1 MANIFESTO KEADILAN SUBSTANTIF OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI; SEBUAH PARADOKS (Kajian Atas Beberapa Putusan MK dalam Perkara Pengujian Undang-undang) Oleh: Ali Ridho 1 Abstract The Constitutional Court of the Republic of Indonesia is an institution (high) state that one of its authority to test (judicial review) laws against the constitution. The results of these tests is the decision, in its decision the constitutional court with a substantive attempt to achieve justice through procedural rules. But the effort is that the court carefully examined there is a paradox that makes the decision even as if the less reflect the substance of justice. In addressing this, the constitutional court tried to answer it by deciding to test the law in a comprehensive and terms with the justice that is expected by the community. Keyword: Constitutional Court, substantive justice, and Court’s Dicision Pendahuluan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan Keempat. Di dalam pasal 24 C disebutkan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi (MK) secara jelas. Selain MK juga ada organ negara yang secara langsung menerima kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar 1945. Organ tersebut adalah (i) Dewan Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwakilan Daerah, (iii) Majelis Permusyawaratan Rakyat, (iv) Badan Pemeriksa Keuangan, (v) Presiden, (vi) Wakil Presiden, (vii) Mahkamah Agung, (viii). Dengan penyebutan tugas dan wewenang tersebut yang termaktub dalam konstitusi, maka implikasinya lembaga-lembaga yang ada dapat membedakan dengan tegas antara kewenangan organ negara berdasarkan perintah Undang-Undang Dasar (constitutionally entrusted power), dan kewenangan organ negara yang hanya berdasarkan perintah Undang-Undang (legislatively entrusted 1 Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII. DRAFT
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
MANIFESTO KEADILAN SUBSTANTIF OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI;
SEBUAH PARADOKS
(Kajian Atas Beberapa Putusan MK dalam Perkara Pengujian Undang-undang)
Oleh: Ali Ridho1
Abstract
The Constitutional Court of the Republic of Indonesia is an institution (high) state that
one of its authority to test (judicial review) laws against the constitution. The results of
these tests is the decision, in its decision the constitutional court with a substantive
attempt to achieve justice through procedural rules. But the effort is that the court
carefully examined there is a paradox that makes the decision even as if the less reflect
the substance of justice. In addressing this, the constitutional court tried to answer it by
deciding to test the law in a comprehensive and terms with the justice that is expected
by the community.
Keyword: Constitutional Court, substantive justice, and Court’s Dicision
Pendahuluan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara yang
sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Menurut
ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca
Perubahan Keempat. Di dalam pasal 24 C disebutkan tugas dan wewenang Mahkamah
Konstitusi (MK) secara jelas. Selain MK juga ada organ negara yang secara langsung
menerima kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar 1945. Organ tersebut
adalah (i) Dewan Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwakilan Daerah, (iii) Majelis
Permusyawaratan Rakyat, (iv) Badan Pemeriksa Keuangan, (v) Presiden, (vi) Wakil
Presiden, (vii) Mahkamah Agung, (viii). Dengan penyebutan tugas dan wewenang
tersebut yang termaktub dalam konstitusi, maka implikasinya lembaga-lembaga yang
ada dapat membedakan dengan tegas antara kewenangan organ negara berdasarkan
perintah Undang-Undang Dasar (constitutionally entrusted power), dan kewenangan
organ negara yang hanya berdasarkan perintah Undang-Undang (legislatively entrusted
1 Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII.
DRAFT
2
power), dan bahkan dalam kenyataan ada pula lembaga atau organ yang
kewenangannya berasal dari atau bersumber dari Keputusan Presiden belaka.2
Sebagai organ kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi kehakiman,
Mahkamah Konstitusi juga bersifat independen, baik secara struktural maupun
fungsional. Untuk mendukung independensinya, berdasarkan ketentuan Undang-
Undang, Mahkamah Konstitusi juga mempunyai mata anggaran tersendiri, terpisah dari
mata anggaran instansi lain. Hanya saja, sesuai dengan hukum administrasi yang
berlaku umum, ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja kesekretariat-jenderalan
dan kepaniteraan serta administrasi kepegawaian Mahkamah Konstitusi tetap terikat
kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hadirnya MK juga membawa harapan terwujudnya keadilan yang masih belum
„terfasilitasi‟ dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia. Bahkan terbentuknya MK
menandai era baru dalam system kekuasaan kehakiman di Indonesia, beberapa wilayah
yang tadinya tidak tersentuh (untouchable) oleh hokum, sekarang dapat dilakukan oleh
MK, termasuk kewenangan-kewenangan lainnya yang diatur dalam UUD 1945 pasca
amandemen.3 Sehingga, harapanpun kembali muncul dengan hadirnya lembaga hokum
yang salah satu tugasnya menjalankan fungsi menguji konstitusionalitas undang-
undang, yaitu MK menilai dan menguji norma UU apakah berlawanan dengan
konstitusi sebagai hukum tertinggi (fundamental law). Produk hukum seperti undang-
undang, meski ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR dengan cara demokratis, akan
tetapi belum tentu hasilnya mencerminkan nilai-nilai dari cita hukum dan nilai-nilai
konstitusi. Oleh karenanya dengan mengacu kepada prinsip menegakkan keadilan
substantif. penegakan keadilan dalam proses peradilan itulah yang saat ini digali MK
sedalam-dalamnya untuk mewujudkan keadilan substantif (substantive justice) di
masyarakat dan tidak terbelenggu dengan apa yang ditetapkan undang-undang
(procedural justice).
2 Jimly Asshiddiqie, Kedudukan Mhkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan
Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar di UNS, Kamis, 2 September, 2004. Di akses
www.hukumonline.com tanggal 07 Februari 2011. 3 Bambang Sutiyoso, Pembentukan Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaku Kekuasaan
Kehakiman di Indoensia, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 6, Desember 2010, hlm. 26
olom/keadilan-substantif-dan-problematika-penegakannya.shkm, diakses tanggal 19 Februari 2011. 5 Bryan A. Garner, editor, Black‟s Law Dictionary, Edisi Ketujuh, Amerika: West Group, 1999,
keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal-prosedural undang-undang yang sudah
memberi rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum.
Sedangkan keadilan prosedural terkait erat dengan kepatutan dan transparansi
dari proses-proses pembuatan keputusan, dan konsep keadilan prosedural ini dapat
dibedakan dengan konsep keadilan distributif (keadilan dalam distribusi hak-hak atau
sumber daya), dan keadilan distributir (keadilan dalam membenahi kesalahan-
kesalahan).6 Mendengarkan keterangan semua pihak sebelum membuat keputusan
merupakan salah satu langkah yang dianggap tepat untuk diambil agar suatu proses
dapat dianggap adil secara prosedural. Beberapa teori tentang keadilan prosedural
berpendirian bahwa prosedur yang adil akan membawa hasil yang adil pula, sekalipun
syarat-syarat keadilan distributif atau keadilan korektif tidak terpenuhi.
Paradoks Keadilan Substantif MK
Paradigma keadilan substantif mulai di blow up oleh MK dalam acara Refleksi
Kinerja MK 2009, jargon yang memprioritaskan subtansi keadilan itu dilontarkan
langsung oleh ketua MK, Prof. Mahfud MD. Alasan yang muncul keharusan
ditegakannya keadilan substantif karena keadilan berdasarkan hukum tidak selalu terkait
kepada ketentuan-ketentuan formal-prosedural. Hal itulah yang kemudian menjadi
acuan dalam diri hakim MK saat memberikan putusan pada setiap perkara yang masuk
ke lembaganya. Sebagai lembaga yang mengawal konstitusi (the guardian of
constitution) dan penafsir konstitusi, maka konsekwensinya ialah menjamin hak-hk
rakyat yang telah ditegaskan dlaam konstitusi. Salah satu hak yang harus dijamin adlah
rasa keadilan. Jaminan keadilan oleh UUD 1945 terdapat dalam pembukaan alinea
kedua yang menyatakan: “Dan perjuanagn pergerakan kemerdekaan Indonesia telah
sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat
Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Pengejewantahan atas nama “keadilan” juga
ditegaskan pasal 28 D ayat (1) yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas
6 Keadilan Prosedural, dalam www.wikipedia.org, diaskes tanggal 19 Februari 2011
5
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hokum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum.7
Keadilan substantif terfokus atau berorientasi kepada nilai-nilai fundamental
yang terkandung didalam hukum. Sehingga hal-hal yang menitikberatkan kepada aspek
prsedural akan di „nomorduakan‟. Secara teritik, kedalilan substantif dibagi ke dalam
empat bentuk keadilan, yakni kedailan distributif, kedalian retributif, kedilan komutatif,
dan keadilan korektif. Kedilan distributif menyangkut pengaturan dasar segala sesuatu,
buruk baik dalam mengatur masyarakat. Berdsarkan keadilan ini, segala sesuatu
dirancang untuk menciptakan hubungan yang adil antara dua pihak/masyarakat. Prinsip
pokok dalam keadilan distributif adalah setiap orang harus mendapat/andil/kesempatan
yang sama untuk memperoleh keadilan.8
Menarik untuk dikaji adalah beberapa putusan MK yang menekankan bahwa
putusannya mengedepankan aspek keadilan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah,
apakah MK dengan komposisi sembilan hakimnya benar-benar memposisikan keadilan
substantif sebagai garda terdepan?. Wajar saja pertanyaan itu muncul mengingat hakim
di lingkungan MK juga seorang manusia yang tidak bisa dilepaskan dari kekhilafan.
Pertanyaan itu muncul setidaknya memiliki beberapa alasan, pertama, parameter
keadilan yang masih menimbulkan kontroversi. Keadilan adalah pergulatan abadi
manusia, baik itu secara teoritis maupun praksis, mulai era plato sampai abad akhir
keduapuluh, persoalan keadilan tidak hentinya diperdebatkan. Immanuel Kant melihat
keadilan sebagai bagian dari kewajiban moral yang tidak bisa dipertanyakan.9 Keadilan
berpijak pada tiga prinsip, yakni tindakan yang bisa disetujui oleh semua orang,
memperlakukan manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan berasal dari
kebebasan. Keadilan adalah bagian dari moralitas yang tegak berdiri di dalam sanubari
manusia.
7 UUD 1945,Jakarta: Sekretarian Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm. 47.
8 Anang Zubaidy, Perspektif Keadilan Dalam Penyelesaian Sengketa Pemilukada di Mahkamah
Konstitusi, Makalah, disampaiakn pada diskusi Rutin PSHK FH UII di Yogyakarta, 14 Januari 2011. 9 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, cet. VIII, (Yogyakarta: Kanisius,
1995), hlm. 196.
6
Sementara John Rawls melihat keadilan sebagai suatu sikap fair yang didasarkan
pada prinsip-prinsip rasional yang terukur.10
Artinya para filsuf masih berdiskusi keras
untuk memahami arti sesungguhnya keadilan, dan mencari kemungkinan penerapan di
masa yang terus berubah. Kedua, putusan MK yang bersifat final dan mengikat.
Konsekwensinya jelas bahwa putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap
sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh (final and binding).11
Sehingga upaya hukum terhdap putusan tidak dikenal, mengingat adanya ketidak
laziman tersebut, pastinya akan berimplikasi kepada pencari keadilan.12
Persoalan ini
tentunya menimbulkan tanya bagaimana jika Mahkamah Konstitusi dalam putusannya
melakukan kesalahan fatal dan berakibat ada pihak lain yang dirugikan?.
Bagi sebagian kalangan, putusan yang final semacam itu justru tidak
mencerminkan keadilan. Alasannya, hakim berpeluang tidak luput dari kekeliruan
ataupun kekhilafan dan bahkan bersifat. Maka dari itu, setiap putusan hakim perlu
dimungkinkan untuk diadakan pemeriksaan ulang sehingga kekeliruan atau kekhilafan
yang terjadi dalam suatu putusan itu dapat diperbaiki menurut semestinya. Jadi,
idealnya memang setiap putusan hakim diberikan upaya hukum, untuk mencegah atau
memperbaiki kekeliruan dalam putusan tersebut. Upaya hukum diberikan untuk sesuatu
hal tertentu yang melawan keputusan hakim.
Ketiga, abstraknya parameter keadilan substantif. Berangkat dari perdebatan
panjang, baik dari segi teori dan praktis, nampaknya dalam memberikan ketentuan atau
ukuran konkret keadilan substantif masih belum sampai pada muaranya. Sehingga tidak
heran putusan yang dihasilkan MK menimbulkan berbagai interpretasi, sebagian
kelompok menafsirkan bahwa itu merupakan bentuk keadilan yang diharapkan oleh
masyarakat, hal ini mengingat lembaga yudisial dan penegak hukum di negeri ini tidak
ada lagi yang bisa diharapakan. Maka, MK itulah yang dirasa masih konsisten
mengedepankan nilai keadilan kepada pencari keadilan. Namum tidak bisa dipungkiri
dan wajar muncul dugaan bahwa MK dalam memutus perkaranya adalah bentuk
10
John Rawls, A Theory of Justice, (London: Oxford University Press, 1973), hlm. 156. Yang
sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006). 11
Lihat penjelasan pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentan Mahkamah Konstitusi. 12
Bambang Sutiyoso, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkmah Konstitusi,
(Yogyakarta: UII Press, 2009), hlm. 93.
7
arogansi, bahkan „kediktatoran‟ para hakim MK. Hal ini mengingat sejauh ini para
hakim MK tidak bisa di awasi oleh lembaga lain13
, dan masih debatable-nya rumusan
keadilan substantif tersebut. Apalagi ketika melihat ke depan berkenaan komposisi
hakimnya, memang sejauh ini para hakim yang duduk di lembaga negara tersebut
memiliki kapabilitas dan integritas yang dapat dipertanggung jawabkan. Namun, ke
depan kita tidak tahu siapa yang akan mengisi posisi hakim di MK. Sehingga
kekhawatiran akan adanya putusan yang semena-mena dan cenderung arogan bisa saja
muncul ketika hakimnya tidak memiliki moral dan jiwa negarawan yang baik. Oleh
karenanya, tidaklah heran ketika tuntutan dan pertanyaanpun mencuat berkaitan dengan
keadilan substantif yang di agung-agungkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Contoh putusan MK untuk melihat bagaimana keadilan substantif berusaha
ditegakan akan tetapi lazim berbenturan dengan problematika kepastian hukum
(equality) adalah putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur Jawa Timur. Dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi kewenangan
Mahkamah Konstitusi untuk menyidangkan perkara pelanggaran pemilihan kepada
daerah tidak diatur. Namun, karena Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa mereka
menemukan bukti adanya pelanggaran pilkada, Mahkamah Konstitusi berhak
mengambil keputusan tentang pelanggaran itu sekalipun harus menabrak UU
Mahkamah Konstitusi sendiri. Sebagai justifikasi untuk kesiapan MK menabrak
undang-undang, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud, M.D. menggunakan argumentasi
dengan kalimat, “Karena itu, kita bikin terobosan. Tidak lagi melaksanakan undang-
undang, tetapi melaksanakan UUD 1945, yaitu menjamin tegaknya demokrasi dan
hokum’.14
Permasalahannya kemudian adalah apakah penafsiran dan keputusan hukum MK
itu legitimate? Ini merupakan pertanyaan yang debatable. Merujuk pada kenyataan
hukum bahwa putusan MK adalah final dan mengikat (final and binding), apapun
keputusan hukumnya akan menjadi legitimate karena tidak ada upaya hukum lagi untuk
mengubahnya. Alahasil, banyak pihak menilai MK sebagai lembaga superbodi, tidak
ada lembaga lain yang bisa mengontrol keputusan-keputusannya. Sekalipun menabrak
13
Lihat selengkapnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006. 14
Jawa Pos, Tanggal 3 Desemeber 2008
8
kepastian hukum. Kepastian hukum pun makin rancu. Sebab, putusan MK itu bisa
menjadi preseden bahwa pelanggaran pilkada di masa datang bisa langsung dikirimkan
ke MK, menjadi bagian dari materi yang bisa diajukan gugatan (legal action) ke MK.
Tak perlu lagi melalui jalur panwaslu untuk diproses di pengadilan negeri.15
Terlepas dari itu semua, bahwa dalam implementasinya harus digunakan asas
prioritas, dimana prioritas pertama adalah keadilan, kemudian kemanfaatan, dan terakhir
barulah kepastian hukum. Sungguhpun dalam perkembangan selanjutnya, dengan
semakin kompleksnya kehidupan manusia di era modern, pilihan prioritas yang sudah
dibakukan kadang-kadang justru bertentangan dengan kebutuhan hukum dalam kasus-
kasus tertentu, sebab bisa jadi kemanfaatan lebih diprioritaskan ketimbang keadilan dan
kepastian hukum atau mungkin dalam kasus tertentu kepastian hukumlah yang lebih
diprioritaskan ketimbang kemanfaatan dan keadilan.
Beberapa Putusan MK; Cermin Lembaga Pengawal Demokrasi dan Penegak
Keadilan Substantif
Salah satu tugas hakim mahkamah konstitusi adalah mengkonstituir atau
memutuskan perkara yang diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara. Hakim terlebih
dahulu harus mengkontantir peristiwanya, kemudian dilanjutkan dengan mengkualifisir
peristiwa hukumnya, sebelum pada akhirnya harus mengkonstituir atau memutus
perkaranya. Pada dasarnya putusan hakim adalah suatu pernyataan yang dibuat oleh
hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dalam
persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara antara
para pihak.16
Tujuan dari putusan tersbut tidak lain adalah untuk mewujudkan aspek keadilan,
kepastian, dan kemanfaatan. Karena idealnya, putusan harus memuat tiga unsur yaitu
keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtsicherheit), dan kemanfaatan
15
Problematika Menegakan Keadilan Substantif, dalam http://gp-ansor.org/7409-
10122008.html, diakses tanggal 19 Februari 2011. 16
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Liberty Yogyakarta, 1989), hlm.