REFLEKSI KASUSOS OBSTRUKSI DUKTUS NASOLAKRIMALIS et ODS
PRESBIOPIADiajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Salah Satu
Syarat Dalam Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu
Penyakit Mata Rumah Sakit Tentara Dr. Soedjono Magelanng
Disusun Oleh :Syarifa Tris Hidayanti01.210.6282Pembimbing :dr.
Dwidjo Pratiknjo, Sp.Mdr. Hari Trilunggono, Sp.MFAKULTAS
KEDOKTERRANUNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNGSEMARANG2014HALAMAN
PENGESAHAN
Nama: Syarifa Tris HidayantiNIM: 01.210.6282Fakultas: Kedokteran
UmumPerguruan Tinggi: Universitas Islam Sultan Agung Semarang
Tingkat: Program Pendidikan Profesi DokterJudul: OS OBSTRUKSI
DUKTUS NASOLAKRIMALIS et ODS PRESBIOPIA
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit MataRST Tingkat II
04.05.01 dr. Soedjono MagelangMengetahui dan
Menyetujui,Pembimbing,
(dr. Dwidjo Pratiknjo, Sp.M)(dr. Hari Trilunggono, Sp.M)
BAB ILAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN Nama: Ny. W.S Umur: 65 tahun Jenis Kelamin:
Perempuan Alamat: Tulung, Magelang. Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga
Status Menikah: Menikah Tanggal masuk poli: 16 September 2014 Nomor
RM: 00-20-xx
B. ANAMNESIS Keluhan UtamaSering nrocos pada mata sebelah kiri
Riwayat Penyakit SekarangPasien datang ke poli mata RST dr.
Soedjono Magelang dengan keluhan sering keluar air mata (nrocos) di
mata sebelah kiri yang sudah dirasakan sejak 1 minggu ini, disertai
keluar kotoran tetapi sedikit (normal seperti biasa), tidak pedih,
tidak ngeres (mengganjal) dan tidak ada gangguan penglihatan.
Sering keluar air mata dirasakan sewaktu-waktu dan tidak ada hal
yang membangkitkanya tetapi lebih sering ketika menatap sesuatu
lama (nonton televisi dan membaca). Keluhan tidak dirasakan pada
mata sebelah kanan. Keluhan mata kiri yang sering keluar air mata
(nrocos) belum pernah diobati sebelumnya. Selain itu pasien juga
merasa mata cepat lelah dan sakit kepala jika membaca terlalu lama,
sebelumnya pasien sudah menggunakan kacamata baca sejak 1 tahun
yang lalu (+2,00), namun sekarang kacamata baca sudah tidak nyaman
lagi ketika dipakai.
Riwayat Penyakit Dahulu Sebelumnya pasien tidak pernah sakit
seperti ini ( keluar air mata terus-menerus ). Riwayat trauma benda
asing pada mata (kornea) disangkal. Riwayat adanya peradangan pada
saluran pernafasan (hidung dan traktus respiratorius bagian atas)
disangkal. Riwayat alergi pada penderita disangkal. Sebelumnya 1
tahun yang lalu sudah pernah memakai kacamata baca (+2,00). Riwayat
Penyakit KeluargaTidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan
serupa. Riwayat Sosial EkonomiKesan ekonomi cukup, biaya ditanggung
oleh BPJS
C. PEMERIKSAAN FISIKStatus Umum Kesadaran : Compos mentis
Aktivitas: Normoaktif Kooperatif: Kooperatif Status gizi: Baik
Vital Sign TD : 110/70 mmHg Nadi : 80 x/menit RR : 18 x/menit
Suhu : 36,50C
Status Ophthalmicus
Oculus DexterOculus Sinister
No.PemeriksaanOculus DexterOculus Sinister
1.Visus6/6
Add S + 3,006/12 S + 1,00 6/7,5NBCAdd S + 3,00
2.Bulbus OkuliBaik ke segala arah, Baik ke segala arah
3.Palpebra
Edema(-)(-)
Hematom(-)(-)
Hiperemi(-)(-)
Entropion / Ektropion(-)(-)
Blefarospasme(-)(-)
Nyeri tekan(-)(-)
4.Konjungtiva
Injeksi Konjungtiva(-)(-)
Injeksi Siliar(-)(-)
Sekret(-)(-)
Bangunan patologis(-)(-)
Perdarahan sub konjungtiva(-)(-)
5.Kornea
KejernihanJernihJernih
Infiltrat(-)(-)
Keratic precipitates(-)(-)
Ulkus(-)(-)
Sikatrik(-)(-)
Pannus(-)(-)
6.COA
KejernihanJernihJernih
KedalamanCukupCukup
Isi (Hifema / Hipopion)(-)(-)
7.Iris
Kripte(+)(+)
Sinekia(-)(-)
8.Pupil
Diameter 3 mm 3 mm
Reflek pupil(+)(+)
BentukBulatBulat
9.Lensa
KejernihanJernihJernih
10.Corpus Vitreum
KejernihanJernihJernih
11.Fundus RefleksCemerlangCemerlang
12.FunduskopiDalam batas normalPapil saraf optik : merah muda,
batas tegas Makula Lutea : cemerlangVasa : AVR 2:3Retina : dalam
batas normalDalam bts normal Papil saraf optik : merah muda, batas
tegas Makula Lutea : cemerlangVasa : AVR 2:3Retina : dalam batas
normal
13.TION N
14.Sistem Kanalis Lakrimalis Glandula lakrimalis Punctum
lacrimalis superior Punctum lakrimalis inferior Duktus
nasolakrimalis
Normal
Hiperemi (-), edem (-), sekret (-)
Hiperemi (-), edem (-), sekret (-)
Hiperemi (-), edem (-), penekanan pangkal hidung keluar cairan
melalui punctum (-)
Normal
Hiperemi (-), edem (-), sekret (-)
Hiperemi (-), edem (-), sekret (-)
Hiperemi (-), edem (-), penekanan pangkal hidung keluar cairan
melali punctum (-)
15.Tes anel+ (pasien merasa ada yang mengalir melewati
tenggorokan)- (Cairan kembali ke duktus nasolakrimalis superior,
setelah itu pasien merasa ada yang mengalir melewati
tenggorokan)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG1. Nasal endoskopi digunakan untuk
menilai aliran air mata. Keuntungan nasal endoskopi adalah hanya
membutuhkan waktu beberapa menit untuk menilai anatomi hidung.2.
Contrast dracyosystography dan dracyoscintiagraphy. bertujuan untuk
menilai anatomi dan fungsi sistem lakrimal. Kontras radioopak
disuntikan kemudian dilakukan pencitraan dan dapat digunakan untuk
menilai level obstruksi3. CT-scan dan MRICT-scan dan MRI digunakan
pada pasien yang memiliki riwayat trauma cranio-facial, deformitas
tulang wajah
E. DIAGNOSA BANDINGOculus Sinister Obstruksi duktus nasolakrimal
Ditegakan karena terdapat gejala epifora, adanya sedikit sekret dan
dari tes anel (-). Obstruksi duktus nasolakrimal kongenital,
disingkirkan karena tidak ditemukan epifora sebelumnya (sejak
lahir) misal penderita dengan pungtal atresia. Dakriosistitis akut,
disingkirkan karena tidak ada tanda peradangan dan pembengkakakn
dari sakus lakrimalis. Lakrimasi, disingkirkan karena kelaur air
mata yang berlebihan hanya pada salah satu mata dan tidak
disebabkan karena stimulasi psikis, cahaya dan pearadangan pada
hidung.Oculus Dexter Sinister ODS Presbiopia Ditegakan karenan usia
pasien 65 tahun, pasien merasa mata cepat lelah dan sakit kepala
jika membaca terlalu lama, sebelumnya pasien sudah menggunakan
kacamata baca sejak (+2,00) ODS Hipermetropia Disingkirkan karena
penderita tidak mengeluh pandangan jauh dekat terasa kabur dan
dikoreksi dengan lensa sefiris negative. ODS Miopia Disingkirkan
karena tidak ditemukan gejala melihat jarak jauh penglihatanya
menjadi kabur dan dikoreksi dengan lensa sefiris negative.
F. DIAGNOSAOS Obstruksi ductus nasolakrimalis, ODS
Presbiopia.
G. TERAPI MedikamentosaNon-Opeartif Topikal OralAmoksisilin
500mg tabS 3.d.d. tab 1Operatif1. Intubasi dan Pemasangan Sten2.
Dracyocystorhinotomy Non medikamentosaKompres air hangat dengan
penekananPenggunaan kacamata : Presbiopia : ODS add S + 3,00
H. EDUKASIUntuk Obstruksi ductus Nasolacrimalis Menjelaskan pada
penderita bahwa penyebab dari mata kiri sering nrocos adalah
dikarenakan adanya sumbatan di saluran pembuangan kelenjar air
mata. Bila adanya sumbatan dikarenakan adanya benda kecil dapat
dikeluarkan dengan mengalirkan cairan ke saluran kelenjar air mata.
Bila sumbatan bersifat besar dapat dilakukan tindakan operatif
untuk memperlancar saluram pembuangan kelenjar air mata. Sumbatan
yang hanya pada salah satu sisi dan tidak menyebabkan sumbatan pula
di sisi yang sehat kecuali jika sudah ada infeksi Bila keluhan
dibiarkan lama dapat menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut
seperti adanya infeksi di saluran pembuangan kenjar air mataUntuk
Presbiopia Menjelaskan bahwa penurunan tajam penglihatan yang
dialami salah satunya disebabkan oleh melemahnya otot mata karena
usia tua Menjelaskan bahwa penurunan tajam penglihatan yang terjadi
dapat diperbaiki dengan kaca mata baca Menjelaskan bahwa penurunan
tajam penglihatan yang terjadi dapat terjadi perubahan terus
sehingga pasien harus sering kontrol dan menyesuaikan ukuran kaca
mata baca pasien dengan pertambahan usia.
I. PROGNOSAPrognosisOculus DexterOculus Sinister
Quo ad visamDubia ad BonamDubia ad Bonam
Quo ad sanamDubia ad BonamDubia ad Bonam
Quo ad functionamDubia ad BonamDubia ad Bonam
Quo ad vitamDubia ad BonamDubia ad Bonam
Quo ad kosmetikamDubia ad BonamDubia ad Bonam
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1. OBSTRUKSI DUKTUS NASOLAKRIMALIS2.1.1 DefinisiObstruksi
duktus nasolakrimal adalah sumbatan pada saluran yang menghubungkan
dari salah satu sakus lakrimal ke bagian anterior meatus inferior
dari hidung, tempat mengalirnya air mata ke hidung. Sesuai dengan
fungsi ductus nasolakrimal sebagai tempat mengalirnya air mata dari
sakus lakrimal ke nasal cavity, obstruksi pada ductus nasolakrimal
menyebabkan air mata yang mengalir berlebihan secara abnormal pada
pipi (epifora).2.1.2 Etiologi dan KlasifikasiObstruksi duktus
nasolakrimal terbagi menjadi dua berdasarkan usia terjadinya :1.
Obstruksi duktus nasolakrimal kongenitalSistem nasolakrimal
berkembang sebagai tabung yang solid yang kemudian mengalami
kanalisasi dan paten tepat sebelum cukup bulan. Obstruksi duktus
nasolakrimal kongenital (CLDO) adalah gangguan patensi duktus
nasolakrimal yang didapatkan semenjak dari lahir. Ujung distal
duktus nasolakrimal bisa tetap imperforata sehingga menyebabkan
mata berair. Sekitar 6% bayi mengalami pengeluaran air mata walau
saat tidak menangis. Penyebab tersering (50%) dari obtruksi duktus
nasolakrimal kongenital adalah kegagalan dari membran di ujung
duktus nasolakrimal (katup Hasner) untuk membuka pada atau
mendekati kelahiran.5Penyebab lainnya adalah tidak ada punctum pada
kelopak mata atas dan bawah, stenosis, infeksi, dan tulang hidung
yang mengobstruksi saluran air mata saat memasuki hidung.3Obstruksi
kanalikuli menyebabkan sebagian kumpulan air mata dalam sakus
lakrimal dapat terinfeksi dan menimbulkan mukocelle atau
mengakibatkan drakiosistitis. Kebanyakan obstruksi menghilang pada
tahun pertama kehidupan namun jika epifora masih terjadi setelah
tahun pertama kehidupan dapat dilakukan patensi dengan melewatkan
suatu probe melalui pungtum ke duktus lakrimalis untuk melubangi
membran yang tertutup (probing).102. Obstruksi duktus nasolakrimal
didapatObstruksi duktus nasolakrimalis didapat terbagi menjadi dua,
yakni primer dan sekunder. Obstruksi duktus nasolakrimalis primer
adalah keadaan obstruksi duktus yang disebabkan inflamsi atau
fibrosis tanpa faktor yang mendasarinya.Penyebab obstruksi duktus
nasolakrinalis antara lain :61. Infeksi, dapat disebabkan bakteri,
virus, parasit, dan jamur.a. Bacteria : Actinomyces,
Propionibacterium, Fusobacterium, Bacteroides, Mycobacterium,
Chlamydia species, Nocardia, Enterobacter, Aeromonas, Treponema
pallidum, dan Staphylococcus aureus.b. Virus : herpes simplex,
herpes zoster, chickenpox, epidemic keratoconjunctivitisc. Jamur :
Aspergillus, Candida, Pityrosporum, and Trichophyton.d. Parasit :
Ascaris lumbricoides.2. Inflamasi baik yang bersifat endogen maupun
eksogen.a. Endogen: Wegener granulomatosis, sarcoidosis,
cicatricial pemphigoid, sinus histiocytosis, Kawasaki disease,
danscleroderma.b. Eksogen : obat tetes mata, radiasi, kemoterapi
sistemik, transplantasi sum-sum tulang.3. Neoplasia, baik yang
bersifat primer, sekunder, atau metastatic. a. Neoplasma primer,
misalnya tumor pada puncta, canaliculi, lacrimal sac, atau
nasolacrimal duct. b. Neoplasma sekunder atau tumor akibat
penyebaran tumor di sekitar strktur anatomi, misalnya kanker
kelopak mata contohnya basal cell carcinoma, squamous cell
carcinoma.c. Penyebaran metastatik jarang terjadi namun pernah
dilaporkan misalnya kanker payudara atau prostat.
4. Traumatika. Iatrogenic : scar yang timbul akibat pembedahan
misalnya pada probing saluran lakrimal, dekompresi orbita,
paranasal, nasal, craniofacial.b. Non-iatrogenik.5. Mekanik.a.
Benda asing intraluminal merupakan penyumbatan akibat benda asing
di dalam saluran air mata seperti dacryolith,b. Kompresi dari luar
adanya benda saing diluar menghambat pengeluaran air mata dari
salurannya misalnya rhinolith, benda asing di hidung,
mucocelle.2.1.3PatofisiologiObstuksi duktus nasolakrimalis primer
lebih tinggi pada wanita dan pada usia lanjut. Hal ini disebabkan
anatomi fossa lakrimal bagian bawah dan duktus nasolakrimal bagian
tengah. Terdapat perubahan dimensi anteroposterior pada tulang
canal nasolakrimal pada pasien osteoporosis. Hal lain yang
mempengaruhi terjadinya obstruksi adalah fluktuasi hormon,
menstruasi, dan sistem imun. Perubahan hormon menyebabkan perubahan
secara general re-epitelisasi di tubuh termasuk di sakus dan duktus
nasolakrimal.6Obstruksi duktus nasolakrimal sekunder, disebabkan
karena infeksi, inflamasi, mekanikal, tumot, trauma. Bakteri
seperti Actinomyces, Propionibacterium, Fusobacterium, Bacteriodes,
Mycobacterium, Chlamydia. Pada infeksi virus, obstruksi disebabkan
kerusakan substansia propia dari jaringan elastis kanalikuler dan
atau perlekatan baris membran epitel kanalikuli. Jamur juga dapat
menimbulkan sumbatan melalui sumbatan batu, atau dacryolith.
Parasit jarang menimbulkan obstruksi namun pernah dilaporkan
Ascaris lumbricoides memasuki sistem lakrimal melalui katup
Hasner.6Inflamasi endogen yang menyebabkan obstruksi seperti
granulomatosis, sarcoidosis, pemphigoid. Inflamasi eksogen yang
menimbulkan obstruksi antara lain obat tetes mata, radiasi,
kemotherapy sistemik.62.1.4Manifestasi KlinisBeberapa hal yang
menjadi manifetasi klinis obstruksi duktus nasolakrimal antara
lain:61. Epifora.2. Iritasi.3. Pandangan kabur yang disebabkan
penambahan meniskus air mata.4. Dacryosistitis, konjungtivitis,
pemphigus okular yang bersifat rekuren.5. Sisi medial kantus yang
nyeri dan bengkak.2.1.5 Penegakan DiagnosisPenegakan diagnosis
obstruksi duktus nasolakrimal dimulai dari anamnesis hingga
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan gejala dan tanda
berupa epifora; mukoid atau purulen discharge; gejala infeksi
ulangan berupa dracyosistitis, konjungtivitis, pemphigus; nyeri dan
bengkak pada medial kantus. Pada anamnesis digali riwayat penyakit
mata terdahulu seperti pembedahan mata (dacryosistorhinotomi),
operasi kelopak mata, penggunaan obat galukoma atau tetes mata
lainnya. Selain riwayat penyakit mata, pda anamnesis dapat
diperoleh riwayat penyakit sistemik sebelumnya seperti, limpoma,
wegener granulomatosis, sarcoidosis, ocular cicatricial pemphigoid,
kawasaki disease, scleroderma, sinus histiocytosis, riwayat
pengobatan dengan radiasi ke kantus medial dengan kemoterapi
sistemik dengan 5-FU, infeksi parasit, trauma facial, pembedahan
nasal atau sinus sebelumnya. Untuk membantu penegakan diagnosa
obstruksi duktus nasolakrimal dapat dilakukan pemeriksaan fisik.
Pada pemeriksaan fisiknya didapatkan: Observasi umum : Aliran air
mata Massa yang menonjol pada sakus lakrimal atau area medial
kantus. Sekret bola mata yang mukoid atau purulen (sering tidak
terjadi regurgitasi karena fungsi katup Rossenmuler. Tes
regurgitasi : keluarnya cairan mukoid setelah penekanan pada
lakrimal menunjukan terdapat obstruksi pada nasolakrimal. Pada slit
lamp ditemukan: Tear meniskus dengan cairan flourensence, positif
bila >2mm Stenosis puntal. Kanalikulitis
DDT (Dye Disappearance Test).11Tujuan nya untuk menilai terdapat
atau tidak keadekuatan aliran air mata, terutama yang bersifat
unilateral. DDT sulit dilakukan pada anak-anak karena diperlukan
sedasi dalam melakukan irigasi lakrimal.DDT menggunakan tetesan
cairan steril flourescein 2% atau strip flourescein. Pemeriksa
memasukan flourescen ke forniks konjungtiva tiap mata dan
mengobservasi lapisan air mata dengan sinar kobalt biru.
Peristennya perwarnaan terutama terutama yang asimetris pada
lapisan air mata bila meniskus air mata tetap pada > 5 menit
mengindikasikan adanya obstruksi.Bila hasil DDT normal kemungkinan
kecil adanya obstruksi aliran air mata. Namun, penyebab obstruksi
yang bersifat intermiten seperi alergi, dacryolith, obstruksi
intranasal tidak dapat disingkirkan. Jones Test I dan II. Tes jones
I dan II digunakan untuk mengevaluasi epifora. Sama seperti DDT,
tes Jones I atau tes pewarnaan primer, digunakan untuk menilai
aliran air mata pada fungsi fisiologi normal. Teknik pemeriksaan
tes jones I (Dye tes primer) adalah: 11,13 Pasien duduk bersandar
sehingga pemeriksa dapat melihat dasar hidung pasien. Pada
konjungtiva pasien diteteskan 1-2 tetes flouresein. Lalu dimasukan
kapas aplikator yang telah diteteskan pantokain ke dalam meatus
inferior hidung dan ditunggu selama 2-3 menit. Kemudian kapas
dikeluarkan dari rongga hidung. Bila kapas berwarna hijau maka tes
ini positif yang artinya tidak ada penyumbatan pada duktus
nasolakrimal.Tes Jones II ( Dye test sekunder) dilakukan bila asil
tes Jones I negatif. Caranya hampir sama dengan tes Jones I yaitu:
11,13 Semprit 2 ml yang diisi dengan larutan garam dan dipasang
kanula lakrimal. Kanula dimasukan ke kanalikulus inferior melalui
pungtum dan disuntikan larutan garam tersebut. Pasien bersandar ke
depan dan rongga hidungnya diamati. Jika pasien merasa ada larutan
garam dalam tenggorokannya atau jika flouresein keluar dari rongga
hidung maka hasil tes positif.Tes nonfisiologi Jones II membedakan
ada atau tidak ada floresen di cairan irigasi salin yang didapatkan
dari hidung. Tes ini dapat membedakan terdapatnya suatu refluks
selama irigasi. Irigasi saluran dari sistem saluran lakrimal
didapatkan cairan salin yang bersih dari bagian dalam hidung.
Hambatan saat mengirigasi kanula mungkin merupakan suatu obstruksi
kanalikular total. Namun, bila irigasi salin dapat dilakukan tapi
terdapat refluks paada sistem kanalikular bagian atas tanpa
distensi sakus lakrimalis mungkin terdapat blokade komplit dari
kanalikulus. Refluks cairan mukoid atau floresen dari satu puntal
ke pungtal lainnya dengan disertai distensi sakus lakrimal
didiagnosis sebagai obstruksi duktus nasolakrimal komplit. Bila
irigasi salin tanpa diikuti refluks kanalikular atau cairan mampu
melewati duktus nasolakrimal, namun terdapat inflasi sakus lakrimal
disertai rasa tidak nyaman pada pasien mungkin terjadi obstruksi
duktus nasolakrimal komplit dengan fungsi katup Rosenmuller yang
masih baik untuk mencegah refluks. Kombinasi atara adanya refluks
pada kanalikular lainnya disertai keberhasilan irigasi mungkin
terdapat obstruksi yang bersifat parsial. Diagnostic probing
Diagnostic probing pada sistem nasolakrimal atas (punta,
kanalikuli, sakus lakrimal) digunakan untuk mengokonfirmasi level
obstruksi. Pada pasien dewasa tindakan ini relatif lebih mudah dan
dapat dilakukan dengan topikal anastesi. Suatu probe yang kecil
digunakan untuk menilai adanya obstruksi kanalikular. Bila terdapat
suatu obstruksi probe terjepit pada pungtum sebelum ditarik. Hal
ini dapat menilai sejauh mana obstruksinya. Probe yang lebih besar
dapat digunakan untuk menilai adanya obstruksi parsial. Diagnostic
probing jarang dilakukan pada obstruksi duktus nasolakrimal
didapat, namun pada obstruksi duktus nasolakrimal kongenital sering
dilakukan dan sangat bermanfaat. Uji AnelCaranya pasien duduk atau
tidur mata diberi tetes anastetik dan ditunggu sampai rasa pedas
hilang lalu pungtum lakrimalis diperlebar dengan dilator. Jarum
anel dimasukan horizontal melalui kanalikuli sampai masuk sakus
lakrimal kemudian dimasukan garam fisiologik ke dalam sakus. Pasien
ditanya apakah terasa ada sesuatu pada tenggorokan dan apakah
terlihat reaksi menelan berarti garam fisiologik masuk tenggorokan.
Hal ini menunjukan fungsi ekskresi normal sebaliknya bila tidak ada
refleks menelan dan garam fisiologik keluar melalui pungtum
lakrimal berarti ada sumbatan pada sistem ekskresi lakrimal atau
duktus nasolakrimal tertutup.13 Uji FloreseinPemeriksaan ini
sederhana dan hanya dapat dilakukan untuk satu sisitem ekskresi
lakrimal pada satu kali pemeriksaan. Caranya dengan meneteskan satu
tetes flouresein pada satu mata. Pasien diminta berkedip nenerapa
kali. Pada akhir menit ke enam, pasien diminta bersin dan
menyekanya dengan tisu atau pasien diminta meludah maka jika sistem
eksresi lakrimal baik maka akan terlihat adanya zat warna yang
menempel pada kertas tisu baik dari hidung maupun dari mulut.13
Nasal endoskopiNasal endoskopi digunakan untuk menilai aliran air
mata. Keuntungan nasal endoskopi adalah hanya membutuhkan waktu
beberapa menit untuk menilai anatomi hidung. Contrast
dracyosystography dan dracyoscintiagraphy.Contrast
dracyosystography dan dracyoscintiagraphy bertujuan untuk menilai
anatomi dan fungsi sistem lakrimal. Kontras radioopak disuntikan ke
satu atau kedua sistem kanalikular kemudian dilakukan pencitraan
pada menit ke-10. Pencitraan tersebut selain dapat digunakan untuk
menilai level obstruksi, dapat juga digunakan untuk menilai
keterlambatan perkembangan sakus lakrimal, deteksi tumor.
Dracyoscintiagraphy digunakan bila hasil tes irigasi sistem
lakrimal berubah-ubah. Kerugiannya tidak menggambarkan anatomi
hidung yang sesungguhnya.11,13 CT-scan dan MRICT-scan dan MRI
digunakan pada pasien yang memiliki riwayat trauma cranio-facial,
deformitas tulang wajah kongenital, dan kemungkinan neoplasia.
112.1.6Diagnosa BandingDiagnosa banding dari obstruksi duktus
nasolakrimal, antara lain:a. Obstruksi duktus nasolakrimal
kongenital, misalnya glaukoma kongenital (akut), pungtal atresia b.
Obstruksi duktus nasolakrimal didapat misalnya:a. Infeksi dan
inflamasi (tanda-tanda nyeri, discharge, bengkak, nyeri, kemerahan,
refluks mukus, riwayat sistitis), misalnya kanalikulitis,
dacryosistitis.b. Tumor lakrimal sac atau kanalikuli.c. Bells palsy
disebabkan kegagalan pompa lakrimal berdasarkan kelemahan otot
orbikularis.2.1.7Tatalaksana1. Intubasi dan Pemasangan StenIntubasi
dilakukan bila terdapat obstruksi duktus nasolakrimal parsial dan
hanya dapat dilakukan bila tube mampu melewati duktus.11
2. DracyocystorhinotomyDracyocystorhinotomy (DCR) adalah suatu
tindakan bedah yang bertujuan untuk membuat anastomosom antara
sakus lakrimal dan kavitas nasal melalui ostium tulang. DCR
dilakukan bila terdapat infeksi rekuren dracyosistitis, refluks
muokoid kronik, nyeri pada sakus lakrimalis, dan epifora yang
mengganggu.11Terdapat beberapa macam variasi dari tindakan bedah
DRC yakni:a. Pendekatan eksternal (transkutaneus)
Gambar 5 . Transkutaneus Dracyocystochinotomy (Dikutip dari :
American Academy of Ophthalmology. 2008-2009 )
DRC eksternal menggunakan anastesi infiltrat lokal yang
dikombinasi dengan anastesi dan vasokontriksi pada hidung. Pada DRC
eksternal dibuat insisi 10 mm di daerah medial epikantus dimulai
dari tendon medial kantus hingga ke bagian yang lebih inferior.
Kemudian dilakukan osteotomi dari fosa lakrimal ke anterior
lacrimal crest. Saluran pada anterior sakus lakrimal dihubungkan
dengan saluran pada anterior mukosa hidung setelah tabung silikon
dimasukan. Kemudian dilakukan penutupan insisi kulit yang telah
dibuat.Keuntungan DRC eksternal adalah tingkat kesuksesan lebih
tinggi dari pada interna DRC yakni sebesar 90% namun pada internal
DRC sebesar 70%. Namun kerugiannya menimbulkan jaringan parut di
wajah.11b. Pendekatan internal (intranasal)DRC intranasal adalah
tindakan operati DRC yang membuang lapisan mukosa nasal yang
berhubungan dengan saluran duktus nasolakrimal. Dilakukan suatu
osteotomy untuk membuang proccesus frontal di maxilla dan tulang
lakrimal yang menutupi sakus lakrimal. Kemudian setelah sakus
lakrimal dibuka dan dinding medial sakus lakrimal dibuang,
dilakukan marsupiliasi pada sakus. Setelah itu dilakukan intubasi
bikanalikular.Keuntungannya adalah tanpa skar yang tampak di wajah,
masa penyembuhan yang relatif singkat, masa pengerjaan yang relatif
lebih singkat. DRC cukup berhasil pada sebagian besar pasien. Namun
kegagalan tindakan pernah dilaporkan. Kegagalan mungkin disebabkan
fibrosis, oklusi tulang, dan obstruksi kanalikular. Hasil DRC
dipegaruhi oleh beberapa faktor misalnya riwayat trauma, riwayat
aktif dracyocystitis, infeksi post operasi, dan reaksi
hipersensitifitas terhadap bahan sten.112.1.8PrognosisPada
obstruksi duktus nasolakrimal kongenital, janrang terjadi
komplikasi serta kanalisasi spontan pada usia kurang dari 1 tahun
sering terjadi (95%).4 Namun, apabila tidak terjadi kanalisasi
spontan, dilakukan prosedur tindakan bedah misalnya
dracyocystorhinostomy dan endoskopi laser dracryocystorhinostomy
yang angka kesembuhan bisa mencapai 90%.62.1.9KomplikasiKomplikasi
obstruksi duktus nasolakrimal antara lain:6,14 Mukokel Dermatitis
(pada kelopak mata) Selulitis Granuloma pyogenik Dracyocystitis
2.2 PRESBIOPIA2.2.1 DefinisiMakin berkurangnya kemampuan
akomodasi mata sesuai dengan makin meningkatnya umur. Kelainan ini
terjadi pada mata normal berupa gangguan perubahan kencembungan
lensa yang dapat berkurang akibat berkurangnya elastisitas lensa
sehingga terjadi gangguan akomodasi. Berikut ini gambar ilustrasi
pembentukan bayangan pada penderita presbiopia.
Diterangkan bahwa: terjadi kekakuan lensa seiring dengan
bertambahnya usia, sehingga kemampuan lensa untuk memfokuskan
bayangan saat melihat dekat. Hal tersebut menyebabkan pandangan
kabur saat melihat dekat. 2.2.2 EtiologiGangguan akomodasi pada
usia lanjut dapat terjadi akibat: Kelemahan otot akomodasi Lensa
mata yang tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya akibat
sklerosis lensa
2.2.3 PatofisiologiPada mekanisme akomodasi yang normal terjadi
peningkatan daya refraksi mata karena adanya perubahan keseimbangan
antara elastisitas matriks lensa dan kapsul sehingga lensa menjadi
cembung. Dengan meningkatnya umur maka lensa menjadi lebih keras
(sklerosis) dan kehilangan elastisitasnya untuk menjadi cembung,
dengan demikian kemampuan melihat dekat makin berkurang.
2.2.4Gejala Klinis Akibat gangguan akomodasi ini maka pada pasien
berusia lebih dari 40 tahun, akan memberikan keluhan setelah
membaca yaitu berupa mata lelah, berair dan sering terasa pedas.
Karena daya akomodasi berkurang maka titik dekat mata makin menjauh
dan pada awalnya akan kesulitan pada waktu membaca dekat huruf
dengan cetakan kecil. Dalam upayanya untuk membaca lebih jelas maka
penderita cenderung menegakkan punggungnya atau menjauhkan obyek
yang dibacanya sehingga mencapai titik dekatnya dengan demikian
obyek dapat dibaca lebih jelas. Presbiopia timbul pada umur 45
tahun untuk ras Kaukasia dan 35 tahun untuk ras lainnya. 2.2.5
Pemeriksaana. Alat Kartu Snellen Kartu baca dekat Seuah set lensa
coba Bingkai percobaana. Teknik Penderita yang akan diperiksa
penglihatan sentral untuk jauh dan diberikan kacamata jauh sesuai
yang diperlukan (dapat poitif, negatif ataupun astigmatismat)
Ditaruh kartu baca dekat pada jarak 30-40 cm (jarak baca) Penderita
disuruh membaca huruf terkecil pada kartu baca dekat Diberikan
lensa positif mulai S +1 yang dinaikkan perlahan-lahan sampai
terbaca huruf terkecil pada kartu baca dekat dan kekuatan lensa ini
ditentukan Dilakukan pemeriksaan mata satu per satub. NilaiUkuran
lensa yang memberikan ketajaman penglihatan sempurna merupakan
ukuran lensa yang diperlukan untuk adisi kacamata baca. Hubungan
lensa adisi dan umur biasanya: 40 sampai 45 tahun 1.0 dioptri 45
sampai 50 tahun 1.5 dioptri 50 sampai 55 tahun 2.0 dioptri 55
sampai 60 tahun 2.5 dioptri 60 tahun 3.0 dioptri2.2.6
PenatalaksanaanDiberikan penambahan lensa sferis positif sesuai
pedoman umur yaitu umur 40 tahun (umur rata rata) diberikan
tambahan sferis + 1.00 dan setiap 5 tahun diatasnya ditambahkan
lagi sferis + 0.50Lensa sferis (+) yang ditambahkan dapat diberikan
dalam berbagai cara:1. kacamata baca untuk melihat dekat saja2.
kacamata bifokal untuk sekaligus mengoreksi kelainan yang lain3.
kacamata trifokus mengoreksi penglihatan jauh di segmen atas,
penglihatan sedang di segmen tengah, dan penglihatan dekat di
segmen bawah4. kacamata progressive mengoreksi penglihatan dekat,
sedang, dan jauh, tetapi dengan perubahan daya lensa yang progresif
dan bukan bertingkat.
DAFTAR PUSTAKA
1. John Hopkins. 2008. Nasolacrimal Duct Obstruction. (Dikutip
dari :
http://www.hopkinsmedicine.org/sinus/sinus_conditions/nasolacrimal_duct_obstruction.html
, 11 Juli 2010)2. Basahour Mounir. 2009. Nasolacrimal Duct.
Congenital Anomalies. (Dikutip dari :
http://emedicine.medscape.com/article/1210252-overview , 11 Juli
2010)3. Anonim. 2010. Nasolacrimal Duct Obstruction. (Dikutip dari
:
http://www.aapos.org/faq_list/congenital_nasolacrimal_duct_obstruction
, 11 Juli 2010)4. Camara. 2010. Nasolacrimal Duct Obstruction.
(Dikutip dari :
http://emedicine.medscape.com/article/1210141-overview , 11 Juli
2010)5. Sadri Irsad, 2003. Uji Schimmer I sebelum dan sesudah 2 jam
menggunakan komputer . Dikutip dari :6. Anonim. 2009. Nasolacrimal
Duct Obstruction. (Dikutip Dari :
http://www.med-support.org.uk/IntegratedCRD.nsf/Nasolacrimal%20duct%20obstruction%20FINAL.pdf
, 11 Juli 2010)7. Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Palembang. 2006. Buku Panduan Ketrampilan
Diagnostik Bagian Ilmu Kesehatan Mata FK- Universitas Sriwijaya.8.
Zwaan Johan. 1997. Treatment of Congenital Nasolacrimal Duct
Obstruction Before and After the Age of 1 Year. (Dikutip Dari :
http://ipac.kacst.edu.sa/eDoc/2005/146142_1.pdf 11 Juli 2010)9.
James Bruce, dkk. Lecture Note Oftalmologi. Edisi 9, Alih Bahasa
Rachmawati A.D., Erlangga. Jakarta, 2005 : 58-59