Kumpulan Beberapa Rangkuman Kasus Tindak Pidana
Perpajakan,TIPIKOR & Money Loundry1. Kasus Pajak PT Kaltim
Prima Coal, PT Bumi Resources Tbk, dan PT Arutmin
IndonesiaTEMPOInteraktif,Jakarta[- Direktorat Jenderal Pajak
menegaskan kasus dugaan pidana pajak tiga perusahaan tambang milik
Grup Bakrie tak terkait dengan kasus royalti batu bara yang juga
melibatkan enam perusahaan tambang, termasuk dua perusahaan milik
grup yang sama, beberapa waktu lalu."Ini persoalan pajak saja,"
kata Direktur Jenderal Pajak, Mochamad Tjiptardjo, usai rapat
pimpinan Departemen Keuangan, Jakarta, Rabu (16/12). Dia
mengatakan, kasus yang melibatkan PT Kaltim Prima Coal, PT Bumi
Resources Tbk, dan PT Arutmin Indonesia ini sama seperti kasus
dugaan pidana pajak lainnya.Kasusnya berawal dari informasi yang
masuk dari intelijen Direktorat Jenderal Pajak. "Kalau gak ada
pidana, selesai. Kalau ada pidana ya teruskan," ujar dia. Hingga
kini, dari tiga perusahaan tadi memang ada dua yang masuk dalam
tahap penyidikan. Selain itu, penyidik pajak juga melakukan
pemeriksaan bukti permulaan terhadap satu perusahaan.Disinggung
soal permintaan klarifikasi kelompok usaha Bakrie atas kasus ini,
Tjiptardjo mengungkapkan komunikasi antara aparat pajak dan
perusahaan-perusahaan terkait sudah dilakukan sejak awal
pemeriksaan. Bahkan, beberapa juga telah diperiksa di
kantornya.Seperti diberitakan, Direktorat Jenderal Pajak
mengungkapkan penelusuran dugaan pidana pajak tiga perusahaan
tambang batubara di bawah payung bisnis Grup Bakrie senilai kurang
lebih Rp 2,1 triliun pada tahun pajak 2007. Tiga perusahaan tambang
itu antara lain PT Kaltim Prima Coal, PT Bumi Resources Tbk, dan PT
Aruitmin Indonesia.Ketiganya diduga melanggar Pasal 39
Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan atau terindikasi tak
melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan secara benar. Tekniknya
bermacam-macam, intinya tidak melaporkan penjualan yang sebenarnya,
Itu kan modusnya, kata Tjiptardjo, Jumat (11/12).Direktorat telah
menetapkan status penyidikan pada kasus pajak KPC sejak Maret 2009.
Pada kasus Bumi, Direktorat baru menerbitkan Surat Perintah
Penyidikan dan segera akan melayangkan Surat Pemberitahuan
Dimulainya Penyidikan kepada Kejaksaan Agung. Adapun terhadap kasus
Arutmin, Direktorat baru melakukan pemeriksaan bukti
permulaan.Belakangan kasus ini jadi dikaitkan dengan kasus
tunggakan royalti batu bara yang mencuat tahun lalu. Dari enam
perusahaan yang tersangkut kasus ini, dua perusahaan adalah yang
kini tersandung kasus dugaan pidana pajak, yakni PT Kaltim Prima
dan PT Arutmin. KPC diduga menahan pembayaran dana bagi hasil
produksi batu bara sebesar US$ 115,6 juta. Sedangkan Arutmin
sebesar US$ 68,6 juta.Sumber :
http://www.tempo.co/read/news/2009/12/16/087214215/Kasus-Pajak-Bakrie-Tak-Terkait-Royalti-Batu-Bara2.
Kasus pajak PT Sulasindo NiagatamaLENSAINDONESIA.COM: Modus
perusahaan untuk menghindar dari kewajiban pajak seperti yang
dilakukan oleh PT Sulasindo Niagatama yang berlokasi di Gresik ini
cukup rapi. Sejak awal berdiri, perusahaan ini telah merekrut orang
lain yaitu Hadi Mulyono untuk menjadi komisaris.Hal ini terungkap
dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dengan
terdakwa Hadi Mulyono (39), asal Sragen Jawa Tengah yang didakwa
sebagai pihak paling bertanggung jawab dalam perkara penyalahgunaan
faktur pajak oleh PT Sulasindo Niagatama.Akibat penyalahgunaan
faktur pajak tersebut, negera dirugikan hingga Rp 118 miliar
rupiah.Sementara itu, ditemui usai sidang, penasihat hukum terdakwa
Rahardjo, mengatakan kliennya hanya pihak yang dikorbankan oleh PT
Sulasindo Niagatama. Seharusnya Direktur Utamanya, Sulasi yang
dijadikan terdakwa. Bukan Hadi yang jelas-jelas korban,
tegasnyaKliennya, lanjut dia, hanya seorang pekerja serabutan yang
pada waktu kejadian tahun 2007 bertemu dengan sesorang yang bernama
Puguh lalu ditawari pekerjaan. Setelah itu terdakwa diajak ke
kantor notaris yang sedang dalam proses mendirikan akte perusahaan,
untuk dijadikan sebagai Komisiaris PT Sulasindo
Niagatama.Sehari-hari terdakwa bekerja serabutan dengan menjadi
kuli bangunan. Tapi sewaktu-waktu terdakwa dipanggil oleh Sulis
untuk menandatangani faktur pajak, tutur dia.Lebih jauh Rahardjo
mengungkapkan, pemesan faktur pajak fiktif itu biasanya kalangan
orang berduit yang mengimpor barang mewah dari luar negeri. Mereka
biasanya menginginkan identitasnya tidak diketahui oleh lembaga
berwenang. Ada kemungkinan untuk praktik money laundry. Di Sidorajo
beberapa waktu lalu, saya pernah menangani kasus serupa,
ucapnya.Sementara, dalam surat dakwaanya, Jaksa Penuntut Umum (JPU)
dari Kejari Surabaya, Tri Murdiyati menjelaskan, terdakwa selaku
komisaris PT Sulasindo Niagatama -perusahaan yang bergerak dibidang
impor barang- telah menerbitkan faktur pajak fiktif telah menjual
barang impor kepada beberapa perusahaan.Otomatis bagi pihak yang
telah mendapatkan faktur fiktif tersebut digunakan sebagai bukti
telah membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sehingga tidak
berkewajiban membayar pajak. Akibat faktur pajak fiktif yang telah
diterbitkan terdakwa tersebut, negara dirugikan ratusan miliar
rupiah, papar JPU.Akibat perbuatanya, JPU menjerat terdakwa dengan
pasal 39a jo pasal 43 UU RI No 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum
dan tata cara perpajakan sebagaimana telah diubah dengan UU RI No
28 tahun 2007 dan UU RI No 16 tahun 2009 jo pasal 6 ayat (1)
KUHP.http://www.lensaindonesia.com/2012/10/19/kuli-bangunan-jadi-komisaris-pt-sulasindo-niagatama-palsukan-faktur-pajak.html3.
Kasus Pajak PT Surabaya Agung Industri Pulp dan Kertas
(SAIPK)JAKARTA Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Eksus)
Bareskrim Polri membidik kejahatan korporasi dalam kasus korupsi
restitusi pajak. Pidana korporasi terindikasi dilakukan oleh PT
Surabaya Agung Industri Pulp dan Kertas (SAIPK) yang menyuap dua
pegawai pecatan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian
Keuangan (Kemenkeu) Denok Tavi Periana dan Totok Hendrianto.
PT SAIPK merupakan perusahaan wajib pajak yang diduga menyuap
Denok dan Totok terkait kepentingan restitusi pajak. Direktur
Tindak Pidana Eksus Bareskrim Polri Brigjen Pol Arief Sulistyanto
mengatakan, PT SAIPK terindikasi melakukan tindak pidana, namun tim
penyidik masih mengkaji rencana penjeratan ini. Kita masih
melakukan kajian untuk mengajukan korporasinya dalam kejahatan
korporasi, tandas Arief di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta,
kemarin.
Arief mengungkapkan, indikasi adanya kejahatan korporasi dalam
kasus ini karena penyidik mengungkap adanya dugaan uang hasil
pengembalian pajak yang digunakan untuk menyuap Denok dan Totok.
Namun, papar Arief, jika nantinya adabuktikuat yang bisa menjerat
PT SAIPK, maka yang harus bertanggung jawab secara hukum adalah
pimpinan perusahaannya. Karena itu, Polri juga akan menelusuri
adanya dugaan keterlibatan pimpinan PT SAIPK dalam kasus penyuapan
ini.
Penyidik, kata Arief, juga tengah menelusuri perusahaan lain
yang berurusan dengan Totok dan Denok dalam penanganan pajaknya.
Sudah ada dokumenyangdiserahkanditjenpajak dan ini kami telusuri
apa ada modusyangsamayangdilakukan perusahaan lain? tuturnya. Arief
juga mengungkapkan berkas perkara dua tersangka sudah rampung.
Rencananya, pekan depan dua berkas perkara terpisah ini akan
dilimpahkan ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Sekitar Selasa atau Rabu
depan, ujarnya.
Pengamat pencucian uang Universitas Trisakti Jakarta Yenti
Garnasih mengatakan, dengan adanya kasus ini maka wajar publik
menilai korupsi pajak banyak dilakukan pada era itu. Dia pun
mendorong agar instansi terkait, dalam hal ini Pusat Pelaporan
Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), Inspektorat Jenderal
Kemenkeu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, dan
Kejaksaan berkoordinasi untuk mengungkap kokrisiandi
sacawisastrarupsi di ditjen pajak pada tahun-tahun itu. Saya bisa
berkesimpulan bahwa banyak korupsi yang dilakukan pada era itu tapi
belum terendus. Karena itu, harus ada upaya dari PPATK menelusuri
rekening para pegawai pajak, papar Yenti.Sumber :
http://koran-sindo.com/node/343182JAKARTA, suaramerdeka.com -Tiga
tersangka kasus korupsi pajak ditangkap Direktorat Tindak Pidana
Ekonomi Khusus (Ditpideksus) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) di
dua tempat terpisah, Senin (21/10). Tiga tersangka tersebut adalah
dua mantan kepala seksi di Kantor Pelayanan Pajak di Jakarta Denok
dan Totok serta Komisaris PT Surabaya Agung Industri and Paper (PT
SAIP), Berty.Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Ronny Franky Sompie
mengungkapkan, tiga tersangka tersebut ditangkap di dua tempat
terpisah, di kawasan Condet dan Rawamangun, Jakarta Timur.Ronny
menjelaskan, Berty diduga telah menyuap dua mantan pegawai pajak
tersebut Rp 1,6 miliar untuk mengurus restitusi pajak PT SAIP
sebesar Rp 21 miliar. "Kalau nilai suapnya sekitar Rp 1,6 miliar.
Ini yang sudah dibuktikan melalui transaksi keuangan. Tapi kita
juga belum tahu perkembangan berikutnya yang mungkin bisa langsung
berupaface to faceatau berupa barang atau uang," ujar Ronny di
Mabes Polri, Selasa (22/10).Ronny menjelaskan, modus dalam kasus
itu adalah rekanan PT SAIP tersebut tidak dikenai pajak dalam
sejumlah transaksi ekspor dan impor kertas. Namun, belakangan PT
SAIP mendapatkan retitusi dari tahun 2005-2007 sebesar Rp 21
miliar.Ronny menjelaskan, kasus itu merupakan hasil tindak lanjut
Laporan Hasil Analisa (LHA) Pusat Penelitian dan Analisa Transaksi
Keuangan (PPATK) yang diterima oleh Polri. Kemudian, Polri
melakukan penyelidikan dengan memeriksa 29 saksi, dan empat ahli
dibidang tindak pidana pencucian uang, pajak dan tindak pidana
korupsi.Ronny mengatakan, ketiganya dijerat Pasal 5, 11, 12,
Undang-undang (UU) Nomor 31/2011 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Pasal 3 dan Pasal 6 UU Nomor 15/2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang.Sumber :Suara Merdeka.comTRIBUNNEWS.COM,
JAKARTA Kepolisian berencana akan mempidanakan korporasi yang
melakukan suap dalam kasus restitusi pajak yang melibatkan dua
pegawai pajak."Kami masih melakukan penggkajian untuk mengajukan
korporasinya dalam kejahatan korporasi, perusahaan sebagai pelaku
tindak pidana,"kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus
Bareskrim Polri,Brigjen Pol Arief Sulistyantodi Mabes Polri,
Jakarta Selatan, Jumat (8/11/2013).Menurutnya dalam praktiknya
perusahaan yang dikendalikan Berty memberikan suap kepada pegawai
pajak menggunakan uang hasil kejahatan pajak."Rupanya uang suap
yang diberikan merupakan hasil restitusi pajak," ucapnya.Pihaknya
pun masih terus mengembangkan kemungkinan ada perusahaan lain yang
melakukan kejahatan pajak yang sama sehingga negara mengalami
kerugian."Kami sedang mempelajari dokumen-dokumen dari kantor
pajak, sasarannya wajib pajak lain yang ditangani dua tersangka
ini, yang mungkin memperoleh restitusi pajak dengan cara yang
sama,"kata Arief.Sebelumnya diberitakan, Direktorat Tindak Pidana
Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri menetapkan tiga orang sebagai
tersangka kasus korupsi dan pencucian uang di Direktorat Jenderal
Pajak.Dua orang di antara adalah mantan pegawai pajak, yakni Denok
Tavi Periana dan Totok Hendrianto. Mereka, diduga sebagai penerima
suap Rp 1,6 miliar dari Komisaris PT Surabaya Agung Industri and
Paper atas nama Berty.Akibat persekongkolan tersebut, negara
dirugikan Rp 21 miliar yang merupakan jumlah restitusi yang
dicairkan kepada PT Surabaya Agung Industri and Paper sejak tahun
2004 sampai 2007.Denok Tavi Periana, Totok Hendrianto, dan Berty
diamankan Senin (21/10/2013) dan kini meringkuk di Tahanan
Bareskrim Polri. Ketiganya disangkakan dengan pasal 5, 11, 12
Undang-undang Tindak Pidana Korupsi dan pasal 3 dan 6 undang-undang
Tindak Pidana
http://www.tribunnews.com/nasional/2013/11/08/polisi-bidik-kejahatan-korporasi-dalam-kasus-restitusi-pajak4.
Kasus Pajak Asian Agri GroupJAKARTA, KOMPAS.com- Keputusan Mahkamah
Agung yang menetapkan denda Rp 2,5 triliun atas Asian Agri Group
merupakan terobosan hukum dalam rangka menjatuhkan sanksi terhadap
kejahatan pidana penggelapan pajak. Hal itu juga sebagai upaya
melindungi pemasukan negara dari sektor pajak, sekaligus menjadi
preseden untuk kasus-kasus serupa berikutnya.Ketua majelis hakim
kasus itu di Mahkamah Agung (MA), Djoko Sarwoko, menyampaikan hal
tersebut, di Jakarta, Sabtu (29/12). MA telah memutuskan menghukum
Asian Agri Group (AAG) dengan denda Rp 2,5 triliun dalam kasus
dengan terdakwa mantan Manajer Pajak Asian Agri Suwir Laut. Vonis
sidang itu dibacakan pada 18 Desember 2012 dengan majelis hakim
Djoko Sarwoko (ketua), serta anggota Komariah Emong Sapardjaja dan
Sri Muharyuni.Suwir Laut divonis hukuman dua tahun penjara dengan
masa percobaan tiga tahun karena dianggap mengisi Surat Pajak
Tahunan (SPT) yang tak sesuai kebenaran. Menurut Djoko Sarwoko,
perbuatan Suwir itu untuk dan atas nama kepentingan perusahaan AAG
sehingga korporasi harus ikut bertanggung jawab.Perbuatan itu
berlanjut selama empat tahun sehingga harus dipandang sebagai
kesengajaan dan merupakan kejahatan bidang pajak. Ini membuat
negara kehilangan hak untuk memperoleh pemasukan dari sektor pajak,
katanya.Sesuai Pasal 38 dan 39 Ayat (1) Huruf c Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2000 tentang Perpajakan, hakim boleh menjatuhkan denda 200
persen dari nilai pajak terutang. Berdasarkan perhitungan
Direktorat Jenderal Pajak, total nilai pajak yang diduga digelapkan
oleh 14 anak usaha AAG selama tahun 2002 sampai 2005 sebesar Rp
1,25 triliun. Setelah dikalikan dua, jumlah denda menjadi Rp 2,5
triliun dan harus dibayar paling lambat setahun. MA baru pertama
kali membuat keputusan kasus pajak seperti ini. Ini bisa menjadi
preseden untuk kasus-kasus serupa pada masa depan, kata Djoko, yang
akan pensiun per 1 Januari 2013.Secara terpisah, kuasa hukum Suwir
Laut, Mohamad Assegaf, mengaku terkejut dengan keputusan MA yang
dia nilai dibuat secara tidak cermat. Kasus ini pernah disidangkan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat serta Pengadilan Tinggi DKI
Jakarta, dan perkara dinyatakan prematur. Sebab, AAG pernah menulis
surat permintaan penetapan jumlah kewajiban pajak kepada Ditjen
Pajak dan Menteri Keuangan, tetapi tak pernah dipenuhi.Assegaf
mengatakan, kasus ini semestinya disidangkan sebagai sengketa pajak
dalam pengadilan pajak, bukan sebagai pidana di pengadilan umum.
Peradilan pidana pajak merupakan usaha terakhir jika berbagai
proses penagihan pajak mentok.Assegaf menyoroti status Djoko yang
mendekati pensiun. Sulit buat saya untuk tidak menduga Djoko
Sarwoko membuat putusan tergesa-gesa dan mungkin untuk membuat
citra perpisahan yang manis, katanya.Namun, Ketua Bidang Pendidikan
Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Maqdir Ismail menilai, putusan MA
itu merupakan terobosan yang patut diapresiasi. Perusahaan mana pun
yang terbukti membuat laporan secara tidak benar atau menggelapkan
pajak harus dihukum berat.
(IAM)http://nasional.kompas.com/read/2012/12/30/11355281/Terobosan.Hukuman.untuk.Penggelap.PajakJAKARTA,
KOMPAS.com- Kasus pajak PT Asian Agri Group hingga saat ini belum
tuntas. Pihak Asian Agri mengklaim Mahkamah Agung (MA) tidak berhak
memutuskan bahwa Asian Agri harus membayar denda pajak.Kuasa hukum
Asian Agri Group, Muhammad Djafar Assegaf mengatakan sejak awal
pihak Asian Agri tidak pernah diperiksa hingga diadili oleh pihak
pengadilan. Namun secara tiba-tiba pihak Mahkamah Agung memutuskan
bahwa Asian Agri bersalah dan harus membayar denda pajak."Dalam
kasus ini yang diadili adalah Suwir Laut, namun yang dihukum adalah
Asian Agri. Ini kasus aneh dan ngawur," kata Assegaf saat
konferensi pers di Jakarta, Selasa (28/5/2013).Dalam pertimbangan
kuasa hukum Asian Agri, seharusnya yang diadili oleh pihak
pengadilan dan Mahkamah Agung (MA) adalah terdakwa Suwir Laut yang
merupakan asisten Vincentius Amin Sutanto (mantan financial
controller Asian Agri). Namun kenyataannya, yang menanggung hal ini
adalah 14 perusahaan Asian Agri Group yang harus didenda membayar
pajak senilai Rp 2,5 triliun. Padahal 14 perusahaan Asian Agri
Group ini sudah membayar pajak sesuai ketentuan yang berlaku.
Sehingga ini yang dinilai tidak sesuai dengan aturan yang
berlaku."Dari 14 perusahaan Asian Agri Group, 8 perusaaan itu sudah
inkrah telah membayar pajak. Ini sudah selesai. Namun yang 6
perusahaan ini masih proses, tapi menurut sepengetahuan kami, 6
perusahaan itu juga sudah membayar pajak," tambahnya.Atas kasus
ini, pihak Asian Agri memilih untuk menunggu proses peninjauan
kembali (PK) Suwir Laut. Rencananya, PK tersebut akan dilakukan
Juli mendatang. "Jadi ini memang terpisah, antara kasus Suwir Laut
dan Asian Agri. Untuk Asian Agri sudah patuh membayar pajak sesuai
ketentuan yang ada. Sedangkan untuk Suwir Laut akan menunggu PK,"
tambahnya.Luhut Pangaribuan Kuasa hukum Asian Agri Group lainnya,
menambahkan, perseroan masih memungkinkan untuk mengajukan PK tanpa
harus mengajukan bukti baru (novum). Sehingga pihaknya akan terus
melakukan PK untuk menyelesaikan masalah ini."Kami mengajukan PK
karena ada pertentangan keputusan dan kami menganggap ada
kekhilafan hakim atas putusan MA yang dibuat," kata
Luhut.Pertentangan keputusan ini adalah terkait kewajiban membayar
pajak dari 14 perusahaan Asian Agri Group yang sudah mendapat
keputusan inkrah dari MA. "Jadi tidak mungkin kami membayar pajak
dua kali. Sementara yang harus diadili adalah Suwir Laut dan itu
pun juga sudah diadili," tambahnya.Sementara General Manager Asian
Agri Group Freddy Widjaja mengatakan, pihaknya sudah melakukan
pembayaran pajak sesuai ketentuan berlaku, khususnya untuk periode
2002-2005. Pada periode tersebut, total penghasilan bersih Asian
Agri ini adalah Rp 1,24 triliun."Jika pajak yang dikenakan sebesar
Rp 1,25 triliun, maka tarif pajak yang dikenakan adalah sebesar 100
persen," kata Freddy.Menurut Freddy, hingga periode itu, Asian Agri
Group sebenarnya sudah menulis surat 21 kali kepada Direktur
Jenderal Pajak bahkan kepada Menteri Keuangan untuk menanyakan
mengenai dugaan kekurangan pembayaran pajak yang dimaksud. Namun.
menurutnya, meski perusahaan telah melakukan konfirmasi, Asian Agri
tidak mendapat tanggapan positif dari Dirjen Pajak.Dengan putusan
perkara MA ini dan menghukum 14 perusahaan untuk membayar denda Rp
2,5 triliun, Freddy menganggap bahwa putusan tersebutnon
executable.Artinya putusan itu tidak berdasar karena 14 perusahaan
itu (8 perusahaan sudah membayar pajak dan 6 perusahaan masih dalam
proses penyelesaian pajaknya).Seperti diberitakan, pada 18 Desember
2012 lalu, Mahkamah Agung menghukum Asian Agri membayar pajak
sebesar Rp 2,5 triliun kepada kelompok perusahaan yang bernaung
dalam bendera Asian Agri Group.Majelis hakim kasasi menyatakan,
Asian Agri telah menggunakan surat pemberitahuan dan keterangan
palsu dalam pembayaran pajak. Ketua majelis hakim Djoko Sarwoko
menyatakan Suwir Laut (mantan manajer pajak Asian Agri yang kini
menjadi tersangka) terbukti melanggar Pasal 39 Ayat 1 Undang-undang
tentang Perpajakan. Untuk itu, Suwir Laut divonis 2 tahun penjara
dengan masa percobaan 3 tahun.Sumber :
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/05/28/15524849/Dihukum.MA..Asian.Agri.Ini.Kasus.Aneh.dan.Ngawur
Kejaksaan Segera Eksekusi Kasus Asian AgriJumat, 14 Juni 2013 |
17:13 WIBJAKARTA, KOMPAS.com Kejaksaan Agung (Kejagung) segera
mengeksekusi kasus pajak Asian Agri Group (AAG) senilai Rp 2,5
triliun. Berdasarkan keputusan MA tanggal 18 Desember 2012, Asian
Agri dinyatakan kurang membayar pajak pada periode 2002-2005
senilai Rp 1,25 triliun dan denda 1,25 miliar. Total yang harus
dibayarkan Rp 2,5 triliun."Insya Allah bisa eksekusi segera. Lebih
cepat, lebih baik," ujar Jaksa Agung Basrief Arief di Kejaksaan
Agung RI, Jumat (14/6/2013).Jika tidak membayarkan Rp 2,5 triliun
itu, aset Asian Agri Grup yang memiliki 14 perusahaan kelapa sawit
itu pun terancam disita. Menurut Basrief, pihaknya memiliki waktu
satu tahun untuk eksekusi aset Asian Agri Group."Kita masih lihat
seberapa jauh aset yang ada pada perusahaan itu," katanya.Kejaksaan
dan pihak terkait saat ini terus mengawasi aset perusahaan Asian
Agri Group. Pengawasan itu untuk mencegah upaya pengalihan aset
oleh perusahaan atau dijual ke pihak lain.Sebelumnya, majelis hakim
pada kasasi menyatakan, Asian Agri telah menggunakan surat
pemberitahuan dan keterangan palsu dalam pembayaran pajak. Ketua
majelis hakim Djoko Sarwoko menyatakan, mantan manajer pajak Asian
Agri, Suwir Laut, terbukti melanggar Pasal 39 Ayat 1 Undang-Undang
tentang Perpajakan. Untuk itu, Suwir Laut divonis 2 tahun penjara
dengan masa percobaan 3 tahun.Berdasarkan keputusan MA tanggal 18
Desember 2012, Asian Agri dinyatakan kurang membayar pajak pada
periode 2002-2005 senilai Rp 1,25 triliun. MA memerintahkan
perusahaan yang didirikan Sukanto Tanoto ini untuk membayar
kekurangan pajak tersebut ditambah denda sebesar Rp 1,25
triliun.General Manager Asian Agri Freddy Widjaya mengatakan,
pihaknya akan mengajukan peninjauan kembali (PK). Freddy
menjelaskan, Asian Agri merupakan pembayar pajak yang cukup besar
pada kurun waktu 2002-2005. Pihaknya pun yakin telah melaporkan dan
membayar jumlah pajak yang benar sesuai dengan peraturan yang
berlaku.Ia juga mengungkapkan bahwa pada periode tersebut total
penghasilan bersih Asian Agri adalah Rp 1,24 triliun. "Jika pajak
yang dikenakan sebesar Rp 1,25 triliun, tarif pajak yang dikenakan
adalah 100 persen?"
ucapnya.http://nasional.kompas.com/read/2013/06/14/17132115/Kejaksaan.Segera.Eksekusi.Kasus.Asian.Agri5.
Kasus Pajak Wilmar GroupKasus dugaan korupsi berupa restitusi pajak
sekitar Rp3,7 triliun, tahun 2007 sampai 2009 telah dilaporkan ke
Kejaksaan Agung, 2009 dengan tembusan kepada Presiden SBY, Menteri
Keuangan dan Ketua Komisi Pengawas Perpajakan.Kasus terkait dugaan
rekayasa laporan pajak, sehingga bisa melakukan restitusi pajak
secara melawan hukum sebesar Rp3,6 triliun, yang lalu mengakibatkan
kerugian negara.Kasus dilaporkan ke Kejagung, 2009 dan 2013 baru
direkomendasikan oleh Kejagung, kasus itu bukan korupsi dan
diserahkan ke Ditjen Pajak, karena terkait masalah penyalahgunaan
restitusi pajak.Wilmar Group diduga telah melaporkan pembukuan ke
kantor Pajak, yakni omzet 2007 sebesar Rp14 triliun, 2008 Rp21
trilun dan 2009 Rp28 triliun. Restitusi pajak yang diajukan ke
Ditjen Pajak, 2007 sebesar Rp800 miliar, 2008 Rp900 miliar dan 2009
Rp1, 9 triliun.Ditjen Pajak telah menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar (SKPLB) dan telah membayar untuk restitusi 2007 dan
2008. Tahun 2009 belum dibayarkan.
http://poskotanews.com/2014/01/31/kasus-restitusi-pajak-wilmar-grup-segera-dituntaskan/Skandal
restitusi pajak Wilmar Group mencuat setelah ada laporan dari
pegawai pajak Kepala Kantor Pajak Pratama Besar Dua M Isnaeni.
Skandal penggelapan restitusi pajak itu melibatkan dua perusahaan
di bawah Wilmar Group, yakni PT Wilmar Nabati Indonesia (WNI) dan
PT Multimas Nabati Asahan (MNA).
PT Wilmar dan PT MNA diduga menggelapkan restitusi pajak
mencapai Rp 7,2 triliun. Panitia Kerja Pemberantasan Mafia Pajak
Komisi III DPR telah menindaklanjuti laporan Isnaeni. DPR sendiri
mengambil kasus tersebut karena Ditjen Pajak dianggap tidak
mengindahkan laporan Isnaeni.
Menurut PPATK terdapat ekspor barang yang tidak di dukung
dokumen valid sekitar Rp.6 Triliun. Selain itu ada pula kejanggalan
penyimpanan yang restitusi pajak Wilmar periode 2009-2010. Nilainya
Rp.3,5 Triliun, yang dimasukkan ke rekening pinjaman. Seharusnya
restitusi itu diapakai untuk pembayaran. Atas dua temuan itu, PPATK
memperkirakan kerugian Negara sebesar Rp.600 milyar dan Rp.3,5
triliun.http://www.bijaks.net/scandal/index/5035-penggelapan_restitusi_pajak_wilmar_groupMerdeka.com
-Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan berjanji mengusut
kasus dugaan penggelapan pajak bermodus restitusi yang diduga
dilakukan PT Wilmar Grup. Kejaksaan Agung telah menyerahkan
penanganan kasus itu pada Ditjen Pajak Kemenkeu."Wilmar lain itu
kan pengadilan belum masuk. Lagi diperiksa sebagian. Tahun-tahun
lalu mereka diperiksa, keluarkan SKP mereka bayar. Selama ini
mereka begitu. Jadi belum sampai seperti masalah Asian Agri," ujar
Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Fuad Rachmany di Kantor Kejaksaan
Agung, Jakarta, Kamis (9/1).Pemeriksaan pajak terhadap Wilmar Grup
terkait masalah administrasi perpajakan tahun 2007-2008. Hingga
saat ini Ditjen Pajak belum mengeluarkan surat perintah dimulainya
penyidikan. "Kalau pemeriksaan itu bukan orangnya jadi belum ada
tersangka, kita baru membuktikan dari dokumen-dokumen yang ada,"
katanya.Fuad enggan menyebutkan berapa dugaan penggelapan bajak
bermodus restitusi yang diduga dilakukan Wilmar Grup. Besarnya
nilai restitusi baru dapat diungkap saat di pengadilan seperti
kasus tunggakan pajak Asian Agri."Nanti di pengadilan itu kan akan
diungkapkan semua. Kita tidak bisa ngmong lagi lebih dari itu,
(tapi) jangan bilang kita bungkam dong. Memang tidak boleh ngomong
gitu,"jelasnya.Diakuinya, Wilmar Grup selalu membayar pajak setiap
ada pemeriksaan yang menyebutkan adanya kurang bayar. Dalam kasus
Wilmar, sebagian masih dalam pemeriksaan dan bukti permulaan."Kalau
pemeriksaan belum ada pidana. Kalau penyidikan itu ada indikasi
pidana. Ini kita belum masuk penyidikan. Jadi baru bukti
permulaan," katanya.Tidah hanya Wilmar, Ditjen Pajak juga tengah
menelaah kasus-kasus penggelapan pajak perusahaan-perusahaan besar
lainnya."Semua perusahaan besar umumnya kita periksa. Kalau ada
indikasi pidana baru kita masuk ke penyidikan,"ucapnya.Untuk
diketahui, kasus penggelapan pajak bermodus restitusi pajak dua
perusahaan Wilmar Group yakni PT Wilmar Nabati Indonesia (WNI) dan
PT Multimas Nabati Asahan (MNA) diungkap Komisi HukumDPRRI setelah
menerima laporan dari pegawai pajak KPP Besar Dua pada
2011.Berdasarkan laporan Isnaeni, MNA dan WNI diduga telah
menggelapkan pajak senilai Rp 7,2 triliun.Beberapa waktu lalu,
anggota Komisi IIIDPRBambang Soesatyomempertanyakan kasus-kasus
mangkrak di Kejaksaan Agung."Perkembangan terakhir, isu aktual,
pengungkapankorupsiBank Century. Kita juga akan sampai laporan
masyarakat kasus-kasus besar, Wilmar grup, kan belum
ditindaklanjuti sejak 2007-2009 Rp 3,5 triliun," ujar Bambang di
GedungDPR, Jakarta, Selasa (3/12).Wakil bendahara umumPartai
Golkarini menjelaskan, dalam kasus Wilmar Grup sudah masuk ke
Kejaksaan. Namun nilainya hanya Rp 500 miliar, jauh berbeda dengan
temuan yang diperoleh Panja Mafia Pajak Komisi IIIDPR."Kita juga
akan mintaKPKlakukan supervisi. Aturan kan jelas. Kalau
mandegKPKbisa menarik kasus itu, supervisi," tegas dia.Sementara
itu, Jaksa AgungBasrief Ariefmenyatakan, jika persoalan penggelapan
pajak Wilmar Grup telah diserahkan ke Dirjen Pajak. Dia lepas
tangan dan tak mau dikatakan kasus tersebut mandek di Kejaksaan
meski sempat menangani kasus ini."Masalah Wilmar itu diserahkan
kepada Dirjen Pajak untuk menindaklanjuti. kemungkinan terkait
masalah perpajakan," ujarnya secara terpisah.Dia menyerahkan
sepenuhnya kasus tersebut ke Dirjen Pajak. Termasuk soal kendala
yang sempat dialami Kejaksaan soal pengungkapan kasus itu."Tanya di
pajak dong. Dirjen pajak," tegas
dia.http://www.merdeka.com/uang/dirjen-pajak-janji-usut-kasus-perpajakan-wilmar-grup.html6.
kasus pajak Paulus TumewuPaulus Tumewu adalah Komisaris Utama PT
Ramayana Lestari Sentosa, yang membawahi antara lain Ramayana dan
Robinson Department Store. Ia juga menempati urutan ke-15 dari
daftar 40 orang terkaya di Indonesia pada tahun 2006.Paulus Tumewu
ditangkap oleh POLRI bersama Ditjen Pajak pada tanggal 31 Agustus
2005.Paulus Tumewu telah melanggar pasal 39 ayat 1b huruf c
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,(yang isinya,
barang siapa dengan sengaja menyampaikan SPT tidak benar dapat
dipidanakan dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara, serta denda 4
kali pajak terutang)dengan sengaja mengecilkan omset yang diterima
oleh Ramayana dan tidak mengisi Surat Pemberitahuan Pajak (SPT)
dengan benar, sehingga merugikan negara sebesar Rp. 399
milyar.Pelangaran pelanggaran yang dilakukan oleh Paulus
Tumewu:
1. Tidak melaporkan SPT secara benarPenjelasan yang tertuang
dalam pasal 13 A UU No.28 tahun 2008 yang menyatakan bahwa: Wajib
pajak yang kerana kealpaannya tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya
tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang
isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan Negara, tidak dikenai sanksi pidan apabila kealpaannya
tersebut pertama kali dilakukan oleh wajib pajak dan wajib pajak
tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang
terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200%
(dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang
ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.2.
Menolak untuk dilakukan pemeriksaan oleh Dierjen PajakPasal 39 ayat
1(e) yang berisi: Setiap orang dengan sengaja menolak untuk
dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29.3.
Memperlihatkan pembukuan secara palsuPasal 39 ayat 1(f) yang
berbunyi: Setiap orang dengan sengaja memperlihatkan pembukuan,
pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan
seolah-olah benar atau tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya.Sanksi yang dapat menjerat Paulus Tumewu:1. Sanksi Pasal
39Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6(enam) bulan dan
paling lama 6(enam) tahun dan denda paling sedikit 2(dua) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling
banyak 4(empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar.2. Sanksi pasal 41cSetiap orang yang dengan sengaja tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 35A ayat 1
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1(satu) tahun atau
denda paling banyak 1 milyar rupiah.Setiap orang yang dengan
sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak
lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 35A ayat 1 dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 10 bulan atau denda paling banyak 800
juta rupiah.Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data
dan informasi yang diminta oleh Direktur Jendral Pajak sebagaimana
dimaksud dalam pasal 35A ayat 2 dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 10 bulan atau denda paling banyak 800 juta
rupiah.Kejanggalan-kejanggalan dalam kasus Paulus Tumewu:1. Nilai
tunggakan pajak Paulus yang semula Rp. 399 milyar menciut menjadi
Rp. 7,99 milyar, padahal belum ada SKP yang seharusnya dikeluarkan
oleh Kantor Pajak Cabang Jakarta.Pada saat Wajib Pajak terbukti
melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak secara salah atau tidak benar
maka harus ada penyidikan yang dilakukan oleh Kantor Dirjen Pajak
untuk membuktikan adanya kesalahan pada penerbitan SPT. Setelah
adanya penyelidikan baru diputuskan berapa pajak yang kurang
dibayar beserta jumlah pajak yang harus dibayar dengan ditambah
sanksi administrasi berupa denda dengan diterbitkannya Surat
Keterangan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). Pada poin nomor satu jelas
tertera bahwa pajak yang terutang oleh Paulus menciut tanpa adanya
penyidikan terlebih dahulu. Ini berarti berupakan pelanggaran
terhadap pasal Pasal 13 ayat 1(a) yang berisi: dalam jangka waktu
lima tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa
pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak, Direktur Jendral Pajak
dapat menerbitkan SKPKB apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar.2.
Kasus yang sudah P-21 (sudah selesai disidik) dan tinggal
dilanjutkan ke tingkat penuntutan, tiba tiba dihentikan, dan
dinyatakan selesai.3. Paulus dibebaskan berkaitan dengan adanya
surat Menteri Keuangan No.SR-173/MK.03/2006 tertanggal 16 Oktober
2006 yang menyatakan bahwa:1.Paulus Tumewu dikenakan Surat
Ketetapan Pajak (SKP) kekurangan pembayaran PPh tahun 2004 sebesar
Rp 7.994.617.750,00. Terhadap kekurangan utang pajak tersebut telah
dilunasi tanggal 28 Nopember 2005.2. Kedua, penyidikan kasus diatas
telah lengkap (P-21), dengan demikian proses penyidikan telah
selesai konsekwensi Paulus membayar tunggakan pajak beserta
dendanya.Kalau menilik lebih lanjut terhadap proses penghentian
penyidiakan, berarti Paulus Tumewu menggunakan pasal 44 B ayat 1 UU
Pajak yang menyatakan bahwa untuk kepentingan negara, atas
permintaan menteri keuangan, Jaksa Agung dapat menghentian
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.Padahal menurut
Ketentuan UU KUP Pasal 44 ayat (2) penghentian penyidikan
sepenuhnya berada di tangan Kejaksaan Agung, dan hanya dapat
dilakukan setelah yang bersangkutan melunasi denda sebesar empat
kali pajak yang tidak atau kurang dibayar.Jadi, mestinya tidak ada
penghentian penyidikan dan harus beralih menjadi penuntutan dan
karena itu Pasal 44B UU KUP tidak lagi bisa berlaku. Dan ini juga
diakui Sekjen Depkeu dalam nota dinas No. ND-594/SJ/2006.7. Kasus
pajak tindak pidana pajakYuli mengatakan kasus faktur pajak fiktif
terbaru yang ditemukan Ditjen Pajak terjadi pada 8 Oktober 2013.
Penyidik pajak kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
Jakarta Selatan telah menahan tersangka MDA. Sementara tersangka MM
alias MR oleh penyidik pajak Direktorat Intelijen dan Penyidikan
Ditjen Pajak.Dia mengatakan MDA ditahan mulai 8 oktober 2013 karena
diduga telah melakukan tindak pidana perpajakan sesuai pasal 39A
Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yaitu
dengan sengaja menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).Menurut dia, dalam menjalankan
operasinya MDA memanfaatkan dua perusahaan yaitu PT BLM yang
terdaftar pada kantor pelayanan pajak (KPP) Pratama Tebet dan PT
ACU yang terdaftar pada KPP Pratama Bekasi Selatan dengan nilai
kerugian negara diperkirakan Rp 12 miliar.Berdasarkan pengembangan
kasus ini telah ditetapkan tiga orang tersangka lainnya yaitu DvH,
DnH dan YF, saat ini berkas penyidikan atas MDA dan DvH telah
dinyatakan lengkap (P21) oleh pihak Kejaksaan Agung untuk dilakukan
penuntutan, ujarDia menjelaskan tersangka MM alias MR ditahan sejak
tanggal 30 Oktober 2013, MM alias MR diduga kuat dengan sengaja
menerbitkan faktur pajak tidak berdasarkan transaksi melalui PT CAP
dan PT CBT selama kurun waktu tahun 2010 sampai 2013."Untuk
melancarkan aksinya MM alias MR membuat identitas palsu dan akta
notaris palsu bahkan rekening bank juga dibuat dengan menggunakan
identitas palsu," kata Yuli.Menurut dia, akibat praktik tersebut
kerugian negara mencapai Rp 55 miliar. MM alias MR dijerat pasal
39A huruf A pasal 43 UU KUP dengan ancaman hukuman pidana penjara
paling singkat 2 tahun dan paling lama enam tahun. Selain itu,
denda paling sedikit dua kali jumlah pajak dalam faktur pajak, dan
paling banyak enam kali jumlah pajak dalam faktur pajak8. Kasus
pajak GayusKronologis kasus gayus ini diambil dari blog SIR MR SRI
TAMIANG yang diposkan hari Minggu tanggal 13 Maret 2011 dengan
pengeditan kata seperlunya.Berawal tudingan Mantan Kabareskrim
Mabes Polri, Komjen Susno Duadji tentang adanya praktek mafia hukum
di tubuh Polri dalam penanganan kasus money laundring oknum pegawai
pajak bernama Gayus Halomoan Tambunan yang merembet kepada
Kejaksaan Agung dan Tim Jaksa Peneliti, Tim Jaksa Peneliti akhirnya
bersuara mengungkap kronologis penanganan kasus Gayus H. Tambunan.
Berikut ini kronologis penanganan kasus Gayus H. Tambunan menurut
Tim Peneliti Kejaksaan Agung.Kasus bermula dari kecurigaan Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terhadap rekening
milik Gayus H. Tambunan di Bank Panin. Polri kemudian melakukan
penyelidikan terhadap kasus ini. Tanggal 7 Oktober 2009 penyidik
Bareskrim Mabes Polri menetapkan Gayus H. Tambunan sebagai
tersangka dengan mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan (SPDP).Dalam berkas yang dikirimkan penyidik Polri
kepada kejaksaan, Gayus H. Tambunan dijerat dengan tiga pasal
berlapis yakni pasal korupsi, pencucian uang, dan penggelapan. Hal
ini karena Gayus H. Tambunan adalah seorang pegawai negeri dan
memiliki dana Rp. 25 miliar di Bank Panin.Hasil penelitian jaksa
menyebutkan bahwa hanya terdapat satu pasal yang terbukti
terindikasi kejahatan dan dapat dilimpahkan ke Pengadilan, yaitu
penggelapan namun hal ini tidak terkait dengan uang senilai Rp. 25
milliar yang diributkan PPATK dan Polri. Untuk korupsi terkait dana
Rp.25 milliar tidak dapat dibuktikan karena dalam penelitian
ternyata uang tersebut merupakan produk perjanjian Gayus dengan
Andi Kosasih. Andi Kosasih adalah pengusaha garmen asal Batam yang
mengaku pemilik uang senilai hampir Rp. 25 miliar di rekening Bank
Panin milik Gayus H. Tambunan. Hal ini didukung dengan adanya
perjanjian tertulis antara terdakwa (Gayus H. Tambunan) dan Andi
Kosasih yang ditandatangani tanggal 25 Mei 2008.Menurut Cirrus
Sinaga selaku anggota Tim Jaksa Peneliti kasus Gayus, Gayus H.
Tambunan dan Andi Kosasih awalnya berkenalan di pesawat. Kemudian
keduanya berteman karena merasa sama-sama besar, tinggal dan lahir
di Jakarta Utara. Karena pertemanan keduanyalah Andi Kosasih
meminta Gayus H. Tambunan mencarikan tanah dua hektar untuk
membangun ruko di kawasan Jakarta Utara. Biaya yang dibutuhkan
untuk pengadaan tanah tersebut sebesar US$ 6 juta. Namun Andi
Kosasih baru menyerahkan uang sebesar US$ 2.810.000. Andi
menyerahkan uang tersebut kepada Gayus melalui transaksi tunai di
rumah orang tua istri Gayus lengkap dengan kwitansinya, sebanyak
enam kali yaitu pada tanggal 1 Juni 2008 sebesar US$ 900.000,
tanggal 15 September 2008 sebesar US$ 650.000, tanggal 27 Oktober
2008 sebesar US$ 260.000, tanggal 10 November 2008 sebesar US$
200.000, tanggal 10 Desember 2008 sebesar US$ 500.000, dan terakhir
pada tanggal 16 Februari 2009 sebesar US$ 300.000. Andi Kosasih
menyerahkan uang tersebut karena dia percaya kepada Gayus H.
Tambunan.Menurut Cirrus Sinaga, dugaan money laundring hanya tetap
menjadi dugaan karena Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi
Keuangan (PPATK) sama sekali tidak dapat membuktikan uang senilai
Rp. 25 milliar tersebut merupakan uang hasil kejahatan pencucian
uang (money laundring). PPATK telah dihadirkan dalam kasus tersebut
sebagai saksi. Dalam proses perkara, PPATK tidak bisa membuktikan
transfer rekening yang diduga tindak pidana.Dari perkembangan
proses penyidikan kasus tersebut, ditemukan juga adanya aliran dana
senilai Rp 370 juta di rekening lainnya di Bank BCA milik Gayus H.
Tambunan. Uang tersebut diketahui berasal dari dua transaksi yaitu
dari PT.Mega Cipta Jaya Garmindo. PT. Mega Cipta Jaya Garmindo
adalah perusahaan milik pengusaha Korea, Mr. Son dan bergerak di
bidang garmen. Transaksi dilakukan dalam dua tahap yaitu pada
tanggal 1 September 2007 sebesar Rp. 170 juta dan 2 Agustus 2008
sebesar Rp. 200 juta.Setelah diteliti dan disidik, uang senilai
Rp.370 juta tersebut diketahui bukan merupakan korupsi dan money
laundring tetapi penggelapan pajak murni. Uang tersebut dimaksudkan
untuk membantu pengurusan pajak pendirian pabrik garmen di
Sukabumi. Namun demikian, setelah dicek, pemiliknya Mr Son, warga
Korea, tidak diketahui berada di mana. Uang tersebut masuk ke
rekening Gayus H. Tambunan tetapi ternyata Gayus tidak urus
pajaknya. Uang tersebut tidak digunakan oleh Gayus dan tidak
dikembalikan kepada Mr. Son sehingga hanya diam di rekening Gayus.
Berkas P-19 dengan petujuk jaksa untuk memblokir dan kemudian
menyita uang senilai Rp 370 juta tersebut. Dalam petunjuknya, jaksa
peneliti juga meminta penyidik Polri menguraikan di Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) keterangan tersebut beserta keterangan tersangka
(Gayus H. Tambunan).Dugaan penggelapan yang dilakukan Gayus
diungkapkan Cirrus Sinaga secara terpisah dan berbeda dasar
penanganannya dengan penanganan kasus money laundring, penggelapan
dan korupsi senilai Rp. 25 milliar yang semula dituduhkan kepada
Gayus. Cirrus dan jaksa peneliti lain tidak menyinggung soal Rp 25.
milliar lainnya dari transaksi Roberto Santonius, seorang konsultan
pajak. Kejaksaan pun tak menyinggung apakah mereka pernah
memerintahkan penyidik Polri untuk memblokir dan menyita uang dari
Roberto ke rekening Gayus senilai Rp 25 milyar itu.Sebelumnya,
penyidik Polri melalui AKBP Margiani, dalam keterangan persnya
mengungkapkan bahwa jaksa peneliti dalam petunjuknya (P-19) berkas
Gayus memerintahkan penyidik untuk menyita besaran tiga transaksi
mencurigakan di rekening Gayus. Adapun tiga transaksi itu diketahui
berasal dari dua pihak, yaitu Roberto Santonius dan PT. Mega Jaya
Citra Termindo. Transaksi yang berasal dari Roberto, yang diketahui
sebagai konsultan pajak bernilai Rp. 25 juta, sedangkan dari PT.
Mega Jaya Citra Termindo senilai Rp. 370 juta. Transaksi itu
terjadi pada tanggal 18 Maret, 16 Juni dan 14 Agustus 2009. Uang
senilai Rp. 395 juta tersebut disita berdasarkan petunjuk dari
jaksa peneliti kasus itu.Berkas Gayus dilimpahkan ke pengadilan.
Jaksa mengajukan tuntutan 1 (satu) tahun dan masa percobaan 1
(satu) tahun. Dari pemeriksaan atas pegawai Direktorat Jenderal
Pajak itu sebelumnya, beredar kabar bahwa ada guyuran sejumlah uang
kepada polisi, jaksa, hingga hakim masing-masing Rp 5 miliar.
Diduga gara-gara guyuran uang tersebut Gayus terbebas dari hukuman.
Dalam sidang di Pengadilan Negeri Tangerang tanggal 12 Maret 2010,
Gayus yang hanya dituntut satu tahun percobaan, dijatuhi vonis
bebas.Menurut Yunus Husein, Ketua PPATK, Mengalirnya uang belum
kelihatan kepada aparat negara atau kepada penegak hukum. Namun
anehnya penggelapan ini tidak ada pihak pengadunya, pasalnya
perusahaan ini telah tutup. Sangkaan inilah yang kemudian maju ke
persidangan Pengadilan Negeri Tangerang. Di Pengadilan Negeri
Tangerang, Gayus tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana penggelapan. Hasilnya, Gayus divonis
bebas.Sosok Gayus dinilai amat berharga karena ia termasuk saksi
kunci dalam kasus dugaan makelar kasus serta dugaan adanya mafia
pajak di Direktorat Jenderal Pajak. Belum diketahui apakah Gayus
melarikan diri lantaran takut atau ada tangan-tangan pihak tertentu
yang membantunya untuk kabur supaya kasus yang membelitnya tidak
terbongkar sampai ke akarnya. Satgas Pemberantasan Mafia Hukum
meyakini kasus Gayus H. Tambunan bukan hanya soal pidana pengelapan
melainkan ada juga pidana korupsi dan pencucian uang.Gayus
diketahui berada di Singapura. Dia meninggalkan Indonesia pada Rabu
24 Maret 2010 melalui Bandara Soekarno-Hatta. Namun dia pernah
memberikan keterangan kepada Satgas kalau praktek yang dia lakukan
melibatkan sekurang-kurangnya 10 rekannya. Imigrasi tidak
mengetahui posisi Gayus.Satgas Pemberantasan Mafia Hukum mengatakan
bahwa kasus markus pajak dengan aktor utama Gayus H. Tambunan
melibatkan sindikasi oknum polisi, jaksa, dan hakim. Satgas
menjamin oknum-oknum tersebut akan ditindak tegas oleh
masing-masing institusinya, koordinasi perkembangan ketiga lembaga
tersebut terus dilakukan bersama Satgas. Ketiga lembaga tersebut
sudah berjanji akan melakukan proses internal. Kasus ini merupakan
sindikasi (jaringan) antar berbagai lembaga terkait.Perkembangan
selanjutnya kasus Gayus melibatkan Komjen Susno Duadji, Brigjen
Edmond Ilyas, Brigjen Raja Erisman. Setelah 3 kali menjalani
pemeriksaan, Komjen Susno Duadji menolak diperiksa Propam.
Alasannya, dasar aturan pemeriksaan sesuai dengan Pasal 45, 46, 47,
dan 48 UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Pasal 25 Perpres No. I Tahun 2007 tentang
Pengesahan Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan, harus
diundangkan menteri dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM.Komisi III
DPR menyatakan siap memberi perlindungan hukum untuk Komjen Susno
Duadji. Pada tanggal 30 Maret 2010, polisi telah berhasil
mendeteksi posisi keberadaan Gayus di negara Singapura dan menunggu
koordinasi dengan pihak pemerintah Singapura untuk memulangkan
Gayus ke Indonesia. Polri mengaku tidak akan seenaknya melakukan
tindakan terhadap Gayus meski yang bersangkutan telah diketahui
keberadaannya di Singapura.Pada tanggal 31 Maret 2010, Tim Penyidik
Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri memeriksa tiga orang
sekaligus. Selain Gayus H. Tambunan dan Brigjen Edmond Ilyas,
ternyata Brigjen Raja Erisman juga ikut diperiksa. Pemeriksaan
dilakukan oleh tiga tim berbeda. Tim pertama memeriksa berkas
lanjutan pemeriksaan Andi Kosasih, tim kedua memeriksa adanya
keterlibatan anggota polri dalam pelanggaran kode etik profesi, dan
tim ketiga menyelidiki keberadaan dan tindak lanjut aliran dana
rekening Gayus.Pada tanggal 7 April 2010, Komisi III DPR mengendus
seorang jenderal bintang tiga di Kepolisian diduga terlibat dalam
kasus Gayus H. Tambunan dan seseorang bernama Syahrial Johan ikut
terlibat dalam kasus penggelapan pajak yang melibatkan Gayus H.
Tambunan, dari Rp. 24 milliar yang digelapkan Gayus, Rp. 11 milliar
mengalir kepada pejabat kepolisian, Rp. 5 milliar kepada pejabat
kejaksaan dan Rp. 4 milliar di lingkungan kehakiman, sedangkan
sisanya mengalir kepada para pengacara. Analisis Kasus GayusSetiap
tahun pemerintah menyiapkan anggaran keuangan yang disebut Anggaran
Pendapatan dan Belanja yang mempunyai fungsi sebagai kebijakan
keuangan pemerintahan dalam memperoleh dan mengeluarkan uang yang
digunakan untuk menjalankan pemerintahan. Anggaran ini
memperlihatkan jumlah pendapatan dan belanja yang diantisipasikan
dalam tahun berikut. Dalam unsur pendapatan yang paling utama dan
penting adalah pendapatan yang berasal pajak, selain dari pada itu
berasal dari sumber lain yang dinamakan Pendapatan Negara Bukan
Pajak (PNBP) dan hibah. PNBP merupakan pendapatan negara yang
paling banyak jenisnya termasuk yang dinamakan retribusi. Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) kerap mengalami kebocoran lantaran
dikorup para pejabat. Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung hingga
mencapai 30 persen. Jika APBN minimal Rp1.400 triliun, sekitar
Rp400 miliar dana APBN yang menguap setiap tahun.Pembahasan ini
difokuskan pada divonis bebasnya Gayus oleh Pengadilan Negeri
Tangerang karena tidak terbukti melakukan salah satu tindak pidana
yang disangkakan, yaitu: korupsi, Menurut anggota Komisi III DPR,
Andi Anzhar Cakra Wijaya, kasus penggelapan pajak masih belum
manjur jika hanya dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi. Undang-UndangMoney Laundering(pencucian uang) dinilai
lebih sakti menindak mafia pajak. Para penegak hukum bisa
menggunakan Undang-Undang tersebut untuk membuktikan perbuatan
penggelapan pajak kasus Gayus Tambunan. Ia menyebutkan, penggelapan
pajak itu berasal dari perbuatan Gayus yang menerima suap dari
perusahaan-perusahaan yang dibantunya. Akibat suap itulah terjadi
penggelapan pajak yang jumlahnya sangat besar dan merugikan negara.
Kalau ada indikasi penggelapan perpajakan, harus digunakan
Undang-Undang Pencucian Uang. Proses penyidikan bisa dimulai dari
pencucian uang itu, tutur Andi. Setuju dengan pendapat Andi Anzhar
Cakra Wijaya, penulis berpendapat bahwa sudah seharusnya Gayus
dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Khusus, yaitu korupsi,
pencucian uang dan penggelapan.Kalau kita baca kembali kasus Gayus
tersebut, jelas bahwa pada awalnya dalam berkas yang dikirimkan
penyidik Polri kepada kejaksaan, Gayus H. Tambunan dijerat dengan
tiga pasal berlapis yakni pasal korupsi, pencucian uang, dan
penggelapan. Hal ini karena Gayus H. Tambunan adalah seorang
pegawai negeri dan memiliki dana Rp. 25 miliar di Bank
Panin.Sebenarnya dengan melihat besarnya dana yang dimiliki oleh
seorang pegawai negeri sudah cukup menimbulkan banyak pertanyaan
darimana uang sebanyak itu mengingat Gayus hanyalah seorang pegawai
negeri dan orang tuanya juga bukan pengusaha kaya raya. Sangat
mustahil dia bisa mempunyai uang sebanyak itu di rekening banknya.
Keberadaan uang dua puluh lima milyar di rekening Gayus sudah cukup
menjadi bukti permulaan untuk menelusuri darimana uang tersebut,
bagaimana cara Gayus memperolehnya, apakah ada hubungannya dengan
pekerjaannya sebagai seorang pegawai pajak dan
lain-lain.Berdasarkan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang
menetapkan bahwa selain dilakukan oleh pembayar pajak
(plagenataudader),tindak pidana pajakdapat melibatkan penyerta
(deelderming) seperti wakil, kuasa ataupegawai pembayar pajakatau
pihak lain yang menyuruh melakukan (doen plegenataumiddelijke),
yang turut serta melakukan (medeplegenataumededader), yang
menganjurkan (uitlokker), atauyang membantu melakukan tindak pidana
perpajakan(medeplichtige), Gayus mungkin saja berperan
sebagaimedeplegen, uitlokkerataumedeplichtige. Hal ini didasarkan
pada keterangan Gayus pada Satgas pemberantasan mafia hukum bahwa
dalam melakukan aksinya tersebut Gayus melibatkan
sekurang-kurangnya sepuluh rekannya.Namun apa yang terjadi?Indikasi
tindak pidana perpajakan berupa penggelapan yang dilakukan oleh
Gayus terkait uang dua puluh lima milyar di rekening banknya tidak
terbukti. Hal ini sebagaimana hasil penelitian jaksa yang
menyebutkan bahwa hanya terdapat satu pasal yang terbukti
terindikasi kejahatan dan dapat dilimpahkan ke Pengadilan, yaitu
penggelapan namun hal ini tidak terkait dengan uang senilai Rp. 25
milliar yang diributkan PPATK dan Polri. Penggelapan yang dimaksud
yaitu adanya aliran dana senilai Rp 370 juta di rekening Bank BCA
milik Gayus H. Tambunan. Uang tersebut diketahui berasal dari dua
transaksi yaitu dari PT.Mega Cipta Jaya Garmindo. pada tanggal 1
September 2007 sebesar Rp. 170 juta dan 2 Agustus 2008 sebesar Rp.
200 juta. Uang tersebut dimaksudkan untuk membantu pengurusan pajak
pendirian pabrik garmen di Sukabumi. Namun setelah dicek,
pemiliknya Mr Son, warga Korea, tidak diketahui berada di mana.
Uang tersebut masuk ke rekening Gayus H. Tambunan tetapi ternyata
Gayus tidak urus pajaknya. Uang tersebut tidak digunakan oleh Gayus
dan tidak dikembalikan kepada Mr. Son sehingga hanya diam di
rekening Gayus. Berdasarkan penelitian dan penyidikan, uang senilai
Rp.370 juta tersebut diketahui bukan merupakan korupsi dan money
laundring tetapi penggelapan pajak murni.Oleh karena itu, kebocoran
APBN di sana-sini hampir dipastikan semakin besar ketimbang
tahun-tahun sebelumnya. Sebab, semua sektor rawan dikorupsi. Hanya,
peluang beberapa pos anggaran lebih terbuka. Di antaranya, pos
penganggaran untuk bantuan sosial dan belanja modal seperti untuk
pembangunan infrastruktur. Mengacu pada sejumlah kasus korupsi yang
bisa dibongkar, jika ditotal, kerugian negara memang cukup besar.
Sebut saja kasus Nazaruddin di wisma atlet yang merugikan negara
sekitar Rp25 miliar. Selain itu, kasus mafia pajak Gayus Tambunan
yang merugikan keuangan negara Rp25 miliar. Jadi, kejahatan
anggaran yang belum terungkap itu sebenarnya masih sangat banyak9.
Kasus Money Lundry
TEMPOInteraktif,Jakarta:Mahkamah Agung (MA) menghukum mantan
Direktur Utama Bank Mandiri E.C.W. Neloe serta Direktur Risk
Management I Wayan Pugeg, dan Direktur Corporate Banking M. Sholeh
Tasripan masing-masing 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta
subsider 6 bulan.
"Majelis memutus dalam rapat terbuka 13 September 2007 lalu.
Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
korupsi secara bersama-sama dan berkelanjutan," kata Ketua
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Andi Samsan Nganro saat
membacakan petikan putusan MA di kantornya, Jumat.
Dengan keputusan ini, majelis hakim yang dipimpin Bagir Manan
dan beranggotakan Iskandar Kamil, Djoko Sarwoko, Harifin A. Tumpa,
dan Rehngena Purba membatalkan putusan majelis hakim PN Jakarta
Selatan nomor 2068/Pid.B/2005/PN JakSel tertanggal 20 Februari
2006.
Saat itu majelis hakim PN Jakarta Selatan memvonis bebas tiga
terdakwa kasus pengucuran kredit Rp 160 miliar ke PT Cipta Graha
Nusantara ini. Mereka didakwa melanggar Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam pertimbangan majelis hakim Jakarta Selatan disebutkan
unsur setiap orang, unsur melanggar hukum, dan unsur memperkaya
diri sendiri atau korporasi telah terbukti. Namun, unsur kerugian
negara tidak terbukti. Kemudian Jaksa Baringin Sianturi yang kala
itu menuntut 20 tahun penjara mengajukan kasasi atas putusan
ini.http://www.tempo.co/read/news/2007/09/14/055107590/Mantan-Direktur-Utama-Bank-Mandiri-ECW-Neloe-Dihukum-10-Tahun
kasus maney laundry PT. Gramarindo Group
Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan,
menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan, atau perbuatan
lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga
merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan,
atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah
menjadi harta kekayaan yang sahSebagai gambaran seperti apa Tindak
Pidana Pencucian Uang kita lihat salah satu Pemberitan kasus yakni
pembobolan Bank BNI sebesanr Rp. 1,7 triliun melalui L/C fiktif
dengan adanya pemberian kredit ekspor letter of credit (L/C) oleh
pihak cab. BNI Utama Kebayoran Baru.Bobolnya uang sejumlah 1.7
triliun rupiah bermula dari PT. Gramarindo Mega Indonesia
(Perusahaan milik Erri Lumowa dan Adrian Woworuntu)
mengajukanpermohonan pembiayaan ekspor impor dari BNI Cab Kebayoran
Baru Jakarta Selatan. PT Gramarindo rencananya akan melakukan
ekspor pasir dan minyak residu ke negara-negara Afrika dan Timur
Tengah, dalam mengajukan permohonan pembiayaan tersebut PT.
Gramarindo mendapatkan jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya, The Wall
Street Banking Corporation, Middle East Bank Kenya Ltd, Ross Bank
Swissdan Bank One (New York).Berdasarkan L/C yang dipecah-pecah
menjadi 80 L/C kecil namun keseluruhannya berjumlah 1,7 triliun
rupiah tersebut, menghasilkan uang kredit ekspor dalam mata uang
dollar dan Euro yang telah dicairkan sejak bulan Juli 2002 sampai
bulan Juli 2003. Belakangan baru diketahu kalau ternyata ekspor
tersebut hanya fiktif belaka, yaitu dengan membuat dokumen ekspor
fiktif, PT. Gramarindo Group dapat menikmati uang dan menggunakan
uang tersebut.Dalam transaksi perdagangan luar negeri, terjadi
hubungan dagang antara penjual dari suatu negara dan pembeli dari
negara lainnya. Untuk kelancaran transaksi dagang antara suatu
negara dan negara lainnya dibutuhkan pengertian dan kerjasama yang
baik dan saling menguntungkan serta tetap berpedoman kepada
ketentuan-ketentuan hukum dagang dari masing-masing
negara.Salahsatu cara pembayaran yang dipergunakan didalam
perdagangan luar negeri adalah cara kredit dokumenter, yaitu dengan
mempergunakan warkat berharga yang disebut Letter Of Credit
(L/C).Apabila terjadi perjanjian jual beli barang (sales contract)
antara penjual (seller) di Indonesia dan pembeli (buyer) dari Kenya
untuk sejumlah barang tertentu, maka dalam perjanjian jual beli
tersebut eksportir (penjual) mensyaratkan pembeli harus mengirimkan
uangnya terlebih dahulu, kemudian setelah menerima uang dimaksud
pihak eksportir baru akan mengapalkan barang-barang ekspornya.
Dilain pihak pembeli dapat meminta agar pihak eksportir harus
mengirimkan barang-barangnya terlebih dahulu ke Kenya, dan setelah
diterimanya barang-barang tersebut, barulah kemudian pihak pembeli
akan mengirimkan uangnya. Dengan gambaran tersebut terlihat bahwa
masing-masing pihak bermaksud mengamankan kepentingan masing-masing
terlebih dahulu. Oleh karena itu diperlukan pemberian jasa dari
pihak ketiga lainnya misalnya Bank terutama Bank Devisa. Bank
merupakan suatu lembaga keuangan yang melayani kepentingan dari
pihak yang memakai jasa bank, dengan tanpa mengabaikan keuntungan
bank baik secara langsung maupun tidak langsung.Letter of Credit
(L/C) merupakan suatu warkat yang diterbitkan oleh suatu bank atas
permintaan pihak pemakai jasa (applicant) atau pembeli yang
ditujukan kepada pihak ketiga lainnya, yang mengakibatkan bank
pembuka L/C (opening bank) untuk ;a.melakukan pembayaran kepada
pihak ketiga (beneficiary) atau ordernya, atau harus membayar,
mengaksep atau menegosiasi (mengambil alih) wesel-wesel (perintah
tertulis) tanpa syarat sebagai pembayaran pada waktu tertentu
dikemudian hari) yang ditarik oleh beneficiary/supplier/penjual
atau;b.memberi kuasa kepada bank lain untuk melakukan pembayaran
yang dimaksud, atau harus membayar, mengaksep atau menegosiasi
wesel-wesel itu atas penyerahan dokumen-dokumen yang ditentukan dan
sesuai syarat serta kondisi dari kredit yang
bersangkutan.Pemerintah sangat kesulitan untuk melacak dimana
uang-uang haram hasil kejahatan tersebut disembunyikan, karena para
pelaku dengan kelihaiannya dapat menyembunyikan uang tersebut
dengan berbagai cara salah satunya adalah melalui proses pencucian
uang yang lazim disebut money laundering. Prosesnya dilakukan
melalui berbagai transaksi yang rumit dan menyesatkan sehingga
sulit untuk dideteksi/ dilacak.Proses atau modus operandi money
laundering ini umumnya bervariasi sesuai dengan status social dan
tingkat pendidikan pelakunya. Kecenderungannya semakin tinggi
status social dan tingkat pendidikan pelaku maka semakin lihai ia
untuk menyembunyikan harta hasil dari kejahatannya.Modus operandi
yang sering terjadi dalam tindak pidana money laundering ada 3
tahap yaitu :1.Penempatan; dimana pelaku menempatkan uang atau
harta yang diperoleh dari suatu tindak pidana ke dalam suatu tempat
yang dianggap aman seperti masuk dalam system perbankan.2.Pelapisan
; layering yaitu kegiatan untuk menghilangkan jejak asal uang haram
tersebut dengan menciptakan berbagai transaksi yang berlapis-lapis.
Dalam kejahatan money laundering yang berskala sederhana transaksi
yang diciptakan tidak terlalu rumit, yaitu misalnya mentransfer
uang haram tersebut ke negara lain dalam bentuk mata uang asing,
pembelian saham atas tunjuk, bisnis property dan lain sebagainya.
Sedangkan dalam kejahatan yang telah terorganisir termasuk white
collar crime yang banyak terjadi akhir-akhir ini, transaksinya
selain komplek juga berlapis-lapis, sehingga sulit untuk dilacak.
Uang haram tersebut dapat dengan mudah berpindah dari satu rekening
ke rekening lainnya baik di dalam maupun diluar negeri, apalagi
dengan dalih berlindung dibalik kerahasian bank, terutama di
negara-negara yang memang memberi kemudahan untuk membuka rekening
dan kerahasian banknya sangat ketat seperti di Swiss, Hongkong,
Panama dan Kepulauan Caymand. Untuk melakukan transaksi-transaksi
antara negara/ benua bagi pelaku sangat mudah dilakukan karena
pelaku biasanya sudah mempunyai jaringan transaksi internasional
seperti dalam kasus narkotika.3.Integrasi atau penyatuan yaitu
melakukan integrasi ataupun penyatuan uang haram tersebut kepada
kegiatan-kegiatan perekonomian atau bisnis yang semula memang sah
dan normal. Tahap ini adalah tahap yang cukup sulit untuk dilakukan
pelacakan karena sudah sangat
sulithttp://syamsuwirsiddiq.wordpress.com/2007/12/01/my-profile/10.
kasus bank century Aliran Dana Lembaga Penjamin Simpanan pada Bank
Centuryatau secara teknis disebut sebagaipenyertaan modal
sementara(PMS) yang dikucurkan dalam kurun waktu delapan bulan
dariLembaga Penjamin Simpanan(LPS) yang mencapai sejumlah Rp 6,7
triliun adalah salah satu tata cara penanganan terhadapbank
gagalyang dilakukan olehKomite Stabilitas Sektor Keuangan(KSSK)yang
beranggotakanMenteri Keuangan,Bank Indonesia(BI) danLembaga
Pengawas Perbankan(LPP) dalam hal ini termasukbank gagaldalam
dampak sistemik, untuk saat sekarang Lembaga Pengawas Perbankan
(LPP) masih berada dalam naungan lingkup kerja padaBank
Indonesia(BI)[1]. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya Bank
Century diubah nama menjadi Bank MutiaraLatar belakangSalah satu
ujuk rasa para nasabah Bank CenturyPada tanggal13 November2008Bank
Century mengalami keadaan tidak bisa membayar dana permintaan dari
nasabah atau umumnya disebut sebagaikalah kliringkeadaan ini hingga
membuat terjadinya kepanikan ataurushdalam penarikan dana pada Bank
Century selanjutnya pada tanggal14 November2008manajemen Bank
Century melapor kejadian tersebut serta ikut mengajukan permohonan
untuk mendapatkan fasilitas pendanaan darurat kepadaKomite
Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK)selanjutnya pada tanggal20
November2008Bank Indonesia(BI) melakukan penetapan status Bank
Century menjadibank gagal,Menteri Keuanganyang dijabat olehSri
Mulyaniselaku Ketua dariKomite Stabilitas Sektor Keuangan(KSSK)
mengadakan rapat untuk pembahasan nasib Bank Century, dalam rapat
tersebut,Bank Indonesia(BI) diwakili olehGubenur Bank Indonesiayang
dijabat olehBoedionomelalui data per31 Oktober2008menyatakan
bahwarasio kecukupan modalatauCapital Adequacy Ratio(CAR) Bank
Century telahminus hingga 3,52 persen, dalam agenda rapat tersebut
antara lain turut dibahas dampak yang akan terjadi atau akan timbul
apakah akan berdampak sistemik, seperti dalam istilah teknis
disebutbank runataurun on the bankbila Bank Century diperlakukan
sebagai bank gagal yang akan dilikuidasi kemudian dalam rapat
tersebut diputuskan untuk menyerahkan Bank Century kepadaLembaga
Penjamin Simpanan(LPS)[10].LaporanBadan Pemeriksa
Keuangan(BPK)Badan Pemeriksa Keuangan(BPK) dalam laporan awal
menyebutkan adanya dugaan ada rekayasa untuk menyuntikkan dana
Dalam pasal 32, 33 dan 39 Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor
5/PLPS/2006 tanggal28 September2006menyatakan bahwa selama bank
gagal sistemik dalam penangananLembaga Penjamin Simpanan(LPS), jika
berdasarkan penilaianLembaga Pengawas Perbankan(LPP) kondisi bank
menurun sehingga menyebabkan diperlukan tambahan modal disetor
untuk memenuhi tingkat kesehatan bank, makaLembaga Penjamin
Simpanan(LPS) memintaKomite Koordinasiuntuk membahas permasalahan
bank serta langkah-langkah yang akan diambil untuk penanganan bank
tersebut, oleh sementara pihak mentenggarai terubah melalui pasal 6
Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 3/PLPS/2008 tanggal4
Desember2008dan sudah dibantah oleh LPS mengenai adanya rekayasa
aturan.[11][12][13]PihakPusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan(PPATK) ikut terbawa dicurigai berusaha untuk
menutup-nutupi data aliran dana tersebut akan tetapi kemudian
dibantah olehYunus Husein, KepalaPusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan(PPATK) dengan mengatakan bahwa telah diberikan
informasi mengenai aliran dana Bank Century sesuai dengan
permintaanBadan Pemeriksa Keuangan(BPK)[14]akan tetapi pada
tanggal23 November2009menurutMaruarar Sirait, anggotaDewan
Perwakilan Rakyat(DPR) yang ikut dalam saat penyerahan laporan
hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Bank Century
yang diberikan kepadaDewan Perwakilan Rakyat(DPR) mengatakan bahwa
laporanBadan Pemeriksa Keuangan(BPK) tersebut tidak menyertakan
soal aliran dana Bank Century[15]tanggal1 Desember2009Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengatakan baru
menyampaikan informasi transaksi keuangan kepadaBadan Pemeriksa
Keuangan(BPK) dari 51 nasabah yang terdiri dari 44 nasabah
perorangan dan 7 nasabah perusahaan senilai Rp 147,6 miliar dan tak
temukan aliran dana Bank Century kepada parpol.[16]Dalamsiaran
perstanggal26 November2009guna pemenuhi informasi penyelidikan
aliran dana Bank Century, KepalaPusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuanganmenerangkan bahwaBadan Pemeriksa Keuangan(BPK)
telah menyampaikan tiga surat kepadaPusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan(PPATK) mengenai bantuan analisis transaksi,
surat pertama tanggal17 September2009, surat kedua tanggal5
Oktober2009, dan surat ketiga tanggal29 Oktober2009, surat pertama
yang meminta informasi mengenai aliran dana keluar, maksud dan
tujuan penggunaan dari rekening pihak-pihak terkait dengan kasus
Bank Century di PT Bank Century ke rekening di Bank lain atas nama
pihak-pihak tersebut maupun pihak lain yang melibatkan seratus
duapuluh empat transaksi yang terkait dengan kurang lebih limapuluh
nasabah, surat kedua mengenai permintaan terkait dengan investigasi
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam perkara dugaan penyimpangan
penggunaan dana talangan yang diberikan oleh Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS) kepada Bank Century dalam lampiran surat kedua,
permintaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tersebut sebagian besar
diperoleh berdasarkan Surat Bank Indonesia (BI) tanggal28
Januari2009perihal Data Pihak Terkait dan Pihak Lain yang Diijinkan
dapat menarik dananya pada Bank Century, surat ketiga, Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) meminta agar Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) menindaklanjuti dengan meminta informasi
aliran dana kepada enambelasPenyedia Jasa Keuangan(PJK) terkait dan
sampai dengan tanggal23 November2009telah diberikan kurang lebih
limapuluhLaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan(LTKM) dari sepuluh
Penyedia Jasa Keuangan (PJK) dan dari hasil analisis terhadap
Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) tersebut telah pula
disusun hasil analisis dan diserahkan kepada Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) yang dalam hasil analisis yang ada menunjukkan
setidaknya tujuhbelas penerima berupa perusahaan dan lainnya
individu sedangkan permintaan lain belum terpenuhi karena adanya
kendala teknis operasional perbankan, selain permintaan melalui
surat, koordinasi melalui pertemuan dilakukan selama empat kali,
yakni pada16 September2009,2 Oktober2009,6 November2009dan9
November2009. Pada koordinasi inilah karena keterbatasan waktu
audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) disepakati permintaan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) hanya sampai dua sampai dengan tiga lapis
aliran dana dari Bank Century. Hal tersebut menepis pemberitaan
media yang mengatakan 'sesungguhnya ada tujuh lapis aliran dana
dari Bank Century. dan harus dipahami bahwa tujuh kali lapis aliran
dana berarti berarti tujuh kali perpindahan dana dari satu bank, ke
bank lainnya, sampai dengan perpindahan ketujuh bank lainnya. Pada
perpindahan kedua dan selanjutnya bisa jadi bercabang sehingga
dapat lebih dari hanya pada tujuh penyedia jasa keuangan (PJK) atau
bank. sementara untuk mendapatkan satu lapis aliran dana saja,
permintaan data kepada penyedia jasa keuangan (PJK) memerlukan
waktu beberapa minggu dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan]] (PPATK) tidak memiliki akses online terhadap database
penyedia jasa keuangan (PJK) sehingga untuk menelusuri aliran dana
harus melalui mekanisme permintaan informasi kepada penyedia jasa
keuangan (PJK) yang memerlukan waktu, sedangkan keterlambatan
kecerobahan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam hal prosedur
atau mekanisme permintaan informasipada surat Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) yang pertama pada tanggal17 September2009terdapat
kesalahan format surat sehingga perlu diperbaiki kemudian surat
kedua pada5 November2009merupakan revisi atas kesalahan pada surat
pertama, namun pada surat kedua masih terdapat pula kesalahan
format berkenaan dengan kewenangan pejabat yang dapat meminta
informasi karena dalam Nota Kesepahaman antara Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) No. NK-1/1.02/PPATK/09/06 tanggal25 September2006bahwa dalam
permintaan informasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus
ditandatangani Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)[14].Pada
tanggal27 November2009Yunus Husein, KepalaPusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)kembali memberikan penegasan
bahwaPusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)siap
menyerahkan data aliran dana dari Bank Century ke pihak lain
termasuk kepadaDewan Perwakilan Rakyat(DPR) Namun,Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan(PPATK) meminta perlindungan atas
penyerahan data itu agar memiliki dasar hukum karena
menurutUndang-Undang Nomer 25 Tahun 2003Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang[17]dalam pasal 10A UU tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang (TPPU) atau yang berkaitan denganLaporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan (LTKM)pihakPusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan(PPATK) disebutkan mempunyai kewajiban untuk
merahasiakan laporan tersebut, pernyataan ini dibuat terkait dengan
data aliran dana Bank Century yang dipegangPusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan(PPATK) setelah Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) menyerahkan laporan hasil audit investigasi Bank century
kepadaDewan Perwakilan Rakyat(DPR) pada tanggal23
November2009.[18][19]akan tetapi mendapat bantahan dariBambang
Susetyo, anggotaDewan Perwakilan Rakyat(DPR) yang mengatakan bahwa
jangan ada retorika pelarian atau buang badan yang artinya jangan
pilih kasih karena menurutBambang Susetyobahwa Yunus Husein,
KepalaPusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK)bertindak naif sekali bila memakai alasan tersebut karena
kembali menurutBambang SusetyobahwaPusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK)dalam kasusMiranda GoeltomPusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan(PPATK) telah pernah membuka data
yang sama[20].Dugaan adanyafrauddi dalam Bank Century yang
melibatkanRafat Ali Rizvi,Hesham Al Warraq,Robert
TantulardanTheresia Dewi Tantularmengenai simpang siur keberadaan
dana Budi Sampoerna dan perusahaannya yang bernama PT Lancar
Sampoerna Bestari sebesar Rp 1,7 triliun pada Bank Century
berkaitan dengan surat rekomendasi kabareskrim yang ditujukan
kepada Bank CenturyDalam Surat Kapolri No. Pol.:
R/2647/X/2009/Itwasum tanggal8 Oktober2009menjelaskan bahwa proses
penerbitan surat keterangan/rekomendasi yang pertama yaitu dengan
nomor polisi R/217/IV/2009/Bareskrim tanggal7 April2009berasal dari
keinginan Budi Samporna untuk mencairkan dana deposito milik PT
Lancar Sampoerna Bestari yang telah disimpan pada Bank Century,
kemudian pihak Direksi Bank Century menanyakan pada Bareskrim Polri
tentang status dana deposito tersebut oleh karena kasus Bank
Century sedang disidik oleh Bareskrim Polri, atas pertanyaan dari
Direksi PT Bank Century tersebut maka diterbirkan surat
keterangan/rekomendasi pertama Kabareskrim Polri tersebut,
berikutnya, karena Surat Keterangan/Rekomendasi Kabareskrim Polri
yang pertama tidak mencantumkan jumlah/besarnya dana deposito milik
PT Lancar Sampoerna Bestari atas permintaan pihak Direksi Bank
Century dalam hal ini Maryono menginginkan agar dana yang ingin
dicairkan oleh Budi Sampoerna dicantumkan jumlahnya sehingga
terbitlah rekomendasi kedua dengan No. Pol.:
R/240/IV/2009/Bareskrim tanggal17 April2009yang secara substansi
rekomendasi kedua ini hanya menyebutkan bahwa Dana Deposito Milik
PT Lancar Sampoerna Bestari yang ada Bank Century sebesar USD
18.000.000 yang terkait dalam Laporan Polisi No. Pol.:
LP/695/XI/2008/SIaga I tanggal25 November2008saat ini sudah tidak
ada permasalahan lagi[21]menurut pengacara Budi Sampoerna dan PT
Lancar Sampoerna Bestari yaitu Lucas bahwa dana kliennya jadi
berita besar tapi belum juga dibayarkan oleh Bank Century[22]Garis
waktu[sunting|sunting sumber]Aliran dana LPSPada kurun waktu14
November2008sampai dengan18 November2008terdapat pemberianfasilitas
pendanaan jangka pendek(FPJP) sebesar Rp 689,39 miliar[23]digunakan
untuk kebutuhan melunasipinjaman antarbanksebesar Rp 28,2 miliar,
dan keperluan pembayaranDana Pihak Ketiga(DPK) sebesar Rp 661,1
miliar.Dalam laporanBadan Pemeriksa Keuangan(BPK) terhadap kasus
Bank Century yang disampaikan kepada pimpinanDewan Perwakilan
Rakyat(DPR) di Jakarta, pada hari Senin tanggal23
November2009dijelaskan mengenai empat tahap pengucuran dana sebagai
berikut[24];Tahap pertamaDalam pengucuran dana tahap pertama
mencapai jumlah Rp 2,776 triliun berdasarkan Keputusan Dewan
Komisioner (KDK) Lembaga Penjamin Simpanan Nomor KEP 18/DK/XI/2008
tanggal23 November2008tentang penetapan biaya penanganan PT Bank
Century Tbk dan penyetoran pendahuluan penyaluran modal sementara
(PMS) Lembaga Penjamin Simpanan kepada Bank Century sedangkan
tujuan Penyertaan Modal Sementara (PMS) ini untuk memenuhi rasio
kecukupan modal (CAR) sebesar 10 persen.1. 24 November2008sebesar
Rp 1 triliun dibayar secara tunai2. 25 November2008sebesar Rp
588,314 miliar dibayar secara tunai3. 26 November2008sebesar Rp 475
miliar dibayar secara tunai4. 27 November2008sebesar Rp 100 miliar
dibayar secara tunai5. 28 November2008sebesar Rp 250 miliar dibayar
secara tunai6. 1 Desember2008sebesar Rp 362,826 miliar dibayar
secara tunaiTahap keduaDalam pengucuran dana tahap kedua sebesar Rp
2,201 triliun yang dicairkan berdasarkan Keputusan Dewan Komisioner
(KDK) Lembaga Penjamin Simpanan Nomor KEP.021/DK/XII/2008 tanggal5
Desember2008tentang Penetapan Tambahan Biaya Penanganan PT Bank
Century dengan tujuan penyaluran modal sementara (PMS) ini untuk
memenuhi kebutuhan likuiditas dari tanggal9 Desember2008sampai
dengan31 Desember2008.1. 9 Desember2008sebesar Rp 250 miliar
dibayar secara tunai2. 10 Desember2008sebesar Rp 200 miliar dibayar
secara tunai3. 11 Desember2008sebesar Rp 200 miliar dibayar secara
tunai4. 15 Desember2008sebesar Rp 175 miliar dibayar secara tunai5.
16 Desember2008sebesar Rp 100 miliar dibayar secara tunai6. 17
Desember2008sebesar Rp 100 miliar dibayar secara tunai7. 18
Desember2008sebesar Rp 75 miliar dibayar secara tunai8. 19
Desember2008sebesar Rp 125 miliar dibayar secara tunai9. 22
Desember2008sebesar Rp 150 miliar dibayar secara tunai10. 23
Desember2008sebesar Rp 30 miliar dibayar secara tunai11. 23
Desember2008sebesar Rp 445 miliar dibayar secara tunai12. 24
Desember2008sebesar Rp 80 miliar dibayar secara tunai13. 30
Desember2008sebesar Rp 270,749 miliar dibayar secara tunaiTahap
ketigaDalam pengucuran dana tahap ketiga sebesar Rp 1,155 triliun
yang dikucurkan dengan dasar penetapan Keputusan Dewan Komisioner
(KDK) Lembaga Penjamin Simpanan Nomor KEP 001/DK/II/2009 tanggal 3
Februari 2009 tentang Penetapan Tambahan Kedua Biaya Penanganan PT
Bank Century.1. 4 Februari2009sebesar Rp 820 miliar dibayar
memakaiSurat Utang Negara(SUN)2. 24 Februari2009sebesar Rp 150
miliar dibayar secara tunai3. 24 Februari2009sebesar Rp 185 miliar
dibayar memakaiSurat Utang Negara(SUN)Tahap keempatDalam pengucuran
dana tahap keempat sebesar Rp 630,221 miliar yang dikucurkan dengan
dasar penetapan Keputusan Dewan Komisioner (KDK) Lembaga Penjamin
Simpanan Nomor KEP 019/DK/VII/2009 tanggal 21 Juli 2009 tentang
Penetapan PT Bank Century Tbk agar CAR bank mencapai delapan persen
yang dibayar secara tunai sebanyak satu kali yaitu pada tanggal24
Juli2009Aliran dana Bank CenturyPada tanggal1 Desember2009Ahmad
Fadjar, Direktur Treasury Bank Mutiara (dahulu bernama Bank
Century) bersama sejumlah Direktur LPS melakukan jumpa pers di
Kantor LPS, Jakarta, mengenai danaPenyertaan Modal Sementara(PMS)
sebesar Rp 6,76 triliun yang dikucurkan Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) kepada Bank Century yang dipergunakan oleh Bank Century
dengan perincian sebagai berikut:[25] Rp 2,25 triliun atau 33
persen berupa aset Bank Century dalam bentukSurat Utang
Negara(SUN)/Sertifikat Bank Indonesia(SBI) Rp 490 miliar atau 8
persen digunakan untuk membayarpinjaman antarbank,fasilitas
pendanaan jangka pendek(FPJP) Rp 4,02 triliun atau 59 persen untuk
membayar kewajiban bank kepada seluruhnya 8.577 nasabah penyimpan
dengan perincian sebagai berikut; 7.770 atau 91 persen merupakan
nasabah perorangan dengan jumlah pembayaran sebesar Rp 3,2 triliun
atau 81 persen dari total penarikan simpanan 807 atau 9 persen
merupakan nasabah BUMN/ korporat 96 persen penarikan dilakukan oleh
nasabah dengan nilai kurang dari Rp 2 miliar 4 persen atau 328
nasabah dilakukan nasabah yang memiliki dana lebih dari Rp 2
miliar. Rata-rata penarikan sebesar Rp 5,6 miliar per nasabah.