KEBERAGAMAAN MASYARAKAT FLORES MODERN (STUDI SEMIOTIKA MAKNA ESAI FOTO JURNALISTIK KARYA NG SWAN TI BERJUDUL FLORES REVISITED PADA PAMERAN JAKARTA BIENNALE 2015). Skripsi Diajukan untuk memenuhi persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos) Oleh : Ardiansyah Pratama NIM : 1110051100107 KONSENTRASI JURNALISTIK JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H / 2017 M
148
Embed
KEBERAGAMAAN MASYARAKAT FLORES MODERN (STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36754... · 2017-11-17 · KEBERAGAMAAN MASYARAKAT FLORES MODERN (STUDI SEMIOTIKA
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KEBERAGAMAAN MASYARAKAT FLORES MODERN
(STUDI SEMIOTIKA MAKNA ESAI FOTO JURNALISTIK KARYA NG
SWAN TI BERJUDUL FLORES REVISITED PADA PAMERAN
JAKARTA BIENNALE 2015).
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh : Ardiansyah Pratama
NIM : 1110051100107
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2017 M
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
Ardiansyah Pratama
1110051100107
Keberagamaan Masyarakat Flores Modern (Studi Semiotika Makna Esai
Foto Jurnalistik Karya Ng Swan Ti Berjudul Flores Revisited Pada Pameran
Jakarta Biennale 2015)
Keberagamaan merupakan proses representasi dari setiap individu
masyarakat dalam berkeyakinan terhadap agama yang dianutnya. Baik langsung
dan tidak langsung perilaku individu dalam beragama dibentuk oleh tatanan
masyarakatnya. Yakni tidak saja tatanan masyarakat yang “natural” berlangsung
dari generasi ke generasi, tetapi juga hasil percampuran dengan kebudayaan asing
yang terintergrasi dengan kultur keberagamaan lokal.
Melalui media fotografi, jurnalis foto Ng Swan Ti dari PannaFoto Institute
berhasil mendokumentasikan ritual keagamaan hari raya paskah agama Katolik
yang dilakukan masyarakat Flores tahun 2015. Karya ini berhasil masuk dalam
pameran berskala Internasional yaitu Jakarta Biennale 2015 “Maju Kena Mundur
Kena: bertindak sekarang”.
Representasi keberagamaan masyarakat Flores dalam dokumentasi esai foto
tersebut menurut hemat penulis penting dikaji. Pertama, foto secara detail dan luas
menggambarkan konteks objek yang didokumentasikan Tetapi foto tidak
selamanya objektif dalam menggambarkan realita faktual karena terbatas pada
pose-pose tertentu. Kedua, karena itu, penting mendapatkan keseluruhan objek foto
yang didokumentasikan dalam esai foto agar dapat dinarasikan gambaran
keberagamaan masyarakat Flores sehingga secara faktual merepresentasikan
realitas yang sesungguhnya.
Pada penelitian ini penulis menggunakan paradigma konstruktivis dengan
pendekatan kualitatif. Sementara metode penelitian yang digunakan adalah
semiotika Roland Barthes. Semiotika model Roland Barthes memiliki tiga tahapan
dalam memaknai sebuah foto, yaitu tahapan denotasi, konotasi serta mitos.
Setelah melakukan pengkajian melalui analisis semiotika model Roland
Barthes terhadap foto Flores Revisited karya Ng Swan Ti, Penulis menemukan ciri
keberagamaan masyarakat modern yang terintegrasi dengan budaya lokal modern
karena agama Katolik masuk ke Flores pada abad ke-16. Dalam ritual
keagamaannya agama Katolik menggunakan ornament seperti lilin, patung,
confetti, bunga dan seterusnya. Hal tersebut menjadi kebudayaan baru bagi
masyarakat Flores. Lalu penulis juga melihat adanya evolusi keberagamaan di
Flores dalam waktu yang cukup lama.
Kata Kunci: Fotografi, Semiotika, Keberagamaan, Masyarakat Modern, Flores
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan seru
sekalian alam yang menyeru sekalian hati hamba-Nya untuk selalu turut serta dalam
samudra makrifat hingga tenggelam dalam kecintaan kepada-Nya. Tiada kata yang
tepat untuk mendeskripsikan segalanya selain rasa syukur atas petunjuk dan
pertolongan kepada penulis, sehingga terselesaikannya skripsi ini. Shalawat serta
salam atas Al-Mustafa Sayyidina Muhammad SAW, serta keluarga dan para
sahabatnya yang telah membawa kebaikan kepada umatnya dari jalan kegelapan
menuju jalan yang terang benderang.
Setelah beberapa semester lamanya menimba ilmu di kampus tercinta,
akhirnya penulis dapat dengan sabar mengentaskan karya ini sebagai tongkat estafet
pengejawantahan ilmu. Penulis menyadari, karya ini belum mencapai
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis membuka dengan lebar kritik dan saran
para pembaca. Penulisan karya ini juga tidak terlepas dari bantuan banyak pihak.
Untuk itu penulis ucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Suparto, M,Ed, Ph,D selaku Wakil Dekan I Bidang Akademik,
Dra. Hj. Roudhonah, M.Ag selaku Wakil Dekan II Bidang Administrasi dan
Keuangan, dan Dr. Suhaimi, M.Si selaki Wakil Dekan III Bidang
Kemahasiswaan.
vi
2. Kholis Ridho. M.Si selaku Ketua Program Studi Jurnalistik sekaligus
menjadi dosen pembimbing dalam penelitian ini yang telah banyak
meluangkan waktu serta memberikan ilmunya dalam selama proses
bimbingan. Sebagai Ketua Program Studi beliau juga telah banyak
memberikan bantuan moril kepada penulis.
3. Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, M.A selaku sekertaris Program Studi Jurnalistik
yang telah meluangkan waktu untuk berkonsultasi dan membantu penulis
dalam hal perkuliahan
4. Terima kasih kepada seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu-
ilmunya kepada penulis selama penulis menimba ilmu di sana.
5. Terima kasih kepada segenap staf Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi.
6. Terima kasih kepada fotografer Ng Swan Ti selaku narasumber yang telah
meluangkan waktu untuk wawancara serta berbagi wawasan dan
pengalaman kepada penulis.
7. Kepada orang tua penulis, Bapak Syape’i dan Ibu Nursiah yang telah
menjadi motivasi penulis untuk menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih
telah bersabar dengan waktu yang lama.
8. Terima kasih kepada adik-adik penulis, Maulana Yusuf dan Mitha Aulia
yang tiada hentinya memberi dukungan baik yang bersifat moril mapun
materiil.
vii
9. Terima kasih kepada Nanda Aullia yang telah banyak memberi semangat
dan memantau perkembangan penelitian.
10. Terima kasih kepada sahabat-sahabat Jurnalistik UIN, Rizki Solehudin
(kinoy), Rezha Alfian (Ejhon), Mario (bonte), Hanggi tyo, Diyah Halim,
Tabel 1 : Studi Evolusi Agama Wallace ..................................................... 37
Tabel 2 : Peta Tanda Roland Barthes .......................................................... 57
Tabel 3 : Perbandingan antara Konotatif dan Denotatif ............................. 59
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Tatanan Penandaan Barthes ..................................................... 58
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman etnis, budaya,
bahasa, dan agama. Menurut sejarah, kaum pendatang yang telah menjadi
pendorong utama keanekaragamaan agama dan kultur di Indonesia, seperti
pendatang dari India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda.1 Hal tersebut
menjadikan Indonesia sebagai negara yang multikultur dan multiagama.
Berdasarkan uraian di atas, Agama2 di Indonesia tampil dalam bentuk yang
berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat tempat agama itu
berkembang. Dengan maksud, seiring melalui pemahaman kebudayaan tersebut
seseorang akan dapat mengamalkan atau menjalankan ajaran agama. Misalnya,
kebudayaan dalam berpakaian, kebudayaan dalam pengartian sebuah benda, dan
tata cara bergaul bermasyarakat. Dalam unsur kebudayaan tersebut unsur agama
ikut berintegrasi, seperti model jilbab, kebaya, songket atau tenun ikat dan hal
lainnya yang dapat dijumpai dalam pengalaman agama tertentu pada tiap
masyarakat. Oleh karena itu, agama di Indonesia berbaur harmonis dengan beragam
kebudayaan yang terbentuk dalam sebuah masyarakat.
Agama merupakan salah satu unsur yang utama dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan di Indonesia, sehingga agama mempunyai landasan secara yuridis
1 Laode Monto Bauto, Prespektif Agama dan Kebudayaan Dalam Kehidupan Masyarakat
Indonesia, (Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Volume 23, No. 2, Desember, 2014), hal, 19. 2 Menurut Kamus Bahasa Indonesia, agama merupakan ajaran atau sistem yang mengatur
tata keimanan (kepercayaan) kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia berserta lingkungan. Dikutip dari Tim Redaksi Kamus
Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa 2008), hal. 17.
2
yang termaktum dalam Pancasila pada sila pertama yaitu pinsip dasar negara
berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti setiap warga negara bebas
berkeyakinan atau memeluk agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya.3
Dalam kitab Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Republik Indonesia,
agama diatur dalam Pasal 29 yang berbunyi:
1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
Sebagai pelaksanaan Pasal 29 (2) UUD 1945 pemerintah mengeluarkan
Ketetapan Presiden No. 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan
atau penodaan agama yang dikukuhkan oleh UU No. 5 Tahun 1969 tentang
pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-
Undang.4
Secara formal ada enam agama yang diakui di Indonesia, seperti dalam
Peraturan Presiden (Pepres) nomor 1 tahun 1965 (Setelah Keputusan Presiden No.
6 Tahun 2000) disebutkan:5
"Agama-agama yang dapat dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khongucu. lni tidak berarti bahwa
agama agama lain, rnisalnya yahudi, Zaratustrian, Shinto dan Taoisme
dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang
diberikan Pasal 29 ayat (2) UUD 45 dan mereka dibiarkan adanya, asal
tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini
atau peraturan perundangan lain".
3 Budiyono, Hubungan Negara Dan Agama Dalam Negara Pancasila, Fiat Justisia Jurnal
Ilmu Hukum Volume 8 No. 3, Fakultas Hukum Universitas Lampung, Juli-September 2014, hal.
Pada zaman orde baru yang berlangsung pada Maret 1966 hingga 1998,
masyarakat Indonesia diwajibkan memilih agama yang telah sah tentukan
pemerintah saat itu untuk dicantumkan pada kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP).6
Namun masalah timbul ketika pemerintah mengeluarkan aturan pembatasan
kegiataan salah satu agama yang telah diresmikan sebelumnya. Pemerintah Orde
Baru mengeluarkan Inpres No. 14 tahun 1967 yang menghendaki agar adat, budaya
dan kepercayaan yang bercirikan Cina dibatasi atau dipersempit ruang geraknya,
sehingga agama Khonghucu hanya dianggap sebagai kepercayaan saja sehingga
tidak diizinkan mencantumkan agama tersebut dalam kolom Kartu Tanda
Penduduk. Selain itu, pemerintah menghapus mata pelajaran agama Khonghucu
dalam kurikulum pendidikan Sekolah Dasar. Sehingga mengakibatkan kaum
pelajar Khonghucu pada tahun 1977 dipaksa mengikuti pelajaran pendidikan agama
lain demi memenuhi tuntunan kurikulum yang berlaku.7
Ng Swan Ti adalah fotografer keturunan Cina Khongucu yang besar pada
era orde baru. Sebagai keturunan Cina Khongucu yang besar pada orde baru, Ng
Swan Ti hidup di luar sekat agama yang disediakan pemerintah dan diamini
masyarakat8. Fotografer kelahiran Malang 1970 ini mencoba menyajikan foto cerita
berjudul Flores Revisited mengenai kegelisahannya dalam beragama di Indonesia.
Sejak kecil, Ng Swan Ti telah dikenalkan dengan berbagai agama. Ibunya beragama
Konguchu -yang dulu masih dilarang pemerintah- di sekolah, ia sempat belajar
islam dan katolik hingga akhirnya ia dibaptis ketika kuliah. Pengalaman pribadi
6 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”, (Yayasan
Jakarta Biennale, 2015) hal. 197. 7 Gunawan Saidi, Perkembangan Agama Khongchu di Indonesia (Study Kasus di
Masyarakat Cina Penganut Agama Khonghucu di Tangerang), hal. 6. 8 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”, hal 196.
4
sejak kecil menjadi bahan bakar yang menggerakan hasratnya untuk menciptakan
karya tersebut.9 Flores Revisited menjadi menarik bagi penulis, pasalnya Ng Swan
Ti mengajak pelihat foto (termasuk penulis) merasakan kegelisahan yang sama
dalam perjalanan atau proses hidupnya dalam beragama.
Flores Revisited hadir di tengah masyarakat dalam acara seni bergengsi dua
tahunan Jakarta Biennale yang bertema “Maju Kena, Mundur Kena: Bertindak
Sekarang” yang berlangsung di Gudang Sarinah pada 15 November 2015 hingga
17 Januari 2016.10 Pada umumnya 14 foto Ng Swan Ti yang tersaji dalam pameran
tersebut memperlihatkan kehidupan beragama masyarakat Larantuka, Flores saat
menyambut perayaan Hari Paskah atau Kenaikan Isa Almasih. Namun dibalik itu
semua tersirat persepsi dirinya dalam beragama.
Ng Swan Ti yang memang menyukai perjalanan seorang diri (seperti terlihat
dalam karya sebelumnya Ilusion), tetap membawa karakternya tersebut dalam
karya Flores Revisited. Terlihat secara samar-samar foto esai Flores Revisited
merupakan gambaran perjalanannya yang dapat dikatakan bukan perjalanan singkat
untuk memahami identitasnya sebagai katolik dengan mengikuti dan melihat
keberagamaan yang dilakukan masyarakat Larantuka Flores dalam menyambut hari
raya Paskah.11
Foto-foto karya Ng Swan Ti ini merupakan foto jurnalistik dalam bentuk
foto esai yang bertujuan untuk menyampaikan pendapat atau opini secara sekaligus,
fakta dan peristiwa hanyalah pelengkap saja.12 Foto esai bukan hanya melaporkan
9 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”, hal 197 10 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”, hal 6 11 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”, hal 197 12 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa, ( Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), hal. 70.
5
suatu gejala, peristiwa atau isu tertentu, ia juga mampu menganalisa suatu kejadian.
Foto esai adalah rangkaian argumen yang menyatakan sudut pandang tertentu dari
si fotografer.13 Dengan begitu foto esai memiliki sebuah cerita tersendiri, kerap kali
foto esai digunakan untuk bercerita, kritik, serta sarana bantu belajar.
Setelah melihat dan mengamati karya tersebut, penulis ingin masuk lebih
dalam untuk mengetahui dan menganalisis14 makna yang terkandung dalam foto-
foto yang Ng Swan Ti tampilkan. Karena foto dapat dianalisis, dapat dijabarkan dan
dapat memberikan pandangan baru yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Seperti
yang dikatakan Paul Messaris pada buku Kisah Mata karya Seno Gumira
Adjidarma, bahwa
“Gambar-gambar yang telah dihasilkan manusia termasuk hasil dari
fotogarfi dapat dipandang sebagai suatu keberaksaraan visual. Dengan
kata lain, gambar tersebut bisa dibaca karena merupakan bagian dari suatu
cara berbahasa. Jika dalam berbahasa bisa diandaikan sebagai produk
pikiran, sehingga tercipta wacana pengetahuan, maka demikian pula
halnya dengan penghadiran gambar-gambar.”15
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gambar-gambar atau foto sama
halnya dengan teks atau aksara dapat dibahas melalui makna-makna yang
terkandung dalam foto tersebut, karena semua yang ada dalam kehidupan kita
sebenarnya memiliki makna atau pesan yang ingin disampaikan.16
Untuk menganalisis karya foto yang berjudul Flores Revisited karya Ng
Swan Ti, penulis menggunakan pisau bedah analisis semiotika model Roland
13 Taufan Wijaya. Foto Jurnalistik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014), hal. 76. 14 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, analisis merupakan penyelidikan terhadap suatu
peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Seperti sebab musabab, duduk perkara dan
sebaginya. Dikutip dari Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indoensia, Kamus Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal 59. 15 Seno Gumira Ajidarma. Kisah Mata, Fotografi Antara Dua Subjek: Perbincangan
Tentang Ada, (Yogyakarta: Galang Press, 2002) hal. 26 16 Seno Gumira Ajidarma, Kisah Mata, Fotografi Antara Dua Subjek: Perbincangan
Tentang Ada, hal. 29.
6
Barthes melalui tiga tahap pemaknaan, yakni tahap denotasi, tahap konotasi, dan
tahap mitos.17 Dalam semiotika Roland Barthes, terdapat teori mengenai matinya
seorang pencipta, atau yang Barthes maksud Author dengan istilah The Death of the
Author. Menurut Barthes, sebuah karya -yang dalam hal ini adalah foto- telah lahir
dan hidup sendiri, menguatkan dirinya sendiri dalam pandangan para pelihat setelah
karya tersebut dilempar atau dipamerkan kepada khalayak, tanpa penjelasan apapun
dari sang pembuat.18 Oleh karena itu penulis hanya akan memfokuskan penelitian
pada karya foto yang telah dipublikasi oleh Ng Swan Ti dengan sudut pandang
pelihat foto atau penulis, sudut pandang fotografer hanya menjadi dasar dari
pemaknaan-pemaknaan yang akan ditampilkan oleh penulis.19 Meski, nantinya
penulis tetap akan melakukan wawancara dengan Ng Swanti mengenai karya
tersebut.
Dari latar belakang yang penulis paparkan di atas, maka penelitian ini diberi
judul: Keberagamaan Masyarakat Flores Modern (Studi Semiotika Makna
Esai Foto Jurnalistik Karya Ng Swan Ti Berjudul Flores Revisited Pada
Pameran Jakarta Biennale 2015).
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Penelitian ini difokuskan pada foto Jurnalistik esai karya Ng Swan Ti
dalam pameran Jakarta Biennale yang berjudul Flores Revisited pada tanggal
15 November 2015 – 17 januari 2016. Foto karya Ng Swan Ti tersebut bercerita
tentang kehidupan beragama masyarakat saat menyambut dan menjalani ritual-
17 Alex sobur. Semiotika Komunikasi,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya), hal 69. 18 Roland Barthes, Imaji Musik Teks, (Yogyakarta: Jalasutra, Anggota IKAPI,2010), hal. 145. 19 Roland Barthes, Imaji Musik Teks, hal. 145.
7
ritual keagamaan pada hari raya Paskah di Larantuka, Flores, Nusa Tenggara
Timur(NTT).20 Dalam penelitian ini penulis membatasi kajian sosial dan
beragama yang tergambar dalam foto melalui teori Emile Durkheim perihal
beragama. Penulis menduga masyarakat tersebut telah mengalami evolusi
dalam proses keagaamaan dan kebudayaan sehingga terjadi asimilasi dalam
sistem norma-norma sosial dan proses kegamaan di Larantuka, Flores, NTT.
Selain itu, berdasarkan latar belakang fotografer yang ingin memahami
identitasnya sebagai katolik penulis menduga adanya emosi keagamaan yang
terlibat dalam proses dokumentasi foto Flores Revisited. Sehingga tampaknya
fotografer juga mengalami proses beragama yang evolutive.
Penulis hanya mengambil empat dari 14 foto esai ini, karena menurut
penulis keempat foto tersebut sudah mewakili apa yang ingin disampaikan oleh
fotografer.
2. Rumusan Masalah
Keberagamaan merupakan sikap yang selalu tampak dari semua orang
dalam menjalankan aturan agama. Seperti halnya masyarakat Flores. Maka,
penulis ingin mengkaji representasi keberagamaan yang tertuang dalam foto
Flores Revisited karya Ng Swan Ti tersebut. Berikut pertanyaan umum
mengenai masalah tersebut:
a. Bagaimana makna denotasi dalam foto Flores Revisited, yang dipamerkan
pada ajang Jakarta Biennale 2015?
20 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”, (Yayasan
Jakarta Biennale,2015) hal 197.
8
b. Bagaimana makna konotasi pada foto Flores Revisited, yang dipamerkan
pada ajang Jakarta Biennale 2015?
c. Bagaimana makna mitos pada foto Flores Revisited, yang juga dipamerkan
pada ajang Jakarta Biennale 2015?
C. Tujuan Penelitian
1. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mendeskripsikan representasi makna foto mengenai
keberagamaan masyarakat modern atau proses perjalanan hidup dalam mencari
sebuah identitas beragama yang direpresentasikan pada keseharian warga di
Flores saat upacara keagamaan Paskah, melalui karya foto jurnalistik esai karya
Ng Swan Ti yang berjudul Flores Revisited.
2. Untuk mengetahui dan memahami proses keberagamaan melalui representasi
makna denotasi, konotasi, dan mitos dalam enam foto karya Ng Swan Ti
berjudul Flores Revisited yang juga dipamerkan dalam ajang Jakarta Biennale
2015.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah:
1. Manfaat Akademis
Memberikan sumbangsih ilmiah dalam kajian Semiotika Roland
Barthes, mengenai makna denotasi, konotasi dan mitos. Serta memberikan
pemahaman ilmiah dalam komunikasi antar agama dan budaya, juga
pemahaman ilmiah dalam kajian antropologi mengenai konsep perjalanan
keberagamaaan dalam setiap individu atau bermasyarakat. Penelitian ini
9
diharapkan dapat mempermudah dan membantu penelitian lain yang nantinya
bisa digunakan sebagai pedoman dalam melakukan sebuah penelitian khusunya
bagi mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat berupa wawasan
dan pengetahuan bagi peminat fotografi, fotografer kebudayaan, antropolog,
agmawan, psikolog, Mahasiswa/I Komunikasi Jurnalistik, dan Mahasiswa/I
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Metodelogi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Paradigma merupakan salah satu metode atau cara berfikir yang
digunakan penulis untuk melakukan penelitian baik itu pra maupun pasca
penelitian. Paradigma juga diperlukan agar penulis tidak kehilangan atau keluar
dari jalur cara berpikir penelitiannya.21
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis. Paradigma ini
menekankan bahwa realitas merupakan konstruksi sosial. Namun, kebenaran
suatu realitas sosial tersebut bersifat tidak mutlak, sesuai dengan konteks
spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.22 Penggunaan paradigma
konstruktivis dalam penelitian ini, untuk mengetahui konstruksi realitas dalam
menjalankan ritual keagamaan. Konstruksi yang dimaksud di sini bukan dari
metode penelitian, tempat dan waktu penelitian, subjek dan objek
penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data),
tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan yang mendasari
penelitian :
Keberagamaan Masyarakat Flores Modern (Studi Semiotika
Makna Esai Foto Jurnalistik Karya Ng Swan Ti Berjudul Flores
Revisited Pada Pameran Jakarta Biennale 2015).
BAB 2 : Membahas tentang keberagamaan masyarakat modern, Evolusi
agama, foto jurnalistik serta teori semiotika Roland Barthes.
BAB 3 : Pemaparan mengenai gambaran umum tentang Sejarah Flores,
tentang Pameran Jakarta Biennale 2015 dan Profil Ng Swan Ti
mengenai karya-karya yang telah di buat termasuk Flores Revisited.
BAB 4 : Pemaparan data analisis tentang foto Flores Revisited karya Ng
Swan Ti yang dipamerkan di Jakarta Biennale 2015 melalui
semiotika Roland Barthes serta pembahasannya.
16
BAB 5 : Merupakan tahap akhir dari skripsi yang berisi terkait dengan
kesimpulan dan saran.
17
17
BAB 2
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum Tentang Keberagamaan dan Masyarakat Modern
1. Konsep Keberagamaan
Agama merupakan suatu sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan
dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci, sehingga sebagai umat
beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan
kita melalui rutinitas beribadah serta mencapai rohani yang menyempurnakan
kesuciannya. Dengan kata lain agama adalah usaha yang dilakukan manusia
untuk mengenal dan menyembah tuhannya yang diyakini, dapat memberikan
kesejahterahan dan keselamatan hidup manusia. Hal tersebut akan didapat
dengan cara taat kepadanya dan melakukan berbagai ritual penyembahan
sebagai bukti bakti manusia kepada tuhannya.1
Dalam bukunya The Elementary From of Religious Life, Emile
Durkheim membagi unsur-unsur yang sangat penting yang menjadi syarat
sesuatu dapat disebut sebagai agama, yaitu praktek-praktek(upacara/ritual),
sistem kepercayaan, emosi keagamaan, umat penganut religi.
a. Upacara keagamaan/ritual yaitu Fenomena religi terbagi menjadi dua
kategori meliputi kepercayaan dan ritual. Kepercayaan merupakan sebuah
opini yang terdiri dari representasi. Sementara ritual merupakan sebuah
tindakan-tindakan tertentu. Diantara dua fenomena tersebut terdapat hal
yang membedakan antara pemikiran dan aksi.2 Dengan maksud
1 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, (The Free Press,1995), hal 35. 2 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 36.
18
kepercayaan hanya merupakan sebuah bentuk pemikiran untuk percaya
terhadap sesuatu yang diyakini, sedangkan ritual merupakan bentuk dari
tindakan yang merepresentasikan kepercayaan terhadap apa yang diyakini
yaitu agama.
Sebuah ritual dapat dibedakan dari praktik-praktik kemanusiaan
lainnya, sebagai contoh: Praktik moral hanya dari sifat murni objek-
objeknya. Layaknya ritual, aturan moral menetapkan cara kita berperilaku,
namun cara kita berperilaku merupakan objek dari hal-hal yang lain. Objek
dari ritual lah yang harus dicirikan jika kita ingin mencirikan ritual itu
sendiri. Sifat-sifat khusus dari objek tersebut diperlihatkan didalam
kepercayaan.3 Oleh sebab itu, hanya jika kita telah berhasil mendefinisikan
kepercayaan barulah kita dapat mendefinisikan ritual. Dengan kata lain
sebuah ritual akan terjadi atau terlaksana ketika manusia telah meyakini
satu hal atau percaya terhadap apa yang diyakini.
b. Sistem Kepercayaan adalah hal-hal yang mempresentasikan sifat-sifat dari
hal yang sakral berhubungan dengan hal sakral lainnya yang dianggap
tidak suci. Hal-hal sakral tersebut merupakan sesuatu yang terlindungi dan
terisolasi oleh batasan-batasan tertentu. Sedangkan hal yang tidak suci
merupakan hal-hal yang dilarang dan harus dipisahkan dari segala yang
dianggap sakral. Sesuatu yang dianggap sakral atau dapat dikatakan
sebagai aturan sebuah agama dalam menjalaninya harus dipisahkan dari
sesuatu yang dianggap tidak suci.4 Dengan kata lain seseorang yang
percaya terhadap agama yang ia yakini akan mendorong untuk melakukan
3 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 36. 4 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 38.
19
hal-hal yang dianggap sakral. Sebagai contoh, pada pandangan umat
muslim, beribadah merupakan suatu hal yang dianggap sakral namun
setelah melakukan ibadah tersebut ia berbuat sesuatu hal yang dianggap
tidak suci yaitu mengumbar kepada orang lain atas ibadah yang ia lakukan.
Hal tersebut tidak bisa beriringan dilakukan. Oleh karena itu pada sistem
kepercayaan yang disebutkan Emile Durkheim, bahwa keyakinan
seseorang dalam beragama merupakan hal yang teramat penting dalam
menjalankan sistem kepercayaan tersebut. Keyakinan beragama menurut
Emile Durkheim ialah sesuatu yang diakui dan dipercaya oleh sekumpulan
orang yang menjalani ritual yang sama. Tidak hanya diakui satu sama lain
tapi mereka juga memiliki rasa memiliki dan memersatukan hal (ritual,
kepercayaan) tersebut. Dan setiap orang merasa semakin menyatu dengan
yang lain karena mereka memiliki kepercayaan (iman) yang sama.5
c. Emosi keagamaan yaitu hal yang membuat seseorang melakukan tindakan-
tindakan bersifat religi. Dengan kata lain, masyarakat pada umumnya
memiliki pengaruh dalam pikiran seseorang, yang secara tak terelakan
memiliki segalanya yang dibutuhkan untuk membangkitkan rasa
ketuhanan mereka. Tuhan utamanya merupakan dzat yang manusia
hormati serta percayai memiliki kekuasaan atas diri mereka sebagai tempat
bergantung.6 Masyarakat mengharuskan kita menjadi pengikutnya,
melupakan segala kepentingan individual. Hal-hal tersebut menjadikan
kita subjek dari segala bentuk pengekangan, cobaan dan pengorbanan yang
mana tanpa hal tersebut segala kehidupan sosial akan mustahil tercipta.
5 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 38. 6 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 40.
20
Sebab itu, secara langsung kita tunduk pada aturan-aturan dalam bertindak
dan berfikir yang mana hal tersebut belum tentu merupakan hal kita buat
atau inginkan. Hal-hal ini kemudian terkadang bertolak belakang dengan
keinginan dan naluri dasar kita.7 Dalam hal ini seseorang yang memiliki
keyakinan-keyakinan dan percaya akan suatu agama dengan melakukan
praktek-praktek keagamaan seperti ritual akan memiliki perasaan-perasaan
mendalam akan dirinya sendiri yang akan membentuk sebuah pandangan
terhadap apa yang diyakininya.
d. Umat penganut religi yaitu sebuah masyarakat yang anggotanya bersatu
karena mereka melihat dunia yang sakral dan hubungannya dengan dunia
yang fana dengan cara yang sama, dan karena mereka menerjemahkan
representasi umum ini kedalam praktik yang sama (menjalankan ritual
yang sama). Dengan kata lain sekelompok atau seseorang yang menganut
sistem religi atau suatu sistem keyakinan.8
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pengetian agama dan unsur-
unsur yang dianggap penting dan menjadi syarat sesuatu dikatakan sebagai
agama oleh Emile Durkheim, dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah agama
perlu sikap atau tindakan dalam melakukannya. Dalam hal ini keberagamaan
seseorang dalam menjalankan sebuah agama perlu dipraktekan secara benar
dengan berbagai bentuk.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Keberagamaan berasal dari
kata agama, yang berartikan suatu sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah
7 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 40. 8 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 43.
21
yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta manusia dan
lingkungannya.9 Kata “agama” berasal dari Bahasa sansekerta agama yang
berarti “tradisi”. Terdapat juga dalam Bahasa latin religio yang berakar pada
kata kerja re-ligare yang berarti “mengikat erat”.10 Dengan demikian individu
yang beragama mengikat dirinya kepada yang diyakininya.
Berdasarkan pengertian di atas keberagamaan dari kata dasar Agama
yang berarti segenap kepercayaan kepada Tuhan, Beragama berarti memeluk
atau menjalankan agama. Dan keberagamaan adalah adanya kesadaran diri
individu dalam menjalankan suatu ajaran dari suatu agama yang dianut.11 Meski
berasal dari kata dasar yang sama dengan agama, namun dalam penggunaannya
istilah keberagamaan mempunyai makna yang berbeda dengan agama. Jika
agama menunjukan pada aspek formal yang berkaitan dengan aturan-aturan dan
kewajiban –kewajiban keberagamaan menunjuk pada aspek agama yang telah
dihayati oleh individu di dalam hati dengan kata lain seberapa jauh
pengetahuan, pelaksanaan dan penghayatan atas agama yang diyakininya.12
Oleh karena itu “agama”(religi) dan keberagamaan(religiousity) sedikit
berbeda.
Keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam sisi kehidupan
manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan
ritual(beribadah), tetapi juga melakukan aktivitas lain yang didorong oleh
9 Dewi S. Baharta. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Surabaya: Bintang Terang 1995)
diakses pada 3 maret 2017 10 https://id.wikipedia.org/wiki/Agama (diakses pada tanggal 3 maret 2017). 11 Abdullah, Taufiq, dan Rusli Kasim. Penelitian Agama Suatu Pengantar, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1989), hal 93. 12 Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan kreativitas dalam
perspektif psikologi islam, (Yogyakarta: Menara Kudus, 2002), hal 70-71.
karangan Sururin, Robert H. Thouless mengemukakan faktor-faktor yang
menghasilkan perilaku keberagamaan antara lain.18
a. Pengaruh-pengaruh sosial yaitu Faktor sosial mencakup semua pengaruh
sosial dalam perkembangan sikap keberagamaan, yaitu: seperti pendidikan
orang tua, tradisi-tradisi dan tekanan-tekanan lingkungan sosial untuk
menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh
lingkungan.
b. Berbagai Pengalaman yakni Pada umumnya anggapan bahwa adanya suatu
keindahan, keselarasan, dan kebaikan yang dirasakan dalam dunia nyata
memainkan peranan dalam pembentukan sifat keberagamaan
c. Kebutuhan yakni Faktor lain yang dianggap sebagai sumber keyakinan
agama adalah kebutuhan-kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi secara
sempurna, sehingga mengakibatkan terasa adanya kebutuhan akan kepuasan
agama. Kebutuhan tersebut dikategorikan menjadi empat bagian yaitu:
kebutuhan akan keselamatan, kebutuhan akan cinta, kebutuhan untuk
memperoleh harga diri dan kebutuhan akan adanya kehidupan dan
kematian.
d. Proses pemikiran yakni manusia adalah makhluk berfikir, salah satu akibat
dari pemikiran manusia bahwa ia membantu dirinya untuk menentukan
keyakinan-keyakinan mana yang harus diterima dan keyakinan yang harus
ditolak. Faktor tersebut merupakan faktor yang relevan untuk masa remaja,
karena bahwa pada masa remaja mulai kritis dalam menyikapi soal-soal
18 Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 79.
25
keagamaan, terutama bagi remaja yang mempunyai keyakinan secara sadar
dan bersikap terbuka.19
Manusia memiliki pola sikap terhadap bermacam-macam hal,
sedangkan pola sikap yang termasuk dalam keberagamaan misalnya:
“Bagi orang muslim yang benar-benar taat ia akan mengatakan
daging babi adalah haram, tidak disukai dan kotor, Mungkin sekali
seseorang yang betul-betul bersikap demikian dikatakan bahwa ia
sedang makan daging babi maka ia akan memuntahkan keluar apa yang
sedang ia makan, inilah salah satu contoh mengenai sikap
keberagamaan seseorang terhadap makanan tersebut yang dalam
pandangan agamanya bahwa itu haram”.20
Dengan demikian bahwa keberagamaan dalam setiap individu
mempunyai sikap-sikap tersendiri yang akan menguatkan jiwa seseorang dalam
keyakinannya terhadap agama yang dianut.
Sarwono menyebutkan, bahwa sikap (attitude) adalah istilah yang
mencerminkan rasa senang, tidak senang, atau perasaan biasa-biasa saja (netral)
dalam diri seseorang terhadap sesuatu. “Sesuatu” itu bisa benda, kejadian,
situasi, orang-orang atau kelompok. Sikap tersebut dinyatakan dalam tiga
dominan yaitu, Affect adalah perasaan yang timbul (senang atau tidak senang),
Behaviour adalah perilaku yang mengikuti perasaan itu (mendekat atau
menghindar), cognition adalah penilaian terhadap objek sikap (bagus atau tidak
bagus).21
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap
keberagamaan adalah sebagai berikut:
19 Sururin, Ilmu Jiwa Agama, hal. 81. 20 Ahmad Syaefudin Janu Arbain , Pengaruh Intensitas Mengikuti Bimbingan Agama Islam
Jumat Pagi Terhadap Tingkat Keberagamaan Penghuni Lokalisasi Karaoke. hal 36 21 Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: Rajawali Press,
2010), hal. 20.
26
a. Faktor internal yang dimaksud adalah faktor yang terdapat dalam diri
pribadi manusia itu yakni aktifitasnya sendiri, daya pilihnya sendiri, atau
minat perhatiannya untuk menerima atau mengolah pengaruh-pengaruh
yang datang dari luar dirinya.22
b. Faktor eksternal yang dimaksud adalah faktor yang datang dari luar individu
Dimana faktor ini biasa timbul melalui interaksi sosial maupun non sosial.23
Faktor eksternal tersebut dipengaruhi oleh:
1) Interaksi sosial interaksi sosial adalah hasil kebudayaan manusia yang
sampai melalui keluarga, masyarakat, dan lingkungan. Thouless
menambahkan bahwa:
“Tidak ada seorang pun yang dapat mengembangkan sikap-
sikap keagamaan kita dalam keadaan terisolasi dalam
masyarakat. Sejak masa kanak-kanak hingga masa tua kita
menerima perilaku dari apa yang mereka katakan pengaruh
terhadap sikap-sikap keagamaan kita”.24
Sedemikian penting faktor lingkungan sosial dalam pembentukan
sikap, maka selektifitas pergaulan sangat penting untuk diperhatikan,
karena kesalahan dalam pemilihan lingkungan sosial akan dapat
berakibat negatif bagi pembentukan sikap seseorang.
2) Interaksi non sosial adalah hasil kebudayaan manusia yang sampai
kepadanya melalui alat-alat komunikasi seperti surat kabar, radio,
televisi, buku, risalah dan lain-lain. Dengan demikian interaksi sosial
22 Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: PT. Refika Aditama, 1991), hal. 155. 23 Gerungan, Psikologi Sosial, hal.156. 24 Robert H Thouless, , Pengantar Psikologi Agama, (Jakarta: Rajawali Pers 1992 edisi
terjemah), hal. 37.
27
dan non sosial mempunyai peranan dalam rangka pembentukan sikap
dalam keberagamaan.25
Satu-satunya fungsi akal dalam pembentukan keyakinan-keyakinan
keagamaan tampaknya hanya rasionalisasi. Manusia adalah mahluk yang
berfikir dan salah satu akibat dari pemikiranya adalah bahwa ia membantu
dirinya untuk menentukan keyakinan-keyakinan yang mana yang harus
diterimanya dan yang mana pula yang harus ditolaknya. Dalam hal ini perilaku,
sikap, pengetahuannya terhadap agama akan sangat menentukan sikap
keberagamaan.26
Dengan demikian, beberapa konsep serta pandangan yang telah
dipaparkan, menurut penulis hakikat keberagamaan seseorang terletak pada
ikhtiar atau usahanya dalam mencari Tuhan dalam ragam keyakinan dan
peribadatannya. Dikarenakan seseorang pemeluk agama akan selalu memasuki
fase kesalehan baru dalam setiap rentang kehidupannya, sehingga dengan
berbagai fenomena yang akan terjadi setiap individu bertanggung jawab dengan
apa yang ia lakukan terhadap keyakinannya.27
2. Konsep Masyarakat Modern
Secara terminologi istilah masyarakat berasal dari kata bahasa arab yaitu
syaraka yang berarti ikut serta atau berpartisipasi. Sedangkan kata musyaraka
berarti “saling bergaul”. Adapun bahasa Arab untuk masyarakat adalah
mujtama, Sedangkan dalam bahsa Inggris istilah yang digunakan pada
25 Gerungan. 1991. Psikologi Sosial, hal. 156 26 Ahmad Syaefudin Janu Arbain, Pengaruh Intensitas Mengikuti Bimbingan Agama Islam
Jumat Pagi Terhadap Tingkat Keberagamaan Penghuni Lokalisasi Karaoke, hal 39. 27 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, (Ciputat: UINPress, 2014),
hal 32
28
masyarakat adalah society yang berasal dari kata latin yaitu socius, yang berarti
“kawan”.28
Koentjaraningrat mengartikan masyarakat sebagai istilah yang lazim
untuk menyebut kesatuan-kesatuan hidup manusia, baik dalam tulisan ilmiah
maupun dalam bahasa sehari-hari, dengan maksud secara etimologi masyarakat
adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat
istiadat tertentu yang bersifat continue yang terikat oleh suatu rasa identitas
bersama.29 Menurut definisi lain, masyarakat adalah sekumpulan manusia yang
saling bergaul, dalam istilah ilmiah adalah saling berinteraksi. Suatu kesatuan
manusia dapat mempunyai prasarana melalui warga-warganya dapat saling
berinteraksi.30
Sejarah kehidupan masyarakat sekarang ini telah memasuki apa yang
disebut dengan era modern. Istilah modern yang berarti “baru” dapat digunakan
sebagai istilah yang menyebut sesuatu terhadap perkembangan kehidupan
manusia yang sedang berlangsung saat ini, yaitu “zaman modern”. Secara
bahasa kata “modern” berasal dari bahasa Latin “modo” yang berarti “just
now” atau “yang kini”. Istilah ini seringkali dikaitkan dengan kehidupan yang
ditemukan dalam masyarakat Barat yang sudah mengalami industrialisasi dan
tingkat teknologi yang maju.31
28 https://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat (diakses pada tanggal 20 maret 2017) 29 Koentjaraningrat, Pengantar ilmu antroplogi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009) hal, 147-
148. 30 Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa
2008) 31 Arfan Gaffar, Modern dan Islam; Dua Kutub yang Bertentangan dalam Al-Qur’an dan
terjadi karena masuknya teknologi. Melalui teknologi tersebut akan sedikit
banyak membawa dampak yang progres bagi masyarakat, misalnya saja dengan
adanya modernisasi maka secara tidak langsung teknologi akan mudah diserap
oleh masyarakat, dan lebih cepat merubah pola pikir masyarakat.40 Dengan
deimikian modernisasi dirasa penting karena menyangkut dampak yang akan
terjadi dalam suatu masyarakat, baik positif maupun negatif.
Dari beberapa pernyataan yang telah dipaparkan, konsep masyarakat
modern telah mengubah perilaku masyarakat secara luas. Mulai dari berpikir
logis dan rasional hingga lebih peka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
dan tekhnologi. Di sisi lain konsep masyarakat modern juga telah mengubah
sikap masyarakat terhadap proses keagamaan.41 Masyarakat modern dipandang
sebagai masyarakat yang seakan-akan lupa terhadap nilai-nilai sakral agama.42
Manusia modern idealnya adalah manusia yang berfikir logis dan mampu
menggunakan berbagai teknologi untuk meningkatkan kualitas kehidupannya.
Dengan kecerdasan dan bantuan teknologi, manusia modern mestinya lebih
bijak dan arif, tetapi dalam kenyataannya banyak manusia moderen yang
kualitas kemanusiaannya lebih rendah dibandingkan dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dicapainya, sehingga melahirkan berbagai
macam problema dalam kehidupannya.
40 Yeni Ristiana, Pola Interaksi Masyarakat di Kampung Cyber RT. 36 RW. 09 Taman,
Kelurahan Patehan,Kecamatan Kraton, Yogyakarta, (Universitas Negeri Yogyakarta 2012), hal. 1. 41 Amin Rais, Tauhid Sosial : Formula Menggempur Kesenjangan, hal. 151-153 42 Ali Yafie, Teologi Sosial Telaah Kritis Persoalan Keagamaan Kemanusiaan, hal. 65.
33
B. Konsep Evolusi Agama
Dalam buku Sosiologi Agama yang ditulis Dadang Kahmad disebutkan
"tingkat perkembangan agama dan kepercayaan di suatu masyarakat dipengaruhi
oleh tingkat perkembangan peradaban masyarakat tersebut”.43 Pernyataan ini
secara eksplisit menunjukkan bahwa agama tumbuh dan berkembang sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan manusia yang secara langsung
mempengaruhi proses evolusi agama. Oleh karenanya, proses evolusi agama
sesungguhnya dimulai ketika manusia mengenal agama.44
Dadang mengatakan, tingkat paling dasar dari evolusi agama adalah ketika
manusia percaya bahwa makhluk-makhluk halus menempati alam sekeliling tempat
tinggal manusia. Pandangan ini dikemukakan oleh E. B Taylor sebagai tokoh yang
memperkenalkan "teori jiwa" sebagai salah satu teori asal mula manusia
beragama.45 Dalam teori ini disebutkan, agama yang paling awal datang bersamaan
dengan pertama kali manusia mengetahui bahwa dunia ini tidak hanya dihuni oleh
makhluk materi, tetapi juga makhluk immateri yang disebut jiwa (anima). E. B.
Taylor berpendapat, agama muncul dari kesadaran manusia akan adanya roh atau
jiwa, keyakinan ini disebutnya animisme.46
Masih menurut pandangan E. B. Taylor, evolusi agama pada tingkat
selanjutnya ditunjukkan dengan keyakinan bahwa gerak alam disebabkan oleh jiwa
yang ada di belakang pristiwa dan gejala alam tersebut. Tingkat kedua dari evolusi
agama ini disebut Taylor ialah polytheisme yang merupakan perkembangan dari
43 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Remadja Rosdakarya, 2006), hal. 24. 44 Dadang Kahmad – mengutip Koentjoroningrat, menyebutkan enam teori asal mula
agama, yaitu: teori jiwa, teori batas akal, teori krisis dalam hidup individu, teori kekuatan luar biasa,
teori sentiment masyarakat, dan teori wahyu Tuhan. 45 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, hal. 24-25. 46 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, hal 24-25.
34
pemujaan terhadap roh nenek moyang (manisme). Sementara tingkat terakhir dari
evolusi agama dalam pandangan Taylor lahir bersamaan dengan timbulnya susunan
kenegaraan di dalam masyarakat manusia.47 Taylor memandang, ketika muncul
susunan kenegaraan di masyarakat, muncul pula kepercayaan bahwa di alam
dewadewa juga terdapat susunan kenegaraan yang serupa dengan susunan
kenegaraan manusia. Susunan kenegaraan dewa semacam ini lambat laun
menimbulkan kesadaran baru dari keyakinan bahwa pada hakikatnya semua dewa-
dewa tersebut merupakan penjelmaan dari satu dewa yang tertinggi.48
Stephen K. Sanderson dalam buku Macrosociology mengatakan bahwa
kajian ilmiah tentang evolusi agama telah tertinggal jauh di belakang kajian
mengenai evolusi berbagai ciri kehidupan sosial-budaya lainnya.49 Namun
demikian, pada buku tersebut Sanderson tetap menyebutkan tokoh-tokoh seperti
Robert N. Bellah dan Wallace yang dipandangnya memiliki skema evolusi agama
dan cukup berharga untuk dikemukakan mengingat penelitian tentang masalah ini
kurang menjadi perhatian dan sangat sedikit dilakukan.
Robert N. Bellah (1927-2013) mengkonsepsi tentang evolusi agama yaitu
dalam upaya menjelaskan berbagai perubahan agama manusia akibat meningkatnya
perbedaan dan kompleksitas kelembagaan, sistem sosial atau satuan apapun yang
ada dalam masyarakat yang mampu mendorong kemampuan manusia melakukan
adaptasi dengan lingkungannya.50
47 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, hal. 24. 48 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, hal. 25. 49 Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 521. 50 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, (Ciputat: UINPress, 2014),
hal 41.
35
Skema evolusi agama yang diperkenalkan Bellah dibagi ke dalam lima
tahap, yaitu: primitif, purbakala, historis, modern awal, dan modern. Bellah
memandang agama primitif terisi dengan mitos dan makhluk spiritual, sementara
agama purbakala dikarakteristikan oleh munculnya dewa-dewa, padri-padri, ibadah
kurban, dan konsepsi tentang kerajaan Tuhan. Agama historis dipandang Bellah
sebagai agama-agama besar dunia yang timbul satu saat selama atau sesudah masa
seribu tahun (millenium) pertama sebelum Kristus. Agama modern awal dalam
pandangan Bellah timbul dengan adanya Reformasi Protestan yang meneruskan
pembedaan yang dilakukan agama-agama historis antara dunia sekular dan dunia
yang lain (spiritual, pen).51 Sedangkan pada tahap agama modern, Bellah meyakini
bahwa abada keduapuluh sedang mengalami timbulnya agama modern secara
gradual, ia memaknai agama modern sebagai suatu bentuk kehidupan keagamaan
di mana konsep-konsep dan ritual-ritual agama tradisional digantikan dengan
kekhawatiran etik humanistik dari berbagai hal yang sekuler. Pada tahap ini,
persoalan-persoalan tentang penderitaan akhir manusia semakin banyak dijawab
dalam arti yang nonteistik.52
Manusia modern tampaknya mulai tergoda dengan ungkapan “my mind is
my church”, atau “I am is a sect myself” atau ungkapan “ its my life” persetan
dengan kata masyarakat karena itu sistem sosial mengalami kelenturan mengikuti
kekauan doktrin (ortodoksi) dan kekakuan karaktorologi (kepribadian uritan). Dan
tentunya dikhawatrirkan kemungkinan kemungkinan lainnya konsekuensi dari
distorsi patologis dalam situasi masyarakat modern. Pertanyaan lanjutnya apakah
kepribadian dalam jati diri suatu bangsa dapat bertahan pada era masyarakat
51 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, hal 41-47. 52 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, hal 46.
36
modern, tetap terlembaga secara mantap dalam sistem sosial yang lebih luas.
Ataukah semua ini adalah bagian dari upaya menawarkan inovasi kreatif dari
tindakan manusia untuk menuguhkan kembali ukuran nilai nilai moral dan sistem
dalam bermasyarakat.53
Sementara itu, Wallace memandang agama suatu masyarakat sebagai
pranata pemujaan (cult institutions), yaitu seperangkat "spiritual yang semuanya
mempunyai tujuan umum yang sama, semuanya secara eksplisit dirasionalkan oleh
seperangkat kepercayaan yang serupa atau yang berkaitan, dan semuanya didukung
oleh kelompok sosial yang sama." Wallace mengidentifikasikan empat tipe agama
evolusioner yang didasarkan pada gabungan pranata-pranata pemujaan tersebut,
yaitu pertama, agama-agama shaman yang hanya terdiri dari pranata pemujaan
individual dan shamanik. Kedua, agama-agama komunal, yang mengandung
pranata pemujaan komunal, shamanik dan individualistik. Ketiga, gama-agama
Olympian, yang mengandung pranata pemujaan individual, shamanik dan komunal,
maupun pranata pemujaan eklesiastikal yang terorganisasi sekeliling rumah-rumah
pemujaan dewa-dea tinggi yang politeistik. Dan keempat, agama-agama
monoteistik, yang menganndung pranata pemujaan individualistik, shamanik, dan
komunal, sejalan dengan pranata pemujaan eklesiastikal yang terorganisasi sekitar
konsep suatu dewa tinggi tunggal.54
Studi mengenai evolusi agama (sebagaimana skema Wallace) selanjutnya
dapat dijelaskan pada tabel di bawah ini:55
53 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, hal. 46. 54 Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial,
hal. 524. 55 Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial,
hal. 526.
37
Tabel 1: Studi Evolusi Agama Wallace
Tipe Agama (Skema
Wallace)
Tingkat Teknologi
Khusus Masyarakat
Contoh
Shamanik: hanya ada
pranata pemujaan
individualistik dan
shamanik
Pemburu dan peramu Eskimo, Kung, Mbuti
dari Afrika Tengah
Komunal: terdapat
pranata pemujaan
individualistik,
shamanik, dan
kommunal
Hortikultur sederhana Masyarakat kepulauan
Trobriand, banyak
suku Indian Amerika
Utara
Olympian: terdapat
pranata pemujaan
individualistik,
shamanik, komunal,
daneklesiastik
politeistik
Hortikultur intensif
dan pertanian awal
Maya, Aztek, Inca,
Yunani dan Romawi
kuno, Kerajaan-
kerajaan Afrika
Monoteistik: terdapat
pranata pemujaan
individualistik,
shamanik, komunal,
dan eklesiastik
monoteistik
Agraris yang
kompleks dan industri
kontemporer
China dan India kuno,
Erop abad
pertengahan,
Kapitalisme Barat,
Jepang Kontemporer
Sumber: Buku Sosiologi Makro, Stephen K. Sanderson, 1995, hal 526
Pada evolusi agama yang akan dibahas dalam penelitian ini, penulis
memaparkan bagaimana terjadinya evolusi agama pada masrayakat Larantuka
Flores dalam melakukan ritual-ritual peribadatan. Evolusi agama yang terjadi pada
38
Masyarakat Larantuka Flores yang direpresentasikan melalui karya foto jurnalistik
berbentuk esai berjudul Flores Revisited. Penulis merasa konsep yang dipaparkan
Robert N Bellah pada tahapan kelima, yaitu zaman modern sangat tepat dengan apa
yang terjadi dalam kehidupan beragama masyarakat Flores saat itu.56 Percampuran
budaya dan agama yang dialami masyarakat Flores saat itu menjadi landasan
penting terhadap pola kehidupan beragama dan norma-norma sosial yang terjadi
hingga saat ini.
C. Fotografi Jurnalistik
Fotografi Jurnalistik adalah salah satu aliran fotografi yang lebih
mengutamakan realita dibandingkan dengan aliran lainnya. Dalam dunia
jurnalistik, foto menjadi hal yang paling penting untuk mewakili sebuah
pemberitaan atau informasi yang tidak dapat disampaikan hanya dengan sebuah
tulisan.57 Taufan menambahkan bahwa foto jurnalstik Sebagai produk jurnalistik
memang tak setua jurnalistik tulis. Ia berakar dari fotografi dokumenter setelah
teknik perekaman gambar secara realis ditemukan.58 Foto dikategorikan sebagai
foto jurnalistik saat foto itu terdapat nilai-nilai berita yang terkandung di dalamnya,
foto jurnalistik tidak harus bersifat kekerasan dan hal-hal berat lainnya, jika sebuah
foto sudah memiliki nilai berita bagi umum sesederhana apa pun foto tersebut sudah
bisa dikategorikan sebagai foto jurnalistik.59
Menurut Wilson Hicks foto jurnalistik adalah kombinasi dari kata dan
gambar yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi saat ada kesamaan antara
56 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, hal. 46. 57 Drs. Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik: Pendekatan Teori dan Praktek, (Jakarta: Logos
73http://www.1000kata.com/2014/07/sejarah-foto-jurnalistik/ (diakses pada Februari 2017) 74http://www.antarafoto.com/artikel/v1392441035/piramidaromantismekebuasanmanusia
(Diakses pada Februari 2017) 75 Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) adalah suatu lembaga pendidikan fotografi
dokumenter dan jurnalistik yang diadakan oleh Kantor Berita Antara setiap tahun sejak 1992. Untuk
info lengkap mengenai GFJA dapat dikunjungi di situs http://www.gfja.org/ atau Facebook resmi
2011), hal. 5. 95 Indiwan Seto Wahyu Wibowo Semiotika Komunikasi, hal. 5. 96 Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1996) dalam Indiwan Seto Wahyu Wibowo
“Semiotika Komunikasi” (Jakarta, Mitra Wacana Media,2011), hal. 6. 97 http://id.wikipedia.org/wiki/semiotika (diakses pada 20 februari 2017)
53
menyampaikan sebuah pesan atau informasi tertulis dari perilaku manusia yang
kemudian diterima sehingga maknanya akan lebih mudah di mengerti.
Dalam perkembangannya, semiotika mempunyai dua tokoh sentral yang
memiliki latar belakang berbeda, yaitu Charles Sanders Pierce dan Ferdinand
De Saussure. Saussure berpandangan bahwa semiotika merupakan sebuah
kajian yang memperlajari tentang tanda-tanda yang menjadi bagian dari
kehidupan sosial.98 Saussure memiliki latar belakang keilmuan linguistik. Ia
memandang tanda sebagai sesuatu yang dapat dimaknai dengan melihat
hubungan antara petanda dan penanda yang biasa disebut signifikasi. Dalam hal
ini Saussure menegaskan bahwa dalam memaknai sebuah tanda perlu adanya
kesepakatan sosial. Tanda-tanda tersebut berupa bunyi-bunyian dan gambar.99
Saussure juga menyebutkan objek yang dimaknai sebagai unsur tambahan
dalam proses penandaan. Contohnya, ketika orang menyebut kata “anjing”
dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan. Penanda
dan petanda yang dikemukakan Saussure merupakan sebuah kesatuan, tak dapat
dipisahkan, seperti dua sisi sebuah koin. Jadi Saussure lebih mengembangkan
bahasa dalam pandangan semiotikanya.
Sedangkan Pierce memandang bahwa semiotika merupakan sesuatu
yang berkaitan dengan logika.100 Logika mempelajari bagaimana manusia
bernalar yang menurut Pierce dapat dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-
tanda tersebut memungkinkan manusia dalam berpikir, berkomunikasi dengan
orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh kehidupan
98 Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010), hal. 4. 99 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hal. x 100 Kris Budiman, Semiotika Visual, (Yogyakarta: Penerbit Buku Baik, 2004), hal. 3.
54
manusia. Tanda yang dimaksud Pierce dapat berupa tanda visual yang bersifat
verbal maupun non-verbal. Selain itu dapat juga berupa lambang, contohnya
lampu merah yang mewakili sebuah larangan.101
Perbedaan kedua tokoh ini dalam mengkaji semiotika terlihat jelas
bagaimana sebuah tanda dapat dimaknai. Saussure mengkaji semiotika melalui
bahasa yang dituturkan oleh manusia. Sedangkan Pierce lebih kepada logika
atau cara berpikir manusia dalam melihat suatu tanda yang dapat dimaknai di
kehidupan sehari-hari102.
Terdapat tiga cabang penelitian (branches of inquiry) dalam semiotika,
yaitu sintatik, semantik, dan pragmatik. Pertama, sintatik merupakan suatu
cabang penyelidikan yang mengkaji tentang hubungan formal antara satu tanda
dengan tanda lain yang mengendalikan tuturan dan interpretasi. Kedua,
semantik yaitu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan
antara tanda dengan design objek-objek yang diacunya.103 Menurut Moris,
design yang dimaksud adalah makna tanda-tanda sebelum digunakan dalam
urutan tertentu. Ketiga, pragmatik adalah cabang penyelidikan semiotika yang
mempelajari hubungan antara tanda dengan interpretasi.104 Cabang yang
dikemukakan Moris tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain yang dapat
dimaknai sebagai tingkatan atau level. Ketiga cabang tersebut juga memiliki
spesifikasi kerja dan objek kajian tersendiri, sehingga apabila dipakai untuk
metode analisa akan menghasilkan “pembacaan” yang mendalam.
101 Indiwan Seto, Semiotika Komunikasi,(Jakarta ; Mitra Wacana Media, 2011), hal. 5. 102 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 35 103 Anthon Freedy Susanto, Semiotika Hukum dari Dekonstruksi Teks Menuju
Progresivitas Makna, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2005), hal. 26. 104 Anthon Freedy Susanto, Semiotika Hukum dari Dekonstruksi Teks Menuju
Progresivitas Makna, hal. 26.
55
Selain itu terdapat beberapa elemen penting dalam semiotik, yaitu
komponen tanda, aksis tanda, tingkatan tanda, dan relasi antar tanda.105
Komponen tanda yang merupakan komponen penting pertama dalam semiotik
memandang praktik sosial, politik, ekonomi, budaya, dan seni selain sebagai
fenomena bahasa, juga dapat dipandang sebagai tanda. Lalu, komponen penting
selanjutnya adalah aksis tanda, analisis tanda yang mengkombinasikan
pembendaharaan tanda atau kata dengan cara pemilihan dan pengkombinasian
tanda berdasarkan aturan atau kode tertentu, sehingga menghasilkan ekpresi
yang memiliki makna. Selanjutnya adalah tingkatan tanda. Dalam tingkatan
tanda yang dikembangkan oleh Roland Barthes ini terdapat dua tingkatan
lainnya, yaitu denotasi (makna sebenarnya) dan konotasi (makna tidak
sebenarnya). Terakhir adalah relasi tanda. Relasi atau hubungan tanda ini
terdapat dua bentuk interaksi, yaitu metafora dan metomimi.106
Studi semiotik dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tanda, kode, dan
kebudayaan. Tanda adalah kode adalah suatu medan asosiatif yang memiliki
gagasan-gagasan struktural. Kode ini merupakan beberapa jenis dari hal yang
sudah pernah dilihat, dibaca, dan dilakukan yang bersifat konstitutif bagi
penulisan yang dilakukan dunia ini.107
105 Anthon Freddy Susanto, Semiotika Hukum dari Dekonstruksi Teks Menuju
Progresivitas Makna, hal. 27-28. 106 Anthon Freddy Susanto, Semiotika Hukum dari Dekonstruksi Teks Menuju
Roland Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga kelas menengah
Protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne. Ayahnya seorang perwira
angkatan laut, meninggal dalam sebuah pertempuran di Laut Utara sebelum usia
genap mencapai satu tahun.108 Barthes mengembangkan pemaknaan tentang
semiotik atau yang ia sebut sémiologie yang juga masuk dalam pandangan
strukturalis.109
Barthes telah banyak menulis buku, yang beberapa diantaranya telah
menjadi bahan rujukan penting untuk studi semiotika di Indonesia. Semiotik
berusaha menggali hakikat sistem tanda yang beranjak ke luar kaidah tata
bahasa dan sintaksis dan yang mengatur arti teks yang rumit, tersembunyi, dan
bergantung pada kebudayaan. Hal ini kemudian menimbulkan perhatian pada
makna tambahan (connotative) dan arti penunjukan (denonative). Kaitan dan
kesan yang ditimbulkan dan diungkapkan melalui penggunaan dan kombinasi
tanda. Pelaksanaan hal itu dilakukan dengan mengakui adanya mitos.110
Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara
penanda dan petanda atau antara tanda dan rujukannya pada realitas yang
menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti.111
Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan
hubungan antara penanda dan petanda yang didalamnya beroperasi makna yang
tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai
108 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 63. 109 Roland Barthes, Petualangan Semiologi (terjemahan), hal. sampul belakang 110 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 65. 111 Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna
(Bandung: Jalasutra, 2003), hal. 261.
57
kemungkinan). Ia menciptakan makan-makna lapis kedua, yang terbentuk
ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis seperti perasaan,
emosi atau keyakinan.112
Model Barthes ini dikenal dengan signifikasi dua tahap (two way of
signification) seperti yang terlihat dalam gambar di bawah.
Tabel 2: Peta Tanda Roland Barthes113
1. Signifier
(Penanda)
2. Signified
(Petanda)
3. Denotative Sign (Tanda Denotatif)
4. CONNOTATIVE SIGN
(PENANDA KONOTATIF)
5. CONNOTATIVE SIGNIFIED
(PETANDA KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Sumber: Buku Semiotika Komunikasi, Alex Sobur, 2009, hal 69
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif
adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain hal tersebut merupakan
unsur material. Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki
makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang
melandasi keberadaanya.
Roland Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatannya,
yaitu makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos adalah cerita yang
112 Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika, hal. 261. 113 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 69.
58
digunakan untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas atau
alam. Bagi Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan
tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu.
Tidak ada mitos yang universal pada suatu kebudayaan. Mitos ini bersifat
dinamis. Mitos berubah dan beberapa diantaranya dapat berubah dengan cepat
guna memenuhi kebutuhan perubahan dan nilai-nilai kultural dimana mitos itu
sendiri menjadi bagian dari kebudayaan tersebut.
Konotasi dan mitos merupakan cara pokok tanda-tanda berfungsi
dalam tatanan kedua pertandaan, yakni tatanan tempat berlangsungnya
interkasi antara tanda dan pengguna / budayanya yang sangat aktif.114
Teori tentang mitos tersebut kemudian diterangkannya dengan
mengetengahkan konsep konotasi, yakni pengembangan segi signified
(petanda) oleh pemakai bahasa. Pada saat konotasi menjadi mantap, ia akan
menjadi mitos, dan ketika mitos menjadi mantap, ia akan menjadi ideologi.
Akibatnya, suatu makna tidak lagi dirasakan oleh masyarakat sebagai
hasil konotasi.115 Seperti pada gambar di bawah:
Gambar 1: Tatanan Penandaan Barthes116
114 John Fiske, Cultural and Communication Studies, (Yogyakarta: Jalasutra, 1990), hal.
121. 115 Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, (Jakarta: PT Serambi Ilmu,
2008), hal. 14. 116 Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, h. 22.
59
(Sumber: Semiotika Komunikasi, Benny H. Hoed, 2008, hal 22)
Dua tatanan pertandaan Barthes. Pada tatanan kedua, sistem tanda dari
tatanan pertama disisipkan ke dalam sistem nilai budaya.
Denotasi adalah penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan
apa yang terucap. Namun menurut Barthes, denotasi merupakan sistem
signifikasi tingkat pertama, yaitu apa yang digambarkan tanda terhadap
sebuah obyek.
Denotasi didapat dari pengamatan langsung dari tanda-tanda yang ada
yang menghasilkan makna nyata, makna yang sebenarnya hadir. Dalam hal
ini, digambarkan bahwa denotasi lebih menitik beratkan pada ketertutupan
makna.117 Sedangkan konotasi merupakan signifikasi tingkat kedua. Konotasi
merupakan penciptaan makna lapis kedua yang terbentuk ketika lambang
denotasi dikaitkan dengan aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau
keyakinan. Konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai
mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberi pembenaran nilai-
nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Karena pada
dasarnya penanda konotasi dibangun dari tanda-tanda dari sistem denotasi.118
Arthur Asa Berger mencoba membandingkan antara konotasi dan
denotasi sebagai berikut:
Tabel 3: Perbandingan antara Konotatif dan Denotatif119
KONOTASI DENOTASI
Pemakaian figure Literatur
Petanda Penanda
117 Fiske, Cultural and communication Studies, hal. 122. 118 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 71. 119 Berger Arthur Asa, Tehnik-tehnik Analisis Media (Yogyakarta: Universitas Atmajaya,
2000), hal. 55.
60
Kesimpulan Jelas
Memberi kesan tentang makna Menjabarkan
Dunia Mitos Dunia keberadaan / eksistensi
a. Menurut Barthes, citra pesan ikonik/iconic message (yang dapat kita lihat,
baik berupa adegan/scene, lanskep, atau realitas harfiah yang terekam)
dapat dibedakan lagi dalam dua tataran, yaitu.120 Pesan harfiah/pesan
ikonik tak berkode (non-coded iconic message), sebagai sebuah analogon
yang berada pada tataran denotasi citra yang berfungsi menaturalkan
pesan simbolik.
b. Pesan simbolik/pesan ikonik berkode (coded iconic message), sebagai
analogon yang berada pada tataran konotasi yang keberadaannya
didasarkan atas kode budaya tertentu atau familiaritas terhadap stereotip
tertentu. Pada tataran ini, Barthes mengemukakan enam prosedur
konotasi citra khususnya menyangkut fotografi untuk membangkitkan
konotasi dalam proses produksi foto menurut Roland Barthes. Prosedur-
prosedur tersebut terbagi dalam dua bagian besar, yaitu konotasi yang
diproduksi melalui modifikasi atau intervensi langsung terhadap realita
itu sendiri (Trick Effect, Pose, dan Object) dan konotasi yang diproduksi
melalui wilayah estetis foto (Photogenia, Aestheticism dan Syntax),
yaitu:121
1) Trick Effect, artinya memanipulasi gambar sampai tingkat yang
berlebihan untuk menyampaikan maksud pembuat berita.
120 Yuwono dan Christomy, Semiotika Budaya, (Depok: Universitas Indonesia, 2004), hal.
5) Aestheticism, yaitu format gambar atau estetika komposisi gambar
secara keseluruhan dan dapat menimbulkan makna konotasi.
6) Syntax, yaitu rangkaian cerita dari isi foto/gambar yang biasanya
berada pada caption (keterangan foto) dalam foto berita dan dapat
membatasi serta menimbulkan makna konotasi. Terdapat dua fungsi
caption yaitu, yang pertama berfungsi sebagai penambat /
pembatasan (anchorage) agar pokok pikiran dari pesan dapat dibatasi
sesuai dengan maksud penyampaiannya. Kemudian yang kedua
adalah berfungsi sebagai pemancar / percepatan (relay) agar langsung
dipahami maksud dari pesan yang disampaikan.123
John Fiske menjelaskan masalah denotasi dan konotasi dengan
122 Sunardi, Semiotika Negativa, hal. 174. 123 Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2012), hal. 128.
62
menggunakan contoh fotografi. Menurut Fiske, denotasi ialah apa yang difoto
yang memunculkan pertanyaan, “ini foto apa”, sedangkan konotasi adalah
“bagaimana ini bisa difoto?” Atau menitik beratkan pertanyaan, “mengapa
fotonya ditampilkan dengan cara seperti itu?”124 Atau dengan kata lain,
denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap objek, sedangkan
konotasi adalah bagaimana menggambarkannya.
Mitos menurut Roland Barthes, mitos bukanlah seperti apa yang kita
pahami selama ini. Mitos bukanlah sesuatu yang tidak masu akal, transenden,
ahistoris, dan irasional. Anggapan seperti itu, mulai sekarang hendaknya kita
kubur. Tetapi mitos menurut Roland Barthes adalah sebuah ilmu tentang
tanda. Menurut Barthes, mitos adalah type of specch (tipe wicara atau gaya
bicara) seseorang.125 Mitos digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang
tersimpan dalam dirinya. Orang mungkin tidak sadar ketika segala kebiasaan
dan tindakannya ternyata dapat dibaca orang lain. Dengan menggunakan
analisis mitos, kita dapat mengetahui makna-makna yang tersimpan dalam
sebuah bahasa atau benda (gambar). Roland Barthes pernah mengatakan “Apa
yang tidak kita katakan dengan lisan, sebenarnya tubuh kita sudah
mengatakannya”. Pernyataan itu mengindikasikan signifikansi bahasa
simbolik manusia. Dalam kehidupan ini, manusia selain dibekali kemampuan
berbahasa juga dibekali kemampuan interpretasi terhadap bahasa itu sendiri.
Bahasa, dalam hal ini, tidak hanya terfokus pada bahasa verbal atau bahasa
nonverbal manusia, tetapi juga pada bahasa-bahasa simbolik suatu benda
124 Fiske, Cultural and Communication Studies, hal. 48. 125 Alex Sobur, Analisis Teks Media, hal. 127.
63
(seperti gambar) atau gerakan-gerakan tertentu.126 Menurut Barthes, mitos
memiliki empat ciri, yaitu:127
a. Distorsif. Hubungan antara form dan concept bersifat distorsif dan
deformatif. Concept mendistorsi form sehingga makna pada sistem
tingkat pertama bukan lagi merupakan makna yang menunjuk pada fakta
yang sebenarnya.
b. Intensional. Mitos tidak ada begitu saja. Mitos sengaja diciptakan,
dikonstruksikan oleh budaya masyarakatnya dengan maksud tertentu.
c. Statement of fact. Mitos menaturalisasikan pesan sehingga kita
menerimanya sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan
lagi. Sesuatu yang terletak secara alami dalam nalar awam.
d. Motivasional. Menurut Barthes, bentuk mitos mengandung motivasi.
Mitos diciptakan dengan melakukan seleksi terhadap berbagai
kemungkinan konsep yang akan digunakan berdasarkan sistem semiotik
tingkat pertamanya.
Dalam penelitian ini, penulis merumuskan bagaimana pembacaan makna
evolusi agama dalam foto esai yang terdapat dalam pameran Jakarta Biennale
karya Ng Swan Ti yang berjudul Flores Revisited. Selanjutnya, untuk
menjelaskan hal tersebut, penulis menggunakan enam prosedur konotasi citra
yang dikemukakan Barthes, yakni meliputi trick effects, pose, objects (objek),
photogenia (fotogenia), aestheticism (estetisme), dan syntax (sintaksis).
126 Alex Sobur, Analisis Teks Media, hal. 128. 127 “Bedah Buku Belajar Membelah Mitos (Mitologi karya Roland Barthes),” Media
Indonesia, Minggu, 25 Maret 2007, hal. 4.
64
64
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. Tentang Sejarah Flores
Nama Pulau Flores berasal dari Bahasa Portugis "Cabo de Flores" yang
berarti "Tanjung Bunga". Nama ini awalnya diberikan oleh S. M. Cabot untuk
menyebut wilayah paling timur dari Pulau Flores.1 Nama ini kemudian dipakai
secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubenur Jenderal Hindia Belanda Hendrik
Brouwer. Lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969)
mengungkapkan bahwa nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa (yang artinya
Pulau Ular). Dari sudut Antropologi, istilah ini lebih bermanfaat karena
mengandung berbagai makna filosofis, kultural dan ritual masyarakat Flores.2
Kristianitas, khususnya Katolik, sudah dikenal penduduk Pulau Flores sejak
abad ke-16. Tahun 1556 Portugis tiba pertama kali di Solor. Tahun 1561 Uskup
Malaka mengirim empat misionaris Dominikan untuk mendirikan misi permanen
di sana. Tahun 1566 Pastor Antonio da Cruz membangun sebuah benteng di Solor
dan sebuah lembaga pendidikan untuk calon pendeta di dekat kota Larantuka.
Tahun 1577, sudah terdapat sekitar 50.000 orang Katolik di Flores.3 Kemudian
tahun 1641 terjadi migrasi besar-besaran penduduk Melayu Kristen ke Larantuka
karena Portugis ditaklukkan Belanda di Malaka. Sejak itulah kebanyakan penduduk
Flores mulai mengenal kristianitas. Penyebaran kristianitas dimulai dari Pulau
1 Yoseph Yapi Taum, Rasa Religiositas Flores: Sebuah Pengantar Ke Arah Inkulturasi
Musik Liturgi, Jurnal Sarasehan Oleh Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta, 2002. Hal, 1. 2 Yoseph Yapi Taum, Rasa Religiositas Flores: Sebuah Pengantar Ke Arah Inkulturasi
Musik Liturgi. Hal, 1. 3 Yoseph Yapi Taum, Rasa Religiositas Flores: Sebuah Pengantar Ke Arah Inkulturasi
Musik Liturgi. Hal 3.
65
Solor dan Larantuka di Flores Timur kemudian menyebar ke seluruh daratan Flores
dan Timor. Dengan demikian, berbeda dari penduduk di daerah-daerah lain di
Indonesia, mayoritas masyarakat Pulau Flores memeluk agama Katolik.4
Sebelum agama Katolik tiba di Flores, masyarakat di sana sudah mengenal
Tuhan yang Kuasa, yang disebut “Lera Wulan Tanah Ekan” atau Tuhan Langit dan
Bumi.5 Bukti masyarakat Flores sudah mengenal Tuhan sebelum Katolik datang
terlihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Flores. Misalnya, untuk landasan
masyarakat Flores bertindak benar dan jujur, mereka mempunyai semacam
wejangan seperti "Lera Wulan Tanah Ekan no-on matan" yang artinya Tuhan
mempunyai mata (untuk melihat), dengan maksud Tuhan mengetahui, ia maha tahu,
ia maha adil, dan ia akan bertindak adil. Kemudian jika ada kematian, masyarakat
Flores juga biasa berkata "Lera Wulan Tanah Ekan guti na-en" yang berarti Tuhan
mengambil pulang miliknya.6
Berdasarkan paparan di atas, meskipun kristianitas sudah dikenal sejak
permulaan abad ke-16, kehidupan keagamaan di Pulau Flores memiliki berbagai
kekhasan. Bagaimanapun, hidup beragama di Flores –sebagaimana juga di berbagai
daerah lainnya di Nusantara- sangat diwarnai oleh unsur-unsur kultural yaitu pola
tradisi asli warisan nenek-moyang.7
Di samping itu, unsur-unsur historis, yakni tradisi-tradisi luar yang masuk
melalui para misionaris turut berperan pula dalam kehidupan masyarakat. Kedua
4 Yoseph Yapi Taum, Rasa Religiositas Flores: Sebuah Pengantar Ke Arah Inkulturasi
Musik Liturgi. Hal,3. 5 https://m.tempo.co/read/news/2015/11/21/204720937/wisata-pantai-sejarah-flores-
memeluk-Katolik diakses pada 5 juli 2017 6 Yoseph Yapi Taum, Rasa Religiositas Flores: Sebuah Pengantar Ke Arah Inkulturasi
Musik Liturgi. Hal,3. 7 https://m.tempo.co/read/news/2015/11/21/204720937/wisata-pantai-sejarah-flores-
Jurnalistik Foto, hal 16. 9 Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal 41 10 Sunardi, Semiotika Negativa, hal. 165. 11 Menurut Emil Durkheim dalam bukunya The Elementary From Of Religious Life
mengatakan ketaatan adalah dimana seseorang yang secara batiniah mempunyai ketetapan untuk
80
c. Objek
Keseluruhan elemen yang ada dalam satu bingkai foto sebetulnya
dapat dikatakan sebagai objek foto. Namun terkait dengan objek dalam
membaca foto di sini, sebagaimana yang penulis jabarkan pada bab 2,
objek dapat dipahami sebagai benda-benda atau yang dikomposisikan
sedemekian rupa sehingga dapat diasosiasikan dengan ide-ide tertentu juga
merupakan point of interest(poi) atau pusat perhatian dalam foto.12
Di dalam foto pertama ini terdapat objek beberapa wanita paruh
baya. Namun fokus atau point of interest dalam foto tersebut terlihat pada
tampilan foreground atau tampak depan pada gambar, yaitu seorang wanita
yang mengenakan tenun ikat di kepala, pakaian modern berbalut corak
tradisional, serta memakai kalung keagamaan katolik yang ditandakan
dengan adanya Corpus Christi (tubuh kristus) pada lambang salib. Kalung
Rosario yang dikenakan pada objek wanita yang menjadi POI, menunjukan
makna konotasi bahwa dengan mengenakan kalung tersebut dapat
dikatakan sebagai katolik yang taat. Ketaatan yang tergambar dari
keseriusannya menjalankan ritual keagamaan. Selain itu, hal tersebut
dikarenakan dalam kalung rosario terdapat simbol bunda maria yang
diasumsikan sebagai simbol perempuan yang dihormati oleh umat katolik
lebih dari pada kudus lainnya. Jika dalam protestan tidak mempunyai
tradisi seperti itu, Maria hanyalah manusia biasa bukan orang suci sehingga
selalu menjalankan aturan yang telah ditentukan dalam ajaran agama dengan cara meningkatkan
frekuensi dan intensitas dalam beribadah. Khusuk ketika megerjakan kegiatan keagamaan adalah
salah satu dari indikator seorang dapat dikatakan taat kepada agamanya. Dikutip dari Karen E.
Fields, The Elementary From Of Religious Life, (The Free Pass,1995), hal 35. 12 Sunardi, Semiotika Negativa, hal. 167.
81
tidak ada penghormatan kepadanya seperti yang dilakukan oleh umat
katolik.13 Objek lainya penggunaan tenun yang diikatkan di kepala dan
pakaian bercorak atau bermotif menunjukan bahwa adanya unsur budaya
yang melekat pada masyarakat agama di Flores. Seperti yang dikatakan
Koentjaraningrat bahwa kebudayaan merupakan salah satu unsur yang
dimiliki oleh suatu masyarakat.14 Dengan demikian unsur budaya
merupakan ciri khas dari bangsa tertentu untuk mencirikan identitasnya,
dalam hal ini masyarakat Flores yang mengenakan kain tenun ikat juga
baju bercorak daerah saat acara keagamaan paskah di Larantuka, Flores.
d. Photoghenia
Dalam Photogenia, kita akan melihat foto dari segi teknik
pengambilannya. Pada pengambilan foto pertama ini menggunakan lensa
dengan diameter lebar pada focal length 10mm.15 biasanya pemilihan lensa
dengan diameter lebar dapat menimbulkan jarak antara fotografer dan
subyek yang difoto, namun dalam foto pertama terlihat fotogafer
memposisikan jarak yang dekat dengan subjek untuk mengambil foto
dalam ukuran medium shot. Dapat diketahui teknik ini mengambil gambar
dimana objek diambil secara lebih dekat untuk melihat gerakan
partisipannya, dan hubungannya dengan objek lain, serta lingkungannya.
medium shot menghasilkan kesan dramatis saat fotografer menangkap aksi
13 Linda Evirianti. Rosario Sana Perawan Maria:Pandangan Terhadap Simbol Doa
Rosario di Komunitas Seminarium Anging Mammiri Yogyakarta.( Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga, Yogyakarta 2014). Hal 5. 14 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta,Djambatan,1979) hal.
30. 15 Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti pada tanggal 5 Mei 2017 di Perpustakaan
Panna Institute, Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan.
82
atau gerakan objeknya16. Terlihat suasana dengan ekspresi yang natural
walaupun objek sangat dekat kepada fotografer dan kameranya. Dengan
begitu terlihat makna konotasi bahwa fotografer telah melakukan
pendekatan yang baik dengan subjek. Foto tersebut diambil dengan angle
atau sudut pandang eye level, di mana lensa kamera sejajar dengan objek
utama. Hal tersebut menunjukan bahwa fotografer ingin mensejajarkan
objek utama dengan pelihat foto. Berdasarkan pencahayaan yang terlihat
pada foto, penulis meyakini bahwa fotografer tidak menggunakan cahaya
tambahan seperti flash internal maupun eksternal pada kamera. Sebab
pencahayaan yang bersumber dari matahari dirasa sudah cukup menerangi
beberapa objek tersebut.17 Keadaan tersebut membuat fotografer dapat
menggunakan iso rendah, dengan kecepatan rana yang tinggi dan
diagfragma yang menyempit atau kecil menjadikan foto dengan detail yang
amat baik.
e. Aestheticism (estetika)
Komposisi merupakan susunan dari berbagai elemen atau objek
yang mempunyai dua sifat saling bertentangan, bisa “membangun” gambar
namun juga bisa mengacaukan gambar.18 Dalam foto pertama ini penulis
melihat adanya komposisi garis diagonal.19 Wanita paling belakang
(sebelah kiri dalam gambar) akan membentuk garis diagonal, jika ditarik
16 Kenneth Kobre, Photo Journalism: The Professionals Approach (Boston: Focal
Press,2004). Hal.13-16 17 Natural light atau pencahayaan matahari ialah pencahayaan yang menggunakan sinar
matahari sebagai sumber cahaya dalam pemotretan, fotografer harus benar benar memahami arah
datangnya sinar, teruntuk jika memotret objek manusia. Dilihat dari Ferry Darmawan, Dunia dalam
Bingkai,(Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009), hal.56. 18 Sunardi, Semiotika Negativa, hal. 168 19 Komposisi diagonal adalah komposisi fotografi yang objeknya terletak dari sudut gambar
sehingga terlihat membentuk silang pada gambar. Lihat Audy Mirza Alwi, hal. 50.
83
menggunakan garis imajiner sampai ke foto wanita paling depan (sebelah
kanan gambar). Sehingga menjelaskan bahwa wanita-wanita dalam foto
tersebut akan melangsungkan prosesi ritual keagamaan. Jika tergambar
dengan arah sebaliknya berarti wanita-wanita tersebut telah usai
melaksanakan prosesi keagamaan. Oleh karena itu komposisi diagonal ini
menggambarkan sebuah antrian untuk memasuki salah satu ritual
keagamaan.20 menunjukan makna konotasi bahwa beberapa wanita ini
bersabar dalam antrian dengan perlahan-perlahan melaju kedepan hanya
untuk menjalakan ajaran agama guna mencapai sebuah keinginan ataupun
mempertebal keyakinan yang mereka anut sejak kecil.
f. Sintaksis
Syntax merupakan pengamatan keseluruhan elemen dalam
penyajian suatu karya yang biasanya terdapat pada foto dan teks.21 Namun
dalam foto ini penulis tidak menemukan teks atau caption foto. Hanya saja
terdapat sebuah narasi yang secara garis besar meng gambarkan apa yang
telah ditangkap dan dimaksud oleh fotografer. Walaupun narasi tersebut
bukanlah ditujukan untuk menjelaskan secara literal apa yang ia maksud,
melainkan sisi lain sebab akibat atau latar belakang kenapa foto ini
dihasilkan. Oleh karena itu penulis lebih melihat susunan elemen yang
terdapat dalam foto pertama ini yang juga diperkuat dari hasil wawancara
fotografer yaitu sosok yang terlihat seperti pemimpin atau tokoh agama
sedang bersama umat beragama lainnya berbaris menunggu kapela tuan ma
20 Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti pada tanggal 5 Mei 2017 di Perpustakaan
Panna Institute, Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan. 21 Sunardi, Semiotika Negativa, hal. 168
84
dibuka untuk melaksanakan cium patung Tuan Ma (Bunda maria) yang
dibuka setahun sekali dihari kamis putih, bagian dari prosesi tradisi Paskah
Samana santa di Larantuka, Flores.22
3. Makna Mitos
Mitos yang tergambar dalam foto pertama ini ialah bagaimana budaya
hidup berdampingan dengan agama. tergambar dari objek foto wanita yang
menggunakan pakaian adat ketika melakukan prosesi keagamaan. Seringkali
budaya juga dibenturkan dengan agama. Namun nyatanya budaya dapat
berdampingan, bahkan mendukung dan dapat memperkaya prosesi keagamaan.
Budaya dalam pandangan antropologi sosial bisa diumpakan seperti sebuah
pakaian yang dipakai oleh sebuah masyarakat. Dalam kehidupan manusia,
agama dan budaya jelas tidak berdiri sendiri, keduanya memiliki hubungan
yang sangat erat dalam dialektikanya, selaras menciptakan dan kemudian saling
menegasikan.23
Tidak hanya itu, dalam foto ini juga terdapat kalung Rosario. Kalung
sering digunakan oleh masyarakat sebagai sebuah identitas. Dalam foto ini
identitas sebagai seorang Katolik ditunjukan dengan menggunakan kalung
Rosario, yang mana dalam kalung tersebut terdapat gambar bunda Maria di
dalam satu lingkaran dan Yesus yang tersalib. Mitos kalung Rosario juga
digunakan sebagai pembeda Katolik dengan Protestan. Jika pada Protestan,
22 Kapela Tuan Ma merupakan gereja yang terletak di kota Larantuka, Flores Timur, NTT.
Istilah kata Tuan Ma yang berartikan Bunda Maria merupakan sebuah patung yang berwujud Bunda
Maria atau Mater Dolorosa. Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti pada tanggal 5 Mei 2017 di
Perpustakaan Panna Institute, Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan. 23 Loade Montobauto, Persfektif Agama dan Kebudayaan dalam Kehidupan Masyarakat
Indonesia, Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Haluwoleo Kendari, Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial,
Volume 23, No. 2, Edisi Desember 2014, Hal,24.
85
kalung salib ditunjukan tanpa adanya gambar bunda Maria dan Yesus yang
tersalib.24 Selain itu, mitos yang berkembang di masyarakat beranggapan bahwa
kalung rosario atau kalung berlambang salib tersebut juga dapat mengusir atau
menjauhkan pribadi seseorang dari roh-roh jahat atau alam gaib.
Mitos lainnya yang terkandung dalam foto pertama ini adalah
bagaimana orangtua atau sesepuh berperan besar dalam prosesi keagamaan.
Mitos yang berkembang di masyarakat adalah orangtua atau sesepuh menjadi
pintu gerbang seseorang dan masyarakat dalam menjalani prosesi keagamaan.
Agama, sering kali menjadi pelajaran pertama yang diberikan orangtua kepada
anaknya, atau seperti sesepuh kepada orang yang lebih muda. Sehingga prosesi
keagamaan seorang anak sangat lekat dengan pengetahuan agama orangtuanya.
Jika orangtua sudah mempunyai pengetahuan agama yang baik, otomatis
anaknya akan mendapat pelajaran-pelajaran agama dari orangtuanya. Peran
orangtua sangat penting dalam membentuk perilaku dan kepribadian generasi
di bawahnya. Memberikan sosialiasi tentang ketaatan beragama, sehingga
generasi di bawahnya dapat mengetahui adanya norma dan nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat, kemudian dengan menanamkan nilai dan norma
tersebut, generasi di bawahnya dapat menerapkan nilai dan norma-norma
tersebut dalam bermasyarakat, itulah salah satu fungsi orangtua.25
Dengan demikian kesimpulan yang ditarik dari beberapa mitos yang
tergambar pada foto pertama ini ialah agama tidak mungkin masuk dalam ruang
24 Markus Hildebrandt Rambe, Penuntun Simbol-Simbol Ibadah Kristen,(Jurnal STT Intim
Makassar Edisi Khusus 2004) hal 26. 25 Nur Tiara Sinta, Peranan Orang Tua dalam Mensosialisasikan Nilai Agama Remaja
Muslim, Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau Pekanbaru. JOM
FISIP Vol.3 No.1-Februari 2016. Hal, 11.
86
hampa, agama hadir bersama dengan kebudayaan yang melatari tumbuhnya
agama.
B. Analisis Data Foto 2
Secara umum foto ini menggambarkan seseorang yang sedang melakukan
ritual/peribadatan yang terepresentasikan melalui simbol-simbol yang tergambar.
Untuk menguji dugaan awal tersebut, penulis akan memberikan analisa sebagai
berikut:
Gambar 2 . Foto Kedua
Sumber: File data Original Flores Revisited
1. Makna Denotasi
Dalam foto ini terlihat seorang perempuan mengenakan kerudung
berwarna biru sedang menunduk dengan tangan kanan di dada. Di depannya
87
terdapat tiga buah patung.26 Patung pertama nampak terlihat lelaki, sedangkan
yang kedua seorang perempuan dengan tudung dikepala, dan yang ketiga anak
kecil. Dalam foto ini terlihat pencahayaan yang amat minim.
2. Makna Konotasi
a. Trick Effect
Pada foto kedua ini juga tidak mengandung trick effect atau
mengubah keaslian foto saat dijepret dari kamera. Penulis meyakini tidak
ada elemen yang dihilangkan apalagi diganti atau digabungkan menjadi satu
dalam foto tersebut. Hal itu sangat jelas karena foto esai merupakan sebuah
karya fotografi sebagai suatu cerita dalam bentuk teks bahasa gambar yang
menampilkan suatu masalah lebih dari satu foto dengan bahasa visual yang
berkesinambungan antara foto yang satu dengan lainnya, sehingga lebih
memunculkan keutuhan cerita dan detail pada setiap gambarnya.27 Namun
penulis merasa sentuhan editing dalam batas yang normal dengan tujuan
mengatur kontras warna yang lebih baik juga dapat dilakukan pada foto 2
ini, dengan tujuan keindahan visual semata tanpa mengubah foto atau
gambar yang sebenarnya.
b. Pose
Pada foto kedua ini terlihat gesture seorang wanita yang sedang
menundukan kepala dengan sebelah tangan kanan di dada. Di depannya
26 Patung tersebut merupakan attribute keagamaan yang dikeluarkan saat berlangsungnya
tradisi arak-arakan patung Bunda Maria di sepanjang jalan kota Larantuka, Flores. Pada saat
berlangsungnya tradisi tersebut, rumah yang dilalui arak-arakan tersebut dianjurkan mengeluarkan
attribute keagamaan mereka dalam bentuk apapun. Hal tersebut dikatakan oleh fotografer dalam
Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti pada tanggal 5 Mei 2017 di Perpustakaan Panna Institute,
Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan. 27 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa, hal. 9.
88
terdapat sebuah patung yang merupakan simbol agama katolik.28 Sikap
tubuh yang menunduk tersebut menunjukan rasa berserah diri dan patuh.
Sementara tangan yang diletakkan di dada dapat berarti sebuah
penghormatan. Dengan maksud dalam foto kedua ini seseorang wanita yang
sudah berserah diri sekaligus memberikan penghormatan kepada sesuatu
yang dirasa lebih tinggi nilainya. Di sini, sesuatu yang dirasa lebih tinggi
nilainya yakni Tuhan Yesus, dimana Tuhan Yesus sendiri di wujudkan
dengan patung anak kecil yang terdapat di depan wanita tersebut.
Penulis melihat pose atau gesture tubuh pada foto kedua ini terdapat
keunikan. Terlihat adanya kesamaan pose yang ditampilkan oleh wanita
berkerudung dengan patung Bunda Maria yang juga mengenakan tudung
kepala. Mereka terlihat seolah olah melakukan hal yang sama dengan kepala
menunduk dan tangan yang seakan akan berada di dada. Tidak hanya itu,
secara keseluruhan visual, patung lainnya juga mengarahkan pandangannya
ke arah bawah. Hal tersebut dalam persepsi visual gestalt dikategorikan
sebagai Similarity (kesamaan bentuk) karena objek manusia dengan patung
tersebut terlihat seragam atau melakukan kegiatan yang sama.29
28 Patung tersebut ialah Bunda Maria, Yesus (saat masih kecil), dan Yossef. Bunda maria
sebagai "Bunda Allah," atau lebih harafiah lagi "Yang Melahirkan Allah." Makna Teologis yang
terkandung dalam gelar ini adalah bahwa putera Maria, Yesus, adalah sepenuhnya Allah dan
sepenuhnya manusia, dan bahwa dua sifat Yesus (Illahi dan insani) dipersatukan dalam satu Pribadi
tunggal. Yossef atau lebih tepatnya santo yussuf adalah suami maria yang akhirnya turut
mebesarkan putra roh kudus yang dilahirkan oleh maria. https://id.wikipedia.org/wiki/Maria,
diakses pada 29 mei 2017. 29 Teori gestalt merupakan sebuah istilah psikologi yang dikembangkan pada tahun 1920an.
Pada dasarnya Gestalt memandang atau memahami sebuah objek sebagai satu kesatuan. Otak
manusia secara otomatis dan tanpa sadar akan menyusun dan mengurutkan objek objek yang terlihat
oleh mata. Dalam fotografi, teori ini dipakai untuk menyusun beberapa elemen visual yang
tergambar menjadi satu kesatuan yang saling berhubungan.
http://psycnet.apa.org/journals/bul/138/6/1172/ diakses pada 29 mei 2017.
foto hanya menjadi elemen tambahan yang menjelaskan keberadaan patung
salib tersebut. Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis, patung salib
yang pecah sebagian bukan bagian dari prosesi keagamaan, fotografer
menemukan patung tersebut di salah satu kuburan yang tepatnya tidak jauh
dari prosesi keagamaan tersebut.65
Objek POI yang tergambar pada foto keempat ini merupakan simbol
ketuhanan agama Kristen terlihat pada salibnya, namun pada salib tersebut
terlihat pula sosok Yesus, yang jika terdapat sosok Yesus pada Salib lebih
tepatnya merupakan perlambangan dari agama Katolik. hal tersebut
dikarenakan masyarakat agama katolik mengganggap hal yang paling sakral
dan terpenting terjadi saat sosok Yesus di salibkan, lalu dibangkitkan
kembali. Bukan hanya saat ia dilahirkan saja.66 Oleh karena itu masyarakat
agama katolik terlihat ada sosok Yesus pada salibnya.
Pada foto keempat ini elemen-elemen yang tersaji dengan detail
sangatlah menarik, seperti kelopak bunga kamboja yang berwarna putih
bercampur kuning sebagian, menunjukan makna konotasi bahwa warna
putih dalam bunga tersebut melambangkan kesucian dan warna kuning yang
pada dasarnya mengartikan sebuah harapan namun dalam konteks ini
penulis memaknainya sebagai duka.67 Kelopak bunga kamboja berwarna
putih dengan bagian dalam kuning merupakan ciri kamboja asli yang
65 Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti pada tanggal 5 Mei 2017 di Perpustakaan
Panna Institute, Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan. 66 Markus Hildebrandt Rambe, Penuntun Simbol-Simbol Ibadah Kristen, hal 26. 67 Agnes Paulina Gunawan, Peranan Warna Dalam Karya Fotografi: Humaniora Vol.3
No.2,(Jurusan Desain Komunikasi Visual dan Multimedia, Universitas Bina Nusantara,2012),hal
547
109
terdapat di indonesia yang memiliki arti keabadaian ataupun kesetiaan.68
Elemen lainnya ialah detail paku dan sedikit goresan berwarna merah yang
seolah olah menyerupai darah terdapat pada telapak tangan patung salib
yesus menunjukan makna pengorbanan Yesus saat ia di salib dengan
merasakan sakitnya telapak tangan yang terpaku.
d. Photogenia
Pada foto ke empat fotografer mengambil sudut pandang high angle
dengan posisi kamera berada di atas objek. Diambil dengan lensa wide pada
focal length 19mm digital zoom sehingga foto diambil dalam ukuran Close-
Up. teknik ini lebih menekankan pada ekspresi objek atau bagian-bagian
kecil dari objek tersebut untuk menarik empati dari penikmat foto69. Foto
keempat ini diambil dengan ruang tajam luas sehingga detailnya sangat
jelas, seperti yang dikatakan sebelumnya pengambilan dengan ruang tajam
luas bertujuan agar objek-objek yang kecil dapat terlihat juga dengan jelas.
Terlihat pada sebuah paku kecil dan goresan darah yang menancap di salib
pada tangan kanan patung tersebut. Secara pencahayaan terlihat normal,
tidak under maupun over. Fotografer tidak menggunakan cahaya tambahan
seperti flash internal atau eksternal. Satu-satunya sumber cahaya yang ada
di foto keempat berasal dari cahaya matahari.70
68 Kamboja Indonesia di akses pada tanggal 2 Juni 2017 dilihat dari
https://id.m.wikipedia.org/wiki/kemboja. 69 Kenneth kobre. Photo Journalism: The Professionals Approach(Boston: Focal
Press,2004). Hal 13-16 70 Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti pada tanggal 5 Mei 2017 di Perpustakaan
Panna Institute, Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan.
Pada foto keempat ini subjek berada pada sebelah kanan foto, dalam
komposisi visual dikenal sebagai Rule of third dengan menempatkan objek
pada sudut foto.71 Fotografer mengambil langkah tersebut bertujuan untuk
memperlihatkan elemen penting lainnya seperti tangan Yesus yang terpaku
pada salib, jika objek berada tepat ditengah, tangan tersebut tidak akan
terlihat. Hal lainnya juga terdapat elemen visual yaitu garis imajiner,
terdapat pada salib yang membentang juga tangan Yesus yang terpaku
menuju kepala patung yang pecah tersebut. Dapat dikatakan secara
sederhana, foto dengan visual yang baik dapat didapatkan ketika menata
elemen elemen yang ada pada foto.72 Hal-hal yang dilakukan fotografer
dengan menata elemen-elemen yang ada selain untuk kebutuhan visual dan
estetika foto juga terdapat hal lain. Hal lain tersebut ialah pemaknaan dalam
foto. Dalam foto keempat ini penulis dihantaarkan untuk melihat sebuah
salib dengan patung yang pecah sebagian di kepala tersebut menandakan
sebagai bentuk penghayatan akan sebuah pengorbanan.
f. Syntax (sintaksis)
Syntax merupakan pengamatan keseluruhan elemen dalam
penyajian suatu karya yang biasanya terdapat pada foto dan teks.73 Namun
sama seperti foto-foto sebelumnya dalam foto ini penulis tidak menemukan
teks atau caption foto, hanya saja terdapat sebuah narasi yang secara garis
71 Komposisi foto dengan teknik Rule of Third, yaitu membagi foto menjadi 3 zona, melalui
3 garis vertikal dan 3 garis horizontal, sehingga menghasilkan 9 zona kotak imaginer. Dilihat dari
Ferry Darmawan, Dunia dalam Bingkai,(Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009), hal.76. 72 Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti pada tanggal 5 Mei 2017 di Perpustakaan
Panna Institute, Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan. 73 Sunardi, Semiotika Negativa, hal. 165.
111
besar menggambarkan apa yang telah ditangkap dan dimaksud oleh
fotografer. Oleh karena itu penulis lebih melihat pada beberapa elemen yang
terdapat dalam foto ini yang juga diperkuat dari hasil wawancara fotografer.
Dalam foto keempat ini fotografer ingin menampilkan sebuah emosi dalam
keberagamaan, hal tersebut dikarenakan adanya sebuah pertanyaan-
pertanyaan yang datang terhadap dirinya tentang agama yang ia yakini.
“Sejauh mana agama katolik? Saya ingin tahu lebih jauh tentang agama
itu”74 dan juga narasi yang tertulis menjelaskan bahwa adanya pergulatan
dalam sikap beragama, atau emosi dalam keberagamaan yang dilalui
fotografer. Sehingga sosok tuhan Yesus tersalib tersebut yang pada
dasarnya sebuah foto dengan penghayatan yang baik dengan sisi historikal
yang tinggi sedikit berubah dalam pemaknaannya. Pandangan fotografer
yang subjektif membuat foto termaknakan atau mencerminkan
pandangannya akan sebuah simbol agama. Hal tersebut terjadi pada
umumnya memiliki segi-segi motivasi dan emosi, artinya seorang dalam
membentuk sikap keberagamaan selalu mempunyai perasaan dan semangat
maupun dorongan untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai.75 Dan
seketika tujuan atau pengharapan yang tinggi tidak terjadi maka perasaan
perasaan keewa juga dapat hadir dalam benak seseorang hingga
menimbulkan ekspresi seperti pecahnya patung tersebut pada bagian muka
Yesus.
74 Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti pada tanggal 5 Mei 2017 di Perpustakaan
Panna Institute, Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan. 75 Abu Hamid, Psikologi Sosial, (Semarang: PT Bina Ilmu, 1979), hal. 53.
112
3. Makna Mitos
Mitos yang terbangun dalam foto keempat ini adalah Tuhan dalam
agama Kristen digambarkan pada sosok Yesus Kristus. Umat kristiani
mengenal penggambaran sosok Yesus sebagai satu Allah dengan tiga pribadi
yaitu Allah bapa yang menciptakan, yang menjelma dalam Allah putera, dan
hadir dalam spirit Allah roh kudus.76
Hal lainnya yang membangun mitos pada foto keempat adalah peristiwa
penyaliban Yesus. Agama Kristen sangat mengistimewakan peristiwa
penyaliban Yesus, karena dasar dari keimanan mereka dibangun di atas
peristiwa (mitos) tersebut. Masyarakat Kristen percaya peristiwa tersebut
adalah simbol pengorbanan Yesus untuk umatnya. Pengorbanan dalam hal ini
adalah ketika Yesus disalib, umat Kristiani akan diampuni dosanya.77
Masyarakat agama kristiani mengenangnya dengan hari Paskah. Hal-hal
tersebut sangat diyakini khususnya pada masyarakat agama katolik. Seperti
yang diakatakan penulis sebelumnya bahwa simbol yang merupakan identitas
dari agama katolik ialah salib dengan corpusnya atau terdapat sosok Tuhan
Yesus. Berbeda dengan protestan yang hanya menggunakan simbol salibnya
saja.78 Di Indonesia sendiri, khusunya masyarakat Flores yang mayoritas
memeluk agama katolik, dalam penyambutan hari Paskah merupakan
penyambutan yang sangat istimewa karena berisikan penghayatan, kemuliaan,
76 Dwi Retno Palupi, Analisis Tanda Visual Kesucian Melalui Pendekatan Semiotik: Studi
Kasus Kartu Imlek, Natal Dan Idul Fitri, Wimba, Jurnal Komunikasi Visual & Multimedia. Vol.3
No.1 Tahun 2011. Hal.27 77 Nirma Riyanti, Pengaruh Perarakan Lilin Dalam Ekaristi Bunda Maria Terhadap Umat
Islam Desa Panjang Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang, (Fakultas Ushuluddin IAIN
Walisongo, Semarang 2012). Hal, 22 78 Markus Hildebrandt Rambe, Penuntun Simbol-Simbol Ibadah Kristen (Jurnal STT Intim
Makassar Edisi Khusus 2004) hal 26.
113
ketaatan ketika bisa menjalankan atau mengikuti hari Paskah dengan banyaknya
ritual keagamaan selama 5 hari berturut-turut.79
E. Pembahasan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan penulis melalui analisis
semiotika Roland Barthes dengan tahap denotasi, konotasi, mitos. Penulis akan
melakukan pembahasan berdasarkan pada rujukan berbagai teori yang digunakan,
dimana di dalamnya ditentukan suatu kepastian mengenai aspek teori dan
kesesuaian/ ketidaksesuaian dengan fakta hasil penelitian di lapangan dimana
peneliti juga membuat suatu analisis serta interpretasi/membuat tafsiran atas
tampilan data secara deskriptif sesuai dengan permasalahan penelitian yang penulis
paparkan.
Pembahasan mengacu kepada keberagamaan yang dilakukan masyarakat
Larantuka, Flores dalam menyambut dan menjalani sebuah prosesi keagamaan
yang dilakukan setiap setahun sekali yaitu Hari Raya Paskah. Dari ke 4 (empat) foto
yang telah dianalisis penulis, secara umum foto-foto tersebut telah menggambarkan
adanya keberagamaan yang dilakukan masyarakat Flores. Seperti ritual,
peribadatan, dan simbol-simbol ketuhanan agama Katolik. Masyarakat Flores
melakukan berdasarkan adanya sebuah keyakinan atau system yang terbentuk oleh
agama. Hal ini diperkuat oleh Emile Durkheim dalam bukunya The Elementary
From of Religious Life yang mengatakan bahwa agama merupakan suatu sistem
terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal
yang suci, sehingga sebagai umat beragama akan semaksimal mungkin berusaha
79 Wawancara langsung dengan Ng Swan Ti pada tanggal 5 Mei 2017 di Perpustakaan
Panna Institute, Jalan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan.
114
untuk terus meningkatkan keimanannya melalui rutinitas beribadah serta mencapai
rohani yang menyempurnakan kesuciannya.80 Dengan kata lain, melalui praktik-
praktik atau ritual keagamaan tersebut, seseorang akan dapat lebih meyakini bahwa
adanya sebuah hal suci yang perlu dilakukan dalam keberagamaan seseorang untuk
mencapai fase kesalehan dan keimanan seseorang terhadap Tuhannya.81
Seperti yang terlihat pada foto pertama, yaitu sekelompok masyarakat yang
sedang menunggu prosesi keagamaan untuk mencium patung Tuan Ma (Bunda
Maria) dalam teori Durkheim dapat dikatakan sebagai Umat penganut religi yaitu
sebuah masyarakat yang anggotanya bersatu secara komunal. Sekelompok orang
melihat dunia yang sakral dan hubungannya dengan dunia yang fana dengan cara
yang sama. Mereka menerjemahkan representasi umum ini kedalam praktik ritual
yang sama.82
Pada foto kedua terdapat seseorang yang melakukan penghormatan kepada
simbol-simbol yang diyakini sebagai suatu hal yang suci. Dalam hal ini Durkheim
menyebutkannya sebagai sistem kepercayaan, yaitu suatu keyakinan yang
dipercaya dan membuat sekelompok atau seseorang menjalankan apa yang
diyakininya.83
Pada foto ketiga terlihat adanya sebuah ritual ziarah makam yang pada foto
tersebut ditampilkan beberapa lilin juga attribute lainnya berada di atas sebuah
makam. Dalam hal ini Durkheim menyebutnya sebagai Ritual/upacara keagamaan,
yaitu bentuk dari tindakan yang merepresentasikan kepercayaan terhadap apa yang
80 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, (The Free Press,1995), hal 35. 81 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, (Ciputat: UINPress, 2014),
hal 32 82 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 35. 83 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 35.
115
diyakininya. Dengan kata lain sebuah ritual akan terjadi atau terlaksana ketika
manusia telah meyakini satu hal atau percaya terhadap apa yang diyakini.84
Pada foto keempat terlihat simbol ketuhanan agama katolik, namun dalam
keadaan yang pecah sebagian, berdasarkan analisis penulis melihat adanya
kesedihan, dimana patung yesus tersebut menggambarkan saat yesus disalib. Dalam
hal ini Durkheim menyebutnya sebagai emosi keagamaan yaitu hal-hal yang
membuat sekelompok atau seseorang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat
religi.85
Selain hal itu, dari keempat foto yang telah dianalisis penulis melihat adanya
keberagamaan masyarakat modern yang terintegrasi dengan budaya lokal atau
dengan kata lain budaya lokal dan budaya barat yang bercampur akan membentuk
sebuah tatanan masyarakat yang baru menjadikan agama Katolik bercirikan budaya
Flores. Seperti pada ritual keagamaannya menggunakan ornament seperti lilin,
patung, confetti, bunga, tenun ikat, dan pakaian yang mencirikan budaya lokal
Flores. Dalam hal ini penulis melihat adanya konsep agama yang evolutive terjadi
pada keberagamaan masyarakat Flores dari tradisional menjadi masyarakat modern
menuju percampuran. Berdasarkan hal tersebut Robert N Bellah merumuskan
skema tahapan perkembangan keagamaan yang terjadi pada masyarakat beragama
larantuka, Flores yaitu dimulai pada tahap primitive. Pada tahap ini dicirikan
dengan adanya mistis dan struktur organisasi keagamaan yang cair.86 Dalam hal ini
masyarakat agama di Flores menggunakan simbol-simbol lokal seperti tenun ikat,
baju daerah, dan bunga.
84 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 35. 85 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 35. 86 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, hal 42
116
Pada tahap kedua yaitu Historis, tahapan historis ini manusia sudah
menemukan realitas kehidupan secara universal atau dengan kata lain pada tahapan
historis ini manusia telah mengenal nilai religiusitas tertinggi. Pada tahapan ini
dicirikan munculnya persaudaran atas nama agama, peralihan sisitem
kemasyarakatan yang signifikan, adanya elit religious-kultural.87 Dalam hal ini
ditujukan saat munculnya agama nasrani di Flores yang dibawa bangsa portugis
pada abad ke-16. Pada proses ini agama nasrani mengirim empat misionaris
Dominikan untuk mendirikan misi permanen di sana yaitu menyebarkan agama
nasrani dan merubah kepercayaan-kepercayaan lokal yang ada sehingga saat ini
menjadikan masyarakat Larantuka, Flores dengan pemeluk agama Nasrani terbesar
di Indonesia.
Pada tahap ketiga ialah tahapan modern, yaitu terjadinya proses
rasionalisasi secara massif dengan kata lain adanya pemikiran-pemikiran bahwa
pada akhirnya manusia sendirilah yang pada akhirnya bertanggung jawab atas
simbolisme keyakinannya. Dengan kata lain melemahnya doktrin agama dalam
mengikat individu dan sistem sosial, sistem simbol sebagai sesuatu yang profan,
serta adanya rasionalisasi ajaran dan sistem kepercayaan.88 Dalam hal ini
ditunjukan adanya percampuran yang terjadi antara kepercayaan dan budaya lokal
terhadap agama nasrani. Seperti yang terlihat adanya lilin, confetti bersamaan
dengan bunga-bunga saat ziarah makam, dan umat beragama yang memakai
attribute daerah dalam menjalankan prosesi keagamaan.
Dengan demikian, dari keseluruhan pembahasan yang telah dipaparkan di
atas, penulis menarik kesimpulan bahwa keempat teori yang dipaparkan oleh Emile
87 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, hal 42-43 88 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, hal 46
117
Durkheim membuktikan bahwasanya dalam foto jurnalistik esai karya Ng Swan Ti
menggambarkan adanya keberagamaan yang dilakukan masyarakat Flores dalam
menjalankan ajaran atau aturan-aturan dalam sebuah keyakinan yaitu agama. Selain
itu juga tergambarkan adanya konse p evolusi dalam keberagamaan yang dilalui
masyarakat Larantuka, Flores tersebut meliputi tahapan Primitif (agama dan
simbol-simbol lokal), historis (masuknya Nasrani), dan Modern yakni,
percampuran antara agama dan budaya (Nasrani dan kepercayaan atau kebudayaan
lokal).
118
118
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan analisis berdasarkan analisi data dan pembahsan
terhadap foto Flores Revisited dalam pameran Jakarta Biennale karya Ng Swan Ti
pada bab IV. Selanjutnya penulis akan memberikan kesimpulan dari analisis
tersebut pada bab lima ini. Berikut kesimpulan dari penulis:
1. Tahap Denotasi
Denotasi pada dasarnya adalah cara memahami suatu objek dalam foto
hanya berdasarkan apa yang terlihat oleh pandangan mata saja, dengan kata lain
makna sebenarnya dapat diasumsikan serupa oleh orang banyak ketika melihat
foto tersebut. Maka berdasarkan pengertian di atas makna denotasi yang
terdapat di dalam empat foto Flores Revisited karya Ng Swan Ti adalah ciri
keberagamaan masyarakat agama Larantuka, Flores dalam menyambut dan
menjalani ritual Paskah yaitu menggunakan baju adat, tenun ikat kepala,
kerudung, kalung rosario, lilin, confetti, bunga-bunga dan patung-patung agama
yang diyakini sebagai simbol agama Katolik.
2. Tahap Konotasi
Konotasi adalah cara memandang suatu objek dalam foto dengan arti
yang tidak sebenarnya, dengan maksud pelihat foto dapat mengartikan gambar
tersebut sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman dirinya sendiri, sehingga
ketika pelihat memahami sebuah objek dalam tahap konotasi ini isi pesan yang
119
berusaha disampaikan oleh fotografer belum tentu sama dengan yang diartikan
oleh orang lain.
Makna konotasi dari empat foto yang telah diteliti memiliki pengertian
yang tidak sama. Pada foto pertama makna konotasi yang terkandung adalah
ketaatan dalam beragama, hal tersebut dapat dilihat dari barisan wanita yang
enggan berteduh meskipun cuaca sedang terik demi mengikuti prosesi
keagamaan. Pada foto kedua makna konotasi yang terkandung adalah
khidmadnya atau kekhusyukan umat beragama dalam beribadah hal ini dapat
diperhatikan dari pose seorang wanita yang membungkuk disebelah patung
yang menjadi simbol agama katolik. Dalam foto ketiga makna konotasi yang
terdapat di dalamnya adalah penghormatan terhadap yang telah tiada dapat
dilihat melalui tradisi ziarah makam yang didalamnya berisi taburan
bunga/kembang dan lilin yang menyala merupakan sosok Yesus yang
mengartikan bahwa sosok Yesus merupakan penerang untuk umat manusia.
Pada foto keempat makna konotasi yang dapat diartikan adalah rasa duka dan
pengorbanan terlihat dari patung Yesus yang disalib telah pecah dari bagian
dada hingga kepala, dengan adanya bunga kamboja terdapat disisi patung
tersebut.
3. Tahap Mitos
Tahap Mitos merupakan tahapan lanjutan dari tahapan sebelumnya,
yaitu tahap denotasi dan tahap konotasi. Mitos merupakan gambaran yang telah
disepakati oleh sebagian atau sekelompok masyarakat yang mempercayainya,
dengan kata lain mitos lahir karena adanya pesan konotasi yang lalu dipercaya
oleh banyak orang dalam suatu wilayah atau budaya tertentu.
120
Foto pertama menjelaskan bahwa agama dan budaya dapat dipraktekkan
secara berdampingan, dengan kata lain agama tidak mungkin masuk dalam
ruang hampa, agama hadir bersama dengan kebudayaan yang melatari
tumbuhnya agama, dalam hal ini kebudayaan masyarakat Flores. Foto kedua
merupakan penggambaran tentang Tuhan pada agama Katolik. Foto ketiga
menggambarkan sebuah tradisi yang terus berangsur dilakukan turun temurun
saat adanya sebuah upacara keagamaan dan ritual peribadatan. Pada foto
keempat menjelaskan tentang penggambaran kisah atau keajadian yang dialami
Yesus yang merupakan kejadian yang selalu dikenang dan dimuliakan oleh
agama Kristen dan Katolik. Keempat indikator tersebut mencerminkan bahwa
Flores Revisited menggambarkan keberagamaan masyarakat modern Flores
dalam menjalani tradisi agama yang telah dilakukan dalam kurun waktu yang
panjang. Selain itu merupakan gambaran tentang proses evolusi masyarakat
Flores, khususnya desa Larantuka dari tradisional ke modern lalu menuju
percampuran. Modern yang dimaksudkan ialah percampuran dari budaya lokal
dan budaya barat sehingga masrayakat Larantuka, Flores saat ini terlihat sebagai
masyarakat Katolik atau Nasrani yang bercirikan budaya lokal Flores.
B. Saran
Fotografi sebagai salah satu bentuk komunikasi yang disampaikan
melalui visual juga mempunyai visi yang sama dengan bentuk komunikasi yang
lainnya, yakni memengaruhi persepsi orang lain yang kita sebut sebagai
audiens, penglihat ataupun penikmat foto. Hal ini jelas terlihat bahwa fotografi
tidak hanya hadir sebagai suatu pesan yang hanya dilihat sebagai apa yang
tampak saja, melainkan mempunyai punyai pesan yang terkandung di
121
dalamnya, tergantung dari pengetahuan dan pengalaman pelihat foto, dan lalu
hal tersebut akan menjadi suatu mitos jika telah dipercayai oleh banyak orang
atau sekumpulan masyarakat, seperti yang ungkapkan oleh Roland Barthes
dalam teori analisis Semiotika.
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, ada beberapa hal yang
dapat menjadi saran baik kepada khususnya Program Studi Konsentrasi
Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, segenap akademisi Fakultas Ilmu
Dakwah dan Komunikasi, serta bagi para peminat fotografi khususnya yang
menekuni foto jurnalistik, yaitu:
1. Bagi Program studi Konsentrasi Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Sejauh ini, fotografi mempunyai peran penting dalam dunia
jurnalistik. Selain dikarenakan pada umumnya manusia lebih tertarik dan
mudah mengingat saat mereka melihat visual/gambar ketimbang tulisan, hal
lainnya ialah Karena fotografi disebut sebagai alat perekam dan penghadir
ulang kenyataan yang paling ampuh seperti layaknya memberhentikan
waktu ketika shutter pada kamera ditekan. Seiring berkembangnya zaman,
saat ini fotografi tampil semakin baik untuk berkomunikasi dan semakin
diminati keberadaanya oleh masyarakat dengan berbagai tujuan. Oleh
karena itu penulis menyarankan agar Program Studi Jurnalistik, Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta benar-benar
memperhatikan mata kuliah fotografi yang ada. Seperti menambahkan hal-
hal yang mendukung mata kuliah fotografi tersebut yaitu adanya mata
kuliah pendukung seperti pemahaman visual agar, literasi atau bahan bacaan
yang ditambahkan di perpustakaan, dan sarana yang meliputi output
122
pameran dan katalog atau produk jurnalistik lainnya. Dengan adanya hal-
hal tersebut dimaksudkan agar Jurnalistik UIN Jakarta dapat membuat
produk-produk jurnalistik yang baik dan terampil.
2. Bagi akademisi Fakultas komunikasi, khususnya Program Studi Jurnalistik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengingat banyaknya penelitian yang
menggunakan analisis semiotika atau semiologi di Fakultas Ilmu Dakwah
dan Komunikasi, agar metodologi tersebut mendapat perhatian yang lebih
besar, sehingga mampu menghadirkan hipotesa dan teori baru yang lebih
berkembang dan kajian yang lebih mendalam guna memperkaya khasanah
keilmuan khususnya ilmu komunikasi. Dengan memahami secara baik
kajian tentang semiotika ini akan membuat hasil penelitian yang baik secara
kontekstual.
3. Bagi peminat fotografi khususnya mahasiswa komunikasi, metode
semiotika dapat berperan sebagai kamus bahasa visual yang merupakan
diluar bahasa yang dikenal secara konvensional baik secara verbal maupun
nonverbal, untuk itu metode tersebut patut didalami agar seorang fotografer
dapat mengerti bagaimana suatu kesan dapat terbentuk, hingga dapat
memanfaatkannya secara fungsional ketika ingin mengungkapkan suatu
pesan, khususnya dalam medium visual.
123
123
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani. Sosiologi, Skematika, Teori, dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara,
1994.
Abdullah, Taufiq dan Rusli Kaslim. Penelitian Agama Suatu Pengantar.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989.
Ajidarma, Seno Gumira. Kisah Mata, Fotografi Antara Dua Subjek : Perbincangan
Tentang Ada. Yogyakarta: Galang Press, 2002.
Baharta, Dewi S. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya: Bintang Terang, 1995.
Barthes, Roland. Imaji Musik Teks. Yogyakarta: Jalasutra, Anggota IKAPI, 2010.