1 KEADAAN PERKARA JINAYAT MAHKAMAH SYAR’IYAH KUTACANE DAN EKSEKUSI TAHUN 2014 – 2016 Oleh: Drs. Husaini, S.H., M.H. 1 A. Pendahuluan Perubahan politik dan kebijakan negara akibat lahirnya era Reformasi Indonesia tahun 1998 ternyata membawa berbagai perubahan penting dalam ketatanegaraan Indonesia. Salah satu yang signifikan adalah terjadinya amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). Pasca amandemen tersebut diiringi dengan perubahan berbagai peraturan perundang-undangan yang berada di bawah UUD 1945, termasuk bagi Provinsi Aceh dengan kewenangan khusus (yang hanya diberikan kepada Aceh dan tidak diberikan kepada daerah lain), salah satunya adalah pelaksanaan syari’at Islam secara menyeluruh (kaffah) dalam koridor sistem hukum nasional Indonesia, yang dimulai dengan disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. 2 Pelaksanaan Syari’at Islam di Provinsi Aceh mendapat angin segar, setelah lengsernya Presiden Soeharto, dan selanjutnya digantikan oleh B.J. Habibie. B.J. Habibie memberikan respon terhadap keinginan masyarakat Aceh untuk melaksanakan Syari’at Islam. Setelah lahirnya UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, kemudian dipertegas dengan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 3 dan terakhir dengan UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasal 272 UU Nomor 11 Tahun 2006 menyatakan, bahwa dengan berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang 1 Hakim / Ketua Mahkamah Syar’iyah Kutacane, sejak tanggal 20 Agustus 2013 sampai dengan sekarang. 2 Al Yasa’ Abubakar, Penerapan Syari’at Islam di Aceh, Upaya Penyusunan Fiqih Dalam Negara Bangsa, Cet. 1, Dinas Syariat Islam Aceh, Banda Aceh, 2013, halaman 20-21. 3 Yusni Saby, Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh, Suatu Peluang dan Tantangan, Jurnal Kanun, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 2002, halaman 566-568.
26
Embed
KEADAAN PERKARA JINAYAT MAHKAMAH SYAR’IYAH · PDF file4 efektif sejak tahun 2000, sejak lahirnya Perda Provinsi NAD Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
KEADAAN PERKARA JINAYAT MAHKAMAH SYAR’IYAH
KUTACANE DAN EKSEKUSI TAHUN 2014 – 2016
Oleh: Drs. Husaini, S.H., M.H.1
A. Pendahuluan
Perubahan politik dan kebijakan negara akibat lahirnya era Reformasi
Indonesia tahun 1998 ternyata membawa berbagai perubahan penting dalam
ketatanegaraan Indonesia. Salah satu yang signifikan adalah terjadinya
amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). Pasca amandemen
tersebut diiringi dengan perubahan berbagai peraturan perundang-undangan yang
berada di bawah UUD 1945, termasuk bagi Provinsi Aceh dengan kewenangan
khusus (yang hanya diberikan kepada Aceh dan tidak diberikan kepada daerah
lain), salah satunya adalah pelaksanaan syari’at Islam secara menyeluruh (kaffah)
dalam koridor sistem hukum nasional Indonesia, yang dimulai dengan
disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.2
Pelaksanaan Syari’at Islam di Provinsi Aceh mendapat angin segar, setelah
lengsernya Presiden Soeharto, dan selanjutnya digantikan oleh B.J. Habibie. B.J.
Habibie memberikan respon terhadap keinginan masyarakat Aceh untuk
melaksanakan Syari’at Islam. Setelah lahirnya UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, kemudian
dipertegas dengan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,3
dan terakhir dengan UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Pasal 272 UU Nomor 11 Tahun 2006 menyatakan, bahwa dengan
berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
1 Hakim / Ketua Mahkamah Syar’iyah Kutacane, sejak tanggal 20 Agustus 2013 sampai
dengan sekarang. 2 Al Yasa’ Abubakar, Penerapan Syari’at Islam di Aceh, Upaya Penyusunan Fiqih
Dalam Negara Bangsa, Cet. 1, Dinas Syariat Islam Aceh, Banda Aceh, 2013, halaman 20-21. 3 Yusni Saby, Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh, Suatu Peluang dan Tantangan, Jurnal
Kanun, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 2002, halaman 566-568.
2
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 125 UU Nomor 11 Tahun 2006 menentukan, bahwa untuk
melaksanakan syari’at Islam di Aceh diatur melalui Qanun. Qanun dipersamakan
dengan Perda di daerah lain, akan tetapi isi Perda berbeda dengan Qanun. Qanun
harus berlandaskan pada asas keislaman, atau tidak bertentangan dengan syari’at
Islam.4 Qanun digunakan sebagai istilah untuk Perda Plus atau Perda yang
menjadi peraturan pelaksana langsung untuk UU dalam rangka otonomi khusus di
Provinsi NAD.5 Hal ini menunjukkan kekhususan bagi Provinsi Aceh bahwa
Undang-undang bagi Provinsi Aceh peraturan pelaksananya bukan Peraturan
Pemerintah sebagaimana berlaku bagi Undang-Undang secara umum, namun
dalam bentuk peraturan Qanun yang dilahirkan oleh DPRA bersama Pemerintah
Aceh. Untuk sahnya pemberlakuan Qanun tersebut tidak secara serta merta
berlaku efektif, namun tetap menunggu pengesahan dari Pemerintah Pusat
(Kementerian Dalam Negeri).
Peraturan perundang-undangan tentang pelaksanaan syari’at Islam di Aceh
hingga sekarang secara kronologis lahirnya adalah sebagai berikut:
1. UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh.
2. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di
Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
3. UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh
Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
4. Qanun Provinsi NAD Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam.
5. Qanun Provinsi NAD Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at
Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam.
4 Jum Anggriani, Kedudukan Qanun Dalam Sistem Pemerintah Daerah dan Mekanisme
Pengawasannya, Jurnal Hukum Nomor 3 Vol. 18, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta, Juli 2011, halaman 327. 5 Al Yasa’ Abubakar dan M. Daud Yoesoef, Qanun Sebagai Pelaksana Otonomi Khusus
bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 1 No. 3, Direktorat
Jenderal Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, Nopember 2004,
halaman 21.
3
6. Keputusan Presiden RI Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah
dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi NAD.
7. Qanun Provinsi NAD Nomor 12 Tahun 2003 tentang Khamar dan Sejenisnya.
8. Qanun Provinsi NAD Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian).
9. Qanun Provinsi NAD Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum).
10. Qanun Provinsi NAD Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat.
11. Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/070/SK/X/2004
tanggal 6 Oktober 2004 tentang Pelimpahan sebagian Kewenangan dari
Peradilan Umum kepada Mahkamah Syar’iyah di Provinsi NAD.
12. Peraturan Gubernur Aceh Nomor 10 Tahun 2005 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Uqubat Cambuk.
13. UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
14. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal.
15. Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat.
16. Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
17. Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam.
18. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2014 tentang Pembentukan Bank Aceh Syariah.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 telah memberikan dasar hukum
pertama untuk dibentuknya Peradilan Syari’at Islam di Aceh sebagai bagian dari
sistem Peradilan Nasional, oleh karenanya menindaklanjuti amanat Undang-
Undang tersebut Pemerintah Provinsi NAD telah melahirkan Qanun Nomor 10
Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam.
Setelah melalui banyak pertimbangan menyangkut bagaimana format
Peradilan Syari’at Islam yang dikehendaki pada masa itu, maka untuk tidak
membentuk lembaga baru akan tetapi mengembangkan wewenang absolut
Peradilan Agama yang sudah ada menjadi Peradilan Syar’iat Islam, sesuai dengan
Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan
Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi NAD yang berlaku sejak tanggal 4
Maret 2003.
Menganalisa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pemberlakuan syari’at Islam di Provinsi Aceh secara normatif sudah berlaku
4
efektif sejak tahun 2000, sejak lahirnya Perda Provinsi NAD Nomor 11 Tahun
2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi'ar Islam,
sebagai pelaksana UU Nomor 44 Tahun 1999, di mana waktu itu belum berlaku
perkara jinayat (pidana Islam) karena belum lahir hukum materil atau hukum
acaranya dalam bentuk Qanun.
Pemberlakuan perkara jinayat di Provinsi Aceh secara normatif berlaku
sejak tahun 2002 yaitu sejak lahirnya Qanun Provinsi NAD Nomor 10 Tahun
2002 tentang Peradilan Syari’at Islam, sedangkan efektif berlakunya qanun-qanun
tahun 2002 itu sejak lahirnya Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi NAD tanggal
4 Maret 2003, sebagai pelaksana UU Nomor 18 Tahun 2001.
B. Permasalahan
Berdasarkan pendahuluan di atas, dalam tulisan ini penulis akan
merincikan data-data perkara yang diterima dan diputuskan oleh Mahkamah
Syar’iyah Kutacane sejak tahun 2014 sampai dengan 2016, dengan cara penulis
mengumpulkan data dan wawancara langsung dengan Panitera Muda Mahkamah
Syar’iyah Kutacane dan Kasie Pidana Umum Kejaksaan Negeri Aceh Tenggara,
sedangkan pembahasan dan kajian ilmiahnya merujuk kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan buku atau kitab yang muktamad.
Adapun rincian data-data perkara yang dimaksud terdiri dari:
1. Data jumlah perkara.
2. Data jenis kelamin Terpidana.
3. Data agama Terpidana.
4. Data pekerjaan Terpidana.
5. Data asal Terpidana.
6. Data jenis dan jumlah uqubat Terpidana.
7. Data Terpidana yang telah dan yang belum menerima eksekusi cambuk
5
C. Pembahasan
1. Data Jumlah Perkara
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, bahwa pada rentang tahun
2014 hingga 2016 Mahkamah Syar'iyah Kutacane telah menerima dan
memutuskan perkara jinayat sebanyak 69 perkara, dengan perincian pada tahun
2014 sebanyak 7 perkara, tahun 2015 sebanyak 24 perkara, dan tahun 2016
sebanyak 38 perkara. Semua perkara dalam berbagai jenisnya yang diterima dan
diputuskan pertahunnya tersebut dapat diketahui pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 1
REKAPITULASI PERKARA JINAYAT YANG DITERIMA DAN
DIPUTUSKAN MAHKAMAH SYAR’IYAH KUTACANE
TAHUN 2014 s/d 2016
No.
Tahun
Sisa
tahun
lalu
Diterima
tahun ber-
sangkutan
Jum-
lah
Jenis perkara yang diputus tahun
yang bersangkutan
Keterangan
Khamar Maisir Khalwat Pemer-
kosaan
Jumlah
putus
Sisa
akhir
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
1 2014 - 7 7 - 7 - - 7 -
2 2015 - 24 24 5 15 4 - 24 -
3 2016 - 38 38 - 34 3 1 38 -
Jumlah 69 69 5 56 7 1 69 -
Sumber: Laporan Tahunan Mahkamah Syar'iyah Kutacane Tahun 2014 s/d 2016
pada Panitera Muda Jinayat Mahkamah Syar'iyah Kutacane.
Menganalisa data perkara yang masuk ke Mahkamah Syar’iyah sebelum
tahun 2014 dapat diketahui, bahwa sejak lahirnya Qanun Provinsi NAD Nomor
10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam beberapa tahun selanjutnya
terjadi kevakumam hukum penyelesaian perkara jinayat di Mahkamah Syar’iyah
Kutacane, termasuk juga di beberapa wilayah hukum lainnya di Aceh dalam hal
penahanan dan penjatuhan hukuman (uqubat) cambuk atau lainnya, dikarenakan
saat itu belum ada hukum acara yang mengatur secara khusus untuk itu, sehingga
pihak Kepolisian sebagai Penyidik tidak dapat melakukan penahanan pada masa
penyidikan dan pihak Kejaksaan tidak dapat melakukan penahanan untuk
6
mempersiapkan dakwaan serta pemeriksaan di persidangan Mahkamah Syar’iyah,
serta penahanan untuk menjelang eksekusi cambuk.
Terhadap perkara-perkara jinayat tersebut dimana saat itu Terdakwanya
tidak sanggup dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum oleh Kejaksaan Negeri Aceh
Tenggara di persidangan Majelis Hakim Mahkamah Syar’iyah Kutacane, maka
perkara-perkara tersebut tetap diputuskan oleh Majelis Hakim namun tidak sampai
kepada penjatuhan hukuman, sehingga semua perkara jinayat yang putus saat itu
amarnya menyatakan “Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima”
(Niet On Vankelijk Verklaard).
Setelah lahirnya Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara
Jinayat, sejak tahun 2014 dan seterusnya hingga sekarang perkara jinayat di
Mahkamah Syar’iyah Kutacane mulai diterima kembali dan diputuskan sampai
kepada penjatuhan uqubat/hukuman, di antaranya berupa cambuk atau denda
karena Terdakwanya telah dapat dilakukan penahanan selama proses penyidikan
Kepolisian Resor Aceh Tenggara, Kejaksaan Negeri Aceh Tenggara dan
pemeriksaan di persidangan Mahkamah Syar’iyah Kutacane hingga kepada tahap
eksekusi cambuk bagi yang dijatuhi uqubat/hukuman cambuk telah dapat
dilaksanakan secara efektif sesuai jadwal yang ditetapkan oleh Eksekutor yaitu
Kejaksaan Negeri Aceh Tenggara.
Berdasarkan tabel 1 di atas juga dapat dipahami bahwa jenis jarimah yang
diterima dan diputuskan oleh Mahkamah Syar’iyah Kutacane pada tahun 2014
hanya jenis jarimah maisir (perjudian) sebanyak 7 perkara, pada tahun 2015
sebanyak 24 perkara yang terdiri dari 15 perkara jenis maisir, 5 perkara jenis
khamar (minuman memabukkan) dan 4 perkara jenis khalwat (mesum),
sedangkan pada tahun 2016 sebanyak 38 perkara, yang terdiri dari 34 perkara
jenis maisir, 3 perkara jenis khalwat dan 1 perkara jenis pemerkosaan.
Dari perincian di atas dapat disimpulkan, bahwa selama tahun 2014 hingga
2016 Mahkamah Syar’iyah Kutacane telah menerima dan memutuskan sebanyak
69 perkara, dengan perincian 55 perkara jenis jarimah maisir (perjudian), 7
perkara jenis jarimah khalwat (mesum), 5 perkara jenis jarimah khamar (minuman
memabukkan) dan 1 perkara jenis jarimah pemerkosaan.
7
Awal pemberlakuan jinayat sebagai hukum materil di Provinsi Aceh
adalah Khamar dan Sejenisnya, Maisir (Perjudian), dan Khalwat (Mesum), yang
dituangkan dalam Qanun Provinsi NAD Nomor 12, 13, dan 14 tahun 2003,
selanjutnya lahir pula Qanun Aceh terbaru yaitu Qanun Aceh Nomor 6 Tahun
2014 tentang Hukum Jinayah, yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Aceh (DPRA) tanggal 22 Oktober 2014, sedangkan efektif berlakunya pada
tanggal 22 Oktober 2015, sehingga dengan efektif berlakunya Qanun Hukum
Jinayat tersebut maka wewenang absolut Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh,
termasuk Mahkamah Syar’iyah Kutacane, sesuai dengan pasal 3 ayat (2) Qanun
Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah, bertambah menjadi 10 jenis
jarimah, yaitu: 1. khamar (minuman memabukkan dan sejenisnya), 2. maisir