MERABA KONSEPSI MANUSIA DALAM KEADILAN Makalah ini disusun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Ilmu Sosial Dasar yang diampu oleh Drs, Abdul Kholiq, MA Disusun oleh: Abaz Zahrotien FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SAINS AL QUR’AN (UNSIQ) JAWA TENGAH DI WONOSOBO 2007
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
MERABA KONSEPSI MANUSIA
DALAM KEADILAN
Makalah ini disusun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Ilmu Sosial Dasar yang diampu oleh Drs, Abdul Kholiq, MA
Disusun oleh:Abaz Zahrotien
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SAINS AL QUR’AN (UNSIQ)
JAWA TENGAH DI WONOSOBO
2007
MERABA KONSEPSI MANUSIA
DALAM KEADILAN
A. Pendahuluan
Persoalan keadilan merupakan hal yang tidak dengan mudah dirumuskan
dan dilogikakan. Hal ini terkait karena konsep keadilan bersentuhan langsung
dengan kepuasan dan kebutuhan baik material maupun non material. Manusia
dalam memandang kebutuhan juga tidak bisa dengan sepihak merumuskan
keadilan untuk kemudian dikonsepsikan dalam konsep keadilan public. Dengan
merumuskan sendiri batasan-batasan keadilan untuk diterapkan pada orang lain
adalah bentuk melanggar kebebasan manusia (yang tentunya juga memiliki
kebebasan untuk memilih).
Artinya, secara langsung konsepsi keadilan yang ada harus dirumuskan
secara kolektif untuk kemudian digunakan sebagai batasan-batasan ‘adil’ yang
dipakai dan diakui keabsahannya oleh semua pihak yang terkait antara yang satu
dengan yang lain. Konsepsi keadilan ini membutuhkan kesepakatan bersama dan
dengan pertimbangan tidak merugikan satu sama lain. Batasan keadilan inilah
yang kemudian (setelah public mengesahkan dan mengakuinya) dipakai oleh
sekelompok masyarakat tertentu.
Dalam hubungan bermasyarakat, antara manusia yang satu dengan
manusia yang lain akan terus saling berhubungan. Tidak ada yang tidak saling
membutuhkan dalam sebuah komunitas, antara satu individu dengan individu
yang lain membutuhkan jembatan untuk dapat mempermudah pola komunikasi
dan menentukan tata social yang tepat. Dari pentingnya menjalin korelasi positif
antar individu tersebut (dengan didasari oleh pemahaman saling membutuhkan)
maka tidak diperkenankan untuk dengan sepihak mengunggulkan individualnya
dan untuk kemudian membawanya ke ruang public untuk digunakan secara
kolektif.
Fungsi individu manusia adalah menggagas secara bersama-sama sebuah
konsepsi yang akan digunakan untuk kepentingan bersama. Demikian juga ketika
merumuskan dan mengaplikasikan rumusan keadilan, tidak ada batasan sepihak
yang dirumuskan untuk kemudian mengimplementasikannya dalam ranah sosio
cultural masyarakat yang memiliki model komunikasi kolektif.
Dalam hubungan lintas golonganpun demikian, pola komunikasi
keadilan harus mencapai pada titik pola kebersamaan rumusan yang masing-
masing golongan tersebut mengakui validitas batasan-batasan adil itu sehingga
antara satu golongan dengan golongan yang lain tidak saling meng-counter, akan
muncul nuansa kebersamaan dalam satu pemahaman tentang keadilan. Karena,
diakui atau tidak, antara golongan yang satu dengan golongan yang lain memiliki
gaya dan pola penalaran sendiri tentang batasan konsep keadilan tadi. Jadi tidak
berwenang dengan sepihak satu golongan memaksakan konsep keadilannya pada
golongan lain.
Meraba Keadilan dan Kemanusiaan
Konsep keadilan memiliki beberapa karakteristik, tergantung dari sudut
mana kita memandang keadilan itu sendiri, termasuk diantaranya tergantung
konsep yang didoktrinkan oleh para pemikir tentang keadilan. Namun dari semua
karakter yang tentunya beraneka ragam itu, konsep dasar dari keadilan adalah
perasaan ikhlas dan merasa cukup dengan apa yang diterima.
Seberapapun pengorbanan yang diberikan atas imbalan dari usaha yang
kita lakukan, asal kita menerima dengan lapang dan ikhlas atas semua itu, maka
itulah makna dasar keadilan. Meskipun diantara satu orang dengan orang lain ada
perbedaan kuantitas itu bukanlah persoalan yang mendasar, karena bagaimanapun
juga, keadilan itu merupakan sesuatu yang tolak ukurnya berangkat dari diri
sendiri.
Untuk menjembatani hal ini, Aristoteles, seorang ilmuwan yang hidup
pada abad ke empat sebelum masehi membagi keadilan dalam empat ruang, yakni
keadilan distributive, keadilan kuantitatif, keadilan hokum dan keadilan kodrat
alam.
Keadilan Distributif
Murid dari Plato ini memberi nama keadilan distributive berangkat dari
pemikiran perlunya pemerataan hasil atas hak-hak yang harus diterima individu
dalam sebuah komunitas. Pembagian ini tidak mempertimbangkan apakah
individu yang satu lebih membutuhkan atau malah berlebihan. Penyamarataan
pembagian hak yang harus diterima ini, oleh Aristoteles dianggap mampu
menepis kecemburuan social yang muncul akibat dari besar kecilnya hak yang
diterima masing-masing individu apabila dibagi berdasarkan kebutuhan individual
dalam komunitas.
Aristoteles menyentuh keadilan ini lebih pada kesemua individu dalam
komunitas mendapatkan hak yang sama dalam menerima hak-hak yang harus
diperolehnya dalam jumlah yang sama dan dalam kondisi yang sama pula. Tidak
ada perbedaan antara satu individu dengan individu lainnya meskipun masing-
masing individu tentunya memiliki dilematis social yang berbeda-beda.
Sebagai contoh dari model keadilan seperti ini adalah pemberian gaji
yang sama kepada masing-masing karyawan dalam sebuah perusahaan yang
menjalankan tugas yang sama. Misalnya, pekerja yang bekerja memintal benang
dalam perusahaan konveksi antara yang satu dan yang lain mendapatkan gaji yang
sama, si A mendapatkan seratus ribu rupiah per minggu, maka si B dan si C juga
mendapatkan gaji yang sama.
Alternative ini dipilih karena berangkat dari pemahaman manusia itu
sendiri tentang batasan keadilan berbeda-beda dan sangat subjektif, sehingga akan
sangat rawan ketika pesoalan itu dibawa dalam wilayah social yakni mudah
memunculkan konflik social berupa kesenjangan antar individu.
Intinya, dalam model pembagian sama rata ini, adalah semua individu
harus mendapatkan hak yang sama dengan individu lain untuk mengurangi
kesenjangan social dan sebagai jembatan atas penafsiran makna keadilan yang
terkadang lebih subjektif masing-masing individu tersebut.
Ini sama dengan keadilan yang diterapkan dalam system penggajian
dalam perusahaan yang karyawannya bekerja pada pos yang sama, yakni berhak
mendapatkan hasil yang sama pula. Dengan begitu, maka kecemburuan social
antar karyawan tidak akan muncul dan membuat desintegrasi dalam tubuh
perusahaan itu sendiri.
Pentingnya keadilan semacam ini adalah untuk menentukan batas
standar dari makna keadilan yang subjektif. Sederhananya demikian. Jadi tidak
ada istilah istimewaisasi antar individual dalam komunitas tersebut. Semuanya
mendapatkan porsi yang sama, pembagian yang sama.
Terkadang, satu individu akan merasa dirinya teralienasi dari dalam
sebuah komunitasnya sendiri ketika apa yang didapatkan tidak sama dengan
individu yang lain. Ini merupakan persoalan yang tidak enteng, mengingat bahwa
persoalan ini akan menyentuh sisi individu atas kehidupan social kolektif.
Dan dalam keadilan ini tidak hanya hal yang bersifat materi saja yang
merupakan objek dari keadilan, tetapi juga hal-hal yang sifatnya non material,
seperti kasih sayang, rasa cinta, perhatian, atau hal-hal yang menyangkut
pemikiran dan pengetahuan yang sifatnya intra individu.
Adanya pengistimewaan individu dalam lingkup keadilan semacam ini
akan langsung ditolak mentah-mentah, hal ini dikarenakan pengistimewaan
individu berarti mendiskreditkan individu yang lainnya. Dan dari sini,
kesenjangan social akan muncul dan memuncak.
Sederhanannya, dalam wilayah keadilan ini, tidak lagi ada istilah
pengistimewaan individu, semua individu dalam komunitas mendapatkan hak-hak
material dan non material yang sama dengan individu lainnya.
Keadilan Kuantitatif
Menyentuh wilayah keadilan ini merupakan salah satu bentuk keadilan
yang sangat rumit, mengingat sebelum memberikan hak pada individu yang
terkait, hal yang harus dilakukan adalah membaca sejauh mana individu sebagai
objek keadilan itu membutuhkan hak-hak yang harus kita berikan sehingga hak-
haknya terpenuhi tanpa mengurangi tingkat kebutuhan individu yang lain.
Dalam keadilan ini, semua individu tidak mendapatkan hak yang sama,
tetapi sesuai dengan kebutuhan individu tersebut terhadap hak-hak yang harus
mereka terima. Bisa jadi si A akan mendapatkan jatah yang lebih banyak
dibandingkan si B karena tingkat kebutuhan si A ternyata lebih tinggi
dibandingkan tingkat kebutuhan si B.
Dalam perspektif umum, keadilan semacam ini seringkali ditolak
mengingat tidak ada kesamaan penerimaan hak atas sesuatu antar individu, seolah
muncul istimewaisasi individual atas hak tersebut. Dan public dalam wilayah ini
sering kali memandang tidak sebagai sebuah keadilan tetapi lebih merupakan
pengistimewaan. Padahal, realitas mengatakan bahwa ternyata individu, yang
menurut public diistimewakan, memang benar-benar membutuhkan hak tersebut
secara lebih dibandingkan dengan individu yang lain.
Keadilan yang berbasis pertimbangan tingkat kebutuhan ini didasarkan
atas naluri dasar manusia yang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak
terbatas, tak terhingga dan selalu menginginkan yang lebih. Oleh karena itu,
tingkat kebutuhan masing-masing individu berbeda, sehingga untuk
menyamaratakan menggunakan model kuantitatif seperti ini.
Permisalan, seorang anak yang masing duduk di sekolah dasar akan
berbeda uang saku yang diberikan oleh orang tuanya dengan kakaknya yang sudah
sekolah di SMA atau SMP. Antara anak SD dan SMA tentunya tingkat kebutuhan
mereka berbeda sehingga uang saku yang diberikan untuk keduanya berbeda.
Inilah konsep keadilan model kuantitatif.
Keadilan Hukum
Sebagai sebuah tatanan social, tentunya membutuhkan perangkat hokum
untuk mengatur tata hubungan social antar individu. Tujuannya adalah
menciptakan ketataaturan social yang tertib (tertib social). Dengan adanya aturan,
maka semua individu dalam komunitas akan terikat terhadap norma social
universal, tidak ada gerakan individual yang cenderung individualis egois.
Aturan ini dibuat berdasarkan tingkat kebutuhan masyarkat atas
ketertiban social, dimana pada dasarnya manusia membutuhkan ketenangan,
kedamaian, kebersihan, ketertiban dan keteraturan hidup, namun karena berbagai
godaan setiap individu cenderung melakukan pelanggaran terhadap naluri
dasarnya dan menjorok pada hak-hak orang lain. Inilah awal mula ketidaktertiban
social timbul yang kemudian akan komunikasi internal dalam hubungan social
akan terganggu.
Selanjutnya, dengan pertimbangan semacam ini, maka aturan social yang
berlaku dalam komunitas sebagai representasi dari harapan-harapan individu akan
ketertiban social itu harus dibentuk. Tujuannya agar tidak terjadi blank social,
patologi social dan sebagainya yang memungkinkan hak individu pada individu
lain akan terganggu atau ketertiban social terganggu.
Secara umum, peraturan dibuat dari harapan individual yang kemudian
diakomodir melalui penjaringan aspirasi masing-masing individu dalam
komunitas dan disitulah kemudian dibuat aturan hokum.
Dengan begitu maka, setiap orang yang wajib menaati hokum, karena
hokum merupakan suatu keadilan yang berlandaskan atas harapan-harapan untuk
tidak memunculkan patologi social dalam tata hubungan dalam masyarakat.
Hokum adalah suatu yang adil selama hokum itu tidak terbentuk atas keinginan
individu secara otoriter untuk kepentingan tiranik individual.
Keadilan Kodrat alam
Keadilan inilah yang menjadi point penting dalam pembahasan ini,
mengingat background kita adalah universitas sains al qur’an yang menjunjung
tinggi nilai-nilai religiusitas dan normativitas.
Keadilan kodrat alam merupakan representasi dari keadilan tuhan,
sebagai sebuah yang take for granted dari apa yang diberikan oleh alam (tuhan).
Semua yang diberikan oleh tuhan adalah adil untuk manusia, meskipun terkadang
manusia merasa apa yang diberikan oleh Tuhan adalah bukan keadilan. Ada orang
yang hidup bergelimangan harta dan justru kontras dengan itu banyak orang-oran
g yang hidup dibawah garis kemiskinan, kelaparan, ketertindasan. Banyak orang
yang tinggal di perumahan elite dengan perangkat hidup yang serba lux. Namun
tidak sedikit pula yang tinggal dikolong-kolong jembatan.
Dan pertanyaan sederhananya, apakah semua itu adil? Apakah semua itu
merupakan keadilan ketika kesenjangan social ternyata lebih besar? Marilah kita
uji bersama.
Dalam hubungannya dengan konsepsi Ilahiah tentang dunia, dalam ilmu
ketuhanan dibahas beberapa masalah tentang hubungan antara Allah dan dunia,
seperti apakah dunia ini, sementara atau abadi, dari manakah asal segala sesuatu
yang ada ini. Juga dibahas masalah-masalah lain seperti itu. Namun, kalau melihat
keseimbangan segenap eksistensi, maka dapat dikatakan di sini bahwa masalah-
masalah kearifan dan keadilan ilahi saling berkaitan erat. Kalau merujuk kepada
masalah keadilan Ilahi, maka dapat dikatakan bahwa sistem dunia yang ada ini
merupakan sistem yang paling arif dan adil. Dasar sistem ini bukan saja
pengetahuan, kesadaran dan kehendak. Sistem ini juga merupakan sistem yang
paling baik dan sehat. Tak mungkin ada sistem lain yang lebih baik daripada
sistem ini. Dunia yang ada ini merupakan yang paling sempurna.
Di sini muncul pertanyaan terkait. Kita tahu bahwa dunia ini memiliki
banyak fenomena seperti tidak sempurna, buruk, atau tak berguna. Kearifan
Ilahiah menuntut agar yang dominan adalah kesempurnaan dan bukannya
ketidaksempurnaan, kebajikan dan keindahan bukannya keburukan, kebergunaan
bukannya kesia-siaan. Ketidaksempurnaan gen dan bentuk tubuh manusia dan
binatang yang cacat, bencana alam dan kemalangan, serta pemandangan yang
menjijikkan, semuanya itu tampaknya tidak sesuai dengan kearifan Ilahiah. Suatu
sistem dapat disebut adil kalau di dalam sistem itu tak ada kesedihan, penderitaan
dan diskriminasi yang tak semestinya terjadi. Juga jika tak ada bencana dan
kemalangan. Dalam sistem yang adil, tak ada tempat bagi kehancuran, karena
tidaklah adil kalau makhluk dihalangi dari mencapai kondisi yang sempuma
setelah makhluk itu ada. Kalau sistem dunia ini memang adil, kenapa ada
diskriminasi dan kesulitan seperti ini? Kenapa yang ini putih dan yang itu hitam,
yang ini buruk dan yang itu cantik; yang ini sehat dan yang itu sakit? Kenapa yang
ini diciptakan sebagai manusia dan yang itu diciptakan sebagai domba,
kalajengking atau cacing tanah? Kenapa yang ini diciptakan sebagai setan dan
yang itu sebagai malaikat? Kenapa semuanya tidak diciptakan sama, atau tidak
seperti adanya sekarang? Misal, kenapa orang yang berkulit putih, rupawan atau
sehat tidak diciptakan berkulit hitam, buruk muka atau sakit-sakitan? Pertanyaan-
pertanyaan seperti ini, mengenai dunia ini, tampaknya menimbulkan teka-teki.
Konsepsi tauhid yang memandang dunia sebagai karya Allah Maha Arif lagi
Maha Adil harus menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Kalau diingat bahwa menjawab secara terperinci pertanyaan-pertanyaan
itu membutuhkan buku berjilidjilid, lagi pula pokok masalah ini sudah kami bahas
dalam buku kami "al-'Adl al-Ilahi" (sudah terbit dalam edisi Indonesia dengan
judul "Keadilan Ilahi"— pen.), yang beberapa edisinya sudah terbit, di sini kami
cukup menyebutkan beberapa prinsip pokok, dan kalau prinsip-prinsip ini
dipahami maka solusi untuk problem ini akan mudah didapat. Setelah memahami
prinsip-prinsip ini, pembaca akan mampu membuat kesimpulan sendiri.
Prinsip Bahwa Allah Ada Sendiri dan Sempurna
Karena Allah mutlak ada sendiri dan memiliki kemampuan, maka Dia
tidak melakukan apa pun untuk mencapai tujuan-Nya atau untuk meniadakan
kekurangan pada Diri-Nya (karena pada diri-Nya tak ada kekurangan—pen.).
Kearifan-Nya tidak berarti bahwa Dia memilih tujuan terbaik dan menggunakan
sarana terbaik untuk mencapai tujuan tersebut. Pengertian kearifan seperti ini
hanya berlaku untuk manusia, dan tidak berlaku untuk Allah. Arti kearifan-Nya
adalah bahwa Dia berbuat untuk memberdayakan segala yang ada agar dapat
mencapai tujuan keberadaannya. Dia membuat apa-apa yang sebelumnya tak ada
menjadi ada, dan membawanya ke kesempurnaan yang sudah menjadi sifatnya.
Berbagai pertanyaan dan keberatan yang muncul dalam hal ini, sebagian akibat
membandingkan Allah dengan manusia. Orang yang bertanya tentang kearifan
dan manfaat makhluk tertentu beranggapan bahwa Allah seperti manusia berbuat
sesuatu untuk mencapai tujuan-Nya. Sebagian besar pertanyaan akan dengan
sendirinya terjawab, kalau sejak permulaan dia ingat bahwa apa yang dilakukan
Allah tak syak lagi ada tujuannya, namun Allah sendiri tak memiliki tujuan-Nya
sendiri. Tujuan setiap makhluk melekat pada fitrah makhluk itu sendiri. Dan Allah
membawa setiap makhluk menuju fitrah ini.
Prinsip Sekuens
Eksistensi merupakan rahmat Allah untuk segenap alam semesta.
Tatanannya istimewa. Hubungan antar segala yang ada adalah hubungan "dahulu"
dan "kemudian" serta "sebab" dan "akibat". Tak ada yang dapat beranjak dari
posisi yang telah ditentukan untuknya. Juga, tak ada yang dapat menempati
tempat sesuatu yang lain. Tingkat eksistensinya beragam. Satu dengan yang lain
bedanya jauh, bila dilihat dari segi tidak sempurna dan sempurna, kuat dan lemah.
Perbedaan ini merupakan bagian penting dari tingkat-tingkat eksistensi. Ini bukan
diskriminasi, dan juga tak dapat dianggap bertentangan dengan keadilan atau
kearifan. Baru bisa disebut diskriminasi kalau dua wujud yang kemampuannya
sama, kepada yang satu diberikan karunia, sedangkan kepada yang satunya lagi
tidak diberikan karunia. Akan tetapi, kalau perbedaan itu terjadi akibat sifat
makhluk yang memang tidak sempurna, maka tak ada pertanyaan diskriminasi.
Prinsip Generalitas
Juga ada kesalahpahaman lagi, yang terjadi akibat membandingkan
Allah dengan manusia. Manusia, kalau mengambil keputusan, itu dilakukan pada
waktu tertentu, di tempat tertentu, dan dalam kondisi tertentu. Misal, seseorang
memutuskan akan membangun sebuah rumah. Agar dapat membangunnya, dia
kumpulkan, padukan dan tata sejumlah batu bata, semen, baja, dan material
lainnya. Material-material ini tak memiliki hubungan yang inheren (yang sudah
menjadi sifatnya) satu sama lain. Hasil akhirnya berupa berdirinya sebuah rumah.
Apakah Allah juga seperti itu? Apakah ciptaan Allah itu ter-wujud
dengan cara memadukan beberapa hal yang satu sama lain tak ada hubungannya?
Membuat hubungan-hubungan tidak natural seperti itu merupakan pekerjaan
makhluk seperti manusia. Karena manusia merupakan bagian dari sistem dunia.
Dan dalam ruang lingkup terbatas saja manusia dapat memanfaatkan kekuatan dan
kualitas wujud-wujud. Manusia tidak menciptakan sesuatu. Dia hanya
memproduksi gerak pada sesuatu yang sudah ada. Bahkan gerak yang
diproduksinya tidak alamiah, melairikan dibuat-buat. Sedangkan Allah
menciptakan segala sesuatu beserta segenap kekuatan dan kualitas segala sesuatu
itu.
Manusia memanfaatkan api dan listrik. Api dan listrik ini sudah ada. Dia
membuat persiapan sedemikian, sehingga dia dapat memanfaatkan api dan listrik
bila dibutuhkan. Dan untuk menyelamatkan diri dari akibatnya yang merugikan,
manusia dapat memadamkannya bila sudah tidak dibutuhkan lagi. Sedangkan
Allah menciptakan api, listrik beserta segenap dampak dan kemampuannya.
Adanya api dan listrik itu saja sudah berarti bahwa keduanya dapat menimbulkan
panas, gerak dan dapat membakar. Allah tidak menciptakan api dan listrik untuk
orang teltentu atau untuk kesempatan tertentu. Api dapat memanaskan gubuk si
miskin, sekaligus dapat membakar pakaian si miskin bila terjilat, karena Allah
telah menciptakan api memiliki sifat membakar. Kalau kita melihat api dalam
konteks keseluruhan sistem dunia ini, tentu kita dapati api itu bermanfaat dan
dibutuhkan. Tidak penting apakah bagi orang tertentu atau untuk kejadian tertentu
api itu bermanfaat atau tidak.
Dengan kata lain, untuk kearifan Ilahiah, tujuan akhirnya ber-kaitan
dengan perbuatannya, bukan dengan pelakunya. Allah itu arif, dalam pengertian
bahwa Dia telah menciptakan sebaik-baik sistem untuk memberdayakan wujud-
wujud agar dapat mencapai tujuan diciptakannya wujud-wujud itu. Arti kearifan-
Nya bukanlah bahwa Dia telah mempersiapkan sebaik-baik sarana untuk
meniadakan kekurangan-Nya sendiri, untuk mewujudkan dalam bentuk konkret
kemampuan potensial-Nya atau untuk mencapai tujuan evolusioner-Nya sendiri.
Kita juga harus ingat bahwa tujuan tindakan Allah adalah mencapai tujuan umum
dan bukan tujuan tertentu. Api telah diciptakan untuk pada umumnya membakar.
Tidak diciptakan untuk membakar benda tertentu pada kesempatan tertentu pula.
Karena itu, dari sudut pandang kearifan Ilahiah, tidaklah penting apakah api itu
bermanfaat atau merugikan untuk kasus per kasus.
Prinsip Kemampuan Menerima Karunia
Bahwa Allah Mahakuasa lagi Maha Pemurah belumlah cukup bagi
terwujudnya suatu realitas. Agar realitas itu ada, maka realitas itu harus memiliki
kemampuan untuk menerima karunia-Nya. Dalam banyak kasus,
ketidakrnampuan sebagian wujud menyebabkan wujud-wujud tersebut kehilangan
beberapa keuntungan. Dari sudut pandang sistem umum ini dan hubungannya
dengan Wujud Yang Ada Sendiri, rahasia munculnya kekurangan-kekurangan
tertentu seperti bodoh dan tidak mampu, terletak pada ketidak-mampuan wujud-
wujud yang memiliki kekurangan-kekurangan seperti itu.
Prinsip Wajib Ada
Karena Zat Allah itu wajib ada, maka segenap sifat-Nya juga wajib ada.
Karena itu, mustahil kalau sesuatu yang patut ada, lalu Allah tidak memberikan
eksistensi kepada sesuatu itu.
Prinsip Relatif
Buruk artinya adalah tak adanya suatu kualitas, contohnya adalah
kebodohan, ketidakmampuan dan kemiskinan, atau artinya juga adalah buruk
karena menyebabkan kehancuran, contohnya adalah gempa bumi, kuman
pembawa penyakit, banjir, hujan es disertai angin ribut dan seterusnya. Segala
yang menyebabkan kehancuran, sifat buruknya itu relatif dan hanya berkenaan
dengan hal-hal lain. Sesuatu yang buruk, sesungguhnya ia itu sendiri tidak buruk.
Buruknya adalah untuk sesuatu yang lain. Eksistensi sejati setiap sesuatu adalah
eksistensinya sendiri. Eksistensi relatifnya hanyalah konseptual dan derivatif,
sekalipun itu bagian integral dari eksistensi riilnya.
Prinsip Saling Bergantung
Baik dan buruk bukanlah dua kualitas yang masing-masing mandiri.
Buruk merupakan suatu kualitas integral dari baik. Buruk, yang mengindikasikan
tak adanya suatu kualitas, menunjukkan ketidakmampuan sesuatu yang secara
potensial mampu. Begitu sesuatu itu praktis mampu, maka karunia Allah kepada
sesuatu itu tak terelakkan. Adapun keburukan yang tidak membentuk kualitas
negatif, maka akarnya selalu ada di kebaikan.
Prinsip Tak Ada Keburukan Murni
Tak ada keburukan murni. Non-eksistensi merupakan pendahuluan untuk
eksistensi dan kesempurnaan. Keburukan merupakan satu tahap dari evolusi.
Memang, setiap awan hitam ada lapisannya yang berwarna perak.
Prinsip Hukum dan Norma
Dunia ini diatur dengan sebuah sistem sebab-akibat. Seperti sudah
dikemukakan sebelumnya, sistem ini berbasis hukum dan norma universal. Al-
Qur'an dengan tegas membenarkan fakta ini.
Prinsip Satu Unit Tak Terbagi
Di samping sistemnya yang sudah tak dapat disangsikan lagi, dunia itu
sendiri merupakan satu unit yang tak terbagi dan satu struktur fisis yang tunggal.
Karena itu, keburukan tak dapat dipisahkan dari apa yang baik. Keburukan dan
non-eksistensi bukan saja tak dapat dipisahkan dari kebaikan dan eksistensi,
namun juga merupakan satu "manifestasi" yang tunggal.
Berdasarkan sepuluh prinsip ini, maka hanya ada dua kemungkinan:
Pertama, dunia ini ada dengan sistem khasnya. Kedua, dunia ini sama sekali tak
ada. Tidaklah mungkin kalau dunia ini ada tanpa sistem khasnya atau dengan
sistem lainnya seperti, misalnya, sebab menempati posisi akibat dan akibat
menempati posisi sebab. Karena itu, dari sudut pandang kearifan Ilahiah, maka
yang mungkin adalah dunia ini ada dengan sistemnya yang ada sekarang, atau,
kalau tidak, dunia ini tak ada sama sekali. Jelaslah, karena kearifan, maka yang
dipilih adalah eksistensi, bukan non-eksistensi.
Karena sesuatu tak mungkin ada kecuali ia memiliki kualitas-kualitas
yang esensial dan tak terpisahkan dari dirinya, maka tak dapat dibayangkan bila
berpikiran bahwa kebaikan dapat dipisahkan dari keburukan atau bahwa non-
eksistensi dapat dipisahkan dari eksistensi. Dari sudut pandang ini pula, kearifan
Ilahiah dapat menuntut eksistensi keburukan dan sekaligus kebaikan, atau kalau
tidak, non-eksistensi keburukan dan sekaligus kebaikan. Kearifan Ilahiah tak
dapat menuntut eksistensi kebaikan dan non-eksistensi keburukan.
Juga, yang mungkin ada adalah alam semesta ini dalam bentuk satu unit.
Eksistensi satu bagiannya dan non-eksistensi bagian lainnya tidaklah mungkin.
Karena itu, dari sudut pandang kearifan Ilahiah, masalah yang dapat
dipertimbangkan adalah eksistensi atau non-eksistensi alam semesta ini, bukan
eksistensi atau non-eksistensi bagian alam semesta ini.
Prinsip-prinsip di atas, jika diselami isinya dengan saksama, cukup untuk
menghilangkan segenap keraguan dan kesulitan berkenaan dengan kearifan dan
keadilan Ilahiah. Lagi, silakan pembaca merujuk ke buku kami "al-'Adl al-Ilâhî"
(Keadilan Ilahi). Dan mohon toleransinya kalau kami menganggap perlu
mengangkat di sini soal-soal yang lebih tinggi tingkatannya dibandingkan tingkat
buku ini. Akhirnya, mengingat fakta bahwa masalah keadilan Ilahiah memiliki
sejarah khusus, dan oleh kaum Syiah keadilan Ilahiah dianggap sebagai salah satu
rukun iman mereka, maka tak ada salahnya kalau membahas juga sejarahnya
secara singkat.
Sejarah Prinsip Keadilan dalam Budaya Islam
Kaum Syiah menganggap doktrin keadilan sebagai rukun iman. Dalam
prakata untuk buku kami "al-'Adl al-Ilâhi" (Keadilan Ilahi), kami katakan bahwa
doktrin keadilan memiliki dua segi: Keadilan Ilahiah dan keadilan manusiawi.
Lagi, keadilan Ilahiah dibagi menjadi dua bagian: (1) keadilan kreasional dan (2)
keadilan manusiawi legislatif. Keadilan manusiawi legislatif juga memiliki dua
fase: (a) keadilan individual dan (b) keadilan sosial. Keadilan yang dipandang
sebagai ciri khas doktrin atau prinsip Syiah dan oleh kaum Syiah diyakini sebagai
rukun iman adalah keadilan Ilahiah. Keadilan Ilahiah merupakan bagian integral
dari konsepsi Islam tentang alam semesta.
Arti keadilan Ilahiah adalah bahwa Allah adil, dan dalam sistem
penciptaan dan sistem pembuatan Undang-undang-Nya Allah bertindak sesuai
dengan kebenaran dan keadilan. Kenapa prinsip keadilan menjadi rukun iman bagi
kaum Syiah, alasannya adalah karena sebagian kaum Muslim sedikit banyak telah
menafikannya, dan penafian ini sungguh bertentangan dengan kemerdekaan
manusia. Mereka menafikan bekerjanya prinsip sebab-akibat dalam sistem alam
semesta maupun dalam urusan manusia. Mereka berpendapat bahwa takdir ilahi
bekerja langsung, tidak menggunakan perantara sebab-akibat. Menurut mereka,
api tidak membakar, namun Allah lah yang membakarnya. Begitu pula, magnet
tak punya peran dalam menarik besi ke arahnya, namun Allah lah yang menarik
besi itu ke arah magnet. Manusia tidak berbuat baik dan juga tidak berbuat buruk,
namun Allah lah yang berbuat seperti itu secara langsung melalui perantara
manusia.
Di sini muncul pertanyaan penting: jika sistem sebab-akibat tidak ada,
dan manusia tak memiliki daya untuk memilih, kenapa seseorang diberi pahala
atau hukuman untuk perbuatan baik atau dosa yang dilakukannya? Kenapa Allah
memberikan pahala kepada sebagian orang dan memasukkan mereka ke dalam
surga, dan kenapa Allah menghukum sebagian lainnya dan mencampakkan
mereka ke dalam neraka, bila Allah sendiri yang melakukan semua perbuatan baik
dan buruk? Jika manusia tak memiliki kemerdekaan dan tak punya pilihan, maka
tidaklah adil dan bertentangan dengan prinsip keadilan Ilahiah bila menghukum
manusia karena perbuatan yang berada di luar kemampuannya.
Sebagian besar orang Syiah dan sebagian orang Sunni (kaum Mu'tazilah)
menolak teori yang menyebutkan bahwa manusia dipaksa (tak punya pilihan—
pen.) dan bahwa takdir Ilahiah bekerja langsung di dunia ini. Menurut mereka,
teori atau pandangan ini bertentangan dengan prinsip keadilan. Di samping
mengemukakan argumen-argumen berbasis nalar, mereka juga mengutip ayat Al-
Qur'an Suci dan hadis untuk mendukung keyakinan mereka. Itulah sebabnya
mereka dikenal dengan sebutan 'Adliyah (kaum pendukung keadilan).
Dan uraian di atas, jelaslah selain fakta bahwa prinsip keadilan
merupakan prinsip Ilahiah dan berkaitan dengan salah satu sifat Allah, prinsip
keadilan juga merupakan prinsip manusiawi, karena prinsip keadilan juga
menyangkut kemerdekaan manusia dan kemampuan manusia untuk memilih.
Karena itu, bagi kaum Syiah dan kaum Mu'tazilah, arti mengimani prinsip
keadilan adalah percaya bahwa manusia itu merdeka, bahwa manusia itu ber-
tanggung jawab, dan bahwa manusia itu punya peran membangun.
Pertanyaan yang sering kali mengusik benak kita dalam kaitannya
dengan keadilan Ilahiah, khususnya di zaman modern ini, menyangkut kasus-
kasus tertentu perbedaan sosial. Mengapa sebagian orang buruk rupa, sementara
sebagian lainnya rupawan; kenapa sebagian orang sehat, sementara sebagian
lainnya sakit-sakitan, kenapa sebagian orang kaya dan berpengaruh, sementara
sebagian lainnya miskin dan tak punya pengaruh?
Bukankah perbedaan ini bertentangan dengan prinsip keadilan Ilahiah?
Bukankah keadilan Ilahiah menghendaki kesamaan bagi semua orang dalam hal
kekayaan, usia, jumlah anak, posisi sosial, popularitas dan kemasyhuran, dan tidak
menghendaki adanya perbedaan dalam hal-hal ini? Apakah perbedaan dalam hal-
hal ini dapat dijelaskan dengan cara lain selain mengimani takdir Ilahiah?
Pertanyaan ini timbul akibat tidak memperhatikan bagaimana kerjanya
takdir Ilahiah. Rupanya si penanya beranggapan bahwa takdir Ilahiah bekerja
langsung, bukan melalui perantara sebab-akibat. Nampaknya juga si penanya
berpikiran bahwa kesehatan, rupawan, kekuasaan, posisi, popularitas dan karunia-
karunia lain Allah dibagikan langsung kepada manusia oleh tangan gaib yang
mengambil karunia-karunia tersebut langsung dari tempat penyimpanan karunia.
Fakta bahwa karunia, entah yang material atau yang spiritual, tidak
dibagikan langsung, kurang mendapat perhatian yang memadai. Takdir Ilahiah
telah membangun sistem dan sejumlah hukum serta norma. Siapa pun yang
menghendaki sesuatu, dia harus berupaya mendapatkan sesuatu itu melalui sistem
itu, dan dengan mengikuti hukum dan norma itu.
Terjadinya kesalahpahaman juga akibat kurang memperhatikan posisi
manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab yang berupaya memperbaiki
dan meningkatkan kondisi hidupnya, yang melawan rintangan-rintangan alam dan
yang berupaya keras melawan keburukan sosial dan tirani.
Kalau terjadi perbedaan dalam masyarakat manusia, dan bila ada orang
yang punya segalanya serta ada orang yang nasibnya cuma harus selalu berjuang
keras untuk mendapatkan sesuap nasi, maka yang bertanggung jawab atas keadaan
seperti ini bukanlah takdir Ilahiah. Manusialah yang bertanggung jawab atas
terjadinya perbedaan itu, karena manusia itu sendiri merdeka.
Penutup
Sedikit banyak, keadilan dan konsepsi manusia tentang keadilan
tergambar melalui sedikit penjabaran diatas, oleh karena itu, kami ucapkan terima
kasih atas perhatian dan kerja sama dari semua pihak yang turut serta membantu
dalam memberikan gambaran tentang konsepsi manusia dan keadilan ini.
Akhirnya, terima kasih dan mohon maaf apabila ada kesalahan dalam makalah