaga listrik oleh masyarakat cenderung boros. Di kalangan
rumah tangga hal ini ditandai oleh penggunaan jumlah lampu hemat energi yang
masih terbatas, karena alasan harga jenis lampu tersebut yang dirasa mahal.
Masyarakat umumnya tidak memperhitungkan bahwa penghematan
pengeluaran dari penghematan listrik karena penggunaan jenis lampu tersebut
akan lebih besar. Sedangkan di kalangan industri, misalnya industri tekstil,
masih banyak dijumpai penggunaan mesin-mesin tua yang masih dipertahankan
oleh pengusaha padahal produktivitasnya sudah berkurang dan menuntut
penggunaan listrik yang lebih besar per satuan produksi. Namun demikian,
Pemerintah terhitung berhasil dalam mengkampanyekan penghematan listrik di
malam hari pada kelompok pelanggan rumah tangga yang diserukan melalui
Keppres Nomor 10 Tahun 2005, buktinya terjadi penurunan beban puncak, dari
posisi tertinggi pada tanggal 29 April 2005 sebesar 14.821 MW, menjadi 14.575
MW pada tanggal 2 Juni 2005.
3.3.2. Penawaran Tenaga Listrik1
Sebagaimana tercantum dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005 –
2025 Departemen ESDM2, dari total kapasitas pembangkit sebesar 24.000 MW, 13
persen tersebar di wilayah Sumatera, 77 persen di Jawa - Bali, 3 persen di
Kalimantan, dan 2,7 persen di Sulawesi. Trend pembangunan sistem
ketenagalistrikan masih terpusat di wilayah Jawa – Bali. Bagi kontraktor listrik
swasta, kedua wilayah tersebut dinilai lebih tidak beresiko, karena selain pasarnya
besar dan berkembang pesat, infrastruktur pendukung sudah tersedia.
1 Terminologi penawaran tenaga listrik yang digunakan dalam kajian ini dikenal dengan istilah
penyediaan tenaga listrik dalam perundangan ketenagalistrikan, yang meliputi tiga aktivitas, yakni; pembangkitan, transmisi dan distribusi tenaga listrik.
2 Dikutip dari artikel Kompas 20 Agustus 2005 berjudul “Interkoneksi untuk Atasi Listrik.”
3.7
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Dengan pola pengembangan sistem ketenagalistrikan seperti dikemukakan di
atas, kesenjangan antara wilayah Jawa – Bali dengan wilayah lainnya semakin besar,
padahal pembangunan di wilayah Indonesia Timur khususnya sangat tergantung
salah satunya pada keberadaan tenaga listrik yang andal. Pengembangan pola
KAPET oleh Pemerintah yang dimaksudkan untuk menarik investasi di sektor
ketenagalistrikan dan industri penggunanya secara bersamaan belum membawa
perubahan yang signifikan terhadap pembangunan di wilayah Luar Jawa – Bali.
Secara umum, pertumbuhan penawaran tenaga listrik relatif lambat
dibandingkan tingkat permintaannya. Sampai dengan tahun 1996, tingkat
elektrifikasi -yaitu prosentase listrik terpasang dibandingkan kebutuhan- hanya
sekitar 40 persen (Elektro Indonesia, 1997)3. Kondisi ini tidak terlepas dari persoalan-
persoalan yang menyelimuti aktivitas penyediaan tenaga listrik.
a. Pembangkitan Tenaga Listrik
Dari segi pembangkitan tenaga listrik, terdapat dua hal yang memicu rendahnya
pertumbuhan penawaran tenaga listrik, yaitu; (i) adanya gap antara daya
terpasang, daya mampu netto, dan daya mampu pasok pada seluruh pembangkit
tenaga listrik yang ada saat ini (existing), serta (ii) lambatnya penambahan jumlah
pembangkit tenaga listrik baru.
b. Pembangkit Tenaga Listrik Existing.
Pada seluruh pembangkit tenaga listrik yang ada, umumnya terjadi perbedaan
(gap) antara daya terpasang, daya mampu netto, dan daya mampu pasok. Hal itu
antara lain disebabkan oleh:
i. Berkurangnya umur teknis peralatan pembangkit. Berkurangnya umur teknis
peralatan menyebabkan penurunan kemampuan pembangkitan (derating),
apalagi selama ini setiap pembangkit selalu dioperasikan secara maksimal
mengingat keterbatasan jumlah pembangkit.
3 Elektro Indonesia, Edisi Kedelapan, Juli 1997, “Kerjasama Tenaga Listrik Sektor Swasta ASEAN di
Daerah Perbatasan Kalimantan.”
3.8
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
ii. Kegiatan pemeliharaan peralatan pembangkit. Beberapa pembangkit sedang
dalam pemeliharaan sesuai dengan jadwal pemeliharaan masing-masing
pembangkit.
iii. Variasi musim mengganggu operasionalisasi pembangkit. Pembangkit Listrik
Tenaga Air (PLTA) adalah jenis pembangkit yang operasionalisasinya
tergantung pada musim. Saat kemarau, tenaga listrik yang dihasilkan oleh
pembangkit jenis ini banyak berkurang.
iv. Sebanyak 4 – 6 persen produksi tenaga listrik digunakan untuk keperluan operasional
pembangkit.
v. Ketersediaan bahan bakar. Tenaga listrik sebagai bentuk energi sekunder
tergantung pada ketersediaan bahan bakar. Melambungnya harga BBM yang
terjadi saat ini membebani keuangan negara karena anggaran subsidi listrik
membengkak, yang kemudian membawa efek beruntun pada cashflow PT.
PLN, pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), sehingga
jumlah pasokan listrik berkurang.
Sementara itu, pengoperasian pembangkit listrik dengan energi lainnya
seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas
(PLTG) terkendala oleh jumlah pasokan bahan bakar. Tingginya harga batubara dan
gas, membuat produsennya lebih banyak menjual ke pasar ekspor. Ketua Umum
Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia mengakui dari 131,72 ton produksi
nasional sekitar 70 persen hasil batubara diekspor, sisanya dipakai untuk kebutuhan
dalam negeri4. Sedangkan untuk gas bumi, dari produksi nasional sebesar 8,35
miliar kaki kubik (BSCF) per hari di tahun 2004, sekitar 58,4 persen diekspor dan
sisanya untuk kebutuhan domestik. Akibatnya, banyak pembangkit listrik yang
tidak dapat beroperasi secara optimal.
c. Lambatnya Penambahan Jumlah Pembangkit Tenaga Listrik Baru.
Pesatnya laju peningkatan permintaan tenaga listrik seharusnya diimbangi
oleh peningkatan produksinya. Namun, realisasi pertumbuhan pembangkit yang
4 Kompas, 22 Juli 2005, “Batubara: Kebutuhan Domestik Harus Diutamakan.”
3.9
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
dilakukan oleh kontraktor listrik swasta (independent power producers) tidak
mengalami kemajuan berarti dalam tiga tahun terakhir5. Beberapa hambatan yang
mengganjal investor masuk ke bisnis pembangkitan listrik antara lain:
• Beban pajak yang dikenakan oleh Pemerintah sangat besar. Pajak tersebut bahkan
sudah mulai dikenakan pada saat eksplorasi. Pada kasus pembangunan PLTGU
Cilegon yang dimulai tahun 2004 dan masih berlangsung hingga saat dengan
dana pinjaman dari Jepang, dari total biaya sebesar USD 431,3 juta, 8,8 persen
diantaranya untuk membayar pajak dan 6,6 persen untuk membayar bunga
pinjaman dan biaya-biaya pinjaman lainnya.
• Pajak yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah semakin beragam. Kepentingan Pemda
untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan menerbitkan
berbagai jenis pajak dan retribusi baru. Contohnya di Sulawesi Utara, air untuk
pembangkit listrik dikenakan pajak. Peraturan itu berdampak pada perhitungan
keuntungan, sementara kontraktor tidak bisa menaikkan harga jual listrik yang
penetapannya menjadi wewenang PT. PLN. Hal tersebut menyebabkan banyak
kontraktor listrik swasta menghentikan proyeknya untuk sementara.
• Tidak ada lagi surat jaminan Pemerintah bagi kontraktor listrik swasta. Ini merupakan
kebijakan baru Pemerintah yang diberlakukan sejak tahun 2002. Dengan tidak
adanya jaminan tersebut, maka kontraktor harus menanggung sendiri semua
resiko kegagalan proyek.
• Pengembangan energi alternatif sebagai bahan bakar pembangkit listrik terganjal oleh
kebijakan lingkungan hidup. Baku mutu emisi adalah salah satu aturan yang harus
dipenuhi dalam rencana pengembangan pembangkit listrik berbahan bakar
batubara. Batubara memang sangat rentan terhadap polusi karbon di atmosfer.
Profesor Smalley menyebut efek dari polusi batubara ini sebagai efek gigaton
carbon pada atmosfer yang sangat berbahaya bagi kelangsungan bumi itu
sendiri6. Sementara itu di Bedugul – Bali yang merupakan daerah resapan air,
rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) yang
5 Kompas, 30 Juli 2005, “Investasi Listrik Swasta Mandek: Pemerintah Belum Beri Kemudahan.” 6 Kompas, 18 Agustus 2005, “Teknologi Nano: Solusi Kebutuhan Energi Masa Depan”
3.10
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
sudah sampai tahap melakukan pengeboran tiga sumur di kawasan hutan
lindung tidak berjalan mulus karena dikhawatirkan oleh masyarakat setempat
akan menyebabkan krisis air.
• Jaminan ketersediaan bahan bakar pembangkit. Lambatnya pertumbuhan
pembangkit tenaga listrik tidak terlepas dari kebijakan pengelolaan energi
nasional. Salah satunya adalah masalah pengelolaan gas bumi, yang
cadangannya berada di luar Jawa, dalam hal ini Sumatera dan Kalimantan,
sementara pasar utamanya ada di Jawa. Kontraktor penghasil gas enggan
mengeksploitasi karena infrastruktur distribusi gas ke Jawa tidak disediakan
Pemerintah7.
• Mahalnya teknologi pembangkit dengan bahan bakar yang tergolong energi terbarukan.
Peningkatan harga BBM membuat banyak pihak mulai mempertimbangkan
diversifikasi energi dengan memanfaatkan energi terbarukan (seperti hidro, solar
dan angin). Namun demikian, saat ini teknologi untuk kegiatan
pengembangannya masih terhitung mahal karena belum banyak dikuasai oleh
sumberdaya manusia di dalam negeri, sehingga untuk pengadaan teknologi
tersebut perlu mengimpor.
• Kondisi infrastruktur (jalan, pelabuhan, dan lainnya) yang ada saat ini sudah tidak lagi
memadai.
3.3.3. Transmisi Tenaga Listrik Di Jawa – Bali.
Ketergantungan yang sangat besar atas transmisi 500KV di bagian utara Jawa
yang merupakan satu-satunya jaringan penghubung daya dari PLTU Paiton di Jawa
Timur ke Jawa Barat. Hal itu membuat pasokan listrik untuk interkoneksi Jawa –
Bali sangat rentan mengalami gangguan karena tidak ada alternatif jaringan
transmisi. Selain itu, kondisi sistem interkoneksi tersebut sudah tua, dibangun tahun
1984 bersamaan dengan beroperasinya PLTU Suralaya. Sementara itu,
pembangunan jaringan baru di sepanjang selatan Jawa terhambat persoalan
pembebasan lahan.
7 Kompas, 20 Agustus 2005, “Kelangkaan Gas Sekarang Ini, Salah Siapa?”
3.11
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Meskipun keberadaan jaringan transmisi alternatif di sepanjang selatan Jawa
diperlukan, tapi menurut Robert Blohm hal tersebut bukan merupakan solusi
mendasar terhadap persoalan ketenagalistrikan yang melanda Jawa – Bali saat ini.
Seharusnya PT. PLN membatasi tambahan permintaan listrik di Jawa Barat sebelum
terjadi pemadaman. Interkoneksi Jawa – Bali dapat beroperasi dengan baik jika
didasarkan atas harga pasar yang sesuai dengan biaya dan lokasi. Pemerintah harus
mengenakan pajak pendapatan umum terpisah untuk mengurangi tarif listrik di
wilayah yang masih memerlukan pembangunan sehingga mendorong indutsri
untuk berpindah ke sana8.
3.3.4. Transmisi Tenaga Listrik Di Luar Wilayah Jawa – Bali.
Jaringan transmisi relatif pendek (terutama di Kalimantan dan Sulawesi),
terbatas pada tegangan tinggi 70 kV dan 150 kV, rata-rata pertumbuhannya rendah.
Di luar Jawa, jaringan distribusi tenaga listrik banyak yang belum tersambung.
Karena alasan itulah, investor yang ingin membangun pembangkit.
memprioritaskan pembangunan pembangkit tenaga listrik di wilayah Jawa – Bali
yang sistem pendukungnya sudah tersedia.
3.4. Peluang dan Kendala Investasi di Bidang Ketenagalistrikan
Pada saat ini kebutuhan energi listrik masyarakat sudah demikian tinggi
mencapai 99 TWh dibandingkan dengan kapasitas produksi energi listrik yang
hanya 87 TWh, sehingga diperlukan tambahan produksi energi listrik sebesar 13.000
MW. Kebutuhan kapasitas tambahan tersebut diharapkan 8.000 MW dipenuhi oleh
PT. PLN dan sisanya 5.000 MW diperoleh dari IPP-swasta. Kekurangan pasokan
listrik ini mencerminkan bahwa PT. PLN sangat membutuhkan sumber pasokan
listrik khususnya pembangunan infrastruktur listrik, yaitu untuk pembangkit dan
transmission line.
8Kompas, 29 Agustus 2005, “Masalah Listrik Perlu Institusi Masyarakat: Dipisahkan antara Operasional Pasar dan Kebijakan Sosial.”
3.12
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Hal tersebut diperkuat lagi dengan kondisi, antara lain : a) rasio elektrisasi9
masih kurang dari 60%, b) harga jual – beli yang disetujui antara PT. PLN dengan
IPP masih proposional, c) cadangan energi selain bahan bakar minyak (BBM) masih
relatif besar dengan harga masih terjangkau (seperti batubara, gas alam, air dan
panas bumi) dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap konsumsi BBM, d)
rendahnya reserve margin sistem kelistrikan yang kurang dari 30%, dan e) belum
berjalannya jaringan interkoneksi jawa – sumatera melalui kabel laut. Dengan
demikian, untuk memenuhi hal tersebut maka PT. PLN masih perlu pembangunan
(investasi) infrastruktur ketenagalistrikan khususnya di sektor pembangkit,
Sumber : Reinstra PT. PLN (Persero) Tahun 2003 – 2007.
Guna memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur tersebut, maka
diperlukan pendanaan yang sangat besar. Total kebutuhan dana investasi seluruh
wilayah di Indonesia selama periode tahun 2003 – 2007 (constant disbursement)
sebesar US$ 6,617.3 juta dan US$ 5,779 juta (fixed asset). Namun dalam kondisi saat
ini, pendanaan investasi tersebut tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada PT. PLN.
Sejak tahun 2000 PT. PLN mengalami ketidakseimbangan finansial perusahaan yang
dicerminkan oleh ROR yang negatif (Reinstra PT. PLN, 2003 – 2007) sehingga
9Merupakan proses listrik terpasang dibandingkan dengan kebutuhan listrik yang masih rendah (yaitu 40% tahun 1996) sehingga kebutuhan pasokan listrik akan terus meningkat untuk mengejar ketinggalan dengan kebutuhan listrik masyarakat akan kegiatan ekonomi dan pembangunan.
3.13
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
menyulitkan PT. PLN untuk melakukan investasi sendiri. Padahal angka ROR yang
disyaratkan oleh cofenant Bank Dunia sebesar 8%. Selain itu, semenjak tahun 1997
perusahaan ini tidak pernah menerima pinjaman baru dengan pola pendanaan
concessional loan dari lembaga-lembaga keuangan luar negeri sebagai sumber dana
investasi.
Untuk itu, PT. PLN mengharapkan adanya dukungan pemerintah terutama
kebijakan insentif fiskal dalam rangka kerjasama dengan investor swasta untuk
memenuhi kebutuhan dana investasi tersebut. Dukungan Pemerintah yang
diharapkan PT. PLN adalah untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif
terutama melalui insentif fiskal guna menggairahkan dan mendorong investasi
sektor kelistrikan di dalam negeri.
Kesulitan dalam penyediaan dana investasi untuk pembangungan
infrastruktur tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : a) Harga jual
rata-rata menjadi lebih rendah dari harga pokok penjualan (HPP) akibat depresiasi
rupiah terhadap dollar AS, b) fluktuasi kurs valuta asing mempunyai pengaruh
terhadap meningkatnya biaya produksi listrik terutama komponen biaya pembelian
gas alam, listrik swasta, uap panas bumi, batubara, suku cadang dan beban pinjaman
termasuk selisih kurs yang sebagian besar diperhitungkan dengan menggunakan
valuta asing, dan c) dampak UU Otonomi Daerah yang menyulitkan bagi aktivitas
PT. PLN karena dapat dijadikan sumber pendapatan bagi Pemda terutama pajak
daerah dan retribusi daerah yang diberlakukan mulai dari hilir sampai hulu.
Dalam menunjang iklim investasi yang kondusif di sektor kelistrikan,
Pemerintah telah memberikan dukungan agar pembangunan infrastruktur
ketenagalistrikan dapat diciptakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun
2005 beserta petunjuk teknis adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) Nomor 9 Tahun 2005 tentang Prosedur Lelang dan Penunjukkan
Langsung Pembelian Tenaga Listrik, serta Keputusan Menteri ESDM Nomor 10
Tahun 2005 tentang Perijinan Dalam Bidang Ketenagalistrikan.
Berdasarkan peraturan tersebut PT. PLN telah mengundang investor
domestik dalam lelang di 24 lokasi tersebar di luar Jawa, dengan kapasitas total 1.134
3.14
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
MW dan diikuti sebanyak 59 investor (qualified bidder), dan proses lelang saat ini
masih berlangsung.
Oleh karena itu, PT. PLN mengharapkan bentuk dukungan Pemerintah
Indonesia dalam rangka menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk
pembangunan infrastruktur kelistrikan, antara lain : a) insentif fiskal meliputi
keringanan maupun penundaan pembayaran PPh dan atau PPN, b) kemudahan
ekspor – Impor, c) pengenaan tingkat bunga bersaing, dan d) kemudahan dan
keringan pengenaan bea – masuk.
Menurut PT. PLN bahwa dukungan Pemerintah tersebut sangat diperlukan
untuk pembangunan kelistrikan di sektor pembangkit yang diproduksi di dalam
negeri sehingga perlu dipertimbangkan adanya pembebasan terutama untuk bea –
masuk, PPN impor, dan untuk impor barang raw material dan sub sistem equipment
yang diperlukan bagi fabrikasi perlatanan yang diproduksi di dalam negeri.
Dukungan Pemerintah tersebut diharapkan dapat menciptakan biaya produksi
peralatan yang dapat lebih bersaing dengan peralatan impor langsung dari luar
negeri.
Untuk menarik minat investor swasta (dari dalam maupun luar negeri) dalam
usaha penyediaan listrik perlu ditawarkan beberapa hal-hal, yaitu iklim investasi
yang kondusif dan atau kemudahan-kemudahan yang dapat diberikan kepada
investor. Untuk itu, Pemerintah perlu melakukan kegiatan yang dapat
menggairahkan investasi di sektor kelistrikan, meliputi :
a. Menciptakan stabilitas politik dan keamanan diseluruh tanah air, karena hal ini
merupakan prasyarat utama bagi keberhasilan investasi.
b. Menciptakan dan menyempurnakan semua peraturan perundang-undangan
yang berlaku (baik yang baru maupun lama) agar transparan dan mendukung
usaha penanaman modal.
c. Menyempurnakan prosedur pelayanan investasi serta mempercepat
pengeluaran perijinan (baru dan lama).
d. Memberikan kemudahan tata cara memperoleh / penggunaan tanah.
e. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM).
3.15
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
f. Menjamin ketersediaan sumber energi primer dengan menyediakan sarana
penyaluran dan penyimpanan, seperti batubara, air dan gas alam.
g. Mempercepat pembangunan infrastruktur yang memadai, seperti jalan,
pelabuhan, transportasi, dan lain-lain.
Untuk pembangunan infrastruktur listrik diperkirakan memerlukan dana
investasi sebesar Rp 60,3 triliun dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 3,93% per
tahun (Media Indonesia, 5 September 2005). Jumlah dana investasi tersebut
digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi listrik di Indonesia dimana konsumsi
tenaga listrik terbesar berada di Pulau Jawa dan Bali sebesar 83,6 TWh atau 80% dari
keseluruhan konsumsi listrik di Indonesia.
Apabila dicermati, konsumen (pelanggan) listrik terbesar adalah kelompok
rumahtangga sebanyak 31 juta pelanggan atau 93% dari total 33,2 juta pelanggan
(PT. PLN, 2004). Kemudian disusul oleh kelompok sektor bisnis yang mencapai 1,4
juta pelanggan (4%), dan kelompok sosial sebesar 691 ribu pelanggan atau 2% (lihat
tabel 3.3.).
Besarnya konsumsi listrik di Pulau Jawa – Bali saat ini ternyata menjadi salah
satu permasalahan yang krusial dalam kebijakan energi di Indonesia. Pada kondisi
beban puncak, jumlah daya yang dibutuhkan mencapai 14.800 MW. Tingginya
kebutuhan listrik tersebut karena Pulau Jawa – Bali merupakan konsentrasi
penduduk terbesar dan tempat didirikan industri.
Tabel 3.2.
Pelanggan PT. PLN Tahun 2000 – 2004
Kelompok Pelanggan 2000 2001 2002 2003 2004 Share
(%) Rumah tangga 26.796.675 27.885.612 28.903.325 29.997.554 30.957.613 93.2
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Namun potensial loss aktual yang ditanggung Pemerintah sebesar Rp 12,49
triliun (Rp 14,61 – Rp 2,12 triliun), karena pengenaan pajak untuk PPh Pasal 22 dapat
dikreditkan pada akhir tahun pajak dan tidak dicatat sebagai potensial loss.
6.5.2. Kenaikan Pendapatan Domestik Bruto (PDB)
Kenaikan PDB disebabkan oleh meningkatnya investasi dan kelangsungan
produksi ekonomi sebagai akibat tidak matinya listrik. Dari beberapa studi diperoleh
gambaran bahwa setiap kenaikan pasokan listrik sebesar 1 persen akan membawa
kenaikan PDB sebesar 0,67 persen. Kenaikan PDB tersebut, selain sebagai dampak
meningkatnya investasi di bidang ketenagalistrikan itu sendiri, dan juga sebagai
akibat dari meluasnya kegiatan usaha karena mudahnya mendapatkan tenaga listrik.
Dengan demikian, terpenuhinya kebutuhan tenaga listrik pada akhirnya akan
membawa peningkatan pendapatan masyarakat.
Terkait dengan produk nasional perlu kiranya disampaikan bahwa
dibeberapa negara, tenaga listrik digolongkan sebagai jasa kebutuhan nasional,
sehingga matinya aliran listrik dikategorikan sebagai bencana nasional. Hal tersebut
tidak mengherankan, apabila matinya aliran listrik dapat mengganggu kelancaran
proses produksi. Selain itu, tidak kontinyu aliran listrik dapat merupakan alasan
pokok bagi investor untuk tidak menanamkan investasinya di suatu negara.
6.5.3. Kenaikan Kesejahteraan Masyarakat
Ketersediaan lisrik yang semakin terjamin akan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat (sosial welfare). Ketersediaan jasa tenaga listrik yang bisa diperoleh secara
mudah akan berdampak pada meningkatnya kemudahan pemenuhan berbagai
kebutuhan yang memerlukan tenaga listrik. Hal tersebut bermuara pada naiknya
tingkat kepuasan pelanggan maupun masyarakat luas.
6.16
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan
Dewasa ini penggunaan energi, khususnya listrik, di dalam perekonomian
nasional mengalami peningkatan sangat pesat yang tercermin dari jumlah
permintaan total masyarakat Indonesia akan energi listrik sebesar 24,3 GW tahun
2004 dan diproyeksikan sebesar 37,9 GW tahun 2010 dengan tingkat pertumbuhan
permintaan akan listrik sebesar 8 – 10% per tahun.
Namun, produksi listrik dari PT. PLN belum dapat mengimbangi tingginya
permintaan masyarakat akan listrik tersebut. Jumlah pasokan energi listrik yang
diproduksi PT. PLN hanya 18,0 GW tahun 2004 sehingga dalam tahun tersebut
terjadi kekurangan (gap) pasokan listrik sebesar 6,3 GW. Dengan kata lain, kondisi
permintaan lebih besar dari pada pasokan listrik tersebut dapat mengakibatkan
krisis energi listrik di tanah air.
Munculnya gap pasokan listrik ini sebesarnya menandakan suatu kondisi
dimana tidak berkembangnya kegiatan investasi di bidang infrastruktur
ketenagalistrikan, yaitu di sektor pembangkitan, transmisi dan distribusi. Karena
secara umum sejak krisis ekonomi mulai berlangsung tahun 1997, telah
menunjukkan penurunan realisasi investasi mencapai 50% bahkan nilai persetujuan
proyek PMA merosot 96% dibandingkan PMDN selama tahun 2001, meskipun dari
segi jumlah proyek naik 50%. Dan tidak ada foreign direct investment (FDI) yang
masuk ke Indonesia semenjak tahun 1997 sehingga Pemerintah masih membutuhkan
pinjamanan luar negeri untuk mendanai proyek – proyek ketenagalistrikan.
Beberapa faktor yang dituding sebagai penyebab terjadinya penurunan
investasi di dalam negeri sehingga menurunkan minat investor untuk menanamkan
modal, antara lain :
a. Instabilitas politik dan keamanan yang disebabkan oleh perseteruan di antara elit
politik, kerusuhan atau kekerasan yang berbau SARA, timbulnya aspirasi ke
arah disintegrasi bangsa, dan meningkatnya tingkat kriminalitas.
7.1
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
b. Banyaknya kasus demonstrasi / pemogokan di bidang perburuhan atau
ketenagakerjaan yang disebabkan meningkatnya kesadaran mengenai hak-hak
buruh, masih rendahnya pendapatan buruh, kesejahteraan dan keselamatan
kerja belum memadai.
c. Pemahaman yang keliru terhadap pelaksanaan UU Otonomi Daerah yang
disebabkan belum lengkap dan jelasnya pedoman menyangkut tatacara
pelaksanaan otonomi daerah sehingga menimbulkan bentuk-bentuk pungutan
dan atau retribusi yang kurang jelas dasar hukumnya.
d. Kurangnya jaminan kepastian hukum, misalnya dengan dilakukan pembatalan
secara sepihak terhadap pemenang tender dan tidak diberikan kompensasi yang
layak, demikian dengan pembatalan dan atau perubahan terhadap isi kebijakan
(kontrak di bidang ketenagalistrikan seperti power purchase agreement / energy
contract.
e. Lemahnya pelaksanaan penegakan hukum (law enforcement) terutama
menyangkut lembaga-lembaga peradilan maupun lembaga-lembaga arbitrase,
baik asing (ICC/ICSID) maupun lokal (BANI) yang menyebabkan rendahnya
kepercayaan investor terhadap tatacara / proses penyelesaian sengketa dan atau
penegakan hukum.
f. Kurangnya jaminan atau perlindungan investasi sehingga investor merasa tidak
aman dan nyaman karena masih saja terjadi tindakan – tindakan penjarahan dan
atau pengambil alihan secara melawan hukum terhadap aset –aset investor tanpa
dapat dicegah oleh Pemerintah.
g. Masih kurang menariknya insentif fiskal khususnya perpajakan yang diberikan
oleh Pemerintah dibandingkan dengan insentif fiskal yang diberikan oleh
Pemerintah negara – negara tetangga di ASEAN, seperti Thailand, Malaysia,
Philipina dan Singapura, yang pada akhirnya dapat mendorong investor untuk
merelokasi investasinya dari Indonesia kepada negara – negara tersebut.
h. Masih rendahnya kualitas sumber daya manusia karena belum tersedianya
sumber daya manusia yang memadai baik secara kualitatif dan kuantitatif untuk
memenuhi kebutuhan industri.
7.2
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
i. Masih berjalannya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang
menguntungkan pihak – pihak tertentu meskipun telah dikeluarkannya UU
Pemberantasan KKN dan UU Pembalikan Beban Pembuktian serta pembentukan
Komisis Pemberantasan Korupsi (KPK) namun tetap saja tidak mampu
mengurangi dan atau memberantas praktek KKN.
j. Tidak ada kejelasan dalam kebijakan investasi yang dicerminkan dengan tinggi
risiko (country risk) sehingga biaya financial dari projek ketenagalistrikan
menjadi mahal dan pada akhirnya berakibat harga jual (TDL) juga mahal.
k. Terjadi penundaan beberapa proyek yang dapat menurunkan manfaat ekonomi
dan keuangan (karena penundaan pendapatan PT. PLN dan penundaan
kesempatan konsumen menikmati jasa kelistrikan) sehingga dapat meningkat
biaya investasi, misalnya apabila perusahaan listrik mendapat pinjaman dari
lembaga-lembaga multilateral (World Bank, ADB, etc.) maka Pemerintah
Indonesia harus membayar commitment fee dan penundaan dapat meningkatkan
biaya investasi.
Melihat faktor – faktor tersebut, kiranya dapat disimpulkan bahwa kondisi
perekonomian nasional nampaknya sudah kurang menarik minat investasi di bidang
infrastruktur khususnya di sektor ketenagalistrikan. Karena selama ini investasi
infrastruktur di sektor ketenagalistrik kurang mendapat perhatian atau fasilitas yang
memadai dari Pemerintah terutama dalam penggunaan input yang akan menghasil
energi listrik (setrum). Akibatnya, ke depan dapat terjadi krisis energi listrik karena
tidak ada penambahan kapasitas baru dan atau kapasitas yang lama sudah mulai
menurun kinerjanya.
Selain itu, terjadi perbedaan sudut pandang antara Pemerintah dengan para
pelaku ekonomi khususnya di sektor ketenagalistrikan. Karena menurut para pelaku
ekonomi bahwa kegiatan dalam industri ketenagalistrikan pada umumnya
dibedakan antara kegiatan di sektor hulu (pembangkitan, transmisi dan distribusi)
dan hilir (penjualan listrik). Dan selama ini yang sering mendapat insentif fiskal
adalah di sektor hilirnya, akan tetapi di sektor hulunya masih belum banyak
tersentuh insentif fiskal. Sedangkan dari sudut pandang Pemerintah dalam
pengenaan pajak tidak membedakan barang berdasarkan sektor hulu dan hilir,
7.3
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
sehingga berakibat tidak pernah dapat menuntaskan permasalahan yang dihadapi
oleh para pelaku ekonomi.
Pengaruh pungutan pajak terhadap beban perusahaan dan penyediaan energi
listrik sangat besar, sehingga dapat memberatkan kelangsungan usaha
ketenagalistrikan, misalnya pajak yang dipungut pada tingkat operasional perusahaan
antara lain :
BBM & Pelumas Impor Suku Cadang Pemeliharaan
(Jasa) Pajak – Pajak
Lainnya a. PPN 10% a. Bea Masuk 5 – 20% a. PPN 10% a. Pajak air permukaan b. PPh 0,3% b. PPN Impor 10% b. Pajak air bawah tanah
c. PPh Impor 2,5% c. Pajak penerangan jalan d. Ijin gangguan gardu induk e. Ijin gangguan pembangkit f. IMB Tower
g. PBB Sumber : PT. PLN (Persero), 2005.
Pajak yang dipungut Pemerintah atas pekerjaan kontruksi yang dilakukan pada
proyek – proyek usaha ketenagalistrikan, antara lain :
Survai Pembebasan Tanah E / D Impor Peralatan Kontruksi
a. PPN 10% a. PPh Psl 25 5% a. PPN 10% a. Bea Masuk 5 - 20% a. PPN 10% b. BPHTB 5% b. PPN Impor 10%
c. PPh Impor 2,5%
Sumber : PT. PLN (Persero), 2005.
Selain itu, beberapa negara di kawasan ASEAN sudah banyak memberikan
insentif fiskal kepada proyek – proyek strategis dan sesuai dengan prioritas
pembangunan termasuk proyek ketenagalistrikan. Pemberian insentif tersebut lebih
banyak ditujukan untuk menarik minat (sweatener) investor dalam menanamkan
modal ke negara – negara tersebut. Namun, proyek – proyek ketenagalistrikan di
tanah air belum banyak mendapat insentif fiskal terutama pada bidang infrastruktur
(pembangkitan, transmisi dan distribusi). Untuk itu, perlu ditinjau kembali jenis –
jenis insentif fiskal kepada proyek – proyek ketenagalistrikan agar investasi tidak ke
luar kawasan Indonesia (capital flight).
7.4
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Untuk itu, secara serius Pemerintah saat ini berupaya untuk mendorong
investasi baik asing maupun dalam negeri melalui perbaikan berbagai kebijakan
ekonomi dan non ekonomi dalam rangka menciptakan iklim yang kondusif agar
perekonomian diharapkan tumbuh rata – rata 6,6% per tahun melalui peningkatan
peranan swasta dalam pembangunan. Tekad Pemerintah tersebut telah diwujudkan
dalam agenda prioritas pembangunan melalui program peningkatan investasi,
yaitu :
1. Kebijakan peningkatan iklim dan realisasi investasi dengan langkah – langkah :
a. Penyederhanaan prosedur birokrasi dan perijinan
b. Penyusunan insentif investasi yang tepat sasaran
c. Pengurangan tumpang tindih kebijakan pusat – daerah dan antar sektor
d. Penanganan masalah – masalah investasi secara tepat
e. Reformasi kelembagaan penanaman modal
2. Reformasi bidang perpajakan dan kepabeanan, melalui :
a. Amandemen UU Perpajakan
b. Reformasi administrasi sengketa pajak
c. Fasilitasi perdagangan dan pemberantasan penyelundupan
3. Peningkatan daya saing industri manufaktur melalui upaya :
a. Peningkatan utilisasi kapasitas dan memperluas basis industri untuk
memperkuat struktur yang ada
b. Pengembangan investasi strategis secara fungsional dalam aspek
pengembangan teknologi industri, informasi pasar serta prasarana – sarana
pengendalian mutu
c. Fasilitas pengembangan sub sektor industri sesuai dengan masalah yang
dihadapi, difokuskan (diprioritaskan) pada sub-sub sektor yang menyerap
tenaga kerja, mengolah sumber daya alam (SDA) dalam negeri, memenuhi
kebutuhan pasar dalam negeri dan memiliki potensi pengembangan ekspor
ke depan.
Dengan demikian, sektor ketenagalistrikan telah memenuhi kriteria dalam
pengembangan industri strategis yang perlu mendapat dukungan Pemerintah
terutama dalam investasi infrastrukturnya (bidang pembangkitan, transmisi dan
7.5
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
distribusi). Sehingga, perlu kesamaan pandang antara Pemerintah (baik di Pusat dan
Daerah) dengan pelaku – pelaku sektor ketenagalistrikan agar pemberian dukungan
tersebut dapat menghasilkan nilai tambah (multiplier effect) yang lebih besar dari
pada potensial loss akibat pemberian dukungan atau fasilitas tersebut.
7.2. Saran dan Rekomendasi 7.2.1. Usulan Insentif Fiskal Untuk Investasi Infrastruktur Ketenagalistrikan
Berdasarkan hasil studi ini dengan memperhatikan berbagai dampak
pemberian insentif fiskal termasuk potensial loss penerimaan Pemerintah atas proyek
– proyek ketenagalistrikan, maka usulan insentif fiskal untuk yang kiranya
dibutuhkan dan untuk mendukung peningkatan investasi infrastruktur
(pembangkitan, transmisi dan distribusi) di bagi dalam dua jenis insentif (pajak dan
kepabeanan), antara lain :
a. Bidang Pajak Penghasilan (PPh)
1. Menerapkan insentif REGIONAL dengan memberikan PEMBEBASAN
PPh ≤ 60% dari pendapatan untuk pengembangan industri ketenaga-
listrikan;
2. Menerapkan insentif SEKTORAL untuk perusahaan yang bergerak pada
usaha Strategis dan atau prioritas pembangunan (termasuk tenaga
listrik) dengan memberikan pembebasan PPH ≈ 10% selama 5 – 10
tahun;
3. Menerapkan Insentif EKSPOR & DAERAH PERDAGANGAN BEBAS
dengan mengenakan Pajak Final ≈ 5% dari penghasilan bruto dengan
komposisi : 3% Pemerintah Pusat, 1% Pemerintah Daerah & 1% untuk
Dana Pembangunan;
4. Pembebasan PPh atas keuntungan EKSPOR ≈ 30% selama 5 tahun dalam
mendorong Insentif EKSPOR & DAERAH PERDAGANGAN BEBAS.
b. Bidang Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
1. LISTRIK dapat ditetapkan sebagai BKP tertentu yang atas penyerah-
annya DIBEBASKAN dari penge-naan PPN;
7.6
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
2. BARANG MODAL berupa mesin dan peralatan pabrik untuk
menghasilkan BKP tertentu yang bersifat strategis atas impor dan atau
penyerahannya DIBEBASKAN dari pengenaan PPN.
c. Kepabeanan
1. Menggunakan mekanisme PP 42 Tahun 1995 : Pembebasan / Keringan
BM dapat diberikan atas Impor;
2. Menggunakan Pasal 26 ayat (1) huruf j UU 10 Tahun 1995 : Barang oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ditujukan untuk Kepentingan
Umum;
3. MEREVISI PMK 47/PMK.04/2005 dengan menambah / memasukkan
industri ketenagalistrikan ke dalam daftar industri jasa yang
mendapatkan fasilitas keringan BM;
4. Memberikan FASILITAS BM KHUSUS untuk PT. PLN (Persero);
5. Menurunkan TARIF BM BARANG MODAL untuk industri
ketenagalistrikan dengan memasukkan Harmonisasi Tarif.
7.2.2. Usulan Insentif Fiskal Untuk Pengembangan Energi Terbarukan
Faktor utama penghambat pengembangan energi terbarukan adalah harga
energi yang dihasilkannya tidak dapat berkompetisi dengan harga energi yang
berasal dari fosil yang masih disubsidi, maka penghapusan subsidi dalam bentuk
harga energi fosil mutlak dilakukan. Penghapusan subsidi pada harga energi fosil
tidak hanya akan memberi ruang yang lebih kompetitif bagi pengembangan energi
terbarukan, juga akan berdampak kepada berkurangnya beban keuangan negara
yang selama ini digunakan untuk menutupi subsidi.
Kebijakan penghapusan subsidi yang tidak populis pada akhirnya bermuara
pada pertanyaan: Lalu bagaimana fungsi sosial pemerintah sebagai akibat dari
kebijakan penghapusan subsidi? Hal tersebut disebabkan bahwa secara umum
masyarakat pengguna energi adalah mereka yang "dhuafa" dengan kemampuan
membeli yang secara umum sangat rendah (lower purchasing power).
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka diusulkan agar pemerintah
memberikan subsidi langsung maupun tidak langsung (direct and indirect subsidy)
7.7
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
kepada yang benar-benar membutuhkan. Subsidi langsung dapat dilakukan pada
jenis energi untuk pelanggan yang tercatat dengan baik seperti PLN. Sedangkan
subsidi tidak langsung dapat diberikan untuk pelanggan bahan bakar cair seperti
pelanggan minyak tanah. Bentuk subsidi tidak langsung ditujukan untuk
menstimulir (mendorong) kegiatan-kegiatan pada asyarakat yang ditargetkan guna
mendapatkan tambahan pendapatan (income generating activities) melalui subsidi
biaya pendidikan, pendanaan mikro melalui revolving fund atau skema pendanaan
mikro lainnya, dan juga subsidi biaya kesehatan sehingga masyarakat dapat
menjalankan kegiatan dan berkehidupan yang lebih baik.
Berkaitan dengan skema pendanaan mikro dalam mendorong upaya
pemanfaatan energi terbarukan, maka Pemerintah perlu membuat
regulasi/peraturan perbankan khusus untuk mengakomodasi dan memberikan
kemudahan skema pendanaan yang lebih berpihak kepada masyarakat kecil. Ini bisa
membantu mengakhiri paradigma pendanaan yang saat ini memberi perhatian lebih
kepada daerah pinggiran kota karena rendahnya daya beli masyarakat kecil di desa
akibat keadaan ekonomi mereka pas-pasan bahkan di bawah garis kemiskinan (under
poverty line). Sebaiknya bantuan kredit diberikan agar masyarakat bisa melakukan
kegiatan-kegiatan untuk menambah penghasilan mereka, sehingga pada akhirnya
daya beli mereka dapat meningkat.
Kebijakan insentif lainnya yang diharapkan mampu menurunkan biaya
pembangkitan energi terbarukan yaitu melalui penurunan bea masuk (import tax).
Bea masuk yang selama ini dikenakan pada energi terbarukan adalah tidak tepat dan
harus ditinjau kembali dan diusulkan untuk dikurangi, tetapi tidak dihilangkan
karena menganggap barang atau peralatan energi terbarukan sebagai pajak barang
mewah.
Kebijakan insentif juga seharusnya diberikan kepada pemain lokal, seperti
perusahaan manufaktur yang menunjang kegiatan energi terbarukan. Hal tersebut
ditujukan karena selama ini muatan impor yang masih dominan (high import content)
pada beberapa teknologi energi terbarukan seperti photovoltaik, gasifikasi dan
kogenerasi biomasa, bahan bakar berbasis tumbuh-tumbuhan (bio-disel dan bio-
7.8
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
etanol), dan konverter untuk tenaga angin, menyebabkan harga energi terbarukan
yang dihasilkan menjadi relatif mahal.
Selain itu pada beberapa kasus kerusakan membutuhkan waktu yang relatif
lama karena menunggu pengiriman (impor). Dengan demikian diharapkan
menambah muatan lokal (local content) dapat secara signifikan mengurangi biaya
investasi dan mengurangi biaya produksi energi terbarukan, sehigga pada akhirnya
dapat menciptakan iklim yang lebih kompetitif bagi energi terbarukan untuk
bersaing dengan energi fosil.
Memasukkan harga lingkungan (internalize the externalities) pada komponen
biaya energi yang berasal dari fosil (tak terbarukan). Hal tersebut perlu dilakukan
mengingat dampak yang sangat buruk dari penggunaan energi tak terbarukan bagi
lingkungan baik lokal maupun global dan dapat menurunkan kualitas kesehatan
manusia. Untuk itu penerapan biaya lingkungan tidak hanya ditujukan untuk
memberikan harga energi terbarukan yang lebih kompetitif, tetapi juga akan
digunakan untuk usaha atau kegiatan untuk pemulihan lingkungan yang
diakibatkan oleh penggunaan energi tak terbarukan.
Rencana penyediaan dana (depletion premium) atas menyusutnya minyak bumi
dan juga dampak buruk terhadap lingkungan yang dihasilkan akibat pemanfaatan
minyak bumi yang selama ini hanya menjadi wacana sebaiknya dapat direalisasikan.
Dengan adanya alokasi dana bagi pengembangan energi terbarukan yang berasal
dari depletion premium, diharapkan tidak hanya menggugah kepedulian dari
Pertamina terhadap pentingnya pemanfaatan energi terbarukan untuk menjawab
kelangkaan pasokan minyak, juga diharapkan akan memberikan kesadaran bagi
Pertamina untuk melirik bisnis energi terbarukan dalam ekspansi perusahaannya
seperti yang dilakukan oleh perusahan minyak besar di dunia.
Memberikan keringanan pembebasan pajak sementara (tax holiday) yang
ditujukan untuk menstimulasi kegiatan investasi bagi pengembangan energi
terbarukan untuk daerah-daerah yang selama ini terlupakan atau tertinggal seperti
Indonesia bagian timur atau daerah terpencil pedesaan lainnya di Indonesia.
7.9
Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan
Insentif fiskal sangat diperlukan sebagi upaya untuk mengeembangkan energi
terbarukan. Hal tersebut sebagai terobosan guna merangsang investor untuk
mengembangkan energi ramah lingkungan. Disadari, rasio elektrifikasi masih
terbilang rendah, sekitar 80 juta rakyat belum menikmati pelayanan listrik. Isentif
fiskal paling tidak akan merangsang para investor baik Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk membangun sejumlah
proyek listrik yang ramah lingkungan.
Tabel 7.1. : Usulan Bentuk - Bentuk Insentif Fiskal Untuk Pemanftaan
Sumber Daya Terbarukan
No Bentuk Insentif Tujuan
1 Penurunan bea masuk
Bea masuk yang selama ini dikenakan pada energi terbarukan adalah tidak tepat dan harus ditinjau kembali karena menganggap barang atau peralatan energi terbarukan sebagai pajak barang mewah
2 Pemakaian muatan lokal
mengurangi biaya investasi dan mengurangi biaya produksi energi terbarukan, sehigga pada akhirnya dapat menciptakan iklim yang lebih kompetitif bagi energi terbarukan untuk bersaing dengan tidak terbarukan.
3 Penghapusan subsidi terhapa harga energi tidak terbaharukan
a. memberi ruang yang lebih kompetitif bagi pengembangan energi terbarukan,
b. berkurangnya beban keuangan negara yang selama ini digunakan untuk menutupi subsidi.
4
Memasukkan harga lingkungan pada komponen biaya energi yang berasal dari sumber daya tak terbarukan.
a. untuk memberikan harga energi terbarukan yang lebih kompetitif,
b. untuk pemulihan lingkungan yang diakibatkan oleh penggunaan energi tak terbarukan