5 BAB II KAJIAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Kebudayaan Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah ialah jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Demikian, ke-budaya-an itu dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal”. Ada pendirian lain mengenai asal dari kata “kebudayaan” itu, ialah bahwa kata itu adalah suatu perkembangan dari majemuk budi-daya, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal. Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi karyanya itu. Kebudayaan merupakan keseluruhan total dari apa yang pernah dihasilkan oleh mahluk manusia yang menguasai planet ini sejak jaman ia muncul di muka bumi kira-kira empat juta tahun yang lalu, sampai sekarang (perkiraan waktu munculnya manusia di muka bumi ini, adalah hasil analisa-analisa terbaru metode potassium-argon untuk mengukur umur lapisan lapisan bumi). (Koentjaraningrat. 1974: 19-20) Menurut Koentjaraningrat (1980: 200-201) dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi, budaya manusia dibagi menjadi tiga wujud kebudayaan, yaitu: 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya. 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada dalam kepala-kepala, atau dengan perkataan lain dalam alam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan bersangkutan itu hidup. Kalau warga masyarakat menyatakan gagasan mereka
15
Embed
Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta yang ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9664/2/T1_152012002_BAB II.pdf · kebudayaan nasional dalam pengembangannya diperlukan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
5
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Kebudayaan
Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah ialah jamak
dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Demikian, ke-budaya-an itu dapat
diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal”. Ada pendirian
lain mengenai asal dari kata “kebudayaan” itu, ialah bahwa kata itu adalah
suatu perkembangan dari majemuk budi-daya, artinya daya dari budi, kekuatan
dari akal.
Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus
dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi karyanya itu.
Kebudayaan merupakan keseluruhan total dari apa yang pernah dihasilkan oleh
mahluk manusia yang menguasai planet ini sejak jaman ia muncul di muka
bumi kira-kira empat juta tahun yang lalu, sampai sekarang (perkiraan waktu
munculnya manusia di muka bumi ini, adalah hasil analisa-analisa terbaru
metode potassium-argon untuk mengukur umur lapisan lapisan bumi).
(Koentjaraningrat. 1974: 19-20)
Menurut Koentjaraningrat (1980: 200-201) dalam bukunya Pengantar Ilmu
Antropologi, budaya manusia dibagi menjadi tiga wujud kebudayaan, yaitu:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas tindakan berpola
dari manusia dalam masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tak
dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada dalam kepala-kepala, atau dengan
perkataan lain dalam alam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan
bersangkutan itu hidup. Kalau warga masyarakat menyatakan gagasan mereka
6
dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal sering berada dalam karangan
dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat bersangkutan.
Ide-ide dan gagasan-gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam
suatu masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan itu tidak
berada lepas satu dari yang lain, melainkan selalu berkaitan, menjadi suatu
sistem ini sistem budaya atau cultural system. Dalam bahasa Indonesia terdapat
juga istilah lain yang sangat tepat untuk menyebut wujud ideal dari kebudayaan
ini, yaitu adat, atau adat istiadat untuk bentuk jamaknya.
Wujud kedua dari kebudayaan yang disebut sistem sosial atau social
system, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini
terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan,
serta bergaul satu dengan lain dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari
tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata
cara kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu
masyarakat, sistem sosial itu bersifat kongkret, terjadi di sekeliling sehari-hari,
bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi.
Selanjutnya Koentjaraningrat (1980: 217) menganalisa 7 unsur
kebudayaan yang ditemukan semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur universal
itu, yang sekaliannya merupakan isi dari semua kebudayaan yang ada di dunia
ini adalah:
1. Bahasa,
2. Sistem pengetahuan,
3. Organisasi sosial,
4. Sistem peralatan hidup dan teknologi,
5. Sistem mata pencaharian hidup,
6. Sistem religi,
7. Kesenian.
2. Tradisi
Tradisi (Bahasa Latin: tradition, atau diteruskan) atau kebiasaan, dalam
pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang relah dilakukan sejak
lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kebudayaan. Hal yang paling
7
mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke
generasi baik tertulis maupun lisan, karena adanya ini, suatu tradisi dapat
punah.
Tradisi merupakan roh dari sebuah kebudayaan, dengan tradisi sistem
kebudayaan akan menjadi kokoh. Bila tradisi dihilangkan maka ada harapan
suatu kebudayaan akan berakhir di saat itu juga. Setiap sesuatu menjadi tradisi
biasanya telah teruji tingkat efektifitas dan tingkat efesiensinya. Efektifitas dan
efisiensinya selalu mengikuti perjalanan perkembangan unsur kebudayaan.
Berbagai bentuk sikap dan tindakan dalam menyelesaikan persoalan kalau
tingkat efektifitasnya dan efesiensinya rendah akan segera ditinggalkan
pelakunya dan tidak akan pernah menjelma menjadi sebuah tradisi. Tentu saja
sebuah tradisi akan pas dan cocok sesuai situasi dan kondisi masyarakat
pewarisnya. (Bastomi, 1984: 14)
Tradisi atau kebiasaan merupakan suatu gambaran sikap dan perilaku
manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilakukan secara turun
temurun dimulai dari nenek moyang. Tradisi yang telah membudaya akan
menjadi sumber dalam berakhlak dan berbudi pekerti seseorang. Tradisi dalam
pengertian sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan
menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat (Coomans, 1987:
73).
Tradisi adalah keseluruhan benda material dan gagasan yang berasal dari
masa lalu namun benar-benar masih ada kini, belum dihancurkan, dirusak atau
dilupakan. Disini tradisi hanya berarti warisan, apa yang benar-benar tersisa
dari masa lalu. Seperti yang dikatakan Shils (1981:12), tradisi berarti segala
sesuatu yang disalurkan atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini. Kriteria
tradisi dapat lebih dibatasi dengan mempersempit cakupannya. Dalam
pengertian yang lebih sempit ini tradisi hanya berarti bagian-bagian warisan
sosial khusus yang memenuhi syarat saja yakni yang tetap bertahan hidup di
masa kini (Piotr Sztompka, 2011: 69-70).
8
3. Melestarikan
Kebudayaan dapat lestari bila ada eksistensinya, maka upaya-upaya dalam
kelangsungannya diperlukan: perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan.
Perlindungan meliputi upaya-upaya untuk menjaga agar hasil-hasil budaya
tidak hilang atau rusak. Pengembangan meliputi upaya-upaya menggunakan
hasil-hasil budaya untuk keperluan.
Untuk pengembangan budaya lokal dapat ditempuh dengan 2 arah yaitu
dengan mempertahankan eksistensi tradisionalnya di lingkungan suku bangsa,
sehingga tetap merupakan bagian integral dari kebudayaan daerah. Dan disisi
lain perlu memperhatikan kebudayaan asing yang akan memperkaya
kebudayaan nasional dalam pengembangannya diperlukan kreatifitas di dalam
tradisi warisan peninggalan budaya dapat dipilah menjadi 2 yaitu karya-karya
budaya tangible dan intangible.
Untuk pembinaan kebudayaan yang diemban oleh berbagai pihak dan
masyarakat dapat dikelompokkan dalam usaha-usaha menurut sifatnya dapat
dibagi sebagai berikut:
1. Pemeliharaam, perawatan, dan pemugaran;
2. Penggalian dan pengkajian;
3. Pengemasan informasi budaya dan penyebarluasannya;
4. Perangsangan inovasi dan kreasi;
5. Perumusan nilai-nilai dan sosiologinya. (Pamerdi Giri Wiloso, 2012:
119-120)
Masyarakat bukan hanya memiliki budaya tetapi membudaya, artinya
selain nilai-nilai yang ada dilestarikan juga akan muncul niali-nilai baru. Cepat
atau lambat suatu kebudayaan akan terus bergerak maju. Selama masyarakat itu
hidup, selama itu pula budayanya akan terus berkembang. Budaya disini
dianggap sebagai nilai-nilai dan membudaya diartikan sebagai proses
menghayati, melestarikan, mengembangkan, dan melaksanakan nilai-nilai yang
berlaku. Dengan demikian, masyarakat tidak bersifat statis tetapi sebaliknya
dinamis dan itu dikarenakan adanya proses pembudayaan, yakni terus menerus
menciptakan dan mewujudkan kebudayaan. Pendidikan merupakan pranata
9
sosial dimana kebudayaan itu berkembang. Sehingga antara kebudayaan dan
pendidikan tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang lain. Dimana ada
kebudayaan disitu ada pendidikan. Dimana ada pendidikan disitu ada
kebudayaan (H. Abdul Latif, 2009: 11 - 12).
4. Slametan
Slametan adalah versi Jawa dari apa yang barangkali merupakan upacara
keagamaan yang paling umum di dunia; ia melambangkan suatu kesatuan
mistis dan sosial mereka yang ikut serta di dalamnya. Handai-taulan, tetangga,
rekan sekerja, sanak keluarga, arwah setempat, nenek moyang yang sudah mati,
dan dewa-dewa yang hampir terlupakan, semuanya duduk bersama
mengelilingi satu meja dan karena itu terikat ke dalam suatu kelompok sosial
tertentu yang diwajibkan untuk tolong menolong dan bekerja sama
Slametan dapat diadakan untuk memenuhi semua hajat orang sehubungan
dengan suatu kejadian yang diperingati, ditebus atau dikuduskan. Kelahiran,
perkawinan, sihir, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, panen, ganti nama,
membuka pabrik, sakit, memohon kepada arwah penjaga desa, khitanan, dan
memulai suatu rapat politik – semuanya itu bisa memerlukan slametan.
Tekanan untuk masing-masing sedikit berbeda.
Dari seluruh upacara itu di sebagian ini dilakukan dengan intens dan
meriah, sementara di bagian lainnya agak dikendorkan. Suasana kejiwaannya
mungkin berubah-ubah sekedarnya, tetapi sturktur upacara yang mendasarinya
tetap sama saja. Senantiasa ada hidangan khas (yang berbeda-beda menurut
slametan itu); dupa, pembacaan doa Islam dan pidato tuan rumah yang
disampaikan dengan bahasa Jawa tinggi yang angat resmi (yang isisnya tentu
saja berbeda-beda menurut peristiwanya); selalu terlihat tata karma yang sopan
dan sikap malu-malu, yang mengesankan bahwa sekalipun penyelenggaraan
upacara itu begitu ringkas dan tak dramatis, tetapi sesuatu yang penting sedang
berlangsung (Clifford Geertz, 1981: 13-14).
Slametan terdiri dari sekedar makan bersama menurut suatu cara atau ritus
yang pasti. Semua tetangga laki-laki dekat harus diundang. Diatas nasi yang
berbentuk kerucut (nasi tumpeng) diucapkan berkat (doa-doa) oleh modin;
10
kemudian hadirin menyantap beberapa suap nasi, lalu sisanya dibawa ke rumah
supaya istri dan anak pun memperoleh bagiannya. Slametan dapat dimengerti
sebagai ritus pemulihan keadaan slamet karena semua tetangga ikut, maka
slametan mengungkapkan di hadapan hadirin bahwa diantara para tetangga
terdapat kerukunan dan keselarasan; dan dengan demikian keadaan
ketentraman masyarakat dibaharui dan kekuatan-keuatan yang berbahaya
dinetralisirkan. Sekaligus, karena doa yang diucapkan, roh-roh lokal
dimasukkan ke dalam lingkup slametan dan mereka senang mencium sari
makanan itu. Dengan demikian slametan merupakan ritus yang mengembalikan
kerukunan dalam masyarakat dan dengan alam rohani, dan yang dengan
demikian mencegah gangguan-gangguan terhadap keselarasan kosmis (Frans
Magnis Suseno, 1991:89).
5. Merti Dusun/Bersih Dusun
Bersih dusun merupakan salah satu kearifan lokal yang masih lestari
sampai saat ini. Kearifan lokal yang merupakan warisan baik para leluhur kini
menambah khazanah kebudayaan bangsa. Bersih Dusun memiliki penanaman
berbeda-beda tergantung lokasi pelaksanaannya. Di daerah pegunungan sering
dinamakan labuhan gunung yang bisa dilihat di Gunung Merapi. Di daerah
pantai sering dinamakan labuhan laut atau sedekah laut. Sedangkan daerah
pertanian, dinamakan Merti Dusun atau Rasulan atau Sedekah Bumi atau
Bersih Dusun. Setiap penamaan di daerah pertanian ini memiliki makna dan
harapan tersendiri.
Di pedesaan Jawa yang bercorak pertanian Bersih Dusun dapat dikatakan
sebagai upacara wajib. Sebelum masuknya agama Islam, Bersih Dusun
digunakan sebagai sarana untuk memuja Dewi Sri “Dewi Pangan” dan Dewa
Sadana “Dewa Sandang”. Selain itu juga digunakan sebagai penghormatan
kepada Para Leluhur dan Para Dayang agar tidak marah. Kemarahan mereka
mampu mendatangkan pagebluk yang menyengsarakan masyarakat