1 Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di Kawasan Asia Timur Dewa Ayu Putu Eva Wishanti 1 Abstract East Asian economic characteristics that involve the role of the state as well as the development of the industry, has been relatively creates confidence in the market so that the flow of capital, goods, and services began to lead to the region since the late 20th century. The excess of the advance of China as the new political economic power is also growing wider market in Southeast Asia. The emergence of China as the dominant country in the world political economy are not purely derived from the ability of domestic governance, but also factor disclosure strategy in East Asian economies led by the extractive industry transformation towards manufacturing industry. This expansion translates into core industry sectors in East Asia. This article is intended as a preliminary study on the degree of China's industrial sector expansion in East Asia, as well as identifying the internal factors in the expansion of China's influence. By using the approach as well as the extended behavioralism regionalism as a tool of analysis , this article finds that China is a state actor who is more emphasis on manufacturing and trade sectors of consumer goods as a strategy into an economic hegemon in its own region , formerly controlled by Japan. Keywords; China, East Asia, economic expansion, industrial economy regionalism Pendahuluan Kebangkitan ekonomi China merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Hal tersebut secara khusus tercermin dari kebutuhan China akan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebagai penanda kebangkitannya. Pada abad ke-20, China mulai mengalami berbagai revolusi yang membuat stabilitas ekonomi domestiknya bergejolak, sehingga China melalui kepemimpinan sentralistiknya berupaya memodernisasi perekonomiannya dan menghasilkan kebijakan yang pragmatis. Pada masa pasca pemerintahan Mao Zedong, China mulai tumbuh sebagai kekuatan ekonomi yang terbuka bagi kerja sama internasional. Pada masa pemerintahan Deng Xiaoping setelahnya, keterbukaan ini semakin longgar, utamanya untuk merekonstruksi krisis ekonomi yang disebabkan oleh isolasi Penulis adalah Staf Pengajar pada Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya
21
Embed
Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi
Internasional di Kawasan Asia Timur
Dewa Ayu Putu Eva Wishanti1
Abstract
East Asian economic characteristics that involve the role of the state as well as
the development of the industry, has been relatively creates confidence in the market so
that the flow of capital, goods, and services began to lead to the region since the late
20th century. The excess of the advance of China as the new political economic power
is also growing wider market in Southeast Asia. The emergence of China as the
dominant country in the world political economy are not purely derived from the ability
of domestic governance, but also factor disclosure strategy in East Asian economies led
by the extractive industry transformation towards manufacturing industry. This
expansion translates into core industry sectors in East Asia.
This article is intended as a preliminary study on the degree of China's
industrial sector expansion in East Asia, as well as identifying the internal factors in the
expansion of China's influence. By using the approach as well as the extended
behavioralism regionalism as a tool of analysis , this article finds that China is a state
actor who is more emphasis on manufacturing and trade sectors of consumer goods as
a strategy into an economic hegemon in its own region , formerly controlled by Japan.
Keywords; China, East Asia, economic expansion, industrial economy
regionalism
Pendahuluan
Kebangkitan ekonomi China merupakan hal yang menarik untuk dikaji.
Hal tersebut secara khusus tercermin dari kebutuhan China akan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi sebagai penanda kebangkitannya. Pada abad ke-20, China
mulai mengalami berbagai revolusi yang membuat stabilitas ekonomi
domestiknya bergejolak, sehingga China melalui kepemimpinan sentralistiknya
berupaya memodernisasi perekonomiannya dan menghasilkan kebijakan yang
pragmatis. Pada masa pasca pemerintahan Mao Zedong, China mulai tumbuh
sebagai kekuatan ekonomi yang terbuka bagi kerja sama internasional. Pada
masa pemerintahan Deng Xiaoping setelahnya, keterbukaan ini semakin longgar,
utamanya untuk merekonstruksi krisis ekonomi yang disebabkan oleh isolasi
Penulis adalah Staf Pengajar pada Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya
2
perdagangan pada masa Mao. Keterbukaan ini juga disertai dengan perlahan
masuknya unsur demokrasi dalam tata kelola hubungan internasionalnya.
Pada abad-21, keterbukaan ini semakin menjurus pada tujuan kebijakan
ekonomi politik internasional China yang ekspansif dan hegemonik. Hu Jintao
mewujudkan tujuan ini dengan mencanangkan The Peaceful Rise of China,
yakni kebangkitan China yang damai, pada 22 Desember 2005 dalam dokumen
China Peaceful Development Road (yang dikenal dengan istilah heping fazhan
dalam bahasa Mandarin). Oleh Amerika Serikat (AS), dalam dokumen tersebut
China dipersepsikan memiliki lima strategi untuk meraih keunggulan ekonomi
dalam kerangka pembangunan (The State Council Information Office, 2006 : 1-
2), yakni a) Pembangunan yang berkedamaian merupakan cara yang tidak
terhindarkan dalam menuju modernisasi China; b) mempromosikan perdamaian
dan pembangunan dunia seiring dengan pertumbuhan China sendiri; c) reformasi
dan inovasi dalam pencarian keuntungan bersama dan pembangunan umum
dengan negara-negara lain; d) pengembangan dengan bergantung pada kekuatan
sendiri; serta e) membangun dunia yang harmonis dalam perdamaian yang
berkesinambungan dan kesejahteraan bersama.
China juga mulai memasuki era perdagangan multilateral setelah
memasuki World Trade Organization (WTO) secara resmi pada tahun 2005. Hal
ini merupakan manuver penting bagi China, karena China secara penuh telah
menerapkan prinsip-prinsip ekonomi pasar. Namun pada praktiknya, China
ditengarai tengah membangun keunggulan untuk menyaingi kekuatan ekonomi
AS.
Lini pertama untuk membangun persaingan itu ialah di kawasan Asia
Timur, karena secara geopolitis menguntungkan bagi China, akumulasi modal
AS yang cukup besar di kawasan tersebut, dan juga faktor beberapa negara
penting yang menjadi aliansi AS. Untuk itu China berusaha mendefinisikan
ulang tentang identitas Asia Timur seiring pula dengan kepentingan
ekonominya. Hal ini tercermin dari upaya-upaya China untuk menjadi pemimpin
dalam kerja sama ekonomi regional di Asia Timur pada abad ke-21 yang akan
dijabarkan selanjutnya dalam artikel ini.
3
Terdapat tiga karakteristik yang patut diperhatikan di Asia Timur
(Yoshimatsu, 2008 : 8-9) menyebutkan, yakni a) politik great power yang
mengkonstruksi kerangka kerja dinamika regional di Asia Timur, yang
sebelumnya didirikan oleh AS melalui perang Pasifik; b) negara-negara besar
Asia Timur memiliki ketahanan yang kuat terhadap kedaulatannya masing-
masing dalam ranah sosial budaya, sehingga menghambat terbentuknya identitas
regional (Pempel, 2005 : 257 dalam Yoshimatsu, 2008); serta c) superioritas
negara dalam mengontrol masyarakat dan komunitas di dalamnya. Hal yang
tersirat dari karakteristik tersebut ialah bahwa Asia Timur merupakan suatu
kawasan yang memiliki relasi langsung dengan kepentingan AS, dan hubungan
tersebut difasilitasi oleh negara. Implikasi dari karakteristik tersebut secara
langsung dari segi globalisasi ekonomi ialah pertumbuhan pasar uang dan
transaksi keuangan yang secara simultan juga memberi dampak pada
restrukturisasi produksi transnasional dalam skala global. Bagi negara, akan
sangat menguntungkan apabila dapat memanfaatkan kedekatan geografis dengan
negara-negara besar di sekitarnya, karena akan mengurangi biaya perdagangan
dan pembangunan. Namun tidak selalu demikian dengan aliansi politik yang
relatif sulit dibangun, khususnya karena faktor karakteristik yang telah dibahas
sebelumnya. Untuk itu, sangat wajar jika China memiliki beberapa strategi
integrasi ekonomi yang memberi warna politik baru dalam pembentukan Asia
Timur dari kacamatanya sendiri sebagai suatu cara untuk mempromosikan
kebangkitan China ini.
Urgensi Kepemimpinan China di Asia Timur
Asia Timur merupakan kawasan yang sangat luas secara geografis dan
beragam secara demografis dan ideologis. Definisi mengenai kawasan Asia
Timur sangat beragam, baik secara geografis maupun definisi sosial politiknya.
Terdapat beberapa pemahaman mengenai kewilayahan Asia Timur dalam artikel
ini; yakni hanya China, Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan; hingga perluasan
area yang juga melingkupi wilayah Rusia bagian timur, Korea Utara, dan Asia
Tenggara dalam ASEAN +3. Artikel ini menggunakan pemahaman yang disebut
terakhir, karena kedekatan hubungan geo-ekonomi dengan wilayah
4
sekelilingnya. Terlebih lagi, konsep tersebut akan membuka kerja sama ekonomi
yang lebih bervariasi.
Terdapat beberapa peluang strategi kerja sama ekonomi yang telah
terbangun sebelumnya di Asia Timur. Peluang-peluang ini juga mencerminkan
opsi-opsi politik yang memiliki konsekuensi bagi sektor ekonomi. Pasca Perang
Dingin, kerja sama ekonomi Asia Timur banyak diwarnai dengan kerangka
regionalisme. Regionalisme tersebut terbangun dalam konteks bahwa
keberadaan negara tertentu berperan sebagai inti dari kerjasama yang masih
mengarahkan strategi pembangunan yang berbasis pada negara pemegang posisi
terkuat sebagai pengendali (Grimes, 2009 : 107).
Terdapat beberapa pendapat mengenai konsep Asia Timur, misalnya
sejatinya konsep Asia Timur sebagai suatu kawasan merupakan pemikiran yang
relatif baru, demikian juga dengan kepemimpinan di kawasan tersebut. Konsep
East Asia Economic Caucus (EAEC) yang dicetuskan Mahathir Mohammad
pada era 1990-an, Perdana Menteri Malaysia ketika itu, gagal dalam realisasi
(Terada, 2003 : 255-256) .
EAEC mengarahkan kerja sama ekonomi Asia Timur yang dimotori oleh
Jepang, karena Jepang sebagai negara anggota G7 dan negara dengan kekuatan
ekonomi terbesar kedua di dunia. Karena orientasi politik luar negerinya yang
koheren dengan AS, usulan Mahathir menjadi tidak berjalan, walaupun Malaysia
sangat membutuhkan tampilnya Jepang karena kesamaan orientasi kebijakan
ekonomi kedua negara. Jepang juga enggan untuk kembali memimpin secara
politik atau militer di Asia Timur, utamanya karena faktor sejarah Perang Pasifik
yang secara politis tidak akan menguntungkan bagi Jepang. Jepang banyak
mengarahkan kepentingannya dalam sektor ekonomi dan teknologi inovasi.
Integrasi Asia Timur harus dimulai dengan menganggap bahwa Asia
Timur adalah sebuah pabrik Factory Asia, yang setiap sub-wilayahnya berfungsi
baik sehingga menghasilkan produk yang bermutu. Namun Asia Timur
menghadapi kerentanan dalam pandangan tersebut, jika meninjau beberapa
faktor (Baldwin, 2008 : 449-478) yakni, (a) daya saing tiap negara yang hanya
akan meningkat jika perdagangan intra-regional di Asia Timur juga meningkat;
(b) masing-masing negara tidak dapat memotong tarif perdagangan secara
5
unilateral karena terikat dengan peraturan WTO; (c) tidak hadirnya sebuah
manajemen tingkat atas selain dalam kerangka WTO, yang nantinya dapat
mencegah konflik perdagangan menyebar ke seluruh kawasan.
Gagasan mengenai ASEAN+3 tersusun berdasarkan konteks tatanan
resistensi tehadap resiko krisis. ASEAN+3 diharap mampu menjadikan dirinya
wadah bagi pertukaran budaya, bisnis, dan bahkan praktik diplomasi ekonomi
dan diplomasi komersial. Pasca krisis Asia 1997-1998, Chiang Mai Initiatives
(CMI) muncul sebagai alternatif menghadapi gelombang krisis yang mungkin
akan menyerang kembali, dalam kerangka kerja ASEAN+3 tahun 2000. Kerja
sama ini baru diperbarui menjadi Chiang Mai International Initiatives (CMII)
pada 2010 (Peterson Institute of International Economics, 2011). CMI adalah
usulan kerja sama currency swap atau pertukaran mata uang dalam konteks
finansial, terutama mengenai cadangan devisa suatu negara. Jika mata uang
suatu negara sedang lemah karena krisis, maka mekanisme konversi mata uang
dalam cadangan devisa ini menjadi pilihan yang bijak untuk tidak mengurangi
kuantitas nilai cadangan devisa. Melalui salah satu contoh tersebut, masalah
finansial merupakan masalah makro-ekonomi yang tak terhindarkan lagi untuk
dipertimbangkan kala menghadapi krisis.
Terdapat wacana pembentukan East Asian Economic Community
(EAEC), yang sekiranya diprediksikan akan terjadi pada tahun 2050. Kerangka
East Asian Economic Caucus terdahulu yang hanya berbasiskan negara-negara
Asia Timur, lebih menguntungkan bagi negara-negara kecil. Pasalnya, jika harus
membentuk sebuah kerja sama regional, bentuk East Asian Cooperation akan
lebih diutamakan, karena lebih bernuansa “Asia” daripada “Pasifik” yang
diusung oleh APEC. Karena agenda liberalisasi ekonomi yang dikemukakannya,
tentu akan berujung pada pembukaan pasar bebas yang luas. Sementara jika AS
dan Kanada juga telah tergabung dalam North American Free Trade Area
(NAFTA) yang telah mantap sebagai suatu pasar bebas regional. Hal tersebut
akan mungkin menjadikan posisi tawar negara Asia Timur lain menjadi
tersubordinasi.
Keempat peluang tersebut merupakan peluang bagi China untuk
mengembangkan dominasi di Asia Timur, karena secara perlahan China menjadi
6
tolok ukur kebijakan luar negeri sektor ekonomi di kawasan. Uni Eropa (UE)
dan AS diramalkan akan tetap menjadi pasar terbesar, namun China akan
mampu mengimbangi Jerman pada dekade berikut dalam gross domestic
products (GDP) nominal nya. Salah satu indikator GDP ialah kemampuan suatu
negara meraup keuntungan perdagangan.Grafik di bawah ini merupakan
cerminan perkembangan GDP pada 2020.
Grafik 1. Prediksi Pembagian GDP Nominal Dunia tahun 2020
Sumber : WEO, 2007 dan Winters & Yusuf, 2007 dalam Baldwin & Carpenter, 2008
Dalam sektor keamanan regional, China masih terbelenggu beberapa
konflik teritorial yang cukup mengakar dengan negara-negara tetangganya,
namun melihat beberapa peluang di atas, China tetap berdiri sebagai entitas yang
masuk dalam perhitungan utama. China harus memperluas pasarnya secara
konstan untuk memperoleh pengaruh politik. Fungsi perluasan pasar ini
dijalankan di Asia Tenggara dengan meyakinkan negara-negara ASEAN untuk
mengikuti pola perdagangannya dengan strategi diplomasi regional dan
dorongan berupa insentif ekonomi (China Report 48, 3, 2012: 317–326) seperti
yang terjadi dalam kerangka ASEAN China Free Trade Area (ACFTA). Namun
hal ini bukan berarti wilayah di sekitar China mulai berorientasi sinosentris
7
dalam perdagangan. Dengan masih kuatnya kepentingan ekonomi AS di Asia
Timur, akan sangat sulit bagi China untuk mempertahankan pasar yang telah
didapatnya. Untuk itulah, China perlu mengeluarkan banyak inisiatif multilateral
untuk membendung skenario multilateral AS di kawasan.
Status Ekonomi-Politik China di Kawasan Asia Timur
Kebijakan luar negeri China di abad ke-21 lebih mengemukakan prinsip
non konfrontasi namun tetap proaktif. Hal tersebut ditujukan untuk mencitrakan
China yang tidak agresif dan dapat bekerja sama dengan mudah. Prinsip tersebut
merupakan refleksi dari kepentingan domestik China dan Partai Komunis China
(PKC) melalui internal balancing dan soft balancing American Power. China
menitikberatkan pembangunan ekonomi sebagai upaya membendung
unipolaritas AS pasca Perang Dingin. Selain itu, penting bagi PKC untuk
mempertahankan legitimasinya melalui politik kesejahteraan setelah komunisme
mulai luntur di China (Wang, 2010 : 557-558).
Pembangunan ekonomi merupakan langkah mundur perlahan dari
kebijakan ekonomi terkendali, dimana negara mengatur pasar, dan pasar
mengatur badan-badan usaha. Kebijakan ini terwujud dalam penyelenggaraan
perdagangan, investasi, dan zona khusus perusahaan di provinsi-provinsi pesisir
(Hasan, 2008 : 580-587). Namun terdapat beberapa kondisi yang harus
diperhatikan perkembangannya sebagai barometer ambisi China untuk mengejar
posisi sentral di sektor ekonomi Asia Timur.
Pertama, China yang sedang bangkit juga mengejar strategi institusional
dan multilateral di luar kawasannya untuk mendesain kembali keteraturan
orderdi bidang ekonomi-politik. Kerja sama multilateral tersebut menempatkan
pemerintah Beijing sebagai titik sentralnya, misalnya China–Africa
Cooperation, the China–Caribbean Economy and Trade Cooperation Forum,
dan juga China–Arab Nations Cooperation Forum. Sebagai pendukung
pengaruh, China bahkan terlibat dalam pemberian konsultasi politik pada
Andean Community, Rio Group, dan MERCOSUR. Terlihat bahwa China lebih
memilih untuk membuka kerja sama baru daripada mengandalkan yang telah
terbangun (Sohn, 2012:77-82). Hal ini juga mencerminkan mentalitas great
8
power dan exceptionalism China sebagai negara yang melihat negara lain
beroperasi dibawah pengaruhnya, sehingga segala kebijakan luar negerinya pun
betul-betul diarahkan ke dalam negeri (Zhang, 2013:306-323).
Sementara itu, China melihat wilayah Asia sebagai saluran strategis
untuk merangkul masyarakat internasional, dengan prinsip hexie yazhou yakni
“Asia yang Harmonis” baik secara multilateral, sub-regional, maupun bilateral.
China membidik Asia Selatan, Asia Tengah dan wilayah timur laut Asia, dengan
menawarkan konsep kesejahteraan bersama di kawasan dengan pendekatan
bilateral (Hwang dan Chen, 2010:109-110).
Kedua, China juga memainkan peranan penting dalam stabilitas
perdagangan dan finansial pasca krisis ekonomi global tahun 2008. Cadangan
devisanya yang besar memudahkan China bermanuver dalam hal ini. Pilihan
antara China dan Asia Timur untuk kerja sama kawasan ialah dengan
mengukuhkan new regionalism (Pangestu dan Gooptu, 2003:107). Beberapa
alasan yang dikemukakan antara lain a) motivasi negara-negara Asia Timur
untuk tidak terlarut dalam krisis finansial, b) negara-negara Asia Timur
cenderung ingin bekerja sama lebih erat dengan China, c) kepentingan bisnis
masing-masing negara untuk lebih terintegrasi ke pasar internasional, dan d)
pergerakan ekonomi skala sedang berkembang untuk meningkatkan daya saing.
Sementara itu, China lebih memilih untuk bermain aman dalam setiap gelaran
East Asia Summit karena masalah keanggotaan East Asia Community (EAC),
dimana negara-negara seperti India, Australia, dan Pasifik selalu terlihat
dibendung oleh China dalam upaya mereka untuk dimasukkan menjadi anggota.
Pasca krisis ekonomi global seputaran 2007-2008, negara anggota G3
yakni Uni Eropa, Jepang, dan AS mengalami perlambatan ekonomi. Padahal
pertumbuhan ekonomi agregat di Asia Timur saja telah mencapai rata-rata 8%
per tahun, sementara pertumbuhan ekonomi dunia hanya 4% per tahun pada
2010 (UNESCAP, 2011). Momentum perlambatan ekonomi AS juga merupakan
peluang besar bagi China untuk menumbuhkan kepercayaan Korea Selatan dan
Jepang sebagai sekutu utama di kawasan.
Ketiga, Pasca krisis finansial global, China juga mendapat kepercayaan
yang lebih baik untuk menanamkan modal asing, demikian pula dengan jumlah
9
investasi asing yang masuk ke dalam negeri (World Investment Report, 2013).
Berikut ini sebaran aliran investasi asing langsung di kawasan Asia Timur.
Tabel 1.
Sebaran Aliran Investasi Asing di Antara Ekonomi Kawasan Asia Timur (2012)
Sumber : United Nations Conference on Trade and Development, 2013
Manuver China untuk menarik investasi pasca krisis perlu dicermati
sebagai upaya untuk menjadi hegemon ekonomi-politik di kawasan, bukan
hanya sebagai aksi profit-taking belaka, China memberikan pinjaman lunak
kepada negara-negara Asia Tenggara, sementara AS masih bersikukuh
mempertahankan kebijakan neoliberalnya untuk mendevaluasi mata uangnya.
Kepemimpinan China didominasi oleh soft-power utamanya sejak 1990-an,
dengan menampilkan kebijakan luar negeri yang merangkul dan lebih
konstruktif (Sohn, 2010:504-505).
Keempat, rivalitas China-Jepang dalam mendominasi kawasan Asia
Timur. Jepang sebagai perpanjangan kepentingan AS sangat mendominasi dalam
hal perkembangan teknologi, perindustrian, dan bantuan pembangunan di
kawasan ini pasca Perang Dingin. Terkait titik sentral dominasi tersebut,
Kroeber (2006) menyebutkan bahwa China merintis posisi dominan di periode
10
post-communist emerging market di era Deng Xiaoping. Selain itu China juga
mengadopsi model East Asian Developmental State dengan meniru karakter
kunci dari pembangunan di Jepang pada tahun 1950-1960-an dan Korea pada
tahun 1970an. Kedua negara itu utamanya menerapkan kebijakan transformasi
industri. Situasi ekonomi di Asia Timur selama kurang lebih 20 tahun
belakangan, di mana pola kerja sama ekonomi industrial dipimpin oleh Jepang.
Selama itu pula Jepang bertindak sebagai aktor terdepan dalam formasi V atau
the flying geese formation dalam pola pembangunan. Namun, hal tersebut
menjadi kurang relevan di era kontemporer, karena China perlahan muncul
sebagai aktor strategis baru. Secara bertahap, pola interaksi antar wilayah
industri di Asia Timur menjadi berubah, fokusnya adalah pada kebangkitan
wilayah pantai China dalam mengarahkan ekonomi regional.
ASEAN dan Asia Tenggara menjadi medan perebutan pasar antara kedua
negara, sehingga ASEAN juga menjadi prioritas politik luar negeri China. Pada
tahun 2000, ACFTA diimplementasikan, dan satu dekade kemudian, China telah
menyumbangkan jumlah simpanan yang sama dengan Jepang (38,4 juta Dolar
AS) kepada Asian Currency Crisis Fund (120 milyar Dolar AS) di bawah
Chiang Mai Initiative Multilateralisation Agreement. China juga berupaya
menyeimbangkan posisi tawar dengan Jepang di berbagai forum multilateral.
Tabel di bawah ini berusaha menunjukkan kecenderungan tersebut.
Tabel 2.
Keanggotaan China dan Jepang dalam Organisasi Internasional/Multilateral
Sumber : Yang, 2010
11
Proyeksi Strategi Ekonomi Multilateral China di Asia Timur
Dalam mempertimbangkan kesesuaian bentuk kerja sama, maka sangat
penting untuk melihat kembali kompleksitas suatu kawasan. Regionalisme,
harusnya menjadi sebuah bentuk kerja sama yang mencerminkan persamaan
identitas dan persamaan nasib, serta diikuti dengan pembentukan institusi yang
mencerminkan collective action. Namun, para aktor (terutama negara) di Asia
Timur terkesan lebih melihat ke arah mana konstelasi politik global akan
mengarah. Melihat kondisi tersebut, integrasi Asia Timur masih dalam bentuk
regionalisme terbuka atau open regionalism, dimana belum terdapat kesepakatan
yang mengikat dalam hal teknis maupun substansial. Asia Timur juga masih
dalam tahap pencarian bentuk kerja sama regional yang sesuai. Ketidakpastian
ini nampaknya dimanfaatkan secara afirmatif oleh China, dengan menampilkan
beberapa inisitaif yang menguntungkan negara tersebut.
Pertama, krisis ekonomi membawa banyak negara bersikap pragmatis
dan lebih proteksionis terhadap ekonominya, namun kawasan Asia Timur justru
mulai berbenah untuk membentuk “monetary regionalism” (Dieter dan Higgot,
2002). Hal tersebut juga dapat ditentang dengan berbagai argumen, namun perlu
untuk melihat celah perkembangan lain yang terdapat di dalamnya, dan apa saja
faktor penggeraknya. Namun China juga tetap berupaya mengamankan
kepemimpinannya di sektor keuangan dan investasi. Wakil Menteri Keuangan
China, Zhu Guangyao, menegaskan bahwa China mendukung terbentuknya
Asian Infrastructure Investment Bank, serta menyatakan niatan politik untuk
membangun infrastrukturnya di negara berkembang di Asia Timur (Xinhua,
Oktober 2013).
China memiliki lembaga yang tergabung dalam tiga serangkai formulator
kebijakan finansialnya seperti kebanyakan negara lain; yakni sektor perbankan,
sektor asuransi, dan komisi regulasi sekuritas. Namun standar kebijakan
keuangan China tidak berdasar pada neraca pembayaran foreign direct
investment (FDI) yang umum, sehingga laporan investasi China tidak seluruhnya